TAREKAT SHIDDIQIYAH DALAM MASYARAKAT JAWA PEDESAAN Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin Sehat Ihsan Shadiqin UIN Sunan Gunung Jati Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT This article discusses the development and the influence of tarekat in societal life of rural Javaness. Some researchers on modern tarekat in Indonesia, like Bruinessen and Howel, argued that practicing tarekat now shifts from rural to urban community, which is known as urban Sufism. The unique relation between sheikh and student gradually being left by the urban Sufism and being changed by ability in rhetoric and connecting religious teaching to modern life issues by using spiritual approaches. Based on my field experience, this argument is not totally relevant and true, especially in rural community of Javaness. Tarekat is not influenced by the development of modern communication and telecommunication. Tarekat remains as inseparable part of rural religious social life. This research was conducted in January 2012 in a remote village of Pekalongan, Central Java. While I took part in various activities of the Tarekat Shiddiqiah members, I interviewed some of the members. By doing this, I sum up that the development of modern communication and transportation does not necessarily change the map of tarekat in rural community. The attachment of Javaness mystical tradition to tarekat helps the tarekat develop within community. Kata Kunci: shiddiqiyah, masyarakat pedesaan, wonodadi Pendahuluan Tarekat merupakan aspek kehidupan beragama yang populer dalam masyarakat pedesaan Jawa. Hal ini terjadi sejak kedatangan Islam di Jawa, di mana para sufi memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam. 1 Sehingga tidak dapat disangkal bahwa Islam di Indonesia pada awalnya adalah Islam Tasawuf.2 Namun demikian pengaruh tasawuf dalam bentuk tarekat di pedesaan Jawa saat ini dianggap mulai memudar seiring dengan masuknya berbagai pengaruh teknologi komunikasi dan transportasi modern. Atau setidaknya jaringan tarekat mulai digunakan bukan hanya sebagai media religiusitas, namun juga jaringan sosial dengan kepentingan ekonomi.3 Kondisi ini melahirkan sebuah model baru dalam perkembangan tasawuf di Indonesia yang dikenal dengan urban 1
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3S, 1985), hal. 40. 2 Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad ke -19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 173; Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 274. 3 Martin van Bruinessen, "Origins and development of the Sufi orders (tarekat) in Southeast Asia", Studia Islamika, , vol. I, no.1, 1994, (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Budaya, 1994) Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
263
sufism. Howel yang mengemukakan istilah ini pertama kali mengartikan urban sufism sebagai tradisi tasawuf yang tidak terikat dengan pola tarekat yang pernah berkembang di Indonesia selama ini.4 Dalam amatan saya di Wonodadi,5 sebuah dusun pedalaman Pekalongan Jawa Tengah, indikasi yang ditunjukkan Bruinessen dan Howel di atas tidak sepenuhnya tepat, meskipun beberapa hal dapat diterima. Di sana yang terjadi justru seperti apa yang disebutkan Mufid6 dan Beatty7 bahwa tarekat telah mewarnai perkembangan budaya Jawa Islam. Dalam masyarakat pedesaan Jawa, tradisi tarekat masih tetap hidup sebagai bagian dari religiusitas mereka dalam beragama. Pola tarekat yang didasari pada hubungan guru-murid yang dekat dan pelafalan silsilah keguruan yang bersambung sampai pada Nabi Muhammad masih dilakukan oleh masyarakat. Demikian juga komunikasi antara warga penganut tarekat dan kerja sama sebagai sebuah komunitas masih dipertahankan. Oleh sebab itu saya berargumen bahwa perkembangan modern dalam bidang komunikasi dan transportasi tidak serta-merta menjadikan perkembangan tarekat berubah di daerah pedesaan Jawa. Kedekatan budaya Jawa dengan tarekat menjadikan tarekat tetap berkembang dalam masyarakat. Selain itu berkembangnya tradisi urban sufism di perkotaan tidak menjadikan perkembangan tarekat di pedesaan surut dan musnah. Artikel ini saya tulis sebagai hasil observasi lapangan di dusun Wonodadi di Jawa Tengah pada awal tahun 2010. Dusun ini terletak di daerah pegunungan pinus milik Perhutani di kecamatan Petung Kriyono, Kabupeten Pekalongan. Di sana berkembang sebuah tarekat yang dikenal dengan tarekat Shiddiqiyah. Tarekat ini berasal dari Jombang Jawa Timur yang dipopulerkan oleh Syaikh Muhammad Muhtar bin Abdul Mu'thi. Sekitar tahun 1998 tarekat ini dibawa ke Wonodadi oleh seorang Guru Sekolah Dasar yang berasal dari Pekalongan. Hingga saat ini Shiddiqiyah telah diikuti oleh lebih dari 50 orang warga Wonodadi. Selama berada di lapangan saya mengikuti kegiatan tarekat serta mewawancarai anggota tarekat Shiddiqiyah yang ada di dusun tersebut. Saya menyamarkan semua nama narasumber dalam penulisan artikel ini untuk menghindari hal-hal yang tidak berkenan bagi mereka. 4
Julia Day Howell, “Sufism and the Indonesian Islamic Revival”, The Journal of Asian Studies 60, no. 3, August 2001. 5 Wonodadi adalah sebuah dusun kecil yang dihuni oleh 55 KK. Dusun ini terletak di sebuah dataran sempit di lereng gunung. Di sisi Timur dan Barat dusun ini terdapat sungai yang menjadi sumber air masyarakat sekaligus sumber energi listrik. Penghasilan utama masyarakatnya adalah gula aren, yang terkadang sekaligus menjadi alat tukar pengganti mata uang. Sementara untuk transportasi adalah jalan kaki, meskipun beberapa jenis sepeda motor yang dimodifikasi bisa sampai di sana. Terdapat sebuah Sekolah Dasar dengan 12 orang siswa (hanya sampai kelas empat) yang diajarkan oleh seorang guru pegawai negeri sipil. Siswa kelas lima dan enam harus sekolah di dusun lain dengan perjalanan kaki menelusuri hutan selama dua jam. Sementara siswa SMP dan SMA harus berjalan kaki masing-masing selama tiga dan empat jam. Kebanyakan masyarakat hanya tamat SD dan kebanyakan perempuan menikah dalam usia muda. Saya berjumpa dengan dua orang ibu-ibu yang sudah memiliki cucu pada usia 33 tahun. Semua masyarakatnya adalah Muslim. Di sana terdapat sebuah mushalla sederhana yang biasa dipakai untuk shalat berjamaah dan pengajian anak-anak. 6 Endang Turmudi, Struggling for the Umma Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, Australia: ANU E-Press, 2006, hal. 274. 7 Hasan, Sudirman, dalam http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/05/origin-oftarekat-sidiqiyya.html
