Desa dalam Perspektif Perubahan Sosial dan Kultural [Dr. Kuntowijoyo] Dosen pada FS jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada
Pengantar Setiap orang desanya sendiri. Dalam ketidakmampuan membuat generalisasi mengenai desa‐desa di Indonesia, yang mempunyai variasi dalam ekologi, masyarakat, dan sejarah, makalah ini merujuk pada perubahan sosial dan cultural desa‐desa yang ada di vorstenlanden, terutama di Surakarta. Sejarah perkembangan desa di Surakarta mempunyai perbedaan dengan desa di daerah gubernemen di masa lalu. Surakarta tidak mengalami peraturan tanam paksa sebagaimana diterapkan oleh Hindia Belanda atas daerah‐daerah guberneman, tetapi sudah sejak awal dimasuki pemodal‐pemodal Belanda partikelir yang menyewa tanah. Persewaan tanah – jadi masuknya modal swasta Belanda, sudah dimulai sejaka berakhirnya kekuasaan Inggris. Sesudah perang Diponegoro, modal swasta Belanda semakin banyak masuk ke Surakarta, baik di Kasunanan maupun Mangkunegaran. Desa‐desa apanage para bangsawan dan pejabat disewakan pada perkebunan Belanda (Houben, 1987) atau diusahakan sendiri oleh raja (Pringgodigdo, 1950). Pada abad 19, akibat terpenting dari sewa‐menyewa itu adalah pergeseran peranan kepala desa, yang semula merupakan penguasa di bawah birokrasi kerajaan, menjadi semacam penjaga keamanan perkebunan swasta. Di tingkat masyarakat desa terjadi dislokasi sosial sejalan dengan perubahan dalam pola tanam dan hubungan kerja baru itu. Kriminalitas pedesaan pada abad 19 kebanyakan disebabkan oleh ketegaran lembaga‐lembaga perkebunan Belanda dalam menghadapi tata hidup masyarakat desa. Di tengah‐tengah pedesaan muncul bukan hanya perkebunan, tetapi juga pabrik dan rumah‐rumah para pekebun dan staf. Perbanditan sosial menjadi bagian dari sejarah Surakarta (Suharton0, 1989) Ketika peraturan baru tentang tanah diperkenalkan oleh pemerintah Hindia‐Belanda, dan kerajaan‐kerajaan Jawa (Haspel, 1985) terjadi perubahan yang lebih radikal dalam masyarakat. Peraturan yang dijalankan secara berlangsung sejak 1910an sampai 1917 itu menghapuskan system apanage di desa, tetapi dengan ketentuan desa harus menyediakan tanah untuk keperluan perkebunan. Pabrik memperoleh tanah, tetapi harus membayarkan sewa kepada Negara. Hubungan kerja baru terjadi antara pabrik dan tenaga kerja. Pada saat‐saat peralihan ini terjadi perubahan hubungan sosial, karena masuknya ekonomi keuangan di pedesaan. Hubungan kontraktual antara tenaga kerja dengan perkebunan menjadi hubungan tawar‐menawar. Masuknya Syarekat Islam di daerah daerah perkebunan, sampai ke kota‐kota kecamatan, seperti Pedan dan Ceper di daerah Klaten, merupakan tanda bagi perubahan kesadaran politik. Sejak reorganisasi sampai datangnya pendudukan Jepang, daerah Surakarta merupakan salah sau tempat berpengaruh gerakan
koleksi pustaka rumah suluh
1
radikalisme petani. Dengan kata lain, desa‐desa di Surakarta sudah mengalami politisasi sejak awal abad ke‐20 (Larson, 1979). Tak ada lagi desa‐desa di Surakarta menjadi desa yang tertutup dengan sebutan “closed corporate community” (Wolf, 1967). Surakarta sudah menjadi bagian dari ekonomi dunia sejak awal abad ke‐19, mengenal tanaman komersial, mendapat pengaruh dari lembaga‐ lembaga luar desa. Setelah Reorganisasi Agraria, desa‐desa mengalami perubahan setelah masuknya ekonomi uang, gerakan‐gerakan politik. Bersamaan dengan itu juga kemajuan pendidikan desa membuat masyarakat mempunyai lapisan terdidik yang dapat menjadi perantara sosial‐budaya antara tradisi besar dan tradisi kecil. Munculnya pabrik‐pabrik di sekitar jalan kereta api dan jalan raya Yogya‐Solo mengundang terbentuknya lapisan buruh dalam masyarakat desa, satu factor yang mempercepat terbentuknya proletariat desa. Bersama dengan lapisan‐lapisan lain di desa‐desa Surakarta, lapisan sosial baru itu menjadi penerima masuknya ideologi‐ideologi politik nasional. Pada jaman pendudukan Jepang, afiliasi orang‐orang desa dengan gerakan‐gerakan di kota semakin besar. Demikian juga pada masa revolusi, pembentukan laskar‐laskar rakyat menyesuaikan diri dengan hubungan‐hubungan sebelumnya. Apa yang disebut Geertz sebagai “cultural politics” (1962) terlihat dengan jelas di desa‐desa Surakarta