PERUBAHAN BENTUK RESIPROSITAS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DESA NUNUK, INDRAMAYU Afifah Fadlil Ula dan Hilarius S. Taryanto Sarjana Reguler Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik E-mail:
[email protected] Abstrak Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, semangat tolong menolong masih sangat kuat dan terlihat dalam berbagai aspek kehidupan. Gotong royong sebagai wujud kegiatan tolong menolong antar masyarakat masih menjadi bagian dari tradisi masyarakat dan selalu mengandung bentuk resiprositas yang menuntut nilai seimbang. Skripsi ini mengkaji mengenai bentuk-bentuk resiprositas yang saat ini terdapat di kehidupan sehari-hari masyarakat desa Nunuk khususnya pada kegiatan-kegiatan upacara adat dan beberapa kegiatan lain. Masyarakat desa Nunuk memiliki alasan tertentu dalam melakukan berbagai bentuk hubungan timbal balik. Ada beberapa kegiatan yang dilandasi alasan ekonomi, pilihan dari segi kepraktisan, ada juga suatu bentuk tindakan yang dilakukan hanya karena menjaga keberlangsungan suatu proses tertentu dan bahkan beberapa kegiatan termasuk dalam potlatch. Berbagai bentuk resiprositas ini mengalami perkembangan dan beberapa perubahan, tetapi tidak menghilangkan makna yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif saya melakukan pengumpulan data dengan cara pengamatan terlibat dan wawancara, serta ditunjang oleh data sekunder melalui studi pustaka. Kata kunci: tradisi, gotong royong, resiprositas, adat, alasan
Abstract For Indonesian people, spirit of helping each other is very strong and it showed in every aspect of their life. Gotong royong as one of the practice for helping people still become a part of the tradition and always contain with a type of reciprocity that claim the same value. This thesis examines the types of reciprocity that exist in the community’s life in Nunuk village, Indramayu, especially in custom ceremony and gotong royong. Nunuk people have special motive to do some activities that contain a type of reciprocity. For example, they did it for economic reason, practical reason, and some people did it to keep the process being existed. Some kinds of reciprocity are belong to potlatch. Today, the types were changed but it did not made any different meaning. The research was carried out on the basis of qualitative approach using participant observation and in-depth interview methods. This thesis is also supported by secondary data through literature study. Keywords: tradition, gotong royong, reciprocity, custom, reason
Pendahuluan Kegiatan kolektif yang dilakukan oleh masyarakat di suatu daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Namun, di sebagian besar masyarakat kegiatan kolektif 1 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
yang dilaksanakan pasti mengandung unsur kerjasama dan kebersamaan yang kuat. Biasanya, masyarakat umum menggunakan istilah gotong royong untuk menyebutkan pelaksanaan kegiatan yang didasarkan pada unsur kerjasama dan kebersamaan, juga tolong menolong. Pada bagian awal, saya ingin menjelaskan permasalahan yang menjadi fokus kajian, kerangka konsep yang digunakan dalam analisis, dan teknikteknik pengumpulan data. Bagian selanjutnya berisi mengenai gambaran selintas kondisi sosial budaya masyarakat desa Nunuk dan interaksi di antara warga masyarakat. Berikutnya, saya akan menjelaskan bentuk lama resiprositas yang ada di desa Nunuk, proses perubahan yang terjadi, dan bentuk resiprositas dalam kegiatan sosial orang Nunuk saat ini. Terakhir, kesimpulan berisi mengenai jawaban dari pertanyaan saya berdasarkan analisis dan data di lapangan. Gotong royong sebagai sebuah bentuk kegiatan kolektif merupakan salah satu ciri khas masyarakat Indonesia. Sebagai kegiatan kolektif, gotong royong memang melekat erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat akan saling bahumembahu untuk melakukan sebuah kegiatan bersama-sama dengan satu tujuan. Tidak akan ada perbedaan status antara seseorang dengan orang lain ketika berada dalam sebuah kegiatan gotong royong. Terkadang, gotong royong menjadi sebuah momen yang sangat besar dan diiringi dengan perayaan-perayaan oleh masyarakat. Kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat dapat dibagi menjadi beberapa tipe gotong royong yang berbeda-beda, seperti selametan, pembangunan rumah, produksi pertanian, dan lain-lain (Koentjaraningrat, 1960:19). Gotong royong warga tidak hanya terlihat pada kegiatan yang bersifat kolektif saja, tetapi bisa juga pada acara yang diadakan secara individual, misalnya hajatan. Di Jawa, konsep gotong royong sudah mengakar dalam kebudayaan masyarakat. Hampir seluruh masyarakat di Jawa menggunakan sistem gotong royong dalam kehidupan mereka sehari-hari. Bahkan, di Indonesia pun gotong royong menjadi sebuah ciri khas dari kerjasama yang dilakukan oleh masyarakat, apapun suku bangsanya dan dari mana pun asal mereka. Unsur penting gotong royong sebenarnya adalah perasaan saling membutuhkan yang terdapat dalam jiwa warga masyarakat (Koentjaraningrat, 1977:4). Terkadang gotong royong dianggap sebagai bentuk tolong menolong yang tanpa pamrih dan tulus. Namun, hal ini dapat berubah seiring dengan perkembangan dan dinamika kebudayaan suatu masyarakat. Kebersamaan dalam pelaksanaan suatu kegiatan memang masih ada, tetapi alasan masyarakat dalam melakukan kegiatan itulah yang dapat berubah. Berbagai macam alasan pasti mengiringi kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh seseorang. Kerelaan dalam membantu orang lain atau melakukan sebuah pekerjaan secara bersama-sama saat ini hanya menempati sebagian kecil saja dari berbagai macam alasan yang ada. 2 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan secara bersama-sama oleh warga masyarakat memiliki berbagai macam bentuk, salah satunya adalah sambatan1 (Jawa). Koentjaraningrat (1984:152-154) menyebutkan bahwa sambatan merupakan sebuah institusi yang dibentuk untuk menyediakan bantuan bersama dengan fungsi seperti dalam perusahaan, misalnya untuk pembangunan, acara hajatan, dan kerjasama dalam pertanian. Masyarakat Desa Nunuk juga mempunyai beberapa istilah sendiri untuk kegiatan yang bersifat gotong royong. Ketika mereka membantu di acara hajatan, maka hal itu dinamakan majengan. Tetapi, untuk kegiatan pembangunan fasilitas umum, konsep gotong royong yang digunakan. Bentuk-bentuk resiprositas untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan komunal memang sangat banyak. Di desa Nunuk juga ada beberapa bentuk resiprositas lain yang tercermin dalam kegiatankegiatan sosial yang dilakukan masyarakat, tidak hanya dalam hal pengerahan tenaga kerja saja. Berawal dari beberapa bentuk resiprositas tersebut, saya kemudian ingin mengetahui lebih lengkap mengenai bentuk-bentuk resiprositas. Selain itu, di desa Nunuk sekarang sudah terjadi perubahan dalam beberapa kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satunya adalah alasan dari masyarakat yang awalnya adalah gotong royong secara ikhlas, tetapi untuk saat ini banyak kegiatan yang bersifat gotong royong sudah diukur secara ekonomi dan mengesampingkan rasa ikhlas dan sukarela. Untuk mengetahui proses perubahan yang terjadi, saya ingin mengkaji bentuk-bentuk resiprositas yang terjadi di desa Nunuk dalam kurun waktu 50 tahun terakhir. Beberapa hal yang menjadi pertanyaan penelitian saya adalah bagaimana latar belakang masyarakat desa Nunuk dan gambaran masyarakat Nunuk saat ini? Bagaimana bentuk-bentuk resiprositas yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat desa Nunuk? Mengapa perubahan dalam resiprositas dapat terjadi di kehidupan mereka dan bagaimana proses terjadinya perubahan tersebut? Pemberian, Bentuk Resiprositas, dan Potlatch dalam Gotong Royong Dalam bukunya yang berjudul “Pemberian”, Mauss menuliskan bahwa ada tiga hal utama yang berhubungan dengan pemberian, yaitu kewajiban untuk memberi, kewajiban untuk menerima, dan kewajiban untuk membayar kembali (Mauss, 1992:15). Di dalam suatu masyarakat, pemberian itu pasti selalu dilakukan. Namun, Mauss juga menyebutkan bahwa dalam kewajiban untuk memberi sesuatu kepada orang lain, ada juga alasan tertentu dari pemberi. Sambatan, berasal dari kata sambat = mengeluh, meminta bantuan.
