TATACARA BERAGAMA HINDU DALAM PERUBAHAN SOSIAL 0leh: I Made Suyasa* Abtsraks Kitab Suci Weda umat Hindu berisi sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah perkembangannya pada kehidupan sosial menyesuaikan dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang, sesuai dengan dinamika pembangunan. Ajaran Agama Hindu diturunkan oleh Tuhan melalui Sapta Rsi sebagai cermin dalam kehidupan sehari-hari baik manusia dimasa lalu, sekarang dan manusia yang akan datang. Berdasarkan fakta itu, bayangkan bagaimana kehidupan manusia dimasa lalu dibandingkan dengan sekarang, apalagi yang akan datang. Kalau tata cara beragama Hindu tidak bisa menyesuaikan dengan kehidupan sosial sesuai dengan pembangunan maka akan terus ketinggalan. Kebenaran Weda, adalah kekal abadi, karena berisi ajaran -ajaran realitas spiritual menyesuaikan dengan realitas pembangunan. Agama Hindu sebagai agama paling tua sesuai sejarah mempunyai karakter tersendiri. Karakter itu yang meyebabkan agama Hindu, memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah panjang yang pernah dilaluinya, sepanjang zaman. Laksana bola karet yang menggelinding semakin jauh, bola karet itu makin besar, dan sekaligus dalam perjalanannya membawa serta apa yang dilaluinya dan dilandanya. Demikianlah keadaan agama Hindu, semakin jauh dan beraneka macam daerah yang dilaluinya, semakin kaya dan beraneka rupa isinya. Muatan itulah yang menjadikan agama Hindu bervariasi keberadaannya dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang. Namun demikian, Hindu bukanlah agama yang tidak mempunyai prinsip/standar baku. Religiusitas Hindu merupakan perjumpaan berbagai kreasi yang dapat mengusung visi dan misi Weda menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sesuai dengan kehidupan sosial. Dalam hal prinsip Hindu mengusung sraddha/keyakinan bersumber dari Tuhan diterima oleh para Maha Rsi berupa Wahyu (Sruti) sebagai sesuatu yang bersifat absolut/kekal abadi. Sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, bagaimana caranya mengembangkan yang absolut itu sehingga mudah diterima/dicerna oleh penganutnya sesuai dengan pembangunan, dibutuhkanlah metodelogi yang valid, berupa pendekatan yang disebut Nutana, yakni pembumian Sraddha yang abstrak tersebut dalam konsep dan konteks nyata, di mana Hindu tersebut berkembang sesuai tuntutan zaman. Pembumian ajaran Hindu sangat adaptif sekali karena sifatnya universal, lentur,dinamis dan relatif. Pendekatan Nutana mengenai konsep bentuk Tuhan yang bisa dipilih oleh penganutnya ( Istadevata ) dan ajaran tentang disiplin/jalan (marga) yang juga bisa dipilih. Dari ajaran dasar Istadevata yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh Kitab Suci Weda, apakah Personal God/Tuhan berpribadi atau Impersonal God/Tuhan yang tidak berpribadi sebagai obyek pemujaan, sepanjang dilandasi sraddha dan kemantapan hati nurani atau atmanastusti melekat dalam hati, itu dapat diterima dalam kehidupan sosial.
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
33
Ajaran dasar Istadevata ini memberikan keunikan pada Hindu, terutama pada teologinya, sehingga berbagai evolusiisme tentang ke Tuhanan dapat diakomudasi oleh Hindu, dari yang primitif seperti keyakinan animisme sampai yang post modern. Max Muller banyak menyelidiki tentang Hindu pada abad ke 19 dan beliau sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan Deva-Deva dalam agama Hindu. Menurutnya Hindu bukanlah agama polytheisme/menyembah banyak Tuhan, melainkan agama monotheime/menyembah satu Tuhan dengan sebutan banyak nama. Jika seandainya di dalam agama Hindu, terdapat seseorang yang telah memilih satu Deva tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Kitab Suci Weda maka Deva-Deva yang lainnya secara otomatis menjadi sub/bagian dari Deva yang dipuja. Kedudukan para Deva lainnya langsung berada di bawah Deva yang dipujanya. Bentuk pemujaan seperti ini sangat berlainan derngan polytheisme, yakni kedudukan antara Deva yang dipuja dengan para Deva lainnya sejajar dan sama, bahkan masih ada kompetisi kekuatan di antara para Deva tersebut.
* Dosen Prodi Magister Ilmu Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
34
I. Pendahuluan Ajaran Agama Hindu dimanapun tumbuh dan berkembang suatu ajaran Agama yang tatacara pelaksanaanya menyesuaikan dengan kehidupan sosial, budaya dan adat istiadat setempat, artinya dimana agama Hindu itu dan berkembang, di sana pulalah ia memperoleh kemasan, sehingga terkesan oleh yang belum memahami ajaran Agama Hindu secara utuh dikatakan sebagai agama yang tidak memiliki standar kebakuan yang jelas (Miartha, 2010:85) Akibatnya muncullah tudingan dari pihak lain terhadap Hindu dikatakan sebagai agama budaya, agama tradisi, agama buatan manusia, agama bumi, agama yang menyesuaikan dengan kehidupan sosial masyarakat.Tudingan negatif semacam itu semakin bertambah, ketika nilai-nilai luhur agama Hindu dengan memposisikan adat sebagai panglima bagi ajaran agama Hindu, sehingga wajah Hindu menjadi bias, seolah-olah kehilangan jati dirinya, diskriminatif, dijadikan alat untuk meraup keuntungan tertentu baik secara pribadi maupun kelompoknya (Wiana, 2006:45) Kapasitas budaya, adat/tradisi dalam kehidupan sosial beragama sebenarnya sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran Weda dengan bahasa local, dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang, sehingga tetap pelaksanaan beragama dapat berjalan dengan baik. Dasar itulah, Hindu sebagai agama tertua sampai saat ini masih tetap diminati oleh semua golongan dalam kehidupan sosial masyarakat. Eksis (Sura, 1989:24) (Tilak, dalam Miartha, 2010: 24) Hindu, kendati usianya sudah sangat tua yakni 80 abad menggunakan cara astronomi Rg Weda, masih tetap hidup subur dan jaya di permukaan bumi ini, karena dalam hidupnya ia bisa menyesuaikan tatacara beragamanya dalam kehidupan sosial dimasyarakat dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang tampa merubah maknanya. Nama Hindu sebenarnya tidak lahir dari founding father-nya, dalam hal ini para Maha Rsi. Nama Hindu diberikan oleh orang yang datang dari India sejak berabad-abad yang lalu. Mereka datang melalui celah-celah kayber, di barat daya pegunungan Himalaya. Kata Hindu hanya berarti: orang-orang yang mendiami Lembah Indus. Dari situ, keyakinan /faith) yang dianut oleh mereka itu kemudian dikenal sebagai Hinduisme. istilah ekspresi yang biasa dipakai dalam Kitab Suci di India untuk Hinduisme, adalah Vaidikadharma dan Sanatanadharma yang berarti agama/Weda-Weda dan agama yang kekal abadi ( faith ethernal) (Putra, 1988:23) Kitab Weda sebagai Kitab Sucinya umat Hindu berisi sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah perkembangannya menerima tambahantambahan dan interpretasi dalam literature-literatur agama yang ditulis, baik dalam bahasa Sanskerta maupun dalam bahasa-bahasa jawa Kuna atau bahasa lainnya dimana agama Hindu itu tumbuh dan berkembang. Kebenaran Weda ini, adalah kekal abadi, karena berisi ajaran -ajaran realitas spiritual (spiritual reality)(Cudamani, 1989:26). Sesungguhnya setiap agama mempunyai karakter, sifat, ciri masing-masing, yang merupakan pola dasar proses perkembangan agama tersebut, dalam perjalanan
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
35
