331
Teknik pemeliharaan larva untuk peningkatan mutu benih ... (Suko Ismi)
TEKNIK PEMELIHARAAN LARVA UNTUK PENINGKATAN MUTU BENIH KERAPU PADA PRODUKSI MASSAL SECARA TERKONTROL Suko Ismi dan Yasmina Nirmala Asih Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Jl. Br. Gondol Kecamatan Gerokgak Kabbupaten Buleleng Kotak Pos 140, Singaraja, Bali 81101 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Teknologi pembenihan dan pembesaran ikan kerapu telah dikembangkan. Kendala utama adalah produksi benih yang tidak stabil dan sering mengalami kegagalan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan teknologi pemeliharaan larva yang dapat memproduksi benih kerapu secara stabil, tepat jumlah dan waktu sehingga dapat mendukung kebutuhan benih untuk budidaya dan dapat menjadi usaha yang menguntungkan. Pada penelitian ini larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dipelihara secara terkontrol melalui penjagaan/sterilisasi lingkungan hatcheri, manajemen air media pemeliharaan, dan manajemen pakan. Tangki pemeliharaan yang digunakan berukuran 8-10 m3, dan larva dipelihara sampai yuwana (2 bulan). Hasil yang diperoleh adalah larva yang dipelihara secara terkontrol dengan atau tanpa penambahan klorin dapat menghasilkan produksi yuwana tiga kali ulangan dengan kisaran sintasan 29,8%-41,2% sedangkan pada pemeliharaan tanpa terkontrol larva mengalami kematian.
KATA KUNCI:
kerapu, mutu benih, pemeliharaan larva, terkontrol
PENDAHULUAN Pada saat ini teknologi pembenihan dan pembesaran ikan kerapu telah dikembangkan dengan baik. Agar kegiatan usaha budidaya ikan kerapu dapat berlangsung sepanjang tahun dengan produksi maksimal diperlukan kontinuitas benih baik dalam jumlah maupun mutu. Dengan demikian produksi budidaya ikan kerapu dapat terjamin untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun Internasional. Beberapa penelitian tentang pemeliharaan larva telah dilakukan antara lain perkembangan larva (Slamet et al., 1996), pakan awal (Wardoyo et al., 1997; Ismi et al., 2000), lingkungan (Aslianti, 1996; Aslianti et al., 1998; Ismi et al., 2004). Pembenihan ikan kerapu saat ini sudah berkembang dari skala kecil yaitu hatcheri yang hanya memelihara larva saja hingga skala besar (hatcheri lengkap) yaitu memelihara induk dan larva (Sugama et al., 2001; Ismi, 2006). Salah satu jenis ikan kerapu yang sudah dapat dibenihkan adalah kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Kerapu bebek pada ukuran benih juga dijual sebagai ikan hias, ukuran konsumsi minimal bobot 0,5 kg dengan harga cukup mahal yaitu Rp 350.000/kg di tingkat petani keramba. Kendala utama pembenihan kerapu ini adalah produksi yang tidak stabil dan terus-menerus, masih sering mengalami kegagalan disebabkan oleh berbagai faktor yaitu manajemen hatcheri (air, pakan, sarana, kebersihan, dan lain-lain) maupun lingkungan alam seperti fluktuasi suhu, air laut keruh akibat ombak besar, hujan, dan lain-lain. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan pembenihan yang terkontrol yaitu melalui, persiapan sanitasi peralatan, dan lingkungan hatcheri, manajemen air media pemeliharaan, pakan alami, dan buatan yang akan diberikan pada larva serta meminimalkan pengaruh faktor alam yang mempengaruhinya. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan teknologi pemeliharaan larva yang dapat memproduksi benih kerapu secara stabil sehingga dapat mendukung kebutuhan benih untuk budidaya tepat jumlah dan waktu sehingga dapat menjadi usaha yang menguntungkan. BAHAN DAN METODE Larva kerapu bebek dipelihara pada tangki berukuran 8-10 m3, selama 2 bulan sampai yuwana. Penelitian dilakukan dengan ulangan waktu. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
