Jurnal Kebudayaan Islam
TASA WUF LOKAL P ANGLIMA UT AR ASAWUF PANGLIMA UTAR DI KOT AWARINGIN BARA T, KOTA BARAT KALIMANT AN TENGAH KALIMANTAN Sulaiman Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Pusat Studi Islam Kawasan Kalimantan (PUSISWAKAL) Semarang Jl. Prof. Dr. Hamka Km. 1, Ngaliyan, Semarang 50185 E-mail:
[email protected];
[email protected] Abstract: This article explores the thought of a local Sufism, Panglima Utar (Mukhtar bin Abdurrahim), originated from West Kotawaringin, Central Kalimantan. It focuses on the only manuscript written by him. The manuscript gives valuable information about the continuity of his thought and the established teaching of mysticism in Kalimantan since the 17th and 18th century. In this manuscript, he explains the position of a teacher towards sâlik, the form of wirid and dzikir (praying words), the final purpose as well as the teaching about how to understand Allah (ma‘rifah Allâh). The mysticism thoughts have a significant intellectual and spiritual line. The teachings found in Panglima Utar’s manuscript clearly shows that they are on the mainstream of mysticism thoughts in Indonesian archipelago. Keywords: Kumai, mysticism, teacher, ma‘rifah Allâh, wirid, and zikir. Abstrak Abstrak: Artikel ini mengeksplorasi pemikiran seorang ulama sufi lokal, Panglima Utar (Mukhtar bin Abdurrahim) asal Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, dengan fokus pada satu-satunya manuskrip yang diwariskan oleh penulisnya. Manuskrip memberikan informasi berharga tentang adanya kontinuitas pemikiran Panglima Utar dengan ajaran-ajaran tasawuf yang sudah mapan di Kalimantan yang terbentuk sejak abad XVII dan XVIII. Dalam manuskrip ini ia menjelaskan tentang kedudukan guru bagi sa>lik, bentuk wirid dan zikir serta tujuan akhirnya, dan ajaran tentang ma‘rifah Alla>h. Pemikiran tasawuf memiliki garis intelektual dan spiritual yang signifikan. Ajaran yang ada dalam manuskrip Panglima Utar, jelaslah bahwa ajaran-ajaran tersebut masih dalam mainstream pemikiran tasawuf di Nusantara. Kata Kunci Kunci: Kumai, tasawuf, guru, ma‘rifah Alla>h, wirid, dan zikir.
96 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
A. PENDAHULUAN Kajian tentang Islam di Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah) khususnya pada bidang tasawuf masih perlu digalakkan untuk mengungkap konstruksi pemikiran tokoh-tokoh sufi yang telah berkontribusi dalam penyebaran Islam di wilayah ini. Sebab, para sejarawan sepakat bahwa proses Islamisasi di Indonesia termasuk di Kalimantan dilakukan para Sufi (Lapidus, 1989; Mulyani, 1992; Azra, 1994; Thaba, 1996). Para Sufi yang lebih mengedepankan universalitas Islam dan mistik yang mampu beradaptasi dengan adat, tradisi, dan kepercayaan-kepercayaan lama sepanjang tidak bertentangan dengan spirit alQuran dan Sunnah, menjadi faktor utama yang mempercepat proses Islamisasi di Indonesia (Mudzhar, 1993: 19; Azra, 1999: 35; Bruinessen, 1995: 203-204). Berpijak dari sini, kajian terhadap pemikiran tasawuf di Kotawaringin Barat penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama , sebelum menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat (3 Oktober 1959), kesultanan Kotawaringin merupakan sebuah kesultanan besar dengan wilayah yang cukup luas mencakup semua wilayah Provinsi Kalimantan Tengah sekarang dan sebagian wilayah Kalimantan Barat (Ras, 1990). Dengan kenyataan ini, bisa dipastikan bahwa perkembangan pemikiran tasawuf pastilah sangat dinamis saat itu, dan telah melahirkan Sufi-sufi berpengaruh. Kedua, merujuk artikel yang ditulis oleh Hermansyah dkk (2010) yang mengungkapkan “kegundahannya” atas fakta sejarah bahwa sampai saat ini wajah Islam di Indonesia belum terdokumentasikan dengan baik. Beberapa kawasan di negeri ini masih merupakan kawasan yang gelap dalam dunia akademik. Sejarah Islam Indonesia untuk beberapa daerah hanya mendapatkan gambaran sekadarnya. Kenyataan ini disebabkan oleh minat para peneliti tentang Islam di Indonesia masih terfokus pada kawasan yang dekat dengan pusat penyebaran Islam pertama kali (baca: Jawa dan Sumatra). Keadaan ini diperparah lagi dengan kesulitan mendapatkan sumber-sumber yang otoritatif untuk mengkonstruksi sejarah dan pemikiran Islam di luar pusat penyebaran Islam itu. Salah satu kawasan Islam yang hampir terlupakan adalah Islam di Kotawaringin Barat. Meskipun beberapa buku sejarah menyinggung Islam di sini, namun hanya sekilas saja dan tidak memberikan deskripsi yang memadai secara akademik (lihat misalnya: Azra, 1994; Yatim, 1997; Ambary, 1998), sehingga kajian memang diperlukan untuk mengungkap pemikiran Islam, khususnya tasawuf, di sini. Berkaitan dengan pemikiran tasawuf, penulis akan mengkaji salah satu tokoh ulama sufi yang sangat legendaris dalam konteks masyarakat lokal Kotawaringin Barat, khususnya masyarakat Kumai, yakni Mukhtar bin
ISSN: 1693 - 6736
| 97
Jurnal Kebudayaan Islam
Abdurrahim, yang lebih dikenal dengan sebutan Panglima Utar. Sosok Panglima Utar terekam dengan baik dalam catatan sejarah maupun cerita-cerita rakyat ( folklore ). Setiap peringatan peristiwa pertempuran 14 Januari di Kumai, sosok pejuang yang paling banyak dibahas adalah Panglima Utar. Ketokohannya yang legendaris itu ketika ia terlibat perang fisik pada pertempuran 14 Januari 1946 dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Ia menjadi Panglima (komandan) barisan jenggot (ulama) bersama dengan unsur-unsur pejuang lainnya, berjuang mati-matian menghadapi tentara Belanda yang berniat menguasai wilayah Indonesia bagian kalimantan kala itu. Hal ini membuktikan kuatnya pengaruh ajaran agama terhadap perlawanan (Ulumuddin, 2013). Tulisan ini akan mengeksplorasi lebih jauh pemikiran tasawuf Panglima Utar dengan berpijak pada naskah yang berhasil penulis temukan. Untuk mendalami sosok Panglima Utar, penulis melakukan wawancara kepada narasumber yang hidup sezaman dengan Panglima Utar.
