KEBERDAYAAN KELUARGA MISKIN DI PERKOTAAN DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAANNYA (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)
AGUS SJAFARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Keberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan dalam Meningkatkan Kesejahteraannya (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)”, karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Agus Sjafari NRP: P061050101
ii
ABSTRACT AGUS SJAFARI. The State of Empowerment for Urban Poor Families in Improving Their Welfare (Case in North Jakarta and Bekasi). Under the supervision by SUMARDJO, PANG S ASNGARI, and DARWIS S. GANI. Development activity of urban areas growth together with the development in the region, increasingly become an attraction for local people to do tremendeous urbanization. The process of urbanization in the regional community without the knowledge and skill levels are adequate, would plunge them into a marginal life. This situation with the level of living is very high competition, most of whom live in poverty. Most of them live in the flood plain of times, under bridges, on the outskirts of railroad tracks and in other slum areas. These communities were classified, and categorized as poor. In most poor families who originated from conditions are also poor. This research aims are: (1) Describe and analyze the state of empowerment in North Jakarta and Bekasi, (2) Describe and analyze the influence of group characteristics and empowerment interventions to empower poor families in North Jakarta and Bekasi in improving family welfare, (3) Describe and analyze the influence of individual characteristics, family resources, social environment, and empowerment interventions to the state of empowerment families in North Jakarta and Bekasi, (4) Describe and analyze the influence of the state of empowerment Families to the welfare of poor families in North Jakarta and Bekasi, and (5) Describe and analyze families resource development program and group empowerment program implementing. Results from this research show that the state of empowerment families is low level. Individual characteristics has not influence to the level of empowerment families. Group characteristic, family resources, social environment, and the intervention has significant influence on the state of empowerment families.The state of empowerment families has significant influence on family welfare. Strategy that can be used to improve the state of empowerment families is by implementing families resource development program and group empowerment program. Keywords: Group Characteristic, The State of Empowerment, Poor Families Welfare
iii
RINGKASAN AGUS SJAFARI, 2010. Keberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan dalam Meningkatkan Kesejahterannya (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi). Dibimbing oleh: SUMARDJO, PANG S. ASNGARI, dan DARWIS S. GANI. Pembangunan wilayah perkotaan yang begitu pesat dibandingkan dengan pembangunan di daerah, semakin menjadi daya tarik masyarakat daerah untuk melakukan urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi masyarakat daerah tanpa dibekali dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, berpotensi menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang marginal. Melalui tingkat persaingan hidup yang sangat tinggi di perkotaan, menyebabkan sebagian dari mayarakat tersebut hidup dalam garis kemiskinan. Sebagian dari keluarga miskin di perkotaan tinggal di bantaran kali, di bawah jembatan, di pinggiran rel kereta api serta di daerah-daerah kumuh lainnya. Masyarakatmasyarakat tersebut digolongkan dan dikategorikan sebagai keluarga miskin miskin di perkotaan. Pada sebagian masyarakat perkotaan yang tergolong miskin tersebut berawal dari kondisi keluarga yang tidak memiliki keberdayaan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menjelaskan dan Menganalisis keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya; (2) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya; (3) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik individu, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi; (4) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi; dan (5) Merumuskan strategi pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Penelitian dilaksanakan di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, khususnya di kecamatan yang masyarakatnya terdapat kelompok keluarga miskin. Penelitian ini menggunakan kombinasi jenis penelitian eksplanatorikorelasional dan penelitian partisipatori. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan penarikan sampel secara berkelompok atau Cluster Random Sampling sebanyak 306 orang. Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang digunakan adalah path analysis (analisis jalur). Beberapa kondisi peubah yang ada pada keluarga miskin perkotaan adalah sebagai berikut: Karakteristik individu responden dapat dilihat dari tingkat pendidikan formal (57 persen) dan tingkat pendidikan non formal (65 persen) termasuk dalam kategori rendah. Rata-rata usia responden sebanyak 65 persen berada pada usian 36 – 50 tahun. Jumlah tanggungan keluarga sebanyak 80
iv
persen memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 – 6 orang. Kondisi lingkungan sosial (rataan 49), sumber daya keluarga (rataan 49), intervensi pemberdayaan (rataan 64), dan keberdayaan keluarga (rataan 65) termasuk dalam kategori rendah. Namun kondisi karakteristik kelompok termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 66. Tingkat kesejahteraan keluarga miskin di perkotaan ditandai dengan kemampuan mengelola keuangan keluarga (rataan 16), tingkat pendapatan keluarga (rataan 18), pemenuhan kebutuhan sekunder (rataan 26), pemenuhan kebutuhan tertier (rataan 27), pemenuhan kebutuhan dasar (rataan 28) termasuk dalam kategori rendah. Namun kesinambungan usaha keluarga miskin di perkotaan termasuk dalam kategori sedang dengan rataan sebesar 67. Hasil perhitungan koeefisien regresi antara peubah kerakteristik individu terhadap keberdayaan keluarga menunjukkan hanya indikator pendidikan formal yang berpengaruh meningkatkan keberdayaan keluarga sebesar 0,12, sedangkan indikator lainnya seperti pendidikan non formal (0,02), usia (0,01), dan jumlah tanggungan keluarga (0,08) tidak berkontribusi dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Karakteristik kelompok menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,13. Artinya, semakin tinggi aktivitas yang ada pada kelompok memberikan kontribusi dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Pada sisi lain intervensi pemberdayaan menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,14. Hal ini berarti bahwa semakin intensif aktivitas intervensi pemberdayaan terhadap keluarga miskin semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin tersebut di perkotaan. Sumber daya keluarga (X3) menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin besar sumber daya keluarga semakin besar pula keberdayaan keluarga di perkotaan. Lingkungan sosial (X4) menunjukkan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di perkotaan yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kondusif lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin semakin pula keberdayaan keluarga miskin. Di kedua wilayah perkotaan tersebut (Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi), Keberdayaan keluarga (Y1) menunjukkan pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) yaitu sebesar 0,47; artinya, semakin besar keberdayaan keluarga miskin maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: (1) Kondisi keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah rendah dengan rataan sebesar 65 pada interval 0 sampai dengan 100. (2) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dipengaruhi oleh rendahnya karakteristik kelompok dan lemahnya intervensi pemberdayaan keluarga miskin. Karakteristik kelompok dalam kategori rendah ditandai dengan kondisi antara lain: rendahnya kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok, sedangkan intensitas komunikasi kelompok dalam kategori sedang.
v
Rendahnya intervensi pemberdayaan keluarga miskin ditandai dengan kurang tepatnya proses pemberdayaan, kurang jelasnya kewenangan dalam pemberdayaan, dan rendahnya dukungan fasilitasi. (3) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut juga dipengaruhi oleh lemahnya karakteristik individu, kurang kondusifnya lingkungan sosial, serta rendahnya sumber daya keluarga. Rendahnya karakteristik individu ditandai dengan kondisi antara lain: rendahnya tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan non formal; Ratarata usia responden sebanyak 65 persen berada pada usian 36 – 50 tahun; Jumlah tanggungan keluarga sebanyak 80 persen memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 – 6 orang. Kurang kondusifnya lingkungan sosial ditandai dengan kondisi antara lain: ketersediaan sumber daya ekonomi, peran media massa, peluang kemitraan, dukungan jaringan usaha dan pengaruh kultural dalam kategori rendah, sedangkan ketersediaan sumber daya sosial dan dampak negatif kebijakan dalam kategori sedang. Rendahnya sumber daya keluarga ditandai dengan rendahnya sumber daya fisik dan sumber daya non fisik keluarga. (4) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di perkotaan mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin. Rendahnya keberdayaan keluarga miskin ditandai dengan kondisi antara lain: tingkat adaptasi, tingkat pencapaian tujuan, dan tingkat latensi dalam kategori rendah, sedangkan tingkat integrasi pada kategori sedang. Rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin di perkotaan ditandai dengan rendahnya kemampuan mengelola keuangan keluarga, tingkat pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan sekunder, pemenuhan kebutuhan tertier, pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesinambungan usaha dalam kategori sedang. (5) Strategi program pemberdayaan keluarga miskin di perkotaan dalam meningkatkan keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah melalui implementasi strategi program pengembangan sumber daya keluarga baik sumber daya yang berupa sumber daya fisik maupun sumber daya non fisik. Cara mengimplementasikan strategi program pemberdayaan keluarga menekankan kepada pendekatan kelompok.
vi
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa Mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk Kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan Laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan Tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau Karya tulis Dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vii
MOTTO: AL QUR AN SURAT 13 (AR RA’D) AYAT 11: ”sesungguhnya Allah SWT akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.”
“ sebaik-baiknya manusia diantaramu adalah manusia yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia yang lain.” (HADIST RIWAYAT BUKHORI)
ALQUR AN SURAT AN NASYR AYAT 6: “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.”
viii
KEBERDAYAAN KELUARGA MISKIN DI PERKOTAAN DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAANNYA (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)
AGUS SJAFARI
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ix
Judul Disertasi
: Keberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan Dalam Meningkatkan Kesejahteraannya (Kasus di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi)
Nama
: AGUS SJAFARI
NRP
: P061050101
Program Studi
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Pang S. Asngari Anggota Komisi
Prof. Dr.Ir. H. Darwis S. Gani, MA. Anggota Komisi
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir.Hj.Siti Amanah,M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.
Tanggal Ujian: 2 Agustus 2010
Tanggal lulus:
x
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karuniaNya berupa nikmat iman dan ilmu pengetahuan, sehingga naskah disertasi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Berkat bimbingan dan arahan dari komisi pembimbing antara lain: Prof.Dr.Ir. Sumardjo, MS., Prof.Dr.Ir.H. Pang S. Asngari, serta Prof.Dr.Ir.H. Darwis S. Gani, MA, dengan tulus, sabar dan perhatian yang tiada terhingga dalam membimbing, sejak penyusunan rencana penelitian sampai dengan penyelesaian naskah disertasi ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan semoga semua kebaikan dan keikhlasan semua pembimbing menjadi amal baik, bernilai ibadah dan Allah SWT membalas dengan syurgaNya Amin. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan pula kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana yang telah memberi kesempatan menempuh studi di IPB. Terimakasih dan hormat penulis yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, dan Dr.Ir.Hj. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan beserta staf yang telah banyak memberikan pelayanan administrasi akademik dan kemahasiswaan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada seluruh dosen di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah membantu dan memberi kontribusi ilmu pengetahuan selama penulis menempuh pendidikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Prof. Gindo S. Sitorus, MM., Prof. Dr. Soebagyo MPA, dan Dr. Sri Widji Mulyono, M.Sc. yang telah memberi rekomendasi kepada penulis untuk dapat belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Asnawi Syarbini, MPA yang juga memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa (on going) dari Dikti sehingga sangat membantu menyelesaikan studi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada yang terhormat Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Para Pembantu Rektor, Dekan FISIP, para Pembantu Dekan FISIP, Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta serta para kolega akademik yang telah
xi
banyak membantu dan mendukung, sehingga penulis tetap bersemangat dan penuh percaya diri dalam penyelesaian studi. Kepada Ibunda tercinta, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga yang telah menyiramkan doa kepada penulis sehingga penulis tetap tegar
dan
penuh
keiklasan
dalam
menyelesaikan
studi.
Penulis
juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar kepada kakanda tercinta Ir. Farid Poniman, M.Si yang penulis anggap sebagai orang tua yang telah memberikan semangat, motivasi, dan dukungan moral dalam penyelesaian studi ini. Terima kasih yang sangat khusus kepada isteri tercinta Esti Rahayu, SH, serta anak-anak penulis tercinta: Zaidan Syawal Akbar dan Nisrina Nur Arifa yang selalu menjadi pendorong yang tak terhingga, dan menjadi sumber inspirasi keberhasilan penulis untuk menyelesaikan studi ini. Ayah hanya bisa sampaikan, “ terima kasih yang tak terhingga atas doa dan dorongan kalian, tanpa kalian ayah tidak akan berhasil.” Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan khususnya angkatan 2005, terutama Dr. M. Nur Sangadji, Dr. Suwignya Utama, dan Dr. Sumaryo, yang selalu memberikan semangat serta memberi kontribusi, teman diskusi sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Akhirnya, dengan kerendahan hati dan keterbatasan penulis sampaikan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Segala saran dan kritik yang konstruktif sangat diharapkan untuk menyempurnakan naskah disertasi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan rakhmat, dan HidayahNya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin.. Bogor,
Agustus 2010
Agus Sjafari
xii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pamekasan, 24 Agustus 1971, sebagai anak kelima (terakhir) dari lima bersaudara dari Bapak Mohamad Syafi’i dan Ibu Hosmimah. Penulis menikah dengan Esti Rahayu pada tahun 1996 dan dikarunia dua orang anak yaitu Zaidan Syawal Akbar (siswa SMP) dan Nisrina Nur Arifa (siswa SD). Setelah menyelesaikan studi dari SMA Negeri 2 Pamekasan tahun 1989, penulis melanjutkan menempuh Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto lulus tahun 1995. Penulis melanjutkan menempuh Program Ilmu Administrasi di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung dan lulus tahun 2001. Saat ini penulis menempuh Program Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) di IPB Bogor dengan Beasiswa BPPS Dikti mulai September 2005. Penulis bekerja sebagai Staf Pengajar di Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang. Penulis
juga
mengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta serta beberapa Universitas swasta di Jakarta. Beberapa tahun terakhir penulis aktif menyumbangkan pikiran-pikiran sebagai kolomnis di beberapa surat kabar lokal Banten, beberapa Harian Ibukota Jakarta, serta beberapa surat kabar nasional. Beberapa penelitian yang pernah penulis lakukan antara lain penelitian Program Stranas Dikti tahun 2009 dengan judul “Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Implementasi Program Pembangunan Masyarakat di Kota Serang Banten.” Pada tahun 2009, peneliti terlibat dalam penelitian Hibah Bersaing Dikti dengan judul: “Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Program Bimbingan Usaha Kesejahteraan Sosial di Kota Serang Banten.” Selama menempuh program doktor, penulis bersama dengan temanteman seangkatan bergabung dalam the Community Development Institute (CDI) dan menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif. Salah satu buku yang pernah penulis hasilkan adalah “Pembangunan Masyarakat : Teori dan Praktek di Era Otonomi Daerah. “ Saat ini penulis concern terhadap permasalahan-permasalahan sosial, khususnya masalah kemiskinan dan pembangunan masyarakat.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRACT………………………………………………………………………...
iii
RINGKASAN……………………………………………………………………….
iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. xiv DAFTAR TABEL………………………………………………………………….. xvii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….
xx
PENDAHULUAN……………………………………………………………………
1
Latar Belakang……………………………………………………………….
1
Masalah Penelitian ………………………………………………………….
4
Tujuan Penelitian…………………………………………………………….. 7 Manfaat Penelitian……………………………………………………………
8
Novelty………………………………………………………………………..
8
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………… 9 Kemiskinan……………………………………………………………………
9
Ukuran Kemiskinan…………………………………………………………..
12
Dimensi Kemiskinan…………………………………………………………. 15 Kemiskinan di Perkotaan……………………………………………………. 17 Konsep Pemberdayaan …………………………………………………….. 18 Konsep Kelompok……………………………………………………………. 21 Pendekatan Kelompok……………………………………………………….. 25 Dinamika Kelompok…………………………………………………………... 28 Konsep dan Unsur Dinamika Kelompok…………………………………… 30 Komunikasi antar Kelompok………………………………………………… 33 Hubungan Penyuluhan dengan Kemiskinan………………………………
33
Konsep Keluarga……………………………………………………………… 35 Fungsi Keluarga………………………………………………………………. 37
xiv
Konsep Sumber Daya Keluarga…………………………………………….. 40 Konsep Lingkungan Sosial…………………………………………………… 42 Lingkungan Sosial Perkotaan……………………………………………….. 44 Konsep Kesejahteraan Keluarga……………………………………………. 45 Konsep Kepemimpinan……………………………………………………… 49 Konsep Motivasi………………………………………………………………. 51 Karakteristik Individu…………………………………………………………. 52 Usia…………………………………………………………………………….
52
Pendidikan Formal……………………………………………………………. 53 Pendidikan Non Formal………………………………………………………. 53 Konsep Strategi……………………………………………………………….. 54 Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan…………………………… 55 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………………………………………. 57 Kerangka Berpikir…………………………………………………………….. 57 Hipotesis ……………………………………………………………………… 64 METODE PENELITIAN…………………………………………………………….
65
Desain Penelitian…………………………………………………………….. 65 Populasi dan Sampel………………………………………………………… 65 Data dan Instrumentasi……………………………………………………… 68 Analisis Data………………………………………………………………….. 71 Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Penelitian……………….
72
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………………
81
Lokasi Penelitian……………………………………………………………..
81
Karakteristik Individu…………………………………………………………
83
Karakteristik Kelompok……………………………………………………..
90
Sumber Daya Keluarga…………………………………………………….
98
Lingkungan Sosial…………………………………………………………… 103 Intervensi Pemberdayaan…………………………………………………. 119
xv
Keberdayaan Keluarga…………………………………………………….. 127 Tingkat Kesejahteraan Keluarga………………………………………….. 138 Kondisi Peubah-peubah Penelitian……………………………………….. 147 Pengaruh Karakteristik Kelompok dan Intervensi pemberdayaan Terhadap Keberdayaan Keluarga…………………………………………. 150 Pengaruh Karakteristik Individu, Sumber Daya Keluarga, dan Pengaruh Lingkungan Sosial Terhadap Keberdayaan Keluarga……….. 168 Pengaruh Keberdayaan Keluarga Terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga…………………………………………………… 173 Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas Terhadap Keberdayaan Keluarga…………………………………………………….
175
Peran Penyuluhan dalam Pemberdayaan Keluarga miskin di Perkotaan………………………………………………………………….
185
Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi……. ……………………………… KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………
188 202
Kesimpulan……………………………………………………………………. 202 Saran………………………………………………………………………..
203
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 205 LAMPIRAN ……………………………………………………………………….
xvi
212
DAFTAR TABEL No
Hal
1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan………………………….
19
2. Paradigma Karakteristik Kelompok……………………………………………
60
3. Paradigma Keberdayaan Keluarga……………………………………………
62
4. Paradigma Intervensi Pemberdayaan…………………………………………
63
5. Paradigma Sumber Daya Keluarga……………………………………………
64
6. Matrik Kerangka Sampel Penelitian……………………………………………
67
7. Indikator dan Parameter Karakteristik Individu……………………………….
72
8. Indikator dan Parameter Karakteristik Kelompok…………………………….
73
9. Indikator dan Parameter Sumber Daya Keluarga……………………………
74
10. Indikator dan Parameter Lingkungan Sosial………………………………..
76
11. Indikator dan Parameter Intervensi Pemberdayaan……………………….
78
12. Indikator dan Parameter Indikator dan Parameter Keberdayaan Keluarga……………………………………………………………………….
79
13. Indikator dan Parameter Tingkat Kesejahteraan Keluarga………………..
80
14. Tingkat Pendidikan Formal
Responden ...………………………………..
83
15. Tingkat Pendidikan Non Formal Responden ……..………………………..
86
16. Usia Responden ……….…………………………… ……………………….
88
17. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden ……….…….…………………
89
18. Kepemimpinan Kelompok ……….…………………………………………..
91
19. Kedinamisan Kelompok …………..……………………………………..……
93
20. Intensitas Komunikasi Kelompok ………….………………………………..
95
21. Tipologi Kelompok……………………………………………………………..
98
22. Sumber Daya Fisik Keluarga…………………………………………………
99
23. Sumber Daya Non Fisik Keluarga…………..………………………………. 100 24. Persepsi Respondenterhadap Dampak Negatif Kebijakan Pemerintah .. 103 25. Persepsi Responden Mengenai Ketersediaan Sumber Daya Ekonomi .. 106
xvii
26. Persepsi Responden Ketersediaan Sumber Daya Sosial………………..
109
27. Persepsi Responden mengenai Peran Media Massa ……………………
112
28. Persepsi Responden mengenai Jaringan Usaha …………………………
114
29. Persepsi Responden mengenai Peluang Kemitraan ……………………..
116
30. Sebaran Persepsi Responden mengenai Pengaruh Kultural ……………
118
31. Proses Pemberdayaan Keluarga..…………………………………..……...
120
32. Tingkat Kewenangan Pemberdayaan ………..….………………………..
123
33. Dukungan Fasilitasi ………..………………………………………………… 125 34. Tingkat Adaptasi Keluarga ………..……………………………………….… 128 35. Kepemilikan Aset Keluarga…………………………………………………… 131 36. Tingkat Pencapaian Tujuan Keluarga…………..…………………………... 132 37. Tingkat Integrasi Keluarga..…………… ………………………………….. 135 38. Tingkat Latensi keluarga………..…………………………………………..
136
39. Tingkat Pendapatan Keluarga ………………..…………………………….
138
40. Pemenuhan Kebutuhan Dasar ………..……………………………………
139
41. Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Keluarga…………..…………………..
141
42. Pemenuhan Kebutuhan Tertier Keluarga……………….………………….. 143 43. Kesinambungan Usaha Keluarga …………………………………………..
145
44. Pengelolaan Keuangan Keluarga………..…………………………..……… 146 45. Rataan Peubah Penelitian……….…………………………………………..
147
46. Nilai Koefisien Regresi antara Karakteristik kelompok (X2) dan Intervensi Pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1)….
149
47. Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga)……… 161 48. Hubungan Peubah Y1 dengan Peubah Y2…………………………………. 162 49. Pengaruh Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1)……..…………………………………………………………… 163 50. Pengaruh Sumber Daya Keluarga (X3), dan Lingkungan Sosial (X4) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1)………………….. ……
xviii
163
51. Nilai Koefisien Regresi antara Keberdayaan Keluarga Miskin (Y1) Terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2)……………………………
173
52. Nilai Pengaruh Peubah Karakteristik Individu (X1) Terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur……… 177 53.Nilai pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur ………………….. 177 54. Perencanaan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin..…………........... 196 55. Implementasi Pemberdayaan Kelusrga…..…………………………………. 198 56. Kegiatan Monitoring dan Evaluasi…………………………………………..... 200
xix
DAFTAR GAMBAR No.
Hal
1. Profil Kemiskinan dan Pendekatan Penyuluhan………………………….
34
2. Kerangka Berpikir penelitian……………………………………………….
58
3. Keterkaitan Antar Peubah yang berpengaruh terhadap Keberdayaan Keluarga Miskin dalam Meningkatkan Kesejahteraannya……………………………………………………………
59
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga……………..
176
5. Implementasi Pogram Pemberdayaan Berbasis Pengembangan Sumber Daya Keluarga …………………………………………………….
xx
193
DAFTAR LAMPIRAN
Hal. 1. Perincian Kerangka Sampling…………………………………………
212
2. Perhitungan Koefisien Regresi…………………………………………
213
3. Perhitungan Koefisien Regresi Pengaruh X1,X2,X3,X4, dan X5 Ke Y1…………………………………………………………………….
214
4. Hasil Perhitungan Uji Beda…………………………………………….
221
5. Data Frekuensi Berdasarkan Wilayah………………………………..
222
xxi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan di suatu wilayah merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa terhindarkan. Setiap wilayah berkeinginan agar di wilayahnya terjadi pembangunan yang dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah tersebut. Artinya, bahwa pembangunan yang perlu dilakukan oleh pemerintah tidak hanya pembangunan fisik saja, melainkan pembangunan yang mengarah kepada pembangunan
masyarakat
(community
development).
Setiap
kegiatan
pembangunan masyarakat berkaitan dengan proses pemberdayaan masyarakat yang mampu memanfaatkan hasil pembangunan itu sendiri. Kondisi
tersebut
ternyata
sangat
kontradiktif
dengan
kegiatan
pembangunan di kota. Kondisi di kota selalu dituntut untuk mampu melakukan pembangunan, dengan maksud untuk melengkapi sarana dan prasarana kota tersebut yang memadai. Tuntutan pembangunan fisik serta penataan wilayah yang modern dan megah mengakibatkan termarginalisasikannya sekelompok masyarakat, khususnya masyarakat yang tidak memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang mamadai. Melihat pembangunan wilayah perkotaan yang begitu pesat dibandingkan dengan pembangunan di daerah, semakin menjadi daya tarik masyarakat daerah untuk melakukan urbanisasi besar-besaran. Proses urbanisasi masyarakat daerah tanpa diiringi dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, akan menjerumuskan mereka kepada kehidupan yang marginal. Adanya tingkat persaingan hidup yang sangat tinggi, terdapat sekelompok masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan. Masyarakat yang termasuk dalam kondisi miskin tersebut sebagian tinggal di bantaran kali, di bawah jembatan, di pinggiran rel kereta api, sedang masyarakat miskin lainnya tinggal di dalam wilayah kota
yang tergolong kumuh. Masyarakat-masyarakat tersebut
digolongkan dan dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Pada sebagian besar masyarakat miskin berawal dari kondisi keluarga yang juga miskin. Selain faktor eksternal (penyebab dari luar keluarga) yang mengakibatkan terciptanya keluarga miskin di atas, terdapat beberapa faktor internal yang ada pada keluarga miskin tersebut antara lain: rendahnya pendidikan, rendahnya keterampilan mereka, rendahnya motivasi hidup mereka, rendahnya kemauan
2
untuk mengembangkan diri dan sebagainya. Faktor internal inilah yang sebenarnya merupakan faktor yang perlu mendapatkan perhatian yang besar di dalam mengubah kondisi masyarakat miskin tersebut menjadi lebih baik. Pola kehidupan keluarga miskin di perkotaan ternyata sangat kompleks, dihadapkan kepada tekanan hidup yang sangat keras dan khas. Dikatakan sangat keras dikarenakan sebagian keluarga pada masyarakat tersebut dihimpit oleh kebutuhan hidup dengan tingkat pendapatan yang sangat rendah dan tidak memadai. Tingkat penghasilan yang mereka dapatkan sangat jauh untuk dapat memenuhi beban hidup tinggal di Jakarta yang sangat berat. Dikategorikan sangat khas, dikarenakan kualitas hidup keluarga miskin di perkotaan terbelit oleh persoalan kemiskinan, keterbelakangan, dan kesulitan mengakses berbagai layanan publik. Dengan demikian kualitas hidup sebagian besar keluarga tersebut sangatlah memprihatinkan. Dengan lingkungan keluarga dan lingkungan di sekitar keluarga yang sangat kumuh sangatlah tidak menjamin adanya kesehatan serta keterpenuhan hidup yang layak bagi keluarga pada masyarakat tersebut. Hasil survei pendahuluan yang dilakukan peneliti, khususnya di DKI Jakarta dan Bekasi menunjukkan bahwa nilai pendapatan keluarga perbulan rata-rata kurang lebih Rp.400 ribu hingga Rp. 750 ribu. Hal ini kalau dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) saat ini mencapai Rp.960 ribu. Hal tersebut sangatlah jauh dari cukup. Problem kecilnya pendapatan mereka salah satunya adalah bahwa sebagian dari mereka belum memiliki pekerjaan yang tetap yang mampu memberikan kontribusi kepada fixed income (pendapatan tetap) dalam keluarga. Melihat kondisi tersebut, maka sangatlah perlu untuk nengetahui lebih jauh faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap rendahnya kesejahteraan penduduk pada keluarga miskin tersebut. Berdasarkan data BPS Provinsi DKI 2008 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta masih memiliki tingkat kemiskinan yang cukup mengkhawatirkan. Pada tingkatan penduduk, persentase penduduk miskin sejumlah 340.687 (4.08%) dari jumlah penduduk
sebesar 8.347.083 orang. Pada tingkatan
keluarga, jumlah keluarga miskin adalah sebesar 101.674 (4,57%) dari 2.227.140 KK. Kondisi tersebut dengan sendirinya akan mengalami peningkatan, apabila belum mendapatkan penanganan yang serius mengingat beban biaya ekonomi nasional khususnya di DKI Jakarta semakin berat.
3
Untuk
wilayah
Bekasi,
data
kemiskinan
dilihat
dari
kemiskinan
menunjukkan cukup tinggi dengan perincian: Kota Bekasi sebesar 42.878 KK dan Kabupaten Bekasi sebesar 170.507 KK (Rosmananda, 2007). Berdasarkan data
BPS DKI Jakarta pada tahun 2007 menunjukkan
bahwa Kota Jakarta Utara merupakan wilayah yang tingkat kemiskinan penduduk dan keluarga adalah yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah di Kota Jakarta lainnya. Pada tingkatan penduduk, jumlah penduduk miskin adalah sebesar 116.499 (34.499%). Pada tingkatan keluarga, jumlah keluarga miskin di Kota Jakarta Utara mencapai 37,886 (37.26 %) dari 101.674. keluarga. Dari 2.001.899 orang total penduduk Kota Bekasi, 7,59 % atau sekitar 152.084 jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan. Standar kemiskinan tersebut dilihat dari kemampuan belanja kebutuhan hidup yang kurang dari Rp163.385 per bulan, sedang untuk wilayah Kota Bekasi jumlah warga miskin meningkat dari 31.727 KK menjadi 38.109 KK pada tahun 2009. Data menurut Badan Pusat Statisk (BPS,2007) Kota Bekasi tersebut menyebutkan adanya peningkatan mencapai 7.500 KK. Kondisi kemiskinan pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut tidak terlepas dari faktor fisik dan faktor non fisik di perkotaan tersebut misalnya panataan kota dan struktur sosial masyarakat. Adanya penataan kota yang kurang menguntungkan tersebut, semakin membuka potensi bagi masyarakat yang tidak mampu untuk tinggal di tempat-tempat kumuh. Bagi sebagian masyarakat Jakarta yang tidak mampu secara ekonomi untuk dapat bersaing dengan masyarakat lainnya, mereka akhirnya memilih lokasi-lokasi yang tergolong marginal tersebut, antara lain: di kolong jembatan, di pinggiranpinggiran kali, di sekitar rel kereta api, di sekitar terminal dan sebagainya di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Motivasi yang mereka miliki hanyalah cara mereka agar bisa hidup di kota dan dapat mencari segala macam pekerjaan dengan maksud untuk dapat bertahan hidup di kota metropolitan dan sekitarnya. Kondisi pemenuhan kualitas hidup yang lebih baik, belum menjadi pemikiran mereka dikarenakan tingkat kemampuan dan keterampilan yang mereka miliki belum menunjang terhadap peningkatan tersebut.
4
Masalah Penelitian Keluarga miskin pada dasarnya terdiri dari keluarga yang tingkat pendapatan dan penghasilan ekonominya adalah relatif rendah. Berdasarkan indikator yang digunakan oleh BPS (2008), rendahnya tingkat penghasilan dan pendapatan ekonomi keluarga atau yang disebut dengan keluarga miskin tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator: (1) Rumah yang tidak permanen, (2) Sempitnya luas tanah yang ditempati, (3) kualitas kesehatan yang sangat buruk, (4) lingkungan keluarga yang tidak sehat, (5) kualitas makanan/kalori yang dikonsumsi tidak memadai dari sisi kesehatan, (6) Fasilitas air minum; (7) Fasilitas jamban/WC, (8) Aset keluarga, dan (9) Status tanah tempat tinggal. Rendahnya pendapatan dan penghasilan ekonomi keluarga tersebut dikarenakan oleh masih rendahnya atau belum memiliki keberdayaan keluarga serta belum berkembangnya pola perilaku mencari nafkah kepala keluarga miskin tersebut. Rendahnya keberdayaan keluarga serta belum berkembangnya pola perilaku mencari nafkah kepala keluarga tersebut ditandai oleh: (1) tingkat pengetahuan yang rendah dikarenakan tingkat pendidikannya yang rendah, (2) Sikap mental masyarakatnya yang masih tradisional tanpa disertai oleh keinginan untuk maju dan berkembang, dan (3) Keterampilan yang tidak mamadai untuk dapat bersaing hidup di kota. Kehidupan keluarga miskin, khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi di atas, mengakibatkan kehidupannya yang terasing baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Secara sosial mereka tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki modal sosial yang memadai untuk dapat bersaing dengan masyarakat lainnya yang memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang besar di kota. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga miskin tersebut, kemudian berdampak terhadap rendahnya kesejahteraan mereka menempatkan mereka sebagai maasyarakat yang tingkat kemandiriannya tergolong rendah. Artinya, dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, sebenarnya mereka masih sangat membutuhkan uluran tangan serta bantuan dari pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan ekonomi yang lebih, misalnya saja orang kaya, pihak pemerintah, pihak swasta dan lain sebagainya. Tanpa bantuan dari pihak-pihak tersebut, menjadikan mereka semakin tidak berdaya dan dalam kondisi yang
5
sangat kekurangan. Dengan demikian guna membangun kesejahteraan keluarga miskin kota tersebut, sangatlah perlu ditunjang oleh proses pemberdayaan yang intensif bagi anggota keluarga miskin tersebut. Secara teoritis proses pemberdayaan bagi keluarga miskin secara umum sangat bergantung pada dua hal yaitu (1) kekuatan yang ada pada internal (anggota keluarga itu sendiri), dan (2) perlunya intervensi dari kekuatan ekternal yaitu kekuatan yang ada di luar dirinya tersebut. Kekuatan yang ada pada dirinya menyangkut segala potensi yang dimiliki oleh anggota keluarga tersebut misalnya tingkat motivasi, keterampilan, kebutuhan, pengetahuan, sikap mental, dan sebagainya. Kekuatan yang berasal dari luar dirinya terkait dengan adanya bantuan atau stimulus yang mendorong mereka untuk lebih berdaya antara lain bantuan uang, bantuan alat, sarana dan prasarana, kemampuan beradaptasi, kemampuan berorganisasi dan sebagainya. Pola pemberdayaan yang selama ini dilakukan, baik oleh pihak pemerintah, pihak swasta ataupun oleh pihak-pihak lainnya lebih menekankan dan menitikberatkan kepada program charity (sumbangan, bantuan dan amal) atau lebih kepada program how to give something seperti halnya Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) oleh pemerintah, bantuan sarana dan prasarana, bantuan lahan dan perumahan. Di sisi lain masih jarang sekali program pemberdayaan keluarga miskin tersebut yang berwujud how to empowering keluarga miskin tersebut agar terbebas dari ketidakberdayaannya. Pola-pola pemberdayaan dalam bentuk charity tersebut sangatlah memungkinkan untuk menuai kegagalan, dikarenakan akan menciptakan ketergantungan dari kalangan masyarakat miskin terhadap pihak-pihak tertentu. Dalam prakteknya pola tersebut hanya akan membantu keluarga miskin tersebut dalam jangka waktu pendek. Setelah bantuan tersebut habis maka mereka (keluarga miskin) akan kembali menjadi miskin dan tidak berdaya. Salah satu pola pemberdayaan keluarga miskin yang dinilai mampu memberikan kontribusi dalam jangka panjang adalah melalui pendekatan dan pembelajaran kelompok atau organisasi yang dilakukan secara terus menerus, sistematis dan berkesinambungan. Strategi pemberdayaan melalui pendekatan dan pembelajaran kelompok yang selama ini dilakukan pada keluarga miskin selama ini tidak berlangsung secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Padahal kita tahu bahwa melalui pendekatan dan pembelajaran kelompok atau
6
lebih tepatnya melalui kekuatan kelompok usaha bagi anggota keluarga miskin yang berkelanjutan tersebut, keluarga miskin akan memiliki potensi untuk memampukan dirinya sendiri di dalam memecahkan problematika hidup yang selama ini mereka hadapi. Asumsi yang dibangun adalah melalui pendekatan kelompok yang kuat dan stabil akan lebih menciptakan
keberdayaan keluarga miskin, khususnya
keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Melalui pendekatan kelompok inilah, program-program pemberdayaan bagi masyarakat miskin tersebut akan lebih terencana, terprogram dan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi. Hal yang terpenting dalam pendekatan kelompok melalui kekuatan kelompok tersebut bahwa dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program pemberdayaan tersebut dilakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok yang dibentuk oleh anggota keluarga tersebut. Kelompok yang dimaksudkan dalam penelitian ini bukanlah kelompok yang dibentuk oleh pihak luar, melainkan kelompok tersebut sudah terbentuk dengan kesadaran dan kebutuhan mereka sendiri. Pihak luar berperan sebagai pendamping yang terus mengarahkan dan mengontrol agar kelompok yang ada tersebut menjadi lebih kuat dan memiliki daya tahan sosial yang tinggi. Dalam kajian kelompok pada keluarga miskin, khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, sangatlah ditentukan oleh adanya kekuatan kelompok tersebut. Di dalam menciptakan kekuatan kelompok tersebut, sangatlah ditentukan oleh aspek-aspek internal kelompok dan organisasional antara lain: kepemimpinan kelompok, dinamika kelompok yang tinggi, komunikasi kelompok yang intensif serta masih banyak lagi faktor lainnya yang menentukan karakteristik kelompok tersebut. Apabila semua aspek yang berkaitan dengan kekuatan kelompok tersebut mulai dari faktor eksternal, faktor internal serta aspek organisasional di atas berjalan secara kondusif maka akan menjamin adanya keberdayaan yang tinggi. Melalui keberdayaan keluarga yang tinggi tersebut sangat mempengaruhi terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin tersebut. Secara lebih spesifik beberapa
faktor
determinan
yang
diasumsikan
berpengaruh
terhadap
keberdayaan keluarga antara lain: faktor-faktor karakteristik individu, karakteristik kelompok,
sumber
pemberdayaan.
daya
keluarga,
lingkungan
sosial,
dan
intervensi
7
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : (1) Seberapa besar keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya? (2) Seberapa jauh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya? (3) Seberapa jauh karakteristik individu, sumber daya keluarga, dan lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi? (4) Seberapa jauh keberdayaan keluarga berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi? (5) Bagaimanakah strategi program pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi?
Tujuan Penelitian (1) Menjelaskan dan menganalisis keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. (2) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya (3) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh karakteristik individu, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan
terhadap
keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi (4) Menjelaskan dan menganalisis pengaruh keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi (5) Merumuskan strategi program pemberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
8
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat: (1) Bagi pemerintah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan usaha memberdayakan keluarga miskin khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. (2) Bagi peneliti lain, sebagai masukan dan referensi terhadap kajian dan penelitian yang `sejenis.
Novelty Penelitian ini berpotensi untuk menghasilkan rekomendasi
mengenai
strategi program pemberdayaan keluarga miskin melalui pengembangan sumber daya keluarga serta pendekatan kelompok khususnya yang berlaku di kota besar dan kota madya.
Strategi yang dikaji adalah analisis tentang karakteristik
individu, karakteristik kelompok, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan dalam meningkatkan keberdayaan keluarga sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di kota. Hasil penelitian ini memberikan alternatif strategi dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin sebagai program pemberdayaan keluarga miskin melalui implementasi program pengembangan sumber daya keluarga dan program pemberdayaan melalui pendekatan kelompok yang efektif di perkotaan dalam bentuk pembinaan dan pendampingan kelompok khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
9
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan (Suharto, 1997). Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah
masyarakat,
khususnya
di
negara-negara
berkembang.
Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah: Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakanakan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang
10
sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997. Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah sematamata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional (Suharto, 1997). Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa aktual,
pengkajian
konsep
kemiskinan
merupakan
upaya
positif
guna
menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing–masing pandangan memiliki cara yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berprestasi. Menurut Oscar Lewis (1983), orang–orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis, sosial dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai mahluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah mahluk yang kooperatif. Guna menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi terhadap kemiskinan antara lain : (1) Faktor personal, dan (2) faktor situasional.
11
Faktor Personal Lewin (Blanchard, et al.1996) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi faktor personal dan faktor situasional. Faktor persanal antara lain : motif, kebutuhan yang direfleksikan dalam sikap, kemampuan, sikap, kemampuan,
perasaan,
kepercayaan,
kepribadian,
sistem
nilai
kecenderungan untuk bertindak (Barata, 2003; Thoha, 1996). Hipocrates-Galenus terdapat empat tipologi kepribadian, yaitu :
dan
Menurut
(1) kepribadian
sanguinis, (2) kepribadian koleris, (3) kepribadian melankolis, dan (4) kepribadian plegmatis. Faktor personal juga terkait dengan aspek psikologis (Mashoed, 2004). Menurut teori Freud (Suryabrata, 2001), struktur kepribadian terdiri dari: (1) Das Es (the id), yaitu aspek biologis, terkait dengan alam bawah sadar/tidak sadar (kesadaran magis); (2) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, terkait dengan alam prasadar (kesadaran naif); dan (3) Das uber ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis, terkait dengan alam sadar (kesadaran kritis). Kesadaran magis dan kesadaran naif terkait dengan perspektif berpikir masyarakat di era pramodern dan modern, sedangkan perspektif berpikir masyarakat post modern cenderung berada pada kesadaran kritis (Maksum dan Ruhendi, 2004).
Faktor Situasional Faktor situasional adalah lingkungan yang berhubungan dengan faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku antara lain: kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan
lingkungan
alam/tataruang.
merupakan
persoalan
kemiskinan
yang
situasional.
melanda
setiap
Menurut Faktor
Mubyarto situasional
(1998),
kemiskinan
berasumsi
individu/sekelompok masyarakat
bahwa lebih
diakibatkan oleh faktor yang berasal dari luar individu/sekelompok masyarakat tersebut. Dengan kalimat lain, penyebab kemiskinan terkait dengan faktor kultural, struktural, dan alamiah (Kartasasmita, 1996; Bappenas, 2002) Paradigma penanggulangan kemiskinan pada saat ini adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila “kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan.” Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi, dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi sebagai
12
subyek. “Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya” (Mubyarto: 2001).
Ukuran Kemiskinan Beragam alternatif ukuran garis kemiskinan yang diajukan H.Esmara (Sajogyo, 1996 : 1) yang hanya menggunakan ukuan “di bawah rata-rata”, yaitu angka: (a) konsumsi beras (kg per orang), (b) konsumsi 9 bahan pokok, (c) pengeluaran
rumah
tangga
(Rp/orang),
dan
(d)
konsumsi
kalori
dan
protein/orang/hari (secara terpisah) dengan membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa dan kota. Sajogyo
(1996:2-3)
merinci
garis
kemiskinan
dengan
ciri-ciri:
(a) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai ambang kecukupan
pangan”
(food
threshold);
dan
(b)
menghubungkan
tingkat
pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Penjelasan dari ciri-ciri di atas adalah sebagai berikut: garis kemiskinan ciri pertama dinyatakan dalam Rp/bulan, dalam bentuk “ekuivalen nilai tukar beras” (kg/orang/bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar-jaman, sesuai dengan harga beras setempat. Ciri yang kedua, memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena: (a) dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka “penghasilan”; (b) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang “dimakan,” mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut; (c) data dari BPS, mulai banyak tersedia (sampel besar). Dan lebih baik lagi jika mencakup data selama minimal satu tahun penuh. Menurut Nugroho (1995), Karena ukuran–ukuran obyektif kemiskinan sangat bervariasi, maka perlu hati–hati dan juga bersifat kritis terhadap penggunaan dan pemilihan alat ukur tesebut. Selain ukuran–ukuran yang diajukan itu banyak mendapat kritik tajam karena hanya bersifat ekonomi semata-mata. Pada kenyataannya kebutuhan manusia sangat bervariasi sehingga setiap upaya penentuan garis kemiskinan yang direduksi dalam soalsoal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya.
13
Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam yang juga berkaitan dengan dimensi-dimensi politis, kebudayaan dan sosial, sehingga setiap upaya menentukan garis batas kemiskinan obyektif seyogyanya juga mengacu pada multidimensionalitas tersebut. Karena sifat multidimensional tersebut maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well–being). Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami besar nya kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif, Menurut Ellis (Nugroho, 1995), dalam butir ini yang dipersoalkan bukan besarnya ukuran kemiskinan tetapi macam dimensi – dimensi yang terkait dalam gejala kemiskinan tersebut antara lain: Pertama, yang paling jelas bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung tingkat inflasi itu sendiri. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat digunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan berbentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi. Ketiga, Kemiskinan berdimensi struktural atau politik sama artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politik. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula miskin dalam material (ekonomi). Untuk itu langkah
14
pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatanhambatan yang sifatnya struktural dan politis. Dimensi kemiskinan ini pada hakekatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam artian ekonomi, tetapi memperhatikan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya (sosial, budaya dan politik). Pemahaman terhadap inti dari masalah kemiskinan itu dari pandangan kelompok miskin itu sendiri masih kurang. Di kalangan pakar ilmu sosial yang berusaha memahami hakekat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin itu sendiri adalah Robert Chambers, seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris. Sesudah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa Negara Asia Selatan dan Afrika, Chambers menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada sesuatu yang disebut sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan (Chambers, 1983). Selanjutnya dikatakan bahwa deprivation trap itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin itu adalah : (1) Kemiskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan,
(4)
Kerentanan,
dan
(5)
Ketidakberdayaan.
Lima
ketidakberuntungan itu saling berkait satu sama lain sehingga merupakan deprivation trap ini. Dari lima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan yang dihadapi keluarga miskin diperhatikan, yaitu: (1) Kerentanan, dan (2) Ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis ketidakberuntungan itu sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi suatu darurat seperti datangnya bencana alam atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau “roda penggerak kemiskinan” yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda berharga sehingga keluarga itu semakin dalam memasuki lembah kemiskinan.
15
Ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus yakni elit dari komunitas dengan sengaja memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga miskin to bargaining. Ketidakberdayaan keluarga miskin inipun dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih miskin. Ada satu masalah yang belum dijelaskan oleh Chambers yakni mengapa deprivation trap muncul ?. Adakah faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya deprivation trap itu ?. Di sinilah pentingnya penggabungan studi tentang kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan peranannya dalam menciptakan deprivation trap di kalangan keluarga miskin.
Dimensi Kemiskinan Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002 : 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4). Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Menurut SMERU (Suharto dkk, 2004), secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2002).
16
Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut Friedman (Suharto, dkk.,2004:6), basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup. Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk, 2004). David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: (a) Kemiskinan
yang
diakibatkan
globalisasi.
Globalisasi
menghasilkan
pemenang dan pengalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. (b) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan
akibat
rendahnya
pembangunan),
kemiskinan
pedesaan
(kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). (c) Kemiskinan sosial: Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. (d) Kemiskinan konsekuensial: Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Menurut SMERU (Suharto, 2004), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). (2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). (3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). (4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. (5) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. (6) Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.
17
(7) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. (8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. (9) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Kemiskinan di Perkotaan Masalah kemiskinan di perkotaan disebabkan kedudukan kota-kota dalam masyarakat negara tersusun dalam jaringan yang bertingkat-tingkat dan merupakan pusat-pusat penguasaan atau pendominasian bagi pengaturan kesejahteraan, kehidupan masyarakat Negara. Sistem pendominasian yang berpusat di kota-kota bukan hanya melibatkan aspek–aspek ekonomi, sosial dan komunikasi, dan kebudayaan, namun dalam kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat manapun di dunia ini, manusia cenderung untuk berorientasi ke kota atau dengan kata lain bahwa orang desalah yang berorientasi ke kota dan bukan orang kota yang berorientasi ke desa (Suparlan, 1995). Karena adanya orientasi pada kota, kota cenderung untuk tumbuh terus dan menjadi semakin kompleks karena kota mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatangpendatang baru dari pedesaan atau kota-kota dan tempat-tempat lainnya. Adams (Suparlan, 1995) mengemukakan bahwa penambahan jumlah penduduk yang pesat dan tidak disertai dengan pesatnya peningkatan kemajuan ekonomi, telah menyebabkan tumbuhnya kemiskinan. Beban yang terlalu berat untuk dipikul di daerah pedesaan, yang alternatif-alternatifnya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan ekonomi guna menyambung hidup amat terbatas, telah menyebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan ke kota secara besarbesaran oleh penduduk desa untuk mencari nafkah dan hidup di kota. Kemampuan atau potensi kota untuk menampung pendatang-pendatang baru untuk dapat hidup dalam wilayahnya karena corak sistem ekonomi di daerah perkotaan yang lebih menekankan pada pekerjaan-pekerjaan dalam bidang industri saja dan produksi barang jadi atau setengah jadi. Walaupun alternative-alternatif
untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam,
18
sistem sosial, dan kebudayaan), tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat memberikan nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar para warganya. Kebudayaan yang ada dalam
masyarakat
perkotaan
kemungkinan-kemungkinan
tersebut
bagi
tidak mendorong
pengembangan
tingkat
untuk
adanya
pemanfaatan
sumberdaya-sumberdaya yang secara obyektif dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi dan sosial pada warga masyarakatnya (Suparlan, 1995). Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan adalah sebuah kata yang bersifat emotif dan menarik bagi beberapa orang. Istilah pemberdayaan mengandung suatu kekuatan yang diyakini oleh sebagian orang mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik. Orang tertarik kepadanya karena tampaknya menawarkan sesuatu yang pada saat sekarang tidak ada tetapi mampu mengubah kehidupannya. Kata ini mengandung ide bahwa orang berada dalam pengendalian diri sendiri dan lingkungan mereka, yang memperluas
kemampuan dan wawasan dan
mengevaluasi diri sendiri sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar. Akhir-akhir
ini,
istilah
pemberdayaan
sering
digunakan
sebagai
terjemahan dari kata empowerment. Berdasarkan penelitian kepustakaan, terdapat beberapa definisi pemberdayaan baik dalam arti yang sempit maupun dalam arti yang luas. Terhadap pengertian konsep pemberdayaan tersebut, terjadi tindakan saling korektif dengan upaya mencari definisi pemberdayaan yang lebih aplikatif dan dapat diterima secara umum. Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan, kelompok, atau komunitas lokal kurang mampu agar memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya sehingga meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri.
19
Guna memperjelas dan memaknai konsep pemberdayaan ini dapat dilihat dari beberapa sumber yang ada pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan No.
Sumber
Definisi
1.
Dharmawan (2002)
2.
Bookman (1988: 4)
3.
Freire (1992)
4.
Soemodiningrat (1999)
5.
Molyneux (1986 : 280 )
6.
Moeljarto dalam Prijono dan Pranarka (1996)
7.
Jim Ife (1995)
dan
Morgen
Pemberdayaan adalah suatu proses pemenuhan energi yang cukup, sehingga masyarakat mampu untuk mengembangkan kemampuannya, memperoleh bargaining power yang lebih besar, membuat keputusan mereka sendiri, dan memperoleh akses yang lebih mudah terhadap sumber daya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih baik Pemberdayaan sebagai konsep yang mengacu pada usaha usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya. Konsep pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranatapranata sosialnya. Empowerment is a capacity in thought and action to address the condition and position of marginalization Pemberdayaan merupakan proses pematahan atau breakdown dari hubungan atau relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya “pengakuan” subyek akan “kemampuan” atau “daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya daya (flow of power) dari subyek ke obyek Pemberdayaan mengacu kepada kata “empowerment”, yang berarti memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu system yang mampu mengorganisir dirinya
20
Dari beberapa konsep pemberdayaan yang telah disampaikan di atas, menurut penulis bahwa konsep pemberdayaan adalah sebuah proses yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan di dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan dan kekuasaan (power) bagi individu maupun kelompok sehingga tercipta kemandirian individu dan kelompok tersebut di dalam berprakarsa dan mengornisir dirinya dan kelompoknya serta terlibat secara langsung guna memecahkan permasalahan dirinya, keluarga, serta kelompoknya sehingga tercipta kondisi yang lebih baik. Menurut Ife (1995), dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep daya (power) dan konsep ketimpangan (disadvantage). Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis: (1)
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis adalah suatu proses untuk mendorong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan
dengan tindakan politik, dan memahami bagaimana
bekerjanya system. (2)
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitis adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis,
melakukan
konfrontasi dan
mencari perubahan
pada
elitis.
Masyarakat menjadi tak berdaya adanya power dan control yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya. (3)
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk atruktur dominant yang menindas masyarakat, seperti masalah kelas, gender, ras atau etnik.
(4)
Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang
21
aktivitas aksi pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian
terhadap
pengembangan
pemikiran
baru,
analitis,
dan
pendidikan dari pada suatu usaha aksi. Demikian juga menurut Payne (Hikmat, 2001), bahwa pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif dalam langkah-langkah, identifikasi kebutuhan, identifikasi pilihan atau strategis, keputusan atau
pilihan tindakan, mobilisasi
sumber daya, serta tindakan itu sendiri, secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar komunitas. Pemberdayaan dan patisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya,
sehingga pada proses
ini,
akhirnya
akan dapat
menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowering”
yaitu
“aktualisasi
potensi
masyarakat.”