264
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
Tarekat dan Penyebarannya di Indonesia Tarekat berasal dari kata berbahasa Arab; thariqah, yang berarti „jalan‟, dalam hal ini jalan spiritual yang ditempuh oleh seorang penganut tasawuf untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Seorang penganut tariqah semestinya adalah seorang yang mendalami aspek spiritualitas Islam. Sebab Islam sebagai sebuah agama memiliki dua aspek ajaran, yaitu aspek esoterik dan eksoterik. Aspek esoterik adalah aspek lahiriah ajaran agama yang sering kali didasari pada logika formal dan bukti empirik. Dalam konteks ini maka ajaran agama yang dipersepsikan adalah hukum-hukum formal dan ritual-ritual tertata yang dilakukan dalam waktu yang telah ditentukan. Sementara aspek eksoterik Islam adalah dimensi batin yang didasari pada musyahadah (penyaksian) dan diperoleh dari mujahadah (usaha yang sungguh-sungguh) oleh seorang manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Pada mulanya, tarekat dikembangkan oleh seorang individu yang merasa telah mencapai posisi paling dekat dengan Tuhan. Ia telah melakukan serangkaian usaha (mujahadah) yang menjadikannya menempati posisi sangat dekat dengan Tuhan. Pengalaman batin ini diceritakan kepada orang lain yang kemudian menempuh jalan yang sama dengan apa yang dilakukannya. Dari sinilah kemudian berkembang secara turun-temurun ajaran tarekat hingga saat ini. Karena ia berasal dari berbagai pengalaman individu, maka tarekat sangat mudah terpecah atau munculnya aliran baru. Pluralitas aliran ini disebabkan banyaknya orang yang memiliki pengalaman spiritual dan mengajarkannya kepada orang lain. 8 Sehingga banyak nama tarekat dinisbahkan kepada pendirinya. Misalnya tarekat Qadiriyah, dinisbahkan kepada Abdul Qadir al-Jailani. Di Indonesia tarekat mulai berkembang sejak berkembangnya agama Islam. Sufi pertama yang teridentifikasi dalam sejarah tasawuf Nusantara, Hamzah Fansuri (w. + 1610) sufi asal Aceh, merupakan penganut tarekat Qadiriyah.9 Meskipun memiliki perbedaan dengan Qadiriyah yang berkembang dewasa ini10 namun ini menunjukkan adanya aktifitas ketarekatan pada masa itu. Dari Aceh pada masa selanjutnya tarekat semakin berkembang. Tarekat semakin berkembang setelah Abdurrrauf As-Singkili (w. 1693) membawa pulang terekat Syattariyah ke Aceh dan Yusuf al-Maqassari mengembangkan tarekat Naqsabandiyah di Sulawesi, Kaimantan dan Jawa. Ajaran tarekat semakin berkembang di Indonesia melalui murid-murid mereka yang tersebar di Nusantara. Misalnya, Abdurrauf as- Singkili memiliki murid Burhanuddin Ulakan di Sumatera Barat dan Abdul Muhyi Paminjahan di Jawa Barat. Dari sana bermunculan lagi murid yang kemudian jadi guru hingga saat sekarang ini. Sejak masa masuk dan berkembangnya di Indonesia tarekat menjadi sebuah topik yang memicu kontroversi di kalangan ulama Islam sendiri. Bibit dari kontroversi ini memang sudah dimulai sejak kemunculan tasawuf itu sendiri pada abad pertama masehi.11 Bahkan dalam abad pertengahan, di Aceh terjadi pembakaran 8
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2002),
hal. 41. 9
Sehat Ihsan Shadiqin, Tasawuf Aceh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008), hal. 57. Ahmad Syafi‟I Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hal. 62. 11 Sehat Ihsan Shadiqin, “Fatwa Sesat dan Pentingnya Dialog,” Harian Serambi Indonesia, 3 Desember 2009. 10
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
265
terhadap buku-buku karangan Hamzah Fansuri yang dilakukan oleh Nuruddin arRaniry.12 Selanjutnya, dalam abad XIX kritik bukan hanya diarahkan kepada tarikat, namun juga kepada ulama sufi yang membawa tarekat tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Sayyid Usman kepada Sulaiman Zuhdi, di mana Sayyid menganggap Sulaiman telah mengajarkan hal-hal yang jauh dari kebenaran agama kepada masyarakat di mana masyarakat mempercayai kebohongan tersebut. 13 Dalam konteks pulau Jawa penyebaran tarekat dilakukan pasca berkembangnya di Aceh. Sebagian peneliti mensinyalir bahwa Wali Songo menganut tarekat Qadiriyyah.14 Namun bukti untuk hal ini hanya ada satu kalimat dalam Babat Tanah Jawi yang mengatakan Sunan Kali Jaga mengajarkan Ilmu Syekh Qadir.15 Dalam masa-masa selanjutnya perkembangan tarekat dilakukan melalui pesantren-pesantren di seluruh Jawa. Pada abad XIX, perkembangan tarekat sempat dodominasi oleh Naqsabandiyah yang dibawa oleh pada ulama yang pulang dari tanah suci Makkah. Hal ini terjadi karena Naqsabandiyah dianggap lebih berorientasi Syariat dibandingkan dengan tarekat lainnya. Namun saat ini berbagai tarekat, selaian Naqsabandiyah, juga berkembang pesat di Indonesia. Bahkan beberapa diantaranya adalah, apa yang disistilahkan Brunessen sebagai, tarekat lokal, yakni tarekat yang sanadnya tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Munculnya Tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi Tarekat Shiddiqiyah merupakan salah satu tarekat yang berkembang di Indonesia. Tarekat ini diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Muhammad Muchtar bin Abdul Mu'thi Muchtarullah Al-Mujtaba dari Jombang, Jawa Timur. Tim penulis buku Tarekat Muktabarah di Indonesia tidak memasukkan tarekat ini sebagai bagian dari tarekat yang “muktabarah” (diterima) sebab dianggap tidak memiliki silsilah yang bersambung pada Rasulullah.16 Namun tarekat ini tetap mampu bertahan hingga kini berkat kesolidan dan usaha anggotanya. Beberapa bangunan yang melambangkan kebesaran tarekat telah dibangun dari hasil usaha anggotanya, baik di Jombang maupun di beberapa daerah lain di pulau Jawa.17 Namun demikian Bruinessen18 menganggap tarekat ini sebagai local tarekat dan tidak memiliki silsilah yang sampai pada Nabi Muhammad.
