Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
TATA LAKSANA PAKAN, KAITANNYA DENGAN PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN PANGAN: STUDI KASUS PADA USAHA SAPI POTONG RAKYAT DI KABUPATEN BANTUL DI YOGYAKARTA (The Feeding Management, in Related to the Use of Crop by Product: Case Study on Farming Beef Cattle Enterprise in Bantul Regency, DI Yogyakarta) NOOR HUDHIA KRISHNA dan UUM UMIYASIH Loka Penelitian Sapi Potong Grati Pasuruan
ABSTRACT The aim of this research was to find out the feeding management characteristic as initiate step to determine appropriate feeding pattern of harvest season on beef cattle farming. The study was conducted by survey on farmer group ‘Maju’, in Bambanglipuro, Bantul Regency, during three harvests season (padi‘palawija’-‘palawija’). Interview was held on 28 selected farmers to find out feeding management characteristic namely method and frequency of feeding (forage and concentrate), feed supplement for pregnant cow, and calf feeding. Monitoring was held twice per season on 40 head cows which consisted of calves, heifers, pregnant cows, and lactating cows in order to know average daily gain (ADG) and nutrient requirement. Data was evaluated and served by descriptive. The results showed forage feeding highly depend on by product but feeding of concentrate was rarely. Most of farmer (78,58%) gave forage by chopping, with feeding frequency was once a day (hold by 92,86% farmer), concentrate was always gave in wet (treat by all farmers) with feeding frequency once a day. Most of farmer (92,31%) had given feed suplement for pregnant cows, forage was given first time to calf at the age of 1,96 month and concentrate at 2,30 month. At padi harvest season, dry matter intake was lower than their requirement standard at each physiological status except lactating cows, but in ‘palawija’ season I and II were higher than those of respective physiological status. ADG padi season was positive (due to the increase of body weight) at respective physiological status (0,15-0,48 kg/head/day) in ‘palawija’ harvest season I and II. ADG increased in each physiological status (0,32-0,84 kg/head/day) except lactating cows which was decrease from 0,27 to 0,30 kg/head/day. It was concluded that feeding management namely method and frequency of feeding had not allowed recommendation technology but in pregnant cows and calves feeding pattern was at the opposite. Key Words: Beef Cattle, Crop By Product, Management ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tata laksana pakan di usaha peternakan rakyat sebagai langkah awal untuk menentukan pola/model pemberian pakan yang sesuai dengan musim pada usaha sapi potong rakyat. Penelitian dilakukan dengan cara survei di wilayah kerja kelompok tani “Maju”, Kecamatan Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul selama tiga musim panen (satu kali padi dan dua kali palawija). Untuk mengetahui karakteristik tata laksana pakan tambahan meliputi cara dan frekuensi pemberian pakan (hijauan dan penguat), pakan tambahan pada induk bunting, serta pakan pedet, dilakukan wawancara terhadap 28 peternak responden yang dipilih secara random. Monitoring secara berkala dilakukan dua kali pada setiap musim panen terhadap 40 ekor sapi terdiri dari pedet, dara, induk bunting dan induk laktasi untuk mengetahui pertambahan bobot hidup harian (PBHH) dan tingkat kecukupan nutrien pakan. Data hasil pengamatan dievaluasi