3 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Di beberapa suku bangsa di dunia, Mauss menyebutkan bahwa ada pemberianpemberian yang sengaja dilakukan oleh seseorang karena dia ingin menunjukkan kemampuannya dalam hal materi atau kekuasaan. Alasan-alasan yang sejenis ini disebut Mauss sebagai potlatch (Mauss, 1992:7). Pemberian seringkali dilakukan oleh seseorang karena ingin ‘dipandang’ oleh orang lain, ingin mendapatkan imbalan yang lebih besar daripada pemberian yang dilakukan, atau bisa juga hanya karena gengsi semata. Singkatnya, dalam setiap pemberian yang dilakukan, seseorang pasti menuntut untuk mendapatkan suatu pengembalian yang sama besar atau bahkan lebih besar. Pemberian dalam sebuah konteks tertentu dapat disebut dengan menyumbang. Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1977:4) menyebutkan bahwa sistem menyumbang yang menimbulkan kewajiban membalas merupakan sebuah prinsip dari masyarakat kecil yang disebut dengan principle of resiprocity atau prinsip timbal balik. Dengan kata lain, pemberian merupakan sebuah bentuk pertukaran yang bersifat resiprokal (Mauss, 1992:61). Di desa Nunuk sendiri, prinsip ini dapat kita temukan, misalnya ketika kondangan beras. Seseorang akan menyumbang beras ketika ada acara hajatan tertentu dengan harapan di kemudian hari ketika dia punya hajat, orang lain akan mengembalikan sebesar pemberiannya. Menurut Gouldner (1960) ada dua macam keseimbangan yang ada dalam resiprositas yaitu (1) keseimbangan nilai yang didapat oleh tiap-tiap pihak misalnya pertukaran antara tenaga dengan uang, dan (2) keseimbangan jenis yang dapat diartikan dengan kesamaan bentuk yang konkrit misalnya tenaga dengan tenaga. Sahlins dalam bukunya Stone Age Economics (1972:193-195) menguraikan tiga bentuk resiprositas, yaitu resiprositas umum, resiprositas seimbang dan resiprositas negatif. Resiprositas umum berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang adalah pemberian berupa bantuan sukarela walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada balasan yang serupa dari orang lain. Selain itu, pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain tidak ditentukan batas waktu pengembalian. Bentuk resiprositas ini tidak mengenal hukum-hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberikan atau mengembalikan (Sairin, 2002:40).
Resiprositas seimbang adalah bentuk resiprositas yang seringkali berupa pertukaran langsung dengan nilai yang seimbang dan biasanya dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan. Masyarakat melakukan bentuk resiprositas ini dengan adanya aturan-aturan dan sistem yang mengikat terjadinya resiprositas tersebut. Bentuk resiprositas terakhir adalah resiprositas negatif yang meliputi segala usaha untuk mendapatkan sesuatu dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Bentuk resiprositas negatif ini meliputi potlatch dan resiprositas dengan alasan utama ekonomi karena terpengaruh sistem ekonomi pasar (Sairin,2002). Beberapa bentuk 4 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
resiprositas ini terlihat dalam berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat desa Nunuk. Menurut Mattulada (1977:47-57), gotong royong dapat dilakukan atas dasar kesadaran kolektif suatu kelompok dan sikap solidaritas kelompok untuk saling membantu. Dahulu gotong royong dilakukan tanpa pamrih, tetapi sekarang keadaannya telah berubah. Kini, banyak faktor-faktor tertentu yang membuat gotong royong sebagai sebuah sistem kerjasama mengalami perubahan ke arah pengerahan tenaga kerja yang rasional dan konkrit. Sistem upah digunakan sebagai pengganti dari balas jasa atau imbalan secara tradisional dalam sebuah hubungan kerja yang menyebabkan gotong royong tersebut menjadi lebih rasional (Marzali, 1977:74-83). Menurut Bowen (1986:558), kegiatan kolektif yang termasuk gotong royong dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu pertukaran langsung, bantuan yang bersifat timbal balik dan perpindahan buruh berdasarkan status politik. Pertukaran langsung dalam gotong royong terlihat pada pemberian upah ketika buruh panen selesai melaksanakan pekerjaan mereka. Bantuan yang bersifat timbal balik dapat ditemukan pada berbagai kegiatan sosial seperti bantuan tenaga ketika ada acara hajatan atau kondangan beras di masyarakat Nunuk. Dalam beberapa hal, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Nunuk mengalami berbagai transformasi, mengalami perubahan bentuk yang di dalamnya mengandung unsur praktis. Masyarakat mengubah bentuk kegiatan gotong royong di Nunuk tanpa menghilangkan tujuan sebenarnya dari kegiatan tersebut seperti dalam kondangan beras. Perubahan itu terjadi sebagai sebuah bentuk baru yang dinilai cocok dengan keadaan masyarakat saat ini tanpa menghilangkan unsur lama dari tradisi tersebut atau disebut dengan invented tradition (Hobsbawm, 1983:2). Tradisi yang hingga kini masih dijalankan secara terus-menerus adalah sebuah bentuk tindakan yang mengikuti sebuah kompleks tata kelakuan yang disebut adat istiadat (Koentjaraningrat, 1967:216). Adat istiadat yang ada di dalam masyarakat dapat berupa norma, kepercayaan, sikap, aturan, hukum, dan lain-lain. Adat istiadat ini dapat dipahami oleh masyarakat melalui proses pembelajaran yang secara terus menerus dari mereka lahir hingga meninggal. Adat inilah yang hingga sekarang juga masih dipertahankan dan diikuti oleh masyarakat desa Nunuk, termasuk dalam beberapa kegiatan yang merupakan bentuk resiprositas. Identifikasi Desa Nunuk Desa Nunuk merupakan sebuah desa di Kabupaten Indramayu yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Lelea. Wilayah pemukiman penduduk di Nunuk