12
Sehat Ihsan, Tasawuf Aceh, hal. 105. Hamid Nasuhi, “Tasawuf dan Gerakan Tarekat di Indonesia Abad 19,” dalam Amsal Bakhtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, (Bandung: Angkasa, 2003), hal. 75. 14 Bruinessen. “Tarekat Qadiriyah dan Ilmi Syeikh Abdul Qadir Jeilani di India, Kurdistan dan Indonesia,” dalam Ulumul Qur’an vol. 2 No. 2. Jakarta: LSAF, 1989, hal. 70. 15 Ahmad Syafi‟I Mufid, Tangklukan…, hal. 63 16 Lihat, Sri Mulyati (ed)., Mengenal & memahami tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004. Hal ini memang sedikit aneh karena “mu‟tabarah” dalam buku ini berdasarkan apa yang dievaluasi oleh ulama dari Nahdatul Ulama yang notabenenya berkembang pesat di Jombang, Jawa Timur, kota di mana tarekat Shiddiqiyah juga berkembang. 17 bd Syakur, Disertasi, “Gerakan Kebangsaan Kaum Tarekat: Studi Kasus Tarekat Shiddiqiyah Pusat Losari, Ploso, Jombang Tahun1975-2006, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008). 18 Bruinessen, Martin van,. "Pesantren and kitab kuning: maintenance and continuation of a tradition of religious learning", in: Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the islands. Oral and written traditions of Indonesia and the Malay world [Ethnologica Bernica, 4]. Berne: University of Berne, 1994. 13
266
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
Shiddiqiyah masuk ke Wonodadi pada tahun 1997 yang dibawa oleh Bapak Guru Ambari, yang berasal dari Sragi, Pekalongan. Ia merupakan seorang guru Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan di Sekolah Dasar Wonodadi. Selain sebagai guru ia juga aktif dalam memimpin berbagai upacara keagamaan di Wonodadi. Sebagai jamaah tarekat Shiddiqiah ia memperkenalkan tarekat ini kepada masyarakat di sana. Sejak ia masuk hingga kini tetap tidak semua warga menjadi anggota tarekat. Dari 55 KK yang ada di Wonodadi hanya 23 KK yang menjadi anggota tarekat, dan itupun tidak seluruh anggota keluarga yang ada di dalam rumah tersebut. Dalam satu keluarga bisa saja beberapa anggotanya menjadi anggota tarekat, namun yang lainnya tidak. Hingga saat saya berada di lapangan, pengikut tarekat ini berjumlah 45 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Menjadi Anggota Tarekat dan Alasannya Untuk menjadi anggota tarekat maka seseorang harus mendapatkan bai’at (disumpah) di pusat pengembangan tarekat Shiddiqiyah, yaitu Jombang, Jawa Timur. Di sana ia akan mendapatkan bimbingan khusus mengenai tarekat dan penjelasan mengenai tata cara zikir, maksud dan tujuan bertarekat dan lain sebagainya. Sementara untuk penguatan pemahaman anggota tarekat yang telah terdaftar, secara periodik beberapa orang yang berasal dari Jombang atau Pekalongan datang ke Wonodadi untuk memberikan penjelasan mengenai hakikat bertarekat sambil melakukan Kausaran (melaksanakan zikir tarekat bersamasama). Sampai saat saya berada di lapangan, baru dua kali Wonodadi didatangi oleh tokoh tarekat dari Jombang untuk melaksanakan Kausaran. Selebihnya, hampir setiap tahun tokoh tarekat datang dari Kabupaten Pekalongan terutama pada tanggal 17 Ramadhan untuk melaksanakan Kausaran khusus yang disertai dengan pengajian. Beberapa orang yang saya jumpai mengemukakan alasan yang berbeda menjadi anggota tarekat. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa di dalam tarekat mereka merasakan telah menemukan apa yang selama ini mereka cari dalam beragama. Dari sisi spiritual, setelah masuk dalam tarekat mereka merasa melihat jalan beragama menjadi lebih baik dan sempurna. Dengan bertarekat mereka dapat memperoleh ridha Allah dalam menjalani kehidupan di dunia. Namun ada juga yang menjadi anggota tarekat karena mengikuti suami yang sudah bergabung sebelumnya, atau ajakan orang tua mereka. Bahkan ada yang menjadi anggota tarekat karena ikut-ikutan saja, sebab dalam kausaran dapat bertemu dan berkumpul dengan masyarakat yang lain. Ibu Santi yang menjadi anggota sejak tahun 2008 yang lalu mengatakan ia menemukan penjelasan mengenai berbagai aspek agama secara lebih mendalam dari apa yang ditemukannya selama ini. Melalui tarekat ia mengetahui bahwa kehidupan ini selalu terhubungkan dengan gusti Alloh. Karenanya ia rajin mengikuti kausaran setiap senin dan rabu malam yang diadakan di Wonodadi. Namun ia mengaku belum penah pergi ke Jombang untuk mengikuti pengajian di sana. Ia dibai’at di dusunnya oleh seorang khalifah yang datang dari Pekalongan. Sejak saat itulah ia menjadi anggota terekat dan mengikuti semua kegiatan yang diadakan di dusunnya. Pak Nurman juga seorang anggota tarekat Shiddiqiyah. Ia mengenal tarekat ini sebelum tarekat masuk ke dusun mereka, tepatnya ketika ia bekerja sebagai buruh bangunan di Pekalongan tahun 1996. Di sana ia berkenalan dengan beberapa orang yang berasal dari Jawa Timur dan menganut tarekat Shiddiqiyah. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