B. SEKILAS TENTANG PANGLIMA UTAR Panglima Utar mempunyai nama asli Mukhtar bin Abdurrahim. Karena ia aktif sebagai ulama yang memimpin para tokoh-tokoh agama di Kumai (saat itu masih merupakan wilayah keresidenan Kesultanan Kotawaringin), maka lebih akrab dipanggil sebagai Panglima Utar. Mengenai tanggal kelahiran Panglima Utar tidak ada informasi yang otoritatif. Satu-satunya sumber yang bisa memberikan informasi tentang tempat asal Panglima Utar adalah manuskrip yang ditulisnya. Di bagian awal manuskrip disebutkan sebagai berikut:
> . Mukhtar bin Abdurrahim yang punya ini “Bism Alla>h al-Rah}ma>n al-Rah}im kitab dan keluarnya pada sanah 1324H [1906M]. Asalnya daripada Khathib Tarif Margasari, Banjarmasin.” (Mukhtar, 1906: 27). Dari kutipan di atas ada dua kemungkinan mengenai asal-usul Panglima Utar. Pertama, ia berasal dari Margasari, setelah ia mempelajari ilmu agama, khususnya tasawuf, bermigrasi ke wilayah Kesultanan Kotawaringin saat itu dan menetap di Kumai. Kedua , ia memang asli Kumai tetapi memperdalami ilmu agama, khususnya tasawuf, di Margasari. Margasari merupakan kota besar setelah Martapura (Rahmadi dkk., 2010; Mujiburrahman, 2012). Dari tahun penulisan ini diperoleh sedikit petunjuk untuk menelusuri tanggal kelahiran Panglima Utar. Merujuk pada tradisi masyarakat MelayuBanjar dalam mempelajari ilmu tasawuf bahwa tasawuf hanya boleh dipelajari
98 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
ketika seseorang telah dianggap matang usianya dan telah mapan pula pelaksanaan syariatnya. Patokan umur kematangan ini antara 30-40 tahun. Berdasarkan patokan ini dapat diperkirakan tahun kelahiran Panglima Utar berkisar antara 1294 H/1876 M (patokan kematangan 30 tahun) atau 1284 H/1866 M (patokan kematangan 40 tahun). Cara lain untuk menentukan tahun kelahiran Panglima Utar ini adalah mengacu pada perang fisik 14 Januari 1946 yang terjadi di Kumai, wilayah Kotawaringin Barat. Ketika terjadi perang fisik melawan Belanda (NICA) Panglima Utar berusia kira-kira 60 atau 65 tahun (Abdullah, 2017). Jika dihitung mundur, maka tahun kelahiran Panglima Utar adalah 1886 M atau 1881 M. Adapun tahun kewafatannya tidak diketahui dengan pasti, yang bisa dipastikan adalah tempat wafatnya, yaitu di Air Hitam, Kalimantan Barat (Ramli, 2017). Dalam catatan sejarah, Panglima Utar adalah seorang pahlawan Muslim yang gagah berani. Semangat ajaran tasawuf benar-benar dihayatinya, sehingga ia mampu menggerakkan umat Islam dalam wilayah Kesultanan Kotawaringin untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang. Atas jasanya dalam menggerakkan umat Islam di Kotawaringin, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta meminta kepada Gubernur Kalimantan untuk membawa Panglima Utar dan kawan-kawan ke Jakarta (Lontaan dan Sanusi, 1976: 82-83). Di Jakarta ini, Panglima Utar bisa memberikan informasi langsung mengenai perjuangan masyarakat Kotawaringin dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Informasi lain yang melekat pada sosok Panglima Utar adalah “ urang keramat ” (orang yang mempunyai karamah). Menurut beberapa informan, Panglima Utar mempunyai kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa gaib. Bagi para Sufi, kemampuan ini disebut kasyf, yakni tersingkap atau terbuka dari tabir. Kasyf merupakan uraian tentang apa yang tertutup bagi pemahaman, kemudian tersingkap bagi seseorang seakan-akan dia melihat dengan mata telanjang meskipun pada hakikatnya adalah mata batin. Kasyf merupakan keterbukaan rahasia-rahasia pengetahuan hakiki (Solihin dan Anwar, 2002: 146). Dituturkan, kedatangan pasukan Belanda yang akan menjajah wilayah Kumai dan Pangkalanbun telah diketahui Panglima Utar, dan ia meminta kepada penduduk untuk segera mengungsi ke tempat-tempat aman. Orang-orang dewasa laki-laki untuk mempersenjatai diri menghadang gerak pasukan Belanda. Ramalan Panglima Utar tepat, pada hari Senin, 14 Januari 1946, terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Kumai melawan pasukan Belanda (Abdullah, 2017). Pada saat pertempuran itulah Panglima Utar menunjukkan kara>mah dirinya, yang dilukiskan oleh teman seperjuangannya, Tuan Guru Haji ISSN: 1693 - 6736
| 99
Jurnal Kebudayaan Islam
Said Budin sebagai berikut: “Panglima Utar mengambil air wudhu di pantai laut Kumai, menghunus pedang memasuki kapal perang Belanda. Di kapal itulah Belanda dibuat terheran-heran dan bingung. Panglima Utar berubah menjadi lima orang. Ketika Belanda menembak Panglima Utar, tiba-tiba dari belakang Panglima Utar menebaskan pedangnya. Hampir satu kapal dibunuh oleh Panglima Utar. ”(Said Budin, 2017).
