TATA LAKSANA PERIOPERATIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU Alwinsyah Abidin, E.N Keliat, Herlina M. Sitorus Divisi Pulmonologi dan Alergi Immunologi Departemen Penyakit Dalam FK-USU/RSUP.H.Adam Malik/RSU dr.Pirngadi Medan Pendahuluan 1 Sesuai perkembangan di bidang kedokteran termasuk juga meningkatnya kemampuan mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang memerlukan pembedahan,maka semakin sering dilakukan prosedur operasi termasuk pada pasien yang dahulu dianggap beresiko tinggi untuk dilakukan operasi.Termasuk pada mereka dengan Penyakit Paru yang dianggap beresiko tinggi menerima beban prosedur operasi. Seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang ahli penyakit dalam yang disebut sebagai konsultan perioperatif sebelum mereka melakukan tindakan operasi serta anestesi.Bagi seorang ahli penyakit dalam konsultasi itu berdampak professional dan hukum.Maka perlu bagi seorang ahli penyakit dalam mempunyai pengetahuan medik di bidangnya dan pemahaman akan tata cara perilaku maupun ramburambu yang bertujuan mengamankan si pasien maupun dokter itu sendiri.1 Tujuan dan Prinsip Konsultasi Preoperatif
1
Dalam upaya untuk mengamankan pasien(dapat memiliki satu atau lebih penyakit) konsultasi preoperative mempunyai beberapa tujuan,yaitu: 1.Mengidentifikasikan penyakit-penyakit penyerta
serta
faktor-faktor risiko operasi
sebelumnya tidak terdeteksi. 2.Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum menjalani operasi 3.Memahami,mengenali dan mengobati keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya penyulit pascabedah. 4.Berperan sebagai anggota tim bersama ahli anestesi dan bedah.
1
5. Mengupayakan keseimbangan antara faktor resiko dan manfaat dalam prosedur yang akan dilaksanakan. Hal diatas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan pembedahan maupun anestesi.Peranan seorang internis adalah upaya memberikan ketenangan pada ahli bedah serta ahli anestesi dalam menjalankan tugasnya dengan cara mengamankan pasien pasien dari perburukan keadaan akibat penyakit penyerta tersebut. Dalam menjawab konsultasi perioperatif tersebut seorang internist juga diberi batasan-batasan sehingga tidak melampaui kapasitas sebagai konsultan preoperative.Sebuah contoh adalah pada penilian kardiopulmoner pasien yang akan dioperasi,hal-hal yang perlu dipegang antaranya: 1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko berlebih dan tidak merupakan uraian penyakitnya. 2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah kunci 3. Apakah ada perubahan dalam keadaan pasien atau status kesehatannya 4. Nilai toleransi terhadap beban fisik atau latihan. 5. Apakah risiko yang harus diantisipasi pada pembedahan? Dalam menjalankan tugasnya sebagai konsultan,diperlukan pemahaman akan beberapa prinsip dalam cara menjawab maupun cakupannya,yaitu: 1.Substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompentensi keahlian sebagai spesialis penyakit dalam. 2.Batasi jumlah saran,terlalu banyak saran akan mengaburkan permasalahan yang seharusnya menjadi perhatian. 3.Arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya.Isi jawaban akan berbeda bila permintaanya adalah”adakah kelainan di bidang TS” jika dengan “ mohon evaluasi adakah kemungkinan risiko gangguan pernapasan pada pasien dengan PPOK”. 4. Ikuti pasien sampai masa pasca bedah/pasca operasi karena berbagai komplikasi terjadi pada masa ini (bila mendapat izin dari dokter utama pasien. 2
5. Penting untuk diingat bahwa konsultan tidak menyatakan persetujuan atau tidak ada kontraindikasi opersi”’melainkan menyatakan bahwa secara umum pada pasien didapatkan “average risk” dari segi penyakit dalam bila tidak ada kelainan penyerta atau bila pasien mempunyai penyakit maka nyatakan pasien dalam risiko rendah atau sedang atau berat dari segi kelainan yang didapat. Faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi pada pasien paru yang menjalani operasi 1,2,3 Komplikasi yang sering terjadi pasca operasi seperti pneumonia,bronkospasme, atelektasis, hipoksemia sampai gagal napas yang memerlukan ventilator mekanik jangka panjang.risiko terjadinya komplikasi paru tertinggi ada pada pasien-pasien yang menjalani pembedahan kardiak,pembedahan toraks dan abdominal bagian atas dengan komplikasi yang dilaporkan sebesar 9% sampai 76%.Pada pasien yang menjalani pembedahan abdomen bawah dan pelvis bervariasi antara 2% sampai 5% dan pada prosedur pembedahan di ekstremitas kurang 1-3%.ketika operasi non elekktif. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru yaitu karateristik pasien,adanya Table 1 : Faktor-faktor yang mempengaruhi dari tindakan operasi penyakit paru,daerah operasi,prosedur operasi.(Table 1) terhadap fungsi paru ACTA BIOMED 2006; 77; 69-74 Mattioli 1885