Jadi
pendekatan
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat miskin adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai sistem yang mengorganisasi diri mereka sendiri. Dalam rangka pembangunan nasional upaya pembangunan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang: Pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang; kedua, peningkatan kemampuan masyarakat dalam membangun dirinya melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah; dan ketiga, perlindungan melalui pemilihan kepada kaum yang lemah untuk menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan
dan
mencegah
persaingan
yang
tidak
seimbang
(Soemodiningrat ,1999). Konsep Kelompok Kelompok merupakan kumpulan manusia yang berinteraksi satu sama lain untuk suatu tujuan tertentu. Haiman (1950 : 76) mendefinisikan kelompok sebagai “dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis eksplisit satu dengan yang lain.” Cartwright dan Zander (1968 : 46) mengartikan kelompok sebagai “kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain yang membuat mereka saling bergantung (interdependent) pada tingkat yang nyata.”
22
Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1997 : 174) menyebut kelompok adalah “kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja bersama satu dengan lainnya secara teratur untuk mencapai satu atau lebih tujuan bersama.” Pada kelompok yang sebenarnya, anggota bergantung satu sama lain untuk mengejar tujuan itu untuk suatu periode waktu. Lau dan Shai (1992:121) mengaitkan kelompok dengan aspek identitasnya. Keduanya menyebut kelompok sebagai sebuah “ himpunan tiga orang atau lebih yang dapat mengidentifikasikan diri atau diidentifikasi oleh yang lain sebagai kelompok.” Dari perspektif perilaku keorganisasian, kelompok mereka definisikan sebagai kumpulan individu yang (1) mempunyai hubungan saling bergantung yang nyata satu sama lain, (2) memandang dirinya sebagai sebuah kelompok dan membedakan anggota dengan bukan anggota, (3) identitas kelompok diakui oleh bukan anggota, (4) sebagai anggota kelompok bertindak sendiri atau bersama mempunyai hubungan saling bergantung dengan kelompk yang lain, dan (5) peran-peran dalam kelompok merupakan fungsi harapan mereka sendiri, orang lain dalam kelompok, serta bukan anggota kelompok. Beberapa pandangan menekankan tidak semua kumpulan manusia adalah kelompok. Cartwright dan Zander (1968) mengemukakan: “adalah tidak benar bahwa setiap kumpulan manusia merupakan suatu kelompok.” Suatu kumpulan orang hanya layak disebut sebagai kelompok bila mereka berhubungan satu dengan yang lainnya dengan pola yang jelas. Mardikanto (1993: 185) menyebut kelompok berbeda dengan kerumunan. Anggota kelompok memiliki interaksi kuat satu sama lain. Pada kerumunan, orang-orang secara fisik tampak bersatu, namun sebenarnya tidak ada hubungan atau interaksi antar individu yang ada di tempat itu. Kesamaan antar individu juga dinilai belum memadai untuk menjadi batasan kelompok. Catright dan Zander (1968:46) menyebut bahwa kesamaan atau ketidaksamaan bukan kriteria untuk menetapkan orang-orang berada dalam kelompok yang sama atau berbeda. Seorang suami, istri, serta bayinya merupakan sebuah kelompok alami yang sangat kuat. Padahal antar ketiganya memiliki sedikit kesamaan dibandingkan dengan kesamaan suami dengan lakilaki yang lain, istri dengan perempuan yang lain, bayi dengan bayi yang lain. Kelompok yang kuat dan terorganisasi baik, jauh dari homogen serta berisikan beragam sub-kelompok dan individu yang berbeda.
23
Keberadaan kelompok terkait dengan harapan orang untuk memenuhi kebutuhan
tak
dapat
dilakukannya
sendiri
(Haiman,
1950:79;
dan
Ruben,1988:338). Haiman menyebut alasan utama keberadaan kelompok adalah bahwa setiap anggota percaya bahwa dia akan dapat memenuhi sebagian kebutuhannya yang tak dapat ia penuhi sendiri dengan cara berkolaborasi dengan orang lain. Seseorang akan tetap berada dalam kelompok sepanjang ia masih
percaya
bahwa
menjadi
bagian
dari
kelomkpok
tetap
lebih
menguntungkan disbanding meninggalkannya. Berdasar kebutuhan tersebut, Haiman (1950:79) membagi kelompok menjadi “kelompok belajar” dan “kelompok bertindak.” Kelompok belajar adalah yang terbentuk berdasar kebutuhan untuk berbagi gagasan dan perasaan, dan juga untuk mendapat pengertian lebih dari orang-orang lain, sedangkan kelompok bertindak adalah kelompok yang berdasar kebutuhan untuk bekerja sama dalam membuat keputusan maupun kerja yang tak ditangani sendiri. “Kita memerlukan kelompok untuk memenuhi banyak aspirasi serta kebutuhan psikologis, personal, maupun sosial” (Ruben,1988:338). Kelompok dibentuk
guna
menyelesaikan
tugas
seperti
menorganisasikan
acara,
membangun rumah, dan melaksanakan program masyarakat. Kelompok juga dibentuk untuk orientasi personal dan sosial. Klub social, kelompok diskusi masuk dalam kategori ini. Kebanyakan kelompok disebut mempunyai kombinasi kedua orientasi tersebut. Meskipun kelompok dibentuk untuk memenuhi kebutuhan, namun tujuan kelompok sering tak dinyatakan secara jelas. Ruben (1988:340) menyebut bahwa pada kebanyakan kelompok kecil, tujuan muncul secara alami untuk menjawab kebutuhan individu seperti kesetia-kawanan (Companionship) atau penyelesaian tugas. Pada kelompok kecil itu, tujuan biasanya tak dinyatakan secara tegas, anggota bahkan tidak dapat mengemukakan tujuan itu secara pasti. Hal serupa dikemukakan oleh Krueger (1994:14) yang menyebut tujuan kelompok terkadang jelas, tetapi lebih sering samar-samar. Ketidakjelasan itu terjadi karena dua hal. Pertama karena pemahaman atau penerimaan anggota terhadap tujuan tersebut yang berbeda-beda. Kedua, tujuan itu berubah karena waktu.
24
Krueger (1994) menyebut bahwa kerancuan mengenai kelompok tak hanya menyangkut tujuan, melainkan juga proses dari interaksi kolektif. Berkaitan dengan proses interaksi dalam kelompok, Ruben (1988:341) menekankan pada aspek jaringan komunikasi dalam kelompok. Pada jaringan tersebut, sebagian orang berada pada titik pusat jaringan, sebagian lagi berada pada di peripheral. Terkadang ada juga anggota yang terisolasi dari yang lain dalam jaringan. Pola jaringan tersebut berubah seiring perjalanan waktu. Jaringan komunikasi tersebut adalah serupa dengan dipergunakan oleh Rogers dan Kincaid (1981) dalam konteks difusi inovasi. Kelompok akan berkembang melalui tahapan tertentu. Pada kelompok yang berorientasi tugas, tahapan tersebut adalah: (1) fase orientasi, (2) fase konflik, (3) fase kebangkitan (emergence); serta (4) fase reinforcement. Fase pertama
ditandai
dengan
pernyataan
awal
perundang-undangan,
serta
pembentukan keterkaitan (linkage) berhubungan dengan tugas. Bagitu kelompok berlanjut, pernyataan dengan sudut pandang berbeda akan mengalami polarisasi. Secara berangsur individu dan sub-kelompok yang berbeda pandangan tersebut akan melakukan akomodasi satu sama lain. Bersama dengan perkembangan penyelesaian tugas, kerjasama antar individu dalam jaringan akan meningkat. Setiap orang akan dituntut untuk aktif dalam tim, dalam hal tersebut dapat memberi akibat positif meupun negative bagi individu serta kelompok (Ruben, 1988:343). Tahapan pengembangan kelompok juga dikemukakan Schemerhorn et al. (1997:178-9). Tahapan tersebut adalah pembentukan, pembadaian (storming), penormaan, penyelenggaraan (performing), dan istirahat (adjourning). Perhatian awal tertuju pada masuknya anggota ke dalam kelompok. Kebutuhan individu dan kemampuan kelompok untuk memenuhinya menjadi perhatian utama. Setelah tahap tersebut terlampaui, kelompok akan masuk pada tahap tekanan dan emosi tinggi di antara anggotanya. Pada tahap ini, setiap individu mulai mengenal karakter individu lain. Konflik acap terjadi pada tahap ini. Pada
tahap
berikutnya
kelompok
mengalami
integrasi.
Harmoni
dikedepankan, pandangan minoritas akan tersisih. Keadaan ini menjadi pondasi bagi tahap kematangan kelompok. Pada tahap ini, kelompok akan terorganisasi dan mampu menangani tugas-tugas yang kompleks. Setelah menyelesaikan
25
tugasnya, maka kelompokpun memasuki fase istirahat (Schemerhorn, Hunt, dan Osborn, 1997:178-9). Ruben (1988:343) menyebut bahwa proses perkembangan tersebut relative sama pada setiap kelompok tugas. Namun kelompok tidak hanya berorientasi tugas. Kelompok dapat dikategorikan melalui berbagai pendekatan. Diantaranya adalah kelompok sosial dan tugas; formal dan informal; interaksim koaksi, dan cointeraction; primer dan sekunder; serta peguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (geselschaft) (Mardikanto, 1993 186-8) Hal yang banyak dikaitkan dengan kelompok adalah dinamika kelompok. Menurut Cartwright dan Zander (1968:7), dinamika kelompok mengandung tiga makna.
Pertama,
sebagai
ideologi
politis
menyangkut
cara
kelompok
diorganisasikan atau dikelola. Kedua, terkait dengan tehnik seperti observasi dan umpan balik dalam proses kelompok, atau mengenai keputusan kelompok. Ketiga, menyangkut kondisi alamiah kelompok, hukum-hukum yang berlaku dalam pengembangan kelompok, interaksi antar anggota dan sebagainya. Adapun unsure dinamika kelompok adalah tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi-tugas, pembinaan dan pemeliharaan, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok, efektivitas kelompok, serta agenda tersembunyi. Kirst-Ashman (2000-231) mengemukakan tujuh aspek dinamika kelompok, yakni komunikasi, interaksi antar individu, norma, peran, kekompakan kelompok, kekuasaan dan status, serta kepemimpinan. Hughes, Kroehler, dan Vander Zanden (2002:103-10) mengaitkan dinamika kelompok dengan ukuran kelompok, kepemimpinan, kemalasan sosial (social loafing), dilema sosial, pikiran kelompok (group think), serta persesuaian (conformity). Dinamika kelompok bukan satu-satunya pendekatan dalam pengkajian kelompok. Bertrand (1972:44) menyebut bahwa kelompok merupakan satuan sistem sosial yang paling kecil. Maka kajian terhadap kelompok dapat dilakukan melalui pendekatan sistem sosial. Pendekatan Kelompok Membantu mengatasi keluarga miskin khususnya di kota besar pada dasarnya sering menggunakan pendekatan ekonomi, antara lain memberikan bantuan modal kepada keluarga miskin tersebut. Pemberian bantuan modal selama ini tanpa diikuti oleh adanya pengembangan kapasitas (capacity building)
26
dari keluarga miskin tersebut, baik secara individu (anggota keluarga miskin) maupun keluarga sebagai sebuah kelompok. Adanya bantuan modal dalam bentuk charity hanya akan menciptakan ketergantungan dari keluarga miskin tersebut terhadap pihak-pihak yang memberikan bantuan modal tersebut baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Meskipun selama ini sering diberlakukan melalui metode bantuan bergulir, ternyata pemahaman keluarga miskin terhadap system bergulir ternyata tidak menjadikan keluarga miskin tersebut semakin berdaya. Kebanyakan bantuan yang diberikan secara bergulir tersebut, dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif. Keluarga miskin tersebut belum memiliki kemampuan mengelola modal serta belum memiliki jaringan kerja dalam rangka memperluas pangsa pasar untuk menambah modal. Salah satu model yang perlu untuk dilakukan didalam memberdayakan keluarga miskin di kota besar yaitu melalui pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok pada dasarnya didasarkan kepada asumsi bahwa setiap keluarga pada dasarnya berkelompok antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, baik berdasarkan kedaerahan (etnosentris), berdasarkan kelompok kerja, berdasarkan kepentingan dan kebutuhan, berdasarkan ikatan agama, serta berdasarkan ikatan-ikatan lainnya. Keberadaan
kelompok-kelompok
tersebut
pada
dasarnya
sangat
potensial untuk dikembangkan dan dikelola. Pengembangan dan pengelolaan kelompok tersebut didasarkan manajemen kelompok dan spirit kebersamaan untuk membesarkan kelompok tersebut. Kekuatan yang ada dalam kelompok tersebut, pada dasarnya merupakan “social capital” (modal sosial) yang perlu dikembangkan dalam kelompok-kelompok pada keluarga miskin tersebut. Melalui kerja sama, interaksi, kebersamaan serta dinamika kelompok yang ada dalam kelompok tersebut akan semakin memudahkan bagi anggota kelompok untuk mengembangkan rencana, perluasan jaringan, serta perluasan kesempatan untuk meningkatkan usaha memperolah keuntungan yang lebih banyak. Melalui pendekatan kelompok, pada dasarnya di dalamnya terdapat pendidikan, pemberdayaan dan kemandirian anggota kelompok sesuai dengan substansi yang ada dalam disiplin penyuluhan. Penekanan dalam pendekatan kelompok tersebut adalah bagaimana kelompok yang di dalamnya terdiri dari
27
keluarga
miskin
tersebut
mampu
mampu
mengorganisir
dirinya
untuk
menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang mereka hadapi selama ini. Mengutip pendapat Whitaker (1989), beberapa hal yang terkait dengan menggunakan kelompok untuk membantu masyarakat antara lain: Pertama, Orientasi pengambilan keputusan untuk bekerja melalui kelompok , dengan maksud : (1) pentingnya keputusan dan pembagian tugas ketika perencanaan kelompok dan pembentukan kelompok; dan (2) mengetahui karakter dari kelompok sebagai media untuk membantu anggota kelompoknya. Bagi keluarga miskin sebagai anggota kelompok bekerja melalui kelompok akan melatih keluarga miskin tersebut untuk mengambil keputusan yang dianggap baik, khususnya terkait dengan bagaimana meningkatkan pendapatan dan penghasilan keluarga. Keputusan yang diambil secara bersama itu didasarkan atas tanggung jawab bersama untuk saling membantu di antara anggota kelompok itu sendiri. Misalnya saja terkait dengan jenis pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup anggota kelompok tersebut. Setelah keputusan tersebut dibuat, maka anggota kelompok tersebut diajarkan untuk melakukan pembagian tugas masing-masing guna mencapai tujuan dari kelompok itu sendiri. Selain
itu,
setiap
anggota
kelompok
dapat
memahami
dan
menyosialisasikan karakter kelompok yang akan dibangun bersama tersebut. Karakter kelompok tersebut, merupakan sebuah “glue” (pengikat) di antara anggota kelompok tersebut. Melalui pemahaman dan komitmen yang kuat terhadap karakter kelompok tersebut menjadikan anggota kelompok tersebut untuk selalu mempertahankan karakter kelompok yang dibangun tersebut. Kedua, membangun dinamika kelompok, mulai dari saling mendengar antar
anggota,
menguatkan
kelompok,
menyelesaikan
masalah
dan
membangun kekuatan kelompok itu sendiri. Kelompok dari keluarga miskin tersebut pada dasarnya memiliki dinamika kelompok sendiri. Idealnya dalam kelompok tersebut anggota kelompok mengembangkan nilai demokratisasi, mulai dari saling menyampaikan ide dan gagasan
dalam
kelompok,
menyelesaikan
masalah
kelompok
secara
musyawarah, serta membangun kekuatan kelompok sesuai dengan potensi masing–masing anggota kelompok untuk membangun kelompok menjadi lebih profesional.
28
Ketiga, Membuat keputusan tentang pekerjaan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang guna memperluas pengalaman. Dalam konteks membantu keluarga miskin melalui pendekatan kelompok tersebut, adanya pengalaman yang telah dilakukan oleh anggota kelompok di dalam bekerja sama tersebut, maka pada tahap selanjutnya ketika anggota kelompok merasa saling membutuhkan terhadap kelompok yang dibentuk tersebut, maka kelompok akan selalu mencoba membuat keputusan yang akan dilakukan pada masa selanjutnya melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi anggota kelompok mapun pada kelompok itu sendirinya. Dengan demikian melalui pendekatan kelompok, pada dasarnya akan memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada anggota kelompok untuk selalui terlibat secara langsung, bekerja sama, berpartisipasi, belajar bersama di dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang dihadapi bersama. Melalui penyelesaian terhadap masalah kemiskinan secara bersama tersebut diharapkan dapat memberikan kesejahteraan yang labih baik bagi keluarga miskin di kota besar tersebut. Dinamika Kelompok Cartwright dan Zander (1968) menyatakan bahwa “ Group dynamics is a field of inquiry dedicatd to advancing kenowledge about the nature of groups, the laws of their development, and their interrelations with individuals, other groups and larger institutions. ” Berdasarkan konsep di atas, pada dasarnya dinamika kelompok merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan tentang keadaan kelompok, perkembangan kelompok tersebut, hubungan individu dalam kelompok tersebut serta hubungan dengan kelompok lain dalam konteks yang lebih luas. Artinya, bahwa dalam dinamika kelompok mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan kelompok tersebut, baik aspek yang bersifat internal dalam kelompok maupun aspek eksternal dari kelompok tersebut, aspek individu dalam kelompok maupun aspek dari kelompok itu sendiri. Cartwright dan Zander (1968 : 23) menyatakan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar mengenai dinamika kelompok antara lain: (1) Bahwa keberadaan kelompok tidak bisa dihindari dan berada dimana-mana. Artinya bahwa dalam komunitas manusia pasti akan membentuk kelompok-
29
kelompok baik kelompok dalam ukuran besar maupun dalam ukuran kecil. Di sisi lain setiap manusia pasti akan berhadapan dan berurusan dengan kelompok, karena kelompok dapat mengatur setiap kebutuhan dan kepentingan dari setiap individu; (2) Setiap kelompok akan mampu memobilisasi kekuatan yang mampu memberikan efek yang sangat penting bagi setiap individu. Setiap individu akan
selalu
mengidentifikasikan
dengan
kelompoknya,
baik
dalam
keluarganya, pekerjaannya, lingkungan sosial dan sebagainya. Melalui kelompok, setiap individu akan meningkatkan kapasitas dan kualitas individunya agar dapat berkembang menjadi lebih baik. (3) Setiap kelompok juga menciptakan sebuah konsekuensi yang baik maupun yang jelek. Kompleksitas yang ada dalam setiap kelompok tentunya memiliki konsekuensi terhadap hal-hal yang baik, tetapi di sisi lain juga membawa konsekuensi yang jelek. Misalnya saja dalam kelompok terdapat adanya interaksi, integrasi, konflik dan sebagainya. Melalui kepemimpinan dan koordinasi yang baik, kelompok tersebut mampu meminimalisasi hal-hal yang jelek dan memaksimalkan hal-hal yang pisitif. (4) Melalui adanya pengertian yang baik dari dinamika kelompok membawa konsekuensi yang layak menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik (kondusif). Melalui pengertian tentang dinamika kelompok , setiap kelompok memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya, selain itu melalui pengetahuan juga akan mampu merubah perilaku manusia bahkan lembagalembaga sosial. Artinya bahwa kelompok memiliki kekuatan yang luar biasa untuk merubah perilaku individu bahkan perilaku masyarakat (komunitas). Perkembangan setiap kelompok yang dimulai dan didasari oleh beberapa asumsi di atas semakin menempatkan kelompok tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap setiap orang; memberikan pengaruh terhadap setiap individu serta kelompok itu sendiri bahkan terhadap masyarakat yang lebih luas. Kelompok dibentuk untuk mempermudah anggota-anggota mencapai sebagian hal-hal yang dibutuhkan dan/atau dinginkan. Dengan kesadaran semacam
itu
setiap
anggota
menginginkan
dan
akan
berusaha
agar
kelompoknya dapat benar-benar efektif dalam menjalankan fungsinya, dengan meningkatkan mutu interaksi/kerjasamanya dalam memanfaatkan segala potensi yang ada pada anggota dan lingkungannya untuk mencapai tujuan kelompok.
30
Dinamika kelompok adalah suatu keadaan suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota-anggotanya. Dinamika kelompok merupakan tingkat kegiatan dan tingkat keefektifan kelompok dalam rangka mencapai tujuannya (Slamet, 2006). Slamet (2006) menyatakan bahwa dalam psikologi sosial ada disebutkan kelompok mempunyai perilaku, demikian juga anggotanya yang dipengaruhi oleh sembilan faktor/unsur. Faktor ini berfungsi sebagai sumber energi bagi kelompok yang bersangkutan. Adanya keyakinan yang sama akan menghasilkan kelompok yang dinamis. Unsur-unsur tersebut antara lain: (1) Tujuan Kelompok (2) Struktur Kelompok (3) Fungsi Tugas (4) Pembinaan dan Pengembangan Kelompok (5) Kekompakan Kelompok (6) Suasana Kelompok (7) Ketegangan Kelompok (8) Kefektifan Kelompok (9) Maksud Tersembunyi Konsep dan Unsur Dinamika Kelompok Mengapa pendekatan kelompok dipandang sebagai cara yang efektif dalam berbagai upaya pemberdayaan?. Setiap kelompok, baik yang sengaja dibentuk maupun yang terjadi secara spontan memiliki dinamika tertentu. Dinamika kelompok menggambarkan kekuatan-kekuatan dalam situasi kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggota-anggotanya (Jenkins, 1961). Kekuatan-kekuatan tersebut berasal dari : adanya interaksi antara anggota kelompok, hubungan inter-personal, struktur kelompok dan komunikasi, yang terjadi karena terdapat tujuan tertentu yang hendak dicapai. Suatu kelompok memiliki dinamika yang tinggi jika kelompok efektif dalam mencapai tujuannya (Etzioni, 1980). Proses yang terjadi dalam kelompok adalah kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah diputuskan bersama (Sofer,1972).
31
Dapatkah pengertian yang lebih baik tentang kelompok menolong kita agar kegiatan penyuluhan dalam kelompok dapat lebih baik?. Terdapat dua pengertian yaitu: (1) Kita mengerti lebih baik tentang sifat dan kondisi kelompok tertentu; dan (2) Kita dapat lebih baik menilai dan memilih tehnik yang tepat dalam penyuluhan kelompok, sehingga tujuan kelompok tercapai secara efektif. Tumbuh dan berkembangnya cara-cara kemunikasi dalam kelompok dipengaruhi oleh tiga factor berikut, yaitu: (1) Unsur kepemimpinan kelompok, (2) Tingkat produktivitas dan keeratan kelompok, dan (3) Proses-proses interaksi yang terjadi antar anggota (Leagens, 1961). Ciri-ciri kepemimpinan dalam kelompok dapat dipelajari menggunakan model kepemimpinan Contingency dari Fiedler seperti dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1978). Menurut model tersebut terdapat tiga peubah utama yang menentukan keadaan tertentu yang cocok bagi kepemimpinan seseorang yaitu: (1) Hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota, (2) Struktur tugas yang diberikan: umumnya tugas-tugas dalam kelompok tidak berstruktur, dan (3) Kekuasaan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai pemimpin. Menurut Broom dan Selznick (1968), jika kelompok berfungsi dengan baik, maka terdapat beberapa proses yang dapat diamati, yaitu: (1) Interaksi positif antara para anggota dengan pemimpin, (2) Adanya kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, (3) Terdapat pembagian dan pendelegasian
wewenang
dan
tanggung
jawab,
(4)
Terdapat
fungsi
pemeliharaan kepemimpinan dan pendelegasian kegiatan, dan (5) Ada penilaian terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Namun ada kalanya terjadi jaringan komunikasi yang terbatas pada klik-klik tertentu dalam kelompok (Rogers dan Kincaid, 1982). Tingkat dinamika kelompok dipengaruhi oleh beberapa unsur yang selalu ada dalam sistem sosial lain. Unsur-unsur ini dapat digunakan untuk mengevaluasi dinamika kelompok dalam sudut ilmu Sosiologi (Loomis, 1960), yang terdiri dari: tujuan, kepercayaan atau pengetahuan, sentimen, norma, peranan, status, sanksi, kekuasaan, jenjang sosial, fasilitas dan tegangan. Tergantung dari kepekatan dari masing-masing unsur, maka seseorang dapat menilai tingkat dinamika sesuatu kelompok.
32
Pendekatan pemberdayaan
masyarakat
melalui
kelompok akan
memberikan hasil positif jika perencana dan pengantar pembaruan atau agen pembaruan mendalami ciri-ciri kelompok (Lippitt,1961), yang terdiri dari: (1) Latar belakang kelompok: perilaku peserta dipengaruhi oleh lingkungan mental dan perasaan masing-masing anggota kelompok. (2) Pola partisipasi kelompok (3) Pola komunikasi antar anggota-anggota dalam kelompok: apakah ada anggota yang cenderung dominan. (4) Kessatuan kelompok (5) Iklim atau suasana dalam kelompok: apakah antara para anggota terdapat kesediaan untuk membagi pengalaman dan perasaan. (6) Adanya sub-kelompok (7) Adanya baku tertentu dalam kelompok (8) Prosedur kelompok. Cartwright dan Zander (1956) menunjukkan peranan fungsi kelompok kaitannya dengan pencapaian tujuan kelompok, yang terdiri dari: (1) Fungsi yang berkaitan dengan penggerak kelompok (2) Yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan kelompok (3) Fungsi yang berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan pribadi dalam kelompok Kekuatan kelompok agar para anggota menerima tujuan kelompok dan menampilkan fungsi-fungsi kelompok, amat tergantung dari sejauh mana para anggota tertarik menduduki keanggotaan dalam kelompok. Kedua penulis tersebut mengemukakan empat proposisi mengenai kelompok yang dipandang menguntungkan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, yaitu: (1) Bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat memang ada (2) Bahwa adanya kelompok-kelompok tersebut tidak dapat dihindarkan dan ada dimana-mana (3) Bahwa kelompok dapat menggerakkan kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat mempengaruhi para anggota, baik kea rah positif maupun negatif. (4) Bahwa dengan melalui pendalaman pengetahuan mengenai dinamika kelompok, terdapat kemungkinan untuk memaksimalkan nilai-nilai positif sesuatu kelompok.
33
Komunikasi antar Kelompok Komunikasi mutlak harus terjadi, yang utama sekali adalah komunikasi antar kelompok di dalam sistem sosial. Menurut Slamet (2006), sesuai dengan teori kelompok, orang berkelompok untuk bisa bekerja sama mencapai tujuan yang dibutuhkan, tidak bisa dicapai sendiri, melainkan melalui kerjasama, baik internal dalam kelompok maupun antar kelompok. Jadi terdapat suatu kerjasama dan kerjasama semacam itu memerlukan prasyarat berupa komunikasi. Komunikasi dalam hal ini bisa dengan kata-kata, isyarat, tertulis. Kalau tidak ada komunikasi, maka tidak adakan terjadi interaksi. Di dalam usaha pembinaan kelompok, sistem komunikasi antar kelompok harus senantiasa diperhatikan dan diperbaiki. Apabila terputus , kehidupan kelompok akan terganggu. Hubungan Penyuluhan dengan Kemiskinan Penyuluhan adalah proses pendidikan , yaitu para penyuluh mendatangi pelaku pembangunan, perorangan atau kelompok, di domisili atau tempat bekerja, melalui berbagai metode penyuluhan (Azis, 1992). Menurut Slamet (1995), penyuluhan pertanian adalah industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (non-formal) dan informasi pertanian kepada pihak-pihak lain yang memerlukan. Menurut Leagan (Kamath, 1961), sasaran penyuluhan adalah meningkatnya perilaku petani atau pihak lain yang mengikuti penyuluhan, yaitu meningkatnya hierarkhi kawasan koginitif, afektif, dan psikomotorik dalam menerima dan menggunakan ide baru usahatani dan usaha lainnya. Peningkatan perilaku ini diikuti dengan meningkatnya produktivitas usahataninya dan usaha lainnya (Benor dan Harrison, 1977). Untuk
mencapai
sasaran
perubahan
tersebut
diperlukan
proses
penyuluhan yang memperhatikan pendekatan penyuluhan dengan menerapkan pendekatan penyuluhan pembangunan (Wardoyo, 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Penyuluhan Pembangunan di Indonesia yaitu komponen konsep penyuluhan pertanian dan bidang lain untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan pertanian dan bidang lainnya. Beberapa pendekatan antara lain: (1) pendekatan umum, (2) pendekatan komuditas, (3) pendekatan latihan dan kunjungan (laku), (4)
pendekatan
34
partisipatif, (5) pendektaan proyek, dan (6) pendekatan sistem usaha tani. Kesemuanya termasuk ke dalam pendekatan kelompok. Pendekatan dari bawah (bottom up) dan pendekatan dari atas (top down). Slamet (1992) mengemukakan bahwa pembangunan tidak hanya mencakup pendekatan top down, tetapi juga bottom up, keduanya menuntut partisipasi aktif dari rakyat banyak dan energo ekstra untuk mempelajari hal-hal baru yang dibawa oleh pembangunan. Profil kemiskinan dan pola perilaku yang mempengaruhinya akan menentukan pendekatan penyuluhan untuk membantu menanggulanginya, penelusuran terhadap kemiskinan dan pendekatan penyuluhan untuk membantu menanggulangi sebagaimana terlihat pada Gambar 1 .
KEMISKINAN
1. 2.
KONDISI: PERILAKU STRUKTUR EKONOMI
3.
KARAKTERISTIK
TINGKAT PENDAPATAN
PENGUBAHAN PERILAKU, DIIKUTI PERBAIKAN STRUKTUR EKONOMI
TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP
PROFIL KEMISKINAN
PENDEKATAN PENYULUHAN
Gambar 1: Profil Kemiskinan dan Pendekatan penyuluhan (Marzuki, 1997)
Pendekatan
penyuluhan
sebagaimana
dikemukakan
Carl Rogers
(Winkle, 1978:115), yaitu pendekatan penyuluhan non directive yakni pendekatan yang berorientasi pada klien atau sasaran, yang bersumber pada keyakinan tentang manusia, bahwa manusia berhak menentukan haluan hidupnya sendiri, manusia memiliki daya yang kuat untuk mengembangkan diri, manusia bertanggungjawab atas tindakannya sendiri, dan manusia bertindak atas pendangan-pandangan subyektif terhadap dirinya sendiri (konsep diri) dan
35
terhadap dunia sekitar. Pendekatan ini cocok digunakan untuk sasaran atau klien yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir, bertindak, maupun saran agar mereka membuat keputusan dan bertindak dengan baik. Pendekatan eclective menurut Winkle (1978:119) merupakan penggabungan dari dua pendekatan tersebut. Penggunaan pendekatan ini adalah menurut kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi bagi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Gambaran model pendekatan penyuluhan untuk mambantu menanggulangi kemiskinannya, dirancang sesuai dengan kondisi profil kemiskinan, pola perilaku dan faktor-faktor penyebabnya. Model pendekatan penyuluhan menggambarkan : (1) Arah perubahan sasaran, perubahan dari kategori kurang berkembang ke cukup berkembang dan ke arah berkembang, perubahan dari cukup berkembang ke berkembang, dan dari berkembang agar tetap dan lebih berkembang lagi; (2) Materi, yaitu aspek-aspek yang harus diubah agar dapat mencapai sasaran yaitu mencakup komponen perilakunya baik pengetahuan, sikap dan keterampilan kerjanya, aspirasi kerjanya, kemampuan adaptasi kerjanya, aktivitas kerja, dan aktivitas pemasarannya; (3) Metode, tehnik mengubahnya, dan media; dan (4) Peran penyuluhnya.
Konsep Keluarga Keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting bagi kehidupan sosial di Negara manapun. Betapa tidak, selama ini sebagian besar masyarakat banyak menghabiskan waktunya dalam sehari bersama keluarga dibandingkan dengan aktivitas lain seperti di tempat kerja atau sekolah. Keluarga dalam hal ini merupakan wadah mulai sejak dini masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-peranannya pada masa yang akan datang. Terkait dengan peran keluarga, seperti yang ditulis Goode dalam bukunya “World Revolution and Family Patterns (1970 :46), bahwa dalam era perubahan global seperti sekarang, struktur keluarga dalam masyarakat juga mengalami perubahan menjadi bentuk conjugal, yaitu keluarga menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari hubungan kerabat-kerabat luas baik dari pihak suami maupun pihak istri. Secara ekonomi, keluarga conjugal itu
36
berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan keluarga luas. Secara psikologis, satuan kecil ini menjadi semakin berdirikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional diantara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyababkan hubungan mereka mencaji akrab. Akan tetapi, kemungkinan keluarga pecah dan retak juga lebih besar karena yang mengikatnya hanya suami istri saja, sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil. Dalam konteks Indonesia, keluarga menjadi basis terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia. Persemaian nilai-nilai agama, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial dan nilai-nilai moral secara praktis akan berproses dan ditentukan oleh keluarga. Keluarga merupakan pranata social pertama dan utama yang mengemban fungsi strategis dalam membekali nilai-nilai kehidupan bagi anak manusia yang tengah tumbuh dan berkembang untuk mencari makna dalam perjalanan hidupnya. Keluarga diidentikkan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, afektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak manusia mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, social, mental, emosional dan spiritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain. Oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula (Zanden : 1986) Perlu diingat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan memiliki hubungan yang kuat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu bukan yang bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat, sehingga di sini keluarga dapat
37
dinilai juga sebagai sub-sistem dalam masyarakat (unit terkecil dalam masyarakat) yang saling berinteraksi dengan sub sistem lainnya yang ada dalam masyarakat, seperti sistem agama, ekonomi, politik dan pendidikan, untuk mempertahankan fungsinya dalam memelihara keseimbangan social dalam masyarakat. Fungsi Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah tempat yang penting, tempat bagi anak memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil dalam masyarakat (Depsos, 2003 : 23). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) Status sosial, dimana dalam keluarga inti distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi penting karena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa memiliki, karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut, (2) Peran sosial, yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya, dan (3) Norma sosial,
yaitu
standar
tingkah
laku
berupa
sebuah
peraturan
yang
menggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial (Depsos, 2003 : 20). Bila dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam melaksanakan proses sosialisasi. Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang lebih besar. Sama halnya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI No.21 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah satu fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik
keturunan
agar
bisa
melakukan
penyesuaian
dengan
alam
kehidupannya. Secara umum terdapat upaya sosialisasi nilai terhadap anggota keluarga dari kepala keluarga yang memiliki wewenang untuk mentransfernya. Bentuk
38
sosialisasi dan transfer nilai dalam lingkungan internal keluarga bisa bermacammacam diantaranya: (1) Keluarga yang relatif memiliki keteraturan dalam bersikap akan merusaha mengembangkan sikap social yang baik dan kebiasaan berprilaku kepada anggota keluarga. (2) Akan
terbentuk
pola
hubungan
antar
anggota
keluarga
berbentuk
penyesuaian nilai sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas. (3) Adanya interaksi internal yang dapat melahirkan ikatan keluarga yang akrab dan hangat, sehingga anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan. (4) Penyelaman terhadap kejadian sehari-hari yang berupa peristiwa-peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, penolakan, belas kasihan dan prustasi akan berpengaruh terhadap sikap mental anggota keluarga (anak) menjadi lebih
berpikir
dewasa
karena
belajar
dari
pengalaman
yang
ada
(reinforcement) (Blood:1972). Adanya hubungan dan interaksi yang erat antara kepala keluarga dan anggota keluarga tersebut akan memperkuat kesiapan keluarga dalam menghadapi perubahan lingkungan yang lebih besar. Sehingga kebutuhan fisik, intelektual, emosional dan kebutuhan moral anggota keluarga harus dapat terpenuhi dengan baik oleh keluarganya sebagai prasyarat untuk bekal beradaptasi dengan lingkungan luarnya. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh berfungsinya keluarga. Keluarga baik keluarga batih/inti maupun keluarga besar mempunyai fungsi dan kedudukan dalam keluarga. Fungsi-fungsi keluarga secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut (Depsos, 2003 : 25) : (1) Fungsi Reproduksi Fungsi reproduksi mencakup kegiatan melanjutkan keturunan secara terencana,
sehingga
menunjang
terciptanya
kesinambungan
dan
kesejahteraan sosial keluarga. (2) Fungsi Afeksi Fungsi afeksi meliputi kegiatan untuk menumbuhkembangkan hubungan sosial dan kejiwaan yang diwarisi kasih sayang, ketentraman dan kedekatan.
39
(3) Fungsi Perlindungan Yaitu menghindarkan anggota keluarga dari situasi atau tindakan yang dapat membahayakan atau menghambat kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. (4) Fungsi Pendidikan Mencakup kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan maupun sikap dan perilaku anggota-anggota keluarga guna mendukung proses penciptaan kehidupan dan penghidupan keluarga yang sejahtera. (5) Fungsi Keagamaan Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan anggota keluarga dengan Tuhan Yang Maha Esa. sehingga keluarga dapat menjadi wahana persemaian nilai-nilai keagamaan, guna membangun jiwa anggota keluarga yang beriman dan bertaqwa. (6) Fungsi Sosial Budaya Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan nilainilai sosial budaya, guna memperkaya khasanah budaya, maupun integrasi sosial bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan sosial keluarga. (7) Fungsi Sosialisasi Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menanam dan mengembangkan nilainilai sosial/kebersamaan bagi anggota keluarga guna menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Melalui sosialisasi yang dilakukan keluarga, anak dapat mempelajari tentang bagaimana berpikir, berbicara, dan mengikuti adap istiadat/kebiasaan, perilaku dan nilainilai di dalam masyarakat dimana dia berada. (8) Fungsi Pengembangan Lingkungan Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan anggota keluarga guna melestarikan, memberdayakan dan meningkatkan daya dukung lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social dalam rangka mencipta keserasian antara kehidupan alam dan manusia. (9) Fungsi Ekonomi Yaitu kegiatan mencari nafkah, merencanakan, meningkatkan pemeliharaan dan mendistribusikan penghasilan keluarga guna meningkatkan dan melangsungkan kesejahteraan keluarga.
40
(10) Fungsi Rekreatif Yaitu kegiatan mengisi waktu senggang secara positif guna terciptanya suasana santai diantara keluarga, sebagai upaya untuk mengoptimalkan pendayagunaan energi fisik dan psikis, menghilangkan ketegangan; dan
(11) Fungsi Kontrol Sosial Yaitu menghindarkan anggota keluarga dari perilaku menyimpang serta membantu mengatasinya guna menciptakan suasana kehidupan keluarga dan masyarakat yang tertib, aman dan tentram. (Depsos, 2003 :25). Dengan asumsi apabila keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi pokok di atas, maka keluarga berserta anggota akan terbebas dari potensi gangguan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, emosional atau moralnya. Keluarga semacam ini membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Konsep Sumber Daya Keluarga Keluarga sebagai satuan organisasi terkecil yang menghimpun manusia dalam tatanan masyarakat, juga merupakan basis kegiatan ekonomi. Keluarga juga menghimpun sumber daya materi/alam dan sumber daya waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya keluarga merupakan gabungan antara sumber daya manusia dan sumber daya materi (Guhardja, 1993 : 1). Sumber daya keluarga ini digunakan untuk mencapai tujuan keluarga, melalui proses pengelolaan yang dilakukan dalam suatu rumah tangga. Sumber daya keluarga tidak hanya terdapat di dalam keluarga sendiri (internal) tetapi juga yang berada di berbagai lingkungan sekitarnya yaitu lingkungan dimana keluarga itu berada (Guhardja, 1993 : 3). Sumber daya adalah alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Terdapat 3 (tiga)
asumsi dasar
mempelajari sumber daya keluarga yaitu: (1). Sumber daya keluarga tidak hanya terdapat di dalam keluarga sendiri tetapi juga terdapat di berbagai lingkungan sekitar keluarga. (2). Kondisi dari sumber daya merupakan elemen dari sistem yang dapat mendorong atau menghambat pencapaian tujuan keluarga. (3). Perubahan salah satu sumber daya akan berpengaruh pada sumber daya lainnya dalam sistem keluarga (Juniarti, 2008 : 3)
41
Sumber daya keluarga pada dasarnya memiliki nilai dan fungsi bagi keluarga itu sendiri. Bahkan dalam beberapa hal, sumber daya keluarga tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat menguntungkan terhadap keluarga. Berdasarkan nilai ekonomi terdapat beberapa jenis sumber daya antara lain: (1) Sumber daya ekonomi (Home economics) yaitu sumber daya yang dapat dipertukarkan dan diukur bukan hanya untuk tujuan konsumsi tetapi untuk proses produksi dan distribusi.(lahan, tenaga kerja, modal, keterampilan & segala sesuatu yang ada di dalam dan diluar kelauarga yang bermanfaat; (2) Sumber daya non ekonomi : jumlahnya relatif terbatas, tidak dapat dipertahankan, sulit diukur (Friedman, 1995). Lebih lanjut Juniarti (2008 : 4 – 5) mengatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi sumber daya keluarga yaitu: (1). Kompleksitas
kehidupan
keluarga. Kehidupan keluarga yang sangat
kompleks memerlukan gaya manajemen yang berbeda daripada keluarga yang memiliki masalah tidak terlalu kompleks. (2). Stabilitas/ketidakstabilan keluarga. Keluarga yang stabil cenderung dapat melakukan manajemen sumber daya keluarga dengan lebih baik karena semua anggota keluarga dapat difokuskan untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan. (3). Peran dan Perubahan Keluarga. Manajemen sumber daya keluarga juga dipengaruhi oleh peran masing-masing anggota keluarga di masyarakat dan juga oleh perubahan dalam keluarga, misalnya adanya keluarga yang meninggal atau baru lahir. (4). Teknologi. Dengan teknologi yang sudah semakin canggih, keluarga dapat melakukan manajemen sumber dayanya dengan lebih terarah. Keempat faktor di atas sangat menentukan terhadap perkembangan dari sebuah keluarga. Kekuatan sebuah keluarga memerlukan adanya perhatian keluarga terhadap keempat faktor tersebut.
Selain keempat faktor di atas
kekuatan keluarga ditentukan oleh pengelolaan sumber daya yang ada dalam keluarga. Sumber daya yang terdapat dalam keluarga, yaitu (1) Kekuatan fisik dan psikososial setiap anggota, (2) Kemampuan keuangan, (3) Fasilitas fisik, dan (4) Adanya dukungan dari kelompok yang lain (Ali, 2006: 71) Menurut Guhardja (1993:19), berdasarkan tinjauan dari asal/letak sumber daya, maka sumber daya keluarga dibagi menjadi dua, yaitu sumber daya
42
lingkungan mikro atau internal dan sumber daya lingkungan makro atau eksternal. (1) Sumber
daya
lingkungan
mikro/internal.
Sumber
daya
lingkungan
mikro/internal adalah sumber daya yang ada pada suatu individu dan keluarga baik fisik maupun non fisik. Sumber daya internal keluarga antara lain: jumlah dan susunan keluarga; tingkat pendidikan/pengetahuan dan keterampilan; tingkat pendapatan; luas, status dan mutu lahan; keadaan gizi dan kesehatan; ketersediaan waktu luang; tata nilai/agama dan hubungan dengan keluarga lain. (2) Sumber daya lingkungan makro/eksternal. Sumber daya lingkungan makro/eksternal adalah sumber daya yang ada pada lingkungan yang lebih luas dan pada masyarakat luas, baik fisik maupun non fisik. Adapun sumber daya eksternal keluarga meliputi: keadaa/sanitasi lingkungan pemukiman, potensi sumber daya alam, kesempatan berusaha/bekerja, tata nilai masyarakat, fasiilitas pendidikan, ekonomi dan fasilitas lain di lingkungan pemukiman. Berdasarkan kedua sumber tersebut baik internal maupun eksternal menunjukkan bahwa dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari sumber daya fisik maupun fisik yang sangat menentukan terhadap daya tahan keluarga. Konsep Lingkungan Sosial Sebagai mahluk sosial, manusia tidak pernah bisa hidup seorang diri. Di manapun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang lain. Manusia membentuk pengelompokan sosial (social grouping) diantara sesama dalam upayanya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. Kemudia dalam kehidupan bersamanya itu manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu suatu jaringan interaksi sosial antar sesama untuk menjamin ketertiban sosial. Interaksi-interaksi sosial itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan lingkungan sosial. Lingkungan sosial tersebut sebagai tempat berlangsungnya bermacam-macam interaksi sosial antara anggota atau kelompok masyarakat beserta pranatanya dengan simbol dan nilai serta norma yang sudah mapan, serta terkait dengan lingkungan alam (ekosistemnya dan lingkungan binaan/buatan (tata ruang) (Purba , 2005 : 1). Definisi lingkungan sosial ini adalah definisi yang dibuat dengan mempertimbangkan keterkaitan
43
antara seluruh komponen yang terdapat dalam lingkungan hidup; bukan sematamata interaksi sosial an sich beserta pranata, simbol, nilai dan normanya saja tetapi juga kaitannya dengan unsur-unsur lingkungan hidup lainnya, alam dan lingkungan buatan. Manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi demi kelangsungan hidupnya. Lingkungan sosial yang serasi itu bukan hanya dibutuhkan oleh orang perorang melainkan juga oleh orang di dalam kelompoknya. Untuk mewujudkan lingkungan sosial yang serasi itu diperlukan lagi kerja sama kolektif diantara sesama
anggota.
Kerja
sama
itu
dimaksudkan
untuk
membuat
dan
melaksanakan aturan-aturan yang disepakati bersama oleh warga sebagai mekanisme pengendalian perilaku sosial. Aturan-aturan itu, seringkali terwujud dalam bentuk pranata atau norma-norma sosial yang harus dipatuhi oleh setiap anggota kelompok (norma hukum). Secara teoritis pemahaman mengenai lingkungan sosial dapat diartikan sebagai upaya atau serangkaian tindakan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengendalian/pengawasan, dan evaluasi yang bersifat kemunikatif dengan mempertimbangkan: (1) ketahanan sosial (daya dukung dan daya tampung sosial setempat); (2) keadaan ekosistemnya; (3) tata ruangnya; (4) kualitas sosial setempat (kualitas objektif dan subjektif); (5) sumber daya sosial (potensi) dan keterbatasan (pantangan) yang bersifat kemasyarakatan (yang tampak dalam wujud pranata, pengetahuan lingkungan, dan etika lingkungannya); dan (6) kesesuaian dengan azas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup (Purba, 2005 : 14). Dalam rangka memahami lingkungan sosial, sesuai dengan konsep pembangunan
berkelanjutan,
maka
titik
berat
perhatian
adalah
pada
kesinambungan dari interaksi-interaksi di dalam lingkungan sosial itu sendiri dengan lingkungan-lingkungan yang lain. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup lingkungan sosial yang perlu diperhatikan. Keenam komponen tersebut ialah: addanya pengelompokan sosial (social grouping), media sosial (social media), pranata sosial (social institution), pengendalian sosial (social control), penataan sosial (social alignment), dan kebutuhan sosial (social needs) (Boedhisantoso, 1997).
44
Lingkungan Sosial Perkotaan Di Indonesia, kota ditentukan secara politiko-administratif, seperti kota metropolitan/ibukota Jakarta, ibukota popinsi, ibukota kabupaten. Kota atau daerah perkotaan dapat didefinisikan sebagai sebuah komunitas yang relatif luas, dihuni secara pada oleh penduduk yang beraneka ragam dari segi pekerjaan, pendidikan, dan gaya hidup. Di sini jaringan komunikasi sangat kompleks dan intensif, dan bangunan bangunannya banyak terbuat dari batu yang tahan lama, tinggi dan besar. Kemudian, di kota juga terdapat banyak spesialis yang bekerja penuh pada berbagai kegiatan non-pertanian (Marzali, 1978). Munculnya kota adalah karena adanya kegiatan sosial dan ekonomi tertentu yang memerlukan penduduk, bangunan, dan mesin-mesin untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang relatif kecil. Beberapa ciri-ciri lingkungan sosial perkotaan menurut Sorokin dan Zimmerman (Purba, 2005 : 62) adalah sebagai berikut: (a) Dilihat dari pekerjaan, bahwa pekerjaan masyarakat perkotaan cenderung mengarahkan orang kepada spesialisasi. Masing-masing orang hanya mendalami pekerjaannya sendiri, sedangkan untuk keperluan lain, dia tergantung kepada bantuan jasa orang lain. (b) Lingkungan alam perkotaan memunculkan masalah yang berhubungan lingkungan fisik seperti kepadatan penduduk, kumuh, bising, polusi udara dan sebagainya, yang ditimbulkan karena kurang terencana dan kirang terkontrolnya perkembangan lingkungan kota. (c) Besaran komunitas perkotaan mengikuti tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Jumlah jiwa per unit wilayah dan jumlah keluarga per unit rumah adalah berkorelasi secara positif dengan lingkungan perkotaan. (d) Dilihat dari heteregonitas dan homogenitas penduduk menunjukkan bahwa penduduk perkotaan adalah sangat heterogen. Kehidupan urban berkorelasi secara positif dengan heteregonitas penduduk. (e) Dilihat dari mobilitas sosial menunjukkan bahwa perkotaan memiliki tingkat mobilitas yang tinggi.
45
Konsep Kesejahteraan Keluarga Istilah kesejahteraan menurut tim perumus indikator sosial dalam Amiyatsih (1986) didefinisikan sebagai “ringkasan dari serangkaian data statistik social yang diturunkan dan disusun untuk menggambarkan suatu keadaan atau kecenderungan keadaan-keadaan sosial yang menjadi pokok perhatian atau usaha pembangunan masyarakat. Definisi di atas, membedakan antara statistik sosial dan indikator sosial yang diturunkan dari data statistik sosial. Indikator sosial biasanya merupakan kumpulan data yang lebih sedikit dan dapat dianggap sebagai petunjuk singkat pembangunan sosial.” Kesejahteraan keluarga adalah upaya keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kerohanian (Anonymous, 2003). Sumarti (1999) mendefinisikan kesejahteraan merupakan kondisi relatif yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial. Pendefinisian kesejahteraan tersebut didasarkan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat. Ketika suatu golongan menempati posisi dominan dalam mesyarakat maka definisi kesejahteraan lebih berorientasi pada golongan status tersebut. Misalnya golongan priyayi dan wong cilik. Golongan priyayi berorientasi pada kraton dan sebagai pusat tradisi besar Jawa, golongan wong cilik berorientasi pada desa sebagai tradisi lokal. Lee dan Hanna (1990) mendefinisikan kesejahteraan sebagai total dari net worth (manfaat yang benar-benar diperoleh) dan human capital wealth (kesejahteraan sumber daya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai atas
asset
yang
dimiliki
dikurang
pengeluaran
(liabilitas).
Sedangkan
kesejahteraan SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non asset. Sajogyo
(1984)
mendefinisikan
kesejahteraan
keluarga
sebagai
penjabaran delapan jalur pemerataan dalam Trilogi Pembangunan sejak Repelita III yaitu: (1) peluang berusaha, (2) peluang bekerja, (3) tingkat pendapatan, (4) tingkat pangan, sandang, perumahan, (5) tingkat pendidikan dan kesehatan, (6) peran serta, (7) pemerataan antar daerah, desa/kota, dan (8) kesamaan dalam hukum. Grant (1978) dan Morris (1982) (Budiman, 1996) mengukur tingkat kesejahteraan dengan membuat indeks (suatu ukuran ringkas yang merupakan
46
gabungan dari beberapa indikator), seperti Indeks Mutu Hidup Fisik (Physical Quality of life Index/PQLI) adalah suatu indeks pengukuran yang terdiri dari tiga unsur yaitu: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, (2) rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata persentase buta dan melek aksara. Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh: (1) Faktor Ekonomi Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pengembangan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan rendahnya kualitas sumberdaya
manusia
sebagai
salah
satu
faktor
produksi.
Strategi
pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mampu menciptakan kondisi yang baik dalam mengatasi masalah kemiskinan. (2) Faktor Budaya Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharapkan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya. (3) Faktor Teknologi Peningkatan
kesejahteraan
keluarga
juga
harus
didukung
oleh
pengembangan teknologi. Keberadaaan teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan dan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal. (4) Faktor Keamanan Keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan
dalam
rangka
peningkatan
kesejahteraan masyarakat ditentukan pula oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin. Hal ini dimaksudkan agar program-program pembangunan
47
dapat dilaksanakan dengan baik dan hasil-hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. (5) Faktor Kehidupan Agama Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual, sperti ketakwaan. Oleh karenanya, program peningkatan kesejahteraan keluarga harus didukung oleh kehidupan beragama yang baik. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya. Sehingga pemahaman keagamaan dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan kesejahteraan sppiritualnya. (6) Faktor Kepastian Hukum Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian
hukum.