332
Manajemen Air Media Pemeliharaan ♦ ♦ ♦
♦
Air laut yang akan digunakan untuk pemeliharaan larva, terlebih dahulu diberi perlakuan: Penyaringan menggunakan pasir bertingkat (batu besar, koral, pasir). Selanjutnya penyaringan dengan filter bag. Air hasil filtrasi di tampung dalam bak penampungan dipergunakan untuk pemeliharaan larva dan dibandingkan dengan air saringan yang disterilisasi dengan klorin dan dinetralisir dengan natrium thiosulfat. Air laut tersebut keduanya selanjutnya digunakan untuk pemeliharaan larva. Manajemen Pakan
Jumlah pemberian dan frekuensi sesuai panduan. ♦ Jasad pakan rotifer dan nauplii Artemia diperkaya dengan bahan pengkaya sesuai standar pengkayaan. ♦ Jasad pakan alami sebelum diberikan ke larva di cuci dengan air laut bersih. ♦ Pemberian pakan buatan dimulai dari umur 8 hari, ukuran, dan frekuensi disesuaikan dengan umur larva. ♦
Penjagaan/Sterilisasi Lingkungan Hatcheri Sterilisasi lingkungan hatcheri dan ruangan hatcheri dilakukan dengan cara: ♦ Sebelum pemeliharaan larva dilakukan, terlebih dulu bak-bak dan peralatan hatcheri dilakukan sterilisasi melalui pencucian dengan larutan klorin/kaporit, kemudian dibersihkan dan dikeringkan. ♦ Selama pemeliharaan larva, orang yang masuk hatcheri harus mensterilkan diri dengan mencelupkan kakinya pada cairan kaporit yang disediakan dan menyemprot tangan dengan larutan alkohol. Sebagai pembanding dilakukan pula pemeliharaan larva ikan laut jenis yang sama dalam waktu yang bersamaan dengan metode yang biasa (sesuai paket teknologi) dilakukan tanpa perlakuan seperti di atas. Parameter yang Diamati ♦ ♦ ♦ ♦ ♦ ♦
Kepadatan rotifer pada bak larva dimonitor sampai umur 25 hari. Jumlah rotifer dalam perut sampai umur 15 hari. Kepadatan bakteri pada media pemeliharaan larva dan pakan alami. Kualitas air bak larva (DO, salinitas, suhu, pH, amonia, nitrat, nitrit, fosfat). Sintasan, pertumbuhan, dan abnormalitas benih. Analisis ekonomi.
HASIL DAN BAHASAN Dengan penerapan pemeliharaan larva secara terkontrol produksi benih kerapu dapat berproduksi secara berkesinambungan. Pada penelitian ini larva yang dipelihara secara terkontrol berturut-turut dalam 3 kali penebaran telur dapat menghasilkan benih dibanding dengan pemeliharaan larva yang tidak terkontrol. Hasil pada akhir penelitian (daya tetas telur, sintasan, panjang total, dan ikan cacat/ abnormalitas) dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan jumlah rotifer dalam air pemeliharaan larva dianalisis disajikan pada Gambar 1. Pada pemeliharaan yang tidak terkontrol, kepadatan rotifer umumnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terkontrol, hal ini dikarenakan penambahan rotifer tidak tepat jumlahnya. Biasanya jumlah rotifer dikontrol hanya menggunakan mata biasa sehingga tidak tepat dan larva mengalami kekurangan pakan. Kekurangan pakan awal rotifer secara berkelanjutan bisa menyebabkan turunnya kondisi larva secara pelan-pelan dan pada akhirnya larva lemas dan terjadi banyak kematian. Pengamatan jumlah rotifer dalam perut larva (Gambar 2) terlihat pada semua perlakuan larva nampak aktif memangsa rotifer. Jumlah isi perut bertambah dengan bertambahnya umur larva. Agar
333
Teknik pemeliharaan larva untuk peningkatan mutu benih ... (Suko Ismi)
Tabel 1. Daya tetas telur, sintasan, panjang total, dan benih cacat yang dihasilkan pada pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) Daya tetas
