Tinjauan Pustaka
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian
Luciana Budiati Sutanto,* Endang Basuki,** Saptawati Bardosono* *Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: Informed consent atau persetujuan setelah penjelasan (PSP) diperlukan pada setiap tindakan medis yang akan dilakukan. Tidak jarang pasien menolak untuk memberikan persetujuan. Pada penelitian, resistensi pasien dalam memberikan informed consent kemungkinannya lebih besar, karena masyarakat/pasien belum terbiasa berperan serta dalam suatu penelitian. Akibatnya jumlah minimal subjek penelitian yang diharapkan akan sulit dicapai. Teknik komunikasi yang efektif diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih baik sehingga meminimalkan penolakan pasien dalam memberikan informed consent. Selain itu, komunikasi yang efektif juga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani prosedur penelitian, mengurangi angka drop out, meningkatkan toleransi serta menghindari tuntutan malpraktik. Kata kunci: komunikasi efektif, persetujuan setelah penjelasan
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian Luciana Budiati Sutanto,* Endang Basuki,** Saptawati Bardosono* *Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, **Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstract: Informed consent is essential part in medical care. Getting approval from patient is not easy especially in medical research, because patient as well as people are not familiar to involve in research. It will be difficult to reach minimal sample. To minimize rejection from patient of giving informed consent by giving better information through an effective technique communication. In addition, effective technique communication will increase patient’s compliance following the research protocols, reduce drop out of subject, increase tolerance of patients and avoid malpractice suing. Keywords: effective communication, informed consent
272
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian Pendahuluan Pada setiap tindakan medis diperlukan informed consent atau persetujuan setelah penjelasan (PSP), yaitu persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya berdasarkan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.1 Tidak jarang pasien menolak untuk memberikan persetujuan pada suatu tindakan medis, terutama bila tindakan medis yang akan dijalani merupakan bagian dari penelitian. Akibatnya jumlah minimal subjek penelitian yang diharapkan akan sulit dicapai. Ada beberapa penyebab pasien menolak memberikan persetujuan untuk menjalani tindakan medis yaitu pemberian informasi yang tidak dapat diterima pasien, pendidikan pasien, alat bantu/formulir yang sulit diterapkan (misalnya tidak jelas maksudnya), dan pengaruh informasi lingkungan yang berlawanan dengan info yang diberikan oleh dokter atau petugas. Untuk mengatasi penolakan tersebut, maka seringkali dilakukan tindakan untuk mempengaruhi pasien. Tindakan mempengaruhi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu memaksa, memanipulasi dan membujuk. Memaksa pasien termasuk juga melakukan hal-hal yang dirasakan oleh pasien merupakan bentuk ancaman. Memanipulasi merupakan tindakan mencurangi pasien dengan tidak memberikan informasi yang lengkap, tidak jujur, misalnya berbohong, atau mengabaikan informasi penting. Tindakan yang terakhir adalah membujuk, tindakan tersebut diperbolehkan bahkan seringkali diperlukan dalam mendapatkan informed consent.2 Pada tulisan ini dibahas teknik komunikasi untuk mendapatkan persetujuan informed consent dengan harapan dalam pelaksanaan penelitian, penolakan memperoleh informed consent dari pasien dapat ditekan seminimal mungkin. Informed Consent pada Penelitian Informed consent mempunyai arti informed yaitu telah mendapatkan informasi dan consent yaitu izin atau persetujuan. Definisi berdasarkan Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia, yaitu proses seorang subjek secara sukarela menegaskan kemauannya untuk berpartisipasi dalam uji klinik, setelah mendapat penjelasan mengenai seluruh aspek uji klinik yang relevan dengan keputusan subjek untuk berpartisipasi. Informed consent didokumentasi secara tertulis, ditandatangai dan diberi tanggal.1 Tujuan diberlakukannya informed consent pada penelitian adalah agar pasien mendapat kesempatan untuk berpartisipasi menentukan tindakan medis terhadap dirinya2 Dari segi hukum, pasien sebagai pengguna jasa medis mendapat perlindungan dari segala tindakan medis tanpa sepengetahuannya. Bagi pelaksana medis, informed consent tersebut akan memberikan perlindungan terhadap tuntutan yang tidak wajar dari pihak pasien. Sebagai perangkat penelitian, informed consent yang akan digunakan harus disetujui dan mendapatkan dukungan tertulis dari Dewan Kaji Institusi (DKI)/Komite Etik (KE).1 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009