sejarah penyebarannya ke seluruh dunia. Karakter tersebut merupakan ciri khas sebuah agama, sehingga menjadi barometer/ukuran pembeda antar agama yang satu dengan agama yang lainya ( Sura, 1988: 56). Agama Hindu sebagai salah satu agama besar dan paling tua di dunia, juga mempunyai karakter tersendiri. Karakter itu yang meyebabkan agama Hindu memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah panjang yang pernah dilaluinya, sepanjang zaman. Laksana bola karet yang menggelinding, semakin jauh, bola karet itu makin besar, juga membawa serta apa yang dilaluinya dan dilandanya akan ikut mewarnainya. Semakin jauh perjalanannya, semakin membesar bola karet itu dan berisi materi beraneka ragam yang menjadi kandungan bola karet tersebut. Jika bola karet itu dibelah isinya akan tetap sama yaitu karet. Demikianlah keadaan agama Hindu, semakin jauh dan beraneka macam daerah yang dilaluinya, semakin kaya dan beraneka rupa isinya. Muatan itulah yang menjadikan agama Hindu bervariasi keberadaannya di seluruh dunia, dalam dalam penyebutan tentang Tuhan, tempat Suci, sarana-sarana Upacara dan sebagaianya. Namun demikian, Hindu bukanlah berati agama yang tidak mempunyai prinsip/standar baku yang jelas. Sepintas ia, religiusitas Hindu merupakan perjumpaan berbagai kreasi yang dapat mengusung Visi dan Misi Weda sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan (Badjrayasa, 1980:45) II. Pembahasan Dalam hal prinsip Hindu mengusung Sraddha/keyakinan (faith) yang bersumber dari Tuhan diterima oleh para Maha Rsi berupa Wahyu (Sruti) sebagai sesuatu yang bersifat absolute/kekal abadi (Sanatana). Kemudian sebagai manusia mahluk tertinggi, bagaimana caranya mengembangkan yang absolut itu sehingga mudah diterima/dicerna oleh penganutnya, dibutuhkanlah metodelogi yang tepat guna agar bisa diterima oleh semua golongan dengan pendekatan yang disebut Nutana, yakni pembumian Sraddha yang abstrak tersebut dalam konsep dan konteks nyata, sesuai pembumian ajaran Hindu yang adaptif, luwes, fleksibel, dinamis dan relatif (Sura, 1989:45) Pendekatan Nutana ini meliputi ajaran mengenai konsep bentuk Tuhan yang bisa dipilih (Istadevata) dan ajaran tentang disiplin ataupun jalan (marga) yang juga bisa dipilih. Dari ajaran dasar Istadevata yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh Kitab Suci Weda, apakah Personal God/Tuhan berpribadi atau Impersonal God/Tuhan yang tidak berpribadi sebagai obyek pemujaan. Sepanjang dilandasi sraddha/kemantapan hati nurani/keyakinan/ atmanastusti, itu dapak dibenarkan menuerut tatacara ajaran agama (Sura, 1989:58) Ajaran dasar Istadevata ini memberikan keunikan pada Hindu, utama pada teologinya, sehingga berbagai evolusiisme tentang ke Tuhanan dapat diakomudasi oleh Hindu, dari yang primitif seperti keyakinan animisme sampai yang post modern. (Max Muller dalam Mirtha, 2010: 24), banyak menyelidiki
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
36
Hinduisme pada abad ke 19 sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan Deva-Deva dalam agama Hindu. Menurutnya bahwa Hinduisme bukanlah agama polytheisme melainkan agama yang tetap mempunyai keyakinan penyembah Tuhan sesuai dengan Pungssinya/tetap memotheisme (Mas Putra,1980:24) Jika seandainya di dalam agama Hindu, terdapat seseorang yang telah memilih satu Deva tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Kitab Suci Weda, maka Deva-Deva yang lainnya secara otomatis menjadi/bagian dari Deva yang dipuja. Kedudukan para Deva lainnya langsung berada di bawah Deva yang dipujanya. Bentuk pemujaan seperti ini sangat berlainan dengan polytheisme, yakni kedudukan antara Deva yang dipuja dengan para Deva lainnya sejajar dan sama, bahkan masih ada kompetisi kekuatan di antara para Deva tersebut (Cudamani,1987: 89) Sehubungan dengan itu (Max Muller dalam Miartha, 2010:34) kemudian menyebut agama Hindu sebagai agama Henotheisme, yakni keyakinan terhadap Yang Esa/Monotheime dalam Yang Banyak/Politheime seperti tertuang dalam tattva “Eka Tva Aneka Tva Svalaksana Bhatara”. Dia juga menyebutkan Hindu sebagai Kathenoisme, di mana adanya Deva tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh Deva yang lain sebagai Deva tertinggi, misalnya dahulu di zaman Weda, api di kuasai oleh Agni. Saat ini Devanya api adalah Brahma. (Prof Murti dalam Mirtha, 2010: 47) mengatakan Hinduisme adalah pantheisme, suatu keyakinan yang menganggap di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dan dikuasai oleh Tuhan. Adanya ajaran dasar Istadevata memberikan pilihan yang demokratis kepada umat Hindu untuk mengapresiasi Tuhan dengan berbagai wujud dan nama-Nya. Dengan demikian Hindu sangat berbeda pandangannya tentang Tuhan. Di India seiring dengan bergulirnya sang waktu, dasar ajaran Istadevata inilah kemudian melahirkan berbagai garis perguruan yang disebut Sampradaya. Sampradaya ini mendapat tempat penyemaian yang subur pada zaman Purana, dibuktikan dengan munculnya pemujaan terhadap Deva Brahma, Visnu dan Siva. Kemudian pada zaman belakangan muncul pula pemujaan terhadap sakti yang melahirkan ajaran Sakta, yakni pemujaan kepada Tuhan dalam aspek feminum/wanita sebagai yang Maha Pemberi berkah. Penonjolan pemujaan terhadap salah satu aspek Tuhan seperti: Brahma Visnu dan Siva maupun Sakti seakan-akan memunculkan faham yang bersifat sekterian. Mengingat setiap bentuk pemujaan kepada Tuhan dengan pilihan Deva di atas akan menetapkan ajaran teologinya tersendiri, yang kadang-kadang terkesan fanatik dan bersifat eksklusif (Pudja, 1989:21) Di daerah tertetentu seperti di Bali sebagai tempat yang subur tumbuh berkembangnya Hinduisme maupun Buddha, mengikuti pula pola pengembangan agama yang ada di negeri induknya. Di Bali pada zaman dahulu tidak dikenal dengan sampradaya, namun istilah ini paralel dengan Paksa yang mulanya berarti sayap kemudian memiliki makna aliran.
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
37
(Goris dalam Pudja, 1980) menyebutkan, bahwa di Bali telah berkembang sembilan sekte/paksa yang terdiri dari Saiva Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Vaisnava, Boddha, Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Kehadiran Mpu Kuturan ke Bali di awal abad XI merupakan pelopor yang mempersatukan seluruh paksa itu di bawah naungan Saiva Siddhanta. Hal tersebut berdasarkan dokumen literel yang kita warisi sampai saat ini. Mengingat Saiva Siddhanta sangat akomudatif dalam tataran Sadasiva Tattva untuk menerima Isatadevata yang delapan itu. Sumber-sumber Tattva di Bali berupa dokumen literel, seperti Bhuvana Kosa, Vrhaspati Tattva, Jnana Siddhanta, Tattva Jnana dalam teologinya menempatkan Siva sebagai Istadevata/azas tertinggi sebagai Tuhan. Bukti ini sangat jelas menunjukkan bahwa umat Hindu adalah penganut Istadevata Siva atau Saivapaksa. Faham ini bisa diterima mengingat ajarannya sangat demokratis dan egaliter, mengakui adanya persamaan dan kesetaraan bagi penganutnya. Namun belakangan wajahnya menjadi bias begitu elit-elit dari sekte ini bersinergi dengan kepentingan elit politik yang mendukungnya. Bagitu elit dari sekte yang didukung oleh negara atau berhasil tampil sebagai elit yang berkuasa, akan memonopoli keagamaan melalui kursi perlemen/ Negara/politik (Ardana, 1980:34) Hal ini akan membawa konsekwensi pada putusan politik yang merugikan umat yang dipimpinnya. Sikap menentang berarti melawan Negara bahkan dianggap sebagai suatu penghianatan. Aliansi agama dengan negara akan menimbulkan eksploitasi yang luar biasa terhadap konsep agama. Misalnya Hindu memiliki konsep Catur Warna (pembagaian masyarakat berdasarkan profesinya) menjadi bias akibat dikelola secara politik menjadi Catur Vangsa (pembagian masyarakat berdasarkan geneologisnya). Situasi yang demikian ini secara sosiolologis menciptakan status atas dan status bawah, (Siva-Sisya, Ratu-Panjak) (Cudamani, 1987:54) Untuk menegakan kondisi di atas pelaksanaan keagamaan diciptakan sistem ketergantungan antara Sisya dengan Sivanya, maka diafiliasilah ajaran Saiva Siddhanta dengan Tantra Bhairava yang kemudian melahirkan prilaku keagamaan yang lebih membobotkan pada pelaksanaan ritual dengan berbagai macam simbolnya demi memperoleh visesa/daya magis, sehingga timbul kesan sifat ajarannya menjadi tertutup/rahasia. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mempelajarinya terutama dari status atas. Sedangkan bagi status bawah prilaku keagamaan cukup dengan mengadakan tindakan ritual saja. Posisi ajaran yang demikian ini menempatkan Saiva yang bercorak Tantris ke dalam pola keberagamaan yang Arkais/primitive (Miatha, 2010:25) Ajaran dasar Adhikara, memberikan kebebasan kepada penganut agama Hindu untuk memilih disiplin spiritual, tatacara kebaktian/upasana maupun kreasi yang sesuai dengan budaya, kemampuan, kesenangan, kemantapan hati (atmanastusti) si penganut Hindu. Cara melaksanakan pemujaan dan dengan sarana apa saja yang dipakai untuk pemujaan itu, adalah sangat bergantung dan terserah selera si pemuja. Sepanjang visi dan misi Weda terakomudasi dalam berbagai kreasi
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
38
tersebut. Akibat dari ajaran dasar ini banyak kemudian ditemukan tradisitradisi/acara yang berbeda dalam penerapan ajaran agama Hindu (Sudharta, 1989:110). Tradisi yang berbeda ini dengan berbagai variasinya ini di jamin oleh pustaka suci Bhagavadgita (B.G IV.11) Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima, dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Partha. Lebih lanyut (B.G. VII.21) Bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan keyakinan tak berubah-ubah itu sesungguhnya, Aku sendiri yang mengajarnya. Menurut Kitab Suci Bhagavadgita jalan dan disiplin yang bisa di tempuh terakomudasi menjadi empat jalan disebut Catur Yoga Marga untuk menuju Tuhan. Bervariasinya jalan dan disiplin yang diberikan kepada umat Hindu merupakan bentuk penghargaan kepada individu, bahwa religiusitas seseorang merupakan sesuatu yang paling azasi dalam hidup manusia, yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain. Munculnya konsep dasar ajaran Istadevata dan Adhikara dalam Hindu berdasarkan pandangan umat Hindu, bahwa Kitab Suci Weda itu bersifat apaurushya/tidak dibuat oleh manusia, nitya/kekal abadi. Weda itu diperoleh melalui revalations/sruti/wahyu yang diterima oleh para Maharsi. Namun mengingat keterbasan yang dimiliki oleh manusia belum jivan mukti, inilah yang mengakibatkan pemahaman terhadap Weda menjadi multitafsir (Ngurah, 1987:58). Secara konstruksi lahiriah Hindu hadir dengan berbagai aliran filsafat dan memiliki pendekatan multi dimensi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya sekte dalam Hindu. Jika masing-masing sekta menyadari jalan yang ditempuh menuju pada titik yang sama, maka akan terjadi persatuan dalam keanekaragaman/unity in diversity. Semangat inilah yang dilembagakan oleh pemilik modal spiritual/para Maha Rsi sejak zaman India kuno. Sikap menerima perbedaan ini melahirkan berbagai bentuk tradisi dari yang bercorak primitif sampai bentuk monotheistik dan monistik yang tinggi dapat dijumpai dalam ajaran Hindu (Miartha I Wayan, 2010:98) Agama Hindu berpendirian, bahwa setiap bentuk pemujaan dianggap sebagai satu langkah maju yang sangat berguna untuk menuju keadaan yang lebih tinggi. Bahkan setiap bentuk pemujaan itu dipandang dengan toleran dan pengertian yang sangat mendalam. Agama Hindu tidak memaksa akan adanya keseragaman bentuk pikiran dan cara berpikir serta dalam praktek beragama. Agama Hindu menyadari, bahwa setiap manusia memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang beraneka ragam, bahkan menyadari bahwa setiap manusia berada pada tingkat perkembangan spiritual yang berbeda. (Putra,1989:29). Sehubungan dengan itu, Mahatma Gandhi mengatakan bahwa,” Hinduisme adalah sebuah organisme hidup, yang dapat berkembang dan juga mati, merupakan subjek hukum Nature (Tuhan). Akarnya begitu besar dan kuat, yang sudah tumbuh pada pohon yang besar, dengan cabang dan ranting yang tidak terhitung jumlahnya.
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
39
Perubahan musim mempengaruhinya, dia mempunyai musim gugur, musim panas, musim dingin dan musim bunga (Miartha, 2010:45). (Max Muller dalam Miatha, 2010) mengatakan, bahwa” agama Hindu mempunyai kamar dan untuk setiap kamar Hindu merangkul mereka dengan toleran” Begitu juga pedapat ( Dr. K. M. Sen dalam Mirtha, 2010: 29) mengatakan: “definisi agama Hindu lebih menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahanlahan, dibandingkan dengan agama lain. Ibarat sebuah bangunan megah yang dikonstruksi oleh arsitek besar, pada saat tertentu dalam satu waktu tertentu pula”. Agama Hindu tidak menekankan faithnya/keyakinannya kepada seorang Rsi/Nabi, ini disebabkan, adanya pandangan bahwa jalan menuju Tuhan sangat luas pada vision yang terus menerus dan experience pada Tuhan yang tiada hentihentinya. Tuhan ada tanpa awal tanpa akhir (Pudja, 1989:49) (Radhakrisnan dalam Miartha, 2010:27) juga memperkuat, bahwa Hiduisme lebih merupakan suatu cara hidup daripada suatu bentuk pemikiran. Beliau memberikan kebebasan mutlak dalam dunia pemikiran, agama Hindu menekankan satu etika dan disiplin dalam berbagai cara sesuai dengan tradisi, budaya dan kehidupan sosial dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang. Agama Hindu terlihat banyak sekte dan ideologi, namun semua sekte itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas satu Reality yang sama, dan sektesekte itu pada hakikatnya adalah cara yang berbeda untuk mencapai goal tujuan yang sama. Keanekragaman itu bukanlah bentuk akhir/final agama Hindu, tetapi semua bentuk atau sekte itu adalah laksana untaian sebuah persatuan dan kesatuan. Kesatuan (unity) itu dapat ditemukan dalam nilai-nilai dan tujuan/goal terakhir yakni, Moksa, serta beberapa konsep filsafat mereka yang sama misalnya, karma, samsara, atma dan Brahman, dibalik yang dianut oleh semua aliran atau sekte yang beraneka ragam itu (Ardana, 1989: 23). Walaupun beraneka ragam tatacara pelaksanaan cara beragama Hindu, tetapi tujuannya sama, misalnya berikut ini semua akan menjelaskan, mengapa konsep filsafat yang kelihatannya bertolak belakang seperti Monisme/hanya Tuhan yang real, Sankara, dan dualismenya, Madhva/kapan hamba dapat menyembah kaki-Mu. Dari aliran Bhakti, tidak menimbulkan konflik kekerasan, saling berkontribusi satu dengan yang lainya. Landasan pijakan di atas/spiritual lines, yang menyebakan agama Hindu tetap rukun secara internal. Kemasannya akan menyesuaikan irama perkembangan dan perubahan alam semesta dan zaman dipermukaan bumi ini. Landasan spiritual lines sebagai tempat berpijak agama Hindu, sangat universal/umum. Oleh sebab itu untuk menerangkan prinsip-prinsip agama Hindu kepada orang yang belum familiar/mengerti tentang Hindu secara utuh memang merupakan usaha yang sulit dan tidak mudah, sebab istilah-istilah dalam agama Hindu, sulit sekali dicarikan padanaan katanya dari bahasa lain. Hal itu disebabkan karena istilah-istilah tersebut merupakan mengungkapan spiritualitas umat Hindu, yang sangat berbeda jauh dengan spirit agama lainya.
