ESTETIKA HINDU DALAM KESENIAN BALI Dewa Made Karthadinata 1
Abstrak Kaidah-kaidah seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks Hindu berbahasa Sansekerta, yang tentunya diterapkan di dalam praktik menciptakan karya-karya seni, baik itu pada seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun seni tari, teater, karawitan, dan sastra. Pandangan orang Hindu terhadap estetika, dalam hal ini ajaran weda merupakan unsur yang paling dominan dalam estetika Bali sekaligus ruh budaya Bali. Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan penting dari estetika Hindu seperti: konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan. Estetika menurut Hindu, berkaitan dengan prinsip-prinsip keTuhanan. Seniman Bali berkesenian atas dasar konsep ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan, selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian mereka untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Bagi masyarakat Bali kesejahteraan lahir dan batin dapat diraih, apabila masyarakat itu dengan konsekuen melaksanakan konsep-konsep utama agama Hindu. Adapun konsep-konsep utama agama Hindu yang 1
Penulis adalah seorang magister pendidikan seni, dosen seni rupa FBS Universitas Negeri Semarang
terkait dengan estetika tersebut ialah: (1)Sekala dan Niskala, (2)Tri Hita Karana, (3)Desa Kala Patra, (4)Karmaphala, (5)Taksu dan Jengah, serta (6)konsep Kosmologi.
Pendahuluan Nilai estetika pada dasarnya mengacu pada wacana yang otonum mengenai yang baik dan indah dalam kesenian. Uraianuraian mengenai itu dapat dilihat pada karya-karya seni itu sendiri. Dalam kaitan itu dapat pula pembahasan menginjak pada tataran kefilsafatan, misalnya mengupas dari mana asal keindahan seni yang dapat dirasakan orang, ataupun apa hakikat dari kenikmatan seni, serta bagaimana proses penikmatan seni itu. Wacana estetika yang cenderung dianggap umum dan lalu dianggap universal karena berangkat dari kebudayaan Barat, mulai dari sumber-sumber Yunani kuno. Sudah tentu kebenaran estetika tidak dapat dimonopoli oleh sudut pandang Barat. Dengan kata lain, sebenarnya terdapat relativitas yang terkait dengan kekhasan budaya tiap-tiap bangsa. Beberapa bangsa di dunia telah sejak masa yang jauh silam memperkembangkan pemikiran mengenai seni dan menuangkannya ke dalam teks tertulis. Di antaranya yang banyak diulas dalam literatur ilmiah adalah pemikiran yang telah dikembangkan di India. Tradisi-tradisi besar telah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara penghayatan seni dan konseptualisasi. Ternyata bahwa pemikiran atau penghayatan seni tak dapat terjadi apabila proses konseptualisasi, baik pada diri seniman maupun penikmat tidak berjalan sempurna. Struktur berkesenian seperti itu bersifat membangun tradisi. Tradisi seni itu pada gilirannya dapat
senantiasa diperluas dan diperdalam, baik dengan lebih banyak penciptaan maupun dengan lebih banyak perenungan. Dengan kata lain, adanya kreativitas di dalam tradisi, tidak perlu harus berarti pembubaran atau perusakan tradisi. Wacana estetiknya pun dapat berkembang mengikutinya. Berbeda dengan wacana estetika yang cenderung merupakan sistem yang tertutup itu terdapat apa yang dapat disebut sebagai nilai seni dalam arti bagaimana orang melihat karya seni itu atau kegiatan berkesenian dapat terkait dengan hal-hal atau urusan-urusan di luar kesenian itu sendiri.
Pandangan Hindu terhadap Estetika Pandangan Hindu mengenai estetika ditulis oleh Bharata di sekitar abad V dengan bukunya Natyasastra. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa rasa lahir dari manunggalnya situasi ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan secara terus-menerus. Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut: (1) rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya; (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam
penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan bungabunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini; (3) pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya polapola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan; (4) wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat; (5) bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan; dan (6) lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya (lihat Sedyawati 1981:14 dan Sumardjo 2000:337). Kesesuaian-kesesuaian serta penerapan kaidah seni secara ”lintas-media” yang telah dikaji itu mungkin disebabkan
oleh: (a) adanya suatu filsafat dasar seni yang dianut bersama dalam semua bidang kesenian, misalnya yang terpusat pada konsep “rasa”, dan (b) adanya pergaulan akrab selain menyimak di antara para seniman berbagai bidang seni, yaitu mereka dapat saling meminjam kaidah. Hubungan saling meminjam kaidah antar bidang seni itu tidak hanya terjadi dalam lingkup budaya Bali kuna, tetapi terjadi pula pada kebudayaan Bali yang hidup hingga sekarang. Kiranya hubungan itu menjadi bukan lagi saling pinjam, melainkan saling tindih. Seni rupa naratif, misalnya, yang hanya tumbuh dalam gaya wayang (lukisan Kamasan, wayang beber), menjadi tak ada lagi bedanya dengan boneka-boneka wayang yang memang digunakan dalam penyajian teatrikal. Kaidah-kaidah seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks Hindu berbahasa Sansekerta, yang tentunya diterapkan di dalam praktik mencipkan karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun seni tari dan teater, karawitan dan sastra. Karya-karya seni rupa, arsitektur, sastra meninggalkan jejaknya yang jelas, yang masih dapat dinikmati hingga sekarang (arca, benda-benda fungsional, bangunan, kakawin, dan lain lain). Demikian pula tari, untuk masa Hindu awal di Indonesia, menunjukkan kehadirannya yang jelas melalui relief candi yang menggambarkan sikap-sikap tari yang ternyata begitu sesuai dengan aturan-aturan tari klasik India seperti yang dinyatakan dalam teks seperti Natyasastra dan contoh-contoh pada kuil kuno India. Kesenian apapun bentuknya, pada dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman.
Sebagai hasil olah rasa, cipta, dan karsa seniman, kesenian tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan nilai luhur budaya, termasuk pula estetika yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal seni yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.
Konsep Kosmologi Masyarakat Bali Sebelum membahas estetika Hindu lebih jauh, terlebih dahulu akan dibahas tentang kosmologi masyarakat Bali, karena bagaimana pun persoalan ini sangat terkait dengan estetika Hindu khususnya bagi para seniman Bali. Kosmologi bagi masyarakat Bali memandang alam semesta sebagai suatu sistem yang teratur dan seimbang. Oleh sebab itu bagi masyarakat Bali kosmologi dimaknai sebagai keteraturan, keserasian, dan harmoni yang dimanifestasikan ke dalam jagad raya (makrokosmos) dan jagad alit (mikrokosmos). Dalam budaya masyarakat Bali kosmologi diimplementasikan ke dalam elemenelemen di alam semesta ini, antara lain estetika, manusia, bangunan suci, rumah pawongan, dan komunitas lain sebagai mikrokosmos. Cara berpikir budaya mitis berbeda dengan cara berpikir modern yang ontologis. Pada budaya mitis, manusia justru bersikap menyatu dengan alam di luar dirinya. Hidup ini merupakan kesatuan maha besar, antara manusia dengan masyarakat, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan dunia roh yang gaib, antara manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini.
Manusia harus menyelaraskan diri dengan kosmos kalau mau selamat di dunia fana ini. Manusia menyatukan dirinya dengan objek di luar dirinya, dari sinilah mereka menemukan jati dirinya (Sumardjo 2000:320). Logika mitis adalah kesatuan kosmos, ”dunia sana” yang omnipoten dikawinkan dengan ”dunia sini” yang impoten. Perkawinan tersebut hanya dapat dilakukan lewat laku seksual. Dan laku seksual itu dilambangkan dengan persetubuhan antara unsur laki-laki dan perempuan. Kehidupan atau kesuburan terjelma perkawinan dua unsur laki-laki dan perempuan tadi. Seks adalah bagian dari peristiwa kosmos, persetubuhan laki-laki (langit) dan perempuan (pertiwi). Dari persetubuhan itu diharapkan turun hujan demi kesuburan pertanian, akibatnya akan tumbuh kehidupan berupa tanaman. Hyang Widhi adalah Maha Pencipta, Hyang Widhilah yang menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya. Sebelum Hyang Widhi mencipta, alam dengan segala isinya tiada. “Duk tan hana paran-paran, anrawang-anruwung”, artinya ketika sebelum ada penciptaan, maka tidak ada apa-apa dan semuanya tidak menentu. Sesuai pula seperti apa yang tersurat dalam Weda (Brihad Aranyaka dan Chandogya Upanisad) disebutkan sebagai berikut :”Idam wa agra naiwa kincid asit, sad ewasaumya idam agra asit, ekam ewa adwitya”. Artinya: sebelum diciptakan alam ini tidak ada apa-apa, Maha Esa tidak ada duanya. Alam semesta dan segala isinya adalah ciptaan Hyang Widhi yang merupakan pancaran kemahakuasaan-Nya, yang tercipta melalui tapa Hyang Widhi sendiri. Tapa adalah pemusatan tenaga pikiran yang terfokuskan, sehingga menimbulkan pancaran panas yang luar biasa. Dengan tapa inilah Hyang Widhi menciptakan alam semesta dengan segala isinya.
Demikianlah kemahakuasaan Hyang Widhi, di samping menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya juga menyatu dan meresap ke dalam ciptaannya, serta menghidupkan atau memberikan jiwa alam semesta dengan segala isinya sehingga adanya kehidupan. Alam semesta dengan segala isinya ini yang dahulu kala pernah tidak ada, lalu ada, kemudian tidak ada lagi dan demikian seterusnya berulang kali. Pada saat ini terciptanya alam semesta yang disebut “Srsti” atau “Brahma Diva” (siang hari Brahma) dan ketika alam ini meniada disebut “Pralaya”, atau “Brahma Nakta” (malam hari Brahma). Proses terciptanya alam semesta ini berlangsung secara berjenjang yang teramat gaib atau halus sampai jenjang yang tampak atau berwujud. Penciptaan oleh Hyang Widhi melalui tapa-Nya, pada mulanya terjadi dua kekuatan asal, yakni “Purusa” dan “Prakerti”. Purusa adalah unsur dasar yang bersifat kejiwaan, sedang Prakerti adalah unsur dasar yang bersifat kebendaan. Baik Purusa maupun Prakerti keduanya memiliki sifat yang tidak dapat diamati dan tanpa permulaan. Purusa dan Prakerti keduanya bertemu atau bekerjasama menyebabkan adanya alam semesta ini secara bertingkat dan berjenjang. Pertemuan antara Purusa dan Prakerti ini dilukiskan sebagai kerja sama antara yang melek tapi lumpuh dengan yang kuat tapi buta. Dengan kerja itulah mereka baru bisa melakukan atau membuat sesuatu. Prakerti yang merupakan azas kebendaan, memiliki Tri Guna, yaitu Sattwam, Rajas dan Tamas. Sattwam sifat dasarnya adalah tenang dan menerangi. Rajas sifat dasarnya adalah aktif dan dinamis, dan Tamas sifat dasarnya adalah berat dan gelap. Akibat adanya kerjasama Purusa dengan Prakerti ini menyebabkan kekuatan yang ada pada Tri Guna menjadi seimbang. Pertamatama kekuatan Sattwam yang lebih besar dari Rajas dan Tamas melahirkan adanya Mahat. Mahat yang berarti agung. Dari Mahat ini kemudian muncullah Budhi yaitu benih
kejiwaan tertinggi. Budhi ini adalah sifat yang dimiliki oleh Sattwam, sehingga keputusannya bersifat bijaksana. Selanjutnya dari Budhi ini lahirlah Ahamkara. Ahamkara berfungsi untuk merasakan. Dari Ahamkara lahirlah Manas yaitu akal pikiran yang berfungsi untuk berpikir. Dari Manas selanjutnya lahir “Panca Tanmatra”, yaitu lima unsur halus yang meliputi sabda tanmatra (sari suara), sparsa tanmatra (sari rabaan), rupa tanmatra (sari warna), rasa tanmatra (sari rasa), ganda tanmatra (sari bau). Perkembangan selanjutnya dari Panca Maha Bhuta yaitu lima unsur yang kasar meliputi: Akasa (ether), Bayu (hawa/udara), Teja (api), Apah (air) dan Pertiwi (tanah). Panca Maha Bhuta ini kemudian menjadi alam semesta dengan segala isinya seperti: matahari, bulan, bumi, yang disebut Brahmanda. Demikian juga gunung, sungai, pohon, binatang, manusia, serta yang lainnya. Jadi jelaslah bahwa alam semesta dengan segala isinya lahir dan mengalir dari tubuh Hyang Widhi, pada saatnya nanti akan kembali kepada Hyang Widhi. Demikian pula asal mula manusia dan alam ini pada hakikatnya sama yaitu dari Purusa dan Prakerti. Oleh sebab itu alam semesta ini lazim disebut Bhuwana Agung dan manusia disebut Bhuwana Alit. Pada diri manusia unsur purusa itu menjadi jiwatman, sedangkan unsur prakerti menjadi badan kasar atau stula sarira. Sukma sarira disebut juga raga sarira, sukma sarira terdiri dari budhi, manas, ahamkara yang disebut tri anatah karana sarira. Tri anatah karana sarira inilah yang menciptakan bagian manusia yang amat menentukan watak seseorang. Indra manusia ada 10 banyaknya sehingga disebut dasendriya. Manas di samping berkedudukan sebagai anggota dari tri antah karana sarira juga berkedudukan sebagai rajendriya, karena semua indriya itu berpusat pada pikiran manusia. Indriya itu tidak dapat diamati.
Stula sarisa atau raga sarira yang terjadi pada panca tanmatra dan panca maha bhuta adalah sebagai berikut (1) tulang belulang, otot, daging, dan segala yang padat sifatnya terjadi dari gandha atau pertiwi, (2) darah, lemak, kelenjar, empedu, air badan, dan segala yang cair sifatnya terjadi dari rasa atau apah, (3) panas badan, sinar mata dan yang panas dan bercahaya sifatnya terjadi dari rupa dan teja, (4) napas dan udara dalam badan terjadi dari sparsa atau wayu, (5) rongga dada, rongga mulut, dan segala rongga lainnya terjadi dari sabdha atau akasa. Manusia disebut purusa karena memang berasal dari purusa, dan semua itu adalah sama yaitu percikan yang mengalir dari Hyang Widhi. Oleh sebab itu, manusia pada hakikatnya adalah penjelmaan dari atman, sedangkan atman sendiri adalah berasal dari percikan dari Mahaatman. Terkait dengan hal ini ada kepercayaan masyarakat Bali, bahwa roh atau atman setelah pada waktunya nanti akan kembali menyatu dengan Mahaatman (Hyang Widhi). Dalam kosmologi masyarakat Bali tidak memandang alam semesta ini sebagai kesatuan yang bersifat fisik (sekala) semata, melainkan juga bersifat spiritual (niskala) yang teratur di bawah kekuatan Mahaatman yang menjadi pusatnya. Dalam kehidupan budaya masyarakat Bali pada dasarnya memandang keberadaan alam semesta ini sebagai suatu sistem yang teratur dan harmonis. Makrokosmos atau alam jagad raya akan tetap ada dan terjaga selama unsurunsurnya masih terkontrol oleh hukum keteraturan dan keseimbangan yang dimiliki oleh pusat kosmos atau Mahaatman sebagai pencipta dan mengontrol alam semesta ini. Seperti telah diuraikan di atas bahwa masyarakat Bali juga percaya dengan adanya alam makrokosmos (bhuwana agung) dan mikrokosmos (bhuwana alit). Untuk menjaga keseimbangan dan
keteraturan bhuwana agung maka pada kesembilan arah mata angin dijaga oleh para Dewata yang dikenal pula dengan sebutan Nawa Sanga. Kesembilan Dewata Nawa Sanga tersebut adalah sebagai berikut: (1) utara, Dewa Wisnu, sakti Dewi Sri, senjata cakra, warna hitam, aksara A ( ), (2) timur laut, Dewa Sambhu, sakti Mahadewi, senjata trisula, warna abu-abu, aksara Wa ( ), (3) timur, Dewa Iswara, sakti Dewi Uma, senjata bajra, warna putih, aksara Sa ( ), (4) tenggara, Dewa Maeswara, sakti Dewi Laksmi, senjata padupan, warna merah jambu, aksara Na ( ), (5) selatan, Dewa Brahma, sakti Dewi Saraswati, senjata gada, warna merah, Aksara Ba ( ), (6) barat daya, Dewa Rudra, sakti Dewi Camodi, senjata gada dengan dua kepala, warna oranye, aksara Ma ( ), (7) barat, Dewa Mahadewa, sakti Dewi Sanci, senjata panah Nagapasah, warna kuning, aksara Ta ( ), (8) barat laut, Dewa Sangkara, sakti Dewi Rodri, senjata panah Pasupati, warna hijau, aksara Si ( ), dan (9) tengah; Dewa Siwa Mahadewa, sakti Dewi Durga, senjata Padma, warna pancawarna (warna campuran). Untuk menjaga keharmonisan alam semesta baik makrokosmos maupun mikrokosmos, maka bagi masyarakat Bali senantiasa setiap tahun selalu menyelenggarakan upacara tawur kesanga jatuh pada sehari sebelum dilakukan upacara penyepian jagad. Upacara tawur kesanga ini adalah upacara ritual yang memberikan persembahan korban kepada para Bhuta Kala, agar alam semesta ini selalu senantiasa harmonis beredar sesuai dengan hukum alam, sehingga hal ini akan dapat memberikan kesejahteraan dalam kehidupan dan ketenteraman di alam dunia fana ini. Jika kita bandingkan di Jawa, upacara ritual ini hampir
sama dengan upacara-upacara ritual yang masih dilaksanakan di Pedesaan maupun daerah-daerah pinggir pantai seperti upacara ritual bersih desa, upacara sedhekah bumi, upacara wisuda bumi, upacara sedhekah laut dan sebagainya, dan merupakan persembahan tulus ikhlas dari masyarakat setempat sebagai ucapan terimah kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dapat memberikan hasil panen maupun tangkapan melaut yang demikian melimpah, tentu hal ini dikarenakan adanya keharmonisan Jagat Ageng maupun Jagat Alit. Kembali pada makrokosmos dan mikrokosmos seperti telah diuraikan di depan bahwa alam makrokosmos dijaga ketat oleh Dewata Nawa Sanga, dengan tujuan tiada lain adalah untuk menjaga keseimbangan maupun keharmonisan jagat raya, agar supaya tidak menyimpang dari hukum peredarannya. Sedangkan pada mikrokosmos (badan manusia) seperti apa yang tersurat dalam lontar Kanda Empat dinyatakan bahwa manusia lahir diikuti oleh saudara-saudaranya, yakni: (1) yang tertua berupa yeh-nyem bertugas melindungi bayi dari sentuhan roh jahat atau bahaya. Dewanya Sang Kursika, menjadi Bhuta Putih, disebut pula Bhuta Anggapati, (2) yang kedua berupa darah, bertugas memberi hidup, Dewanya Sang Garga, menjadi Bhuta Abang, atau juga sering disebut Bhuta Merajapati, (3) yang ketiga berupa ari-ari, bertugas membungkus bayi dan kalau sudah pecah mendorong bayi untuk dapat lahir. Dewanya Sang Kursya, menjadi Bhuta Kuning, disebut pula Bhuta Banaspati, (4) yang keempat berupa lamad, bertugas melicinkan bayi untuk lahir, Dewanya Sang Metri, berwarna hitam, dikenal dengan Bhuta Banaspatiraja, dan (5) yang kelima berupa yeh ening, Dewanya Sang Pratenjala, berwarna mancawarna, bernama Bhuta Dengen.
Bhuta Banaspatiraja inilah menurut kepercayaan masyarakat Bali dianggap menjadi Barong, sebagai unen-unen (binatang peliharaan) di Pura Dalem (kuburan), sedangkan Bhuta Anggapati, Bhuta Merajapati, dan Bhuta Banaspati menjadi Patih. Sementara kedudukan dan tempat masing-masing Bhuta tersebut adalah sebagai berikut: (1) Bhuta Anggapati berkedudukan di timur dan warna putih, (2) Bhuta Merajepati, berkedudukan di selatan dan warna merah, (3) Bhuta Banaspati, berkedudukan di barat, warna kuning, (4) Bhuta Banaspatiraja, berkedudukan di utara, warna hitam, dan (5) Bhuta Dengen, berkedudukan di tengah dan dengan warna mancawarna. Demikian kosmologi budaya masyarakat Bali dalam kehidupannya senantiasa berorientasi terhadap keseimbangan alam jagad raya baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dan sikap ini diantisipasi dengan melakukan laku upacara ritual dan etika dalam berhubungan bermasyarakat yakni hubungan serasi dengan Hyang Widhi, dengan alam lingkungan, dan hubungan harmonis dengan sesama manusia.
Estetika menurut Umat Hindu di Bali Agama Hindu merupakan unsur yang paling dominan sekaligus roh budaya masyarakat Bali. Agama Hindu adalah sumber utama dari nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan Bali. Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilainilai estetika yang bersumber dari agama Hindu. Estetika (aesthetics) berasal dari kata aisthesis dalam bahasa Yunani (Dickie 1976) dapat diartikan sebagai rasa nikmat
indah yang timbul melalui pencerapan pancaindra (Djelantik 1999:5). Ada banyak batasan yang telah diajukan oleh para ahli mengenai estetika dan batasan yang diberikan itu berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan ini berkaitan dengan pergeseran fokus dari disiplin ini sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Apapun batasan yang diberikan oleh para ahli, hampir semua mengarah ke satu arah yakni menyangkut rasa indah yang membuat kita senang, masgul, terkesima, terpesona, bergairah dan bersemangat. Disadari atau tidak di dalam kehidupan sehari-hari semua umat manusia yang masih terikat dengan keduniawian membutuhkan keindahan. Ketika manusia tampil dan mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang mempunyai nilai estetis. Kebutuhan manusia akan rasa kenikmatan estetis telah mendorong mereka untuk terus menciptakan objek-objek bernilai estetis. Estetika yang bertumpu kepada masalah rasa akan selalu mengacu kepada dua sisi yang terkait yakni objektivitas dan subyektivitas. Sisi yang pertama menyangkut realita atau kenyataan dari suatu benda atau objek estetis, sedangkan sisi yang ke dua menyangkut kesan atau rasa (lango) yang ditimbulkan oleh objek tersebut. Oleh sebab itu hasil penilaian estetis yang optimal dapat dicapai dengan memadukan kedua sisi objektif dan subjektif ini. Penilaian terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika (norma baikburuk) yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika ternyata di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh sebab itu, di lingkungan budaya tertentu kenikmatan
keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan normanorma baik-buruk yang berlaku. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan pokok dan dianggap penting dalam estetika Hindu seperti; konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan. Konsep Kesucian (Shiwan) pada intinya menyangkut nilainilai ketuhanan yang juga mencakup yadnya dan taksu. Umat Hindu, seperti yang terlihat di Bali, memiliki pandangan estetik yang diikat oleh nilai-nilai spiritual ketuhanan sesuai dengan ajaran agama Hindu. Para pemuka agama Hindu menyatakan bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Indah dan sumber dari segala keindahan. Di India, Tuhan dalam wujudnya sebagai Siwa Nataraja dengan tari kosmisnya dikatakan sebagai pencipta musik dan tari sekaligus pencipta seni yang Maha Agung. Atas kepercayaan ini umat Hindu percaya bahwa segala sesuatu yang bernilai artistik adalah ciptaan Tuhan. Sebagai insan yang percaya akan kemahaesaan Hyang Widhi, orang Hindu percaya bahwa kesenian bukanlah ciptaan manusia, melainkan ciptaan Tuhan. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban umat Hindu untuk mempersembahkan kembali hasil ciptaan-Nya. Di sini kita melihat kesenian disajikan kepada Tuhan. Semua jenis kesenian yang merupakan persembahan kepada Tuhan dikatagorikan sebagai kesenian sakral. Pada saat yang bersamaan kesenian yang sama menjadi sajian kepada manusia (human audience), sebagai suatu persembahan dalam bentuk tontonan atau hiburan bagi masyarakat. Semua jenis kesenian
yang disajikan sesama manusia dikatagorikan kesenian sekuler. Patut dicatat bahwa dalam derajat tertentu semua kesenian ini memiliki kekuatan spiritual, hanya ruang dan tempat penyajiannya mempunyai kualitas “spiritual” yang berbeda. Di kalangan masyarakat Hindu di Bali, kesenian persembahan kepada Tuhan dan alam niskala dapat dibedakan menjadi dua kelompok: (1) kesenian wali (sacred religious art), dan (2) kesenian bebali (ceremonial art). Kesenian wali mencakup berbagai bentuk kesenian yang tergolong tua dan oleh karena itulah telah memiliki unsur-unsur keaslian (originalitas) dan kesucian. Yadnya merupakan korban suci mencakup penyerahan diri dan olah spiritual lainnya yang sering kali melibatkan upacaraupacara ritual. Berdasarkan atas keyakinan bahwa kesenian ciptaan Tuhan, seniman Bali menjadikan kesenian sebagai sebuah persembahan atau yadnya, untuk mendekatkan diri kepada Hyang Widhi. Dengan yadnya dimaksudkan bahwa berkesenian itu tidak saja dapat memuaskan serta memenuhi dorongan estetis pribadi atau masyarakat, melainkan juga sebagai wahana bagi seniman untuk mendekatkan dirinya kepada sumber keindahan itu sendiri, yaitu Tuhan yang sering dikatakan memiliki sifat-sifat satyam (kebenaran), shiwan (kesucian), dan sundaram (keindahan). Kebenaran (satyam) mencakup nilai kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan. Sesuai dengan ajaran agama Hindu, persembahan dan yadnya yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali, dilaksanakan dengan penuh kejujuran hati, rasa tulus, dan niat yang sungguh-sungguh. Dengan ini dimaksudkan bahwa persembahan atau yadnya apa yang mereka lakukan, baik kepada Tuhan maupun kepada sesama manusia, bukan karena pura-pura untuk mendapatkan simpati masyarakat, atau atas dasar rasa
pamrih supaya mendapat pahala yang lebih besar dari Tuhan atau imbalan lainnya dari masyarakat, serta melakukannya tidak dengan disertai rasa bakti yang tulus. Hanya atas dasar kejujuran seperti inilah persembahan dan yadnya yang dilakukan masyarakat akan diterima oleh Tuhan. Nilai-nilai kebenaran inilah yang tidak membatasi orang Bali untuk tidak berbuat yang tidak benar atau yang bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Dengan ini setiap orang Hindu di Bali diharuskan untuk senantiasa memegang teguh nilai-nilai kejujuran dalam segala perbuatannya di masyarakat. Mereka harus tetap melakukan sesuatu secara tulus ikhlas dan dengan kesungguhan hati. Berbuat yag tidak jujur akan dapat merusak kualitas hidup dan jati diri mereka. Keseimbangan yang mencakup persamaan dan perbedaan dapat terrefleksi dalam beberapa dimensi. Refleksi keseimbangan yang banyak ditemukan dalam kesenian baik dalam seni dua dimensi dan seni tiga dimensi. Dengan konsep keseimbangan ini dapat dilihat bagaimana penganut agama Hindu menggunakan nilai-nilai estetik untuk menciptakan dan mencapai kehidupan yang damai. Refleksi estetis dengan konsep keseimbangan yang berdimensi dua dapat menghasilkan bentuk-bentuk simetris yang sekaligus asimetris atau jalinan yang harmonis sekaligus disharmonis yang lazim disebut rwa bhineda. Dalam konsep rwa bhineda terkandung pula semangat kebersamaan, adanya saling keterkaitan, dan kompetisi mewujudkan interaksi dan persaingan. Refleksi keseimbangan dalam seni tiga dimensi sangat terkait dengan konsep kosmologi Hindu yang membagi dunia ini menjadi tiga bagian: atas, tengah, dan bawah yang disebut tri
bhuwana. Dunia bawah disebut bhur loka, adalah dunia bhutakala, dunia tengah disebut bhwah loka adalah dunia antara manusia dengan seisi alam semesta, swah loka adalah dunia Tuhan dan para Dewata. Karena alam atas dan alam bawah adalah alam maya, maka keduanya disebut alam niskala, sedangkan dunia tengah yang nyata disebut sebagai alam sekala. Konsep ini sangat mempengaruhi cara seniman Bali dalam menggunakan ruang vertikal dalam karya seni mereka.
Implementasi Estetika Hindu dalam Berkesenian bagi Masyarakat di Bali Ketika kita menyaksikan sajian karya kesenian Bali, baik seni rupa maupun seni pertunjukan atau karya seni lainnya, kita akan merasakan cerminan dari nilai-nilai estetika yang telah disebutkan di atas. Secara simbolis dan filosofis, nilai-nilai estetika Hindu menjiwai bentuk, isi, dan tata letak penyajian karya seni Bali. Terkait dengan prinsip-prinsip ke-Tuhanan, seniman Bali yang berkesenian atas dasar konsep ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan, selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian mereka untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Selain itu, upacara ritual dilaksanakan sebagai suatu cara untuk memohon lindungan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya agar pergelaran kesenian yang diadakan dapat berlangsung sebagaimana mestinya dan yang lebih penting lagi bisa memperoleh kekuatan sinar suci-Nya. Sebagai suatu contoh, untuk mengawali sebuah pertunjukan, sudah menjadi kebiasaan bagi para seniman pertunjukan Bali untuk melakukan upacara ritual. Ada yang melakukannya di depan publik penonton dengan sesaji yang lengkap, ada pula yang
melakukannya secara sembunyi-sembunyi dengan menggunakan sarana sesaji yang sederhana. Upacara ritual ini akan selalu mengingatkan para seniman dan penonton akan keberadaan Tuhan. Di samping itu, juga memperlihatkan bahwa berkesenian adalah sebuah persembahan suci (yadnya) serta melibatkan kekuatan sinar suci Tuhan (taksu). Nilai kebenaran (kejujuran, ketulusan, kesungguhan) disajikan melalui lakon-lakon seni drama Bali yang dibangun sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak, yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur, yang berbudi tulus dengan yang tidak tulus. Lakon yang dipertunjukkan dalam wayang kulit, drama tari Calonarang, arja, drama gong dan sebagainya, yang pada umumnya mengetengahkan pertarungan antara nilai-nilai kebaikan dengan keburukan yang berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar atau setidaknya dengan akhir imbang tidak ada yang kalah ataupun menang. Berkaitan dengan implementasi tentang estetika Hindu dalam berkesenian bagi masyarakat Bali, di samping konsepkonsep seperti telah diuraikan di atas, terdapat pula beberapa konsep-konsep yang sangat mendasar dan diyakini dapat menghasilkan karya seni yang betul-betul memiliki greget atau taksu. Adapun konsep-konsep yang mendasari estetika Hindu tersebut antara lain; konsep kepercayaan, konsep sekala-niskala, konsep trihita karana, konsep desa kalapatra, konsep karma pahala, dan konsep taksu / jengah. Berikut ini uraiannya secara ringkas. Seperti telah diketahui bahwa masyarakat Bali secara mayoritas memeluk agama Hindu. Tidak jelas sejak kapan agama Hindu mulai masuk ke Bali. Rsi Markadeya, yang datang pertama
kali ke Bali, karena itu beliau dianggap sebagai penyebar agama Hindu yang datang ke daerah Bali sekitar abad VIII. Sebelum Agama Hindu diperkenalkan, masyarakat Bali telah memiliki kepercayaan yang pada prinsipnya percaya pada tiga hal yakni (1) adanya kepercayaan alam sekala (nyata) dan alam niskala (tidak nyata), (2) adanya reinkarnasi, dan (3) kehidupan setelah mati, serta adanya roh nenek moyang (leluhur) bersemayam di gununggunung. Manusia yang masih hidup bisa memohon perlindungan kepada roh-roh leluhur tersebut, dan dengan kekuatan niskala rohroh leluhur itu juga bisa memberikan keselamatan kepada keturunannya. Jadi pemujaan roh leluhur seperti yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali sekarang ini, sudah ada dan dikenal jauh sebelum kedatangan Hindu. Dengan kepercayaan yang telah dimiliki masyarakat itu, agama Hindu tidak mengalami hambatan masuk dan berkembang di Bali. Ajaran Hindu, agama tertua yang diwahyukan tersebut, telah tercermin dalam unsur-unsur kepercayaan masyarakat Bali sejak zaman prasejarah. Termasuk pula konsep penciptaan makrokosmos maupun mikrokosmos yang percaya dengan adanya unsur positif (bapak) dan unsur negatif (ibu), yang dalam kepercayaan Hindu dilambangkan dengan lingga dan yoni, langit dan bumi, Dewa dan Dewi. Dalam kepercayaan masyarakat Bali prasejarah, hal itu dilambangkan pula dengan gunung sebagai lakilaki dan laut sebagai perempuan (lihat Raka Santri dalam Setia Putu (ed), 1992:100). Kedatangan Empu Kuturan dinilai telah membawa perubahan besar dalam tata keagamaan. Dalam prasasti dan juga dalam lontar Rajapurana, dijelaskan bahwa Empu
Kuturanlah yang membuat tata tertib desa, membangun tempattempat persembahyangan seperti Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan, Catur Loka Pala, dan Kahyangan Rwa Bhineda. Sudah barang tentu lengkap beserta aturan-aturan upacaranya, sebagai mana tertulis dalam lontar Usana Bali. Demikian pula dalam bidang kesenian, pada awalnya berbentuk sederhana simbolis dan ini sudah berkembang pada zaman prasejarah. Ketika agama Hindu masuk yang ditandai dengan datangnya para Rsi dan para Empu ke Bali, kesenian menjadi lebih berkembang dan kaya, dinamis dan rumit, dengan nilai-nilai estetika yang idealisme yang juga lebih tinggi dari pada sebelumnya. Bagi masyarakat Bali kesejahteraan lahir dan batin dapat diraih, apabila masyarakat dengan konsekuen melaksanakan konsep-konsep utama agama Hindu yang berorientasi kepada sikap batin, perilaku, sikap pikir dalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat. Tujuan akhir Agama Hindu adalah “Moksartham Jagadhita ya Caithi Dharma”, terjemahannya kurang lebih kesejahteraan lahir dan kesempurnaan batin. Kemudian oleh masyarakat Bali dikembangkan menjadi konsep sekala-niskala. Konsep ini kemudian menjadi populer karena diterjemahkan pula dalam konsep “pembangunan manusia seutuhnya”. Dalam konsep ini, segala tingkah laku manusia Bali diukur menurut kepatutan secara spiritual. Sebagai contoh sebuah ember yang biasa dipakai mencuci pakaian dalam, secara sekala ember itu bersih, tetapi secara niskala ember itu tidak baik untuk tempat tirta atau air suci. Konsep ini bagi orang Bali menjadi lebih seimbang, tidak cepat menjatuhkan sangsi segala sesuatu sebagai hal yang “salah” atau “benar”, selalu ada sesuatu yang patut dipertimbangkan, di balik kenyataan yang sedang dihadapi.
Dasar moral orang Bali adalah harmoni-keselarasan. Kesadaran moralnya terutama ditujukan untuk kesejahteraan batin, lebih bersifat ke dalam diri, dengan terbuka ia akan menerima, mendengar, menunggu, dan berusaha memahami. Tidak berusaha memaksakan kehendak, tidak berusaha untuk mengubah realitas. Kehidupan dijalani untuk menjaga keharmonisan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan TuhanNya yang terangkum dalam etika Tri Hita Karana. Konsep Tri Hita Karana tersebut adalah tiga hal yang menyebabkan bahagia dan ketiga hubungan itu hendaknya dapat berjalan harmonis. Hubungan manusia yang penuh bhakti kepada Hyang Widhi, menyebabkan umat Hindu memandang kerja dan pelaksanaan tugas sebagai persembahan (korban suci). Dapat dilakukan melalui Karma Marga untuk mencapai Hyang Widhi. Itulah yang menyebabkan orang Bali membuat tempat atau upacara khusus sebelum memulai suatu kegiatan. Hendak membangun rumah tempat tinggal, ada sanggah cucuk yang ditancapkan di sebuah sudut, dengan harapan agar supaya Hyang Widhi senantiasa menyaksikan dan merestui atau memberi perlindungan dalam proses pekerjaan selanjutnya. Mau menari, mematung, maupun melakukan pekerjaan lainnya, senantiasa ada upacara kecil untuk memohon, semoga Hyang Widhi menyaksikan dalam pelaksanaan kerja dan memberikan keselamatan pada seluruh pertunjukan maupun dalam melakukan pekerjaan lain. Hubungan manusia dengan sesamanya (manusia) sangat demokratis, hal ini dirumuskan dalam istilah “Tat Twam Asi”, yang artinya aku adalah kau, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia dapat diartikan “dia sama dengan diriku”, inilah azas kebersamaan dalam masyarakat Bali, yang telah dikukuhkan dalam lembaga adat. Tat Twam Asi ini mencerminkan unsur kebersamaan atau kesatuan. Konsep ini
mengandung makna, bahwa menolong orang lain, maupun makhluk lainnya, tidak lain juga sama artinya menolong diri sendiri. Persoalan hubungan manusia dengan lingkungannya, masyarakat Hindu di Bali memiliki praktikpraktik yang menarik dalam merealisasikannya. Oleh sebab itu terdapat hari-hari khusus untuk dapat melaksanakan upacara kecil seperti tumpek landep (upacara diperuntukkan alat-alat untuk produksi), tumpek uduh (upacara bagi tanam-tanaman), dan tumpek kandang (upacara diperuntukkan bagi binatang ternak). Dengan latar belakang ini orang Bali yang mayoritas menganut agama Hindu itu dilatih dan dididik untuk menjadi manusia bijaksana, mengetahui proporsi yang tepat dalam berpikir, merasa, bersikap dan tingkah laku, tidak pernah membiarkan pikiran menjadi dominan sampai menguasai seluruh kesadaran dan merusakkan keseimbangan psikologis, menghindari disharmoni dan pemborosan. Konsep Desa Kala Patra merupakan konsepsi utama bagi kebudayaan Bali. Konsep ini pula yang menyebabkan bentuk luar agama Hindu yang dalam pelaksanan kegiatan agama tidaklah sama di setiap daerah. Meskipun ajarannya tetap sama, tetapi cara pengamalan dalam budaya pendukungnya selalu berubah dan berbeda antara satu desa dengan desa yang lainnya, sesuai dengan desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan). Konsep ini merupakan kesadaran untuk sama (dalam ajaran), tetapi berbeda (dalam cara pengamalan), yang kemudian dikenal dengan istilah bhinneka tunggal ika. Di mana pun masyarakat Bali berada, mereka tidak harus menerapkan seperti adat daerahnya, namun mereka dapat menyesuaikan dengan kebiasaan adat di mana mereka berada. Demikian pula antar daerah-daerah atau
kabupaten di Bali mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dalam melakukan upacara maupun upacara keagamaan. Konsep Karmaphala merupakan hukum sebab akibat. Dengan kesadaran akan ”waktu”, masyarakat Bali dibimbing untuk berpikir lurus, karena apa yang mereka alami sekarang, sesungguhnya tidak terlepas dari apa yang diperbuat sebelumnya, sedang apa yang mereka akan alami kelak sangat tergantung dari apa yang mereka kerjakan sekarang. Dalam konsep ini, seseorang yang berbuat baik pasti baik akan diterimanya, demikian juga sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Tetapi dalam kehidupan di alam ini terkadang ada seseorang yang selalu berbuat baik, namun ia tetap hidupnya tetap serba kekurangan alias menderita, sebaliknya ada seseorang yang selalu berlaku curang atau jahat, tetapi tampak hidupnya bahagia dan sangat berlebihan. Berkaitan dengan itu sebetulnya karmaphala itu jenisnya ada tiga macam, yaitu (1) Karmaphala Sancita adalah phala dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang akan datang, (2) Karmaphala Prarabda adalah pahala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya, dan (3) Karmaphala Kriyamana adalah pahala yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Jadi adanya orang menderita dalam hidup ini, walaupun ia selalu berbuat baik, karena disebabkan oleh sancita karma (karma terdahulu) yang buruk yang mau tidak mau ia harus merasakan buahnya sekarang karena kelahirannya terdahulu belum habis dinikmatinya. Sebaliknya orang yang berbuat curang atau berbuat jahat dalam kesehariannya, nampaknya dalam kehidupan sekarang bahagia, karena sancita karmanya yang terdahulu baik,
tetapi nantinya akan menerima pula hasil perbuatannya sekarang yang tidak baik itu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum alam. Demikian orang Bali pada umumnya percaya akan hukum karmaphala, setiap perbuatan akan mendatangkan akibat, baik berupa hadiah atau hukuman. Karmaphala dipahami sebagai buah perbuatan, kadang-kadang dihubungkan dengan keinginan leluhur atau buah perbuatan sendiri di waktu lampau, sewaktu eksistensi kehidupan dahulu. Hukum karmaphala begitu melekat sebagai hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Kekuasaan manusia terhadap hukum karma sangat terbatas, hanya dapat diperbaiki dalam eksitensi berikutnya. Konsep taksu dan jengah bertalian dengan kenyataan bahwa setiap bangunan suci atau pemujaan keluarga di Bali terdapat salah satu bangunan di antaranya ada yang disebut “taksu”. Ini adalah semacam kharisma kekuatan dalam yang memancarkan keindahan dan kecerdasan. Para penari yang dapat mempesona penontonnya disebut metaksu. Demikian pula topeng yang angker, dapat pula dikatakan metaksu. Masyarakat Bali telah mengenal dan memahami pentingnya taksu tersebut dalam bangunan suci, keluarga, maupun dalam berkesenian. Tetapi masyarakat Bali menyadari pula bahwa taksu itu baru bisa muncul, dari hasil kerja keras, di samping faktor-faktor yang bersifat niskala (spiritual), karena itu rasa jengah, dalam konteks budaya memiliki konotasi sebagai hal yang bersemangat. Taksu dan jengah harus saling mengisi, sehingga arahnya menjadi positif dalam menuju perubahan nilai-nilai budaya. Konsep taksu dan jengah ini diiringi pula dengan konsep “Tri Kaya Parisuda”, sebagai pelengkap dalam
bertindak maupun dalam pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Setiap orang Bali dikehendaki bermanacika (berpikir yang baik), ber-wacika (berkata yang baik), dan ber-kayika (berbuat yang baik). Untuk dapat berpikir yang baik, sebagai pendorong perkataan yang baik dan perbuatan yang baik, melalui penyeimbangan ajaranajaran agama dalam etika pergaulan. Pelaksanaan ritual harus diseimbangkan dengan pemahaman dan pengamalan etika dan tatwa (filsafat). Taksu, yang memegang peranan penting dalam berbagai olah kesenian di Bali, diyakini oleh orang Hindu di Bali sebagai sebuah kekuatan daya pikat yang muncul pada diri seniman atau pada karya seninya, setelah mendapat sinar suci dari Hyang Widhi. Hanya setelah mendapat waranugraha-Nya lah manusia akan mampu menghasilkan karya-karya seni yang berkualitas serta memiliki daya pikat yang luar biasa, yang bagi masyarakat Bali hal ini disebut taksu. Masyarakat Bali percaya bahwa sebuah sajian kesenian yang tidak memiliki taksu akan gagal menarik perhatian penonton yang menyaksikannya. Taksu secara spiritual memiliki kekuatan atau daya tarik bagi penikmatnya, dan taksu ini ada pada setiap bidang profesi dan dimiliki oleh setiap orang. Hanya dengan kekuatan taksu ini mereka akan mampu melaksanakan profesinya dengan kualitas yang diinginkan. Akan tetapi, hidup tidaknya taksu sering tergantung dari ketekunan seseorang dalam menjalankan profesinya.
