ARTIKEL Judul KEUNIKAN SITUS CAGAR BUDAYA DI PURA LUHUR GONJENG DESA KUKUH, MARGA, TABANAN, BALI (Identifikasi Artefaktual Dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Di SMA) Oleh
NI NYOMAN TRI CAHYANI NIM. 1014021030
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
1
KEUNIKAN SITUS CAGAR BUDAYA DI PURA LUHUR GONJENG DESA KUKUH, MARGA, TABANAN, BALI (Identifikasi Artefaktual Dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Di SMA) Oleh : Ni Nyoman Tri Cahyani1, Ketut Sedana Arta, S.Pd, M.Pd1, Dra,Desak Made Oka Purnawati, M. Hum2 Mahasiswa jurusan pendidikan sejarah, universitas pendidikan ganesha, singaraja e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] @undiksha.ac.id
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Peninggalan artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng; (2) fungsi artefak-artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng bagi masyarakat Desa Pakraman Kukuh dan sekitarnya; dan (3) peluang untuk memanfaatkan artefak-artefak di Pura Luhur Gonjeng sebagai sumber belajar sejarah di SMA. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu: (1) teknik penentuan informan; (2) teknik pengumpulan data (observasi, wawancara dan studi dokumen); (3) teknik pengolahan data/analisis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, (1) ada lima peninggalan yang ada di Pura Luhur Gonjeng, yaitu Lingga Yoni, Arca kuno, Prasasti, Uang Kepeng, dan Batu Megalit, (2) Lingga dan Yoni berfungsi sebagai tempat spiritual yang sangat tinggi seperti tempat pemujaan dewa kesuburan dan tempat untuk meminta sentana(anak) dan tamba (obat), Arca Kuno berfungsi sebagai media untuk meminta kesaktian dan juga sebagai penjaga kesakralan pura Luhur Gonjeng, Prasasti berfungsi adalah sebagai bukti autentik tentang perjalanan Anak Agung Anom sampai dengan membangun Pura Luhur Gonjeng, Uang Kepeng berfungsi sebagai perlengkapan upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya, Batu Megalit berfungsi sebagai media pemujaan masyarakat Desa Kukuh dan sekitarnya, (3) aspekaspek yang terdapat pada peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah di SMA yaitu, aspek bentuk fisik bangunan, aspek historis, aspek riligius, dan aspek budaya.
Kata Kunci: Peninggalan, Sumber belajar.
2
ABSTRACT This research aimed at finding out (1) The artifacts heritage in Luhur Gonjeng Temple ; (2) The function of the artifacts for Kukuh village community and surrounding ; and (3) The opportunity to utilize the artifacts in Luhur Gonjeng temple as source in history in high school. This research used qualitative research method : (1) determination of informants technique ; (2) data collection technique (observation, interview and study documents) ; (3) data processing/data analysis. The results of the study showed that ; (1) there are five existing relics in Luhur Gonjeng temple are Lingga and Yoni, Arca kuno, Prasasti, Uang Kepeng and Batu Megalit ; (2) the function of Lingga and Yoni as high spiritual place and place for request sentana (child) and tamba (medicine), the function of ancient statues as media to ask the magic and also to keep the sanctity of Luhur Gonjeng temple, the function of inscription as authentic avidence about the trip of Anak Agung Anom to built the Luhur Gonjeng temple, the function of Pis Bolong as equipment for Dewa Yanya ceremony, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, and Bhuta Yadnya, the function of Batu Megalit as media for public worship in Kukuh village, (3) aspects contained in the relics of cultural heritage of Luhur Gonjeng temple can be developed to be source in history in high school there are the physical form of the building aspects, history aspects, religious aspects and cultural aspects.