3
Anamnesis yang menyeluruh dan komprehensif
diperlukan agar informasi
penting terkait dengan persiapan perioperatif tidak terlewatkan.Fokus anamnesis adalah untuk mengidentifikasi adanya faktor risiko atau komorbid yang mempengaruhi risiko perioperatif.. Anamnesis untuk mengevaluasi fungsi paru seyogianya berfokus pada adanya dan beratnya faktor risiko yang ada pada pasien. Pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit paru kronik harus dievaluasi secara rinci. Upaya harus dilakukan untuk menetukan kondisi pada awal dan apakah ada terjadi perburukan pada fungsi paru seperti meningkatnya batuk dan produksi sputum.Setiap gejala adanya infeksi saluran napas harus ditemukan dan diatasi.Walaupun bukan suatu kontraindikasi mutlak untuk pembedahan namun lebih bijaksana untuk menunda prosedur pembedahan yang bersifat elektif jika dijumpai infeksi.Risiko pada usia yang lanjut diidentifikasi sebagai kompliksai paru.Dianggap komplikasi ini disebabkan oleh keadaan komorbitas yang terjadi pada usia lanjut ini. Merokok merupakan faktor resiko preoperatif yang sangat bermakna.Efek ini terutama berkaitan pada penyakit paru-paru kronik,walaupun pada seseorang yang merokok memiliki pengaruh terhadap fungsi paru-paru.Penghentian merokok selama 48 jam sebelum operasi mengurangi carboxyhemoglobin ke tingkat yang normal,menghapuskan efek stimulant dari nikotin pada system kardiovaskuler dan meningkatkan pernapasan ciliary.Dalam mengurangi volume dahak diperlukan waktu 1-2 minggu menghentikan rokok sebelum operasi,4-6 minggu menghentikan rokok untuk memperbaiki gejala dan fungsi paru.Perokok yang merokok lebih dari 20 pack/tahun dikaitakan dengan peningkatan resiko pasca operasi. Komplikasi dari post operasi adalah penurunan dari volume paru-paru setelah operasi.Pada orang dengan obesitas secara fisiologis dijumpai adanya restriktif paru dan keadaan ini pada kondisi post operasi akan menurunkan volume paru dan kemampuan untuk bernafas secara dalam setelah operasi.Komplikasi paru post operasi dijumpai 10% pada BMI 43kg/m2 dan 12% dengan BMI lebih dari 43kg/m2. Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang 1,6 Pemeriksan fisik diagnostik Pemeriksaan fisik pada pasien yang mempunyai penyakit paru kronik perlu mendapat perhatian seperti meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi
4
napas
tambahan
terutama
wheezing.Adanya
ronkhi
atau
bronkospasme
mungkin
menunjukkan adanya penyakit paru atau gagal jantung. Foto toraks Pemeriksaan foto toraks preoperative diindikasikan pada pasien yang dinilai beresiko. Pada foto toraks jika dijumpai emfisema hal ini sudah dapat didiagnosis dari awal dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun yang akan menjalani operasi besar,untuk pasien dengan penyakit kardiopulmonal dan untuk pasien yang kemungkinan menderita penyakit kardiopulmonal yang tidak terdeteksi sebelumnya Dijumpai kurang 1 % hasil dari foto toraks yang abnormal mengubah diagnose dan tata laksana operasi. Spirometri Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien yang telah diketahui kondisi klinisnya ataupun tidak adanya kepastian telah terjadi gangguan paru-paru.Sebuah gambaran klinis yang ambigu mengenai bronkospasme adanya COPD,respon terhadap bronkodilator dapat diklarifikasi melalui spirometri.Spirometri non invasive dapat memberikan informasi penting tentang adanya penyakit paru-paru. Tes yang dilakukan adalah pemeriksaan Kapasitas Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (FEV1) dan Kapasitas Vital Paksa (FVC).Hasil spirometri yang abnormalpada obstruktif (apakah FEV1 rendah atau rasio FEV1/FVC rendah) dapat digunakan secara kuantitatif memprediksi risiko komplikasi pulmonar.Walaupun pada pasien dengan hasil spirometri abnormal berat(< 0,5%) dapat menjalani pada operasi emergensi dengan antisipasi risiko yang sudah diketahui dan penangananya (seperti pemakaian ventilator sesudah operasi bial terjadi gagal napas) Ada beberapa kondisi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (table 2 dan table 4)
