Teater Mamanda dan Pendefinisian Kembali Identitas Banjar1 Ninuk Kleden-Probonegoro (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) This article examines notions of identity in the context of Mamanda, a traditional theatre in Banjar, South Kalimantan. The author analyses Mamanda as a cultural symbol and describes the formulation of its identity using a semiotic approach whereby identity is conceived as a part of a binary composition fluctuating between the opposing notions of ‘us’ and ‘other’. This is illustrated in the oppositions between the theatre’s community and the state, individuals and the state, and the contradictory opposition between the community members within Mamanda itself. This article demonstrates that identity is continually reformulated and is linked to political interests such as regional autonomy.
Tanda dalam kebudayaan lokal Identitas etnis yang berada dalam lingkup kebudayaan lokal menjadi isu yang banyak dibicarakan orang. Ada dua hal pokok yang menyebabkannya demikian. Pertama, identitas etnis itu terwujud sebagai akibat dari politik nasional; dan kedua, sebagai dampak dari globalisasi. Pertama, pada masa Orde Baru, slogan ‘Bhineka Tunggal Ika’ berarti kesatuan dalam kemajemukan yang didengung-dengungkan 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam panel ‘Identitas dan Representasi dalam Karya Seni’, Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Kampus Limau Manis, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001. Sebagian data naskah ini diambil dari penelitian saya dan teman-teman untuk LIPI, yang dilakukan pada tahun 2000, dan dilaporkan dengan judul Pendefinisian Kembali Tradisi dan Identitas Etnis, Jakarta: PMB-LIPI 2000. Data lain diperoleh dari penelitian saya pribadi yang dilakukan pada tahun 1999 dan pada bulan Februari–Maret 2001 (atas biaya The Toyota Foundation).
10
sebagai sesuatu yang mengikat bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok etnis. Apa yang muncul dari slogan tersebut dan praktik operasionalnya ialah anggapan tentang adanya kebudayaan yang homogen karena yang ditekankan adalah aspek tunggalnya. Pada masa reformasi yang masih berlangsung, orang mulai terang-terangan memunculkan keinginan untuk berbeda—memunculkan sikap kebhinekaan. Sebagai contoh: pada bidang pemerintahan, ada Otonomi Daerah yang telah dituangkan ke dalam UU. no.22/1999 dilengkapi oleh UU. no.25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Karena itu, otonomi daerah, pluralitas budaya, heterogenitas, dan etnisitas menjadi isu yang hangat. Kedua, globalisasi adalah suatu gerakan kebudayaan yang didorong oleh perkembangan ekonomi dan komunikasi yang mengglobal. Dengan demikian, di satu sisi globalisasi dapat dilihat sebagai gejala yang cenderung bersifat universal, tetapi di sisi lain
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
justru menimbulkan respons terhadap menguatnya identitas-identitas lokal. Hal itu mudah dipahami karena adanya hubungan dialektika antara yang global dan yang lokal. Misalnya, wisatawan manca negara datang ke Indonesia justru karena ada kebudayaan-kebudayaan lokal yang dapat dijadikan obyek wisatanya. Karena identitas lokal itu menguat, dan perbedaan yang ada dalam tiap kebudayaan lokal seyogianya harus dipelihara, bahkan jika perlu justru dikreasikan, maka perbedaan kebudayaan dapat merangsang dan mendorong proses belajar untuk lebih dapat memahami diri. Munculnya pluralitas budaya, hetrogenitas, dan etnisitas akan mengimbangi dampak globalisasi. Salah satu wujud kebudayaan lokal adalah Teater Mamanda milik orang Banjar2 yang dapat diperlakukan sebagai suatu tanda (sign) budaya. Pandangan ini bertolak dari pendekatan semiotik3 yang mempersoalkan hubungan antara tanda dengan penanda. Semiotik mempersoalkan hubungan antara tanda dengan apa yang ditandai oleh tanda itu. Menjadikan teater Mamanda sebagai suatu tanda (sign) budaya, mempunyai konsekuensi teoretis yang mengharuskan orang menghubungkannya dengan penanda (signifier) dan petanda (signified). Hubungan antara penanda 2
Kalimantan Selatan, tempat orang Banjar itu tinggal, dialiri oleh sungai-sungai besar dengan banyak anak cabangnya. Sungai-sungai itu mengalir dari daerah hulu di pedalaman ke hilir di muara sungai. Karena itu, orang Banjar juga terbagi secara geografis, yaitu orang Banjar Kuala yang tinggal di bagian muara sungai, di persimpangan dua buah sungai, dan di sepanjang sungai Martapura di Martapura, Banjarmasin serta Pleihari, dan orang Banjar Hulu yang dapat dijumpai di kabupaten Tapin, kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan di daerah administrasi kabupaten Tabalong. 3
Dalam linguistik, semiotik dikenal sebagai ilmu tentang tanda yang dibedakan dari ilmu tentang makna kata (Anton Moeliono 1980:805,909).
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
(signifier) dengan petanda (signified) tidak bersifat denotasi dengan makna tunggal dan linier. 4 Akan tetapi, makna yang timbul itu tergantung pada ‘the act of sign-i-fying’ (Derrida 1984). Berarti, proses signifikasi itu menjadi penting dalam memperoleh makna hubungan antara penanda dengan petanda. Hubungan itu bukan merupakan hubungan yang linier; dan bukan pula merupakan hubungan yang sudah selesai, yang tidak lagi bisa diinterpretasikan. Friedman (1994) melihat pentingnya proses menafsirkan kembali makna suatu tanda budaya. Tanda budaya itulah yang kemudian dianggap sebagai identitas. Dengan kata lain, identitas selalu merupakan pertarungan wacana. Penampilan kembali tanda-tanda budaya yang diperlakukan sebagai identitas itu boleh dikatakan selalu bersifat politis. Tulisan ini mempertanyakan cara teater Mamanda—sebagai tanda budaya—berperan dalam proses pendefinisian kembali identitas orang Banjar. Kajian ini berangkat dari titik tolak isu nasional tentang otonomi daerah. Sejak isu otonomi daerah mulai bergulir, daerah mulai sibuk memunculkan identitas daerahnya; bahkan pada tingkat Pemerintahan Daerah tingkat dua atau Kotamadya sekalipun.5 Kajian tentang identitas diawali dari dua ulasan peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai titik balik orang Banjar dalam membicarakan identitasnya. Pembahasan dilanjutkan dengan pembicaraan tentang Mamanda sebagai teater Banjar yang mempertanyakan ‘apa’ itu 4
Seperti kata ‘meja’ yang langsung dapat dihubungkan dengan penandanya berupa benda pipih berkaki empat yang bagian atasnya dapat digunakan untuk bekerja (menulis, menggambar, makan, dsb.). 5
Sebagai contoh, pada pertengahan tahun 2001 lalu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kotamadya Mataram, dibantu oleh para senimannya sibuk menggarap tarian yang dapat dijadikan ciri identitas Kotamadya Mataram.