Sebagai
contoh:
suatu
keluarga
akan
mampu
mengusahakan lahannya dengan baik, kalau kepastian akan hak milik lahan tersebut terjamin. Kepastian hukum atas berlakunya peraturan upah minimum yang diterima oleh pekerja pabrik hal ini akan memperbesar kemungkinan pekerja atau keluarga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam perkembangan selanjutnya, BPS (2003) menggunakan berbagai indikator untuk menentukan kesejahteraan rakyat antara lain: (1) kependudukan, (2) kesehatan dan gizi, (3) pendidikan, (4) ketenagakerjaan, (5) taraf dan pola konsumsi, (6) perumahan dan lingkungan, dan (7) sosial budaya. Pengaruh pertumbuhan penduduk diantaranya terlihat pada komposisi, usia, dan distribusi penduduk. Semakin rendah proporsi penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas), semakin rendah angka beban ketergantungan, sehingga memberi kesempatan usia produktif untuk meningkatkan kualitas personalnya, sedangkan jumlah penduduk yang besar merupakan sumber daya, tetapi kemudia akan menjadi beban jika mutunya rendah, sementara itu, distribusi penduduk yang merata akan sangat meringankan beban di wilayah yang ditemaptinya, Konsentrasi penduduk secara dahsyat pada salah satu wilayah akan
menimbulkan
banyak
masalah
seperti:
pengangguran,
pelacuran,
perampokan dan lain-lain karena ketidakmampuan mengkases pekerjaan yang layak. Tingkat kesejahteraan masyarakat, juga terlihat dari angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Artinya, menurunnya angka kematian bayi dan
48
meningkatnya angka harapan hidup mengindikasikan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Angka kematian bayi dan angka harapan hidup dapat dilihat dari efektivitas masyarakat berobat ke berbagai sarana dan prasarana kesehatan yang ada maupun efektivitas pelayanan medis terhadap ibu hamil dan keluarga yang sakit. Tingkat pendidikan masyarakat juga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ukuran yang sangat mendasar adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa. Selain itu, rata-rata lama sekolah penduduk juga menjadi indikator kesejahteraan rakyat Tingkat partisipasi angkatan kerja (usia 15-64 tahun) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan kerja, yakni mereka yang bekerja dan mencari pekerjaan. Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai kepuasan individu dan memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan keluarga. Taraf dan pola konsumsi masyarakat juga dijadikan indikasi untuk melihat tingkat kemiskinan keluarga. Berbagai indikator yang digunakan untuk mengetahui taraf dan pola konsumsi adalah (1) tingkat pendapatan, dan (2) pengeluaran pangan dan non pangan. Penduduk miskin ditafsirkan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Jumlah rupiah tersebut kemudian dijadikan sebagai standar kemiskinan. Selain itu, pengeluaran rumah tangga juga dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Perumahan
dan
lingkungan,
juga
dijadikan
sebagai
indikator
kesejahteraan rakyat. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir. Indikator terakhir adalah faktor sosial budaya. Sosial budaya merupakan salah satu aspek kesejahteraan yang memiliki cakupan yang amat luas. Semakin banyak
49
seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan kesejahteraan semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak semata-mata dipakai untuk mencari nafkah, tetapi juga digunakan untuk wisata, nonton TV, mendengar radio dan lain-lain. Saragih et al. (1993)
mengukur indikator kemiskinan berdasarkan
keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian atau memiliki mata pencaharian dengan penghasilan rendah, kondisi rumah dan lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan, pendidikan terbatas. Studi yang dilakukan oleh Salim dalam Soemarjan (1984) mengemukakan bahwa ada lima karakteristik membuat munculnya kemiskinan adalah (1) penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, (2) tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, (3) tingkat pendidikan pada umumnya yang rendah, (4) tidak mempunyai fasilitas, dan (5) mereka berusaha dalam usaha yang relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang mamadai. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan, menurut
Siagian (1988; 24), diartikan sebagai:
kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berpikir an bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam pengertian di atas terdapat tuntutan kemampuan serta tuntutan normatif yang harus diperankan oleh seorang pimpinan dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Peranan kepemimpinan dalam organisasi merupakan suatu yang vital, karena
dengan
adanya
fungsi
kepemimpinan
yang
baik
akan
dapat
menggerakkan dan mempengaruhi setiap elemen dalam organisasi, baik elemen yang terkait dengan manusia atau elemen fisik yang ada dalam organisasi. Pentingnya
peranan
kepemimpinan
dalam
organisasi,
menurut
Sastrodiningrat (1998 : 3), sesuai dengan fungsinya antara lain: (1) Mengisi kekurangan-kekrangan yang terdapat dalam pola dan struktur organisasi.
50
(2) Mengalami dan melakukan penyesuaian-penyesuaian akibat
perubahan
yang terus menerus mengenai situasi, kondisi dan lingkungan di segala aspek. (3) Mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sebagai akibat dinamika dan perkembangan organisasi intern. (4) Melakukan pengisian yang disebabkan perubahan (keluar masuk) sumber daya manusia dalam organisasi. Oleh karena itu, peran pimpinan dalam organisasi menempati posisi yang sangat penting. Hal ini bertujuan agar suatu organisasi itu dapat terorganisir secara baik melalui fungsi-fungsi manajemen yang efektif. Perannya peran pimpinan di dalam menjalankan fungsi manajemen ditunjukkan karena pimpinan memiliki daya kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan segala sumber daya yang ada dalam organisasi tersebut baik yang sifatnya fisik maupun sumber daya manusianya. Pada tahun
1938, Bernard (Gannon,1979:202) pernah mengajukan
konsep baru tentang kepemimpinan, yaitu “leadership is the ability of superior to influence the behavior of subordinates and persuade them to follow a particular course of action.” Dalam pandangan ini tersirat bahwa di dalam kepemimpinan tersebut terdapat kemampuan untuk dapat memotivasi para bawahan untuk lebih proaktif melalui segala bentuk pendekatan yang harus dilakukan. Konsep lain tentang kepemimpinan dikemukakan oleh Filley & House (1969:39) bahwa “leadership (kepemimpinan) merupakan proses seseorang berusaha menggunakan pengaruh kemasyrakatannya terhadap para anggota kelompok (organisasi).” Jadi pemimpin adalah
seseorang dengan daya
kekuatannya terhadap orang lain dalam melakukan kewenangannya untuk tujuan mempengaruhi perilaku mereka. Hal tersebut lebih dipertegas oleh pendapat Sastrodiningrat (1998:17) yang menyatakan bahwa pada hakikatnya kepemimpinannya adalah: (1) Kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain, apakah dia pegawai bawahan, rekan sekerja atau atasan. (2) Adanya pengikut yang dapat dipengaruhi baik oleh ajakan, anjuran, bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya. (3) Adanya tujuan yang hendak dicapai.
51
Dari beberapa konsep yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur penting yang ada dalam konsep kepemimpinan antara lain: personal ability (kemampuan personal), influence (pengaruh) dan kekuaan bawahan atai followership (kepengikutan). Konsep Motivasi Seseorang mencari apa dari sebuah pekerjaan, mengapa dan untuk apa, kapan dan dimana, dan bagaimana ia bekerja senantiasa. Ahli psikologi meneropongnya dari aspek motivasi
dan perilaku. Perilaku seseorang yang
kemudian yang diekspresikan dalam tindakan/perbuatannya ditentukan oleh dorongan yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Dorongan itulah yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu dengan suatu tujuan terttnu pula. Dorongan yang memotivasi seseorang melakukan suatu tindakan tertentu tidak selamanya dsadari oleh orang yang bersangkutan (Sahlan, 2002: 13-20). Menurut Schiffman dan Kanuk (1992), individu merupakan kesatuan yang terdapat pada manusia untukmelakukan sesuatu tindakan dikenal dengan nama motivasi. Tindakan yang dilakukan disebabkan adanya tegangan yang diakibatkan oleh belum terpenuhinya suatu kebutuhan. Menurut Padmowihardjo (1994:135), motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dan aksi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha, sehingga motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat dan melakukan tindakan. Setiap tindakan manusia pasti memilikimotif atau dorongan. Menurut Handoko (1995:9), motif sebagai salah satu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan suatu tindakan. Motif terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan dan unsur tujuan yang ingin dicapai. Proses interaksi antar kedua unsur ini (unsur dorongan dan unsur tujuan) dalam diri seseorang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga menimbulkan motivasi untuk melakukan sesuatu. Menurut Padmowihardjo (1999:135), selain dengan kebutuhan , motivasi juga berhubungan dengan drive. Drive adalah suatu perubahan dalam struktur seseorang yang menjadi dasar organis dari perubahan energi, yang disebut motivasi.
Timbulnya
motivasi
karena
terjadinya
perubahan-perubahan
neurofisiologis. Selain itu motivasi berhubungan dengan minat (interest) dan
52
keinginan (want). Minat dapat diartikan sebagai sifat hati nurani yang timbul dengan sendirinya dan memiliki daya dorong. Keinginan adalah sifat hati nurani karena orang meminati sesuatu dan mendorong terbentuknya motif untuk berbuat untuk mewujudkannya. Motif seseorang akan bangkit jika ada minat, sedangkan minat sendiri dapat bangkit karena ada perhatian/kesadaran akan kebutuhan, dari kesadaran akan timbul keinginan dan karena ada keinginan akan timbul motif untuk mencoba danmelakukan sesuatu tindakan. Karakteristik Individu Menurut Mardikanto (1993:213), karakteristik individu ialah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Combs (1985: 15), meyatakan bahwa karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan sebagainya. Sedangkan karakteristik demografik meliputi: umur, pendidikan dan penghasilan. Karakteristik adalah sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai perwatakan tertentu. Gonzalez (Jahi, 1998:21) menyatakan bahwa karakteristik demografik orang dewasa seperti umur, jenis kelamin status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan. Slamet (2003:16) menyebutkan bahwa umur , pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi inovasi. Usia Usia
berkaitan
dengan
pengalaman
belajar,
kemampuan
dan
kematangan. Padmowiharjo (1994:36), Gesel (Salkind,1985:56) dan Purwanto (1991:56) menyatakan bahwa usia berkaitan erat dengan kematangan seseorang; terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan usia yakni mekanisme belajar dan kematangan otak, organ seksual, dan otot organ tertentu dan akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Usia dapat menjadi tanda dari suatu perkembangan. Usia terkait dengan tugas pengembangan, proses belajar, kelangsungan hidup serta berbagai aspek yang melatar belakanginya (Havighurst, 1974:2).
53
Menurut Schemerhorn, et al., (1997:43), usia seseorang berhubungan dengan kemampuan dan kemauan belajar dan fleksibilitas. Banyak orang beranggapan bahwa usia tua berhubungan dengan kepikunan. Hal ini berbeda dengan pada masing-masing individu. Schemerhorn berkesimpulan bahwa usia tidak ada hubungannya dengan kinerja seseorang dalam hal ini orang yang lebih tua tidak lebih umproduktif daripada orang muda, meskipun demikian orang yang sudah tua lebih banyak tidak dapat menghindari absen daripada orang yang lebih muda. Selanjutnya Szilagyi dan Wallace (1990:72) menyatakan beberapa pola perilaku mengalami perubahan ketika manusia tumbuh dewasa sebagai akibat dari proses sosialisasi. Sedangkan beberapa potensi untuk mempelajari keterampilan tertentu dipengaruhi oleh usia. Pendidikan Formal Menurut Gilley dan Eggland (1989:32) konsep behavior dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumber daya manusia, orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk tujuan meningkatkan produktivitas manusia. Menurut Schemerhorn, et al.,(1997:134) pendidikan dan pelatihan merupakan proses seseorang dalam memperoleh kompetensi dan kepercayaan dirinya yang mempengaruhi perilakunya. Seperti dikemukakan oleh konsutan manajemen Tom Peters dalam Schemerhorn, et al.,(1997:134) bahwa (1) pendidikan adalah kunci menuju sukses dan (2) pendidikan tidak berhenti ketika memperoleh sertifikat. Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilakukan secara terencana di luar sekolah formal. Kegiatan
penyuluhan adalah suatu sistem
pendidikan luar sekolah (non formal) yang bertujuan mempengaruhi individu dan keluarganya agar mengubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, yang untuk memperbaiki mutu hidupnya. Perubahan perilaku tersebut dapat berupa: (1) bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna bagi individu, (2) tumbuhnya keterampilan, kemampuan dan kebiasaan baru yang bertambah
54
baik, dan (3) timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Slamet, 2003:20). Carnevale dan Golstein (Gilley dan Eggland, 1989:32) menekankan bahwa persentase terbesar dari pembelajaran dilaksanakan secara informal melalui konsultasi dengan peer, dalam kelompok kerja, melalui coaching dan mentoring serta melalui kesempatan networking. Menurut Siagian (1996:182), pendidikan non formal khususnya dalam bentuk pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan produktivitas kerja seseorang. Menurut Dahama (Halim dan Ali, 1997:135), pelatihan membantu seseorang untuk menjadi terampil dan berkualitas dalam pekerjaan. Menurut Manulang (1996:100), pelatihan sebagai pendidikan non formal merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian adan efisiensi kerja seseorang. Konsep Strategi Strategi didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bersifat “incremental” (senantiasa meningkat), terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para perlaku di masa depan (Prahat,1995). Rangkuti (2000), memastikan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian perencanaan strategis adalah perencanaan yang terintegrasi (menyatu, menyeluruh dan terpadu), hampir selalu dimulai dengan pertanyaan “apa yang dapat terjadi”, bukan mulai dengan “apa yang terjadi.” Pada prinsipnya strategi dapat dikelompokkan berdasarkan tiga tipe strategi, Rangkuti (2000),yaitu (1) strategi manajemen, (2) strategi investasi, dan (3) strategi bisnis. Strategi manajemen meliputi strategi secara makro. Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi. Strategi bisnis sering juga disebut strategi fungsional, karena berorientasi pada fungsi-fungsi manajemen. Formulasi strategi atau biasa disebut dengan perencanaan strategis merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang, karena itu lebih banyak menggunakan proses analisis. Tujuannya adalah untuk menyusun strategi sehingga sesuai dengan misi sasaran serta kebijakan lembaga.
55
Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Mc Nicholas (1977), strategi adalah “ suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.” Hax dan Majluf (1991) menguraikan pengertian strategi secara terinci, yaitu (1) suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral, (2) menentukan dan menampilkan tujuan/sasaran jangka panjang, program aksi, dan prioritas sumberdaya, (3) menyeleksi bidang yang akan digeluti, (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal dan kekuatan, serta kelemahannya, dan (5) melibatkan semua tingkatan hierarkhi dari organisasi. Kooten (1991) mengemukaan bahwa ada beberapa tipe strategi, antara lain: (1) coorporate strategy (strategi organisasi), (2) program strategy (strategi program), (3) resource support strategy (strategi pendukung sumber daya), dan (4) institutional strategy (strategi kelembagaan). Mengacu pada keempat tipe strategi tersebut, maka dalam penelitian ini lebih menekankan kepada strategi program khususnya program pemberdayaan kelompok. Dalam kaitan dengan penanggulangan kemiskinan, Bappenas (2005) telah menetapkan lima strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK) , yaitu: (1) Perluasan kesempatan, yaitu untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. (2) Pemberdayaan
kelembagaan
masyarakat,
yaitu
untuk
memperkuat
kelembagaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan public yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar.
56
(3) Peningkatan kapasitas, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. (4) Perlindungan sosial, yaitu untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok yang rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki maupun permpuan yang disebabkan oleh : bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial. (5) Penataan kemitraan global, yaitu untuk mengembangkan dan menataulang hubungan dan kerjasama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi tersebut. Selaras
dengan
strategi
tersebut,
Carner
dan
Korten
(1983)
mengemukakan lima strategi penanggulangan masyarakat miskin, yaitu : (1) a runemurative strategy, (2) food and nutrition strategy, (3) natural resources management strategy, (4) a human resources development strategy, dan (5) a balanced regional development strategy.
57
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas dan peningkatan kemampuan yang ada pada masyarakat baik dilihat dari aspek pengetahuan, sikap mental dan keterampilan dengan maksud agar masyarakat tersebut dapat menentukan alternatif-alternatif pilihan dalam memecahkan persoalan hidupnya. Dalam konsep pemberdayaan tersebut terdapat upaya peningkatan kekuatan (daya) yang dimiliki masyarakat agar masyarakat tersebut mempunyai kekuatan untuk maju dan berkembang, memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, dan mampu mengakses berbagai layanan publik. Khusus terkait dengan pemberdayaan keluarga miskin di wilayah Kota Jakarta Utara, proses pemberdayaan tersebut harus dilakukan kegiatan secara terprogram dan terfokus untuk lebih meningkatkan kemampuan keluarga untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidupnya, baik ekonomi maupun sosial. Pola pemberdayaan keluarga miskin yang perlu untuk diperkuat adalah melalui penguatan kelompok, baik kelompok ekonomi maupun kelompok sosial. Setiap keluarga miskin melalui kepala keluarganya perlu diberikan pengetahuan yang kuat tentang pengelolaan kelompok. Keterlibatan kepala keluarga miskin dalam kelompok-kelompok tersebut diharapkan agar anggota kelompok (terdiri dari kepala keluarga miskin) diharapkan dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan dan sikapnya sehingga mampu meningkatkan aktivitas yang lebih produktif. Bagi keluarga miskin, keberdayaan keluarga menjadi titik lemah yang perlu untuk diperbaiki. Media untuk meningkatkan keberdayaan keluarga ke arah yang lebih positif tidak lain adalah melalui program pemberdayaan kelompok. Upaya dalam mengubah perilaku dalam mencari nafkah melalui kelompok merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dengan memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlukan agar seseorang mampu melakukan usaha ekonomi produktif.
Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui
berbagai pelatihan, penyuluhan, dan pendampingan, serta berbagai bentuk
58
bantuan modal usaha maupun bantuan sarana prasarana usaha kepada sasaran. Dengan kata lain, semua program pemberdayaan kelompok diarahkan agar keluarga miskin yang menjadi sasaran menjadi lebih berdaya. Secara skematis, kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Intervensi Pemberdayaan Oleh Pemerintah
Pendekatan Perorangan
Pengetahuan (Knowledge) Keterampilan (Skill)
Pendekatan Kelompok
Keberdayaan Keluarga Miskin Meningkat:
Sikap Mental (Attitude)
Intervensi Pemberdayaan Oleh Swasta, NGO, PT Dll
Peningkatan Pendapatan Keluarga
Peningkatan Kesejahteraan Keluarga
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian
Pemberdayaan keluarga miskin melalui pendekatan kelompok diarahkan kepada kemampuan kelompok di dalam memberdayakan keluarga miskin tersebut. Maksudnya adalah dengan adanya eksistensi kelompok yang diikuti oleh tiap-tiap kepala keluarga atau anggota keluarganya mampu tercipta sebuah perubahan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental khususnya pola peningkatan keberdayaan keluarga. Kelompok dalam hal ini merupakan sebuah kekuatan bagi keluarga miskin yang akan membantu memecahkan masalah – masalah yang berhubungan dengan pola perubahan khususnya dalam beradaptasi, pencapaian tujuan, berintegrasi dan memiliki sistem nilai yang baik. Keberdayaan keluarga dalam keluarga miskin sangat diperlukan agar tiap - tiap
59
keluarga miskin tersebut dapat memiliki akses yang kuat dalam hal akses informasi, akses ekonomi, akses pelayanan publik, akses pasar serta akses – akses lainnya. Dengan demikian dengan adanya keberdayaan keluarga bagi keluarga
miskin
tersebut,
pada
akhirnya
akan
mampu
meningkatkan
kesejahteraan keluarganya. Tingkat kesejahteraan keluarga sebagai peubah tidak bebas (Y2) sangat ditentukan oleh peubah keberdayaan keluarga (Y1). Peubah keberdayaan keluarga tersebut sangat ditentukan oleh beberapa peubah bebas yang mempengaruhi antara lain:karakteristik individu (X1), karakteristik kelompok (X2), lingkungan keluarga (X3), lingkungan sosial (X4), dan intervensi pemberdayaan (X5). Secara skematis keterkaitan antar peubah dalam mendesain model pemberdayaan keluarga melalui pendekatan kelompok di dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, dapat dilihat pada
Gambar 3.
X1 Karakteristik Individu: X1.1. Pendidikan formal X1.2.Pendidikan nonFormal X1.3. Usia X1.4.Jumlah Tanggungan Keluarga
X2 Karakteristik Kelompok: X2.1. Kepemimpinan Kelompok X2.2. Kedinamisan Kelompok X2.3.Intensitas Komunikasi Antar Kelompok
X3 Sumber Daya Keluarga: X3.1. Dukungan Sumber Daya Fisik X3.2.Dukungan Sumber Daya Non Fisik
X5 Intervensi Pemberdayaan: X5.1.Ketepatan Proses X5.2.Tingkat Kewenangan X5.3.Dukungan Fasilitasi
Y1 Keberdayaan Keluarga: Y1.1. Tingkat Adaptasi Y1.2.Tingkat Pencapaian Tujuan Y1.3. Tingkat Integrasi Y1.4.Tingkat latensi
X4 Lingkungan Sosial: X4.1.Dampak Negatif Kebijakan X4.2.Ketersediaan Sumberdaya ekonomi X4.3.Ketersediaan Sumberdaya Sosial X4.4.Peran Media Massa X4.5.Dukungan Jaringan Usaha X4.6. Peluang Kemitraan X4.7. Pengaruh Kultural
Y2 Tingkat Kesejahteraan Keluarga: Y2.1.Tingkat Pendapatan Y2.2. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Y2.3. Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Y2.4. Pemenuhan Kebutuhan Tertier Y2.5. Kesinambungan Usaha Y2.6. Ketepatan Pengelolaan Keuangan
Gambar 3. Keterkaitan antar peubah yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin dalam meningkatkan kesejahteraannya
60
Guna memperjelas kerangka berpikir di atas terdapat beberapa paradigma beberapa konsep utama dalam kerangka berpikir di atas antara lain: (1) Paradigma karakteristik kelompok, (2) Paradigma keberdayaan keluarga, (3) Paradigma intervensi pemberdayaan, dan (4) Paradigma sumber daya keluarga: (1)
Karakteristik
kelompok merupakan suatu keadaan suatu kelompok dapat
menguraikan,
mengenali
kekuatan-kekuatan
yang
terdapat
dalam
kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggotaanggotanya (tabel 2).
Tabel 2. Paradigma Karakteristik Kelompok No. 1.
Indikator Kepemimpinan Kelompok
Kelompok tidak berdaya 1. Pemimpin terlalu membebaskan anggota kelompoknya
Kelompok Berdaya 1. Pemimpin memiliki kemampuan untuk menggerakkan anggota kelompoknya
2. Pemimpin terlalu mengandalkan hubungan yang personal kepada anggota kelompok tertentu
2. Pemimpin memiliki
3. Pemimpin tidak memiliki informasi yang strategis bagi anggota kelompoknya
3. Pemimpin memiliki
4. Pemimpin membebaskan anggota kelompok untuk mengambil keputusan yang tidak terarah
2.
Kedinamisan Kelompok
1. Anggota Kelompok lebih mementingkan tujuan pribadi
2. Tidak terdapat pembagian tugas yang jelas
kemampuan yang baik dalam melakukan hubungan interpersonal dengan anggota kelompok kemampuan dalam memberikan informasi yang tepat kepada anggota kelompok 4. Pemimpin memiliki kemampuan untuk Memfasilitasi pengambilan keputusan kelompok secara tepat 1. Anggota kelompok memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan kelompok 2. Terdapat tugas yang jelas dalam kelompok
61
Tabel 2. (Lanjutan) No.
Indikator
Kelompok tidak berdaya 3. Anggota Kelompok lebih mementingkan tujuan pribadi
4. Tidak terdapat pembagian tugas yang jelas 5. Pemimpin apatis terhadap anggota kelompok 6. Anggota kelompok bekerja sendiri-sendiri 7. Tidak memiliki pola kerja yang jelas antar anggota kelompok 8. Suasana kerja kelompok tidak kondusif 7. Kelompok mengembangkan konflik yang merusak kelompok
3.
Komunikasi Kelompok
Kelompok Berdaya 3. Anggota kelompok memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan kelompok 4. Terdapat tugas yang jelas dalam kelompok 5. Pemimpin kelompok melakukan pemberdayaan terhadap anggota kelompok 6. Anggota kelompok memiliki kerja sama yang kuat 7. Kelompok memiliki pola kerja sama yang konsisten 8. Terdapat suasana kerja yang harmonis dalam kelompok 7. Anggota menghindari konflik yang merusak hubungan antar anggota kelompok
8. Terdapat keinginan yang kuat untuk bekerja secara individual
8. Anggota kelompok memiliki komitmen yang kuat untuk memajukan kelompok
9. Lebih memfokuskan pada kepentingan masing-masing individu
9. Anggota kelompok memiliki komitmen untuk membesarkan kelompok 1. Memiliki tingkat intensitas interaksi yang tinggi antar anggota kelompok 2. Memiliki tingkat keeratan yang tinggi antar anggota kelompok 3. Memiliki tingkat kerja sama yang tinggi antar anggota kelompok 4. Memiliki saling pengertian yang tinggi antar anggota kelompok
1. Anggota kelompok menerapkan komunikasi yang kaku 2. Kurang ada penghargaan antara anggota kelompok terhadap informasi 3. Memiliki tingkat kerja sama yang rendah antar anggota kelompok 4. Antar anggota kelompok saling tidak peduli antara yang satu dengan yang lain
62
(2) Keberdayaan keluarga merupakan kemampuan dari keluarga miskin untuk tetap bertahan hidup hidup, berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada lingkungan yang ada di sekitar keluarga sehingga mampu mencari alternatif di dalam memecahkan masalah yang dihadapi (tabel 3). Tabel 3. Paradigma Keberdayaan Keluarga No. 1.
Indikator Kemampuan adaptasi
Keluarga Tidak Berdaya 1. Keluarga Tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan
Keluarga Berdaya 1. Keluarga mampu menyesuaikan dengan lingkungan
2. Keluarga lebih berorientasi ke masa lampau
2. Keluarga mampu merubah orientasi ke masa kini dan masa depan 3. Keluarga mampu memanfaatkan sumber daya keluarga secara terarah 1. Keluarga mampu mencapai tujuan mendapatkan penghasilan yang layak 2. Keluarga mampu mencapai tujuan sosial 1. Keluarga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap aktivitas keluarganya 2.Keluarga memegang teguh nilai-nilai moral yang tinggi .
3. Keluarga tidak mampu mengelola sumber daya keluarga
2.
3.
Kemampuan mencapai tujuan keluarga
1. Keluarga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi
Kemampuan berintegrasi
2. Keluarga tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sosial 1. Keluarga apatis terhadap aktivitas keluarganya
2.Keluarga tidak memiliki nilai-nilai yang kuat yang dijunjung tinggi keluarga. 4.
Tingkat Latensi
1. Antar anggota keluarga memiliki sikap saling curiga
2. Saling menjatuhkan antar anggota keluarga 3. Antar anggota keluarga bersikap egois 4. Anggota selalu berpikir stagnan
1. Keluarga memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap anggota keluarga 2. Antar anggota keluarga memiliki persaingan yang sehat untuk maju 3. Antar anggota keluarga memiliki kerja sama yang kuat 4. Anggota keluarga memiliki kesadaran untuk maju.
63
(3) Intervensi
pemberdayaan merupakan Intervensi pemberdayaan adalah
pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga – lembaga formal baik oleh pihak pemerintah, swasta, NGO (Non Goverment Organization), perguruan tinggi dengan tujuan untuk merubah pengetahuan, sikap dan
keterampilan anggota
keluarga miskin
sehingga mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga (tabel 4).
Tabel 4. Paradigma Intervensi Pemberdayaan No. 1.
Indikator Ketepatan proses
Intervensi Memperdayakan 1. Kegiatan yang tidak mengarah kepada pengelolaan sumber daya ekonomi 2. Kegiatan yang diarahkan kepada kepentingan konsumtif 3. Modal usaha bercampur baur dengan kegiatan konsumtif keluarga 4. Jaringan usaha yang sangat terbatas 5. Kemampuan pengelolaan organisasi yang sangat terbatas
2.
Tingkat kewenangan
1. Keluarga sangat bergantung kepada pihak lain 2. Keluarga menjadi tidak teratur dengan program yang dijalankan
3.
Dukungan fasilitasi
1. Tidak memiliki dukungan usaha yang memadai dari pihak luar 2. Tidak berhubungan dengan pihak luar
Intervensi Pemberdayaan 1. Serangkaian kegiatan pengelolaan sumber daya ekonomi 2. Mengembangkan kegiatan pengelolaan usaha 3. Pengelolaan pengembangan modal usaha 4. Pengelolaan pengembangan jaringan usaha 5. Keahlian pengelolaan organisasi 1. Keluarga mampu memahami kegiatan pemberdayaan 2. Keluarga secara mendiri menjalankan program pemberdayaan 1. Terdapat dukungan usaha dari pihak luar 2. Terdapat frekuensi yang tinggi khususnya dana stimulus dari pihak luar
(4) Sumber daya keluarga merupakan sejumlah sumber daya yang ada dalam keluarga yang sangat berpengaruh terhadap segala aktivitas keluarga, baik yang berhubungan dengan aktivitas di dalam keluarga miskin ataupun yang terkait dengan aktivitas di luar keluarga miskin itu sendiri (tabel 5).
64
Tabel 5. Paradigma Sumber Daya Keluarga No. 1.
Indikator Dukungan sumber daya fisik
Sumber Daya Keluarga yang Tidak Potensial 1. Kondisi rumah yang sangat kumuh 2. Tiap-tiap kamar diisi oleh banyak orang
3. Luas tanah rumah yang sempit
2.
Dukungan sumber daya non fisik
4. Posisi rumah yang terpencil jauh dari akses fasilitas umum 1. Antar anggota keluarga memiliki tingkat konflik yang tinggi 2. Antar anggota keluarga terlalu egois 3. Terdapat persaingan yang tidak sehat dengan keluarga lain 4. Antar keluarga saling mendominasi antara yang satu dengan yang lain 5. Anggota keluarga tidak peduli terhadap pendidikan
Sumber Daya Keluarga yang Potensial 1. Memiliki rumah yang serasi 2. Masing-masing anggota keluarga memiliki kamar sendiri 3. Memiliki tanah rumah yang luas 4. Posisi rumah yang strategis 1. Memiliki rasa saling percaya antar anggota keluarga 2. Terdapat komunikasi yang intensif antar anggota keluarga 3. Terdapat komunikasi yang intensif dengan keluarga lain 4. Antar anggota keluarga terdapat keserasian koordinasi 5. Anggota keluarga memiliki kesadaran yang tinggi terhadap pendidikan
Hipotesis Untuk menjawab masalah penelitian ini, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: (1) Karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga. (2) Karakteristik individu, sumber daya keluarga, dan lingkungan sosial berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga. (3) Keberdayaan keluarga berpengaruh secara nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan kombinasi dari jenis penelitian eksplanatorikorelasional dan penelitian partisipatori (Strauss dan Corbin, 2003). Dalam penelitian eksplanatori korelasional, peneliti menggali informasi-informasi tentang faktor-faktor
yang
menyebabkan
kemiskinan,
kemudian
melakukan
uji
korelasional dari beberapa faktor yang terkait dengan masalah kemiskinan bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Dalam penelitian partisipatori, peneliti melakukan wawancara secara mendalam dan
terlibat
secara langsung dengan keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Populasi dan Sampel Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, khususnya di kecamatan yang masyarakatnya
terdapat kelompok keluarga
miskin . Lokasi penelitian diambil berdasarkan kriteria khusus, yaitu Kecamatan yang memiliki jumlah keluarga miskin yang termasuk dalam kategori tinggi dan kecamatan yang memiliki jumlah keluarga miskin yang termasuk dalam kategori rendah (kecil). Pengambilan data dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009. Tehnik Sampling Penentuan sampling dalam penelitian ini tidak terlepas dari kondisi riil keluarga miskin yang ada pada kedua Kota tersebut, sehingga layak untuk dilakukan penelitian pada kedua wilayah tersebut. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada tahun 2006 menunjukkan bahwa Kota Jakarta Utara merupakan wilayah yang tingkat kemiskinan penduduk dan keluarga adalah yang tertinggi dibandingkan dengan wilayah di Kota Jakarta lainnya. Jumlah penduduk miskin adalah sebesar 116.499 orang (34.499%), sedangkan jumlah keluarga miskin di Kota Jakarta Utara mencapai 37,886 kepala keluarga (37.26 %) dari 101.674. keluarga.
65
66
Dari 2.001.899 orang total penduduk di Kota Bekasi, sebenayak 7,59 % atau sekitar 152.084 jiwa, hidup di bawah garis kemiskinan. Standar kemiskinan tersebut dilihat dari kemampuan belanja kebutuhan hidup yang kurang dari Rp163.385 per bulan. Jumlah warga miskin di wilayah Kota Bekasi meningkat dari 31.727 KK menjadi 38.109 KK pada tahun 2009. Data Badan Pusat Statisk (BPS,2007) Kota Bekasi tersebut menyebutkan adanya peningkatan mencapai 7.500 KK. Populasi penelitian ini adalah keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara sebesar 19.067 KK dan Kota Bekasi sebesar 11.927 KK. Penentuan sampel
dalam
penelitian
ini
menggunakan
Penarikan
sampel
secara
berkelompok atau Cluster Random Sampling. Cluster random sampling merupakan tehnik penentuan sampel apabila sifat atau karakter masing-masing kelompok sama dengan sifat seluruh populasi (Malo et al., 2001:100). Tehnik cluster random sampling digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang diteliti atau sumber data sangat luas, misalnya penduduk dari suatu negara, provinsi atau kota. Untuk menentukan penduduk yang dijadikan sumber data, maka pengambilan sampelnya berdasarkan daerah dari populasi yang telah ditetapkan (Sugiyono, 1998 : 60) Untuk menetapkan cluster, peneliti sedapat mungkin mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai populasi. Kelompok cluster dapat dibentuk dalam beberapa tingkat, misalnya cluster tahap pertama adalah propinsi, cluster tahap kedua adalah kabupaten atau kecamatan dan seterusnya (Malo dan Triningtyas, 2001 : 101). Dalam menentukan sampel ini, disesuaikan dengan karakteristik lokasi yang termasuk kategori kecamatan yang memiliki jumlah keluarga miskin yang termasuk dalam kategori tinggi, dan kategori kecamatan yang termasuk dalam kategori rendah. Alasan diambilnya kedua kategori tersebut dalam beberapa wailayah mulai dari tingkat kecamatan, tingkat kelurahan sampai dengan tingkat RW/RT untuk melihat tingkat heterogenitas dari wilayah-wilayah tersebut sehingga dapat terwakili dalam penelitian ini. Beberapa tahapan dalam penentuan sampel ini adalah sebagai berikut: Tahap pertama, peneliti membagi wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi ke dalam beberapa kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kota Jakarta dan Kota Bekasi. Kemudian menentukan secara acak beberapa kecamatan yang termasuk dalam kategori memiliki tingkat kemiskinan keluarga yang tergolong tinggi dan beberapa kecamatan yang termasuk dalam kategori
67
memiliki tingkat kemiskinan keluarga yang tergolong rendah. Wilayah Kota Jakarta Utara ditentukan Kecamatan Cilincing yang memiliki jumlah keluarga miskin tertinggi dan Kecamatan Kelapa Gading yang memiliki jumlah keluarga miskin terendah. Wilayah Kota Bekasi ditentukan Kecamatan Bekasi Utara yang memiliki jumlah keluarga miskin tertinggi dan Kecamatan Bekasi Barat yang memiliki jumlah keluarga miskin terendah. Tahap Kedua, dari beberapa kecamatan yang telah ditetapkan sebagai cluster melalui jumlah kemiskinan keluarga yang tinggi dan yang rendah tersebut, kemudian peneliti memilih beberapa kelurahan yang termasuk dalam kategori tingkat kemiskinan keluarga yang juga tergolong tinggi dan beberapa kelurahan yang termasuk dalam kategori tingkat kemiskinan keluarga yang juga tergolong rendah. Tahap Ketiga, Berdasarkan data kelurahan yang memiliki tingkat kemiskinan keluarga yang tinggi dan rendah tersebut, peneliti kemudian menentukan RW yang memiliki tingkat kemiskinan keluarga yang paling tinggi dan yang paling rendah. Tahap Keempat, Selanjutnya peneliti menentukan RT yang
memiliki
tingkat kemiskinan keluarga yang tergolong tinggi dan rendah. Pada tahap akhir, dari beberapa RT yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendah tersebut ditentukan jumlah keluarga miskin untuk dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini. Secara lebih jelas terdapat pada Tabel 6, sedangkan perinciannya terdapat pada lampiran 1. Tabel 6. Matrik Kerangka Sampel Penelitian Kota/Kecamatan
Populasi (Rumah Tangga)
Sampel (Kepala Rumah Tangga)
Jakarta Utara: a. Kec. Cilincing*
17.076
159
1.991
15
a. Kec. Bekasi Utara*
9.516
98
b. Kec. Bekasi Barat**
2.411
34
30.994
306
b. Kec. Kelapa Gading** Bekasi
Jumlah
Keterangan : *Kecamatan dengan jumlah KK terbesar **Kecamatan dengan jumlah KK terkecil
68
Responden Penelitian Responden penelitian terdiri kepala keluarga yang ada di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam tehnik sampling di atas. Kepada responden tersebut dilakukan wawancara terstruktur sesuai dengan kuesioner penelitian.
Di samping itu, peneliti
melakukan wawancara secara mendalam kepada kepala keluarga yang terlibat dalam kelompok usaha di kedua wilayah tersebut dengan tujuan untuk menggali informasi
penting
yang
secara
kualitatif
akan
sangat
berguna
untuk
menyempurnakan analisis dalam penelitian ini. Unit Analisis Unit analisis merupakan unit (individu/kelompok/orang) yang dapat memberikan keterangan tentang hal-hal yang diamati atau dipelajari oleh peneliti. Unit analisis dalam penelitian ialah unit yang diteliti atau dianalisis (Singarimbun dan Effendi, 1989 : 155). Dalam membicarakan tentang populasi dan sampel dalam penelitian ini, maka yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah keluarga miskin yang ada di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
Data dan Instrumentasi Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa cara antara lain: (1) Survey dengan menggunakan kuesioner
yaitu
bentuk
pengumpulan data melalui wawancara secara terstruktur melalui kuesioner dengan responden, (2) Wawancara secara mendalam yang dilakukan terhadap kepala keluarga (anggota keluarga) yang termasuk dalam kategori keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, (3) Pengamatan langsung di lapangan terhadap kegiatan anggota keluarga dalam melakukan aktivitas seharihari, dan (4) Studi dokumentasi yaitu menentukan data-data yang relevan dengan penelitian ini berdasarkan sumber referensi, buku laporan kegiatan, serta beberapa data sekunder lainnya.
69
Sumber dan Tehnik Pengumpulan Data Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya /inumerator) dari sumber pertamanya. Data sekunder adalah data yang tidak langsung dikumpulkan
dari sumber yang diteliti.
Data sekunder yang
dikumpulkan dalam bentuk dokumen-dikumen, laporan-laporan, gambar-gambar, grafik dan sebagainya (Suryabrata, 2003 : 39). Pengumpulan data primer dilakukan melalui: (1) survey melalui wawancara
dengan
responden
berdasarkan
kuesioner
yaitu
bentuk
pengumpulan data melalui pengisian kuesioner oleh peneliti dan enumerator di lapangan, (2) wawancara secara terstruktur dan mendalam yang dilakukan terhadap kepala keluarga (anggota keluarga) yang termasuk dalam kategori keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, dan (3) pengamatan langsung di lapangan terhadap kegiatan anggota keluarga dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Data primer yang dikumpulkan dari responden yaitu: (1) Karakteristik individu keluarga yang meliputi: (a) pendidikan formal, (b) pendidikan non formal, (c) usia, dan (d) jumlah tanggungan keluarga. (2) Karakteristik kelompok yang meliputi: (a) kepemimpinan
kelompok,
(b) dinamika kelompok, dan (c) komunikasi antar kelompok. (3) Sumber daya keluarga yang meliputi: (a) sumber daya fisik keluarga dan (b) sumber daya non fisik keluarga. (4) Lingkungan sosial yang meliputi : (a) dampak kebijakan pemerintah, (b) ketersediaan sumber daya ekonomi, (c) ketersediaan sumber daya sosial, (d) peran media massa, (e) peluang kemitraan, dan (e) hambatan kultural (5) Intervensi pemberdayaan yang meliputi: (a) Proses, (b) kewenangan, dan (c) fasilitasi (6) Keberdayaan keluarga yang meliputi: (a) kemampuan adaptasi,
(b) kemam-
puan mencapai tujuan keluarga, (c) kemampuan berintegrasi, dan (d) tingkat latensi. (7) Tingkat kesejahteraan keluarga yang meliputi: (a) tingkat pendapatan keluarga, (b) pemenuhan kebutuhan dasar, (c) pemenuhan kebutuhan sekunder, (d) pemenuhan kebutuhan tertier, (e) kesinambungan usaha, dan (f) pengelolaan keuangan. Jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data interval dengan menggunakan skala likert yaitu dari 1 (satu) sampai dengan 4 (empat).
70
Data sekunder yaitu berupa dokumen data dan informasi yang terdapat dalam kelompok-kelompok informal yang dibuat oleh para keluarga miskin sebagai
bentuk
dari
kegiatan
kelompok-kelompok
informal
tersebut.
Pengumpulan data sekunder yang dilakukan dalam penelitian ini melalui studi dokumentasi yang dikumpulkan dalam bentuk dokumen-dokumen, laporanlaporan, gambar-gambar, grafik dan beberapa referensi yang relevan. Jenis data sekunder ini meliputi: (1) Rencana, program dan kegiatan yang dilakukan oleh tiap-tiap kelompok informal tersebut. (2) Keadaan wilayah, yang di dalamnya menyangkut : batas-batas, potensi wilayah, dan iklim (3) Data hasil penelitian berkaitan dengan evaluasi tentang kegiatan kelompokkelompok informal di dalam menunjang kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara. Instrumentasi Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi daftar kuesioner yang berhubungan dengan peubahpeubah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Validitas Instrumen Menurut Kerlinger (2000:709), validitas instrumen menunjukkan mana suatu alat ukur itu telah mengukur apa yang akan diukur. Kesahihan dapat didekati dengan tiga ancangan, yaitu: (1) terwakili dengan pertanyaanpertanyaan jika kita mengukur himpunan obyek yang sama berulang kali, (2) Keterpercayaan (dependability), dan (3) Keteramalan (Predictibility). Titik berat uji coba validitas instrumen adalah pada validitas isi, yang dapat dari :
(1)
apakah instrumen tersebut telah mampu mengukur apa yang akan diukur, dan (2) apakah informasi yang dikumpulkan telah sesuai dengan konsep yang telah digunakan.
Reliabilitas Instrumen Reabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama (Singarimbun dan Effendy, 1989: 140). Suatu alat
71
pengukur dikatakan memiliki reabilitas yang tinggi apabila reabilitas data tersebut memiliki sifat konsisten, ketepatan dan jika alat tersebut dipakai berulangkali terhadap suatu gejala yang sama walaupun dalam waktu yang berbeda. Pengukuran Peubah Pengukuran adalah penunjukkan angka-angka pad suatu variabel menurut aturan-aturan yang sudah ditentukan agar dapat mengukur atau memberikan nilai yang tepat untuk konsep yang diamati mengenai tingkat pengukuran. Pengukuran adalah pemberian angka atau bilangan pada obyek atau kejadian-kejadian berdasarkan kaidah-kaidah tertentu (Kerlinger. 2000:686). Peubah adalah suatu ciri/karakteristik yang dapat mengambil lebih dari satu nilai diantara anggota-anggota populasi (Agresti dan Finlay, 1997:19). Pengukuran peubah menurut model penelitian diukur berdasarkan indikatorindikator peubah penelitian yang disusun sesuai arah penelitian pemberian nilai dalam bentuk angka pada suatu obyek. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pemberian angka adalah pemetaan (mapping) terhadap obyek tersebut. Angkaangka hasil akhir pengukuran yang diperoleh dari obyek pengamatan dengan menggunakan kaidah pemberian angka yang jelas, dapat digunakan untuk menghitung ukuran-ukuran relasi, analisis variance, dan semacamnya (Kerlinger, 2000: 687). Maksud mengukur obyek adalah mengukur indikasi (indicant) tentang sifatsifat atau ciri-ciri obyek pengamatan, karena tidak mungkin dilakukan penilaian langsung terhadap obyek yang diamati, terutama obyek penelitian di bidang ilmu sosial. Maka dari itu, yang harus dilakukan adalah menginferensikan sifat-sifat atau ciri-ciri obyek pengematan berdasarkan hal-hal yang diduga merupaka indikasi sifatsifat obyek pengamatan tersebut (Kerlinger, 2000 : 694). Pengukuran variabel penelitian didasarkan atas pemahaman tentang variabel, indikator, dan parameter penelitian yang disusun sesuai arah penelitian. Analisis Data Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan
path
analysis
(analisis
jalur). Analisis
ini
digunakan
untuk
menguraikan pola keterkaitan linier dari sekumpulan variabel yang dilandaskan pada suatu model teoritis tertentu.
72
Menurut Wright (Suharjo, 2006), path analysis pada dasarnya digunakan untuk mempelajari mekanisme kausalitas peubah bebas (independent) dengan peubah tak bebas (dependent), bukan sekedar mempelajari hubungan keeratan (korelasi) antara peubah. Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Penelitian Penelitian pemberdayaan keluarga miskin melalui pendekatan kelompok ini menggunakan tujuh peubah, dengan definisi operasional, Sub peubah, dan indikator - indikator sebagai berikut: (1) Karakteristik Individu (X1) Karakteristik individu yaitu Sejumlah aspek
internal yang melekat pada diri
seseorang yang dapat digunakan untuk menggambarkan karakter seseorang, yang terkait dengan kemampuan dan keberdayaan dirinya dalam berkelompok antara lain Pendidikan formal,
Pendidikan non-formal,
Usia,
Jumlah
tanggungan keluarga. Peubah karakteristik individu diukur melalui empat indikator dan sejumlah parameter sebagaimana pada Tabel 7.
Tabel 7. Indikator dan Parameter Karakteristik Individu Peubah: Karakteristik Individu (X1) Indikator (patokan / petunjuk)
X1.1.Pendidikan formal
X1.2.Pendidikan non –formal
Definisi
Parameter (Ukuran)
Penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga seko-lah/perguruan tinggi resmi
(1)
Penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga terorganisir resmi
(1)
(2)
(2) (3)
X1.3. Usia
Sejumlah tahun yang menunjukkan pengalaman hidup
(1)
X1.4.Jumlah tanggungan keluarga
Sejumlah orang yang tergolong tidak produktif yang harus di-hidupi dan dibiayai dalam keluarga tersebut
(1)
Kriteria
Jenis pendidikan yang diikuti Jumlah tahun sukses dalam pendidikan formal
Jumlah Pelatihan yang diikuti Jumlah Workshop yang diikuti Jumlah Penyuluhan yang pernah diikuti
Akumulasi jumlah tahun sejak lahir
Jumlah isteri yang menjadi tanggungan (2) Jumlah anak yang menjadi tanggungan (3) Jumlah anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggungan
Tahun
Berapa (frekuensi)
Tahun
... orang
kali
73
(2) Karakteristik Kelompok (X2) Karakteristik kelompok adalah suatu keadaan di mana suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota-anggotanya yang terdiri dari keluarga miskin tersebut mencakup beberapa aspek antara lain kepemimpinan
kelompok,
dinamika kelompok, dan komunikasi
antar
kelompok. Peubah keberdayaan kelompok diukur melalui tiga indikator dan sejumlah parameter sebagaimana dituangkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Indikator dan Parameter Karakteristik Kelompok Peubah : Karakteristik Kelompok (X2) Indikator (patokan/petunjuk)
Definisi
X2.1 Kepemimpinan kelompok
Kegiatan pimpinan di dalam mengelola dan menggerakkan anggota dalam kumpulan yang terorganisir untuk mencapai tujuan bersama.
X2.2.Kedinamisan kelompok
Sebuah kondisi yang menjelaskan tentang eksistensi dan proses kegiatan dari para anggota kumpulan yang terorganisir.
Parameter (Ukuran) (1) Tingkat kemampuan pemimpin di dalam menggerakkan anggotanya. (2) Tingkat kemampuan pemimpin dalam melakukan hubungan interpersonal dengan anggota. (3) Tingkat kemampuan pemimpin di dalam memberikan informasi kepada seluruh anggota (4) Tingkat kemampuan pemimpin dalam pengambilan keputusan. (1) Tingkat pencapaian Tujuan bersama. (2) Tingkat kejelasan struktur organisasi. (3) Fungsi tugas dalam kelompok (4) Tingkat pembinaan dan pengembangan anggota. (5) Tingkat kekompakan anggota. (6) Tingkat kerjasama anggota. (7) Suasana kelompok (8) Konflik dalam kelompok (9) Maksud tersembunyi
Kriteria Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
74
Tabel 8 (lanjutan) Peubah : Karakteristik Kelompok (X2) Indikator (patokan/petunjuk) X2.3. Intensitas komunikasi Kelompok
Definisi
Parameter (Ukuran)
Kriteria
Proses interaksi baik langsung maupun tidak langsung diantara anggota dalam kumpulan secara terorganisir
(1) TIngkat intensitas interaksi antar anggota (2) Tingkat keeratan hubungan anggota (3) Tingkat kejelasan komunikasi antar anggota. (4) Tingkat saling pengertian antar anggota.
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
(3) Sumber Daya Keluarga (X3) Sumber daya keluarga adalah sejumlah sumber daya
yang ada dalam
keluarga yang sangat berpengaruh terhadap segala aktivitas keluarga, baik yang berhubungan dengan aktivitas di dalam keluarga miskin ataupun yang terkait dengan aktivitas di luar keluarga miskin itu sendiri. Sumber daya keluarga diukur melalui dua indikator utama beberapa ukuran antara lain: (1) Sumber daya fisik keluarga; dan (2) Sumber daya non fisik keuarga miskin. Peubah
sumber
daya
keluarga
beserta
indikator
pengukuran
dan
parameternya disajika pada tabel 9.
Tabel 9. Indikator dan Parameter Sumber Daya Keluarga
Peubah: Sumber Daya Keluarga (X3) Indikator (patokan / petunjuk)
Definisi
X.3.1 Sumber daya Fisik
Segala sesuatu yang tidak bergerak yang dimiliki oleh keluarga yang memiliki nilai guna, manfaat dan menghasilkan keuntungan bagi keluarga tersebut.
Parameter (Ukuran) (1) Luas rumah yang dimiliki keluarga (2) Luas masing-masing kamar yang ada dalam rumah (3) Luas tanah rumah tempat tinggal (4) Posisi rumah tempat tinggal keluarga
Satuan Ha atau m2
Strategis atau tidak strategis
75
Tabel 9 (Lanjutan) Peubah: Sumber Daya Keluarga (X3) Indikator Definisi (patokan / petunjuk) X.3.2.Sumber Sejumlah sistem Daya Non- nilai yang dimiliki Fisik keluarga yang memberikan kegunaan, manfaat dan keuntungan bagi keluarga tersebut
Parameter (Ukuran)
(1) Tingkat rasa saling percaya diantara anggota keluarga (2) Intensitas komunikasi antar anggota keluarga (3) Intensitas komunikasi dengan keluarga lain (tetangga) (4) Tingkat keamanan psikis anggota keluarga (5) Tingkat kesadaran anggota keluarga terhadap pendidikan keluarga
Kriteria
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
(4) Lingkungan Sosial (X4) Lingkungan sosial adalah suatu kondisi di luar keluarga yang sangat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keberlangsungan sebuah keluarga dalam menjalankan roda ekonomi dan sosial baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan sosial tersebut dapat berwujud fisik seperti yang terkait dengan panataan wilayah perkotaan dan non fisik seperti halnya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Lingkungan sosial dapat diukur berdasarkan pendapat dari kepala keluarga miskin melalui tujuh indikator dan beberapa ukuran yaitu (1) Dampak negatif kebijakan pemerintah, (2) Ketersediaan sumber daya ekonomi, (3) Ketersediaan sumber daya sosial, (4) Peran media massa, dan (5) Jaringan Usaha, (6) Peluang kemitraan, dan (7) Pengaruh kultural. Ketujuh indikator
76
tersebut merupakan indikator yang dinilai secara langsung oleh responden berdasarkan kondisi yang dirasakan oleh responden. Peubah lingkungan sosial beserta indikator dan parameternya disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Indikator dan Parameter Lingkungan Sosial Peubah: Lingkungan Sosial (X4) Indikator (patokan/petunjuk)
Definisi
Parameter (Ukuran)
Kriteria
X4.1.Dampak Kebijakan pemerintah
Akibat sosial yang ditimbulkan oleh adanya sejumlah kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah
(1) Dampak kebijakan pembangunan kota (2) Dampak kebijakan penataan kota (3) Dampak penertiban kota
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X4.2.Ketersediaan sumber daya ekonomi
Segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan ekonomi terhadap keluarga
(1) Ketersediaan modal ekonomi (2) Keikutsertaan dalam pelatihan keterampilan berusaha (3) Tingkat penyerapan informasi (4) Bantuan dari pihak luar
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X4.3.Ketersediaan sumber daya sosial
Segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan dalam memperkuat sistem sosial terhadap keluarga
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X4.4. Peran Media Massa
Kemampuan perangkat informasi dan pelaku media dalam memberikan pengetahuan dan perubahan perilaku bagi keluarga.
