PESANTREN DALAM PERUBAHAN SOSIAL Ismail Abstract: School of Islamic studies for children and young people (pesantren) is a conventional education institution that – from its publishing until now – it has experienced various changes and played many roles in Indonesia. Its main elements that consist of kyai (the teacher), santri (the student), mosque, boarding school, and kitab kuning (the books) are unique elements that make it different from other education institutions. Along with social change current, there is a view that pesantren is no longer relevant and must be reformed. Therefore, pesantren is demanded to be “supermarket” that supplies many kinds of product and has sensitive curriculum in order to be consumed by its community.
اﻟﺒﺴﻨﺘﺮﯾﻦ ھﻮ اﻟﻤﺆﺳﺴﺔ اﻟﺘﻘﻠﯿﺪﯾﺔ ﻣﻨﺬ إﻧﺸﺎﺋﮫ وﺣﺘﻰ اﻵن ﻗﺪ ﻛﺜﺮ ﺗﻐﯿﺮه واﻟﻌﻨﺎﺻﺮ اﻷﺳﺎﺳﯿﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺘﻜﻮن.وﻟﻌﺐ أدوارا ﻣﺨﺘﻠﻔﺔ ﻓﻲ اﻧﺪوﻧﯿﺴﯿﺎ اﻟﺒﺴﻨﺘﺮﯾﻦ اﻟﻤﻌﻠﻤﻮن )ﻛﯿﺎھﻰ( واﻟﻄﻼب واﻟﻤﺴﺠﺪ واﻟﻤﻌﮭﺪ واﻟﻜﺘﺐ اﻷﺻﻔﺮ ﻓﺄﺻﺒﺢ ﻛﻠﮭﻢ اﻟﻌﻨﺎﺻﺮ اﻟﻔﺮﯾﺪة اﻟﺘﻲ ﺗﻤﯿﺰ اﻟﺘﻌﻠﯿﻢ ﻓﻰ اﻟﺒﺴﻨﺘﺮﯾﻦ ﻣﻊ ﻣﺆﺳﺴﺎت ﺗﻌﻠﯿﻤﯿﺔ أﺧﺮى وﺟﻨﺒﺎ إﻟﻰ ﺟﻨﺐ ﻣﻊ ﺗﯿﺎرات اﻟﺘﻐﯿﯿﺮ اﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻲ ﯾﺒﺪو ﻣﻦ ﯾﻌﺘﻘﺪ أن وﻣﻦ ﺛﻢ ﯾﻄﻠﺐ اﻟﺒﺴﻨﺘﺮﯾﻦ ان.اﻟﺒﺴﻨﺘﺮﯾﻦ ﻟﻢ ﺗﻌﺪ ذات أھﻤﯿﺔ أوﯾﺠﺐ أن ﺗﺠﺪده ﯾﻜﻮن أﺣﺪ اﻟﻤﺤﻼت اﻟﺘﻲ ﺗﻘﺪم ﻣﺠﻤﻮﻋﺔ ﻣﺘﻨﻮﻋﺔ ﻣﻦ اﻟﻤﻨﺘﺠﺎت وﻻ ﺑﺪ ﻟﮫ اﻟﻤﻨﺎھﺞ اﻟﺘﻲ ﺗﻌﺘﺒﺮ ﺣﺴﺎﺳﺔ ﻟﺘﻐﯿﺮ اﻟﺰﻣﻦ ﯾﺄﺧﺬھﺎ وﯾﺘﻤﺘﻊ ﺑﮭﺎ اﻟﻤﺠﺘﻤﻊ
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan konvensional yang sejak awal berdirinya hingga sekarang telah banyak mengalami perubahan dan memainkan berbagai macam peran di Indonesia. Unsur-unsur pokok pesantren yangg terdiri dari kyai, santri, masjid, pondok dan kitab kuning adalah elemen unik yang membedakan pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. Seiring dengan arus perubahan sosial, ada anggapan bahwa pesantren tidak lagi relevan dan harus diperbaharui. Oleh karena itu, pesantren dituntut menjadi “toko serba ada” yang
Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, Jl Kusumabangsa No. 9 Pekalongan
1
menawarkan berbagai macam produk dan memiliki kurikulum yang peka terhadap perubahan zaman untuk dikonsumsi dan dinikmati oleh masyarakat. Kata kunci: pesantren, kitab kuning, perubahan sosial, kurikulum PENDAHULUAN Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan non formal, tempat para murid (santri) mempelajari ilmu-ilmu keagamaan Islam. Sistemnya biasanya dengan menggunakan system asrama (Islamic boarding school). Pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monastery, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di tempat tersebut mengalami suatu kondisi totalitas untuk belajar sepenuh waktu (Wahid, 2001: 171). Para santri biasanya tinggal di asrama yang disediakan oleh pemilik atau pengelola pondok pesantren. Biasanya, pondok pesantren dipimpin oleh seorang kyai, dan untuk membantu mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, yaitu Lurah Pondok. Istilah Pondok berasal dari Bahasa Arab (ﻓﻨﺪوق, funduuq), sementara istilah Pesantren berasal dari kata pe-santri-an (Dhofier, 1985: 18). Sistem pembelajaran dan tata berkehidupan di pondok pesantren menekankan nilai-nilai kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat menumbuhkan dan meningkatkan jiwa kemandirian. Pondok pesantren, di Indonesia, adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Pondok pesantren yang mengandung unsur pokok kiai, masjid, santri, tempat tinggal/ asrama dan kitab kuning, yang dulunya berada pada pola dan sebutan istilah yang sama, yaitu pondok pesantren salaf, dalam perkembangannya sekarang pondok pesantren digolongkan menjadi pesantren salaf (klasik) dan pesantren khalaf (modern). Lembaga
pendidikan
pondok
pesantren
dalam
bidikan
sejarah
perkembangannya telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman “Walisongo”, pondok pesantren memainkan peran dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda juga selalu melibatkan unsur pondok pesantren ( Hasbullah 1999: 149). Pada era kebangkitan Islam di Indonesia, pesantren juga merespon dan berusaha menyesuaikan diri dengan melakukan inovasi system pendidikannya. 2