Simpulan Berdasarkan uraian singkat di atas maka, berikut ini disampaikan beberapa simpulan; Pertama, pandangan Hindu terhadap estetika tertuang dalam buku Nitya Sastra. Rasa lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelaku berkesenian. Dalam rumusan estetika Hindu, suatu hasil seni untuk bisa dianggap indah dan berhasil apabila dapat memenuhi sad angga (enam rincian) yaitu; (1) rupabheda, (2) sadrsya, (3) pramana, (4) wanikabangga, (5) bhawa, dan (6) lawanya. Kedua, kosmologi budaya masyarakat Bali dalam kehidupannya senantiasa berorientasi terhadap keseimbangan alam jagad raya baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dan sikap ini diantisipasi dengan melakukan laku upacara ritual dan etika dalam berhubungan bermasyarakat yakni hubungan serasi dengan Hyang Widi, dengan alam lingkungan, dan hubungan harmonis dengan sesama manusia. Ketiga, estetika Hindu masyarakat Bali adalah cara pandang tentang keindahan yang diikat oleh nilai-nilai spiritual yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Prinsipprinsip keindahan didasari oleh konsep-konsep kesucian, kebenaran, dan keseimbangan. Keempat, implementasi estetika masyarakat Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kebenaran selalu disajikan melalui lakon-lakon dalam sendratari, drama gong, lukisan, yang dibuat atau ditata sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak; yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur dan
sebagainya. Lakon ini biasanya dipentaskan dalam pertunjukan wayang kulit, drama tari Calonarang dan lain-lain, dan biasanya berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar. Konsep-konsep lain yang mendukung estetika Hindu di Bali, ialah konsep kepercayaan, skala-niskala, trihita karana, desa kalapatra, karmaphala, dan konsep taksu dan jengah.
STRUKTUR RUPA TOPENG BALI KLASIK ABSTRAK Kajian Rupa Topeng Bali Klasik, menggali dan memperkenalkan nilai-nilai lokal tradisional Bali dengan harapan untuk bahan masukan bagi perkembangan Topeng di Indonesia. Sebagai bahan kajian analisa dalam tulisan ini penulis tekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan bentuk atau rupa topeng , yaitu menyangkut masalah lambanglambang yang berhubungan dengan keyakinan pada agama. Dalam pengambilan data disesuaikan dengan permasalahan, data diambil yaitu dari: sumber kepustakaan, nara sumber yang dipilih secara proporsional dan purpossive sampling dan hasil pencatatan sumber data historis, juga pencatatan di lapangan langsung. Hasil yang diperoleh tampak struktur rupa topeng dan wayang Bali Klasik ada suatu persamaan dalam pencitaan bentuk rupa. Unsur-unsur rupa yang dimaksud meliputi : titik garis, bidang, bentuk. Warna, tekstur dan sebagainya. Unsur rupa dalam topeng mengalami puncaknya sejak jatuhnya Majapahit, Tradisi kesenian Jawa Timur yang telah mengalami sintesa berlanjut di Bali dan berakulasi dengan budaya setempat. Sehingga memperkaya kesenian yang ada, topeng tersebut yaitu topeng pajegan, topeng panca, topeng bobondresan. Topeng juga digunakan sebagai media pendidikan sesuai dengan ajaran dan falsafah agama Hindhu. Biasa tokoh yang dimainkan adalah mengambil cerita Mahabratha dan Ramayana.
A. Pendahuluan Indonesia memiliki beraneka seni budaya yang tersebar di seluruh daerah, masing-masing daerah memiliki peninggalan seni budaya tradisional yang kuat dan mempunyai ciri khas yang unik dan artistik sesuai dengan ciri daerahnya, peninggalan tersebut sebenarnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tiada taranya di dunia, dan bisa digunakan sebagai acuan untuk mengembangkan seni budaya masa kini berciri khas Indonesia. Bali salah satu daerah di Indonesia yang memiliki seni budaya cukup beragam pula dan sampai saat ini masih tetap lestari,diantara seni budaya Bali tersebut diantaranya adalah seni Topeng, dalam aktivitas kesenian ia dapat digolongkan ke dalam seni pertunjukan, sedangkan sebagai hasil karya seni atau produk seni, topeng termasuk kedalam seni pahat karena memperlihatkan matra sebagai kajian bahasa rupa konvensional. Karya seni topeng keberadaannya mungkin sama dengan perkembangan seni tari di Bali karena hal ini sangat berkaitan, dan sudah ada sejak jaman pra Hindhu (pra sejarah). Bentuk kesenian purba ini hampir sama dengan kesenian yang terdapat di daerahdaerah pedalaman Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, dan pulaupulau lainnya di Nusantara dan dapat dijumpai pada masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kesenian ini berfungsi sebagai penolak bala, menyembuhkan penyakit, menurunkan hujan dan lain sebagainya. Sisa-sisa kebudayaan ini masih dapat kita jumpai di Bali pada tarian sakral seperti : Tari Sang Hyang Topeng Dedari, Barong Beruduk, tari Baris Cina, tari Perang Duri dan lainlainnya. Di Bali bentuk kesenian asli yang menggunakan topeng dan umumnya sangat tua di kenal Sang Hyang Topeng Dedari yang
masih dapat kita jumpai saat ini. Jenis tarian ini dapat kita temuai di daerah-daerah pegunungan dan di pertunjukan dalam upacaraupacara keagamaan. Bagi masyarakat Bali, kalau ditinjau dari demensi vertikal kesenian tersebut merupakan media yang sangat penting dalam ritus keagamaan, kalau dilihat dari dimensi horisontal ia mempunyai fungsi komunal dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan Bali mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Jawa yang dimulai sekitar abad-8 yang menyebabkan kesenian Bali berkembang karena masuknya pengaruh Hindu Jawa dan mencapai puncak keemasan abad ke-16 saat runtuhnya Majapahit, terjadinya migrasi besar-besaran ke Bali, kemudian menurunkan keseniannya pada masyarakat Bali dari generasi-ke generasi yang menciptakan berbagai bentuk kesenian seperti : tari Gambuh, Wayang Wong (orang) Wayang Kulit, tari topeng, Arja dan lain sebagainya. Bentuk kesenian pertunjukan seperti tari topeng mulai berkembang di Bali pada saat ditaklukannya Bali oleh Maha Patih Gajah Mada, waktu itu Bali dalam pemerintahan raja Dalem Watu Renggong. Sisa peninggalan benda bersejarah berupa topeng yang berasal dari Jawa dan Bali pada masa itu dapat kita jumpai sekarang di Pura Penataran Tupeng, Blahbatuh. B. Sejarah Perkembangan Topeng Bali Klasik 1. Topeng Topeng diartikan sebagai penutup muka yang dibuat dari kayu (kertas dan sebagainya) yang berupa muka orang (binatang dan sebagainya) Istilah topeng dapat mempunyai banyak pengertian : Oleh Karena itu perlu diberi penjelasan untuk
memperoleh kesatuan pendapat dan seragam pemikiran sesuai dengan tujuan dari penulisan ini Istilah topeng dalam percakapan sehari-hari sering kita dengar seperti, manusia bertopeng. Dalam artian ini kata topeng semata-mata berarti benda penutup “muka” agar identitas individu itu tidak dikenal, atau agar terjadi suatu perubahan dalam bentuk muka orang dari wujudnya semula. Pengertian topeng sebagai penutup muka dengan mudah dapat kita perhatiakna dari gejala bahasa”formatif” (pembentukan kata), kata topeng berasal dari “tup” yang berarti tutup, kata tup ditambah saja dengan “eng” yang kemudian mengalami beberapa perubahan sehingga menjadi topeng> Arti lain dari topeng adalah “tapel”:”… for topeng simply means something presed against the face,I, e, a mask”) Topeng secara mudah adalah benda yang ditekankan pada muka yaitu tapel. Tapel atau topeng dapat dapat dibuat dari kayu, kertas tebal papier mache, dari kulit, kain dan bahan-bahan lainnya serta dapat digunakan untuk menutup muka atau sebagian dari muka. Di Bali kata topeng memang dapat berarti tapel, akan tetapi kata topeng tidak selalu dapat diterjemahkan dengan tapel. Misalnya dalam kalimat “menonton” tari topeng” orang tidak akan mengatakan “mononton tari tapel” “manusia bertopeng” itu belum tentu berarti manusia itu memakai tapel. Tapel atau topeng adalah hasil karya seni manusia sebagai perwujudan atau ekspresi tentang konsep bathinnya mengenai “face” atau binatang. Karya seni semacam ini biasanya dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan untuk menutupi muka manusia, dengan
demikian selanjutnya dapat diperkirakan bahwa timbulnya tari toeng yang di Bali biasanya disebut saja topeng dan dalam perkembangannya kita kenal dengan drama tari toeng. Unsur khas dari Drama Tari topeng adalah bahwa atau sebagian penarinya menggunakan tapel. Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa topeng sebagai karya seni yang berwujud “ muka”(face) manusia atau binatang sebagai penutup muka, dan merupakan unsur penting dalam tari atau drama tari topeng. 2. Sejarah Perkembangan Keseniaan Kehidupan seni budaya Bali mencapai puncaknya pada jaman Bali Klasik, pada pemerintah Dalem Watu Renggong di Gelgel pada tahun 1460-1550. Demikian pula dapat diperkiraan bahwa kesenian topeng merupakan proses kelanjutan dari pertunjukan tari topeng primitif yang sudah ada sejak jaman pra Hindu. Kapan mulai orang membuat topeng atau pertunjukan tari topeng di Bali belum dapat dipastikan tapi diperkirakan sudah dikenal sejak jaman prasejarah. Bukti-bukti yang tertua yaitu adanya arca Bhairawa yang sedang menari di simpan di pura Kebo Edan dan Catur kaya dari Pejeng juga dalam sikap menari, dan keduanya mengenakan topeng. Bukti tertulis yang menunjuk perkembangan tari topeng di Bali seperti : prasasti Bebetin yang berangka tahun 818 saka atau 896 masehi yang isinya, menyebut kata “ pertapukan “ yang berarti penari topeng. Demikian pula prasasti Blantik yang berangka tahun 980 Caka atau 1058 masehi serta prasasti Gurunpai yang bertulisan “ atapukan “ yang artinya topeng.
Perkembangan kesenian topeng di Bali juga mendapat pengaruh dari luar yaitu Hindu-Budha dari India lewat Jawa Timur pada Jaman Majapahit, disebutkan tari topeng sangat subur dikerajaan itu, hal tersebut dapat ditemukan pada relief candi dan dalam kitab Negara Kertagama, Dimana raja Hayam Wuruk digambarkan mahir menarikan topeng atau karaket. Hingga sekarang dalam tari atau drama tari sering membawakan tokohtokoh Majapahit. Selain itu cerita panji juga menggunakan topeng. Pengaruh kesenian topeng dari kerajaan Majapait ke Bali dapat dijumpai dengan adanya peninggalan 22 buah topeng yang masih tersimpan di Pura Dalem Penataran Topeng. Delapan buah topeng yang berasal dari Jawa sedangkan sisanyaTopeng dari Bali yang diberi nama masing-masing seperti : Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Papak Mada, I Gusti Penatih, Sri Aji Wengker, Dalaem Juru, Sri Bima Cili, Danghyang Kepakisan dan Arya Semaranata. Jenis topeng ini memakai pemegang yang berupa kayu yang menonjol pada bagian dalam topeng, cara memakainya dengan jalan menggigit kayu tersebut. Jenis topeng dari Bali umumnya memakai tali atau karet seperti yang kita kenal sekarang. Topengtopeng tersebutsekarang dikeramatkan dan dikeluarkan pada upacara tertentu. Bagaimana topeng-topeng tersebut sampai ada di Pura tersebut dan disimpan sebagai benda sakral. Menurut Babad Dalem, masa pemerintahan Dalem Watu Renggong pernah melamar putri Dalem Juru ( raja Blambangan ) yang bernama I Dewa Ayu Nibas. Sebelum Dalem Juru memutuskan untuk menolak atau menerima lamaran tersebut, secara diam-diam ia mengirim “Tukang gambarnya” ke Klungkung dengan maksud untuk mengambil gambar Dalem Watu Renggong sendiri. Gambar
yang dibuatnya berwujud topeng, akan tetapi oleh si tukang gambar sengaja dibuatnya jelek. Melihat gambar itu lalu Dalem Juru memutuskan untuk menolak lamaran Dalem watu Renggong. Dengan demikian maka Dalem watu Renggong sangat murka karena merasa dihina oleh Dalem Juru. Blambangan akhirnya diserang, dalam serangan pertmana pimpinan prajurit Bali diserahkan kepada I Gusti Jelantik Made Tenganhan. Pimpinan ini mengalami kegagalan dan meninggal dalam peperangan itu. Kemudian Dalem Bali mengutus panglima perangnya yang lain untuk memimpin pengempur Blambangan, yaitu Ngurah Djelantik Wajahan untuk ”Menjarah” (perampasan). Barang-barang rampasan ini digunakan sebagai bukti bahwa ia telah berhasil menaklukan Blambangan. Diantara barang-barang yang dirampasnya itu adalah berupa dua buah gong, satu Kropak wayang gambuh dan satu dan satu buah peti yang berisi topeng yang kemudian diserahkan kepada raja Klungkung Dalem Watu Renggong, beliau memegang tapuk pemerintahan sekitar tahun 1460-1550. Setelah Dalem Watu Renggong wafat beliau digantikan oleh putra mahkotanya yang bernama Dalem Bekung yang memegang pemerintahan dari tahun 1550-1580. Kemudian setelah meninggal, Dalem Bekung diganti oleh Dalem Sagening yang memerintah pada tahun 1580-1665. Kemudian Dalem Sagening oleh putranya yang bernama Dalem Dimade dan memegang pemerintahan dari tahun 1665-1688. Pada waktu pemerintahan Dalem Sagening ada tiga orang keturunan dari I Gusti Jelantik Pesimpangan yang bernama : I Gusti Ngurah Jelantik, I Gusti Gede Tusan dan I Gusti Gede Lebah. Ketiga
putranya itu mengikuti jejak ayahnya yaitu menghamba di Puri Gelgel. Pada saat itu pula untuk pertama kalinya I Gusti Pering Jelantik menari Topeng Pajegan dengan memakai topeng-topeng yang diperoleh di Blambangan. Dalem Dimade diganti oleh I Gusti Agung Maruti dan setelah beliau kalah, beliau diganti oleh Dalem Jambe dan Kerajaan Gelgel dipindahkan ke Klungkung dan disebut Semara Pura. Dalem Jambe diganti oleh Wirya Sirikan. Pada saat ini pula topeng hasil rampasan itu dipindahkan ke Blahbatuh, tepatnya sekarang berada di pura Penataran Tupeng. 3.
Jenis-Jenis Topeng
Penggolongan ini didasarkan atas cara pemakaian atau menarikan topeng dalam suatu pertunjukan baik yang bersifat ritual maupun yang merupakan sajian artistik semata adalah sebagai berikut ; Pertama penari yang mengenakan topeng tanpa menghidupkan atau mengekspresikannya. Karena penari cenderung untuk tidak memasukkan dirinya kedalam alam atau dunia topeng yang ditarikan, topeng sering kali menjadi beku atau kaku dan tidak bernyawa. Kedua adalah penari mengenakan topeng untuk ditarikan, diekspresikan dan dihidupkan. Di sini penari senantiasa mengupayakan untuk “masuk” ke dalam topeng yang dipakainya. Oleh karena itu topeng-topeng menjadi bernafas, berjiwa dan hidup. Cara yang pertama sering terdapat dalam pertunjukan topeng ritual untuk upacara keagamaan. Seperti topeng Sang Hyang Dedari terdapat di pura Jagon Agung ketewel Gianyar. Topeng Gajah Mada yang terdapat pura penataran tupeng Blahbatuh dan Barong Brutuk. Dalam pementasan ketiga kesenian
ini kadang menimbulkan kerawuhan ( mengalami trance ). Penari topeng ini biasanya disebut juru pundut. Cara yang kedua, menari untuk menghidupkan dan mengekpresikan topeng terjadi pada pertunjukan yang merupakan sajian artistik atau hiburan, walaupun mempergunakan bendabenda sakral seperti Barong dan Rangda yang termasuk dalam jenis ini ; Topeng Pajegan adalah dalam bahasa Bali yang berasal dari kata “pajeg” dan ditambah dengan sufik “an” menjadi pajegan yang berarti borongan, maksudnya seorang penari topeng memborong tapel dalam jumlah banyak untuk dipentaskan sendiri. Ia adalah one man actor, memborong semua tugas dan peranan di dalam pertunjukan topeng itu. Topeng Pajegan ini merupakan perkembangan kesenian topeng pada kerajaan Gelgel. Topeng Panca, dinamakan demikian karena jumlah pemain atau penarinya sebanyak lima orang topeng panca merupakan perkembangan selanjutnya dari Topeng Pajegan yang muncul sekitar tahun 1924 di Blahbatuh. Topeng Sidhakarya, adalah sejenis tari topeng yang berfungsi simbolis bila ditilik dari penamaan “Sidhakarya”; Sidhanya (selesainya) karya (yadnya) yang sedang diselenggarakannya itu. Yaitu sebagai penutup upacara keagamaan. Selain itu berfungsi juga sebagai pengusir atau penolak bala yang mengganggu jalanya upacara. Topeng Bobondresan, perkembangan yang paling akhir dari kesenian topeng yang bukan menggambarkan tokoh sejarah seperti tiga jenis yang telah disebut diatas tapi lebih fungsinya sebagai “interprenter” sebagai hamba raja, seperti pelawak, dengan raut topeng yang dibuat lucu dan nakal. Wayang Wong, adalah sejenis
topeng yang mengambil tokoh yang disesuaikan thema cerita seperti Ramayana Tapel Wayang Wong juga disebut Barong Blasblasan, di mana hari-hari tertentu tapel-tapel itu dibawa berkeliling kedesa-desa yang disebut “ngelawang” berfungsi untuk menghilangkan penyakit di suatu desa dan mengusir roh-roh jahat. Barong dan Rangda, adalah jenis topeng yang mengambil atau menyerupai binatang dan denawa ( raksasa )
4.
Topeng Sebagai Unsur Rupa
Perkembangan seni topeng seiring dengan perkembangan wayang kulit,terutama dalam penggarapan ekspresi wajah manusia dimana stilasi bentuk bagian-bagian wajah dan dalam pewarnaan. Maka tercapailah rumusan perwujudan berbagai tipe perwajahan yang disebut wanda, seperti tipe kasar, tipe halus, tipe ksatria, tipe galak, tipe raksasa, tipe penakawan, tipe dewa dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut diatas antara topeng dan wayang terdapat persamaan perkembangan dalam pencitaan bentuk rupa. Unsur-unsur rupa yang dimaksud meliputi : titik garis, bidang, bentuk. Warna, tekstur dan sebagainya. Dalam hal ini yang dikaji dalam ini unsur rupa dalam topeng. 1.Garis Dengan garis dapat diciptakan berbagai wujud ( shape ). Wujud yang terbentuk oleh garis menimbulkan kesan gerak, arah, atau kekuatan seperti juga watak dari garis itu sendiri. Dalam
topeng karakter perwatakan dibentuk oleh garis sebagai kontur. Garis hadir pada wujud seperti mata, rambut, bibir, gigi, serta guratan kening pada topeng tua dan lain sebagainya. Peranan garis sangat menentukan dalam keberhasilan pembuatan topeng khususnya karakter topeng itu sendiri. 2.Bentuk Bentuk atau wujud dari sebuah benda menjadi nyata karena adanya kontur. Garis tepi inilah yang memberikan wujud dari suatu benda. Kapan kita memakai kata bentuk ( form ) dan kapan memakai kata wujud atau rupa (shape). Pada umumnya bentuk adalah manifestasi fisik dari benda hidup sedang wujud dari benda mati. Itulah sebabnya dalam seni rupa orang banyak menggunakan kata wujud daripada bentuk untuk memperjelas bahwa wujud adalah hasil ciptaan seniman atau manusia. Wujud dalam topeng yang dibuat oleh sangging ( seniman ) berasal dari berbagai sumber. Ada wujud yang berasal dari manusia, binatang, dewadewi, serta raksasa atau denawa. 3.Warna Warna dalam karya seni topeng mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu sebagai simbol dan perlambangan disamping sebagai nilai estetik. Warna merah melambangkan sifat yang suka marah dan galak, warna putih melambangkan sifat seperti lembut, bangsawan, dan suci. Warna dalam seni topeng dapat menentukan atau menunjuk karakter atau perwatakan yang dipunyai topeng.
Klasifikasi Topeng Klasifikasi topeng ditinjau dari segi perwatakannya biasanya dilakukan atas dasar ekspresi serta sifat-sifat
pembawaan topeng, biasanya digolongkan menjadi 6 golongan yaitu : Topeng Bagus dengan ciri-ciri sebagai berikut :mata sipit atau segi tiga tumpul memakai cunda manik atau urna didahi, sebagai simbol dari kebijaksanaan dan kewicaksanaan. Bibir senyum dengan gigi kelihatan Warna putih atau kehijauan yang melambangkan kesucian, kesuburan, atau kesejukan Topeng yang termasuk golongan ini seperti, topeng Arsa Wijaya atau topeng Dalem Topeng Manis, dengan ciri-ciri sebagai berikut : mata sipit senyum tanpa atau gigi kelihatan alis kecil memakai semi atau subeng warna putih atau putih kekuningkuningan simbol dari watak gembira, tenang, luhur simpatik, topeng yang termasuk golongan jenis ini adalah topeng Putri bangsawan atau topeng putri yang mempunyai sifat baik Topeng Aeng ( seram ), dengan ciri-ciri : Mata bulat atau dideling ( mendelik ) memakai alis dan kumis tebal gigi kelihatan Warna coklat atau merah tua, simbol dari watak keras, berani ataupun angkuh. topeng yang termasuk golongan ini adalah topeng yang berfungsi patih. Topeng Lucu, dengan ciri-ciri sebagai berikut : Mata bulat tetapi berlubang. Topeng hanya berwujud sebagian atau topo. Ekspresi lucu, seperti tuli, cungih ( sumbing ), pemabuk dan lain-lain. Warna coklat atau aneka sesuai dengan watak. Topeng yang termasuk jenis ini adalah penasar ( penakawan ) dan jenisjenis bebondresanTopeng Bagus Eang, dengan ciriciri :
Kombinasi antara Topeng Bagus dan Aeng. Topeng yang termasuk dalam golongan ini adalah pengelembar-pengelembar atau yang berfunsi sebagai Arya. Topeng Galak Manis, mempunyai ciri sebagai berikut : Label1 Mata deling ( mendelik ) Senyum tanpa gigi warna coklat alis mata dan kumis terbuat dari bok ( rambut ) centung, topeng yang termasuk dalam golongan ini seperti para Arya, dan Punggawa (pengawal) raja. Label1 Seni topeng jika ditinjau dari segi motif, memiliki lebih sedikit dari pada seni rupa seperti patung dan lukisan. Motif topeng terbatas hingga wajah atau muka manusia dan binatang saja, sedangkan patung dan lukisan dapat ditambah dengan dua motif lagi yaitu motif tumbuhan serta motif yang diciptakan manusia itu sendiri. Motif yang terdapat dalam topeng lebih sederhana, karena ekspresinya tak mungkin mengandung gerak sebagaimana patung, dan tak mungkin mengandung tema atau lakon sebagaimana halnya sebuah lukisan ( dramatik painting ). Dengan demikian motif topeng yang berlaku secara tradisi dapat digolongkan sebagai berikut : Motif manusia dan segala sesuatu yang dimanusiakan seperti : Dewa-Dewi, BetaraBetari, RaksasaRaksasi, dan sebagainya. Motif binatang dan segala sesuatu yang dibinatangkan seperti : Empas (kura-kura raksasa), Naga, Paksi atau Garuda, Singaambara, dan lain-lainnya. Dalam beberapa literatur segala sesuatu yang dimanusiakan disebut makhluk langit, sedangkan segala sesuatu yang dibinatangkan disebut binatang khayal
(takhyul). Bagaimana perwujudan topeng diperkirakan seperti halnya dalam penciptaan wayang merupakan perwujudan dari roh nenek moyang atau roh para leluhur mereka.
C. Topeng Sebagai Benda Seni 1. Kesinambungan Tradisi Seni Topeng Perkembangan kesenian khususnya seni topeng di Bali mengalami masa kejayaan pada masa Bali Hindu Klasik namun kesenian topeng sudah ada sejak jaman pra Hindu dan kesinambungan kesenian tersebut tetap masih berlangsung hingga sekarang. Pertunjukan topeng ini masih dapat kita saksikan pada hari-hari tertentu seperti, Topeng SangHyang Dedari atau SangHyang Legong yang dipentaskan didesa Ketewel Gianyar pada hari raya Pagerwesi dan di Desa Trunyan Kintamani kita dapat jumpai topeng Brutuk atau Betara Brutuk. Wujud topeng Brutuk ini mempunyai persamaan dengan topeng-topeng di Kalimantan Timur yang disebut Hudog. Topengtopeng tersebut merupakan salah satu warisan dari kebudayaan primitif dan dipertunjukan untuk penyembahan leluhur dan sepenuhnya dedikasi mereka terhadap leluhur. Perwujudan Topeng Brutuk raut muka yang bulat, mata sipit, gigi kelihatan, kontur yang kasar dan kaku untuk lebih memperlihatkan daya magis yang memancar diharapkan dari topeng tersebut. Berbeda dengan topeng SangHyang Dedari yang merupakan perwujudan dari wanita atau bidadari yang menampakan kontur yang lebih halus, mata tipe manis, bibir tanpa senyum, secara keseluruhan menampakan ekspresi dingin dan kaku namun memperlihatkan unsur magisnya.
Seperti ditulis oleh C.A. van Peursen ( Strategi Kebudayaan ), pada kebudayaan mitis, manusia dikuasai oleh alam pikiran mitologis, terpesona oleh daya-daya gaib alam dan tunduk kepadanya. Masyarakat model ini menganggap mitos merupakan bakat manusiawi Mereka juga menganggap alam ini penuh daya-daya gaib, penuh rahasia dan meresponnya secara primitif.
2. Kesinambungan kesenian topeng di Bali, selain merupakan jalinan tradisi prasejarah juga mendapat pengaruh dari luar seperti kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari India melalui Jawa juga mendapat pengaruh dari Cina. Hubungan kesenian antara Bali dan Cina diduga sudah berlangsung lama, dan dapat dipastikan bahwa nenek moyang dari berjenis barong yang ada di Bali berasal dari Singa Barong Cina yang muncul pada dinasti Tang, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-10. Saat itu singa barong merupakan pengganti pertunjukan singa sesungguhnya dari sirkus. Dipertunjukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan mengikuti festifal untuk mencari dana. Lalu oleh masyarakat di Bali diasosiasikan dengan Budha, Singa-Barong ini dipakai untuk upacara keagamaan seperti dalam pertunjukan Barong ngelawang ( keliling ) di Bali, barong ini dikenal dengan nama Barong Kedingkling. Seperti juga wayang, peranan topeng dalam kesenian adalag sebagai media komunikasi atau pendidikan sesuai dengan ajaran dan falsafah Hindu. Sebagai pertunjukan tari yang berfungsi agama dimana tokoh-tokoh cerita yang dimainkan adalah mengambil cerita-cerita Ramayana, Mahabrata dan panji disamping tema mitologi, legenda dan cerita sejarah.
Meskipun pembuatan topeng untuk tarian agama sudah ada sejak kebudayaan pra Hindu, tapi sukar memperoleh penjelasan bagaimana rupa topeng dari jaman Hindu. Sumber pengenalan dari perkembangan awal dari topeng Indonesia Hindu ialah dari kitabkitab sastra Hindu atau dari pahatan dinding candi. Dalam hal ini topeng Bali Klasik, seperti juga dalam lukisan dan wayang dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal kembali topeng Indonesia Hindu sebagai sarana tarian Klasik. Sebagai karya ukir atau pahat topeng dan wayang mempunyai persamaan dalam perkembangan dalam penciptaan bentuk rupa, kemungkinan berasal dari hiasan pahatan candi Jawa Timur kemudian diteruskan pada masa zaman Islam. Penciptaan wujud topeng yang diilhami dari relief candi nampak jelas terlihat dengan adanya pertunjukan topeng untuk wayang yang dikenal dengan sebutan Wayang Wong pada zaman kerajaan Mataram kuno di Jawa Tengah. Perwujudan suatu ekspresi topeng mengambil tokohtokoh dalam cerita Ramayana seperti : Sri Rama, Laksamana, Dewi Sinta, Hanuman, Rahwana dan lain sebagainya. Perkembangan atau gejala-gejala perubahan tradisi seni rupa India untuk menyesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan budaya Indonesia lebih nampak pada perkembangan seni rupa di Jawa Timur. Kecenderungan gaya wayang dengan stilasi bentuk tokoh cerita pada hiasan candi Jawa Timur menunjukan tradisi baru dalam seni hias Indonesia. Tidak hanya pada stilasi bentuk tapi juga dalam pengisian bidang haiasan yang penuh dan padat. Kenyataan ini dapat disimak padateknik pahatan hiasan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pahatan candi Jawa Tengah. Adegan cerita Ramayana yang dipahat pada Candi Penataran adalah contoh adanya perubahan tersebut. Kekayaan hiasan candi Jawa Timur selain adanya unsur lokal
seperti motif meander, tumpal, dan motif gunungandiperkaya dengan unsur luar seperti dari Cina yaitu motif awan dan bukit karang. Bagaimana proses pembetukan atau wujud topeng kemungkinan hampir sama dengan proses pembentukan wayang yang berasal dari relief atau hiasan candi. Hiasan candi tampil lebih mengarah pada gaya dekoratif, perwujudan stilasi manusia tidak kaku tetapi tampil dalam perwujudan yang penuh dengan dinamika, mengambil sumber wiracerita dari Hindu seperti Ramayana pada relief Candi Prambanan dan Candi Penataran, Mahabarata serta cerita Panji pada Candi Sakelir di Gunung Penaggungan, dan Candi Surawana dengan cerita Arjuna Wiwaha. Dari perwujudan tokoh-tokoh pada adegan cerita hiasan candi, kira-kira dapat dibayangkan bentuk dan rupa wayang dari zaman Hindu sebagai karya seni. Seperti telah disebutkan diatas bahwa wayang dan topeng mempunyai persamaan terutama dalam penggarapan ekspresi wajah manusia yang disebut dengan wanda, seperti tipe kasar, tipe halus, tipe galak dan sebagainya. Dalam seni lukis wayang Bali Klasik kita mengenal wanda ini yaitu : muka kemanisan, kekerasan, raksasa, wanita, dan muka tua dan perwujudan binatang. Topeng dan wayang dibuat diperkirakan merupakan lambang atau perwujudan dari arwah nenek moyang dan raja yang dianggap titisan dari Dewa dan Batara.
2.
Kesenian Dalam Masyarakat Bali Dalam perkembangan serta dinamika masyarakat Bali dalam berkesenian seperti diltulis oleh ilmuan C.A. van Peursen ( Strategi Kebudayaan, 1993 ) membagi kebudayaan dalam tiga
katagori yaitu : mitis, ontologis, dan fungsional. Di Bali sampai sekarang masih menampakkan masyarakat yang hidup dalam ketiga alam pikiran tersebut. Istilah kesenian atau seni dalam masyarakat Bali hampir tidak pernah kita temui, kesenian lebih bersifat mencoba mengidentifikasikan diri dari luluhnya bidangbidang kehidupan. Kegiatan kesenian tidak bisa lepas dari adat, mitologi, dan filsafat yang ada. Sulit untuk membedakan seni dan bukan seni. Sama luluh dalam kehidupan yang utuh, tidak bisa kita membedakan seni, ilmu dan teknologi. Pada awalnya seni bersifat sakral, kemudian kita lihat juga seni yang bersifat frofan. Disini sakral dikatakan lebih dahulu karena kegiatan seni awalnya memang lebih banyak ditunjukan kepada hal yang bersifat spiritual, gaib atau angker. Dalam tarian topeng Brutuk dan Topeng SangHyang Dedari dalam kehidupan mistisitu dua lingkungan menurut van Peursen : Dalam lingkungan pertama tarian bersifat sakaral berfungsi untuk menangkis mara bahaya, penyakit dan lain sebagainya, sedangkan dalam lingkungan yang kedua bersifat profan terjadi pada perbuatan sehari-hari. Masa era Bali Hindu Klasik alam pikiran mistis ini berbaur dengan agama Hindu yang datang dari Jawa, dalam cerita-cerita babad dilukiskan para raja berpedar wajahnya sebagai Dewa Wisnu dan Dewa Surya, sementara permaisuri diibaratkan sebagai Dewi Ratih. Topeng Gajah Mada yang berasal dari zaman Dalem Watu Renggong sekarang masih tersimpan di Pura Penataran di Blahbatuh diumpamakan juga pejelmaan Batara Wisnu. Dalam masa pemerintahan Dalem Watu Renggong ini kesenian yang mempunyai nilai mitologi ini berkembang seperti lukisan-lukisan wayang ( parba ) di langit-langit Kertha Gosa.
Sekalipun kita mengenal masyarakat Bali masih membaurkan subyek dan obyek akan tetapi kita tidak bisa memungkiri adanya keahlihan pada individu atau kelompok. Mereka belum sepenuhnya profesional dalam arti menggunakan keahlian itu sematamata untuk mendapatkan uang.,( Koetjoriningrat, 1975 : 20-21) Meskipun seseorang dianggap ahli dalam kesenian, bukan berarti ia tidak ahli dalam mengkaji fisafat atau agama. Keahlian-keahlian dalam masyarakat Bali itu berupa : Undagi : tidak bisa disamakan dengan seorang arsitek misalnya, kendatipun pekerjaannya sama-sama merancang bangunan. Seorang undagi harus tahu atau mengenal filsafat, mitologi, adat, lingkungan, daerahnya, sebelum merancang. Pekerjaan tidak saja merancang rumah akan tetapi juga merancang bade, wadah untuk ngaben, membuat planologi rumah, merencanakan bentuk serta lingkungan persembahyangan ( sanngah, pura ). Sangging : Seperti Undagi, seorang sangging harus mengguasai pula segala yang bersifat spiritual. Keahliannya dalam bidang lukisan, patung, topeng, wayang dan lain sebagainya. Pande : adalah ahli dalam membuat barang-barang dari logam. Selanjutnya kita mengenal pande emas. Pande besi, ahli barangbarang dari besi. Seperti telah diungkapkan diatas, ahli ini tidak saja melulu bekerja di bidang keahliannya. Pada waktu yang sama ia harus mampu bertani atau berkebun. Semua dikerjakan dengan kesungguhan yang tidak terlalu mementingkan imbalan uang dan ia tidak pernah menyatakan dirinya ahli atau seniman serta nama
sejenisnya. Yang dipentingkan adalah pengabdian pada Tuhan, masyarakat dan lingkungan alamnya.