267
Dari perkenalan inilah ia menjadi tertarik dan mejadi pengikut Siddiqiyah. Dalam pandangannya Shiddiqiyah lebih mendekatkan dirinya kepada Allah dan lebih menenangkan hati. Dengan zikir-zikir yang diberikan selama ini ia merasa lebih bisa memendam amarah dan keinginan berbuat jahat tidak ada lagi. Seorang anggota tarekat lain yang saya wawancarai adalah Budi. Secara individu Budi mengaku menjadi seorang anggota tarekat sebagai kelanjutan dari peran bapaknya. Bapaknya yang saat ini sudah meninggal dunia adalah generasi awal yang bergabung dengan tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi. Bahkan beliau merupakan orang pertama yang masuk menjadi anggoat tarekat tersebut. Setelah bapaknya meninggal dunia ia mulai belajar tarekat Shiddiqiyah dan pergi ke Jombang. Di sana ia melihat jamaah yang mengikuti pengajian tidak terbatas pada orang biasa saja. Banyak pejabat dan polisi yang juga menjadi pengikut tarekat. Ini menurut Budi menjadi salah satu bukti bahwa Shiddiqiyah bukanlah ajaran terlarang dan sesat. Sebab kalau saja ia sesat maka sangat tidak mungkin ia bisa berkembang di kota seperti Jombang dan diikuti oleh masyarakat secara umum. Identitas Jamaah Tarekat Saat saya datang ke rumah seorang anggota tarekat, saya menemukan sebuah foto besar yang dibawahnya bertuliskan Syekh Muhammad Muchtar bin Abdul Mu'thi Muchtarullah Al-Mujtaba, Musyid Tarekat Shiddiqiyah. Saya mendekati foto itu dan menanyakan siapa beliau. Si empunya rumah menjelaskan bahwa itu adalah pimpinan pusat sekaligus pendiri tarekat Shidiiqiyah dari Jombang Jawa Timur. Di sisi foto tersebut ada foto lain, sekelompok orang berpakaian putih-putih bersorban juga putih berdiri berjejer. Di depan mereka duduk di kursi seorang yang sudah tua. Ia menjelaskan kalau itu ada fotonya bersama dengan sang Kiai saat ia pergi ke Jombang dan belajar terakat di sana. Di Wonodadi hanya ia yang pernah datang ke sana dalam waktu lama (6 bulan) sehingga sampai saat ini hanya ia yang bisa memimpin zikir kausaran yang diadakan di Wonodadi. Dari sisi penampilan luar, antara jamaah tarekat dengan bukan jamaah tarekat hampir tidak ada bedanya. Mereka sama-sama melakukan aktifitas seharihari sebagaimana biasanya. Identitas ketarekatan mereka kita peroleh saat masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah jamaah umumnya ada sebuah foto Kiai Mukhtar Lutfi yang dibingkai dan digantungkan di dinding. Beberapa rumah ada foto kenangan bersama sang Kiai saat mereka pergi berkunjung ke Jombang untuk mengikuti pengajian di sana. Setiap rumah yang dipasangi foto ini menunjukkan mereka sebagai bagian dari jamaah aterakt tersebut. Identitas lain adalah sebuah kaligrafi doa yang dibingkai digantung di pintu masuk rumah bagian dalam. Saat saya masuk ke sebuah rumah di sana saya mencoba memfoto doa yang berbingkai tersebut, namun empunya rumah melarangnya. Doa tersebut adalah identitas anggota yang sangat personal karena di dalamnya juga tercantum nomor keanggotaan tarekat penghuni rumah tersebut. Indentitas lainnya adalah sebuah kartu anggota berwarna kuning yang lengkap dengan foto dan keterangan laiknya sebuah kartu tanda penduduk. Kartu ini hanya berguna untuk pendataan anggota tarekat saja dan tidak dipakai untuk keperluan yang lain, seperti surat menyurat resmi dalam lain sebagainya. Dalam beberapa rumah anggota tarekat juga ada sebuah logo tarekat yang dibingkai dengan rapi. Gambar logo tarekat Shiddiqiyah dasarnya berwarna
268
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
kuning dengan beberapa tulisan arab di bagian atasnya. Gambar utama adalah sebuah pohon besar yang berbuah anggur yang tumbuh di antara dua warna lautan. Ini diartikan sebagai hakikat hidup anggota tarkat yang tumbuh dari “dua lautan” yakni Syariat dan Shiddiqiyah. Mereka mengibaratkan diri sebagai sebuah pohon yang berbuah manis (dalam gambar disimbolkan dengan buah anggur) yang berarti jamaah tarekat mesti menjadi orang yang dapat menghasilkan sesuatu yang baik untuk masyarakat dan menghidupi masyarakat untuk menjadi lebih baik dan lebih dekat kepada Tuhan. Di bagian bawah ada dua angka yang digandengkan yakni 1 (satu) dan 0 (nol). Kedua angka ini menunjukkan kesempurnaan, bahwa pada hakikatnya segala sesuatu adalah satu jua yakni Tuhan. Realitas yang ada saat ini adalah kosong belaka yang dilambangkan dengan nol. Ini adalah dasar pandang dunia jamaah Shiddiqiyah yang juga biasanya menjadi dasar pandang beberapa kelompok tarekat yang lain yang hidup saat ini, baik di Indonesia maupun di bagian dunia yang lain.