11
Mamanda dan ‘mengapa’ Mamanda lahir dalam kebudayaan Banjar. Salah satu faktor yang berperanan dalam hal ini adalah sentuhan kekuasaan terhadap Mamanda. Dalam tulisan ini, proses redefinisi identitas Banjar melalui Mamanda merupakan pertarungan-pertarungan makna yang belum selesai.
‘Dialog antar Generasi’ dan ‘Aruh Ganal’: titik balik identitas yang diperdebatkan Saat penelitian dilakukan, Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan sedang sibuk mempersiapkan diri menyambut Otonomi Daerah. Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan ialah menghimpun pemikiran orang-orang Banjar yang tinggal di luar kota Kalimantan Selatan. Peristiwa ini dikaitkan dengan rangkaian kegiatan untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia dan ulang tahun kota Banjarmasin. Ada dua peristiwa penting sehubungan dengan rencana Pemerintah Daerah tersebut yang secara tidak langsung menyangkut identitas diri orang Banjar, yaitu seminar ‘Dialog antar Generasi’ (8 Agustus 2000) dan musyawarah besar orang Banjar yang dalam bahasa setempat disebut Aruh Ganal (10–13 Agustus 2000). Secara harafiah Aruh Ganal berarti pesta besar karena aruh berarti kenduri atau pesta, dan ganal berarti besar. Aruh Ganal ini dihadiri oleh orang Banjar yang tidak saja berdiam di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, tetapi juga oleh orang Banjar dari berbagai tempat di Sumatera, khususnya dari Tembilahan. Di Tembilahan, orang Banjar bermukim sejak beberapa generasi lalu. Datang pula orang Banjar dari negara Malaysia, Singapura, dan Brunei. Penyelenggaraan Aruh Ganal yang dibuka oleh presiden bukannya tidak mengundang
12
kontroversi di antara masyarakat Banjar sendiri. Aruh Ganal ditentang oleh beberapa kelompok karena dua hal, yaitu persoalan dana, dan sentimen etnis. Ada pihak yang berpendapat bahwa musyawarah itu hanya menghamburhamburkan uang saja. Jika tujuannya untuk menghimpun pemikiran orang Banjar, mengapa tidak dibicarakan dengan tokoh-tokoh yang tinggal di Kalimantan Selatan, termasuk dosendosen Universitas Lambung Mangkurat? Ada pula yang berpendapat bahwa panitia kurang bersifat terbuka. Mereka khawatir jangan sampai biaya musyawarah itu akan mengganggu APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). OKP dan Ormas juga tidak senang terhadap panitia musyawarah besar itu, yang katanya ‘bukan orang Banjar asli’. Ada pula kelompok mahasiswa yang telah meminta ijin untuk melakukan demonstrasi menolak musyawarah besar. Danrem (Komandan Komando Resimen) tidak berkeberatan memberi ijin demo anti Aruh Ganal dengan syarat tidak mengganggu kunjungan presiden. Tetapi, ia tidak menyetujui adanya kelompok demo tandingan. Gubernur H.M. Syahriel Darhan bersama ketua panitia musyawarah besar datang mengunjungi KH. Zaini Abdul Ghani yang juga dipanggil dengan nama Guru Ijai. Guru dari Desa Sekumpul ini dikenal mempunyai kharisma dan kekuatan supranatural,6 sehingga banyak pejabat yang datang meminta restunya, tidak saja dari Kalimantan Selatan, tetapi juga dari Jakarta. Guru Ijai menyampaikan nasihatnya pada Gubernur dan panitia musyawarah: ‘Aruh Ganal Positif Asalkan Jangan Bahiri-hirian’, seperti yang ditulis Kalimantan Post (Selasa 8 Agustus 2000). Guru Ijai merestui musyawarah besar itu, asalkan jangan saling iri hati. Bahirihirian artinya saling iri di antara berbagai 6
Lihat misalnya bab tentang ‘Tuan Guru dan Habib’, dalam Etos Kerja Pengrajin batu Permata Banjar Jakarta: PMB-LIPI 1996:80-84.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
kelompok. Misalnya, antara orang Banjar di rantau (yang diminta sumbangan pemikirannya) dan mereka yang berdomisili di Banjarmasin; antara mereka yang duduk di kepanitian dan yang tidak; antara mereka yang merasa orang Banjar asli dan mereka yang bukan orang Banjar asli. Hubungan antara seminar dan musyawarah dengan identitas orang Banjar dapat dilihat dari apa yang diperdebatkan. Seminar ‘Dialog Antar Generasi’ mempunyai tema Baimbai Manyusuri Sisi Tapih7 yang secara harafiah berarti meniti kain sarung yang dililitkan ke tubuh si pemakai. Seminar sehari yang diselenggarakan oleh panitia HUT propinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Lembaga Budaya Banjar menjabarkan tema tersebut dalam bentuk makalah-makalah dengan persoalan kebudayaan, khususnya etika Banjar. Makalah-makalah yang didominasi oleh generasi yang tidak muda lagi itu umumnya berisi kekhawatiran mereka terhadap generasi muda yang dianggap tidak lagi tahu adatistiadat dan kebiasaan Banjar, termasuk sopansantunnya. 8 Angkatan muda berbeda dari ketiga pemakalah terdahulu, tidak mengkhawatirkan adanya perubahan kebudayaan yang berjalan bersama nilai-nilai baru yang
lebih pragmatis. Terdapat lima sidang komisi (ekonomi, bisnis dan lingkungan hidup, sosialpolitik dan hukum, sosial-budaya, pendidikan dan kesehatan, serta agama) dan sidang paripurna dalam seminar Aruh Ganal yang diselenggarakan selama dua hari. Isu yang muncul dalam komisi sosial-budaya ialah anggapan bahwa globalisasi dapat menghilangkan aset budaya Banjar. Terdapat ketakutan publik bahwa kebudayaannya akan berubah, sama seperti yang terjadi pada generasi tua dalam ‘Dialog Antar Generasi’. Seminar dengan tema Baimbai manyusuri tapih dan musyawarah besar orang Banjar itu memperlihatkan bahwa orang masih saja membicarakan adat-istiadat dan kebiasaan Banjar yang—oleh generasi tua—dianggap sudah tidak lagi dipahami generasi muda. Sebaliknya, generasi muda melihat bahwa justru adat-istiadat dan kebiasaan Banjar itulah yang perlu diubah. Sebenarnya, perubahan telah terjadi. Terlihat dari bubuhan 9 sebagai konsep dasar sistem kekerabatan Banjar, telah beralih maknanya. Kini orang mengenal bubuhan pedagang, bubuhan petani, bubuhan bangsawan, dan sebagainya, seperti yang dikatakan oleh seorang pembicara: Kalau kebetulan tampulu bakuasa , maka membentuk kroni bubuhan sendiri...Secara samar-samar keadaannya menjadi bubuhan nang sugih-sugih, nang badahi-dahi, nang ningrat-ningrat, nang pagawai nagri, nang alim-alim. Berikutnya menyusul bubuhan urang jaba, bubuhan tani, bubuhan paiwakan, panurih gatah....