(1) Tingkat kepercayaan antar keluarga dengan keluarga lain (2) Kerja sama antar keluarga dengan keluarga lain (3) Intensitas kegiatan gotong royong (1) Intensitas pemanfaatan media cetak. (2) Intensitas pemanfaatan media elektronik.
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
77
Tabel 10 (Lanjutan) Peubah: Lingkungan Sosial (X4) Indikator (patokan/petunjuk) X4.5.Jaringan Usaha
Definisi
Parameter (Ukuran)
Kriteria
Kelompok-kelompok kerja atau usaha yang menjadi mitra kerjasama .
(1) Keterseiaan jaringan informasi (2) Kerjasama dengan Kelompok lain (3) Kerja sama dengan pihak swasta (4) Kerja sama dengan pemerintah
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X4.6. Peluang Kemitraan.
Sejumlah peluang dan kesempatan untuk melakukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya.
(1) Tukar menukar informasi (2) Intensitas komunikasi dengan dunia usaha
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X4.7. Pengaruh Kultural
Sejumlah nilai–nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat
(1) Adaptasi terhadap kebiasaan dalam masyarakat (2) Adaptasi terhadap keyakinan dalam masyarakat (3) Adaptasi terhadap norma dalam masyarakat
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
(5 ) Intervensi Pemberdayaan (X5) Intervensi pemberdayaan adalah pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga – lembaga formal baik oleh pihak pemerintah, swasta, NGO (Non Goverment Organization), perguruan tinggi dengan tujuan untuk merubah pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota keluarga miskin sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga. Peubah intervensi pihak luar dapat diukur melalui beberapa indikator antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan dan kegiatan fasilitasi. Peubah keberdayaan keluarga beserta indikator dan sejumlah parameter disajikan pada Tabel 11.
78
Tabel 11. Indikator dan Parameter Intervensi Pemberdayaan Peubah: Intervensi Pemberdayaan (X5) Indikator (patokan / petunjuk)
Definisi
Parameter (Ukuran)
Kriteria
X5.1.Proses Pemberdayaan
Serangkaian kegiatan pemberdayaan yang di dalamnya terdapat metode, pendekatan dan substansi peningkatan kesejahteraan keluarga
(1) Pengelolaan sumber daya ekonomi (2) Pengelolaan usaha (3) Pengelolaan permodalan (4) Pengelolaan pengembangan jaringan (5) Pengelolaan organisasi
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X5.2.Kewenangan dalam Pemberdayaan
Kemampuan kepala keluarga di dalam mengetahui, memahami dan menjalankan kegiatan memberdayakan dirinya sendiri.
(1) Pemahaman tentang kegiatan pemberdayaan (2) Kemandirian menJalankan kegiatan pemberdayaan
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
X5.3.Kegiatan Fasilitasi
Sejumlah kegiatan pemberdayaan yang memberikan peningkatan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga yang dilakukan secara berkelanjutan.
(1) Dukungan usaha (2) Frekuensi bantuan dana stimulus (3) Frekuensi bantuan sarana prasarana usaha produktif
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
(6) Keberdayaan Keluarga (Y1) Keberdayaan keluarga adalah kemampuan dari keluarga miskin untuk tetap bertahan
hidup
hidup,
berkembang
dan
berubah
sesuai
dengan
perkembangan yang terjadi pada lingkungan yang ada di sekitar keluarga sehingga mampu mencari alternatif di dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Peubah keberdayaan keluarga diukur melalui empat indikator yaitu kemampuan adaptasi, kemampuan mencapai tujuan keluarga, kemampuan berintegrasi, dan tingkat latensi. Peubah keberdayaan keluarga beserta indikator dan sejumlah parameter disajikan pada Tabel 12.
79
Tabel 12 . Indikator dan Parameter Keberdayaan Keluarga Peubah: Keberdayaan Keluarga (Y1) Indikator (patokan / petunjuk) Y1.1 Kemampuan adaptasi
Definisi
Parameter (Ukuran)
Kriteria
Upaya dan kekuatan keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial Upaya dan kekuatan keluarga untuk merealisasikan kegiatan terprogram untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh keluarga
(1) Tingkat kemampuan menyesuaikan terhadap lingkungan (2) Tingkat kemampuan untuk merubah orientasi keluarga (3) Tingkat Kemampuan memanfaatkan sumberdaya keluarga (1) Tingkat kemampuan mencapai tujuan ekonomi (2) Tingkat kemampuan mencapai tujuan sosial
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Y1.3 Kemampuan berintegrasi
Upaya dan kekuatan keluarga untuk membangun kebersamaan diantara anggota keluarga
(1) Pola interaksi dengan anggota keluarga (2) Tingkat keeratan hubungan dengan anggota keluarga
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Y1.4. Tingkat tensi
Nilai – nilai internal yang tidak tampak tetapi ada dan berpengaruh di dalam keluarga
(1) Rasa tanggung jawab masing-masing anggota keluarga (2) Tingkat persaingan antar anggota keluarga (3) Tingkat kerjasama antar anggota keluarga (4) Tingkat kesadaran untuk maju
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Y1.2 Kemampuan mencapai tujuan keluarga
la-
Interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
(7) Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2) Kesejahteraan
keluarga
adalah
suatu
kondisi
yang
menunjukkan
kemampuan keluarga di dalam mencari alternatif – alternatif pemecahan masalah keluarga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tertier. Peubah kesejahteraan keluarga akan diukur melalui empat indikator yaitu tingkat pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan
80
primer, pemenuhan kebutuhan sekunder, dan pemenuhan kebutuhan tertier. Peubah kesejahteraan keluarga beserta indikator dan sejumlah parameter yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Indikator dan Parameter Tingkat Kesejahteraan Keluarga Peubah: Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2) Indikator (patokan / petunjuk)
Definisi
Parameter (Ukuran)
Satuan
Y2.1 Tingkat pendapatan keluarga
Sejumlah penghasilan yang didapatkan dalam satu keluarga
(1) Tingkat pendapatan tetap (2) Tingkat pendapatan tidak tetap
Jumlah Rp.
Y2.2.Pemenuhan kebutuhan dasar
Segala sesuatu yang bersifat mendasar yang harus segera dipenuhi dalam keluarga
Jumlah Rp.
Y2.3.Pemenuhan kebutuhan sekunder
Segala sesuatu yang bersifat penunjang yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi
(1) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan makan (2) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kesehatan (3) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan perumahan (1) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan pendidikan (2) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan rekreasi
Y2.4.Pemenuhan kebutuhan tertier
Segala sesuatu yang bersifat penunjang lainnya yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi
(1) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kendaraan (2) Tingkat konsumsi per bulan / tahun untuk keperluan perhiasan (3) Jumlah tabungan keluarga dalam setahun
Jumlah Rp.
Y2.5.Kesinambungan usaha
Tingkat keberlangsungan kegiatan produktif keluarga dalam jangka waktu yang lama
Jumlah Rp.
Y2.6.Pengelolaan Keuangan
Kemampuan keluarga di dalam mengatur dan menggunakan dana keluarga untuk kepentingan dan
(1) Jumlah penambahan modal usaha (2) Biaya terhadap kualitas dan kuantitas kegiatan usaha (3) Biaya perluasan jaringan kerja (1) Jumlah dana yang dapat ditabung untuk kegiatan usaha (2) Jumlah dana yang diinvestasi.
kesejahteraan keluarga pada masa yang akan datang.
Jumlah Rp.
Jumlah Rp.
81
HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Penelitian Kota Jakarta Utara Sesuai dengan pembagian Kota Administrasi, maka wilayah Kota Jakarta Utara mempunyai batas-batas dengan Kotamadya lainnya sebagai berikut: (1) Utara: Titik Koordinat 106-20 derajat-00 derajat bujur Timur sampai dengan 06-10derajat lintang Selatan; 106-67 derajat-00 derajat Bujur Timur sampai dengan 10 derajat – 00 derajat lintang Selatan; (2) Timur : Kali Blencong – kali Ketapang ( Batas Daerah khusus Ibukota Jakarta), Selatan Padongkelan-Sungai Begong-Selokan Petukangan (Batas Daerah Khusus Ibukota Jakarta), Kali Cakung; dan (3) Selatan: Kali Angke-Rel KA Aling Selatan (Kota Gambir) mengikuti JL. Raya Mangga Dua Utara terus mengikuti pintu KA Gg. Burung Jl. Mangga Dua sampai KA Gambir terus mengikuti rel KA Jl. Mangga Dua sampai rel KA Kota.; dan (4) Barat : Jembatan Tiga-Kali Muara Karang-Kali Muara Angke
Kota Bekasi Berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi, dengan wilayah terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan (termasuk Kec. Cibarusah) dan 95 desa. Angka-angka tersebut secara simbolis diungkapkan dalam lambang Kabupaten Bekasi dengan motto "SWATANTRA WIBAWA MUKTI." Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke Kota Bekasi (Jl. Ir. H Juanda). Kemudian pada tahun 1982, pada saat Bupati dijabat oleh Bapak H. Abdul Fatah gedung perkantoran Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. A. Yani No.1 Bekasi. Pesatnya perkembangan Kecamatan Bekasi menuntut dimekarkannya kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif (Kotif) Bekasi yang terdiri atas empat kecamatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1981, yaitu kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, yang seluruhnya meliputi 18 Kelurahan dan 8 desa. Peresmian Kota Administratif Bekasi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 20 April 1982.
82
Pada perkembangannya Kota Administratif Bekasi terus bergerak dengan cepat. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan roda perekonomian yang semakin bergairah, sehingga status kotif Bekasi pun kembali ditingkatkan menjadi Kotamadya (sekarang "Kota") melalui Undangundang Nomor 9 Tahun 1996. Jumlah Keluarga Miskin Tahun 2008 angka penduduk miskin di DKI Jakarta Utara sebanyak 379.600 jiwa. Pada 2009 jumlah penduduk miskin turun menjadi 323.200 jiwa. Jumlah keluarga miskin terbanyak berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 54.827 rumah tangga. Jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) di Kota Bekasi tahun 2009 mencapai 37. 744 keluarga atau sebanyak 130.974 jiwa, turun dari sebelumnya 38.109 KK atau sebanyak 160 ribu jiwa (BPS,2009)
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Strategi penanggulangan kemiskinan yang berlaku di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi saat ini mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang digulirkan oleh pemerintah. SNPK merupakan caracara dan tahapan sistematis yang harus ditempuh dan dijalankan oleh pemerintah, swasta, masyarakat dan berbagai pihak dalam upaya mendorong gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. Tujuan SNPK adalah: (1) Menegaskan komitmen lembaga negara, pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah
kabupaten/kota,
lembaga
swadaya
masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli untuk memecahkan masalah kemiskinan. (2) Membangun konsensus bersama untuk mengatasi masalah kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar dan pendekatan partisipatif dalam perumusan strategi dan kebijakan. (3) Mendorong sinergi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan
oleh
pemerintah
pusat,
pemerintah
provinsi,
pemerintah
kabupaten/kota, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, pelaku usaha, lembaga internasional, dan pihak yang peduli.
83
(4) Menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (millennium development goal) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan.
Karakteristik Individu Pendidikan Formal Pendidikan formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga sekolah/perguruan tinggi resmi, yang meliputi: jenis pendidikan yang diikuti, dan jumlah tahun sukses dalam pendidikan formal. Secara umum, terdapat kondisi yang cenderung sama berkaitan dengan perbedaan tingkat pendidikan formal bagi setiap responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Selengkapnya sebaran berkaitan dengan tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Tingkat Pendidikan Formal Responden Kota Jakarta Utara
Kategori Pendidikan
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
88
50,57
83
62,88
Sedang
85
48,85
49
37,12
Tinggi
1
0,58
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal responden berada dalam kategori rendah. Tingkat pendidikan formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat karagaman yang tidak begitu tinggi. Tingkat pendidikan formal bagi responden menunjukkan pada tingkat pendidikan yang rendah. Sedangkan responden yang memiliki pendidikan sedang dan tinggi masih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi belum secara serius untuk memperhatikan pendidikan. Berdasarkan uraian yang didapatkan dari
84
wawancara mendalam, terdapat beberapa alasan seorang kepala keluarga tidak memiliki pendidikan formal yang memadai adalah : (1) Mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mementingkan pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai sesuai yang tidak begitu penting dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi dianggapnya tidak memiliki korelasi terhadap pekerjaan seseorang, (2) Mereka berasal dari orang tua dan anak dari keluarga yang tidak memiliki kecukupan ekonomi serta tidak memiliki motivasi untuk mengubah kehidupannya lewat pendidikannya, (3) Dalam keluarganya belum memiliki budaya wajib sekolah bagi anak-anaknya, dan (4) Khusus bagi responden yang perempuan menganggap bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin untuk menjadi sukses, karena pada akhirnya ia akan terjun menjadi ibu rumah tangga. Hasil wawancara mendalam yang dilakukan terhadap salah seorang responden yang hanya lulusan SMP itu ia mengatakan bahwa keadaan ekonomi orang tuanya yang tidak memungkinkan untuk dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Orang tuanya bekerja sebagai kuli bangunan dengan 6 orang bersaudara. Dengan kondisi seperti itu orang tuanya merasa tidak mampu lagi membiayai sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bagi orang tuanyanya, ia sudah mengenyam pendidikan sudah syukur dan sudah melewati pendidikan SD. Orang tuanya tidak berpikir panjang agar anak-anaknya dapat melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Ketika ia disuruh berhenti sekolah setamat SMP, ia tidak memberontak kepada orang tuanya untuk memohon dapat melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan, awalnya ia merasa senang karena lebih banyak waktu untuk bermain dan tidak disibukkan oleh kegiatan dan kesibukan belajar. Namun lama kelamaan, semakin usia bertambah, ia juga merasa kebingungan apa yang dapat ia kerjakan dengan ijazah SMP yang ia miliki tersebut. Akhirnya ia mencoba bekerja sebagai tenaga kasar misalnya sebagai kuli bangunan dan kerjaan kasar lainnya. Ketika ada tawaran untuk menjadi tenaga satpam di perumahan dekat rumahnya tersebut, ia mencoba untuk masuk dan
diterima.
Namun
dengan
pekerjaan
sebagai
satpam
tentunya
pendapatannya sangat pas-pasan, apalagi ia sekarang sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Keluarganya hidup dalam kondisi yang sangat terbatas. Tingkat pendidikan formal keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebagian besar adalah rendah disebabkan mayoritas mereka berasal dari
85
keluarga yang tidak mampu. Mereka beranggapan bahwa biaya pendidikan sekarang ini sangat mahal mulai dari biaya seragam, buku, uang saku dan tanggungan biaya lainnya yang tidak mampu mereka atasi. Menurut mereka, meskipun di sebagian besar sekolah negeripun sudah terdapat sekolah yang gratis, tetapi masih ada biaya-biaya lain yang harus mereka keluarkan. Di sisi lain mereka tidak memiliki motivasi untuk mengubah hidup dengan pendidikan dan pasrah dengan alasan tidak adanya biaya. Pendidikan bagi mereka sepertinya berlaku turun temurun dikarenakan orang tua mereka juga memiliki pendidikan yang rendah. Kesadaran bagi tiap-tiap keluarga miskin untuk memotivasi anggota keluarga untuk meningkatkan pendidikannya masih sangat rendah. Pada akhirnya tingkat pendidikan yang rerndah tersebut dipersepsikan sebagai kondisi yang menjadi turun temurun.
Pendidikan Non formal Pendidikan non formal merupakan penambahan kemampuan yang didapatkan oleh seseorang melalui lembaga yang terorganisasi secara resmi, yang meliputi : jumlah pelatihan yang diikuti, jumlah workshop yang diikuti, dan jumlah penyuluhan yang pernah diikuti. Sebaran mengenai pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh responden ternyata menunjukkan kondisi yang seragam. Sebanyak 2-8 persen responden sangat sedikit untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formalnya. Hanya sedikit dari responden yang pernah mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Pendidikan non formal bagi keluarga miskin bukan menjadi kebutuhan yang penting dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota keluarga. Mereka sepertinya tidak terbiasa untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal. Secara umum mereka tidak memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan. Kondisi tersebut tidak saja berkaitan dengan keikutsertaan mereka dalam pendidikan non formal, melainkan juga terjadi pada perhatian mereka terhadap pendidikan formal. Khusus terkait dengan sebaran keterlibatan responden dalam kegiatan pendidikan non formal, dapat disajikan pada Tabel 15 .
86
Tabel 15. Kondisi Tingkat Pendidikan Non Formal Responden Kota Jakarta Utara
Kategori Pendidikan*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
145
83,33
110
83,33
Sedang
25
14,37
12
9,09
Tinggi
4
2,30
10
7,58
Jumlah
174
100
132
100
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan non formal responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk kategori rendah. Rendahnya keterlibatan responden dalam pendidikan non formal tersebut disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Responden sangat bergantung kepada pihak-pihak terkait mengenai keberadaan pendidikan non formal tersebut baik yang diadakan oleh pihak pemerintah, pihak swasta, LSM dan lembaga-lembaga yang lain. Ketika tidak ada lembaga yang berinisiatif memberikan pendidikan non formal secara gratis, mereka tidak tergerak untuk mengikutinya; (2) Responden tidak
memiliki
kemampuan
ekonomi
yang
cukup
untuk
membiayai
keterlibatannya untuk mengikuti pendidikan non formal seperti kursus, pelatihan, sosialisasi dan sebagainya. Mereka selalu mengandalkan bentuk-bentuk pendidikan non formal yang sifatnya gratisan, khususnya yang diadakan oleh pemerintah atau LSM; (3) Responden tidak memiliki informasi dan tidak mau mencari tahu tentang pendidikan non formal yang dapat ia ikuti; dan
(4)
Responden tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk secara sadar mengikuti pendidikan non formal, sehingga ketika ada kegiatan pelatihan, sosialisasi yang diadakan oleh lembaga pemerintah khususnya justru mereka harus dibujuk bahkan dipaksa oleh orang lain untuk mengikutinya. Bagi responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal, sebagian besar pendidikan non formal yang
diikuti adalah jenis keterampilan seperti
pertukangan, kesehatan, kerajinan tangan dan sebagainya, sedangkan untuk jenis pendidikan di bidang kewirausahaan, berdagang masih sangat sedikit.
87
Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang responden yang bekerja sebagai tukang jual buah, terungkap bahwa ia hanya sekali mengikuti pelatihan, yaitu pelatihan menganai keamanan yang diadakan oleh kelurahan, sedangkan untuk pendidikan non formal lainnya khususnya yang berkaitan dengan usaha sama sekali belum pernah ia ikuti. ia mengatakan bahwa jangankan mengikuti pendidikan non formal, untuk makan saja ia masih kekurangan. Kalau misalnya ada sosialisasi dan pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau lembaga lainnya, ia sendiri masih mikir-mikir untuk mengikutinya karena pasti ia tidak bias berdagang buahnya itu sehingga tidak ada pendapatan yang ia terima dalam beberapa waktu pelatihan tersebut. Dulu ketika ia ikut pelatihan keamanan tersebut, dikarenakan dipaksa oleh Pak RT dan dikasih uang transport yang tidak seberapa itu. Ia berpendapat, dibandingkan ikut pelatihan atau sosialisasi yang hanya dapat uang transport yang menurutnya tidak seberapa itu, lebih baik berdagang buah saja. Ia merasa bahwa pelatihan pada dasarnya bermanfaat, tetapi karena ia lebih mengutamakan kepentingan usahanya sehingga ia malas untuk mengikuti kegiatan pendidikan non formal yang lain. Dalam beberapa kesempatan jenis pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh sebagian responden dirasa tidak berhubungan dengan kemampuan berusaha, melainkan bidang-bidang yang lain seperti pelatihan keamanan, pelatihan rukun kematian, pelatiha pemadam kebakaran dan sebagainya.
Usia Responden Usia
Responden
merupakan
pengalaman hidup yaitu akumulasi
sejumlah
tahun
yang
menunjukkan
jumlah tahun sejak lahir. Sebaran usia
responden sebagai kepala keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menyebar pada tiga kategori yaitu kategori usia 20-35 tahun, 36-50 tahun, dan 50 tahun ke atas. Meskipun demikian dari sebaran yang ada menunjukkan bahwa responden lebih banyak berada pada usia
36-50 tahun, dilanjutkan
dengan usia 20-35, dan yang terakhir usia 50 tahun ke atas. Secara lebih jelas sebaran usia responden tersebut secara lebih jelas pada Tabel 16 .
88
Tabel 16. Usia Responden Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
66
37,93
24
18,18
Sedang
104
59,77
92
69,70
4
2,30
16
12,12
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Berdasarkan Tabel 16 menunjukkan bahwa usia responden di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Berdasarkan hasil penelusuran secara mendalam melalui wawancara mendalam bahwa tingginya usia responden yang berada pada usia 36-50 menunjukkan bahwa pada usia tersebut merupakan usia yang produktif dan matang. Responden yang berada pada usia tersebut merasa bahwa mereka merasa secara fisik masih sangat kuat dan produktif untuk bekerja khususnya untuk bekerja kasar. Responden yang berada pada usia 56 ketas sudah merasa usianya sudah tidak produktif lagi baik secara tenaga maupun mental. Mereka lebih banyak menunggu bantuan dari anak-anaknya. Kalaupun mereka berusaha, mereka berusaha pada kategori yang sederhana saja.
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga merupakan sejumlah orang yang tergolong tidak produktif yang harus dihidupi dan dibiayai
dalam keluarga tersebut, yang
meliputi : jumlah isteri yang menjadi tanggungan, jumlah anak yang menjadi tanggungan, dan jumlah anggota keluarga lainnya yang menjadi tanggungan. Terdapat pola yang sama diantara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Secara umum sebaran jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Sebesar 91,39 % persen keluarga miskin di Kota Jakarta Utara memiliki
89
tanggungan sebanyak 3-6 orang, sedangkan di Kota Bekasi sebesar 68,18 % yang memiliki tanggungan keluarga sebanyak 3-6. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
8
4,60
39
29,55
Sedang
159
91,38
90
68,18
7
4,02
3
2,27
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah. Terdapat beberapa alasan bagi sebagian besar keluarga miskin yang tidak menginginkan jumlah tanggungan lebih dari 6 orang adalah : (1) Beban ekonomi keluarga yang sudah sangat berat, sehingga sangat membatasi jumlah tanggungan keluarga. Dengan jumlah beban keluarga kurang dari 6 orang saja mereka menganggap sudah berat apalagi dengan jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang maka akan semakin membebani keluarga tersebut, dan (2) Menginginkan jumlah tanggungan sedikit karena tidak menginginkan kerepotan dan menyediakan keperluan sehari-hari seperti makan, pendidikan, pakaian dan sebagainya. Bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang lebih dari 6 orang, terdapat beberapa alasan: (1) Masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang terdapat dalam keluarga yang senang dengan adanya keluarga yang besar. Mereka merasa sangat senang berkumpul dengan keluarga besarnya tersebut. Masih terdapat prinsip banyak anak banyak rezeki di sebagian keluarga miskin, meskipun pada dasarnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang masih sangat kekurangan dan apa adanya; (2) Adanya nilai yang mewajibkan anakanaknya untuk mengurus orang tuanya, terutama ketika orang tuanya tersebut sudah tua; (3) Mereka senang dengan jumlah anak yang benyak tersebut karena
90
dengan anak yang banyak tersebut dapat membantu mengerjakan pekerjaan keluarga penanaman budaya untuk saling tolong menolong diantara anggota keluarga. Harapannya adalah ketika ada anggota keluarga yang berhasil maka dapat membantu bagi anggota keluarga yang tidak berhasil. Dalam kegiatan wawancara mendalam dengan salah seorang yang menjadi pekerja rendahan di sebuah instansi swasta yang gajinya jauh di bawah UMP Propinsi DKI Jakarta memiliki 2 orang anak dan memiliki rumah yang ukurannya hanya 40 m2, terungkap bahwa Ia sangat khawatir memiliki anak lebih dari 2 orang meskipun sebenarnya ia menginginkan untuk manambah anak lagi. Karena alasan ekonomi yang sangat terbatas maka ia tidak mau mengambil resiko untuk menambah anak lagi. Menurutnya, jangankan untuk menambah anak, untuk membiayai 2 orang anak dan 1 orang istri saja ia merasa kesulitan. Ia sendiri merasa malu dengan keluarga dan anggota keluarga lainnya untuk memiliki anak lebih dari 2 orang.
Karakteristik Kelompok Kepemimpinan Kelompok Kepemimpinan kelompok dalam penelitian ini lebih menekankan kepada kegiatan pimpinan
di dalam mengelola dan menggerakkan anggota dalam
kumpulan yang terorganisasi untuk mencapai tujuan bersama, yang meliputi: tingkat kemampuan
pemimpin di dalam menggerakkan anggotanya, tingkat
kemampuan pemimpin dalam melakukan hubungan interpersonal dengan anggota, tingkat kemampuan pemimpin di dalam memberikan informasi kepada seluruh anggota, dan tingkat kemampuan pemimpin
dalam pengambilan
keputusan. Secara umum kepemimpinan kelompok yang dilakukan oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan pada kategori yang rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi didasarkan kepada jenis kelompok yang diikuti. Penjelasan mengenai sebaran persepsi responden
mengenai
kepemimpinan dalam kelompok dapat secara jelas tergambar pada Tabel 18.
91
Tabel 18. Kepemimpinan Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
9
5,17
18
13,64
Sedang
159
81,38
102
77,27
6
3,45
12
9,09
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 63 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 18 menunjukkan bahwa kepemimpinan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 63. Pada kelompok yang termasuk dalam kategori kelompok usaha yang diikuti oleh keluarga miskin menunjukkan tingkat kepemimpinan kelompoknya termasuk dalam ketegori rendah. Rendahnya kepemimpinan kelompok disebabkan oleh beberapa alasan: (1) Pemimpin kurang memiliki tanggung jawab baik secara moral maupun secara material untuk menjaga, menyelamatkan dan mengembangkan modal ekonomi menjadi lebih besar. Tanggung jawab secara moral berkaitan dengan tingkat kepercayaan terhadap modal yang dikembangkan dalam usaha kelompok tersebut. Berkaitan dengan tanggung jawab materiil adalah bahwa adanya kekurangan yang terjadi pada modal usaha yang disebabkan karena kelalaian ketuanya, namun ketua kelompok tidak secara otomatis bertanggung jawab untuk mengganti modal tersebut; (2) Di dalam kelompok yang di dalamnya terdapat kegiatan usaha, tidak memberikan inspirasi kepada para anggotanya untuk ikut membesarkan kelompok. Motivasi yang tinggi dari anggota sebenarnya hanyalah didasarkankan oleh seberapa besar ia mendapatkan keuntungan dari kelompok usahanya tersebut secara teratur tetapi tidak untuk membesarkan kelompok; (3) Aspek lainnya yang melemahkan motivasi anggota kelompok adalah tidak adanya kejelasan dan keteraturan anggota untuk melakukan kegiatan yang bisa menghasilkan keuntungan bagi keluarganya. Bagi keluarga miskin, adanya motif ekonomi menjadi pendorong utama bagi tiap-tiap anggota keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kelompok; dan (4) Pimpinan kelompok tidak mau belajar untuk mengatur kelompoknya, baik dalam hal
92
kemampuan
dalam
menggerakkan
anggotanya,
melakukan
hubungan
interpersonal, memberikan informasi kepada anggotanya, ataupun kemampuan untuk mengambil keputusan yang menguntungkan kelompoknya, sehingga keberadaan kelompok tidak mengalami kemajuan yang signifikan. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang pegawai rendahan yang memiliki 3 orang anak, menjadi anggota memiliki kelompok usaha bersama dari satu alumni SD yang ada di Jakarta utara dalam bentuk pengumpulan modal bersama untuk diusahakan bersama dengan jumlah anggota ada
21 orang,
terungkap bahwa modal awal yang dikumpulkan masing-masing anggota adalah sebesar Rp. 300.000 dengan maksud untuk membuka usaha yang menjual mie bakso. Pada awalnya pengelolaan usaha tersebut agak tersendat karena kurangnya pengalaman. Namun lama kelamaan pengelolaan usaha tersebut berjalan lancar mulai dari bulan pertama sampai dengan sekarang. Ketika ada keuntungan, meskipun kecil setiap anggota masih mendapatkan hasilnya. Di samping itu laporan keuangannya berjalan dengan baik. Meskipun laporan keuangannya dibuat secara sederhana, namun tidak terdapat kejelasan bagi semua anggota berkaitan dengan jumlah modal yang ada, jumlah pengeluaran yang termasuk dalam biaya operasional, ataupun jumlah keuntungan yang didapat oleh kelompok usahanya. Di samping itu juga modal usaha semakin lama semakin tidak jelas perkembangan modalnya, apakah semakin bertambah atau semakin berkurang. Pimpinan kelompok jarang sekali mengajak untuk bertemu
membicarakan
usaha.
Pimpinan
kelompok
juga
jarang
sekali
mengontrol perkembangan usaha. Sekarang usaha kelompok usaha yang ada tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan. Kelompok yang bergerak di luar bidang usaha ternyata juga menunjukkan soliditas kelompok dan kepemimpinnya yang rendah. Kepemimpinan kelompok yang ada pada kelompok yang bergerak di bidang sosial menunjukkan kategori yang rendah. Beberapa kelompok yang bergerak dalam bidang sosial antara lain: kelompok pengajian, karang taruna, dan sebagainya. Terdapat beberapa alasan yang memperkuat rendahnya kepemimpinan kelompok : (1) kelompok usaha yang bergerak di bidang sosial dipersepsikan tidak memiliki keuntungan ekonomi, sehingga sebagian dari mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk ikut dalam kelompok tersebut; (2) Kelompok sosial tersebut dipersepsikan hanya diikuti oleh orang-orang tertentu yang memang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang banyak terlibat
93
dalam kelompok tersebut. Ketika kelompok tersebut sudah ada yang terlibat, maka bagi orang lain tidak menjadi kewajiban untuk terlibat dalam kelompok tersebut; dan (3) Karena bergerak dalam bidang sosial, kepemimpinan yang diperankan oleh ketua kelompok adalah kepemimpinan yang seadanya sesuai dengan kemampuan pemimpinnya tersebut.
Kedinamisan Kelompok
Kedinamisan kelompok pada dasarnya merupakan sebuah kondisi yang menjelaskan tentang eksistensi dan proses kegiatan dari para anggota kumpulan yang terorganisir yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta utara dan Kota Bekasi yang meliputi: tingkat pencapaian Tujuan bersama, tingkat kejelasan struktur organisasi, fungsi tugas dalam kelompok, tingkat pembinaan dan pengembangan anggota, tingkat kekompakan anggota, tingkat kerjasama anggota, suasana kelompok, konflik dalam kelompok, dan maksud tersembunyi. Secara umum sebaran mengenai kedinamisan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori rendah. Sebaran mengenai hal tersebut dapat terlihat jelas pada tabel 19.
Tabel 19. Kondisi Kedinamisan Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
120
68,96
73
55,30
Sedang
52
29,89
41
31,06
2
1,15
18
13,64
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 48 ; dan skor minimum : 12 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
94
Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa kedinamisan kelompok usaha di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan rataan sebesar 60. Tingkat kedinamisan kelompok keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara ditunjukkan dengan persepsi responden sebesar 68,96 % pada kategori rendah dan Kota Bekasi ditunjukkan dengan persepsi responden sebesar 55,30 % pada kategori rendah, sedangkan sisanya termasuk dalam kategori sedang dan tinggi. Tidak berjalannya dinamika kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin didasarkan oleh beberapa alasan : (1) Tidak adanya kejelasan tujuan yang dibentuk oleh kelompok. Anggota kelompok tidak mengetahui secara jelas megenai tujuan dibentuknya kelompok tersebut. Kelompok dipersepsikan dengan adanya kumpul-kumpul dari para anggota dengan kegiatan yang seadanya, sehingga tidak ada program yang jelas untuk menjalankan kelompok tersebut. Dari beberapa kelompok yang ada hanya sedikit sekali yang memiliki tujuan yang jelas.; (2) Setiap anggota tidak memahami secara jelas mengenai struktur yang ada dalam kelompok. Struktur yang dibuat tidak sesuai dengan prinsip-prinsi organisasi yang baik khususnya di dalam menjalankan TUPOKSI tiap-tiap anggota kelompoknya tersebut.; (3) Di dalam kelompok selama ini membina hubungan yang baik antar anggota yang ditunjukkan dengan adanya kerja sama diantara anggota dan pimpinan kelompoknya. Namun, dalam beberapa hal masih terdapat konflik-konflik kecil diantara para anggotanya. Konflik tersebut muncul dikarenakan adanya kesalahpahaman dari anggota terhadap pengelolaan kelompok tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak yang tergabung dalam kelompok usaha bersama ibu-ibu lainnya di lingkungan RW, terungkap bahwa kelompok yang terbentuk berawal dari pertemuan ibu-ibu PKK, yang kemudian tercetus ide untuk membuat kelompok usaha yang bergerak di bidang makanan kecil yaitu produk krupuk ikan. Beberapa tahun yang lalu, ketika masih ada Pemerintah Kota terdapat program pendampingan terhadap usaha rumah tangga bagi prasejahtera. Kebetulan pada waktu itu juga pemerintah kota menggandeng lembaga pendidikan tinggi untuk menjadi pendamping. Dalam proses pendampingan tersebut dibentuklah struktur kelompok, tujuan organisasi, pembagian tugas dan sebagainya. Kegiatan pendampingan yang dilakukan tersebut hanya berjalan sekitar 6 bulan. Namun, karena tidak adanya motivasi yang kuat dari para
95
anggota untuk tetap mengembangkan usaha kelompok tersebut, maka kelompok yang ada sekarang berjalan dengan seadanya tanpa pengelolaan yang baik dan terencana.
Intensitas Komunikasi Kelompok Intensitas komunikasi kelompok pada dasarnya merupakan proses interaksi baik langsung maupun tidak langsung diantara anggota dalam kelompok yang dilakukan secara terorganisir, yang meliputi : tIngkat intensitas interaksi antar anggota, tingkat keeratan hubungan anggota, tingkat kejelasan komunikasi antar anggota, serta tingkat saling pengertian antar anggota. Sebaran mengenai intensitas komunikasi kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang tinggi. Sebaran mengenai hal tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Intensitas Komunikasi Kelompok Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
0
0
18
13,64
Sedang
9
5,17
3
2,27
Tinggi
165
94,83
111
84,09
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Keterangan : *Skor maksimum: 55 ; dan skor minimum : 14 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa intensitas komunikasi kelompok di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori sedang, dengan nilai rataan sebesar 75. Berjalannya intensitas komunikasi kelompok didasarkan kepada beberapa alasan : (1) Komunikasi yang dikembangkan oleh anggota kelompok selama ini terjadwal. Pertemuan terjadwal biasanya dilakukan pada akhir minggu untuk melihat perkembangan dari kelompok. Namun ketika ada kegiatan yang berhubungan dengan pihak lain, misalnya berhubungan dengan pihak pemerintah, pihak swasta, lembaga pendidikan, LSM dan pihakpihak lainnya, maka pertemuan yang dilakukan menjadi semakin intensif; (2) Media dan sarana komunikasi yang digunakan oleh sebagian besar anggota kelompok lebih banyak menggunakan pertemuan tatap muka. Hanya sebagian
96
kecil anggota kelompok yang menggunakan komunikasi melalui elektronik. Bagi keluarga
miskin,
komunikasi
dengan
menggunakan
elektronik
dinilai
membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan komunikasi secara tatap muka langsung; dan (3) Setiap konflik yang muncul dalam anggota kelompok dapat diselesaikan secara langsung dan jelas melalui komunikasi secara langsung atau tatap muka. Artinya bahwa komunikasi yang menggunakan tatap muka secara langsung dapat meminimalisir konflik yang terjadi dalam kelompok. Meskipun komunikasi antar anggota kelompok dilakukan dengan cukup baik, namun mereka belum mampu memecahkan persoalan kelompok khususnya cara untuk mengembangkan kelompoknya itu sendiri. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang anggota sekaligus pengurus kelompok yang memiliki 3 orang anak menyatakan bahwa dalam kelompok usaha yang ia ikuti memiliki jadwal pertemuan rutin yang dilakukan setiap akhir minggu dengan untuk membicarakan usaha kelompok. Namun bagi pengurus kelompok secara rutin melakukan pertemuan baik secara formal maupun informal untuk saling mengontrol perkembangan dari kelompok kami. Pertemuan lebih banyak dilakukan secara tatap muka langsung. Ia menyatakan dengan menggunakan komunikasi secara langsung (tatap muka) beberapa persoalan yang muncul dalam kelompok dapat secara cepat diselesaikan, karena diantara anggota kelompok tidak ada saling kecurigaan. Kita merasa memiliki waktu
yang
lama
diantara
anggota
kelompok
sehingga
tidak
terjadi
kesalahpahaman diantara anggota kelompok. Selanjutnya diantara anggota kelompok memiliki kepercayaan. Meskipun terdapat masalah-masalah kecil dalam kelompok, tapi mereka mencoba mengatasi masalah-masalah tersebut sehingga tidak menjadi masalah yang lebih besar lagi.
Diskripsi Kelompok Keluarga miskin sebagai komunitas sosial pada dasarnya memiliki kesadaran untuk berkelompok. Kesadaran untuk berkelompok merupakan kondisi alamiah yang dimiliki oleh tiap-tiap manusia dengan tujuan agar ia tetap
97
mampu bertahan dalam kehidupan sosialnya. Keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi pada dasarnya memiliki kelompok yang tergolong ke dalam kelompok usaha yang dilakukan secara bersama sama. Terbentuknya kelompok usaha yang dilakukan oleh keluarga miskin di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki karakteristik yang berbeda dengan wilayah-wilayah yang lain. Dilihat dari sifatnya menunjukkan bahwa terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada dua hal yaitu (1) berdasarkan kedaerahan dan (2) berdasarkan jenis usaha. Berdasarkan kedaerahan maksudnya adalah terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada adanya kesamaan asal daerah bagi tiap-tiap anggotanya. Tujuan kelompok yang berdasarkan asal keaderahan tersebut tidak adalah (1) memudahkan komunikasi diantara anggota kelompoknya; dan (2) terdapat kesamaan nilai-nilai budaya diantara anggotanya tersebut. Dengan adanya kesamaan tersebut pada akhirnya koordinasi dalam kelompok tersebut akan menjadi lebih mudah. Contoh kasus antara lain peguyuban orang madura dengan usaha besi bekas di Jakarta Utara, paguyuban orang semarang dengan usaha pemulung di Bekasi, kelompok orang Tasikmalaya dengan usaha kredit alat-alat rumah tangga, kelompok orang dari Sumatera dengan usaha tambal ban di Bekasi, serta beberapa kelompok paguyuban kedaerahan yang menjalankan usaha lainnya. Berdasarkan jenis usaha maksudnya adalah terbentuknya kelompok usaha tersebut didasarkan kepada daya tarik dan kepeminatan dari sekelompok orang untuk menjalankan usaha yang sesuai dengan kemampuan dan ketrampilannya masing-masing. Misalnya saja sekelompok keluarga miskin di salah satu wilayah Kota Jakarta utara yang berkumpul dengan menngumpulkan modal awal masing-masing Rp. 300.000,- kemudian membentuk usaha
mie
ayam bakso dikarenakan salah satu anggotanya mampu membuat makanan tersebut yang hingga kini masih berjalan; sekelompok keluarga miskin di Kota Bekasi yang keterampilannya hanya mampu mengumpulkan kertas, plastik, besi bekas dan beberapa barang bekas lainnya kemudian berusaha untuk mengumpulkan barang bekas tersebut dan dijual ke tempat pengepulan barang bekas serta beberapa contoh lainnya.
98
Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan sementara bahwa jenis usaha apapun yang dilakukan oleh keluarga miskin dengan cara berkelompok ternyata lebih memudahkan untuk bertahan meskipun dengan penghasilan yang terbatas. Keberadaan kelompok bagi usaha keluarga miskin ternyata memberikan peran yang besar terhadap keberlangsungan usahanya. Secara lebih jelas mengenai tipologi kelompok dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Tipologi Kelompok No.
Aspek-Aspek
1.
Kriteria keanggotaan
2.
Keberadaan kelompok berdasarkan wilayah Keeratan hubungan
3.
Jenis Kelompok Berdasarkan Berdasarkan Jenis Kedaerahan Usaha (1) Adanya kesamaan (1) Adanya kesamaan daerah usaha (2) Jenis usaha tidak (2) Asal daerah tidak harus sama sama Pesisir dan di dalam Lebih banyak di perkotaan dalam perkotaan (1) Memiliki hubungan (1) Hubungan tidak yang sangat erat erat (2) Memiliki hubungan (2) Motif hubungan psikologis yang adalah motif kuat ekonomi (3) Motif hubungan lebih kepada motif sosial
Sumber Daya Keluarga Sumber Daya Fisik Sumber daya fisik adalah segala sesuatu yang tidak bergerak yang dimiliki oleh keluarga yang memiliki nilai guna, manfaat dan menghasilkan keuntungan bagi keluarga tersebut, yang meliputi kepemilikan terhadap rumah, kepemilikan tanah, akses rumah terhadap tempat kerja, akses terhadap fasilitas sosial, pemanfaatan rumah untuk kegiatan usaha, akses terhadap informasi dan akses terhadap pasar. Sebaran yang ada dalam sumber daya fisik dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dapat dilihat pada Tabel 22.
99
Tabel 22. Sumber Daya Fisik Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
145
83,33
110
83,33
Sedang
4
2,30
12
9,09
Tinggi
25
14,37
10
7,58
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 4
**interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa dukungan sumber daya fisik keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 60. Berdasarkan persestase jawaban responden keluarga miskin di Kota Jakarta utara dan Kota Bekasi sama-sama berada pada angka beberapa alasan
83,3 persen termasuk dalam kategori rendah. Terdapat
dengan sebaran tersebut antara lain: (1) Terkait dengan
kepemilikan rumah tempat tinggal menunjukkan bahwa hanya sedikit dari responden yang memiliki rumah sendiri dengan perincian: di Kota Jakarta Utara sebesar 37,93 persen dan di kota Bekasi sebesar 18,18 persen. Sebanyak 56,90 persen di Kota Jakarta Utara dan 69,70 persen di kota Bekasi menyewa rumah, dan sisanya menempati rumah keluarga dan rumah orang lain. Bagi keluarga miskin yang memiliki rumah sendiri ternyata sebagian besar dari mereka memiliki rumah dalam kondisi yang sangat terbatas, dilihat dari luas tanah yang ada berkisar antara 30 m2 sampai dengan 60 m2; dan (2) Salah satu keuntungan dari keluarga miskin yang tinggal di kota adalah bahwa keluarga miskin tersebut memiliki akses yang cukup baik terhadap akses terhadap fasilitas umum, baik akses terhadap usaha dan tempat kerja, akses terhadap fasilitas sosial, akses terhadap jalan raya, serta akses terhadap pasar. Meskipun keberadaan keluarga yang memiliki akses yang cukup baik, namun keluarga
100
miskin tersebut tidak mampu memanfaatkan akses tersebut untuk mampu mengangkat derajat kehidupan keluarganya dari kemiskinan. Hanya sebagian rumah dari keluarga
miskin yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha yaitu
berdagang warung kelontong. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang tinggal di rumah kontrakan dan ketika
ia
dikonfirmasi
berlokasi di gang-gang kecil, terungkap bahwa
berkaitan
dengan
pengembangan
usahanya,
ia
berkomentar bahwa ia belum memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan usahanya. Secara jujur ia menyatakan bahwa tempat tinggalnya memiliki akses yang cukup baik, namun ia belum bisa memanfaatkan akses tersebut karena keterbatasan kemampuan untuk mengembangkan usaha dagangnya. Pernah ia mencoba ingin mengembangkan usahanya dengan meminjam modal kepada orang yang menawarkan, namun karena perkembangan usaha yang tidak terlalu menggembirakan sehingga ia tidak mampu mengembangkan modal usahanya. Namun demikian ia merasa bahwa tempat tinggalnya memiliki akses yang dapat dikembangkan, dengan harapan ada pihak-pihak yang berwewenang bisa melakukan pendampingan.
Sumber Daya Non Fisik Sumber daya non fisik merupakan sejumlah sistem nilai yang dimiliki keluarga yang memberikan kegunaan, manfaat dan keuntungan bagi keluarga tersebut antara lain: komunikasi antar anggota keluarga, tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, keamanan psikologis, dan kesadaran terhadap pendidikan. Kesemua item di atas dikaitkan dengan kegiatan usaha keluarga. Sumber daya ini pada dasarnya secara langsung ataupun tidak langsung memberikan pengaruh terhadap kondisi keluarga. Secara lebih jelas, sebaran berkaitan dengan sumber daya non fisik dapat dilihat pada Tabel 23.
101
Tabel 23. Sumber Daya Non Fisik Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
81
46,55
57
43,18
Sedang
75
43,10
75
56,82
Tinggi
18
10,34
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 62 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 20 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan bahwa sumber daya non fisik keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 62. Sebaran berkaitan dengan dukungan sumber daya non fisik menunjukkan kategori rendah dengan perincian bahwa persepsi responden di Kota Jakarta Utara sebesar 46,55 berada pada kategori rendah dan 43,10 berada pada kategori sedang, sedangkan persepsi responden di Kota Bekasi sebesar 43,18 berada pada kategori rendah dan 56,82 berada pada kategori sedang. Terdapat beberapa alasan yang berkaitan dengan masalah ini adalah (1) Keluarga miskin di kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki keinginan untuk mengembangkan usaha dalam keluarga. Komunikasi diantara anggota keluarga untuk mengembangkan usaha keluarga sudah dibangun, namun karena keterbatasan modal serta rendahnya kemampuan untuk mewujudkan usaha keluarga tersebut sehingga hanya terdapat beberapa keluarga yang mampu membangun usaha keluarga secara kecil-kecilan dan ada sebagian keluarga miskin lainnya yang belum mampu membangun usaha keluarganya;
(2) Keahlian yang dimiliki oleh anggota
keluarga
dalam
mengembangkan usaha keluarga masih sangat terbatas dengan menggunakan tehnologi dan sistem yang sangat terbatas; (3) Keluarga miskin belum memiliki pengetahuan dan pemahaman untuk mengembangkan pendidikan yang dapat mendukung terhadap usaha keluarga. Alasan utamanya adalah berkaitan dengan keterbatasan dana untuk membiayai pendidikan tersebut; dan (4) Ketika keluarga berusaha untuk bekerja sama dengan keluarga lainnya dalam membangun usaha keluarga, ternyata problemnya juga tidak jauh berbeda yaitu
102
adanya keterbatasan modal dan keahlian untuk mengembangakan usaha keluarga menjadi lebih baik. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang selama ini menjual nasi uduk di depan sekolah TK di wilayah perumahan memiliki seorang suami yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap memiliki 2 orang anak dan sedang mengandung anak yang ketiga, terungkap bahwa selama ini usaha penjualan nasi uduk tidak mengalami peningkatan yang signifikan, tetapi tetap berjalan apa adanya. Ia menjelaskan bahwa usaha penjualan nasi uduknya hanya begitu-begitu saja dikarenakan modal dan keahlian yang ia dapat lakukan masih sangat terbatas. Menurutnya menjual nasi uduk tidak memerlukan keahlian khusus, yang penting bisa memasak dan mengolah bumbu yang sesuai dengan selera pelanggan dan tidak mematok harga yang tinggi dan mahal. Sebenarnya ia dan suaminya memiliki keterbukaan dalam mengelola usaha dagangnya tersebut. Suaminya selama ini hanya membantu mempersiapkan perlengkapan seadanya untuk dapat menjual nasi uduknya tersebut. Sesekali ia juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan bazaar yang diadakan oleh RW misalnya saja ketika ada pengajian akbar di dekat mesjid, bazaar ketika bulan romadhon dan kegiatan-kegiatan RW lainnya. Namun karena keterbatasan-keterbatasan tersebut maka usaha dagangnya tersebut hanya apa adanya dan sederhana. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa rendahnya sumber daya non fisik yang ada pada tiap-tiap keluarga miskin sangat menentukan terhadap rendahnya perkembangan usaha keluarga. Rendahnya sumber daya non fisik keluarga yang terdiri dari: komunikasi antar anggota keluarga, tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, keamanan psikologis, dan kesadaran terhadap pendidikan, ternyata tidak mampu mengangkat dan memperbaiki setiap usaha yang dikembangkan oleh keluarga miskin perkotaan. Hal yang justru menjadi beban keluarga dalam mengembangkan usaha keluarga tidak lain adalah keterbatasan pendidikan sehingga tidak mampu mengembangkan hal-hal baru dalam mengelola usaha keluarga. Usaha keluarga lebih banyak dikelola dengan cara-cara yang konvensional dan tidak profesional.
103
Lingkungan Sosial Dampak Negatif Kebijakan Dampak negatif kebijakan merupakan akibat sosial yang ditimbulkan oleh adanya sejumlah kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah antara lain: tingkat pengaruh kebijakan pembangunan fisik kota, tingkat pengaruh kebijakan penataan kota, dan tingkat pengaruh kebijakan penertiban kota. Sebaran persepsi responden mengenai dampak kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Artinya bahwa intensitas kebijakan pemerintah daerah khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Dampaknya terhadap keluarga miskin sangat dirasakan oleh para responden lebih banyak memberatkan terhadap kehidupan keluarga miskin di perkotaan. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Persepsi Responden Mengenai Dampak Negatif Kebijakan Pemerintah Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
14
8,05
0
0
Sedang
77
44,25
17
12,88
Tinggi
83
47,70
115
87,12
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Skor persepsi responden sebesar 2,4 dengan kategori sedang Keterangan : *Skor maksimum: 28 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan bahwa persepsi responden terhadap dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 75. Terdapat perbedaan antara dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi meskipun tidak terlalu signifikan. Dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara termasuk dalam
104
kategori sedang, sedangkan dampak negatif kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Bekasi termasuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar responden merasakan secara langsung dampak negatif kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota. Beberapa alasan yang terkait dengan masalah tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kota Jakarta Utara sebagai kota besar dan Kota Bekasi sebagai kota sedang secara
fisik
mengalami
perkembangan
yang
sangat
pesat.