menjelang Pemilu 1955. Tipologi kultural, abangan, priyayi, santri, menampakkan diri dengan baik sebagai kekuatan politik. Sebuah desa sering secara enbloc menjadi penganut dari politik berdasarkan aliran tertentu. Meskipun pengenalan politik bagi rakyat desa masih merupakan “ideologi komunal” daripada “ideologi rasional”, tetapi dari segi pendidikan politik, masyarakat desa di Surakarta sudah mengenalnya sejak awal. Perbedaan pendapat tentu saja akan timbul, apakah cara pengenalan ideologi‐ideologi politik di pedesaan di masa lalu merupakan latihan menuju demokrasi atau menuju anarki, tetapi yang jelas organisasi sosial politik sudah dikenal di pedesaan. Pengalaman konflik‐konflik sosial‐politik menjelang 1965 di Surakarta mengisyaratkan desa dari luar dengan cara mereka sendiri (Soegijanto Padmo). Kekurangannya ialah bahwa “ideologi rasonal” ketika diterjemahkan ke dalam masyarakat desa menjadi “ideologi komunal”. Partisipasi politik mereka masuk ke dalam kategori yang disebut Almond dan Verba sebagai “parochial‐participant political culture” (Weisman, 1967:37). Konflik sosial yang terjadi pada tahun 1965 da beberapa waktu sesudahnya menunjukkan ketegangan antar desa, semacam kelanjutan perang desa, karena keterlibatan desa secara enbloc. Politik di tingkat desa tidak mencerminkan artikulasi kepentingan‐kepentingan komunitas kultural. Sejarah yang Terputus, Sejarah yang Bersinambungan Sejarah pedesaan Surakarta terputus pada tahun 1965 atau sesudahnya. Kita tidak tahu bagaimana perkembangan pendidikan politik di pedesaan itu mencapai tujuan sebuah civic culture. Tiba‐tiba sejarah terputus dengan G‐30 S. Masyarakat yang sudah mengenal politik sejak awal abag ke‐20 dijadikan massa mengambang dalam Orde Baru. Keterlibatan politik secara massal di masa lalu digantikan oleh para elit desa. Hanya pada saat‐saat menjelang
koleksi pustaka rumah suluh
2
Pemilu masyarakat mengenal (mengenang) kembali partisipasi politik mereka. Di satu pihak tentu keterputusan sejarah itu merupakan kerugian evolusi, masyarakat jadi tidak lurus, tetapi di lain pihak masyarakat pedesaan dipaksakan untuk meninggalkan ideologi komunal mereka. Parochial‐participant culture digantikan oleh subject‐participant culture. Subject participant culture muncul karena birokrasi memainkan peran yang teramat penting dalam kehidupan politik di tingkat desa, serta elit birokrasi dikalahkan oleh pengaruh pimpinan partai politik di desa. Setelah tahun 1965 kembali memegang peranan yang penting seperti halnya keadaan mereka sebelum terjadinya degradasi peran mereka oleh masuknya perkebunan pada awal abad ke‐19. Karena gabungan beberapa kekuatan sejarah tertentu, masyarakat desa menjadi kawula kembali. Mereka sadar harus belajar dari awal, dan dalam kondisi sosial ekonomi baru, sebelum mereka sungguh‐sungguh memasuki tahapan demokrasi. Proses belajar itu sekarang sudah berjalan lebih dari dua dasawarsa. Sementara itu perubahan‐perubahan sosial‐ekonomi tidak mengalami keterputusan. Diferensiasi sosial yang sudah terjadi di pedesaan sejak lama berjalan tanpa henti. Melunturnya nilai‐nilai komunal, seperti ditinggalkannya nilai‐nilai gotong royong, dirasakan sangat dalam di pedesaan. Secara tradisional, agaman metupakan faktor integratif yang melampaui batas‐batas kelompok msosial‐ekonomi. Jika agama tidak melembaga secara sektarian, peranannya dalam proses integrasi sosial akan semakin jelas. Begitu pula lembaga baru, seperti koperasi desa, akan mempunyai peranan integratif yang lebih besar kalau ia tidak justru membag‐bagi masyarakat desa ke dalam kelompok‐ kelompok ekonomi. Proses marginalisasi masyarakat desa melalui proletarialisasi dapat diserap kembali ke dalam lembaga desa kalau di desa cukup tersedia peluang kerja baru di luar pertanian. Faktor‐faktor disintegratif dan integratif desa saling berebut dengan waktu. Kuatnya birokrasi desa sebagai akibat pelembagaan “demokrasi” pasca 1965 lebih jauh lagi membuka desa untuk masuknya lembaga‐lembaga nasional. LKMD dan LMD sebagai cermin demokrasi di tingkat desa mempunyai kaitan erat dengan tata cara mekanisme administrasi pemerintahan dan pembangunan secara nasional, lebih dari kaitannya dengan tradisi