Kara>mah yang dimiliki oleh Panglima Utar tersebut bukanlah tujuan utama ia mempelajari tasawuf dan juga bukan pula untuk menunjukkan ketinggian ilmunya, tetapi lebih pada karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Kalangan sufi bersepakat menetapkan tentang adanya keramat para wali. Mereka mengkategorikan keramat para wali ini termasuk dalam mukjizat (Kala>ba>d}i>, 1993). Para sufi menganggap cerita-cerita ajaib yang dialami oleh seorang sufi haruslah dianggap sebagai cerita-cerita yang benar. Alasan mereka, karena al-Quran memberikan ilustrasi mengenai adanya “makhluk yang telah diberikan ilmu dari kitab Allah” sehingga mampu memindahkan singgasana dari satu tempat ke tempat lain (lihat: Q.S. al-Naml/27: 40; Ali Imran/3: 37).
C. AJARAN TASAWUF PANGLIMA UTAR Satu-satunya manuskrip Panglima Utar yang memberikan informasi sangat berharga mengenai pemikiran tasawufnya adalah sebuah naskah tulisan tangannya (manuskrip) yang berjudul Ini Suatu Jalan Daripada Jalan Kepada Alla>h Ta‘a>la> Zat Yang Wa>jib al-Wuju>d Adanya. Naskah ini diselesaikan oleh penulisnya pada tahun 1324 H/1906 M di Margasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kondisi naskah dalam kondisi baik dengan ukuran 10 cm X 16,2 cm, menggunakan huruf Arab-pegon berbahasa Melayu. Tebal naskah 113 halaman. Penulis memperoleh naskah ini dari Muhammad Djunaidi Amin, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, 6 Oktober 1996. Dengan merujuk bagian awal manuskrip, Panglima Utar mengaku bahwa naskahnya itu disalin dari Khathib Tarif yang berlokasi di Margasari, Banjarmasin. Jika merujuk keterangan Wikipedia, Margasari termasuk dalam kota besar pada abad XIX. Status Kesultanan Banjar setelah dihapuskan pada tahun 1860 masuk ke dalam Gouverment van Borneo, yaitu termasuk dalam Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo. Wilayah ini dibagi dalam 4 afdeeling, salah satunya adalah afdeeling Martapura (dibawah regent Pangeran Jaya Pemenang) yang terbagi dalam 5 distrik, yaitu Distrik Martapura, Distrik Riam Kanan, Distrik Riam Kiwa, Distrik Benua Empat, dan Distrik Margasari. Selanjutnya terjadi
100 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
perubahan dalam keorganisasian pemerintahan Hindia Belanda. Di bawah afdeeling terdapat onderafdeeling dan distrik. Distrik Benua Ampat dan Distrik Margasari kemudian berada di bawah Onderafdeeling Benua Ampat en Margasari dan digabungkan ke dalam Afdeeling Kandangan yang baru dibentuk. Afdeeling Kandangan terdiri 3 onderafdeeling (dengan 6 distrik), salah satunya adalah Onderafdeeling Benua Ampat en Margasari dengan distriknya, yaitu Benua Ampat dan Margasari (https://id. wikipedia. org/wiki/Kabupaten_Tapin). Melihat posisi Margasari sebagai distrik tersebut, dapat diperkirakan bahwa disktrik ini telah terjadi diskusi-diskusi intens tentang tasawuf baik tasawuf sunni maupun falsafi. Secara historis, perkembangan tasawuf di wilayah Kalimantan Selatan, sejak awal berdirinya Kerajaan Banjar, mulai dari Sultan Suriansyah (1527-1545 M) hingga periode awal pemerintahan Sultan Tamhidullah II (1761-1801 M) ajaran tasawuf yang dominan ialah tasawuf aliran wah}dah al-wuju>d, bahkan sempat menjadi paham resmi kerajaan yang dianut oleh para sultan dan masyarakat ramai (Syukur, 1988: 7; Syukur, 2001: 23; Kolis, 2012: 174-175). Nama-nama seperti Datu Syuban, Datu Sanggul, Syeikh Muhammad Nafi>s al-Banja>ri (w. 1786 M) dan Datu Abulung atau Syeikh Abdul Hamid Abulung (w. 1780-an M) disebut-sebut sebagai para tokoh yang membawa pemikiran tasawuf wah}dah al-wuju>d di kalangan masyarakat Islam Banjar melalui paham Nu>r Muh}ammad (Kolis, 2012: 175). Dengan kenyataan di atas, maka dapat dipahami bahwa Panglima Utar selama belajar di Margasari telah mempelajari juga paham ini dan telah menganutnya sebagai bagian integral dalam pemikiran tasawufnya. Bukti kuatnya pengaruh paham ini pada Panglima Utar dikonfirmasi dalam manuskripnya sendiri: “Ana min Alla>h wa kulli sya’in minhu artinya aku [Muhammad] daripada Allah dan segala sesuatu daripada aku.” Lebih jauh Panglima Utar menulis: “Karena tubuh kita yang kasar ini sekali-kali tiada dapat akan mengenal Allah Ta’ala melainkan dengan nur Muhammad SAW. Maka jangan engkau menduakan perbuatan yang lain daripada nur tiap-tiap yang datang kepada kamu seperti firman Allah Ta’ala di dalam al-Qur’an, “Qad ja>akum min Allah nu>r [Q.S. al-Ma>idah/5: 15] artinya barang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan yaitu nur, dan lagi firman Allah Ta’ala qad ja>akum al-h}aqq min rabbikum [Q.S. Yu>suf/12: 108] artinya barang yang datang kepada kamu yaitu hak daripada Tuhan kamu maka yaitu nur dan kepada nu>r yaitulah perhentian. Dan perjalanan segala awliya dan segala anbiya mursalin mengenal Allah Ta’ala dan mula-mula sampai pendapat a>rif billa>h pada martabat itu mula-mula tajalli pada martabat itu maka hendaklah engkau ingatkan bahwasanya nu>r itu telah nyata daripada Allah Ta’ala dan ilmu ini sekalian nyata jadi daripada nu>r