Gambar 1: Logo tarekat Shiddiqiyah yang digantung di dinding rumah anggotanya sebagai identitas keanggotaan Aktifitas dan Ajaran Tarekat Shiddiqiyah Secara umum saya membagi dua jenis aktifitas yang dilakukan oleh jamaah tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi; privat dan publik. Aktifitas privat adalah aktifitas yang menyangkut dengan kegiatan internal jamaah yang tidak diikuti oleh masyarakat umum. Kegiatan ini umumnya berhubungan dengan zikir pribadi dan kelompok, dan khalwat (mengasingkan diri untuk berzikir dan berdoa). Sementara yang publik adalah kegiatan yang dapat diikuti oleh semua masyarakat meskipun yang mengadakannya adalah jamaah tarekat. Dalam hal ini saya mencontohkan aktifitas mengumpulkan bantuan untuk korban bencana alam, bergotong-royong membangun gedung sekolah, membangun jalan dan rumah ibadah, dan lain sebagainya. Gubuk Zikir Salah satu aktifitas privat berupa zikir jamaah yang dilakukan dalam sebuah gubuk yang terletak di pertengahan perkebunan warga. Suatu pagi, saat saya datang pertama kali ke lokasi penelitian, saya melewati gubuk kecil tersebut. Di bagian pintu terlutis “Gubuk Zikir Shiddiqiyah.” Bangunan nampak sangat sederhana dengan tinggi dari tanah sekitar tiga meter, berbentuk bulat, dan berdiameter kurang lebih tiga meter. Di tengahnya ada seperti kamar berbentuk empat persegi. Di tiga sisinya ada jendela besar tanpa penutup. Di sisi bagain timur kamar dibuat sebuah pintu. Seluruh bangunan terbuat dari bambu dan diikat dengan tali rotan dan tali ijuk. Di bagian pinggirnya dipagari dinding setinggi 60 cm. Hanya ada empat tiang dasar yang dibuat dari semen di bawahnya. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
269
Selebihnya semuanya dari bambu dan beberapa kayu. Bangunan ini tidak dicat atau diwarnai dengan warna apapun, semuanya dibiarkan dalam warna aslinya. Di bagian dalam tengah ruangan tergantung sebuah bola lampu listrik pijar 25 watt. Selain itu ada juga beberapa lembar tikar yang dilipat. Bangunan ini adalah gubuk yang dipakai oleh Jamaah Tarekat Shiddiqiyah untuk melakukan zikir bersama.
Gambar 2: Gubuk Tarekat Shiddiqiyah di Wonodadi Dalam gubuk tersebut jamaah Shiddiqiyah melaksanakan kausaran, yaitu zikir rutin anggota tarekat yang dilaksanakan pada setiap rabu malam. Jamaah datang ke sana bersama-sama dengan membawa obor setelah shalat Isya di Masjid. Setiap jamaah memegang sebuah obor. Mereka berjalan bersama menuju gubuk zikir yang berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman. Pada kondisi tengah malam, di hutan, obor yang beriringan menggambarkan sebuah iring-iringan. Bagi jamaah Shiddiqiyah iring-iringan ini menggambarkan iring-iringan di dalam padang mahsyar di hari akhirat kelak. Lokasi yang jauh dari perkampungan dan berada di tengah hutan dimaksudkan untuk menjaga ketentraman bersama. Zikir tarekat Shiddiqiyah yang panjang dan bersuara besar-besar dikhawatirkan dapat menganggu warga lain yang akan istirahat di malam hari. Ketika berzikir, pimpinan zikir duduk di tengah ruangan bersama beberapa orang anggota tarekat “senior” lainnya. Sementara jamaah duduk di sekelilingnya dan mengikuti zikir yang dipimpin oleh pimpinan zikirnya. Pada awal kedatangannya, kausaran direncanakan pada setiap malam Jum‟at. Namun karena malam Jum‟at ada Jamiahan yaitu tahlilan umum yang dilakukan bergiliran di rumah warga, maka Kausaran dipindah menjadi malam Senin dan Malam Kamis. Namun menurut seorang narasumber saya, kalau lagi “malas” –saya tidak tahu apa arti kata ini- kausaran dilaksanakan satu kali saja dalam satu minggu, yaitu Rabu malam. Dan itu dilaksanakan pada rumah salah seorang anggota jamaah secara bergiliran. Dalam pelaksanaannya, tarekat ini jamaah membaca beberapa Surat dalam al-Qur'an, dengan urutan al-Ikhlas, al-Falaq, An-Nas, Alam Nasyrah, Inna Anzalna, al-Kautsar, Izaja’a, Al-‘Asr masing-masing tujuh kali. Kemudian dilanjutkan dengan shalawat masing-masing 30 kali atau 21 kali. Kemudian membaca tasbih (subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar) masing-masing 15 kali. Kemudian melakukan zikir (La Ilaha Illallah) sebanyak 120 kali atau 1000 kali jika mampu. Zikir ini ditutup dengan do‟a dan selesai. Umumnya zikir dilaksanakan selama dua jam dan dilakukan dengan suara keras.