Perlakuan Pemeliharaan terkontrol dengan air filter Pemeliharaan terkontrol dengan air filter + klorin Pemeliharaan tidak terkontrol
Sintasan
I
II
III
I
75
48
80
75
58
75
55
II
Panjang total III
Cacat
I
II
III
I
41,2 29,8 41,9
3,5
3,2
3,4
2,3 17,5 17,7
80
29,8 33,6 32,9
3,5
3,2
3,2
4,7 32,8 25,5
80
mati mati mati d-25 d-31 d-12
-
-
-
-
II
-
III
-
Ulangan I: Februari–April; II: Juli–September, dan III: November–Januari
20
(I)
15 10 5
50
(II)
40 30 (ind/ml)
Kepadatan rotifer (Rotifer density)
0
20 10 (
0
(III)
25 20 15 10
S
5 0 1
2
3
4
5
6
7
Saringan pasir(Sand filter)
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Saringan pasir+klorin(Sand filter+chlorin)
Kontrol (Control)
Gambar 1. Kepadatan rotifer dalam air pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) pada ulangan I, II, dan III larva dapat dengan mudah memangsa rotifer maka jumlah persediaan rotifer dalam air pemeliharaan harus dipertahankan dalam jumlah yang cukup. Hasil pengamatan total bakteri dan Vibrio spp., dari air laut, plankton, dan Artemia yang dipakai dalam pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 2. Pada air laut yang ditambah klorin terlihat total bakteri nampak lebih rendah dari air laut yang tanpa klorin. Hasil pengamatan jumlah total bakteri dan Vibrio spp. air pemeliharaan semuanya masih cukup baik untuk pemeliharaan larva yaitu batas normal yang direkomendasikan untuk total bakteri 1,0 x 106 cfu/mL dan Vibrio spp. 1,0 x 103 cfu/mL.
334
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
(I)
80 60 40 20
lahRotifer dalamperut Jum
(Total rotifer instom ach)(ind)
0
(II) 70 60 50 40 30 20 10 0
(III)
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Hari (Days)
Saringan pasir(Sand filter)
Saringan pasir+klorin(Sand filter+chlorin)
Kontrol (Control)
Gambar 2. Jumlah rotifer dalam perut larva pada larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) pada ulangan I, II, dan III Tabel 2. Hasil monitoring total bakteri dan Vibrio spp.
Pada pakan alami yaitu rotifer dan Artemia dengan pengkayaan tampak total bakteri dan Vibrio spp. lebih tinggi, jumlah tersebut melebihi batasan normal yaitu untuk total bakteri 1,0 x 106 cfu/mL dan Vibrio spp. 1,0 x 103 cfu/mL. Sebagai stok pakan hal ini tidak membahayakan karena saat pemberian pakan pada tangki pemeliharaan akan mengalami pengenceran. Karena itu, pada air pemeliharaan
335
Teknik pemeliharaan larva untuk peningkatan mutu benih ... (Suko Ismi)
harus dikelola dengan baik agar kepadatan bakteri tidak meningkat dan membahayakan kehidupan larva. Hasil pengamatan kisaran kualitas air selama tiga kali penebaran disajikan pada Tabel 3. Kualitas air masih menunjukkan kisaran yang layak untuk pemeliharaan larva kerapu bebek terbukti tidak adanya pengaruh yang nyata selama pemeliharaan larva. Tabel 3. Kisaran kualitas air selama pemeliharaan larva Ulangan Parameter
I II III Februari–April Juli–September November–Januari
Suhu air (°C) pH Salinitas (ppt) DO (mg/L) NH3 (mg/L) NO2 (mg/L) NO3 (mg/L) PO4 (mg/L)
29,80–30,60 8,14–8,16 33,00–35,00 4,70–6,60 0,14–0,18 0,35–0,97 0,14–0,26 0,21–0,28
27,90–28,70 8,13–-8,17 33,00–35,00 5,00–6,30 0,12–0,23 0,41–0,87 0,15–0,29 0,14–0,285
27,70–29,00 8,16–-8,19 33,00–35,00 4,90–6,50 0,17–0,21 0,38–0,95 0,127–0,37 0,17–0,21
Pertumbuhan larva yang diukur dari panjang total selama penelitian masing-masing ulangan terlihat pada Gambar 3. Panjang total yuwana kerapu bebek pada umur 3 bulan baik yang dipelihara dengan terkontrol menggunakan klorin maupun yang tidak diklorin antara 3,2-3,5 cm.