Kebijakan
pembangunan kota yang selama ini terjadi di Kota Jakarta Utara dan kota Bekasi antara lain : pembangunan fisik kota, penataan kota dan penertiban kota. Dari kebijakan pembangunan kota yang dilakukan oleh pemerintah kota, sebagian besar responden mempersepsikan bahwa kebijakan pembangunan kota yang memiliki pengaruh yang besar bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah berkaitan dengan pembangunan fisik kota. Terdapat beberapa jenis pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota antara lain: pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentera bisnis, dan pembangunan fisik lainnya. Pembangunan fisik yang paling dirasakan berdampak langsung terhadap kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah pembangunan jalan yang sering mengalami perubahan yang sangat cepat. Hal yang sering dirasakan oleh keluarga miskin di perkotaan adalah kehidupan mereka semakin terpinggirkan seperti halnya beberapa kasus penggusuran yang lebih banyak menerpa terhadap keluarga miskin perkotaan; dan (2) Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki keberdayaan
untuk
melakukan
penolakan
dan
perlawanan
terhadap
pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota. Hal ini dikarenakan kebutuhan pengembangan kota yang begitu pesat sehingga kondisi tempat tinggal dari para keluarga miskin menjadi semakin tersisih. Kemampuan yang mereka miliki untuk tetap hidup dan bertahan di kota adalah di tempat-tempat yang kumuh seperti halnya di pinggiran kali, di pinggiran rel kereta api, di bawah jembatan tol serta beberapa tempat lainya yang tergolong kumuh. Adanya perbedaan antara dampak kebijakan pemerintah di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi dilihat dari pembangunan fisik kota yang berhubungan
105
dengan pembangunan perumahan yang saat ini sangat marak di Kota Bekasi. Pola pembangunan fisik Kota Jakarta saat ini lebih mengaruh kepada wilayahwilayah yang ada di sekitarnya. Wilayah-wilayah yang ada di sekitar DKI Jakarta menanggung
beban
yang
sangat
besar
terutama
menanggung
beban
penduduknya yang selama ini lebih banyak bekerja di DKI Jakarta. Hal tersebut juga terjadi di Kota Bekasi sebagai salah satu kota penyangga DKI Jakarta. Perkembangan tersebut disebabkan karena: (1) Perkembangan fisik di Kota Jakarta secara umum sangat pesat, sedangkan lahan yang ada sangat terbatas sehingga daerah Bekasi sebagai daerah penyangga Ibukota menjadi alternatif pembangunan, khususnya di bidang perumahan; dan (2) Tingginya tingkat urbanisasi yang selama ini melanda Ibukota juga memicu para developer untuk membangun rumah-rumah yang ada di daerah sekitarnya. Bekasi menjadi salah satu alternatif yang menjadi objek pembangunan perumahan. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan salah seorang pedagang asongan yang menjual sayur-sayuran, ia mengungkapkan bahwa dulu ketika ada pembangunan fisik yang ada di wilayahnya, ia sering dilibatkan oleh kelurahan karena ia termasuk orang lama yang sering membantu pekerjaan pembangunan di wilayahnya, baik itu adanya pelebaran jalan, pelebaran selokan, pengaspalan jalan serta pekerjaan pembangunan fisik lainnya. Sekarang menurutnya, adanya pembangunan fisik yang dilakukan oleh pemerintah kota sama sekali tidak ada pemberitahuan kepada warga sehingga kelabakan untuk mengantisipasi adanya pembangunan fisik tersebut. Menurutnya, sebenarnya adanya pembangunan kota yang begitu cepat di perkotaan memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah bagi warga yang memiliki kemampuan, ia bisa bekerja di malmal atau pabrik yang ada di sekitar tempat tinggal. Dampak negatifnya adalah bahwa setiap warga selalu merasa khawatir, jangan-jangan rumahnya akan digusur atau atau dimanfaatkan untuk lahan hijau. Ada sebagian warga yang terpaksa pindah ke tempat lain dikarenakan adanya ketakutan rumahnya akan tergusur.
106
Ketersediaan Sumber Daya Ekonomi Ketersediaan sumber daya ekonomi merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan ekonomi terhadap keluarga antara lain ketersediaan modal ekonomi, keikutsertaan dalam pelatihan keterampilan berusaha, tingkat penyerapan informasi, serta bantuan dari pihak luar. Sebaran persepsi responden terkait dengan ketersediaan sumber daya ekonomi termasuk dalam ketegori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki aspek-aspek sumber daya ekonomi. Kondisi ini terkait dengan ketidakmampuan keluarga miskin tersebut untuk dapat menyediakan sumber daya ekonomi yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Sebagian besar keluarga miskin sendiri merasa sudah tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam keluarga. Secara lebih jelas dapat dijelaskan pada Tabel 25. Tabel 25. Persepsi Responden Mengenai Ketersediaan Sumber Daya Ekonomi Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
66
37,93
126
95,46
Sedang
63
36,21
3
2,27
Tinggi
45
25,86
3
2,27
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 32 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,8 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 55 ; dan skor minimum : 15 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan
sebaran
data
pada
tabel
25
menunjukkan
bahwa
ketersediaan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 32. Terdapat beberapa alasan yang terkait dengan rendahnya ketersediaan sumber daya ekonomi keluarga tersebut adalah sebagai berikut: (1) Keluarga miskin di Kota masih sangat menggantungkan diri kepada pihak luar
107
untuk memberikan dukungan ekonomi keluarga. Mereka tidak memiliki keberdayaan untuk memenuhi sumber daya ekonomi yang memadai; (2) Masih rendahnya dukungan dari pihak-pihak luar (pemerintah, swasta, NGO dan lembaga pendidikan) dalam memberikan dukungan perbaikan ekonomi terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebagian besar responden menyampaikan bahwa pihak-pihak luar masih sangat jarang untuk memberikan dukungan perbaikan ekonomi keluarga. Dari beberapa jenis dukungan perbaikan ekonomi seperti pemberian modal ekonomi, keterampilan, sarana prasarana dan akses pasar, hanya beberapa hal yang pernah diberikan oleh pihak-pihak luar tersebut seperti bantuan pelatihan keterampilan. Pemberian pelatihan tersebut, yang pernah melakukan pelatihan tersebut lebih banyak dilakukan oleh pemerintah, sedangkan pihak-pihak lainnya jarang sekali melakukan pelatihan tersebut; (3) Pihak-pihak luar sangat jarang memberikan bantuan jenis modal kepada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Khusus terkait dengan bantuan modal yang pernah diperoleh keluarga dari pihak luar dipergunakan untuk mengembangkan usaha keluarga agar menjadi lebih besar. Modal yang dikembangkan oleh keluarga lebih banyak dalam bentuk modal bergulir. Hal ini bisa dilihat dari jawaban responden yang menunjukkan bahwa bantuan modal bergulir. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keluarga yang ada benar-benar memanfaatkan bantuan modal bergulir yang selama ini diberikan khususnya oleh pemerintah misalnya saja Program PNPM Mandiri serta beberapa program bantuan modal lainnya yang berbentuk modal bergulir. Kredit usaha menjadi alternatif selanjutnya bagi keluarga, ketika modal yang mereka miliki dari program bantuan modal bergulir yang mereka terima
dari
pemerintah
direncanakan
untuk
dikembangkan.
Biasanya
pengembangan usaha keluarga melalui kredit usaha dilakukan seperti halnya melalui bank-bank pemerintah dimaksudkan untuk mengembangkan jenis usaha keluarga yang baru yang mereka anggap prospektif. Sedangkan modal bersama sampai saat ini bagi keluarga dianggap bukan pilihan yang tepat mengingat keterbatasan sumber keuangaan masing-masing anggota untuk mengeluarkan modal masing-masing. Mereka sampai saat ini hanya mengandalkan kepada tenaga dan pikiran untuk mengembangkan usaha keluarganya, mengingat kebutuhan keluarga yang masih sangat terbatas; dan (4) Terkait dengan usaha untuk mengembangkan keluarga yang mereka bentuk, salah satunya melalui
108
pelatihan-pelatihan yang pernah diberikan oleh pihak-pihak lain atau inisiatif dari keluarga untuk lebih mengembangkan kehlian tertentu yang menurut mereka dianggap masih sangat terbatas. Berdasarkan wawancara mendalam menunjukkan bahwa keluarga menunjukkan perhatian yang besar untuk lebih mengembangkan keahlian di bidang pemasaran dibandingkan dengan aspek-aspek yang lain seperti wirausaha, KURT, dan keahlian lain-lain. Kondisi seperti ini menunjukkankan bahwa salah satu kelemahan yang mereka alami setelah mengembangkan usaha dan menghasilkan produk-produk usahanya tidak lain adalah bagaimana memperkenalkan dan menyebarluaskan hasil produknya tersebut. Pilihan utamanya ternyata jatuh kepada pelatihan di aspek pemasaran. Mereka berangggapan bahwa dengan lebih memperhatikan pelatihan pada aspek pemasaran akan lebih memperkenalkan produk-produk yang dihasilkan mereka kepada masyarakat, sehingga terdapat harapan agar produk-produk usaha yang mereka hasilkan dapat dipergunakan oleh orang lain
sehingga terdapat
keuntungan usaha yang akan dihasilkan bagi keluarganya. Pelatihan-pelatihan yang mereka dapatkan selama ini lebih banyak mengandalkan kepada pelatihan yang diberikan oleh pihak luar seperti halnya pelatihan pemasaran yang pernah dilakukan oleh Dinas perindustrian dan Perdagangan dan pihak swasta. Dalam sebuah wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki yang memiliki usaha catering yang modalnya ditanggung bersama ibu-ibu di RT nya, terungkap bahwa menurutnya selama ini, pihakpihak luar jarang sekali membantu memberikan modal terhadap usaha yang ia lakukan. Paling yang pernah ia terima sebagai bentuk bantuan dari pihak luar adalah pelatihan yang pernah dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu dalam bentuk pelatihan usaha rumah tangga. Selama ini persoalan yang ia hadapi adalah ketersediaan modal dan pemasaran dari usaha yang ia lakukan. Akhirnya, guna memasarkan usahanya tersebut, ia lakukan dari mulut ke mulut di lingkungan kompleks tempat tinggalnya. Meskipun pelanggannya masih sangat sedikit tetapi dudah manampakkan hasil yang menggemberikan. Keuntungan dari hasil usaha bersama cateringnya tersebut dibagi secara merata sesuai dengan proporsi modal dan keterlibatan dalam usaha tersebut.
109
Ketersediaan Sumber Daya Sosial Ketersediaan sumber daya sosial berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di sekitar keluarga yang mampu memberikan dukungan dalam memperkuat sistem sosial terhadap keluarga yaitu tingkat kepercayaan antar keluarga, Kerja sama antar keluarga, dan Intensitas kegiatan gotong royong. Sebaran terkait dengan persepsi responden terhadap ketersediaan sumber daya sosial pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Dalam hal ketersediaan sumberdaya sosial ini, setiap keluarga miskin memiliki tingkat kesadaran yang baik mengenai jenis usaha yang dikembangkan dalam keluarganya. Diantara anggota keluarga sangat mengharga terhadap jenis usaha masing-masing keluarga. Secara lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Persepsi Respondei Mengenai Ketersediaan Sumber Daya Sosial Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
12
6,09
0
0
Sedang
118
67,82
46
34,85
Tinggi
44
25,29
86
65,15
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 72 dengan kategori sedang** Skor persepsi responden sebesar 1,93 dengan kategori sedang Keterangan : *Skor maksimum: 16; dan skor minimum : 5 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 26 menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya sosial keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 72. Secara umum ketersediaan sumber daya sosial dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang mendasar, kedua wilayah tersebut menunjukkan ketersediaan sumber daya sosialnya termasuk dalam kategori sedang. Kondisi seperti ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Tiap-tiap anggota keluarga baik yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sudah memiliki pengertian yang proporsional mengenai usaha yang dapat dilakukan di dalam meningkatkan
110
kesejahteraan keluarga. Hal ini dikarenakan tingkat kebutuhan yang tinggi untuk dapat hidup di kota. Kondisi inilah yang dipahami oleh anggota keluarga agar terdapat
kepercayaan
untuk
dapat
mengembangkan
usaha
keluarga;
(2) Kelompok usaha yang selama ini dibentuk sebenarnya tidak lain dari keinginan dari tiap-tiap keluarga untuk dapat berkumpul dalam rangka agar mampu membebaskan keluarga dari belenggu kemiskinan. Oleh karena itu sistem sosial yang dikembangkan dalam keluarga lebih menekankan adanya konflik pada tingkatan yang rendah. Ketegangan atau konflik dalam keluarga dipersepsikan sebagai sesuatu yang akan mengancam keuntuhan keluarga. Salah satu hal yang dianggap mampu untuk mempertinggi semangat berusaha dalam keluarga tidak lain adalah mengurangi perasaan curiga dari masingmasing anggota keluarga dengan tujuan agar konflik dalam keluarga tidak semakin besar. Kepercayaan yang tinggi dari masing-masing anggota keluarga, khususnya dalam hal berusaha akan sangat mendorong keberhasilan keluarga dalam berusaha; dan (3) Kondisi ini tidak saja terjadi di dalam keluarga saja, melainkan juga dipersepsikan yang sama antar keluarga dengan keluarga lainnya. Dalam mengembangkan usaha keluarga, persaingan dengan keluarga yang diusahakan dalam taraf yang kecil dengan tujuan tidak merusak hubungan dengan keluarga yang lain. Sumber daya sosial yang terdiri dari: tingkat kepercayaan antar keluarga, kerja sama antar keluarga, dan Intensitas kegiatan gotong royong bagi keluarga miskin merupakan sebuah modal sosial yang masih berkembang di perkotaan. Meskipun mereka secara ekonomi memiliki keterbatasan, namun dengan adanya sumber daya sosial ini menjadikan mereka untuk tetap bertahan hidup di kota. Adanya perasaan senasib dan sepenanggungan diantara keluarga miskin membuat mereka lebih kuat dan tabah dalam menjalankan kehidupan miskinnya tersebut. Adanya problematika hidup yang dialami oleh salah satu keluarga miskin akan juga dirasakan oleh keluarga yang lain. Dengan demikian dalam halhal tertentu diantara merekapun masih saling membantu diantara keluarga miskin tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki usaha warung yang menjual makanan di rumahnya memiliki 3 (tiga) orang anak, terungkap bahwa ia selalu menanamkan kepada anggota
111
keluarga bahwa keluarganya bukanlah keluarga yang berkecukupan atau keluarga yang kurang mampu. Sehingga dalam keluarganya diberikan nilai-nilai untuk hidup apa adanya. Ia mengatakan bahwa dalam keluarga tidak boleh untuk mengada-adakan sesuatu yang tidak mampu untuk diadakan sehingga dalam keluarga tersebut tidak terlalu ngoyo. Menurutnya bahwa sesuatu yang dipaksakan dalam keluarganya tersebut justru akan memicu konflik dalam keluarga. Begitu juga dengan anggapannya tentang usaha yang sama yang juga dilakukan oleh keluarga lainnya. Menurutnya adanya jenis usaha yang sama yang dilakukan oleh tetangganya merupakan sesuatu yang positif asal dilakukan secara fair, sehingga tidak timbul permusuhan dengan tetangga. Artinya diantara keluarga masih memiliki rasa saling pengertian untuk menciptakan kerukunan antar keluarga miskin.
Peran Media Massa Peran Media massa merupakan kemampuan perangkat informasi dan pelaku media dalam memberikan pengetahuan dan perubahan perilaku bagi keluarga yang meliputi : (1) Intensitas pemanfaatan media cetak, dan (2) Intensitas pemanfa-atan media elektronik. Berdasarkan sebaran persepsi responden berkaitan dengan peran media massa terhadap usaha keluarga pada keluarga miskin ternyata terdapat perbedaan antara keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi. Bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara persepsi responden mengenai peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori sedang. Bagi keluarga miskin di Kota Bekasi, responden mempersepsikan peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori rendah. Penyebab lebih tingginya persepsi responden di Kota Jakarta Utara dibandingkan dengan responden yang ada di Kota Bekasi yaitu: (1) Bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara lebih banyak memiliki akses terhadap media massa dibandingkan dengan keluarga miskin di Bekasi. Hal ini dapat dilihat dari lebih bervariasinya media massa yang ada di Jakarta dibandingkan dengan
media
massa yang ada di Kota Bekasi, baik media cetak maupun media elektronik, sehingga lebih memudahkan bagi keluarga untuk dapat memperoleh informasi
112
dari media massa tersebut; dan (2) Tingkat pendidikan anggota keluarga miskin ternyata juga menentukan terhadap kebutuhan keluarga terhadap pentingnya peran media massa tersebut. Bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara relatif lebih tinggi tingkat pendidikannya dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang ada pada keluarga miskin di Kota Bekasi. Dengan demikian tingkat kebutuhan terhadap media massa menunjukkan bahwa keluarga miskin di Kota Jakarta Utara merasa lebih membutuhkan dibandingkan dengan keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi. Secara lebih rinci, terkait dengan sebaran mengenai peran media massa tersebut dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 27. Persepsi Responden mengenai Peran Media Massa Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
30
17,24
4
3,79
Sedang
125
71,84
44
33,33
Tinggi
19
10,92
83
63,88
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 42 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,83 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 32; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 27 menunjukkan bahwa peran media massa terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 42. Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara memiliki persepsi bahwa peran media massa merupakan sesuatu yang tidak begitu penting terhadap usaha keluarga. Melalui media massa terdapat beberapa informasi yang didapatkan oleh keluarga. dipersepsikan
dapat
memberikan
Media massa pada dasarnya
kontribusi
yang
sangat
nyata
bagi
pengembangan usaha keluarga. Media massa yang dipersepsikan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan usaha keluarga adalah media elektronik khususnya televisi. Keluarga miskin menganggap hanya media massa elektronik banyak memberikan pengetahuan bagi tiap-tiap anggota untuk
113
melakukan usaha keluarga. Informasi yang terkait dengan jenis-jenis usaha yang bisa dikembangkan oleh anggota keluarga menjadi alasan utama. Kondisi tersebut membuat tiap-tiap anggota keluarga terpacu untuk mengembangkan usaha yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki 3 orang anak yang masih kecil-kecil bekerja sebagai seorang penjual gorengan, terungkap bahwa setiap hari ia tidak pernah lepas dari menonton televisi dan sangat malas untuk membaca Koran. Baginya televisi merupakan sarana hiburan satu-satunya yang ada di keluarganya. Sedangkan untuk membeli sarana hiburan lainnya ia tidak memiliki uang apalagi untuk berlangganan koran. Sebenarnya ia sendiri lebih sering menonton acara hiburan dibandingkan dengan acara-acara yang serius. Namun ia mengaku sekali-kali ia juga menonton acara berita dan kadang-kadang ia juga menonton acara yang berhubungan dengan masak-memasak meskipun sangat jarang dilakukan. Dengan menonton acara televisi, minimal ia tidak merasa ketinggalan informasi dan hal-hal yang lagi ngetrend selama ini.
Dukungan Jaringan Usaha Dukungan jaringan usaha merupakan sejumlah kelompok-kelompok kerja atau usaha yang menjadi mitra kerjasama dengan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin antara lain : jaringan informasi, kerjasama dengan Kelompok lain, kerja sama dengan pihak swasta, dan kerja sama dengan pemerintah. Secara
umum
terdapat
perbedaan
antara
jaringan
usaha
yang
dikembangkan oleh kelompok usaha pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan jaringan usaha yang dikembangkan oleh kelompok usaha pada keluarga miskin di Kota Bekasi. Responden di keluarga miskin Kota Jakarta memiliki jaringan usaha pada kategori sedang. Sebagian besar responden keluarga miskin (44,70%) yang ada di Kota Bekasi memiliki jaringan usaha pada kategori yang rendah. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 28.
114
Tabel 28. Persepsi Responden mengenai Jaringan Usaha Kota Jakarta Utara
Kota Bekasi
Kategori* Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
50
28,74
22
16,66
Sedang
109
62,64
51
38,64
Tinggi
15
8,62
59
44,70
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 49 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,73 dengan kategori rendah Keterangan :*Skor maksimum: 48; dan skor minimum : 13 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 28 menunjukkan bahwa jaringan usaha yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 49. Jaringan usaha yang selama ini dikembangkan oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan usaha yang dikembangkan oleh keluarga miskin di Kota Bekasi. Beberapa alasan yang dapat menjelaskan kondisi tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kelompok usaha yang selama ini didirikan oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara memiliki tingkat kebutuhan yang tinggi terkait dengan jaringan usaha tersebut. Hal ini disebabkan ada keinginan yang sangat besar agar kelompok yang ia rintis menjadi lebih besar. Di samping itu juga produk hasil usaha kelompoknya tersebut akan menjadi lebih laku dengan memiliki jaringan usaha yang luas; (2) Secara tidak sengaja, bagi kelompokkelompok usaha yang selama ini berjalan menjadi perhatian bagi kalangan eksternal untuk dapat menjadi pendampingnya agar kelompok tersebut lebih berhasil lagi. Bagi kalangan eksternal seperti instansi pemerintah dan kalangan LSM merasa berkepentingan untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok usaha yang sudah dianggap matang, agar bantuan yang ia berikan tersebut memiliki hasil yang lebih menjanjikan, dan (3) kondisi yang kontradiktif justru terjadi di Kota Bekasi, di mana kalangan eksternal belum memiliki kepentingan untuk membantu kelompok-kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin. Di samping itu juga jumlah LSM yang ada masih sangat terbatas dibandingkan dengan yang ada di Jakarta. Dengan demikian kelompok usaha yang dibentuk
115
oleh keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi tidak memiliki akses yang besar untuk memperluas jaringan kerja. Dalam wawancara dengan salah seorang kepala keluarga yang memiliki usaha warung makanan di Bekasi, terungkap bahwa pihak-pihak eksternal seperti pemerintah, perbankan, LSM selama ini ternyata berperilaku pilih kasih terhadap kelompok-kelompok usaha yang berskala kecil. Menurutnya mereka sama sekali tidak melirik usaha kelompok, apalagi usaha kelompok tersebut dibentuk oleh keluarga miskin. Ketika ia dan kelompok usahanya berusaha untuk meminjam dana ke bank dengan jaminan tanah seorang temannya, agar jenis usahanya yang hanya makanan pada skala kecil dapat berkembang, ternyata bank tidak dapat memberikan modal pinjaman tersebut. Bagi kelompok yang sudah berjalan dan masuk dalam kategori yang besar, dengan mudahnya untuk meminjam dana ke bank. Bahkan pemerintah dan LSM pada turut membantu terhadap kelompok tersebut. Anggapannya bahwa keberhasilan kelompok usaha tersebut kemudian akan diklaim sebagai keberhasilan lembaga eksternal dalam membimbing usaha kelompoknya tersebut.
Peluang Kemitraan Peluang kemitraan merupakan sejumlah peluang dan kesempatan untuk melakukan kerja sama dengan kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya, antara lain: tukar menukar informasi dan Intensitas komunikasi dengan pemerintah, dunia usaha, NGO, lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga lainnya. Terkait dengan peluang kemitraan yang ada pada keluarga miskin menunjukkan bahwa sebaran persepsi responden baik di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Sebagian besar persepsi responden di kedua lokasi tersebut
berada kategori
sedang. Kondisi ini secara riil dapat dipahami mengingat beberapa hal antara lain: (1) Tingkat keterlibatan pihak-pihak lain, khususnya baik pemerintah, swasta, NGO, dan lembaga pendidikan dalam membuka peluang kemitraan dengan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin masih sangat
116
terbatas. Pihak-pihak terkait belum memiliki kepedulian yang tinggi untuk bermitra dengan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin. Bagi pihak-pihak yang melakukan mitra dengan kelompok usaha tersebut, biasanya terdapat diskriminasi, khususnya bagi kelompok usaha yang sudah mapan; dan (2) Kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin belum memiliki cara dan strategi yang baik untuk dapat bermitra dengan lembaga atau instansi terkait, baik kemitraan dalam hal permodalan serta kegiatan-kegiatan yang terkait dengan usaha kelompok. Secara lebih jelas terkait dengan persepsi responden mengenai peluang kemitraan dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Persepsi Responden Mengenai Peluang Kemitraan Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
67
38,51
21
15,91
Sedang
58
33,33
60
45,45
Tinggi
49
28,16
51
38,64
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 43 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,80 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 19 ; dan skor minimum : 6 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 29 menunjukkan bahwa peluang kemitraan kelompok usaha yang dibangun keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 43. Secara umum kelompok usaha yang dibentuk sebenarnya memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat membuka dan melakukan kemitraan dengan pihak lain di luar kelompok tersebut. Hal tersebut sangatlah wajar mengingat kelompok usaha tersebut merupakan kelompok usaha yang relatif baru sehingga semangat untuk membuka kemitraan dengan pihak lain menjadi sangat tinggi. Beberapa pihak yang diandalkan untuk dapat dijadikan mitra usaha bagi kelompok usaha tersebut lebih banyak kepada pihak pemerintah dan kelompok usaha lainnya. Tingginya
pihak
pemerintah
untuk
dijadikan
mitra
dikarenakan
alasan
keberlangsungan kelompok usaha tersebut. Pemerintah dipersepsikan sebagai
117
pihak yang dianggap mampu menjamin keberlangsungan usaha kelompoknya. Keberlangsungan tersebut dapat dilihat dari adanya bantuan modal dan materi yang diharapkan oleh kelompok usaha tersebut. Sedangkan bagi
kelompok
usaha lainnya yang dijadikan kemitraan lebih berkenaan dengan adanya peluang kerja sama antar keluarga usaha, khususnya kelompok usaha yang sejenis. Kalaupun ada kemitraan yang dilakukan dengan pihak-pihak luar,lebih banyak bergerak dalam hal peminjaman modal, meskipun hal tersebut jarang sekali. Dalam wawancara mendalam dengan seorang penjual nasi warteg yang tinggal di sekitar lingkungan sekolahan, Ia mengungkapkan bahwa hidup matinya warung saya ini sangat bergantung kepada sekolahan tersebut baik jumlah siswanya ataupun juga aktivitas yang ada di sekolahan tersebut. Dulu memang sekolah ini memiliki siswa yang sangat banyak sehingga berimbas pada tingginya jumlah pelanggan yang ada di warungnya tersebut. Saat ini seiring dengan jumlah siswa yang semakin menurun, maka jumlah pelanggannya juga melorot tajam. Suatu ketika terbersit untuk menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan tersebut dengan maksud bahwa untung ruginya usaha warungnya tersebut tidak dipikul sendiri, melainkan juga dapat dipikul oleh lembaga pendidikan tersebut. Namun pada kenyataannya harapan untuk bermitra dengan lembaga pendidikan tersebut sampai saat ini tidak pernah terkabul. Sedangkan dari pihak lainnya sama sekali tidak pernah ada yang tergerak untuk dapat bekerja sama membesarkan warungnya tersebut. Ia sendiri tidak memahmi caracara untuk melakukan kegiatan kemitraan dengan lembaga manapun yang dapat membawa perbaikan pada usahanya tersebut. Pada akhirnya warungnya tetap tidak berkembang.
Pengaruh Kultural Pengaruh kultural dalam hal ini adalah keterikatan antara kegiatan usaha yang dilakukan oleh keluarga dengan sejumlah nilai–nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat, antara lain: kebiasaan dalam masyarakat, keyakinan dalam masyarakat, dan norma dalam masyarakat. Terkait dengan keterkaitan usaha yang dijalankan oleh kelompoknya dengan kebiasaan, keyakinan dan norma dalam masyarakat menunjukkan sebaran persepsi responden baik di Kota
118
Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang nyata, kedua wilayah tersebut berada dalam kategori yang rendah. Artinya bahwa usaha yang dijalankan oleh kelompok selama ini tidak mengalami pertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Secara lebih jelas, kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Persepsi Responden Mengenai Pengaruh Kultural Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
156
89,66
128
96,97
Sedang
15
8,62
4
3,03
3
1,72
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 60 dengan kategori rendah** Skor persepsi responden sebesar 1,12 dengan kategori rendah Keterangan : *Skor maksimum: 22 ; dan skor minimum : 7 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 30 menunjukkan bahwa tingkat pertentangan antara kegiatan kelompok usaha dengan kultur masyarakat termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 60. Rendahnya pertentangan usaha kelompok dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat menunjukkan bahwa pengaruh kultural dari masyarakat terhadap usaha yang dijalankan oleh kelompok masih sangat tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Anggota keluarga yang tergabung dalam usaha kelompok tersebut sudah memahami nilai-nilai, kebiasaan dan keyakinan yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Mereka pada dasarnya sangat memegang teguh nilai-nilai, kebiasaan dan keyakinan yang di masyarakat; (2) Anggota kelompok merasa sangat ketakutan untuk menjalankan usaha
yang
bertentangan dengan
kebiasaan,
keyakinan dan
nilai-nilai
masyarakat dengan alasan sebaik apapun usaha yang dijalankan oleh kelompok apabila bertentangan dengan kultur yang ada dalam masyarakat akan mengakibatkan usahanya akan sia-sia; dan (3) masih tingginya sanksi sosial
119
yang dipersepsikan akan diterima oleh anggota masyarakat apabila melanggar ketentuan sosial yang ada di masyarakat. Masyarakat setempat dipersepsikan oleh responden sebagai masyarakat yang keras di dalam memutuskan adanya penyimpangan yang dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat. Pada akhirnya masyarakat juga akan memberikan sanksi yang keras bagi anggota masyarakatnya yang melanggar. Dalam wawancara mendalam dengan seorang bapak yang bekerja sebagai tukang ojek di perumahan dekat tempat tinggalnya yang memiliki lima orang anak, terungkap bahwa dalam beberapa tahun terakhir, ada kelompok yang melibatkan tukang ojek yang berada di gang tempat ia mangkal. Ia menyatakan bahwa selama ia menjadi tukang ojek bersama teman-teman, tidak ada persoalan yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat. Ia sendiri meskipun selalu merasa kekurangan sangat tidak berani untuk melakukan tindakan yang akan mengganggu ketertiban masyarakat. Bahkan ia sebagai orang yang dituakan dalam kelompok tukang ojek tersebut mengatur dan mengkoordinir agar diantara anggotanya dapat bersikap sopan dan tidak terkesan jelek di mata masyarakat perumahan tersebut. Menurutnya meskipun di antara teman-temannya banyak yang pengetahuan agamanya sangat minim, tetapi ia merasa malu untuk melanggar norma sosial dan masyarakat. Menurutnya ketika kelompok tukang ojek dinilai tidak baik, ia takut kehilangan pelanggannya. Nilai-nilai kultural masih jadi pegangan kita selama ini.
Intervensi Pemberdayaan Ketepatan Proses Ketepatan proses merupakan serangkaian kegiatan pemberdayaan yang di
dalamnya
kesejahteraan
terdapat
metode,
pendekatan
dan
substansi peningkatan
keluarga yang meliputi : Pengelolaan sumber daya ekonomi,
Pengelolaan usaha, pengelolaan permodalan, pengelolaan pengembangan jaringan, dan pengelolaan organisasi. Berdasarkan sebaran persepsi responden yang terkait dengan ketepatan proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan khususnya oleh pihak-pihak luar terhadap kelompok usaha yang dibangun oleh keluarga miskin yang ada di
120
Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan adanya kesamaan yaitu pada kategori yang rendah. Secara lebih rinci mengenai hal ini dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Proses Pemberdayaan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
121
69,54
131
99,24
Sedang
53
30,46
0
0
0
0
1
0,76
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 65 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 5 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dari Tabel 31 menunjukkan bahwa proses pemberdayaan terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah berkategori rendah, dengan skor rataan sebesar 65. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam meningkatkan keberdayaan keluarga ternyata masih sangat jauh dari harapan keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun juga yang ada di Kota Bekasi. Kalaupun ada proses pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, namun intensitasnya masih sangat rendah. Hal tersebut ditandai oleh jumlah kegiatan pemberdayaan yang sedikit. Hal yang dianggap paling menyedihkan bagi kalangan keluarga miskin adalah sepertinya tidak ada lembaga yang tergerak untuk melakukan proses pendampingan yang dilakukan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut. Jadi problematika proses pemberdayaan yang selama diterima oleh kelompok usaha dari kalangan keluarga miskin ini, tidak hanya terbatas kepada frekuensi dalam kegiatan pemberdayaan itu sendiri, melainkan juga dari kualitas kegiatan pemberdayaan yang selama diterima oleh kelompok usaha tersebut. Kalaupun terdapat kegiatan pemberdayaan yang pernah dilakukan oleh kelompok usaha dari kalangan keluarga miskin, ternyata tidak mampu menjangkau semua aspek-aspek dalam proses pemberyaan tersebut antara lain: pengembangan sumber daya ekonomi, pengelolaan usaha, permodalan, membantu jaringan usaha serta pengembangan kelompok. Kegiatan proses
121
pemberdayaan yang pernah dilakukan oleh pihak-pihak luar lebih banyak berkisar kepada permodalan saja yaitu bagaimana memberikan pinjaman modal kepada kelompok yang pada kenyataannya bergulir. Aspek-aspek lainnya seperti pendampingan dan pelatihan masih sangat jarang disentuh. Kelompok usaha yang selama ini berjalan lebih banyak ditentukan oleh kemampuan kelompoknya untuk mengelola usahanya berdasarkan pengalamannya masing-masing. Sebagian besar responden menyatakan bahwa metode pemberdayaan yang selama ini dilakukan lebih banyak menekankan kepada metode sosialisasi dibandingkan
dengan
menggunakan
metode
lainnya
seperti
pelatihan,
pendampingan, serta metode lainnya yang tidak termasuk dalam beberapa metode di atas. Metode sosialisasi tersebut, lebih menekankan kepada hal-hal yang bersifat umum dan tidak mendalam dan biasanya tidak ada tindak lanjut untuk menjalankan metode pemberdayaan tersebut. Metode lain yang digunakan porsinya sangatlah kecil. Dengan demikian hasil yang dicapaipun baik yang terkait dengan keberhasilan usaha ataupun aspek sosial seperti soliditas dalam keluarganya masih membutuhkan perbaikan. Lemahnya metode yang lain dikarenakan masih minimnya pengalaman dari pihak-pihak yang terlibat, misalnya dari pihak pemerintah, swasta, konsultan dan sebagainya. Pada akhirnya sangatlah dibutuhkan metode pemberdayaan lanjutan seperti halnya pelatihan, pendampingan serta metode-metode lainnya. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga memiliki empat orang anak menceritakan pengalamannya mengenai proses pendampingan yang pernah ia rasakan bersama dengan ibu rumah tangga lainnya yang tergabung dalam kelompok
usaha pengahasil kerupuk udang.
Pada waktu itu ia mengungkapkan ada program pendampingan dari perguruan tinggi yang bekerja sama dengan pemerintah daerah Jakarta Utara
dalam
pengentasan keluarga prasejahtera. Ia menyatakan bahwa setiap usaha rumah tangga yang dilakukan secara berkelompok diberikan dana bergulir mulai dari 1 juta, 5 juta sampai dengan 10 juta sesuai dengan permintaan kelompok usahanya masing-masing. Sebagai kelanjutannya ia didampingi oleh perwakilan dari perguruan tinggi untuk membantu dalam penataan manajemen kelompok, pemasaran, jaringan usaha dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan kelompok tersebut. Pada awalnya program pendampingan tersebut berjalan dengan lancer. Setiap minggu perwakilan dari lembaga pendidikan tersebut sering mendampingi
122
dan memberikan pelatihan-pelatihan. Namun kondisi ini hanya berlangsung tiga bulan, setelah itu kegiatan pendampingan tidak pernah ada lagi. Setelah dikonfirmasi dengan lembaga pendidikan tersebut, katanya dana pendampingan dari pemerintah sudah tidak ada lagi. Kelompok usaha kami tersebut selanjutnya berjalan sendiri dengan serba keterbatasan, sehingga perkembangannya tidak menggembirakan. Apa yang dirasakan oleh sebagian kelompok yang pernah mendapatkan proses pemberdayaan ternyata belum menyentuh hal-hal yang substansial seperti perkembangan kelompok usaha melalui kegiatan pemberdayaan dikarenakan beberapa hal : (1) Metode yang dikembangkan dalam proses pemberdayaan selama ini lebih banyak menggunakan metode sosialisasi dibandingkan dengan metode pelatihan, pendampingan dan metode-metode lainnya yang dilakukan secara berkelanjutan; (2) Pendekatan yang dilakukan dalam proses pemberdayaan oleh pihak lain tersebut sebagian besar menggunakan
pendekatan
pemberdayaan
yang
bersifat
massif
dengan
pendekatan secara massa. Meskipun terdapat pendapingan terhadap kelompok usaha, namun tidak dilakukan secara kontinyu sampai kelompok tersebut benarbenar mandiri dan dapat berjalan sendiri, dan (3) substansi materi yang ditingkatkan dalam proses pemberdayaan selama ini lebih banyak kepada peningkatan pengetahuan, dibandingkan dengan perubahan perilaku ataupun peningkatan keterampilan berusaha dan sebagainya. Hanya sebagian kecil saja yang merasakan bahwa proses pemberdayaan dapat meningkatkan kemandirian berusaha, yang sebenarnya ditentukan oleh kemandirian dari tiap-tiap anggota kelompoknya masing-masing. Berdasarkan
data
di
atas
menunjukkan
bukti
bahwa
orientasi
pemberdayaan yang dilakukan terhadap kelompok usaha di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi selama ini lebih menekankan kepada peningkatan pada aspek kognisi, dibandingkan dengan aspek afektif dan pengembangan psikomotor. Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa potensi keberhasilan dari orientasi pemberdayaan yang dilakukan selama ini akan semakin rendah. Idealnya orientasi pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dengan usaha kelompok lebih menitikberatkan kepada afeksi dan psikomotor. Tingginya orientasi kognisi dalam pemberdayaan usaha kelompok belum mampu diimplementasikan secara praktis. Pada akhirnya tiap-tiap anggota kelompok
123
belum mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap pengembangan usaha kelompok. Orientasi kepada aspek kognisi lebih banyak dilakukan secara massa. Kondisi pemberdayaan seperti ini memiliki tinggkat keefektifan yang relatif rendah dibandingkan dengan pemberdayaan yang dilakukan secara kelompok dan individu.
Kewenangan Dalam Pemberdayaan Kewenangan dalam pemberdayaan adalah kemampuan kepala keluarga di dalam mengetahui, memahami dan menjalankan kegiatan memberdayakan dirinya sendiri antara lain : pemahaman Kemandirian
menjalankan
tentang kegiatan pemberdayaan, dan
kegiatan pemberdayaan. Sebaran mengenai
persepsi responden mengenai kewenangan dalam pemberdayaan, baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Kondisi ini dapat dilihat pada Tabel 32 .
Tabel 32. Tingkat Kewenangan Pemberdayaan Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
97
55,75
30
41,50
Sedang
73
41,95
75
48,37
4
2,30
27
10,13
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 36 dengan kategori rendah**
Keterangan : *Skor maksimum: 12 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dalam Tabel 32 menunjukkan bahwa tingkat kewenangan yang dilakukan dalam intervensi pemberdayaan terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 36. Selama ini, responden memiliki tingkat kewenangan dalam proses pemberdayaan khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dalam proses ini, pihak luar yang melakukan proses pemberdayaan terhadap keluarga ataupun terhadap kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga tidak melakukan proses pemaksaan dalam menentukan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dipilih, produk yang dihasilkan dan sebagainya. Hampir
124
sebagian besar pihak luar yang melakukan kegiatan pemberdayaan terhadap keluarga ataupun kelompok usaha hanya mengarahkan dan memberikan perbaikan, terhadap jenis usaha yang sudah dirintis oleh keluarga ataupun oleh kelompok usaha yang sudah dibentuk oleh keluarga tersebut. Dalam hal ini, pihak keluarga merasa bahwa mereka memiliki kemandirian yang tinggi untuk menentukan jenis usaha yang dikembangkan oleh keluarganya ataupun kelompok usahanya. Meskipun seringkali usaha tersebut termasuk dalam kategori yang tidak prospektif, namun keluarga tetap menjalankan usaha tersebut. Dalam wawancara mendalam dengan seorang kepala keluarga yang memiliki satu istri dan tiga orang anak yang bekerja sebagai tukang, dan istrinya membuka warung seadanya, terungkap bahwa sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari sebenarnya masih sangat kekurangan dan terbatas. Ia bekerja sebagai tukang tidak hanya sendiri melainkan juga memiliki kelompok yang diketuai oleh seorang kepala tukang. Pekerjaannya sebagai tukang sangat bergantung kepada adanya job dari orang lain dan juga adanya job yang diberikan oleh kepala tukan tersebut, sehingga tidak dapat dipastikan. Untuk mengisi kekosongan ketika tidak ada pekerjaan kelompok, ia juga menawarkan jasanya untuk membantu tetangga yang menginginkannnya seperti memotong rumput atau pekerjaan lainnya, yang penting ia dan keluarga tetap bisa makan meskipun seadanya. Dulu pernah sering ngutang dengan tetangga, namun lamakelamaan ia malu juga karena sering jadi omongan tetangganya. Ia sebagai kepala keluarga merasa punya tanggung jawab untuk tetap menghidupi keluarganya meskipun sangat terbatas.
Dukungan Fasilitasi Dukungan fasilitasi merupakan sejumlah kegiatan pemberdayaan yang memberikan peningkatan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan masalah dalam keluarga yang dilakukan secara berkelanjutan, yang meliputi : dukungan usaha, frekuensi bantuan dana stimulus dan frekuensi bantuan sarana prasarana usaha produktif.
125
Dilihat dari indikator dukungan fasilitasi dalam kegiatan intervensi pemberdayaan menunjukkan bahwa dukungan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait misalnya saja dari pemerintah, pihak swasta, LSM, pihakpihak lainnya masih tergolong rendah. Sebagai contoh dalam kegiatan pemberdayaan yang dilakukan di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi masih sangat tidak memadai. Sebesar 70 % anggaran pemberdayaan lebih banyak diprioritaskan
kepada
pembangunan
fisik,
sedangkan
30
%
anggaran
pemberdayaan digunakan untuk kegiatan usaha. Namun dari 30 % anggaran pemberdayaan yang digunakan untuk kegiatan pengembangan kelompok, juga menunjukkan hasil yang tidak maksimal. Sebaran persepsi responden mengenai fasilitas kegiatan pemberdayaan yang selama ini diberikan oleh pihak-pihak luar kepada keluarga miskin menunjukkan kategori yang rendah. Secara lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilhat pada Tabel 33. Tabel 33. Dukungan Fasilitasi Kota Jakarta Utara Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
84
48,27
125
94,70
Sedang
61
35,06
5
3,79
Tinggi
19
16,67
2
1,51
Jumlah
174
100
132
100
Skor Rataan sebesar 55 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 32 ; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Dalam Tabel 33 dijelaskan bahwa dukungan fasilitasi terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 55. Terkait dengan masih rendahnya dukungan fasilitasi pemberdayaan yang diberikan oleh pihak luar seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan serta pihak lainnya terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, terdapat beberapa penyebab yang dapat dijelaskan antara lain: (1) Pihak luar yang akan memfasilitasi kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat miskin sudah memiliki ketentuan yang sudah baku khususnya penggunaan anggaran pemberdayaannya tersebut.
126
Misalnya pemerintah yang selama ini meluncurkan program PNPM Mandiri sudah memiliki ketentuan baku bahwa proporsi anggarannnya 70 % untuk kegiatan pembangunan fisik, sedangkan 30 % anggarannya diperuntukkan ke dalam kegiatan ekonomi atau non fisik. Secara sederhana, keberpihakan pemerintah terhadap fasilitasi peogram pemberdayaan masih tergolong rendah khususnya terhadap aspek non fisik yang diharapkan dapat meningkatkan kelompok
usaha;
pemberdayaan
(2)
Bagi
terhadap
pihak
kelompok
swasta usaha
yang dari
memfasilitasi keluarga
kegiatan
miskin
masih
menginginkan anggaran pemberdayaan dipegang oleh pengusaha itu sendiri. Keputusan bantuan anggarannya ditentukan oleh pengusaha itu sendiri. Di samping tingkat kesadaran lembaga swasta untuk memfasilitasi kegiatan pemberdayaan khususnya bagi kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin masih tergolong rendah. Bahkan dalam suatu kesempatan jenis usaha kelompok ditentukan juga oleh pengusaha, kelompok usaha hanya menjalankan jenis usaha yang sudah ditentukan tersebut. Dalam hal ini penentuan jenis usahanya sudah bersifat top down ; dan (3) Kontinyuitas kegiatan fasilitasi pemberdayaan tersebut ternyata tidak berjalan secara berkesinambungan. Kelompok usaha yang sudah terbentuk hanya berjalan dalam kurun waktu yang tidak begitu lama sekitar 6 bulan sampai dengan satu tahun. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang ketua kelompok usaha yang memiliki empat orang anak dan memiliki anak buah kurang lebih 7 orang, terungkap bahwa Ia dan teman-temannya pernah dibantu oleh perusahaan di wilayah tempat tinggalnya untuk membuka warung makan di sekitar perusahaan tersebut, katanya bantuan ini sebagai bentuk dana CSR kepada masyarakat miskin di sekitar perusahaan tersebut. Dana yang diberikan sebesar 1 juta rupiah hingga 3 juta rupiah. Ternyata bantuan tersebut tidak bersifat cuma-Cuma, melainkan sebagai dana pinjaman. Setiap bulannya ia harus mengangsur pinjaman tersebut. Awalnya ia sangat senang dengan adanya bantuan tersebut, sehingga ia dan teman-temannya membuka warung makan untuk memfasilitasi para karyawan untuk makan di warung tersebut. Mungkin karena keterbatasan di dalam mengelola warung makan tersebut pada akhirnya warung tersebut mengalami kerugian, sedangkan ia harus mengembalikan dana
127
pinjaman dari perusahaan tersebut. Antara pemasukan dari warung makan dengan angsuran yang ia setorkan ternyata tidak sesuai. Hal inilah yang sampai saat ini masih menjadi tanggungan dari keluarganya dan teman-temannya tersebut. Beberapa pihak luar dalam memfasilitasi kegiatan pemberdayaan kelompok usaha baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi lebih banyak berkaitan dengan pemberian dana stimulus dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya seperti : akses informasi, akses pasar, serta sarana prasarana. Hal yang menarik dari sebagian besar kegiatan fasilitasi kegiatan pemberdayaan yang diberikan oleh pihak luar baik pemerintah maupun swasta menunjukkan belum adanya persiapan yang matang, khususnya di dalam menentukan jenis usahanya maupun dalam mengelola usahanya tersebut. Tanpa ada persiapan yang matang mengenai jenis usaha dan pengelolaan usahanya, maka sebagian besar kelompok usaha tidak mampu mengelola secara baik usahanya tersebut, apalagi proses pendampingan terhadap kelompok usahanya tersebut tidak berjalan secara berkelanjutan.
Keberdayaan Keluarga Tingkat Adaptasi Tingkat adaptasi merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar, baik dalam keluarga maupun lingkungan sosial, meliputi : tingkat kemampuan menyesuaikan terhadap lingkungan, tingkat kemampuan untuk merubah orientasi keluarga; dan Tingkat Kemampuan memanfaatkan sumberdaya keluarga. Secara umum, tingkat adaptasi pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tingkat adaptasi adaptasi keluarga miskin pada kedua wilayah ini masih tergolong rendah. Informasi selengkapnya mengenai sebaran responden berdasarkan tingkat adaptasi keluarga miskin terdapat pada Tabel 34. Pada dasarnya tingkat adaptasi pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi bervariasi, namun mayoritas memiliki tingkat adaptasi yang tergolong rendah. Tingkat adaptasi berkategori rendah di kedua wilayah tersebut
128
disebabkan : (1) Biaya hidup di kedua wilayah tersebut tergolong sangat tinggi, mulai dari konsumsi, pendidikan, transportasi dan lain sebagainya. Sebagian keperluan yang ada di dalam keluarga membutuhkan biaya, sehingga walaupun keluarga memiliki pendapatan yang tetap akhirnya banyak juga yang hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan makan dan pendidikan pada kategori yang sangat minimal. Bahkan ada dari beberapa keluarga yang memang tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pendidikan, dikarenakan tidak memiliki biaya yang cukup untuk memenuhi biaya pendidikan tersebut. Sebagian besar pendapatan hanya diperuntukkan untuk kebutuhan makan saja, dan itupun termasuk dalam kategori yang sangat terbatas; (2) Pengaruh lingkungan, baik tempat tinggal maupun tempat kerja juga memberikan pengaruh terhadap pola hidup keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut, artinya bahwa mayoritas keluarga miskin pada kedua wilayah tersebut dalam memenuhi kebutuhan konsumsi atau mengeluarkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan lainnya tidak memiliki keinginan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan pemenuhan kebutuhan tersebut pada tingkatan yang optimal. Sebagian dari keluarga miskin tersebut sudah menganggap bahwa mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan keluarga pada tingkatan optimal; dan
(3) Pengaruh
kebiasaan keluarga, yang berkaitan dengan sikap mental keluarga yang terlalu pasrah menghadapi kondisi keluarganya yang miskin. Sebagian besar dari mereka terlalu pasrah untuk menerima kondisi keluarga yang miskin tersebut. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki keinginan dan motivasi untuk keluar dari kondisi kekurangannya tersebut. Pada akhirnya mereka beranggapan bahwa mereka akan selalu berada dalam kondisi yang serba kekurangan.
Tabel 34. Tingkat Adaptasi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
98
56,33
54
40,91
Sedang
75
43,10
71
53,79
1
0,57
7
5,30
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 66 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 32 ; dan skor minimum : 9 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
129
Dalam Tabel 34 menunjukkan bahwa tingkat adaptasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam katagori rendah, dengan skor rataan sebesar 66. Tingkat adaptasi keluarga terhadap kondisi yang ada di kota besar dan kota madya ditandai dengan pemilikan kebutuhan pemenuhan kebutuhan fasilitas perumahan serta fasilitas rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat adaptasi ini juga dapat dilihat dari seberapa besar aset yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut. Kepemilikan aset keluarga dapat disajikan pada Tabel 34. Sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, kepemilikan aset keluarga menunjukkan tingkat variasi yang tergolong rendah. Kepemilikan dari aset dari keluarga miskin lebih banyak diarahkan kepada aset keluarga yang tergolong pokok atau primer, sedangkan aset keluarga yang termasuk dalam kategori sekunder tidak menjadi prioritas keluarga. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan keluarga untuk memiliki aset keluarga yang sifatnya sekunder tersebut. Mayoritas dari keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki aset keluarga yang sangat terbatas antara lain kepemilikan rumah, televisi, radio, sepeda, motor. Sedangkan untuk kebutuhan yang tergolong sekunder, mereka tidak mampu memilikinya. Sebagian besar dari keluarga miskin di kedua wilayah tersebut tidak memiliki aset sekunder antara lain: komputer, mobil, telepon, telepon genggam, tabungan, sawah dan lain sebagainya. Khusus terkait dengan rumah yang mereka tempati menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yang belum memiliki rumah secara permanen atau pribadi. Sebagian dari keluarga tersebut mengontrak rumah yang sangat kecil dan seringkali berada di daerah yang kumuh dengan alasan rumah yang kecil tersebut sangat bisa dijangkau oleh daya beli keluarga yang sangat rendah. Kalaupun ada dari sebagian keluarga yang memiliki rumah, mereka memiliki rumah yang sangat kecil dengan ukuran antara 20 sampai dengan 60 meter persegi (m2). Terdapat sebagian kecil dari keluarga miskin yang tinggal di
130
rumah yang layak, namun bukan milik pribadi melainkan miliki keluarga atau miliki orang lain yang mereka tumpangi. Dalam
wawancara
mendalam
dengan
salah
seorang
penjaga
keamanan yang hanya dibayar Rp.500.000 per bulan dengan 1 orang istri dan tiga orang anak yang semuanya masih menjadi tanggung jawabnya, terungkap bahwa dengan pendapatan tetap yang sangat kurang tersebut, ia mencari pekerjaan tambahan dengan mengerjakan apa saja yang menjadi permintaan dari orang yang menyuruhnya. Pekerjaan sebagai petugas keamanan perumahan ia kerjakan pada malam hari dengan sistem sift (bergiliran), sedangkan pekerjaan tambahan tersebut ia kerjaan pada siang harinya. Dari pendapatan tambahannya tersebut, pendapatan yang ia peroleh berkisar Rp.400 000 s/d Rp.500 000 sebulan. Dengan pendapatan perbulan yang berkisar antara Rp.900 000 sampai dengan Rp.1000 000,- dalam sebulan, ia dan keluarga merasa sangat kekurangan untuk menanggung semua biaya pengeluaran dalam keluarga mulai dari biaya makan, pendidikan, transportasi serta biaya-biaya yang lainnya. Pemenuhan kebutuhan keluarga di kota besar dan kota madya dirasakan sangat tinggi dengan pendapatan yang sangat terbatas tersebut. Akhirnya dengan kondisi yang serba kekurangan tersebut mengakibatkan ia dan keluarga hanya memenuhi kebutuhan keluarga pada tingkatan yang sangat minimal. Pemenuhan biaya hidup di kota besar seperti Jakarta dan kota sedang seperti Kota Bekasi ternyata sangat memberatkan bagi keluarga miskin yang memiliki penghasilan yang terbatas. Meskipun mereka sudah memutuskan untuk membatasi pengeluaran terhadap kebutuhan tambahan dan hanya memfokuskan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, namun hal tersebut belum mampu memenuhi pada tataran yang layak. Pada akhirnya keluarga miskin mencoba mengurangi kualitas pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dengan hanya mengkonsumsi makanan yang kualitas gizinya rendah. Hal ini juga berlaku pada pemenuhan kebutuhan lainnya dalam keluarga.
