TAPAK-TAPAK KEBERDAYAAN KELUARGA MISKIN PEDESAAN (1) Oleh I.H.Subandi Emil:
[email protected]
Memberdayakan keluarga miskin adalah bagaimana mengupayakan agar masyarakat miskin bisa produktif, memiliki penghasilan lebih baik, bisa menabung, dan lebih bermartabat sehingga bisa meningkatkan status sosialnya.
Banyak keluarga di pedesaan ternyata lebih bermartabat dalam mensikapi program pemerintah terkait pembangunan infrastruktur dengan kerja padat karya. Bekerja melalui padat karya lebih bermartabat dibandingkan hanya dibelaskasihi seperti menerima program bantuan langsung tunai. Kenyataan ini terungkap saat penulis berdialog langsung dengan warga dalam kegiatan pembangunan
infrastruktur
pedesaan
yang
di
jalankan
penduduk
desa
Daha
Barat
Kabupaten Hulu Sungai Selatan provinsi
Kalimantan
Menurut
Selatan.
masyarakat
tergabung keswadayaan
dalam
yang lembaga
masyarakat
di
lokasi ini, memandang bahwa bekerja,
memiliki dampak pembelajaran bagi generasi mendatang. Disamping itu hasil
pekerjaan yang dilakukan memiliki bukti nyata. Seperti membuat jalan melalui titian ulin ataupun jalan usaha tani memiliki dampak luas bagi keluarga. Pernyataan keluarga pedesaan Daha barat ini menjadi contoh keberdayaan keluarga miskin dalam mensikapi kehidupan di pedesaannya terhadap berbagai program yang telah diterimanya. Mungkin ini juga terjadi di wilayah
lain.
Inikah
yag
disebut
keberdayaan
keluarga
miskin
pedesaan
dengan
mengembalikan dan membangun mentalitas serta martabat keluarga menjadi tapak-tapak pertama tulisan ini. 1
Kesalahan Mengukur Keluarga Miskin. Seringkali kita tidak sadar dalam memfasilitasi masyarakat pedesaan selalu mempersepsi masyarakat yang tidak memiliki potensi, tidak memiliki akses, tidak memiliki budaya, tidak memiliki kekuatan untuk bangkit, tidak memiliki kemampuan dan artikulasi problemnya, tidak layak menerima informasi apapun, bahkan tidak memiliki martabat untuk merubah kinerjanya kearah lebih baik. Persepsi ini yang membelenggu seorang pejabat ataupun fasilitator dengan membawa segepok teknokratik
resep
dan
seperti
menu remote
yang untuk
memberjalankan apa mauanya kita saja. Persoalan ini juga diperparah akibat kesalahan penggunaan indikator dan parameter yang digunakan dalam mengukur tingkat kemiskinan. Jika ini kita biarkan maka akan memberikan hasil yang berbeda, baik dengan sengaja maupun untuk maksud tertentu.
Untuk merubah persepsi ini mari kita ajak untuk mengenal lebih jauh contoh rumus menghitung tingkat kemiskinan di Indonesia yang diukur mulai jaman Soeharto sampai SBY, apakah konsisten atau tidak dan apakah masih sesuai atau tidak adalah sbb:
Y = a + b X1 + cX2 + d X3 + eX4 + fX5 + gX6 dimana: Y
= Tingkat Kemiskinan
a
= Tingkatan pendapatan harian/bulanan rata-rata keluarga
X1
= Kemampuan menyediakan makanan yang layak kepada keluarga ( 3 X sehari)
X2
=Kepemilikan dan kualitas rumah tinggalnya. (Rumah sendiri/bukan, lantai tanah/semen, dll)
X3
= Transportasi untuk mobilitas sehari-hari baik untuk kegiatan ekonomi,
2
sekolah anak dll. (ongkos transport publik, kendaraan sendiri dll) X4
=Ketersediaan pelayanan kesehatan dan kemampuan memanfaatkannya bila dibutuhkan
X5
= Ketersediaan dan kemampuan menyekolahkan anak sd tingkat SLTA (sebaiknya sd PT.)
X6
= Kepemilikan lahan bagi para petani atau alat penangkapan ikan bagi Nelayan. (memiliki faktor produksi utama atau pekerja/kontrak)
Seringkali orang atau lembaga penelitian mengukur kemiskinan saat ini hanya dari tingkat pendapatan keluarga harian atau bulanan (a), dengan menentukan parameter keluarga miskin bila berpengahasilan harian sebesar equivalen US 1 sd US 2 per hari, dengan nilai kurs US1 = Rp. 9.500 berarti Rp.9.500,- sd Rp. 19.000,- per hari atau Rp. 285.000 sd Rp. 570.000,-. Ini adalah manipulasi data tingkat kemiskinan yang bersifat pembodohan bila tidak digabungkan dengan indikator dan parameter kemiskinan yang lain.
