Strategi Adaptasi Kelompok Seni: Studi tentang Egin Ayu, Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu Fairina Wulandari, Hilarius S. Taryanto Department of Anthropology, Faculty of Social and Political Science, University of Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Skripsi ini menjelaskan mengenai eksistensi sebuah kelompok pertunjukan kesenian tradisional di Desa Nunuk, Indramayu yaitu Egin Ayu. Sebuah kelompok kesenian tradisional seperti Egin Ayu merupakan bagian dari budaya masyarakat Indramayu yang dinamis. Selain menghadapi masyarakat sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan, Egin Ayu juga merupakan sebuah kelompok sosial yang terdiri dari anggota-anggota yang memberi pengaruh terhadap eksistensi Egin Ayu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara in-depth interview dan observasi untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan terkait dengan upaya para anggota Egin Ayu dalam mempertahankan eksistensinya. Terjadi penyesuaian atau adaptasi dalam bentuk kesenian yang Egin Ayu tampilkan. Penelitian ini juga ingin melihat motivasi dari para anggota kelompok seni Egin Ayu terkait dengan tindakan.
Adaptation Strategy of Arts Group: A Study of Egin Ayu, Nunuk Village, Lelea, Indramayu Abstract This thesis explains the existence of a traditional performing arts group in a village called Nunuk in Indramayu, named Egin Ayu. A traditional performing arts group like Egin Ayu is a part of Indramayu people‟s culture that is dynamic. Aside of confronting people as a traditional performing arts group, Egin Ayu is also a social group that consists of members that affect the existence of this group. Datas are collected through in-depth interview and observation to explain events and acts connected to members‟ efforts to maintain Egin Ayu‟s existence. Adaptation occurs in the form of the arts the group performed. This research also want to see motivations related to the actions of the members of Egin Ayu. Keywords: social group, performing arts, process, adaptation, motivation
Pendahuluan Pada bulan Juni dan Agustus tahun lalu, penulis beserta teman seangkatan dan dosendosen penulis dari jurusan Antropologi Sosial berkunjung ke Desa Nunuk, Indramayu untuk melakukan penelitian dalam rangka mata kuliah Metode Penelitian Etnografi selama kurang lebih dua minggu. Saat kunjungan kami pada bulan Agustus, suasana Desa Nunuk ramai dengan hajatan yang hampir setiap hari terdapat di sudut desa. Suasana ramai karena adanya
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
hiburan yang ditampilkan di setiap hajatan. Kebetulan waktu kami berkunjung ke Desa Nunuk sedang musim hajatan, artinya panen belum lama terjadi. Sekitar bulan Juli atau Agustus, biasanya terjadi panen sadon atau panen yang mendekati musim kemarau. Uang yang didapat dari hasil panen dapat digunakan untuk mengadakan hajatan oleh para warga. Maka tidak heran jika dalam satu hari bisa saja terdapat lebih dari satu hajatan dalam satu desa. Salah satu contoh adalah di hajatan pernikahan saudara dari tuan rumah yang penulis tinggali waktu di Desa Nunuk, terdapat pertunjukan sandiwara. Panggung yang besar dipasang di depan rumah, pertunjukan dimulai malam hari setelah matahari terbenam. Warga setempat, dari yang muda sampai tua ikut menonton meskipun pertunjukan baru selesai setelah tengah malam. Tidak hanya warga setempat yang menonton, warga desa lain juga ada yang ikut menonton. Pedagang jajanan menggunakan kesempatan tersebut untuk berjualan. Sandiwara tersebut ternyata datang dari sebuah kelompok seni yang berasal dari luar Desa Nunuk, bernama Bina Remaja Indah. Tuan rumah penulis mengatakan bahwa kelompok sandiwara ini sedang cukup naik daun di daerah Indramayu. Penulis dan teman-teman penulis hanya bisa menonton dan mencerna seadanya karena dialog diucapkan dalam Bahasa Indramayu, yang penulis tidak mengerti artinya. Tata panggung, termasuk backdrop, kemudian kostum dan properti lain yang digunakan di atas panggung cukup membuat penulis kagum dan tidak heran kalau kelompok sandiwara ini terkenal di daerah Indramayu. Sandiwara hanya salah satu dari bentuk hiburan yang dipertunjukkan lewat adanya acara hajatan. Hiburan lain yang sedang marak di tengah masyarakat Indramayu adalah organ. Dari berbincang-bincang dengan beberapa warga Nunuk, penulis mengetahui bahwa Desa Nunuk mempunyai banyak kelompok seni dan sebagian besar merupakan kelompok organ. Kelompok seni ini menawarkan bentuk hiburan yang biasanya ditampilkan saat warga mengadakan hajatan atau upacara adat. Kehadiran kelompok seni di tengah masyarakat Indramayu memang sudah tidak asing lagi mengingat hiburan yang ditawarkan terkait dengan upacara adat dan hajatan, yang merupakan bagian dari budaya masyarakat Indramayu. Sama seperti di kota-kota besar di Jakarta, sudah tidak lazim lagi jika terdapat hiburan pada acara pernikahan seperti wedding singer atau tarian daerah, tergantung pada adat apa yang dipakai saat acara pernikahan. Sedikit perbedaan yang terdapat di daerah Indramayu adalah jenis hiburan yang ditampilkan merupakan kesenian tradisional.