D. Penutup Topeng senagai karya seni ukir tepatnya raut topeng, karena teknik pembuatan dengan pisau raut. Dalam perkembangannya seiring dengan perkembangan wayang kulit, terutama dalam penggarapan ekspresi wajah dan dalam pewarnaan. Sehingga melahirkan berbagai jenis karakter wajah yang disebut dengan wanda, karena antara topeng dan wayang memiliki persamaan dalam penciptaan bentuk. Topeng dalam kesenian Bali Klasik mengalami perkembangan, dan mengalami puncaknya sejak jatuhnya Majapahit akibat datangnya Islam ke Indonesia. Tradisi kesenian Jawa Timur yang telah mengalami sintesa berlanjut di Bali dan beralkurasi dengan budaya setempat. Hal tersebut memperkaya bentuk-bentuk kesenian yang ada. Pada era ini, tepatnya zaman pemerintahan Dalam Watu Renggong banyak melahirkan topeng dalam bentuk drama tari seperti : topeng Pajegan, Topeng Panca, Wayang Wong sampai yang termuda Topeng Bebondresan dapat diperkirakan merupakan kesinambungan tradisi jaman tersebut. Topeng begitu juga wayang sebagai drama tari yang dipertunjukan untuk agama juga merupakan media pendidikan sesuai dengan ajaran dan falsafah agama Hindu. Dimana tokohtokoh yang dimainkan biasanya mengambil cerita seperti Mahabrata dan Ramayana serta panji dan juga mengambil cerita mitologi, legenda dan sejarah. Walaupun topeng sebenarnya telah ada sejak zaman pra-Hindu namun topeng yang pada zaman Bali Klasik yang keberadaan dan wujudnya kita kenal sampai sekarang
ini, digunakan untuk menyelusuri topeng khas Indonesia itu. Karena proses topeng diperkirakan mempunyai kemiripan dengan proses wayang berasal dari hiasan-hiasan atau relief candi-candi di Jawa Timur. Dimana periode ini unsur-unsur lokal Indonesia sudah menampakan diri, penggayaan ornamen lebih dekoratif, komposisi penuh, stilasi figuratif lebih dinamis. Kesenian dalam masyarakat Bali tak akan lepas dari agama dan adat istiadat, kesenian luluh dalam masyarakat. Seni menjadi tugas dan milik setiap orang tidak ada kata seni dan seniman dalam kehidupan budaya Bali. Masyarakat yang terbuka dan menerima nilai-nilai baru diajadikan miliknya, walaupun sekarang telah mengalami penggeseran akibat modernisasi dari Barat melahirkan Baru. Namun kesinambungan seni tradisi seni pra-Hindu kemudian Bali Hindu Klasik tetap berlangsung sampai sekarang. Topeng dalam kesenian yang erat kaitannya dengan upacara baik yang sifatnya sakral dan profan juga mengalami pergeseran sekarang sudah dijadikan produk komuditi akibat perkembangan arus pariwisata.
Terapan Konsep Bangunan Tradisional Bali pada Objek Rancang-Bangun Karya Popo Danes Abstrak—Nilai budaya sebagai jati diri bangsa semakin hari semakin memudar, bahkan sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Kemajuan teknologi dan perkembangan informasi yang semakin pesat perkembangnya membuat masyarakat lebih memusatkan perhatiannya kepada berbagai produk teknologi dari pada berbagai obyek budaya bangsa. Popo Danes merupakan salah satu arsitek dan desainer Indonesia yang memiliki kecintaan terhadap budaya indonesia, khususnya budaya Bali. Popo Danes banyak menerapkan kecintaannya tersebut ke dalam berbagai karya desainnya. Permasalahannya adalah di zaman modern seperti sekarang ini, sudah jarang sekali kita melihat bangunan yang mencitrakan budaya bangsa Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengkaji terapan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, khususnya budaya Bali dari tiga objek kajian rancangan Popo Danes yang dipilih, dengan menggunakan lima batasan konsep bangunan tradisional Bali sebagai tolak ukur atau paramternya. Penelitian ini dilakukan dengan menguunakan motode penelitian kualitatif deskriptif untuk menjelaskan secara rinci setiap keadaan yang menyangkut dengan rancangan Popo Danes yang memiliki keterikatan dengan ciri bangunan tradisional Bali. Hasil analisis menunjukkan yakni : Kesimpulan yang pertama, ketiga objek kajian memiliki perbedaan dalam penerapan konsep bangunan tradisional Bali. Dan kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa Popo Danes selalu menerapkan konsep bangunan tradisional Bali dalam setiap rancangannya meskipun dalam kadar yang berbeda-beda antara satu bangunan dengan bangunan lainnya.
I. PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang kaya akan suku bangsa, dan budaya. Namun kemajuan teknologi dan modernisasi yang terjadi membuat masyarakat lebih senang mengikuti kemajuan teknologi tersebut daripada melestarikan budaya bangsa yang adalah jati diri bangsa. Dampaknya adalah semakin memudarnya budaya tersebut dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Semakin pudarnya kebudayaan Indonesia ini dapat dilihat dalam berbagai aspek,salah satunya adalah berkurangnya jati diri bangsa Indonesia dalam bentuk arsitektur dan interior di Indonesia. Pada kenyataannya beberapa daerah memang masih mempertahankan tipe desain yang mengandung nilai-nilai budaya, namun sebagian besar sudah lebih memilih tipe desain yang modern minimalis tanpa adanya nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Popo Danes adalah salah satu arsitektur senior Indonesia yang sangat mencintai budaya Indonesia, khususnya budaya Bali, yang adalah tempat kelahirannya. Popo Danes telah mewujudkan kecintaannya terhadap budaya Bali dalam berbagai karya arsitekturnya di Bali Konsep tropis dan “green” adalah konsep utama yang selalu menjadi trademark seorang Popo Danes dalam mendesain sebuah arsitektur bangunan. Popo Danes menggunakan pendekatan budaya ini untuk menghasilkan karya yang green dan ramah lingkungan. “Menggunakan pendekatan budaya artinya kita akan menggunakan materialmaterial alam di daerah kita sendiri yang dampaknya akan sangat dapat menggurangi penggunaan energi sehingga kita dapat sekaligus melestarikan alam daerah tempat kita membangun”, Popo Danes begitu peduli dengan sumber daya alam yang ada di Indonesia khususnya sumber daya alam di
Bali. Membesarkan ukuran dan skala tradisional Bali, membubuhkan unsur-unsur modern ke dalamnya dan merefungsionisasi kegunaannya merupakan cara seharusnya ditempuh dalam menciptakan bangunan-bangunan modern yang memiliki nilai budaya (Akmal, 2011, hal.10). Namun yang paling sering terjadi hari ini adalah bukan membubuhkan unsur-unsur modern pada bangunan tradisional, tapi masyarakat mendirikan bangunan baru, modern, tetap beratapkan limas, yang kemudian dibubuhi ikon-ikon tradisional dengan sangat kental. Hampir seluruh bangunan institusi pemerintah, bank, hotel, pertokoan, pusat perbelanjaan, sekolah, perumahan, dan lain-lain tampil dengan gaya arsitektur baru itu, didukung dengan adanya peraturan daerah tentang pendirian bangunan di Bali yang harus diikuti. Berada diantara kedua kutub itu, mendorong Popo Danes untuk selalu mengusung bangunan-bangunan tropis berbudaya lokal sebagai pelajaran dari tempat kami berpijak, namun juga selalu menjadi bagian dari sebuah perubahan global yang bergerak tanpa henti (Akmal, 2011, hal.11). Desain-desainnya yang berbasis pada nilai-nilai budaya dan lingkungan inilah yang membuat Popo Danes dikenal sebagai desainer yang sangat peduli terhadap jati diri bangsa Indonesia. Selain itu, desainnya yang menyatu dengan alam membuat Popo Danes juga dikenal sebagai salah satu arsitektur yang peduli dengan pelestarian lingkungan di Indonesia, khususnya alam di Bali. Banyak penghargaan yang telah diraih Popo Danes. Penghargaan pertamanya telah ia raih sewaktu masih duduk di bangku kuliah di tahun 1986, yaitu sebagai pemenang dalam sayembara Desain Arsitektur pesta kesenian Bali. Kemudian ia meraih penghargaan IAI Nasional Award kategori arsitektur tahun 2002 atas karyanya
“Natura Resort &Spa”. Ia juga menjadi nominasi The Aga Khan Award for Architecture di tahun 2004 dan architectural Citation dari IAI untuk bangunan komersial dan konservasi di tahun 2005. Perhatiannya terhadap green arsitektur juga membawanya membagi beberapa penghargaan lain, diantaranya ASEAN energy award tahun 2004 untuk kategori bangunan tropis atas karyanya “Nature Resort & Spa” dan juga di tahun 2008 untuk penghargaan sejenis atas karyanya “Ubud Hanging Gardens”. Selain Arsitektur, Popo Danes menaruh perhatian pula pada seni dan budaya. Kegiatan seni dan budaya Popo Danes dengan mendirikan “Galery Seni Danes Art Veranda” di Bali pda tahun 2002. “Wayang Wong Purwa Sidhi” di Banyuatis Bali untuk melestarikan pusaka warisan karya keluarga, dan majalah Bogog Bali Cartoon pada tahun 2005 dan dewan Penasehat Badan Pelestari Pusaka Indonesia (PBPI) (Akmal, 2011, Hal. 159). Dari sekian banyak karya Popo Danes, dua karya Popo Danes yang dipilih sebagai objek penelitian dan Analisis adalah The Long House Villa dan Museum Pasifika. Kedua bangunan ini merupakan dua jenis bangunan yang berbeda jenis. Perbedaan inilah yang ingin dijadikan perbandingan penerapan konsep Arsitektur Tradisional Bali di dalam setiap karya Popo Danes. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah jenis Penelitian Karya Desain dan Seni Rupa. Penelitian ini biasanya berwujud tinjauan karyakarya seniman besar legendaris, karya-karya bermasalah, karya-karya sebagai tanda zaman, proses transformasi budaya, karya seni dan desain, karya-karya unik, karya yang mengubah peradaban, dan sebagainya (Anas, 2000, hal.3) Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menyajikan atau menggambarkan subyek dan
obyek penelitian pada saat sekarang sesuai dengan yang tampak dan bagaimana adanya. Metode pengumpulan datanya dengan dua cara yaitu dengan studi lapangan dan studi pustaka. Studi lapangan sendiri dilakukan dalam dua cara yaitu observasi ke objek penelitian dan mewawancarai mengadakan tanya jawab secara langsung dengan narasumber representatif dan pihakpihak yang terkait untuk mengumpulkan keterangan yang lengkap dan terpercaya. Analisa data dilakukan dalam tiga tahap. Yang pertama adalah Pengelompokkan data berdasarkan batasan-batasan konsep desain dari rumah adat Bali yang telah dibuat. Yang kedua adalah menganalisis data menggunakan pendekatan kualititif berdasarkan aspek batasan-batasan konsep desain dari rumah adat Bali. Dan yang ketiga adalah mengklasifikan hasil analisis dalam beberapa tabel berisi batasan-batasan desain rumah adat Bali yang dijadikan acuan. Penarikan kesimpulan dilakukan mengacu pada tabel analisis umum yang menjelaskan terapan batasan-batasan desain rumah adat Bali dari masing-masing objek. Kesimpulan disajikan dalam bentuk narasi untuk memperjelas hasil analisis dari ketiga objek. Dari hasil tersebut dapat diketahui pola rancang bangun Popo Danes pada karya desainnya, sekaligus mendasari jawaban atas rumusan masalah yang ada. Batasan-batasan konsep bangunan tradisional Bali yang dipakai untuk menganalisis objek rancang bangun karya Popo Danes adalah sebagai berikut : 1. Pola zoning rumah tradisional Bali yang berdasarkan kepada pola Tri Mandala dan tipologi ruang/massa bangunan Bali 2. Elemen pembentuk ruang pada bangunan tradisional Bali, yaitu elemen lantai, dinding, dan plafon. 3. Elemen-elemen pendukung ruang pada bangunan tradisional Bali (Pintu, Jendela)
4. 5.
Ragam hias khas Bali Material khas bangunan tradisional Bali
III. DISKUSI DAN ANALISIS A. The Long House Villa The Long House Villa terletak di daerah Jimbaran, tepatnya di jalan Gua Gong. Villa The Long House. Villa The Long House dibangun pada tahun 2007 oleh Popo Danes atas permintaan sang pemilik, seorang turis asal Belanda yang lama tinggal di Amerika Serikat, Linda Nederkoorn. Popo Danes awalnya merancangnya di atas tanah utama di daerah Gua Gong ini, namun Popo Danes lebih tertarik untuk mengolah tanah yang kondisinya ‘sulit’ ini. Ketertarikannya muncul karena ia melihat adanya potensi site, yaitu pemandangan yang spektakuler dari atas bukit ke arah laut, serta runaway pesawat terbang yang ada di seberangnya. Pada akhirnya Popo Danes memutuskan untuk merancang site ini bukan sebagai extension, melainkan bangunan utama. The Long House Villa memiliki arah orientasi Selain arah hadap (orientasi) bangunan yang benar, The Long House Villa juga memiliki tata layout rumah yang tepat sesuai konsep tata nilai tradisional Bali, baik secara horizontal maupun secara vertikal. Hal ini dapat diapt dilihat bahwa sirkulasi The Long House Villa terdiri atas tiga pola nilai yaitu publik, semi publik, dan privat yang didasarkan pada pola Tri Mandala yang terdiri atas area nista, madya, dan utama (Arrafiani, hal. 34) Dari segi elemen pembentuk ruang (lantai, dinding, dan plafon), ada beberapa titik area yang
dirancang sesuai dengan konsep elemen struktur pembentuk bangunan tradisional Bali. The Long House. Pada bagian plafon (kepala), beberapa kamar atau ruang yang mengaplikasikan bentuk plafon yang sesuai dengan konsep bangunan tradisional Bali adalah pada dua area balkon di lantai 4, ruang makan, dan pada kamar bertema kebudayaan Bali. Dimana pada bangunan tradisional Bali plafon adalah bentuk struktur ekspos dari atapnya yang tidak ditutupi ragam hias. Pada pintupintu lain yang terdapat di dalam bangunan terdapat pengaplikasian ciri bangunan tradisional Bali seperti penggunaan frame pintu, penggunaan ragam hias, serta daun pintu yang berjumlah dua buah. Pada pintu di area kamar tidur bertema kebudayaan Bali dan Lombok, pada kusen pintu terdapat frame dengan ragam hias yang menghiasinya dan daun pintu berjumlah dua buah juga dengan ragam hias menghiasi daun pintu tersebut. Pada Lift terdapat hiasan gelung pada bagian atas pintu lift. Jendela di area security juga memiliki ciri jendela yang terdapat pada bangunan tradisional Bali, yaitu kusen jendelanya berlapis, memiliki frame, dan pada kusen, frame, serta daun jendelanya terdapat ragam hias. Unsur terakhir yang terdapat bada sebuah bangunan tradisional Bali adalah adanya ragam hias. Pada The Long House Villa, ragam hias dapat ditemui pada dedelog (bagian ujung atap), frame pintu, daun pintu, kusen jendela, serta frame jendela. Pada The Long House Villa terdapat penggunaan material yang sesuai dengan konsep penggunaan material pada bangunan tradisional Bali, dimana menggunakan material alam secara jujur tanpa menutupi tekstur dan warna aslinya. Hal ini terlihat pada penggunaan batu paras pada dinding, material batu kali pada
lantai, struktur atap yang menggunakan kayu, bambu, dan alangalang, serta pintu dan jendela yang menggunakan material kayu. B. Museum Pasifika Museum Pasifika didirikan atas prakarsa dua rekan bisnis, Philippe Augier dan Moetaryanto, yang ingin mempersembahkan sesuatu sebagai wujud dedikasi mereka terhadap bidang seni dan budaya di Bali. Museum Pasifika sendiri dibangun dengan fokus untuk menampilkan koleksi karya pelukis-pelukis asing diantaranya yang pernah bermukim serta berkarya di Bali dan juga pernah tinggal di daerah Pasifika Selatan, sehingga museum ini dinamkan Museum Pasifika. Bangunan dan ruang-ruang museum dibagi dalam beberapa tema, seperti pembabakan seni rupa berdasarkan peta asal negaranegara para senimannya. Salah satu contohnya adalah ruang bagi seniman dengan background negara Italia, Perancis, Belanda, dan sebagainya. Masterplan bangunan dirancang dengan pola compound yang mengambil tipologi masterplan arsitektur tradisional Bali. Museum Pasifika terletak pada bagian selatan pulau Bali, karena itu orientasi arah hadap yang sesuai dengan konsep Tri Mandala adalah berorientasi ke arah barat laut dari arah tenggara. Pola zoning dan grouping pada layout Museum Pasifika sangat sesuai dengan aturan Tri Mandala, dimana semua area service menempati area bagian depan, yang merupakan area nista. Ruang pamer terletak di bagian tengah layout Museum dan merupakan area aktivitas atau merupakan area madya. Ruang pamer VI yang berisi sekumpulan patung barong yang disakralkan, sehingga merupakan area Utama. Hal ini membuktikan bahwa sirkulasi Museum Pasifika terdiri atas tiga pola nilai yaitu publik, semi publik, dan privat yang didasarkan
pada pola Tri Mandala yang terdiri atas area nista, madya, dan utama (Arrafiani, hal. 34). Museum Pasifika menerapkan ketiga unsur pembentuk interior yaitu lantai, dinding, dan plafon atau pada bangunan tradisional Bali dikenal dengan istilah kepala, badan, dan kaki. Elemen pendukung interior pada Museum Pasifika terdapat hanya pada pintu. Karena bangunan museum memiliki standart intensitas cahaya yang sangat minim dalam ruang, sehingga setiap bangunan museum sebaiknya tidak menggunakan jendela pada bangunannya. Hal ini juga diterapkan oleh Museum Pasifika yang tidak memiliki jendela untuk mengurangi masuknya matahari ke dalam bangunan. Karena itulah tidak ada pengaplikasian bentuk jendela khas pada bangunan tradisional Bali yang diaplikasikan pada Museum Pasifika. Elemen pendukung interior atau pintu pada Museum Pasifika ini memiliki ciri khas dan bagian-bagian yang sama seperti yang ada pada pintu bangunan tradisional Bali. Ciri-ciri tersebut mencakup adanya dinding luar pintu yang tebal dan tinggi yang disebut dinding Pengawak Gede, kusen pada pintu yang berlapis-lapis yang disebut Teturun dengan jumlah ganjil yaitu berjumlah 3 lapis, dan pintu yang berjumlah 2 buah, ragam hias pada kusen berlapis, serta terdapat ragam hias Padu raksa dan Astha Pada pada daun pintu yang merupakan stilasi dari bentuk kembang. Bagian-bagian yang detail pada pintu tersebut merupakan ciri khas dari bentuk pintu dan jendela pada bangunan tradisional Bali (Gelebet, et.al. , hal. 93) Pengaplikasian ragam hias pada Museum Pasifika ini terbilang sangat minim. Hal ini dikarenakan fungsi dari museum sendiri, yaitu untuk memamerkan lukisan dan bendabenda hasil kesenian
lainnya, sehingga rancangan arsitektur dan interiornya dibuat minimalis dan minim ragam hias sehingga tidak mendominasi benda-benda pamer yang dipamerkan. Penggunaan ragam hias hanya terlihat pada relief padu raksa dan asta pada pada daun pintu yang menggambarkan bentuk kelopak (Studi Tour Bali 20-22 Januari 2008, hal. 81) Material yang dipakai ada yang sudah mengarah ke arah materialmaterial modern dan ada yang masih menggunakan material alam. Hampir semua plafon pada area museum telah menggunakan material tripleks dengan finishing cat. Seluruh dinding dalam adalah dinding batako dengan finishing cat. Namun pada dinding luar bangunan menggunakan material bata ekspose. Material alam yang dominan digunakan pada material lantai, yaitu kayu ulin pada balkon, patu padas pada teras bangunan, serta lantai teracota pada cafe museum. pintu yang menghadap ke arah utara dan letak seluruh area servis yang merupakan area yang bersifat publik menempati area nista yang ada pada pola nista pada aturan Tri Mandala, area aktivitas seperti ruang makan dan ruang tamu yang merupakan area yang bersifat semi publik menempati area madya sesuai dengan aturan tata nilai ruang yang ada pada aturan Tri Mandala, sedangkan ruang tidur utama, toilet utama, serta ruang keluarga yang merupakan area privat menempati area utama sesuai tata nilai pada bangunan tradisional Bali Selain menerapkan pola penataan layout secara horizontal, penataan tata nilai massa juga diterapkan secara vertikal, yaitu dengan menempatkan area madya di lantai 2, di atas area Pada ruang ini tidak terdapat plafon, atap terbuka dengan lubang angin, ditutupi polycarbonate dan kain putih membuat cahaya
matahari dan udara masuk secara lebih maksimal, sehingga suasana seperti di luar ruangan. Suasana luar ruangan ini kemudian menerjemahkan area ini sebagai natah atau taman central yang merupakan halaman utama yang menjadi pusat Konsep modern yang membungkus pemaknaan konsep bangunan tradisional Bali berdampak pada tidak adanya penggunaan ragam hias pada Renon House sama sekali. Semua elemen interior mulai dari elemen pembentuk ruang yaitu lantai, dinding, plafon hingga elemen pendukung ruang yaitu pintu dan jendela sama sekali tidak menggunakan ragam hias sebagai pelengkap ciri bangunan tradisional Bali. Setiap bentukan tampil secara minimalis utuk mendukung konsep modern yang merupakan konsep utama dalam perancangan bangunan serta interior Renon House ini. Pada Renon House terdapat penerapan material yang sesuai dengan material-material yang digunakan pada bangunan tradisional Bali. Semua material pintu dan jendela menggunakan jenis kayu nangka, sedangkan material lantai menggunakan material batu kali dan parket kayu. Material lainnya sudah merupakan material modern dan bukan lagi merupakan material alam. Dari uraian panjang di atas terhadap tiga karya Popo Danes yang dijadikan sampel, kita dapat melihat bahwa pengamplikasian konsep bangunan tradisional Bali ada pada ketiga bangunan tersebut, meskipun tidak semua banguan mengaplikasikannya secara utuh. The Long House Villa mengaplikasikan 5 konsep, Museum Pasifika mengaplikasikan 4 konsep secara tidak utuh, dan Renon House hanya mengaplikasikan 1 konsep.
IV. KESIMPULAN terdapat pada pintu. Sedangkan pada Renon House pengaplikasiannya hanya ada pada dua aspek, yaitu aspek pola zoning dan tipologi ruang serta konsep penggunaan material. Dari hasil analisis tabel ini didapatkan sebuah perbandingan yang menyatakan bahwa Renon House memenuhi konsep yang ada, Museum Pasifika hampir memenuhi semua konsep, dan Renon House hanya memenuhi dua konsep. Dari penjabaran di atas, dapat dilihat bahwa PoPo Danes selalu berusaha menerapkan nilai-nilai budaya Indonesia, khususnya nilai kebudayaan Bali dalam setiap rancangannya. Meski demikian, kadar penerapan konsep bangunan tradisional Bali berbeda antara satu bangunan dengan bangunan lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan tipe bangunan, fungsi bangunan, serta faktor lainnya. Dari keempat konsep bangunan Bali yang dirumuskan, The Long House Villa menerapkan keempat konsep tersebut, Museum Pasifika hanya menerapkan empat konsep namun tidak secara utuh. , dan Renon House hanya mengaplikasikan satu konsep dari keempat konsep tersebut. Perbedaan kadar konsentrasi penerapan konsep bangunan tradisional Bali pada bangunan-bangunan tersebut adalah karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain karena adanya perbedaan jenis bangunanan dan adanya perbedaan konsep rancangan dari para owner bangunan yang satu dengan bangunan yang lainnya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, secara umum, dunia arsitektur dan interior memiliki peran dan andil yang kuat dalam ikut melestarikan budaya bangsa dalam mempertahakan cirinya sebagai bangunan-bangunan khas Indonesia. Secara khusus, Popo Danes telah mampu membuktikan bahwa setiap rancangannya adalah rancangan yang
tidak hanya sebuah bangunan tetapi juga juga merupakan bentuk aplikasi kecintaannya terhadap budaya Indonesia.
PENDOKUMENTASIAN APLIKASI RAGAM HIAS BUDAYA BALI, SEBAGAI UPAYA KONSERVASI BUDAYA BANGSA KHUSUSNYA PADA PERANCANGAN INTERIOR ABSTRAK Kekayaan ragam hias yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, berasal dari berbagai suku di seluruh pelosok Nusantara. Sebagai hasil dari budaya tangible (berwujud) ragam hias umumnya mempunyai makna tertentu yang pasti dan tidak berubah pengertiannya sepanjang zaman. Bali merupakan salah satu suku di Nusantara yang kaya akan seni ragam hias yang menarik dan merupakan salah satu destinasi pariwisata paling populer di Indonesia. Ragam hias Bali umumnya berupa hasil ukiran pada papan kayu yang dapat dijumpai pada tiang, jendela ataupun pintu. Keindahan alam di Bali tidak hanya sebagai sumber inspirasi dari warna ukiran namun juga berbagai bentuk yang telah disederhanakan pada ragam hiasnya. Selain itu bentuk ornamen yang mengambil motif floral dan fauna sangat mudah diaplikasikan sebagai elemen interior pada bangunanbangunan modern. Umumnya makna yang terkandung dari ragam hias ini mempunyai arti yang erat kaitannya dengan budaya dan tatanan adat istiadat masyarakat Bali. Sehingga dalam penerapannya perlu diperhatikan lebih jauh tentang makna simbol dari ragam hias tersebut.
PENDAHULUAN Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang berasal dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Sabang hingga Merauke memberikan ragam warna budaya, bahasa serta adat istiadat yang berbeda bagi masyarakat Indonesia, walapun begitu nuansa ketimuran tetap menjadi jiwa dari budaya Indonesia. Upaya pelestarian budaya Indonesia perlu dilakukan untuk menjaga identitas bangsa, menjaga kesatuan rakyat Indonesia serta mempertahankan nilai-nilai luhur perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya. Sehingga keanekaragaman budaya Indonesia tetap menjadi kebanggaan generasi penerus di masa yang akan datang. Beribu-ribu pulau di Indonesia yang memberikan warna budaya Nusantara hanya ada satu pulau yang namanya sudah berkumandang di seluruh dunia, yaitu pulau Bali. Sebagai salah satu destinasi utama wisata di dunia, pulau Bali yang juga dikenal dengan Pulau Dewata memiliki keindahan alam serta ritual budaya yang menarik perhatian wisatawan baik mancanegara maupun domestik. Penduduk pulau Bali yang berjumlah sekitar empat juta jiwa ini mayoritas adalah pemeluk agama Hindu. Masyarakat Bali memiliki beragam tradisi yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Ritual yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari menjadikan budaya Bali terus bertahan sampai dengan hari ini. Keterampilan para pengrajin kayu di Bali menghasilkan ukiranukiran yang indah dan banyak diaplikasikan pada bangunanbangunan Bali, diantaranya adalah pada tempat ibadah dan rumah-rumah tradisional Bali. Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa
ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan simbolsimbol dan penyampaian komunikasi. Bentuk-bentuk ragam hias dari jenis flora fauna juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam patung.
Upaya pemerintah Indonesia dalam melestarikan serta mengembangkan tradisi kebudayaan daerah tertuang pada TAP MPR RI no IV/MPR/1999 yang membahas masalah sosial budaya Indonesia, yaitu sebagai salah satu warisan budaya yang patut dilestarikan, ragam hias tradisional adalah aset yang sangat potensial untuk dikembangkan. Ragam hias Nusantara terdapat dalam bentukbentuk dasar yang sama namun mengalami berbagai perubahan dan variasi yang khas untuk setiap daerah. Dalam karya kerajian atau seni Nusantara sering kali terdapat makna spiritual yang dituangkan dalam aneka model ragam hias.
Ragam hias tradisional dapat diaplikasikan sebagai unsur dekoratif maupun konstruktif dalam dunia desain interior. Penerapan ragam hias pada interior seringkali mengalami perubahan dan pengembangan baik dari segi bentuk, pola, material, teknik pembuatan serta warna yang berbeda dengan ragam hias aslinya. Dalam perkembangannya aplikasi ragam hias tradisional ini harus tetap dipertahankan makna tradisional yang terkandung di dalamnya. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan terhadap makna ragam hias yang tidak sesuai penempatannya, sehingga memiliki arti yang berbeda dan salah. Penelitian terhadap ragam hias ukiran Bali ini dilakukan dengan
pendokumentasian aplikasi ragam hias tradisional Bali yang diterapkan pada fasilitas publik yaitu restoran.
HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi Bali Provinsi Bali meliputi 0.3% dari seluruh daratan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Luas wilayah provinsi Bali adalah 5.636,66 km2, dan terletak diantara Jawa dan Lombok, pulau dengan jumlah penduduk sejumlah 4 juta jiwa lebih ini mayoritas penduduknya menganut agama Hindu (Picard, 2006). Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian serta perikanan. Bali juga dikenal dengan karya seninya yang berupa lukisan serta ukirannya, sehingga penduduknya banyak yang menjadi seniman.Pulau Bali terletak di 8°25′23″ Lintang Selatan dan 115°14′55″ Bujur Timur sehingga beriklim tropis seperti seluruh bagian wilayah Indonesia lainnya.Wilayah pulau Bali berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur (bagian Barat), Provinsi Nusa Tenggara Barat (bagian Timur), Samudra Indonesia (bagian Selatan) dan Laut Bali (bagian Utara).Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten, 55 kecamatan dan 701 kelurahan.
Bahasa yang digunakan oleh penduduk Bali adalah bahasa Indonesia, namun umumnya penduduk Bali yang bekerja di sektor pariwisata menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama, sebagian dari mereka juga memahami bahasa Jepang. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan yang besar dari industri pariwisata karena para wisatawan mancanegara yang datang ke
pulau Bali banyak yang berasal dari Australia, Belanda, Jerman dan Jepang.Bahasa Bali juga masih banyak digunakan oleh penduduk setempat untuk berkomunikasi.Secara tradisi, penggunaan berbagai dialek bahasa Bali ditentukan berdasarkan system catur warna dalam agama Hindu Dharma.
Di tengah-tengah pulau Bali terbentang pengunungan yang memanjang dari arah barat ke timur. Pada bagian utara pulau Bali merupakan daeran pegunungan dan gunung Agung merupakan gunung berapi tertinggi di Bali, sementara bagian selatan pulau Bali adalah dataran rendah yang dialiri dengan sungai-sungai. Provinsi Bali memiliki 4 buah danau yang berlokasi di daerah pegunungan, yaitu danau Bedugul, Buyan, Tamblingan dan Batur.Keindahan alam di pulau Bali inilah yang menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi utama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Ibu kota Bali adalah Denpasar, sementara tempat-tempat lain yang terus berkembang sebagai daerah pariwisata adalah Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua. Wilayah Ubud, kabupaten Gianyar dikenal sebagai pusat seni dan peristirahatan. Keindahan alam pulau Bali, didukung oleh kekayaan peninggalan budaya yang berupa candi-candi, istana kerajaan, museum serta berbagai peninggalan tradisional yang memiliki nilai sejarah.
Kebudayaan Bali mendapat pengaruh yang kuat dari kebudayaan India. Kerajaan Majapahit (1293-1500) yang beragama Hindu berpusat di pulau Jawa, saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang akhirnya menyebabkan keruntuhan kerajaan Majapahit. Pada masa itu, banyak bangsawan, pendeta dan masyarakat Hindu lainnya yang
menyingkir dari pulau Jawa ke pulau Bali. Oleh karena itu orang Bali memandang dirinya sebagai pewaris kebudayaan Hindu yang telah ditinggalkan oleh tetangga-tetangganya di pulau Jawa. Di masa penjajahan Belanda, hanya sedikit gubernur Belanda yang memerintah memberikan pengaruhnya di pulau ini, sehingga pengendalian lokal terhadap agama dan budaya umumnya tidak berubah.Kebudayaan Bali pada hakikatnya berasal dari konsep keagamaan yang mengatur tingkah laku manusia yang dilandasi oleh agama Hindu (Laksemi, 2006). Bagi masyarakat Bali karya seni apapun wujudnya adalah refleksi kehidupan masyarakat dalam upaya mengungkapkan nilai yang mengandung keindahan, kemanusiaan, rasa bakti serta keselarasan antara lahir dan batin. Bangunan Tradisional Bali Bangunan tempat tinggal bagi masyarakat Bali dibangun sesuai dengan aturan Asta Kosala Kosali (bagian Weda yang mengatur tata letak ruangan dan bangunan layaknya fengshui dalam budaya Cina). Dalam filosofi masyarakat Bali, harmonisasi hidup akan tercapai apabila terwujud hubungan yang baik antara aspek pawongan (penghuni rumah), palemahan (hubungan baik antara penghuni rumah dengan lingkungannya) dan parahyangan. Oleh karena itu pembangunan sebuah rumah perlu memperhatikan aspek yang disebut dengan Tri Hita Karana.
Motif Ragam Hias Budaya Bali Pada umumnya bangunan atau arsitektur tradisional daerah Bali selalu dipenuhi hiasan, berupa ukiran, peralatan serta pemberian warna. Ragam hias tersebut mengandung arti tertentu sebagai ungkapan keindahan, simbol-simbol dan penyampaian komunikasi (Davison, Enu, Granquist, 2003). Namun saat ini ragam hias Bali sudah mulai beradaptasi dengan perkembangan zaman yang pengaruh modernisasi serta pabrikasi telah mengutamakan kepraktisan dan fungsi. Motif ragam hias Bali pada dasarnya hampir sama dengan ragam hias Padjajaran, ragam hias ini dinamakan Patre Punggel yang umumnya terlihat di Pura sebagai hiasan di pintu masuk.
Ragam hias Patre Punggel terdiri atas: (1) Bagian Pokok; merupakan perpaduan bentuk cekung dan cembung serta campuran daun ukuran besar atau tanggung, sehingga dari bentuk daun dapat diketahui jika daun ini adalah motif ukiran Bali. (2) Pokok Daun; merupakan sehelai daun yang tumbuh di tengah daun lainnya dan tertutup oleh angkup. Batas dan garis pokok berhimpitan dengan ulir muka dan masuk pada angkupnya. (3) Angkup; merupakan sehelai daun yang menutup daun pokok dari pangkal hingga ujung, dan pada ujung daunnya berulir. (4) Sunggar; sehelai daun yang tumbuh membalik di muka berbentuk krawingan yang pokoknya tumbuh dari ulir bagian benang. (5) Endong; sehelai daun yang selalu tumbuh di belakang daun pokok yang berbentuk cempalukan berulir atau daun punggel. (6) Trubusan; sehelai daun tambahan yang tumbuh di bagian ujung atas daun pokok sehingga menambah keindahan dari daun tersebut. (7) Simbar; sehelai daun tambahan yang tumbuh pada daun besar atau daun pokok di bagian bawah berdampingan dengan tangkai angkup. (8) Pecahan; suatu cawenan yang memisahkan daun pokok, terletak di tengah-tengah daun dan menambah baiknya dari suatu motif Bali.
Keaslian ragam hias Bali sudah mulai jarang digunakan terutama pada bangunan publik, namun prinsip dari ragam hias ini masih perlu dilestarikan, agar para desainer interior ataupun arsitek Indonesia tetap memiliki pengetahuan dasar akan ragam hias Bali sebelum dapat mengaplikasikannya pada desain sebuah ruangan bernuansa Bali. Pada dasarnya motif ragam hias Bali terdiri atas ornamen konstruktif dan ornament estetis. Masing-masing ornamen tersebut memiliki karakter yang sama, namun pembahasan pada penelitian ini akan dibatasi pada ornamen estetis saja. Menurut Drs. I Ketut Murdana, MSn, (Bali Post: 2007), ornamen estetis Bali ini terbagi atas empat karakter yaitu: (1) Geometris. (2) Floralistik. (3) Antrophomorfis / submorphosis (pola manusia atau hewan). (4) Perimbuhan (mengkombinasikan semua unsur alam benda)
Dalam penerjemahannya, terlihat ragam hias dengan pola alam, Dewa dan Dewi yang menceritakan kisah pewayangan, ragam hias manusia yang disederhanakan, juga dijumpai ragam hias yang mendapatkan pengaruh dari budaya luar, seperti Cina, Islam, dan lain-lain. Kemudian perkembangan yang terjadi pada ornamen hias ini salah satunya adalah ragam hias berupa ekspresi dan kreasi imajinasi yang melahirkan bentuk-bentuk baru melalui pendekatan budaya, seni dan religius.
Selain pengelompokan dari jenis karakter, ragam hias Bali juga memiliki beberapa fungsi yang berbeda yaitu (Balika Ika: 2007): (1) Ragam hias untuk keindahan: ragam hias yang dimaksudkan untuk memperindah penampilan suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan mengaplikasikan hiasan penampilan suatu bangunan akan lebih indah dan menyegarkan pandangan. (2) Ragam hias untuk ungkapan simbolis: selain dari berbagai macam, bentuk dan penempatan, ragam hias juga dapat mengungkapkan simbol yang terkandung di dalamnya, pemilihan
warna juga dapat mengungkapkan simbol arah orientasi yaitu merah untuk warna kelod (utara), kuning untuk warna kauh (barat), putih untuk warna kangin (timur) dan hitam untuk warna kaja (selatan), serta penyatuan dua warna bersisian untuk arah sudut. (3) Ragam hias sebagai alat komunikasi: dilihat dari bentuk hiasan yang digunakan pada upacara atau bangunan-bangunan tertentu. Pintu Bali Kori Kuwadi adalah pintu tradisional Bali dan merupakan bagian dari arsitektur Bali tradisional. Dahulu, kori kuwadi hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan dan Brahmana (para pemuka agama Hindu) dan umumnya berada pada bangunan saka roras (yaitu bangunan dengan 12 tiang). Namun saat ini kori kuwadi sudah menjadi produksi masal dan dapat diaplikasikan pada tempat umum (Balika Ika: 2007). Pintu Bali terdiri dari empat batang kayu yang menyusun sebuah bingkai, dimana masingmasing batang kayu telah memiliki bentuk, fungsi dan makna yang berbeda. Pintu ini memiliki dua daun pintu dengan kayu melintang di bagian bawah yang disebut dengan dedanga. Ukuran standar dari pintu adalah 60 x 200 cm dan memiliki dua buah daun pintu. Sementara ukuran maksimal dari pintu ukir Bali adalah 110 x 200 cm. Material dari pintu ukir bali umumnya dalah kayu jati (teak wood) dan kayu nangka (jackfruit wood). Pemilihan jenis kayu ini tergantung dari penempatan dari pintu, khususnya pintu untuk bangunan tempat ibadah seperti pura, tentu berbeda dengan kayu untuk pintu pada bangunan umum dan perumahan.
Saat ini kori kuwadi menjadi ciri khas dalam bangunan berarsitektur Bali, hal ini menandakan adanya pergeseran nilai filosofi yang awalnya melambangkan kemewahan menjadi sebuah sebuah elemen yang hanya berfungsi dekoratif.
Pintu Bali yang memiliki dua daun pintu menyerupai desain pintu di wilayah India Selatan, baik dari segi warna, pegangan pintu serta sistem penguncinya. Ragam hias dari pintu telah melalui beberapa era, yaitu mulai dari tiga warna sederhana yang umum dijumpai pada rumah-rumah desa di pengunungan, sampai dengan pahatan berupa ukiran dengan nuansa warna chinoiserie pada pintupintu istana di wilayah Gianyar, Klungkung dan Karangasem yang popular pada abad 20an (Wijaya, 2002).
Ragam Hias Pada Bangunan dan Pintu Bali Ragam ukiran yang tampak pada pintu Bali umumnya menampillkan ragam flora dan fauna yang memiliki beberapa istilah dan pengertian khusus (Wijaya, 2002). Flora Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasanhiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Cerita-cerita pewayangan, legenda, dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya. Berbagai macam flora ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan yang dipolakan dalam bentuk pepatraan dengan berbagai macam ungkapan atau peralatan dan perlengkapan bangunan dari jenisjenis flora yang dinamai sesuai jenis dan keadaanya. Keketusan Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. (a) Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisan cat prada warna emas pada lembar-lembar kain hiasan. (b) Keketusan tuwung / bungan, hiasan berpola bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak, berulang atau bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. (c) Keketusan bun-bunan, hiasan berpola
tumbuh-tumbuhan jalar bersulur memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur-sulur di sela-sela bunga dan dedaunan.
Ornamen keketusan memiliki makna yang mengikat sifat positif yaitu terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan serta papan dan tercapainya hidup rukun, damai sejahtera di dunia maupun di akhirat.