7
Kotamadya Banjarmasin mempunyai slogan yang dapat dibaca di banyak tempat: di kantor Pemerintah Daerah, di hotel, di papan nama industri kecil sasirangan, yaitu Kayuh Baimbai yang berarti berkayuh serentak bersama. 8
Seperti dikatakan oleh salah seorang pemakalah, di sekitar tempat tinggalnya anak-anak tidak lagi patuh pada orang tua. Padahal, ia dan angkatannya dahulu memiliki perasaan takut sekali terhadap orang tuanya. Seorang peserta muda menjawab: apakah terlintas di pikiran sang pemakalah bahwa anak-anak muda kampung itu sedang menerapkan demokrasi yang mulai diajarkan di sekolah, misalnya mendebat pendapat yang oleh orangtua dianggap tidak patuh dan melanggar sopan-santun? Ada pula yang mengkhawatirkan teknologi Internet karena generasi muda dapat dengan mudah membuka situs-situs porno.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Jika peristiwa ‘Dialog Antar Generasi’ dan Aruh Ganal dianggap sebagai tanda budaya, maka dalam kedua peristiwa itu adat-istiadat dan kebiasaan Banjar sedang ditafsirkan 9
Secara harafiah bubuhan berarti warga atau kelompok. Secara antropologis, mereka yang berada dalam satu keluarga batih, satu keluarga luas atau satu kampung, biasanya disebut sebubuhan.
13
kembali maknanya. Seperti dikatakan oleh Friedman (1994), pertarungan wacana seperti ini yang penting dicermati untuk mengkaji identitas. Kesadaran identitas itu tampak bukan sebagai sesuatu yang given, melainkan merupakan suatu wacana yang selalu terbuka untuk diinterpretasikan dan diperdebatkan oleh komunitasnya.
Mamanda sebagai teater Banjar Mamanda selalu diakui sebagai teater orang Banjar seperti sering diakui dalam berbagai festival seni pertunjukan, baik yang diselenggarakan di propinsi Kalimantan Selatan maupun di Jakarta. Pertanyaan mengapa teater Mamanda tumbuh dalam kebudayaan Banjar (dan bukan misalnya dalam kebudayaan Betawi) dapat dijawab apabila kita ketahui genealogi dan ciri teater ini. Dari sudut etimologi, kata mamanda berasal dari kata mama yang diberi imbuhan nda. Mama adalah kata manis dari marina yang dalam bahasa Banjar berarti paman. Dalam pagelaran, kata mamanda dipakai oleh raja saat ia berbicara dengan mangkubumi dan wazir (perdana menteri); mamanda mangkubumi dan mamanda wazir. Teater ini boleh dikatakan serumpun dengan berbagai bentuk teater di kepulauan Riau; Wayang Bangsawan (PMB-LIPI 1996) dan teater Mendu di pulau Natuna, Riau (PMBLIPI 1996) yang menurut informasi juga terdapat di Kalimantan Barat. Mendu mempunyai struktur pagelaran menggunakan ladun (ladon pada Mamanda). Baik Mamanda maupun Mendu menggunakan properti yang mirip. Keduanya dipagelarkan di arena, tanpa panggung, menggunakan meja dan dua buah kursi untuk memberi suasana, serta setting yang menggunakan suasana kerajaan. Ciri ini juga mirip dengan teater M a k Y o n g (Syamsuddin 1981/1982; Pudentia 2000)
14
khususnya di kepulauan Riau. Mamanda juga boleh dikatakan serumpun dengan teater Lenong, khususnya Lenong Denes (yang sekarang tidak dikenal lagi) milik orang Betawi (Kleden-Probonegoro 1997). Kesamaan ada pada penggunaan narasi yaitu cerita-cerita 1001 malam dengan peralatan mirip teater Mendu. Mamanda dianggap serumpun dengan teater Rudat yang juga disebut Kemidi Rudat (Suparman 1990; Kleden-Probonegoro 2000) di Lombok, karena narasinya yang sama-sama mengambil cerita-cerita hikayat (‘Siti Zubaedah’, ‘Si Miskin’, dan hikayat ‘Raja Bagdad’). Dalam semua bentuk teater yang disebutkan serumpun itu, para tokohnya mengenakan pakaian yang mirip dengan pakaian anggota kerajaan Melayu. Tan Sooi Beng (1993), seorang ahli etnomusikologi yang meneliti teater Bangsawan mengatakan bahwa sekitar tahun 1880an teater Parsi yang sedang populer di Semenanjung Malaka mempengaruhi kaum bangsawan. Pada waktu itu ada seorang kaya dari Parsi di Penang yang mendirikan rombongan teater Pushi Indra Bangsawan. Sekitar tahun 1890-an, banyak jenis teater yang berpangkal pada teater Bangsawan tersebar di seluruh Semenanjung Malaka (Tan Sooie Beng 1993:16). Besar kemungkinan, teater atau Komidi Bangsawan yang dipengaruhi oleh teater Parsi ini merupakan cikal bakal teater Mamanda. Pada akhir abad ke-19, Komedi Indra Bangsawan dari Malaka datang ke Banjarmasin di bawah pimpinan Encik Ibrahim bin Wangsa dan istrinya, Encik Hawa, untuk mengadakan pagelaran selama satu bulan (Sanderta 1997:2). Di Kalimantan Selatan—khususnya di daerah Hulu Sungai yang menjadi tempat tinggal orang Banjar Hulu—Mamanda yang mempunyai cikal bakal Komedi Bangsawan dan teater Parsi itu muncul dalam dua bentuk yaitu pariuk dan tubau. Karena itu, Mamanda semula dikenal sebagai milik orang Banjar Hulu,
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