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Dalam mempertahankan eksistensinya, sebuah kelompok seni dihadapkan oleh budaya masyarakat yang dinamis. Sebuah kelompok seni secara tidak langsung dituntut untuk dapat menerjemahkan dan menginterpretasikan apa yang masyarakat inginkan. Selera masyarakat yang senantiasa berubah tersebut dipengaruhi oleh semakin majunya teknologi di zaman yang semakin modern ini. Bermacam peranan dapat dimiliki kesenian dalam kehidupan dan peranan tersebut ditentukan oleh keadaan masyarakat, maka besarlah arti kondisi masyarakat bagi pengembangan kesenian (Sedyawati, 1981). Merupakan perjalanan yang tidak mudah, karena dalam prosesnya akan terdapat penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh kelompok seni tersebut, terkait dengan akan terjadinya perubahan namun ada juga unsur-unsur yang bertahan. Permasalahan mengenai kelompok seni di Indonesia menarik perhatian penulis, oleh karena itu penulis memutuskan untuk memfokuskan penelitian skripsi penulis terhadap salah satu kelompok seni di Desa Nunuk, Indramayu, yaitu Egin Ayu. Mengapa Egin Ayu? Di antara sepuluh kelompok seni yang terdapat di Desa Nunuk, hanya kelompok Egin Ayu yang memiliki jenis hiburan Tari Topeng dan Sintren, selain memiliki hiburan organ dan Singa Depok. Dengan adanya suatu ciri yang membedakan kelompok Egin Ayu dengan kelompokkelompok seni lain yang berada di Desa Nunuk, penulis ingin meninjau lebih jauh mengenai eksistensi kelompok tersebut. Seni tradisional akhir-akhir ini mulai diperhatikan oleh seniman dan masyarakat di kota besar seperti Jakarta. Didukung dengan sumber materi dan sumber daya manusia yang memadai, pengembangan tradisional menjadi suatu hal yang memungkinkan. Tidak hanya dengan melakukan pertunjukan di berbagai gedung kesenian, kesenian tradisional juga dikembangkan lewat pengajaran terhadap anak-anak sekolah maupun sanggar tari. Lewat wadah tersebut, justru kesenian tradisional juga dibawa ke taraf internasional dengan istilah misi budaya, yaitu mengikuti festival-festival kesenian yang diselenggarakan di luar Indonesia. Selain itu, kesenian tradisional juga kerap ditampilkan di media massa seperti televisi dalam acara yang padahal tidak berbau tradisional. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui eksistensi sebuah kelompok seni pertunjukan tradisional seperti Egin Ayu, dalam konteks wilayah Indramayu yang masih kental dengan budaya dan adat setempat namun sudah tersentuh dengan kemajuan teknologi. Kelompok seni Egin Ayu merupakan sebuah kelompok performing arts atau seni pertunjukan.Yang dimaksud dengan seni pertunjukan adalah teater, musik, opera dan tarian,
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
dari seni tradisional sampai seni popular, termasuk seni yang dipentaskan secara live di sebuah tempat dan yang non-live lewat semua bentuk media massa: CD dan rekaman lain, radio, video, televisi dan Internet (McCarthy, 2001:5). Seni pertunjukan memerlukan ruang, juga memerlukan waktu (performing time).Begitu waktu pertunjukan selesai, maka pertunjukan itu tidak ada lagi.Ia lenyap bersama dengan berlalunya waktu. Sifat-sifat inilah yang menyebabkan seni pertunjukan menjadi karya seni sesaat. Ia hanya dapat dinikmati apabila kesenian itu sedang dipertunjukkan (Maulana, dkk, 2011:338 dalam Kasim 2012:184). Definisi tersebut lebih sesuai dengan keadaan kelompok Egin Ayu. Kelompok Egin Ayu sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan menawarkan sejumlah jenis kesenian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Tari Topeng, sintren, Organ dan Singa Depok. Kelompok seni pertunjukan seperti Egin Ayu memang hanya menunjukkan kesenian yang mereka punya saat mereka ditanggap atau dipentaskan untuk upacara adat dan acara hajatan. Kelompok seni Egin Ayu juga merupakan sebuah kelompok sosial. A social group is a cluster of people beyond the domestic unit who are usually related on grounds other than kinship, although kinship relationships may exist between people in the group (Miller, 2005:206). Kelompok seni tidak hanya menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat, namun juga merupakan bagian dari kehidupan sosial orang-orang yang tergabung di dalamnya. Hubungan kekerabatan dapat terjalin dalam sebuah kelompok sosial. Untuk mencapai hasil yang diinginkan oleh sebuah kelompok, terdapat penyatuan individu-individu yang saling berinteraksi. Individu-individu tersebut, yang selanjutnya akan penulis sebut sebagai anggota atau personil di kelompok seni Egin Ayu. Sebuah pertunjukan tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa bantuan dari banyak orang, oleh karena itu kelompok seni menyerap tenaga kerja. Tenaga kerja yang dimaksud adalah para anggota kelompok Egin Ayu. Dari situlah muncul sifat ekonomis dari sebuah kelompok seni pertunjukan, yang menjadi sebuah lapangan kerja bagi individu-individu yang ingin memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Penulis melihat bahwa terdapat permasalahan yaitu kelompok seni pertunjukan tradisional Egin Ayu yang dihadapkan dengan budaya Indramayu yang dinamis. Hal tersebut disebabkan oleh selalu berubahnya selera masyarakat yang dipengaruhi oleh berkembangnya teknologi pada masa yang semakin modern seperti saat ini. Egin Ayu akan melakukan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
adaptasi yang terwujud dalam penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungan fisik, sosial maupun budaya. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana para pekerja seni dalam kelompok Egin Ayu melakukan upaya-upaya dalam mempertahankan eksistensi mereka. Selain itu, tulisan ini ingin menjelaskan bahwa eksistensi mereka memiliki saling keterkaitan dengan hubungan sosial yang terjalin dengan sesama anggota dalam kelompok Egin Ayu maupun dengan pihak lain, yang secara langsung maupun tidak langsung, mendukung eksistensi kelompok Egin Ayu. Tinjauan Teoritis Dalam mengkaji kelompok seni Egin Ayu, penulis memilih menggunakan pendekatan prosesual. Pendekatan ini sesuai digunakan karena melihat masyarakat dan budaya sebagai suatu hal yang dinamis. Adanya kebutuhan untuk melihat kehidupan sosial manusia sebagai sebuah proses atau bahkan keragaman dari proses (Turner, 1977: 139). Dengan menggunakan pendekatan prosesual ini, dapat dilihat kontinuitas dalam konteks perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi merupakan suatu rangkaian peristiwa-peristiwa terkait dengan aktivitas dan tindakan manusia. Rangkaian hubungan antara peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan manusia inilah yang membentuk suatu proses. Peristiwa-peristiwa dalam proses, sama dengan kategori untuk struktur (Moore 1987 dalam Winarto 2006), saling terkait satu sama lain secara berkesinambungan. Rangkaian peristiwa yang dapat diamati,yang melibatkan tindakan manusia, dapat merupakan peristiwa yang menyumbang pada pengalihan, penciptaan, pemroduksian, atau pentransformasian budaya. Pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma, persepsi dan lain-lain tidak hanya terwujud dalam, tetapi juga diwujudkan oleh praktik-praktik atau tindakan-tindakan manusia (Lave 1996 dalam Winarto 2006). Terkait dengan hal tersebut, penulis akan membahasnya melalui kedua konsep berikut. Budaya memungkinkan adaptasi yang cepat karena budaya itu fleksibel dan mengizinkan penemuan strategi-strategi baru (Spradley, 2012:5). Mengenai strategi adaptasi, James Spradley mengatakan bahwa setiap individu akan menggunakan pengetahuan budayanya untuk menginterpretasikan pengalaman dan menjadi kerangka bertindak di dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial, dan budaya (Spradley dikutip dalam Suparlan, 1986). Konsep mengenai adaptasi akan sesuai jika dikaitkan dengan kelompok Egin Ayu sebagai sebuah kelompok pertunjukan yang
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
dihadapkan dengan budaya masyarakat Indramayu yang dinamis. Juga Egin Ayu sebagai kelompok seni pertunjukan yang dihadapkan dengan selera masyarakat yang selalu berubah. Penulis melihat adanya keterkaitan antara tindakan sosial yang dilakukan oleh para anggota Egin Ayu dengan motivasi mereka untuk memenuhi kebutuhan. Secara subjektif, motivasi menurut D‟Andrade (1992) dialami sebagai keinginan yang diikuti dengan perasaan puas jika keinginan tersebut terpenuhi atau frustasi jika keinginan tersebut tidak terpenuhi. Dengan mengobservasi orang lain, dapat dilihat bahwa seseorang dapat terdorong dan menjadi aktif di bawah kondisi tertentu. Dengan peningkatan dalam aktivitas tersebut, biasanya terdapat usaha untuk sesuatu, perilaku yang terarah pada satu tujuan, diikuti dengan berbagai reaksi emosional yang berhubungan dengan kesuksesan atau kegagalan dari pemenuhan tujuan. Fakta-fakta tersebut merupakan pemahaman secara akal sehat dari motivasi. Motivasi berkaitan dengan schema, yaitu representasi abstrak yang pikiran kita gunakan sebagai bentuk untuk memproses informasi mengenai dunia. Sebuah prosedur dimana objek dan peristiwa dapat diidentifikasi dengan dasar pengenalan pola yang disederhanakan. Tidak semua schema berfungsi sebagai tujuan, namun semua tujuan adalah schema. Pengalaman sosialisasi preadaptif, interrelasi saling mendukung dari schema-schema kultural, hubungan antara schema kultural dan schema diri, kesempatan untuk memenuhi tujuan yang tepat, representasi kultural mengenai bagaimana schema sebaiknya menjadi sebuah tujuan, dapat bergabung untuk membuat schema kultural yang memotivasi seorang individu dengan kekuatan yang besar. Ditambah dengan motivasi intrinsik, pengaruh ekstrinsik dari konformitas, termasuk persetujuan yang bersifat positif maupun negatif, dapat bergabung untuk membentuk dorongan kuat bagi tindakan. Metode Penelitian Kegiatan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara (indepth interview) dan observasi. Penulis mewawancarai tiga orang yang penulis anggap punya peran besar dalam kelompok Egin Ayu, yaitu Pak Budiman, Egin dan Pak Iwan. Ketiga orang tersebut merupakan pengurus inti dari kelompok seni Egin Ayu. Dengan mewawancarai ketiga orang tersebut, penulis dapat mengetahui lebih dalam mengenai Egin Ayu dari mulai kelompok tersebut dibentuk sampai sekarang. Selain itu, penulis juga mewawancarai beberapa warga Desa Nunuk dengan tujuan mereka memberikan pendapat mereka mengenai kelompok Egin Ayu.
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Untuk menambah pemahaman penulis mengenai kelompok Egin Ayu, penulis berkesempatan untuk menonton pertunjukan mereka di dua tempat, yaitu Desa Amis dan Desa Jimpret. Pada dua kesempatan tersebut, penulis dapat melihat dan mengamati apa yang terjadi sebelum para penampil dari kelompok Egin Ayu naik ke atas panggung, sekaligus melihat aksi mereka di atas panggung. Hasil Penelitian Budaya masyarakat Indramayu senantiasa dinamis. Upacara adat dan hajatan tetap menjadi bagian budaya masyarakat Indramayu yang melekat erat, namun hiburan yang melengkapi kedua hal tersebut menunjukkan perkembangan. Sebagian besar hiburan tersebut tidak lagi memiliki makna sakral yang sejalan dengan upacara adat, namun sekedar hiburan yang dipentaskan untuk meramaikan upacara adat dan acara hajatan. Kelompok-kelompok seni kemudian mendapatkan uang, mereka menjual hiburan dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian tradisional di dunia hiburan Indramayu sudah menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Kelompok seni menjadi produsen, masyarakat menjadi konsumen. Masyarakat tidak lagi mengharapkan hiburan yang penuh makna, bahkan ada makna ataupun tidak yang penting hiburan tersebut dapat memberikan kepuasan terhadap mereka. Terlebih lagi hiburan tersebut memang bertujuan sebagai peramai suasana, tempat yang punya hajat dan warga lain untuk bersenang-senang. Kendala yang dihadapi Pak Budiman pada masa awal terbentuknya Egin Ayu adalah reaksi masyarakat terhadap pertunjukan. Kesenian yang sudah lama terpendam kemudian muncul kembali, maka waktu itu reaksi masyarakat adalah sedikit mencibir, karena masyarakat belum mengenal kesenian tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Egin melalui pengalamannya saat pentas Tari Topeng di Indramayu. “Ngapain nari Topeng sih, kenapa ga organ-an aja”, ada aja yang komentar gitu, Mbak. Topeng dulu dianggap, “Kesenian apa sih itu, emang ga ada kesenian yang modern?” (Egin, catatan lapangan 22 Maret 2014) Pernah ada satu atau dua orang yang memberi reaksi negatif terhadap pementasan Sintren Egin Ayu. Mereka heran karena Sintren ditampilkan di atas panggung, bukan di tanah seperti Sintren waktu dulu. Ketika dihadapi dengan hal yang seperti itu, Pak Budiman hanya bisa memberikan pengertian kepada mereka dan mencoba berbicara baik-baik dengan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