ISSN: 1693 - 6736
| 101
Jurnal Kebudayaan Islam
Muhammad SAW seperti firman Allah Ta’ala di dalam hadis[qudsi] khalaqtuka liajlika wa khalaqtu illa saya’i ajlika, artinya Aku jadikan engkau dengan karena-Ku. Aku jadikan semesta sekalian alam ini karenamu ya Muhammad. Maka sembah Nabi SAW: ana min Alla>h wa al-’a>lam minni> , artinya aku daripada Allah dan sekalian alam daripada-ku adanya. ”(Mukhtar, 1906: 6061). Dalam sejarah pemikiran tasawuf, terma tentang Nu>r Muh}ammad mulamula dibincangkan oleh al-Tustari meskipun dalam bentuknya yang sederhana. Al-Tustari memahami kata matsalu nu>rihi (perumpamaan cahaya/ nu>r-Nya”, sebagai Nu>r Muh}ammad (Bowering, 1980: 149). Selain al-Tustari, Sufi agung D}u> al-Nu>n al-Mis}ri> (w. 283 H/860 M), juga berpendapat bahwa bahwa ”. . . asal mula ciptaan Allah (makhluk) ialah Nu>r Muh}ammad ” (al-Syibi>, 1969: 365). Pemikiran al-Tustari kemudian dikembangkan dengan sangat baik dan terformulasi sistematik di tangan sufi Mans}u>r al-H}alla>j. Al-H}alla>j mengkonstruksi gagasan Nu>r Muh}ammad ini sebagai dasar teori h}ulu>l dan wah}dah al-adya>n. Berkat gagasannya itu, al- H}alla>j yang juga murid al-Tustari didaulat sebagai Bapak teori Nu>r Muh}ammad (Fatta>h}, 1987: 186; Kolis, 2012: 174). Dari gagasan al-H}alla>j, teori Nu>r Muh}ammad kemudian diformulasikan dengan baik oleh Sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, yaitu Syeikh al-Akbar Ibn ‘Arabi> dalam konsep wuju> d iyah , yakni hakikat wujud ini hanya satu, yaitu wujud Tuhan yang Maha Esa, segala apa yang tampak ada ini bukanlah wujud hakiki karena hanya sekadar tajalli> Tuhan saja. Ajaran tasawuf Ibn ‘Arabi> kemudian mempengaruhi pemikiran al-Ji>li> dalam teori Insa>n Ka>mil dan al-Burhanfuri dalam teori Martabat Tujuh. Gagasan-gagasan itu kemudian sampai pula ke alam pemikiran tasawuf di Nusantara dengan tokoh utamanya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani (Kolis, 2012: 174; Arifin, 2015) dan sampai ke wilayah Kalimantan Selatan berkat adanya interaksi yang intens antara kerajaan Banjar dan kerajaan Aceh, antara ulama Banjar dan ulama Aceh pada abad XVII dan XVIII. Pada abad XVII muncul dua tokoh tasawuf penting: Syekh Ahmad Syamsuddin al-Banjari dan pada abad XVIII muncul Syekh Abdul Hamid Abulung (Zamzam, 1979; Suriadi, 1998). Berdasarkan fakta ini, bahwa ajaran tentang Nu>r Muh}ammad, Insa>n Ka>mil, dan Martabat Tujuh sudah sangat mapan dalam alam pemikiran tasawuf di Kalimantan Selatan, dan Kalimantan pada umumnya. Dari sinilah ajaran tersebut mempengaruhi pemikiran tasawuf Panglima Utar, dan kemudian ia sebarkan di wilayah Kesultanan Kotawaringin dan jejak pengaruh ajarannya itu dapat dilacak hingga saat ini. Beberapa muridnya masih dijumpai di wilayah Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah) dan sebagian wilayah Kalimantan
102 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
Barat. Setelah penulis memberikan deskripsi awal tentang background Panglima Utar di atas, dalam uraian selanjutnya akan dipaparkan tentang beberapa pokok pemikiran tasawuf Panglima Utar. Karena terbatasnya tempat, penulis akan fokus pada isu-isu utama saja dari manuskrip Panglima Utar. 1. Pentingnya Guru Dalam manuskripnya, Panglima Utar mengingatkan kepada mereka yang akan mempelajari tasawuf agar menjadi guru sejati, bukan sembarang guru. Panglima Utar menulis: “…Kiblat rahasia kamu, maka pikirkan dengan nyata supaya terang di dalam hatimu itu. Jikalau tiada engkau paham cari guru yang nyata-nyata sempurna ahl al-h}aqi>qah. ” (Mukhtar, 1906: 34). Maksudnya: “…Perjalanan spiritual yang tengah dialami itu adalah rahasia, maka pikirkanlah dengan benar supaya jelas di dalam hatimu. Jika belum juga memahaminya maka hendaklah engkau mencari guru yang benar-benar sempurna ilmu hakikatnya dan telah tergolong ahl al-h}aqi>qah. ” Bagi para Sufi, keberadaan guru (mursyid, darwis) merupakan persyaratan mutlak bagi mereka (sa>lik, muri>d) yang sedang menempuh dan menjalani lakon spiritual. Tanpa kehadiran guru, seseorang dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam kesesatan. Karena di kalangan Sufi sudah disepakati bahwa “barangsiapa tidak mempunyai syaikh, setan yang akan menjadi syaikhnya” (Michon, 2002: 367). Syaikh adalah pembimbing otentik dan satu-satunya yang dituju oleh sang pencari Kebenaran dalam pencariannya. Dengan berpaling kepada guru spiritual, sang pencari pun berpaling kepada Allah Yang Mahakuasa (Armstrong, 1995: 215). Guru ini mempunyai