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
40
Dengan karakter Istadevata dan Adhikara tersebut, agama Hindu merangkul semua tradisi dan budaya penganutnya. Hal itu yang menimbulkan keaneka ragaman bentuk dan cara pelaksanaan upacara keagamaan di seluruh dunia. Bahkan di dalam Manava Dharmasastra dicantumkan bahwa sumber hukum agama Hindu ada lima; Sruti, Smerthi, sila, acara dan atmanastusti. Corak keberagaman dalam ajaran Agama Hindu terakomudasinya berbagai kreasi, budaya, tradisi dan berbagai tingkat perkembangan spiritual dalam kehidupan sosial kiranya agak kesulitan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh orang yang belum memahami Hindu secara utuh. Sepintas tatacara pelaksanaan ajaran agamanya seperti campur sari, persahabatan dari berbagai keyakinan dan juga gabungan filsafat yang memberi hidangan guna perenungan bagi para pemikir yang berbeda. Landasan/dasar Hindu semua jenis filosofi sangat diperlukan karena apa yang menarik bagi seseorang, belum tentu menarik bagi orang lain, dan apa yang mudah bagi seseorang kemungkinan sulit bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan pandangan yang berbeda dalam kebersamaan. Itulah Hindu. Bertitik tolak dari pemikiran, di atas itulah yang menyebabkan Hindu hadir dengan berbagai kemasan/kulit, sesuai tingkat pendukung kebudayaan, tradisi/adat dalam kehidupan sosial masyarakat, Hindu dapat tampil dengan wajah primitif dengan animismenya, kekunaan dengan budaya agriculternya, agama historis dengan transendentalisme, dualismenya, agama modern dengan rasionalisasinya maupun tingkat keberagamaan post modern dengan spiritualnya masing-masing dalam kehidupan sosial, semuanya benar. Wajah Agama primitif, secara umum dikenal budaya pra agama. Tindakantindakan relegi terproyeksi ke dalam aneka macam kepercayaan seperti: animisme yaitu, keyakinan akan adanya roh, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. Corak keyakinan seperti ini masih kental ditemukan pada umat Hindu yang sama sekali tidak tersentuh dengan pencerahan (Linus,1989):29). Dinamisme, keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam/pada bendabenda tertentu. Kekuatan ini dapat berupa mahluk (personal)/tanpa wujud. Secara umum umat Hindu masih sangat mempercayai kekuatan-kekuatan tersebut yang ada pada benda-benda yang dianggap bertuah/hidup seperti keris, batu permata yang tergolong paica. Totemisme, keyakinan akan adanya binatang-binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang-binatang tersebut diyakini memiliki daya magis yang sangat kuat. Umumnya adalah binatang mitos, juga binatang tertentu di alam ini yang dianggap keramat. Totemisme masih sangat kental dipercayai oleh umat Hindu, dipandang sebagai anak buah (ancangan/unen-unen) dari Tuhan, yang mempunyai tugas sebagai penjaga suatu tempat keramat. Magi yaitu, keyakinan akan adanya praktik sihir. Pada corak keberagamaan yang bersifat magi manusia yakin bahwa secara
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
41
langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam antar mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, Adanya praktek teluh misalnya merupakan ekpressi dari corak keberagamaan model ini. Magi terbagi dalam dua jenis yaitu tiruan dan sentuhan. Magi tiruan di dasarkan pada prinsip kesamaan dalam bentuk atau dalam proses seperti foto atau gambar. Magi sentuhan didasarkan pada hukum sentuhan fisik atau penularan. Penularan ini dapat mencelakai orang kalau diperoleh rambutnya, kuku atau secarik kain yang pernah bersentuhan. Dalam sistem ritual/upacara yang bersandar pada budaya Tantris yang lebih mengutamakan daya magi (visesa). Praktik magi adalah hal yang biasa, seperti penggunaan berbagai sesaji dengan segala suplemennya adalah sesungguhnya merupakan praktik magi. Ada unsur darah sebagai bahan dasar kehidupan/pengurip-urip melalui tabuh rah, nyambleh adalah penerapan agama model ini. Ancestor Worship/Pemujaan leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orangorang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai mahlukmahluk yang berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Bentuk pemujaan tersebut mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif. Pemujaan kepada leluhur sesungguhnya telah dimulai sejak zaman purba. Bukti secara arkeologis dapat ditemukan dari zaman megalitikum, dengan ditemukannya punden berundak, yang kemudian menjadi bebaturan atau tempat pemujaannya disebut Batur Kalawasan (Linus, 1989:56) Agama Arkais ( kuna) dinyatakan (Robert Bellah dalam Miartha,2010:87) ciri agama ini adalah munculnya pemujaan sejati dengan jaringan Deva-Deva, para imam, penyembahan, pengorbanan, raja memegang wewenang kepemimpinan agama (Pandita-Ratu) atau sebaliknya Ratu Pandita. Selain ciri di atas, corak keberagamaan model ini dicirikan dengan adanya pembobotan pada pemujaan dengan pelaksanaan ritual. Kemudian ciri organisasi keagamaannya dinyatakan masih menyatu dengan struktur lainnya. Kemunculan dua kelas, yang terkait dengan meningkatnya kepadatan penduduk yang dimungkinkan oleh agriculture. Kelompok status atas, yang condong memonopoli kekuasaan militer politik dan agama, biasanya mengklaim diri memiliki status keagamaan yang lebih tinggi. Keluarga-keluarga ningrat bangga dengan garis keturunan mereka yang berasal dari Deva-Deva yang kerap kali memainkan peran-peran keimaman. Pandita Ratu/divine king, yang merupakan penghubung utama antara rakyat dan para Deva. Corak keberagamaan arkais ini sangatlah bersifat konvensional, dengan menitik beratkan pada dimensi ritual yang masih dilandasi oleh jaringan mithos. Simbol-simbol keagamaan yang digunakan dalam ritual kian memperoleh karakter yang tegas. Terkait dengan aspek sosiologi terciptanya masyarakat status atas dan status bawah (Siva-Sisya, RatuPanjak) (Cudamani,1989:21).
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
42
Realita ini menambah semakin rumitnya pelaksanaan ritual keagamaan yang didefinisikan sebagai suatu keteraturan dinyatakan dalam sistem simbolik yang relatif stabil, disertai dengan-peran-peran kaum imam. Sikap monopoli status atas yang mengklaim diri memiliki status keagamaan lebih tinggi. Tindakan keagamaan menjadi formal dengan aturan yang sangat rumit. Keselamatan dunia sangat bergantung dari peran kaum Imam (Masyarakat status atas). Keluar dari sistem itu dianggap pengingkaran terhadap penyelamatan., seperti Ngutang Siva, Ngutang Pagustian. Fenomena beragama model inilah yang masih ditemuai. Agama Histori, yaitu corak keberagamaan model ini ditandai dengan munculnya dalam masyarakat-masyarakat yang sedikit banyak sudah beraksara mengenal dokumen tertulis/literal.Agama model ini telah memasuki disiplin sejarah dan meninggalkan disiplin arkeologi atau etnografi. Kriteria yang membedakan agama Historis dari agama-agama Arkais adalah bahwa semua agama Historis dalam pengertian tertentu bersifat transenden. Sifat keberagamaan model ini adalah dualistis. Sifat yang demikian ini diekspresikan dalam perbedaan antara dunia kini dan kehidupan setelah mati. Jika pada corak keberagamaan primitif dan arkais berpusat pada dunia ini, sekarang cendrung berpusat pada kehidupan lain, yang mungkin sangat baik atau dalam situasi-situasi tertentu dengan munculnya konsepsi yang berbeda-beda tentang neraka. Lahirnya berbagai aliran keagamaan dalam Hindu yang disebut sampradaya merupakan bukti corak keberagamaan model ini. Dalam sudut pandang corak beragama model ini manusia tidak lagi didefinisikan terutama dari segi asal suku atau klannya, atau dari segi Tuhan yang disembah, melainkan sebagai mahluk yang mampu meraih keselamatan. Agama Modern, yaitu corak keberagamaan modern bangkit seiring dengan peradaban manusia memasuki tatanan hidup industri. Industrialisasipun memasuki ranah keagamaan, budaya rasional, efisien, mekanik ikut mempengaruhi religiusitas masyarakat. Pada tatanan model ini agama tidak hanya diyakini, tapi lebih banyak dipertanyakan. Agama tidak hanya dilihat dari dimensi substansional, dimana kesolehan iman terjabar melalui tindakan ritual, dengan berbagai bentuk tindakan pelayanan yang ditujukan untuk menyenangkan Tuhan. Dalam dimensi ini agama hanya terekam dalam keadaan statisnya yang dapat ditemukan pada kepercayaan, doktrin, keimanan atau praktik-praktik keagamaan dalam bentuk ritual. Kehadiran agama dengan berbagai tindakan simbolik memperoleh penekanan pada pola keberagamaan arkais telah mempromosikan dan mengantarkan manusia pada dunia yang berbeda (the other wordly)/The beyond. Terhadap permasalahan sosial peran agama menjadi mandeg, mulailah peran agama dipertanyakan dalam tindakan praksis, dari berteologi yang transenden menuju teoanthropologi yang imanen praksis. Pola keagamaan modern akan menempatkan proses keberagamaan sebagai konseling dengan para imam sebagai konselor sekaligus mentornya. Pada pola model ini agama diharapkan dapat memerankan dimensi fungsionalnya, untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