walaupun kemudian juga berkembang di Banjarmasin. Mamanda Pariuk yang juga disebut Mamanda Margasari (nama desa yang dianggap sebagai pusat Mamanda) ada di Kabupaten Tapin, sedang Mamanda Tubau terpusat di Kampung Tubau, Barabai, kabupaten Hulu Sungai Tengah. Ada suatu pengalaman lapangan menarik dan perlu dicatat menyangkut persoalan identitas kelompok Pancar Rindang Banawa yang ada di Desa Pagat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Pagelaran kelompok ini tergolong jenis Mamanda Tubau, tetapi saat hal itu ditanyakan kepada seniman Pancar Rindang Banawa, dia tidak mau mengakuinya. Katanya, ‘Mamanda kami ya Mamanda sini, bukan Tubau.’ Harga diri terhadap kampungnya nampak cukup kuat. Perbedaan antara mamanda Pariuk dan Tubau tampak seperti yang dilukiskan dalam tabel 1. Mamanda Pariuk—menurut orang Banjar—berasal dari Desa Pariuk, Margasari, Kabupaten Tapin. Daerah ini terletak di tepi sungai tidak seperti desa Tubau di kabupaten Hulu Sungai Tengah yang merupakan daerah
Mamanda Tubau di pedalaman pendek dan menanjak, seperti irama orang berjalan memasuki daerah pedalaman. Perbedaan juga terdapat pada jenis narasi yang dipagelarkan. Narasi teater Mamanda Pariuk bersumber dari cerita hikayat seperti ‘1001 malam’, ‘Siti Zubaedah’, ‘Si Miskin’ dan ‘Raja Bagdad’. Jenis narasi ini juga muncul dalam pagelaran teater di kepulauan Riau seperti Mak Yong dan teater bangsawan, Lenong Denes milik orang Betawi dan Kemidi Rudat di Pulau Lombok. Jenis narasi di atas jelas bernuansa Islam sesuai dengan perilaku beragama orang Banjar komunitas Mamanda Pariuk. Komunitas Mamanda Periuk di Kabupaten Tapin memilki perilaku beragama yang berbeda bila dibandingkan dengan komunitas Mamanda Tubau walau keduanya sama-sama beragama Islam. Masyarakat Tapin tinggal tidak jauh dari Tuan-Tuan Guru Besar dan pesantren-pesantren ternama, juga makam-makam keramat yang cukup penting, di sekitar Martapura. Di daerah ini juga tidak dikenal cara mencari dana seperti misalnya yang dilakukan oleh masyarakat Pagat (komunitas Mamanda Tubau).10
Tabel 1 Mamanda Pariuk dan Mamanda Tubau
Daerah persebaran Irama lagu pengiring Narasi Setting Struktur pertunjukan
Mamanda Pariuk
Mamanda Tubau
Sekitar sungai Meliuk-liuk Hikayat, Syair Kerajaan Menggunakan ladon
Daerah pedalaman Pendek, menanjak Carang kanda Kerajaan Kata sambutan dari pemimpin
pedalaman dan tidak mempunyai sungai. Keadaan alam mempengaruhi bentuk teater Mamanda. Mamanda Pariuk yang berasal dari daerah pinggiran sungai mempunyai irama lagu pengiring meliuk-liuk, ibarat sungai yang melalui daerah ini. Irama lagu pengiring
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
10
Mencari dana dilakukan misalnya saat perbaikan mushola dan mesjid dengan mengadakan lelang kue yang diakhiri dengan karaoke. Penyanyi-penyanyi karaoke mengenakan rok pendek atau celana panjang ketat dengan kaus bertali yang membungkus bagian atas tubuhnya. Pembeli kue yang membayar terbanyak diijinkan berjoget dengan penyanyi karaoke.
15
Mamanda Tubau lebih sering menggelar carang kanda, yaitu narasi yang digarap oleh sutradara, meskipun sebenarnya alur cerita yang dibawakan sudah dikenal oleh masyarakat.11 Misalnya ‘Bergetarnya Tiang Aras’ yang merupakan legenda di Hulu Sungai Tengah, pernah digelar oleh grup ‘Pancar Rindang Banawa’ untuk memeriahkan pesta 17 Agustusan tahun 2001 di Pagat. Mamanda Pariuk maupun Tubau mempunyai setting yang sama, yaitu kerajaan. Hal ini mudah dipahami karena daerah tempat kedua bentuk Mamanda itu muncul adalah bekas kerajaan. Kerajaan Tanjung Pura yang berpusat di kota Tanjung (nama saat ini) adalah kerajaan tertua (abad ke-7) yang wilayahnya mencakup bagian utara Kalimantan Selatan, kerajaan Negara Dipa (abad ke-13), Candi Agung di daerah Amuntai, dan Negara Daha yang berhubungan dengan Majapahit di Jawa. Itu semua merupakan tempat Mamanda Tubau dikenal. Daerah bekas kerajaan Candi Laras adalah wilayah Mamanda Pariuk. Kedua jenis Mamanda tersebut mempunyai cara yang berbeda untuk membuka pertunjukan. Teater Mamanda Pariuk menggunakan tokoh ladon. Ladon digunakan sebagai kata benda, sedangkan kata kerjanya adalah baladon, yakni yang dilakukan oleh tiga orang seniman (bisa juga lima orang). Dalam baladon, tokoh-tokohnya berdialog tentang narasi yang akan dibawakan dalam pagelaran. Di kecamatan Pagat (kabupaten Hulu Sungai Tengah), pagelaran Mamanda tidak menggunakan ladon. Sebaliknya, ada seseorang, biasanya pimpinan grup, yang menceritakan kisah yang akan dibawakan dalam pagelaran. 11
Bentuk narasi seperti ini juga dikenal pada teater Lenong milik orang Betawi. Lenong mempunyai cerita karangan (berbeda dari jenis cerita riwayat) seperti Kemidi Rudat di Lombok yang juga mengenal kedua jenis cerita.