Kekarangan Kekarangan menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan bagian-bagian keindahan. Seperti jenis keketusan ataupun pepatran, jeniskekarangan sangat banyak ditemukan dalam ragam hias tradisional Bali. Kakarangan yang umum dijumpai adalah: (a) Karang simbar suatu hiasan
rancangan yang mendekati atau serupa dengan tumbuhtumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar menjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan, badewadah, bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya. (b) Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bundar dengan kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang. (c) Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai bersayap garuda. Karangan suring yang diukir dalamdalam, memungkinkankan karena tiang tugeh bebas beban.
Pepatraan Jenis ragam hias ini berwujud gubahan-gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang juga disebut patra. Ide dasar pepatraan banyak diambil dari bentuk-bentuk keindahan flora.
Keindahan flora diambil sedemikian rupa sehingga jalur daun, bunga, putik dan ranting dibuat berulang-ulang. Masing-masing patra memiliki identitas yang kuat, sehingga mudah diketahui namun dapat bervariasi dalam penerapannya. Makna dari pepatraan adalah memberikan perlindungan kepada kehidupan manusia dari rasa takut, panas dan haus, sehingga memberikan kenyamanan bagi manusia yang tiggal di lingkungan bangungan yang dihiasi pepatraan. Pepatraan ini terbagi atas: (a) Patra Wangga, tergolong kekerasan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagianbagian keindahannya. (b) Patra Sari, bentuknya menyerupai flora dari jenis berbatang jalar melingkar, linggar balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya patra sari. Daundaun dan bunga dilukiskan dalam pola yang diperindah. Patra sari dapat digunakan pada bidangbidang lebar atas, daun umumnya untuk bidang-bidang sempit, tidak bisa dibuat dalam banyak variasi karena lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari, kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas. (c) Patra bun-bunan, dapat bervariasi dalam berbagai jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuhtumbuhan berbatang jalar). Dibuat dengan pola berulang antara daun dan bunga di rangkai batang jalar. Dapat pula dibuat variasi dengan julur-julur dari batang jalar. (d) Patra Pidpid, juga melukiskan flora dari jenis daun bertulang tengah dengan daundaun simetris yang dapat bervariasi. Jenis daun yang dilukiskan ditempatkan pada bidang sempit. (e) Patra Punggel, mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagianbagiannya ada yang disebut batu pohon kupil guling dan util sebagai identitas. Patra punggel
merupakan patra yang paling banyak digunakan. Selain bentuk yang murni sebagai Patra Punggehutuh. Patra punggel umumnya melengkapi segala bentuk kekarangan (patra-patra jenis fauna) sebagai hiasan bagian (lidah naga patra punggel api-apian), ekor singa dan hiasan-hiasan untuk patra tunggal puncak atap yang disebut bantala pada atap yang bukan berpuncak satu. Untuk hiasan atas berpuncak satu dipakai bentuk Murdha dengan motifmotif KusumaTirta Amertha Murdha Bajra yang masing-masing juga dilengkapi dengan patra punggel sebagai hiasan bagian dari Karang Goak pada sudut alas Murdha. (f) Patra Samblung, pohon jalar dengan daun-daun lebar dibuat dalam bentuk pola yang disebut dengan Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias denga lengkung-lengkung harmonis. Serupa dengan Patra Samblung, Patra Olanda, Patra Cina dan Patra Bali, masing-masing patra tersebut dengan kemungkinan diberi nama berdasarkan negara asalnya. Ada pula Patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan identitas baru. (g) Patra Pae, mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dibuat dalam bentuk pola berulang berjajar memanjang. (h) Patra Ganggong, menyerupai bentuk tumbuhtumbuhan ganggang air yang dibuat dalam bentuk pola berulang berjajar memanjang. (i) Patra Batun Timun, bentuk dasar serupa biji mentimun yang dibuat dalam susunan pola diagonal berulang.Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk para mas-masan setengah bidang. (j) Patra Sulur, melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun, berulang. Patra Sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam berulang.
Fauna Dijadikan materi hiasan dalam bentuk ukiran, tatahan atau pepulasan. Penerapannya merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya.Pada beberapa bagian keadaan sebenarnya dikombinasikan dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan. Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang berkombinasi dengan berbagai macam bentuk binatang. Penempatan hiasan fauna pada umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan. Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil jenis kera dan cerita Ramayana. Patung-patung sebagai suvenir umumnya mengambil bentukbentuk garuda, naga, singa, kuda, kera, sapi dan binatang ternak lainnya. Ukiran fauna pada bidang-bidang relief di dinding, panel atau bidang-bidang ukiran lainnya biasanya menerapkan kisah rakyat
atau legenda dari dunia binatang. Penampilan fauna dalam bentuk patung-patung bercorak ekspresionis tampak pada kekarangan bercorak abstrak dan realis pada relief. Fauna sebagai hiasan juga berfungsi sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam bentuk patung yang disebut Pratima, patung sebagai bagian dari bangunan berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corak magis, lengkap dengan huruf-huruf berupa simbol mantra-mantra. Fauna sebagai elemen bangunan juga berfungsi sebagai ragam hiasan yang dikenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk-bentuk garuda, singa bersayap atau bentukbentuk lainnya. Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan dengan nama masingmasing. Bentuk-bentuk penampilannya berupa patung.
Kekarangan Kekarangan memiliki gaya ekspresionis, yaitu meninggalkan bentuk sebenarnya sehingga fauna ditampilkan secara abstrak. Berikut adalah kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk binatang khayal primitif yang dinamai sesuai dengan bentukannya. (a) Karang Boma. Berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap dengan hiasan dan mahkota, diturunkan dari cerita Baomantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan ke arah jari dengan jari-jari mekar.Karang Boma umumnya dilengkapi dengan Patra Bunbunan atau Patra Punggel. Ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu dari Kori Agung.
(b) Karang Sae. Berbentuk kepala kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi runcing. Umumnya dilengkapi dengan tangan seperti Karang Boma. Penampilannya dilengkapi dengan flora Patra Punggel dan Patra Bun-bunan. Hiasan ini berada di Pinti Kori atau pintu rumah tinggal dan beberapa tempat lainnya. (c) Karang Hasti (Asti). Disebut pula Karang Gajah karena Asti adalah Gajah. Bentuknya mengambil inspirasi dari bentuk gajah yang digambar abstrak sesuai dengan bentuk kekarangan. Karang Asti yang melukiskan kepala gajah dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan Patra Punggel melengkapi ke arah sisi pipi gajah. Sesuai kehidupannya gajah di tanah Karang Asti ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebatuan di bagian bawah.
(d) Karang Goak. Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak.Disebut pula karang manuk karena serupa pula dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Karang Goak dengan paruh atas bertaring dan gigi-gigi runcing mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak sebagai binatang bersayap, hiasan karang manuk yang juga disebut Karang Goak ditempatkan pada sudutsudut bebaturan di bagian atas. Karang Goak sebagai hiasan bagian pipi dan kepalanya dilengkapi dengan hiasan Patra Punggel. Karang Goak umumnya disatukan dengan karang simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah Karang Goak.
Penerapan Ragam Hias Bali pada Interior Public Space Sesuai dengan fungsi utama ragam hias yaitu sebagai elemen dekoratif yang menambah nilai estetika bangunan. Fungsi ragam hias sebagai unsur estetika bangunan dapat ditunjukkan melalui
bentuk, warna, tekstur, bahan, material, penyusunannya serta unsur seni yang terpadu dengan harmonis. Ragam hias sebagai ornamen eksterior bangunan menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Pada umumnya bangunan Bali lebih menonjolkan pengolahan eksterior bangunan daripada interiornya untuk menunjukkan kesan keterbukaan dan status sosial penghuninya.Sedangkan ragam hias pada interior bangunan lebih dimaksudkan untuk menimbulkan suasana alam Bali yang indah, tenang, damai dan sejuk. Ornamen merupakan seni terapan yang memiliki nilai estetika sendiri walaupun hanya sebatas sebagai hiasan. Dalam pembuatannya ornamen tidak akan terlepas dalam maksud dan tujuannya. Walaupun sebenarnya fungsi murni estetis merupakan fungsi ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk maupun obyek yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk atau benda upacara atau benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan yang menyertai nilai estetiknya. Hal ini membuktikan bahwa motif yang terdapat dalam arsitektur tradisional Bali memiliki maksud dan arti yang baik secara estetis maupun keindahan. Hal ini terlihat dalam sifat masyarakat Bali yang masih sangat melekat dengan tradisi dan kepercayaan Hindunya sehingga pada bangunan tradisionalnya pun mengandung banyak makna. Pengaplikasian ragam hias Bali dapat ditemukan pada interior maupun eksterior. Dalam ruang dalam, bisa diterapkan pada elemen-elemen interior, misalkan dinding, lantai, maupun ornamenornamen.Yang tidak boleh dilupakan juga adalah furnitur
pendukung interior, misalkan meja dan kursi. Namun ragam hias Bali biasa tidak ditemukan pada furnitur, karena makna dan simbol religi Bali lebih banyak digunakan pada bangunan. Dari sekian banyak ragam hias yang ada, dimana masing-masing memiliki makna tersendiri, ditemukan kesamaan motif dan makna. Public space yang lebih mudah untuk dieksplor dan dapat terlihat jelas pengaplikasian ragam hias Bali antara lain adalah restoran.
Berikut beberapa analisa dari ragam hias Bali yang diaplikasikan di Restoran Jimbaran, Ancol. Dengan pembanding, restoran The Ubud, Bebek Bengil di kawasan Menteng. Dari dua restoran ini, dapat kita lihat bagaimana pengaplikasian motif ragam hias Bali dewasa ini pada public space.
Restoran Jimbaran adalah restoran yang bernuansakan Bali dalam arsitektur, suasana, pelayanan dan makanan khas Bali. Berlokasi di dalam Taman Impian Jaya Ancol, restoran ini memperlihatkan gaya Bali yang kental. Sebelum masuk ke dalam area restoran, terlihat gerbang pintu masuk bergaya Bali seperti yang tampak pada gambar di atas. Kiri kanan gerbang terdapat arca patung Bali berbalut kain kotak hitam putih khas Bali yang
disebut saput poleng. Saput adalah bahasa Bali yang berarti selimut, sedangkan poleng bermakna belang.
Arca patung dan pahatan yang terlihat pada gambar di atas, fungsinya lebih banyak berkaitan dengan fungsi hias, meskipun ada juga arca patung dan pahatan yang berkaitan dengan seni pakai (aplied art) dan fungsi yang berkaitan dengan religi (keagamaan). Sebagai karya seni tiga dimensi, maka perwujudan patung didasarkan atas ukuran panjang, lebar dan tinggi.
Dalam fungsinya sebagai benda seni yang bernilai profan, maka patung Bali bisa dijadikan benda pajang di dalam ruangan (dekorasi interior) atau dipajang di luar ruangan (dekorasi taman). Dalam fungsinya sebagai benda seni untuk hiasan inilah, di masa kini patung Bali sangat bervariasi wujud dan kreasinya, terutama setelah bersentuhan dengan dunia pariwisata. Karena itulah di
masa kini, patung Bali tidak lagi hanya berwujud patung-patung tradisional dari dunia pewayangan, tidak lagi hanya berwujud patung dewa-dewa dan patung-patung tokoh tradisional seperti raja atau orangorang suci, tetapi sudah dengan berbagai kreasi baru. Arca patung Bali selalu dipakai kain poleng dimana masyarakat mempercayai kain poleng memiliki makna filosofinya adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baikburuk, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.
Pada bagian atas gerbang terdapat ukiran motif Bali dengan pola sulur tumbuhan. Dimana motif ini berupa suatu tumbuhan yang dibuat dengan pola berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Dapat terlihat kesimetrisan pada pahatan ukiran melambangkan keselarasan dan keseimbangan dalam konsep Bali.
Pada pintu masuk menuju ruang makan Restoran Jimbaran Ancol, terlihat dua arca patung bali tradisional tanpa balutan kain hitam putih yang dikenal dengan sebutan kain poleng, namun ornamen pada pintu masih kental dengan motif Bali. Warna prada tetap mengikuti ornamen pintu, dengan motif sulur tanaman sebagai simbol kepercayaan. Tidak ketinggalan sepasang payung yang menaungi arca patung sebagai simbol perlindungan dan peneduhan.
Pada bagian atas pintu masuk setiap ruang makan tampak nama ruang yang ditulis diatas papan kayu yang telah diberi ukiran motif Bali. Dengan tulisan berwarna keemasan dan latar belakang merah, mencerminkan warna Bali yang sarat dengan merah dan kuning.Terlihat masih dengan motif salur tumbuhan, terdapat helaian daun yang tumbuh di bagian ujung daun lainnya terus menerus hingga menyambung dan mengelilingi papan tulisan
tersebut. Pengaplikasian motif Bali pada papan nama ruang makan cukup signifikan dalam membawa nuansa Bali pada restoran. Sekeliling pintu masuk restoran, diberi ornamen ragam hias keketusan. Gambar diatas merupakan contoh keketusan pada ragam hias Bali, dimana mengambil bagian terpenting dari suatu tumbuhan dan dibuat dengan pola berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Tampak sulur dan bunga yang sambung menyambung terkesan seolah berulang dalam satu pola mengelilingi tiga sisi daun pintu masuk.Warna selalu dikaitkan dengan warna Bali yakni emas dan merah.
Pada area ruang makan dalam, terdapat pilar-pilar dinding yang dihiasi dengan ornamen seperti tampak pada gambar di atas. Motif yang biasa mewakili motif tanaman adalah sulur-sulur dan bunga serta daun, dimana motif bunga teratai banyak ditemukan
dan merupakan asimilasi dari motif Hindu, terbagi menjadi padma, uthpala dan kumada.
Pada panggung yang terdapat di restoran Jimbaran Ancol ini, ke dua sisi kiri dan kanan panggung terdapat ukiran ornamen seperti pada gambar di atas. Bentuk yang diambil menyerupai flora, bertumpuk dan simetris.Bentuk model diatas banyak dijumpai di adat Bali, mewakilkan keseimbangan dan keselarasan.
Motif ragam hias Bali hampir menyerupai ragam hias Padjajaran, dimana motif berbentuk ukel dari daun pakis dan bentuknya serba bulat. Bentuk ukel seperti tanda koma. Bedanya pada motif ragam hias Bali terletak pada ujung ukel yang dihiasi
dengan sehelai patran. Jadi ukel besar kecil, bulet cekung, pecahan, ada pula daun yang runcing. Biasa dinamakan Patre Punggel. Ragam hias ini dapat dilihat sebagai hiasan pintu masuk, juga di kotakota besar yang sudah banyak didapatkan patungpatung Bali klasik, seperti halnya pada restoran Jimbaran Ancol ini.
Gambar diatas adalah tampak muka restoran The Ubud yang berlokasi di kawasan Menteng. Restoran yang menyajikan makanan khas Bali ini kurang menampilkan eksterior maupun interior bergaya Bali. Pada selasar menuju pintu masuk terdapat dua buah arca patung sebagai perlambang penjaga yang dililit dengan kain poleng, dan payung berteduh, sebagai makna perlindungan. Hanya ini yang terlihat mewakili nunasa Bali.Pintu masuk sudah sangat modern, dengan paduan kaca dan kayu. Tidak terdapat ornamen ukiran bali pada pintu.
Restoran The Ubud lebih terkesan modern terlihat dari desain pintu, maupun furnitur di dalam area ruang makan. Tidak disisipkan motif ukiran Bali sama sekali pada pintu masuk. Sama seperti area selasar menuju pintu masuk, pada depan pintu ini terdapat dua payung khas Bali sebagai lambang perlindungan dan kesejukan, dan kain poleng tidak ketinggalan menghiasai pot tanaman di depannya. Dapat dikatakan bahwa restoran ini lebih bergaya modern, sehingga tidak diaplikasikan motif Bali yang signifikan. Gambar diatas adalah satu satunya penerapan ornamen Bali pada restoran the Ubud ini. Dengan harapan dapat membawa nuansa ke-Bali-an, dibuatlah sebuah backdrop dengan gambar pintu bali yang diberi ukiran sulur sulur tumbuhan sesuai dengan konsep ke-patra-an dalam ragam hias Bali. Warna yang digunakan adalah warna khas Bali yakni merah dan warna prada atau warna keemasan. Kemudian tidak ketinggalan sepasang payung umbul dengan balutan kain poleng dipajang di kiri kanan pintu. Tidak banyak yang ditampilkan pada area ini,
selain sebuah patung bebek yang cukup besar sebagai ikon dari restoran dengan latar belakang gambar pintu bergaya Bali.
KESIMPULAN Ragam hias Bali merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan di Indonesia. Motif dan warna yang ada pada ragam hias Bali mengandung makna simbolis yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Bali sehingga dalam penerapannya ragam hias tersebut memiliki aturan dan perhatian khusus. Hal ini merupakan batasan bagi pengaplikasian elemenelemen interior (lantai, dinding, langit-langit dan furnitur) agar tidak menyalahi aturan yang ada dan makna yang terkandung dalam masing-masing ragam hias tersebut. Public space merupakan salah satu perencanaan ruang umum yang banyak melibatkan manusia sebagai pengguna ruang. Dalam hal ini latar belakang pengguna ruang public space sangat beragam diantaranya dari segi budaya, ekonomi, pendidikan, dll. Penerapan ragam hias Bali pada public space dalam hal ini Restoran Jimbaran dan The Ubud – Bebek Bengil di Jakarta merupakan salah satu contoh pengaplikasian ragam hias Bali yang sudah mengalami modifikasi sehingga tampil modern. Saat ini di Bali pun, sudah mengalami pergeseran arti ragam hias yang awalnya memiliki simbol kemewahan menjadi simbol ornamen dekoratif semata. Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya wawasan pembaca dalam memahami ragam hias Bali yang diterapkan pada public space. Sehingga kedepannya warisan budaya Indonesia dapat
disajikan dengan baik sesuai dengan makna dan kaedah yang ada. Besar harapan warisan budaya Bali ini dalam hal ragam hias terutama yang difokuskan pada bagian pintu dapat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya.
Penafsiran Warna-Warna Tradisional Bali dalam Buku Autobiografi Seniman I Made Ada dan Made Wianta Melalui Pendekatan Hermeneutika Abstrak Penggunaan warna yang terjadi pada beberapa budaya yaitu terlihat pada budaya Bali, budaya Jawa, budaya Minangkabau dan beberapa tempat sekitar pulau Bali. Warna-warna ini menjadi suatu warna yang menyatakan daerahnya masing-masing, menjadikan warna yang ada adalah sebuah warna tradisional bagi mereka. Warna-warna ini tentunya bersinggungan dengan budaya dari asal daerah masing-masing. Dalam perkembangannya, setiap daerah beserta budayanya memiliki seperangkat medianya masing-masing dalam mempertunjukkan kekayaan warnanya. Baik itu dalam bentuk kesenian tradisional seperti wayang, ataupun tari dengan keindahan pakaiannya yang memberikan ciri khas dari daerahnya masing-masing. Demikian juga kesenian yang berasal dari Bali yang nampak identiknya pada hasil-hasil karyanya yang indah, menarik dan sangat diminati. Berdasar dari perkembangan ini, maka bagaimanakah kedudukan warna-warna tradisional tersebut di era modern saat khususnya di Bali? Bagaimana kedudukan warna-warna tradisional itu di mata beberapa seniman asli Bali terhadap bukubuku yang isinya adalah mengenai diri mereka sendiri? Masalah ini dilihat berdasarkan sebuah penafsiran mengacu pada teori yang telah ada terhadap buku-buku yang mengabadikan karya sekaligus dirinya masing-masing dalam berkarya.
Pendahuluan Warna merupakan suatu hal yang sangat menakjubkan. Warna hidup di sekitar kita, baik di alam ataupun benda-benda yang biasa kita pakai. Warna memiliki banyak sekali macam warnanya. Warna dipakai hampir di seluruh aspek kehidupan manusia. Berdasarkan asalnya, warna terbagi menjadi dua macam. Warna yang berasal dari cahaya dan juga warna yang berasal dari bahan buatan atau pigmen. Dalam bukunya, Darmaprawira (2002) mengatakan bahwa warna dimulai dari zaman dahulu namun baru berkembang menjadi suatu ilmu pengetahuan dalam kurun waktu kemudian. Menurut ilmuwan fisika, warna bersumber dari cahaya. Dikatakan juga bahwa beberapa tokoh di Yunani Kuno pun sempat menyinggung tentang warna. Hingga sampai pada akhirnya Newton menemukan 7 warna pelangi yang disebut dengan spektrum warna. Newton pun diklaim sebagai penelur teori lingkaran warna pertama karena penemuannya ini. Tokoh setelahnya adalah J. C. Le Blon yang berhasil menemukan 3 warna utama yakni merah-kuning-biru. Teori warna berkembang sedemikian rupa dengan beberapa tokoh yang terus menggali warna. Sampai pada teori yang umum atau sering digunakan adalah teori warna Munsell. Munsell dalam buku Darmaprawira (2002) dikatakan telah membuat lingkaran warna menurut dari hasil penelitian ilmuwan fisika, dimana Munsell membuat lingkarannya berbeda dari tokoh-tokoh sebelumnya. Bila warna pokok dalam lingkaran warna sebelumnya segitiga sama sisi, maka warna pokok dalam lingkaran Munsell jarak-jaraknya tidak membentuk segitiga sama sisi kembali.
Keberanekaragaman warna yang muncul, menyebabkan penggunaannya menelurkan kebijakankebijakan tertentu baik terhadap penggunaan terhadap suatu objek ataupun pemaknaannya. Darmaprawira (2002) berkata bahwa macammacam individu ataupun budaya memiliki kriterianya masing-masing yang tentunya berbeda satu dengan lainnya dalam penentuan dan pemakaian warna yang baik dan tepat. Penggunaan warna yang pada masa lalunya ditentukan oleh beberapa hal yang berkaitan dengan nilai-nilai simbolis namun kini sepertinya lebih mengedepankan pada dasar hal-hal yang berkaitan dengan psikologis. Penggunaan warna yang masih bersinggungan dengan nilai-nilai simbolisnya terjadi dalam beberapa budaya dengan masih dikaitkan pada suatu perlambangan tertentu. Hal ini tidak juga menghilangkan dari segi visualnya yang masih memiliki kaidah estetika yang memukau. Seperti contoh pada beberapa kain yang ada di Indonesia, seperti kain gringsing dari Bali, juga kain ulos ragidup dari Batak. Penggunaan warna yang terjadi pada beberapa budaya yaitu terlihat pada budaya Bali, budaya Jawa, budaya Minangkabau dan beberapa tempat sekitar pulau Bali. Warna-warna ini menjadi suatu warna yang menyatakan daerahnya masingmasing, menjadikan warna yang ada adalah sebuah warna tradisional bagi mereka. Warnawarna ini tentunya bersinggungan dengan budaya dari asal daerah masing-masing. Dalam perkembangannya, setiap daerah beserta budayanya memiliki seperangkat medianya masingmasing dalam mempertunjukkan kekayaan warnanya. Baik itu dalam bentuk kesenian tradisional seperti wayang, ataupun tari dengan keindahan pakaiannya yang memberikan ciri khas dari daerahnya
masing-masing. Demikian juga kesenian yang berasal dari Bali yang Nampak identiknya pada hasil-hasil karyanya yang indah, menarik dan sangat dimintai. Berdasar dari perkembangan ini, maka artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimanakah kedudukan warna-warna tradisional tersebut di era modern saat ini khususnya di Bali? Bagaimana kedudukan warna-warna tradisional itu di mata beberapa seniman asli Bali terhadap bukubuku yang isinya adalah mengenai diri mereka sendiri? Masalah ini dilihat berdasarkan sebuah penafsiran yang mengacu pada buku autobiografi seniman Bali. Masalah yang muncul adalah bagaimana hubungan antara budaya yang terjadi dari dulu (masa lampau) hingga sekarang yang berpengaruh dalam warna-warna tradisional di Bali yang saat ini bila dikaitkan dengan penggunaan warna tersebut oleh beberapa seniman asli Bali dalam buku yang berisi tentang seputar diri seniman itu sendiri. Mengetahui jawaban dari masalah yang muncul tersebut akan mampu memberikan sebuah kejelasan apakah budaya yang berpengaruh dalam warna-warna tradisional Bali juga berpengaruh dalam pembuatan buku tentang diri seniman asli Bali tersebut. Data dan Hasil Survei Buku Autobiografi I Made Ada
Buku Autobiografi I Made Ada ini memiliki tiga bagian dalam bukunya. Dimana bagian pertama dan kedua memakai warna hitam dan putih. Sedangkan warna pada bagian ke tiga adalah warna emas. Buku Autobiografi I Made Ada ini menampilkan kesan perpaduan antara modern dengan tradisional dimana penggambaran kesan tradisionalnya lebih kental pada warna yang dipakai yakni hitam, putih, emas dan merah maroon.
Buku “Made Wianta, Art and Peace” Buku ini merupakan buku yang berisi kepedulian Made Wianta terhadap kekerasan. Kepedulian terhadap adanya perdamaian. Kepeduliannya ini Gambar 3. Halaman isi bagian dua dituangkan dalam berbagai macam karya yang tergabung menjadi satu karya besar. Didalam buku ini, Made Wianta berkolaborasi lebih dari 2000 seniman lainnya. Karya-karya adalah berupa lukisan, instalasi, tarian dll. Buku ini terbagi atas beberapa bab sesuai dengan jenis-jenis karyanya. Pewarnaan dalam buku kental akan warna hitam dan merah.
Buku Made Wianta, Universal Balinese Artist Buku ini berisi kumpulan karya-karya Made Wianta dari masa ke masa. Dikumpulkan dan diberi penjelasan berdasarkan jenis karyanya. Karya yang disuguhkan mulai dari lukisan, tulisan, hingga seni instalasi dari Made Wianta. Buku ini kental akan warna merah dan hijau yang cenderung ke arah hitam atau sangat gelap sekali. Buku ini juga menceritakan bagaimana cerita atau riwayat Made Wianta secara singkat oleh si penulis.
Pembahasan Dalam menjawab permasalahan yang muncul, disini penulis memakai sebuah teori penafsiran yang mengacu pada sebuah teori dasar yang telah ada. Teori penafsiran ini biasanya di sebut dengan pendekatan Hermenutika. Hermeneutika sebagai sebuah pendekatan mampu mendudukan kita-peneliti didalam masalah yang muncul. Meskipun berawal sebagai pendekatan terhadap kajian teks, namun pada perkembangannya menurut Sumaryono (1999, hal.25) dalam bukunya menyatakan bahwa pendekatan hermeneutika dapat di terapkan di berbagai keilmuan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut, “peralihan dari pengalaman mental ke dalam kata-kata yang diucapkan dan ditulis memupnyai kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau gambaran (image) pada dasarnya kaya akan corak dan warna dan mempunyai nuansa yang beranekaragam. Namun kekayaan alam dan keanekaragaman ini tidak dapt dicakup seluruhnya oleh sebuah kata atau ekspresi (ungkapan) yang membawa makna yang definitive dan khas.” Richard E. Palmer mengatakan dalam Sumaryono (1999, hal.24) bahwa hermeneutika adalah proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu atau mengerti dimana hal ini dapat terjadi dalam pandangan klasik ataupun modern. Sementara menurut Schleiermacher dalam Rahardjo (2008, hal.40) adalah memahami teks lebih baik daripada si pembuat teks itu sendiri. Menurutnya
pemahaman ini dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menguasai aturan-aturan tentang bahasa si pengarang kemudian penangkapan muatan emosi pengarang dengan cara penempatan penafsir didalam dunia si pengarang. Sedangkan menurut Pilliang didalam Walker (2010, hal. xix), hermeneutika adalah proses menafsirkan kemungkinan dari suatu objek. Penafsiran ini memiliki sifat yang terbuka, kontekstual dan relatif yang memungkinkan tidak adanya kebenaran yang final.
Pendekatan hermeneutika ini akan membantu menjabarkan dan menjawab bagaimana sebenarnya pengaruh budaya dalam warna-warna tradisional Bali terhadap penggunaanya oleh beberapa seniman asli Bali dalam karya dan berkaryanya. Warna-warna tradisional Bali ini merupakan sebuah budaya yang ditinggalkan sejak dulu hingga saat ini, dimana warna ini menyatu dalam agama yang mereka yakini. Menurut Darmaprawira (2002, hal.156), warnawarna tradisional Bali ini didasarkan pada 3 hal, yaitu fisik, psikis dan supranatural. Falsafah warna-warna ini diduga berasal dari falsafah Hinduisme dari India yang mengalami perkembangan dan perjalanan panjang. Falsafah ini disebut sebagai „Panca Maha Butha‟. Tabel 1. Penjelasan Nawa Sanga berupa warna, Dewa, dan mata angin masing-masing Warna Dewa Mata Angin Hitam Wishnu Utara Biru Sambu Timur Laut Putih Icwara Timur Jambon Mahesywara / Mahisora Tenggara
Dadu Brahma Selatan Merah muda Rudra Barat Daya Kuning Mahadewa Barat Hijau Sangakara / Barat Laut Cangkara Brumbun/ Syiwa / Ciwa pancawarna (perpaduan warna 4 penjuru mata angin) Pusat (Tengah) Sumber: Darmaprawira (2002, hal.157) Warna-warna tradisional Bali dikatakan mengandung unsur api, air, tanah, udara, dan angkasa. Susunan warna Bali ini disebut dengan nama „Rajah Nawasanga‟. Warna-warna ini terdiri dari Sembilan warna dimana kesemuanya itu dihubungkan dengan arah mata angin dan juga dewa-dewa dalam agama mereka. Nawasanga sendiri diartikan sebagai Sembilan warna atau Sembilan arah mata angin. Biasanya Nawasangan secara visual berupa gambar bunga teratai dan di berikan saat didalam pelajaran agama sejak sekolah dasar. Dalam gambar diatas, isi dan penjelasannya adalah berupa warna-warna tradisional Bali, arah mata angin, nama-nama dewa sesuai dengan warna yang diwakilinya serta senjata-senjata dari dewa-dewa tersebut. Analisis penggunaan warna tradisional Bali yang sudah dijelaskan tersebut akan di dasarkan pada 3 contoh studi kasus, yaitu Buku Autobiografi I Made Ada dan 2 Buku Made Wianta.
Buku autobiografi I Made Ada merupakan sebuah buku yang memberikan kesan gabungan antara modern dan tradisional. Buku ini terbagi menjadi 3 bagian, dimana bagian pertama dan kedua menggunakan warna hitam dan putih sementara bagian ke tiga menggunakan warna emas. Dalam buku ini ada juga pembatas dan halaman yang dianggap penting yang menggunakan warna merah maroon. “Arts and Peace”, merupakan sebuah buku yang, menceritakan kepedulian Made Wianta terhadap adanya kedamaian. Made Wianta menyerukan reaksinya terhadap kekerasan di dunia dengan menghadirkan berbagai karya. Lukisan, seni instalasi, sampai tarian ikut meramaikan aksinya ini dan kesemuanya di rekam ke dalam buku ini. Turut menghadirkan kurang lebih 2000 seniman lain dalam tari yang diabadikan lewat foto-foto didalamnya. Buku ini terbagi dalam beberapa bab, sesuai dengan jenis karya yang dibuatnya. Buku ini didominasi dengan warna hitam dan merah, dengan adanya sebuah kejutan kecil yaitu warna kuning. “Universal Balinese Artist”, adalah buku yang berisi karya-karya made Wianta dari masa ke masa. Karya-karya yang berupa lukisan, seni instalasi, juga tulisan kaligrafi dll merupakan dijadikan pembagian untuk setiap babnya sesuai tahunnya juga. Warna yang mendominasi adalah warna merah dengan warna hijau yang cenderung ke arah hitam. Tiga buku ini menyajikan warna-warna yang cenderung memiliki kesamaan, sama memiliki warna-warna terang namun juga memiliki warnawarna gelap. Dua buku pertama menyajikan warna hitam yang menjadi salah satu dominasi pewarnaan di dalam
isinya. Warna hitam di Bali dianggap sebagai warna demikian juga putih. Namun dalam teori warna, kedua warna ini bukanlah sebuah warna. Warna hitam merupakan warna dewa Wisnu. Di Bali sendiri warna hitam yang dipadukan dengan warna putih menjadi sebuah kain poleng yang menjadi ciri khas dari Bali. Dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti pecalang, dan juga di patung-patung yang ada di Bali. Warna hitam dan putih sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Demikian halnya I Made Ada yang juga menjadikan kedua warna ini menjadi warna dalam pakaian sehariharinya. Hal ini juga terlihat dari foto Made Wianta yang mengenakan kaos hitam, dan juga keahliannya yang disebutkan didalam buku bahwa dia menggambar dalam hitam putih. Dalam teori warna secara umum, kedua warna ini memiliki arti tersendiri. Hitam dikatakan sebagai warna yang berhubungan dengan sifat-sifat negatif, namun juga bisa dikatakan sebagai pondasi yang kuat. Warna putih adalah kebalikannya, warna putih selalu dikatakan sebagai pihak yang suci, polos dan bersih merupakan hal yang selalu positif. Warna emas, dalam buku I Made Ada terletak pada bagian ke tiga. Secara umum warna emas dikatakan sebagai warna kejayaan, warna emas diidentikkan dengan sebuah kesuksesan suatu hal. Dalam kehidupan masyarakat Bali sendiri, warna emas selalu hadir disetiap upacara keagamaan dan juga pada kain „Prada‟ yang biasanya dipakai sebagai hiasan dan juga pakaian untuk menari dan lainnya. Warna emas juga terlihat menjadi salah satu warna yang banyak digunakan didalam karya-karya patung I Made Ada.
Warna selanjutnya adalah warna merah pada kedua buku Made Wianta. Warna merah ini mendominasi hampir keseluruhan dari buku-buku ini. Dalam kehidupan masyarakat Bali warna ini sering terlihat pada warna-warna dalam upacara keagamaan juga pada karya-karya masyarakat Bali. Warna merah menurut Darmaprawira (2002, hal. 158) merupakan warna yang terkuat, menarik perhatian, agresif, berani, kekuatan, bahaya dll. Warna merah bila dilihat dalam urutan warna di „Rajah Nawasanga‟ merupakan warna dari dewa Brahma. Warna yang menjadi dominasi berikutnya dalam buku Made Wianta-“Universal Balinese Artist” adalah warna hijau yang cenderung sangat gelap sekali. Pemakaian warna ini bisa dikaitkan ke arah warna hitam. Sebagai pemanis ketiga buku ini memiliki warnanya masingmasing. Pertama dalam buku I Made Ada, warna sebagai pemanis tersebut berfungsi sebagai warna yang menarik perhatian, dipusatkan untuk beberapa kejadian penting dan menjadi benang merah di dalam buku tersebut. Warna tersebut adalah warna merah maroon. Warna ini juga terdapat di dalam warna-warna kehidupan masyarakat Bali. Secara umum warna merah maroon, bisa dikaitkan dengan warna merah yang dipandang sebagai kekuatan, menarik perhatian, warna terkuat. Sedangkan untuk warna dalam dua buku Made Wianta, warna dengan fungsi yang sama adalah warna kuning. Warna kuning pun sangat banyak digunakan dalam warnawarna kehidupan masyarakat Bali. Warna kuning dalam ajaran agama Hindu merupakan warna dari Mahadewa. Warna kuning sendiri dipandang secara teori pada umumnya adalah kelincahan dan keceriaan.
Penutup Melihat bagaimana warna-warna yang ada di dalam masingmasing buku juga melihat setiap penjelasannya, bagaimana setiap warna yang terpakai selalu memiliki sebuah hubungan dengan warna-warna yang telah menjadi ajaran sejak kecil dan juga telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali sendiri. Maka dapat disimpulkan bahwa warna-warna ini bukan lagi hanya menjadi teori warna secara umum, namun sudah merupakan sebuah bagian dari hidup setiap orang di Bali. termasuk didalamnya adalah seniman-seniman tersebut. Warna-warna tradisional Bali telah terpatri dalam ingatan mereka, meski seiring dengan kemajuan jaman mungkin akan beradaptasi dan menggabungkan antara warna baru dengan warna-warna tradisional tersebut. Dari temuan-temuan ini, seniman-seniman Bali menaruh warnawarna tersebut bukan lagi hanya sebagai sebuah representasi dirinya yang sebenarnya namun juga ajaran yang telah melekat di dalam dirinya. Bukan lagi bahwa warna-warna ini hanya sebagai pemanis dalam buku yang dibuat tapi menjadi sebuah identitas khusus yang berbeda dilihat secara teori pada umumnya karena berdasar pada pengalaman hidupnya terhadap warna-warna yang menyatu dalam ajaran agamanya.
i
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN BALI DAN CIRI-CIRI SASTRA POPULER DALAM LEJAK
Skripsi diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Humaniora
oleh FATYA PERMATA ANBIYA NPM 0704010193 Program Studi Indonesia
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA 2008
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
ii
Skripsi ini telah diujikan pada hari Selasa, tanggal 22 Juli 2008. PANITIA UJIAN Ketua
Nitrasattri Handayani, M. Hum.
Pembimbing
Ibnu Wahyudi, M. A.
Panitera
Pembaca I
Asep Sambodja, S. Hum.
Nitrasattri Handayani, M. Hum.
Pembaca II
Tommy Christommy, Ph. D.