43
(problem solving) Karena kehadiran agama dirasakan tidak cukup dijabarkan pada dimensi ritualnya saja. Bagi kaum modernis yang rasionalis fungsi penyelamatan/salvasi dari suatu agama, harus mampu mengakomudasi berbagai dimensi, seperti; ideologis, ritualistik, eksperensial, intelektual dan dimensi konsekuensial. Jika agama yang dianut oleh kaum rasional ini dirasa tidak dapat menampung berbagai dimensi tersebut di atas, akan menyebabkan seseorang atau masyarakat memilih keyakinan yang lain dengan meninggalkan keyakinan sebelumnya. Konversi ini merupakan bentuk perlawanan untuk mengadakan perubahan. Konversi tidak harus diartikan perpindahan yang bersifat eksternal, bisa juga intewrnal. Pindah jalan dalam satu agama juga dikatakan sebagai konversi internal seperti banyak umat Hindu masuk sampradaya, Hare Krsna, Radaswami, Bahma Kmaris, Ananda Marga yang belakangan muncul dari India. Selain mengkonversi secara internal dan eksternal, munculnya wacana penyederhanaan bentuk ritual serta pemahaman tattva dan pelaksanaan susila yang seimbang, merupakan produk dari agama yang bercorak modern. Agama masuk dalam hitungan matematis dan filosofis. Agama post Moderan, yaitu keberagamaan, kehadiran Tuhan sebagai sentra komando yang bersifat transcendental yang dalam agama dirasakan gagal membawa misi dan visi perdamaian/penyelamatan. Maka dalam pemahaman corak keberagamaan model ini seseorang akan meng-upgrade dirinya ke wilayah personal sebagai sari pati dari kehidupan yang memiliki sifat-sifat yang universal. Wilayah itulah yang disebut spiritual. Batas agama yang satu dengan agama lainnya sering menjadi kabur bagi penganut spiritualis. Penziarahan untuk mencari Tuhan tidak lagi dalam wilayah transenden melainkan beralih aluan ke wilayah imanent. Wilayah agama model begini lebih mementingkan potensi pengembangan diri untuk menentukan pilihan guna merubah arti kelahiran yang tidak hanya sebatas hewani menuju pada insani, tetapi lebih jauh dikembangkan menuju pada pencapaian Ilahi/Devani. Menuntaskan proses evolusi hewani/insane/ilahi atau manavatvammanava-madhvatvam, manusia sesungguhnya telah menggunakan kemerdekaan yang sejati untuk mengontrol kehidupan ini sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap hidupnya. Dengan menyadari hal ini seseorang telah memiliki kematangan spiritual. Dalam ajaran Hindu dasar-dasar spritual telah di letakkan sejak zaman upanisad. Renungan dan hasilnya dalam bentuk wacana-wacana bijak adalah sebuah penemuan diri. Atas dasar spiritualitas inilah Hindu menjadi suatu agama yang tidak final. Setiap penganutnya dipersilahkan melakukan pencarian ke dalam diri sebagai penziarah-penziarah dalam wilayah psikis untuk membuka tabir yang potensial dalam diri yakni spirit. M.K Gandhi merupakan tokoh yang sangat tersohor dari keberagamaan model ini. Kita temukan pula Anand Krisna, serta tokoh lokal kita Gede Parama. Begitu pleksibelnya spirit Hindu yang dapat memasuki cassing berbagai culture adat
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
44
dan tradisi yang ada, merupakan keunggulan untuk dapat bertahan dan survival sepanjang zaman. Karena tradisi, adat istiadat serta budaya yang disebut dengan Acara, memiliki kapasitas sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran Weda dengan bahasa lokal, agar sampai tegak menjadi tradisi atau adat Hindu yang kuat, serta memiliki sifat yang kenyal dan elastis. Namun jika salah memposisikan adat dan tradisi ditambah lagi dengan penanganan yang lebih banyak berpegang pada arogansi kekuasaan, dan berbagai intrik, yang semestinya adalah agama yang diadatkan, tapi yang terjadiadalah adat yang diagamakan, itu sangat riskan. Nilai-nilai luhur agama mengalami reduksi disebabkan oleh peran adat menjadi Panglima bagi agama Hindu, itu tidak diharapkan. Wajah Hindu mengalami bias, sehingga kehilangan humanismenya dan menjadi diskriminatif, seperti direduksinya ajaran Catur Warna menjadi Catur Wangsa. Situasi yang demikian ini merupakan lahan yang empuk timbulnya benih-benih konflik secara internal, seperti diskriminasi dalam muput yajna, kasepekang, serta masih banyak kasus-kasus adat atas nama label agama yang semestinya tidak perlu terjadi. Berkutatnya umat Hindu dengan permasalahan adat yang dicampur baurkan dengan agama, tak pelak mengundang tudingan yang tak sedap dari pihak lain, dengan menyebutkan Hindu sebagai agama tradisi, buatan manusia, agama budaya, agama bumi (tabi’i) atau paganisme, walaupun telah dilakukan resistensi dengan mengutip sumber teks, Hindu mengalir dari Weda, diwahyukan oleh Tuhan melalui para Maharsi merupakan ajaran yang bersifat Sruti, yang artinya yang didengar, bukan buatan manusia atau apauruseyam. Namun tetap saja ada pihak-pihak tertentu untuk melanggengkan hegemoninya. Jadi antara pernyataan dan kenyataan sebagai sesuatu yang sangat paradoks. Agama Hindu adalah agama yang sangat luwes, lentur, universal, dinamis, untuk itu dimanapun agama itu tumbuh dan berkembang, ia akan bisa menyesuaikan sesuai dengan situasi dan kondisi dilapangan, tanpa di tanggalkan maknanya. Untuk itulah dalam ajaran agama Hindu untuk meyebut nama Tuhan ada bermacam nama diberbagai daerah. Ini dapat dibenarkan dalam Kitab Suci Hindu yaitu Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku “oh partha”(BG, IV. 11) Seloka ini memberikan pandangan yang universal dari ajaran Gita. Tuhan memberikan kebebasan setiap penyembahnya dengan bebas untuk berhubungan dengan-NYA, sesuai dengan keinginannya masing-masing. Dia tak akan memupus harapan siapa pun yang akan berhubungan, tetapi malah membantu semua harapan agar dapat tumbuh sesuai dengan kodratnya masing-masing. wujud yang dipergunakan untuk mencapai yang tanpa wujud, untuk berekpresi dalam mendekatkatkan diri pada Tuhan sesuai dengan apa yang mereka sukai, asalkan jangan menanggalkan unsur-unsur tatwa dan susila adalah sah menurut Kitab Suci dan Susastranya. Para pemikir Hindu menyadari bahwa berbagai macam jalan dapat ditempuh dalam usaha mendekati Tuhan. Tuhan tak mungkin bagi siapa pun juga untuk dapat
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
45
memberikan gambaran dari realitas tertinggi itu. Dari titik pandang metafisika (Paramartha) tak ada manifestasi apapun yang dapat dipakai sebagai kenyataan mutlak, sementara dari sudut pandang pengalaman (Wiyawahara) masing-masing wujud yang dipilih memiliki validitas tertentu, dan wujud-wujud yang kita puja membantu kita untuk menyadari keberadaan sang diri batin kita. Selama objek pemujaan itu tertanam kuat Dia akan memasuki pikiran batin dan bersemayam di sana. Dasar inilah kiranya yang menjadi rujukan umat Hindu dimanapun beraada dalam tatacara beragama menyesuaikan dengan lapangan. Walaupun dalam perkembangan sejarahnya merupakan peninggalan yang tertua, karena dari kurun waktu ke kurun waktu tertentu sudah pasti mengalami suatu perubahan-perubahan dalam penerapan ajarannya, namun pada intinya tetap merujuk kepada kebenaran. Memahami kebudayaan dan cara praktek agama Hindu yang berbeda-beda berbagai pelosok di Indonesia, baahkan dunia salah satunya adalah di Kalimantan tengah kita haruslah mencermati secara bijak karena dalam kenyataannya berbagai Hindu di daerah memang memiliki budaya khas masing-masing tetapi tetap memiliki benang merah satu dengan yang lain yang tidak bisa dipisahkan. Dengan keterbukaan dalam mempelajari praktek agama Hindu pastilah menghasilkan perbedaan-perbedaan pandangan, apalagi ajaran-ajaran yang disediakan dalam praktek itu ada yang merujuk pada lontar ada juga yang merujuk kepada Kitab-Kitab