270
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
Pelaksanaan kausaran Saat berada di lapangan saya mengikuti beberapa kali pelaksanaan kausaran yang diadakan oleh Jamaah Tarekat Shiddiqiyah. Saat saya berada di lapangan Wonodadi sedang musim hujan. Karenanya zikir dilakukan di rumah anggotanya, bukan di gubuk zikir seperti biasanya. Saya diundang oleh pimpinan terekat yang ada di Wonodadi, Pak Andi pada suatu malam setelah shalat Isya berjamaah di masjid. Malam itu kausaran dilaksanakan di rumah Pak Slamet. Rumah in terletak persis di belakang masjid. Saat saya datang, sudah ada beberapa orang di sana. Setidaknya ada 20 orang laki laki dan 10 orang permpuan. Mereka duduk melingkar di ruangan tamu. Beberapa orang duduk berlapis karena ruangan yang sangat kecil. Beberapa anak muda memegang buah tasbih dan terus mengihitungnya. Tidak jelas zikir apa yang mereka ucapkan, namun nampaknya mereka sedang melafazkan sesuatu dalam hati. Zikir umum dipimpin oleh Budi yang nampak masih sangat muda. Ia membaca sebuah pengumuman yang dikirim oleh pimpinan Majlis Siddiqiyah dari Pekalongan. Sekilas isi dari surat itu adalah dalam waktu dekat akan dilaksanakan pertemuan di Pekalongan sekaligus penyambut mursyid tarekat dari Jombang. Untuk keperluan ini panitia membutuhkan uang Rp. 12 juta. Kepada jamaah yang hendak membantu dapat memberikan kepada pengurus Shiddiqiyah yang ada di Wonodadi. Setelah selesai dengan pengumumannya, Budi mempersilahkan seorang jamaah senior, Pak Tahir memberikan tausiah singkat. Pak Tahir menjelaskan mengenai hakikat Tarekat Shiddiqiah. Tujuan utama dari Shiddiqiyah adalah mendapatkan keamanan dan ketentraman dalam kehidupan. Mula-mula kehidupan pribadi, keluarga, dan kehidupan masyarakat secara lebih besar yakni kehidupan bernegara. Untuk itu mereka menekankan pentingnya kehidupan yang aman ini. Shiddiqiyah akan siap membela negara jika diperlukan. Sebab kecintaan mereka pada perdamaian dan keamaan mendorong mereka melakukan yang terbaik untuk mewujudkannya. Untuk ini mereka membangun solidaritas antar jamaah dan umat Islam semuanya. Atas dasar alasan ini pula pada saat gelombang Tsunami menghancurkan Aceh tahun 2004, mereka memberikan doa 40 malam untuk keselamatan dan ketabahan bagi korban tsunami di Aceh. Hal yang sama juga mereka lakukan waktu gempa di Padang dan Yogyakarta. Selain itu ia juga menjelaskan bahwa pada dasarnya semua aliran dalam bergama adalah sama saja, yakni sama-sama mengajak kepada kebajikan. Bahkan semua agama yang ada di dunia mengajak kepada kebajikan. Setiap orang yang baik adalah mereka yang menjalankan ajaran agama dengan baik. Jadi apapun agama dan alirannya selama ia menjalankan dengan baik dan ikhlas, maka ia telah menjadikannya sebagai dasar untuk menyabarkan kebaikan. Sebab kabajikan pada akhirnya akan dinilai oleh Allah, bukan oleh manusia. Pak Tahir menegaskan bahwa mereka, penganut Siddiqiyah “memegang dua lautan” yaitu Syariat dan Shiddiqiyah. Syariat adalah dasar agama yang harus diikuti oleh semua orang yang telah mengaku sebagai Islam. Ini semua sama, di Aceh, di Jawa, di Sulawesi, sama saja. Selama seseorang berpegang pada syariat maka ia akan menjalankan ajaran agama dengan baik. Sementara tarekat adalah ajaran yang mengedepankan kedamaian dan cinta sesama. Dengan tarekat mereka ingin kehidupan yang aman dan damai bagi sesama dalam lingkungan dan alam sekitarnya. Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
271
Setelah memberikan penjelasan ini maka mulailah dilaksanakan zikir yang dipimpin oleh Budi. Zikir diawali dengan kalimat-kalimat dalam bahasa Arab yang dilafalkan bersamaan antara Budi dan jamaah semuanya dengan suara keras. Bacaannya persis seperti apa yang telah saya jelaskan di atas, yaitu salawat, suratsurat dalam al-Qur‟an dan do‟a. Mereka nampak khusyuk dalam melafalkan zikir tersebut dan larut dalam bacaannya. Sejak dimulai sampai akhir mereka menghabiskan waktu selama satu jam sepuluh menit. Setelah selesai tuan rumah menghidangkan teh kepada jamaah yang hadir. Teh yang telah dimasukkan dalam gelas dibagikan kepada jmaah satu persatu. Kemudian diberikan beberapa ember plastik yang berisi kerupuk. Kerupuk yang berjalin ini adalah kerupuk yang biasa dijual di warung. Selain itu dihidangkan nasi putih dalam beberapa piring. Nasi itu untuk dimakan bersama kerupuk yang telah disediakan sebelumnya. Menurut seorang yang duduk di sampaing saya, makanan yang dihidangkan setelah selesai zikir itu dibebankan kepada tuan rumah. Tidak ada ketetapan mengenai apa makanan dan minuman tersebut, semuanya terserah tuan rumah. Ajaran Pokok Tarekat Shiddiqiyah Saya mendapatkan informasi mengenai ajaran pokok tarekat Shiddiqiyah dari beberapa orang yang ada di tempat penelitian saya dan menambah beberapa informasi tersebut dengan data yang saya dapatkan dari situs internet yang dikelola oleh kantor pusat tarekat Shiddiqiyah di Jombang, Jawa Timur. Ada beberapa aspek ajaran tareqat yang diyakini oleh jamaah Shiddiqiyah, yaitu: 1. Bersyukur atas apa yang ada Ajaran pertama tarekat Shiddiqiyah adalah bersyukur atas apa yang ada, apa yang diberikan Tuhan kepada manusia, atau apa yang dimiliki. Kalau saat ini seseorang masih miskin dari sisi harta benda, maka itu berarti memang Tuhan menghendakinya miskin dan menganggap ia belum pantas untuk mendapatkan kekayaan. Tuhanlah yang mengatur kehidupan manusia. Kalau manusia menggugat apa yang ia peroleh dari pemberian Tuhan, maka ia berarti menggugat Tuhan. “Mana mungkin manusia menggugat Tuhan padahal Tuhan jauh lebih tinggi dari manusia itu sendiri?”. Ini adalah aspek yang berat, sebab manusia cenderung ingin mendapatkan sesuatu yang lebih banyak dari apa yang diutuhkannya bahkan ia memiliki kehendak lebih tinggi dari apa yang ia mampu lakukan. 2. Kesetiaan Penganut tarekat juga meyakini bahwa dunia sudah “tenggelam dalam lautan api”. Hal ini terlihat dalam berbagai praktek korupsi, kolusi, dan berbagai bentuk praktek keji lainnya. Hal ini semua menunjukkan kalau manusia sudah jauh tenggelam dalam lautan tersebut. Memperbaikinya adalah dengan memperbaiki akhlak dan mempertahankan hati dari berbagai godaan duniawi. Shiddiqiyah membangun kesetiaan yaitu kesetiaan hati, kesetiaan kepada saudara kandung, kesetiaan kepada tetangga terdekat, lingkungan, dengan perangkat dusun, desa dan kesetiaan pada negara. Hal ini merupakan dasar bimbingan bagi ajaran tarekat Shiddiqiyah yaitu cinta tanah air.