131
Tabel 35. Kepemilikan Aset Keluarga No.
Aset
Kategori
Jakarta Utara
Bekasi
Keluarga n (1)
Rumah
Rumah
%
n
%
66
37,93
24
18,18
Kontrak
99
56,90
92
69,70
Rumah
4
2,30
9
7,32
5
2,87
7
5,30
145
83,33
110
83,33
29
16,67
22
16,67
120
68,97
91
68,94
54
31,03
41
31,06
0
0
0
0
174
100,00
132
100,00
0
0
0
0
174
100,00
132
100,00
18
10,34
4
3,03
156
89,66
128
96,97
6
3,35
4
3,03
168
96,55
128
96,97
18
10,34
17
12,88
156
89,66
117
88,64
sendiri
keluarga Rumah orang lain (2)
Televisi
Ada Tidak ada
(3)
Radio
Ada Tidak ada
(4)
Komputer
Ada Tidak ada
(5)
Mobil
Ada Tidak ada
(6)
Motor
Ada Tidak ada
(7)
Telepon
Ada Tidak ada
(8)
(9)
(10)
Telepon
Ada
genggam
Tidak ada
Tabungan
Ada
99
56,90
57
43,18
Tidak ada
75
43,10
75
56,82
Ada
12
6,90
7
5,30
162
93,10
125
94,70
Tanah
Tidak ada
Tingkat Pencapaian Tujuan Tingkat pencapaian tujuan keluarga merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk merealisasikan kegiatan terprogram untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh keluarga, yang meliputi : tingkat kemampuan mencapai tujuan ekonomi, dan tingkat kemampuan mencapai tujuan sosial. Berdasarkan sebaran jawaban responden menunjukkan bahwa tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi tidak memiliki perbedaan yang nyata. Secara umum mayoritas keluarga miskin
132
di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat pencapaian tujuan yang tergolong rendah. Informasi selengkapnya mengenai tingkat pencapaian tujuan dalam keluarga dapat dilihat pada Tabel 36. Tingkat pencapaian tujuan dalam keluarga termasuk dalam kategori rendah dengan beberapa alasan : (1) Keluarga belum mampu memaksimalkan potensi keluarga untuk mencapai tujuan keluarga, akhirnya kemampuan anggota keluarga untuk mendorong dan memotivasi antar sesama anggota keluarga rendah sebagai akibat dari tingkat pengenalan terhadap perbedaan kemampuan, minat antar sesama anggota keluarga rendah. Pada akhirnya keluarga tidak mampu mengidentifikasi permasalahan keluarga dengan cepat dan tepat;
(2) Keluarga belum memiliki
manajemen keluarga yang baik mengenai pengaturan keuangan, pengaturan prioritas dan pengawasan aktivitas keluarga keluarga sehingga kondisi yang terjadi
adalah
sering
lebih
besar
keinginan
dibandingkan
dengan
kemampuannya, atau banyak waktu yang sebenarnya bisa dioptimalkan untuk kegiatan yang bermanfaat dan menghasilkan pendapatan akhirnya hilang begitu untuk kegiatan yang tidak penting. Kondisi tersebut terlihat bagaimana rendahnya tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin baik Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi; (3) Keluarga tidak memiliki reorientasi di dalam mengembangkan ekonomi keluarganya. Pada akhirnya, keluarga tidak mampu memanfaatkan
potensi yang
ada
dalam
keluarga
serta
tidak
mampu
memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mendapatkan penghasilan ekonomi bagi keluarganya tersebut. Dari ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar dari keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki tujuan keluarga yang jelas guna memperbaiki kehidupan keluarganya tersebut. Tabel 36. Tingkat Pencapaian Tujuan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
100
57,47
89
67,42
Sedang
68
39,08
30
22,73
6
3,45
13
9,85
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 64 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 12 ; dan skor minimum : 4 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
133
Dalam Tabel 36 menunjukkan bahwa tingkat pencapaian tujuan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi secara umum keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 64. Keluarga tidak memilki tujuan yang terprogram yang dikelola dengan baik. Sebagian besar keluarga hanya lebih mengandalkan apa yang ada tanpa mampu membuat target-target perubahan dalam keluarga menjadi yang lebih baik. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang pekerjaannya hanya membantu isterinya berjualan nasi uduk di depan sekolah TK di komplek perumahannya, terungkap bahwa ia bekerja sebagai makelar apa saja yang bisa dijadikan perantara seperti ketika ada orang ingin menjual motor, rumah, dan apa saja. Setiap hari waktunya dihabiskan untuk tidur dan makan di rumah.Ia merasa kemampuan dirinya untuk bekerja di kantoran sudah mentok, sehingga ia hanya menjadi pekerja serabutan tersebut. Pada kenyataannya sangat jarang orang yang menjadikan ia sebagai perantara dalam penjualan sesuatu. Kondisi ini sebenarnya yang seharusnya mampu dimanfaatkan olehnya untuk mencari pekerjaan yang lebih rutin dibandingkan dengan pekerjaan yang serabutan tersebut. Dengan demikian, justru yang menjadi tulang punggung keluarganya berada di tangan isterinya dari pengahasilan menjual nasi uduknya tersebut, sedangkan ia sendiri tidak jelas pendapatannya.
Tingkat Integrasi Tingkat integrasi keluarga merupakan upaya dan kekuatan keluarga untuk membangun kebersamaan di antara anggota keluarga, yang meliputi: pola interaksi dengan anggota keluarga; dan tingkat keeratan hubungan dengan anggota keluarga. Berdasarkan hasil pengamatan dan pendalaman yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa secara umum tingkat integrasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Secara umum sebenarnya anggota keluarga miskin memiliki cukup waktu untuk melakukan interaksi dengan anggota keluarga. Namun yang menjadi persoalan adalah kualitas interaksi yang
134
diperankan oleh anggota keluarga masih tergolong rendah. Artinya bahwa mereka pada dasarnya memiliki waktu yang cukup untuk melakukan interaksi dengan anggota keluarga dikarenakan waktu bekerja mereka yang tidak jelas, namun mereka tidak mampu memanfaatkan secara optimal adanya kesempatan dan waktu yang luas tersebut. Sebagian besar dari mereka lebih cenderung untuk lebih banyak menghabiskan waktu yang tidak produktif khususnya dalam membangun pola interaksi yang positif dengan anggota keluarganya. Beberapa hal yang menjadi alasan tidak optimalnya pola interaksi yang dilakukan kepala keluarga dengan anggota keluarganya adalah mereka merasa tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi anggota keluarganya. Sehingga pola integrasi keluarga miskin dengan anggota keluarganya cenderung pasif.; (2) Pengaruh nilai perkotaan yang
cenderung
individualistis,
konsumeristis,
dan
hedonisnis
justru
memperburuk kualitas interaksi kepala keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dengan anggota keluarga. Mereka beranggapan bahwa kegiatan interaksi dengan anggota keluarga tidak memberikan keuntungan material kepada keluarganya. Mereka menganggap bahwa interaksi dengan anggota keluarga hanya menghabiskan waktu saja tanpa memberikan efek yang menguntungkan bagi keluarganya; dan (3) Pola interaksi di dalam keluarga juga tidak mampu membangun kualitas komunikasi keluarga yang ditandai dengan keterbukaan, kejujuran, dan terjadinya komunikasi yang positif dalam keluarga. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang yang bekerja sebagai tukang ojek yang sering mangkal di perumahan dekat rumahnya memiliki 1 orang isteri dan 2 orang anak yang sudah mulai remaja. Anak yang pertama sudah masuk di sekolah SMA, sedangkan anak yang kedua duduk di bangku sekolah menengah pertama. Waktu kegiatan menjadi tukang ojek dilakukan dari jam 06.00 sampai dengan 12.00. setelah itu istirahat sampai dengan jam 14.00 atau kadang jam 15.00. Selanjutnya ia kembali ngojek sampai dengan jam 20.00. Selama beberapa jam berada di rumahnya tidak memanfaatkan untuk berkomunikasi dengan baik dengan istri dan kedua aanaknya. Sebagian besar waktu di rumah hanya dimanfaatkan untuk tidur dan nonton TV. Ia beranggapan bahwa ia sudah menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga untuk mencari nafkah keluarga. Sedangkan fungsi sosial dalam keluarga tidak mampu ia
135
perankan secara optimal. Urusan-urusan sekolah anak-anak serta urusan lainnya lebih banyak diperankan oleh istrinya, bahkan anaknya mengurus sendiri berkaitan dengan keperluan-keperluan di luar keperluan ekonomi. Ia sendiri tidak mau untuk memanfaatkan waktu yang ada untuk mendidik anak istrinya. Meskipun demikian ia sudah merasa cukup berperan dalam keluarganya. Akhirnya dalam keluarga tersebut tidak terdapat nilai-nilai integrasi dalam membuat keluarga menjadi lebih baik. Tabel 37. Tingkat Integrasi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kota Bekasi
Kategori* Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
49
28,16
57
43,18
Sedang
124
71,27
69
52,27
1
0.57
6
4,55
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 75 dengan kategori sedang** Keterangan : *Skor maksimum: 8 ; dan skor minimum : 3 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Tabel 37 menunjukkan bahwa tingkat integrasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 75.
Tingkat Latensi Tingkat latensi merupakan nilai – nilai internal yang tidak tampak tetapi ada dan berpengaruh di dalam keluarga, yang meliputi : tingkat kepercayaan antar anggota keluarga, tingkat persaingan antar anggota keluarga, tingkat kerjasama antar anggota keluarga, dan tingkat kesadaran untuk maju. Secara umum tingkat latensi dalam keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang rendah. Hal ini dapat terlihat dari nilai-nilai internal yang terbentuk dalam keluarga seperti halnya Tingkat
136
kepercayaan antar anggota keluarga, Tingkat persaingan antar anggota keluarga, Tingkat kerjasama antar anggota keluarga, dan Tingkat kesadaran untuk maju. Secara lebih jelas berkaitan dengan tingkat latensi ini dapat tergambar pada Tabel 38. Tabel 38. Tingkat Latensi Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori*
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
132
75,86
120
90,91
Sedang
31
17,82
12
9,09
Tinggi
11
6,32
0
0
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 65 dengan kategori rendah** Keterangan : *Skor maksimum: 16 ; dan skor minimum : 8 **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Tabel 38 menunjukkan bahwa tingkat latensi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 65. Dalam pengembangan nilai-nilai internal dalam keluarga terdapat variasi. Nilai-nilai internal yang selama ini dikembangkan oleh keluarga menunjukkan kategori yang tinggi. Tingkat kepercayaan antar anggota menunjukkan kategori yang tinggi. Sedangkan pada tingkat persaingan, tingkat kerjasama, dan tingkat kesadaran untuk maju khususnya dalam masalah pengembangan usaha ekonomi keluarga menujukkan kategori yang rendah. Dengan demikian penanaman nilai-nilai latensi dalam keluarga, khususnya nilainilai dalam mengembangkan usaha keluarga menujukkan kategori yang rendah. Rendahnya tingkat latensi dalam keluarga miskin di kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dengan beberapa alasan : (1) Keluarga tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan persaingan, kerjasama, serta mengembangkan kesadaran untuk maju khususnya dalam mengembangkan usaha ekonomi. Sebagian besar dari mereka menganggap bahwa apa yang mereka usahakan selama ini sudah tidak dapat dikembangkan lagi sehingga tingkat kesejahteraannyapun tidak dapa tmeningkat; (2) Keluarga tidak memiliki pendidikan yang cukup mengembangkan pola dan metode yang mampu menginternalisasaikan nilai-nilai positif bagi anggota keluarganya. Kondisi
137
tersebut mengakibatkan budaya keluarga yang diikat dengan nilai-nilai kebaikan yang pada akhirnya mampu menumbuhkan dan memperkuat motivasi menjaga keutuhan keluarga. Secara umum keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menganggap bahwa dalam keluarga perlu terbentuk nilai-nilai yang positif guna menciptakan keluarga yang labih baik. Secara umum keluarga di perkotaan menggunakan nasehat dan hukuman untuk melakukan proses sosialisasi nilainilai dalam keluarga.
Pemberlakuan nasehat dalam menanamkan nilai-nilai
dalam keluarga hanya terbatas kepada kemampuan kepala keluarga serta kebiasaan yang selama ini berjalan. Sedangkan pemberlakuan hukuman terhadap anggota keluarga dimaksudkan agar anggota keluarga untuk mengikuti apa yang menjadi keinginan dari kepala keluarga. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang responden yang sekarang berumur 13 tahun, dan tanggal bersama ayah-ibu dan juga satu orang adiknya, terungkap bahwa
ayahnya adalah seorang pekerja serabutan yang
hanya menunggu adanya tawaran kerja apa saja terutama kalau ada tawaran untuk menjadi supir cabutan, sedangkan ibunya adalah buruh rendahan di pabrik yang penghasilannya tidak seberapa. Mereka tinggal di rumah orang tuanya yang sangat sempit. Dengan kondisi yang demikian itu kehidupan mereka sangat terbatas. Salah satu yang sering terjadi dalam keluarga tersebut adalah tidak adanya nilai-nilai keluarga yang memberikan semangat bagi anaknya. Ayahnya tersebut tidak memiliki nilai-nilai ketauladanan yang dapat ditiru oleh anakanaknya. Nilai-nilai ibadah yang ada dalam keluarga tersebut sangatlah minim, bahkan cenderung tidak dibangun. Ayahnya tersebut tidak memiliki semangat untuk mengembangkan nilai-nilai spiritual bahkan cenderung meninggalkan ibadah wajib, Sedangkan ibunya juga tidak begitu rajin untuk menegakkan nilainilai ibadah. Jangankan memberikan nasehat kepada anaknya mengenai ibadah, ayahnya tersebut tidak menjalankan kewjiban ibadahnya. Menurut dia dan saudaranya tersebut, kehidupan seperti dianggapnya sebagai kehidupan yang biasa. Ia menganggap bahwa selama ini dalam keluarga tidak terdapat keteladanan yang dapat ditiru oleh anak-anaknya, sehingga ia sendiri merasa pesimis dengan masa depannya nanti apakah ia punya harapan untuk dapat memperoleh masa depan yang lebih baik.
138
Tingkat Kesejahteraan Keluarga
Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan merupakan sejumlah penghasilan yang didapatkan dalam satu keluarga, yang meliputi : tingkat pendapatan tetap dan tingkat pendapatan tidak tetap. Terkait dengan tingkat pendapatan keluarga, secara jelas dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Tingkat Pendapatan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
87
50
80
60,61
Sedang
85
48,85
52
39,39
2
1,15
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 18 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 39 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 18. Berdasarkan sebaran jawaban responden yang ada Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan tingkat pendapatan keluarga miskin pada kategori yang rendah. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga miskin di kedua wilayah tersebut disebabkan oleh beberapa alasan : (1) Kepala keluarga memiliki pekerjaan kasar misalnya saja tukang bangunan, satpam, pedangan asongan, pekerja serabutan, atau pekerja rendahan di pabrik. Dengan kedudukan sebagai pekerja kasar tersebut berkorelasi terhadap pendapatan yang diterima dengan jumlah yang sangat kecil terbatas; (2) Kepala keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak memiliki keterampilan yang mamadai dan bernilai jual tinggi dalam bekerja. Dengan demikian tingkat penghasilan yang diterima sangat terbatas; (3) Meskipun ini tidak semuanya namun hampir separuh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi memiliki jumlah tanggungan anggota keluarga yang relatif banyak yaitu berkisar antara 3 sampai dengan 6 orang. Meskipun tingkat pendapatan yang relatif lebih tinggi, namun karena jumlah tanggungan yang
139
relatif banyak sehingga kualitas pemanfaatan dari pendapatan tersebut menjadi rendah juga; dan (4) Terdapat responden yang memiliki pekerjaan yang tidak tetap, dengan demikian tingkat pendapatan keluarganya menjadi tidak pasti. Dalam wawancara mendalam dengan salah seorang kepala keluarga yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang ojek menyatakan bahwa pendapatan yang ia peroleh saat ini masih jauh dari layak. Ia menyatakan bahwa ia tidak memiliki ijazah SLTA sehingga tidak memiliki pekerjaan yang mampu memberikan penghasilan yang memadai. Di samping itu, dalam keluarganya hanya dialah yang menjadi tulang punggung keluarganya sedangkan dua anaknya masih kecil. Dengan demikian isterinya tidak mampu membantu dalam pendapatan keluarganya karena tugasnya hanya sebatas menjaga anakanaknya tersebut. Hal yang sangat dirasakan olehnya dan keluarganya tersebut adalah bahwa pekerjaannya tersebut belum mampu memberikan penghasilan yang tetap, apalagi ketika ia sakit dan tidak mampu narik ojek. Kondisi tersebut yang selama ini dirasa masih belum memenuhi kebutuhan keluarga yang layak.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan segala sesuatu yang bersifat mendasar yang harus segera dipenuhi dalam keluarga yang meliputi (1) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan makan, (2) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kesehatan, dan (3) Tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan perumahan. Sebaran terkait dengan hal ini dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
42
24,14
43
27,78
Sedang
108
62,07
71
58,50
Tinggi
24
13,79
18
13,72
Jumlah
174
100
132
100
Rataan sebesar 28 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
140
Tabel 40 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 28. Dilihat dari sebaran jawaban responden keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi mengenai pemenuhan kebutuhan dasar tidak terdapat perbedaan yang nyata. Berdasarkan data menunjukkan pada kategori rendah. Beberapa alasan mengenai pemenuhan kebutuhan dasar yang berada pada kategori rendah tersebut adalah sebagai berikut: (1) Meskipun mereka dalam keadaan yang miskin atau kurang mampu, namun mereka memiliki keinginan untuk tetap memenuhi yang tergolong pokok dalam ukuran yang minimal, (2) Pendapatan yang mereka peroleh hampir sebagian besar dialokasikan kepada kebutuhan pokok. Dengan demikian terdapat kesadaran dari kepala keluarga khususnya untuk mendistribusikan pendapatnnya
kepada
pemenuhan
kebutuhan
dasar
tersebut,
dan
(3)
Responden sangat percaya bahwa kebutuhan dasar tersebut merupakan kebutuhan hidup yang sangat penting yang akan menunjang keberlangsungan hidup keluarganya. Hasil wawancara dengan seorang kepala keluarga yang memiliki satu orang istri dan baru memiliki satu orang anak dan bekerja sebagai tukang bangunan mengatakan bahwa pada dasarnya ia tetap berusahan mati-matian untuk mendapatkan uang dengan alasan agar ia dan keluarga dapat makan. Berapapun uang yang ia dapatkan dari hasil mengikuti proyek bangunan tetap ia berikan kepada istrinya. Memang ia merasa bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangatlah berat, namun karena ia tetap ingin bertahan hidup maka ia akan
terus
mengerjakan
pekerjaan
kasar
ini.
Ia
sendiri
tidak
mau
menggantungkan dirinya kepada bantuan keluarganya, karena setelah ia berkeluarga, semuanya menjadi tanggung jawabnya. Berdasarkan wawancara tersebut menunjukkan bahwa setiap keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi melihat bahwa kebutuhan dasar merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, sehingga terdapat usaha yang keras untuk dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar tersebut.
141
Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Pemenuhan kebutuhan sekunder merupakan segala sesuatu yang bersifat
penunjang yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer terpenuhi,
yang meliputi tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan rekreasi dan tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan pendidikan. Sebaran jawaban responden terkait dengan pemenuhan kebutuhan sekunder termasuk dalam kategori rendah. Hal ini secara jelas dapat dilhat pada Tabel 41. Tabel 41. Pemenuhan Kebutuhan Sekunder Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
159
91,38
130
98,48
Sedang
11
6,32
2
1,52
4
2,30
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 26 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 41 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan sekunder sebagian besar responden tergolong rendah, dengan skor rataan sebesar 26. Mengenai masalah ini, terdapat kesamaan antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi, keduanya berada pada kategori yang rendah. Terdapat beberapa alasan terkait dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan sekunder tersebut yaitu: (1) Keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi belum memiliki tingkat kesadaran yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan akan pendidikan. Pendidikan dianggapnya tidak mampu
memberikan
kontribusi
yang
besar terhadap
keluarganya; (2) Mengenai hal ini terdapat faktor turunan
perubahan
nasib
yang masih melekat
pada sebagian besar keluarganya yaitu bahwa keluarga-keluarga sebelumnya juga memiliki pendidikan yang sangat rendah; (3) Mereka menganggap bahwa biaya pendidikan dan rekreasi sekarang ini sangatlah mahal, sehingga tidak mampu untuk mencukupi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut; dan (4) Kebutuhan sekunder yang terkait dengan jenis pemenuhan kebutuhan akan
142
rekreasi dipersepsikan oleh sebagian besar responden sebagai kebutuhan yang mewah. Dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas, mereka tidak terlalu berpikir untuk memenuhi kebutuhan akan rekreasi. Kalaupun ada di antara keluarga miskin yang melakukan aktivitas rekreasi, biasanya mereka sengaja menyisihkan sebagian penghasilannya. Tempat rekreasi yang umumnya mereka datangi juga adalah tempat rekreasi yang tidak mahal. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang tukang ojek yang memiliki satu istri dan tiga orang anak menyatakan bahwa ia tidak terlalu berharap agar anak-anaknya dapat memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Paling tinggi ia hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SMP saja. Ia sendiri hanya lulusan SD. Ia mengatakan bahwa orang tuanya tidak sanggup untuk membiayai dirinya untuk sampai ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Menurut orang tuanya, yang penting pernah sekolah meskipun tidak tinggi. Meskipun sekolahnya tidak tinggi kalo usahanya keras, maka ia akan berhasil juga. Namun kenyataannya ia merasa tidak memiliki bekal yang cukup untuk bekerja yang lebih layak, pada akhirnya iapun hanya menjadi tukang ojek. Sedangkan pemenuhan kebutuhan rekreasi menurutnya sesuatu yang mustahil, dikarenakan biaya rekreasi yang begitu mahal. Kalaupun ia melakukan rekreasi , itupun tempat-tempat rekreasi yang gratis atau tidak mengeluarkan biaya yang besar sesuai dengan keadaan ekonominya.
Pemenuhan Kebutuhan Tertier Pemenuhan kebutuhan tertier merupakan segala sesuatu yang bersifat penunjang lainnya yang harus dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder telah terpenuhi, yang meliputi: tingkat konsumsi per bulan/tahun untuk keperluan kendaraan, tingkat konsumsi per bulan / tahun untuk keperluan perhiasan,dan jumlah tabungan keluarga dalam setahun. Sebaran jawaban responden yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan tertier di keluarga miskin di wilayah Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi
143
menunjukkan kategori yang rendah. Secara lebih terperinci, hal ini dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Pemenuhan Kebutuhan Tertier Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
(%)
Persentase (%)
Rendah
142
81,61
131
99,24
Sedang
28
16,09
1
0,76
4
2,30
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 27 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi) Data dalam Tabel 42 menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan tertier keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 27.
Khusus terkait dengan pemenuhan
kebutuhan tertier ini, tidak terdapat perbedaan yang nyata Jakarta Utara dengan keluarga miskin di Kota Bekasi. Keduanya berada dalam kategori rendah. Terdapat beberapa alasan terkait dengan rendahnya pemenuhan kebutuhan tertier ini antara lain : (1) Responden menganggap bahwa kebutuhan tertier ini merupakan kebutuhan yang mewah yang tidak menjadi prioritas dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya, dan (2) Tingkat kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan tertier ini belum menjadi prioritas bagi keluarga, mereka lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar dan sekunder terlebih dahulu. Kalaupun ada dari sebagian keluarga mampu memenuhi kebutuhan tertier ini, itupun diprioritaskan kepada pemenuhan pada jenis kendaraan dan tabungan keluarga, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan akan perhiasan masih sangat sulit bagi keluarga. Adanya kemampuan untuk memenuhi konsumsi yang harus dikeluarkan untuk biaya kendaraan dan tabungan keluarga dimaksudkan untuk usaha keluarga.
144
Dalam wawancara mendalam dengan seorang kepala keluarga yang sekarang ini menjadi tukang ojek yang memiliki istri dan baru akan memiliki anak mengatakan bahwa dirinya memiliki motor yang dijadikan usaha ojek tersebut karena sangat terpaksa untuk mendapatkan uang dengan menjadi tukang ojek. Kalau tidak dipaksakan bagaimana ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebagian hasil dari ngojeknya tersebut ia gunakan untuk mencicil angsuran motornya tersebut, dan sebagian lainnya ia gunakan untuk makan sehari-hari. Guna memenuhi pencicilan motornya tersebut, ia menyisihkan uang sebesar Rp. 3000,- setiap hari agar terkumpul uang sebesar cicilan motornya tersebut.
Kesinambungan Usaha Kesinambungan usaha merupakan tingkat keberlangsungan kegiatan produktif keluarga dalam jangka waktu yang lama, meliputi jumlah penambahan modal usaha; biaya terhadap kualitas dan kuantitas kegiatan usaha; dan biaya perluasan jaringan kerja. Terkait dengan kesinambungan berusaha bagi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan bahwa sebaran jawaban sebagian besar jawaban responden
menunjukkan kategori yang sedang. Hal tersebut
menunjukkan tidak terjadi perbedaan yang nyata antara Kota Jakarta Utara dengan Kota Bekasi. Beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut adalah sebagai berikut : (1) Usaha keluarga dipersepsikan oleh keluarga sebagai salah satu tulang punggung yang harus dipertahankan oleh keluarga tersebut dalam rangka
mempertahankan
keberlangsungan
hidup
keluarganya
tersebut,
(2) Usaha keluarga dianggap juga sebagai simbol status bagi keluarga miskin agar ia dan keluarga tidak termasuk dalam kategori sebagai keluarga yang malas, dan (3) Pola kesinambungan usaha dalam keluarga dilakukan dengan melalui pendidikan ataupun melalui sosialisasi bagi anggota keluarga tersebut untuk menjalankan usaha keluarga tersebut. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan adanya keluarga pemulung, di mana hampir sebagian besar dari anggota keluarga diajarkan untuk menjadi pemulung juga. Dengan demikian terdapat internalisasi dalam usaha keluarga, serta masih banyak lagi usaha keluarga
145
lainnya yang bersifat berkesinambungan. Secara lebih jelas mengenai sebaran jawaban responden dapat terlihat pada Tabel 43.
Tabel 43. Kesinambungan Usaha Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase
Frekuensi
Persentase
(%)
(%)
Rendah
39
22,41
18
13,64
Sedang
129
74,14
114
86,36
6
3,45
0
0
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 67 dengan kategori sedang* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 43 menunjukkan bahwa kesinambungan usaha keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang, dengan skor rataan sebesar 67. Terkait dengan kesinambungan usaha dalam keluarga ditunjukkan dengan beberapa perilaku dalam keluarganya antara lain: (1) Setiap keluarga pada dasarnya tetap memikirkan bagaimana usaha dalam keluarganya tersebut tetap berlangsung dengan berusaha untuk menambah sejumlah uang sebagai penambahan modal usaha keluarga meskipun jumlahnya sangat sedikit; (2) Secara kualitas dan kuantitas dari usaha keluarga tidak mengalami perubahan yang nyata, namun keluarga sangat berharap agar usaha keluarganya tetap berjalan, dan (3) Dikarenakan terdapat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan usaha keluarganya
tersebut,
menunjukkan
masih
adanya
keterbatasan
dalam
mengembangkan jaringan kerjanya. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang ibu rumah tangga yang keluarga berdagang kelontong, memiliki seorang suami dan dua orang anak, terungkap bahwa usaha yang selama ini ia jalani adalah sesuatu yang pokok. Meskipun tidak mendapatkan hasil yang besar, namun dapat menunjang kehidupan keluarga meskipun kekurangan. Ia dan suaminya tidak memiliki bekal yang cukup untuk berusaha yang lainnya. Menurutnya guna mempertahankan usaha kelontongnya tersebut ia tetap menyisihkan sebagian dari keuntungannya untuk menambah modal usahanya. Tujuannya tidak lain adalah untuk manambah
146
jenis barang dan makan yang dijual serta mengantisipasi harga bahan yang semakin lama semakin naik. Usaha yang ia lakukan pada dasarnya tidak memiliki jaringan yang luas, hanya terbatas kerja sama dengan pemasok barangbarang dagangannya. Ia masih merasa takut untuk memperluas jaringan usaha dikarenakan tidak memiliki modal yang cukup.
Pengelolaan Keuangan Pengelolaan keuangan merupakan kemampuan keluarga di dalam mengatur
dan
menggunakan
dana
keluarga
untuk
kepentingan
dan
kesejahteraan keluarga pada masa yang akan datang, meliputi : jumlah dana yang dapat ditabung untuk kegiatan usaha; dan jumlah dana yang diinvestasi. Terkait dengan hal ini secara jelas dapat tergambar pada Tabel 44. Tabel 44. Pengelolaan Keuangan Keluarga Kota Jakarta Utara
Kategori
Frekuensi
Kota Bekasi
Persentase (%)
Frekuensi
Persentase (%)
Rendah
107
61,49
100
75,76
Sedang
58
33,33
31
23,48
9
5,17
1
0,76
174
100
132
100
Tinggi Jumlah
Rataan sebesar 16 dengan kategori rendah* Keterangan : *interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Data dalam Tabel 44 menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori rendah, dengan skor rataan sebesar 16. Beberapa alasan yang terkait dengan rendahnya
pengelolaan
keuangan
keluarga
adalah
sebagai
berikut
:
(1) Rendahnya tingkat pengetahuan keluarga di dalam memanfaatkan keuangan keluarga untuk kegiatan yang sifatnya antisipatif atau berjangka panjang. Sebagian besar keluarga lebih cenderung untuk memanfaatkan keuangan keluarga untuk kegiatan konsumtif; (2) Keluarga tidak memiliki pilihan untuk melakukan kegiatan menabung ataupun kegiatan investasi dengan tingkat penghasilan yang kecil, sehingga keuangan keluarga selalu habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang sangat terbatas tersebut, dan (3) Dalam keluarga
miskin
belum
terbangun
kebiasaan
untuk
menabung
dan
147
menginvestasikan keuangan keluarga sehingga tidak menjadi kebiasaan keluarga. Hasil wawancara mendalam dengan salah seorang yang bekerja sebagai tukang sablon yang memiliki isteri dan belum memiliki anak menyatakan bahwa dengan penghasilan yang pas-pasan dirinya merasa sangat sulit untuk menabung dan melakukan kegiatan investasi. Ia merasa bahwa penghasilan dari pekerjaannya selalu habis untuk dimakan dan kebutuhan sehari-hari bahkan kekuarangan. Sampai saat ini belum terpikir olehnya kegiatan untuk menabung dan melakukan investasi. Pernah suatu ketika ia menyisihkan sebagian kecil dari pendapatannya, namun dalam perjalanan waktu ia sangat membutuhkan, sehingga ia harus mengambil kembali tabungan tersebut. Dengan demikian jumlahnya masih sangat minim. Kondisi Peubah-peubah Penelitian Karakteristik individu meliputi pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga. Pendidikan formal responden cenderung rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 51 persen sampai dengan 63 persen adalah rendah. Pendidikan non formal renponden termasuk dalam kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 83 persen adalah rendah. Usia responden berada pada kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sekitar 60 persen sampai dengan 70 persen berada pada usia 36-50. Jumlah tanggungan keluarga responden termasuk dalam kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 70 persen sampai dengan 90 persen memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 3-6 orang. Untuk peubah karakteristik kelompok, sumberdaya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi pemberdayaan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Rataan Peubah Penelitian Peubah Penelitian Nilai Rataan Skor Karakteristik Kelompok (X2) 66 Sumber Daya Keluarga (X3) 61 Lingkungan Sosial (X4) 49 Intervensi Pemberdayaan (X5) 64 Keberdayaan Keluarga (Y1) 65 Ket: *Setelah data ditransformasi (0 sd 100) **interval data: 0 s/d 66,9 (rendah), 67 s/d 82,9 (sedang), 83 s/d 100 (tinggi)
Kategori Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
148
Tingkat kesejahteraan keluarga meliputi tingkat pendapatan, pemenuhan kebutuhan dasar, pemenuhan kebutuhan sekunder, pemenuhan kebutuhan tertier, kesinambungan usaha, dan ketepatan pengelolaan keuangan. Tingkat pendapatan keluarga menunjukkan pada kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 50 persen sampai dengan 61 persen adalah rendah. Pemenuhan kebutuhan dasar menunjukkan kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 59 persen sampai dengan 62 persen adalah sedang. Pemenuhan kebutuhan sekunder termasuk dalam kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 91 persen sampai 98 persen adalah rendah rendah. Pemenuhan kebutuhan tertier termasuk kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 82 persen sampai dengan 99 persen adalah rendah. Kesinambungan usaha termasuk kategori sedang dengan sebaran jawaban responden sebesar 74 persen sampai dengan 86 persen adalah sedang. Ketepatan pengelolaan keuangan termasuk kategori rendah dengan sebaran jawaban responden sebesar 61 persen sampai 76 persen adalah rendah. Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa hampir sebagian besar peubah dalam penelitian ini termasuk dalam kategori rendah kecuali karakteristik kelompok yang termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini berarti bahwa beberapa aspek yang terkait dengan kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi perlu mendapatkan perhatian yang besar untuk diberdayakan. Beberapa peubah tersebut memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Dengan demikian keluarga miskin memiliki kompleksitas permasalahan yang serius untuk ditindaklanjuti melalui program pemberdayaan.
Pengaruh Karakteristik Kelompok dan Intervensi Pemberdayaan terhadap Keberdayaan Keluarga Hasil analisis koefisien regresi antara karakteristik kelompok (X2) dan intervensi pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan keluarga miskin (Y1) disajikan pada Tabel 46.
149
Tabel 46. Nilai Koefisien Regresi antara Karakteristik Kelompok (X2) dan Intervensi Pemberdayaan (X5) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Peubah Bebas
Keberdayaan Keluarga (Y1)
Karakteristik Kelompok (X2)
0,13*
Intervensi Pemberdayaan (X5)
0,14*
** Signifikan pada taraf nyata 5 %
Berdasarkan Tabel 46 menunjukkan bahwa karakteristik kelompok memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,13 artinya semakin tinggi aktivitas kelompok yang ada pada tiap-tiap kelompok usaha yang dibuat oleh keluarga miskin akan semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Pada sisi lain menunjukkan bahwa intervensi pemberdayaan memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin yaitu sebesar 0,14. Hal ini menunjukkan bahwa semakin intensif aktivitas intervensi pemberdayaan menunjukkan semakin meningkatkan keberdayaan keluarga miskin tersebut di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Karakteristik kelompok yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga miskin di dalamnya menyangkut beberapa indikator antara lain: kepemimpinan kelompok,
kedinamisan
kelompok dan
intensitas
komunikasi
kelompok.
Sedangkan intervensi pemberdayaan terdiri dari tiga indikator antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan, dan ketepatan fasilitasi. Secara riil, karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan memberikan kekuatan yang besar terhadap berdayanya keluarga. Melalui kegiatan kelompok, keluarga mampu melakukan pembelajaran yang sangat berharga dari kelompok dalam hal mengembangkan usaha, baik oleh keluarganya ataupun usaha yang dirintis oleh kelompok itu sendiri. Intervensi pemberdayaan memberikan energi yang sangat besar terhadap keluarga miskin untuk mampu bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan perkotaan. Melalui kekuatan kedua peubah tersebut, keluarga miskin memiliki modal sosial yang sangat besar untuk mampu keluarga dari kemiskinan keluarga.
150
150
Pengaruh Karakteristik Kelompok terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 46 menunjukkan bahwa karakteristik kelompok memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi yaitu sebesar 0,13. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin baik secara langsung merupakan kelompok usaha maupun kelompok lainnya ternyata sangat dibutuhkan oleh keluarga miskin. Bagi keluarga miskin, diantara anggota dan kepala keluarga selalu hidup berkelompok secara berdampingan. Keberadaan kelompok tersebut secara sengaja dibentuk oleh keluarga miskin dimaksudkan untuk memecahkan beberapa persoalan, baik yang berhubungan dengan masalah keluarga maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah lingkungan kemasyarakatan. Di antara anggota keluarga yang tergabung dalam kelompok tersebut biasanya memiliki keterikatan, baik keterikatan yang berhubungan dengan keterikatan adanya kesamaan nilai-nilai seperti adanya kelompok yang didasarkan kepada adanya kesamaan asal daerah sehingga muncul adanya kelompok kekerabatan orang Sunda, kelompok kekerabatan orang Sulawesi, kelompok kekerabatan orang Madura dan beberapa kelompok kekerabatan lainnya yang berdasarkan kesamaan asal daerah tersebut. Namun pada sisi lainnya, terdapat kelompok yang didasarkan kepada kepentingan, baik kepentingan ekonomi, kepentingan agama, maupun kepentingan sosial. Bagi kelompok
yang
didasarkan
kepada kepentingan ekonomi memunculkan
keinginan untuk mendirikan kelompok-kelompok usaha yang bergerak dalam usaha tertentu misalnya saja kelompok pedagang asongan, kelompok pemulung, kelompok pengumpul besi tua, kelompok peminta-minta dan beberapa kelompok usaha lainnya. Bagi kelompok yang didasarkan kepada kepentingan agama kemudian mendirikan kelompok yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan antara lain berdirinya kelompok Majelis Taklim yang selalu mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan pengajian yang sering dilakukan di mesjid-ataupun di rumah-rumah penduduk pada setiap waktu yang telah ditentukan secara berkala. Sedangkan kelompok yang berlatarbelakang sosial kemudian mendirikan kelompok-kelompok seperti halnya kelompok karang taruna remaja, kelompok arisan ibu-ibu, kelompok olah raga, kelompok yang
151
bergerak dalam hal kepentingan kewargaan tersebut. Pada akhirnya keberadaan kelompok-kelompok tersebut sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dalam beberapa hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif peubah karakteristik kelompok terhadap keberdayaan keluarga lebih banyak terhadap jenis kelompok yang bergerak dalam bidang usaha. Dalam kelompok yang bergerak dalam bidang usaha, ternyata memberikan kontribusi yang positif terhadap ekonomi keluarga. Setiap usaha kelompok yang menghasilkan pendapatan baik usaha kelompok yang menjadi penghasilan utama maupun usaha kelompok yang bersifat sampingan ternyata memberikan kontribusi yang tinggi terhadap tingkat keberdayaan keluarga. Hal-hal yang berkaitan dengan keberdayaan keluarga yang terpengaruh oleh karakteristik kelompok terkait dengan: (1) kemampuan adaptasi keluarga, (2) Kemampuan mencapai tujuan keluarga, (3) kemampuan berintegrasi, dan (4) terbentuknya nilai-nilai latensi positif dalam keluarga. Dengan semakin tingginya karakteristik kelompok mengakibatkan keluarga memiliki upaya dan kekuatan untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada di sekitar, baik secara internal keluarga maupun dengan lingkungan di luar keluarga. Selanjutnya, dengan semakin tinggi karakteristik kelompok mengakibatkan keluarga memilili upaya dan kekuatan yang besar untuk merealisasikan kegiatan terprogram untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh keluarga. Setiap terdapat keinginan dan kesulitan yang dihadapi oleh keluarga, maka akan lebih mudah dipecahkan bersama-sama dengan anggota kelompok yang lain. Peubah karakteristik kelompok juga memberikan kemampuan yang besar bagi keluarga agar mampu membangun kebersamaan dengan lingkungan di sekitar keluarga. Anggota keluarga yang terlibat dalam kelompok tersebut memiliki tingkat kepedulian yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak terlibat dalam kegiatan kelompok. Pada akhirnya dengan kondisi karakteristik kelompok tersebut akan memberikan pengaruh bagi terinternalisasikannya nilainilai positif dalam keluarga tersebut. Nilai-nilai positif tersebut antara lain tingkat kepercayaan dalam keluarga, tingkat persaingan, kerja sama dan tumbuhnya kesadaran untuk maju.
152
Secara lebih spesifik dapat digambarkan bahwa adanya pengaruh yang positif antara karakteristik kelompok terhadap keberdayaan keluarga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada dalam peubah karakteristik kelompok yang berpengaruh positif terhadap keberdayaan keluarga tersebut. Beberapa indikator dalam karakteristik kelompok tersebut antara lain: kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas kemunikasi kelompok. Kepemimpinan kelompok yang ada pada tiap-tiap kelompok yang dibentuk oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memegang peranan yang besar terhadap eksistensi kelompok, baik kelompok yang bergerak dalam bidang ekonomi, sosial maupun keagamaan. Dalam setiap kelompok yang terbentuk tersebut sangat bergantung kepada peran seorang pemimpin. Peran pimpinan kelompok di dalam mempengaruhi anggota kelompoknya merupakan kemampuan khusus yang dimiliki oleh
seorang pimpinan dalam melakukan
tindakan-tindakan persuasif dengan maksud untuk mencapai tujuan kelompok. Peran
kepemimpinan
kelompok
yang diperankan dalam tiap-tiap
kelompok yang dibentuk tersebut terbagi dalam
dua pengaruh, yaitu:
(1) Pengaruh secara impersonal, yaitu pengaruh yang diakibatkan karena adanya status pimpinan yang melekat pada diri seseorang. Status sebagai pimpinan kelompok diperoleh karena orang tersebut dipilih oleh anggota kelompoknya, artinya orang tersebut diberikan kewenangan untuk memimpin kelompok tersebut. Kondisi obyektif menunjukkan bahwa pimpinan kelompok memiliki kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan anggota kelompok lainnya yang menjadi bawahannya. Dengan adanya kewenangan yang lebih besar tersebut pimpinan dapat menggunakan kewenangan untuk mempengaruhi bawahan untuk menyesuaikan dengan tujuan dari pimpinan tersebut; dan (2) Pengaruh secara personal, yaitu pengaruh yang dilakukan oleh seorang pimpinan yang diakibatkan karena kemampuan persuasif yang secara khusus dimiliki oleh pimpinan tersebut. Di dalam memerankan pengaruh secara personal tersebut akan membedakan antara pimpinan yang satu dengan yang lain. Hal inilah yang diistilahkan dengan karakter individu dari seorang pimpinan. Dari kedua gambaran pengaruh kepemimpinan kelompok di atas menunjukkan keberhasilan kepemimpinan dari seorang pemimpin kelompok di dalam menyebarkan pengaruhnya dengan lebih mengoptimalkan pengaruh-pengaruh personal yaitu dengan melakukan komunikasi yang rutin dan tidak formal serta
153
meberikan contoh yang baik agar anggota kelompok dapat menilai karakter kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Stogdill (Gannon, 1979:47) yang menyatakan bahwa implementasi dari konsep pengaruh kepemimpinan
didasarkan
kepada
tiga
hal
yakni:
(1)
Kepemimpinan
memasukkan unsur orang lain, (2) kepemimpinan manyangkut adanya distribusi kekuasaan yang tidak seimbang antara pimpinan dengan bawahan, (3) dalam kepemimpinan
mengandung
kemampuan
untuk
menggunakan
cara-cara
tertentu. Berdasarkan konsep di atas, maka pengaruh yang digunakan oleh pimpinan kelompok yang di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebenarnya lebih mengarah kepada kepemimpinan yang bersifat persuasif melalui pengaruh secara personal. Dengan demikian, kepemimpinan kelompok merupakan salah satu yang menentukan tingkat keberhasilan
tujuan kelompok. Pimpinan
kelompok menentukan ide-ide dan rencana-rencana yang ingin dicapai oleh kelompok,
selanjutnya
pimpinan
mengatur
dan
menggerakkan
anggota
kelompoknya, dan pada akhirnya pimpinan kelompok mengevaluasi kegiatan kelompok. Di samping peran dari kepemimpinan
kelompok, pengaruh dari
kedinamisan kelompok juga sangat berkontribusi terhadap semakin kuatnya keberdayaan keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebaran mengenai tingkat kedinamisan kelompok yang ada di keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Keikutsertaan keluarga dalam kelompok khususnya kelompok usaha pada dasarnya dilandasi pada adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa kelompok yang dibentuk tersebut akan memberikan dampak yang positif terhadap keberdayaan keluarganya. Dengan adanya kelompok usaha khususnya akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perbaikan ekonomi keluarga. Di samping itu juga, keluarga tersebut sangat yakin bahwa dengan adanya keterlibatan dalam kelompok usaha tersebut akan menciptakan sebuah nilai yang positif bagi anggota keluarga. Nilai-nilai positif tersebut berkaitan langsung dengan tingkat kemandirian keluarga yang tinggi sehingga terhindar dari rasa ketergantungan kepada pihak-pihak lainnya. Sebagian besar keluarga memiliki
154
keyakinan yang tinggi terhadap keberhasilan kelompok usaha tersebut dilihat dari beberapa parameter antara lain: (1) Bahwa keberadaan kelompok usaha tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga; (2) Terdapat kejelasan dalam struktur organisasi dalam kelompok. Kelompok yang mereka bentuk tersebut merupakan kelompok yang kecil, sehingga memudahkan untuk melakukan pembagian tugas terhadap masing-masing anggota kelompoknya; (3) Tiap anggota kelompok memiliki fungsi dan tugas masing-masing yang sudah diketahui sebelumnya secara jelas; (4) Pembinaan yang dilakukan terhadap anggota kelompoknya tersebut dilakukan sambil berjalan. Setiap terdapat kesalahan dalam menjalankan tugasnya tersebut akan dikoreksi dan diperbaiki secara bersama-sama; (5) Tingkat kekompakan antara anggota kelompok
sangat tinggi, hal ini
dikarenakan diantara anggota kelompok memiliki rasa memiliki yang tinggi. Bagi mereka kegagalan dalam kelompok tersebut merupakan kegagalan bersama, dan sebaliknya bahwa keberhasilan kelompok tersebut merupakan keberhasilan bersama dan mereka sangat yakin bahwa hal tersebut akan berdampak terhadap ekonomi keluarganya; (6) Tingkat kerja sama antar anggota sangat kuat. Hal ini dibuktikan dengan adanya saling membantu di antara anggota kelompok tersebut; (7) Suasana kelompok yang dibangun termasuk dalam kategori yang kondusif. Anggota kelompok lebih mengutamakan suasana yang informal dan tidak kaku seperti halnya organisasi formal. Di antara mereka saling memberikan akses untuk berkomunikasi dengan waktu yang lebih fleksibel; (8) Konflik dalam kelompok dengan mudah dapat diatasi. Adanya keterikatan emosional yang tinggi di antara anggota kelompok tersebut, semakin memudahkan mereka untuk saling mengontrol dan memperbaiki sikap-sikap yang dianggap menyimpang dari kegiatan kelompok; dan (9) Adanya hal-hal yang tersembunyi di antara mereka lebih bisa diminimalisir. Kecurigaan di antara anggota kelompok dapat secara mudah dengan adanya keterbukaan yang dibangun dalam kelompok tersebut. Hal yang tidak kalah pentingnya dari aspek kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok di atas adalah intensitas komunikasi kelompok. Di antara anggota kelompok tersebut, selama ini menggunakan komunikasi yang informal dan bersifat kesetaraan di antara anggota. Di antara mereka tidak terlalu manampakkan adanya perbedaan status dalam kelompok tersebut. Meskipun dalam kelompok tersebut terdapat status sebagai ketua, wakil ketua, bendahara
155
dan anggota biasa, namun dalam komunikasi antara mereka tidak terlalu membawa perbedaan. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan beberapa ukuran antara lain: (1) Tingkat intensitas interaksi antar anggota kelompok. Intensitas interaksi yang mereka bangun selama ini mencakup dua hal yaitu interaksi kelompok dan interaksi antar anggota kelompok. Berkaitan dengan interaksi kelompok, di antara meraka menyepakati terdapat komunikasi yang dilakukan secara bersama-sama secara berkala, di mana semua anggota kelompok hadir dalam rapat-rapat kelompok tersebut. Misalnya saja dalam seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali serta waktu-waktu tertentu yang telah ditentukan oleh mereka untuk melakukan komunikasi secara bersama-sama. Sedangkan untuk komunikasi antara anggota kelompok dapat dilakukan setiap saat tanpa ditentukan secara formal. Pada akhirnya tingkat intensitas interaksi tersebut menjadi semakin tinggi; (2) Tingkat keeratan hubungan di antara anggota kelompok tersebut dapat dikategorikan memiliki hubungan yang erat. Hal ini ditandai dengan adanya keterikatan emosional, keterikatan kedaerahan, keterikatan kepentingan serta keterikatan lainnya yang lebih mengikat. Keterikatan emosional di antara mereka dilandasi oleh adanya hubungan kekerabatan di antara mereka. Sebagian dari anggota kelompok tersebut memiliki keterikatan kekerabatan yang tinggi. Sedangkan keterikatan kedaerahan dilandasi adanya kesamaan asal daerah di antara anggota kelompok sehingga memudahkan untuk berkomunikasi secara intensif, misalnya saja kelompok yang berlatarbelakang etnis Madura, berlatarbelakang etnis Makasar, etnis Sunda, Etnis Jawa dan sebagainya. Dengan berbagai latarbelakang tersebut, kemudian berdampak terhadap tingginya tingkat keeratan komunikasi di antara anggota tersebut;
(3)
Tingkat
kejelasan
komunikasi
tersebut
dilandasi
dengan
penggunaan bahasa dalam komunikasi antar mereka. Ada sebagian komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing, namun juga tidak selamanya bahasa daerah tersebut digunakan dalam komunikasi tersebut. Di antara mereka sudah terdapat istilah-istilah yang sudah dapat dipahami secara bersama; dan (4) Tingkat saling pengertian di antara anggota termasuk dalam kategori tinggi. Di antara mereka sudah saling mengetahui kepentingan masing-masing keluarga, bahkan di antara mereka sudah mengetahui tingkat kebutuhan keluarga masing-masing.
156
Dari beberapa indikator karakteristik kelompok di atas menunjukkan adanya pengaruh yang positif terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
Pengaruh Intervensi Pemberdayaan terhadap Keberdayaan Keluarga Miskin Berdasarkan Tabel 45 menunjukkan bahwa intervensi pemberdayaan memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,14. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kegiatan intervensi pemberdayaan dilakukan maka akan semakin meningkatkan tingkat keberdayaan keluarga yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Secara obyektif adanya pengaruh yang nyata kegiatan intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dapat dijelaskan dari beberapa indikator yang terjadi pada peubah intervensi
pemberdayaan
yaitu
(1)
Dilihat
dari
ketepatan
proses
pemberdayaannya; (2) Tingkat Kewenangan dalam pemberdayaannya; dan (3) Dukungan fasilitasi. Dilihat dari ketepatan proses pemberdayaannya menunjukkan bahwa berdasarkan sebaran persepsi responden yang terkait dengan ketepatan proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan khususnya oleh pihak-pihak luar terhadap kelompok usaha yang dibangun oleh keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan
adanya kesamaan yaitu pada
kategori yang rendah. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam meningkatkan keberdayaan keluarga ternyata masih sangat jauh dari harapan keluarga miskin, baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun juga yang ada di Kota Bekasi. Proses pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait masih terlalu minim yang mampu menjangkau terhadap pengelolaan sumber daya ekonomi menjadi lebih baik. Secara praktis, baik keluarga maupun kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin tersebut tidak mampu memanfaatkan secara maksimal sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh keluarga maupun kelompok tersebut. Keluarga
157
maupun kelompok yang dibentuk tersebut tidak mampu mengelola usaha yang ada secara kesinambungan. Minimnya pendampingan yang dilakukan oleh lembaga terkait seperti pemerintah, NGO, swasta dan lembaga pendidikan di dalam menjaga kesinambungan usaha tersebut pada akhirnya mereka menjalankan usaha keluarganya tersebut berdasarkan kemampuan mereka sendiri secara terbatas. Kelemahan dari proses pemberdayaan yang selama ini berjalan adalah mereka tidak mampu mengelola permodalan usaha secara baik, adanya keterbatasan di dalam mengembangkan jaringan usahanya serta pengelolaan organisasi yang sangat terbatas. Dengan demikian rendahnya proses
pemberdayaan
tersebut
berpengaruh
secara
langsung
terhadap
rendahnya keberdayaan keluarga. Dilihat dari indikator tingkat kewenangan menunjukkan bahwa sebaran mengenai persepsi responden mengenai kewenangan dalam pemberdayaan, baik di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Pada aspek ini setiap anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan kelompok memiliki tingkat pemahaman yang memadai mengenai kegiatan pemberdayaan. Tingkat pemahaman yang memadai ini maksudnya adalah bahwa dengan adanya keterbatasan yang mereka miliki, mereka akan tetap menjalankan usaha keluarganya atau usaha kelompoknya. Mereka memiliki keinginan yang tinggi agar tidak terlalu tergantung kepada pihak lain. Keluarga miskin yang tergabung dalam kelompok tersebut memiliki tingkat kemandirian yang tinggi untuk menjalankan usahanya meskipun intensitas proses pemberdayaannya yang diperankan oleh pihak-pihak terkait masih rendah. Adanya kemandirian yang ada pada setiap keluarga atau kelompok yang dibentuk tidak dikarenakan adanya proses pemberdayaan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait, melainkan bahwa kemandirian dalam keluarga atau kelompok tersebut timbul dikarenakan adanya keinginan untuk bertahan hidup (survive). Ada tidaknya proses intervensi pemberdayaan yang dilakukan oleh lembaga terkait, maka keluarga ataupun kelompok akan tetap menjalankan usahanya atau kegiatan keluarganya tersebut. Pilihan terhadap jenis usaha yang dilakukan ataupun hal-hal lainnya yang terkait dengan usaha yang dijalankan oleh keluarganya tersebut diputuskan sendiri oleh kepala keluarga atau kelompok itu sendiri.