Key words : heritage, source of teaching
3
Bali memiliki potensi cagar budaya yang kaya dan beragam. Kekayaan cagar budaya Bali ditunjukkan oleh hasil inventarisasi yang telah dilakukan oleh BP3 wilayah Bali, NTB, NTT sampai tahun 2010 berjumlah 502 situs. Situs-situs yang telah diinventarisasi mengandung benda-benda cagar budaya yang beragam baik dilihat dari sifat, jenis, maupun bentuknya (Laksmi, dkk, 2011: 19). Benda-benda cagar budaya tersebut pada umumnya sangat dijaga oleh masyarakat Bali karena sudah menyatu dengan kehidupan sosial maupun ritualritual keagamaan masyarakat Bali. Pada umumnya dalam pura-pura di Bali banyak ditemui peninggalanpeninggalan prasejarah seperti arca, lingga, yoni, menhir dan lain-lain yang letaknya saling berdampingan secara harmonis dengan pelinggih sebagai stana Tuhan, Sunarya (2005: 10-11). Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan dan tradisi pada masa batu besar telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme. Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan memuja roh nenek moyang. Disamping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme. Dinamisme merupakan sebuah sistem yang mempercayai adanya bendabenda tertentu yang diyakini memiliki kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan. Dalam keyakinan umat Hindu di Bali kepercayaan terhadap Animisme dan Dinamisme masih melekat sampai saat ini. Masyarakat telah menjaga kebudayaan dan tradisi yang telah ditinggalkan oleh nenek moyang. Kepercayaan terhadap Dinamisme masih tetep dipegang teguh oleh masyarakat Bali diantaranya adanya kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan gaib, seperti halnya kepercayaan masyarakat kepada benda purbakala yang ditemukan di Pura Luhur Gonjeng di Desa Pakraman Kukuh, Marga, Tabanan berupa Lingga, Yoni dan arca. 4
Peninggalan-peninggalan prasejarah sebenarnya sudah banyak yang mengkaji seperti Kusumawati (2002) yang mengkaji ”Perhiasan Temuan Situs Prasejarah Gilimanuk, Bali”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa temuan perhiasan baik pada kubur-kubur tempayan maupun pada kubur-kubur primer di tanah menunjukkan perbedaan dalam kuantitas dan kualitas bekal kubur antara satu dan lainnya. Perbedaan ini kelihatan cukup menonjol, ada rangka yang memiliki bekal kubur dalam bentuk perhiasan yang cukup banyak dan ada juga yang miskin akan bekal kubur. Sutaba (1994) yang mengkaji ”Bedulu, Desa Wisata Purbakala: Potensi, Masalah, dan Masa Depannya (Gagasan Menuju Sebuah Proyek Percontohan)”. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Desa Bedulu mempunyai 23 buah pura, di antara purapura ini ada 16 pura yang berisi peninggalan purbakala, sedangkan 7 buah pura lainnya tidak mempunyai kekunaan. Benda-benda purbakala tersebut diantaranya berbagai jenis arca, lingga, yoni, relief, batu alam, fragmen, peninggalan-peninggalan megalitik, dan peninggalan non purbakala (seni tari, seni tabuh, anyaman-anyaman lontar seni patung dan sebagainya). Peninggalan yang ada di Pura Luhur Gonjeng berserta keunikannya yang sudah diuraikan sebelumnya, belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal oleh guru atau sekolah sebagai sumber belajar dalam pembelajaran sejarah. Padahal jika dilihat dari keberadaan peninggalan-peninggalan yang ada di Pura Luhur Gonjeng tentunya bisa dipakai sebagai alternatif bagi guru untuk mengajarkan materi pembelajaran sejarah yang lebih efektif dan inovatif. Sehingga perlu dikaji lebih mendalam agar nantinya Pura Luhur Gonjeng dapat bermanfaat dalam proses kegiatan belajar mengajar sebagai sumber pembelajaran sejarah di sekolah. Dengan adanya keunikan berupa peninggalan cagar budaya berupa Lingga, Yoni dan arca, maka peninggalan ini dapat
dimanfaatkan oleh guru atau sekolah sebagai sumber belajar Sejarah di SMA pada kelas X dengan mengacu pada kurikulum 2013. Dengan Kompetensi Inti “Memahami, menerapkan dan menganalisis, pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait dengan fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang sfesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah”. Kemudian, Kompetensi Dasarnya “menganalisis tipologi hasil budaya praaksara Indonesia termasuk yang ada pada lingkungan terdekat siswa”. Berdasarkan beberapa keunikan dan permasalahan yang ditemui pada situs cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dalam mengkaji beberapa aspek tertentu yang tampak pada keberadaan situs cagar budaya ini, sehingga dalam penelitian ini dapat menambah pengetahuan yang berhubungan dengan situs cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng dan manfaatnya bagi masyarakat Desa Pakraman Kukuh pada khususnya dan wilayah Tabanan serta Bali pada umumnya untuk dijadikan sumber belajar Sejarah yang lebih efektif dan inovatif. Adapun judul yang penulis angkat dalam penulisan penelitian adalah Keunikan Situs Cagar Budaya Pura Luhur Gonjeng di Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali (Identifikasi Artefaktual Dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Di SMA). Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui; (1) Peninggalan artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng, (2) fungsi artefak-artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng bagi masyarakat Desa Pakraman Kukuh dan sekitarnya, (3) peluang untuk memanfaatkan artefak-artefak di Pura Luhur Gonjeng sebagai sumber belajar sejarah di
SMA. Kajian teori yang di gunakan dalam penelitian ini menyangkut cagar budaya, peninggalan dan fungsi artefak. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, karena hasil olahan yang diperoleh yaitu dalam bentuk kalimat dari sebuah teori yang selanjutnya dikembangkan dengan sebuah fakta yang pada akhirnya akan ditarik sebuah kesimpulan. Dalam rangka mencapai sasaran, penelitian yang berjudul “Keunikan Situs Cagar Budaya Pura Luhur Gonjeng di Desa Kukuh, Marga, Tabanan (Identifikasi artefaktual dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA)”.menggunakan metode yaitu: (1) teknik penentuan informan, Penentuan informan dalam penelitian ini, dilakukan dengan teknik “purposive sampling”, dengan terlebih dahulu menunjuk informan kunci. Kriteria yang dicapai dalam penentuan informan kunci ini adalah informan memiliki kemampuan menjawab permasalahan yang diajukan oleh peneliti. Informan kunci yang dimaksud disini antara lain adalah Kepala Desa Kukuh, Bendesa Adat, Pemangku, dan Masyarakat Desa Kukuh.; (2) teknik pengumpulan data, Cara untuk pengumpulan data inilah yang disebut sebagai pengumpulan data. Dalam suatu usaha mengumpulkan data ini digunakan beberapa teknik, yaitu : teknik observasi, teknik wawancara, dan studi pustaka/dokumen.; (3) teknik pengolahan data/analisis data. Teknik observasi yaitu teknik yang digunakan untuk mengamati secara langsung terhadap obyek masalah yang akan diteliti untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan masalah yang akan diteliti (Nasution, 1988: 56: 59). HASIL DAN PEMBAHASAN Peninggalan Artefak Di Pura Luhur Gonjeng Peninggalan artefak di pura Luhur Gonjeng akan di bahas berdasarkan 5
temuan benda-benda bersejarah. Adapaun benda-benda tersebut yaitu (1) lingga, yoni, ( 2) Arca, (3) Prasasti, (4) uang kepeng dan keramik cina (mangkuk), (5) Batu megalitik. Secara garis besar peninggalan artefak di pura Luhur Gonjeng dapat dijabarkan sebagai berikut: Pura Luhur Gonjeng merupakan pura peninggalan dari zaman Bali kuno yang didirikan sekitar tahun 1565. Pura Luhur Gonjeng yang terletak di Banjar Lodalang Desa Kukuh, Marga, Kabupaten Tabanan sekitar 5 Km dari kota Kecamatan dan Kabupaten dengan jarak tempuh 15 menit. Pura ini merupakan salah satu Pura yang termasuk sebagai Pura Cagar Budaya. Pura ini menjadi salah Satu Pura Cagar Budaya dikarenakan ditemukan benda-benda purbakala seperti
berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Yoni memiliki arti sebagai simbul dari unsur perempuan yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng juga dipercaya memiliki tuah (kekuatan) dan fungsi yang berbeda oleh masyarakat Desa Kukuh dan sekitarnya. 2) Arca, Arca adalah patung yang terutama dibuat dari batu yang dipahat menyerupai bentuk orang atau binatang (KKBI, 2008: 64). Arca yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng berjumlah duah buah dan memiliki bentuk yang sangat sederhana serta dipahatkan dengan anatomi tubuh tidak lengkap. Berdasarkan Widia dkk, (1990/1991:18) bahwa sesungguhnya sejak zaman prasejarah masyarakat sudah membuat arca sederhana difungsikan sebagai simbol roh nenek moyang atau media pemujaan. Oleh karenanya banyak diketemukan peninggalan arca sederhana yang berasal dari masa megalitik pada tempat-tempat suci seperti di Pura, tak terkecuali di Pura Luhur Gonjeng. Penduduk percaya bahwa arca-arca tersebut dinilai mempunyai kekuatan sakti, religius magis, maka sampai sekarang arca tersebut masih dikeramatkan sesuai dengan kepercayaan masyarakat Bali. Pembuatan arca kuno Di Pura Luhur Gonjeng didasari oleh konsep kekuatan penolak bala yang ditempatkan pada jaba sisi dan jaba tengah di Pura Luhur Gonjeng. Arca kuno ini dipercaya oleh masyarakat setempat mempunyai sifat melindungi kesucian dan kesakralan pura.
