IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM KB DI KOTA DENPASAR DALAM PERSPEKTIF NEW PUBLIC SERVICE Studi Kasus Strategi dan Standarisasi Pelayanan Publik Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran Akseptor Program KB Metode Operasi Pria Tedi Erviantono*, Ni Made Ras Amanda G, Ni Nyoman Dewi Pascarani Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Abstract The policy of controlling population is one of important focus that has become a priority in order to improving people welfare in local government. One of implementation of this policy is birth control program by men vasectomy. This research is held to study the principle of new public service in birth control program, especially for men surgery in Denpasar City. The study of this research is done through descriptive method and also attaching interview instrument and documentation. On its implementation, the government of Denpasar, through Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Denpasar refers to new public service principles. This implementation program has reached over the target. Some of new public service principle has been applied in control birth program by men surgery metode, which is : accessible, society participation, and reward for successful program that has been done transparently through Surat Keputusan Walikota. Keywords : new public service, birth control program men surgery A. Pendahuluan Problematika sebagian besar negara berkembang adalah mereduksi angka kemiskinan dengan menggunakan beragam strategi. Beberapa hal ditempuh antara lain peningkatkan infrastruktur ekonomi serta pembangunan derajat partisipasi masyarakat melalui peningkatan pendidikan dan kesehatan. Hanya saja, kendala peningkatan tersebut bersumber pada permasalahan kependudukan. Hal ini terlihat dari fakta masih tingginya angka kematian bayi, termasuk ibu melahirkan, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat tentang hak reproduksi, serta masih tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak imbang dengan daya dukung lingkungan. Keprihatinan permasalahan kependudukan melahirkan konsep pembangunan berwawasan kependudukan sebagai integral konsep sustainable development (Hakim, 2011 : 41). Kesadaran negara-negara mengurai masalah kemiskinan dan keterbelakangan melalui pendekatan kependudukan dirintis sejak tahun 1994. Sekitar 120 negara berkomitmen melalui Konferensi Internasional Pembangunan dan Kependudukan (ICPD) di Cairo yang intinya bersama-sama menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi bagi semua orang tanpa diskriminasi dengan capaian selambat-lambatnya tahun 2015 (Mantra, 2004:15). Komitmen ini ditindaklanjuti program Millenium Development Goals (MDGs) yang salah satunya mempromosikan kesehatan gender dan pemberdayaan perempuan (promoting gender equality and empowering women).
Indonesia memulai program pengendalian laju angka pertumbuhan kependudukan sejak awal Orde Baru, dimana tahun 1967 Presiden Soeharto kala itu ikut menandatangani deklarasi kependudukan dunia yang menyatakan (BKKBN, 2001): “As head of governments actively concerned with the population problem, we share convictions ; 1) We believe that the population problem must be recornized as a principle element in long range national planning if giferments are to achieve their economic goals and fulfil of their people, 2) Recognizing that family planning is in the vital interest of both nation and the family, we were undersigned earnestly hope that leaders around the word will share our views and joint with us in this great challenge for the well being and happiness people everywhere”. Pendukung komitmen tersebut ditindaklanjuti pendirian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 8 tahun 1970. BKKBN merupakan lembaga Non Departemen yang memiliki tanggung jawab dalam bidang pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia melalui Program Keluarga Berencana Nasional (Utarini, 2005 : 98). Lembaga resmi pelaksana teknis BKKBN terstruktur secara hirarkis, dari tingkat Pusat, Daerah Tingkat I (sekarang provinsi), Daerah Tingkat II / Kotamadya (sekarang kabupaten/kota) hingga tingkat kecamatan maupun desa. Pada perjalanannya, lembaga ini mengalami penyesuaian secara program maupun kelembagaan, termasuk Pembentukan Kementerian Kependudukan dan BKKBN berdasarkan Kepres Nomor 109 Tahun 1993. Dasa warsa awal 1970-1980-an, Program Keluarga Berencana (KB) berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dari 2,8% menjadi 2,3%. Dasa warsa 19801990-an, laju pertumbuhan penduduk ditekan kembali menjadi 1,98%, serta pada dekade 1990-2000-an laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,49% (Suyono; 2005:29). Meski trend pertumbuhan penduduk cenderung menurun, namun angka absolut pertumbuhan penduduk rata-rata kisarannya masih cukup tinggi yaitu 3 juta jiwa per tahun dari jumlah penduduk 219 juta jiwa, sehingga menurut proyeksi BAPENAS, tahun 2025 penduduk Indonesia akan berjumlah 273,7 juta jiwa (Kompas, 3 Agustus 2005). Melihat kondisi tersebut, keberadaan Program Keluarga Berencana tentunya masih sangat dibutuhkan terutama menjaga keseimbangan laju pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, maupun daya dukung lingkungan. Fokus yang perlu dicapai adalah komitmen terhadap program KB yang merujuk ratifikasi Deklarasi Cairo (ICPD) dimana mendasarkan pada tuntutan keadilan dan kesetaraan gender. Realitasnya hingga kini, tingkat kesertaan ber-KB masih didominasi perempuan, sedangkan pihak pria tingkat kesertaannya masih sangat rendah, yaitu kurang 6% dari jumlah total Peserta KB Aktif. Komitmen ideal program KB adalah keikutsertaan peserta KB Pria dalam penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang, salah satunya melalui Medis Operasi Pria (MOP) atau vasektomi. Rakernas Program KB tahun 2000 mengamanatkan perlunya ditingkatkan peran pria dalam Keluarga Berencana dan ditindak lanjuti Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor 10/HK-010/B5/2001 tanggal 17 Januari 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, dengan membentuk Direktorat Partisipasi Pria di Bawah Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi
yang bertugas merumuskan kebijakan operasional peningkatan partisipasi pria dalam program KB. Pada arahan program tersebut ditegaskan perlunya intervensi khusus dengan program peningkatan partisipasi pria yang tujuan akhirnya mewujudkan keluarga berkualitas melalui upaya peningkatan kualitas pelayanan, promosi KB dan kesehatan reproduksi berwawasan gender pada tahun 2015 (BKKBN, 2000:43). Perkembangan pelaksanaan program peningkatan kesertaan KB pria di lapangan ternyata belum mencapai harapan. Dalam kenyataannya terdapat permasalahan muncul dalam implementasi program yang dilaksanakan, antara lain operasionalisasi program yang bias gender, penyiapan tempat dan tenaga pelayanan yang masih serba terbatas, peralatan lebih banyak digunakan untuk peserta KB perempuan, serta terbatasnya pilihan kontrasepsi pria. Berdasarkan kondisi inilah, maka pilihan KB kalangan pria masih kurang populer dibanding KB perempuan karena juga ada stereotype bahwa kecenderungan beban pemeliharaan anak termasuk keikutsertaan program KB masih ditanggung oleh pihak ibu (perempuan), resiko penggunaan kontrasepsi pria yang dapat menimbulkan gangguan dan mengurangi kualitas hubungan seksual, keengganan pihak istri (perempuan) pada suami untuk menyatakan kesepakatan akibat faktor hambatan dominasi nilai sosial budaya serta kekhawatiran adanya efek samping kesehatan reproduksi dari pihak pria (Zaeni, 2006 : 12). Pada kondisi yang sama, secara historis terdapat permasalahan serius pada tingkat kelembagaan operasional yang juga secara langsung mempengaruhi peningkatan kesertaan KB pria. Keputusan Menteri Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 2000 Tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid kala itu, dimana BKKBN merupakan instansi vertikal menjadi kontraproduktif (tidak berarti) saat harus berhadapan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2003 tentang SOTK di daerah yang disahkan pada masa Presiden Megawati. PP yang disertai regulasi pelaksana Kepres Nomor 103 tahun 2001 tersebut menggariskan bahwa sebagian besar kewenangan BKKBN harus sudah diserahkan kepada daerah hingga akhir tahun 2003. Kondisi ini mengakibatkan terombangambingnya kelembagaan sekaligus berdampak pada implementasi program, karena keberagaman masing-masing daerah menilai kepentingan program KB, termasuk munculnya masalah ketidakjelasan komitmen anggaran pendukung program keluarga berencana di level daerah (Utarini, 2005 : 98) atau kurang populernya program KB sebagai program yang dicap “Orde Baru” (Metrotvnews.com, 2012). Untuk Kota Denpasar, Pemerintah Daerah masih tetap berkomitmen melaksanakan program KB dengan membentuk lembaga khusus, yaitu Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan melalui legalitas Perda Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Denpasar. Keberadaan lembaga ini secara implementatif diharapkan akan diikuti dengan peningkatan Program Keluarga Berencana secara lebih baik, efektif, efisien, dan akuntabel sebagaimana tujuan utama dari otonomi daerah. Penyelenggaraan program di era otonomi daerah idealnya memang harus menyertakan sebuah standar layanan yang mengikuti paradigma new public service, dimana sebagaian besar nilai-nilainya diderivasi dari tuntutan penegakan good governance kelembagaan layanan publik di daerah, termasuk Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Denpasar.
Menurut Miftah Thoha (2008 : 24), penyelenggaraan pelayanan publik dalam ranah keilmuan administrasi negara di masa kini telah mengalami pergeseran dari old public administration ke arah paradigma new public service yang menyertakan perubahan pada tataran formulasi, impelementasi dan evaluasi kebijakan publik. Pada arah ini pelibatan komponen warga negara, institusi publik, perusahaan swasta dan Non Governmental Organization (NGO) merujuk pada proses governance sekaligus sebagai bentuk keterlibatan total otoritas publik. Otoritas publik dilibatkan secara optimal, baik dalam bentuk pemberian ruang akses pendapat / suara bagi warga negara serta akomodasi isu-isu yang menjadi konsentrasi dari publik di tingkatan fase formulasi maupun implementasi kebijakan yang dihasilkan. Penelitian ini hendak mengetahui ragam strategi dan standarisasi pelayanan publik yang dijalankan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar terkait peningkatan peran akseptor KB Program Metode Operasi Pria (Vasektomi) sebagai implementasi kebijakan Keluarga Berencana dalam perspektif new public service. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik penelitian deskriptif kualitatif dengan mengajukan pertanyaan yang dirancang sebelumnya kepada pihak-pihak terkait dengan tema penelitian ini. B. Perumusan Masalah 1) Bagaimanakah bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran Akseptor KB Program Metode Operasi Pria (Vasektomi)? 2) Strategi dan standarisasi kelembagaan apa sajakah yang dijalankan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar ditinjau dari perspektif new public service?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Kota Denpasar dalam Peningkatan Peran Akseptor KB khususnya dalam Program Metode Operasi Pria (Vasektomi) ditinjau dari perspektif new public service; 2. Untuk mengetahui ragam bentuk strategi dan standarisasi yang dijalankan Pemerintah Kota Denpasar dalam implementasi kebijakan program Keluarga Berencana di Kota Denpasar dan kesesuaiannya dengan paradigma new public service; 3. Untuk mengetahui ragam hambatan dan pendorong keberhasilan program KB khususnya dalam implementasi Program Metode Operasi Pria (Vasektomi) di Kota Denpasar D. Tinjauan Pustaka