5
Tabel 2: Jenis operasi yang memerlukan pemeriksaan spirometri (Chest 1995; 107:1294-97)
Table 3 : Kondisi pasien dan tindakan operasi yang diindikasikan pemeriksaan spirometri(Chest 1995; 107:1294-97)
Analisa Gas Darah Pemeriksaan analisa gas darah tidak diperlukan untuk semua kasus,pada keadaan yang diragukan adanya hiperkapnia atau hipoksemia sedangkan spirometri tidak bisa dilakukan dapat dilakukan pemeriksaan ini.Walaupun pada pasien preoperative sering dijumpai kelainan pada gas darah tetapi pada pasien yang secara gambaran klinis dijumpai kondisi PPOK yang berat dan dipastikan adanya hiperkapnia melalui gas darah.Kondisi ini bukan merupakan kontrandikasi absolute operasi tetapi
menunjukan risiko dari
operasi.Hipoksemia tidak menunjukan risiko lebih dari risiko dasarnya. Pada waktu operasi dan pasca operasi pasien sering mengalami kelainan pada oksigenasi dan ventilasi.Analisa gas darah tidak menambah kelainan risiko karena kebutuhan tambahan oksigen ditentukan pada tingkat oksigenasi dan hemoglobin setelah operasi. Jika telah diketahui riwayat penyakit sebelumnya kemudian dilakukan pemeriksaan fisik maka dengan pemakain pulse oximetry maka dapt dinilai kadar oksigen tanpa melakukan tindakan invasive, cepat dan hemat biaya.Pada pasien hipoksemia akan terdeteksi kejenuhan oksigenasi arterial abnormal. 6
Pemeriksaan Albumin Serum Albumin serum merupakan salah satu dari pemeriksaan laboratorium yang penting dalam menetukan risiko komplikasi dari pulmonar.Kadar albumin serum yang rendah (<3 gr/dl) meningkatkan komplikasi pulmonar risiko ini sebanding dengan paien PPOK. PENATALAKSANAAN PERIOPERATIF PADA PASIEN PARU ASMA 1,7,8,9,10 Persiapan pra operasi Prevalensi asma jumlahnya meningkat di Indonesia,hal ini akan mempengaruhi meningkatnya pasien asma yang akan menjalani operasi.Maka penting pemahaman mengenai pasien asma yang akan dioperasi untuk menghindari atau mengurangi komplikasi paru pasca operasi
seperti
pneumonia,bronchitis,hipoksemia,gagal
napas
sampai
pemakaian ventilasi mekanik.Asma mempunyai sifat yang rentan
pemanjangan
ditandai dengan
hiperaktivitas,inflamasi dan obstruksi saluran nafas terhadap pemicu terhadap obat-obat yang dipakai selama tindakan operasi maupun sesudah operasi. Dilaporkan di masyarakat umum kejadian bronkospasme selama operasi terjadi pada 1,6 kejadian setiap 1000 operasi, sedangkan pada pasien asma berkisar antara 6,5 – 7,1%.Walaupun umumnya dapat diatasi dengan baik data diatas menunjukan perlu adanya pemahaman pasien-pasien yang akan dioperasi.Sedangkan jenis anestesi tidak dapat ditentukan sebagai merupakan faktor resiko karena komplikasi dari general aneatesi maupun regional anestesi adalah sama. Penelitian menunjukan pada asma terjadinya komplikasi paru meningkat bila pasien masih dijumpai mengi ataui arus puncak eksiprasi < 80% dari nilai terbaiknya atau prediksi. Risiko terjadinya bronkospasme pada mas perioperatif rendah bila asma dalam keadaan stabil atau terkontrol dan kalaupun terjadinya komplikasi biasanya ringan.Oleh karena itu pasien asma yang akan menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan terkontrol.Seperti diketahui klasifikasi asma berdasarkan beratnya asma,karena lebih rumit dan belum pernah divalidasi mulai ditinggalkan dan hanya
digunakan dalam
penelitian,sedangkan untuk npraktek sehari-hari dipakai klasifikasi control asma. Tes Kontrol Asma adalah contoh alat ukur untuk menilai apakah kondisi asma pasien telah terkontrol apa belum.TKA yang terdiri atas komponen aktivitas,sesak napas,bangun 7