272
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
Kesetiaan pada tanah air ini diwujudkan pula dalam keterbukaan dalam cara pandang. Jamaah Shiddiqiyah memandang bahwa agama pada dasarnya baik semuanya. Demikian juga dengan berbagai aliran yang ada dalam sebuah agama. Yang salah dan berdosa itu adalah orang yang ada dalam agama tersebut tidak melaksanakan ajaran agama dengan benar. Shiddiqiyah tidak melepaskan diri dai kalimat lailahaillallah, dan memasukkan kalimat ini dalam hati. Usaha ini dilakukan dengan berusaha merubah diri dan akhlak menjadi lebih terpuji. Hal ini bisa dilakukan dengan melaksanakan puasa selama 4 atau 7 hari sehingga kalimah lailahaillallah bisa masuk dalam hati. Proses ini adalah proses paling awal dalam tarekat Shiddiqiyah yang dikenal dengan Jahar. Proses ini akan semakin berlanjut dan bertingkat sampai pada tingkatan 40. Seorang narasumber saya mengatakan ia tidak tahu bagaimana rasanya sampai pada tingkat 40 itu. Bahkan di Wonodadi belum ada orang yang sampai ke tingkat itu. “Kalau di Lebak Barang sudah ada,” katanya, tanpa menyebutkan siapa yang ia maksud. 3. Zikir untuk kedamaian hati Zikir yang selalu dilakukan akan menjadikan kehiduapn sehari-hari lebih tenang dan damai. Zikir juga menjadikan hubungan antar sesama anggota tarekat dan hubungan dengan orang lain menjadi leih baik. Seseorang yang mengikuti zikir akan merasa lebih tenang dan damai dalam hatinya dan akan damai pula dalam kehidupan pribadinya sehari-hari. Zikir bisa dilakukan bersama-sama setelah selesai shalat dan melakukan kausaran pada malam yang telah disepakati bersama. Namun yang paling baik adalah zikir yang dilakukan sendiri baik setelah selesai shalat maupun saat melakukan aktifitas sehari-hari. Sebab zikir dalam hati bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja tanpa harus menyediakan waktu khusus dan tempat khusus pula. 4. Ukhwah antar Jamaah Ajaran lain yang penting dalam Shiddiqiyah adalah kekompakan dalam membangun fasilitas bersama. Jamaah dari Wonodadi pernah datang ke Magelang untuk membantu cor pembangunan Pusat tarekat Shiddiqiyah Jami‟atul Muzakkkirin. Mereka datang ke sana dengan menumpang sebuah “doplak” yaitu mobil L300 pickup. Pergi jam enam petang sampai di sana jam enam pagi. Siang harinya bekerja dan sore harinya pulang kembali ke Wonodadi dengan doplak yang sama. Ini semua dilakukan sebagai wujud solidaritas untuk pembangunan fasilitas bersama yang dapat digunakan untuk kepentingan umat Islam. Selain itu jamaah Shiddiqiyah idealnya harus memiliki banyak santunan. Santunan bisa saja dalam bentuk uang dan materi, bisa pula dalam wujud dukungan spiritual dan semangat. Ketika terjadi gempa besar di Aceh, Padang, Yogyakarta, jamaah Shiddiqiyah di Wonodadi berdoa selama 40 hari berturutturut untuk korban bencana alam tersebut. Doa ini bertujuan untuk meminta kepada Allah agar orang yang meninggal dunia dalam gempa tersebut bisa mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah, sementara orang yang masih selamat mendapatkan semangat dan kebaikan dalam hidupnya. Ajaran-ajaran tarekat itu terimplikasi dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana ajaran agama yang lain. Oleh sebab itu seseorang yang melakukan korupsi dianggap tidak beragama. Sebab seseorang yang beragama tidak mungkin melakukan praktek korupsi. Dalam hatinya ada iman dan kepercayaan bahwa Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
273
Allah menyaksikan apa yang dia lakukan. Kalau ia melakukan korupsi sebagai seubah perilaku tercela dan merugikan banyak orang, berarti ia telah melupakan bahwa Allah menyaksikannya. Kalau ia telah melupakan Allah, maka berarti ia tidak lagi memiliki Tuhan dan ini berarti ia tidak beragama. Tuduhan Aliran Sesat Sebagai sebuah kelompok baru dan berbeda dengan kebanyakan orang beragama yang lain, maka kelompok tarekat Shiddiqiyah ini pernah dituduh sebagai aliran sesat oleh sebagai warga Wonodadi yang lainnya. Meskipun secara jelas tidak diketahui siapa yang menuduhnya sesat, namun berita tentang kesesatan itu sering didengar. Demikian pula yang sering dikemukakan oleh beberapa kiai yang datang ke Wonodadi untuk memberikan ceramah dan pemahaman agama, ia menjelaskan bahwa tarekat itu tidak ada dalam Islam sehingga ia bid’ah dan tidak boleh diikuti. Seorang warga yang saya temui memang mengaku kalau ia bukan jamaah Shiddiqiyah dan tidak tertarik mengikuti tarekat itu. Namun ia juga mengaku kalau ia bukan seorang muslim yang baik. Ia tidak bisa shalat dan membaca al-Qur‟an. Akan tetapi ia mengatakan kalau jamaah Shiddiqiyah pernah –dan ada banyak orang di Wonodadi yang percayadianggap sesat oleh beberapa kiai yang datang ke sana. Bagi jamaah Shiddiqiyah, tuduhan sesat kepada jamaah tarekat itu laksana orang masuk ke dalam rumah gelap gulita. Seorang pemilik rumah yang sudah tinggal di sana dalam waktu lama sudah tahu bagaimana dan di mana posisi apapun dalam rumah itu. Meskipun dalam suasana gelap ia tahu di mana pintu untuk keluar, dapur, kamar mandi dan lain sebagainya. Hal ini bebeda dengan orang yang belum pernah masuk ke rumah tersebut. Meskipun ia adalah seorang ahli bangunan dan memahami seluk-beluk sebuah rumah, ia tetap tidak bisa menguasai rumah itu. Ia tidak tahu jalan keluar dan berbagai peralatan yang ada di dalam rumah. Orang inilah yang mengatakan kalau rumah itu tidak bagus, atau tidak sesuai dan berbagai hal yang lain. Padahal ia tidak mengenal rumah yang dimaksud dan baru pertama kali masuk ke sana. Infiltrasi Tarekat dalam aktifitas keagamaan yang lain Seperti saya jelaskan di atas bahwa tidak semua masyarakat Wonodadi menjadi bagian dari jamaah tarekat Shiddiqiyah yang berkembang di sana. Beberapa orang diantara warga menolak kehadiran jamaah ini karena beberapa alasan. Saya menjumpai salah seorang warga yang tidak setuju dengan perkembangan tarekat yang ada di dusunnya. Nama beliau Pak Kumis yang membangun rumah di bagian paling utara dusun Wonodadi. Seperti warga lainnya, ia seorang petani dan memelihara beberapa ekor ternak sapi. Pada pagi dan sore hari ia mengambil air aren untuk dimasak menjadi gula Jawa dan dijual pada pedagang yang datang ke sana setiap minggu. Bagi Pak Kumis, keberadaan jamaah Shiddiqiyah di dusun Wonodadi dipandang sebagai sebuah agama baru yang dianut oleh masyarakat. Padahal menurutnya, agama masyarakat di sana hanyalah Islam dan tidak ada yang namanya Shiddiqiyah. Kalau ada yang lain yang masuk ke dusun tersebut maka itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sudah berkembang sebelumnya dan tidak benar. Menurutnya banyak orang yang ikut dalam jamaah Shiddiqiyah pada dasarnya mereka yang tidak paham dengan apa yang mereka ikuti. Mereka ikut-
274
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...