Penyusunan butir-butir dalam formulir informed consent harus mematuhi ketentuan dan prinsip etik berdasarkan Deklarasi Helsinki, yaitu seorang dokter mempunyai misi menjaga kesehatan masyarakat, dan International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human.1,3 Informasi Informasi atau penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus diberikan/ dijelaskan oleh peneliti atau staf uji klinis. Penjelasan harus dengan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien sehingga pasien mendapat gambaran jelas untuk mengambil keputusan.4 Informasi kepada subjek mencakup:1 1. Uji klinis yang akan dilakukan melibatkan penelitian. 2. Tujuan uji klinis. 3. Perlakuan dalam uji klinis dan kemungkinan alokasi pengobatan secara acak. 4. Prosedur uji klinis yang akan dilaksanakan, termasuk tindakan invasif. 5. Tanggung jawab subjek penelitian. 6. Risiko yang mungkin terjadi pada subjek. 7. Manfaat yang diharapkan. 8. Prosedur atau terapi alternatif yang mungkin bagi subjek, serta manfaat dan risikonya. 9. Kompensasi dan/atau pengobatan yang tersedia bagi subjek bila terjadi cedera yang berkaitan dengan uji klinis. 10. Pembayaran prorata yang diharapkan kepada subjek untuk partisipasinya dalam uji klinis (bila ada). 11. Keikutsertaan subjek dalam uji klinis tersebut adalah sukarela. Subjek boleh menolak untuk ikut serta atau menarik diri dari uji klinis, setiap saat tanpa hukuman atau kehilangan manfaat yang merupakan hak subjek jika tidak menarik diri. 12. Monitor, auditor, DKI/KE, dan otoritas regulatori akan diberi akses langsung pada rekam medik asli dari subjek untuk verifikasi prosedur dan/atau data uji klinis, tanpa melanggar kerahasiaan subjek sebatas yang diijinkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku dengan menandatangani informed consent tertulis. Subjek atau wakil sah subjek memberi hak akses semacam itu. 13. Rekaman yang mengidentifikasi subjek akan dijaga kerahasiaannya dan sebatas diijinkan oleh hukum dan/ atau peraturan yang berlaku, tidak akan dibuka untuk umum. Jika hasil uji klinis dipublikasi, identitas subjek tetap akan dirahasiakan. 14. Subjek atau wakil sah subjek akan diberitahu jika ada informasi yang mungkin relevan dengan kemauan subjek untuk melanjutkan keikutsertaannya dalam uji klinis. 15. Anggota keluarga atau penanggung jawab pasien yang dapat dihubungi untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai uji klinis dan hak subjek, serta dihubungi jika terjadi cedera yang berkaitan dengan uji klinis. 273
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian 16. Keadaan dan/atau alasan yang dapat diduga yang menyebabkan keikutserttaan subjek dalam uji klinis mungkin dihentikan. 17. Perkiraan lama waktu keikutsertaan subjek dalam uji klinis. 18. Jumlah subjek yang diperkirakan ikut serta dalam uji klinis. Consent Consent atau persetujuan dapat berbentuk lisan maupun tertulis.5,6 1. Persetujuan tertulis terdapat dalam PerMenKes No. 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, intinya setiap tindakan medis yang mengandung risiko cukup besar, mengharuskan persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta risiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent), 2. Persetujuan lisan biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung risiko tinggi yang diberikan oleh pihak pasien, 3. Persetujuan dengan isyarat, misalnya pasien yang akan diperiksa tekanan darahnya langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya. Informed Consent dan Bukti Persetujuan Informed consent sering disalahartikan sebagai tanda tangan pasien pada formulir. Tanda tangan pasien yang dibubuhkan pada formulir persetujuan memang merupakan suatu bukti (proof) bahwa pasien telah memberikan persetujuannya, tetapi seringkali dikatakan belum merupakan bukti dari persetujuan karena pasien belum tentu betul-betul telah mengerti (valid consent). Hal seperti itu dapat terjadi pada beberapa keadaan, misalnya dalam keadaan tergesagesa, pasien tidak dapat memahami informasi yang diberikan, pasien masih di bawah umur, informasi tidak lengkap, atau pasien takut menolak. Pada pelaksanaan penelitian, informed consent dalam bentuk tertulis harus diperoleh dari setiap subjek sebelum mereka mulai diperiksa dalam bentuk apapun.7 Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent Teknik komunikasi yang efektif diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih baik sehingga meminimalkan penolakan pasien dalam memberikan informed consent. Pada penelitian, resistensi pasien dalam memberikan informed consent kemungkinannya lebih besar karena masyarakat/pasien belum terbiasa berperan serta dalam penelitian.