Disahkan pada hari……., tanggal……. Oleh:
Koordinator Prodi Indonesia FIB UI
Dewaki Kramadibrata, M. Hum.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
Dekan FIB UI
Dr. Bambang Wibawarta
iii
Seluruh isi skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Depok, 22 Juli 2008 Penulis
Fatya Permata Anbiya NPM 0704010193
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
iv
PRAKATA
Alhamdulillah. Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya. Selain itu, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang di sekitar saya yang berperan besar dalam jalannya penelitian ini, terutama keluarga saya. Ayah, Ibu, Teh Firda, dan Kak Riko, who always make our house feels like home. Sejak SD, saya selalu berpendapat bahwa Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang paling membosankan. Untuk apa mempelajari bahasa yang sudah kita gunakan sehari-hari, pikir saya waktu itu. Pandangan itu berubah ketika saya bertemu Pak Hernowo, guru Bahasa Indonesia semasa saya bersekolah di SMA Muthahhari Bandung, yang menunjukkan bahwa menulis adalah cara terbaik untuk menuangkan apa yang tidak bisa diucapkan oleh bibir. Dengan selalu menambahkan “tapi ini sudah bagus” tiap kali selesai mengevaluasi tugas saya, beliau mengajari saya bahwa kesalahan adalah kesempatan untuk berbuat lebih baik. Ketika akhirnya saya harus meninggalkan bangku SMA dan mengikuti SPMB, saya tidak bisa memikirkan jurusan lain yang lebih menarik daripada Sastra Indonesia. Bergabung di Program Studi Indonesia tidak hanya memberi saya kesempatan untuk belajar, tapi juga mengenal orang-orang yang luar biasa. Bu Edwina dan Bu Pamela, pembimbing akademis yang selalu siap dengan nasehat mereka setiap kali saya mengalami kesulitan dalam membuat pilihan yang berkaitan dengan dunia
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
v
perkuliahan; Bu Nitra dan Pak Tommy, pembaca sekaligus penguji yang telah memberi beberapa kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini; Pak Asep, yang di samping bertugas menjadi panitera ujian, juga merupakan orang yang pertama kali mengajarkan saya cara menulis karya sastra populer; dan Pak Ibnu Wahyudi (Mas Iben) yang membuat saya mengenal sastra populer lebih jauh sehingga saya tertarik untuk meneliti isi dan bentuknya dalam skripsi ini, serta berperan banyak dalam proses pembuatannya. Sepertinya, “terima kasih” saja tidak cukup untuk menggambarkan betapa bersyukurnya saya, memiliki beliau sebagai pembimbing skripsi yang juga tak pernah bosan mendorong saya untuk terus menulis. Di Program Studi Indonesia juga-lah saya bertemu dengan teman-teman yang membuat empat tahun belakangan menjadi lebih berwarna. Rosi yang maniak tas; Nita yang kecanduan Richeese; Risa yang sama-sama penggemar MU; Rahma yang mengalami keinginan tak terbendung untuk terus mengajar; Catra yang jatuh cinta pada dirinya sendiri; Dimas yang mencemooh skripsi saya dan menyebutnya sebagai “makalah”, tapi justru membuat saya semakin terpacu untuk terus mengetik; Ayu dan Njoph yang—sayangnya—tidak bisa memanfaatkan fasilitas terkini yang UI sediakan, yaitu sepeda; Joey yang memberi saya resep rahasia untuk menyongsong wisuda dengan wajah bersinar; Ida yang mempengaruhi orang-orang untuk menganggap saya gila dan berkeras bahwa saya seperti Monica (tokoh dalam serial Friends); Dhanny yang meminjamkan banyak DVD-nya untuk menemani saya di kala suntuk; Dea dengan Dani-nya; Mega dengan Edo-nya; Lucky dengan Mike-nya; Deediy yang gigih berdagang Oriflame; Khakha yang terkadang iseng memanggil saya dengan nama tengah saya dan pada akhirnya mual sendiri; Genih yang nampaknya akan menjadi Kartini Abad 21; Yasmin Sang Malaikat Bertanduk; Ochan Sang Penyiksa Hidung; Oi yang akan segera menjadi mempelai wanita pertama di IKSI; Edy dan Chacha yang sepertinya akan segera menyusul Oi; Fenty yang sering bertapa di DB; Ikhwan yang tidak pernah bergaul dengan ikhwan lain di mushola; Siti dan Putri Si Kembar Siam; Ridwan Sang Saudagar Donat; Uthe yang kerap kali digembar-gemborkan akan menjadi Nyonya Ridwan; Ati yang—seperti
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
vi
saya, Risa, dan Joey—juga penggemar MU; Rizka yang setia mengirimkan siraman rohani gratis lewat sms; Ayu IP yang anggun seperti putri Solo; Ronal yang—konon katanya—sudah menyusun skripsi sejak semester satu; Nisa yang membuat saya tetap terjaga di kelas X (Demi kemaslahatan bersama, saya memutuskan untuk merahasiakan mata kuliah yang dimaksud) dengan obrolannya yang menyenangkan; Heni yang membuat saya iri dengan tubuhnya yang mungil; Ratih yang pernah membuat saya tertipu, mengiranya sebagai anak BIPA karena potongan rambutnya; Ojab yang membuat Sunda dan Betawi bagaikan kopi dan susu; Dewi yang— menurut gosip—akan menyaingi ketenaran Dewi Persik dengan nama panggung “Dewi Lebah”; Mila yang rajin menanyakan perkembangan skripsi ini; Leni yang dulu hampir berhasil menghasut saya untuk sekosan denganya; Novi yang selalu terlihat ceria dan bersemangat; Nuri yang akhirnya terbebas dari gangguan Catra; Kiwil, Tukul-nya IKSI; Joko, Simon Santoso-nya IKSI; Eko yang satu SMA dengan pacar saya; Subhi yang kelihatannya baru potong rambut; dan anggota IKSI lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu selain Ridwan (Maulana) yang senantiasa memberi saya tumpangan, Temut Suremon yang dengan kejamnya memasukkan sambal ke dalam baju saya ketika saya tengah terikat di pohon, dan Eky yang memberi saya pelajaran berharga tentang “Manajemen Lauk”. Selain mereka semua, saya juga ingin berterima kasih kepada “anak angkat IKSI”, Dias, yang berkata bahwa skripsi itu seperti mati, kita tidak akan pernah benar-benar siap dan tidak akan pernah benar-benar mau. Just go for it anyway. Terakhir dan terpenting, my SPHB (You push me up when I’m about to give up). Tanpa dorongan darinya, skripsi ini mungkin tidak akan pernah dibuat. Semoga skripsi ini, lepas dari apa pun bentuk kekurangannya, dapat membantu pemahaman pembaca terhadap Sastra Melayu Tionghoa, Sosiologi Sastra, dan Sastra Populer.
Penulis Juli 2008
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
vii
DAFTAR ISI
PRAKATA ..................................................................................................................... iv DAFTAR ISI.................................................................................................................. vii IKHTISAR..................................................................................................................... ix BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................... 7 1.3. Tujuan ...................................................................................................................... 7 1.4. Metode Penelitian .................................................................................................... 8 1.5. Sistematika Penulisan .............................................................................................. 9 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengantar.................................................................................................................. 10 2.2. Sastra Melayu Tionghoa .......................................................................................... 11 2.3. Sosiologi Sastra........................................................................................................ 14 2.4. Sastra Populer .......................................................................................................... 17 BAB 3 UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN BALI DALAM LEJAK 3.1. Pengantar.................................................................................................................. 22 3.2. Sinopsis Lejak .......................................................................................................... 23 3.3. Analisis Unsur Kebudayaan Bali dalam Lejak ........................................................ 24 3.3.1. Bahasa ................................................................................................................... 25 3.3.2. Organisasi Sosial................................................................................................... 29 3.3.3. Sistem Pengetahuan dan Ilmu Gaib ...................................................................... 31 3.3.4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi................................................................. 37 3.3.5. Sistem Mata Pencaharian Hidup ........................................................................... 40 3.3.6. Sistem Religi ......................................................................................................... 41 3.3.7. Kesenian................................................................................................................ 46 BAB 4 CIRI-CIRI SASTRA POPULER DALAM LEJAK 4.1. Pengantar.................................................................................................................. 47
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
viii
4.2. Ciri-Ciri Sastra Populer dalam Lejak ....................................................................... 51 4.2.1. Tokoh Stereotip..................................................................................................... 51 4.2.2. Sistem Bintang ...................................................................................................... 52 4.2.3. Sistem Headline .................................................................................................... 53 4.2.4. Pengharaman Ambiguitas ..................................................................................... 54 4.2.5. Fungsinya sebagai Hiburan ................................................................................... 54 4.2.6. Bentuknya sebagai Seni Pelarian .......................................................................... 55 4.2.7. Sentimentalitas ...................................................................................................... 55 BAB 5 KESIMPULAN ................................................................................................. 57 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... x LAMPIRAN................................................................................................................... xiii
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
xiv
Besar jang Kekel dan Bergoemilang (1930), Kisikannja Allah (1930), Bandoeng di Waktoe Malem (1931), Minjak dan Aer (1931), Tjinta atawa Kewadjiban (1931), Hati Prampoean Boleh Dipertjajah? (1931), Bidadari dari Telaga Toba (1934), Pembalasannja Saorang Miskin (1934), Djadi Pendita (1934), Dalem Tjengkreman Iblis (1934), Partiwi.. Roos dari Danau Bratan (1935), Lejak (1935), Maharadja: satoe drama di Hindoestan (1935), Auto Setan jang Menggemperkan Seloeroe San Fransisco (1935), Melantjong ke Bali (1935), Sato Millioen (1938), Dimana Adanja Allah (1938), Miss Lien Hsing (1938), Gadis Kolot (1939), Njanjian dari Sorga (1948), Nona dengan Kembang Sedep Malem (1948), Pengadilan Tinggi di Acherat (1948), Ichlas Berkorban (1948), Bidadari Kembang (1948), Dewi Kintamani (1954), Pengantar ke Bali (1954), Numerology, Kegaiban Angka (1958), Djimat-Djimat Berbagai Bangsa (1959), Pengaruh Tersembunji dari Sagala Sesuatu (1959), Pengoendjoengan Poelo Bali, Aneka Aneh, Horoscop Tjermin Manusia, Ensiklopedi Populer; Kuntji Pengetahuan untuk Seluruh Keluarga, Kepribadianmu: Modal Utama dan Tjatatan Harian Mereka jang Telah Berhasil dalam Hidupnja; Baik Pedagang atau Kaum Buruh, serta Pepatah-Pepatah untuk Pedoman Hidup. Menurut Nio Joe Lan (1962: 32), masa keemasan sastra Melayu-Tionghoa berakhir pada tahun 1942, tepatnya setelah penjajahan Jepang. Namun demikian, berdasarkan data yang dapat kita lihat di atas, Soe Lie Piet masih mengeluarkan enam belas karyanya setelah tahun tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa Soe Lie Piet bukanlah pengarang yang membiarkan kreativitasnya mati begitu saja hanya karena keadaan di sekitarnya tidak lagi kondusif. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa Soe Lie Piet adalah pengarang yang cukup produktif. Sayangnya, ia hanya dibicarakan sepintas lalu pada hampir setiap buku tentang Sastra Melayu-Tionghoa yang penulis baca. Untuk itu, penulis berharap bahwa penelitian yang penulis lakukan dapat membuat para pembaca mengenal sesosok pengarang dengan kontribusi yang tidak sedikit dalam perkembangan kesusastraan Indonesia.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
xv
BIOGRAFI PENULIS
Orang bilang, nama adalah cerminan dari doa dan harapan orang tua terhadap anak-anak mereka. Tetapi dengan menamakan saya Fatya Permata Anbiya, yang artinya‘Gadis Permata Para Nabi’, sepertinya orang tua saya berharap terlalu banyak. Saya lahir di Jakarta pada tanggal 06 Januari 1987. Sejak kecil, saya lebih sering menghabiskan waktu dengan kakak lelaki saya karena kakak perempuan saya enggan bermain dengan saya. Saya tahu, kakak perempuan saya menyayangi saya. Hanya saja, dia lebih menyayangi mainan-mainannya yang kerap kali saya rusakkan. Ketika saya berusia sebelas tahun, kakak lelaki saya meninggal dunia. Saya tahu, seisi rumah merasa sangat kehilangan, dan bercerita apa pun tentang almarhum kakak saya hanya akan membuat kami semua semakin sedih. Maka saya memutuskan untuk bercerita ke tempat lain yang bisa menampung kesedihan saya tanpa harus ikut mengucurkan air mata: buku harian. Kebiasaan mengisi jurnal ternyata membuat saya terlatih untuk menulis. Akhirnya, saya menyadari bahwa tangan saya jauh lebih berfungsi dari yang saya kira, jauh lebih berguna daripada sekadar perusak benda-benda yang saya sentuh. Ketika saya bersekolah di SMU Muthahhari Bandung, guru Bahasa Indonesia saya— yang pertama kali mempublikasikan tulisan saya, “Kekuatan Pilihan” yang terdapat dalam buku Larik Lirik—menyarankan agar saya meneruskan studi di bidang sastra. Saya pun menurutinya dan melanjutkan pendidikan di Program Studi Indonesia FIB UI sehingga terciptalah skripsi ini. Karya saya yang lain adalah “Jangan Lupa, Namanya Avisena!” dalam Batak is the Best dan “Berbagi Kamar” dalam Toilet Lantai 13.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
ix
IKHTISAR FATYA PERMATA ANBIYA. Unsur-Unsur Kebudayaan Bali dan Ciri-Ciri Sastra Populer dalam Lejak (di bawah bimbingan Ibnu Wahyudi). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2008. Penelitian pustaka mengenai unsur-unsur kebudayaan Bali dan ciri-ciri sastra populer dalam Lejak telah dilakukan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Unit Perpustakaan Terpadu Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lejak mengandung tujuh unsur kebudayaan Bali, yaitu bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan dan ilmu gaib, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian. Di samping itu, Lejak juga mengandung tujuh ciri kepopuleran, yaitu tokoh stereotip, sistem headline, pengharaman ambiguitas, fungsinya sebagai penghibur, sentimentalitas, serta bentuknya sebagai seni pelarian.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Selama ini, para ahli sastra masih sering berbenturan pendapat tentang permulaan sejarah sastra Indonesia. Umumnya mereka berpendapat bahwa sastra Indonesia dimulai dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1917 (Wahyudi, 2005: 183). Akan tetapi, Wahyudi (2005: 201) berpendapat bahwa yang layak digolongkan ke dalam khazanah sastra Indonesia bukan hanya karya-karya mainstream terbitan resmi pemerintah (Belanda di masa lalu dan Indonesia setelah kemerdekaan), atau yang hanya bernilai sastra, melainkan semua karya sastra, baik karya sastra serius maupun karya sastra populer. Dalam tulisannya yang lain, Wahyudi (2004: 17) mengemukakan bahwa karya sastra populer terbilang paling sesuai untuk dikonsumsi oleh pembaca yang baru melek huruf dengan rata-rata tingkat pendidikan yang cenderung masih sangat
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
2
rendah. Karya-karya sastra populer sangat mempertimbangkan faktor pembaca sebagai konsumen. Sehubungan dengan itu, maka orientasi sastra populer adalah orientasi pasar, bukan orientasi kualitas. Selain itu, Wahyudi (2004: 19) juga berpendapat bahwa semua karya sastra yang memakai bahasa Melayu atau Indonesia dan ditulis dengan aksara latin serta mencantumkan nama pengarangnya—dari golongan mana pun pengarang tersebut berasal—layak dikategorikan sebagai khazanah sastra Indonesia. Golongan yang dimaksud adalah penulis Indo-Eropa, Tionghoa peranakan, dan pribumi. Karya-karya kedua golongan pertama umumnya terbit sebelum dan di luar Balai Pustaka. Pada akhir abad ke-19, orang-orang Tionghoa yang lahir di Indonesia—atau yang juga disebut sebagai orang Tionghoa peranakan—mulai menulis dengan menggunakan bahasa Melayu. Tulisan mereka ini kemudian disebut sebagai karya sastra Melayu-Tionghoa (Suryadinata, 1996: 5). Bertolak pada pendapat Wahyudi tadi, maka karya sastra Melayu Tionghoa pun layak diperhitungkan sebagai bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia. Nio Joe Lan (1962: 32) berpendapat bahwa sejarah sastra Melayu Tionghoa terbagi ke dalam tiga zaman. Pertama, zaman Lie Kim Hok, tepatnya pada tahun 1880-1915. Pada zaman ini, belum banyak pengarang Tionghoa peranakan yang menguasai tata bahasa Melayu dengan baik. Lie Kim Hok adalah tokoh utama yang berperan dalam memperbaiki penggunaan bahasa karena ia menerima pendidikan yang lebih baik daripada yang lain. Kedua, zaman sesudah Lie Kim Hok, tepatnya
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
3
pada tahun 1915-1925. Pada zaman ini, Lie Kim Hok sudah wafat, tetapi banyak pengarang Tionghoa peranakan yang mengikuti jejaknya dan mulai menulis dengan tata bahasa yang baik. Ketiga, zaman cerita bulanan, tepatnya pada tahun 1925-1941. Pada zaman ini, terdapat lebih banyak kesempatan bagi para pengarang Tionghoa peranakan untuk mempublikasikan karya mereka sehingga masyarakat dapat menikmatinya. Namun demikian, pada saat itu, para wartawan masih menguasai media massa dan belum banyak pembaca yang bisa menyalurkan karya mereka untuk diterbitkan. Para wartawan tidak hanya meliput berita-berita yang kemudian diterbitkan di koran, tetapi juga menulis cerita-cerita fiksi yang kemudian dikonsumsi oleh pembaca. Cerita yang mereka tulis pun umumnya berasal dari berita sehingga tema-tema yang mereka angkat tidak jauh dari kriminalitas. Di samping itu, tema kriminalitas—cerita tentang kebaikan melawan kejahatan—merupakan tema yang digemari oleh masyarakat, baik zaman dulu maupun sekarang. Salah satu karya sastra Melayu Tionghoa tertua yang bertema kriminalitas adalah Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang, yang terbit pada tahun 1903 (Nio, 1962: 46). Akan tetapi, semakin lama tema cerita pun semakin beragam. Beberapa di antaranya adalah cerita romantis, cerita tragis, roman antarbangsa, cerita bertendensi, cerita mistis, dan bahkan roman tentang orang di luar golongan Tionghoa peranakan. Di antara tema-tema yang lain, dua tema terakhirlah yang paling banyak memanfaatkan latar belakang masyarakat pribumi. Salah satu penulis peranakan yang
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
4
cukup banyak menggunakan latar belakang masyarakat pribumi adalah Soe Lie Piet. Beberapa karyanya yang menceritakan keadaan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia adalah Bandoeng di Waktoe Malam (1931), Bidadari dari Telaga Toba (1934), Lejak (1935), Melantjong ke Bali (1935), Dewi Kintamani (1954), Pengantar ke Bali (1954), serta Pengoendjoengan Poelo Bali. Lima dari tujuh karya tersebut memiliki satu kesamaan, yaitu Bali. Sayangnya, penulis hanya bisa menemukan tiga di antaranya, yaitu Lejak, Melantjong ke Bali, dan Dewi Kintamani. Namun, dalam penelitian ini, penulis hanya akan menganalisis Lejak karena unsur kebudayaan Bali yang terdapat dalam Dewi Kintamani hanya sedikit dan bahkan dapat kita temukan dalam Lejak. Unsur kebudayaan Bali tersebut antara lain tentang kesenian tari Legong (Soe, 1954: 53), Hari Raya Nyepi (Soe, 1954: 59), dan upacara Ngaben (Soe, 1954: 73). Selain itu, setelah membaca sinopsis karya Soe Lie Piet lainnya yang berjudul Djadi Pendita (Nio, 1962: 79), penulis menemukan kemiripan cerita dengan Dewi Kintamani. Keduanya bercerita tentang seorang pria yang belajar keluar negeri, menjalin hubungan dengan gadis setempat, namun dipanggil pulang ke tanah air untuk dijodohkan. Kendati demikian, bukan berarti Dewi Kintamani tidak memiliki kelebihan apa pun. Di dalamnya, pembaca dapat menemukan bayangan tentang latar kota Paris yang indah (Soe, 1954: 40), serta gambaran tentang suasana mencekam ketika terjadinya letusan Gunung Batur (Soe, 1954: 60).
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
xiii
MENGENAL SOE LIE PIET: KEHIDUPANNYA DAN KARYA-KARYANYA
Soe Lie Piet lahir di Tanah Abang pada tahun 1904 dan bekerja di tempat ayahnya yang memiliki toko kue. Ia mempunyai dua nama lain, yaitu Monsieur Adonis (nama samaran) dan Salam Sutrawan (nama Indonesia). Pada beberapa karyanya, terkadang ia menggunakan inisial S.L.P. Sejak kecil Soe Lie Piet gemar menulis puisi dan mengirimkannya ke media massa. Ia mulai menyumbangkan artikel ke beberapa surat kabar sekitar 1924, kemudian pindah ke Sumatera, bekerja untuk Tjin Po di Medan. Pada tahun 1927, ia menjadi kepala editor Han Po di Palembang. Setahun berikutnya, ia pun kembali ke pulau Jawa. Pada tahun 1928—1929, ia menjadi kepala editor dalam sebuah cerita bulanan bernama Penghidoepan. Setelah itu, pada tahun 1930, ia meluncurkan majalah Library dengan berbagai artikel tentang beragam topik, serta bekerja sama dengan majalah Sunrise di Batavia. Pada tahun 1951, ia menjadi editor di harian Sedar, Jakarta, yang hanya dicetak selama setahun. Untuk sementara, ia pun bekerja sebagai pegawai di Bank Chartered. Sejak tahun 1960-an, Soe Lie Piet mengabdikan seluruh waktunya dalam penerbitan bermacam-macam buku tentang astrologi, teosopis, dan mistisisme. Zaman keemasaannya sebagai novelis adalah antara tahun 1929—1954. Novelnovelnya muncul di berbagai majalah seperti Penghidoepan, Tjerita Roman, Tjerita Novel, dan Liberty. Selain itu, ia juga menerbitkan buku pedoman untuk berwisata ke Bali sebelum Perang Dunia ke-2. Pada saat itu, Bali baru mulai menarik turis, terutama orang-orang Cina. Setelah Perang Dunia ke-2, ia menerbitkan cerita-cerita pendek dan novel di beberapa majalah seperti Tjantik, Goedang Tjerita, dan Bulan Purnama. Ia juga menerjemahkan suatu cerita Barat karya Marie Corelli ke dalam bahasa Melayu. Berikut ini adalah karya-karya yang Soe Lie Piet hasilkan semasa hidupnya: Oh, Dear Love! (1928), Takdir?! (1929), Oeler jang Tjantik (1929), Satoe Perkataan
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
5
Adapun Melantjong ke Bali tidak akan penulis analisis karena bentuknya bukan fiktif, melainkan sebuah laporan perjalanan. Dengan kata lain, Melantjong ke Bali merupakan rekaman pengalaman Soe Lie Piet selama di Bali dan unsur-unsur kebudayaan Bali yang ia masukkan ke dalam novel-novelnya diambil dari pengalaman ini. Dari Lejak, kita dapat melihat berbagai informasi menarik tentang kebudayaan Bali. Pertama, penggunaan beberapa istilah dalam bahasa Bali. Kedua, organisasi sosial berupa pembagian kasta. Ketiga, sistem pengetahuan dan ilmu gaib masyarakat Bali. Keempat, gambaran tentang mata pencaharian yang umum di Bali. Kelima, peralatan hidup masyarakat Bali yang masih sederhana ketika karya ini lahir. Keenam, hal-hal yang berkaitan dengan sistem religi atau kepercayaan masyarakat Bali, seperti Hari Raya Nyepi, upacara ngaben (pembakaran mayat), upacara pernikahan, serta Hari Raya Galungan. Ketujuh, contoh kesenian Bali, yaitu tari Legong. Claudine Salmon (Suryadinata, 1996: 170) berpendapat bahwa Soe Lie Piet menciptakan novel etnografis seperti ini karena ingin menciptakan alam yang cukup aneh untuk menghibur para pembaca seperti yang dilakukan oleh pengarangpengarang Barat yang menulis cerita eksotis. Setelah membaca karya-karyanya, penulis dapat melihat bahwa banyaknya karya Soe Lie Piet tentang Bali tidak lain karena ia menemukan kemiripan antara kebudayaan Bali dan kebudayaannya sendiri sebagai orang Tionghoa. Contohnya, persembahan kepada Dewa yang dilakukan setiap tanggal lima belas (Soe, 1954: 7),
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
6
pesta Kuningan setelah Galungan di Bali seperti pesta Goansiauw yang dilakukan orang Tionghoa (Soe, 1935: 77), serta penggunaan hioshwa atau asap Cina ketika bersembahyang (Soe, 1935: 85). Faktor lain yang menonjol dari Soe Lie Piet adalah fakta bahwa ia merupakan seorang ayah dari dua orang tokoh yang terkenal hingga saat ini, yaitu Soe Hok Djin (alias Arief Budiman, sosiolog yang kini mengajar di Melbourne University) dan Soe Hok Gie (aktivis Angkatan ’66 yang tewas di Gunung Semeru pada 1969). Sayangnya, masyarakat lebih sering membicarakan anak-anaknya daripada karyakaryanya. Untuk itulah, penulis tertarik untuk menganalisis karya-karya Soe Lie Piet, yang umumnya merupakan karya sastra populer. Berbeda dengan karya sastra serius yang dapat menimbulkan perenungan dalam diri pembaca, novel populer berisi hiburan semata dan merupakan sebuah karya eskapis, yaitu karya yang digunakan pembaca guna melarikan diri dari kepenatan sehari-hari (Sumardjo dan Saini, 1991: 23). Meskipun karya eskapis umumnya miskin akan unsur intrinsik, kedudukannya dalam dunia sastra juga tak bisa diremehkan. Jika semua karya menuntut interpretasi, lambat laun pembaca akan merasa jenuh. Di samping itu, karya sastra populer merupakan dokumentasi sosial yang mengadaptasi kebudayaan yang sedang berlaku saat karya tersebut lahir, sehingga pembaca dapat lebih terlibat secara emosional ketika membacanya karena menemukan banyak hal yang mereka kenal.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
7
Wahyudi (2003: xx) juga berpendapat bahwa masyarakat yang baru saja terbebas dari belenggu kebutahurufan pada zaman dahulu tentunya tidak akan menuntut terlalu banyak dari segi kesastraan terhadap karya sastra yang mereka baca. Untuk kalangan pembaca semacam ini, apa yang mereka butuhkan tidak leih dari karya-karya sederhana, tetapi yang terutama mampu menarik perhatian mereka. Tujuan utama mereka membaca adalah untuk memperoleh semacam hiburan yang seadanya melalui bacaan yang sederhana pula. Jadi, dapat dikatakan bahwa karya sastra Melayu Tionghoa layak diperhitungkan sebagai bagian dari sastra Indonesia, dan untuk itu pula patut dibicarakan.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan membahas tiga hal dalam penelitian ini. 1.2.1. Apakah Lejak termasuk karya sastra Melayu-Tionghoa? 1.2.2. Apa saja unsur kebudayaan Bali yang dapat ditemukan dalam Lejak? 1.2.3. Apa saja unsur kepopuleran yang digunakan Soe Lie Piet dalam menciptakan Lejak?
1.3. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.3.1. Menjelaskan Lejak sebagai karya sastra Melayu-Tionghoa.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
8
1.3.2. Menunjukkan kebudayaan Bali yang tercermin dalam Lejak. 1.3.3. Menjelaskan Lejak sebagai karya sastra populer kepada para pembaca yang selama ini hanya menganggapnya sebagai bacaan ringan yang tidak memiliki konvensi tertentu.
1.4. Metode Penelitian Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, yang berasal dari akar kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah (Ratna, 2006: 34). Penelitian adalah usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik, dan dapat dipertanggungjawabkan (Wasito, 1992: 6). Adapun metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan karena penulis tidak melakukan penelitian lapangan seperti wawancara, melainkan hanya mengumpulkan data dari berbagai literatur (Wasito, 1992: 10). Sumber-sumber literatur dalam penelitian ini penulis dapatkan dari beberapa tempat, seperti Perpustakaan FIB UI, Unit Perpustakaan Terpadu UI, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Di samping itu, penulis juga menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2006: 53). Pertama-tama, penulis akan memaparkan fakta apa saja yang ditemukan dari
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
9
dalam teks. Setelah itu, penulis menganalisisnya dengan berlandaskan teori yang telah penulis sebutkan.
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi dalam lima bab. Bab pertama berisi pendahuluan, yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi landasan teori yang diawali dengan perkenalan lebih lanjut terhadap sastra Melayu-Tionghoa, kemudian teori sosiologi sastra dan teori sastra populer. Bab ketiga berisi sinopsis novel Lejak dan analisis tentang unsur-unsur kebudayaan Bali yang tercermin di dalamnya. Bab keempat berisi analisis ciri-ciri sastra populer dalam Lejak yang sesuai dengan ciri-ciri sastra populer menurut Kaplan. Bab kelima berisi kesimpulan dari keempat bab sebelumnya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
10
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Pengantar Secara umum, sastra Melayu-Tionghoa adalah karya sastra yang ditulis oleh pengarang Tionghoa peranakan. Namun, di samping pengertian sederhana tersebut, karya-karya itu memiliki sejarah yang menguatkan kedudukannya dalam dunia kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sebelum memulai analisis, penulis akan memperkenalkan sejarah sastra Melayu-Tionghoa kepada pembaca dengan memanfaatkan informasi dari buku Sastera Indonesia-Tionghoa karya Nio Joe Lan. Lejak adalah karya sastra Melayu-Tionghoa yang mengandung banyak unsur kebudayaan Bali. Soe Lie Piet dapat menyisipkan begitu banyak informasi tentang Bali karena ia sendiri pernah berdiam di sana selama kurang lebih satu tahun. Dengan kata lain, karya-karya itu merupakan hasil observasi Soe Lie Piet terhadap
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
11
kebudayaan Bali dan interaksinya dengan masyarakat setempat, yang kemudian ia gabungkan dengan imajinasinya. Ratna (2006: 334) berpendapat bahwa pada umumnya, para pengarang yang berhasil
adalah
para
pengamat
sosial
karena
merekalah
yang
mampu
mengkombinasikan fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional. Soe Lie Piet sesuai dengan gambaran tersebut karena ia menggabungkan pengalaman dan imajinasinya sehingga menghasilkan karya yang dapat merefleksikan keadaan sosial pada saat karya itu lahir. Dalam menganalisis unsur-unsur sosiologis—dalam hal ini kebudayaan Bali—yang dapat ditemukan dalam Lejak, penulis akan menggunakan teori sosiologi sastra yang terdapat dalam Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas karya Sapardi Djoko Damono. Tidak jauh berbeda dengan karya sastra Melayu-Tionghoa lainnya, Lejak tergolong ke dalam karya populer karena bahasa dan temanya yang ringan. Di samping itu, kita juga dapat menemukan beberapa ciri kepopuleran lain di dalamnya. Ciri kepopuleran tersebut akan penulis analisis dengan berpedoman pada pendapat Abraham Kaplan dalam “The Aesthetic of Popular Arts”.
2.2. Sastra Melayu Tionghoa Pada zaman dahulu, orang Tionghoa-Peranakan pada umumnya tidak dapat membaca buku yang berasal dari Tiongkok dan juga tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia (Melayu Tinggi). Namun, sebagai manusia budaya, mereka membutuhkan
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
12
bacaan. Maka lahirlah penulis dari kalangan mereka yang karyanya ditulis dalam bahasa sehari-hari (Melayu Pasar). Pada awalnya, karya-karya ini hanya berkisar pada cerita yang berasal dari Tiongkok yang diterjemahkan sekadarnya. Cerita-cerita ini umumnya bertemakan cerita silat. Para penulis meminta teman mereka yang mengerti bahasa Mandarin untuk membacakan sebuah cerita, kemudian mereka menyalinnya dalam bahasa Melayu Pasar (Nio, 1962: 11). Menurut Nio (1962: 10), ada empat alasan yang membuat perhatian mereka menjurus ke cerita Tiongkok. Pertama, sebagai orang Tionghoa, mereka hidup dalam suasana kebudayaan Tiongkok. Kedua, di Jakarta, pada zaman dulu acap kali diadakan pertunjukan wayang atau cerita opera Tiongkok yang menampilkan kisahkisah pendekar rakyat Tiongkok. Ketiga, banyaknya tukang cerita Tionghoa yang membacakan berbagai cerita Tiongkok dengan menerima sedikit bayaran dari para pendengarnya. Keempat, pemerintah Belanda mewajibkan orang Tionghoa tinggal di kampung khusus yang terpisah dari bangsa lain sehingga mereka terkungkung dalam kebudayaan mereka sendiri. Namun demikian, setelah sekian lama menetap di Indonesia, mereka pun menginginkan cerita dengan latar yang mereka kenal dan yang mencerminkan keadaan yang ada di sekitar mereka (Nio, 1962: 12). Maka lahirlah karya-karya yang berlatar Indonesia dengan orang Tionghoa peranakan sebagai tokoh dominan.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
13
Sebagian besar, cerita itu berlatar Pulau Jawa, tetapi ada pula yang berlatar pulau lain, seperti Bali, Sulawesi, Sumatera, bahkan Irian Jaya (Nio, 1962: 33). Lambat laun, para pengarang Tionghoa peranakan tidak hanya menggunakan latar, tetapi juga tokoh pribumi. Berbeda dengan roman antarbangsa yang menceritakan kisah cinta antara pemuda Tionghoa dengan gadis Indonesia maupun sebaliknya, karya-karya ini bercerita tentang sepasang kekasih pribumi (Nio, 1962: 36). Akan tetapi, kekayaan kebudayaan Indonesia yang menjadi sumber inspirasi bagi beberapa pengarang Tionghoa peranakan membuat mereka mulai melahirkan karya yang mengandung unsur kebudayaan lokal, seperti Bertjerai Kasih karya Njoo Cheong Seng yang berlatar Sumatera (Nio, 1962: 121). Bahkan, tidak sedikit yang mengambil kejadian alam di Indonesia, seperti Drama dari Krakatau karya Kwee Tek Hoay dan Meledaknya Gunung Kelud karya Liem Khing Hoo (Nio, 1962: 37). Damono (1984: 7) mengemukakan bahwa golongan keturunan Tionghoa hidup dari berdagang, tapi mereka juga membutuhkan seni untuk mengisi waktu senggang. Karena mereka semakin jauh dari bahasa leluhur dan kurang akrab dengan bahasa Belanda maupun bahasa daerah, mereka pun mengembangkan bahasa Melayu Rendah dalam persuratkabaran dan kesusastraan. Mereka tidak mengalami kesulitan untuk melakukan itu karena jumlah mereka lebih besar dibanding keturunan Belanda dan perekonomian mereka lebih baik daripada keturunan pribumi. Jadi, sastra Melayu-Tionghoa merupakan hasil nyata dari kebutuhan akan hiburan yang ditunjang oleh kepandaian berdagang.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
14
Kartakusuma (1984: 4) juga berpendapat bahwa pasaran sastra MelayuTionghoa memang lebih terbatas dibanding karya lain yang berbahasa Indonesia, tapi keuntungan yang mereka hasilkan jauh lebih banyak. Selain karena bahasanya yang lebih mudah dimengerti, harganya pun lebih terjangkau. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra Melayu-Tionghoa memiliki kedudukan yang cukup penting dalam perkembangan kesusastraan Indonesia karena karya-karya itu memenuhi kebutuhan membaca masyarakat awam yang pada saat itu masih belum mampu membaca ataupun membeli karya sastra serius.
2.3. Sosiologi Sastra Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, karya sastra dihasilkan oleh pengarang. Kedua, pengarang merupakan anggota masyarakat. Ketiga, pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat. Keempat, hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2006: 60). Soe Lie Piet merupakan anggota masyarakat Tionghoa peranakan yang sempat bermukim di Bali, memanfaatkan kekayaan masyarakat Bali berupa kebudayaan mereka, kemudian melahirkan beberapa karya yang akhirnya dikonsumsi oleh para pembaca—yang juga merupakan anggota masyarakat. Lejak adalah salah satu di antara lima karya Soe Lie Piet yang memanfaatkan unsur sosiologis berupa
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
15
unsur kebudayaan Bali. Maka, pendekatan yang paling sesuai untuk menganalisis novel ini adalah sosiologi sastra. Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial karena novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,
memiliki
media
yang
paling
luas,
menyajikan
masalah-masalah
kemasyarakatan yang juga paling luas, serta bahasa novel yang cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif (Ratna, 2006: 335). Lejak merupakan salah satu contoh prosa yang menyajikan informasi tentang kebudayaan Bali dengan cukup baik, meskipun kandungannya tidak selengkap catatan historis tentang Bali. Teori sosiologi sastra yang penulis gunakan dalam menganalisis novel ini adalah teori yang terdapat dalam buku Sapardi Djoko Damono (1979). Ia berpendapat bahwa sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal ini, tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Damono, 1979: 10).
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
16
Menurut Damono (1984: 1), sastra dapat memberi gambaran tentang keadaan dan tata cara negeri-negeri jauh. Dengan membaca sebuah karya sastra, pembaca di suatu tempat berkemungkinan mendapat informasi tentang keadaan masyarakat di tempat lainnya. Misalnya, ketika membaca Lejak, pembaca mendapat gambaran tentang masyarakat Bali—walaupun tidak secara keseluruhan—tanpa harus datang ke sana. Suatu karya sastra tidak terlepas dari penciptanya yang dipengaruhi oleh struktur sosial tempat ia berada (Siregar, 1984: 2). Sebagai contoh, Lejak berlatar Bali. Akan tetapi, dalam penceritaannya, Soe Lie Piet tidak menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar cerita, kecuali beberapa penggunaan istilah lokal, melainkan bahasa Melayu Pasar. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1984: 7), bahwa bahasa merupakan simbol ekspresif suatu budaya. Soe Lie Piet merupakan bagian dari golongan Tionghoa peranakan dan ia menulis dengan bahasa yang digunakan oleh komunitasnya. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan pengaruh kebudayaan Bali yang ia terima selama ia berada di sana. Maka, lahirlah karya sastra dengan bahasa Melayu Pasar yang merupakan gambaran tentang Bali. Menurut Damono (1979: 10), pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra, bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Jadi, penulis akan menganalisis Lejak dengan mengambil unsur-unsur yang sekiranya mengandung gambaran tentang
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
17
keadaan sosial pada saat karya tersebut lahir. Unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur kebudayaan yang dijabarkan oleh Koentjaraningrat (1980). Adapun teori yang penulis gunakan adalah teori Hippolyte Taine, filsuf, sejarawan, politisi, dan kritikus Prancis yang hidup antara tahun 1766 dan 1817. Bagi Taine, sastra bukanlah sekadar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman tata cara zamannya, suatu perwujudan macam pikiran tertentu (Damono, 1979: 21). Contohnya, kebudayaan Bali yang tercermin dalam Lejak belum tentu mencerminkan keadaan Bali pada saat ini. Pola pikir masyarakat Bali pun bukan tidak mungkin sudah banyak berubah sejak saat itu. Taine juga berpendapat bahwa sastra selalu menyesuaikan diri dengan cita rasa masyarakat pembacanya (Damono, 1979: 23). Kualitas sebuah karya sastra dinilai oleh pembaca sebagai penikmat. Sebaik apa pun bahasa yang pengarang gunakan untuk menciptakan karyanya, jika isi ceritanya tidak dapat menarik minat pembaca, maka karya tersebut tidak dapat dikatakan sebagai karya sastra yang baik. Meskipun Lejak tidak disajikan dalam bahasa Melayu Tinggi, pada dasarnya cerita yang ingin Soe Lie Piet sampaikan dapat diterima dengan baik oleh para pembaca karena ia memenuhi kebutuhan mereka akan bacaan ringan yang menghibur.
2.4. Sastra Populer Senada dengan para ahli di atas, Kaplan (1967: 75) berpendapat bahwa sastra populer juga dapat menjelaskan keadaan sosial. Ia pun mengemukakan bahwa ciri-
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
18
ciri karya sastra populer adalah tokoh stereotip, sistem bintang, novelty dan repetisi, sistem
headline,
pengharaman
ambiguitas,
fungsinya
sebagai
hiburan,
sentimentalitas, serta bentuknya sebagai seni pelarian..
2.4.1. Tokoh Stereotip Kaplan (1967: 67) berpendapat bahwa karya populer bukanlah sebuah penemuan, melainkan hanya penegasan akan sesuatu yang sudah ada. Setiap stereotip adalah kristalisasi dari praanggapan. Dengan kata lain, ketika karya itu disajikan, konsumen (baik pembaca maupun penonton) sudah memiliki penilaian tentang tokoh di dalam cerita. Contohnya, ibu tiri biasanya digambarkan sebagai tokoh yang jahat dan keji. Dalam Lejak, tokoh protagonis digambarkan sebagai orang yang rupawan, sementara tokoh antagonis digambarkan sebagai orang yang berwajah bengis. Padahal, pada kenyataannya, tidak sedikit orang jahat yang terlihat seperti orang baik-baik. Namun demikian, dalam menciptakan sebuah karya sastra populer, pengarang dituntut untuk memenuhi ekspektasi pembaca akan gambaran tokoh tertentu.
2.4.2. Sistem Bintang Seni populer, apa pun mediumnya, memiliki salah satu elemen yang dominan, sementara yang lain hanya berfungsi sebagai subordinat (Kaplan, 1967: 67). Inilah
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
19
yang disebut sistem bintang. Pada karya sastra populer, unsur-unsur intrinsik dapat kita ibaratkan seperti bintang. Umumnya, ada satu unsur intrinsik yang menonjol, sementara yang lain hanya berfungsi sebagai penopang. Dalam Lejak, misalnya, kita dapat menemukan banyak unsur latar—baik latar geografis maupun latar sosial. Akan tetapi, unsur lain seperti tema, alur, tokoh, dan amanat, tidak begitu dominan dalam karya ini.
2.4.3. Novelty dan Repetisi Familiaritas memberi ilusi akan rasa akrab (Kaplan, 1967: 68). Karya populer umumnya memanfaatkan banyak unsur novelty atau kebaruan sehingga pembaca menemukan sesuatu yang mereka kenal dalam karya tersebut. Kemudian, hal baru ini akan terus ditampilkan selama jangka waktu tertentu. Dalam sinetron, misalnya, kita dapat melihat artis yang sama dalam serial yang berbeda. Adapun dalam karya sastra, kita dapat menemukan tema yang sama dalam beberapa cerita yang berbeda.