158
Dilihat dari indikator dukungan fasilitasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha menunjukkan bahwa dukungan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait misalnya saja dari pemerintah, pihak swasta, LSM, pihak-pihak lainnya masih tergolong rendah. Hal tersebut secara obyektif dapat dijelaskan bahwa tingkat dukungan dari pihakpihak terkait dengan dukungan modal, dukungan dalam bentuk akses informasi, dukungan dalam bentuk akses pasar, serta bantuan sarana prasarana terhadap keberlangsungan usaha keluarga maupun kelompok usaha ternyata masih sangat rendah. Masih tingginya keterbatasan keluarga ataupun kelompok usaha dari segi permodalan, akses informasi, akses pasar, serta sarana dan prasarana tidak menyurutkan keinginan keluarga dan kelompok usaha untuk tetap menjalankan usaha keluarga maupun kelompok usaha bersama tersebut. Dari beberapa pihak terkait yang pernah memberikan dukungan usaha terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha, hanya pihak pemerintah yang pernah memberikan dukungan terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha, misalnya dalam bentuk program yang sudah ditetapkan, program kredit bergulir, program pendampingan dan beberapa program lainnya. Sedangkan pihak lainnya masih sangat jarang untuk memberikan dukungan terhadap usaha keluarga maupun kelompok usaha. Adanya pengaruh yang nyata antara intervensi pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, dilihat dari indikator keberdayaan keluarga adalah sebagai berikut: Pertama, Dilihat dari indikator tingkat adaptasi menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, kemampuan keluarga untuk mengubah orientasi keluarga, serta kemampuan keluarga untuk memanfaatkan sumber daya keluarga masih tergolong rendah. Dengan kondisi tersebut adanya intervensi pemberdayaan dari pihak-pihak tertentu terhadap keluarga ternyata berpengaruh meningkatkan kemampuan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sebagian besar dari responden sudah memiliki sikap-sikap negatif menanggapi perubahan lingkungan keluarga tersebut. Adanya biaya hidup yang sangat tinggi di kota, menyebabkan orientasi keluarganya
hanya
berkisar
kepada
pemenuhan
kebutuhan
konsumsi.
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam keluarga masih belum terjangkau. Hal lainnya yang sudah terpatri sebagai sebuah nilai
159
keluarga adalah sikap pasrahnya menanggapi kemiskinan yang menerpa keluarganya. Mereka sudah merasa sangat pasrah dengan kondisi kemiskinan yang menerpa keluarganya tersebut. Adanya proses pemberdayaan yang sangat minim sangat tidak memadai untuk mengubah kemampuan adaptasi keluarga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kota besar tersebut. Kedua, Dilihat dari indikator tingkat pencapaian tujuan keluarga menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk mencapai tujuan ekonomi dan kemampuan keluarga untuk mencapai tujuan sosial termasuk kategori rendah. Sebagian besar keluarga miskin belum mampu memaksimalkan potensi keluarga. Adanya sebagian keluarga yang memiliki bebera aset keluarga seperti, motor, tanah, dan beberapa aset keluarga ternyata tidak mampu dimanfaatkan untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Sebagian besar keluarga miskin juga belum memiliki manajemen keluarga yang baik dalam mengatur keuangan keluarga serta menentukan prioritas-prioritas yang ada dalam keluarga tersebut. Mereka tidak mampu menentukan prioritas utama serta yang tidak menjadi prioritas dalam keluarga, sehingga aktivitas keluarga tidak terprogram secara baik. Pada akhirnya, sebagian besar keluarga miskin tidak memiliki reorientasi yang mampu mengubah tujuan keluarganya menjadi lebih baik. Intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak yang berwewenang tidak mampu menjangkau sampai kepada hal-hal tersebut, sehingga kultur yang ada dalam keluarga tidak mengalami perubahan yang nyata. Ketiga, Dilihat dari indikator tingkat integrasi menunjukkan bahwa kemampuan keluarga untuk berinteraksi dengan anggota keluarga, serta tingkat keeratan hubungan dengan anggota keluarga masih termasuk sedang. Kualitas interaksi yang dibangun di antara anggota keluarga ternyata masih tergolong rendah. Topik-topik dalam interaksi selama ini belum menyentuh kepada topik yang mampu membangun keluarga menjadi lebih baik. Pada sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi masih sangat kental dengan budaya individualisme, konsumerisme dan hedonisme. Gaya hidup tersebut ternyata tidak mampu membangun kultur keluarga menjadi semakin baik. Intensitas intervensi yang sangat minim diperankan oleh pihak-pihak terkait ternyata tidak mampu mengubah kemampuan keluarga untuk melakukan keluarga secara positif. Pada sisi lain, keluarga sudah memiliki pertahanan yang kuat bahkan cenderung kepada penolakan terhadap nilai-nilai yang ditawarkan
160
oleh pihak-pihak terkait tersebut. Dengan adanya mental block yang sangat kuat tersebut, pada akhirnya interensi pemberdayaan tersebut tidak mampu mengubah pola interaksi tersebut. Keempat, Dilihat dari tingkat latensi menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan antar anggota keluarga termasuk dalam kategori tinggi. Sedangkan untuk pengembangan nilai persaingan, kerja sama antar anggota keluarga serta kesadaran untuk maju diantara anggota keluarga termasuk dalam kategori rendah. Kondisi tersebut dipengaruhi karena sebagian besar keluarga tidak memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan kepercayaan, kerja sama dan kesadaran untuk maju. Pada sisi lain, keluarga tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk mengembangkan pola dan metode untuk internalisasi nilai-nilai positif. Bahkan dalam kondisi tertentu, sebagian besar keluarga tidak mampu menilai apakah nilai-nilai kepercayaan, kerja sama dan kesadaran untuk maju yang ada dalam keluarga termasuk dalam kategori yang positif atau negatif. Semua nilai-nilai yang ada dalam keluarga sudah mengakar dalam kehidupan keluarga, bahkan dianggap sebagai nilai-nilai inti dalam keluarga. Intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan tidak mampu untuk mengubah kultur yang
sudah
ada
dalam
keluarga
miskin
tersebut.
Apalagi
intervensi
pemberdayaan tersebut dilakukan dengan kondisi yang sangat terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, sehingga tidak mampu menciptakan nilai-nilai latensi positif terhadap keluarga miskin tersebut. Semua kondisi tersebut menunjukkan bahwa rendahnya intervensi pemberdayaan yang selama ini dilakukan oleh pihak-pihak terkait memiliki korelasi yang nyata terhadap rendahnya keberdayaan keluarga dilihat dari tingkat adaptasi keluarga, tingkat pencapaian tujuan keluarga, tingkat integrasi dalam keluarga dan tingkat latensi dalam keluarga. Hubungan Peubah Bebas (X) dengan Peubah Keberdayaan Keluarga (Y1) Sebelum menentukan kekuatan pengaruh peubah bebas terhadap peubah terikat, perlu menghitung terlebih dahulu nilai korelasi masing-masing peubah bebas (X) dengan peubah terikat (Y1). Penentuan nilai korelasi ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara kuantitatif hubungan antara peubah bebas dengan peubah terikat. Dalam hal ini, peneliti melakukan perhitungan nilai
161
korelasi dari masing-masing indikator dari setiap peubah bebas dengan peubah terikat. Hasil perhitungannya disajikan pada Tabel 47. Tabel 47. Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga)
Variabel X X1.1. Pendidikan formal X1.2. Pendidikan non formal X1.2. Umur X1.3. Jumlah tanggungan keluarga X2.1. Kepemimpinan kelompok X2.2. Kedinamisan kelompok X2.3. Intensitas komunikasi antar klp X3.1. Dukungan sumber daya fisik X3.2. Dukungan sumber daya non fisik X4.1. Dampak kebijakan X4.2. Ketersediaan sumber daya ekonomi X4.3. Ketersediaan sumber daya sosial X4.4. Peran media massa X4.5. Dukungan jaringan usaha X4.6. Peluang kemitraan X4.7. Pengaruh kultural X5.1. Ketepatan proses X5.2. Tingkat kewenangan X5.3. Dukungan fasilitas
* Nyata pada α = 0,05 **Sangat nyata pada α = 0,01
Hubungan Peubah X dengan Peubah Y1 0,14* 0,05 0,04 0,02 0,20** 0,21** 0,10 0,07 0,15* 0,18** 0,07 0,22** 0,21** 0,04 0,13* 0,14* 0,28** 0,42** 0,16*
Dalam Tabel 47 dtunjukkan bahwa untuk peubah karakteristik individu (X1), dari beberapa indikator yang ada antara lain: pendidikan formal, pendidikan non formal, umur dan jumlah tanggungan keluarga ternyata hanya indikator pendidikan formal yang memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin. Pada peubah karakteristik kelompok yang terdiri dari indikator : Kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas
komunikasi
antar
kelompok
menunjukkan
bahwa
indikator
kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin, sedangkan intensitas komunikasi antar kelompok tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
162
Pada peubah sumber daya keluarga, indikator sumber daya non fisik (sosial) memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin dibandingkan dengan indikator sumber daya ekonomi. Untuk peubah lingkungan sosial menunjukkan bahwa indikator dampak negatif kebijakan pemerintah, ketersediaan sumber daya sosial, peran media massa, peluang kemitraan dan pengaruh kultural memiliki hubungan yang sangat nyata dengan keberdayaan keluarga miskin. Sedangkan indikator ketersediaan sumber daya ekonomi, dukungan jaringan usaha tidak memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Khusus terkait dengan peubah intervensi pemberdayaan, semua indikator yang ada di dalamnya yang terdiri dari ketepatan proses, tingkat kewenangan, dan dukungan fasilitasi memiliki hubungan nyata dengan keberdayaan keluarga miskin.
Tabel 48. Hubungan Peubah Y1 (Keberdayaan Keluarga) dengan Peubah Y2 (Tingkat Kesejahteraan Keluarga) Peubah Y1 Y1.1. Tingkat adopsi Y1.2. Tingkat pencapaian tujuan Y1.3. Tingkat integrasi Y1.4. Tingkat latensi
* Nyata pada α = 0,05 ** Sangat Nyata pada α = 0,01
Hubungan Peubah Y1 dengan Y2 0,71** 0,17* 0,15* 0,36**
Tabel 48 menunjukkan bahwa semua indikator yang ada pada peubah keberdayaan keluarga memiliki hubungan yang nyata dengan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Berdasarkan hasil perhitungan nilai hubungan antara beberapa indikator dari tiap-tiap peubah bebas dengan peubah terikat memudahkan prediksi nilai koefisien pengaruh dari peubah bebas dengan peubah terikat dalam penelitian ini. Pengaruh Karakteristik Individu, Sumber Daya Keluarga, dan Lingkungan Sosial terhadap Keberdayaan Keluarga Keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi, selain dipengaruhi oleh karakteristik kelompok dan intervensi pemberdayaan, pada dasarnya dipengaruhi oleh peubah lainnya yaitu karakteristik individu,
163
sumber daya keluarga dan lingkungan sosial. Hasil analisis koefisien regresi antara karakteristik individu (X1) terhadap Keberdayaan keluarga (Y1) disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Pengaruh Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Karakteristik Individu (X1)
Keberdayaan Keluarga (Y1)
Pendidikan Formal (X1.1)
0,12*
Pendidikan Non Formal (X1.2)
0,02
Usia (X1.2)
0,01
Jumlah Tanggungan Keluarga (X1.4)
0,08
*Nyata pada taraf nyata 5%
Dari Tabel 49 menunjukkan bahwa dari beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu mulai dari indikator pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluaga, hanya indikator pendidikan formal yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata. Hasil analisis koefisien regresi antara sumber daya keluarga (X3), dan lingkungan sosial (X4) terhadap Keberdayaan keluarga (Y1) disajikan pada Tabel 50. Tabel 50. Pengaruh Sumber Daya Keluarga (X3), dan Lingkungan Sosial (X4) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Peubah Bebas Sumber Daya Keluarga (X3) Lingkungan Sosial (X4)
Keberdayaan Keluarga (Y1) 0,32** 0,15*
** Sangat Nyata pada taraf nyata 1 % *Nyata pada taraf nyata 5 %
Tabel 50 menunjukkan bahwa sumber daya keluarga (X3) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi sumber daya keluarga akan semakin meningkatkan secara nyata terhadap keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Selanjutnya menunjukkan bahwa lingkungan sosial (X4)
164
berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kompleks lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin maka akan berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga. Pengaruh Karakteristik Individu terhadap Keberdayaan Keluarga Dari Tabel 49 menunjukkan bahwa dari beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu mulai dari indikator pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluaga, hanya indikator pendidikan formal yang memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata. Tidak
adanya
pengaruh
antara
karakteristik
individu
terhadap
keberdayaan keluarga dapat dilihat dari nilai koefisien regresi pada beberapa indikator yang ada pada peubah karakteristik individu antara lain: pendidikan formal, pendidikan non-formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga. Dilihat dari pendidikan formal yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal sebagian besar dari mereka berada pada kategori rendah. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan formal bagi keluarga miskin tersebut antara lain: (1) Mereka tidak memiliki kecukupan ekonomi yang memadai untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, (2) Mereka tidak memiliki kultur dan motivasi untuk meningkatkan tingkat pendidikan formalnya. Bagi sebagian dari keluarga miskin, pendidikan dipersepsikan sebagai sesuai yang penting dan menentukan terhadap keberhasilan mereka di masa yang akan datang. Bahkan pada kalangan perempuan diharapkan tidak perlu untuk memiliki pendidikan yang tinggi, karena pada akhirnya hanya akan mengurus keluarga saja. Dengan persepsi yang demikian tersebut, dengan tingkat pendidikan formal yang sangat terbatas tersebut semua kegiatan yang dilakukan dalam keluarga tidak didasarkan pada adanya pengetahuan yang memadai. Misalnya saja dalam mengurus keluarga, mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengurus keluarganya. Pada akhirnya usaha atau pekerjaan yang mereka dapatkan hanya sebatas pekerjaan yang hanya mengandalkan pekerjaan kasar
165
seperti tukang, pemulung, tukang ojek, hansip dan sebagainya. Dengan demikian, kondisi keluarganya dalam kondisi yang tidak berdaya. Dilihat dari indikator pendidikan non formal menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dalam kegiatan pendidikan non formal termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya pendidikan non formal yang diikuti oleh sebagian besar responden dikarenakan adanya keterbatasan ekonomi untuk mendapatkan pendidikan non formal yang memadai, adanya keterbatasan akses dan informasi untuk mengikuti pendidikan non formal yang mendukung usaha keluarganya. Hal lainnya adalah masih rendahnya motivasi mereka untuk mencari dan mengikuti pendidikan non formal yang secara langsung dapat dijadikan bekal untuk mengubah kondisi keluarga. Terdapat beberapa pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh sebagian keluarga miskin tersebut yang tidak berhubungan dengan pengembangan usaha yang akan mereka lakukan. Adanya keterbatasan keikutsertaan anggota keluarga miskin dalam pendidikan non formal tidak memberikan dampak yang positif terhadap perilaku mereka untuk meningkatkan keberdayaan dalam keluarganya. Dilihat dari indikator usia responden menunjukkan bahwa sebagian responden berada pada usia yang sedang yaitu usia 36-50. Pada usia tersebut sebenarnya merupakan usia yang cukup matang dan produktif untuk menjalankan usaha. Namun karena pada usia sebelumnya, para responden tidak dibekali dan tidak memiliki pengalaman yang baik sehingga tidak memberikan dampak yang positif terhadap tingkat keberdayaan keluarganya. Minimnya pengalaman yang berharga pada usia sebelumnya tersebut pada akhirnya tidak menjadikan anggota keluarga tersebut dapat memberikan kontribusi yang berharga bagi keluarganya. Dilihat dari indikator jumlah tanggungan keluarga menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga yang ada pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi berada pada kategori sedang. Sebagian besar keluarga miskin memiliki tanggungan keluarga dengan jumlah 3-6 orang. Bagi keluarga
166
yang ada di kota, baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi, jumlah tanggungan keluarga merupakan beban ekonomi yang merepotkan. Artinya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga khususnya tanggungan yang tidak produktif akan semakin membebani terhadap kehidupan ekonomi keluarga yang ditandai dengan semakin tingginya pengeluaran dari keluarga tersebut. Jenis pengeluarannya tersebut meliputi biaya makan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya sandang serta beberapa biaya pengeluaran lainnya yang merupakan beban keluarga. Bagi keluarga yang tidak memiliki tingkat penghasilan yang memadai atau kecil, maka jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian keluarganya. Pada akhirnya tingkat keberdayaan keluarganya menjadi semakin rendah dengan beban ekonomi yang berat tersebut. Pengaruh Sumber Daya Keluarga terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 50 menunjukkan bahwa sumber daya keluarga (X3) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu sebesar 0,32. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi sumber daya keluarga akan semakin meningkatkan secara nyata terhadap keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Adanya pengaruh yang sangat nyata antara sumber daya keluarga terhadap keberdayaan keluaraga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada sumber daya keluarga tersebut yaitu: (1) sumber daya fisik, dan (2) Sumber daya non fisik. Dilihat dari indikator sumber daya fisik menunjukkan bahwa dukungan sumber daya fisik terhadap sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Bagi sebagian keluarga yang memiliki sumber daya fisik keluarga yang memadai seperti halnya luas rumah yang dimiliki, luas tanah yang dimiliki posisi rumah yang strategis, ternyata kondisi tersebut dapat dimanfaatkan secara baik untuk lebih meningkatkan ekonomi keluarga. Dengan adanya sumber daya fisik keluarga yang memadai tersebut, maka rumahnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha seperti
167
membuka warung pada bagian depan rumahnya. Dengan luas rumah dan tanah yang cukup, maka mereka dapat menjadikan rumahnya tersebut sebagai tempat usaha. Meskipun usahanya merupakan usaha kecil-kecilan, namun sedikit banyak dapat memberikan kontribusi yang positif bagi ekonomi keluarganya tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sumber daya fisik memiliki potensi yang sangat besar terhadap tingkat keberdayaan keluarga tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Dilihat dari indikator sumber daya non fisik menunjukkan bahwa persepsi sebagian besar responden terhadap ketersediaan sumber daya sosial pada keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Bagi sebagian besar keluarga miskin tersebut sumberdaya non fisik yang berupa rasa saling percaya, komunikasi antar anggota keluarga, komunikasi dengan keluarga lain, keamanan psikis, dan kesadaran anggota keluarga terhadap pendidikan merupakan modal sosial yang harus dipupuk dan dijaga terus menerus. Dengan adanya sumber daya non fisik yang baik tersebut akan menciptakan ketenangan dalam keluarga dalam menjalankan kehidupannya seperti ketenangan dalam berusaha, ketenangan dalam mendidik anak, ketenangan dalam beribadah dan menciptakan ketenangan-ketenangan yang lain. Meskipun secara ekonomi mereka tergolong berkekurangan, namun mereka merasa dengan adanya rasa saling percaya, komunikasi antar anggota keluarga, komunikasi dengan keluarga lain, keamanan psikis dan kesadaran terhadap pendidikan yang tinggi akan merubah kondisi keluarganya. Keluarga memandang bahwa tingginya sumber daya non fisik tersebut akan meminimalisir konflik dalam keluarga. Mereka percaya bahwa adanya konflik yang tinggi dalam keluarga tersebut justru akan mengakibatkan aktivitas keluarga menjadi terhambat. Konflik dipandang sesuatu yang menghambat terhadap usaha keluarganya, serta menghambat
terhadap segala aktivitas
dalam keluarganya. Mereka percaya bahwa dengan tingginya sumber daya non fisik tersebut akan semakin meningkatkan kemampuan mereka untuk berubah dari kemiskinan menjadi lebih berdaya.
168
Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Keberdayaan Keluarga Berdasarkan Tabel 50 menunjukkan bahwa lingkungan sosial (X4) berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yaitu sebesar 0,15. Artinya bahwa semakin kompleks lingkungan sosial yang ada di sekitar keluarga miskin maka akan berpengaruh secara nyata terhadap keberdayaan keluargannya. Secara kualitatif mengenai pengaruh lingkungan sosial terhadap keberdayaan keluarga tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada lingkungan sosial tersebut antara lain: dampak kebijakan pemerintah, ketersediaan sumber daya ekonomi, ketersediaan sumber daya sosial, peran media massa, jaringan usaha, peluang kemitraan, dan pengaruh kultural. Dilihat dari indikator dampak kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa intensitas kebijakan pemerintah daerah khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah termasuk dalam kategori tinggi. Dampaknya terhadap keluarga miskin sangat dirasakan oleh para responden baik yang berdampak negatif maupun berdampak positif. Kebijakan pemerintah yang paling dirasakan oleh sebagian besar keluarga miskin, baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan fisik kota, kebijakan penataan kota, dana kebijakan penertiban kota. Dampak kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Jakarta Utara termasuk dalam kategori sedang, sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap keluarga miskin di Kota Bekasi termasuk dalam kategori tinggi. Namun sebagian besar responden baik yang ada di Kota Jakarta Utara maupun yang ada di Kota Bekasi sama-sama merasakan adanya kebijakan pembangunan fisik kota memiliki dampak secara langsung terhadap kondisi keluarganya. Terdapat beberapa jenis pembangunan
fisik
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
kota
antara
lain:
pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentral bisnis, dan pembangunan fisik lainnya. Pembangunan fisik yang paling dirasakan berdampak langsung terhadap kondisi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah pembangunan jalan yang sering mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan adanya pembangunan fisik kota yang sangat cepat tersebut dipersepsikan oleh sebagian besar responden bahwa pembagunan fisik tersebut akan semakin menyisihkan kehidupan mereka dari kehidupan kota.
169
Sebagian besar keluarga miskin tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk dapat menolak pembangunan tersebut, karena sudah dianggap pemerintah memiliki kakuasaan yang besar untuk melakukan pembangunan tersebut. Namun semua pembangunan fisik yang dilakukan pemerintah tersebut tidak selamnaya memberikan dampak yang negatif, melainkan juga akan memberikan dampak yang positif terhadap keluarga miskin. Bagi sebagian kecil masyarakat miskin yang berpikiran positif terhadap pembangunan fisik tersebut menyatakan bahwa pembangunan fisik kota justru semakin menambah peluang dan kesempatan untuk mencari nafkah bagi keluarga. Dengan semakin banyaknya pembangunan jalan, pembangunan real estate, pembangunan sentera bisnis, dan pembangunan fisik lainnya tersebut akan semakin membuka akses untuk usaha keluarganya. Bagi keluarga pemulung dengan semakin banyaknya pembangunan perumahan yang ada di sekitarnya, maka area cakupan usaha pemulungnya akan semakin bertambah luas. Bagi pedagang kelontongan, dengan semakin banyaknya pembangunan jalan maka akan memberikan akses untuk meningkatkan usaha pedagang kelontongannya tersebut. Dengan dua gambaran di atas menunjukkan bahwa dampak kebijakan pemerintah khususnya yang terkait dengan kebijakan pembangunan fisik ternyata sangat berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga. Bagi keluarga yang berpikir maju maka pembangunan tersebut merupakan peluang untuk lebih meningkatkan kehidupan ekonominya menjadi lebih baik. Dilihat dari indikator ketersediaan sumber daya ekonomi menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya ekonomi bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam ketegori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tidak memiliki aspek-aspek sumber daya ekonomi. Ketersediaan sumber daya ekonomi yang di dalamnya terdapat aspek-aspek antara lain: ketersediaan modal ekonomi, keikutsertaan dalam pelatihan keterampilan berusaha, tingkat penyerapan informasi, serta bantuan dari pihak lain dipersepsikan oleh sebagian besar keluarga merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap keberdayaan keluarga khususnya sangat menentukan terhadap keberhasilan berusaha. Hal yang sangat penting dirasakan oleh sebagian besar keluarga miskin terkait dengan rendahnya kemampuan berusaha
TAHAP PERENCANAAN
ANALISIS SITUASI
MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM
TAHAP IMPLEMENTASI
PEMBENTUKAN KELOMPOK
PENGORGANISASIAN KELOMPOK MONITORING
PERENCANAAN PROGRAM PEMBERDAYAAN
MASALAH & PERUMUSAN MASALAH
TAHAP EVALUASI
IMPLEMENTASI PEMBERDAYAAN KELOMPOK
MONITORING & EVALUASI
MENENTUKAN CARA/PROGRAM
EVALUASI PENDAMPINGAN
PENGEMBANGAN KELOMPOK
Gambar 7.Implementasi Strategi Pemberdayaan Keluarga Miskin Melalui Pendekatan Kelompok
170
170
adalah masih terbatasnya modal ekonominya. Sampai saat ini, mereka tidak mampu menyediakan modal ekonominya secara memadai, dikarenakan sebagian modal justru digunakan untuk kegiatan konsumsi keluarga. Mereka sendiri belum memiliki kemampuan untuk memisahkan antara modal ekonomi dengan biaya konsumsi keluarganya, sehingga modal ekonomi tidak mampu berkembang. Hal lainnya yang terkait dengan ketersediaan sumber daya ekonomi tersebut adalah masih rendahnya keikutsertaan keluarga miskin dalam kegiatan keterampilan berusaha. Keluarga miskin tidak memiliki keterampilan yang dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi keluarganya. Pada aspek tingkat penyerapan informasi dan bantuan dari pihak bukan menjadi persoalan yang vital bagi pengembangan usaha keluarga. Bagi keluarga miskin yang menjadi persoalan pokok ketersediaan sumberdaya ekonomi yang dapat meningkatkan keberdayaan keluarga adalah ketersediaan modal ekonomi dan keterampilan berusaha, sedangkan penyerapan informasi dan bantuan dari pihak lain merupakan faktor pendukung. Dilihat dari indikator ketersediaan sumber daya sosial menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya sosial bagi keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam ketegori sedang. Mengenai hal tersebut anggota keluarga sudah sangat memahami mengenai jenis pekerjaan yang digeluti oleh keluarganya baik secara individu maupun secara kelompok. Adanya jenis pekerjaan yang termasuk dalam pekerjaan kasar sudah dipahami oleh anggota keluarga, bahkan bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sudah dewasa seringkali dilibatkan juga dalam pekerjaan keluarganya seperti halnya pemulung. Di dalam keluarga sudah memahami pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya, sehingga di antara anggota keluarga menghindari adanya konflik dengan lainnya. Demikian juga di antara keluarga juga menghindari adanya konflik dengan keluarga lainnya. Konflik, baik antar anggota
keluarga
maupun
antara
keluarga
dengan
keluarga
lainnya
dipersepsikan akan mengganggu usaha keluarga. Sumber daya sosial tersebut pada dasarnya merupakan modal sosial yang sangat bagi keberdayaan keluarga. Dengan sumber daya sosial yang kuat tersebut menjadikan keluarga tetap memiliki rasa percaya diri untuk menjalankan usaha keluarganya. Dilihat dari indikator peran media massa menunjukkan adanya perbedaan antara persepsi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Bagi
171
keluarga miskin di Kota Jakarta Utara persepsi responden mengenai peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan bagi keluarga miskin di Kota Bekasi, responden mempersepsikan peran media massa terhadap usaha keluarga termasuk dalam kategori rendah. Pada dasarnya kelurga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tetap memanfaatkan media massa khususnya mereka memanfaatkan media elektronik. Sedangkan media cetak, masih sangat sedikit keluarga miskin yang memanfaatkan media cetak dengan alasan keuangan, kebutuhan dan motivasi. Sebagian keluarga miskin menganggap bahwa peran media massa sangat positif bagi keluarga terutama dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam berbagai hal. Namun yang disayangkan adalah masih sangat sedikit keluarga miskin yang memanfaatkan media massa tersebut untuk lebih mengembangkan usaha keluarga. Sebagian besar dari mereka lebih banyak menjadikan media massa (khususnya elektronik) hanya sebagai media hiburan. Namun demikian dengan adanya pemanfaatan media elektronik yang ada dalam keluarga dapa mengakibatkan anggota keluarga menjadi tahu tentang beberapa informasi, meskipun tidak secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat keberdayaan keluarganya. Dilihat dari indikator jaringan usaha menunjukkan adanya perbedaan antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Sebagian besar responden di keluarga miskin Kota Jakarta memiliki jaringan usaha pada kategori sedang. Sedangkan sebagian besar responden keluarga miskin yang ada di Kota Bekasi memiliki jaringan usaha pada kategori yang rendah. Meskipun adanya perbedaan, namun perbedaannya tidak terlalu mencolok. Secara umum, responden yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menganggap penting adanya jaringan usaha tersebut. Jaringan usaha sangat diperlukan untuk meningkatkan usaha keluarga atau usaha kelompok. Bagi beberapa usaha kelompok yang memiliki jaringan usaha yang luas membuktikan usaha kelompoknya menjadi semakin besar. Bagi kalangan eksternal seperti pemerintah, swasta, LSM, dan pihak-pihak lainnya adanya kelompok usaha yang memiliki jaringan usaha yang luas akan memudahkan untuk dibantu dan dibina. Adanya perkembangan pada kelompok usahanya memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi keluarga. Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa jaringan usaha memiliki pengaruh yang tinggi terhadap tingkat keberdayaan keluarga.
172
Dilihat dari indikator peluang kemitraan menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara keluarga miskin yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Terkait dengan peluang kemitraan yang ada pada keluarga miskin menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi responden di kedua lokasi tersebut keluarga
berada kategori sedang. Belum optimalnya peluang kemitraan baik maupun
kelompok
usaha
tersebut
disebabkan
oleh
adanya
keterbatasan keluarga dan kelompok usaha untuk menyusun strategi yang baik dalam bermitra dengan pihak-pihak eksternal seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan dan pihak-pihak lainnya. Sebagian besar dari mereka masih kesulitan untuk mengajukan permohonan agar dapat bermitra dengan mereka. Dari sisi eksternal, pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta, LSM, lembaga pendidikan masih sangat terbatas dalam melakukan kemitraan dengan keluarga dan kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin tersebut. Meskipun demikian, sebagian besar dari keluarga miskin tersebut sangat berharap adanya kemitraan yang positif untuk dapat memajukan usaha keluarga ataupun usaha kelompoknya tersebut. Mereka sangat percaya bahwa dengan adanya kemitraan dengan pihak-pihak eksternal tersebut akan lebih meningkatkan usaha keluarga dan usaha kelompoknya. Dilihat dari indikator pengaruh kultural
terkait dengan adanya
pertentangan kegiatan usaha keluarga dan usaha kelompok dengan kebiasaan, keyakinan dan norma dalam masyarakat memperlihatkan bahwa persepsi responden baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi tidak terdapat perbedaan yang nyata, kedua wilayah tersebut berada dalam kategori yang rendah. Artinya bahwa usaha yang dijalankan oleh kelompok selama ini tidak mengalami pertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Terkait dengan masalah ini, sebagian besar responden sudah mengetahui nilai-nilai, kebiasaan, dan keyakinan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, mereka sangat takut apabila usaha keluarga ataupun usaha kelompoknya tersebut bertentangan dengan kebiasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Mereka juga takut akan adanya sanksi yang akan mereka terima dari masyarakat. Adanya pertentangan tersebut dipersepsikan akan menghambat terhadap perkembangan usaha keluarga atau usaha kelompoknya tersebut. Dengan demikian kultur masyarakat memberikan pengaruh yang positif terhadap usaha keluarga dan usaha kelompok.
173
Pengaruh Keberdayaan Keluarga terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga Hasil analisis koefisien Regresi antara keberdayaan keluarga (Y1) terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) disajikan pada Tabel 51. Tabel 51. Nilai Koefisien Regresi antara Keberdayaan Keluarga Miskin (Y1) terhadap Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2) Peubah Bebas
Tingkat Kesejahteraan Keluarga (Y2)
Keberdayaan Keluarga (Y1)
0,47**
** Signifikan pada taraf nyata 1 %
Berdasarkan Tabel 51 menunjukkan bahwa keberdayaan keluarga (Y1) memiliki pengaruh yang sangat nyata terhadap tingkat kesejahteraan keluarga (Y2) yaitu sebesar 0,47 artinya semakin tinggi tingkat keberdayaan keluarga yang ada pada keluarga miskin maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Adanya pengaruh antara keberdayaan keluarga terhadap tingkat kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari beberapa indikator yang ada pada peubah keberdayaan keluarga antara lain: tingkat adaptasi, tingkat pencapaian tujuan keluarga, tingkat integrasi dan tingkat latensi dalam keluarga tersebut. Dilihat dari indikator tingkat adaptasi keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kategori yang rendah. Hal tersebut disebabkan tingginya biaya hidup di kota, sehingga banyaknya pendapatan keluarga yang diarahkan kepada kebutuhan konsumsi. Selain itu juga sebagian besar keluarga miskin memiliki motivasi yang rendah untuk memperbaiki diri. Bahkan sebagian besar keluarga memiliki kebiasaan yang negatif yaitu tingkat kepasrahan yang tinggi. Kondisi tersebut memiliki dampak yang kurang baik terhadap tingkat kesejahteraan keluarganya. Keluarga miskin tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dan tidak mampu memanfaatkan beberapa peluang yang sangat bermanfaat bagi kesejahteraan keluarganya. Dengan rendahnya kemampuan adaptasi keluarganya tersebut secara langsung berdampak terhadap kamampuan keluarga untuk meningkatkan kesejahterannnya.
174
Dilihat dari indikator tingkat pencapaian tujuan keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin memiliki kemampuan pencapaian tujuan keluarga yang rendah. Mereka tidak dapat memahami apa yang menjadi tujuan keluarganya
tersebut.
Sebagian
besar
keluarga
miskin
belum
mampu
memanfaatkan potensi yang dimiliki keluarga baik potensi fisik maupun non fisiknya. Pada sisi lain, keluarga miskin belum memiliki manajemen keluarga yang baik sehingga pengatutan keluarga dilihat dari pengaturan keuangan, sarana prasarana keluarga serta sumber daya lainnya masih sangat terbatas. Kondisi seperti ini mengakibatkan kemampuan keluarga untuk meningkatkan ekonominya menjadi tidak terpenuhi. Dilihat dari indikator tingkat integrasi menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi termasuk dalam kategori sedang. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kualitas interaksi dalam keluarga masih rendah. Pola dan substansi interaksi yang dibangun dalam keluarga tidak mampu membangun perilaku yang positif. Pada sisi lain masih terdapat nilai individualisme dan hedonism pada diri anggota keluarga miskin tersebut. Kondisi ini tentunya akan mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi beberapa kebutuhan
penting
dalam
keluarganya
seperti
halnya kebutuhan
akan
pendidikan, kebutuhan akan kesehatan, kebutuhan rekreasi, bahkan kebutuhan yang berhubungan dengan kesinambungan usahanya. Dilihat dari indikator tingkat latensi dalam keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi memiliki tingkat latensi yang rendah. Dalam keluarga miskin tersebut tidak mampu mengembangkan
nilai-nilai persaingan,
kerjasama,
serta
nilai-nilai yang
berhubungan dengan kesadaran untuk maju. Nilai-nilai yang sifatnya pendidikan dalam keluarga tidak mampu dikembangkan. Kondisi seperti ini tentunya menunjukkan adanya tingkat keberdayaan keluarga yang sangat lemah. Dengan demikian, keluarga miskin tersebut tidak ada kemampuan untuk lebih meningkatkan kesejahterannya. Dalam keluarga miskin tersebut tidak memiliki nilai pembelajaran untuk menjadi lebih maju. Sebagian besar keluarga miskin sudah merasa sangat terbatas kemampuannya sehingga tingkat kesejahterannya manjadi terbatas pula.
175
Tingkat kesejahteraan keluarga pada dasarnya sangat membutuhkan adanya keberdayaan keluarga dalam hal kemampuan beradaptasi, kemampuan mencapai tujuan keluarga, kemampuan berintegrasi, dan tingkat latensi. Tingginya kemampuan-kemampuan tersebut memudahkan keluarga untuk mencari alternatif pemecahan terhadap masalah-masalah keluarga seperti halnya masalah ekonomi keluarga. Masalah ekonomi keluarga sebenarnya dapat diminimalisir apabila keluarga tersebut memiliki motivasi yang tinggi, nilai keterbukaan, nilai kejujuran, persaingan serta adanya keinginan untuk maju. Rendahnya
motivasi
untuk
memperbaiki
kehidupan
keluarga
mengakibatkan keluarga tersebut tidak memiliki kreatifitas serta tidak adanya inovasi yang tinggi untuk keluar dari kemelut kemiskinan keluarganya. Sedangkan nilai keterbukaan dalam keluarga sangat diperlukan untuk mampu beraptasi dengan nilai-nilai baru sehingga keluarga mampu mencari solusi terbaik dalam memecahkan masalah ekonomi keluarganya. Sedangkan nilai kejujuran akan membentuk pribadi keluarga untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilaksanakan. Ketika terdapat hal-hal yang negatif, dengan adanya keterbukaan dan kejujuran maka persoalan tersebut akan mampu diselesaikan secara baik dalam keluarga. Demikian juga dengan nilai kompetisi dalam keluarga. Adanya nilai kompetisi dan persaingan dalam keluarga akan semakin mendorong keluarga untuk selalu terpacu memperbaiki dirinya sendirinya. Kemudian, adanya keinginan untuk maju mendorong keluarga miskin tersebut untuk berubah menjadi lebih baik. Nilai-nilai tersebut sebenarnya yang menjadikan keluarga tersebut menjadi semakin berdaya dan tidak hanya mengandalkan ketergantungannya kepada pihak lainnya. Dengan demikian adanya keberdayaan keluarga tersebut akan lebih meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi.
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan hasil uji regresi antara semua peubah karakteristik individu, karakteristik kelompok, sumber daya keluarga, lingkungan sosial, dan intervensi
176
pemberdayaan terhadap keberdayaan keluarga menunjukkan bahwa peubah sumber daya keluarga memiliki pengaruh dan kontribusi yang paling besar terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,32. Sedangkan peubah yang memiliki pengaruh dan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga adalah peubah karakteristik kelompok yaitu 0,13. Guna menjelaskan pengaruh langsung dan tak langsung peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga, maka analisis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda ini dilakukan untuk lebih mengetahui dan menghasilkan pengaruh peubah-peubah bebas yang nyata antara lain karakteristik individu (X1), karakteristik kelompok (X2), sumber daya keluarga (X3), lingkungan sosial (X4), intervensi pemberdayaan (X5) terhadap peubah terikatnya yaitu keberdayaan keluarga (Y1). Koefisien jalur adalah nilai koefisien regresi yang distandarkan. Dalam hal ini besarnya koefisien jalur akan menginformasikan besarnya pengaruh langsung antara peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga. Dalam melihat pengaruh langsung maupun tidak langsung peubah bebas terhadap keberdayaan keluarga (Y1) di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi secara lebih jelas dilihat pada Gambar 4 serta penjelasannya pada Tabel 53.
Karakteristik Individu (X1) Pendidikan Formal (X1.1)
Pendidikan Non Formal (X1.2)
Usia (X1.3)
Jumlah Tanggungan keluarga(X1.4)
Karakteristik kelompok (X2)
0,12*
0,03
0,02
0,01
є=0,53
0,08
0,13* 0,32**
Sumber Daya Keluarga (X3)
0,50** 0,01
Keberdayaan keluarga (Y1)
0,47**
0,15*
0,58** 0,14*
є=0,03 Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi pemberdayaan (X5)
є=0,36 Gambar 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberdayaan Keluarga
Tingkat Kesejahteraan Keluarga(Y2)
177
Tabel 52. Nilai Pengaruh Peubah Karakteristik Individu (X1) terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur Pengaruh Variabel X terhadap Y1 Tidak langsung melalui
Variabel X1 Pendidikan Formal (X1.1) Pendidikan Non Formal(X1.2) Usia (X1.3) Jumlah Tanggungan Keluarga (X4)
Karakteristik Kelompok (X2)
Langsung
Total Pengaruh
Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi Pemberdayaan (X5)
0,12
-
-
-
0,12
0,02
-
-
-
0,02
0,01
-
-
-
0,01
0,08
-
-
-
0,08
*Nyata pada α = 0,05
** Sangat Nyata pada α = 0,01
Berdasarkan Tabel 52 menunjukkan bahwa beberapa indikator dalam peubah karakteristik individu (X1) hanya indikator pendidikan formal memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga (Y1) yaitu 0,12, sedangkan indikator lainnya tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Tabel 53. Nilai Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Peubah Bebas terhadap Keberdayaan Keluarga (Y1) Berdasarkan Analisis Jalur Pengaruh Variabel X terhadap Y1 Tidak langsung melalui Variabel X Karakteristik Kelompok (X2) Sumber Daya Keluarga (X3) Lingkungan Sosial (X4) Intervensi Pemberdayaan (X5)
Total Pengaruh
Karakteristik Kelompok (X2)
Lingkungan Sosial (X4)
Intervensi Pemberdayaan (X5)
-
0,09
0,07
0,29
**
0,03
0,01
-
0,36
*
-
-
-
0,15
*
-
-
-
0,14
Langsung
0,32
0,15 0,14
*Nyata pada α = 0,05
** Sangat Nyata pada α = 0,01
Data dalam Tabel 53
menunjukkan bahwa karakteristik kelompok
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap keberdayaan keluarga melalui lingkungan sosial sebesar 0,09 dan intervensi pemberdayaan yaitu sebesar 0,07. Sumber daya keluarga terbukti memberikan pengaruh secara langsung dan
178
nyata
terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,32. Sumber daya
keluarga
juga
memberikan
pengaruh
secara
tidak
langsung
terhadap
keberdayaan keluarga melalui karakteristik kelompok yaitu sebesar 0,03 dan lingkungan sosial yaitu sebesar 0,01. Lingkungan sosial terbukti memberikan pengaruh langsung dan nyata terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,15. Pada akhirnya intervensi pemberdayaan memberikan pengaruh langsung terhadap keberdayaan keluarga yaitu sebesar 0,14. Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel 52 serta penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan sementara bahwa dari beberapa peubah bebas yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga terbukti bahwa peubah sumber daya
keluarga
memberikan
sumbangan
pengaruh
terbesar
terhadap
keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,32. Peubah karakteristik kelompok merupakan peubah yang memberikan sumbangan pengaruh terkecil terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,13. Khusus dalam peubah karakteristik individu hanya indikator pendidikan formal yang memberikan memberikan sumbangan pengaruh terhadap keberdayaan keluarga dengan nilai pengaruh sebesar 0,12, sedangkan indikator lainnya tidak memberikan kontribusi pengaruh yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Beberapa peubah lainnya di luar dari peubah bebas yang tidak diteliti dalam penelitian ini memiliki nilai pengaruh sebesar 0,03. Peubah karakteristik individu tidak memberikan sumbangan pengaruh kepada keberdayaan keluarga secara kualitatif dapat dijelaskan bahwa karakteristik individu dipersepsikan oleh sebagian besar responden sebagai peubah yang tidak begitu penting dalam keluarga. Dalam keluarga miskin tertentu, beberapa indikator dalam karakteristik individu dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak penting, misalnya saja pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Kedua jenis pendidikan tersebut dianggap tidak menentukan terhadap keberhasilan keluarga. Hal ini juga berlaku bagi kalangan perempuan yang menganggap bahwa pendidikan bukan merupakan sesuatu yang penting dalam keluarga. Pendidikan dipersepsikan sebagai penunjang dalam keluarga. Keikutsertaan dalam pendidikan baik formal maupun non formal sampai saat ini tidak menjamin adanya tingkat keterampilan yang dimiliki oleh keluarga miskin. Pada akhirnya banyak anggota keluarga miskin yang sebagian besar hanya
179
berada pada pendidikan dasar dan menengah hanya bekerja pada pekerjaan kasar dan tidak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Indikator karakteristik individu lainnya yang dianggap tidak begitu dalam berpengaruh dalam keluarga adalah usia. Bagi keluarga miskin, usia tidak mencerminkan apakah keluarga tersebut mampu meningkatkan produktivitas keluarganya serta mampu meningkatkan taraf hidup keluarganya tersebut. Dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa sebagian dari responden yang sebenarnya termasuk dalam usia yang produktif yaitu diantara 36-50 ternyata produktivitas kerjanya rendah bahkan cenderung bermalas-malasan. Dengan demikian usia tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap keberdayaan keluarga. Khusus terkait dengan jumlah tanggungan keluarga dipersepsikan oleh sebagian besar responden merupakan faktor yang menentukan terhadap keluarga, mengingat bahwa faktor ini terkait dengan pembiayaan yang harus dikeluarkan oleh keluarga. Jadi jumlah tanggungan keluarga merupakan beban yang harus dikeluarkan oleh keluarga. Kondisi tersebut tentunya berkaitan dengan masalah ekonomi yang ada dalam keluarga tersebut. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga, maka akan membebani terhadap ekonomi keluarga. Peubah karakteristik kelompok merupakan peubah yang memberikan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga yaitu 0,13. Secara deskriptif menunjukkan bahwa karakteristik kelompok merupakan peubah yang penting dalam pengembangan usaha keluarga maupun usaha kelompok. Meskipun anggota keluarga terlibat dalam kegiatan kelompok, namun tidak semua memanfaatkan kelompok sebagai faktor yang menentukan keberdayaan keluarga. Terdapat beberapa keluarga miskin yang tidak memanfaatkan sebagai sarana pengembangan usaha keluarga. Bahkan sebagian dari mereka ada yang memiliki usaha keluarga sendiri di luar usaha kelompok. Kelompok hanya dijadikan sebagai media adaptasi, media komunikasi, media interaksi dengan keluarga dan anggota kelompok lainnya. Bagi keluarga yang menjadikan usaha kelompok sebagai satu-satunya usaha keluarga, menjadikan usaha kelompok sebagai gantungan hidup keluarga. Jadi karakteristik kelompok merupakan peubah yang berpengaruh terhadap keberdayaan keluarga.
180
Peubah yang memberikan kontribusi pengaruh tertinggi terhadap keberdayaan keluarga adalah sumber daya keluarga yaitu sebesar 0,32. Dalam peubah sumber daya keluarga terdapat dua indikator yaitu sumber daya fisik dan sumber daya non fisik. Indikator sumber daya fisik seperti luas tanah, luas rumah, luas rumah dan letak rumah memberikan kontraibusi yang cukup besar bagi keberlangsungan usaha keluarga maupun usaha kelompok. Letak rumah ternyata sangat menentukan bagi keluarga untuk melangsungkan usahanya. Bagi rumah yang terletak pada posisi yang strategis ternyata mempermudah bagi keluarga dan kelompok untuk menjaga keberlangsungan usahanya. Sedangkan luas rumah, luas tanah dan luas kamar sangat menentukan terhadap kemampuan keluarga untuk menambah kuantitas usahanya. Khusus terkait dengan sumber daya non fisik seperti rasa saling percaya, intensitas komunikasi dalam keluarga, intensitas komunikasi dengan keluarga lain, tingkat keamanan psikis dan kesadaran keluarga terhadap pendidikan merupakan modal sosial yang sangat menentukan terhadap keberdayaan keluarga itu sendiri. Adanya kepercayaan, komunikasi, keamanan psikis, dan kesadaran terhadap pendidikan yang tinggi menjadikan keluarga semakin percaya diri untuk berusaha. Adanya dukungan yang kuat dari anggota keluarganya tersebut menjadikan usaha dalam keluarganya dijalankan dengan tertib dan tenang. Di dalam keluarga sudah mampu meminimalisir konflik serta adanya saling percaya yang tinggi. Kondisi tersebut menjadikan keluarga semakin berdaya untuk melakukan usaha dan kegiatan lainnya.
Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan Program pemberdayaan keluarga miskin di perkotaan khususnya yang ada di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi sebagian besar dilakukan oleh pemerintah daerah/kota. Pemerintah daerah atau pemerintah kota selama ini merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk mampu mengentaskan kemiskinan. Melalui program-program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah/kota diharapkan mampu meminimalisir kemiskinan keluarga. Pihak lainnya seperti halnya pihak swasta, NGO, lembaga pendidikan tinggi masih sangat terbatas untuk melakukan program pemberdayaan terhadap
181
keluarga miskin baik di Kota Jakarta Utara maupun di Kota Bekasi. Sebagian besar dari mereka justru lebih banyak berpartisipasi sebagai mitra pemerintah daerah/kota dalam melakukan program pemberdayaan keluarga miskin. Inisiasi kegiatan pemberdayaan oleh pihak-pihak di luar pemerintah daerah/kota masih sangat terbatas. Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Utara merupakan kota yang heterogen dan membutuhkan dukungan semua pihak, etnis, suku bangsa, dan berbagai elemen yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk turut aktif mewujudkan Jakarta Utara yang nyaman dan sejahtera. Pemerintah Kota Jakarta Utara dalam melakukan kebijakan pemberdayaan keluarga miskin lebih banyak mengacu kepada kebijakan program pemberdayaan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta telah menjalankan beberapa kebijakan yang berdasarkan pro job, pro poor, dan pro growth. Beberapa program pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Utara antara lain: (1) Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin (JPKGakin). Data menunjukkan bahwa Pada 2006 dana yang dianggarkan untuk Jaring Pengaman Kesehatan (JPK) Keluarga Miskin (Gakin) senilai Rp200 miliar untuk 565.982 jiwa, 116 panti sosial dan 35 rumah singgah dan bekerjasama dengan 80 rumah sakit. Sementara untuk Asuransi Kesehatan warga Miskin (Askeskin) dialokasikan bagi 818.000 jiwa dengan anggaran dari pemerintah pusat. (2) Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK). Dalam bidang program pemberdayaan masyarakat kelurahan (PPMK), Pemprov DKI Jakarta juga telah mengalokasikan dana sebesar Rp 16,74 miliar terdiri atas Rp 8,38 miliar untuk bina fisik dan Rp 8,38 untuk bina sosial. Dan sudah dibagikan kepada masyarakat melalui dewan kelurahan (Dekel) di 56 kelurahan. Sedangkan pemanfaatannya, dana bina fisik dan sosial masih dikelola langsung oleh Dewan Kelurahan, namun untuk bina ekonomi dikelola oleh lembaga keuangan mikro (LKM) yang berbadan hukum koperasi.
182
(3) Program bantuan yang diberikan oleh BAZIS Provinsi DKI Jakarta terhadap keluarga miskin (Gakin). BAZIS Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan senilai 20 juta rupiah untuk pembangunan Gedung Rawat Inap GAKIN di Rumah SAKIT Islam Jakarta Sukapura, Jl. Tipar Cakung No. 5 Sukapura Jakarta Utara. Gedung rawat inap ini berdiri di atas tanah seluas 860 m2 dengan bangunan 2 lantai terdiri dari 8 kamar @ 6 tempat tidur. (4) Program OPK (Operasi Pasar Khusus) yakni bantuan pangan yang dioperasionalkan sejak tahun 1998 sebagai bagian dari program JPS dalam rangka meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada tahun 2001, dengan tujuan untuk mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin) serta beberapa program pemberdayaan lainnya.