16
Ia juga sekaligus menyebutkan nama para senimannya. Apa yang ingin digarisbawahi dari uraian tersebut di atas adalah: • ada dua bentuk teater Mamanda yang mempunyai komunitas yang berbeda; • bahwa nuansa Islam ada dalam teater Mamanda, meskipun pada Mamanda Pariuk tampak lebih kuat daripada Mamanda Tubau; • bahwa lingkungan alam turut mempengaruhi bentuk Mamanda; dan • tidak dapat dipisahkannya setting kerajaan dari ciri teater ini. Dengan demikian, jelas bahwa teater Mamanda tidak akan lahir dalam kebudayaan Irian atau kebudayaan Betawi yang tidak mempunyai kerajaan; atau pada kebudayaan Sunda yang proses pembentukannya tidak dijamah secara langsung oleh kebudayaan Melayu (baik melalui religi maupun tradisi teater Parsi dan Bangsawan). Kedua bentuk tradisi teater Mamanda itu dapat ditemui di daerah Hulu Sungai, walau sejak ada festival seni pertunjukan tradisional di TIM (1970), propinsi Kalimantan Selatan mengirim satu bentuk Mamanda yang bukan tergolong jenis Pariuk dan Tubau. Bentuk ini umumnya dapat ditemui di Banjarmasin seperti pada grup ‘Teater Banjarmasin’, grup-grup mahasiswa Unlam, dan lain-lain. Ciri bentuk pagelaran teater ini selalu menggunakan ladon (ciri Pariuk) dengan narasi carang kanda (tipe Tubau, misalnya ‘Gandut Bariah’ dan ‘Ilmu Wan Tahta’12 ), dan cirinya yang khas adalah 12
’Gandut Bariah’ menceritakan seorang gandut (penari tari pergaulan, seperti ledek di Jawa atau wayang cokek di Tangerang) yang biasanya dinilai jelek oleh masyarakat, tetapi ia membantu perjuangan tentara Indonesia dengan memata-matai tuannya seorang Belanda. ‘Ilmu Wan Tahta’ berkisah tentang seorang putri raja yang akan dinikahkan dengan Mangkubumi, tetapi ia menolak karena masih ingin sekolah. Tiba-
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
waktu pertunjukan yang tidak lebih dari satu jam.13
Teater Mamanda dalam sentuhan kekuasaan Sejarah memperlihatkan bahwa kesenian, khususnya teater sangat berhubungan dengan kekuasaan, bahkan sering digunakan untuk mempraktikkan kekuasaan politik (dan juga ekonomi). Hal ini diakui oleh seniman ludruk Rukun Astari dalam James Peacock (1968:41) bahwa di daerahnya ada pengelompokan grup ludruk sesuai dengan aliran politik pada waktu itu. Ludruk ‘Marhaen’ condong pada perjuangan kaum kiri, sedangkan ludruk ‘Tresna Enggal’ lebih berkiblat pada kaum nasionalis, bekerja sama dengan URIL (TNI-AD Dam VIII Brawijaya). Berbeda halnya dengan teater ludruk, teater Mamanda dan seni pertunjukan di Kalimantan Selatan tidak bersentuhan dengan kekuasaan secara ekstrim dan menyolok. Walau demikian, kondisi politik di Kalimantan Selatan tidak dapat dilepaskan dari isu politik nasional dan internasional. Ada tiga periode politik Indonesia yang dapat dihubungkan dengan perkembangan teater Mamanda. Pertama, di awal kemerdekaan dan pemerintahan Orde Lama sampai dengan tahun 1965; kedua, pada masa Orde Baru; dan ketiga, pada masa setelah Orde Baru jatuh, diawali dengan masa reformasi yang berjalan hingga saat ini. Awal kemerdekaan dan masa pemerintahan ‘Orde Lama’ Di awal kemerdekaan, saat perekonomian Indonesia masih morat-marit, teater Mamanda tiba sekolahnya terbakar, dan setelah diusut ternyata itu adalah ulah Mangkubumi. 13
Pagelaran oleh grup-grup dari Banjarmasin lebih menggambarkan identitas Banjar dalam berhadapan dengan kelompok etnis lain (Lihat: ‘Sentuhan Kekuasaan dan Identitas’).