kekuatan yang dapat membebaskan sa>lik dari dirinya sendiri dari jiwa jasmaniahnya sehingga memampukannya mendekatkan diri kepada Alam yang hakiki dan masuk kembali ke dalam samudra Eksistensi Universal, kematian (Nasr, 1972: 58). Seorang Sufi asal Istanbul, Turki, Osman Nuri Topbas} (2005: 78) guru spiritual berfungsi sebagai cermin bagi sa>lik untuk “melihat realitas kondisi dan hakikat diri mereka” dalam wajah sang guru. Ini bukan penglihatan material. Cermin hati jauh melampaui dimensi material. Di dalamnya orang dapat mengarungi misteri dunia internal. Ini bukan cermin dunia luar tetapi cermin dunia internal, dan di sana tidak ada wujud yang menyimpan pancaran-pancaran cahaya Allah. Karena itu, mereka yang secara spiritual mencari dan kemudian menuai imbalan dari cermin ini akan memperoleh keindahan dan kesenangan ISSN: 1693 - 6736
| 103
Jurnal Kebudayaan Islam
yang berbeda-beda di dalam hati mereka. Mereka meningkat dan mengorbankan diri. Mereka mengucapkan selamat tinggal kepada ego dan dengan demikian menggapai rahmat Allah dengan tujuan untuk seutuhnya terserap di dalam-Nya. Dengan penjelasan para Sufi di atas, jelaslah alasan Panglima Utar agar sa>lik itu mencari guru sejati dalam menjalani laku spiritual. Karena memang ada bagian-bagian tertentu dalam perjalanan spiritual itu membutuhkan penjelasan seorang guru. Ibarat seorang yang sakit atau terluka secara fisik tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri sehingga memerlukan seorang dokter. Demikian pula halnya dengan orang (sa>lik) yang sakit secara spiritual, ia perlu mendapatkan pertolongan dan perawatan dari seorang dokter batin yang tahu cara memurnikan hati (Topbas}, 2005: 176). 2. Wirid dan Zikir Pada umumnya wirid dalam tarekat terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, wirid lazi> m ah adalah bentuk bacaan yang dilaksanakan sesuai waktu yang sudah ditentukan, misalnya setiap pagi, setiap malam, setiap sore, dan seterusnya. Kedua , wirid wazi>fah adalah amalan yang dilaksanakan satu kali dalam sehari semalam. Ketiga, wirid hailalah. Wirid ini dilaksanakan satu kali dalam seminggu secara berjamaah. Wirid yang terakhir ini penekanannya pada menggerakkan ruh untuk membangun tawh}i>d z}awqi> (tauhid rasa). Seseorang akan meraih tawh}i>d z}awqi> apabila segala pikirannya khusus terhadap keesaan Allah (muwah}h}id), pikirannya tidak menampakkan dirinya, yaitu dengan peniadaan semua sekutu terhadap makhluk Allah, dibarengi dengan pelaksanaan semua perintah-Nya, baik secara lahir maupun batin. Tawh}i>d z}awqi> yang “sempurna” akan tercapai apabila perhatian muwah}h}id pada dirinya telah hilang ( fana>’/ sirna). Tegasnya tingkat kesempurnaan tauhidakan dicapai apabila muwah}h}id sudah terserap atau menyatu ke dalam cahaya Tuhan. Dengan ungkapan lain: tawh}i>d li nafsih bi nafsih ‘an nafsih (untuk Allah, dengan Allah, dari Allah) (Noor’ainah, 2011). Sebelum menguraikan dimensi terdalam dari ajaran tasawufnya, Panglima Utar memulai uraiannya secara singkat mengenai beberapa bentuk doa dan zikir serta salat-salat sunnah yang harus dilakukan. Berkaitan dengan salat sunnah, ia menyebutkan salat sunnah rawatib yang berjumlah 22 rakaat yakni: dua rakaat sebelum salat subuh, empat rakaat sebelum salat zuhur, dua rakaat sesudah salat zuhur, empat rakaat sebelum salat asar, dua rakaat sebelum salat maghrib, dua rakaat setelah salat maghrib, dua rakaat sebelum salat isya dan dua rakaat setelah salat isya. Dari 22 rakaat tersebut, tulis Panglima Utar, terdapat 10 rakaat sunnah muakad: dua rakaat sebelum salat subuh, dua rakaat
104 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
sebelum salat zuhur, dua rakaat sesudah salat zuhur, dua rakaat setelah salat maghrib, dan dua rakaat setelah salat isya (Mukhtar, 1906: 25). Ia juga menambahkan bahwa yang termasuk juga salat sunnah muakad itu adalah salat sunnah witir setelah salat isya yang rakaatnya sekurang-kurangnya satu rakaat (Mukhtar, 1906: 26). Di bagian lain, Panglima Utar juga menjelaskan tentang keutamaan salawat Nariyah yang berkaitan dengan keperluan untuk memperoleh rezeki dari Allah. Berkenaan dengan salawat ini, ia menjelaskan sebagai berikut: Ini salawat [Nariyah] [di]amalkan tujuh malam lebih dahulu waktunya dimulai pada tengah malam Jumat kemudian sampai tujuh malam, tiap-tiap tengah malam bangun baca salawat ini tujuh kali dan tiap-tiap satu kali baca salawat ini satu kali pintanya, pintanya dituntutkan rezeki dan yang lainnya boleh ruparupa hajat kita maksud, boleh sebutkan ini salawat dan amat besar faidahnya. Tiada habis disebutkan di sini, terlalu panjang perkhabarannya. (Mukhtar, 1906: 98). Ditambahkan Panglima Utar, hendaknya salawat Nariyah diamalkan sungguh-sungguh, yakni mengamalkan setiap