malam,pemakaian obat pelega serta kontrol asma menurut penilaian pasien. TKA memberikan skor 20 sampai 24 untuk asma terkontrol baik dan 25 untuk kontrol sempurna. Skor <20 sebaiknya segera mungkin ditingkatkan dengan obat sama dan penghindaran faktor pencetus.Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika dijumpai serangan 1.Perlu untuk diperhatikan obat-obat dan bahan-bahan dapat mencetuskan serangan asma perioperatif seperti aspirin,obat anti infalamasi non steroid,penyekat beta dan antibiotic. 2.Pada pasien yang baru mendapat serangan asma dan pasien asma yang menderita infeksi saluran nafas agar mendapat terapi yang adekuat.Dan hl-hal lain juga perlu diperhatikan seperti usia pasien,obesitas,pemakaian steroid jangka panjang serta keadaan malnutrisi yang mengakibatkan kelemahan otot-otot pernafasan. 3.Menghentikan rokok sebelum tindakan operasi. 4.Jenis dari operasi,lamanya tindakan operasi dan dilakukannya intubasi meningkatkan komplikasi dari operasi. Pasien asma yang asimtomatik dan tidak mengunakan obat dapat dikatakan resiko operasinya tidak tinggi. Kedaan ini diketahui dengan tidak dijumpainya serangan asma dan FEV1 lebih dari 80%.Menurut Parker jika pasien dengan keadaan asimtomatik tetapi FEV1<80% maka dapat diberikan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi,edema saluran napas dan mengurangi produksi secret.Adapula yang menganjurkan kombinasi inhalasi kortikosteroid dan agonis beta2. Pada pasien asma yang memerlukan tindakan intubasi disarakan untuk memberikan inhalasi agonis beta2 yang kerja cepat dengan dua sampai empat puff atau pemberian nebulizer
30 menit sebelum intubasi .Beberapa penulis menyarakan memberikan
kortikosteroid secara sistemik 12 jam sebelum intubasi tetapi tidak memberikan keuntungan.Pada penelitian dijumpai pemberian steroid sistemik lebih bermanfaat pada pasien asma ,berat atau tergantung pada kortikosteroid. Pada pasien asma asimtomatik karena pemakaian obat harus tetap meneruskan obat tersebut.Pada pasien yang mengunakan kortikosteroid atau inhalasi dosis tinggi diperlukan tambahan kortikosteroid sistemik untuk mencegah insifisiensi adrenal.Kortikosteroid dapat diberikan 24-48 jam sebelum operasi dengan dosis prednison 40-60mg.Pemakaian jangka pendek tidak memerlukan tapering off
dan tidak menyebabkan infeksi luka atau 8
perlambatan penyembuhan.Matsuse dkk memberikan prednisolon 10-20mg/hari selama 1-2 hari sebelum operasi,metil prednisolon 80-125mg 2 jam sebelum operasi dan dilanjutkan dengan 80 mg segera setelah operasi dan dijumpai pada 75 pasien asma intermitten dan persisten ringan ternyata hanya 4% yang mengalami gejala asma ringan. Pasien yang dijumpai gejala asma sebelum operasi harus mendapat terapi agonis beta2 dan kortikosteroid.Teofilin tidak dianjurkan sebagai lini pertama karena lebih banyak keburukannya.Meskipun kondisi dapat membaik dan rencana operasi dapat dilakukan tetapi harus dilakukann pengawasan tinggi karena reakititas saluran cerna masih tinggi.Bagi pasien yang masih dijumpai gejala rencana operasi dapat ditunda kecuali pada pasien emergensi.pada pasien yang operasi tidak dapat ditunda dan masih menunjukan gejala asma diberikan inhalasi beta2 dan kortikosteroid sistemik dan dilanjutkan selama operasi.Tabel dibawah ini adalah tindakan operasi sesuai dengan gejala asma yang dialami
Gambar 1 : Evaluasi preoperatif pada pasien asma (Preoperative evaluation of the patient with Pemberian antibiotik tidak bermanfaat untuk mencegah pneumonia p pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.
ada pasien asma kecuali dijumpai keadaan infeksi saluran napas atau immunodefisiensi antibiotik diberikan sebelum operasi pada pasien yang dijumpai infeksi saluran nafas seperti dahak yang purulent.Operasi elektif harus ditunda sampai pengobatan selesai dan gejala membaik.Tabel dibawah ini adalah prosedur penatalaksanaan tindakan preoperatif sesuai dengan tindakan operasi elektif atau emergency dan kondisi asma.
9
Gambar 2 : Alogaritma penatalaksnaan preoperatif pada pasien paru (Preoperative evaluation of the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11.
Pada masa operasi 4 Tugas utama spesialis penyakit dalam menyiapkan kondisi seoptimal mungkin pada pasien yang akan menjalani operasi.Pada umumnya selama operasi dan di dalam ruangan transit masih dalam pengawasan spesialis anestesi.Pemilihan obat-obat anestesi,dan premedikasi dan jenis anestesi yang diberikan tergantung dari pertimbangan dan pengalaman spesialis anestesi. Komplikasi yang paling
dikhawatirkan adalah risiko bronkospasme intraoperatif.