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
justru tumbuh dengan marak. Di kabupaten Hulu Sungai Tengah, anak-anak sering bermain Mamanda di atas panggung bekas pertunjukan teater Mamanda. Pada masa itu, hampir semua anak dapat memerankan tokoh-tokoh dalam teater Mamanda: sebagai raja, puteri, panglima dan hulubalang. Demikian cerita pengalaman seorang informan tua yang sampai penelitian ini dilakukan masih berperan sebagai tokoh wazir. Maraknya Mamanda pada masa itu terkait dengan kebiasaan masyarakat setempat. Pertama, di daerah Hulu Sungai terdapat kebiasaan untuk merayakan panen raya. Setelah panen, orang mengadakan jumputan, yaitu gotongroyong mengumpulkan dana untuk mengadakan pesta. Pesta diawali dengan ‘Layanglayang Dandang’, adu layang-layang dengan berbagai bentuk hewan yang berukuran besar disertai dengan bunyi-bunyian, dan pesta diakhiri dengan Mamanda pada malam hari. Selain itu, pembayaran pagelaran Mamanda bisa dengan padi, bukan uang. Kedua, pihak penyelenggara hajat masih senang menggunakan Mamanda untuk memeriahkan pestanya. Bagaimanakah sikap Belanda menghadapi maraknya Mamanda? Pemimpin suatu grup Mamanda di Desa Karang Jawa, kabupaten Hulu Sungai Tengah menceritakan bahwa di awal kemerdekaan, pagelaran selalu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi karena Belanda akan membubarkan pagelaran Mamanda. Sebenarnya Belanda tidak melarang orang mengadakan pagelaran. Tetapi, yang ditakuti adalah dampak dari pagelaran yaitu berkumpulnya orang banyak seperti saat grup ‘Sampuraga’ yang berdomisili di Desa Karang Jawa—yang merupakan perbatasan demarkasi Belanda tersebut—tampil. Sekitar tahun 1950-an, seni pertunjukan mendapat perlawanan dari pihak agama. Golongan Islam ‘kolot’ saat itu menganggap
17
bahwa berkesenian adalah maksiat. Karena itu orang dilarang menonton, dan perempuan dilarang naik panggung. Hal itulah yang menyebabkan tidak adanya tokoh perempuan dalam pagelaran Mamanda. Tokoh perempuan selalu dimainkan oleh pria yang berpakaian perempuan. Beberapa orang tua di Barabai, kabupaten Hulu Sungai Tengah, maupun di Kandangan yang termasuk dalam kabupaten Hulu Sungai Selatan, dapat menceritakan betapa lucunya tokoh-tokoh perempuan seperti itu. Sejak masa Demokrasi Terpimpin, sekitar tahun 1960-an, telah terjadi kontrol negara yang ditandai dengan intervensi militer pada kehidupan sipil. Misalnya, terpilihnya seorang anggota militer sebagai Gubernur Kalimantan Selatan pada tahun 1963 (Erwiza 2000). Sejak saat itu, bila ada orang akan menggelar Mamanda, dia harus memperoleh ijin dari Koramil.14 Mamanda nampak menyatu dengan kehidupan masyarakat. Hampir tiap orang yang berusia di atas 50 tahun dapat menceritakan masa kanak-kanaknya yang erat dengan Mamanda, panen raya, dan pesta perkawinan. Keakraban Mamanda dengan kebudayaan Banjar pada masa itu kelihatan masih berjalan secara alamiah. Tidak ada indikasi keterlibatan Mamanda dengan urusan politik berbau komunisme pada saat itu. Masa pemerintahan Orde Baru Sekitar tahun 1965-an, Mamanda mulai sering digunakan untuk mencari dana, yaitu dengan batapak dan mahadring. Kesulitan ekonomi di satu pihak dan kegemaran orang akan Mamanda di lain pihak, menjadikan seringnya Mamanda digunakan untuk mencari
uang. Jika batapak adalah pencaharian dana yang dilakukan oleh suatu komunitas misalnya desa, maka pahadring bersifat personal. Batapak dan Pahadring menampung kebiasaan jumputan untuk mewujudkan pagelaran Mamanda. Pada masa kini kebiasan jumputan tidak muncul lagi. Batapak dilakukan bila dana pembangunan desa belum mencukupi, misalnya untuk biaya pembuatan jalan, pembangunan mesjid, atau perbaikan langgar. Anggota pengurus desa atau mesjid, melalui musyawarah, akan mengundang satu grup Mamanda guna menggelar pertunjukan di desa itu. Arena sekitar tempat pertunjukan dibuat berpagar. Penonton harus membayar untuk mendapatkan kursi sesuai dengan harga karcis yang dibayar-nya. Kebangkitan teater Mamanda sekitar tahun 1970-an tidak terlepas dari festival teater tradisional yang diselenggarakan TIM Jakarta atas prakarsa almarhum Soemantri dan Jaya, yang memasukkan Mamanda ke dalam rangkaian acara. Peristiwa ini kemudian berlanjut di Banjarmasin, dan pada tanggal 16 dan 17 Maret 1977 dilaksanakan ‘Sarasehan Mamanda’. Pada tahun 1980-an saat Orde Baru mencapai kemapanan politik, Haryati Soebadio Dirjen Kebudayaan waktu itu, membuat program pelestarian kebudayaan di bawah program Jarahnitra (Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional). Di tingkat daerah, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan15 yang mendukung program itu mengadakan penelitian dan ‘pembakuan’ kebudayaan. Mamanda termasuk teater yang diteliti dan dilestarikan oleh program ini. Selain dilestarikan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Kanwil Penerangan mempunyai andil yang tidak kecil dalam pelestarian Mamanda. Departemen Penerangan adalah institusi yang aktif menggunakan teater tra-
14
Bandingkan kondisi ini dengan grup-grup kesenian di wilayah Jabotabek (orang Betawi) yang juga harus memperoleh ijin jika ingin menggelar keseniannya (Kleden-Probonegoro 1987).
18
15
Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan kemudian menjadi Kanwil Diknas.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