dan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan hijauan sangat tergantung pada limbah tanaman pangan sedangkan pemberian pakan penguat jarang dilakukan. Sebagian besar peternak (78,58%) memberikan hijauan dalam bentuk potongan (dicacah) dengan frekuensi pemberian 1 kali per hari (dilakukan oleh 92,86% peternak), sedangkan pakan penguat selalu diberikan dalam bentuk basah oleh semua peternak (100%) dengan frekuensi pemberian sehari 1 kali. Sebagian besar peternak (92,31%) telah memberikan pakan tambahan pada induk bunting, pemberian hijauan pertama kali pada pedet rata-rata dilakukan petani pada umur 1,96 bulan, sedangkan pemberian pakan
137
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
penguat pada umur 2,30 bulan. Dibandingkan dengan standar kebutuhan, hasil pengamatan terhadap konsumsi bahan kering (BK) menunjukkan bahwa pada musim panen padi lebih rendah di seluruh status fisiologis kecuali induk laktasi, sedangkan pada musim panen paliwija I dan II lebih tinggi pada seluruh status fisiologis. Pengamatan terhadap PBHH pada musim panen padi bernilai positif (terjadi peningkatan bobot hidup) pada semua status fisiologis (0,15–0,48 kg/ekor/hari). Pada musim panen palawija I dan II terjadi peningkatan bobot hidup (0,32–0,84 kg/ekor/hari) pada semua status fisiologis kecuali pada induk laktasi turun antara 0,27–0,30 kg/ekor/hari. Disimpulkan bahwa tata laksana pakan yang meliputi cara dan frekuensi pemberian belum mengacu pada teknologi anjuran namun tidak demikian dengan pola pemberian pakan pada induk bunting dan pedet. Kata Kunci: Sapi Potong, Limbah Tanaman Pangan, Tatalaksana
PENDAHULUAN Pada usaha peternakan, lebih 60% alokasi biaya dari total biaya pemeliharaan digunakan untuk pengadaan pakan. Pada usaha peternakan sapi potong bahkan dirasakan semakin lama semakin sulit menyediakan pakan berkualitas, antara lain disebabkan karena luasan lahan untuk penanaman hijauan semakin sempit dan di lain pihak pakan penguat seperti konsentrat semakin mahal karena beberapa komponen penyusunnya banyak yang masih harus diimpor. Biaya pakan yang besar tersebut dapat ditekan dengan pendekatan pola pemeliharaan sapi yang terintegrasi dengan tanaman pangan; yang lebih dikenal dengan crop livestock system (CLS) atau zero waste. Sebagai pengganti hijauan, pakan yang berasal dari limbah pertanian atau yang lebih dikenal sebagai roughages. Pada umumnya hijauan tersebut memiliki nilai nutrien yang rendah seperti jerami, namun ada pula yang nilai nutriennya masih tinggi seperti dedak, molases, dan daun ketela pohon. Pakan limbah yang nilai nutriennya rendah banyak digunakan sebagai sumber serat sedangkan yang bernilai nutrien tinggi digunakan sebagai sumber energi dan protein (SCHIERE, 1987). Pola pemberian pakan pada usaha sapi potong rakyat yang terkesan seadanya, terlebih pada musim kemarau rumput diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok ternak (RANJHAN, 1981). Pada usaha penggemukan, sapi yang mendapat ransum berupa limbah pertanian rata-rata mengalami kekurangan protein kasar sebesar 18,49% dan total digestibel nutrien sebesar 18,47% dari standar kebutuhan (ARYOGI, 1998). Keterbatasan limbah pertanian sebagai pakan
138