Kejadian ini meningkat pada pasien yang dijumpai atopi, rhinitis alergi, dan kondisi lain dari peradangan kronis.Anamnesa riwayat keluarga asma dan atopi harus dicari,merokok atau paparan untuk perokok pasif memberikan kontribusi untuk kontrol asma yang buruk dan juga merupakan faktor risiko independen untuk kejadian pernapasan buruk di bawah umum anestesi. Jika waktu memungkinkan, pasien harus disarankan untuk berhenti merokok selama 2 bulan sebelum operasi elektif.Dan jika ada pilihan maka teknik anestesi regional adalah pilihan, untuk menghindari tindakan instrumentasi pada saluran napas. Karena risiko komplikasi paru lebih rendah ketika anestesi dilakukan dengan epidural atau spinal. Tanda-tanda bronkospasme intraoperatif mungkin termasuk mengi, adanya perubahan kapnografi (upslope pada gelombang CO2, atau menurun / tidak ada gelombang CO2), penurunan volume tidal, atau puncak inspirasi dengan tekanan yang tinggi. Dokter juga
10
harus menyelidiki diagnosis alternatif termasuk kerusakan ventilator, tabung endotrakeal obstruksi(mis berbelit,lendir, bekuan), intubasi endobronkial, atau kondisi medis seperti tension
pneumothorax
atau
emboli
paru
sebelum
membuat
diagnosis
definitif
bronkospasme. Strategi bronkodilatasi lainnya termasuk pemberian antikolinergik, steroid intravena, dan intravena atau subkutan beta-agonis seperti epinefrin. Terbutalin mungkin lebih baik daripada epinefrin pada pasien hamil karena efek tocolytic. Teofilin (atau aminofilin intravena) dapat ditambahkan untuk refraktori bronchospasm. Inhalasi magnesium sulfat telah disarankan sebagai pengobatan yang bermanfaat untuk eksaserbasi asma berat pada orang dewasa. Namun tidak didukung oleh penelitian
meta-analisis terhadap manfaat
inhalasi magnesium sulfat yang diberikan kepada orang dewasa dengan eksaserbasi asma akut, dan juga penambahan magnesium intravena untuk orang dewasa dan anak-anak dengan asma akut tidak didukung oleh penelitian meta analisis. Efek yang bermanfaat dari pemberian magnesium sulfat intravena dapat mengurangi takikardia terkait dengan pengobatan betaagonist Pasca operasi Sesudah operasi perlu diperhatikan adanya bronkospasme /obstruksi saluran napas, dan pemakaian obat-obat penghilang rasa nyeri golongan anti infalamasi non-steroid harus berhati-hati karena dapat menimbulkan bronkospasme yang berat.Kejadian bronkospasme lebih sering sesudah operasi daripada selama operasi. Perawatan pasca operasi pasien asma sering juga diakibatkan oleh kondisi intraoperatif. Jika operasi itu lancar, dan nyeri, mual, dan status pernafasan terkendali dengan baik, penderita asma mungkin aman dipulangkan untuk perawatan di rumah atau ke unit rawat inap yang sesuai tanpa intervensi lebih lanjut. Namun, dalam penentuan komplikasi intraoperatif harus teliti seperti bronkospasme berat. Perawatan khusus harus dilakukan untuk memastikan keselamatan pasien selama periode pasca operasi dan pemberian ventilasi pasca operasi harus dipertimbangkan, sehingga diperoleh keadaan untuk pemulihan fungsi saluran napas, dan juga untuk metabolisme blocker neuromuskuler tanpa perlu pemberian agen antidotumnya. Jika terjadi bronkospasme maka diberikan inhalasi agonis B 2 dan kortikosteroid intravena dan oksigen.Jika gejala asma tidak hilang perlu dipikirkan adanya emboli paru,gagal jantung akut atau pneumotoraks.Mempertahankan posisi tidur dengan kepala
11
tetap tegak ke depan
sangat
baik untuk pencegahan atelektasis. Pemulihan dan
pemeliharaan ventilasi pertukaran gas
dengan rehabilitasi pernafasan awal,merupakan
tindakan pencegahan komplikasi paru lebih lanjut dan memungkinkan untuk dipulangkan lebih awal
TUBERKULOSIS 1,11 Pasien yang ditemukan basil tahan asam yang positif adalah keadaan infeksius dimana setiap batuk atau bersin maka kuman infeksius akan tersembur keluar dan menular ke orang disekitarnya.Keadaan tuberculosis akan memburuk pada keadaan immunokompresi dan keadaan stress yang dialami seseorang sebelum-selama dan sesudah operasi juga menimbulkan keadaan imunkompromis ringan.Persiapan operasi pada pasien tuberculosis dibagi atas beberapa jenis operasi dan kondisi infeksi tuberculosis. Jenis operasi terdiri atas operasi elektif dan emergensi: Elektif Pada operasi elektif infeksi pada pasien dengan BTA positif haruslah disembuhkan dahulu dengan mengingat bahwa infeksi kronik dengan cara menghilangkan basil tahan asam (konversi) maka penularan terbuka ke sekitarnya akan banyak dikurangi sambil memberikan minimal 4 obat anti tuberculosis yang diperkirakan sensitive minimal 3 minggu.Sesudah operasi kamar operasi harus disterilkan dengan ultraviolet dan pasien harus dirawat di ruang isolasi. Pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopik basil tahan (BTA) negative pada keadaan ini minimal 3 minggu sebelum operasi diberikan obat anti tuberculosis (sedikitnya terdiri atas 4 obat di mana 2 diantaranya adalah Rifampisin dan INH).Sama seperti pasien dengan BTA positif maka kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi. Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA positif pada keadaan ini sama dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi.