disional, termasuk Mamanda, sebagai media menyiarkan program pemerintah (misalnya kampanye keluarga berencana dan penggunaan varietas bibit padi unggul). Grup ‘Senggada’ di Kandangan adalah milik Dinas Penerangan yang mengadakan pagelaran sampai ke daerah pedalaman. Institusi ini pula yang menyelenggarakan festival pertunjukan rakyat di panggung terbuka tiap tahun guna memperingati hari kemerdekaan. Acara yang diselenggarakan di Banjarmasin diikuti oleh grup-grup kesenian yang membawa nama kabupatennya. Grup Mamanda ‘Teater Banjarmasin’, dalam beberapa kali penampilannya di festival-festival seperti ini, membawa nama Kotamadya Banjarmasin. Pada tahun 1999, grup ini berangkat dengan bus untuk mengadakan pagelaran di Tembilahan (Riau) tempat bermukim perantauperantau Banjar. Warna kebudayaan Banjar cukup kental dan bahkan tukang becaknya pun berbahasa Banjar. Grup ini juga singgah di TIM Jakarta dan digelar sebagai teater Mamanda milik orang Banjar, seperti di Tambilahan. Di Jakarta dan Tambilahan, ‘Teater Banjarmasin’ tidak lagi mewakili nama Kotamadya Banjarmasin, tetapi Kalimantan Selatan dan orang Banjar. Pada saat pemilu, teater Mamanda turut memeriahkan kampanye. Berbeda dengan teater ludruk yang terkotak-kotak dalam partai politik, teater Mamanda seperti ‘Ading Bastari’ dari Hulu Sungai Tengah menggelar pertunjukan hanya karena diminta oleh partaipartai yang berkampanye, seperti Golkar, PDI, dan PKB.16 Di akhir pemerintahan Orde Baru, banyak perubahan yang terjadi seputar Mamanda. 16
Bandingkan dengan situasi di Jakarta, tempat grupgrup kesenian (misalnya grup topeng ‘Setia Warga’) ‘harus’ berafiliasi pada Golkar untuk dapat tampil di layar kaca.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Pahadring tidak lagi dikenal meskipunbatapak masih bisa dijumpai di bagian utara komunitas Mamanda Tubau. Secara perlahan-lahan, panen raya yang dirayakan setahun sekali hilang karena petani sudah menggunakan bibit varietas baru yang dipanen 2–3 kali dalam setahun. Hilangnya ritus panen mengurangi kesempatan tampilnya Mamanda sebagai ritus lokal. Ia digantikan oleh ritus nasional di ibukota propinsi dengan menggunakan Mamanda. Masa reformasi Tidak banyak yang dapat dikatakan dari masa ini, selain banyaknya kebiasaan yang diwariskan oleh Orde Baru. Misalnya, penyelenggaraan festival seni pertunjukan yang bukan dilakukan oleh Kanwil Penerangan, melainkan oleh Pemerintah Daerah. Departemen Penerangan sudah dibubarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Kanwil Penerangan di tingkat propinsi dan Dinas Penerangan di tingkat Kotamadya dan Kabupaten diganti menjadi Dinas Informasi dan Komunikasi. Dinas itu pun tidak terdapat di tiap daerah tingkat II, sedangkan daerah yang mempunyai Dinas Informasi dan Komunikasi tidak lagi mempunyai program penyebarluasan isu pemerintah melalui pagelaran Mamanda. Sentuhan kekuasaan dan identitas Pada masa Belanda dan pemerintahan Orde Lama, teater Mamanda adalah tanda ancaman (yang mengimplisitkan perlawanan). Bagi Belanda; pagelaran Mamanda membuka kesempatan untuk berkumpulnya orang banyak. Hal ini dianggap sangat berbahaya bagi keamanan. Bagi Islam, pagelaran Mamanda adalah maksiat. Anggapan ini disempurnakan dengan dilarangnya perempuan masuk arena pertunjukan. Pada masa itu, tokoh perempuan diperankan oleh laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan.
19
Pertarungan wacana tentang Mamanda dapat dilihat dari perannya sebagai tanda (budaya) ancaman yang sekaligus juga menjadi tanda pengikat bagi orang Banjar. Meskipun dikejar oleh Belanda dan dianggap maksiat oleh Islam, masyarakat penganut Islam tetap ingin menonton walau dengan cara jumputan. Pada masa awal Orde Baru, saat kondisi ekonomi sulit, orang menggunakan Mamanda untuk keperluan batapak dan pahadring. Pertarungan yang membentuk representasi identitas tampak pada pemerintahan Dirjen Hurustiati Soebadio dengan program pelestarian dan pembakuan kebudayaan. Saat itu, khususnya di Kalimantan Selatan, Mamanda mulai kekurangan peminat karena orang lebih senang menggunakan orkes dalam pesta hajatan. Televisi pun mulai masuk pedalaman sebagai hiburan. Namun, ada usaha grup-grup Mamanda untuk tetap bisa bertahan dari ancaman orkes dan televisi dengan cara menampilkan artis (istilah Banjar Hulu untuk menyebut perempuan seniman orkes) dalam pagelaran Mamanda. Di sisi lain, institusi pemerintah seperti Taman Budaya dan Jarahnitra, bekerja melaksanakan program pemerintah pusat yaitu pelestarian. Hal itu dioperasionalkan menjadi ‘mengembalikan’ Mamanda pada bentuk ‘aslinya’. Cara yang dilakukan antara lain dengan tidak menggunakan para artis, dan menyusun pedoman tentang apa yang disebut Mamanda melalui kriteria juri festival Mamanda.
Ismaildina: dialog antara aktor dan kebijakan Ismaildina adalah pengamat kebudayaan dari kecamatan Angkinang, perbatasan antara kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Ia sering terlibat dalam kegiatan Mamanda yang diselenggarakan oleh grup-grup yang ada di kota
20
Kandangan.17 Selain itu ia pernah turut dalam grup ‘Pewarta’ milik Kandep Penerangan waktu itu, dan pernah pula bergabung dengan grup ‘Posko’, yaitu kelompok yang dibina oleh Dewan Kesenian Daerah. Ismaildina menjadi seniman Mamanda sejak berusia 17 tahun dan mempunyai grup yang aktif sekitar tahun 1970– 1999 dengan pertunjukan terakhir pada perayaan 17 Agustusan. Pada bulan Agustus 2000, Ismaildina absen dalam rombongan teater Mamanda Hulu Sungai Selatan untuk meramaikan pesta Pekan Budaya memperingati hari jadi Republik ini. Kasus Ismaildina yang tidak muncul dalam identitas Mamanda Hulu Sungai Tengah adalah contoh bagaimana pertarungan wacana itu terjadi. Di satu pihak, ia merasa diperlakukan tidak adil oleh Dewan Kesenian Daerah yang menyeleksi grup dan seniman untuk tampil keluar daerah. Di pihak lain, Dewan Kesenian daerah sulit untuk bekerjasama dengannya yang dianggap keras, tidak mau mengubah beberapa aspek Mamanda yang dianggap merusak citra Mamanda. Menurut Ismaildina, Dewan kesenian daerah hanya memberi perhatian pada grup ‘Posko’. Katanya: ...seharusnya Dewan Kesenian daerah membina kelompok-kelompok kesenian sampai ke tingkat kecamatan sehingga kami tahu apa yang dimodernkan dan apa yang diubah, karena kami juga ingin tampil di Banjarmasin.
Memang grup ‘Posko’ dari Kandangan ini yang selalu mewakili kabupaten Hulu Sungai Tengah di Banjarmasin yang ibu kota propinsi itu. Rasa tidak puas Ismaildina juga ditujukan pada pagelaran yang diselenggarakan oleh kerja sama antara Dewan Kesenian Daerah dengan Diknas. Saat itu grup dari Kandangan diminta untuk mengisi acara Mamanda di televisi 17
Kira-kira saat itu Diknas seksi Kesenian belum melebur dalam Pariwisata dan Kebudayaan (Parsenibud).