terbagi menjadi enam blok dari Blok A sampai Blok F yang masing-masing dipimpin oleh seorang Bekel. Setiap blok di Nunuk mewakili satu Rukun Warga (RW) dan 5 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
secara keseluruhan ada 16 RT. Pemerintahan Desa Nunuk sendiri dipimpin oleh seorang Kuwu (Kepala Desa) dengan dibantu oleh beberapa orang perangkat desa seperti Kliwon, Tata Usaha, Lurah, Raksa Bumi dan Lebe. Desa Nunuk adalah desa yang mengandalkan sektor pertanian untuk mata pencaharian warganya. Tidak heran jika lebih banyak petani dan buruh yang mendominasi mata pencaharian penduduk di desa Nunuk. Hal ini dikarenakan sebagian besar wilayah Nunuk merupakan areal persawahan, sedangkan untuk pemukiman hanya sebesar seperdelapan dari seluruh wilayah desa. Selain pertanian, sektor lain yang juga berperan besar di Nunuk adalah sektor jasa dan perdagangan. Masyarakat desa Nunuk termasuk masyarakat yang harmonis. Sangat jarang terjadi kekerasan atau perselisihan antar warga. Hubungan antar warga masyarakat di Nunuk cukup baik, terlihat dari interaksi yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Di desa Nunuk, hampir sebagian besar warganya mempunyai hubungan kekerabatan. Ketika berada di Nunuk, banyak masyarakat yang mengakui bahwa mereka memiliki sedulur di berbagai blok di Nunuk. Tidak heran jika warga yang tinggalnya saling berjauhan dari ujung desa dapat saling mengenal satu sama lain. Sedulur atau kerabat yang dimaksud adalah orang-orang yang masih memiliki hubungan saudara berdasarkan ikatan darah maupun bersaudara secara ikatan fiktif tanpa hubungan darah (Fox, 1967:33), dapat berupa sedulur cedak atau sedulur adoh (Geertz, 1983:28). Hubungan kekerabatan yang erat di antara warga Nunuk berguna ketika seseorang mengadakan hajatan. Ketika ada sebuah hajatan, banyak kerabat yang akan datang membantu persiapan acara. Mereka akan datang dengan sukarela untuk membantu tuan rumah. Hal ini berlaku sebaliknya, tuan rumah acara hajatan nantinya juga akan membantu orang-orang tersebut ketika mereka membutuhkan. Di desa Nunuk, ada sekelompok warga yang memiliki perbedaan paham agama dengan masyarakat Nunuk pada umumnya. Perbedaan yang jelas terlihat pada penolakan kelompok minoritas ini terhadap segala bentuk kepercayaan di Nunuk yang sebagain besar selalu menggunakan sesajen. Ketika salah satu warga minoritas ini mengadakan acara hajatan sunatan anaknya, tanpa menggunakan sesajen, masyarakat umum mencibir keluarga tersebut dan tersirat bahwa warga tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan. Masyarakat muslim di desa Nunuk terbagi menjadi dua kategori. Pertama yaitu masyarakat umum yang menganut Islam tetapi masih menjalankan kepercayaan tradisional seperti syukuran dengan tumpeng dan menggunakan sesajen. Kedua yaitu masyarakat yang beragama Islam tanpa mencampurnya dengan kepercayaan tradisional. Masyarakat yang masuk dalam kategori kedua ini lebih banyak dari pendatang dan memiliki paham yang keras mengenai Islam. Bahkan beberapa
6 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
diantara mereka mengakui bahwa kepercayaan tradisional dari masyarakat Nunuk itu dilarang oleh agama dan mereka menolak keras untuk mengikuti kepercayaan tersebut. Sebagian besar masyarakat desa Nunuk saat ini dapat menyandingkan agama Islam dengan kepercayaan tradisional mereka. Sejak dahulu kepercayaan tradisional sudah berjalan beriringan dengan Islam karena kebudayaan Jawa digunakan dalam proses penyebaran Islam di Jawa (Hilmy, 1999:33). Adanya harmonisasi antara Islam dan kepercayaan tradisional Jawa terlihat pada upacara adat yang masih menggunakan sesajen dengan pembacaan doa yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Resiprositas dalam Kegiatan Pertanian dan Pembangunan Fasilitas Umum Bentuk-bentuk resiprositas di desa Nunuk dapat kita temukan pada berbagai aspek kehidupan. Pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kolektif, masyarakat Nunuk masih menggunakan sistem gotong royong dalam pelaksanaannya. Mereka saling tolong-menolong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Pada awalnya, kegiatan gotong royong di Nunuk memang dilaksanakan tanpa ada sistem upah. Para tenaga kerja melakukan kegiatan gotong royong dengan sistem bergantian yang berarti ada timbal balik antara orang yang satu dengan yang lain. Pada dasarnya masyarakat melakukan gotong royong karena sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu tergantung kepada sesamanya (Koentjaraningrat, 1977:13). Masyarakat yang pada mulanya sukarela melakukan gotong royong pada pembangunan desa, saat ini berorientasi pada upah yang akan diperoleh setelah melakukan pekerjaan tersebut. Perubahan yang terjadi di desa Nunuk ini tampaknya membawa dampak yang baik karena masyarakat akan mendapatkan penghasilan dari pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh desa. Namun, sebagai sebuah sistem nilai, makna gotong royong akan semakin pudar sebagai sebuah bentuk tolong menolong yang bersifat tanpa pamrih. Gotong royong yang dilakukan warga Nunuk saat ini merupakan bentuk gotong royong yang menuntut resiprositas tertentu dari alasan individu. Kemungkinan pudarnya jiwa gotong royong sebagai sebuah sistem nilai akan dapat diminimalisir dengan usaha yang keras dari masing-masing individu di masyarakat untuk dapat menjaga hubungan baik dengan sesamanya yang didorong oleh jiwa sama-rata, sama-rasa (Koentjaraningrat, 1977:13). Pada setiap acara hajatan, awalnya masyarakat akan membantu setiap keluarga atau tetangga terdekat yang mengadakan acara tertentu. Masyarakat melakukan hal itu karena merasa berkewajiban untuk membantu dan terdorong oleh solidaritas sosial. Di sebagian besar masyarakat Jawa, gotong royong pada acara hajatan memang dilakukan dengan sukarela dan spontan. Namun saat ini kondisi sosial masyarakat sudah berubah. Prinsip ekonomi selalu mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, sehingga hal itu menjadi alasan utama. 