Di Indoensia untuk tingkat upah sudah diterapkan Upah Minimum, baik tingkat Regional yang berbeda-beda maupun Nasional. Jika kita menggunakan UMR atau UMN ini sebagai Indikator dan Parameter mengukur kemiskinan, maka kita dengan sendirinya bisa berkata “semua keluarga yang tingkat pendapatan bulanannya dibawah UMR atau UMN adalah keluarga Miskin”. Oleh karenanya diperlukan kehati-hatian dalam melakukan pembenaran atas kondisi yang nyata di masyarakat kita. BPS 2005; indikator pemerintah menetapkan sebanyak 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) yang menjadi RTS penerima BLT. Ada beberapa pendekatan yang menjadi indikator RTM, misalnya penghasilan satu dolar AS per hari atau dua dolar AS per hari, penghasilan Rp 600.000 per bulan, atau kondisi rumah dan kondisi kecukupan gizi. Berdasarkan data nelayan dan masyarakat pesisir pada 2002, yang miskin 32% dari 16 juta KK nelayan, jika indikatornya 1 dolar AS per hari. Sedangkan, jika indikatornya 2 dolar AS per hari, nelayan miskin sekitar 60% dari 16 juta KK nelayan. "Itu data tahun 2002. Nah kalau data 2008 pasti telah melampaui yang sekarang ini.
3
Bantuan Langsung Tunai Di Pedesaan vs Infrastruktur Pedesaan Bantuan langsung tunai yang diterima keluarga miskin di pedesaan hanya layak diberikan kepada janda–janda dan duda-dua yang jompo, maupun keluarga fakir yang cacat fisik, cacat mental saja sehingga lebih tegas dan jelas dibandingkan dengan kinerja indikator seperti di atas. Sedangkan bagi keluarga yang miskin lebih diubah menjadi bantuan langsung tanah, melalui reforma agraria akan lebih berdaya dan meninggalkan tapak – tapak keberdayaan yang nyata dan berkesinambungan
sebagai
tugas
pemerintah. Kalau tidak mungkin memberikan bantuan tanah, maka bisa memberikan kesempatan pada keluarga miskin untuk menggarap tanah negara menjadi lahan pertanian. Sehingga, keluarga miskin bisa memiliki pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik, bisa produktif, memiliki penghasilan lebih baik, dan bisa menabung, sehingga bisa meningkatkan status sosialnya. "Program pemberdayaan itu dilakukan melalui padat karya, bukan diberikan uang tunai. Nah, infrastruktur pedesaan yag dibangun di pedesaan memberikan nilai lebih bagi penciptaan martabat keluarga lebih baik dengan bekerja secara berkelompok di setiap dusunnya yang menjadi prioritas peningkatan sosial ekonomi keluarga di setiap wilayah yang ada. Perbedaan pendekatan boleh-boleh saja namun mari kita melihat dampak yang ditimbulkan menurut
di
setiap
desa.
kemanfaatannya
berdasarkan
hasil
70
program
Dan % P2D
tahun 2002 dinyatakan merasakan kepuasan dan bisa mendayagunakan infrastruktur yang telah masyarakat bangun. Contoh lain adalah program Muhamad Husni Thamrin di DKI yang selalu
diperbaruhi
dan
dijalankan 4
sejak tahun 97 adalah bukti nyata nilai dampak bagi perbaikan keluarga miskin di perkotaan maupun pedesaan lebih baik kondisinya. Data Dan Informasi Kemiskinan Yang Akurat Dan Tepat Sasaran Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran menjadi tapak keberdayaan keluarga miskin pedesaan yang pertama. Seringkali kesalahan sistem keluarga miskin pedesaan semakin tidak berdaya. Sistem pengorganisasian data keluarga miskin bisa untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat
nasional,
tingkat
kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas. Sampai
sekarang
kita
memulai
siapapaun
dan
harus jabatan
apapun yang kita miliki selayaknya melakukan kajian faktor penyebab proses
terjadinya
kemiskinan
atau
pemiskinan
dan
indikator-indikator
dalam
pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Selain
itu
kita
wajib
mengingatkan dan memfasilitasi pemerintah
kabupaten/kota
mengembangkan sendiri sistem pemantauan
kemiskinan
di
daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang dengan melibatkan
integrasi
berbagai
disiplin ilmu dan keahlian seperti ilmu sosiologi, ilmu antropologi, regional planning dan lainnya. Mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten menjadi strategis dengan mendesain mekanisme pengumpulan data yang berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat terus menerus harus dikembangkan. Jadikan keluarga miskin pedesaan
menjadi
pelaku
sistem
sendiri.
Mengembalikan
martabat
keluarga
di
5
pedesaaan dan perkotaan dengan cap miskin dan bangga di cap miskin harus dirubah menjadi malu menjadi miskin. Maka diperlukan gerakan menjadikan keluarga yang kaya dari berbagai aspek kehidupan.(BA)
6