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Banjarmasin. Ismaildina merasa bahwa ada seniman-seniman Mamanda yang lebih profesional dibandingkan dengan para guru yang dilatih oleh dewan kesenian daerah untuk tampil di layar kaca dalam membawakan narasi yang berjudul Amuk Hantarukung. Ismaildina adalah contoh seniman yang tidak bisa menerima perubahan dari Dewan Kesenian Daerah yang dianggapnya pilih kasih. Citra Mamanda menjadi rusak karena senimannya bukan seniman yang sudah terlibat teater itu sejak masa kecil. Dewan Kesenian Daerah merasa harus melakukan perubahan-perubahan dalam hal dikuranginya durasi pertunjukan demi kepentingan layar kaca. Improvisasi seniman juga dikurangi, dan ada naskah yang harus dibaca pemain sebelum tampil. Apa yang tampak dari kasus ini ialah adanya wacana dalam Mamanda sebagai identitas. Wacana Mamanda ‘asli’ dan Mamanda ‘yang diperbaharui’ dapat diterima oleh publik, bahkan di luar komunitas Banjar sendiri.
Identitas dan perubahan Mamanda sebagai suatu tanda budaya terlibat dalam proses pembentukan identitas. Representasi identitas merupakan pertarungan kepentingan untuk memaknai Mamanda. Belanda menganggapnya sebagai tanda ancaman, sedangkan orang Banjar menanggapnya sebagai alat pengikat kelompok. Orang Banjar penganut Islam pun bertarung dalam kelompoknya dalam memaknai Mamanda. Ada kelompok yang memaknai Mamanda maksiat, dan ada pula yang menginginkan pagelarannya dengan alasan Mamanda tetap bernuansa Islam (tampak dari dongeng 1001 malam dan musik pengiring jenis tabuhan). Di samping itu, ada kelompok yang menginginkan Mamanda menjadi ‘modern’ dengan cara memasukkan artis orkes dan kelompok yang tetap menginginkan ‘keasliannya’. ‘Pertarungan’ juga
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
terjadi antara seorang Ismaildina berhadapan dengan wacana ‘pembakuan kebudayaan’ versi Dewan Kesenian Daerah. Apa sebenarnya yang dapat dikatakan dari perwujudan identitas seperti itu? Jelas tampak bahwa identitas terus direkonstruksikan melalui dualisme-dualisme bersamaan dengan munculnya metafor yang menolak perubahan. Dalam hal ini ketakutan Belanda terhadap Mamanda tidak lain adalah metafor yang menolak perubahan. Setelah Indonesia merdeka, metafor yang menolak perubahan muncul dari anggapan bahwa Mamanda adalah maksiat. Hal yang sama tampak dari mereka yang menginginkan identitas ‘keaslian’ Mamanda seperti halnya Ismaildina. Berarti, konstruksi selalu didekonstruksikan dan direkonstruksi-kan kembali. Identitas muncul dari pemenang pertarungan makna seperti ini. Untuk sementara, Mamanda dapat menyatukan orang Banjar (bukan sebagai tanda ancaman). Mamanda juga dapat menunjukkan tanda bahwa Islam bukan maksiat, serta sifat Banjar yang ‘asli’. Pemaknaan identitas itu sendiri tidak berakhir dengan munculnya para pemenang saja. Pemaknaan harus juga dihubungkan dengan ‘yang lain’ (the other). Dalam hal ini ‘yang lain’ adalah Belanda, orang Hulu Utara dan Selatan (ingat festival yang diselenggarakan di Banjarmasin sebagai ibu kota propinsi), orang Jakarta, dan orang Tambilahan. Selain ‘yang lain’, ‘kekuasaan’ (power) harus diperhatikan sebagai penentu identitas. Relasi kekuasaan (dalam hal ini pemerintah) menentukan Grup mana yang harus dikirim ke festival di Jakarta untuk mewaikili orang Banjar Kalimantan Selatan. Berbagai faktor itu menyebabkan Mamanda selalu harus didefinisikan kembali agar dapat dikatakan sebagai tanda representasi identitas orang Banjar.
21
Kepustakaan Derrida, J. 1984 Of Gramatologi (diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh G.C.Spivak). Baltimore & London: The John Hopkins University Press. Erwiza, E. 2000 ‘Kesenian dalam Konteks Sosial-Politik dan Ekonomi Negara’, Pendefinisian Kembali Tradisi dan Identitas Etnis . Jakarta: Laporan PMB-LIPI. Friedman, J. 1994 Cultural Identity and Global Process.New York: Sage. Kadir, S. 1977 Sejarah Kesenian Mamanda. Makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Mamanda, diselenggarakan oleh Kanwil Dept. P & K Kalimantan Selatan. 16–17 Maret. Kalimantan Post 2000 ‘Guru Sekumpul: Aruh Ganal Positif Asal jangan Bahiri-hirian’, 8 Agustus. 2000 ‘Jika Demo harus Jelas Substansinya’, 4 Agustus. Kawi, D. dkk. 1995/1996 Struktur Teater Tradisional Mamanda. Banjarmasin: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan. Kleden-Probonegoro, N. dan Zultanawar 1996 Etos Kerja Pengrajin Batu Permata Banjar: Pendekatan Antropologi. Jakarta: PMB-LIPI. Kleden-Probonegoro, N. 1997 Teater Lenong Betawi; Studi Perbandingan Diakronik. Jakarta: Yayasan Obor. Kleden-Probonegoro, N. dkk. 2000 Pendefinisian Kembali Tradisi dan Identitas Etnis. Jakarta: Laporan PMB–LIPI. Peacock, J.L. 1968 Rites of Modernization; Symbolic abd Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama. Chicago & London: The University of Chicago Press. PMB-LIPI 1996 Kajian Strategi Pengembangan Masyarakat Melayu. Jakarta: Laporan Penelitian. Pudentia 2000 Mak Yong: Hakikat dan Proses Penciptaan Kelisanan. Disertasi Doktor tidak dipublikasikan. Depok: Kampus Universitas Indonesia. Sanderta, B. dan M.S. Kadir 1997 Mamanda. Banjarmasin: Laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan. Suparman, L.G. 1990 Kemidi Rudat: Teater Rakyat Lombok Nusa tenggara Barat. Draf laporan. Mataram.
22
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
Syamsudin, B.M. 1981/1982 Seni Peran Mak Yong; Khazanah Budaya Warisan Bangsa. Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tan Sooi Beng 1993 Bangsawan: A Social and Stylistic History of Popular Malay Opera.Singapore: Oxford University Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002
23