Lingga, Yoni, Lingga di Pura Luhur Gonjeng memiliki makna sebagai lambang kesuburun, akan tetapi selain memiliki makna kesuburan Lingga di Pura Luhur Gonjeng juga dipercaya oleh penduduk setempat memiliki fungsi sebagai tempat meminta sentana (keturunan). Lingga di Pura Luhur Gonjeng berjumlah tiga buah, yang kesemuanya tertanam dan sebagian puncaknya menyembul di tanah. Pernyataan di atas dipertegas dengan hasil wawancara dan data dokumen inventaris Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata “Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Bali-NTB-NTT disebutkan, Di Pura Luhur Gonjeng ditemukan benda peninggalan purbakala berupa batu lonjong yang menonjol di tanah, yang oleh penduduk setempat peninggalan tersebut di kenal dengan istilah Lingga. Peninggalan ini sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat karena dipercaya ada Ida Batara yang melinggih/mendiami peninggalan tersebut. Sedangkan Yoni yang ditemukan di Indonesia pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan lubang yang membentuk cerat. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang
3) Prasasti merupakan suatu keputusan atau perintah raja yang harus ditaati oleh masyarakat pada waktu itu (Boechari, 1977: 53; Suarbhawa, 2009: 154). Informasi yang diperoleh berdasarkan data prasasti adalah data yang paling autentik dibandingkan data sejarah lainnya. 6
Prasasti ditulis pada saat peristiwa berlangsung. Pada umumnya prasasti berisi tentang maklumat raja. Prasasti di Pura Luhur Gonjeng berjumlah 26 lembar dan menggunakan bahan dari tembaga. Prasasti ini ditulis dengan aksara Bali dan berbahasa Kawi, masing-masing lempengan memiliki jumlah tulisan 3 baris. Isi dari prasasti ini mengisahkan tentang perjalanan Raja Mengwi yaitu Anak Agung Anom sampai dengan membangun Pura Luhur Gonjeng dengan disertai 60 pengikut 4) Uang kepeng adalah jenis mata uang yang memiliki arti penting bagi kehidupan beragama di Bali khususnya bagi masyarakat penganut Agama Hindu. Melihat kegunaannya uang kepeng (pis bolong) pasti ada pada setiap upacara yang diselenggarakan di Bali baik itu dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Bhuta Yadnya.Pis Bolong yang berbentuk uang logam dengan lubang segi empat di tengah dibuat dari campuran logam seperti perunggu (hitam), tembaga (merah), atau kuningan (kuning). Uang kepeng yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng terbuat berjumlah 33 kepeng. Keadaan uang kepeng tersebut masih dalam keadaan utuh ketika ditemukan dan hingga sekarang masih dijaga oleh masyarakat di Desa Pakraman Kukuh. 5) Batu megalitik, Kebudayaan akan kekuatan gaib dan pemujaan terhadap roh leluhur tampaknya dilanjutkan pada zaman megalitik. Kebudayaan megalitik adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunanbangunan batu besar (Asmito, 1992: 17; Tim Penyusun, 2008:1003; Sagimun, 1987: 33). Jadi pada masa prasejarah di Indonesia berkembang suatu tradisi atau adat kebiasaan mendirikan bangunanbangunan megalitik. Soejono juga memberikan penjelasan tentang pengertian jaman megalitik yaitu suatu tradisi yang menghasilkan batu-batu besar, mengacu pada etimologinya mega berarti besar dan lithos berarti batu (Soejono, 1993: 205).
Batu megalitik yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng berasal dari periode masa prasejarah dan dibuat dari batu alam. Terdapat dua buah batu megalitik di Pura Luhur Gonjeng yang ditempatkan di pelinggih yang berbeda. Batu megalitik yang pertama diletakkan di halaman luar pura, tepatnya diletakkan pada sebuah pelinggih terbuka (bebaturan) dan difungsikan sebagai media pemujaan. Batu megalitik yang kedua ditempatkan di halaman luar di bawah sebuah pohon kunyit dan diletakkan di atas pelinggih tanpa atap (bebaturan). Batu megalitik merupakan salah satu peninggalan jaman prasejarah atau pra aksara yang difungsikan sebagai media penyembahan atau penghormatan kepada roh leluhur. Adanya kpercayaan masyarakat Desa Pakraman Kukuh terkait dengan dewa yang melinggih atau mendiami batu megalitik di Pura Luhur Gonjeng menandakan bahwa adanya akulturasi kepercayaan prasejarah dengan kepercayaan Hindu secara harmonis tanpa menghilangkan makna religius peninggalan tersebut. Fungsi Artefak Di Pura Luhur Gonjeng Bagi Masyarakat Desa Kukuh dan Sekitarnya Eksistensi Pura Luhur Gonjeng memang tidak bisa dilepaskan dari peninggalan-peninggalan cagar budaya yang terdapat di dalamnya. Peninggalanpeninggalan ini bersinergi antara peninggalan jaman prasejarah dengan kebudayaan Hindu yang dilandasi oleh tradisi dan kebudayaan masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Secara garis besar peninggalan-peninggalan yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng memiliki fungsi yang berbeda satu sama lainnya, hal ini tidak bisa dilepaskan dari jiwa jaman ketika peninggalan-peninggalan tersebut dibuat sebagai bentuk penghormatan maupun sebagai media pemujaan kepada roh leluhur maupun Ida Sang Hyang Widhi 7