7 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Setiap kegiatan yang bersifat gotong royong selalu menuntut adanya timbal balik yang sepadan. Masyarakat sekarang jarang yang melakukan kegiatan gotong royong tanpa pamrih. Pasti ada alasan tertentu dari setiap individu yang terlibat. Pada masyarakat Jawa dahulu, pekerjaan pertanian diselesaikan oleh keluarga dan kerabat petani, tetapi saat ini hampir seluruh pekerjaan diselesaikan oleh buruh demi mendapat upah. Dalam membicarakan sawah dan pertanian, dapat berarti bahwa kita juga meluaskan pembicaraan mengenai usaha gotong royong dan kondisi setengah pengangguran (Geertz, 1976:11). Buruh tani pun secara gotong royong membantu panen petani, walaupun pekerjaan tersebut bukan merupakan pekerjaan tetap yang dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Kegiatan pertanian di desa Nunuk merupakan tonggak kehidupan ekonomi masyarakat. Sebesar 35 persen penduduk Nunuk juga bermata pencaharian sebagai petani. Dalam melakukan berbagai macam pekerjaan di sawah, seringkali masyarakat membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menyelesaikannya. Dahulu, untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan di sawah, masyarakat melakukannya dengan sistem gotong royong. Walaupun gotong royong dilakukan memang untuk melakukan pekerjaan sawah, tetapi kerjasama itu tidak dapat terlepas begitu saja dari aspek kehidupan yang lain seperti pernikahan dan sistem kekerabatan (Melalatoa (1977:1727). Pelaksanaan gotong royong ini sedikit banyak tetap akan membutuhkan bantuan dari keluarga sendiri, walaupun untuk beberapa pekerjaan kecil. Gotong royong dalam bidang pertanian biasanya meliputi pekerjaan dari masa persiapan penanaman, pembuatan galeng (pematang), membajak, hingga masa panen. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, gotong royong merupakan sebuah sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa sibuk dalam lingkaran aktivitas bercocok tanam di sawah (Koentjaraningrat, 1977:6). Di desa Nunuk, para petani saat ini juga sudah memanfaatkan tenaga dari luar kalangan keluarga mereka untuk membantu menyelesaikan pekerjaan mereka di sawah. Sawah bagi masyarakat Jawa sangat erat hubungannya dengan sistem organisasi kerja dan pelapisan masyarakat (Geertz, 1976:10). Pekerjaan-pekerjaan di sawah tidak dapat dipisahkan dari pelapisan sosial seperti buruh dan majikan, dan buruh-buruh tersebut merupakan pekerja yang berada di bawah naungan sebuah sistem yang terorganisir. Penggunaan buruh tani dalam kegiatan pertanian dimulai dari awal masa pengolahan tanah yaitu pembersihan rumput, kemudian dilanjutkan dengan membajak sawah dengan traktor atau cangkul, menebar benih, menanam bibit (tandur), nanjangi (memeriksa tanaman yang rusak), menyiangi atau mencabut rumput liar, pemupukan, dan panen. Hampir semua pekerjaan tersebut dilakukan dengan mengupah buruh tani yang biasanya berasal dari luar desa. Untuk saat ini, ada beberapa pekerjaan yang 8 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
dilakukan individual, ada juga yang dilakukan dengan sistem borongan. Sistem borongan dilakukan oleh kelompok-kelompok buruh tani yang sudah terkoordinir. Mereka akan menawarkan jasanya untuk membantu pekerjaan sawah seperti tandur dan panen. Sebagai salah satu bentuk gotong royong dengan model pertukaran langsung, sistem buruh tani ini sangat mencerminkan hubungan timbal balik langsung di antara dua pihak. Petani mendapatkan tenaga untuk mengolah sawah mereka sejak seting awal lahan hingga panen dan penjemuran, sedangkan buruh mendapatkan uang dan padi hasil kerja keras mereka. Hampir semua rangkaian proses pertanian ini termasuk dalam bentuk resiprositas seimbang seperti yang dikatakan Sahlins (1976:194) karena beberapa kegiatan yang terdapat di dalamnya adalah bentuk pertukaran langsung. Pemilik sawah mengadakan pertukaran dengan buruh tani yang berupa pekerjaan dengan upah berupa uang dan barang (padi dan makanan). Barang dan uang yang diperoleh buruh tani diberikan oleh pemilik sawah segera setelah pekerjaan buruh selesai. Pertukaran ini adalah sebuah bentuk pertukaran yang dilakukan dengan kesepakatan sebelumnya antara dua pihak tersebut. Dalam pembangunan fasilitas umum, resprositas terjadi antara pihak Pemerintah Desa Nunuk dengan warga desa. Pemerintah desa dalam melakukan pembangunan fasilitas umum, menerima sumbangan dari masyarakat dalam bentuk gabah dan uang seikhlasnya. Jadi, setelah masa panen akan ada beberapa orang yang ditugaskan oleh desa untuk mengambil gabah dari masyarakat. Sebelumnya, pihak desa sudah membagikan kandek (karung beras) ukuran 15kg kepada masyarakat. Pembangunan dilakukan dengan tukang dan pengawas untuk membantu warga yang bekerja. Tukang dan pengawas tersebut diberi upah setengah harga dari pembangunan rumah biasa karena ini merupakan pembangunan fasilitas umum. Pada periode tahun 1997 hingga sekarang, pembangunan fasilitas umum masih berdasarkan iuran warga, tetapi upah untuk pembangunannya sudah menggunakan uang seluruhnya untuk warga maupun tukang. Para pekerja yang ikut dalam pembangunan tidak diberi makanan dan minuman dari desa, tetapi murni upah uang saja. Dahulu, warga hanya diberi makan dan minum saja untuk jasa mereka membantu pembangunan fasilitas umum. Buruh-buruh pembangunan mulai diperhitungkan tenaganya dan dibayar dengan uang sejak pemerintahan Pak Kuwu Widi tahun 1997. Hal ini dilakukan karena Pak Kuwu Widi ingin mengikuti hadits Nabi yang mengajarkan umatnya agar membayar orang yang sudah membantu pekerjaan kita sebelum keringat mereka kering. Prinsip yang dibawa oleh Pak Kuwu Widi pada masa pemerintahannya ini mempengaruhi sistem gotong royong yang ada di desa Nunuk hingga sekarang. 