12
Pada pasien elektif dengan TB diseminata dengan BTA negatif pada keadaan ini sama dengan TB paru dengan BTA positif, yaitu terdiri atas 4 macam dengan 2 diantaranya rifampisin dan INH sampai BTA konversi Sama seperti pasien dengan BTA positif maka kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet,pasien harus dirawat ruang isolasi. Pasien dengan operasi elektif yang memiliki Tb ekstra paru obat anti tuberculosis diberikan minimal 3 minggu sebelum hari operasi (sedikitnya terdiri dari 4 obat dimana 2 diantaranya rifampisin dan INH. Operasi Emergensi Pada kondisi emergensi operasi bisa dilakukan jika dijumpai kondisi emergensi yang memerlukan tindakan operasi.Untuk meninimalkan penularan atau memburuknya keadaan penyaki TB maka obat anti tuberculosis dapat diberikan sesudah operasi dengan rejimen minimal 4 macam dan ruang operasi harus disterilkan dengan sinar ultraviolet dan pasien dirawat diruang isolasi. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK 1,2,3,4,5 Komplikasi yang dijumpai pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu merokok,kondisi kesehatan yang buruk,umur,obesitas,dan kondisi keparahan dari PPOK itu sendiri.Penyakit ini sendiri dapat mempengaruhi organ di luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien yang ditandai dengan terbatasnya aliran udara pada umumnya progresif dan dihubungkan dengan respons inflamasi yang abnormal pada paru. Penyakit paru Obstruktif Kronik merupakan faktor risiko yang penting pada operasi. Pada penelitian retrospektif dijumpai pasien PPOK yang mendapat penatalaksanaan terapi preoperative
komplikasi
paru
lebih
sedikit
dibandingkan
dengan
pasien
tanpa
penatalaksanaan tersebut. Jika dijumpai FEV1< 40% maka komplikasi pascaoperasi 6 kali lebih besar dan dipertimbangkan keuntungan operasi dari kesulitan yang ada. Evaluasi persiapan operasi harus dilakukan dengan hati-hati termasuk identifikasi pasien dengan risiko tinggi dan memerlukan pengobatan yang agresif. Pasien PPOK sering dijumpai kelemahan otot-otot pernafasan yang kronik.Nutrisi yang buruk,gangguan elektrolit dan hormone mempengaruhi kelemahan otot pernafasan dan hal ini harus diperbaiki sebelum tindakan operasi.Pasien dengan PPOK juga harus diselidiki apa sudah memyebabkan komplikasi jantung dan jika dijumpai keadaan ini maka harus diterapi sebelum operasi. 13
Dalam persiapan operasi pada pasien PPOK kita harus mengetahui tingkatan risiko pada pasien melalui klasifikasi PPOK TABEL 4 :KLASIFIKASI TINGKAT KEPARAHAN PPOK (SETELAH PEMBERIAN BRONKODILATOR) GOLD 1
RINGAN
FEV1 ≥ 80%
GOLD 2
SEDANG
50% ≤ FEV1 < 80%
GOLD 3
BERAT
30% ≤ FEV1 < 50%
GOLD 4
SANGAT BERAT
FEV1<30% GOLD Report (update2013)
Setelah tindakan operasi akan dijumpai komplikasi pasca operasi yaitu: gagal napas,pneumonia,atelektasis,penggunaan ventilasi mekanik yang lama,PPOK dengan eksaserbasi,bronkospasme dan tromboemboli.Oleh karena komplikasi diatas maka perlu dilakukan persiapan preoperative secara optimal. Penilaian risiko operasi harus berdasarkan anamnesis,adanya keluhan sesuai dengan PPOK yang akan meningkatkan risiko operasi diantaranya:kebiasaan merokok,adanya batuk kronik,riwayat
asma,riwayat
berat.pemeriksaan
fisis
TB,keluhan
ditemukan
sesak
sesak
napas
adanya
napas,sianosis,jari
keluarga
perokok
clubbing,bentuk
dada