Penelitian terkait partisipasi akseptor KB pria dalam keberhasilan program KB memang telah banyak dilakukan. Penelitian Ekarini (2008) dari Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro misalnya mengulas analisis faktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Pada kesimpulannya, Madya mengungkapkan tingkat partisipasi pria ber-KB dipengaruhi pengetahuan, kualitas pelayanan KB, akses pelayanan KB serta sosial budaya. Ekayanti (2005) juga melakukan penelitian tentang tingkat persepsi pria pasangan usia subur terhadap partisipasi pria dalam ber-KB di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan positif antara tingkat pendidikan, pengetahuan, motivasi, pengalaman, sosial budaya, dan nilai-nilai agama yang dianut dengan persepsi pria pasangan usia subur terhadap partisipasi pria dalam ber-KB. Pada ranah keilmuan administrasi negara, Zaeni (2005) dari Magister Ilmu Administrasi Universitas Diponegoro menyoroti implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang. Penelitiannya menyimpulkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan kesertaan KB pria masih menyisakan probelmatika khususnya dalam penyelesaian struktur kelembagaan di kecamatan. Sumberdaya yang masih rendah kualitasnya mengakibatkan menurunnya kualitas kemampuan berkomunikasi bagi penyuluh KB dalam melakukan konseling KB pria. Hanya saja, baik dari tulisan artikel jurnal ilmiah maupun tugas akhir, penelitian yang khusus menyangkut strategi dan standarisasi kelembagaan pelaksana program Keluarga Berencana di level Pemerintah Daerah masih jarang dilakukan, apalagi yang dikaitkan dengan perspektif / tinjauan konsep new public service. Menurut Entjang (Ritonga, 2003 : 87) Program Keluarga Berencana (Family Planning, Planned Parenthood) merupakan suatu usaha untuk menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi. Menurut WHO (Expert Committe, 1970), KB merupakan tindakan yang membantu individu atau pasutri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara kehamilan dan menentukan jumlah anak dalam keluarga. Indonesia menjalankan program KB dengan salah satu tujuannya adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dengan cara pengaturan kelahiran anak, agar diperoleh suatu keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu program KB yang disoroti dalam penelitian ini adalah KB Pria. Metode KB pria ada dua bentuk, yaitu permanen yang dikenal sebagai Metode Operasi Pria serta metode tidak permanen yaitu penggunaan kondom. Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pelayanan Metode Operasi Pria. MOP atau vasketomi, merupakan upaya untuk menghentikan fertilitas dengan metode menggunakan operasi kecil sesuai dengan persyaratan bagi calon akseptor pria yang sudah ditetapkan (Kompas, 9 April 2011). Menurut Utarini (2005:28), penyediaan program KB merupakan salah tugas Negara (baca : pemerintah) dalam menyediakan layanan publik kepada masyarakat. Sesuai dengan tutuntan good governance, penyelenggaraan pelayanan publik ini tidak hanya sebatas kelembagaan melainkan juga terkait dengan program maupun standarisasi yang dijalankan untuk mencapai unsur efektifitas, efisiensi dan transparansi. Dalam ranah keilmuan administrasi negara, konsep layanan publik telah mengalami pergeseran
dari old public administration menjadi new public service. Esensi utama yang terkandung dalam new public service yaitu pengakuan atas warga negara dan posisinya sangat penting bagi pemerintahan demokratis. Jati diri warga negara tidak dipandang persoalan kepentingan pribadi (self interest) semata namun juga melibatkan nilai, kepercayaan, dan kepedulian terhadap orang lain. Warga negara diposisikan pemilik pemerintahan (owners of government) dan mampu bertindak secara bersama-sama mencapai sesuatu yang lebih baik. Kepentingan publik tidak lagi dipandang sebagai agregasi kepentingan pribadi melainkan sebagai hasil dialog dan keterlibatan publik dalam mencari nilai bersama dan kepentingan bersama. Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas melayani masyarakat. Peran pemerintah adalah melayani (serving, tidak lagi steering atau rowing) dan posisi publik bukan lagi sekedar klien atau pelanggan, melainkan sebagai warga negara (citizen). Pelayanan publik muncul dari kebutuhan publik, dan pelaksanaannya merupakan hasil kesepakatan stakeholder. Seluruh proses kerja pelayanan berlandaskan pada aturan hukum, kesepakatan nilai publik, standar profesional dan kepentingan publik. Perspektif new public service yang dilontarkan Denhardt & Denhardt (dalam Puspitosari, 2010 : 60) memiliki beberapa prinsip penting. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1. serve citizens, not customers. Prinsip ini menganggap apa yang menjadi kepentingan publik merupakan hasil dialog, bukan sekedar agregasi kepentingan individual. Pejabat publik tidak hanya merespon kebutuhan publik sebagai pelanggan, melainkan fokus untuk membangun relasi kepercayaan dan kolaborasi dengan warga. Masyarakat adalah warga negara dan bukan pelanggan karena tidak ada owner di dalam proses pemerintahan dan bernegara. Pada dasarnya masyarakat adalah pemilik sah dari negara itu sendiri. 2. Seek public interest, administrator publik harus memberikan kontribusi dalam mengembangkan gagasan tentang kepentingan publik. Tujuan bukan sekedar menemukan solusi cepat yang berdasarkan pilihan individual, tetapi lebih pada bagaimana menciptakan apa yang menjadi kepentingan bersama sekaligus tanggungjawab bersama. Prinsip ini mengutamakan kepentingan publik bukan privat. 3. citizenship over entrepreneurship, prinsip ini mengutamakan agar lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan. Kepentingan publik lebih baik apabila ditunjukkan dalam komitmen pejabat publik membuat kontribusi bermakna ketimbang kepiawaian pejabat dalam mengembangkan dirinya sendiri. 4. Think strategically, act democratically. Kebijakan publik dan program merupakan upaya pemenuhan kebutuhan publik dan dicapai efektif melalui usaha kolaboratif. 5. Recognize that accountability not simple, dalam perspektif ini abdi masyarakat harus mematuhi peraturan perundangundangan, nilai-nilai kemasyarakatan, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara. 6. Serve rather than steer, pejabat publik membantu masyarakat mengartikulasikan apa yang menjadi kepentingan bersama daripada mengendalikan atau mengarahkan publik. 7. Value people, not just productivity, organisasi publik akan berhasil secara jangka panjang bila bekerja secara kolaboratif dan berdasarkan kepemimpinan kolektif dengan menghargai semua masyarakat. Sebagai bagian masyarakat dunia pada prinsipnya administrasi negara di Indonesia juga mengalami perkembangan dan pergeseran paradigma mengikuti fenomena global. Dalam konteks kekinian, praktek administrasi negara telah mengarah pada prinsip-prinsip paradigma new public service. Pada paradigma new public service ini