desa. Demikian juga kelembagaan seperti pramuka dan kelompencapir semuanya merupakan kepanjangan dari lembaga‐lembaga nasional. Proses nasionalisasi juga terjadi pada tingkat simbolik. Budaya lokal pedesaan, ritual sosial desa, festival, kesenian, mitologi, bahasa “desa”, semuanya digantikan oleh simbol‐simbol nasional. Ritual sosial politik nasional, seperti petayaan 17 Agustus menggantikan acara‐acara desa seperti Suran. Perayaan‐perayaan desa sudah dipenuhi dengan pesan‐pesan nasional dari soal KB, kesehatan, lingkungan. Kesenian desa digantikan oleh TV dan nyanyian desa oleh lagu‐lagu dari artis nasional. Mitologi tentang cikal‐bakal desa tak ada lagi dalam pikiran anak‐anak muda, sebab pahlawan‐pahlawan nasional, pahlawan revolusi, sudah memenuhi pikiran mereka. Demikian juga bahasa khas desa, dalam dialek dan intonasi, sudah hampir tak dikenal lagi. Bahasa Indonesia semakin popular di masyarakat desa, karena itulah yang
koleksi pustaka rumah suluh
3
digunakan dalam siaran‐siaran TV dan radio. Pembagian kerja laki‐laki dan wanita tidak lagi ditentukan secara tradisional tetapi bergantung pada pasaran kerja. Tenaga kerja pedesaan banyak mengalir ke kota, dengan ngelaju, musiman, atau menetap. Mobilitas penduduk menjadi bagian kehidupan masyarakat desa. Kerja boro dari desa ke desa digantikan oleh kerja migran ke kota. Budaya kota masuk ke pedesaan, sehingga dalam tata cara berpakaian, dan sopan santun masyarakat desa, terutama yang berusia muda, tidak banyak lagi berbeda dengan masyarakat kota. Proses “nasionalisasi” masuk ke pedesaan melalui bermacam‐macam cara dalam dua dasawarsa terakhir. Budaya nasional menggantikan budaya lokal, simbol‐simbol nasional menggusur simbol‐simbol lokal. Hubungan sosial masyarakat desa juga mengalami perubahan. Di masa lalu, mereka hanya berhubungan dengan masyarakat pemerintahan desa dan tokoh‐tokoh informal desa sendiri. Sejak dibukanya sekolah‐sekolah desa pada awal abad ini, guru desa datang dari luar desa. Kehadiran orang‐orang luar desa itu semakin banyak lagi dalam dua dasawarsa terakhir, berkat meluasnya program‐program pembangunan masyarakat desa. Jika petani di masa lalu berhubungan dengan ahli petung dalam usaha pertanian, yaitu untuk menghitung hari‐hari baik buat menanam dan panen, sekarang petugas dari dinas‐dinas pertanian, penghijauan, peternakan, perikanan menjadi penting dalam usaha pertanian. Di luar pertanian, masih banyak lagi pejabat yang menghubungi masyarakat desa. Dari hubnungan yang hanya sederhana berupa hubungan satu urusan (single stranded) dengan orang‐orang diluar pertaian, terjadilah hubungan banyak urusan (many stranded). Pihak‐ pihak yang dihubungi juga semakin banyak (poliadyc) tidak lagi dyadic. Sementara dalam hubungan vertical ada perubahan, demikian juga hubungan horizontal petani. Dalam dua dasawarsa terakhir, sedikit tersisa koalisi horizontal petani secara dyadic single stranded dengan munculnya HKTI sebagai wadah koalisi antara pemegang kuasa dengan petani, tetapi rupanya lembaga politik itu gagal dalam sauahanya untuk menjadikan dirinya satu‐ satunya pihak yang mengurus petani. Ada kompetisi yang sengit dalam merebutkan masyarakat petani (lihat Wolf, 1966). Diferensiasi sosial, transformasi simbolik, dan perubahan pola koalisi menandai perubahan sosial cultural pedesaan. Kaitan antara perubahan‐perubahan itu dengan proses demokratisasi masih tergantung pada banyak hal. Pertama, kemampuan politik dari brokrasi merupakan fakto0r yang menentukan. Kesadaran bahwa dalam jangka panjang industrialisasi memerlukan lembaga‐lembaga demokratis supatya berhasil masih belum menjadi pemikiran yang sungguh‐sungguh. Kedua, kekuatan‐kekuatan sosial ekonomi mempunyai peranan penting dalam proses demokratisasi. Apakah partai‐partai politik mempunyai kebijakan yang memadai dalam menjawab tantangan‐tantangan pasar, dan apakah kekuatan pasar mempunyai kearifan bahwa kelangsungan suatu usaha mereka sangat erat kaitannya dengan kesehatan hubungan politik. Suatu enlightened self‐interest diperlukan bagi usaha‐usaha besar. Jika usaha‐usaha besar mempunyai cukup kemauan, mereka dapat memberikan tekanan pada birokrasi untuk menyelenggarakan secepatnya demokratisasi.