mereka. Pak Budiman kemudian mengatakan kepada mereka bahwa Sintren tampil di atas panggung supaya semua penonton sampai yang berdiri jauh di belakang masih bisa melihat. Setelah berbulan-bulan sering tampil, akhirnya masyarakat mulai menerima dan memuji kesenian Egin Ayu terutama Tari Topeng. Bahkan menurut Pak Iwan, dari pihak pemerintah pun turut merespon dan mendukung. Setiap ada acara kunjungan di Kabupaten, untuk acara penyambutannya Tari Topeng dari Egin Ayu dan kelompok-kelompok seni lain dipanggil untuk tampil. Waktu Egin masih duduk di bangku SMP, ia sering dipanggil untuk pentas di acara kunjungan bupati, acara-acara hari besar seperti 17 Agustus atau acara Hari Jadi Indramayu. Satu hal yang saya tanyakan ke Pak Budiman bahwa di papan penunjuk kelompok Egin Ayu yang terletak di pinggir jalan Desa Nunuk, tertulis “Singa Depok dan Organ Nada Cantik Egin Ayu”, mengapa Tari Topeng atau Sintren tidak dimasukkan ke dalam nama tersebut. Pak Iwan kemudian menambahkan bahwa dulu namanya adalah “Topeng dan Sintren Egin Ayu”, namun setelah banyak orang sudah mengetahui kalau kelompok Egin Ayu memiliki kesenian Tari Topeng dan Sintren, Pak Budiman merasa tidak perlu lagi memasukkan dua jenis kesenian tersebut ke dalam nama resmi Egin Ayu. Menurut Pak Budiman, masyarakat sudah mengetahui bahwa ciri khas dari Egin Ayu adalah Tari Topeng dan sintren. Menurut Pak Budiman, sekarang masyarakat lebih menyukai seni yang kontemporer. Misalnya, untuk pertunjukan sintren masyarakat sudah tidak menyukai lagi yang diiringi alat musik buyung. Oleh karena itu, Pak Budiman mulai memasukkan organ sebagai musik pengiring sintren. Pak Budiman mengganti alat musik pengiring Sintren dengan menggunakan keyboard, satu set kendang, gitar dan alat musik modern lainnya. Musik organ tersebut juga bisa direkam kemudian dimasukkan kedalam bentuk CD. Pak Budiman ingin menyesuaikan dengan apa yang masyarakat mau dan suka, supaya meskipun kesenian seperti Sintren merupakan kesenian „jaman dulu‟, masyarakat akan tetap menyukainya. Pak Budiman menambahkan bahwa sekarang buyung sudah tidak diproduksi lagi. Buyung berbentuk seperti wadah kayu yang biasa digunakan untuk mengambil air. Selain sudah jarang masyarakat yang meminta pertunjukan Sintren dengan menggunakan musik hidup atau iringan musik menggunakan buyung, menggunakan buyung merupakan sebuah resiko bagi kelompok Egin Ayu karena buyung mudah pecah jadi tidak mudah untuk dibawa kemana-mana. Terlebih lagi lokasi pentas Egin Ayu yang tidak hanya terbatas di dalam Desa
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Nunuk saja, lebih sering pentas di luar Desa Nunuk. Selain itu Pak Iwan juga berpendapat, kalau Sintren memakai musik hidup atau buyung sebagai alat musik pengiring, personil yang dibutuhkan banyak, lebih dari 10 orang. Tuan rumah atau yang punya hajat agak keberatan untuk memberi makan dan rokok karena banyaknya personil. Untuk lagu meski tidak memakai buyung tidak ada yang berubah, meskipun sekarang melodi lagu menggunakan keyboard atau gitar listrik. Sintren di kelompok Egin Ayu juga sudah tidak lagi menari dalam keadaan trance atau dirasuki oleh bidadari, seperti yang masyarakat Indramayu biasa ketahui. Mbak tau ga menyannya dipake buat apa? Variasi, biar kelihatan mistislah, Mbak. Sintrennya juga abis diiket bisa ganti kostum di dalem kurungan ayam, itu pake trik, Mbak. Kan buat orang yang nonton, mereka liatnya pake menyan itu si Sintrennya dibantu sama yang ghaibghaib. (Pak Iwan, catatan lapangan 18 Oktober 2014) Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Pak Budiman. Saya kalo nyari personil Sintren yang penting badannya kecil, Mbak, supaya bisa masuk ke dalam kurungan. Yang penting dia bisa cekatan, kan nanti dia dilatih. (Pak Budiman, catatan lapangan 17 Oktober 2014) Sintren dalam kelompok Egin Ayu tidak lagi benar-benar memakai unsur mistis. Untuk memanggil bidadari supaya dapat merasuki si penari sintren, dibutuhkan usaha yang lebih dari si penari sintren. Ia harus berpuasa minimal selama satu hari sebelum pentas. Selain itu ia harus masih perawan, karena konon katanya jika penari sintren tidak perawan si bidadari tidak mau merasuki tubuhnya. Nyatanya penari sintren di kelompok Egin Ayu sekarang adalah seorang ibu yang sudah mempunyai anak. Saya mengingat pengalaman menonton pertunjukan sintren kelompok Egin Ayu di Desa Amis, karena saat itu penari sintren tiba-tiba pingsan, dan ternyata menurut Pak Iwan hal tersebut juga merupakan sebuah trik, bagian dari pertunjukan. Pak Iwan menambahkan bahwa tergantung desa tempat sintren Egin Ayu tampil, kalau desanya masih sangat „kampung‟ dan kesan mistisnya masih kuat, terkadang ada yang benar-benar merasuki tubuh si penari sintren. Pernah sintren kelompok Egin Ayu tampil di Desa Gabus, penari Sintrennya tidak sadarkan diri, sampai akhirnya memanggil „orang pintar‟. Menurut Pak Iwan, mungkin
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
karena di daerah tersebut masih rawan, padahal malim tidak berniat „memanggil‟ yang ghaib. Pak Iwan sebagai sekretaris mengaku kewalahan saat itu, beliau yang biasa mengkonsumsi minuman keras tiba-tiba harus menangani hal seperti itu. Waktu sintren kelompok Egin Ayu tampil di Indramayu tahun 2012 juga pernah terjadi hal seperti itu. Saat itu kebetulan Egin yang menjadi penari sintren. Sampai turun dari panggung setelah mementaskan sintren, Egin tidak sadarkan diri. Akhirnya dipanggil beberapa „orang pintar‟ dan Egin dapat dipulihkan. Kebetulan Desa Amis dan Jimpret, tempat saya menonton Sintren Egin Ayu, tidak termasuk rawan menurut Pak Iwan. Sintren Egin Ayu ada rencana untuk dikreasikan oleh Pak Budiman, namun hanya sebatas bodornya saja. Misalnya, untuk kostum, properti si penari sintren, lagu, semua itu tetap. Pak Budiman dan Egin sama-sama setuju bahwa jika unsur-unsur tersebut diubah maka akan sama saja dengan mengubah budaya. Oleh karena itu, untuk saat ini Pak Budiman menambahkan sintren ke dalam arak-arakan Singa Depok kelompok Egin Ayu sebagai bentuk kreasi beliau. Egin menambahkan, bahwa penambahan sintren ke dalam Singa Depok juga bermaksud sebagai perkenalan ke masyarakat bahwa kelompok Egin Ayu juga memiliki sintren. Sintren tersebut tidak ikut berjalan arak-arakan, namun hanya tampil