(kifosis,skloliosis),adanya bunyi napas vesikuler yang melemah,ronki kering,ekspirasi memanjang atau wheezing.Pada laboratorium dijumpai adanya tanda infeksi atau tidak,foto toraks dijumpai emfisema,infiltrate,spirometri dijumpai keadaan obstruksi atau restriksi berat,analisa gas darah apakah dijumpai hiperkapnia,hipoksia. Pasien beresiko tinggi untuk tindakan operasi dengan anestesi umum jika dijumpai FEV1/FVC < 70% ( <65%),FEV1 <70%, FVC <40% (untuk operasi toraks/abdominal bagian atas) atau pada pasien yang tidak mampu atau terdapat kontraindikasi spirometri sebagai berikut: hiperkapnia: PaCO2 >45% (PPOK Berat) beresiko tinggi walaupun tidak dilarang untuk tindakan operasi. Penanganan pasien sebelum operasi sangat penting untuk mengurangi komplikasi pasca operasi diantaranya: 1.Berhenti merokok
14
Merokok merupakan faktor risiko penting pada komplikasi paru pasca operasi.Beberapa penelitian menununjukan adanya peningkatan risiko terhadap komplikasi paru 4 kali lebih tinggi bahkan pada yang bukan PPOK.Dianjurkan adanya intervensi (berhenti merokok) pada 6-8 minggu sebelum operasi dan diteruskan sampai 10 hari pasca operasi. 2.Kurangi berat badan 3.Penanganan agresif pada pasien PPOK untuk mengoptimalkan fungsi paru dengan bronkodilator,steroid,fisioterapi dada.Pada pasien dengan gejala PPOK harus mendapat inhalasi ipratropium atau tiotropium,inhalasi agonis beta2 diberikan jika dijumpai gejala dan wheezing.pemberian teofilin tidak diindikasikan pada pasien PPOK yang akan menjalani operasi.Jika tetap dijumpai wheezing yang menetap dan fungsi pernapasan yang terganggu walaupun telah diberikan bronkodilator maka harus diberikan kortikosteroid sewaktu penataksanaan preoperative 4.Pemberian antibiotik jika dijumpai infeksi dan operasi ditunda sampai infeksi dapat ditangani. 5. Edukasi pasien yaitu cara bernafas yang benar,latihan napas.Pasien yang mendapat latihan napas ternyata meningkatkan kekuatan otot pernafasan dibandingkan dengan pasien yang tidak melakukan latihan napas. 6.Pada pasien yang mengalami hypoxemia kronik dapat diberikan oksigen tekanan rendah jangka pendek dan ternyata berhasil mencegah hipertensi pulmonal,gagal jantung. Pada pasien PPOK keadaan saat operasi perlu juga diketahui yaitu jenis anestesi,lokasi operasi,lamanya anestesi dan tipe insisi operasi. Pada penelitian 1984 dijumpai tidak ada perbedaan antara anestesi spinal dan anestesi umum pada operasi abdomen.Beberapa penelitian(Yeager,1987,Pederson,1990) mendapat komplikasi lebih tinggi pada pasien dengan anestesi umum dibandingkan anestesi spinal.Anestesi spinal dan epidural lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum pada pasien dengan risiko tinggi.Lokasi operasi di daerah abdomen ke atas lebih berisiko dari pada daerah lainnya.Operasi kolesistektomi dengan laparoskopi mempunyai insiden komplikasi yang rendah dibandingkan dengan tindakan laparatomi.Lamanya operasi diatas 4 jam mempunyai komplikasi lebih tinggi dari operasi dibawah 2 jam. Operasi abdomen dengan
15
insisi yang kecil mengurangi manipulasi organ visceral dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan pada otot respirasi. TUMOR PARU12 Evaluasi pada pasien Tumor paru mencakup jenis dan luasnya tumor,serta kondisi dari
kardiopulmonal.Pada
tahun
2003
The
American
College
of
Chest
Physicians
merekomendasikan petunjuk pada pasien tumor paru yang akan menjalani operasi (tabel 5)
Tabel 5: Preoperative Physiologic Assessment of Lung Cancer Patients Undergoing Lung Resection (CHEST / 132 / 5 / NOVEMBER, 2007)
Pada suatu penelitian ditemukan bahwa resiko operasi lebih tinggi pada pasien tumor paru yang memiliki nilai fibrinogen dan lactate dihidrogenase yang tinggi.Penelitian yang
16