malam atau setiap selesai salat lima waktu. Buah dari pengamalan yang terus-menerus ini adalah Allah akan mendatangkan rezeki pada seseorang yang takan akan pernah putus-putusnya, dihindarkan dari berbagai kejahatan dunia, dan diberikan pula kelapangankelapangan hidup lainnya (Mukhtar, 1906: 98-99). Selain itu, manuskrip juga menjelaskan tentang zikir berjenjang sesuai dengan tingkat intelektualitas dan kualitas spiritualitas seseorang. Mengenai tingkatan zikir ini dijelaskan Panglima Utar sebagai berikut: Pasal diketahui pula olehmu daripada zikir lidah tatkala sehat badan la> ila>ha illa> Alla>h artinya tiada Tuhan hanya Allah, atau tiada yang lain yang disembah sebenar-benarnya hanya Allah; dan jikalau lidah kelu tiada dapat mengata demikian itu [dapat dilakukan dengan] membilangkan ingat akan maknanya akan yang ada yang disembah hanya Allah. Dan zikir tatkala diam Hu> Alla>h. Artinya, aku dijadikan Allah, adapun zikir hati tatkala sunyi Alla>h Alla>h Alla>h, artinya aku serta Allah. Adapun zikir sirr itu ah artinya aku adapun artinya maka tiadalah engkau rahasiakan Daku selama belum engkau lenyap di dalamKu dan tiada engkau lenyap selama engkau belum melihat rupa-Ku seperti firman Allah “wa ma> khalaqtu al-jinn wa al-ins illa> li ya’budu>ni, artinya telah Kujadikan jin dan manusia akan menyembah Daku dan mengenal Daku. Dan kata Abu Bakar: “ma> raitu syai’an illa> raitu Alla>h qablahu” artinya tiada aku lihat sesuatu hal [melainkan] aku lihat Allah sebelumnya. Dan kata Umar bin Khamma>b, “ma> raitu syai’an illa> raitu Alla>h ba’dahu”, artinya tiada aku lihat sesuatu hal[melainkan]aku lihat Allah kemudiannya. Dan kata Usman bin Affan: “ma> raitu syai’an illa> raitu Alla>h ma’ahu” artinya tiada aku lihat akan
ISSN: 1693 - 6736
| 105
Jurnal Kebudayaan Islam
suatu melainkan padahal aku lihat Allah besertanya. Dan kata Ali bin Abi>la>lib, “ma> raitu syai’an illa> raitu Alla>h fi>h, artinya tiada aku lihat akan sesuatu padahal aku lihat Allah di dalamnya. (Mukhtar, 1906: 67). Tingkatan zikir Panglima Utar di atas menunjukkan ke mana tujuan akhir dari zikir itu, yakni kelenyapan seorang hamba ke dalam Allah, sehingga “di dalam zikrullah senantiasa nafi’ af’‘a>l kita isba>t af’a>l Alla>h dan baqa>’ bi Alla>h karena mereka itu tiadalah lagi yang lain di dalam hatinya [kecuali] Allah Ta’a>la semata-mata. ” (Mukhtar, 1906: 66). Dalam keadaan seperti, maka seseorang selalu hanyut dalam zikrullah demi menjaga zikirnya itu ia hidup bagaikan “tiada bermasa dan berketika, tiada lalai dan tiada lupa senantiasa siang dan malam tiada berkeputusan dan berkesudahan tiap-tiap waktu senantiasa bersama Allah. ” (Mukhtar, 1906: 43). Ajaran zikir yang dikemukakan oleh Panglima Utar di atas, sesungguhnya tidak eksklusif milik Panglima Utar saja. Para sufi Nusantara terkemuka, seperti Abd al-Rauf al-Singkili dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari juga telah membahas jenjang zikir dan tujuan akhir dari zikir itu. Abd al-Rauf al-Singkili dalam Tanbi>h al-Ma>syi> membagi pelaksanaan zikir itu ada dua, yaitu zikir nyaring (al-jahr) dan zikir pelan (al-asra>r). Adapun zikir nyaring, caranya bermacam-macam, antara lain dengan cara pengingkaran (alnafi) dan penegasan (al-itsba>t), yaitu dengan mengucapkan kalimah la> ila>ha illa> Alla>h. Cara lain adalah itsba>t saja, yaitu dengan mengucapkan kalimat illa> Allah, illa>Alla>h, kemudian dengan menyebut isim (nama) zat saja, yaitu kata Alla>h, Alla>h. Masing-masing model zikir tersebut memiliki tata caranya sendiri. Di antara zikir nyaring yang lain adalah ucapan Hu> Hu> (Dia Dia), atau Hu> Alla>h, Hu> Alla> h , atau Alla> h Hu> , Alla> h Hu> . Dengan mengutip kitab Dau‘ al-Ha> l ah tentang zikir Hu> dan lafaz Allah menjelaskan, “Ketahuilah bahwa isim al-a‘“am (nama agung) Hu> Alla> h adalah zikir ghaib dalam kesaksian, zikir Alla> h Hu> adalah zikir kesaksian dalam kegaiban, zikir Alla>h Alla>h Alla>h adalah zikir kesaksian dalam kesaksian secara terperinci, sedangkan zikir Hu> Hu> adalah zikir gaib dalam kegaiban secara global (Fathurahman, 1999: 115, 117). Syekh Muhammad Arsyad al-Banja>ri> dalam kitabnya, Kanz al-Ma’rifah (T.T.: 2-3) menguraikan tentang adab dan tata cara berzikirnya, sebagai berikut: (a) sebelum berzikir hendaklah mandi lebih dahulu, menghilangkan segala kotoran yang melekat pada badan; (b) bersuci dari hadas dengan berwudhu; dan untuk membersihkan batin dengan banyak-banyak mengucap istighfa> r dan minta ampun kepada Tuhan; (c) memakai pakaian putih-putih dan berkhalwat di tempat yang sunyi; (d) mengerjakan salat dua rakaat sekali salam untuk mohon taufik dan hidayah dari Allah SWT; (e) duduk bersila sambil merendah-
106 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