dapat diatasi melalui peningkatan nilai gizi, kecernaan dan daya simpan roughages dengan cara perlakuan fisik, biologis, dan khemis (UTOMO dan SOEJONO, 1987). Hal penting dalam penerapan program CLS usaha ternak sapi potong diantaranya adalah dengan mempersiapkan program pemberian pakan yang sesuai dengan musim pada status fisiologis yang berbeda dan berbasis pada sumber daya lokal. Pengamatan ini dilakukan sebagai langkah awal untuk menemukan program pemberian pakan yang sesuai kondisi musim dengan menggali informasi pola pemberian pakan yang telah ada di peternakan rakyat serta mengamati pengaruhnya pada keragaman produktivitas sekaligus potensi pakan yang tersedia. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dengan cara survei di wilayah kerja kelompok tani “Maju”, Kecamatan Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul selama tiga musim panen (satu kali padi dan dua kali palawija). Untuk mengetahui karakteristik tata laksana pakan yang meliputi cara dan frekuensi pemberian pakan hijauan maupun penguat (konsentrat komersial dan atau dedak padi), pakan tambahan pada induk bunting, serta pakan pedet, dilakukan wawancara terhadap 28 peternak responden yang dipilih secara random. Monitoring secara berkala dilakukan dua kali pada setiap musim panen terhadap 40 ekor sapi PO milik peternak responden yang terdiri dari 8 ekor pedet, 12 ekor dara, 10 ekor induk bunting dan 10 ekor induk laktasi untuk mengetahui pertambahan bobot hidup (PBHH) dan tingkat kecukupan bahan kering pakan. Pengukuran kecukupan bahan kering dilakukan dengan menimbang jumlah konsumsi pakan selama 3 x 24 jam
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
secara periodik sebanyak 2 kali pada setiap musim tanam disertai dengan penimbangan ternak. Untuk mengetahui kecukupan kebutuhan bahan kering pakan (BK), konsumsi pakan dibandingkan dengan standar kebutuhan pakan menurut KEARL (1982). Data dianlisis dengan uji perbandingan dan secara diskriptif, yang meliputi tata laksana pemberian pakan, bobot hidup (PBHH) dan konsumsi pakan. HASIL DAN PEMBAHASAN Tatalaksana pakan Evaluasi tentang tata laksana pakan diutamakan pada frekuensi dan cara pemberian pakan, baik hijauan maupun pakan penguat. Cara dan frekuensi pemberian pakan secara rinci tertera pada Tabel 1. Hampir semua peternak (78,58%) memberikan hijauan dengan dicacah (panjang cacahan berkisar antara 5-10 cm dan sisanya (21,42%) memberikan secara utuh. Sementara seluruh peternak memberikan pakan penguat dalam bentuk basah (100%). Sebagian besar peternak memberikan hijauan satu kali perhari (92,86%), sisanya dua kali sehari (7,14 %) dan
semua peternak memberikan pakan penguat satu kali per hari (100%). Ditinjau dari pola pemberian pakan, perilaku peternak mencacah hijauan sebelum diberikan sudah tepat, pengurangan ukuran partikel akan menurunkan seleksi pakan oleh ternak. UTOMO dan SOEJONO (1987) melaporkan pencacahan dapat menurunkan kecernaan roughages, tetapi dapat menaikkan jumlah bahan pakan yang tercerna pada satuan waktu yang sama. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengurangan ukuran partikel akan menurunkan heat increment, karena berkurangnya ruminasi. Pemberian pakan penguat dalam bentuk basah kurang menguntungkan karena akan mengurangi salivasi yang mengakibatkan turunnya keasaman rumen sehingga menekan pertumbuhan mikrobia rumen (ANONIMUS, 1995). Frekuensi pemberian pakan baik hijauan maupun pakan penguat oleh peternak kurang tepat, karena sebagian besar peternak memberikan pakan hanya satu kali dalam sehari. Menurut OWEN (1978) yang disitasi oleh MOULD (1988) peningkatan frekuensi pemberian pakan akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan nitrogen terutama pada bahan pakan kualitas rendah.