4
(I)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5
Panjang total (Total length) (cm)
0
3.5
(II)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
(III)
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
Hari (Days)
Saringan pasir(Sand filter)
Saringan pasir+klorin(Sand filter+chlorin)
Kontrol (Control)
Gambar 3. Panjang total (cm) larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) selama penelitian pada ulangan I, II, dan III
336
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
Pada media pemeliharaan dengan penambahan klorin yang berfungsi untuk desinfektan menghasilkan yuwana cacat/abnormal lebih banyak (Tabel 1). Hal ini membuktikan bahwa klorin dapat menyebabkan larva kerapu bebek cacat. Desinfektan menurut American Heritage Dictionary didefinisikan sebagai suatu agen yang dapat merusak, menetralisir atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembawa penyakit karena efek panas, radiasi atau kimiawi. Pemakaian desinfektan (chlorine) untuk usaha budidaya tak membahayakan sejauh pemakaian tersebut sesuai panduan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, membutuhkan pemahaman bagaimana komponen tersebut bekerja dan organisme apa yang dilawannya sehingga desinfektan tersebut menjadi efektif, aman untuk hewan yang dibudidaya, lingkungan, dan pekerjanya. Cacat fisik yang dialami pada yuwana kerapu bebek adalah insang terbuka: 50%-60%, bengkok pada tulang belakang (lordosis, khyposis, dan skiolosis) :10%–40% dan cacat pada mulut: 10%–20% (Gambar 4).
Normal (Normaly)
Tulang punggung bengkok ke bawah dan ke atas (skiolosis)
Mulut bawah pendek (Short Lower jaws)
Insang terbuka (Opened operculum)
Tulang punggung bengkok ke atas (khyposis)
Mulut bawah panjang (Long upper Jaws)
Gambar 4. Beberapa cacat yang dialami pada benih kerapu bebek (Cromileptes altevelis) Dari hasil yang didapat menunjukkan bahwa pada larva kerapu yang dipelihara secara terkontrol (Tabel 1) dapat menghasilkan yuwana pada 3 kali ulangan berturut-turut dengan sintasan 29,8%– 41,9%, sedangkan pada pemeliharaan yang tidak terkontrol larva mengalami kematian pada umur 12-31 hari. Hal ini membuktikan bahwa cara pembenihan ikan yang baik adalah kontrol, dengan menerapkan biosecurity yaitu berupaya pengamanan kontaminasi dan mencegah berkembangnya organisme patogen dari luar (Anonim, 2008). Di samping itu, juga perlu dilakukan manajemen pemeliharaan larva yang baik, manajemen kesehatan ikan yang baik, dan manajemen pakan yang baik (Akbar, 2008). Karena itu, perlu penerapan prinsip-prinsip pembenihan yang baik oleh pembenih agar dapat meningkatkan produksi dan menjamin stok benih yang berkelanjutan. Dari hasil perhitungan analisis usaha biaya yang dikeluarkan sangat tergantung dari sintasan larva. Biaya paling banyak adalah pakan 80%-85% dan yang lain telur 1%-3%, listrik 5%-10%, biaya lain-lain 5%-15%. Pada produksi kerapu bebek keuntungan tidak hanya ditentukan oleh besarnya sintasan karena ikan yang bisa dijual adalah hanya ikan yang berkualitas baik dengan performan
337
Teknik pemeliharaan larva untuk peningkatan mutu benih ... (Suko Ismi)
yang baik, karena ikan yang cacat tidak bisa dijual. Contoh perincian biaya produksi dari siklus pertama dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Operasional pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis) selama 2 bulan dengan sintasan 29,8% Faktor produksi Telur kerapu bebek 100.000 butir @ Rp 6,Pakan buatan Artemia 14 kaleng Bahan pengkaya 2 kg Vitamin C 1 kg Minyak ikan 0,5 pak Listrik 3 bulan Rotifer 200 kantong @ Rp 15.000,Pupuk Kaporit, klorin, sodium thiosulfat Lain-lain (grading , oksigen, konsumsi, dan lain-lain)