Suci. Memang terkesan oleh komunitas bukan Hindu kelihatannya susah untuk bisa memahami seperti pada awal-awal dibentuknya Departemen Agama tanggal 3 Januari 1946 setahun setelah kemerdekaa, Hindu belum menjadi bagian daripada Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) karena mereka belum bisa meyakinkan pemerintah dengan satu nama agama seperti pernah disebutkan pada awal lahirnya dengan Agama Tirtha, Agama Bali, Agama Siwa, dan sebagainya. Sukurlah atas perjuangan I Gusti Bagus Sugriwa dapat meyakinkan pemerintah baik dalam penyebutan nama agama ataupun banyaknya Dewa-Dewa yang kiranya susah untuk dimengerti oleh komunitas non Hindu akhirnya bisa meyakinkan bahwa semuanya itu adalah semacam personifikasi saja untuk memudahkan umat awam mengingatnya atau menerjemahkannya ajarannya. Atas perjuangan ini 1958 keluarlah surat keputusan menteri agama Hindu menjadi bagian dari Depertemen Agama, tepatnya sejak tanggal 2 Januari 1959. Berdasarkan data tersebut di atas apabila dicermati secara baik-baik memang benar pendapat dari beberapa pakar Hindu agama yang tertua dalam sejarah perkembangannya terus mengalami pasang surut. Sejak puluhan tahun belakangan ini terlebih dengan dibukanya keran reformasi maka ketertinggalan-ketertinggalan itu sedikit demi sedikit namun pasti sudah bisa terlewatkan dengan bukti Hindu semakin disejajarkan dengan umat-umat beragama yang lain di Indonesia. Menghadapi suara-suara miring yang sering dilontarkan oleh umat Hindu bahwa dalam kegiatan-kegiatan upacara keagamaan menurutnya haruslah sesuai dengan budaya setempat, artinya bagi umat Hindu masing-masing daerah apalagi
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
46
umat Hindu etnis asli setempat susahlah kita untuk meyeragamkan upacara keagamaan seperti yang dilakukan umat Hindu mayoritas. Namun perbedaan itu bukanlah sebagai suatu penghancur keseragaman daripada beragama, mari perbedaan itu dijadikan kebersamaan, dan kebersamaan itu dijadikan suatu perbedaan. Itulah Hindu di ibaratkan sebagai taman bunga di sebuah taman. Taman yang dikatakan indah bukankah terdiri dari bermacam-macam tanaman bunga. Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas memang ada berbagai ritual di kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh pemeluk agama Hindu ada persamaannya. Kebetulan kami pernah ditugaskan dari daerah ke daerah lain seperti di Sulawesi tenggara misalnya ada upacara ke tepi laut yang dilakukan oleh umat Hindu di sana, namun upacara seperti ini di Bali disebut dengan upacara mekelem. Di Kalimantan selatan ada upacara yang disebut dengan aruh ganal, aruh sedang dan aruh halus (besar, sedang, kecil) yang di Bali identik dengan upacara mebiukukung mantenan/upacara keselamatan. Di Kalimantan tengah ada upacara yang disebut dengan upacara waranabla atau upacara tertinggi dalam upacara pengabenan dan upacara tiwah yang di Bali diidentikkan dengan upacara ngaben atau matiwa-tiwa. Ketika islam menguasai Majapahit sekitar abad ke 18 kala itu Hindu yang ketika itu lebih dikenal dengan sekte seperti : Sekte Siwa, Sekte Brahmana, Sekte Bairawa, Sekte Indra, Sekte Waisnawa dan masih banyak lagi, telah menyebabkan Hindu pada zaman itu kepercayaannya menjadi terpecah-pecah, ada yang berkembang di Bali, ada yang berkembang di Jawa, Sumatera, Sulawesi atau daerah lain di Indonesia yaitu dengan sendiri-sendiri sehingga mempunyai bentuk yang berbeda-beda dalam pelaksanaan tata cara upacaranya, terlebih di komunitas Hindu di Bali dengan adanya sistem griya atau kelompok. Hubungan antara India sebagai sumber daripada agama Hindu menjadi terputus. Keadaan seperti inilah berjalan sekitar 500 tahun sejak abad ke 14. Dengan adanya pengalaman-pengalaman seperti itu seharusnya oleh umat Hindu komunitas Bali yang berada di daerah rantau masalah perbedaan-perbedaan janganlah dijadikan suatu ganjalan yang berarti dan marilah perbedaan-perbedaan itu dijadikan suatu taman bunga di mana taman bunga yang baik adalah terdiri dari bermacam-macam bunga. Bila ada sebagian masyarakat yang selalu mempersalahkan perbedaanperbedaan beragama dalam tata upacara kami yakin ke depanena ini diatur dalam Kitab Suci. Berbagai ritual yang kami temui di kepulauan nusantara salah satu ciri persamaannya yang merupakan harga mati adalah percaya kepada leluhur. Inilah yang menciptakan berbagai ritual di masing-masing daerah menyesuaikam sesuai dengan budaya/tradisi setempat. Prinsipnya berbagai tradisi ini tetap berpegang teguh kepada prawerti kuarohdening sang hyang aji (bersumber kepada Kitab Suci. Karena tradisi itu relatif akhirnya banyak kreasi-kreasi budaya tercipta, sedangkan Dharma sebagai pengayomnya bersifat mutlak. Perbedaan ritual Hindu di berbagai daerah juga disebabkan tak adanya tradisi tulis di berbagai tempat ini pula kemudian
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
47
menyebabkan mereka tidak mengaku Hindu tetapi menyebut kepercayaan nenek moyang seperti yang terdapat pada umat Hindu asli dibeberapa daerah. Dengan semakin terbukanya komunikasi dan informasi yang begitu cepat yang seolah-olah tidak dapat dibendung, maka berharap masing-masing komunitas tersebut memiliki kejujuran untuk mengakui identitas sebagai Hindu sejati. Karena dengan kejujuran mereka pun akan lebih mudah membina kehidupan kepercayaan, karena Hindu tak akan menuntut penyeragaman tetapi hanya menekankan pada esensi filosofinya. Warisan Majapahit akan bertahan dengan keunikan/tradisi-tradisi selama ini sebagai pemeluk Hindu maka tak ada lain sebagai payung spirit adalah Kitab Suci Weda, bukan yang lainnya. Dengan mengacu pada spirit Weda maka berbagai kebudayaan Hindu di Indonesia lebih-lebih di Kalimantan tengah akhirnya merasakan satu kesetaraan sebagai penganut Weda. Weda memang menjadikan Kitab Suci Hindu, dan sedikitpun tidak mengebiri berkembangnya kreativitas budaya Hindu, justru lebih menjamin kebebasan mengekspresikan rasa bakti sesuai dengan kemampuan, tingkatan, jnana (SDM) dan situasi masing-masing dilapangan. Untuk memperjelas penjelasan di atas, bahwa ada lima pertimbangan untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran agama Hindu sesuai dengan budaya setempat. Dharma yang merupakan inti daripada Weda haruslah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan individual maupun kehidupan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk berhasilnya pengamalan Dharma dalam meningkatkan kehidupan menjadi lebih baik dan lebih bahagia penerapan Dharma agama hendaknya didasarkan pada lima pertimbangan sesuai dengan kondisi dan situasi dilapangan. Iksa yaitu tujuan mulia dari setiap individu, kelompok ataupun masyarakat yang akan mengamalkan ajaran agama. Tujuan atau cita-cita merupakan perimbangan utama yang harus disukseskan melalui pengamalan agama yang baik. Dengan pengamalan agama yang baik secara individu/kelompok ataupun masyarakat akan menjadikan tujuan hidupnya lebih baik untuk meraih sukses. Bila sebagai individu akan mendorong ia berbuat pada hal-hal yang bersifat positif. Bila sebagai kelompok akan mendorong paling tidak ke hal-hal untuk mensejahterakan kelompoknya, begitu juga masyarakat. Pengamalan agama haruslah memberikan pencerahan kepada cita-cita hidup seseorang. Bila seorang siswa menjadilah mahasiswa plus begitu juga seorang petani, pengusaha menjadilah petani dan pengusaha plus. Penerapan agama akan menimbulkan suatu masalah apabila menyebabkan seseorang makin jauh dengan jati dirinya. Memang ada temui pengamalan dilapangan, agama yang kurang seimbang tidak sesuai dengan konsep pembangunan di mana pembangunan adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Jadi pengertian utuh di sini adalah harus seimbang yaitu antara jasmani dan rohani. Jadi penerapan agama yang tidak seimbang adalah mengejar salah satu yang dimaksudkan tadi apakah dari segi jasmaninya ataukah dari segi rohaninya. Gejala-
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
48