274
Hubungan Pemberi dan Penerima Informasi dalam Mengomunikasikan Informed Consent Informasi kepada pasien dan/atau keluarganya untuk mendapatkan informed consent dapat dilakukan oleh dokter atau petugas paramedis. Antara dokter dan petugas paramedis yang akan memberikan informasi harus mempunyai kesamaan pengertian mengenai informasi yang akan diberikan kepada pasien sehingga informasi yang diberikan kepada pasien dapat saling mendukung. Hal tersebut akan memudahkan pasien dalam mengambil keputusan. Agar antara dokter dan petugas paramedis mempunyai kesamaan pengertian tentang informasi yang akan diberikan, sebelum pelaksanaan harus dilakukan sosialisasi dan latihan. Perbedaan persepsi petugas pemberi informasi akan berdampak membingungkan pasien. Jika pasien mendapat informasi yang berbeda dari berbagai sumber, dapat mengakibatkan keraguan yang berakibat pasien menolak memberikan informed consent. Sosialisasi informasi sebaiknya juga dilakukan pada petugas lain di lingkungan tersebut agar tidak memberikan informasi yang bertentangan. Informasi Risiko Segala risiko yang mungkin timbul pada tindakan harus diinformasikan kepada pasien, baik risiko yang dianggap tidak penting atau sangat berbahaya serta risiko yang sangat jarang terjadi. Pemberi informasi perlu menanyakan juga kepada pasien mengenai hal-hal yang ingin diketahui, sehingga dapat diperoleh informasi khusus yang diperlukan pasien. Mungkin saja informasi yang diharapkan pasien tidak menjadi perhatian pemberi informasi, pada awalnya.2 Informasi yang diberikan kepada pasien seringkali dikuatirkan berdampak buruk pada pasien. Hal itu menjadi alasan seringnya informasi yang diberikan dibatasi. Pada kenyataannya, berbagai penelitian tidak berhasil membuktikan hubungan antara stres yang timbul pada pasien dengan kelengkapan informasi yang diperoleh pasien.2 Informasi risiko yang diberikan kepada pasien dengan memaparkan data statistik, tidak memberikan arti yang penting bagi pasien. Informasi akan lebih mudah dipahami pasien jika dihubungkan dengan sesuatu yang mempunyai makna untuk pasien tersebut. Misalnya membandingkan risiko kematian akibat pembiusan dengan akibat kecelakaan mobil.2 Keterampilan Memperoleh Informed Consent Memperoleh informed consent sama seperti menyampaikan informasi lainnya, akan berhasil jika pasien merasa nyaman dengan cara komunikasi petugas pemberi informasi. Keterampilan komunikasi yang harus dimiliki petugas termasuk keterampilan melakukan komunikasi verbal, non-verbal dan melakukan pengamatan komunikasi verbal dan non-verbal.8
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian Komunikasi verbal adalah pemberian informasi yang meliputi: 1. Penyampaian kata-kata yang dapat membuat pasien merasa nyaman 2. Pemberian informasi yang jelas dengan bahasa yang dapat dipahami pasien 3. Pemberian tanggapan yang baik pada pertanyaan atau tanggapan pasien. Komunikasi non-verbal meliputi ekspresi dari raut muka, yang diharapkan memberikan kesan ramah, memberi perhatian dan menghargai. Gerakan tubuh atau gerak-gerik yang tidak menyenangkan pasien atau membuat pasien gelisah merupakan keterampilan komunikasi yang buruk. Selain itu, penampilan fisik yang rapi dan bersih sesuai dengan profesi yang disandang juga perlu diperhatikan. Kemampuan menangkap respons pasien, baik verbal maupun non-verbal oleh petugas pemberi informasi, sangat berpengaruh dalam keberhasilan komunikasi informed consent. Dari pengamatan yang baik dapat ditangkap kesan pasien, misalnya kesiapan pasien menerima informasi sehingga informasi dapat disampaikan pada saat yang tepat. Tanggapan pasien terhadap informasi yang telah disampaikan akan membantu pemberi informasi memperbaiki kekurangan dalam penyampaian. Jika tanggapan pasien telah sesuai harapan, dapat diberikan dukungan selanjutnya atau meningkat kepada tahap informasi berikutnya. Keraguan pasien atau kebutuhan informasi lebih lanjut juga harus dapat dirasakan oleh pemberi informasi sehingga pasien dapat memperoleh informasi selengkapnya sebelum memberikan persetujuan. Hambatan Komunikasi Berbagai hal yang dapat menghambat efektivitas komunikasi antara pemberi informasi dengan pasien antara lain: 1. Faktor pasien, meliputi latar belakang pendidikan, kebudayaan, keyakinan/agama, keadaan fisik dan mental pasien. Pasien tidak selalu bersedia diberi informasi yang lengkap mengenai tindakan medis dan risikonya. Pada penelitian yang dilakukan oleh Beresford9 terhadap pasien yang menjalani pembedahan jantung, didapatkan bahwa sebagian pasien hanya mengharapkan sedikit informasi tentang risiko tindakan medis, atau bahkan menolak informasi sama sekali. Dari 50 orang subjek penelitian tersebut, 42% tidak mengharapkan mendapat informasi risiko terapi, 50% tidak ingin mengetahui risiko kematian, dan 54% tidak menginginkan informasi mengenai risiko stroke permanen yang mungkin terjadi.9 Penelitian Cassilleth mendapatkan bahwa pendidikan, status kesehatan pasien dan perhatian pasien merupakan penyebab pasien tidak dapat memahami/mengingat hal penting yang terdapat pada formulir persetujuan atau wawancara. Hanya 40% pasien yang membaca dengan Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009
2.