koleksi pustaka rumah suluh
4
Pertumbuhan Demokrasi dan Syarat‐syaratnya Dalam sebuah studi tentang proses demokratisasi di India dan kaitannya dengan pembangunan berencana (Taylor, et, al, 1966: ch. 27) bahwa ada 4 ciri dasar dan keharusan pokok dalam pertumbuhan dengan model masyakarat demoraktis, yaitu (1) open class society (2)communicative society (3) mass consumpotion society, dan (4) pluralist society. Untuk masyarakat pedesaan masa kini, sebuah open class society, yaitu kemungkinan untuk merubah kelas bagi anggota masyarakat, rupanya tersedia di pedesaan. Ketakutan kita ialah jika kekuatan ejonomi besar dari luar desa akan mengganggu mobilitas sosial dengan runtuhnya usaha‐usaha menengah dan kecil di kota‐kota kecil dan pedesaan. Jika hal itu terjadi, misalnya karena konglomerasi, monopoli, dan bentu ekspansi ekonomis lainnya, pastilah terjadi kejenuhan dalam mobilitas. Pembentukan communicative society yang sudah tampak adanya melek huruf yang tinggi di pedesaan, sudah merupakan langkah yang maju. Namun kemajuan itu dapat dihalangi oleh pola komunikasi yang tidak menguntungkan, karena munculnya aru deras dari atas ke bawah, sedangkan arus dari arus bawah ke atas terhambat. Akhir‐ahir ini terbukti bahwa untuk arus bawah ke atas, hanya DPRD tingkat pusat mempunyai mekanisme yang efektif, sementara pemerintah daerah dan juga badan‐badan perwakilan di bawah lumpih. Kita juga khawatir terhadap kemungkinan terjegalnya masyarakat komunikatif. Kesempatan sosial‐ekonomi yang dimungkinkan oleh mass consumption society juga belum sungguh dipikirkan. Rendahnya nilai tukar produk pertanian dan industri kecil terhadap barang‐barang manufaktur dan jasa, atau jarak nilai tukar antara desa dengan kota, dapat menghentikan pertumbuhan kesempatan sosial ekonomi desa. Sementara nilai tukar pertanian rendah, demikian juga tenaga kerja pedesaan, terjadi pertumbuhan leisure class di kota‐kota dan masyarakat tingkat atas. Pola hidup masyarakat atas itu sama sekali tidak terkait dengan produksi barang dan jasa masyarakat tingkat bawah, sehingga kemakmuran sector perkotaan tidak menarik atau tidak menurun ke pedesaan. Petani dan desa masih memikul terlalu banyak beban pembangunan. Demikian pula dengan ciri dasar yang keempat, masyarakat plural yaitu masyarakat yang menyediakan bagi warganya bermacam‐macam wadah untuk melakukan kegiatan. Di pedesaan, sudah banyak sekali organisasi sosial dibentuk, dari olahraga sampai agama, dari ekonomi sampai kesenian. Namun, birokrasi menghendaki penyeragaman. Dengan adanya partai pemerintah yang secara tetap didukung oleh birokrasi, dan menggunakan birokrasi sebagai sarana memobilisasi suara, kita tidak melihat ciri pluralisme. Pada akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan‐perubahan sosial dan kultural dalam dua dasawarsa terakhir secara potensial merupakan prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi. Sayang langkah‐langkah menuju ke arah pembentukan dasar‐dasar dan keharusan bagi tumbuhnya demokrasi di pedesaan masih belum diambil oleh penentu kebijakan pembangunan sendiri.
koleksi pustaka rumah suluh
5