Wasa. seperti Lingga yang ada di Pura Luhur Gonjeng Lingga Yoni sebagai bentuk sarana pemujaan memiliki fungsi spiritual yang sangat tinggi, dikarenakan pada jaman dahulu terutama pada jaman prasejarah seseorang membuat sebuah sarana pemujaan memiliki tujuan-tujuan tertentu yakni sebagai pemujaan kehadapan Dewa, roh, atau sesuatu yang khusus. Hal ini juga didukung oleh Gie (dalam Dwitayasa, 2010: 146) yang menyatakan bahwa fungsi spiritual bertujuan untuk mendekatkan diri manusia dengan para dewa yang dipujanya. Begitu pula dengan Lingga Yoni pada jaman terdahulu diyakini sebagai benda yang memiliki daya spiritual yang diperuntukan untuk memuja para Dewa sebagai perwujudan Tuhan. Dalam keyakinan umat Hindu di Bali, Lingga Yoni merupakan perlambangan kesuburan. Lingga merupakan simbol purusa (kelaki-lakian), sedangkan Yoni memiliki arti sebagai simbol dari unsur perempuan.Namun, Lingga (simbol laki-laki) dan Yoni (simbul perempuan) yang di temukan di Pura Luhur Gonjeng, memiliki fungsi yang unik dan berbeda, yaitu lingga dipercaya sebagai tempat meminta sentana (anak) dan Yoni sebagai tempat meminta tambe(obat) untuk kesembuhan binatang peliharaan. Lingga yang di temukan di Pura Luhur Gonjeng dipercaya memiliki fungsi sebagai tempat meminta sentana (keturunan). Masyarakat Desa Pakraman Kukuh mempercayai Bhatara yang berstana di pelinggih Lingga ini sangat pemurah. Masyarakat mempercayai berita itu dan datang untuk membuktikannya. Biasanya masyarakat yang datang dan berdoa pada palinggih Lingga adalah pasangan yang belum memiliki keturunan. Banyak pasangan suami istri yang belum memiliki sentana (anak) mendatangi Pura Luhur Gonjeng. Mereka meminta kepada Bhatara yang melinggih (berstana) di Palinggih Lingga agar dikaruniai sentana (keturunan). Permohonan dari pasangan suami istri ini biasanya dikabulkan oleh bhatara yang melinggih di Palinggih Lingga. Karena itu,
8
Lingga di pura Luhur Gonjeng ini menjadi tempat favorit untuk nunas sentana (anak). Sementara itu, Yoni yang memiliki arti sebagai simbul dari unsur perempuan yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng juga dipercaya memiliki tuah (kekuatan) dan fungsi yang berbeda oleh masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Berbeda halnya dengan Lingga, yang dipercaya sebagai tempat untuk meminta sentana (anak), Yoni yang memiliki bentuk seperti lesung ini memiliki fungsi sebagai tempat untuk meminta tambe (obat) bagi binatang peliharaan. Biasanya masyarakat Pakraman kukuh meminta tambe (obat) di Palinggih Yoni Pura Luhur Gonjeng apabila hewan peliharaan mereka grubug (sakit mendadak dalam jumlah banyak). Biasanya masyarakat meminta penawar untuk binatang peliharaan mereka terutama ternak babi. Arca Kuno Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa-dewinya. Arca berbeda dengan patung pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah keindahan. Arca di Pura Luhur Gonjeng berjumlah 2 buah dan memiliki nilai-nilai religious. Kondisi fisik arca-arca di Pura Luhur Gonjeng berbentuk manusia bersimpuh keondisinya masih utuh. Arcaarca ini diletakkan di palinggih yang ada di palinggih pura, satu ditempatkan di palinggih jaba sisi pura dan satunya lagi ditempatkan di palinggih yang ada di jaba tengah pura. Dalam mitologi Hindu arca yang berfungsi sebagai arca penjaga dikenal dengan sebutan Arca Dwarapala. Arca Dwarapala merupakan patung penjaga gerbang atau pintu, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Namun Arca-arca penjaga yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng berbentuk manusia bersimpuh, bentuknya masih sederhana dan diletakkan di palinggih. Arca-arca ini juga menujukkan
kekuatan yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri sehingga muncul arcaarca sebagai media simbol. Prasasti berfungsi Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir dari zaman prasejarah, yakni babakan dalam sejarah kuno Indonesia yang masyarakatnya belum mengenal tulisan, menuju zaman sejarah, dimana masyarakatnya sudah mengenal tulisan. Di antara berbagai sumber sejarah kuno Indonesia, seperti naskah dan berita asing, prasasti dianggap sumber terpenting karena mampu memberikan kronologis suatu peristiwa. Ada banyak hal yang membuat suatu prasasti sangat menguntungkan dunia penelitian masa lampau. Selain mengandung unsur penanggalan, prasasti juga mengungkap sejumlah