Harga satuan (x Rp 1.000,-)
Jumlah harga (x Rp 1.000,-)
6
600 12.000 4.200 1.800 300 20 1.500 3.000 1.000 1.000 3.000
300 900 300 40 500 15
Jumlah
28,420 74,379.60
Hasil kotor
45,959.60
Hasil bersih
9,191.92 36,767.68
Panen 3 cm Panen 29,8% x 75.000 ekor – cacat 1.050 = (21.300 x Rp 3.600,-) ? 3% diskon
Teknisi 20% x Rp 45.950.600,Biaya untuk 1 ekor benih kerapu bebek dengan sintasan 29,8%, ukuran 3 cm Rp 1.766,-/ekor
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Untuk mendapatkan produksi benih kerapu secara kontinu, pemeliharaan larva secara terkontrol perlu dilakukan. 2. Pemeliharaan larva secara terkontrol dapat menghasilkan produksi benih secara kontinu dengan sintasan berkisar 29,8%–41,9%. 3. Pemeliharaan larva kerapu dengan tidak terkontrol mengalami kematian pada umur 12–31 hari. Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan untuk memperbaiki kualitas benih kerapu sehingga abnormalitas pada benih yang dihasilkan dapat diperkecil/dihindari. 2. Perlu adanya sosialisasi penerapan cara pembenihan secara terkontrol agar produksi benih kerapu dapat diproduksi secara kontinu. DAFTAR ACUAN Anonim. 2008. Pedoman Umum Cara Pembenihan Ikan yang Baik CPIB. Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Direktorat Perbenihan. 61 hlm. Akbar, S. 2008. Status Penerapan “Better Management Practices” Budidaya Ikan Laut di Batam. Aquacultura Indonesia, 9(3): 177–182. Aslianti, T. 1996. Pemeliharaan kerapu bebek Cromileptes altivelis dengan padat tebar yang berbeda. J. Pen. Perik. Indonesia, 2(2): 6–13
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
338
Aslianti, T., Hutapea, J.H., Ismi, S., Wardoyo, & Setiawati, K.M. 1998. Penelitian pemeliharaan larva kerapu bebek Cromileptes altivelis dengan pengelolaan pakan dan lingkungan. Prosiding Simposium V. PERIPI. Universitas Brawijaya, Malang, 8–9 Desember 1998, hlm. 71–79. Ismi, S., Wardoyo, Setiawati, K.M., Hutapea, J.H., & Aslianti, T. 2000. Penggunaan copepod Acartia sp. sebagai makanan pada pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perik. Indonesia, 6(1): 19–23. Ismi, S., Wardoyo, Setiawati, K.M., & Tridjoko. 2004. Pengaruh frekuensi pemberian minyak ikan pada pemeliharaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perik. Indonesia, 10(5): 61–64 Ismi, S. 2006. Pembenihan Beberapa Jenis Kerapu Pada Hatchery Skala Rumah Tangga Sebagai Alternatif Usaha. Fak. Perikanan Univ. Brawijaya, Malang. J. Pen. Perikanan, 9(1): 108–111. Slamet, B., Tridjoko, Prijono, A., Setiadarma, T., & Sugama, K. 1996. Peneyerapan nutrisi endogen, tabiat makan dan perkembangan morfologi larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perik. Indonesia, 2(2): 13–21. Sugama, K., Tridjoko, Slamet, B., Ismi, S., Setiadi, E., & Kawahara, S. 2001. Petunjuk teknis produksi benih ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Balai Riset Budidaya Laut Gondol, Pusat Riset dan Pengembangan Eksploirasi laut dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan serta Japan International Cooperation Agency, 40 hlm. Wardoyo, Setiawati, K.M., Ismi, S., Hutapea, J.H., & Aslianti, T. 1997. Pengaruh kepadatan rotifer Brachionus plicatilis terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II Ujung Pandang, 2–3 Desember 1997, 11 hlm.