lain menemukan luasnya tumor,lamanya operasi,adanya gangguan jantung,dan usia tua juga menimbulkan resiko tinggi pada operasi. Resiko preoperative dapat diturunkan pada pasien yang mengkonsumsi alkohol (alkoholic) dan yang mendapat rehabilitasi paru. Pada alkoholic mempunyai resiko mendapat acute lung injury pada operasi toraks,juga mendapat infeksi pascaoperasi,gagal napas dan juga lamanya hari rawat.Pada penelitian yang dilakukan tahun 2005 pada pasien tumor paru yang mendapat rehabilitasi paru ditemukan lama rawat yang lebih singkat,dan nilai FEV1 yang lebih baik post operasi torax.Rehabilitasi paru meliputi latihan pernapasan dan pengaturan diet. KESIMPULAN
1,2
Dalam menjawab konsultasi persiapan operasi jawaban untuk risiko operasi yaitu ringan,sedang,berat untuk operasi dalam narkose,bukan ada atau tidak adanya kontra indikasi.Walaupun permintaan konsultasi untuk tindakan anestesi regional tetap disiapkan untuk narkose ( anestesi umum),dengan alasan apabila operasi dengan regional anestesi gagal dan perlu dilanjutkan dengan narkose umun,maka persiapan sudah cukup tidak perlu menunda operasi. Dalam persiapan operasi pasien harus dipersiapkan benar sampai layak atau risiko ringan untuk operasi.Apabila ada risiko sedang atau berat,maka perlu ditangani dulu masalahnya,dilakukan pengobatan dan fisioterapi bila perlu.Namun kita tidak boleh menunggu terlalu lama sampai pasien benar-benar memungkinkan untuk operasi dalam narkose,karena penundaan tersebut mengakibatkan kondisi pasien memburuk akibat terlambatnya operasi.Apabila hasil pemeriksaan tidak memungkinkan untuk operasi dalam narkose,maka perlu dijawab risiko berat untuk operasi dalam narkose. Persiapan preoperasi yang baik pada pasien Asma,TB Paru,PPOK dan Tumor Paru akan mengurangi komplikasi pasca operasi. Mengidentifikasi keadaan pasien dan melakukan penatalaksaan pada pasien yang berisiko akan mengurangi komplikasi intra dan pasca operasi.
17
18
DAFTAR PUSTAKA 1.Mansjoer
Arif,Sudoyo
A,S,Alwi
Idrus,Rinaldi,
Ikhwan,dan
lain-lain,Kedokteran
perioperatif Evaluasi dan Tata laksana di bidang Ilmu penyakit dalam,Pusat pnertiban Ilmu Penyakit dalam,Jakarta,Desember 2007 2. Gerald W. Smetana, MD, Beth Israel Deaconess.Preoperative pulmonary evaluation: Identifying and reducing risks for pulmonary complications,Cleveland clinic Journal of medicine March 2006:vol 73 3. Jeng Shing Wang,Pulmonary function tests in preoperative pulmonary evaluation, Section of Respiratory Medicine, January 2004:10. 4. Luiza Helena Degani-Costa, Sonia Maria Faresina, Luiz Fernando dos Reis Falcão.
Preoperative evaluation of the patient with pulmonary disease; Revista Brasileria De Anestesiola, 19 November 2012 :11. 5. Peter Rock, MD, MBA, Anthony Passannante, MD. Preoperative assessment pulmonary, Anesthesiology Clin N Am 22 (2004) 77– 91 6. Hulzebos EH, Smit Y, Helders PP, van Meeteren NL. Preoperative physical therapy for
elective cardiac surgery patients. Cochrane Database Syst Rev 2012; 11 7. Gold Herlich M. A study of complications related to anesthesia in asthmatic patients. Anesth Analg 1963; 42:238. 8. National Asthma Education and Prevention Program: Expert panel report III: Guidelines for the diagnosis and management of asthma. Bethesda, MD: National Heart, Lung, and Blood Institute, 2007.. 9.Kabalin CS, Yarnold PR, Grammer LC. Low complication rate of corticosteroid-treated asthmatics undergoing surgical procedures. Arch Intern Med 1995; 155:1379. 10.Pien LC, Grammer LC, Patterson R. Minimal complications in a surgical population with
severe asthma receiving prophylactic corticosteroids. J Allergy Clin Immunol 1988; 82:696. 11.Janice A Neil RN. Perioperative Care of the Patient with Tuberculosis, AORN J 88 (December 2008) 942-958. 12; Julia Feliz Whitaker, Tara Schulz, Eugene S. Chu,, Richard K. Albert, Preoperative Evaluation of the Patient With Pulmonary Disease:Chest 5 November 2007,132
19