gejala inilah ditemui di lapangan sehingga menyebabkan seseorang menjadi mudah tersinggung, mengurung diri, jarang bergaul, egois dan sejenisnya. Sakti yaitu kemampuan penerapan ajaran agama, kemampuan ini dimaksudkan adalah haruslah dapat menyesuaikan dengan kemampuan baik secara jasmani maupun secara rohani. Jasmani yang dimaksudkan adalah kemampuan fisik, kemampuan ekonomi yang merupakan pendukung daripada sarana dan prasarana keagamaan sedangkan rohani adalah mental seseorang. Dengan demikian bila penerapan agama disesuaikan dengan kemampuan jasmani dan rohani, maka agama tidak akan menjadikan dirinya sebagai beban yang memberatkan, bahkan justru agama yang diamalkan akan dijadikan suatu kebutuhan hidupnya sehari-hari, bahkan justru agama benar-benar harus menjadikan daya dukung yang dimiliki sehingga beragama dapat membahagiakan. Di samping kekuatan sakti oleh penganutnya masih memberikan kebebasan yang seluas-luasnya sehingga ajaran Hindu mengenal istilah yang disebut dengan nista kecil madya sedang dan utama sedang. Hal inilah sekiranya tujuannya oleh penentu-penentu kebijakan agar umat semuanya dapat mempersembahkan sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan minat, bakat, selera, tabiat atau watak. Adanya ajaran yang memberikan seluas-luasnya kepada umatnya maka tidak ada alasan kita untuk tidak berbuat. Desa, desa dalam bahasa Sanskerta berarti petunjuk batas, bila lebih dikembangkan lagi desa berarti petunjuk-petunjuk spiritual atau kerohanian, maka itu ada yang disebut dengan buku upadesa yang artinya buku petunjuk-petunjuk kerohanian. Dalam Manawa Dharmasastra, petunjuk-petunjuk kerohanian yang sudah diberlakukan di suatu desa tempat tertentu penerapan agama hendaknya juga memperhatikan peraturan-peraturan kerohanian yang sudah berlaku untuk disesuaikan sehingga berbagai ketentuan yang sudah sejajar tidak perlu digubah dan tinggal ditingkatkan dan diperkuat oleh spiritual Hindu, sedangkan yang masih lemah dan belum ada barulah diperkuat dan diperkaya dengan hal-hal yang dibutuhkan oleh umat setempat. Inilah yang menjadikan pekerjaan rumah untuk generasi muda Hindu ke depan agar jangan sejarah perkembangan agama Hindu tidak terulang lagi. Kala, dapat diartikan waktu. Waktu timbul karena adanya peredaran alam seperti bumi mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi. Berdasarkan kala itu yang dapat diartikan waktu dan berkaitan dengan peredaran alam mengelilingi matahari dan bulan mengelilingi bumi maka itulah yang menimbulkan posisi berbeda. Dengan posisi yang berbeda secara otomatis kekuatannya pun berbeda seperti jarum jam masing-masing waktu atau kala menunjukkan kekuatan yang berbeda. Karena masing-masing menimbulkan pengaruh atau kekuatan yang berbeda-beda maka itu kegiatan keagamaan sangat wajar pelaksanaannya berbedabeda. Karena sudah jelas rujukannya baik di dalam Kitab Suci seperti yang disebutkan di atas maupun dari arti kata kala, maka sebenarnya tidak perlu lagi dipertentangkan tentang perbedaan-perbedaan itu, sebab bila dipertentangkan justru akan mempertajam masalah, salah satunya adalah pakaian adat untuk sembahyang ke
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
49
pura. Dalam Kitab Suci tidak ada disebutkan harus berpakaian seperti itu yang disebutkan di dalam Kitab Suci harus berpakaian bersih, rapi dan tidak mengganggu suasana persembahyangan. Jadi berdasarkan hal itu bila ada umat yang bersembahyang bukan mengikuti adat budaya etnis tertentu selalu ada orang nyeleneh, nada miring “ah mereka bukan Hindu” inilah yang perlu dibuang jauh-jauh (Badjrayasa,1980:22) Tatwa, artinya kebenaran yang paling hakiki. Cara beragama boleh disesuaikan dengan Iksa, Sakti, Desa, Kala tetapi rujukannya tidak boleh bertentangan dengan Tatwa atau kebenaran yaitu Weda. Inilah pedoman pengamalan agama Hindu agar Dharma agama Hindu mencapai Dharma Sidharta (sukses mencapai tujuan Dharma). Ini pula menyebabkan penampilan dan cara penyajian Hindu berbeda-beda di tiap tempat di mana Hindu itu berkembang. Namun bila dibedah di dalamnya, kita menjumpai Tatwa yang universal, Tatwa yang lentur yaitu berupa kebenaran Weda. Dalam Bhagawadgita XVII. 20 sebagai pedoman untuk berdana punia haruslah disesuaikan kepada tempat, waktu dan kepada orangnya yang tepat. Kata patra disini artinya kepada orang yang tepat. Kelima dasar inilah yang menjadi rujukan bagi umat Hindu di seluruh Indonesia dalam beragama sehingga terkesen oleh yang belum memahami Hindu secara utuh dikatakan agama yang tidak memiliki sikap yang jelas. Sehubungan dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas maka umat Hindu di Kalimantan Tengah dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaannya memang sangat berbeda dengan umat-umat Hindu di daerah lain apalagi umat Hindu etnis bali. Manusia adalah mahluk multi dimensi, kapasitasnya di muka bumi ini menurut pernyataan Kitab Sarasamuccaya sloka 4 digolongkan sebagai mahluk utama. Namun bila dicermati lebih dalam seberapa jauh keutamaannya tersebut membawa kemuliaan bagi diriya, bagi sesama atau mahluk lainnya. Berbicara tentang manusia amatlah sulit, karena manusia sering lupa akan eksistensnya sebagai manusia. Pada saat dia diperlakukan sebagi manusia dia sendiri bertingkah laku sebagai seperti kayaknya sifat-sifat hewan. Manakala dia mulai diposisikan sesuai dengan kapasitasnya, kemudian diperlakukan sebagai manusia seringkali dia merasa diri seperti Dewa, merasa superior dan berlaku eksklusif terhadap sesamanya. Dalam konteks beragama yang benar menurut Hindu ketiga komponen yakni: anasir fisik, phsikis dan spirit harus dimuliakan secara seimbang dalam rangka mewujudkan nirvana atau moksa tersebut. Kapan manusia lupa akan keberadaanya tersebut membiarkan dirinya tergerus oleh pengaruh maya dan arus kehidupan, saat itulah dia tidak lagi dapat dikatakan sebagai manusia yang utuh. Kemudian manusia melakukan usaha dan upaya untuk mencapai apa yang disebut cita-cita, jika digeneralisir kurang lebih menjadi: mencapai kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan rohani. Namun kenyataannya bergesernya pola hidup dari tenang menuju senang, sehingga gaya hidup hedonis mengakibatkan manusia menjadi semakin jauh dari cita-cita. Berdasarkan standar umum, mungkin saja sesorang telah
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
50
dikatagorikan makmur dan sejahtera secara jasmani namun yang bersangkutan tetap merasa kekurangan sehingga tidak bahagia dalam rohani. Sikap yang demikian ini menyebabkan manusia mengambil langkah menghalalkan segala cara demi meraih pemuas hidup itu. Kehadiran agama sesungguhnya sebagai penawar bagi manusia yang sesat mengambil langkah hidup. Religiusitas tidak hanya ditumbuhkan saat di pura/tempat Suci pada Hari Raya namun, bagaimana sikap keberagamaan senantiasa hadir dalam setiap dan segala aktivitas pada kehidupan sosial. Karena agama memiliki fungsi menuntun manusia mencapai kualitas kerohanian yang mulia sebagai penyulut nyalanya api spiritual, berbudi luhur, bermoral tinggi , sraddha dan bhakti pada Tuhan, mencintai sesama manusia serta mencitai alam dan lingkungan. Melihat keluar adalah sesuatu hal yang lumrah terjadi, tetapi ada satu pertanyaan essensial yang paling sering dilupakan untuk ditanyakan kepada diri sendiri, apa hakekat hidup. Manusia baru mulai bertanya ketika mengalami stress berat, bencana, musibah, kecelakaan, sakit keras, saat menjelang ajal, jalan buntu, frustasi kecewa dan sejenisnya. Pada saat demikian orang akan berpaling pada agama. Dengan demikian agama hadir di muka bumi ini sebagai kebutuhan dasar manusi. Sebab di balik agama ada satu kekuatan yang dijadikan pegangan. Secara umum kekuatan itu dijadikan sebagai pelipur lara saat manusia berada pada titik terendah dalam kehidupannya. Dari perspektif Hindu apa yang ada dibalik agama tidak hanya berupa kekuatan yang berasal dari luar diri tapi kekuatan yag berasal dari dalam diri. Adanya Guru Swadyaya yang, artinya belajar untuk menganalisa dan memahami diri sendiri. Kegiatan ini paling jarang dilakukan, karena kebanyakan orang selalu ingin bersandar kepada kekuatan lain di luar dirinya. Termasuk berbagai musibah yang menimpa atau kelakuan yang salah yang dilakukan manusia penyebabnya sering mengkambingitamkan atau ditimpakan permasalah hidup pada orang lain. Hindu menawarkan jalan alternatif untuk mencapai pembebasan dalam rangka memutuskan lingkaran samsara yaitu jalan esoteris /jalan masuk ke dalam diri. Melalui jalan esoteris, Hindu mengajak umat untuk menempuh perjalanan spiritual, melampui pikiran sehingga terbebas dari ilusi/maya yang selama ini dianggap sebagai kebenaran. Selama manusia belum selesai berurusan dengan pikirannya sendiri selama itu dia belum bisa terbebas dari tekanan stres. Mereka yang demikian tidak akan sampai atau tembus ke dalam jiwa yang sebenarnya. Pembebasan/moksa tidak hanya menyangkut kepada eskatologi, namun secara realita harus dimaknai sebagai pembebasan jiwa dari belenggu panca indra, perasaan, pikiran, dan ego. Dengan demikian begitu kita menyatakan diri sebagai manusia yang beragama, kita harus dapat menikmati saripati agama itu yakni spiritual. Spiritual adalah jiwa dan semangat hidup yang mengalir dari Hyang Widhi berstana dalam diri kita. Agama dengan berbagai aktivitasnya seyogyanya dapat memelihara nyala api spiritualitas tersebut agar selalu dapat menerangi kehidupan