9 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Ketika ada pembangunan, warga berbondong-bondong ikut membantu dengan harapan akan diberi imbalan ketika proses pembangunan sudah selesai. Dalam gotong royong yang dilakukan ketika pembangunan fasilitas umum, terlihat bahwa alasan utama warga dalam pembangunan fasilitas desa selain membantu adalah untuk mendapatkan upah dari hasil kerja mereka. Perasaan saling membantu secara sukarela tidak tampak lagi dalam gotong royong tersebut. Koentjaraningrat (1990:174) menyebutkan bahwa ada satu jenis gotong royong yang dinamakan kerjabakti. Kerjabakti ini dilakukan untuk proyek-proyek yang berguna bagi kepentingan umum. Pembangunan fasilitas umum di desa Nunuk dapat digolongkan sebagai sebuah bentuk kerjabakti. Karena alasan yang dimiliki warga dalam kerjabakti ini bukanlah alasan sukarela, maka hal ini tidaklah sejalan dengan pendapat Koentjaraingrat (1990:174) yang menyebutkan dua jenis kerjabakti yaitu (1) kerja bersama untuk proyek yang timbul dari inisiatif atau swadaya masyarakat, dan (2) kerja bersama untuk proyek yang dipaksakan dari atas. Untuk tipe pertama, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa warga akan serba rela dan bersemangat untuk menjalankan kerjabakti tersebut. Namun untuk kondisi di desa Nunuk saat ini, hal semacam itu sudah tidak dapat kita temukan. Pembangunan fasilitas umum yang berguna untuk keseluruhan masyarakat desa Nunuk bukanlah menjadi proyek swadaya bersama yang dilaksanakan hanya berdasarkan semangat kolektif dan sukarela. Proyek tersebut sudah menjadi sebuah lapangan pekerjaan baru yang bersifat temporer bagi warga desa. Selain fasilitas umum, ada pembangunan lain yang juga menggunakan jasa tenaga kerja warga. Di desa Nunuk ada istilah sambatan yang digunakan ketika ada pembangunan rumah penduduk dan pemasangan kijing kuburan. Sambatan akan terjadi jika seseorang yang ‘nyambat’ adalah warga yang sudah lama tinggal di desa Nunuk dan sebelumnya juga pernah membantu orang lain. Ketika sambatan, seseorang yang ingin membangun rumahnya akan meminta bantuan warga untuk ikut serta dalam pembongkaran rumahnya. Warga yang dimintai bantuan adalah tetangga terdekat. Ketika tetangga terdekat sudah memberikan bantuan mereka untuk pembangunan rumah, maka tuan rumah mempunyai kewajiban untuk membalas jasa kepada semua tetangga yang datang membantu pada saat mereka masing-masing memerlukan tenaga bantuan dalam aktivitas sekitar rumah tangga mereka (Koentjaraingrat, 1990:173). Sambatan termasuk dalam bentuk resiprositas seimbang yang berupa pertukaran langsung antara tenaga dari masyarakat desa dengan makanan dan upah. Tetapi tuan rumah juga nantinya harus membalas jasa warga yang ikut sambatan dengan membantu mereka ketika dibutuhkan karena hal ini sudah menjadi aturan 10 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
tidak tertulis dalam masyarakat desa Nunuk mengenai sambatan. Jadi, sambatan adalah sebuah bentuk resiprositas yang bernilai seimbang dengan objek berupa tenaga. Namun pada pembangunan fasilitas umum, terlihat adanya perubahan yang terjadi dalam kegiatan ini. Pada awalnya bentuk resiprositas dalam pembangunan fasilitas umum adalah resiprositas umum karena masyarakat membantu pemerintah desa dengan gotong royong secara sukarela. Namun, saat ini kegiatan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat dengan disertai kesepakatankesepakatan tertentu seperti jumlah upah yang akan dibayarkan, sehingga resiprositas ini bernilai seimbang. Saat ini bentuk resiprositas yang terjadi adalah resiprositas seimbang dengan aturan-aturan yang mengikat antara warga dengan pemerintah desa. Ketika warga sudah memberikan sumbangan untuk pembangunan fasilitas umum, maka pemerintah desa harus melaksanakan pembangunan tersebut. Warga juga diminta untuk membantu pelaksanaan pembangunan secara gotong royong walaupun nantinya akan diberikan upah sebagai balasan. Resiprositas dalam Upacara Adat Desa Nunuk memiliki musim tersendiri untuk melaksanakan hajatan. Masyarakat Nunuk biasa mengadakan acara hajatan besar ketika masa panen sudah selesai. Hajatan yang biasa digelar yaitu pernikahan, rasulan atau sunatan anak, dan mupuk2. Warga yang berasal dari kalangan menengah ke atas biasanya mengadakan acara secara besar-besaran dengan menyewa hiburan seperti organ tunggal, sandiwara, atau arak-arakan bagi hajatan rasulan/sunatan. Warga menengah ke bawah ada juga yang mengadakan hajatan dengan hiburan, tetapi lebih sering hajatan diadakan secara sederhana tanpa hiburan atau disebut dengan sepian. Di desa Nunuk, sudah tradisi untuk menyumbang beras kepada setiap hajatan yang kita datangi. Pada kondangan beras ini, masyarakat datang ke tempat hajatan dengan membawa beras yang dimasukkan ke dalam tas anyaman plastik atau karung, kemudian ditimbang. Jumlah beras yang ditimbang dituliskan pada sepotong kertas kecil lalu orang tersebut memberikan kepada bagian pencatatan agar mencatatkan namanya beserta jumlah beras yang diberikan. Selain memberikan beras, ada juga tamu undangan yang membawa uang. Walaupun mereka membawa uang, tetapi bisa saja ditulis sebagai beras jika mereka mau. Mupuk adalah salah satu nama acara hajatan yang diadakan oleh warga desa Nunuk untuk mengambil kembali beras dan sumbangan yang pernah diberikan ketika kondangan. Hajatan ini dapat dianggap sebagai hajatan penutup. Masyarakat desa Nunuk memiliki kebiasaan bahwa sumbangan yang diberikan pada saat seseorang mengadakan hajatan harus dikembalikan dalam jumlah yang sama. Jika masih terdapat lebih ketika mupuk, maka harus dikembalikan lagi kepada pemberi karena kelebihan tersebut sama dengan hutang.