kan diri kepada Allah dan menghadap ke kiblat dengan menghantarkan kedua telapak tangannya ke atas kedua lututnya, seraya mengucap: la> ilaha, dengan mengiktikadkan bahwa keadaanku dan alam semesta ini wujudnya bukan wujud hakiki; (f) selanjutnya baca: Illa Alla>h, dengan memajamkan kedua mata dan dengan mengiktikadkan dalam hati bahwa hanya Allah jualah wujud hakiki; (g) setelah zikir nafi-itsba>t itu, maka dilanjutkan dengan zikir menyebut nama Alla>h, Alla>h, Allah dalam hati; dan dibiasakan dalam segala situasi kehidupan seharihari; (h) akhir kata Allah, yaitu Hu> dipanjangkan sedikit mengucapkannya sambil meresapkan pandangan batinnya, seakan-akan dirinya lenyap dan lenyap pula ingatan kepada selain Allah, termasuk dirinya sendiri, sehingga hanya Allah Yang Wajibul Wuju>d. Pada saat seperti itu diharapkan turunnya jaz}bah (tarikan) dari Allah kepada-Nya (Noor, 2013). 3. Ajaran tentang Ma’rifah Alla>h Ma‘rifat Allah (makrifatullah) adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan (Nasution, 1992: 75). Ma‘rifah tidak diperoleh begitu saja oleh seseorang, ia merupakan pemberian dari Tuhan; bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Tuhan akan memberikannya kepada sufi yang sanggup menerimanya melalui limpahan rahmat-Nya yang dikehendaki-Nya. Tidak sembarang orang dapat mencapai atau menerima ma’rifah, hanya mereka yang terpilih saja yang mampu mendapatkannya. Tuhan yang memilih mereka untuk menerima anugrah dan memilih mereka untuk-Nya dan memberi mereka cinta-Nya (Harazim, 1985: 87). Anugerah yang diberikan Tuhan adalah merupakan rahmat yang dilimpahkan atas kehendak Tuhan sendiri. Ma‘rifah yang dicapai hamba-hamba pilihan merupakan pengetahuan tentang Tuhan yang sempurna. Sesungguhnya ma‘rifah yang sempurna tidak akan pernah ada. Karena keterbatasan manusia itu sendiri, sedangkan Tuhan merupakan zat yang tak terbatas, oleh sebab itu, tidak mungkin sesuatu yang terbatas dapat mengetahui yang tidak terbatas dengan segala kesempurnaanya (Harazim, 1985: 206). Awal untuk memperoleh ma‘rifah dengan mengenal diri sendiri terlebih dulu. Karena lewat pengenalan diri inilah manusia akan mengenal Tuhan. Sebaliknya, siapa yang ja> hil (bodoh) terhadap dirinya, berarti ja> hil pula terhadap Tuhannya. Begitu pentingnya pengenalan diri, maka seorang tokoh sufi, Syekh Muh}ammad A>mi>n al-Kurdi> dalam Tanwi>r al-Qulu>b mengatakan bahwa pengenalan diri adalah suatu hal yang penting bagi setiap pribadi. Karena sesungguhnya siapa yang mengenal dirinya, niscaya ia dapat mengenal Tuhannya. Ia mengenal dirinya yang hina, lemah serta fana>’ . Dari sini ia dapat mengenal
ISSN: 1693 - 6736
| 107
Jurnal Kebudayaan Islam
Tuhannya yang bersifat mulia, kuasa dan kekal abadi. Siapa yang ja>hil terhadap dirinya berarti ja>hil pula terhadap Tuhannya (al-Kurdi>, 1995: 483). Menurut Panglima Utar bahwa untuk mengetahui Allah, jalan satu-satunya adalah menilik pada diri sendiri. Karena pada dasarnya di dalam diri inilah Allah itu berada. Panglima Utar merujuk firman Allah dalam al-Qur’an Surah alDza>riya>t/51: 21: “ ”ﻭﻓﻰ ﺍﻧﻔﺳﻛﻡ ﺍﻓﻼ ﺗﺑﺻﺭﻭﻥ, artinya “di dalam diri kamu jua Aku [Allah]. ”(Mukhtar, 1906: 30). Juga Q.S. al-Dza>riya>t/51: 56: “Telah Kujadikan jin dan manusia akan menyembah Daku dan mengenal Daku” (Mukhtar, 1906: 67). Di sini, Panglima Utar sangat menekankan pada “keserba-Tuhan-an” dalam diri hamba. Hal ini bisa dirujuk kepada doktrin wah}dah al-wuju>d yang memposisikan manusia sebagai “s}u>ratih” (citra-Nya), sehingga pada hakikatnya manusia itu adalah tempat tajalli zat, sifat dan af‘a>lAllah (Mukhtar, 1906: 31). Pernyataan Panglima Utar itu tentang tiada “bercerai” hamba dan Tuhan, harus dipahami sebagai sebuah metaforis karena terbatasnya bahasa manusia untuk melukiskan sedemikian dekatnya hamba dan Tuhan. Tepatnya, sebagaimana digarisbawahi secara khusus oleh Panglima Utar, “Engkau sembahkan akan Tuhanmu itu seperti engkau lihat kepada-Nya, dan tiada engkau melihat akan Dia bahwasanya Dia lebih melihat kepada engkau.” (Mukhtar, 1906: 103). Harus disadari betul bahwa Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya sendiri (Mukhtar, 1906: 104). Untuk mempertegas adanya perbedaan yang sangat besar antara hamba dan Tuhan, Panglima Utar mengutip firman Allah yang berbunyi: wa Alla>h alganiyyu wa antum al-fuqara>’ [Q.S. Muhammad/47: 38] artinya, tiada Allah Ta‘ala jua yang ada bagi-Nya Wujud.” (Mukhtar, 1906: 31) . Jadi, manusia benar-benar membutuhkan Allah, bukan sebaliknya. Hal ini sekaligus menampik kemungkinan tuduhan kepada Panglima Utar yang mempersamakan antara Tuhan dan hamba. Ia menegaskan: “Allah Ta‘ala menghijab diri-Nya, sehingga yang dihijabi harus berusaha sungguh-sungguh untuk membuka hijab tersebut” (Mukhtar, 1906: 84).