2.4.4. Sistem Headline Pada karya populer, kita dapat melihat secara sekilas apa yang terjadi, dan bagaimana itu akan berakhir (Kaplan, 1967: 68). Layaknya membaca kepala berita (headline), kita sudah tahu isinya sebelum membaca semuanya. Meskipun kita tidak menemukan ketegangan, hal ini membuat kita merasa aman sehingga kita dapat
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
20
menikmati karya tersebut dengan lebih nyaman. Menurut Kaplan (1967: 69), karya populer adalah alat untuk menetap pada dunia lama yang sama.
2.4.5. Pengharaman Ambiguitas Karya populer menggantikan ambiguitas dengan kompleksitas (Kaplan, 1967: 69). Kita dapat menemukan cerita yang kompleks, tapi tidak menimbulkan multiinterpretasi. Dengan kata lain, dengan cerita serumit apa pun, pembaca yang berbeda tetap akan memiliki pemahaman yang sama. Dalam karya sastra serius, kita kerap kali menemukan makna lain dalam sebuah kata. Pembaca dituntut untuk menginterpretasikan pesan pengarang yang tersembunyi dalam metaphor-metafor tertentu.
2.4.6. Fungsinya sebagai Penghibur Karya populer menawari kita sesuatu untuk mengisi kehidupan kita yang kosong, melawan rasa bosan. Apa yang kita nikmati bukanlah karya tersebut, melainkan apa yang dibawanya kepada pikiran kita (Kaplan, 1967: 70). Ketika membaca karya sastra populer, kita begitu menikmati alur cerita sehingga kita merasa terhibur walau hanya untuk sementara. Salah satu faktor utama yang menyebabkan kita merasa terhibur adalah karena karya sastra populer tidak menuntut kita untuk berpikir ketika membacanya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
21
2.4.7. Sentimentalitas Pada karya populer, perasaan adalah subjek yang paling penting (Kaplan, 1967: 71). Maksudnya, cerita dalam karya populer menimbulkan perasaan tertentu dalam diri pembaca sehingga mereka dapat terlibat secara emosional. Kaplan (1967: 71) juga berpendapat bahwa keahlian seniman (sastrawan) bukanlah menyediakan pengalaman baru, melainkan kesempatan untuk menjalani pengalaman yang sudah ada, yang digambarkan sebagai pengalaman para tokoh di dalam cerita sehingga memancing sentimentalitas pembaca. Dengan kata lain, pembaca seolah-olah menjalani kehidupan para tokoh dalam cerita.
2.4.8. Bentuknya sebagai Seni Pelarian Menurut Kaplan (1967: 73), karya populer tidak hanya menyediakan pelarian dari sesuatu, tetapi juga kepada sesuatu yang lain, menutup dunia nyata dengan membuka pintu ke dunia lainnya. Pada dasarnya, karya populer dapat berfungsi sebagai pelepas ketegangan dan rasa bosan. Kaplan (1967: 75) juga berpendapat bahwa karya populer adalah dongeng yang diceritakan kembali untuk dikonsumsi oleh orang dewasa. Penulis dapat menemukan hal ini (dan juga sebagian besar dari ciri-ciri sebelumnya) dalam Lejak, yang akan dibahas pada bab berikutnya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
22
BAB 3 UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN BALI DALAM LEJAK
3.1. Pengantar Menurut Koentjaraningrat (1980: 180), kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Koentjaraningrat (1980: 203) juga berpendapat bahwa kebudayaan memiliki tujuh unsur, yaitu bahasa, organisaasi sosial, sistem pengetahuan dan ilmu gaib, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian. Dalam Lejak, kita akan menemukan ketujuh unsur tersebut, yang akan penulis analisis pada subbab berikutnya. Sebelum penulis menunjukkan unsur kebudayaan Bali apa saja yang tercermin dalam novel Lejak, penulis akan menyajikan sinopsis novel tersebut
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
23
terlebih dahulu. Dengan demikian, pembaca akan mendapat gambaran tentang alur cerita sehingga dapat memahami analisis pada bagian berikutnya.
3.2. Sinopsis Lejak Novel ini berkisah tentang seorang pemuda keturunan bangsawan yang bernama Gusti Ketut Rai. Sebelum meninggal, ibunya berpesan bahwa ia harus segera menikah. Karena ia tidak pernah mengenal wanita lain kecuali dua orang penari yang merupakan pengikutnya dalam rombongan Legong, ia pun memilih salah satu dari mereka untuk dinikahi. Kedua penari itu bernama Retna Wangsi dan Srirani. Keduanya cantik, tetapi Gusti Ketut Rai memilih Retna Wangsi karena ia memiliki budi pekerti yang lebih baik daripada Srirani. Mereka berdua pun menikah dan meninggalkan dendam yang mendalam pada diri Srirani. Meskipun dari luar tampak ikut berbahagia, Srirani bersumpah bahwa ia akan membuat sepasang suami istri itu menderita. Setelah itu, Srirani pun menikah dengan Nyoman Tugug, anak dari seorang dukun yang terkenal pada saat itu. Srirani tahu bahwa Nyoman meminangnya hanya karena ia tidak bisa menikahi Retna Wangsi. Akan tetapi, hal ini tidak membuatnya marah. Ia justru mengajak Nyoman untuk menyusun rencana guna membalas dendam kepada Gusti Rai dan Retna Wangsi. Dengan bantuan Druggama, ayah Nyoman yang juga merupakan dukun ilmu hitam, akhirnya Srirani dan Nyoman pun mempelajari ilmu menjadi leak. Leak adalah sejenis siluman dan ketika seseorang mempelajari ilmu leak, ia akan bisa membunuh
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
24
semua musuhnya. Namun demikian, mereka tidak akan bisa menjalani kehidupan layaknya manusia pada umumnya. Setelah melakukan tapa sekian lama, mereka hanya bisa mengkonsumsi makanan berupa bangkai dan kotoran. Sejak awal mengetahui bahwa mereka diincar oleh leak, baik Gusti Rai maupun Retna Wangsi sama sekali tidak tahu siapa yang memiliki dendam terhadap mereka. Mereka pun meminta kepada seorang pendeta di Pura Besakih agar melindungi mereka dari gangguan leak. Pendeta itu memberi mereka beras kuning, yang memang terbukti dapat membuat leak kesakitan, tapi tidak bisa mencegahnya untuk kembali lagi. Akhirnya, seorang teman Gusti Rai pun memberitahunya tentang seorang pendeta Cina bernama Tjin Beng Todjin yang baru saja pindah ke daerah Kuta. Pendeta inilah yang pada akhirnya berhasil mengungkap kejahatan Srirani, suaminya, dan ayah mertuanya. Setelah sekian lama hidup menderita di bawah gangguan leak, bahkan kehilangan sepasang putra dan putri karenanya, Gusti Rai dan Retna Wangsi pun hidup bahagia dengan dikaruniai seorang putri lagi.
3.3. Analisis Unsur-Unsur Kebudayaan Bali dalam Lejak Bertolak pada pendapat Taine, bahwa sastra bukanlah sekadar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman tata cara zamannya, suatu perwujudan macam pikiran tertentu (Damono, 1979: 21), penulis akan menganalisis rekaman tata cara kehidupan dan perwujudan pikiran masyarakat Bali dalam Lejak
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
25
dengan mengangkat unsur-unsur kebudayaan Bali di dalamnya. Unsur-unsur kebudayaan Bali yang dimaksud adalah bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan dan ilmu gaib, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, serta kesenian.
3.3.1. Bahasa Sebagai orang Tionghoa peranakan, Soe Lie Piet tidak dapat menggunakan bahasa Bali sebagai pengantar cerita. Namun, ia menyisipkan beberapa istilah dalam bahasa lokal—beberapa di antaranya ditulis sesuai dengan cara pengucapannya— sebagai berikut. 3.3.1.1. Pedande Pedande atau pedanda adalah gelar pendeta agung dari wangsa brahmana. Menurut garis keturunannya, mereka termasuk Pedanda Syiwa atau Pedanda Budha (Basset, 1990: 415). Dalam Lejak, pedande digambarkan sebagai pendeta yang dipercaya untuk memimpin jalannya beberapa upacara keagamaan, seperti yang tercermin dalam kutipan berikut. “Oepatjara sembahyang sigra moelai dilakoeken, pedande-pedande laloe membatja doa-doa jang soetji.” (Soe, 1935: 12)
3.3.1.2. Boreh Boreh atau beboreh adalah param yang terbuat dari rempah-rempah (Sukantra, 1992: 31). Setelah membaca Lejak, penulis menemukan bahwa Soe Lie
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
26
Piet memberi gambaran yang lebih jelas tentang boreh. Tidak hanya bahannya yang terbuat dari rempah-rempah, namun juga penggunaannya yang dilumurkan ke sekujur tubuh. Boreh dapat digunakan dalam proses pengurusan jenazah seperti berikut. “…badannja mait dipakein boreh, satoe tjampoeran dari aer koenjit, merah telor, tepoeng beras, kembang rempah dan aer soetji dari bekas doanja sang pendita.” (Soe, 1935: 17)
3.3.1.3. Banten Banten adalah saji-sajian atau kurban (Granoka, 1985: 14). Dengan intensitas ritual keagamaan yang cukup sering, orang Bali hampir selalu menggunakan banten untuk sembahyang, terutama pada hari raya Galungan sebagai berikut. “Marika sengadja sediaken banten-banten jang besar boeat disoegoeken pada Dewa-dewa serta marika poenja leloehoer jang telah marhoem.” (Soe, 1935: 77)
3.3.1.4. Togog Togog adalah patung (Bagus, 1985: 161). Togog yang tergambar dalam Lejak bukanlah patung pajangan biasa, melainkan patung Dewa, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Ia doedoek bersilah di sitoe sa-aken-aken satoe togog Batara Gana jang biasa ditarok di mana djalan prapatan boeat menolak berbagi rintangan.” (Soe, 1935: 21)
3.3.1.5. Padmasana Padmasana adalah takhta singgasana, bangunan sakral yang melambangkan dunia bertingkat tiga (bagaikan bunga teratai dengan akar di tanah, tangkai di air, dan
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
27
kepala di udara). Pada dasar bangunan terdapat ukiran kura-kura dan naga (Basset, 1990: 415). Padmasana dalam Lejak digambarkan sebagai altar Dewa Siwa yang berbentuk teratai. Soe Lie Piet menyisipkan definisinya dengan cara berikut. “Kemoedian ia pimpin Retna ka satoe padmasana (altar atawa tempat pemoedja’an. Padma= trate, sana=singgasana) dari Batara Siwa.” (Soe, 1935: 24)
3.3.1.6. Badeh Badeh atau Bade adalah usungan jenazah, dipakai dari rumahnya menuju ke kuburan tempat pengabenan (Basset, 1990: 407). Kita dapat menemukan kata badeh pada kalimat berikut. “Akoe pertjaja, akoe djoenjoeng tinggi Goestilah berkah di sepandjang penghidoepan kita ini sahingga sampe di itoe saat paling achir di atas itoe Badeh Pabasmian (tempat di atas mana mait-mait terbakar moesna).” (Soe, 1935: 25)
3.3.1.7. Pamangku Pamangku atau Pemangku adalah pendeta yang bukan berasal dari kasta Brahmana (Basset, 1990: 414). Pamangku yang diceritakan dalam Lejak adalah pendeta yang bekerja sebagai penjaga pura, dan dimintai pertolongan oleh orangorang Bali yang berziarah ke pura tersebut. Contohnya dapat kita temukan pada kutipan berikut. “Kamoedian koetika bapa I Djanoor pergi ka Bongkaseh, minta toeloeng dikasih djimat-djimat oleh Pemangkoe Darmasomo jang terkenal bertapa dalem oetan soetji…” (Soe, 1935: 27)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
28
3.3.1.8. Ngelorot Penulis tidak menemukan kata ngelorot dari keempat kamus Bali yang penulis dapatkan. Akan tetapi, setelah melihat penggunaan kata tersebut dalam cerita, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang Soe Lie Piet maksud adalah ngerorod, yaitu kawin lari (Kersten, 1984: 493), seperti yang nampak dari kutipan berikut. “… apabilah masing-masing soedah setoedjoe dan hendak menikah moesti djalanken itoe kabiasa’an membawak lari lebih doeloe si bakal istri (ngelorot).” (Soe, 1935: 29)
3.3.1.9. Mengigel Mengigel adalah menari atau mengadakan pertunjukan, misalnya arja, legong, baris, topeng, joged, dan lain-lain (Kersten, 1984: 290). Jenis tarian yang terdapat dalam Lejak adalah legong, seperti yang tercermin pada kutipan berikut. “Ia tida lebih ada kaoem Kaoela atawa Wongdjabeh atawa kaoem Soedra jang hina-dina, kendati betoel ia pande mengigel, terutama sebagi Legongdanseres, merdoe iapoenja soeara njanjian!” (Soe, 1935: 30)
3.3.1.10. Sangga Sangga adalah tempat persembahyangan masing-masing keluarga yang terletak di pekarangan rumah dan dikelilingi tembok (Kersten, 1984: 506). Dalam Lejak, sangga digambarkan sebagai tempat meletakkan banten atau sesajen, seperti yang tergambar pada kutipan berikut. “Sasoedah selesih ia masoek ka dalem poela boeat oeroes laen kaperloean jaitoe soegoeken djoega apa-apa jang ditarok di sangga-sangga.” (Soe, 1935: 49)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
29
3.3.1.11. Rangde Rangde atau Rangda adalah perempuan tua dengan rupa monster (dengan caling dan isi perut yang keluar), yang memiliki kekuatan setan dan menjelma sebagai manifestasi yang mengerikan dari salah satu dewa alam bawah dan maut, ataupun sebagai perubahan gaib yang menakutkan (leak) dari seorang tukang tenung yang amat sakti (Basset, 1990: 417). Kita dapat menemukan kata rangda pada kalimat berikut. “…sadjek satoe boelan ini saben malem Djoemahat teroetama malem Kandjeng Kliwon, di waktoe tidoer akoe sering mengimpi peroetkoe diindjekindjek oleh Rangde.” (Soe, 1935: 50)
3.3.2. Organisasi Sosial Yang termasuk organisasi sosial adalah sistem kekerabatan, sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem politik (Koentjaraningrat, 1980: 207). Organisasi sosial yang dapat ditemukan dalam Lejak adalah sistem pelapisan sosial, tepatnya tentang pembagian kasta. Awal pembagian kasta berasal dari India, seperti yang diuraikan pada kutipan berikut. “Kasta di India adalah institusi sosial, […] secara intim terjalin dengan agama Hindu. Dipercayai bahwa Sang Pencipta membuat tiga kelompok […] dari berbagai anggota tubuhnya. Dari kepalanya, muncullah Brahmana, dari badannya Ksatria, dan dari tangan dan kakinya Waisya. […] Para Brahmana menerima rasa hormat tertinggi, mengabdikan diri mereka untuk agama, ritual, pembelajaran, dan pengajaran. Para Ksatria berada di peringkat berikutnya sebagai penguasa, penjaga, dan prajurit. Di bawah mereka terletak Waisya yang menjadi petani, seniman, dan pedagang. Di bawah Waisya, tanpa peringkat apa pun, terletak kaum Sudra, yang berisi para pekerja kasar dan para budak yang terikat dalam tugas-tugas yang hina.” (Majumdar dan T.N. Madan, 1960: 222)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
30
Kutipan tersebut menyebutkan bahwa pembagian kasta erat kaitannya dengan agama Hindu. Masuknya pengaruh Hindu ke Bali dimulai dengan datangnya para pedagang dari India, kemudian disusul dengan datangnya para pemimpin Majapahit yang memperluas kekuasaan mereka ke Bali. Berikut ini adalah salah satu teori tentang pembagian kasta di Bali. “Setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, raja Bali Dalem Waturenggong (sebagai pewaris dan penerus kejayaan Majapahit) yang beristana di Gelgel memperluas kerajaannya sampai ke luar Bali. Ia memanggil seorang pendeta Jawa ke purinya untuk menyatukan peribadatan sekte-sekte dalam agama sinkretis Hindu-Bali dan menetapkan sistem sosial wangsa (kasta) di India purba. Orang keturunan pendeta tersebut menjadi wangsa Brahmana, yaitu golongan pemimpin agama dan pujangga; orang keturunan Raja Dalem menjadi wangsa Ksatria, yaitu golongan raja, pangeran, dan panglima perang yang memegang kekuasaan duniawi; para pejabat, patih dan para pengiring menjadi wangsa Waisya, yaitu golongan pengelola kerajaan. Di bawah hierarki ini, masyarakat Bali asli dijadikan dasar susunan sosial, terdiri atas rakyat jelata, yaitu Sudra.” (Basset, 1990: 101) Dalam Lejak, ada dua kasta yang disebut oleh Soe Lie Piet, yaitu waisya (Gusti Ketut Rai) dan sudra (Retna Wangsi). Secara etimologis, “Gusti” adalah gelar bangsawan, biasanya bagi para waisya (Basset, 1990: 411). Hal ini terlihat dari kutipan berikut. “Goesti Ketot Rai jang termasoek golongan Wesja, rang ketiga dari bangsa Bali poenja Kasta-systeem.” (Soe, 1935: 8) Adapun kasta Retna Wangsi digambarkan pada kutipan berikut. “Ia aken mendjadi istrinja Goesti moeda itoe […] dan itoe semoea peroentoengan bagoes ia tida brani harep […] lantaran antara ia dengen Goesti Rai boekan dari satoe kasta jang sama. Ia tida lebih ada kaoem Kaoela atawa Wongdjabeh atawa kaoem Soedra jang hina dina.” (Soe, 1935: 30)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
31
Jika dikaitkan dengan pengertian kasta waisya menurut Majumdar, bahwa kaum ini terdiri dari para petani, seniman, dan pedagang, jelaslah bahwa Gusti Rai merupakan golongan kedua karena ia memimpin rombongan tari Legong, sementara Retna Wangsi bekerja untuknya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk penamaan tokoh pun, Soe Lie Piet benar-benar memanfaatkan informasi yang ia dapatkan sehingga cerita fiksi yang ia buat menjadi senyata mungkin.
3.3.3. Sistem Pengetahuan dan Ilmu Gaib Menurut Koentjaraningrat (1977: 273), sistem pengetahuan memiliki tujuh objek. Pertama, alam sekitar manusia, contohnya pengetahuan tentang musim-musim. Kedua, alam flora, terutama untuk masyarakat yang hidup dari bercocok tanam dan bertani. Ketiga, alam fauna, terutama bagi masyarakat yang hidup dari berburu. Keempat,
bahan-bahan
mentah
yang
dapat
memudahkan
manusia
untuk
mempergunakan alat-alat hidupnya. Kelima, tubuh manusia, yaitu ilmu untuk menyembuhkan penyakit secara tradisional. Keenam, sifat-sifat dan kelakuan manusia, yaitu pengetahuan tentang sopan santun, adat istiadat, sistem norma-norma, serta hukum adat. Ketujuh, ruang dan waktu, yaitu ilmu untuk menghitung, mengukur, menimbang, atau menentukan tanggal. Dari ketujuh objek tersebut, hanya objek kedua yang dapat kita temukan dalam Lejak, yaitu pengetahuan tentang alam flora. Koentjaraningrat (1977: 274) berpendapat bahwa hampir semua suku bangsa yang hidup dalam masyarakat kecil
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
32
mempunyai pengetahuan tentang rempah-rempah. Rempah-rempah dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, keperluan upacara keagamaan, dan bahkan ilmu perdukunan. Dua kegunaan terakhir dapat kita temukan dalam Lejak.
3.3.1. Untuk keperluan upacara keagamaan Salah satu upacara keagamaan yang menuntut kegunaan rempah-rempah adalah upacara kematian, seperti yang tergambar dalam kutipan berikut. “…badannja mait dipakein boreh, satoe tjampoeran dari aer koenjit, merah telor, tepoeng beras, kembang rempah dan aer soetji dari bekas doanja sang pendita.” (Soe, 1935: 17) Satu hal yang janggal dari kutipan tersebut adalah penyebutan “merah telor”, tapi mungkin yang Soe Lie Piet maksud adalah “kuning telur”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa rempah-rempah yang digunakan dalam upacara kematian adalah air kunyit, telur, tepung beras, dan kembang-kembangan.
3.3.2. Untuk ilmu perdukunan Rempah-rempah juga kerap kali dimanfaatkan dalam ilmu perdukunan, baik sebagai penangkal terhadap ilmu hitam, maupun sebagai pertahanan ilmu hitam. Dalam Lejak, keduanya dijelaskan pada kutipan berikut. “Goesti Rai ada dapetken samatjem barang wasiat jaitoe beras koening jang kaloe ia lemparken itoe padakoe rasanja seperti djaroem-djaroem tadjem jang sakit sekali menoesoek badankoe.” (Soe, 1935: 61) “Akoe bisa ringanken kaoe poenja halangan terseboet jaitoe sabelon kaoe pergi ganggoe Retna Wangsi atawa Goesti Rai, baek kaoe borehin lebih
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
33
doeloe antero koelit badanmoe sama itoe aer koenjit jang akoe simpen di bawah itoe poehoen sembodja hingga kapan kaoe nanti ditimpoek lagi sama itoe beras koening, asal tida kliwat deket, tidalah begitoe sakit sebagimana jang soedah-soedah.” (Soe, 1935: 61)
Adapun tentang ilmu gaib, unsur yang paling menonjol dalam novel ini adalah berbagai informasi tentang leak. Judul Lejak diambil dari kata leak, yaitu perubahan rupa seseorang berkat ilmu hitam menjadi makhluk gaib: monster, binatang, benda hidup, pohon, atau, bagi yang paling sakti, wujud Rangda, ratu para leak (Basset, 1990: 414). Cerita tentang leak sudah umum di kalangan masyarakat Bali, bahkan dapat dikatakan sebagai legenda lokal. Oleh karena itu, Soe Lie Piet banyak memasukkan keterangan tentang leak di novel ini. Pertama, konsekuensi yang harus seseorang terima ketika ia memutuskan untuk menjadi leak. Kedua, syarat-syarat yang harus ia penuhi untuk bisa menguasai ilmu leak. Terakhir, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengusir leak. Ketiga informasi tersebut dapat kita temukan dalam kutipan berikut. “Kaoe selamanja aken tida bisa boenting.”
(Soe, 1935: 45)
“Inget Srirani, satoe kali kaoe bisa djadi lejak kaoe soedah boekan seperti manoesia biasa lasa [sic!] lagi hanja kaoe soedah djadi satoe setan hidoep jang bisa merobah-robah (pian-hoa) kaoe poenja roepa iblis jang menakoetin. Lagi makananmoe adalah bangke-bangke andjing, ajam, bebek, dan sebaginja jang soedah boesoek, jang sering terdapet di soengei-soengei, solokan-solokan dan di tempat-tempat kotoran.” (Soe, 1935: 46)
Dari kutipan tersebut, dapat kita lihat bahwa orang yang menjadi leak tidak akan dapat menjalani kehidupan layaknya manusia normal pada umumnya. Bagi
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
34
wanita, ia tidak akan pernah bisa hamil. Selain itu, leak juga tidak bisa mengkonsumsi makanan yang biasanya dimakan oleh manusia, melainkan hanya berupa bangkai binatang yang sudah membusuk. Jadi, dapat disimpulkan bahwa orang yang menjadi leak benar-benar orang yang akal sehatnya sudah dibutakan oleh dendam, seperti Srirani dan Nyoman Tugug. Berikut ini adalah kutipan yang menunjukkan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi leak. “Tapi dengen mendjadi moerid dalem ini ilmoe item kaoe pasrah serahken dirimoe pada radja Setan, pada sekalian iblis dan Hattayoga dan tida lagi menjoedjoet pada sekalian Bataradewa dari Rajahyoga.” (Soe, 1935: 44) “Peladjaran mendjadi lejak sasoenggoehnja ada kerdja’an jang boekan maen beratnja. Ampatpoeloeh hari lamanja orang moesti tidoer satiap malem di antara koeboeran, pake bantal dari tengkorak manoesia, digoda oleh segala djenis iblis jang selaloe menakoet-nakoetin dengen roepanja jang membikin boeloe badan berdiri kakoe.” (Soe, 1935: 47)
Leak adalah ilmu hitam, maka orang yang ingin mempelajarinya harus menjauhkan diri dari Tuhan dan mendekatkan diri kepada setan. Salah satu cara mendekatkan diri kepada setan adalah membiasakan diri dengan gangguan makhluk halus tersebut, yaitu dengan tidur di antara kuburan dengan alas kepala berupa tengkorak manusia. Namun demikian, betapapun kerasnya usaha yang harus dilakukan untuk menjadi leak, bukan berarti mereka tidak memiliki kelemahan. Contohnya dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Goesti Rai ada dapetken samatjem barang wasiat jaitoe beras koening jang kaloe ia lemparken itoe padakoe rasanja seperti djaroem-djaroem tadjem jang sakit sekali menoesoek badankoe.” (Soe, 1935: 61)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
35
Beras kuning memang dapat menimbulkan rasa sakit pada tubuh leak. Akan tetapi, layaknya prajurit yang membawa perisai guna menghindari senjata musuh, leak pun memiliki penangkal untuk menahan serangan tersebut, yaitu dengan cara berikut. “Akoe bisa ringanken kaoe poenja halangan terseboet jaitoe sabelon kaoe pergi ganggoe Retna Wangsi atawa Goesti Rai, baek kaoe borehin lebih doeloe antero koelit badanmoe sama itoe aer koenjit jang akoe simpen di bawah itoe poehoen sembodja hingga kapan kaoe nanti ditimpoek lagi sama itoe beras koening, asal tida kliwat deket, tidalah begitoe sakit sebagimana jang soedah-soedah.” (Soe, 1935: 61)
Selain pertahanan yang lebih kuat terhadap beras kuning setelah melumuri sekujur tubuh dengan air kunyit, leak pun tidak dapat begitu saja dilukai dengan senjata tajam. Ketika Gusti Rai menyerang leak dengan tombak, leak itu selalu berhasil menghindar, meskipun Gusti Rai sudah membidik dengan cukup baik. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Ia intjer betoel-betoel boeat timpoekin iapoenja sendjata ka anggotanja itoe manoesia iblis dan menoeroet rasanja ada lempeng betoel, jang dengen koeat ia lantas ajoen dengen antero iapoenja tenaga! Tapi dasar boekan berhadepan sama manoesia biasa, itoe toembak tida mengenaken apa jang ditoedjoe.” (Soe, 1935: 70)
Pada bagian akhir cerita, tepatnya setelah Gusti Rai bertemu dengan pendeta Cina bernama Tjin Beng Todjin, barulah diketahui bahwa makhluk jadi-jadian seperti leak harus diserang secara membabi-buta dan tanpa arah, seperti yang terlihat dari kutipan berikut.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
36
“Seperti orang edan Goesti Rai ajoenken goloknja membatjok ka kanan dan ka kiri, sengadja tida djoedjoe boeat djatohken sendjatanja dengen djitoe di atas badannja babi itoe. Tapi kanjata’an, djoestroe itoe batjokan tida ditimpatken dengen bener ada berhasil sebab sang babi kadengeran berkoewik-koewik dan lari lontjat ka loear jang diboeroe oleh Goesti Rai.” (Soe, 1935: 97)
Akhirnya, luka yang diakibatkan oleh golok itu pun menyebabkan kematian Nyoman Tugug tiga hari berikutnya. Adapun Druggama tewas seketika setelah Tjin Beng Todjin menancapkan paku tembaga di dada dan kepalanya, sementara Srirani sempat hidup untuk meminta maaf dan menyesali perbuatannya, lalu meninggal dua jam berikutnya akibat paku tembaga yang tertancap di tenggorokannya. Belakangan, makam mereka bertiga kerap kali dijadikan sebagai tempat ziarah bagi orang-orang yang mempelajari ilmu hitam (Soe, 1935: 106). Selain tentang leak, kita juga dapat menemukan bentuk ilmu gaib lain dalam Lejak berupa ilmu santet. Setelah upaya putra dan menantunya gagal, Druggama meneruskan kejahatan mereka dengan melakukan guna-guna terhadap Gusti Rai dan Retna Wangsi. Untungnya, Tjin Beng Todjin datang tepat sebelum Druggama bertindak terlalu jauh. Proses kegiatan guna-guna tersebut digambarkan pada kutipan berikut. “Ia sedeng bersilah di atas tiker mengadepin satoe boneka kajoe jang anteronja terpoles oleh barang tjaer berwarna merah dan disenderken di depan tengkorak dari satoe kepala manoesia. Itoe warna merah jang masih basah jang dipoles di itoe boneka banjak dikroeboetin semoet hingga bisa didoega ada berasa masnis atawa berbau amis. Sedeng di banjak bagian dari boneka itoe tertanjtep bebrapa kris ketjil, pakoe-pakoe dan sadjoemblah djaroem dengen hoeroef-hoeroef jang tida kaliatan teges.” (Soe, 1935: 100)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
37
3.3.4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan jamu-jamuan, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, serta alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 1990: 343). Dalam novel ini, peralatan hidup dan teknologi yang digunakan masih terbilang sederhana.
3.3.4.1. Alat produksi Alat produksi adalah alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan, mulai dari alat sederhana seperti batu tumbuk untuk menumbuk terigu, sampai yang agak kompleks seperti alat untuk menenun kain (Koentjaraningrat, 1990: 345). Dengan kata lain, alat produksi adalah benda yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Alat produksi yang disebutkan dalam Lejak adalah minyak kacang, batu api, dan daun lontar, seperti yang terlihat pada kutipan berikut. “Dalem saboeah goeboek dari bamboe tertoetoep atap alang-alang, dengen tjoema diterangin oleh pelita minjak katjang jang apinja goerem berkelakkelik.” (Soe, 1935: 62) “Sakoenjoeng-koenjoeng itoe api pelita padem sebab tertioep angina sedikit santer dan dipasang poela oleh itoe prempoean dengen goenaken batoe api pake raboek jang di adoe satoe sama laen. Itoe matjem tjara koeno boeat dapetken api ada sanget berabe, tapi apa boleh boeat kerna orang belon kenal bagimana moesti bikin korek kajoe api.” (Soe, 1935: 62) “Pada soeatoe sore selagi Srirani beresken iapoenja kitab-kitab jang beroepa ratoesan atawa riboean lembar daon-daon lontar jang soedah kering, di atas mana orang Bali toelis iapoenja toelisan hoeroef-hoeroef bahasa Kawi atawa Sanskriet tjampoeran.” (Soe, 1935: 43)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
38
Dari kutipan tersebut, kita dapat melihat bahwa orang Bali pada zaman dahulu belum mengenal lampu ataupun korek api, melainkan hanya lampu kacang dan batu api. Mereka juga belum mengenal kertas seperti yang saat ini kita gunakan, melainkan hanya daun lontar. Selain itu, belum ada sampo yang diproduksi sebagai pencuci rambut. Sebagai gantinya, mereka menggunakan minyak bekas rendaman kembang (Soe, 1935: 23).
3.3.4.2. Senjata Meskipun Lejak bukan merupakan novel yang bercerita tentang peperangan, kita dapat menemukan beberapa jenis senjata di dalamnya, yaitu keris, tombak dan golok. Penggunaan ketiga senjata tersebut dapat kita temukan pada kutipan berikut. “Dari iapoenja kamar tidoer ia ambil iapoenja saroeng, iket kepala, dan satoe keris pendek jang ia sering bawak apabilah hendak berpergian.” (Soe, 1935: 21) “Betoel di toendoekin koekoenja, gerakannja mengkilp.”
saat itoe lejak jang meroepaken saroe Rangde lagi hendak kepalanja boeat prempoean itoe jang tadi ia loekain dengen koenjoeng-koenjoeng dari blakang saorang lelaki jang gesit datang menjerang sama satoe toembak pandjang jang tadjem (Soe, 1935: 70)
“Seperti orang edan Goesti Rai ajoenken goloknja membatjok ka kanan dan ka kiri.” (Soe, 1935: 97)
Setelah membaca kutipan-kutipan tersebut, dapat kita lihat bahwa di antara ketiganya, tombak dan golok digambarkan sebagai senjata yang cenderung lebih berfungsi sebagai alat membela diri, sementara keris hanya digunakan sebagai aksesoris pelengkap pakaian sehari-hari.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
39
3.3.4.3. Makanan Dari Lejak, kita dapat melihat bahwa makanan yang terbilang khas di kalangan masyarakat Bali adalah babi guling, yang dimasak untuk merayakan harihari penting seperti perayaan Galungan yang tercermin dari kutipan berikut. “Bebrapa ekor babi Goesti Rai titahken potong, dibikinken goeleng (babi panggang, jang populair antara bangsa Bali) dengen boemboe a la national!” (Soe, 1935: 77)
3.3.4.4. Pakaian Pakaian yang digambarkan dalam Lejak adalah sarung dan ikat kepala untuk pria, serta sarung dan kain tenunan untuk wanita, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Dari iapoenja kamar tidoer ia ambil iapoenja saroeng, iket kepala, dan satoe keris pendek jang ia sering bawak apabilah hendak berpergian.” (Soe, 1935: 21) “Siang-siang kira-kira djam lima ia sudah mandi, sisir ramboet, pake saroeng jang bersih dan toetoepin ia poenja teteh dengen slendang soetra koening tenoenan.” (Soe, 1935: 49)
3.3.4.5. Tempat Berlindung Tempat berlindung dan perumahan yang dapat kita temukan dalam novel ini adalah rumah yang terbuat dari batu (bukan bata seperti yang umumnya kita lihat dewasa ini), seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Itoe doea manoesia-iblis lari menoedjoe kelapa dan kamoedian linjap semboeni dalem roemah batoe jang boekan laen dari tempat kadiaman bapa Droeggama.” (Soe, 1935: 92)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
40
3.3.5. Sistem Mata Pencaharian Hidup Sistem mata pencaharian hidup tradisional meliputi berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi (Koentjaraningrat, 1980: 358). Dalam Lejak, kita dapat melihat bahwa mata pencaharian yang dijalani oleh orang Bali adalah bertani dan menangkap ikan. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa orang-orang Bali merupakan masyarakat agraris yang hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam sekitar mereka.
3.3.5.1. Bertani “…semoea orang dalem ia poenja roemah pada pergi ka sawah boeat oeroes taneman padi dan sebaginya.” (Soe, 1935: 32) Pertanian di Bali terbagi menjadi dua (Depdikbud, 1977: 34), yaitu pertanian di sawah dan di tanah kering (ladang). Berdasarkan kutipan di atas, dapat kita simpulkan bahwa pertanian yang Soe Lie Piet maksud adalah pertanian di sawah.
3.3.5.2. Menangkap ikan “…sekoenjoeng-koenjoeng ia poenja kawan toekang tangkep ikan datang padanja dari Koeta.” (Soe, 1935: 86) Perikanan di Bali terbagi menjadi dua (Depdikbud, 1977: 30), yaitu perikanan darat dan laut. Lokasi perikanan darat adalah danau, tambak, sawah, kolam, dan sungai. Berdasarkan lokasi yang disebutkan dalam kutipan di atas, yaitu Kuta, dapat kita simpulkan bahwa perikanan yang Soe Lie Piet maksud adalah perikanan laut.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
41
Namun demikian, kedua mata pencaharian tersebut tidak dijalani oleh para tokoh sentral. Orang yang bertani hanya digambarkan sebagai orang-orang yang berada di dalam rumah Srirani dan tidak terlibat dalam cerita, sementara orang yang menangkap ikan hanyalah tokoh bawahan, yaitu Ruteng, teman Gusti Rai yang membawanya kepada Tjin Beng Todjin.