ikutan saja tanpa paham apa yang mereka kerjakan. Pak Kumis sendiri melihat apa yang dilakukan Shiddiqiyah tidak sesuai dengan Islam. Misalnya dalam ajaran Shiddiqiyah dikatakan kalau melakukan puasa empat hari maka akan langsung masuk surga. Ajaran lain, kalau mau masuk Shiddiqiyah juga harus puasa empat hari atau tujuh hari. Ini bukanlah ajaran Islam dan tidak ada ajaran Islam yang demikian, kata Pak Kumis. Pun demikian ia sendiri mendiamkan saja masalah ini, karena baginya persoalan agama adalah pilihan masing-masing orang. Orang tersebut akan mempertanggungjawabkan pilihannya kepada Allah di akhirat kelak. Pak Kumis dan beberapa orang lain yang menolak tarekat Shiddiqiyah yang berkembang di Wonodadi tetap juga mengikuti aktifitas keagamaan yang di dalamnya dibacakan zikir tarekat. Hal ini terlihat dalam tradisi jamiahan yang dilakukan masyarakat. Jamiahan adalah tahlilan bersama yang dilakukan setiap malam Jum‟at yang diikuti oleh warga Wonodadi. Zikir ini dipimpin oleh Pak Andi yang tidak lain adalah pimpinan tarekat di dusun yang sama. Saya mendengar zikir untuk tahlilan yang digunakan oleh Pak Andi juga digunakan untuk acara Kausaran dengan beberapa perubahan dan penyesuaian. Namun demikian secara substansi, zikir yang dibacakan tidak jauh berbeda dengan zikir tarekat. Padahal jamaah yang mengikuti Jamiahan bukanlah jamaah tarekat, tetapi masyarakat umum yang ada di sana. Jadi meskipun beberapa warga menolak kehadiran tarekat di dusun mereka, namun mereka tetap mengikuti aktifitas keagamaan yang dipimpin oleh jamaah tarekat dan mengikuti pula zikir yang dilakukannya. Kesimpulan Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tarekat Shiddiqiyah yang hidup dalam masyarakat Wonodadi sebagai bagian dari kehidupan keagamaan dan sosial mereka. Berbagai pengaruh modernitas yang disiarkan televisi tidak serta merta dapat menggeser peran tarekat dalam kehidupan masyarakat Jawa Pedesaan. Tarekat justru menjadi tempat di mana mereka mendapatkan ketengangan batin dan semangat untuk berusaha dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Lebih jauh, dalam masyarakat Jawa pedesaan, tarekat menjadi media pemersatu dan pembina hubungan sosial diantara mereka untuk kehidupan bersama yang lebih baik.
Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 2, Oktober 2012
275
DAFTAR KEPUSTAKAAN Abd Syakur, Disertasi, “Gerakan Kebangsaan Kaum Tarekat: Studi Kasus Tarekat Shiddiqiyah Pusat Losari, Ploso, Jombang Tahun1975-2006, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008. Ahmad Syafi‟i Mufid, Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Jakarta: Yayasan Obor, 2006. Alwi Shihab, Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001. Endang Turmudi, Struggling for the Umma Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang, East Java, Australia: ANU E-Press, 2006 . Hasan, Sudirman, dalam http://sudirmansetiono.blogspot.com/2009/05/origin-oftarekat-sidiqiyya.html Bruinessen, Martin van,. "Pesantren and kitab kuning: maintenance and continuation of a tradition of religious learning", in: Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the islands. Oral and written traditions of Indonesia and the Malay world [Ethnologica Bernica, 4]. Berne: University of Berne, 1994. -----
, “Tarekat Qadiriyah dan Ilmi Syeikh Abdul Qadir Jeilani di India, Kurdistan dan Indonesia,” dalam Ulumul Qur’an vol. 2 No. 2. Jakarta: LSAF, 1989.
Hamid Nasuhi, “Tasawuf dan Gerakan Tarekat di Indonesia Abad 19,” dalam Amsal Bakhtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, Bandung: Angkasa, 2003. Julia Day Howell, “Sufism and the Indonesian Islamic Revival”, The Journal of Asian Studies 60, no. 3, August 2001. Karel A Steenbrink, Beberapa Aspek Islam di Indonesia Abad ke -19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Martin van Bruinessen, "Origins and development of the Sufi orders (tarekat) in Southeast Asia", Studia Islamika, , vol. I, no.1, 1994, Jakarta: Pusat Studi Islam dan Budaya, 1994. Sehat Ihsan Shadiqin, “Fatwa Sesat dan Pentingnya Dialog,” Harian Serambi Indonesia, 3 Desember 2009. -----Tasawuf Aceh, Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2002. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3S, 1985.
276
Sehat Ihsan Shadiqin: Tariqat Shiddiqiyah dalam masya rakat Jawa ...