D. SIMPULAN Setelah penulis paparkan sebagian dari manuskrip Panglima Utar di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut. Pertama , kehadiran pemikiran tasawuf yang didokumentasikan dengan baik oleh Panglima Utar memberikan informasi berharga tentang kuatnya ajaran tasawuf yang sudah mapan di Kesultanan Banjar menyebar ke wilayah-wilayah Kesultanan Kotawaringin, dan setelah dianalisis ternyata mempunyai garis intelektual dan spiritual dengan pemikiran para Sufi abad XVII dan XVIII. Kedua , adanya manuskrip ini
108 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
membuktikan bahwa pemikiran tasawuf yang berlevel lokal tidak semestinya diabaikan begitu saja, karena ia memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk pola tasawuf yang berada di Kotawaringin Barat saat ini. Ketiga, dari segi ajaran yang ada dalam manuskrip Panglima Utar, jelaslah bahwa ajaranajaran tersebut masih dalam mainstream pemikiran tasawuf di Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Abdul Rahman. 1997. Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran. Jakarta: Gema Insani Press. Arifin, Miftah. 2015. Wujudiyah di Nusantara: Kontinuitas dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-STAIN Jember. Armstrong, Amatullah. 1995. Sufi Terminology (al-Qamu> s al-Su> f i> ) : the Mystical Language of Islam. Kuala Lumpur: A.S. Noordeen. Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. _______________. 1999. Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Bowering, Gerhard. 1980. The Mystical Vision of Existence in Classical Islam,The Quranic Hermeneutics of the Sufi Sahl At-Tustari (d. 283/ 896). Berlin-New York: Walter De Gruyter. Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Raniry. Jakarta: Rajawali Pers. Fathurahman, Oman. 1999. Tanbi>h al-Ma>syi>: Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17. Bandung: Mizan. Fatta>h}, Irfan Abdul Hamid. 1987. Nasy’at al-Falsafah al-S}u>fiyah wa Tatawwuruha. Beirut: al-Maktab al-Isla>mi. Glasse, Cyril. 1996. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: Rajawali Pers. Harazim, Ali. 1985. Jawa>hir al-Ma’a>ni> wa Bulu>gh al-Ma‘a>ni>. Mesir: Mustafa> al-Ba>bi al-Hala>bi>. Hermansyah, dkk. 2010. “Studi Naskah Tasawuf Abdul Malik Bin Abu Bakar Krui Penengahan Lahai”. Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 6, No. 2, Juni 2010. Lontaan, JU, dan GM. Sanusi. 1976. Mengenal Kabupaten Kotawaringin Barat. Pangkalanbun: PEMDATI II Kotawaringin Barat. Kala>ba>dzi>, Abu> Bakr Muh}ammad bin Ish}a>q. 1993. Al-Ta‘aruf li Maz}hab Ahl al-Tas}awwuf. Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. ISSN: 1693 - 6736
| 109
Jurnal Kebudayaan Islam
Khan, Khan Sahib Khaja. 1978. Studies in Tasawuf. Delhi: Idarah-i Adabibiyat. Kolis, Nur. 2012. “Nur Muhammad dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung di Kalimantan Selatan”. Jurnal al-Banjari, Vol. 11, No. 2, Juli 2012: 171–196. Kurdi, Syaikh Muhammad Ami>n. 1995. Tanwi>r al-Qulu>b fi> Mu‘a>malah ‘Ala>m al-Ghuyu>b. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah. Lapidus, Ira M. 1989. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press. L ubis, Nabilah. 1996. Syekh Yusuf al-Taj al-Makasari: Menyingkap Intisari Segala Rahasia. Bandung: Mizan. Michon, Jean-Louis Michon. 2002. “Praktik Spiritual Tasawuf”, dalam Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan. Mujiburrahman, dkk. 2012. “Ulama Banjar Kharismatik Masa Kini Di Kalimantan Selatan: Studi Terhadap Figur Guru Bachiet, Guru Danau, Dan Guru Zuhdi”. Jurnal Al-Banjari, Vol. 11, No. 2, Juli 2012: 107–136 Mujiburrahman. 2013. “Tasawuf di Masyarakat Banjar: Kesinambungan dan Perubahan Tradisi Keagamaan”. Kanz Philosophia: A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism 3. 2 (2013): 153-183. Mukhtar bin Abdurrahim. 1906. Ini Suatu Jalan Daripada Jalan Kepada Allah Ta‘ala Zat Yang Wajib al-Wujud Adanya. Mulyani, Sri. 1992. “Sufism in Indonesia: an Analysis of Nawawi al-Bantani’s Salami al-Fudala”. Tesis MA pada Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal-Canada. Nasr, Seyyed Hossein. 1972. Sufi Essays. London: George Allen and Unwin Ltd. ________________. 1994. Spiritualitas dan Seni Islam. terj. Drs. Sutejo. Bandung: Mizan. Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Noor’ainah. 2011. “Ajaran Tasawuf Tarekat Tijaniyah”. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 10, No. 1, Januari 2011. Rahmadi, dkk. 2010. Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX: Studi tentang Proses, Pola dan Ekspansi Jaringan. Banjarmasin: Antasari Press. Solihin, Muchtar dan Rosihon Anwar. 2002. Kamus Tasawuf. Bandung: Rosda Karya.
110 |
Vol. 15, No. 1, Mei 2017
Sulaiman: Tasawuf Lokal Panglima Utar di Kotawaringin Barat... (hal. 96-1 11) 96-11
Suriadi, Ahmad. 1998. Ulama Banjar: Posisi dan Peranannya pada Akhir Abad XVIII. Semarang: Puslit IAIN Walisongo. Syadzali, A. 2004. “Gerakan Tasawuf Lokal al-‘Alimul Allamah Syekh Datu’ Abdussamad Bakumpai di Tanah Dayak. ” Banjarmasin, LK-3 (Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan). Syibi>, Ka>mil Mus}t}afa>. 1969. Al-S}ilat bain al-Tas}awwuf wa al-Tas}ayyu. Kairo: Da>r al-Ma’a>rif. Syukur, Asywadie. 1988. “Kesultanan Banjar, Semenjak Suriansyah sampai Syeikh Muhammad Arsya>d Al-Banja>riy”. Banjarmasin Post, 18 November 1988. _______________. 2001. “Perkembangan Ilmu Keislaman di Kalimantan”, Makalah Seminar, disampaikan pada Seminar on Islamic references in the Malay World di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam, tanggal 26 Agustus 2001. Thaba, Abdul Aziz. 1996. Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru. Jakarta: Gema Insani Press. Tijani. Ach. 2011. Tarekat Tijaniyah: Studi Deskriptif-Sufistik Ajaran Tarekat Tijaniyah dalam Kitab Jawa>hir al-Ma‘a>ni>. Tesis pada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Topbas}, Osman Nuri. 2005. Tears of the Heart. Istanbul: Erkam Publishing. Zamzam, Zafri. 1979. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Banjarmasin: tp. Hasil Wawancara Wawancara H. Supri Abdullah di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Sabtu, 14 Januari 1947. Wawancara dengan Tuan Haji Guru Said Buddin, Kumai, 13 Januari 2017. Wawancara dengan Bapak H. Ramli, 14 Januari 2017.
ISSN: 1693 - 6736
| 111