saat arak-arakan kembali ke rumah si tuan hajat. Perbedaannya dengan sintren di panggung adalah sintren di Singa Depok tidak menggunakan kurungan ayam, tapi hanya ditutupi dengan menggunakan kain hitam. Sintren juga hanya menarikan dua atau tiga lagu. Tahun ini kelompok Egin Ayu hanya arak-arakan Singa Depoknya saja yang pentas di Desa Nunuk. Untuk tahun 2015 sudah ada yang warga Desa Nunuk yang nanggap. Menurut Egin, orang-orang di Desa Nunuk cepat bosan. Dulu waktu sintren dan Tari Topeng masih awam bagi masyarakat Indramayu, saat Egin Ayu baru dibentuk, warga Desa Nunuk masih antusias. Egin kemudian menambahkan bahwa sebenarnya warga Desa Nunuk itu memang antusias terlebih lagi jika ada jenis hiburan yang baru. Egin memberi contoh, tidak seperti di Desa Jambak, setiap tahun Sintren kelompok Egin Ayu masih ramai ditonton orang, jika di Desa Nunuk pasti sekarang sudah sepi penonton. Begitu pula dengan pengalaman saya menonton pertunjukan Egin Ayu di Desa Jimpret. Menurut Egin, warga Desa Jimpret juga sudah mulai bosan dengan Egin Ayu, karena lokasinya yang dekat dengan Desa Nunuk jadi Egin Ayu sudah sering pentas di Desa Jimpret. Hal ini ditunjukkan dengan berbedanya antusiasme dari para penonton di Desa Jimpret dibandingkan dengan Desa Amis. Saat Egin menarikan Topeng, respons dari penonton
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
kurang bersahabat. Tidak ada tepuk tangan, selain itu setelah selesai Topeng ditarikan penonton baru semakin ramai. Egin sendiri mengaku sudah maklum dengan hal tersebut. Memang sejak dulu Tari Topeng merupakan kesenian Egin Ayu yang paling kurang diminati oleh masyarakat. Egin dan anggota lain dari Egin Ayu pun tidak dapat melakukan banyak penyesuaian apalagi melakukan perubahan terhadap gerakan Topeng, karena akan sama saja dengan merubah makna dari tarian tersebut. Keluarga dari Pak Budiman mendukung penuh adanya kelompok Egin Ayu karena sampai sekarang masih tetap aktif berjalan. Muncul kecemasan dari pihak keluarga saat awal Egin Ayu dibentuk karena takut nasib Pak Budiman seperti orangtuanya. Orangtua Pak Budiman sempat menjadi seniman, namun pada akhirnya justru hanya membuang-buang uang, bukannya menghasilkan uang dan akhirnya berhenti menjadi seniman. Menurut Pak Budiman, dulu seniman tidak banyak mendapat uang karena hanya sebatas hiburan bagi para seniman itu sendiri dan orang yang menonton saja, seperti mengamen. Para seniman tersebut tidak selalu mencari keuntungan dalam bentuk uang. Pak Budiman juga dulu pernah mengalami ikut serta bermain di sandiwara saat dirinya masih duduk di bangku SMP tahun 1986, dan hanya digaji sebesar 1.500 rupiah. Untuk penghasilan pribadi Pak Budiman yang didapat dari Egin Ayu tidak menentu, karena tergantung dari banyaknya job Egin Ayu. Saat musim hajatan, Egin Ayu biasanya mendapat 10-20 job per bulan. Untuk penarinya saja biasanya mendapat Rp 200.000 per job, namun untuk Pak Budiman biasanya maksimal mendapat Rp 1.000.000 per job, tergantung tuan hajat pada akhirnya membayar berapa karena harga dapat dinegosiasikan. Kalau yang akan mengadakan hajatan masih ada hubungan saudara dengan Pak Budiman, biasanya Pak Budiman akan dapat lebih sedikit penghasilan karena menurunkan harga, Rp 500.000 per job saja biasanya tidak sampai. Menurut Pak Iwan terdapat rasa suka dan duka selama bergabung dengan kelompok Egin Ayu. Sukanya menurut Pak Iwan adalah dapat dikelilingi dengan artis-artis dan penyanyi-penyanyi perempuan, selain itu dikelilingi para anggota. Dukanya adalah ketika tidak ada uang untuk cadangan. Tuan rumah yang menggelar hajatan kadang kala telat membayar uang setelah Egin Ayu tampil, itu adalah resiko dari sekretaris menurut Pak Iwan. Banyak tuan hajat yang telat membayar Egin Ayu karena berasnya belum laku, biasanya pembayaran ditunda sampai dua hari. Resiko sekretaris dalam hal ini menurut Pak Iwan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
adalah beliau juga harus membayar para personil. Seharusnya selesai pentas, personil tidak pulang dengan tangan kosong. Penghasilan Pak Iwan pribadi sebagai sekretaris di Egin Ayu bisa mencapai Rp 5.000.000 per bulan, namun sayangnya musim hajatan tidak sepanjang tahun. Kalau sedang sepi job, Pak Iwan sebagai sekretaris mencari cara supaya para personil juga tidak menganggur. Rencananya pada tanggal 30 November 2014, Pak Iwan dan beberapa anggota Egin Ayu akan ke Jakarta untuk bekerja di pabrik minuman kemasan Ale-ale. Sebagian personil lain akan ada yang bekerja di proyek bangunan di Jakarta juga di daerah Kelapa Gading. Nanti saat musim panen tiba, para personil akan pulang ke Indramayu karena harus melakukan persiapan pentas untuk kelompok Egin Ayu. Di Singa Depok kelompok Egin Ayu, anak-anak muda laki-laki yang menjadi pemanggul singanya kebanyakan anak-anak yang putus sekolah. Ada yang mendatangi kelompok Egin Ayu, ada juga yang Pak Budiman ajak untuk jadi personil. Daripada mereka nganggur dan malah ngelakuin yang nggak-nggak, Mbak. Jadi anak-anak itu kita tampung di Egin Ayu dan kita ajak ikut manggung. Lagian gabung sama Egin Ayu kan kerja tapi suasananya ga kayak lagi kerjalah, hiburan juga buat mereka. Kan Egin Ayu pasti manggung di desa-desa lain, biasanya disitu anak-anak itu sekalian cari pacar. Makanya banyak dari mereka yang malah pacarnya di desa lain, ya kenalannya gara-gara pas mereka lagi manggung itu. Kan mereka juga lumayan dapet uang jajan tambahan juga kalo ikut manggung. (Pak Budiman, catatan lapangan 17 Oktober 2014) Rumah Pak Iwan yang terletak di seberang rumah Egin adalah rumah mertuanya. Saat bulan Agustus saya mengunjungi Desa Nunuk, rumah Pak Iwan masih sangat sederhana. Tidak berbentuk tembok, hanya sebatas bilik yang terlihat cukup kokoh. Pada bulan Oktober, saya kembali mengunjungi Desa Nunuk dan rumah Pak Iwan sedang dalam proses dibangun menjadi dua tingkat. Renovasi yang sedang berlangsung di rumah Pak Iwan itu berkat penghasilan yang diperoleh beliau selama dua tahun menjadi sekretaris di kelompok Egin Ayu. Dalam proses pembangunan rumah Pak Iwan, beliau banyak dibantu oleh para anggota kelompok Egin Ayu. Kebetulan saat itu kelompok Egin Ayu sedang tidak banyak job jadi Pak Iwan menyuruh para personil untuk ikut membantu. Pak Iwan juga membayar mereka sesuai standar tukang yaitu Rp 90.000 per hari. “Lumayan untuk jajan mereka juga”, kata Pak Iwan.