nama dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan. Prasasti berasal dari bahasa Sansekerta “Pracams” yang berarti to fray atau to proclaim, yaitu memuji atau menyatakan, di India biasanya berbentuk sajak atau puji-pujian kepada Dewa atau Raja, tetapi di Indonesia yang dinamakan prasasti adalah semua keterangan tertulis pada sesuatu bidang, yang diperuntukkan peresmian suatu peristiwa (Soerjono, dkk, 1993: 265). Secara umum fungsi prasasti adalah sebagai bukti autentik tentang kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat pada masa lampau yang tidak lepas dari kehidupan serta kekuasaan raja beserta penjabat-penjabat kerajaan. Prasasti merupakan piagam resmi kerajaan yang dipahatkan di atas batu atau lempengan logam. Penemuan prasasti di Pura Luhur Gonjeng juga merupakan bukti bahwa telah terjadi peristiwa sejarah yang telah terjadi yang kemudian dicatat dalam bentuk prasasti. Fungsi Prasasti di Pura Luhur Gonjeng adalah sebagai bukti autentik tentang perjalanan Anak Agung Anom sampai dengan membangun Pura Luhur
9
Gonjeng dengan disertai 60 pengikutnya. Sehingga adanya prasasti ini tentu saja akan mempermudah merangkai atau merekonstruksi sejarah Pura Luhur Gonjeng maupun sejarah Desa Kukuh pada umumnya. Menurut penuturan pemangku Pura Luhur Gonjeng prasasti yang terdapat di Pura Pura Luhur Gonjeng sudah diterjemahkan ke dalam bentuk purana pura. Secara singkat isi dari prasasti di Pura Luhur Gonjeng (dalam purana Pura Luhur Gonjeng) yang menceritakan mengenai perjalanan Anak Agung Anom raja dari Mengwi sampai dengan membangun Pura Luhur Gonjeng. Fungsi Uang Kepeng, Pada abad ke 7 Masehi berdasarkan berita-berita Tiongkok dari dinasti Tang, di Bali telah beredar uang Kepeng yang diduga pada permulaannya adalah berfungsi sebagai alat tukar.dengan masuknya pengaruh Cina ke Indonesia mempengaruhi system perdagangan di Indonesia. Untuk mempermudah melakukan pertukaran barang dibuatlah alat tukar resmi berupa koin/uang kepeng. Selanjutnya, berdasarkan bukti-bukti prasasti Sukawana A 1 yang berangka tahun 882 Masehi uang kepeng itu diduga telah mempunyai fungsi dalam hubungannya dengan upacara Agama Hindu di Bali karena memiliki unsure tridatu (emas,perakdan perunggu) yang telah ada sejak zaman logam. Uang kepeng yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng terbuat berjumlah 33 kepeng. Secara umum fungsi uang kepeng dalam fungsi religi adalah sebagai perlengkapan upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya. Fungsi uang kepeng di Pura Luhur Gonjeng ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sistem religi masyarakat Hindu Bali. Penemuan uang kepeng ini mengindikasikan bahwa masyarakat pengempon Pura Luhur Gonjeng sejak dahulu sudah melakukan ritual keagamaan di Pura Luhur Gonjeng. Fungsi batu megalitik,Tradisi megalitik ini erat hubungannya dengan
kepercayaan yang ada mulai sejak zaman prasejarah dan masih berkembang hingga saat ini. Orang-orang percaya akan hal-hal yang dianggap hebat dan menyeramkan. Misalnya percaya dengan pohon yang ada penghuninya, percaya dengan batu besar yang ada penghuninya, memuja binatangbinatang yang besar dan menakutkan, memuja gejala-gejala alam yang dahsyat, dan pemujaan/memuja roh leluhur atau nenek moyang (Sagimun, 1987: 34-36). Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa pendirian bangunan megalitik tidak bisa dilepaskan dari kepercayaan masyarakat prasejarah tentang adanya roh leluhur yang memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Mereka percaya bahwa nenek moyang atau leluhurnya yang sudah meninggal tidak hilang, melainkan nenek moyang itu tinggal disuatu tempat tertentu. Menurut kepercayaan mereka, tempat tinggal roh leluhur tersebut berada di atas gunung atau di atas sebatang pohon yang tinggi (Sagimun, 1987: 36). Sama halnya dengan fungsi bangunan-bangunan di atas yaitu sebagai media untuk memuja leluhur atau nenek moyang, peninggalan batu megalitik yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng juga memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai media pemujaan kepada roh leluhur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari tim Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Provinsi Bali-NTT-NTB yang menyatakan “peninggalan batu megalitik di Pura Luhur Gonjeng berfungsi sebagai media pemujaan”. Selain itu, Jero Mangku I Made Cekug (56) pada tanggal 13 Mei 2014 juga memberikan penjelasan tentang fungsi dari pelinggih batu di Pura Luhur Gonjeng yaitu”…pelinggih batu di Pura Luhur Gonjeng terletak di jaba sisi bersebelahan dengan pelinggih arca, yang berfungsi sebagai penjaga wilayah suci pura atau menjaga keangkeran pura”.