Tabel 1. Cara dan frekuensi pemberian pakan Uraian
Peternak Orang
%
Utuh
6
21,42
Dengan pencacahan
22
78,58
Cara pemberian hijauan
Cara pemberian pakan penguat Kering
0
0,00
Basah
28
100,00
Satu kali
26
92,86
Dua kali
2
7,14
Satu kali
28
100,00
Dua kali
0
0,00
Frekuensi pemberian hijauan
Frekuensi pemberian pakan penguat
139
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Tata laksana pakan yang dilakukan oleh responden belum sesuai dengan teknologi anjuran, karena dari empat faktor tata laksana pakan yang diamati hanya satu faktor yaitu pemberian hijauan dengan pencacahan yang diadopsi oleh sebagian besar peternak; sedang tiga faktor yang lain hanya diadopsi oleh sebagian kecil peternak. Tatalaksana induk bunting dan pedet Hampir semua peternak (92,31%) sudah memberikan tambahan pakan sebagai upaya untuk menambah zat nutrien pada induk bunting. Ini sesuai dengan pendapat TILLMAN et al. (1998) yang mengatakan bahwa pada 1/3 masa kebuntingan terakhir kebutuhan energi netto untuk hidup pokok dan untuk pertumbuhan janin adalah 150% dari energi yang dibutuhkan untuk hidup pokok ternak tidak bunting. Peternak rata-rata memberikan hijauan pertama kali pada umur 59 hari, umur tersebut lebih awal dari anjuran CHURCH dan POND (1982) yang menyatakan bahwa pakan padat dapat diberikan pada pedet umur 21 hari. Ditegaskan pula oleh CZERKAWSKI (1986) bahwa pemberian rumput pada pedet dapat menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme rumen, terutama mikroorganisme pencerna serat kasar yang dibutuhkan saat ternak dewasa serta untuk merangsang papilla rumen. Secara rinci tata laksana pakan pada pedet yang biasa dilakukan para peternak tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Tata laksana pakan pada pedet Uraian
Umur (hari)
Pemberian hijauan pertama
59
Pemberian pakan penguat pertama
69
Sapih
101
Pakan penguat pertama kali diberikan pada umur 69 hari, waktu pemberian tersebut terlalu lama dibandingkan dengan anjuran REKSOHADIPRODJO (1988) yang menyatakan bahwa pedet dapat mulai dikenalkan hijauan pada umur 14 hari dan konsentrat 21 hari. Umur sapih pedet yang diamati rata-rata 101 hari. Umur sapih tersebut sudah cukup baik. Menurut PARAKKIASI (1998) penyapihan
140
dibawah 21 hari akan mengakibatkan pedet mengalami problem pemeliharaan. Di lain pihak umur sapih tersebut sudah relatif lebih cepat dari hasil pengamatan AFFANDHY et al. (2003) yang menyatakan bahwa rata-rata umur sapih sapi PO di peternakan rakyat antara 153162 hari. Selanjutnya dinyatakan bahwa umur sapih pedet yang pendek akan memperbaiki nilai APP, days open, service per conception (S/C), calving interval (CI). Kecukupan nutrien Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa cara, frekuensi maupun jumlah pemberian pakan yang dilakukan oleh peternak tidak membedakan jenis maupun status fisiologis sapi. Sapi yang dikandangkan secara berkelompok, meski status fisiologisnya berbeda namun bila besar tubuhnya hampir sama akan mendapat jumlah pakan yang relatif sama pula. Pengamatan terhadap konsumsi bahan kering (BK) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kecukupan bahan kering (BK) pakan Uraian
P
PL – I
PL - II
kg/ekor/hari
Pedet Kebutuhan
2,95
2,95
2,95
Konsumsi
1,95
7,60
4,29
Selisih
-1,00
+4,65
+1,34
Kebutuhan
4,57
4,57
4,57
Konsumsi
4,40
19,83
20,27
Selisih
-0,17
+15,26
+15,70
Kebutuhan
7,46
7,46
7,46
Konsumsi
5,74
19,70
29,96
Selisih
-1,72
+12,24
+19,50
Kebutuhan
6,45
6,45
6,45
Konsumsi
6,60
18,13
30,96
Selisih
+0,15
+11,68
+24,51
Dara
Induk bunting
Induk laktasi
P : musim panen padi PL I : musim panen palawija I PL II : musim panen palawija II
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