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Pak Budiman, Egin dan Pak Iwan sebagai pimpinan di kelompok Egin Ayu memang bertanggung jawab secara ekonomi terhadap para anggota, namun secara tidak disadari hal tersebutlah yang membuat hubungan dengan anggota semakin erat. Pimpinan Egin Ayu tidak memperlakukan para anggota secara hierarkis, namun sebagai sesama manusia yang memiliki kebutuhan ekonomi untuk bertahan hidup. Anak buah Egin bukan karena banyak job disini tapi udah betah karena orang tuanya Egin. Papa sebagai bos tuh ga kayak bos-bos di grup lain. Satu ga pernah telat ngasih bayaran ke anak-anak, makanya pada betah. Papa selalu berusaha untuk tidak mengecewakan tapi tidak merugikan dirinya sendiri. (Egin, catatan lapangan 22 Maret 2014) Pak Budiman memiliki banyak kenalan di desa lain yang beliau jadikan channel untuk menarik konsumen dan mempromosikan kelompok Egin Ayu. Misalnya Pak Budiman berikan baliho Egin Ayu untuk dipasang di rumah kenalan-kenalan tersebut sebagai cabang dari Egin Ayu. Dari situlah banyak orang dari desa lain yang menghubungi Egin Ayu. People can survive only within some framework of social relations that provides a basis for relating to and relying on other individuals and other groups for cooperation (Hammond, 1978:18). Seperti kutipan dari Hammond, kelompok Egin Ayu tidak mungkin tetap bertahan tanpa hubungan dan ketergantungan dengan individu dan kelompok lain. Pak Budiman juga banyak berkenalan dengan kelompok-kelompok seni lain. Mereka sering sharing mengenai kekurangan dan kelebihan saat pentas, kemudian dimusyawarahkan. Misalnya, kelompok Egin Ayu mendapat suatu kendala di atas panggung saat pentas maka Pak Budiman juga akan memusyawarahkan dengan rekan-rekan seniman lain. Persaingan dengan kelompok seni lain tetap ada, banyak menurut Pak Budiman. Pinter-pinternya Egin Ayu menghadapi konsumen aja, Mbak. Misalnya konsumen suka Egin Ayu, ya berarti itu rejeki bagi Egin Ayu, kalau tidak suka ya Egin Ayu harus ikhlas. Misalnya ada yang nanggep Egin Ayu tapi terus pindah ke grup lain, bilangnya sih “Harga Egin Ayu mahal, ada grup lain yang lebih murah”. Yang kayak gitu sih udah biasa, Mbak. Berarti belom rejeki di Egin Ayu. (Pak Budiman, catatan lapangan 14 November 2014) Hubungan antar anggota Egin Ayu sampai sekarang baik-baik saja menurut Pak Budiman. Pak Budiman sebagai pimpinan Egin Ayu mempunyai prinsip untuk sama-sama bekerja dan sama-sama mendukung antar anggota. Tidak ada masalah ada anggota untuk
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
sementara ini. Jika ada masalah sedikit, Pak Budiman cepat musyawarahkan dengan para anggota misalnya ada anggota yang ingin bayarannya naik. Pak Budiman kemudian menambahkan kalau sekarang ini BBM naik, personil penyanyi juga minta kenaikan bayaran karena untuk menuju tempat pentas, para personil penyanyi ini menggunakan kendaraan pribadi. Terlebih lagi para penyanyi tersebut asalnya bukan dari Desa Nunuk. Di luar jadwal latihan, para personil juga sering kumpul-kumpul atau nongkrong di tempat Egin Ayu. Oleh karena itu Pak Iwan sediakan ranggun atau semacam saung di depan teras rumah Egin. Namun sekarang kata Pak Iwan sudah sepi, para personil pindah kumpulkumpul ke rumah Pak Iwan. Rumah Pak Iwan yang baru selesai direnovasi dijadikan markas baru oleh para anggota, bahkan mereka sampai sering menginap dan malas pulang ke rumah masing-masing. Pak Budiman sekarang ini sudah tidak tinggal di Desa Nunuk, semenjak tahun 2013 lalu menikah dengan orang Indramayu dan ikut pindah kesana. Jabatan ketua kelompok seni Egin Ayu sudah tidak lagi dipegang olehnya. Tanggung jawab akan kelompok Egin Ayu beliau berikan kepada Egin, yang sekarang menjabat sebagai ketua dari kelompok Egin Ayu. Pak Iwan menyebutnya sebagai „bos muda‟ atau „bos kecil‟. Meskipun Pak Budiman sudah tidak tinggal di Nunuk lagi namun Pak Iwan masih menganggap Pak Budiman sebagai „bos besar‟, oleh karena itu Egin beliau sebut sebagai „bos kecil‟. Pak Budiman masih ikut mengurus kelompok Egin Ayu sebagai pengawas. Seringkali Pak Budiman menyempatkan diri untuk ikut membantu ataupun hanya menonton, pada hari di saat kelompok Egin Ayu pentas. Jika ada hal tertentu mengenai kelompok Egin Ayu namun tidak sempat bertemu langsung, maka Pak Budiman cukup komunikasi dengan Egin lewat telepon. Contohnya, untuk pentas Egin Ayu di Jakarta pada tanggal 23 November 2014. Jakarta merupakan lokasi terjauh bagi kelompok Egin Ayu untuk pentas. Transportasi untuk mengangkut personil sebanyak kurang lebih 40 orang sudah disiapkan, satu truk dan satu metromini. Kelompok Egin Ayu tinggal berangkat pada hari yang telah ditentukan. Untuk mengurus secara keseluruhan perihal pentas kelompok Egin Ayu, Pak Budiman sudah memberi kepercayaan kepada sekretaris Egin Ayu di Desa Nunuk yaitu Pak Iwan. Menurut Pak Budiman, Pak Iwan tanggungjawab terhadap anggota lainnya. Dulu saat awal Egin Ayu dibentuk, belum ada sekretaris, semua ditangani oleh Pak Budiman sendiri dari mulai pemusik sampai penari.