komponen terpenting yang harus diperhatikan adalah adanya program dan standarisasi. Program dan standarisasi kelembagaan yang terkelola secara kolaboratif dengan masyarakat dan tentunya tetap menempatkan masyarakat sebagai warga negara (Thoha, 2008: 32). Ratminto (2006) mengemukakan strategi sebagai cara mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang dijabarkan ke dalam kebijakan dan program. Strategi merupakan faktor penting proses perencanaan stratejik, sebab strategi merupakan rencana menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya organisasi dan keadaan lingkungan. Penjabaran pertama strategi adalah kebijakan, yaitu ketentuan yang ditetapkan menjadi pedoman, pegangan atau petunjuk dalam pelaksanaan program dan kegiatan, guna kelancaran dan keterpaduan dalam perwujudan sasaran, tujuan, dan misi organisasi. Strategi erat kaitannya dengan program, yaitu kumpulan kegiatan sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil yang diIaksanakan instansi pemerintah guna mencapai sasaran tertentu sesuai indikator sasaran yang telah ditetapkan. Strategi pada penelitian ini adalah strategi yang dijalankan lembaga pemerintah dalam penanganan program keluarga berencana. Standar adalah tingkat minimum yang jika dicapai kemungkinan besar akan menimbulkan kepuasan bagi pelanggan/masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 dijelaskan bahwa standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Schroeder (dalam Ratminto, 2006 : 28) menegaskan standar dalam pelayanan publik akan memberikan manfaat mengurangi variasi proses, memenuhi persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Standar menjamin keselamatan pemakai layanan dan petugas penyedia pelayanan. Dengan dikuranginya variasi pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan publik, mengurangi terjadinya kesalahan, meningkatkan efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan. Dikenal tiga jenis standar (Donabedian dalam ratminto, 2006 : 31), yaitu: Pertama, standar struktur, yang meliputi sumberdaya manusia, uang, material, peralatan, dan mesin; Kedua, standar proses yang merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan dalam pelayanan, dan Ketiga, standar hasil yang merupakan hasil (outcome) yang diharapkan. Burill dan Ledolter membedakan standar menjadi dua, yaitu: Pertama, standar eksternal merupakan standar yang disusun oleh pihak di luar organisasi pelayanan, dan kedua, standar internal yang disusun sendiri oleh organisasi pelayanan dengan dasar bukti, referensi, dan kondisi organisasi. Sedangkan, proses penyusunan standar meliputi empat langkah utama, yaitu: menentukan kebutuhan dan lingkup standar, menyusun standar, menerapkan standar, evaluasi dan pembaharuan (updating) standar. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 pasal 1 ayat 6 mendefinisikan Standar Pelayanan Minimal sebagai mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diterima setiap warga secara minimal. Pengertian SPM mengacu Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 yang menegaskan setiap jenis pelayanan harus jelas tolok ukurnya yang disebut dengan indikator SPM. Indikator SPM adalah tolok ukur
prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian SPM. Indikator tersebut berupa masukan, proses, keluaran, hasil dan atau manfaat pelayanan dasar. Tiap indikator harus jelas standar capaiannya (threshold) yang dalam Permendagri disebut nilai (Hakim, 2011 : 24). Standar Pelayanan Minimal merupakan janji satuan kerja dalam menyediakan pelayanan wajib kepada masyarakat yang dilayani. Standar pelayanan minimal dari seluruh SKPD dan satuan kerja yang memberikan pelayanan publik menjadi indikator (tolok ukur) yang disusun sejalan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) dan rencana stratejik daerah yang merupakan janji kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat yang ada di wilayah kerja. Pemerintah Daerah berdasarkan standar pelayanan minimal mengupayakan sumber daya dan fasilitasi proses pelayanan satuan kerja agar standar pelayanan minimal yang dijanjikan dapat dipenuhi (Thoha, 2008 : 71).
E. Hasil Penelitian Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2011 adalah 531.924 dengan rincian 272823 pria dan 259101 perempuan. Angka kepadatan penduduk Kota Denpasar yaitu rata-rata mencapai 4163 jiwa per km persegi. Mengingat angka kepadatan penduduk di Kota Denpasar tertinggi diantara kabupaten lain di Provinsi Bali, maka diperlukan adanya pengendalian kependudukan yang salah satunya ditempuh dengan pemberian pelayanan KB. Persepsi pelaku pembangunan maupun masyakarat di daerah terhadap program KB sebagian besar masih menganggap badan-badan penyelenggara program Keluarga Berencana sebagai instansi (institusi) yang tidak menghasilkan, padahal program KB merupakan insvestasi jangka panjang. Berangkat dari kepentingan inilah maka Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Kota Denpasar memiliki kepentingan strategi menjalankan optimalisasi program keluarga berencana. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB) Kota Denpasar merupakan institusi penyelenggara layanan publik keluarga berencana, termasuk menjalankan program KB metode operasi pria / vasektomi. Institusi ini menjalankan kemitraan kerja antara daerah (baca : Pemerintah Kota) dengan instansi vertikalnya yaitu BKKBN Provinsi Bali. Tugas pokok dan fungsi BP2KB menjalankan keseluruhan program KB baik akseptor perempuan maupun laki-laki (Giriyasa & Wijaya, wawancara 2012). 1. Program Umum BP2KB Tupoksi yang dijalankan BP2KB terkait program KB secara umum antara lain pembinaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran, ketahanan keluarga dan pemberdayaan keluarga. BP2KB menerapkan ukuran kinerjanya melalui Komitmen Kinerja Program (KKP). Standarisasi KKP yang dijalankan BP2KB Kota Denpasar mencakup beberapa program umum (Giriyasa, wawancara 2012). Pertama, Program Generasi Berencana (Genre). Sasaran program ini kalangan remaja dengan strategi penyuluhan ke sekolah maupun Seka Truna Truni (STT) pada semua desa terkait program ini. Tujuan program mengajak remaja menikah sesuai umur, memprioritaskan pendidikan serta pekerjaan. Kedua, Program Pengaturan Kelahiran. Program ini bertujuan memantapkan jarak kelahiran agar orang tua dapat memberi kasih sayang yang cukup kepada anak. Jarak minimal antar anak 3-4 tahun sehingga ibu menyusui buah hatinya minimal umur 2 tahun agar pertumbuhan anak lebih baik. Ketiga, Program Ketahanan Keluarga, yang terbagi atas ; Bina Keluarga Balita dengan program pengenalan lingkungan kepada balita yang bekerja sama dengan PAUD dan dilaksanakan
di setiap kelurahan. Balita dikelompokkan sesuai umur dan diberikan pendidikan sesuai tingkatan umur; Bina Keluarga Remaja yaitu penyuluhan ke setiap sekolah maupun Seka Truna Truni yang terdapat di Kota Denpasar. Program ini sama dengan program pendewasaan usia kawin dan memberikan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi; Bina Keluarga Lansia di setiap desa / banjar yang bekerjasama dengan aparat desa dan membentuk panitia khusus penanganan kegiatan lansia seperti senam lansia atau perawatan kesehatan lansia. Ketiga, Pemberdayaan Keluarga kurang mampu dan anggota keluarganya tidak memiliki pekerjaan namun mempunyai keahlian. Pada program ini, BP2KB Pemerintah Kota Denpasar melakukan fasilitasi berupa pelatihan dengan pengelompokan sesuai keahlian akseptor melalui pembentukan UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). Akseptor KB yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, dibentuk dalam kelompok yang dapat menghasilkan ekonomi produktif berupa barang dan bernilai jual dengan pendampingan bantuan modal usaha dari Pemerintah Kota Denpasar, seperti kelompok pembuat canang, jajanan banten, pembuat porosan, pembuatan nasi tumpeng serta keahlian lain yang menopang penghasilan keluarga dan setiap akhir tahun dilombakan di tingkat kota. 2. Komitmen Kinerja Program (KKP) Penetapan ukuran kinerja yang ditetapkan melalui institusi penyelenggara program KB di Kota Denpasar adalah Komitmen Kinerja Program (KKP) dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Pemerintah Kota Denpasar. KKP merupakan wujud strategi pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang dijabarkan ke dalam kebijakan dan program (Ratminto, 2006). Strategi merupakan rencana menyeluruh dan terpadu untuk mewujudkan tujuan dan sasaran dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya organisasi dan keadaan lingkungan, khususnya dalam aplikasi program vasektomi Metode Operasi Pria (MOP) di (BP2KB). Meski penentuannya bermitra dengan instansi vertikal (dekonsentrasi), yaitu BKKBN Provinsi Bali, namun target capaian nya disesuaikan dengan kalkulasi kondisi ketersediaan SDM pelaksana dan proyeksi kinerja yang ada di tingkat Kota. Kisaran capaian inilah yang menjadi standar minimum yang capaiannya dianggap akan menimbulkan kepuasan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 standar mancakup spesifikasi teknis yang dibakukan termasuk tata cara dan metoda yang disusun berdasarkan konsensus pihak terkait (Ratminto, 2006). Pencapaian target akseptor dalam KKP setiap tahun mengalami penambahan, mengikuti kemampuan instansi pengelola (pelaksana) di tingkat Kota. Jumlah total seluruh peserta vasektomi di Kota Denpasar selama tahun 2011 hingga 2012 (sampai bulan Agustus) sebanyak 70 orang. Penyesuaian jumlah akseptor dengan target KKP program vasektomi masih dinilai berhasil dengan capaian sebesar 70%. KKP ini dijadikan dasar bekerja bagi BP2KB Kota Denpasar di lapangan sekaligus standarisasi kinerja minimal yang ditargetkan tercapai dalam kurun waktu satu tahun (Giriyasa, wawancara 2012). Pada pola pelaksanaannya, penetapan KKP di Kota Denpasar secara langsung menjadi standar aksi bagi BP2KB termasuk penatapannya bagi realisasi kinerja di setiap kecamatan yang tersebar di wilayah Kota Denpasar. Sesuai PP No. 65 Tahun 2005 pasal 1 ayat 6, KKP BP2KB Kota Denpasar adalah Standar Pelayanan Minimal yang indikatornya merujuk tolok ukur prestasi kuantitatif yang digunakan menggambarkan
besaran sasaran yang dipenuhi pada pencapaian SPM. Indikator tersebut lebih dalam bentuk keluaran pelayanan dasar. Tiap angka dan standar indikator jelas capaiannya (threshold) melalui baseline minimal nilai yang dalam hal ini ditetapkan instansi pelaksana BP2KB Kota Denpasar maupun mitra instansi vertikal, BKKBN Provinsi Bali (Hakim, 2011 : 24). KKP merujuk Permendagri Nomor 6 Tahun 2007 adalah realisasi standar pelayanan minimal yang merupakan janji satuan kerja dalam penyediaan pelayanan wajib kepada masyarakat. Standar pelayanan minimal dari SKPD BP2KB menyusun indikator (tolok ukur) sejalan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Denpasar Tahun 2010-2015, khususnya pencapaian sasaran terkendalinya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya keluarga berencana yang ditandai dengan meningkatnya peserta KB pria; serta arah kebijakan penguatan kelembagaan dan jejaring pelayanan KB bekerjasama dengan masyarakat luas dalam upaya pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dan pembudayaan keluarga kecil berkualitas (RPJMD Kota Denpasar Tahun 2010-2015). Standar ini merupakan janji kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat yang ada di wilayah kerja. Pemerintah Kota Denpasar melalui BP2KB berdasarkan standar pelayanan minimal mengupayakan sumber daya dan fasilitasi proses pelayanan satuan kerja agar standar pelayanan minimal yang dijanjikan dapat dipenuhi (Thoha, 2008). 