Namun, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali, pondok pesantren mendapatkan coretan hitam di “wajah pondok pesantren”, karena pondik pesantren secara sepihak dituding telah menyebarkan ajaran Islam ekstrim dan dikait-kaitkan dengan terorisme. Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembagalembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada masa sekarang ini ketika Amerika Serikat dan sekutu-nya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia. Pada akhirnya, stigma bahwa pesantren adalah sebagai “sarang teroris” sudah mulai meracuni fikiran puiblik. Dalam konteks fungsi pondok pesantren bagi masyarakat, jelas ada sebuah keterkaitan antara pesantren dan realita sosial masyarakat yang tak luput dari perubahan. Dengan pendekatan historis-sosiologis, penulis akan bagaimana pengaruh perubahan sosial masyarakat terhadap
menunjukkan
reposisi dan fungsi
pondok pesantren bagi masyarakat.
PEMBAHASAN A. Unsur-unsur Pokok Pesantren 1. Kyai Kiyai merupakan unsur yang paling esensial bagi pondok pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak juga dipengaruhi oleh keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren ( Hasbullah 1999:144). Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Mayra Walsh 2002: 9). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta. Kedua, gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya. Ketiga, gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitabkitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1985: 55). 3
2. Masjid Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam, pusat kehidupan olah rohani, sosial dan politik.. Masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat muslim. Dalam kaitannya dengan pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik solat lima waktu, khutbah dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier, 1985: 49).
Sebuah tempat yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai ketika ingin mendirikan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid terebut biasanya dibangun di dekat rumah kyai.
3.
Santri Santri juga merupakan unsur yang penting sekali dalam perjalanan sebuah
pesantren karena proses belajar mengajar di pondok pesantren akan terwujud jika terdapat santri. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).
4. Pondok/Asrama Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas 4
dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Pesantren yang sudah berkembang pesat, selain memiliki asrama/pondok biasanya juga memiliki gedung-gedung lain selain asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan peternakan. Terdapat juga tempat-tempat untuk latihan bagi santri dalam mengembangkan ketrampilan dalam rangka berlatih mandiri sebagai wahana latihan
hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.
Latihan hidup mandiri tersebut, dalam ujudnya santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama yang lekat dengan pola hidup mandiri ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain (Dhofier, 1985: 45). 5.
Kitab Klasik (Kitab Kuning) Kitab-kitab klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran
mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Zamakhsyari Dhofier, “Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran “formal” yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” (Dhofier, 1985: 50). Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah melengkapi system pendidkannya dengan pengajaran pengetahuan umum dalam pendidikan pesantren, selain penggunaan kitab-kitab Islam klasik. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitabkitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 144). Ragam kelilmuan yang diajarkan dalam pendidikan pondiok pesantren adalah: 1. Nahwu dan Sharaf (morfologi) 2. Fiqh; 3. Usul Fiqh; 4. Hadis; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan Etika; dan 8. Cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah. Semua jenis keilmuan tersebut diajarkan sesuai dengan tingkatannya dengan pertimbangan skala prioritas dan kematangan serta kemapanan para santri. (Dhofier, 1985: 51). 5
B. Pesantren Dari Masa Ke Masa 1.
Sejarah perkembangan pesantren Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Zuhairini 1997: 149). Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kurang adilnya kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, 6
banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985: 41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini, ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia (Zuhairini 1997: 150) Menurut survei yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1: TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survei Kantor Urusan Agama) (Zamakhsyari Dhofier 1985:40).