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Egin juga merasa sangat dibantu dengan adanya Pak Iwan. Proses mengurus perihal pentas kelompok Egin Ayu juga dipermudah dengan lokasi rumah Pak Iwan dan Egin yang berseberangan. Awalnya Egin merasa sangat kecewa dengan keputusan Pak Budiman untuk pindah dari Desa Nunuk ke Indramayu dan merasa kehilangan sosok Ayah yang selalu bersama dirinya sejak kecil. Pak Budiman hanya berpesan kepada Egin bahwa beliau hanya menitip nama Egin Ayu kepada Egin. Jika nantinya Egin mempunyai suami, Pak Budiman juga ingin yang bisa membawa nama kelompok Egin Ayu lebih baik lagi. Ibu dari Egin menanamkan nilai kepadanya bahwa sebagai perempuan harus bisa mencari uang sendiri, tidak boleh minta kepada suami. Ditambah rasa kesenangan terhadap kesenian yang sudah dipupuk semenjak ia masih kecil, Egin menjadi kuat dan berani untuk mandiri. Bahkan sekarang Egin tinggal di Desa Nunuk sendiri, hanya ditemani Uwa yang tinggalnya bersebelahan dengan rumah Egin. Jadi seniman tuh kerjanya ga gampang kan. Begini aja saya udah bangga sama saya sendiri. Cari uang sendiri tanpa menyusahkan orang tua. (Egin, catatan lapangan 22 Oktober 2014) Egin sendiri sudah mantap dengan keterlibatannya di bidang seni. Setelah lulus SMK nanti, Egin ingin terus menjadi pimpinan kelompok Egin Ayu. Kalaupun akan meneruskan kuliah, ia ingin mencari kampus yang lokasinya tidak jauh dari Desa Nunuk, antara di Kuningan atau Kecamatan Terisi, sehingga kelompok Egin Ayu masih bisa ia pegang. Untuk kuliah pun Egin akan mengambil jurusan seni. Ia ingin terus mengembangkan keahlian menarinya dan juga membagi ilmunya dengan anak-anak lain. Pak Budiman dan Egin juga sudah membuat rencana kedepan untuk kelompok Egin Ayu. Mereka rencananya ingin menambahkan jenis kesenian kuda lumping. Selain itu, mereka juga ingin membuat karya kolaborasi Tari Topeng dengan Sintren. Rencana-rencana tersebut mungkin terhambat dengan kepindahan Pak Budiman ke Indramayu, namun Pak Budiman dan Egin mengungkapkan bahwa mereka menginginkan kelompok Egin Ayu untuk terus berkembang tiap tahunnya. “Jangan sampe kesenian Indramayu itu ilang”, pesan Pak Budiman. Harapan Pak Budiman untuk kelompok Egin Ayu adalah supaya para anggota lebih betah dan menyukai diri mereka sebagai anggota kelompok Egin Ayu. Pak Budiman ingin kelompok Egin Ayu selalu berkembang dan dikenal oleh masyarakat. Pembahasan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Keat (1999) mengungkapkan, permasalahan dasar dalam hal ini ialah beragam hasil budaya, contohnya seni pertunjukan tradisional seperti di kelompok Egin Ayu, ada kemungkinan diganti dengan seni lain yang mempunyai nilai yang dianggap kurang baik. Nilai budaya sudah berubah menjadi nilai komersial, kesenian tidak lagi mereka ulang masa lalu namun hanya mengambil wujud dari masa lalu (Sheperd, 2002). Ini semua terjadi seiring dengan perkembangan zaman, dan tentunya kemajuan teknologi. Contohnya seperti kemunculan dangdut, sebagai bentuk budaya komersial massal modern (Mulder, 1989). Hal tersebut dimungkinkan dengan adanya kaset dan bentuk rekaman lainnya. Sama halnya dengan munculnya organ di masyarakat Indramayu. Kesenian organ tidak hanya dapat dinikmati langsung, namun juga dapat dinikmati lewat CD atau bentuk teknologi lainnya. Para penyanyi organ semakin mengangkat namanya dengan bantuan teknologi modern tersebut. Selain itu lagu yang dibawakan tidak terbatas, lagu yang dibawakan bisa saja lagu pop populer. Untuk „memberi harga‟ pada sebuah kesenian, nilai tukar akan selalu dikaitkan dengan penilaian estetis. Nilai estetis adalah konstruksi sosial yang manusia bentuk dengan apapun itu yang sesuai dengan mereka pada waktu tertentu, atau sensasi yang mereka rasakan saat melihat kesenian sebagai sebuah objek (Stallabrass, 1997). Dari kutipan inilah masuk akal jika nilai sebuah kesenian akan terus berubah selama penilaian estetis masyarakat atau selera masyarakat terus berubah. Mengenai kesenian, it is an attribute suggestive of a harmony of consistent elements, a rhythm and regularity and a formal design which all blend together to evoke self-satisfying emotional responses (Majumdar, 1960:169). That entertaining and dynamic experience is a memory shared by the audience members at each performance to which each will respond differently (Taylor, 2007:194). Hal ini masuk akal mengingat manusia dan budaya adalah suatu hal yang dinamis. Selama masyarakat masih menganggap organ itu kesenian yang dapat paling dinikmati oleh masyarakat, maka masyarakat akan terus seperti itu sampai nantinya ada bentuk kesenian baru yang akan mengubah konstruksi sosial masyarakat. Because performance even in its traditional forms, has often had difficulty maintaining aesthetic boundaries (Jackson, 2011:15). Kesenian yang modern seringkali dianggap sudah mulai hilang nilai estetisnya, karena maknanya sudah berbeda. Tidak lagi dipertunjukkan sebagai bentuk ekspresi dengan nilai estetis, namun untuk kepentingan menarik masyarakat luas. Tidak ada lagi batasan-batasan nilai estetis. Egin juga berpendapat hal yang serupa, bahwa kesenian seperti organ sudah sangat umum dan biasa saja, hanya menyanyi dan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
nyawer. Oleh karena itu Egin ingin terus mengembangkan tari-tarian daerah seperti Topeng dan sintren. Pengembangan mutu kesenian nasional tidak hanya menyaratkan pengembangan mutu dari senimannya saja, tetapi juga menyaratkan peningkatan mutu dari para konsumennya, yaitu berbagai golongan rakyat Indonesia yang menikmati hasil karya kesenian (Koentjaraningrat, 1993). Kelompok seni Egin Ayu merupakan sebuah kelompok seni pertunjukan yang profit oriented, jadi tidak heran bila salah satu fungsi utama dari kelompok ini adalah sebagai lapangan kerja. The half-life of the work of art is dependent, then, not only on passing time, but on the manifestation of human labour. (Stallabrass, 1997:15) Eksistensi sebuah kelompok seni, sangat tergantung pada tenaga kerjanya yaitu para anggotanya. Each group is, economically, a closed unit. All earnings are divided equally among the members. This division of the income has no bearing on factors of family or household organization. Individual group-members may contribute to the expenses of their own families; but the "company" is purely a professional association. . .(Merriam, 1964:126). Secara professional, sebuah kelompok seni memberi penghasilan ekonomi bagi para anggotanya. Culture meets personal needs; through it, people seek security and a sense of control over experience (Spradley, 2012: 6). Lewat kelompok Egin Ayu, para anggota melakukan pemenuhan kebutuhan untuk kehidupan yang terasa lebih aman.