3. Strategi Pencapaian Sasaran dan Hambatan Strategi merupakan cara mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Strategi awal peningkatan peran akseptor pria dalam Metode Oprasi Pria (MOP) yang dijalankan BP2KB adalah sosialisasi (Giriyasa, wawancara 2012). Sosialisasi ditempuh melalui penyuluhan di kalangan pria pasangan usia subur, terlebih pada pasangan dimana pihak istri tidak cocok program KB sehingga pihak laki-laki atau suami yang dianjurkan berKB. Strategi berikutnya penyuluhan media KIE (Komunikasi Informasi Edukatif). Strategi ini mengajak akseptor yang sudah ikut program vasektomi diundang memberikan penyuluhan. Teknik ini dijalankan dengan anggapan peserta yang belum tahu mengenai vaksektomi lebih percaya dengan keterangan yang diberikan akseptor yang berpengalaman mengikuti program vasektomi. Standar layanan program ini dijalankan mengingat masih beragamnya hambatan yang terjadi di lapangan. Terdapat beragam hambatan terkait dengan program vasektomi (Giriyasa & Wijaya, wawancara 2012). Pertama, hambatan sosial budaya yaitu menguatnya sistem patrilinial yang masih kental di Bali. Kedua, ketidakimbangan gender dalam rumah tangga, dimana istri sering mengalah mengikuti program KB dengan pertimbangan tidak mau mengorbankan (mempersulit) pihak laki-laki (suami). Ketiga, rumor masyarakat yang tidak bisa dihindari, seperti anggapan vasektomi merupakan operasi besar, padahal faktanya operasi kecil yang tidak membutuhkan banyak alat medis serta waktu operasi relatif singkat. Rumor vasektomi identik dengan kebiri (kastrasi) yang memotong buah zakar sehingga tidak dapat memproduksi sperma dan hormon testosteron akibatnya pria menjadi kewanita-wanitaan, padahal faktanya vasektomi hanya pemotongan saluran sperma agar cairan mani yg dikeluarkan saat ejakulasi tidak mengandung sperma. Keempat, rumor menurunnya libido seks dimana faktanya libido (nafsu seks) karena buah zakar yang menghasilkan hormon testosteron tetap berfungsi baik dan
hormon tersebut tetap dialirkan melalui pembuluh darah. Kelima, rumor vasektomi menyebabkan pria tidak jantan atau tidak bisa ejakulasi meski faktanya seorang pria yg telah di vasektomi pada saat ejakulasi tidak akan merasakan perbedaan dengan sebelumnya sebab cairan mani tetap dikeluarkan (disemprotkan) seperti sebelumnya, tetapi tidak mengandung spermatozoa. Keenam, rumor vasektomi dianggap mengakibatkan perselingkuhan, meski alasan vasektomi selain tidak ingin anak lagi, salah satu persyaratan yang ditentukan adalah mendapat persetujuan istri melalui penandatangan imform consent (surat persetujuan) dari pihak istri, sehingga peserta vasektomi merupakan suami yang bertanggungjawab dengan tujuan yang baik dan bukan maksud lain. Kondisi inilah yang mendorong pihak BP2KB Kota Denpasar mengintensifkan peran sosialisasi (penyuluhan) tidak hanya pada forum formal saja, melainkan juga komunikasi interpersonal dengan metode komunikasi langsung (tatap muka) dengan pasangan suami-istri usia subur. 4. Strategi New Public Service (NPS) Salah satu karakteristik konsep new public service (NPS) yang diterapkan adalah standarisasi layanan melalui pemenuhan kebutuhan publik yang dicapai secara efektif dengan usaha kolaboratif. Aktualisasi dari karakteristik ini adalah mendekatkan aksesibilitas layanan kepada stakeholder, peserta program KB vasektomi. Beberapa langkah ditempuh Pemerintah Kota Denpasar melalui penyediaan mobil unit pelayanan KB keliling.
Gambar 1 Mobil Layanan KB
Mobil layanan ini dilakukan secara kolaborasi dengan institusi mitra vertikal, yaitu BKKBN Provinsi Bali dengan jadwal keliling di seluruh Bali, termasuk areal wilayah Kota Denpasar sebanyak 5 kali dan frekuensi jadwalnya bisa bertambah sesuai jumlah peserta yang menerima atau menjalankan program KB Vasektomi. Layanan mobil KB keliling sekaligus terdapat dokter spesialis bedah (Giriyasa & Wijaya, wawancara 2012).
Karakteristik lain yang dijalankan oleh adalah jaminan akuntabilitas atas capaian kinerja layanan melalui komitmen pejabat publik serta pemberlakuan standar profesional. Aktualisasi atas karakteristik ini adalah penerbitan Surat Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/413/HK/2012 tentang Penetapan Nama Penerima Penghargaan Vasektomi dalam Rangka Pembinaan Keluarga Berencana di Kota Denpasar Tahun 2011. SK Walikota ini sekaligus aktualitas atas jaminan aspek transparansi dan keterbukaan (fairness) dimana nama-nama akseptor sekaligus besaran reward yang diberikan terlegalisasi secara transparan. Setiap akseptor vasektomi MOP diberikan penghargaan berupa insentif dengan besaran Rp. 750.000,-/ akseptor. Reward lain yang diberikan Pemerintah Kota Denpasar berupa pemberian insentif kepada penggerak atau pengajak akseptor vasektomi MOP sebesar Rp. 100.000,-. Penghargaan ini juga ditambah dari pihak instansi vertikal yaitu BKKBN Provinsi yang tujuannya mensosialisasikan kesadaran ber-KB Vasektomi di kalangan pria. Dasar pemberian insentif ini didasarkan pada motivasi terpenuhinya target pelaksanaan program KB (SK Walikota 2012) juga didasarkan atas kompensasi sebagai masa penyembuhan selama dua hari (Giriyasa, wawancara 2012). Gambar 2 Ketersediaan Dokter Spesialis di Layanan Mobil Keliling