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Jawa Timur
307
32 931
Jumlah
1 871
39 415
TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departemen Agama RI) (Hasbullah, 1999: 140). Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah
3 745
675 364
7
Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali lipat. Data statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk sekolah, madrasah dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun pondok pesantren masih dapat mempertahankan eksistensinya. (Dhofier 1985: 20). Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan me-modern-kan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahas dalam bagian berikut.
2. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari agar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini, tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama (Zuhairini 1997: 212). Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang 8
sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur’an dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier 1985: 28). Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut “Halaqah” yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual. Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salaf. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah). Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah 1999: 155).
C. Pesantren Dalam Perubahan Sosial 1.
Penyelarasan Struktur dan Fungsi Pesantren 9
Jika menelusuri kondisi pesantren dengan sekian banyak kompleksitas, varian, dan dinamika di dalamnya, baik secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaan,
maka
sesungguhnya
pesantren
secara
epistemologi
tidaklah
sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya kyai, masjid, santri, pondok, maupun kitab-kitab klasik. Karena konsepsi dasar dari kategori kyai dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretasi. Selain itu, kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu objek merupakan tindakan simplifikasi, reduksi dan bahkan distorsi. Maka dalam wacana fenomenologi, Pesantren sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, maka orientasi gerak dan pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di pesantren adalah tidak lebih dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang islami. Berguru pada filosofi tindakan Tuhan memberikan mu’jizat kepada rasulNya yang relevan dan up to date dengan permasalahan kemanusiaan pada masanya, maka demikianlah seharusnya Pesantren membekali dirinya dalam proses pengembangannya. Akselerasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial di era global sekarang ini terjadi secara luar biasa dan di luar perkiraan banyak orang. Yang menjadi sebuah ironi adalah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan spektakuler di bidang teknologi kecerdasan buatan (intelligence artificial) itu ternyata juga berakibat pada perubahan tata nilai keagamaan dan sosial. Secara rinci, Kehidupan global saat ini ditandai oleh 4 hal: 1. Kemajuan IPTEK; 2. Perdagangan bebas; 3. Kerjasama regional dan internasional yang mengikis sekat-sekat ideologis; 4. Meningkatnya kesadaran HAM. Maka untuk mengantisipasi perubahan tata nilai baru dalam era global tersebut, UNESCO, misalnya, telah mencanangkan 4 pilar belajar, yaitu learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Itulah kondisi makro yang sekarang ini sedang menghimpit dunia Pesantren. Apakah Pesantren sekarang sudah berfikir tentang apa yang bisa diperbuat di tengah atmosfir kehidupan global seperti itu, serta apa kontribusi pesantren untuk turut andil dalam membentuk kepribadian bangsa. Atau bahkan apakah pesantren bisa bertahan di tengah hegemoni produk-produk pemikiran dan tata nilai hidup globalisasi. Jika 10
Nabi Ibrahim harus membekali diri dengan kekuatan argumentasi pemikiran, hal itu dimaksudkan untuk melayani dan mengimbangi masyarakatnya yang memiliki tradisi berfikir yang kuat, Nabi Musa dengan kemampuan magic karena kaumnya gemar dalam perdukunan, Nabi Isa dengan keahlian pengobatan karena kecenderungan umatnya pada dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad dengan kemampuan sastra karena orang Arab punya kelebihan dalam tata bahasa, maka apakah Pesantren akan tetap menggunakan mu’jizat yang pernah digunakan menghadapi dan menyelesaikan problematika masyarakat pada era 60—70-an untuk menyelesaikan problematika sosial-budaya era global?