11 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Perilaku masyarakat yang menggunakan cara baru yang dianggap lebih praktis ini menunjukkan bahwa konsep pragmatism juga telah mempengaruhi pemikiran masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial mereka. Jadi, masyarakat desa Nunuk menyumbang beras dalam bentuk uang dengan alasan kemudahan yang merupakan sebuah contoh dari konsep pragmatism. Menurut Pierce, pragmatism sebenarnya merupakan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah. Dalam konsep tersebut Pierce menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis (Pierce dalam Ismaun, 2004:96). Konsep pragmatism lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia. Kondangan beras ini merupakan salah satu bentuk resiprositas seimbang yang ada dalam hajatan. Beras yang diberikan untuk hajatan ini harus dikembalikan kepada pemberi dengan jumlah yang sama pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada saat acara hajatan yang diadakan oleh pemberi. Namun, bisa juga berasnya dikembalikan dengan jumlah yang lebih banyak, yang berarti bahwa orang tersebut kembali menabung kepada pemberi yang suatu saat pemberi juga harus mengembalikan sejumlah sisa beras tersebut. Masyarakat desa Nunuk biasanya memberi lebih ketika mengembalikan pemberian beras karena mereka tidak ingin dinilai buruk. Selain itu, mereka membeli lebih agar natinya mereka juga mendapat pengembalian yang lebih besar dari yang telah diberikan. Seperti yang dikatakan Peter M. Blau (1964:89-90), “..if both individuals value what they receive from the other, both are prone to supply more of their own services to provide incentives for the other to increase his supply and to avoid becoming indebted to him.” Di Nunuk, masyarakat biasanya menyumbang beras kepada seseorang dengan niat untuk menabung, mengutangi, atau arisan. Dengan memberi beras ketika hajatan seseorang, maka diharapkan ketika kita mengadakan hajatan juga, banyak yang akan mengembalikan berasnya pada kita. Potlatch yang diungkapkan oleh Mauss ternyata tidak hanya berlaku untuk masyarakat kuno saja. Pada masa sekarang juga masih ada masyarakat yang melakukan potlatch. Mereka memberikan sesuatu kepada orang lain dengan harapan mendapatkan pengembalian yang lebih banyak, bukan alasan ikhlas menyumbang, tetapi di baliknya ada alasan individu. Hal ini terlihat jelas ketika seseorang mengadakan Mupuk. Dapat dipastikan alasan masyarakat yang mengadakan Mupuk sudah pasti untuk mengambil kembali semua pemberian yang pernah dilakukan kepada orang lain. Tidak ada alasan yang tulus dalam pemberiannya yang lalu. Semua harus dikembalikan secara tepat dan senilai dengan pemberiannya. Masyarakat desa Nunuk dalam setiap hajatan yang digelar selalu melakukan sebuah awalan dengan cara memberi suguhan kepada roh halus yang dipercaya menunggu rumah mereka. Suguhan yang sering disebut sesajen ini memiliki nama 12 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
yang berbeda untuk setiap upacara adat. Dalam hajatan, biasanya suguhan ini dibuat untuk mengawali masa hajatan sebelum ada masyarakat umum yang datang untuk kondangan. Suguhan dalam hajatan ini disebut dengan “angkatan”. Angkatan dibuat dan disiapkan oleh seorang dukun, cendoli atau nujum dengan kewajiban berpuasa selama dua hari sebelum hajatan dimulai. Pada sebuah hajatan rasulan, suguhan angkatan berupa tumpeng, ayam utuh, daging, srundeng, ikan asin, nasi uduk, nasi kuning, beberapa makanan kecil seperti juadah dan rengginang, beberapa macam minuman seperti teh, kopi, air putih dan bajigur, kelapa hijau, rokok srutu, sirih pinang, kemenyan dan candu. Ada juga dua pendil (tempayan dari tanah liat) berisi beras yang nantinya akan dibawa pulang oleh cendoli dan nujum. Ada beberapa pendil disana, dua pendil besar untuk tempat beras, satu yang kecil untuk tempat nasi uduk yang diatasnya diletakkan piring kecil berisi nasi, ikan, gula merah, terasi dan cabai. Selain makanan ada juga barang lain seperti sisir, kaca, bedak, tujuh macam bunga, kemudian ada dedaunan misalnya daun pohon sukun, ranting beringin, dan bambu kuning. Pada suguhan angkatan, resiprositas yang ada dalam suguhan ini tidak dapat dilihat secara kasat mata dari dua pihak. Resiprositas dapat dilihat dari satu sisi saja yaitu pemberi suguhan. Tuan rumah memberi suguhan untuk roh halus dengan harapan suguhan tersebut dapat dimakan dan menyenangkan roh halus sehingga mereka tidak mengganggu jalannya acara hajatan. Timbal balik dari pemberian ini hanya dirasakan oleh tuan rumah dengan merasa aman dan tenang karena sudah memberikan suguhan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Pak Asmadi bahwa suguhan itu ada untuk memberi makan roh halus yang menunggu rumah agar menyingkir selama acara dilaksanakan. Suguhan juga menenangkan majikan. Kalau sudah memberi suguhan, majikan akan tenang karena tidak khawatir terjadi masalah selama acara, keluarga selamat, sehat, dan langgeng. Dalam sebuah hajatan, tokoh penting lain yang berperan adalah tukang masak. Saat ini, tukang masak untuk acara hajatan di desa Nunuk semuanya merupakan buruh bayaran. Sudah tidak ada lagi tukang masak yang membantu secara sukarela. Sebelumnya, memasak dan membantu persiapan orang hajatan dilakukan secara bergantian. Orang yang sekarang membantu, nantinya juga akan dibantu ketika mengadakan hajatan. Biasanya yang membantu hajatan adalah tetangga dekat dan saudara. Bentuk resiprositas dalam kegiatan memasak ini terlihat pada tukang masak yang memberikan tenaganya untuk memasak di acara hajatan dan mendapat pengembalian atau imbalan berupa upah. Sedangan kerabat dan tetangga yang datang menyumbangkan tenaga mereka akan mendapatkan pengembalian atau imbalan berupa helm atau bungkusan nasi dan sayur matang. Pada awalnya upah tukang masak 13 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