Aspek–aspek Yang Terdapat Pada Peninggalan Cagar Budaya Di Pura
10
Luhur Gonjeng Yang Berpeluang Sebagai Sumber Belajar Sejarah di SMA Aspek-aspek yang terdapat pada Peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah di SMA adalah sebagai berikut: (1) Aspek Bentuk Fisik Bangunanyaitu berupa ;(1) Lingga merupakan peninggalan yang berasal dari masa Hindu yang memiliki bentuk lonjong seperti phallus (alat kelamin laki-laki), (2) Yoni merupakan peninggalan yang berasal dari masa Hindu yang memiliki bentuk bulat dan ditengah-tengahnya terdapat lubang bundar, (3) Arca kuno merupakan peninggalan cagar budaya yang memiliki bentuk seperti manusia akan tetapi bentuk dan ukirannya masih sangatlah sederhana, (4) Uang kepeng merupakan peninggalan yang berasal dari awal mula berkembangnnya kebudayaan Tiongkok di Bali yang memiliki bentuk bundar dengan tulisan Tiongkok di dalamnya, (5) Prasasti merupakan sebuah tulisan yang mengisahkan tentang perjalanan Anak Agung Anom dan memiliki bentuk lempeng yang terbuat dari tembaga, (6) Batu megalitik merupakan sebuah batu peninggalan yang berasal dari masa prasejarah yang memiliki bentuk bundar layaknya batu yang sering dijumpai di sungai-sungai. Jadi, jika melihat berbagai bentuk variasi peninggalan cagar budaya yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng hal ini tentu saja sangatlah relevan jika digunakan oleh guru sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA yang sifatnya lebih kreatif, inovatif, efektif, konstruktif dan konseptual.; (2) Aspek Historis Peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng terbagi menjadi berbagai periode sejarah berdasarkan masa pembuatannya, seperti masa prasejarah, masa berkembangnya kebudayaan Cina, dan masa Hindu. Sehingga peninggalan ini memiliki karakter yang berbeda satu dengan lainnya. Aspek sejarah pada peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng sangat penting dalam kehidupan masa lalu, masa kini dan masa yang akan
datang. Hal ini terkait dengan jejak-jejak sejarah yang tersimpan di dalam peninggalan tersebut yang bisa dikembangkan menjadi sumber sejarah yang lebih efektif dan inovatif dalam merekonstrusksi sebuah peristiwa sejarah di masa lampau. Selain itu, nilai-nilai sejarah yang terdapat dalam peninggalanpeninggalan tersebut dapat memperkuat dan memperkokoh jati diri bangsa serta memupun nilai nasionalisme; (3) Aspek Religius yaitu Secara substansial peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng memiliki nilai-nilai religi yang dianut oleh masyarakat setempat sehingga makna religi pada peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng tidak bisa terlepas dari unsur-unsur antropologi religi tersebut diatas, yaitu: Emosi keagamaan (getaran jiwa) muncul karena masyarakat di Desa Pakraman Kukuh meyakini bahwa peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng merupakan tempat atau sebagai media untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestanyinya. Selain itu, eksistensi peninggalan-peninggalan cagar budaya yang terdapat di Pura Luhur Gonjeng yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat setempat mengindiskasikan adanya getaran jiwa yang sejak dahulu sudah terpelihara dengan baik sebagai sebuah keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah melindungi dan memberikan anugrahnya bagi seluruh masyarakat Desa Pakraman Kukuh. Sistem kepercayaan, yaitu masyarakat meyakini bahwa manifestasi Tuhan yang bersthana di Pura Luhur Gonjeng yang sering disebut dengan Bhatara dapat memberikan berkah (waranugraha) dalam menempuh kehidupan. Krama yakin bahwa Pura Luhur Gonjeng di Desa Kukuh dihuni oleh manifestasi Tuhan yaitu Bhatara-Bhatari dalam bentuk dan wujud serta nama. Sistem ritus dan upacara keagamaan, yaitu adanya kepercayaan yang kuat terhadap peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng sebagai salah satu sarana pemujaan menyebabkan masyarakat
melakukan upacara persembahan berupa hasil bumi dan hewan ternak yang diwujudkan dalam bentuk banten saat odalan di Pura Luhur Gonjeng. Persembahan ini sebagai penghubung perwujudan rasa bakti krama terhadap Bhatara-Bhatari serta sebagai rasa syukur krama terhadap beliau. Kelompok keagamaan, yaitu adanya pendeta/pemangku yang mengaktifkan atau menghubungkan masyarakat Desa Pakraman Kukuh dengan Ida Sang Hyang Widhi. Dalam keyakinan masyarakat setempat peranan kelompok keagamaan ini sangatlah fital perannya karena selain sebagai penghubung antara yang memuja dengan yang dipuja, mereka juga berfungsi sebagai pembantu dan pelaksana setiap ada upacara pujawali/piodalan di Pura Luhur Gonjeng; (4) Aspek