3.3.6. Sistem Religi Bentuk umum religi adalah kepercayaan dan ritual (Majumdar dan T.N. Madan, 1960: 152). Kedua bentuk religi tersebut dapat kita temukan dalam Lejak. Satu hal yang tidak penulis masukkan dalam analisis adalah kepercayaan dan ritual yang berhubungan dengan perkawinan karena adanya kerancuan dalam novel. Soe Lie Piet menceritakan bahwa Gusti Rai dan Retna Wangsi ngerorod (kawin lari), tapi kemudian mereka juga melaksanakan upacara pernikahan dengan resmi. Padahal, semestinya ngerorod hanya dilakukan oleh pasangan yang tidak mendapat restu, atau yang mempelai wanitanya berasal dari kasta yang lebih tinggi dari mempelai pria. Keadaan tersebut tidak digambarkan dalam novel. Dengan kata lain, sebenarnya Gusti Rai dan Retna Wangsi tidak perlu ngerorod. Di samping itu, kawin lari dan meminang adalah dua jenis pernikahan yang berbeda satu sama lain. Jika seorang pria sudah membawa lari pasangannya, maka ia tidak perlu melamarnya secara resmi. Sebaliknya, jika sepasang kekasih memutuskan untuk mengadakan upacara pernikahan, mereka tidak perlu menikah secara sembunyi-sembunyi.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
42
3.3.6.1. Kepercayaan Kepercayaan yang dimaksud bukan sekadar agama yang mereka anut, tetapi juga keyakinan mereka tentang beberapa hal tertentu yang tidak dapat dijelaskan dengan logika. Dalam Lejak, tercermin bahwa masyarakat Bali meyakini bahwa seorang ibu yang melahirkan anak kembar—kecuali keduanya lelaki—akan membawa petaka bagi seluruh penduduk desanya. Untuk membuang kesialan tersebut, sang ibu perlu diasingkan dan rumahnya perlu dirombak, atau paling tidak atapnya dibongkar. Selain itu, para pendeta juga harus berkeliling desa dan menyirami beberapa tempat dengan air suci. Pura desa pun harus ditutup selama enam puluh hari. Hal itu tercermin pada kutipan berikut. “Menoeroet atoeran jang soedah ditetepken dari kapertjaja’an bangsa Bali, kaloe saorang prempoean beranak kembar (katjoeali doea-doeanja lelaki), boeat hindarken itoe bahaja jang mengantjem seloeroeh kampoeng, sang iboe moesti diasingken dari pergaoelan orang banjak dari kampoengnja. Ia moesti berlaloe dengen sigra dari roemahnja sendiri, pindah tinggal di satoe goeboek di samping koeboeran jang lantas dibikin boeat iapoenja tempat menedoe sakoetika lama. Boeat tiga kali boelan poernama bersinar ia haroes liwatin temponja dalem itoe goeboek di samping tanah pakoeboeran, tida boleh bertjampoer sama orang hidoep hanja sama sekalian roch dari marika jang telah meninggal doenia. Roemah dalem mana itoe iboe jang sial lahirken anak kembar poen koedoe dirombak atawa diboeka atapnja. Satoe pedande dating ka dalem itoe roemah boeat oesir setan-setan, siramin sana-sini dengen aer soetji sambil gojang klenengan. Seloeroe kampoeng seolah-olah berkaboeng boeat itoe matjem kelahiran jang tida diingin. Dalem ini ka-ada’an pedandepedande atawa kaoem santri repot ngiter di berbagi tempat dalem kampoeng boeat siram aer soetji di mana jang perloe sembari batja doa oentoek singkirken itoe bentjana jang mengantjem. Poera desa berhoeboeng dengen kelahiran kembar moesti ditoetoep anem poeloe hari.” (Soe, 1935: 57)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
43
3.3.6.2. Ritual Selain kepercayaan, kita juga dapat menemukan ritual dalam Lejak berupa upacara. Bagus (1971: 301) berpendapat bahwa keseluruhan jenis-jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima macam, yang disebut panca yadnya. Pertama, Manusia Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kehamilan sampai dengan masa dewasa. Kedua, Pitra Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada roh-roh leluhur, dan terdiri dari serangkaian upacara dari upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur. Ketiga, Dewa Yadnya, merupakan upacara pura maupun kuil keluarga sebagai persembahan untuk para Dewa. Keempat, Resi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan dengan pentasbihan pendeta. Kelima, Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta dan kala, yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu. Dalam Lejak, kita dapat menemukan jenis upacara yang kedua. Berikut ini adalah bentuk upacara-upacara tersebut. a) Upacara untuk Batara Baruna (Dewa Lautan) Upacara untuk Batara Baruna dilakukan di tepi pantai Sanur dan tidak hanya diikuti oleh para rakyat Bali, melainkan juga raja mereka, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Itoe waktoe tinggal tiga hari poela, seperti biasa menoeroet kapertjajaan bangsa Bali, aken dibikin pesta di pinggir laoetan Sanoer boeat kahormatannja Batara Baroena, dewa dari laoetan dan pendjaga dari alam seblah Barat. Pesta itoe selaloe didjalanken dengen penoeh oepatjara jang compleet kerna Radja dengen mengikoetin traditie koeno aken mandi di laoet boeat bersihken badan satoe taoen sakali djatoh di harian oepatjara terseboet.” (Soe, 1935: 11)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
44
“… pedande-pedande (pendita) laloe membatja doa-doa jang soetji, kembangkembang diawoerken ka dalem aer laoet dan kamoedian, dengen pake penoetoep badan dari soetra poetih, Radja toeroen mandi.” (Soe, 1935: 12)
b) Upacara Kematian (Ngaben) Ngaben adalah pembakaran mayat, secara pribadi maupun kolektif (Basset, 1990: 415). Dalam Lejak, kita tidak hanya diberi gambaran tentang prosesi ngaben, tetapi juga ritual yang orang Bali lakukan sebelumnya. Dalam Lejak, ritual yang dilakukan pada upacara kematian adalah meletakkan berbagai benda yang merupakan simbol-simbol tertentu, seperti yang dapat kita lihat dari kutipan berikut. “Itoe tjintjin dengen permata jang ditarok di lidahnja majit berarti soepaja nanti ia kombali djadi orang jang pande serta manis bitjaranja; itoe sapotong besi dengen saiket boenga melati poetih soepaja nanti mempoenjain gigi jang bagoes dan koeat laksana moetiara; itoe boenga sembodja dimasoekin di lobang idoeng berarti soepaja nanti poenjaken idoeng jang bangir; itoe barang tjaer jang dimasoekin ka dalem lobang koeping soepaja mempoenjain pendengeran jang terang; dan akhirnya itoe doea lembar daon pandan wangi di atas alis soepaja bilah djadi manoesia lagi ada poenja alis jang item dan kereng hingga tjakep di pemandengan.” (Soe, 1935: 17)
Setelah melakukan penelitian pustaka, penulis menemukan bahwa ritual tersebut dinamakan pemberian eteh-eteh (Depdikbud, 1985: 56). Selain itu, Basset (1990: 415) berpendapat bahwa umumnya mayat dibakar dalam sarkofagus dari kayu berupa berbagai binatang mitos, hal ini juga dapat kita temukan dalam Lejak, tepatnya pada kutipan berikut. “Saekor singa-singa’an dari kajoe soedah dibikin boeat tempat mait dalem mana dibakar.” (Soe, 1935: 18)
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
45
c) Upacara Hari Raya Galungan Galungan adalah hari raya penting yang menyambut kunjungan roh-roh leluhur dengan sesajen dan pemujaan, dan datang setiap 210 hari (Basset, 1990: 409). Gambaran tentang hari raya ini pun dapat kita lihat dalam Lejak, tepatnya pada kutipan berikut. “Galoengan sasoenggoehnja ada loear biasa sekali, sa-aken-aken antero ini poelo seperti doenia impian—itoe dreamland jang penoeh fantasie. Di saben roemah ada tertantjep batang-batang bamboe jang tinggi, diriasin dengen daon-daon kolapa moela jang terbikin sanget menarik hati. Di bagian atas itoe pun tida loepoet digantoengin satoe kerandjang pranti moeat barang-barang sembahjang jang terdiri dari boeah-boeah, kembang tjempaka, telor ajam dan laen-laen. “Galoengan terbagi dalem tiga hari poenja oepatjara pesta. Hari pertama orang-orang lelaki bo-eng potong binatang-binatang piara’an seperti babim ajam bebek, atawa potong penjoe dari laoet jang dagingnya dibikin sate. Hari kadoea orang-orang prempoean toea moeda repot djoengdjoeng barangbarang sembahjang (banten) boeat sedekah di koeboeran marika poenja familie jang belon dibakar maitnya, dan hari katiga samoea orang koendjoengin Tempel Kamatian (Poera Dalem) sambil tida loepa membawak sadjen-sadjen.” (Soe, 1935: 77)
d) Upacara Hari Raya Nyepi Nyepi adalah tahun baru Saka, pada hari pertama bulan kesepuluh (Maret) (Basset, 1990: 415). Dari Lejak, pembaca akan mendapat informasi lebih banyak tentang Nyepi, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. “Setiap kali perjahan Menjepih sampe, laen dari Galoengan, segala apa djadi sepih sekali saolah-olah antero desa dan kampoeng soedah tida ada manoesianja lagi. Boeat 24 djam lamanja pendoedoek selama oepatjara Menjepig berlakoe tida boleh ada satoe manoesia jang pasang api hingga malem djadi amat gelap seperti dalem oetan beloekar jang meloeloe ditinggalin oleh binatang-binatang boeas.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
46
“Sorenja sabelonnja perajaan Menjepih didjalanken, sadjoemblah bantenbanten boeat sembahjang ditarok di mana-mana djalan perempatan dari sesoeatoe desa atauwa kampoeng. Bebrapa matjem binatang perloe dipake oentoek ini matjem ceremonie sebagi barang sembahjang jaitoe di alam seblah Timoer dihadiaken saekor gangsa poetih, di seblah Selatan saekor anjing boeloeh merah, di seblah Barat saekor sampi koening (anak sampi), dan di seblah Oetara saekor kambing hitam.” (Soe, 1935: 78)
3.3.7. Kesenian Kesenian Bali yang dapat kita temukan dalam Lejak adalah tari legong, yaitu sekelompok tari klasik wanita (Basset, 1990: 414). Dalam novel ini, terdapat dua tokoh penari Legong, yaitu Retna Wangsi dan Srirani, dengan Gusti Rai sebagai pemimpin mereka. Meskipun Soe Lie Piet tidak menggambarkan proses jalannya pertunjukan legong secara rinci, ia menjabarkan bahwa legong terdiri dari banyak instrumen seperti dua gong besar dan kecil, kemong, gambang-gambang kuningan, serta kromong (Soe, 1935: 8).
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
47
BAB 4 CIRI-CIRI SASTRA POPULER DALAM LEJAK
4.1. Pengantar Salah satu hal yang membedakan Lejak dengan buku sejarah tentang kebudayaan Bali—selain sifatnya yang fiktif—adalah ragam penceritaannya yang populer. Untuk itulah, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya akan menganalisis isi novel tersebut (unsur kebudayaan Bali yang terdapat di dalamnya), namun juga bentuknya sebagai karya sastra populer. Sehubungan dengan itu, sebelumnya penulis akan menjabarkan pengertian kebudayaan populer. Menurut Storey (1993: 6-15), kebudayaan populer memiliki enam definisi. Pertama, kebudayaan yang disukai banyak orang dan selalu dikaitkan dengan dimensi kuantitatif. Kedua, kebudayaan yang tidak memenuhi standar untuk dikategorikan sebagai kebudayaan tinggi. Ketiga, kebudayaan komersial yang diproduksi masal. Keempat, kebudayaan yang berasal dari—atau meniru—masyarakat. Kelima,
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
48
kebudayaan yang merupakan hegemoni. Keenam, kebudayaan yang merupakan bagian dari pascamodernisme. Berdasarkan pendapat Storey tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk kebudayaan populer—contohnya sastra—memiliki keunggulan tersendiri di mata masyarakat. Penulis tidak menemukan definisi kelima dan keenam pada Lejak, namun keempat definisi lainnya sesuai dengan novel ini. Berkaitan dengan definisi pertama, karya sastra populer selalu diciptakan berdasarkan hal-hal yang disukai oleh masyarakat demi menarik minat mereka sebagai konsumen. Oleh karena itu, untuk memantau respon masyarakat terhadap karya tersebut, karya sastra populer selalu dikaitkan dengan angka penjualan. Definisi kedua sesuai dengan kenyataan bahwa karya sastra Melayu-Tionghoa (termasuk Lejak) adalah karya yang beredar di luar naungan Balai Pustaka yang hanya menerbitkan karya-karya dengan bahasa Melayu Tinggi. Definisi ketiga menjelaskan bahwa produk kebudayaan populer dilahirkan untuk meraih keuntungan (profit oriented). Definisi keempat erat kaitannya dengan definisi pertama dan ketiga, yaitu bahwa karya populer diciptakan untuk menarik minat masyarakat dan mengambil keuntungan dari mereka. Salah satu cara untuk memikat masyarakat adalah dengan menampilkan sesuatu yang memberi mereka informasi tentang masyarakat lainnya. Lejak menyajikan rekaman sosial tentang masyarakat Bali kepada segenap pembaca yang berada di daerah lainnya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
49
Meskipun analisis tentang karya sastra populer belum sebanyak analisis tentang karya sastra serius, para ahli sudah mulai membicarakan kedudukannya dalam dunia sastra. Salah satu tulisan yang membahas sastra populer adalah “Telaah Sastra Populer” karya Sapardi Djoko Damono. Di dalamnya, ia mengungkapkan beberapa pendapat para ahli—dan pendapatnya sendiri—tentang sastra populer. Victor Neuburg (Damono, 1993: 1) mengemukakan bahwa sastra populer dapat memberi gambaran mengenai seperti apa sebenarnya wujud masyarakat, bagaimana mereka berpikir dan merasa, sikap dan nilai-nilai yang diyakininya, serta cara mereka memandang kehidupan. Dalam Lejak, kita mendapat gambaran tentang cara masyarakat Bali menjalani kehidupan. Contohnya, keyakinan mereka bahwa ibu yang melahirkan anak kembar—kecuali keduanya lelaki—akan membawa sial bagi seisi penduduk kampung (Soe, 1935: 55). Kandungan karya sastra populer memang miskin akan unsur intrinsik sastra, namun demikian, Roolvink (Damono, 1993: 4) berpendapat bahwa tidak seharusnya orang menilik sebuah buku dari segi sastranya saja. Ia memilih upaya pendekatan yang berbeda, bukan yang semata-mata berlandaskan mutu karya sastra itu sebagai benda otonom yang memiliki aturan-aturan sendiri, tetapi berdasarkan hubunganhubungan yang ada antara karya sastra dan lingkungannya, dalam hal ini masyarakat yang telah menghasilkannya. Lejak memang tidak bisa dianalisis secara struktural karena unsur-unsur intrinsik di dalamnya kurang menonjol, namun jika dikaitkan
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
50
dengan unsur kebudayaan Bali yang terdapat di dalamnya, pembaca akan mendapat wawasan yang cukup luas tentang keadaan masyarakat di pulau tersebut. Ras (Damono, 1993: 8) mengatakan bahwa pengamat sastra sering hanya memusatkan perhatian pada karya sastra dan pengarangnya, dan melupakan kenyataan bahwa sisi konsumen, yakni pembaca, merupakan hal penting pula untuk diperhatikan. Sebuah karya sastra tidak dapat dikategorikan sebagai karya yang baik jika tidak dinilai oleh pembaca. Walaupun seorang pengarang menuangkan pikirannya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, hal itu tidak ada artinya jika yang bisa memahami karya tersebut hanyalah sang pengarang. Damono (1993: 15) sendiri berpendapat bahwa sudah saatnya karya sastra populer mulai mendapat perhatian yang sama besarnya dengan sastra serius. Dengan kata lain, sastra populer pun merupakan bagian dari kesusastraan Indonesia yang perlu dianalisis guna menambah kekayaan pengalaman para pembaca. Menurut Lubis (1996: 44), bahasa bagi seorang pengarang tak ubahnya sebagai kuas, cat, dan kanvas bagi seorang pelukis. Dengan memakai bahasa, pengarang menciptakan karya sastranya. Tidak hanya memahami tata bahasa dan mengikuti bahasa tulis, tetapi juga senantiasa memasang telinga dan mengenal sebaik mungkin bahasa tutur sehari-hari. Dengan kata lain, tidak ada salahnya jika seorang pengarang—seperti Soe Lie Piet—bercerita dengan menggunakan bahasa yang biasa ia gunakan sehari-hari. Selain gaya bahasanya yang ringan, Lejak juga mengandung ciri-ciri karya sastra populer yang akan dibahas pada subbab berikutnya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
51
4.2. Ciri-Ciri Sastra Populer dalam Lejak Di antara delapan ciri-ciri sastra populer menurut Kaplan, penulis tidak dapat menemukan novelty dan repetisi dalam Lejak. Akan tetapi, penulis dapat menemukan ketujuh ciri lainnya, yaitu tokoh stereotip, sistem bintang, sistem headline, pengharaman ambiguitas, fungsinya sebagai hiburan, sentimentalitas, serta bentuknya sebagai seni pelarian.
4.2.1. Tokoh Stereotip Tokoh utama (protagonis) adalah yang menjadi sentral atau sorotan dalam suatu kisah. Ia selalu terlibat secara intensif dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Selain protagonis, antagonis atau tokoh lawan juga termasuk tokoh sentral (Sudjiman, 1991: 17). Dalam Lejak, tokoh protagonis adalah Gusti
aid
an Retna Wangsi, sementara tokoh antagonis atau lawan mereka adalah Nyoman Tugug, Srirani, serta Druggama. Tokoh stereotip adalah tokoh yang sudah ada dalam praanggapan pembaca. dalam Lejak, contohnya, pembaca sudah memiliki bayangan dalam benak mereka bahwa Gusti Rai sebagai tokoh yang baik (protagonis) memiliki wajah yang rupawan, sementara Nyoman Tugug dan Druggama sebagai tokoh yang jahat (antagonis) memiliki rupa yang buruk, seperti yang dapat kita lihat pada kutipan berikut. 4.2.1.1. Protagonis “…Goesti Ketot Rai jang termasoek golongan Wesja, rang ketiga dari bangsa Bali poenja kasta-systeem. Ia ini ada satoe pemoeda jang baroe beroesia kira-
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
52
kira 21 taon, tjakep romannja serta terpeladjar tinggi dalem ilmoe soerat dan kunst, pande mengigel dan ilmoe gamelan (muziek Bali).” (Soe, 1935: 8)
4.2.1.2. Antagonis “Njoman Toegoeg ada satoe pemoeda jang males, tida soeka bekerdja dan hidoep selaloe mengandel sama bapanja, jang terkenal sebagi doekoen siloeman jang sanget ditakoetin oleh orang-orang di seloeroe district Badoeng. […] romannja djelek, idoengnja melengkoeng kaja idoeng betet, mata djoeling, koelit item seperti pantat kwali.” (Soe, 1935: 39) “Bapa Droeggama soedah beroesia tinggi, diliat dari iapoenja ramboet jang soedah poetih semoea, koelitnja jang soedah seperti koelit bawang, giginja jang soedah tjopot semoea, bisa ditaksir paling koerang ia telah beroemoer 80 taon. Tapi anehnja, maski ia ada saorang toea jang kliatan lojo, iapoenja sapasang mata masih tinggal bersinar, teroetama kaloe ia tertawa romannja djadi laen sebagi manoesia biasa dan lebih soeroep kaloe dibilang seperti senjoeman iblis jang serem di pemandengan.” (Soe, 1935: 41)
4.2.2. Sistem Bintang Dalam Lejak, Soe Lie Piet cenderung lebih menonjolkan unsur latar sehingga pembaca dapat membayangkan pengaruh Bali yang kuat ketika menikmati cerita. Latar yang dimaksud adalah latar sosial berupa unsur kebudayaan Bali yang telah penulis sebutkan pada subbab sebelumnya. Adapun unsur intrinsik lain seperti tema, alur, tokoh, dan amanat, tidak begitu kuat dalam novel ini. Tema yang Soe Lie Piet ambil terbilang ringan, hanya kisah klasik tentang pertarungan antara kebaikan melawan kejahatan. Alur cerita pun berjalan secara kronologis dan tidak rumit. Di samping itu, tokoh-tokoh di dalam cerita tidak memiliki karakter khusus dan hanya mengikuti pola yang sudah ada (stereotip).
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
53
Novel ini juga tidak mengandung amanat karena di dalamnya tidak terdapat kritik sosial yang gamblang. Contohnya, Soe Lie Piet memberi gambaran tentang masyarakat Bali yang percaya bahwa seorang ibu yang melahirkan anak kembar (kecuali keduanya lelaki) akan membawa petaka terhadap seisi kampungnya sehingga perlu diasingkan guna membuang kesialan. Soe Lie Piet menggambarkan kesulitan yang harus sang ibu alami, namun tidak menghakimi kepercayaan masyarakat Bali tersebut. Dengan begitu, pembaca dapat merasakan empati terhadap tokoh dengan tetap menghormati kepercayaan orang Bali sebagai keunikan, bukan kekurangan.
4.2.3. Sistem Headline Layaknya membaca headline atau kepala berita, pembaca mendapat informasi tentang isi cerita dengan hanya membaca judulnya saja. Ketika membaca judul Lejak, pembaca sudah tahu bahwa novel ini akan bercerita tentang leak. Namun demikian, fakta bahwa informasi tentang leak hanya merupakan bagian kecil dari cerita membuat pembaca merasa ingin tahu keseluruhan cerita. Sebagaimana yang Kaplan ungkapkan, sistem headline juga memungkinkan kita untuk dapat melihat secara sekilas apa yang terjadi, dan bagaimana itu berakhir (Kaplan, 1967: 68). Sejak awal cerita, Soe Lie Piet telah memberi gambaran bahwa wanita yang Gusti Rai pilih adalah Retna Wangsi dan kisah mereka akan berakhir dengan hidup bahagia. Namun, perjuangan menuju kebahagiaan inilah yang menarik
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
54
minat pembaca. Meskipun pembaca tahu bahwa Srirani tidak akan berhasil merebut Gusti Rai, kejahatan yang ia lakukan terhadap Retna Wangsi membaca ketegangan tersendiri dalam diri pembaca.
4.2.4. Pengharaman Ambiguitas Menurut Kaplan (1967: 69), karya populer menggantikan ambiguitas dengan kompleksitas. Lejak tidak menuntut pembaca untuk menginterpretasikan apa pun karena tidak ada yang ambigu dalam novel ini. Walaupun Lejak dibaca oleh lebih dari satu pembaca, pemahaman yang mereka hasilkan terhadap cerita akan sama. Yang membedakan Lejak dengan karya sastra serius adalah ketiadaan metafor-metafor tertentu yang harus diterjemahkan. Semua hal diceritakan apa adanya tanpa pesan tersembunyi yang harus ditafsirkan. Lain halnya dengan karya sastra serius, yang umumnya mengandung kritik sosial dan amanat bagi pembaca, Lejak disampaikan dengan sudut pandang senetral mungkin sehingga pembaca dapat menikmatinya dengan lebih baik.
4.2.5. Fungsinya sebagai Penghibur Karya sastra populer berfungsi sebagai penghibur dan dapat dijadikan sebagai media pelawan rasa bosan bagi pembacanya, begitu pun dengan Lejak. Ketika pembaca merasa penat akan rutinitas yang mereka jalani sehari-hari, mereka dapat mengistirahatkan benak mereka dengan membaca Lejak, menikmati indahnya
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
55
kebudayaan Bali meskipun terbatas pada alam pikiran. Berkaitan dengan ketiadaan ambiguitas, pembaca tidak dituntut untuk berpikir ketika membaca Lejak. Inilah yang membuat Lejak dapat dibaca sebagai bahan hiburan.
4.2.6. Sentimentalitas Kaplan (1967: 71) berpendapat bahwa keahlian seniman (sastrawan) bukanlah menyediakan pengalaman baru, melainkan kesempatan untuk menjalani pengalaman yang sudah ada. Itulah yang dilakukan Soe Lie Piet dengan Lejak. Ia membiarkan pembaca merasa terlibat secara emosional sehingga mereka seolah-olah menjalani kejadian yang dialami oleh para tokoh di dalam cerita. Ketika Retna Wangsi menjalani pengasingan selama tiga bulan, tinggal di gubuk kecil di tepi kuburan, pembaca merasakan ketegangan yang Retna Wangsi alami karena hampir setiap malam diganggu oleh Srirani yang menjelma menjadi leak. Selain itu, ketika akhirnya Druggama, Srirani, dan Nyoman Tugug meninggal, pembaca juga merasakan kelegaan yang dirasakan oleh tokoh Retna Wangsi dan Gusti Rai, seakan-akan pembaca-lah yang terbebas dari ancaman leak.
4.2.7. Bentuknya sebagai Seni Pelarian Pada dasarnya, ciri yang terakhir ini tidak jauh berbeda dengan ciri kelima. Ketika membaca Lejak, pembaca akan merasa terhibur. Pada saat itulah, sebenarnya mereka dapat dikatakan melarikan diri dari dunia nyata. Masalah apa pun yang
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
56
mereka hadapi akan hilang ketika mereka membaca Lejak. Namun, setelah proses membaca itu selesai, maka masalah yang mereka miliki pun kembali lagi. Contohnya, pembaca yang tengah merasa lapar akan melupakan keinginannya untuk makan jika ia merasa terikat dengan kelanjutan cerita. Namun, ketika cerita berakhir, ia tidak akan merasa kenyang dan pada akhirnya ia tetap harus makan.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
57
BAB 5 KESIMPULAN
Sastra Melayu Tionghoa memegang peranan penting dalam perkembangan sastra Indonesia karena karya-karya inilah yang memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan bacaan di saat mereka tidak bisa memahami dan tidak mampu membeli karya sastra yang menggunakan bahasa Melayu Tinggi. Tanpa adanya pengarang Tionghoa peranakan yang menciptakan karya sastra dengan bahasa Melayu Pasar, tidak sedikit penduduk pribumi yang terkungkung dalam kebodohan. Meskipun Sastra Melayu Tionghoa bukan merupakan buku pelajaran yang berisi pendidikan formal, sedikit banyak cerita di dalamnya dapat menambah wawasan baru bagi para pembacanya. Contohnya, Lejak yang membuat pembaca dapat mengetahui keadaan masyarakat di Bali tanpa harus mengunjungi pulau tersebut secara pribadi. Selain itu, gaya penceritaan Soe Lie Piet yang ringan dan tidak terikat aturan tata bahasa pun
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
58
membuat pembaca menyerap informasi dengan lebih mudah. Mereka seolah mendengar seseorang mendongeng secara lisan karena bahasa yang digunakan sebagai pengantar cerita adalah bahasa sehari-hari—bahasa Melayu Pasar. Adapun unsur kebudayaan Bali yang tercermin dalam Lejak adalah bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan dan ilmu gaib, sistem mata pencaharian, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem religi, serta kesenian. Latar belakang Soe Lie Piet sebagai warga Tionghoa Peranakan membuatnya tidak bisa bercerita dengan bahasa Bali. Akan tetapi, ia menyisipkan beberapa istilah dalam bahasa Bali, seperti banten, pedande, serta pamangkoe. Organisasi masyarakat yang terdapat dalam Lejak adalah strata sosial atau pembagian kasta di Bali. Tiga golongan tertinggi disebut triwangsa, yaitu brahmana, ksatria, dan waisya. Selain itu, ada pula satu kasta yang terdiri atas rakyat jelata, yaitu sudra. Seperti yang telah penulis sebutkan, Gusti Rai berasal dari golongan waisya, sementara Retna Wangsi berasal dari golongan sudra. Pembaca juga dapat mengetahui sedikit tentang sistem pengetahuan dan ilmu gaib masyarakat Bali melalui Lejak. Selain sistem pengetahuan tentang tanaman, yaitu penggunaan rempah-rempah untuk keperluan upacara kematian dan ilmu perdukunan, Lejak juga mengandung gambaran tentang ilmu gaib yang dikuasai oleh beberapa orang tertentu di Bali. Ilmu gaib yang dimaksud adalah ilmu menjadi leak dan ilmu santet.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
59
Sistem mata pencaharian orang Bali yang dapat ditemukan dalam novel Lejak adalah bertani dan menangkap ikan. Adapun sistem peralatan hidup yang mereka gunakan terbilang sederhana jika dibandingkan dengan peralatan hidup dan teknologi zaman sekarang, antara lain minyak kacang sebagai pengganti lampu, batu api sebagai pengganti korek, serta daun lontar sebagai pengganti kertas. Selain itu, kita juga dapat menemukan sistem religi masyarakat Bali dalam Lejak berupa kepercayaan dan ritual. Kepercayaan masyarakat Bali yang digambarkan dalam Lejak adalah tentang kepercayaan mereka bahwa seorang ibu yang melahirkan anak kembar (kecuali keduanya lelaki) akan mendatangkan musibah bagi seisi kampungnya, sementara ritual yang dapat kita lihat dalam Lejak adalah upacara terhadap Dewa Lautan, upacara kematian, Hari Raya Galungan, serta Hari Raya Nyepi. Adapun kesenian Bali yang tergambar dalam Lejak adalah tari Legong, yaitu sekelompok gadis cantik yang menari di bawah pimpinan seorang dalang. Unsur-unsur kebudayaan Bali tersebut disampaikan dengan ragam populer. Hal itu tidak hanya dapat dilihat dari segi bahasa pengantar yang merupakan bahasa percakapan sehari-hari, namun juga terdapatnya ciri-ciri sastra populer lainnya. Ciriciri yang dimaksud adalah tokoh stereotip, sistem bintang, sistem headline, pengharaman ambiguitas, fungsinya sebagai penghibur, sentimentalitas, bentuknya sebagai seni pelarian. Tokoh stereotip dalam Lejak adalah tokoh Gusti Rai sebagai protagonis, digambarkan sebagai pemuda yang tampan dan kaya, sementara tokoh Nyoman
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
60
Tugug dan Druggama sebagai antagonis digambarkan sebagai kedua pria yang buruk rupa. Dikatakan stereotip karena kedua gambaran tersebut telah ada di dalam benak pembaca berdasarkan pola yang sudah ada sebelum karya ini lahir. Jika Soe Lie Piet mengacak pola tersebut, misalnya dengan menggambarkan bahwa Gusti Rai memiliki wajah yang jelek, Nyoman Tugug merupakan orang yang rupawan, dan Druggama adalah orang tua yang wajahnya mencerminkan kebijaksanaan, maka kenikmatan pembaca dalam menikmati cerita dapat berkurang. Soe Lie Piet juga menggunakan sistem bintang dengan mengusung unsur latar dan menjadikan unsur intrinsik lain seperti tema, alur, tokoh, dan amanat sebagai unsur penopang cerita yang tidak begitu dominan. Tidak berbeda dengan tokoh stereotip yang mengurangi unsur kejutan bagi pembaca, sistem headline juga membuat pembaca dapat menebak isi cerita tanpa harus membacanya secara keseluruhan. Namun, kedua hal ini justru membuat pembaca merasa aman. Ketika membaca Lejak, di satu sisi, pembaca merasa tegang karena Srirani dan Nyoman Tugug tidak pernah berhenti mengganggu ketenangan hidup Retna Wangsi dan Gusti Rai. Namun, di sisi lain, jauh dalam benak mereka, pembaca merasa tenang karena tahu bahwa pada akhirnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan dan cerita akan berakhir bahagia. Novel ini juga tidak mengandung ambiguitas karena semua hal dalam cerita digambarkan dengan makna sesungguhnya.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
61
Lejak merupakan novel yang dapat berfungsi sebagai penghibur karena ketika membacanya, pembaca tidak harus melakukan pemikiran apa pun. Selain itu, Lejak juga menyajikan uniknya kebudayaan Bali yang dapat dibayangkan oleh pembaca dan membuat mereka merasa seolah-olah berada di sana. Dengan demikian, Lejak membawa kesenangan pada diri pembaca dan membuat mereka terhibur. Seperti yang telah penulis sebutkan, Lejak tidak menimbulkan pemikiran apa pun dalam diri pembaca. Sebagai gantinya, perasaan pembacalah yang dilibatkan. Segala bentuk emosi yang dialami oleh para tokoh dalam cerita, dirasakan pula oleh pembaca. Oleh karena itu, Lejak dapat dikatakan mengandung sentimentalitas. Berkaitan dengan fungsinya sebagai penghibur, Lejak juga dapat dijadikan sarana untuk melarikan diri dari kepenatan sehari-hari. Ketika pembaca merasa terhibur, mereka akan merasa teralienasi dari segala masalah yang mereka alami di dunia nyata. Dengan kata lain, membaca Lejak bukan berarti menyelesaikan masalah, akan tetapi mengesampingkannya untuk sementara. Berdasarkan analisis yang telah penulis paparkan, dapat disimpulkan bahwa Lejak adalah karya sastra Melayu-Tionghoa yang memanfaatkan banyak
unsur
kebudayaan Bali dan ditulis dengan ragam populer. Meskipun tidak disajikan dalam bahasa yang baik dan benar, penyampaiannya yang lugas dan temanya yang ringan justru memungkinkan pembaca untuk menikmati cerita dengan lebih baik.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
x
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I Gusti Ketut Ardhana, dkk. 1998. Konsep Warna Lokal Bali dalam Cerpen Indonesia Periode 1920—1960. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1985. Kamus Melayu Bali-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. ________. 1970. “Kebudayaan Bali”. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ed. Koentjaraningrat. Jakarta: Jambatan. Basset, Catherine. 1990. Bali Abianbase: Sisi Istana, Sisi Desa. t.k: Bouquet. Damono, Sapardi Djoko. 1993. “Telaah Sastra Populer”. Seminar Musyawarah Nasional III dan Pertemuan Ilmiah Nasional VI Himpunan SarjanaKesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. ________. 1984. “Sosiologi Sastra Indonesia Modern”. Simposium Nasional Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. ________. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1977. Adat Istiadat Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ________.1985. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dharmika, Drs. Ida Bagus, dkk. 1988a. Arti Lambang dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam Menanamkan Nilai-Nilai Budaya Propinsi Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ________. 1988b. Pakaian Adat Tradisional Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
xi
Granoka, Ida Wayan, dkk. 1985. Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Kaplan, Abraham. 1967. “The Aesthetics of The Popular Arts” dalam James B. Hall dan Berrukkanov. Modern and The Arts. New York: McGraw-Hill Company and Co. Kartakusuma, Muh. Rustandi. 1984. “Sosiologi Sastra dan Kecenderungan Sastra”. Simposium Nasional Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial (cetakan ke-3). Jakarta: Dian Rakyat. ________. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi (cetakan ke-2). Jakarta: Aksara Baru. Lubis, Mochtar. 1996. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Majumdar, D.N. dan T.N. Madan. 1960. An Introduction to Social Anthropology. Bombay: Asia Publishing House. Nio Joe Lan. 1962. Sastera Indonesia-Tionghoa. Jakarta: Gunung Agung. Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. ________. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Jakarta: Pustaka Jaya. Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu terj. Dede Oetomo. Jakarta: Balai Pustaka. Siregar, Ashadi. 1984. “Sosiologi Sastra Indonesia: Suatu Kecenderungan Umum”. Simposium Nasional Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada. Soe Lie Piet. 1935. Lejak: Satoe Roman Koeno dari Poelo Bali. Tjerita Roman.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
xii
________. 1954. Dewi Kintamani. Purnama Roman. Storey, John. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture. Hertfordshire: Harvester Wheatsheaf. Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sukantra, Drs. I Made. 1992. Kamus Bali-Indonesia: Bidang Istilah Pengobatan Tradisional Bali. Denpasar: Upada Sastra. Sumardjo, Jakob dan Saini K. M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Kersten, J. 1984. Bahasa Bali. Flores: Nusa Indah. Wahyudi, Ibnu. 2003. “Pernyaian dalam Kesusastraan Melayu Tionghoa”. Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 7 ed. Markus A.S. dan Yul Hamiati. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ________. 2004. “Representasi Keseharian Indonesia dalam Karya Sastra Indonesia Sebelum Balai Pustaka”. Seminar Buku Langka sebagai Referensi Kajian Kebudayaan Indonesia. Jakarta: t.p. ________. 2005. “Awal Keberadaan Sastra Indonesia: Sebuah Pemahaman Ulang”. Dari Kampus ke Kampus ed. Totok Suhardianto, et al. Depok: Program Studi Indonesia FIB UI. Wasito, Hermawan. 1992. Pengantar Metodologi Penelitian: Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Unsur-unsur kebudayaan..., Fatya Permata Anibiya, FIB UI, 2008
GAYA SENI HINDU–JAWA PADA TATA RUANG KERATON YOGYAKARTA Laksmi Kusuma Wardani Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada & Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra, Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya e-mail:
[email protected]
R.M. Soedarsono, Timbul Haryono dan Djoko Suryo Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK Keraton Yogyakarta merupakan salah satu peninggalan seni budaya yang menjadi fakta sejarah, memuat berbagai informasi penting tentang gaya seni sebagai akibat akulturasi budaya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis dan interpretasi untuk menemukan jejakjejak historis perkembangan gaya seni Hindu-Jawa dan makna dibalik wujud tata ruang keraton Yogyakarta. Hasil pembahasan menjelaskan bahwa seni prasejarah masih murni ditentukan oleh adat, secara berkesinambungan berperan dalam pembentukan seni tradisi pada masa Hindu. Kegiatan seni dilakukan untuk menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan tata kehidupan masyarakat agraris yang menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi sederajat dengan dewa. Ekspresi gaya seni pada tata ruang keraton Yogyakarta pada dasarnya mengikuti konsep teologis Vastusatra dan kepercayaan mitis masyarakat pra-Hindu yang masih berlanjut hingga kini. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa ekspresi bentuk dan isi pada tata ruang terilhami oleh pertimbangan religius, bukan sebagai ungkapan estetis belaka. Keselarasan jagad mikro dengan jagad makro, menjadi refleksi periode jaman pra-Hindu dan Hindu. Perubahan terjadi sebagai wujud akulturasi budaya, terutama pada aspek orientasi bangunan dan susunan ruang keraton Yogyakarta. Kata kunci: Gaya, Hindu-Jawa, ruang, Keraton Yogyakarta.
ABSTRACT The Sultan Palace is one of the art cultural heritages that has now become a historical artifact, containing important information regarding art styles as a result of acculturation. This study is a qualitative study with a descriptive analysis method. The approach used is the historical approach and interpretation to find traces of the historical development of the Hindu-Javanese art style and the meaning behind the spatial form of Keraton Yogyakarta. The results of the research explain that prehistoric art is purely determined by custom, and at the same time take its role in the formation of cultural arts during the Hindu period. Art activities were carried out to ensure that the survival of religion is based on an agricultural system of the people's lives who regard the king as having the supreme authority who is equal to the gods. The expression of the art in layout plan of Yogyakarta palace basically follows the theological concept of Vastusatra and the mythic beliefs of the preHindu society which still continues today. Based on the results of the study, it was found that the expression of the form and content of the layout plan was inspired by religious considerations, and does not perform as mere aesthetic expression. The alignment of the micro universe with a macro universe is a reflection of the pre-Hindu and Hindu periods. Changes occurred as a form of acculturation, especially in the aspects of building orientation and spatial arrangement of Keraton Yogyakarta. Keywords: Style, Hindu-Javanese, space, Sultan Palace.
PENDAHULUAN Terjalinnya hubungan antar budaya di pulau Jawa bagian tengah memungkinkan terjadi kontak budaya yang mendorong berbagai perubahan dan perkembangan sosio-kultural. Setelah melalui proses historis yang panjang, terbentuklah akumulasi dan
akulturasi budaya yang terwujud dalam berbagai ketrampilan dan kesenian. Akulturasi ini ditandai dengan masuknya unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, Budha, Islam dan Eropa Barat. Sisa-sisa peninggalan masa lampau menjadi fakta sejarah yang memuat berbagai informasi penting tentang perubahan sosiokultural. Perkembangan dan pertumbuhan Demak
108
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta
sebagai pusat budaya Islam di Jawa misalnya, memberi sumbangan karya seni bercorak Islam dalam seni budaya bangsa. Sesudah pusat pemerintahan bergeser ke daerah pedalaman dengan munculnya kerajaan Mataram Islam, dasar-dasar seni pedalaman menjadi acuan bagi perkembangan seni selanjutnya (Gustami, 2000:1-2). Sejarah menceritakan bahwa konflik di kalangan keluarga raja-raja Mataram dimanfaatkan bangsa lain untuk memecah belah kerajaan. Kerajaan yang awalnya merupakan pusat kekuasaan yang mandiri, dengan adanya keraton pedalaman, mengalami banyak perubahan dan mulai diawasi pemerintahan kolonial Belanda. Keraton Mataram pertama beberapa kali mengalami perpindahan pusat kerajaan yakni di Kota Gede (1586-1613), sesudah itu pindah ke hutan Kerta (1613-1645), selanjutnya pindah lagi ke Plered (1645-1677), dan terakhir pindah ke Kartasura (1682-1744) (Adam, 1940:184). Kerajaan Mataram yang dahulunya adalah suatu kawasan politik yang berdaulat dan merdeka, secara berangsur-angsur kehilangan kedaulatannya yang veralih kepada VOC Belanda yang datang pada akhir abad ke-16. Hingga tahun 1705, VOC telah membuat 111 perjanjian dagang dengan kerajaan Mataram yang diwakili rajanya Susuhunan. Bahkan pada tahun 1733 VOC diberi hak untuk mengadakan pengadilan sendiri untuk menanggapi tiap kejahatan terhadap VOC. Pemberontakan Cina tahun 1742 menjadi alasan utama VOC menawarkan jasanya kepada Susuhunan Paku Buwana II untuk menumpas pemberontakan itu. Sebagai balas jasanya, Belanda diberi hak monopoli atas pengangkutan dan perdagangan di kerajaan Mataram, bahkan warga kerajaan Mataram sendiri tidak diikutsertakan. Kemudian, terjadi gerakan yang ingin merubah kebijakan tersebut oleh R.M. Said. Gerakan ini dapat dipatahkan oleh Pangeran Mangkubumi, dengan perjanjian pemberian daerah Sukawati. Namun, sungguh sangat mengecewakan hati Pangeran Mangkubumi, karena perjanjian ini diingkari Susuhunan. Atas dasar ingin mengusir Belanda dari bumi Mataram, Pangeran Mangkubumi bergabung dengan R.M. Said melawan Susuhunan. Perang saudara berakhir dengan dilakukannya perjanjian perdamaian di desa Giyanti tanggal 13 Februari 1755 dibawah pengawasan kolonialisme Belanda. Perjanjian tersebut menghasilkan pembagian Mataram menjadi dua kerajaan yakni Yogyakarta dan Surakarta (Sejarah Kota Yogyakarta, 1956:7-13; Soemardjan, 2009:11-13). Campur tangan Kompeni dalam urusan kerajaan tersebut membangkitkan timbulnya fanatisme daerah atau sentimen budaya yang terekspresikan lewat etika, tata nilai, dan perilaku sosial yang terwujud dalam bentuk karya seni pada masa itu (Gustami, 2000:2).