2. Dilema Pondok Pesantren Jika kita melihat uraian yang telah saya sampaikan di atas, tampaknya pesantren perlu melakukan reorientasi pada misi dan visi pendidikannya sehingga pergerakan pesantren akan lebih membumi. Saat ini pesantren justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan ‘tunggangan’ kepentingan politik. Ini bisa terjadi karena Pesantren tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam konstalasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Pesantren saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan. Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti sekarang ini, Pesantren tampak tidak memiliki sense of critic sama sekali. Rasa keberagamaan bukanlah agama. Agama lebih bersifat formal-komunal tetapi keberagamaan lebih bersifat personal. Rasa keberagamaan merupakan core dari agama itu sendiri. Tidak setiap pakar agama memiliki rasa keagamaan. Sebaliknya tidak setiap orang yang memiliki rasa keberagamaan memiliki pengetahuan tentang agama sebanding dengan pengalamannya. Rasa dan semangat keberagamaan tersebut menurut Nurcholish Madjid termanifestasi dalam tasawuf. Celakanya, justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang cenderung terabaikan dan hanya dikaji sambil lalu (Yasmadi, 2002: 79). Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang serius terhadap tasawuf. Kedua, pembentukan 11
lingkungan yang representatif bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Pesantren juga perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sementara agama adalah produk yang sudah jadi. Sudah sekian lama terjadi miss-konsepsi tentang agama dan keberagamaan di dunia pesantren. Rasa keberagamaan selama ini direduksi pada sebatas pengkajian terhadap ilmu agama semata. Dimensi rasionalitas, spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri malah sering terabaikan. Akibatnya, lahir generasi-generasi yang kaya akan khazanah ilmu agama tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasi dengan predikat santri tanpa mental santri. Lebih lanjut, dalam kehidupan praktis, pesantren hampir tidak memiliki kontribusi dan peran yang aktif dalam melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan berbudaya. Keengganan sebagian pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan “formal” di lingkungannya dengan argumen ilmu tersebut bukan ilmu agama menunjukkan adanya kesalahan dalam pemahaman terhadap agama itu sendiri. Menurut Moh. Syahrur, sungguh ironis dalam sistem pendidikan umat Islam sekarang terjadinya in-efisiensi dalam sistem dan pendekatan terhadap kajian-kajian keilmuan Islam klasik. Hampir di setiap lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) terjadi pembahasan yang terlalu detail dan rumit terhadap bentuk-bentuk ritual keagamaan yang menurutnya sebenarnya bisa dijelaskan secara sederhana dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama. pendalaman yang terlalu rumit atau njlimet (Jawa) terhadap persoalan-persoalan tersebut tidak banyak memberikan nilai positif serta tidak praktis (Syahrur, 1990: 483-484). Apa yang dinyatakan oleh Syahrur agaknya sejalan dengan keraguan Nurcholish Madjid yang mempertanyakan apakah pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, fiqh misalnya, secara keseluruhan relevan dengan keadaan sekarang (Madjid 1997: 8). Maka kajian keilmuan di pesantren mestinya dilakukan dari sudut pandang persoalan apa yang benar-benar bermanfaat secara amaliyah/praktis bagi santri di masa depan. Dengan berpijak pada pendekatan ini maka pengajaran/pembelajaran tentang materi-materi keilmuan di pesantren yang meliputi fiqh, aqidah, dan lainnya harus ditinjau ulang 12
dan dirumuskan kembali dengan menggunakan asas nilai manfaat praktis dan “pragmatis” bagi santri di masa depan. Dalam upaya mengatasi masalah di atas, ada tiga hal penting yang sangat perlu dikembangkan lebih jauh lagi oleh pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri boleh dan baik jika mereka setia dengan tradisi kepesantrenan, tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi. Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Kita perlu menilik pada prinsip pesantren; al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Perlu digaris bawahi, bahwa pesantren dalam melakukan pengembangan, baik yang bersifat keilmuan maupun teknologi juga mengalami banyak hambatan di 13
dalamnya. Setidaknya terdapat tujuh kendala yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya itu, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, dan bahkan ketalnya anggapan pondok pesantren sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini. Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetap santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan ke-sahajaan-nya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren. Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantrenpesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur. Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian 14
pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan. Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada kurikulum keagamaan ansich dan penyiapan santri untuk hidup bersama masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian.
3. Format Pesantren Masa Depan Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa sekarang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu'ashirah (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusan pesantren tidak bias mangaji( ora biso ngaji.) Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formal. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha’ yang mumpuni. Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam 15
hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan menengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, 16
cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan maraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif. Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benarbenar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh. Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
KESIMPULAN Dalam bidikan sejarah, para the founding father pondok pesantren (para kyai) dalam mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren bertujuan untuk proses pendalaman ilmu agma ( Tafaqquh Fi al-Din ). Masyarakat sekitar secara ikhlas dan istiqomah mengikuti jejak kiyai. Namun dalam perkembangnya, kehadiran pondok 17
pesantren juga merupakan emrio “kampung peradaban” di mana kehadirannya dalam suatu komunitas masyarakat mengakibatkan terjadinya perubahan tata kehidupan sosial di sekitarnya, baik yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, pendidikan, sosial-budaya, ekonomi, dan sebagainya. Realita sekarang ini menuntut pesantren untuk bisa menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang yang berkembang pesat. Pesantren harus menyesuaikan diri dengan gema modernisasi dan harus tercermin pada manajemen pendidikan pesantren,arah kebijakan pendidkannya, kontekstualisai keilmuan yang diajarkan di pesantren, tata kelola pembiayaan, struktural kepemimpinan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, Mayra Walsh, Pondok Pesantren dan ajaran golongan Islam Ekstrim, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 2002. Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997. Syahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: Dar al-Ahali: 1990. Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LkiS, 2001. Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Jakarta: Ciputat Press, 2002. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
18