3.
4.
cermat formulir informed consent yang disodorkan. Sebagian besar pasien bahkan berpendapat bahwa informed consent hanya bertujuan untuk melindungi hak dokter. Dari seluruh pasien, hanya 60% pasien yang memahami dengan baik tujuan dan prosedur tindakan yang akan dilakukan pada dirinya. 10 Faktor pesan, yaitu informasi baik isi maupun tata bahasa yang kurang jelas, serta alat bantu misalnya formulir yang tidak mendukung. Faktor pemberi informasi, dapat karena kurang memahami isi informasi, cara menyampaikan yang tidak jelas yang dapat disebabkan kurangnya kemampuan berkomunikasi. Faktor lingkungan, juga dapat menyebabkan hambatan komunikasi misalnya, ruang yang tidak nyaman dan tidak tertata rapi, bising, waktu yang tidak cukup, dan gangguan petugas/aktivitas lain.
Manfaat Komunikasi Efektif pada Pemberian Informasi suatu Informed Consent Komunikasi yang efektif akan meningkatkan kepatuhan dan kepuasan pasien, mengurangi tuntutan malapraktik dan meningkatkan kepuasan pemberi informasi.8 Pada pelaksanaan penelitian, diharapkan pasien mendapatkan informasi baik sehingga pasien puas dan tanpa beban atau keraguan memberikan persetujuan untuk berpartisipasi pada penelitian tersebut. Dengan keadaan demikian, pasien dapat patuh dalam menjalani prosedur penelitian. Hal itu sangat menunjang keberhasilan penelitian, yaitu mengurangi angka drop out, meningkatkan toleransi serta menghindari tuntutan malapraktik. Kesimpulan Komunikasi yang efektif pada pelaksanaan penelitian diharapkan dapat mempermudah mendapatkan informed consent, pasien mematuhi prosedur penelitian, mengurangi angka drop out, meningkatkan toleransi serta menghindari tuntutan malapraktik. Daftar Pustaka 1. 2.
3. 4. 5.
6.
Setiabudy R. Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia. Jakarta: Badan POM; 2001. University of Washington School of Medicine 1998. Ethics in Medicine. [dikutip 27 November 2007 diunduh dari: URL: HYPERLINK http://depts.washington.edu/bioethx/topics/ infc.html. World Health Organization. Guidelines for good clinical practice (GCP) for trials on pharmaceutical products. Geneva: WHO; 1995. Guwandi J. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004. PD PERSI. Apa itu “Informed Consent”? [dikutip 27 November 2007]. Diunduh dari: URL: HYPERLINK http://www.pdpersi.co.id/ ?show=detailnews&kode=15&tbl=tanyars. Kapalawi I. Mengenal informed consent. [dikutip 27 November 2007 Nov 27] Avaiable from: URL: HYPERLINK http:// irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informedconsent/.
275
Teknik Komunikasi untuk Mendapatkan Informed Consent pada Suatu Penelitian 7. 8. 9.
276
Setiabudy R. Informed consent. Jakarta: FKUI; 2006. Basuki E. Komunikasi efektif. National Diabetes Educators Training Camp; 2004. Beresford N, Seymourb L, Vincentb C, Moata N. Risks of elective cardiac surgery: what do patients want to know? Heart 2001;86:626-31.
10. Cassileth B, Zupkis R, Sutton-Smith K, March V. Informed consent, why are its goals imperfectly realized? NEJM 1980;302:896900. SS
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 6, Juni 2009