Kecukupan BK pada musim panen padi adalah negatif pada hampir seluruh status fisiologis. Hal tersebut diduga karena pada saat produksi jerami padi melimpah, jerami tersebut banyak dijual ke luar kabupaten, diantaranya Kabupaten Gunung Kidul; sehingga ketersediaan jerami padi di lokasi menjadi berkurang yang berpengaruh terhadap pola pemberiannya oleh peternak. Pada musim palawija I dan II kecukupan bahan kering pada semua status fisiologis bernilai positif karena produksi jerami palawija melimpah, sehingga pemberian kepada ternak menjadi lebih banyak. Pertambahan bobot hidup harian Data PBHH, sapi pada tiga musim panen di lokasi kegiatan ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan nilai PBHH pada musim yang berbeda Uraian
P
PL–I kg/ekor/hr
PL-II
Pedet
0,26
0,42
0,40
Dara
0,48
0,74
0,32
Induk bunting
0,46
0,84
Induk Laktasi 0,15 -0,30 P : musim panen padi PL I : musim panen palawija I PL II : musim panen palawija II
0,69 -0,27
Pada hampir semua status fisiologis dan semua musim, PBHH sapi-sapi yang diamati bernilai positif, kecuali pada induk laktasi pada musim palawija I (-0,30 kg/ekor/hari) dan II (– 0,27 kg/ekor/hari). PBHH yang rendah, bahkan bernilai negatif pada induk laktasi disebabkan karena sebagian gain diubah menjadi energi dalam bentuk air susu (HARTADI et al. 1993). Perlu kiranya dipertimbangkan sebelum limbah pertanian diberikan pada ternak terlebih dahulu dilakukan upaya peningkatan nilai nutriennya antara lain melalui perlakuan fisik, biologis, khemis atau gabungan dari beberapa perlakuan tersebut. Lebih dari itu penggunaan suplemen pakan akan membantu pencapaian pemenuhan kebutuhan nutrien pakan.
KESIMPULAN Tata laksana pakan yang meliputi cara dan frekuensi pemberian di lokasi penelitian, belum mengacu pada teknologi anjuran, namun tidak demikian halnya dengan pola pemberian pakan pada induk bunting dan pedet. Konsumsi bahan kering di musim panen palawija pada semua status fisiologis telah melebihi standar kebutuhan dan sebaliknya kurang pada musim panen padi. DAFTAR PUSTAKA AFFANDHY, L., P. SITUMORANG, P.W. PRIHANDINI, D.B. WIJONO, dan A. RASYID. 2003. Performans Reproduksi dan Pengelolaan Sapi Potong Induk pada Kondisi Peternakan Rakyat. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29–30 September 2003. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 37. ANONIMUS. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Cooperative Centre Denmark. GKSI. Korda Jawa Timur. Pasuruan. ARYOGI, U. UMIYASIH, D.B. WIJONO, dan D.E. WAHYONO. 1998. Pengkajian rakitan teknologi penggemukan sapi potong. Pros. Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso TA. 1998/1999. CHURCH, D.C., and POND, W.G. Basic Animal Nutrition and Feeding. Second ed. John Wiley and Sons, Inc. New York. CHUZEIMI, S.1990. Ilmu Gizi Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang CZERKAWSKI, J.W. 1986. An Introduction to Rumen Studies. Pergamon Press. Oxford. USA. HARTADI, H., S. REKSOHADIPRODJO, A.D. TILLMAN. 1993. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. MOULD F.L. 1988. Associative Effects of Feeds. Feed Science. Elsevier Science Publishers B.V. New York. RANJHAN. S.K. 1981. Animal Nutrition in Tropic. Vikas Publishing House PVT Ltd. New Delhi. REKSOHADIPRODJO, S. 1988. Pakan Gembala. BPFE. Yogyakarta
Ternak
141
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PARRAKASI, A. 1998. Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press. Jakarta. SCHIERE, J.B. 1987. limbah pertanian: potensi dan faktor pembatas dalam pemanfaatannya sebagai pakan ruminansia. Proc. Biovonversion Project. Second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purposes. Sub Balitnak, Pasuruan
142
TILLMAN, A.D., H. HARTADI, S. REKSOHADIPRODJO, S. PRAWIROKUSUMO, S. LEBDOSUKOJO. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. UTOMO, R. dan M. SOEJONO. 1987. Pengaruh ukuran partikel pakan terhadap kecernaan. Bulletin Peternakan. Fakultas Peternakan UGM.