Jumlah sebaran akseptor terbesar di wilayah Kota Denpasar adalah di wilayah Tegal Arum dan Denpasar Barat. Penghargaan kepada institusi (kelembagaan) ditunjukkan pula dengan pemberian reward oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota/Kabupaten atas pencapaian Komitmen Kinerja Program MOP Vasektomi tertinggi. Komitmen Kinerja Program (KKP) yang ditetapkan instansi vertikal, BKKBN Provinsi Bali, berjumlah 40 orang di tahun 2012 dan kondisi ini bertambah dari target 2011 yang berjumlah 30 peserta. Apabila capaian target terlampaui maka angka capaian dalam KKP akan ditambahkan dengan aspek penyesuaian dari BKKBN Provinsi (Wijaya, wawancara 2012). Optimalisasi layanan yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar, melalui BP2KB lainnya adalah penyediaan sarana prasarana pelayanan seperti vasektomi KIT (alat-alat
atau sarana operasi); serta peningkatan keterampilan provider melalui pelatihan training of trainers (ToT) yang penganggarannya dijamin pengeluaran rutin SKPD BP2KB Tahun Anggaran 2011 dan 2012 (Giriyasa, wawancara 2012). Langkah optimalisasi layanan ini merupakan karakteristik serve rather than steer, dimana pejabat publik (baca : birokrasi pelaksana) membantu masyarakat mengartikulasikan nilai (values) kepentingan bersama daripada sekedar mengarahkan publik warganya. Hal ini terlihat dari usaha training of trainers (ToT) dengan merekrut akseptor vasektomi aktif untuk berbagi pengalaman dengan orang lain (calon akseptor lain) mengingat pelaku vasektomi lebih dipercaya dari pada instansi pemerintah yang melakukan sosialsasi. Saat hal ini dijalankan maka Pemerintah Kota Denpasar menjalankan karakteristik value people, not just productivity, dimana organisasi publik pelaksana program vasektomi MOP, yaitu BP2KB, berhasil meletakkan dasar pondasi program yang bisa berjalan secara jangka panjang dengan mengadakan usaha kolaboratif untuk ketercapaian program yang tidak sekedar instruktif, melainkan tetap memposisikan penghargaan kepada partisipasi warganya. Prinsip new public service lain yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Denpasar terkait program vasektomi MOP adalah karakteristik serve rather than steer, dimana pejabat publik (baca : birokrasi pelaksana) membantu masyarakat mengartikulasikan nilai (values) kepentingan bersama daripada sekedar mengarahkan publik warganya. Hal ini terlihat dari usaha training of trainers (ToT) dengan merekrut para akseptor vasektomi aktif yang mau berbagi pengalaman dengan orang lain mengingat pelaku vasektomi jauh lebih dipercaya dari pada pemerintah maupun instansi pemerintah yang lainnya. Saat hal ini dijalankan maka Pemerintah Kota Denpasar menjalankan karakteristik value people, not just productivity, dimana organisasi publik pelaksana program vasektomi MOP yaitu BP2KB berhasil secara jangka panjang dengan mengadakan usaha kolaboratif dengan dasar ketercapain program yang tidak sekedar instruktif melainkan memposisikan penghargaan kepada elemen warganya. 5. Tanggapan Pelanggan Layanan Publik Salah satu karakteristik New Public Service adalah kepuasaan warga atas layanan publik sebagai derivat serve citizens. Prinsip ini menganggap layanan publik sebagai proses pelibatan dua pihak secara partisipatif dengan berlandaskan pada relasi kepercayaan sekaligus kolaborasi dengan warga. Pelanggan layanan dalam konteks penelitian ini adalah akseptor vasektomi. Narasumber pertama, I Wayan Sinta mengemukakan kepuasaannya dengan layanan yang diberikan pihak BP2KB termasuk standarisasi layanan yang dijalankannya. Latar belakang pria berusia 54 tahun ini mengikuti vasektomi karena alasan kesejahteraan dan kesetaraan gender dalam partisipasi ber-KB. Alasan kesejahteraan dilandaskan pada alasan agar tidak memiliki anak lagi setelah dirinya memiliki lima anak serta faktor kenyamanan berhubungan suami istri (Sinta, wawancara 2012). Istri Wayan Sinta mengalami ketidakcocokan dengan program KB suntik serta KB spiral dianggap menimbulkan ketidaknyamanan dalam berhubungan. Untuk alasan kesetaraan gender, Wayan Sinta berkomitmen tidak mau membebani program KB hanya pada pihak perempuan, yaitu istrinya, sehingga akhirnya memilih mengikuti vasektomi (Sinta, wawancara 2012). Tingkat kepuasan pelayanan BP2KB yang dirasakan Wayan Sinta lebih kepada pelayanan gratis dan pemberian penghargaan (reward) yang transparan oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar.
Alasan sama dikemukakan narasumber kedua, akseptor Aryo Kusuma Wardana, dimana keikutsertaannya dalam program KB adalah penghargaan pada istri yang resisten efek samping terhadap penggunaan alat-alat KB. Atas pertimbangan kesetaraan partisipasi ber- KB dan kesejahteraan keluarga karena memiliki anak yang cukup maka Aryo memutuskan mengikuti program Vasektomi (Wardana, wawancara 2012). Kepuasan penyelenggaraan layanan BP2KB Kota Denpasar sama dengan narasumber pertama, dimana insentif yang transparan dan aksesbilitas layanan yang mudah dijangkau menjadi alasan utama keikutsertaannya dalam ber KB. Program akseptor mengajak partisipasi warga yang lain dengan pemberian insentif secara transparan juga mendorong semangat akseptor, termasuk Wayan Sinta dan Aryo Kusuma bersemangat mengadakan penyuluhan di masing-masing banjar agar warga tertarik mengikuti program vasektomi. Kegiatan pemberian brosur dan penyuluhan di tingkat banjar dilakukan Wayan Sinta dan Aryo Kusuma Wardana untuk menarik partisipasi warga di Desa Tegal Arum dan Desa Tegal Kerta untuk ber vasektomi (Sinta & Wardana, Wawancara 2012). Pemikirannya, akseptor vasektomi aktif yang berbagi pengalaman lebih dapat dipercaya dari pada penyuluhan yang dilakukan instansi pemerintah. Kegiatan yang dijalankan para akseptor ini mencerminkan bahwa program KB yang dijalankan lebih mengarah pada karakteristik seek public interest, dimana birokrat daerah pelaksana memberikan kontribusi dalam pengembangan gagasan tentang kepentingan publik. Tidak sekedar menemukan solusi cepat berdasarkan pilihan individual, melainkan kemampuan menciptakan kepentingan bersama yang sekaligus menjadi tanggungjawab bersama. Pemaknaannya program yang dilakukan Pemerintah Kota Denpasar, melalui BP2KB, bukan semata-mata state bureaucratic approach melainkan civil society approach dengan memperluas sekaligus mengoptimalkan peran serta warga dalam pelayanan publik. Standar program yang disenergikan dengan capaian pada KKP ini memiliki fleksibilitas dalam proses pendekatan maupun pendataannya, seperti perkumpulan di tingkat banjar, pendaftaran di rumah akseptor yang sudah dianggap berhasil, serta penyepakatan untuk mendatangkan motivator pada lokasi serta waktu dilaksanakannya penyuluhan secara bersama-sama. F. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BP2KB) Kota Denpasar merupakan institusi penyelenggara layanan publik keluarga berencana, program KB metode operasi pria / vasektomi. Penetapan ukuran kinerja ditetapkan melalui Komitmen Kinerja Program (KKP). KKP merupakan wujud strategi pencapaian tujuan dan sasaran organisasi yang dijabarkan ke dalam kebijakan dan program. Pada pola pelaksanaannya, penetapan KKP di Kota Denpasar menjadi standar aksi bagi BP2KB bagi realisasi kinerja di setiap kecamatan yang tersebar di wilayah Kota Denpasar. Strategi awal peningkatan peran akseptor pria dalam Metode Oprasi Pria (MOP) yang dijalankan BP2KB adalah sosialisasi penyuluhan di kalangan pria pasangan usia subur dimana pihak istri tidak cocok program KB sehingga pihak laki-laki atau suami yang dianjurkan ber-KB. Strategi berikutnya penyuluhan media KIE (Komunikasi Informasi Edukatif). Karakteristik konsep new public service (NPS) yang diterapkan
adalah standarisasi layanan melalui pemenuhan kebutuhan publik yang dicapai secara efektif dengan usaha kolaboratif. Langkah ditempuh Pemerintah Kota Denpasar melalui penyediaan mobil unit pelayanan KB keliling. Karakteristik lain adalah jaminan akuntabilitas atas capaian kinerja layanan melalui penerbitan Surat Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/413/HK/2012. Langkah optimalisasi layanan serve rather than steer, juga diwujudkan melalui training of trainers (ToT) dengan merekrut akseptor vasektomi aktif untuk berbagi pengalaman dengan orang lain (calon akseptor lain) mengingat pelaku vasektomi lebih dipercaya dari pada instansi pemerintah yang melakukan sosialisasi. Pemerintah Kota Denpasar menjalankan karakteristik value people, not just productivity, dimana organisasi publik pelaksana program vasektomi MOP, yaitu BP2KB, berhasil meletakkan dasar pondasi program yang bisa berjalan secara jangka panjang dengan mengadakan usaha kolaboratif untuk ketercapaian program yang tidak sekedar instruktif, melainkan tetap memposisikan penghargaan kepada partisipasi warga. 2. Saran Pemerintah Kota Denpasar hendaknya tetap berkomitmen mengedepankan program Keluarga Berencana dan memegang teguh paradigma bahwa keberhasilan atas program ini akan menentukan tingkat kesejahteraan penduduk. Selain itu, Pemerintah Kota Denpasar melalui Badan Pemberdayaan Perempuan harus senantiasa mengedepankan layanan yang berprespektif new public service. Pemimpin daerah harus senantiasa memotivasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dan Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di wilayahnya tetap konsisten menjabarkan dan melaksanakan program pembangunan yang berorientasi pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Hal ini mengingat dokumen ini merupakan acuan kinerja yang diharapkan tetap terjaga kesinambungannya dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan. Setiap unit kinerja yang ada senantiasa berkomitmen melalui standar-standar yang terukur. Pemimpin daerah harus bisa membuat kontrak kinerja dan menegakkan capaian minimal pelayanan publik yang harus dicapai oleh unit-unit kerja yang ada mengingat kontrak ini merupakan janji kinerja pemerintah daerah terhadap masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
DAFTAR PUSTAKA -
-
BKKBN, 2000, Pedoman Penggarapan Peningkatan Partisipasi Pria dalam Program KB dan Kesehatan Reproduksi yang Berwawasan Gender :Jakarta; Ekarini, Sri Madya Bhakti, 2008, Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro : Semarang; Ekayanti, Ni Wayan Dian, 2005, Tingkat Persepsi Pria Pasangan Usia Subur terhadap Partisipasi Pria dalam ber-KB di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Unud : Denpasar;
-
-
-
-
Hakim, Lukman, EM, 2011. Pengantar Administrasi Pembangunan. Ar-Ruzz Media : Yogyakarta; Kompas, 3 Agustus 2005, Ledakan Penduduk Kompas, 9 April 2011 Metode KB Kebiri ala Vasektomi pada Pria ( 18+); KompasGramedia : Jakarta; Maltus, Tomas, Julian Huxley, Frederick Osborn, 2004, Ledakan penduduk Dunia (Terjemahan), Yayasan Nuansa Cendekia : Bandung; Mantra, Ida Bagus, 2004, Demografi Umum, Cetakan III, Pustaka Pelajar : Jogyakarta; Metrotvnews.com, 8 Februari 2012, Pemerintah Daerah Banyak yang Lupakan Program KB 22:41 WIB; Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif: Bandung : Rosdakarya; Puspitosari, Heni, 2010, Filsafat Pelayanan Publik, Averoes Press : Malang Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2006, Manajemen Pelayanan (Pengembangan model konseptual, penerapan citizens charter dan standar pelayanan), Pustaka Pelajar ; Yogyakarta; Ritonga, A. 2003, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara : Medan; Suyono, Haryono, Menjadikan Hari Keluarga Nasional Sebagai Momentum Pemberdayaan Keluarga Kurang Mampu, Majalah Gemari, Edisi 53/Tahun VI/Juni 2005; Thoha, Miftah, 2008, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media : Jakarta; Utarini, Adi, 2005, Desentralisasi Kesehatan di Indonesia dan Perubahan Fungsi Pemerintah, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta; Zaeni, Akhmad, 2005, Implementasi Kebijakan Peningkatan Kesertaan KB Pria di Kecamatan Gringsing, Kabupaten Batang, Magister Ilmu Administrasi Universitas Diponegoro : Semarang Wawancara Ka.Sub Bid Program dan Kerjasama BKKBN Bali Drs Ida Bagus Rai Wijaya; Kepala bidang Pengerakan Masyarakat Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan kota Denpasar, Drs. Ida Bagus Giriyasa; Akseptor I Wayan Sinta dan Ariyo Kusuma Wardhana Dokumentasi Foto Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Denpasar