adalah sembako berupa beras dan makanan seikhlasnya dari tuan rumah. Namun, saat ini tukang masak sudah mematok upah untuk jasa mereka yang biasanya dihargai Rp500.000,00-Rp700.000,00. Perubahan nilai upah tukang masak ini dapat dianggap sebagai perubahan yang terjadi karena faktor ekonomi. Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan mahal sekarang menuntut tukang masak untuk mematok harga bagi jasa mereka. Jasa tukang masak saat ini bukanlah bantuan semata-mata dari tetangga, tetapi sudah menjadi pekerjaan profesional. Jadi, wajar jika tukang masak saat ini sudah mematok harga tertentu bagi pekerjaan mereka. Hal ini menunjukkan perubahan bentuk resiprositas dari resiprositas umum menjadi resiprositas negatif. Awalnya bentuk resiprositas yang terjadi adalah resiprositas umum karena balasan yang diberikan secara sukarela dan tidak ditentukan secara pasti besarnya balasan tersebut. Sedangkan sekarang, perubahan ini mengarah kepada bentuk resiprositas negatif karena tukang masak mematok harga untuk jasa mereka dalam memasak di acara hajatan karena pengaruh ekonomi. Selain pada acara hajatan, resiprositas juga terdapat pada rangkaian upacara kematian. Pada rangkaian peristiwa kematian, pemberian yang dilakukan oleh warga berupa doa dan bantuan tenaga ternyata juga diberi imbalan berupa uang. Terlihat di sini bahwa di desa Nunuk semua pemberian akan mendapatkan pengembalian yang sudah dihitung secara ekonomis. Sudah sangat jarang ditemukan pemberian yang bersifat tanpa pamrih dan sukarela. Ketika kita membandingkan keadaan tahlil antara keluarga kaya dan miskin di Nunuk, maka akan terlihat bahwa keluarga kaya juga melakukan potlatch. Mereka akan memberikan uang yang berjumlah lebih besar daripada keluarga lain agar semakin banyak orang yang datang untuk berdoa. Masyarakat pun memiliki alasan lain di balik kedatangan mereka untuk tahlil. Selalu ada beberapa orang yang memiliki alasan hanya untuk mendapatkan uangnya saja, bukan untuk berdoa. Dari uraian di atas, dapat kita lihat adanya dua bentuk resiprositas yang terdapat pada rangkaian proses upacara kematian, yaitu resiprositas umum dan resiprositas negatif. Bentuk resiprositas umum terlihat pada sumbangan yang diberikan oleh warga kepada keluarga duka, pemberian uang sholawat pada pelayat dan penggali makam serta uang setelah sholat jenazah. Beberapa kegiatan ini merupakan resprositas umum karena hubungan antara dua pihak yang melakukan pertukaran tidak didasari oleh aturan yang mengikat dan tidak menuntut pengembalian yang sebanding dengan pemberian mereka. Sedangkan bentuk resiprositas negatif terlihat pada pemberian uang tahlil oleh keluarga duka dengan kemampuan ekonomi menengah ke atas yang mengarah kepada potlatch. Potlatch merupakan salah satu contoh resiprositas negatif karena tuan rumah 14 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
menghendaki tujuan yang mengarah kepada kepentingan pribadi yaitu pengakuan kemampuan mereka secara ekonomi dan harapan untuk mendatangkan sebanyakbanyaknya warga untuk ikut berdoa. Sebelum menjadi resiprositas negatif, tahlil yang diadakan setelah upacara kematian ini bersifat resiprositas umum karena sebelumnya tuan rumah hanya memberikan makanan atau jaburan seikhlasnya kepada warga dan tidak ada atura yang menegaskan balasan yang sebanding antara tuan rumah dan warga. Namun, saat ini sudah terjadi perubahan bentuk dari resiprositas umum menjadi negatif. Pada masyarakat desa Nunuk, sebagian masyarakat masih percaya akan kekuatan roh untuk membantu mengabulkan permintaan mereka. Salah satu yang masih dipercaya dan dihormati hingga sekarang adalah Buyut Tambak. Warga biasanya datang pada malam Jum’at dengan membawa tumpeng dan ayam. Mereka akan masuk ke dalam makam Buyut Tambak dengan membawa tumpeng tersebut kemudian dipimpin doa oleh kuncen. Mereka juga dapat berdoa sendiri sesuai keinginan mereka. Ketika doa sudah selesai, orang tersebut akan memberikan uang seikhlasnya kepada kuncen yang diletakkan di sebuah piring di dekat makam. Ketika tumpeng sudah didoakan oleh kuncen, maka sebagian tumpeng tersebut akan diberikan kepada kuncen sebagai imbalan dan sebagian lainnya dibawa pulang. Banyak orang yang datang ke makam Buyut Tambak untuk berdoa memohon sesuatu, ada juga yang datang untuk melaksanakan kaulan. Warga akan datang ke makam untuk bersyukur atas tercapainya keinginan mereka. Tumpeng-tumpeng yang didoakan di makam Buyut Tambak biasanya dibawa oleh para wanita. Hal ini dikarenakan merekalah yang membuat tumpeng tersebut dan sejak dahulu memang para wanita yang sering mengucap janji kaul atas keinginan mereka. Dalam kebudayaan Jawa, tumpeng sangat erat kaitannya dengan hakekat hidup orang Jawa yang meliputi etos kerja dan usaha manusia, hubungan antar sesama manusia dan alam, persepsi mengenai waktu dan hubungan manusia dengan Tuhan (Koentjaraningrat, 1984). Bentuknya yang meruncing ke atas melambangkan laki-laki dan menunjukkan bahwa dalam kebudayaan Jawa, manusia harus senantiasa mengingat Sang Pencipta. Resiprositas antara warga dengan Buyut Tambak saya kategorikan sebagai resiprositas seimbang karena secara tidak langsung, masyarakat sudah memiliki aturan mereka sendiri bahwa ketika mereka berdoa dan keinginan mereka terwujud, maka mereka harus kembali ke makam untuk mengucap syukur dengan membawa tumpeng. Bentuk resprositas ini tidak terlihat secara kasat mata, tetapi setiap warga yang datang ke makam telah membuktikan bahwa doa yang mereka ucapkan di makam pasti akan terkabul dan mereka harus bersyukur untuk itu. Hal inilah yang
15 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
saya gunakan sebagai pengukur keseimbangan hubungan yang terjadi dalam bentuk resiprositas ini. Selain kaulan, ada upacara adat lain yang juga dilaksanakan di area pemakaman. Upacara tersebut yaitu Upacara Munjung. Upacara Munjung merupakan sebuah upacara yang mencerminkan sifat kebersamaan dalam kehidupan masyarakat desa Nunuk. Upacara Munjung dilakukan di desa Nunuk biasanya pada bulan Oktober atau November. Upacara ini dilakukan untuk mendoakan keluarga yang telah meninggal dan sebagai bentuk ziarah ke makam keluarga. Upacara ini ditandai dengan membawa tumpeng ke makam kerabat masing-masing. Tumpeng itu baru dapat dimakan setelah waktu Dzuhur karena pucuk tumpeng-tumpeng tersebut akan diambil terlebih dahulu setelah pembacaan doa dan dimakan oleh perangkat desa, Dhalang wayang dan tamu undangan. Dalam upacara Munjung ini akan ada hiburan yaitu wayang dan organ. Dalam upacara ini, bentuk resiprositas terlihat pada pemotongan pucuk tumpeng oleh perangkat desa. Perangkat desa memberikan fasilitas dan bantuan untuk pelaksanaan upacara ini, sedangkan masyarakat memberikan pucuk tumpeng sebagai imbalan kinerja para perangkat desa. Selain itu, Dhalang wayang juga mendapatkan pucuk tumpeng karena dianggap dapat menghibur arwah-arwah keluarga yang sudah meninggal. Upacara Munjung ini merupakan bentuk resiprositas seimbang. Masyarakat desa Nunuk sudah memiliki hukum yang tidak tertulis mengenai aturan pemberian pucuk tumpeng kepada perangkat desa dan tamu undangan. Pucuk tumpeng dan sebagian ayam dari warga harus dipotong terlebih dahulu sebelum warga datang untuk mengambil tumpeng mereka dan memakannya. Pucuk tumpeng yang dimakan oleh perangkat desa, tamu undangan dan Dhalang wayang dinilai seimbang dengan pemberian yang mereka lakukan karena pucuk tumpeng dianggap sebagai bagian yang paling diberkahi dari keseluruhan tumpeng yang dibawa.