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
51
manusia baik secara personal maupun komunal. Kegiatan beragama akan menjadi sia-sia kalau sampai kegiatan tersebut menimbun api spiritualas dengan abuabu kesalah pahaman dalam menerapkan agama. Kemeriahan dan kesemarakan kehidupan beragama akan menjadi sia-sia apabila kegiatan tersebut tidak dapat mengelemenir prilaku-prilaku yang amoral, lebih-lebih kegiatan keagamaan tersebut hanya asesoris belaka menutupi wajah borok dibaliknya (Wiana, 2006:89) Beragama meningkatkan moralitas yang terpuji/ahlak mulia bukanlah hasil pengamatan, bukan hasil analisa melainkan produk/output dari kematangan spiritualitas jiwa. Maka orang yang dikatakan beragama adalah orang yang memiliki moralitas yang terpuji/akhlak mulia. Beragama dalam kehidupan sehari pada kehidupan sosial, bukan sekedar wacana tetapi laksana. Agama tidak hanya menyangkut keyakinan yang benar melainkan cara hidup yang benar. Banyak orang mengaku keturunan mulia, militan dalam beragama tetapi tidak memiliki prilaku dan cara hidup yang tidak sesuai dengan ajaran agama, misalnya kebiasaan berbicara kasar, menghardik, suka bohong, menyembunyikan hati busuk dengan kata-kata manis, kebiasaan mudah tersinggung, membicarakan kejelekan orang lain. Orang yang benar-benar beragama adalah mereka-mereka yang melakukan pendakian spiritual. Dalam pendakian spiritual kebiasaan kurang baik tersebut harus disingkirkan. Kontemplasi dan koreksi diri senantiasa dilakukan sehingga tidak menganggap diri selalu paling benar Netra, 1995:45) Beragama menguwatkan mental, tranformasi pola hidup kian deras mengalir dirasakan, dari pola agraris ke sikap mental industri. Hidup menjadi konsumtif, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sarana upacara agamapun semua diimpor, akibatnya tekanan ekonomi terjadi pada masyarakat. Setiap orang berpacu dan berjuang dalam kompetisi yang tajam untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Situasi ini mengantarkan si kaum miskin pada kekhawatiran dan ketakutan akan ancaman kelaparan, sakit dan mati. Dalam fenomena ini siapa saja akan berjuang walaupun dengan cara himsakarma. Dalam kondisi seperti ini aktivitas keagamaan haruslah menjadikan umat kuat mentalnya/resisten terhadap penderitaan. Demikian pula halnya terhadap orang yang memegang kekuasaan, kaya, sering menyebabkan orang menjadi lengah dan dapat melemahkan ketahanan mental. Oleh sebab itu kegiatan agama harus mampu ditampilkan pada pada saat orang meraih, mengelola kekuasaan dan kekayaan. Wujud pengamalan agama dalam kontek ini adalah merajut kembali kesenjangan ras solidaritas sosial melalui dana atau sedekah atau subsidi silang. Jika hal ini tidak diperhatikan chos akan terjadi lebih membengkak lagi. Jadi aktivitas keagamaan haruslah dapat menjadikan orang kuat mentalnya menghadapai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan tersebut dalam kehidupan sehari hari. Dengan demikian agama akan tampak daya gunanya dalam kehidupan sehari-hari yang efektif dan efisien (Suyasa,2002: 22).
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
52
III. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan tatacara beragama dalam kehidupan sosial sebagai berikut: 1. Arus informasi yang semakin tidak terbendung maka pastilah menimbulkan pandangan yang berbeda-beda tentang tatacara beragama Hindu dalam kehidupan sosial masyarakat tergantung dari mana mereka menilai. 2. Agama Hindu sebagai agama paling tua sesuai sejarah mempunyai karakter tersendiri dan karakter itu yang meyebabkan agama Hindu, memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam pelaksanaanya dilapangan. 3. Agama Hindu, semakin jauh macam daerah yang dilaluinya, semakin kaya dan beraneka rupa isinya dan muatan itulah yang menjadikan agama Hindu bervariasi keberadaannya dimana Hindu itu tumbuh dan berkembang, namun demikian, Hindu bukanlah agama yang tidak mempunyai prinsip/standar baku melainkan diberikan kebebasan kepada umat untuk memilih jalan mana menurutnya kira-kira yang paling tepat menurut SDM yang dimiliki. 4. Religiusitas Hindu merupakan perjumpaan berbagai kreaesi yang dapat mengusung visi dan misi Weda menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sesuai dengan kehidupan sosial masyarakat pendukungnya. 5. Dalam hal prinsip Hindu mengusung sraddha/keyakinan bersumber dari Tuhan diterima oleh para Maha Rsi berupa Wahyu (Sruti) sebagai sesuatu yang bersifat absolut/kekal abadi karena sebagai mahluk Tuhan yang paling sempurna, bagaimana caranya mengembangkan yang absolut itu sehingga mudah diterima/dicerna oleh penganutnya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, maka diperlukan metodelogi yang valid, berupa pendekatan yang disebut Nutana, yakni pembumian Sraddha yang abstrak tersebut dalam konsep dan konteks nyata, di mana Hindu tersebut berkembang sesuai tuntutan zaman. 6. Pendekatan Nutana mengenai konsep bentuk Tuhan yang bisa dipilih oleh penganutnya/Istadevata dan ajaran tentang disiplin/jalan/marga yang juga bisa dipilih, yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh Kitab Suci Weda, apakah Personal God/Tuhan berpribadi atau Impersonal God/Tuhan yang tidak berpribadi sebagai obyek pemujaan, sepanjang dilandasi sraddha dan kemantapan hati nurani/atmanastusti melekat dalam hati, itu dapat diterima dalam kehidupan sosial. 7. Ajaran dasar Istadevata ini memberikan keunikan pada Hindu, terutama pada teologinya, sehingga berbagai evolusiisme tentang ke Tuhanan dapat diakomudasi oleh Hindu, dari yang primitif seperti keyakinan animisme sampai yang post
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
53
DAFTAR PUSTAKA Ardana,1980. Sejarah Perkembangan Agama Hindu, Denpasar Cudamani, 1989. Pengantar Agama Hindu Perguruan Tinggi. Jakarta: Hanoman sakti. ------------, 1987,Upanisad. Jakarta Hanoman sakti ------------, 1990,Peranan adat dalam agama Hindu, Jakarta, Yayasan Dharma Srati. ________. 1990. Apakah Upakara Banten Masih Perlu. Jakarta : Yayasan Dharma Srati Jakarta. Linus, 1980, sejarah Kebudayaan, Denpasar Netra Anak Agung Gde Oka, 1995. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanoman sakti. Miartha,2010, Tradisi beragama Hindu, Diktat bahan ajar, IHD Denpasar ---------,2011, Keberagaman dalam Hindu, Diktat bahan ajar,IHD Denpasar Mas Putra,1989, Upakara Yadnya, Jakarta,Yayasan Dhara Sarati Puja, Gede, dkk. 2003. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Pustaka Mitra Jaya. Puja, Gede. 2005. Bhagawad Gita. Surabaya : Paramitha. Sudarta, Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya : Paramitha Surabaya. Suarjaya I Wayan. 2004. Makalah Pembekalan Rapat Kerja Pejabat Pusat dan Daerah Departemen Agama, Depag RI Jakarta. Sudharta Cok. 2003. Slokantara, Surabaya: Paramita. Sujaya I Gusti. 1995. Beragama Hindu Belum Tentu Hindu Majalah Agama Hindu Dan Kebudayaan Aditya. PT Manember swadaya. Sura I Gede. 2001. Pengendalian Diri Dan Etika. Jakarta : Hanoman Sakti. Suteja Mertha. 2006. Kata Pengantar Sembahyang Bukan Hanya Di Pura. Yayasan Dharma Naradha. Suyasa I Made. 2002. Nilai-Nilai Dalam Lingkungan Keluarga. Denpasar: Warta Hindu Dharma. Wiana I Ketut. 2006. Beragama Bukan Hanya Di Pura. Yayasan Dharma Naradha. Tim penyusun. 2004. Buletin Dua Bulanan No.4/Juli Agustus 2004. Jakarta: Departemen Agama RI. Tim penyusun. 2004. Buletin Dua Bulanan No.5/September Oktober 2004. Jakarta : Depertemen Agama RI. Tim penyusun, 1992. Kekewin Niti Sastra. Jakarta : Departemen Agama RI.
Satya Dharma Volume II No. 2 Oktober 2015
54