Budaya, Peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng tidak bisa dilepaskan dari aspek budaya karena peninggalan-peninggalan tersebut hasil ciptaan manusia pada masa lalu yang berbudaya. Secara umum peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng memberikan sebuah gambaran mengenai keadaan masyarakat Desa Kukuh pada masa lalu yang sangat religius dan memperhatikan aspek-aspek keTuhanan dalam menjalankan segala bentuk aktifitasnya.Nilai-nilai budaya tersebut sangat penting tidak hanya untuk masyarakat Desa Kukuh akan tetapi seluruh masayarakat Indonesia yang secara historis terkait dengan peninggalan-peninggalan tersebut. Kesadaran jati diri suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh pengetahuan di masa lalu bangsa yang bersangkutan sehingga keberadaan kebangsaan itu pada masa kini dan proyeksinya ke masa depan bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa yang tetap berpijak pada landasan filsafat dan budayanya sendiri.Aspek-aspek tersebut nantinya akan di masukan dalam silabus pembelajaran sejarah di SMA. (Darsono : 2000) 11
SIMPULAN
sehingga sangat relevan jika dipakai oleh guru untuk menjelaskan materi pembelajaran sejarah baik itu masa pra aksara maupun masa aksara. (3) Aspek Religius (religi), dengan adanya peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng mengindikasikan pada masa pra aksaradan aksara masyarakat Desa Pakraman Kukuh sangat taat dan berbhakti terhadap roh leluhur ataupun penciptanya. Aspek keyakinan atau religius inilah yang bisa dipakai oleh guru sebagai sumber belajar sejarah dalam rangka peningkatan pemahaman siswa terhadap kejadian-kejadian masa pra aksara dan aksara.
Peninggalan-peninggalan artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng Desa Kukuh yang juga di sebut Pura Cagar Budaya. Pura ini menjadi salah Satu Pura Cagar Budaya dikarenakan ditemukan benda-benda purbakala seperti lingga, yoni, arca, prasasti, mangkok, uang kepeng dan batu alam. Benda- benda ini memiliki fungsi yaitu:Fungsi artefak-artefak yang ada di Pura Luhur Gonjeng bagi masyarakat desa Pakraman Kukuh dan sekitarnya adalah : (1) Lingga yang ada di Pura Luhur Gonjeng Desa Kukuh memiliki fungsi sebagai tempat spiritual yang sangat tinggi seperti tempat pemujaan dan tempat untuk meminta sentana(anak), (2) Yoni berfungsi sebagai tempat meminta tambe (obat), (3) Arca Kuno memiliki fungsi sebagai media untuk meminta kesaktian dan juga sebagai penjaga kesakralan pura Luhur Gonjeng, (4) Prasasti berfungsi adalah sebagai bukti autentik tentang perjalanan Anak Agung Anom sampai dengan membangun Pura Luhur Gonjeng, (5) Uang Kepeng berfungsi sebagai perlengkapan upacara Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya, dan Bhuta Yadnya, (6) Batu Megalit berfungsi sebagai media pemujaan bagi masyarakat Desa Pakraman Kukuh dan sekitarnya.
DAFTAR RUJUKAN Asmito. 1992. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang: IKIP Semarang Press Boechari. 1977. “Epigrafi dan Sejarah Indonesia” dalam Majalah Arkeologi Tahun I No.2. Jakarta: Lembaga Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: CV. IKIP Semarang Press.
1. Peninggalan artefak di Pura Luhur Gonjeng memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA karena didasari oleh penggalian terhadap aspek-aspek yang terdapat pada peninggalan-peninggan tersebut diantaranya: (1) Aspek Bentuk Fisik Bangunan, peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng memiliki bentuk dan fungsi yang sangat unik jika dipakai oleh guru sebagai sumber pembelajaran sejarah di SMA. (2) Aspek Historis, peninggalan cagar budaya di Pura Luhur Gonjeng menyimpan jejakjejak kehidupan masa lampau
Laksmi, dkk, 2011. Cagar Budaya Bali: Menggali Kearifan Lokal dan Model Pelestariannya. Denpasar: Udayana University Press Moleong, L.J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nusa Bali. 2014. Sisi Keunikan Pura Luhur Gonjeng Di Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan (Penyunting: Sugianto). Denpasar: Bali Post
12
Soejono, R. P. 1993. “Jaman Prasejarah di Indonesia”, Sejarah Indonesia I. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Editor Umum). Jakarta: Balai Pustaka Departemen pendidikan dan Kebudayaan Sunarya, Nyoman. 2005. Upaya Pelestarian Tinggalan Arkeologi dalam Otonomi Daerah di Denpasar. Dalam Forum Arkeologi. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Halaman: 8-18 Sutaba, Made. 1994. Bedulu, Desa Wisata Purbakala: Potensi, Masalah dan Masa Depannya (Gagasan Menuju Sebuah Proyek Percontohan). Dalam Forum Arkeologi. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Halaman: 48-64
13