Penutup Masyarakat desa Nunuk masih memiliki berbagai macam tradisi yang hingga sekarang masih dilestarikan. Salah satunya yaitu kegiatan gotong royong. Gotong royong memiliki beberapa unsur yang penting salah satunya yaitu resiprositas atau hubungan timbal balik. Bentuk-bentuk resiprositas dapat kita temukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial kita sehari-hari. Tanpa disadari, dalam setiap kegiatan gotong royong, masyarakat pasti telah melakukan sebuah hubungan timbal balik dengan orang lain. Alasan gotong royong yang identik dengan pekerjaan sukarela dan tanpa pamrih tampaknya memang tidak membutuhkan balasan. Namun, dibalik kegiatankegiatan yang dilakukan tanpa pamrih selalu ada hasrat untuk menuntut balas nilai yang seimbang atau bahkan lebih besar. 16 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Masyarakat desa Nunuk dalam melakukan kegiatan gotong royong juga mengandung unsur resiprositas dengan berbagai bentuk. Ketika kondisi masyarakat mulai berkembang dan mengalami perubahan, begitu juga dengan bentuk gotong royong yang ada di Nunuk. Tradisi gotong royong yang sudah dilakukan sejak lama saat ini mengalami perubahan hingga mewujudkan sebuah bentuk baru yang tetap dapat diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari bentuk yang lama (Hobsbawm,1983:1). Perubahan ini ada dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat desa Nunuk seperti pada kegiatan pertanian. Ikatan kekerabatan yang awalnya menjadi ciri utama dalam bidang pertanian sekarang sudah semakin pudar. Saat ini, petani lebih memilih untuk menyewa tenaga buruh untuk membereskan pekerjaan mereka di sawah. Pada gotong royong pembangunan fasilitas umum, pemerintah desa Nunuk awalnya membangun berbagai fasilitas dengan dana swadaya masyarakat dan tenaga dari masyarakat juga. Namun seiring pergantian tampuk kepemimpinan Kuwu, berbeda pula sistem yang digunakan yaitu dengan memberi upah kepada seluruh pekerjanya termasuk warga yang membantu pembangunan itu. Dalam kegiatan hajatan dan beberapa upacara adat, resiprositas terjadi dalam hubungan antara tuan rumah dengan tamu, dengan kerabat atau antara tuan rumah dengan roh halus yang terlihat dalam pemberian suguhan angkatan. Selain dalam hajatan, resiprositas antara manusia dengan roh halus juga terlihat dalam kegiatan kaulan di makam Buyut Tambak. Ada beberapa perubahan bentuk resiprositas yang terjadi dalam kegiatankegiatan sosial di Nunuk. Beberapa kegiatan sosial mengalami perubahan dari semula bentuk resiprositas umum menjadi resiprositas seimbang. Perubahan ini terjadi pada kegiatan pertanian dan pembangunan fasilitas umum. Perubahan bentuk resiprositas umum menjadi negatif juga terdapat dalam kegiatan sosial masyarakat desa Nunuk yaitu dalam pemberian upah untuk tukang masak dan pembacaan tahlil yang dilakukan dengan memberi uang kepada warga sebagai bentuk potlatch. Perubahan yang sangat terlihat dalam berbagai bentuk resiprositas ini adalah pemberian upah yang semula tidak menggunakan uang, saat ini hampir semua upah dibayarkan dengan uang. Selain itu, masyarakat yang sudah mengenal cara-cara praktis pada akhirnya merubah bentuk resiprositas tertentu dalam hal ini kondangan beras dalam hajatan, agar dapat dilakukan dengan lebih praktis tanpa merubah makna di dalam kegiatan tersebut. Dari uraian-uraian yang telah saya jelaskan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mendukung terjadinya perubahan-perubahan tersebut, pertama adalah alasan ekonomi dari seseorang, yang kedua adalah alasan praktis, yang ketiga adalah potlatch, misalnya dalam pembacaan tahlil dan terakhir adalah dampak dari kebijakan pemerintah desa. 17 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Saat ini, masyarakat Nunuk melakukan kegiatan gotong royong selalu dengan pamrih. Pemberian yang pernah mereka lakukan membutuhkan sebuah balasan yang senilai dengan yang diberikan. Prinsip resiprositas sekarang sudah menjadi keharusan bagi warga desa Nunuk. Hal ini terlihat dari beberapa contoh kegiatan sosial yang telah saya jelaskan sebelumnya. Masyarakat selalu mempunyai alasan individu dibalik kebersamaan yang ditampilkan ketika berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Alasan individu hanya salah satu dari faktor pendukung perubahan bentuk resiprositas di Nunuk. Kekuasaan dari pemerintah setempat juga berperan dalam memaksa warga desa Nunuk untuk mengikuti kebijakan yang dibuat. Dari beberapa faktor di atas, maka saat ini bentuk resiprositas yang ada di desa Nunuk bukan lagi beralasan tolong menolong dan sukarela, tetapi ada beberapa alasan lain yang lebih bersifat individual dan normatif. Resiprositas yang awalnya menggunakan sistem bergantian tanpa ada alasan lain, sekarang sebagian besar menggunakan pertukaran langsung seperti sistem upah, atau menggunakan sistem bergantian yang diiringi dengan alasan pribadi dari masing-masing individu. Pelaksanaannya pun saat ini lebih banyak menggunakan cara-cara yang lebih praktis dan tidak membebani diri sendiri, karena cara ini dapat dilakukan tanpa merubah makna yang terkandung di dalamnya.
Referensi Alkatiri, Zeffry. 2012. “Kebersamaan di Ruang Publik pada Pawai Perayaan Gotong Toa Pe Kong Berbasis Masyarakat Majemuk di Slawi Pasca Orde Baru 2010” dalam Jurnal Antropologi Vol. 33 No. 2 Mei- Agustus 2012 hlm 145-158. Jakarta: Departemen Antropologi UI Blau, Peter M. 1964. Exchange and Power in Social Life. New York: John Wiley and Son, Inc Bowen, J. R. 1986. “On the Political Construction of Tradition: Gotong Royong in Indonesia”. The Journal of Asian Studies Vol.45/03. Mei 1986: 545-561 Fox, Robin. 1967. Kinship and Marriage. England: Penguin Book Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. New York: The Free Press of Glencoe Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (terj.) Jakarta: Bhratara Karya Aksara Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. (terj.) Jakarta: Grafiti Pers Gouldner, Alvin W. 1960. “The Norm of Reciprocity: A Preliminary Statement”. Dalam American Sociological Review 25:161-178. Washington University at St. Louis 18 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia
Hilmy, Masdar. 1999. “Islam and Javanese Acculturation: Textual and Contextual Analysis of The Slametan Ritual”. Tesis Sarjana Strata Dua. Tidak diterbitkan. Montreal: Institute of Islamic Studies Mc Gill University Hobsbawm, E. J. 1983. “Introduction: Inventing Traditions”, dalam The Invention of Tradition. Ed. E. J. Hobsbawm dan T. O. Ranger. Cambridge: Cambridge University Press. Ismaun. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Koentjaraningrat. 1961. Some Social-anthropological Observations on Gotong Rojong Practices in Two Villages of Central Java. Singapura: Equinox Publishing Koentjaraningrat. 1977. “Sistem Gotong Royong dan Jiwa Gotong Royong”, dalam Berita Antropologi 9/30:4-16. Terbitan Khusus Aneka-Warna Gotong Royong. Jakarta: Jurusan Antropologi UI Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat Marzali, Amri. 1977. “Gotong Royong di Malaysia Barat”. Dalam Berita Antropologi 9/30:74. Terbitan Khusus Aneka-Warna Gotong Royong. Jakarta: Jurusan Antropologi UI Mauss, Marcel. 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Tukar-menukar di Masyarakat Kuno, (terj.) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Mattulada. 1977. “Beberapa Aspek Gotong Royong dalam Masyarakat Bugis – Makassar”. Dalam Berita Antropologi 9-30:47-57. Terbitan Khusus AnekaWarna Gotong Royong. Jakarta: Jurusan Antropologi UI Melalatoa, M. J. 1977. “Perwujudan Gotong Royong dalam Aktivitas Pertanian di Gayo”. Dalam Berita Antropologi 9/30:17-27. Terbitan Khusus Aneka-Warna Gotong Royong. Jakarta: Jurusan Antropologi UI Sahlins, Marshall. 1972. Stone Age Economics. Chicago: Aldine-Atherton, Inc Sairin, Sjafri. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
19 Perubahan bentuk…, Afifah Fadlil Ula, FISIP UI, 2014
Universitas Indonesia