Kesimpulan Eksistensi kelompok Egin Ayu sebagai kelompok seni pertunjukan tradisional di Indramayu merupakan proses yang terus berkelanjutan. Proses tersebut merupakan sumbangsih dari tindakan dan perilaku para anggotanya. Dari mulai jiwa seni yang tumbuh pada diri Pak Budiman, kemudian pengetahuan tersebut diteruskan kepada anaknya, Egin. Jiwa seni kemudian mulai tumbuh pada diri Egin, kemudian dikembangkan melalui proses belajar di sanggar tari. Ide untuk terus mengembangkan pengetahuan dan keahlian dalam bidang seni juga diteruskan dengan membentuk kelompok seni Egin Ayu. Proses tersebut dilanjutkan dengan upaya-upaya mempertahankan kelompok seni Egin Ayu, yang dihadapkan dengan budaya masyarakat Indramayu yang dinamis. Para anggota melakukan berbagai bentuk adaptasi terkait dengan kesenian yang dipentaskan, supaya masyarakat tetap mengapresiasi eksistensi kelompok Egin Ayu. Terdapat perubahan
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
dalam bentuk adaptasi yang dilakukan oleh pihak kelompok Egin Ayu, namun mereka memahami bahwa kesenian tradisional tidak dapat seluruhnya diubah. Kesenian tradisional merupakan bagian dari sebuah kebudayaan yang semestinya dilestarikan. Eksistensi kelompok Egin Ayu tidak mungkin tanpa adanya kesatuan dari para anggotanya. Mereka memiliki motivasi pemenuhan kebutuhan dalam bertindak, namun hal tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah solidaritas sosial diantara para anggota kelompok seni Egin Ayu. Pemenuhan kebutuhan ekonomi mungkin adalah motivasi utama, tetapi dengan bergabung dengan kelompok Egin Ayu mereka sekaligus dalam rangka aktualisasi diri dan mendapat apresiasi dari masyarakat. Para anggota bukan hanya sekedar pekerja, namun sekumpulan pekerja seni dan seniman. Rasa kekeluargaan juga tumbuh di tengah para anggota, karena hubungan yang terjalin tidak semata karena ingin mencari keuntungan materi. Saat ini Egin Ayu sebagai sebuah kelompok seni pertunjukan lebih diminati di luar Desa Nunuk, namun hal tersebut bukan suatu hambatan bagi Egin Ayu. Masyarakat di luar Desa Nunuk yang nanggap dan menonton pertunjukan Egin Ayu secara tidak langsung menjadi pendukung bagi kelompok Egin Ayu untuk mempertahankan eksistensinya. Pihak pemerintah juga selalu memberikan dukungan dengan memberikan izin pentas dan melakukan penjagaan keamanan saat pentas. Berawal dari keinginan keluarga seniman yang ingin mengembangkan kesenian tradisional, Egin Ayu masih berdiri sampai sekarang dan terus ingin berkembang diantara dinamisnya budaya Indramayu dan masyarakatnya.
Daftar Referensi D‟Andrade, Roy G. & Claudia Strauss. (1992). Human Motives and Cultural Models. New York: Cambridge University Press Hammond, Peter B. (1978). An Introduction To Cultural and Social Anthropology. New York: MacMillan Publishing and Co Jackson, Shannon. (2011). Social Works: Performing Art, Supporting Publics. New York: Routledge
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Kasim, Supali. (2012). Budaya Dermayu: Nilai-nilai Historis, Estetis, dan Transedental. Yogyakarta: Gapura Publishing[dot]com Koentjaraningrat. (1993). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Majumdar, D.N. & T.N. Madan. (1960). An Introduction to Social Anthropology. India : Asia Publishing House McCarthy, Kevin dkk. (2001). The Performing Arts in The New Era. USA: RAND
Merriam, Alan P. (1964). The Anthropology of Music. Illinois: Northwestern University Press
Mulder, Niels. (1989). Individual and Society in Java : A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sedyawati, Edi. (1981). Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
Spradley, James P. (2012). Conformity and Conflict: Readings in Cultural Anthropology. New Jersey: Pearson Education, Inc Stallabrass, Julian. (1997). Ground Control: Technology and Utopia (ed. Susan Baker & Julian Stallabrass). London: Black Dog Suparlan, Parsudi. (1986). Masyarakat: Struktur Sosial dalam Manusia Indonesia, Individu dan Masyarakat (ed. A.W. Widjaja). Jakarta: Akademika Taylor, Millie. (2007). British Pantomime Performance. Chicago: Intellect Books
Turner, Victor. (1977). The Ritual Process: Structure and Anti-structure. New York: Cornell University Press
Artikel Keat, Russell. (1999). “Market Boundaries and The Commodification of Culture”. School of Social and Political Studies, University of Edinburg. http://www.russellkeat.net/market_boundaries.php diakses pada 21 November 2014 pukul 20.45
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014
Sheperd, Robert. (2002). “Commodification, Culture and Tourism” dalam Tourist Studies vol. 2 no. 2 p.183-201 Winarto, Yunita T. (2006). “Pendekatan Prosesual: Menjawab Tantangan dalam Mengkaji Dinamika Budaya” dalam Antropologi Indonesia Vol.30, No. 2
Strategi adaptasi..., Fairina Wulandari, FISIP, 2014