109
Penyusunan berbagai elemen artistik yang harmonis di masa lampau (Mataram), menampakkan keselarasan, keseimbangan, dan keseluruhan yang membentuk suatu cara berekspresi tersendiri di lingkungan keraton Yogyakarta. Cara ini kemudian berkembang selama periode tertentu dalam budaya keraton Yogyakarta. Sebagai salah satu bukti bahwa gaya Yogyakarta lebih merupakan pelestarian gaya Mataraman yang lama (sedangkan gaya Surakarta lebih merupakan gaya yang telah dikembangkan), sampai sekarang istilah gaya Mataram atau Mataraman selalu dipergunakan oleh gaya Yogyakarta. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk seni pertunjukan dan busana saja, tetapi termasuk pula seni kriya dan perabot pun sering disebut sebagai gaya Mataraman (Soedarsono, 2001:32) Perkembangan seni budaya berlanjut karena pengaruh perkembangan sosio-kultural. Kebijakankebijakan di keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana IX banyak membawa perubahan. Salah satunya berkenaan dengan perubahan Yogyakarta dari kota kerajaan dengan keraton sebagai pusat kekuasaan, menjadi simbol sosio-kultural yang menduduki posisi penting sebagai Daerah Istimewa, bagian dari Republik Indonesia. Peranan elite keraton, kaum bangsawan, dan pemerintahan terlihat melalui kebijakan politik yang ditetapkan. Kebijakan itu membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya kegiatan kreatif. Kebijakan politik memicu kritik sosial yang dilontarkan melalui simbol-simbol estetik. Bentuk-bentuk kesenian yang hadir di lingkungan keraton pun menyesuaikan kebijakan tersebut dengan tetap menjaga kelestarian seni budaya masa lampau. Gaya kemudian menjadi bingkai bagi pemerhati untuk menengarai eksistensi karya seni yang ada, menjadi pengungkapan karakteristik khas keraton pedalaman yang berkembang karena perubahan sistem pemerintahan dari feodal ke pemerintahan demokrasi (Gustami, 2000:3). Keraton Yogyakarta adalah pusat kerajaan, pusat politik dan budaya, serta tempat raja bersemayam. Keraton merupakan perwujudan cipta dari Sultan Hamengku Buwana I beserta pujangganya. Keraton dan isinya merupakan benda seni masa lampau yang bernilai, keramat, mengandung muatan simbolik/ religius, dan merupakan manifestasi dari semesta penghayatan dan pemikiran Sultan Hamengku Buwana I. Membahas keraton akan selalu terkait dengan usaha pelestarian, pembaruan, dan usaha-usaha lain dalam proses beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan kemajuan zaman yang selalu berkembang. Melestarikan berarti menyaring dan memelihara, meliputi kisaran mempertahankan wujud asli atau asalnya, dan tidak sekadar mempertahankan bentuk yang kini ada
110
DIMENSI INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 108-118
serta dampak kulturalnya dalam ekspresi atau spiritnya. Pelestarian yang dimaksud dapat diartikan penataan kembali wujud kebudayaan terhadap isinya, dengan mengadaptasi dinamik nilai esensial dalam konteks pembangunan budaya (Hamengku Buwana X, tanpa tahun: 1). Tulisan ini merupakan penelitian pendahuluan, bermula dari keinginan untuk mengetahui secara mendalam mengenai gaya seni pada tata ruang keraton Yogyakarta. Diperkuat dengan latar belakang historis, politik, dan sosio-kultural, kehadiran gaya seni di lingkungan keraton Yogyakarta berakibat besar pada eksistensi, kelangsungan, perkembangan dan penyebarannya dari pusat hingga ke daerah-daerah. Hal ini berdampak pada produk budaya berupa bangunan sebagai ujud fisik yang menjadi media penerapan nilai-nilai sosio-kultural dan gaya seni tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis dan interpretasi, yakni digunakan untuk mengurai berbagai fakta historis dan nilai-nilai seni bangunan keraton Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur untuk melacak historis perkembangan gaya seni bangunan keraton Yogyakarta. Metode pengumpulan data melalui observasi lapangan dilakukan untuk menemukan realitas fisik bangunan keraton Yogyakarta, sedangkan wawancara dilakukan dengan komunitas keraton dan narasumber terkait secara terbuka untuk menemukan makna-makna yang melekat pada bangunan Keraton Yogyakarta. PENGERTIAN GAYA DAN FUNGSINYA Suatu gaya merupakan perkembangan dari gaya sebelumnya setelah mengalami suatu rangkaian perubahan secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit. Gaya dapat dibaca melalui pengorganisasian unsur-unsur estetik yang secara harmonis menampakkan keselarasan dan keseimbangan dari kualitas nilai dan energi yang diramu dalam suatu realisasi perwujudan. Melalui gaya seni dapat dilacak gejalagejala pertumbuhan, perubahan, perkembangan dan kualitas suatu hasil kreasi estetik. Dengan memperdalam pengkajian melalui observasi dalam perspektif sosial-kultural akan terungkap iklim dan kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, berikut pandangan serta perilaku sosial dari masyarakat pendukungnya. Gaya seni adalah suatu sifat-sifat bentuk khusus pada suatu objek/artefak seni seperti arsitektur interior, yang mewakili upaya-upaya tertentu, suatu ekspresi yang secara visual menciptakan kesan pertama dari suatu bangunan dan mengungkapkan arti dari makna bangunan. Pilihan gaya adalah wujud filsafat seorang
seniman tentang kecenderungan-kecenderungan seni budaya yang sedang berlaku di masa tertentu (Feldman, 1967:136). Gaya dalam desain merupakan cerminan perilaku dan sikap budaya manusia pada waktu tertentu. Desain menjadi refleksi di setiap periode jamannya. Karya desain dengan gaya tertentu adalah artefak sejarah dalam periode kehidupan di jamannya. Pemilihan gaya menambah nilai filosofi seorang arsitek atau desainer mengenai trend masa kini dan masa lampau. Pengenalan suatu gaya merupakan akses langsung untuk mengetahui struktur nilai dari suatu budaya lain, dimasa yang telah lampau atau suatu strata sosial suatu masyarakatnya. Jika dapat memahami alasan-alasan perubahan penggayaan dalam kurun waktu tertentu, maka diperoleh kunci yang membawa kepada peraturan-peraturan dalam evolusi kebudayaan. Gaya (style) berasal dari kata stilus, bahasa Latin yang berarti alat menulis (a writing implement), oleh sebab itu tulisan tangan merupakan ekspresi langsung dari karakter individu (Walker, 1989:153, 154). Gaya kemudian menjadi sarana ekspresi yang memudahkan penggolongan atau klasifikasi gaya dari suatu obyek. Dalam lingkup lebih luas, penggolongan sebuah gaya seni (menurut waktu, daerah, penampilan, teknik, atau subject matter), memungkinkan studi dan analisis lebih lanjut. GAYA SENI RUPA DI JAWA (ASPEK HISTORIS) Sejalan dengan perkembangannya sosio-kultural di Jawa, perjalanan seni bangunan juga melalui proses sejarah dengan berbagai gaya yang berkarakter, bertumbuh, berkembang, dan berubah. Gaya memiliki siklus kehidupan yang melewati empat periode zaman, yakni zaman prasejarah, zaman purba, zaman madya, dan zaman baru. Periode zaman itu, melewati suatu proses perjalanan waktu. Ada masanya dimana gaya kemudian mencapai puncak popularitas dengan menemukan bentuk dan ekspresi terbaiknya. Umumnya, masa itu dikatakan bahwa gaya itu sedang dalam masanya. Gejala pertumbuhan dan penciptaan seni masa lampau, sejak masa akhir zaman purba hingga masa akhir zaman madya penting ditelusuri, diungkapkan dan dirumuskan kembali sesuai tahap-tahap perkembangannya yang bergerak dinamis. Penciptaan gaya seni di Jawa dapat ditelusuri melalui fakta sejarah (baik fisik, sosial maupun mental). Fakta ini sejalan dengan pergeseran kekuasaan fisik dari Majapahit yang hinduis – ke Demak yang islamis; kemudian dari Demak yang islamis – ke Mataram yang Islam-Kejawen, serta dari Mataram yang Islam-
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta
Kejawen – ke Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang menempatkan raja sebagai sosok penerima pulung, ndaru, wahyu illahi untuk menyampaikan kebajikan Allah kepada umatnya di bumi (Gustami, 2006:4). Pada peradaban prasejarah, wibawa raja dipercaya berhubungan dengan sejumlah kekuatan magi dalam diri raja, maupun lingkungannya. Terdapat kepercayaan tentang adanya kekuatan atau magi yang mampu menguasai perbuatannya sendiri, biasanya lewat satu bentuk asketisisme. Dalam kepercayaan itu, ritual magis yang animistis merupakan sumber penting dari inspirasi artistik. Satu faktor penting yang menunjang penyebaran kebudayaan India di Asia Tenggara adalah sifat khas dari kepercayaan tentang raja yang animistik. Raja-raja Kamboja dan Jawa kemudian mendewakan diri mereka sebagai reinkarnasi Syiwa atau Wishnu (Brandon, 2003: 10, 2021). Sajak Jawa yang bernama Nagarakertagama (abad ke-14) menandaskan bahwa semua raja-raja adalah inkarnasi Syiwa. Sajak itu menceritakan raja Rajasanagara dari Majapahit (1350-1389 M), pada waktu lahirnya disertai dengan berbagai pertanda, antara lain sebuah letusan gunung api, adalah penitisan Batara Girinata, yaitu Syiwa sebagai Dewa Gunung. Kronik Jawa, Pararaton, menyebutkan bahwa Raja Kertajaya dari Kediri (abad ke-13) pada suatu kesempatan memperlihatkan dirinya dalam bentuk Syiwa dengan empat tangan dan mata tiga, satu diantaranya terletak di tengah keningnya, sedangkan iapun mengawang di udara (Heine-Geldern, 1982:16). Kenyataan itu, hingga kini masih mewarnai pemegang kekuasaan raja-raja Mataram (Islam) yang ada di Surakarta dan Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana I mengidentifikasikan diri dengan Dewa Syiwa atau Dewa Wisnu, yang memiliki wibawa untuk memerintah dan melestarikan atau mengelola dunia. Wisnuisme pada Sultan Hamengku Buwana I serta para penerusnya terlihat pada: (1) gelar abhisekanya adalah Hamengku Buwana, yang berarti “Yang Melestarikan atau Mengelola Dunia”, (2) dua dari tombak-tombak pusakanya bernama Cakra atau Hardacakra, (3) kerajaannnya disebut Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti “Ayodya Yang Makmur, Keindahan dari Dunia”, (4) apabila Sultan menyaksikan pertunjukan wayang wong ritual, ia selalu duduk di atas tahta tepat di bawah uleng, serta menghadap ke timur untuk menghormati hadirnya Matahari, yang juga berarti menghormati hadirnya Dewa Wisnu. Kemudian Sultan Hamengku Buwana VI memberi nama kereta kerajaannnya dengan Garudha-yeksa, dan Sultan Hamengku Buwana VIII menggunakan sepasang sayap burung garuda yang mengapit
111
mahkota sebagai lambang kerajaannnya (Soedarsono, 1997: 177-178). Perkembangan seni tradisi yang bersumber pada kebudayaan prasejarah yang percaya pada kekuatan magi dalam diri raja tersebut, tentu saja ditentukan oleh adat, yang secara berkesinambungan berperan dalam pembentukan seni tradisi pada masa Hindu dan Islam. Setiap periode masa pembentukan seni itu, membawa karakteristik gaya seni yang tervisual secara estetik dan unik pada produk seni. Seni pada periode zaman madya di Jawa adalah bentuk puncak seni yang didukung oleh kebudayaan keraton di masa lampau, dengan kaidah seni yang mengukuhkan seni sebagai dharma bakti, baik untuk pemujaan penguasa maupun ibadah agama (Yudoseputro, 1990-1991:3334). Seni rupa Hindu di Jawa bukan semata-mata produk dari pendalaman pikiran atau persepsi dari teori dan kaidah seni atau ikonografi dari seni tradisi di India. Ia adalah hasil dari pengolahan dan interpretasi para seniman melalui proses peleburan dua seni budaya melalui pengayatan sesuai dengan tuntutan budaya Hindu di Jawa dari abad ketujuh sampai abad kelima belas. Berabad-abad proses peleburan tradisi seni itu berjalan dan menghasilkan perubahan gaya seni, baik dalam arsitektur, pahatan, arca, maupun lukisan. Kegiatan seni pada waktu itu untuk menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan tata kehidupan masyarakat agraris yang menempatkan raja sebagai penguasa tertinggi sederajat dengan dewa (Yudoseputro, 1990-1991:35). Seni yang berkembang pada masa prasejarah tidak lenyap dengan hadirnya masa berikutnya, bahkan tidak hilang dan tetap dipertahankan. Adat serta pengetahuan suci yang diperkenalkan di Jawa bersamaan dengan agama-agama dari India pada abad ketujuh, tetap hidup di lingkungan keraton Mataram (kuno), meskipun terlanda oleh penyebaran agama Islam pada abad kelima belas (Holt, 2000: xx). Ini menunjukkan bahwa proses akulturasi budaya yang terjadi di keraton Mataram (Islam), sebenarnya sudah berjalan sejak masuknya kebudayaan Hindu dan Islam. Proses itu kembali berlanjut setelah mengalami sejarah panjang pada masa penjajahan Belanda. Di keraton Yogyakarta, unsur-unsur lama dan baru dalam rangkaian kesatuan akulturasi budaya, saling bercampur-baur, bahkan kadang-kadang hadir berdampingan tanpa saling bertentangan. Angka-angka tahun hanyalah merupakan perkiraan saja yang menandai adanya perkenalan ide-ide atau teknik-teknik baru, tanpa perlu dijelaskan secara langsung lenyapnya kepercayaan-kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan sebelumnya.
112
DIMENSI INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 108-118
SP. Gustami (2006:4-5) menjelaskan mengenai penelusuran gagasan kreatif dalam konteks penciptaan seni (misal seni kriya) dapat digunakan sebagai acuan untuk penelusuran gagasan perkembangan seni bangunan. Kendati tidak dengan istilah yang sama dengan periode zaman yang telah disebut di depan, kehadiran seni berlangsung dalam waktu yang panjang, yaitu sejak kehidupan berburu dan meramu, disusul kehidupan menetap dan tradisional, hingga sampai pada zaman modern dan era global. Oleh Gustami dibuat dalam bentuk skema sebagai berikut. KERATON YOGYAKARTA DALAM BALUTAN HINDU-JAWA Berdirinya Yogyakarta diawali dengan adanya perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 antara Sri Sunan Paku Buwana III dari keraton Surakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang juga disebut Sri Sunan Kebanaran dari keraton Ambar Ketawang. Sesudah perjanjian itu, Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar ”Sultan Hamengku Buwana I, Senopati Ing Ngalogo, Ngabdul Rakhman, Sayidin Panatagama Kalipatullah”, yang berarti Raja yang menguasai
dunia, panglima perang, dan pengatur agama, mewakili Tuhan Yang Mahaesa. Perjanjian Giyanti memecah kerajaan Mataram menjadi dua bagian yakni Surakarta dan Yogyakarta. Setelah perjanjinan itu, Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) kemudian membangun keraton berupa pesanggrahan di Gamping. Kurang lebih satu tahun kemudian, Sultan mendirikan keraton baru bernama keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (sekarang disebut keraton Yogyakarta). Menurut Brandes dalam tulisannya Bataviaasch Genootschap, tempat keraton Yogyakarta itu disebut Ajogija (dalam Adam, 1940:187). Sultan Hamengku Buwana I berkenan memasuki keraton pada hari Kamis-Paing tanggal 13 Sura-Djimakir 1682 Saka atau 7 Oktober 1756 Masehi, dan untuk sementara waktu menempati Gedung Sedahan hingga pembangunan keraton selesai. Kepindahan Sultan ke keraton Yogyakarta ditandai dengan Candrasengkala Memet di atas kêntêng (sebidang tembok memanjang) berupa dua ular naga yang saling berlilitan ekor, berbunyi Dwi Naga Rasa Tunggal (=1682), di depan regol Kemagangan (Kota Jogjakarta, 200 tahun, 1956: 18).
Sumber: Gustami, 2006:5 Skema 1. Analisis ketergayutan perkembangan crafs di Barat dan seni di Indonesia (Jawa) dengan kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta
Sultan Hamengku Buwana I adalah penguasa Kasultanan Yogyakarta yang berbudi luhur, adil bijaksana, berjiwa kesatria, jujur, dan tidak meninggalkan sifat tepo seliro. Pada masa pemerintahannya, kebudayaan dan kesenian mencapai kemajuan pesat. Sultan Hamengku Buwana I dipercaya mewakili esensi dari negara, istananya adalah sebuah mikrokosmos yang mengambil model dari makrokosmos. Ini adalah kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Hindu mengenai kosmologi Jagad Purana yang berpusat pada benua bundar Jambudwipa yang dikelilingi tujuh lapisan daratan dan samudera. Pada benua tersebut terdapat gunung (meru) tempat para dewa bersemayam. Keraton sebagai lingkungan binaan, disusun secara konsentrik berdasarkan replika jagad raya untuk menjaga keselarasan jagad. Titik pusat dalam susunan replika itu sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan kosmos. Pada skala negara, susunan konsentris terwujud dalam kota yang berpusat pada kuthagara (keraton sebagai pusat dan parentah njero), dikelilingi nagara (parentah njaba, para pangeran, patih, dan pejabat keraton yang lain), dan nagaragung (pusat kota yang besar), serta mancanagara (negara asing yang diperintah bupati) (Soemardjan, 1991:29). Kestabilan seluruh tatanan dunia manusia (mikro) terjaga dengan adanya kepercayaan terhadap makna filosofis garis imajiner Utara-Selatan, yang menempatkan keraton Yogyakarta sebagai titik pusat di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan. Raja tinggal di pusat keraton dan menjadi sumber kekuatan yang mengalirkan kesejahteraan ke daerah serta membawa kestabilan seluruh tatanan kosmos. Kosmos jagad raya (makro) dipercaya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi dapat pula membawa bencana. Keselarasan kerajaan (mikro) dengan jagad raya (makro) dicapai melalui tersusunnya tipologi kerajaan yang mengikuti pola dasar alam semesta. Gambaran alam semesta atau jagad raya menurut doktrin Hindu mempunyai pusat sebuah benua bernama Jambudwipa yang berbentuk bulat. Sedangkan dalam filsafat Jawa, konsep inti peradaban Jawa yaitu keteraturan sosial, kosmis dan religious. Dengan demikian, filsafat Jawa dan Hindu sebenarnya tidak bertentangan. Sedangkan mistisme Islam memiliki diagram yang dikenal sebagai daerah yang terdiri dari lingkaran konsentris: mikrokosmos di dalam dan makrokosmos di luar. Pusat dari keduanya adalah Dhat, yaitu Yang Suci. Konsep mistik semacam itu, sebenarnya sangat berkaitan dengan ajaran Hindu (Klinken, 1996: 32). Keraton disusun secara hierarkhis, yakni arah Utara-Selatan berdiri bangunan-bangunan yang digunakan untuk kegiatan resmi, upacara, dan
113
kenegaraan, sedangkan arah Timur-Barat merupakan ruang hunian untuk para isteri dan putera-puteri Sultan. Bangsal Prabayeksa berfungsi sebagai titik pusat pertemuan arah Utara-Selatan dan Timur-Barat tersebut. Bangsal ini dilingkupi oleh kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat keraton harus melewati halaman dan pintu gerbang yang berlapis. Pelataran arah Utara-Selatan, meliputi: (1) Alun-alun Utara, (2) Sitihinggil Utara, (3) Kemandhungan Utara, (4) Srimanganti, (5) Kedhaton, (6) Kemagangan, (7) Kemandhungan Selatan, (8) Sitihinggil Selatan, dan (9) Alun-alun Selatan. Pelataran kedhaton merupakan puncak konstelasi dari sembilan pelataran tersebut. Kedhaton diapit oleh dua pelataran domestik (kesatriyan dan keputren) tempat keluarga keraton tinggal. Peralihan dari pelataran ke pelataran berikutnya dapat ditempuh melalui sembilan pintu gerbang, yakni gerbang: (1) Pangurakan, (2) Tarub Agung, (3) Brajanala, (4) Srimanganti, (5) Danapertapa, (6) Kemagangan, (7) Gadhungmlati, (8) Kemandhungan, dan (9) Gading. Sejumlah bangunan untuk urusan dalam istana berada di sepanjang pinggiran pelataran kedhaton, termasuk ruang hunian bagi para penghuni keraton. Ruang hunian di pelataran ini terbagi menjadi dua sisi, yakni keputren berada di bagian Barat, sedangkan kesatriyan berada di bagian Timur.
Sumber: Soemardjan, 1991:29 Gambar 1. Susunan sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta, terdiri dari: (1) Keraton/parentah njero (2) Nagara/parentah njaba (3) Nagaragung (4) Mancanegara
114
DIMENSI INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 108-118
1. Alun-alun Utara 2. Sitihinggil Utara 3. Kemandungan Utara 4. Srimanganti 5. Kedhaton 6. Kemagangan
7. Kemandhungan Selatan 8. Sitihinggil Selatan 9. Alun-alun Selatan
Sumber: Gunawan, et all., 1993:26, gambar diolah kembali oleh penulis, 2011. Gambar 2. Denah Keraton Yogyakarta
Di ruang hunian keputren digunakan untuk upacara keluarga, terutama yang terkait dengan aktivitas domestik kaum perempuan, upacara kesuburan dan upacara ritus kehidupan. Konsentrasi ruang di pusat keraton itu menunjuk pada supremasi yang diraih dengan konsentrasi dua sisi dari karakteristik ganda, yakni urusan luar dan dalam, ranah negara dan keluarga, lingkup lelaki dan perempuan. Sultan, sebagai penguasa, merupakan penghubung dari kedua poros Utara-Selatan dan Timur-Barat, kedudukan Sultan tepat berada di pusat keraton (Santosa, 2000: 109, 111). Makna filosofis sumbu imajiner yang membujur dari Utara ke Selatan, bila dilihat dalam tata bangunan keraton, muncul dalam pasangan harmoni berbentuk Tugu Pal Putih Golog Gilig di Utara dan panggung Krapyak di Selatan, merujuk pada pasangan lingga dan yoni. Lingga dalam peradaban Hindu erat kaitannya dengan kekuatan yang bersumber dari Dewa Syiwa atau Wisnu. Pada pemujaan Syiwa, personalitas suci dari raja diabadikan pada sebuah phalus dari batu yang ditempatkan di tempat yang paling tinggi dari gunung peribadatan raja yang berada tepat di pusat ibukota dan dianggap sebagai pusat jagad raya. Di keraton Yogyakarta, ungkapan bentuk monumen atau tugu Pal Putih Golog Gilig yang dulunya berbentuk phalus ini, memberikan informasi
kepada orang bahwa tanah sekitarnya telah diduduki oleh kelompok penganut kepercayaan Hindu. Dewa Syiwa atau Wisnu dipercaya sebagai penguasa dunia dalam segala bentuk dan manifestasinya, menguasai nasib dan jalan kehidupan manusia di atas bumi ini. Dengan keyakinan demikian, lingga bukan hanya lambang dari awal kehidupan bertempat tinggal, tetapi juga awal dari penyerahan diri dari ketidakpastian kepada sumber kekuatan kosmik alam raya (Wiryomartono, 1995: 3-4). Adapun raja keraton Yogyakarta diinterpretasikan sebagai titisan dewa Wisnu, sedangkan isterinya sebagai Dewi Saraswati, seperti terwujud dalam bentuk patung loro-blonyo yang lazim disebut Sri-Sadana. Keduanya adalah satu kesatuan menunjuk pasangan kesuburan yang seimbang. Perencanaan tata susun keraton terurai di atas, ada kemungkinan terinspirasi ajaran Vastusastra dari budaya India kuno, yang dibawa oleh para pendatang India ke Jawa, yang diterapkan pada candi-candi di Jawa. Vastusastra merupakan sekumpulan aturan yang berusaha untuk memfasilitasi penerjemahan konsep-konsep teologis (agama) ke dalam bentuk arsitektur, menyangkut pertimbangan (1) pemilihan lokasi site dekat pegunungan, sumber air, dan di tanah yang subur, (2) bentuk dasar bangunan persegi atau segi empat, (3) arah hadap bangunan Timur dan Timur laut (arah matahari terbit merupakan arah utama), (4) posisi sentral sebagai titik pusat suci (sanctum)/tempat paling utama, (5) bentuk meru pada atap, (6) susunan ruangnya yakni menganggap rumah sebagai manusia, dan (7) berdasarkan 8 penjuru mata angin, serta (8) konsep kosmologisnya yakni menciptakan dan menjaga keselarasan antara alam kodrati dalam alam adikodrati (Ambarwati, 2009: 124,125). Berdasarkan pengamatan di lapangan, tata susun keraton Yogyakarta mengikuti konsep teologis Vastusatra dan kepercayaan mitis masyarakat praHindu yang masih berlanjut hingga kini, yakni: 1. Bangunan keraton Yogyakarta berdiri di atas tanah yang subur. Lokasi keraton berada di tengahtengah antara bentangan sungai Code dan sungai Winanga, serta di tengah-tengah antara empat fisiografik, yakni (a) pegunungan Selatan (pegunungan Sewu, ledok Wonosari, pegunungan masif panggung, dan pegunungan Baturagung), (b) gunung Merapi di Utara; (c) dataran rendah antara pegunungan Selatan dan pegunungan Kulon Progo; dan (d) pegunungan Kulon Progo dan dataran rendah Selatan. Sultan Hamengku Buwana I yang mewarisi kebudayaan masyarakat agraris di daerah pedalaman, sangat memahami karakteristik geografis lokasi tersebut, bahwa tanah di daerah itu subur, kaya dengan air sebagai sumber kehidupannya. Ini sesuai dengan ajaran Vastusastra yang
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta
mempertimbangkan pilihan site dekat pegunungan, sumber air, dan tanah yang subur, selain juga mempertimbangkan kepercayaan Jawa asli (Jawa Tengah) tentang pasangan harmoni gunung dan laut. 2. Semua bentuk dasar bangunan utama di keraton Yogyakarta (dilihat dari layout) dominan berbentuk segi empat yang simetris sebagaimana bentuk-bentuk denah candi Hindu di Jawa. Harmoni struktur keraton Yogyakarta dapat pula dilihat dari istilah perwujudan konsep filosofis Jawa kiblat papat, lima pancer, terlihat pada bangunan keraton yang mempunyai bentuk kubus (persegi empat), maupun kehidupan sosio-religius masyarakatnya. Pada bangunan dapat dilihat adanya empat pojok beteng dengan dinding setebal + 3,5 m, tingginya + 3,5 m sampai 4 m, dan mengelilingi keraton sepanjang + 5 kilometer. Pada kehidupan sosio-religius masyarakat Yogyakarta, tampak dengan adanya keyakinan empat unsur dalam diri manusia berupa kekuatan yang terdiri dari tanah, api, air, dan udara (bumi-geni-banyuangin). Bentuk persegi atau bujur sangkar merupakan bentuk bangunan yang paling tepat dan sempurna dalam Vastusastra, karena aliran energi alam di dalam ruang membentuk suatu putaran yang berpusat di tengahnya. Bentuk persegi juga dianggap sebagai mandala yang dalam arti makro berarti alam semesta, dan dalam arti mikro berarti jagad cilik yaitu rumah tinggal manusia (Ambarwati, 2009: 126). 3. Orientasi bangunan keraton Yogyakarta yakni Utara-Selatan, dengan bangunan pusat yang sakral yakni dalem Prabayeksa menghadap kearah Selatan. Ini berbeda dengan kepercayaan Vastusatra yakni arah matahari terbit di Timur merupakan pertimbangan utama pendirian bangunan.
Sumber: dokumentasi penulis, 2011 Gambar 3. Lay out Bangsal Kencana berbentuk persegi
115
Sumber: dokumentasi penulis, 2011. Gambar 4. Tampak sisi timur Bangsal Kencana
Di dalam kisah kehidupan religi pra-Islam, terdapat kepercayaan kepada kekuasaan Empu Rama dan Permadi di gunung Merapi.Raja-raja di Jawa memerintahkan para pujangga mengabsahkan pemerintahan mereka dengan menciptakan hubungan-hubungan khayal dengan kerajaankerajaan besar pada masa lampau sehingga mereka bisa mendapatkan timbunan kekuatan spiritual dari nenek moyang (Brandon, 2003). Gunung ini dalam kepercayaan Hindu-Jawa merupakan tempat bertahtanya dewa Wisnu. Dalam Vastu Purusa Mandala Hindu-Jawa di keraton Yogyakarta, arah Utara merupakan posisi utama, berada pada posisi kepala dalam mandala. Sedangkan arah Selatan dipercaya sebagai tempat kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul. Arah Selatan dalam mandala merupakan posisi kaki. Para penerus kerajaan Mataram hingga kini, masih mengadakan ritus labuhan atau larung kurban (sajen) untuk menghormati gunung Merapi dan laut Selatan. Labuhan diadakan di tiga tempat, yakni di pantai Parangkusumo (laut Selatan), gunung Lawu, dan gunung Merapi. Setelah ritus labuhan selesai, diadakan tarian bedhoyo ketawang, suatu pemujaan kepada Ilahi untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan negara. Pertunjukan ritual yang dianggap sakral ini, merupakan reaktualisasi hubungan mistis antara raja-raja Mataram dan keturunannya dengan kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencanasari (Subagya, 1981:123-124; Soedarsono, 2001:32-33). 4. Terdapat posisi sentral/pusat yang paling suci yakni dalem Prabayeksa di pelataran kedhaton. Pusat sebagai paradoks menunjukkan ruang dan waktu yang mendatangkan berkat dan kedamaian bagi manusia. Dalam pandangan Hindu, pusat ini mengacu pada tata susun Vastu Purusha Mandala, berlapis-lapis, dipisahkan dengan pelataranpelataran, ada bagian yang utama dan penting di pusat. Pelataran kedhaton meskipun dibuat terbuka
116
3.
DIMENSI INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 108-118
atau open courtyard dalam Vastusastra, namun ada pusat inti bangunan dalam pelataran kedhaton yang bersifat privat/tertutup dan sakral yakni dalem Prabayeksa, karena digunakan untuk kegiatan ritual pemujaan (ritus kesuburan) dan menyimpan benda-benda pusaka kerajaan. Kedudukan titik pusat sangatlah dominan sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan (raja sebagai pancer merupakan representasi kekuatan kosmik di atas bumi di bawah langit yang dikukuhkan secara mitologi). Dalam struktur fisik tata bangunan keraton, pusat sinar kekuasaan raja diwujudkan dalam bangunan inti keraton yang disebut Prabayeksa tersebut. Dalam kepercayaan animisme pada peradaban prasejarah, raja dipercaya memiliki kekuatan spiritual dari meditasi serta asketisme. Raja dikelilingi roh-roh nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan, dan senjata-senjata diisi dengan kekuatan magi yang besar disimpan di dekat singgasana (Bandon, 2003). (Bandon, 2003).
Prabayeksa
Keputren
5. Keraton Yogyakarta menyimpan seni bangunan tradisional dengan tipe rumah Jawa (khususnya DIY) yang beragam. Sebagian besar, bentuk bangunan yang ada di keraton yakni joglo dan limasan, yang ditopang oleh empat saka guru. Dalam tata bangunan Hindu, bangunan joglo ini mengacu bentuk meru pada atapnya, yakni bentuk atap yang menjulang tinggi pada bagian tengah dan disebut dengan atap brunjung. Prinsip kosmologinya yakni bahwa dunia terbagi dalam tiga lapisan yang disebut dengan Triloka, yakni Jagad atas, Jagad tengah, Jagad bawah. Jagad atas dan bawah adalah adam-makdum (ada tiada), di dalam Jitapsara dinamakan jagad sunya-ruri, yakni alam jin, serta segala makluk yang berbadan rohani. Jagad atas merupakan tempat bersemayamnya para dewa dan supreme being, jagad tengah adalah alam dunia, tempat tinggal para manusia serta segala makluk yang berbadan jasmani, sedangkan jagad bawah mewakili kekuatan-kekuatan jahat di alam (Ronggowarsito, 2001:39,85). Ini merupakan representasi tentang susunan alam semesta (makrokosmos) sebagai bentuk dari gunung Mahameru (India) dan raja dipandang sebaga dewa-raja yang bertahta di puncaknya. Dengan diterapkannya bentuk meru pada bangunan, maka cahaya kedewataan masuk ke dalam bangunan melalui puncak atap berbentuk meru tersebut (Ambarwati, 2009: 127).
Kesatriyan
Gambar 5. Area pelataran kedhaton yang terdiri daripenulis, berbagai bangunan Sumber: Gunawan, et all., 1993; diolah 2011 untuk tempat tinggal keluarga Sultan, dengan dalem Prabayeksa berada di pusat kedhaton (Sumber: Gunawan, et all., 1993; diolah penulis, 2011).
Gambar 5. Area pelataran kedhaton yang terdiri dari berbagai bangunan untuk tempat tinggal keluarga Sultan, dengan dalem Prabayeksa berada di pusat kedhaton (Sumber: Gunawan, et all., 1993; diolah penulis, 2011).
Gambar 7. Gambar tampak potongan Bangsal Kencana
Sumber: Kats, 1938:325, lihat pula Santosa, 2000:103; diolah penulis, 2011 Gambar 6. Lay Out Dalem Prabayeksa dan bangunan di sekitarnya, di pelataran kedhaton. Bangunan ini menyimpan berbagai macam pusaka penting yang dikeramatkan
Gambar 8. Ruang interior Bangsal Kencana, tampak terlihat plafon tumpangsari yang ditopang empat saka guru
Wardani, Gaya Seni Hindu–Jawa pada Tata Ruang Keraton Yogyakarta
6. Tata susun keraton Yogyakarta dari Tugu Pal Putih Golog Gilig di Utara menuju panggung Krapyak di Selatan, menggambarkan proses dumadining manungsa dimulai dari wiji (benih), hingga menjadi manusia yang sempurna (kasampurnaning manungsa). Bangunan-bangunan yang ditata membujur dari Utara ke Selatan mempunyai arti dan makna proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai menghadap penciptanya (awalakhir alam semesta/ sangkan paraning dumadi). Setiap bangunan memiliki makna simbolik yang terkait dengan ajaran kebaikan bagi kelangsungan hidup manusia. Hal ini sesuai dengan ajaran Vastusastra yang menganggap susunan ruang dalam rumah sebagai representasi diri manusia. 7. Susunan ruang menerapkan kuadran ruang yang simetris berdasarkan empat penjuru mata angin, mengacu pada kepercayaan Jawa mengenai kiblat papat lima pancer. Ini berbeda dengan prinsip Vastusastra yang mengacu pada tata susun berdasarkan delapan penjuru mata angin. Arah Timur-Barat dan Utara-Selatan, keempat arah kiblat ini bila ditarik bersilangan menghasilkan titik tengah yang disebut pusering jagad. Empat arah dengan satu pusat ini lebih dikenal sebagai sedulur papat, lima pancer atau kiblat papat, lima pancer. Istilah dulur papat lima pancer erat hubungannya dengan kakang kawah adi ari-ari. Sedulur adalah kawah, darah, daging dan ari-ari, lima pancor adalah lima jiwa yang menjadi satu, yaitu manusia. Sedulur papat lima pancer dapat ditelaah melalui sudut pandang yang lain, yaitu bahwa manusia (jasmani) mempunyai saudara dengan roh yang berasal dari anasir alam, yaitu tanah, api, air dan udara (Soesilo, 2002:169). Kehidupan dalam kosmos alam raya dipandang sebagai sesuatu yang teratur dan telah tersusun secara hierarkis, sehingga konsep kelima-empatan tersebut dalam lingkaran konsentris yang makin besar, menjadi acuan dalam pemetaan negara dan organisasi negara keraton Yogyakarta. 8. Pada dasarnya konsep kosmologi tata ruang keraton Yogyakarta mengacu pada tujuan utama hidup manusia adalah menciptakan dan menjaga keselarasan antara alam kodrati dan alam adikodrati. Dalam dasar agama Jawa terdapat keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakekatnya Satu, merupakan kesatuan hidup, yang selalu terpaut dalam kosmos alam raya, yang tidak memisahkan antara alam kodrati dan adikodrati. SIMPULAN Sultan Hamengku Buwana I berhasil memupuk dan mempertinggi nilai budaya, seni, dan filsafat
117
melalui tata ruang keraton Yogyakarta seperti terurai di atas. Tata ruang itu merupakan cetusan gagasan yang luar biasa dalam perwujudan ekspresi gaya seni dalam bentuk dan isi, jelas terilhami oleh pertimbangan religius, bukan sebagai ungkapan estetis belaka. Tata ruang keraton Yogyakarta merupakan perwujudan ekspresi pikiran dan perasaan Sultan Hamengku Buwana I yang mencoba menyelaraskankan jagad mikro dengan jagad makro, menjadi refleksi periode jaman pra-Hindu dan Hindu di Jawa bagian tengah. Perencanaan tata ruang keraton Yogyakarta mengacu pada Vastusastra dari India, yang diolah dan disesuaikan dengan kehidupan religi dan sosio-kultural masyarakat Jawa pada waktu itu. Perubahan terjadi sebagai wujud akulturasi kebudayaan Hindu dengan kebudayaan asli di Jawa bagian tengah, terutama pada aspek orientasi bangunan dan susunan ruang keraton Yogyakarta. REFERENSI Adam, L. 1940. “De Pleinen, Poorten En Gebouwen Van De Kraton Van Jogjakarta”, dalam Djawa. IV. Batavia: Java-Instituut. pp. 185-205. Anonim, 1956. Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956 .Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th. Ambarwati, Dwi Retno Sri. 2009. “Kontinuitas Dan Perubahan Vastusastra Pada Bangunan Joglo Yogyakarta”, dalam Surya Seni: Jurnal Penciptaan dan Pengkajian Seni, Vol.5, No.2. Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. pp. 123-133. Brandon, James R. 2003. Jejak-jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: P4ST UPI. Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image And Idea. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs. Gunawan, Ryadi, et all. 1993. Peta Sejarah DIY. Jakarta: Departemen P&K, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Gustami, SP. 2000. Studi Komparatif Gaya Seni Yogya-Solo. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Untuk Indonesia. Gustami, SP. 2006. ”Trilogi Keseimbangan, Ide Dasar Penciptaan Kriya Seni: Untaian Metodologis”, dalam Dewi Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, Vol.4, No.1, Surakarta: Program Pendidikan Pascasarjana ISI Surakarta. p.1-16. Hamengku Buwana X, Sultan. Tanpa tahun. Warisan Budaya Aturan-aturan Adat Berkenaan Dengan Kekuasaan dan Kepemilikan: Nilai-nilai Esensial dan Kontekstual. Unpublish. Yogyakarta:
118
DIMENSI INTERIOR, VOL. 9, NO. 2, Desember 2011: 108-118
Koleksi Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional. Heine-Geldern, Robert. 1982. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara, Terj. Deliar Noer. Jakarta: CV. Rajawali. Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak-jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: Arti Line. Kats, J., 1938. ”Random De Huwelijken in de Kraton Te Jogjakarta”, dalam Djawa. Batavia: Java Instituut. pp. 293-329. Klinken, Gerry van. 1996. “Bintang, Senjata, dan Kuda: Ilmu Pengetahuan Jawa Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa”, dalam Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Vol. 6. Yogyakarta: MSI dan PT. Gramedia Pustaka Utama. pp. 28-35. Ronggowarsito. 2001. Paramayoga, Terjemah Otto Sukatno. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Santosa, Revianto Budi. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Soedarsono, R.M. 1997. Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono, R.M. 2001. “Raja dan Seni: Pengaruh Konsepsi Kenegaraan Terhadap Seni Pertunjukkan Istana”, dalam Jurnal Kebudayaan KABANARAN, Vol.1. Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press-Yayasan Pustaka Nusatama. pp. 21-38. Soemardjan, Selo. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta, Terj. H.J. Koesoemanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soesilo. 2002. Ajaran Kejawen: Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yayasan Yusula. Subagya, Rachmat. 1981. Agama Asli di Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka. Yudoseputro, Wiyoso. 1990-1991. “Seni Rupa Klasik”, dalam Mochtar Kusuma-Atmadja, et all. (ed), Perjalanan Seni Rupa Indonesia: Dari Zaman Prasejarah Hingga Masa Kini, Bandung: Panitia Pameran KIAS. pp. 31-51. Walker, John. A. 1989. Design History and the History of Design. London: Pluto Press. Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.