Program Pemberdayaan Keluarga Miskin di Kota Bekasi Beberapa program pemberdayaan keluarga miskin yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi antara lain: (1) Program pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, belum lama ini meresmikan berdirinya 8 pos pemberdayaan keluarga (posdaya) yang tersebar di 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Sebelumnya pada tahap awal Pemkot Bekasi baru membentuk 68 posdaya yang dilakukan di setiap kecamatan satu posdaya dan setiap kelurahan
satu
posdaya
yang
diharapkan
mampu
meningkatkan
kesejahteraan keluarga miskin di Kota Bekasi yang berpenduduk sekitar 2 juta jiwa itu kini memiliki sekitar 400 ribu jiwa penduduk miskin. Setiap posdaya memiliki 100 KK keluarga miskin sebagai anggota, anggota terbuka bagi penduduk miskin asli dari Bekasi dan pendatang yang menetap di kota Bekasi. Pemkot Bekasi menargetkan hingga 2013 akan terbentuk 500 posdaya. (2) Program Sagu Hemat Seribu yaitu program pemberdayaan berupa gerakan yang dilakukan Pemerintah Kota Bekasi dalam mengentaskan kemiskinan. Terinspirasi
dari
rasa
keprihatinan
masyarakat
terhadap
sulitnya
memperoleh pinjaman uang dari perbankan, di mana perbankan sering kali
183
hanya memberikan pinjaman kepada masyarakat kelas menengah ke atas. Untuk kemudahan para masyarakat pemerintah Kota Bekasi membuat gerakan yang dinamakan Sagu Hemat Seribu. Program ini bertujuan memasyarakatkan menabung khususnya bagi warga kelas menengah ke bawah yaitu dengan menyisihkan seribu rupiah untuk ditabung. Tujuan berikutnya yaitu dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi keluarga miskin di Kota Bekasi. Sebagai catatan, jumlah keluarga miskin di Kota Bekasi kurang lebih mencapai 200.000 KK. (3) PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan
berbasis
pemberdayaan
dilaksanakan melalui harmonisasi dan
masyarakat.
PNPM
Mandiri
pengembangan sistem serta
mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan, dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. (4) Program Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS)
merupakan
program
pemberdayaan
khususnya
kaum
perempuan yang bertujuan untuk membentuk jiwa kemandirian kaum perempuan, di antaranya memanfaatkan potensi yang ada kemudian menjadi suatu produk yang bernilai ekonomis. (5) Program KUBE yaitu program penanganan masalah kemiskinan yang dilakukan melalui pemberian modal barang dan usaha di antaranya melalui Program Kelompok Usaha Bersama. Setiap kelompok akan memperoleh dana bantuan Rp. 10 Juta hingga Rp. 12 Juta. Mengenai jenis kelompok usaha yang diberikan dana bantuan yakni karang taruna, penyandang cacat dan lanjut usia (lansia) yang masih dinilai potensial dalam meningkatkan taraf hidupnya, serta beberapa program pemberdayaan masyarakat miskin lainnya.
Penilaian terhadap Program Pemberdayaan Keluarga Miskin Perkotaan Beberapa program pemberdayaan terhadap keluarga miskin sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak terkait khususnya yang dilakukan oleh
184
Pemerintah Kota Jakarta Utara dan Pemerintah Kota Bekasi. Namun, dalam beberapa kesempatan program pemberdayaan belum mampu mengentaskan keluarga miskin yang jumlahnya masih sangat tinggi tersebut. Salah satu kelemahan yang perlu untuk menjadi perhatian dari beberapa pihak terkait terhadap keberadaan keluarga miskin tersebut adalah proses pndampingan dan pembinaan keluarga miskin sampai benar-benar terbebas dari kemiskinan. Dalam konteks ini, proses pendampingan menjadi solusi yang harus berlangsung terus menerus sampai keluarga miskin tersebut menemukan aktivitas usaha keluarga baik yang dilakukan secara mandiri maupun secara kelompok yang mampu menjadi penopang hidup keluarga. Dalam beberapa kesempatan peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap beberapa keluarga miskin yang melakukan usaha, ditemukan bahwa terdapat kelemahan bagi keluarga terutama keluarga yang pernah gagal menjalankan usaha keluarga, maka mereka tidak mau mencari solusi penyebab kegagalan dalam usahanya tersebut. Artinya rendahnya motivasi keluarga untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam berusaha menjadi persioalan yang sangat serius. Dalam proses pendampingan yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait perlu selalu dilakukan proses pemecahan masalah serta peningkatan motivasi keluarga untuk termotivasi memperbaiki usaha yang mereka jalankan sambil terus meningkatkan keterampilan dalam berusaha sehingga mereka berada dalam usaha yang benar-benar produktif bagi keluarga. Produktif bagi keluarganya tersebut tidak saja berkaitan dengan adanya penghasilan ekonomi yang dapat ia berikan kepada keluarganya, namun pada sisi lain keluarga mampu menanamkan nilai-nilai positif dalam keluarga, sehingga keluarga miskin tersebut mampu berubah menjadi lebih baik. Departemen Sosial (2009) membagi kategori keluarga miskin dengan tiga klaster : (1) Klaster pertama adalah fakir, kondisi tersebut mendapatkan hibah misalnya saja Program Bantuan Langsung Tunai (BLT); (2) Klaster kedua adalah miskin, yang kemudian diberikan hibah bersyarat yaitu mereka harus berkelompok menjadi KUBE; dan (3) Klaster ketiga adalah hampir miskin yang diberikan penjaminan. Melalui kegiatan pendampingan yang dilakukan secara terus menerus dimungkinkan akan mengangkat kondisi kemiskinan, misalnya saja
bagaimana
meningkatkan
kondisi fakir
menjadi
miskin,
kemudian
185
menjadikan miskin menjadi hampir miskin bahkan menjadi sejahtera dan berkecukupan.
Peran Penyuluhan dalam Pemberdayaan Keluarga Miskin di Perkotaan Mengacu kepada pendapat Van den Ban dan Hawkins (1999:25) bahwa penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dikaitkan dengan upaya meningkatkan taraf hidup keluarga miskin di perkotaan, penyuluhan lebih menekankan kepada proses untuk membantu keluarga miskin dalam mengambil keputusan dari berbagai alternatif pemecahan masalah. Dengan demikian, terdapat kesadaran dari keluarga miskin tersebut terhadap masalah kemiskinan yang dihadapi dan bagaimana memanfaatkan peluang yang ada pada situasisituasi di mana keluarga miskin tersebut memiliki hak untuk membuat keputusankeputusan optimal yang sesuai dengan tujuan serta kondisi masing-masing. Optimalisasi pengambilan keputusan tersebut perlu dibantu dan didampingi oleh pihak-pihak yang berkompeten (agen penyuluhan) apakah itu pihak pemerintah, pihak swasta, NGO, dan perguruan tinggi untuk mengarahkan agar keluarga miskin tersebut mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang diinginkan. Berdasarkan fakta penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan keluarga miskin di perkotaan khususnya di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi menunjukkan kondisi yang rendah. Hal ini menyebabkan tingkat kesejahteraan keluarga mereka juga menjadi rendah. Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di perkotaan tersebut ternyata dipengaruhi oleh rendahnya karakteristik individu, kedinamisan kelompok dalam ketegori sedang, rendahnya dukungan sumber daya keluarga, rendahnya kondisi lingkungan sosial, serta dipengaruhi oleh rendahnya intervensi pemberdayaan yang dilakukan terhadap keluarga miskin di perkotaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya pengubahan perilaku keluarga miskin di perkotaan tersebut merupakan tugas yang harus dilakukan
186
oleh penyuluh agar keberdayaan keluarga menjadi lebih baik sehingga mendukung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan keluarganya. Mengadopsi pendapat Van den Ban dan Hawkins (1999), maka peran penyuluhan secara sistematis sebagai proses untuk memberdayakan keluarga miskin di perkotaan antara lain: (1) Membantu keluarga miskin menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan. Dalam hal ini pihak keluarga miskin diberikan pemahaman untuk menyadari persoalan-persoalan penting yang perlu untuk segera dipecahkan serta membantu mereka mendefinisikan persoalan-persoalan tersebut sejelas dan seakurat mungkin. Sebagai contoh persoalan penting yang perlu disadari oleh keluarga miskin tersebut antara lain: rendahnya karakteristik individu dari tiap-tiap anggota keluarga dan rendahnya sumber daya keluarga yang dimiliki oleh keluarga miskin di perkotaan. (2) Membantu keluarga miskin menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut. Dalam hal ini pihak agen penyuluhan membantu keluarga miskin untuk menganalisis berbagai pemecahan masalah yang mungkin diambil beserta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya. Untuk itu, keluarga miskin perlu mengetahui siapa yang memberikan informasi mengenai penyebab masalah dan akibatnya. Masalah-masalah yang kemungkinan memberikan akibat terhadap keluarga miskin tersebut misalnya saja yang terkait dengan lingkungan sosial, baik yang terjadi dengan sendirinya sebagai proses interaksi sosial ataupun masalah yang ditimbulkan dengan sengaja sebagai dampak dari kebijakan pemerintah atau pihak-pihak eksternal lainnya. (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut. Dalam kontek ini lebih terkait dengan intervensi pemberdayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, mulai dari proses pemberdayaan yang baik, pemberian kewenangan dalam pemberdayaan, serta kegiatan fasilitasi pemberdayaan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
187
(4) Membantu keluarga miskin dalam memperoleh pengetahuan yang khusus berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya
sehingga
mereka
mempunyai
berbagai
alternatif.
Pengetahuan khusus yang selama ini diinginkan oleh keluarga miskin antara lain: pengetahuan akan alternatif usaha, keterampilan berusaha, akses permodalan, jaringan usaha, serta pasar untuk mendistribusikan hasil usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarganya. (5) Membantu keluarga miskin memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal. Adanya potensi yang dimiliki oleh keluarga miskin tersebut perlu diarahkan untuk lebih mengoptimalkan perannya, misalnya adanya keeratan hubungan sosial di antara mereka dapat diarahkan untuk membuat kelompok usaha secara bersama dengan membekali kemampuan mengelola kelompok secara baik dan lebih professional. (6) Meningkatkan motivasi keluarga miskin untuk menerapkan pilihannya. Keluarga miskin di perkotaan diarahkan untuk tidak terlalu pasrah terhadap kondisi yang selama ini melekat dalam dirinya seperti rendahnya pendidikan, budaya malas, budaya tidak mau maju dan sebagainya. Adanya motivasi yang kuat dalam dirinya akan merubah perilaku keluarga menjadi lebih produktif. (7) Membantu
keluarga
miskin
untuk
mengevaluasi
dan
meningkatkan
keterampilan dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Setiap keluarga diberikan keleluasaan untuk mengambil keputusan yang tepat dalam berusaha. Namun demikian setiap keputusan yang diambil tersebut perlu terus menerus untuk dievaluasi dengan maksud agar target-target perbaikan dari usaha keluarga tersebut dapat tercapai dengan baik. Sebagai sebuah kegiatan penyuluhan yang dilakukan secara sistematis, maka semua aktivitas penyuluhan tersebut memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Masing kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan penuh komitmen dan tanggung jawab yang besar untuk memberdayakan keluarga miskin di perkotaan. Hal yang terpenting juga adalah bahwa keluarga miskin, kelompok usaha, agen penyuluhan (pihak-pihak yang terkait) harus saling bersinergi untuk saling melengkapi agar keberdayaan keluarga miskin di perkotaan benar-benar
188
berdaya. Dengan sendirinya keberdayaan keluarga akan meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga dan masyarakat sesuai dengan tujuan dari penyuluhan itu sendiri.
Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Keluarga Miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi Pemberdayaan keluarga pada hakekatnya merupakan suatu rangkaian kegiatan yang sistemik, terarah, dan terencana agar keluarga memiliki kemampuan dalam pemenuhan dan mengatasi masalah-masalah kebutuhan pokok keluarga, mampu membangun interaksi dengan lingkungan internal keluarga
(yang tercermin lewat komunikasi yang positif, menjaga komitmen
keluarga) dan interaksi dengan lingkungan di luar keluarga yang di dasari nilainilai agama yang dianut, memiliki motivasi untuk memperbaiki keluarga yang ditandai kemampuan mengatasi emosi dan didukung oleh kualitas spiritual keluarga (Sinaga, 2007). Intervensi pemberdayaan keluarga miskin adalah proses pelaksanaan program pemberdayaan yang dilakukan secara berkelompok oleh lembagalembaga formal, baik pihak pemerintah, swasta, NGO (Non Government Organization/LSM),
perguruan
tinggi
dengan
tujuan
untuk
mengubah
pengetahuan, sikap dan keterampilan anggota keluarga miskin sehingga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga. Proses intervensi yang dilakukan oleh pihak luar dapat dilakukan
melalui beberapa indikator
antara lain: proses pemberdayaan, kewenangan dalam pemberdayaan dan kegiatan fasilitasi. Aspek-aspek kelompok yang perlu diperbaiki dalam kegiatan interensi
pemberdayaan
tersebut
antara
lain
kepemimpinan
kelompok,
kedinamisan kelompok dan intensitas komunikasi antar kelompok. Aspek-aspek kelompok di atas diharapkan mampu menciptakan keberdayaan kelompok, khususnya kelompok-kelompok usaha yang dibentuk oleh keluarga miskin yang pada akhirnya mampu meningkatkan keberdayaan keluarga tersebut. Selama ini usaha-usaha pemberdayaan keluarga miskin tersebut ternyata belum secara optimal mengubah perilaku keluarga untuk meningkatkan
189
keberdayaan keluarga, melainkan justru memunculkan ketergantungan. Keluarga miskin selama ini sangat bergantung kepada uluran tangan pihak luar agar keluar dari jurang kemiskinan yang mereka hadapi selama ini. Program pemberdayaan yang selama ini dilakukan cenderung berorientasi kepada proyek, tidak berkelanjutan dan pada tingkat implementasi di lapangan menjadi lemah karena tidak didukung oleh pelaksana yang memahami substansi pemberdayaan itu sendiri. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin tersebut tidak memiliki keahlian di bidang penyuluhan, sehingga pendekatan yang sering dilakukan adalah pendekatan yang sifatnya senteralistik dan
top
down.
Pada
kasus-kasus
tertentu justru
hasil dari kegiatan
pemberdayaan tersebut sudah ditentukan sebelumnya. Hal yang paling memprihatinkan dari kegiatan pemberdayaan keluarga miskin tersebut adalah penekanannya kepada hasil. Padahal kita tahu bahwa penekanan yang sering dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan adalah kepada proses. Ketika proses pemberdayaan tersebut dilakukan dengan benar, pada akhirnya hasilnya akan menjadi baik. Dalam
pembahasan
lebih
lanjut
terkait
implementasi
program
pemberdayaan kelompok ini, peneliti mengutip pendapat Asngari (2007) bahwa program pemberdayaan merupakan pernyataan tertulis mengenai keadaan atau situasi, masalah, tujuan dan cara pelaksanaannya. Dalam membahas tentang implementasi program pemberdayaan kelompok di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi lebih lanjut akan menggunakan pendekatan sesuai dengan konsep program pemberdayaan. Korten dalam Sinaga (2007) menyatakan bahwa perencanaan program pemberdayaan yang efektif tidak bisa dilakukan oleh sebagian orang, tetapi haruslah melalui partisipasi masyarakat. Pada sisi lain juga dipahami bahwa perbaikan yang berkelanjutan dapat berhasil apabila program pemberdayaan yang dilakukan disesuaikan dengan kebutuhan keluarga dan kesejahterannya. Berdasarkan pandangan ini maka ketika akan memulai sebuah program pemberdayaan harus dimulai dari bawah (bottom up planning). Sebagai subyek pemberdayaan, keluarga merencanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya berdasarkan potensi di dalam keluarga maupun dari lingkungan
190
sekitarnya. Dalam tahap perencanaan dibutuykan partisipasi masyarakat, sesuai dengan pendapat van den Ban (Sinaga,2007), yang menyatakan beberapa alasan yang mendasari perlunya partisipasi masyarakat yaitu: (1) Masyarakat memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta pengalaman dengan struktur sosial masyarakat, (2) masyarakat akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam program pemberdayaan jika ikut bertanggungjawab di dalamnya, dan (3) pada masyarakat yang demokratis, mereka berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin dicapai. Dalam konteks strategi pemberdayaan keluarga miskin, maka keluarga dapat
berpartisipasi
dalam
melakukan
perencanaan
dengan
tahapan:
(1) melakukan analisis situasi ; (2) menemukan masalah dan merumuskan masalah yang dihadapi, (3) menetapkan tujuan program yang akan dicapai; dan (4) menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Terkait dengan model hasil pengujian yang menunjukkan bahwa peubah sumber daya keluarga memiliki kontribusi yang paling besar terhadap keberdayaan
keluarga.
Pada
sisi
lain,
peubah
karakteristik
kelompok
memberikan kontribusi terkecil terhadap keberdayaan keluarga. Dengan kondisi tersebut, strategi peningkatan keberdayaan keluarga perlu dilakukan strategi program pemberdayaan keluarga yaitu implementasi program pemberdayaan keluarga yang berbasis pengembangan sumber daya keluarga. Program tersebut merupakan usaha terencana yang dapat dilakukan secara mandiri khususnya dari tiap-tiap keluarga dalam rangka mengembangkan sumber daya keluarga melalui melalui kegiatan terencana dan terprogram. Pengembangan sumber daya keluarga memerlukan komitmen yang sangat tinggi dan jangka waktu yang panjang. Proses pengembangan itu merupakan proses pemberdayaan yang sangat sulit, harus dilakukan secara bertahap dan diikuti oleh semua yang terlibat, terutama para anggota keluarga yang
menjadi
sasaran
pengembangan,
tanpa
bisa
diwakilkan.
Karena
keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi yang relatif rendah, maka pemberdayaan sumber daya keluarga tersebut itu dilakukan
191
dengan pertama-tama, atau minimal sekaligus, memberdayakan keluarga sebagai lembaga yang pertama dan utama dari setiap insan anggotanya sebagai pelaku, baik sumber daya fisik keluarga maupun sumber daya non fisik yang ada pada keluarga tersebut. Dalam proses pengembangan sumber daya keluarganya, maka keluarga akan memegang peranan yang sangat menentukan. Pengembangan sumber daya
keluarga
itu
di dalamnya
terdapat upaya
pengembangan SDM,
pengembangan lingkungan dan suasana yang ada di sekitar keluarga atau individu yang bersangkutan, karena apabila lingkungan tidak dikembangkan dengan sebaik-baiknya pasti tidak ada keseimbangan yang serasi dan saling menguntungkan.
Di samping
itu, agar setiap anggota
keluarga
dapat
berpartisipasi, ikut serta mengambil peran secara aktif, dalam proses pengembangan sumber daya keluarga, maka proses pengembangan tersebut harus dapat dilakukan secara bertahap, berkesinambungan, konsisten dan dapat diikuti oleh anggota keluarga yang mendapatkan pemberdayaan. Tahapan itu hendaknya disesuaikan dengan tahapan pengembangan yang ada sehingga hasil pemberdayaannya dapat diikutsertakan secara langsung dalam program pemberdayaan keluarga secara umum. Pengembangan sumber daya keluarga merupakan aktivitas terencana yang diarahkan untuk merealisasikan nilai-nilai dan mencapai kepuasan yang diinginkan. Pengembangan dalam hal ini dipandang sebagai proses interaksi perilaku untuk mencapai tujuan melalui penggunaan praktis dari sumber-sumber yang ada. Lebih lanjut, pengembangan sumber daya keluarga merupakan proses perilaku yang mengenali aksi dan reaksi seseorang dalam situasi kehidupan ketika mereka menemukan dan menggunakan sumber-sumber keluarga untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Hal ini terdiri dari proses perilaku yang dialami oleh individu ketika mereka mengidentifikasi dan menghadapi masalah dalam menetapkan tujuan, menggunakan nilai dan norma, mengidentifikasi peran, mengatasi konflik, dan menentukan garis kekuasaan dalam keluarga dan mempengaruhi pola di luar keluarga dan berkomunikasi dengan orang lain dalam rangka menyelesaikan masalah dalam situasi tertentu. Manajemen atau pengelolaan
juga
merupakan
proses
interaksi.
Pengambilan
keputusan,
192
pembagian tugas, sosialisasi, identitas peran, dan harmonisasi konflik juga membutuhkan interaksi dengan individu lain. Untuk mengambil keputusan yang tepat anggota keluarga harus berinteraksi dengan anggota keluarga yang lain bahkan bila perlu berinteraksi dengan anggota masyarakat. Oleh karena itu, komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk kehidupan yang harmonisasi dan mengembangkan perubahan yang konstruktif. Pada tahapan awal keluarga diharapkan mampu mengidentifikasi segala jenis sumber daya keluarga, baik fisik maupun non fisik, baik bergerak maupun tidak bergerak. Di samping itu juga, keluarga diharapkan agar merencanakan peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya keluarga dalam waktu tertentu. Misalnya saja menambah jumlah fisik keluarga mulai dari luas rumah, luas kamar, luas tanah dan mencari tempat yang strategis bagi rumah keluarga. Pada umber daya non fisik, keluarga diharapkan untuk membuat kegiatan-kegiatan bersama yang mendukung peningkatan keluarga. Selanjutnya, setiap anggota keluarga diberikan tugas untuk memelihara, menjaga serta memperbaiki sumber daya fisik dan non fisik untuk meningkatkan kualitas sumber daya. Anggota keluarga diharapkan untuk meningkatkan kualitas komunikasi khususnya dengan anggota keluarga maupun juga dengan keluarga lainnya. Selanjutnya, anggota keluarga diharapkan untuk selalu melakukan kerja sama secara intensif dalam menjalankan kegiatan keluarga. Sikap egois dan individualis yang terjadi dalam keluarga, hendaknya perlu diminimalisir bahkan kalau perlu dihilangkan dari keluarga. Kemampuan kerja sama diantara anggota keluarga akan semakin memperkuat bahkan menambah sumber daya keluarga. Pada akhirnya setiap anggota keluarga selalu menilai dan mengevaluasi setiap kondisi keluarga baik secara fisik maupun non fisik. Ketika pada elemen tertentu terdapat hambatan-hambatan, maka dengan sesegera mungkin dilakukan perbaikan-perbaikan. Terdapat beberapa aspek yang terkait di dalam mengembangkan
sumber
daya
keluarga
miskin.
Secara
lebih
konkrit,
implementasi program pengembangan keluarga dapat dilihat pada Gambar 5.
193
INPUT: Rendahnya Keberdayaan Keluarga
PROCESS: Intervensi Pemberdayaan Keluarga
OUTPUT: Keberdayaan Keluarga
OUTCOMES: Kesejahteraan Keluarga Meningkat
Pengembangan Sumber Daya Keluarga
FAKTOR-FAKTOR: • Karakteristik Individu • Lingkungan Sosial
Pemberdayaan Kelompok
Intervensi Pemberdayaan
FEEDBACK
Gambar 5: implementasi program Pemberdayaan Berbasis Pengembangan Sumber Daya keluarga
Berdasarkan Gambar 5 dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Pada TAHAP INPUT, meningkatnya keluarga miskin pada saat ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: rendahnya karakteristik individu yang di dalamnya terdapat pendidikan formal, pendidikan non formal, usia, dan jumlah tanggungan keluarga yang semuanya dalam kualitas yang rendah, dan tidak kondusifnya lingkungan sosial
yang ada di sekitar
keluarga miskin di perkotaan dilihat dari tingginya dampak negatif kebijakan pemerintah. Keluarga miskin perkotaan juga tidak mampu meningkatkan sumber daya ekonomi dan sumber daya sosialnya,
serta rendahnya
pemanfaatan media massa, jaringan usaha, dan peluang kemitraan. (b) Pada TAHAP PROCESS, bahwa melalui intervensi pemberdayaan keluarga khususnya yang menekankan kepada pengembangan sumber daya keluarga
akan
menciptakan
keberdayaan
keluarga
lebih
tinggi.
Pengembangan sumber daya keluarga meliputi kegiatan mengidentifikasi, memelihara dan menilai sumber daya yang terdiri dari sumber daya fisik dan non fisik. Pengembangan kelompok dan peningkatan intensitas dalam intervensi pemberdayaan merupakan kegiatan yang akan mendukung
194
keberhasilan dalam pengembangan sumber daya keluarga miskin di perkotaan. Melalui kegiatan pengembangan kelompok dan kegiatan intervensi pemberdayaan, maka setiap anggota keluarga akan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sumber daya keluarga. Artinya kegiatan kelompok yang terdiri dari kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok, dan intensitas komunikasi kelompok memberikan pembelajaran kepada keluarga untuk tahu, mau dan mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya keluarga yang dimiliki. Selama ini tingkat kepedulian anggota keluarga miskin perkotaan terhadap sumber daya yang ada dalam keluarga tergolong sangat rendah. Rendahnya sumber daya keluarga dipersepsikan sebagai sebuah kondisi yang tidak dapat diperbaiki. Adanya kepedulian anggota keluarga terhadap sumber daya keluarga akan memudahkan keluarga menjadi lebih berdaya. Keberadaan kelompok akan mendorong keluarga untuk lebih pedulo terhadap sumber daya keluarganya. Sedangkan Intervensi pemberdayaan akan memberikan keterampilan bagi anggota keluarga di dalam memanfaatkan sumber daya keluarganya. (c) Pada TAHAP OUTPUT, merupakan hasil yang akan dicapai dengan adanya kegiatan intervensi pemberdayaan keluarga miskin melalui pengembangan sumber daya keluarga miskin yaitu adanya keberdayaan keluarga yang ditandai dengan tingkat adaptasi keluarga yang tinggi, tingkat pencapaian tujuan keluarga menjadi terarah, tingkat integrasi keluarga menjadi semakin tinggi, serta terbentuknya nilai-nilai positif dan maju dalam keluarga yang terkondisikan dalam nilai-nilai laten dalam keluarga. (d) Pada TAHAP OUTCOMES, adanya peningkatan keberdayaan keluarga miskin di atas pada akhirnya berdampak secara langsung terhadap semakin tingginya tingkat kesejahteraan keluarga miskin (better living) yang ditandai dengan: semakin tingginya tingkat pendapatan keluarga, terpenuhinya kebutuhan dasar, terpenuhinya kebutuhan sekuder, terpenuhinya kebutuhan tertier, serta yang tidak kalah pentingnya adalah adanya ketepatan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Terciptanya kondisi kesejahteraan bagi keluarga miskin tersebut secara akumulatif diharapkan akan berdampak kepada terciptanya kondisi masyarakat yang lebih baik (better society). Kondisi Better Society inilah yang diharapkan dapat tercapai melalui implementasi pemberdayaan kelompok. Pada akhirnya pada tahapan feed
195
back, bahwa better society inilah yang merupakan bentuk jawaban terhadap pemecahan terhadap keluarga miskin yang semakin meningkat tersebut. Implementasi program pemberdayaan keluarga khususnya terhadap keluarga miskin sangat diperlukan untuk mencapai tingkat keberdayaan, yang dilakukan keluarga melalui kegiatan perencanaan program pemberdayaan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) ANALISIS SITUASI. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah melakukan pengamatan, observasi, pengumpulan data (faktual dan potensial) serta melakukan analisis situasi yang terkait dengan kondisi keluarga miskin tersebut. (b) MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan bersama dengan keluarga miskin merumuskan masalah yang jelas pada keluarga miskin dengan maksud untuk menentukan real needs atau dengan kata lain dapat merubah felt needs menjadi real needs. (c) MENENTUKAN TUJUAN PROGRAM. Pada tahapan ini, pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan harus mampu melakukan identifikasi dan perumusan program pemberdayaan yang jelas tentang: “Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kegiatan pemberdayaan kelompok yang akan dilakukan terhadap keluarga miskin tersebut. (d) MENENTUKAN CARA/PROGRAM. Setelah pihak eksternal yang melakukan pemberdayaan tersebut menentukan tujuan dari kegiatan pemberdayaan kelompok secara jelas, maka pada tahap ini diperlukan untuk merancang dan mengimplementasikan programnya tersebut.
Apabila semua tahapan di atas dapat dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan bukan tidak mungkin apabila keluarga miskin di perkotaan mampu melakukan perubahan dan perbaikan yang optimal. Aspek sumber daya keluarga miskin merupakan salah satu faktor yang sangat kuat untuk meningkatkan keberdayaan keluarga. Sumber daya keluarga merupakan modal utama yang memungkinkan keluarga miskin menjadi lebih sejahtera. Guna mengimplementasikan program pemberdayaan keluarga khususnya pengembangan sumber daya keluarga melalui pendekatan kelompok bagi
196
keluarga miskin secara lebih mendetail dapat dilakukan beberapa kegiatan penyuluhan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Tabel 54. Perencanaan Program Pemberdayaan Keluarga Miskin Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Analisis Situasi
Keluarga
dan
pimpinan
• Mengetahui dan memahami real needs kelompok dan keluarga • Mengetahui dan memahami potensi yang
krlompok
ada pada masing-masing keluarga dan kelompok Menentukan Masalah
Keluarga, anggota dan
kelompok
dan
• Meningkatkan
kemampuan
dan
keterampilan keluarga miskin dan kelompok
Perumusan
pimpinan
dalam
Masalah
kelompok.
memanfaatkan sumber dan potensi keluarga
mengidentifikasi,
mengolah
dan
dan kelompok. • Meningkatkan kemampuan para keluarga miskin dan kelompok dalam membangun net working (jaringan kerja) • Memberi bekal bagi keluarga dan kelompok untuk mendekatkan akses terhadap modal usaha dan informasi • Meningkatkan
kemampuan
untuk
membangun kemitraan usaha Menentukan
Keluarga, anggota
Tujuan
kelompok
Program
Pemberdayaan
pimpinan kelompok.
dan
• Meningkatkan produktivitas keluarga miskin sebagai
anggota
kelompok
serta
mendapatkan jenis pekerjaan yang layak • Mengubah etos kerja (perilaku) bekerja yang lebih baik • Memberi untuk
pemahaman
mengenai
mengembangkan
jenis
usaha usaha
bersama kelompok, mencari peluang usaha serta mendistribusikan hasil dari usaha kelompok tersebut. • Membangun
soliditas
kelompok
dalam
197
Tabel 54 (lanjutan) menetapkan jenis pekerjaan dan usaha yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
anggota
kelompok
dan
keluarganya masing-masing • Meningkatkan menentukan
kemampuan beberapa
untuk
alternatif
usaha,
mampu mengambil keputusan terbaik dari beberapa
alternative,
serta
mempu
menjalankan jenis usaha secara baik dan benar. • Memberikan
Menentukan
Keluarga, anggota
Cara/Program
kelompok
Pemberdayaan
pimpinan
keluarga miskin dan anggota kelompok
kelompok.
untuk terlibat secara sungguh-sunggu dalam
dan
pengertian,
meningkatkan
kesadaran, motivasi dan kemauan para
program pemberdayaan • Melakukan orientasi dan observasi untuk mengumpulkan lapangan
data
mengenai
melalui
kunjungan
kehidupan
budaya,
adaptasi kebiasaan, potensi dan sumber daya, akses ekonomi, sarana prasarana dan sebagainya. • Mengidentifikasi dan menyeleksi anggota kelompok usaha untuk menjadi pribadi dan pekerja yang baik dan benar • Meningkatkan pemahaman keluarga miskin dan anggota kelompok terhadap masalahmasalah
yang
berhubungan
dengan
kehidupan sosial kaitannya dengan program pemberdayaan kelompok.
Tabel 54 menunjukkan bahwa dalam kegiatan perencanaan program pemberdayaan kelompok pada keluarga miskin lebih menekankan kepada kebutuhan riil dari keluarga miskin tersebut. Adanya ketepatan dalam menentukan kebutuhan riil keluarga miskin tersebut memudahkan perencanaan tersebut dapat diimplementasikan. Selanjutnya, tiap-tiap keluarga miskin tersebut perlu memiliki kemampuan di dalam merencanakan program pemberdayaan
198
tersebut sesuai dengan kebutuhan riil yang telah ditentukan. Keberadaan kelompok
semakin
memudahkan
bagi tiap-tiap
keluarga untuk
mampu
meindentifikasi kebutuhannya serta membuat perencanaan yang tepat.
Tabel 55. Implementasi Pemberdayaan Keluarga Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Pembentukan
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
kelompok.
• Penyusunan
instrument
identifikasi pendataan
sebagai dan
seleksi
alat
dan
instrument
seleksi
awal
anggota
identifikasi
calon
anggota
kelompok bersama • Seleksi
dan
kelompok untuk mendapatkan data sasaran yang
menjadi
sasaran
program
pemberdayaan • Melakukan analisis hasil identifikasi dan seleksi untuk mendapatkan sasaran yang akan menjadi anggota kelompok dan data yang
akurat
yang
berkaitan
dengan
kelompok sasaran • Memperkenalkan program yang ditawarkan serta
meminta
keterlibatan
anggota
kelompok secara penuh dalam pelaksanaan program
melalui
pertemuan
sosialisasi
program. • Pelatihan
anggota
meningkatkan
kelompok
untuk
keterampilan-keterampilan
tehnis yang terkait dengan keberhasilan pelaksanaan program Pendampingan
Anggota kelompok dan kelompok.
pimpinan
• Pelatihan-pelatihan
berkaitan
dengan
menjaga kesinambungan berusaha • Pihak
eksternal
menyediakan
dana
pendampingan untuk mendukung terhadap kelancaran
program
pengembangan
kelompok • Memantau
setiap
saat
sejauhmana
199
Tabel 55 (lanjutan) keberhasilan pelaksanaan tugas masingmasing anggota kelompok sesuai dengan job deskription Pengorganisasian
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang struktur organisasi kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman
kelompok.
tentang struktur kelompok sesuai dengan jenis usaha yang dijalankan oleh kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pemilihan kepengurusan kelompok yang baik dan benar • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kewajiban anggota kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hak tiap-tiap anggota kelompok Pengembangan
Anggota kelompok
Kelompok
dan
pimpinan
kelompok.
• Pembinaan usaha kelompok ditujukan pada peningkatan kesadaran dan tanggung jawab anggota kelompok serta lingkungannya • Memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai analisis usaha. • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang proses produksi dan usaha • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pemasaran hasil usaha • Memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang peningkatan produksi dan usaha • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang administrasi usaha
Pada tahap implementasi seperti pada Tabel 55 menunjukkan bahwa implementasi program pemberdayaan kelompok lebih menekankan kepada semua anggota dalam kelompok tersebut, mulai dari pimpinan sampai dengan anggota
dari
kelompok
tersebut.
Setiap
tahapan
dalam
implementasi
pemberdayaan kelompok tersebut harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Pada tahapan implementasi ini lebih menekankan adanya kesatuan yang utuh dari semua anggota kelompok dan berkomitmen untuk saling
200
mengembangkan kemampuan untuk selalu mengembangkan kelompok usaha itu sendiri serta mengembangkan usaha yang dilakukan oleh kelompok.
Tabel 56. Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
Sasaran
Materi Penyuluhan
Penyuluhan Monitoring
Keluarga, anggota kelompok,
dan
pimpinan kelompok
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang kemampuan menilai kondisi dan situasi
tentang
tahapan
kegiatan
pemberdayaan kelompok mulai dari rencana kegiatan sampai pelaksanaan kegiatan • Memperkirakan akibat yang akan terjadi dengan adanya kegiatan pemberdayaan kelompok • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
kemampuan
mencari
dan
mengupayakan cara untuk memperbaiki kegiatan pemberdayaan kelompok yang dianggap tidak tepat Evaluasi
Keluarga, anggota kelompok,
dan
pimpinan kelompok
• Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
penyiapan
instrument
evaluasi,
tabulasi dan laporan evaluasi • Menentukan anggota yang melakukan tugas evaluasi • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
pelaksanaan
wawancara,
pengisian
evaluasi
melalui
instrument
dan
diskusi • Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
kemampuan
membuat
laporan
evaluasi dengan menggunakan instrument laporan
Pada tahapan kegiatan monitoring dan evaluasi, setiap kegiatan usaha kelompok diharapkan agar selalu berada pada target-target yang telah ditetapkan bersama oleh semua anggota. Pencapaian target kelompok tersebut merupakan sebuah keberhasilan kelompok dalam melakukan usaha. Kegiatan monitoring
201
lebih menekankan kepada adanya proses perbaikan bagi kegiatan usaha kelompok ketika kegiatan kelompok masih berjalan. Setiap terdapat adanya penyimpangan dalam kegiatan usaha kelompok tersebut selalu terpantau dan diarahkan agar selalu sesuai dengan target yang telah ditentukan bersama. Kegiatan evalusi lebih menekankan kepada adanya penilaian terhadap hasil kerja kelompok setelah kelompok selesai melaksanakan usaha kelompoknya dalam waktu tertentu. Adanya kekurangan-kekuarangan dalam melaksanakan kegiatan usaha kelompok akan selalu di analisis, sehingga pada kegiatan selanjutnya sesuai dengan arah dan tujuan yang telah ditentukan oleh kelompok.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan masalah penelitian dan hasil pembahasan, maka beberapa kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Kondisi keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah rendah dengan rataan sebesar 65 pada interval 0 sampai dengan 100. (2) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi dipengaruhi oleh rendahnya karakteristik kelompok dan lemahnya intervensi pemberdayaan keluarga miskin. Karakteristik kelompok dalam kategori
rendah
ditandai dengan
kondisi antara
lain:
rendahnya
kepemimpinan kelompok dan kedinamisan kelompok, sedangkan intensitas komunikasi kelompok dalam kategori sedang.
Rendahnya intervensi
pemberdayaan keluarga miskin ditandai dengan kurang tepatnya proses pemberdayaan, kurang jelasnya kewenangan dalam pemberdayaan, dan rendahnya dukungan fasilitasi. (3) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi tersebut juga dipengaruhi oleh lemahnya karakteristik individu, kurang kondusifnya lingkungan sosial, serta rendahnya sumber daya keluarga. Rendahnya karakteristik individu ditandai dengan kondisi antara lain: rendahnya tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan non formal; Rata-rata usia responden sebanyak 65 persen berada pada usian 36 – 50 tahun; Jumlah tanggungan keluarga sebanyak 80 persen memiliki jumlah tanggungan sebanyak 3 – 6 orang. Kurang kondusifnya lingkungan sosial ditandai dengan kondisi antara lain: ketersediaan sumber daya ekonomi, peran media massa, peluang kemitraan, dukungan jaringan usaha
dan
pengaruh kultural dalam kategori rendah, sedangkan ketersediaan sumber daya sosial dan dampak negatif kebijakan dalam kategori sedang. Rendahnya sumber daya keluarga ditandai dengan rendahnya sumber daya fisik dan sumber daya non fisik keluarga. (4) Rendahnya keberdayaan keluarga miskin di perkotaan mengakibatkan rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin. Rendahnya keberdayaan keluarga miskin ditandai dengan kondisi antara lain: tingkat adaptasi, tingkat
202
203
pencapaian tujuan, dan tingkat latensi dalam kategori rendah, sedangkan tingkat integrasi pada kategori sedang. Rendahnya tingkat kesejahteraan keluarga miskin di perkotaan ditandai dengan rendahnya kemampuan mengelola keuangan keluarga, tingkat pendapatan keluarga, pemenuhan kebutuhan sekunder, pemenuhan kebutuhan tertier, pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesinambungan usaha dalam kategori sedang. (5) Strategi program pemberdayaan keluarga miskin di perkotaan dalam meningkatkan keberdayaan keluarga di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi adalah melalui implementasi strategi program pengembangan sumber daya keluarga baik sumber daya yang berupa sumber daya fisik maupun sumber daya non fisik. Cara mengimplementasikan strategi program pemberdayaan keluarga menekankan kepada pendekatan kelompok. Saran (1) Mengingat
kondisi
sumber
daya
keluarga
secara
nyata
mampu
meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan, maka program pengembangan sumber daya keluarga menjadi prioritas yang perlu diadopsi oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Program pengembangan sumber daya keluarga meliputi pengelolaan yang terencana dan terprogram sumber daya keluarga baik sumber daya fisik maupun sumber daya non fisik. (2) Intervensi pemberdayaan terbukti secara nyata mampu meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan. Oleh karena itu bagi pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta, NGO dan lembaga pendidikan perlu meningkatkan intensitas kegiatan intervensi pemberdayaan. Intensitas kegiatan intervensi pemberdayaan keluarga miskin meliputi ketepatan dalam proses pemberdayaan, kemampuan menjalankan kewenangan dalam pemberdayaan, serta kontinyuitas dukungan fasilitasi dalam kegiatan pemberdayaan keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. (3) Mengingat lingkungan sosial juga secara nyata berpengaruh dalam meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaan, maka diperlukan kondisi lingkungan sosial yang kondusif terutama dalam mendukung kegiatan usaha kelompok yang dijalankan oleh keluarga miskin. Tingkat kondusifitas lingkungan sosial ditandai dengan meminimalisir dampak negatif
204
kebijakan pemerintah khususnya pembangunan fisik kota, membantu meningkatkan sumber daya ekonomi keluarga, meningkatkan sumber daya sosial keluarga, memanfaatkan media massa, membuka jaringan usaha seluas-luasnya, membangun kemitraan dengan pihak luar, dan mampu beradaptasi dengan budaya lokal. (4) Karakteristik
kelompok
terbukti
secara
nyata
berpengaruh
dalam
meningkatkan keberdayaan keluarga miskin di perkotaa. Oleh karena itu upaya secara terpadu dari pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta, NGO,
dan
lembaga
pendidikan
untuk
melakukan
pembinaan
dan
pengembangan kelompok khususnya kelompok usaha yang dikembangkan oleh keluarga miskin di Kota Jakarta Utara dan Kota Bekasi. Pembinaan dan pengembangan kelompok tersebut meliputi: pengembangan kepemimpinan kelompok, kedinamisan kelompok dan membangun intensitas komunikasi kelompok yang lebih kondusif. (5) Penelitian dan kajian terkait dengan pengembangan sumber daya keluarga dan faktor lingkungan sosial terhadap keluarga masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian lanjutan mengenai keterkaitan sumber daya keluarga dan lingkungan sosial terhadap keberdayaan keluarga miskin di perkotaan perlu dilakukan untuk mendukung program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan.
205
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Amiyatsih, S.S.1986. “Hubungan antara Input Pembangunan dan Tingkat Pendapatan Masyarakat Desa.” Tesis. IPB, Bogor. Ali, Zaidin. 2006. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Argesti, F.B. 1997. Statistical Methods for The Social Science. Edisi ke-3. London: Prentice Hall International (UK) Limited Azis, Amin. 1992. Peranan Masyarakat sebagai Sistem Sosial dan Pelaku Pembangunan dalam Dimensi Inovasi Pembangunan. Makalah pada Seminar Nasional Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Memasuki Era Tinggal Landas, 25 September 1992 di Bogor. Bappenas .2005. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan. Sekretariat Kelompok Kerka Perencanaan Makro Penanggulangan Kemiskinan Bappenas-Komite Penanggulangan Kemiskinan Benor, Daniel, dan James Q. Harrison. 1977. Agricultural Extention: The Training and Visit Systems. Washington D.C. USA : The World Bank Bertrand, Alvin L. 1972. Social Organization: A General System and Role Theory Perspective. Philadelphia: F.A. Davis Company Blanchard,K.P.Herley, dan D.E. Johnson,1996. Management of Organizational Behavior, Utilizing Human Resources. Edisi ke-7. Prentice, Hall. Blood, R.O. .1972. The Family. New York: The Free Press. Cllier-Macmillan Limited Boedhisantoso, S. 1997. Fungsi Sosial Lingkungan (Makalah). Jakarta : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Bookman, Ann, dan Sandra Morgen. 1988. Women and Empowerment. Pheladelphia: Temple University Press
Politics
of
BPS (2003). Kecamatan Dramaga Dalam Angka 2003. Bogor : BPS Bogor BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial. 2002. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002. Jakarta: BPS Broom, L. ,dan P. Selznick .1968. Sociology: A Text with Adapted Readings. Edisi ke-4. Harper and Row New York. Budiman, A. 1996. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
206
Carner John dan Thomas Korten .1983. Local Resource Management Project: Enchancement of Rural Poverty Research and Anti-Poverty Strategy Formulation-The Bacacay Experience-Sourcebook. National Economic and Development Authority. Departement Academy of the Philippines Cartwright, Dorwin, dan Alvin Zender. 1968. Group Dynamics: Reseach and Theory. New York, Evanston, London. Harper & Row, Publishers Cartwright D.P, dan R. Lippitt. 1961. “Group Dynamics and Individual ” dalam Group Development Reading Series One. National Training Laboratories, Nat. Educ. Assoc., Washington, D.C. Chambers, Robert. 1997. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Combs P.H. dan M. Ahmed . 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal. Jakarta: Penerbit C.V. Rajawali. Cox, David. 2004, “Outline of Presentation on Poverty Alleviation Programs in the Asia-Pacific Region” makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development for Social Work Education in Indonesia. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 2 Maret Departemen Sosial RI, 2003. Ketahanan Sosial Keluarga: Tinjauan Berbagai Pendekatan (12/PPK/DS/2003). Ditjen Pemberdayaan Sosial Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Depsos RI Dharmawan, A. Hadi. 2002. Pengembangan Komunitas dan Pedesaan Berkelanjutan. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Ilmu Pertanian Institut Pertanian Bogor. Filley, Alan C., dan Robert J. House. 1969. Managerial Process and Organizational Behavior. Illinois: Scot Forman. Freire, Paulo. 1992. Pedagogy of the Oppressed. New York : The Continuum Publishing company. Friedman, M.M., 1995. Keperawatan Keluarga : Teori dan Praktik. Alih Bahasa : Ina Debora dan Yoakim Asy. Jakarta : EGC. Gannon, Martin J. 1979. Organizational Behavior: A Managerial and Organizational Perspective. Boston-Toronto: Little Brown and Company. Gilley, J.W. dan S.A. Eggland .1989. Principle of Human Resources Development Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company inc. Goode, W.J. 1970. World Revolution and Family Patterns. New York: The Roland Press Company. Guhardja, Suprihatin. 1993. Pengembangan Sumber Daya Keluarga. Jakarta : Gunung Mulia.
207
Haiman, Franklin .1951. Group Leadership and Gemocratic Action. Boston : Houghton Mifflin Company Halim, A , Md.M, Ali.1997. “Training and Professional Development” dalam Improving Agricultural Extension. Editor: Burton E.Swatson, Robert P.Bentz, Andrew J.Sofranko. Rome: Food Agriculture Organization. Havighurst. 1974. Developmental Tasks and Education. New York: David Mc Cay Company, Inc. Hax, Joe dan Moh. Majluf .1991. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta : Grasindo. Hersey, P., dan K.H. Blanchard .1978. Management of Organizational Behaviour: Utilization Human Resources. Prentice – Hall of India Private Ltd. Heru Nugroho, 1995. ”Kemiskinan, Ketimpangan dan Pemberdayaan.” dalam Kemiskinan dan Kesejangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media. Hughes, Michel, Carolyn J. Kroehler, dan JamesVander W.Zanden .2002. Sociology the Core. Boston: McGraw Hill Ife, Jim. 1995. Community Development. New York : University Press. Jahi, Amri.1998. Kemunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di NegaraNegara Dunia Ketiga . Jakarta : PT. Gramedia. Jenkins, D.H, 1961. What is Group Dynamics: In Group Development Selected Reading Series One National Training Laboratories. Nat. Educ. Assoc., Washington, D.C. Juniarti, Neti. 2008. Manajemen Sumber Daya Keluarga. (Makalah) Disampaikan pada Kegiatan Pelatihan Keperawatan Komunitas Dinas Kesehatan Kota Bandung di Hotel Royal Corner tanggal 27-29 Mei 2008 Kartasasmita, G.1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta : CIDES Kerlinger F. 2000. Azas-Azas Penelitian Behavioral. Ed. Ke-3 . Yogakarta: Gadjah Mada Press Kirst-Ashman, Karen K. 2000. Human Behavior, Communities, Organizations & Groups in Macro Social Environment: An Empowerment Approach. Wadworth: Cale Book Krueger . Richard A.1994. Focus Groups: A Practical Guide for Applied Reserch. California: SAGE Publications, Inc. Kooten, J.1991. Strategic Management in Public and Nonprofit Organizations. New York: Praeger publishers
208
Lau, James B., dan A.B. Shani .1992. Behavior in Organizations: An Axperiental Approach. Boston: Irwin. Leagens J.P, 1961. “The Communication Process.” Dalam Extention Education in Community Debelopment. India : Dir. Of Exten. Min. Food and Agric., Lippitt, G.L.1961. “Improving Decision making with Groups.” Dalam Group Development Selected Reading Series One National Training Laboratories. Washington, D.C.: Nat. Educ. Assoc. Loomis, C.P. 1960. Social System Essays on Their Persistence and Change. D. Princeton New Jersey: van Nostrand co. Inc. Maksum, Ahmad dan Luluk Y. Ruhendi, 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari “Visi Baru “ Atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita. Yogyakarta : Irsisod. Manulang, M. 1996. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia Malo, Manasse, dan Triningtyas, 2001. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI Mardikanto, Totok.1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Marzali, A. 1978. ”Kampung Melayu di Tepi Kota Kuala Lumpur.” Jurnal Berita Antropologi No. 34. Jurusan Antropologi Universitas Indonesia Jakarta. Marzuki. 1997. “Profil kemiskinan dan Pendekatan Penyuluhannya di Lampung.” Disertasi.I PB Bogor. Mashoed, 2004. Psikologi Sosial. Yogyakarta : Resist Book Adytia Media. Mc Nicholas, TJ.1977. Executive Policy and Strategic Planning. New York: McGraw Hill. Molynoeux, Maxine. 1996. Mobilization Without Emancipation?: Women’s Interests, State and Revolution in Nicaragua. New York : Monthly Review Press and Center for Study of the Americas. Mubyarto, 1998. Menanggulangi Kemiskinan. Yogyakarta : Adytia Media _______, 2002. “Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah Dalam Era Otonomi Daerah.” Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel-Th.I-No.9-November 2002
209
Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta : Center for Strategic and International Studies (CSIS) Prahat, Hamel. 1995. The Strategy Concept and Process: A Pragmatic Approach. New jersey: Printice Hall. Pudjiati Sayogyo. 1981. “Peranan Wanita dalam Keluarga, Rumah Tangga dan Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa.” Disertasi. Universitas Indonesia Purba, Jonny. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Purwanto.1991. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Tehnik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia pustaka Utama. Rogers, Everret M., dan D. Lawrence Kincaid .1981. Communication Networks. Toward a New Paradigm for Reseach. New York: The Free Press. Rogers, E.M., dan F.F.Shoemaker, F.F., 1971. Communication of Innovation: A Cross Cultural Approach. New York: The Free Press A Div. of MacMillan Publ. Co. Inc. Ruben, Brent D. 1988. Communication and Human Behavior. New York: Macmillan Publishing Company Sahlan A. 2002. Teori Motivasi dalam Pendekatan Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta : Studia Press Sajogyo.1984. Pendekatan Pemerataan di dalam Bias Urban Pembangunan Sementara dan Pala Penguasaaan Tunggal Atas Urusan Desa . Makalah dalam Seminar Nasional Kualitas Manusia dalam Pembangunan di Palembang 19-22 Maret 2004 _______, 1996. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Yogyakarta: Aditya Media. Saragih, Bungaran 1993. Pola Pengeluaran dan Karakteristik Rumahtangga sebagai Indikator Tingkat Kesejahteraan Masyarakat. Kerjasama Antar Bagian Proyek Peningkatan Sarana dan Pengembangan Statistik Proyek Sensus Pertanian 1993 Biro Pusat Statistik dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB Bogor. Sastrodiningrat, Subagio, 1998. Kapita Selekta: Manajemen dan Kepemimpinan. Jakarta : Ind-Hal-Co. Schemerhorn, J.R., Hunt J.G., Osborn R.N. 1997. Managing Organizational Behavior. Canada : John Willey & Sons, Inc.
210
Schemerhorn Jr, John R., James R.Hunt, dan Richard N.Osborn, 1997. Organizational behavior. New York: John Wiley & Sons inc. Siagian, Sondang P. 1988. Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta : PT. Gunung Agung. ________.1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka Sinaga, Astriana Baiti. 2007. “Keberdayaan Keluarga di Perkotaan dan Pedesaan: Kasus Keluarga di Kecamatan Duren Sawit dan Kecamatan Jasinga.” Disertasi. IPB Bogor. Singarimbun, Masri. 1989. Prinsip-Prinsip Pengukuran dan Penyusunan Skala. Jakarta: Cetakan Pertama: LP3ES _______ dan Sofian Efendi.1989 . Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Slamet, Margono, 1995. Sumbang Saran Mengenai Pola, Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pada PJP II, Makalah Lokakarya tanggal 4-5 Juli 1995, Ciawi Bogor. ________.2006. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Editor: Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor: Penerbit IPB Press Soemarjan, Selo.1984. Sosiologi. Jakarta : CV. Rajawali Soemodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Sofer, C.,1972. Organizations in Theory Educational Book
and Practice. London: Heinemann
Strauss, S., dan Juliet Corbin, 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Tatalangkah dan Tehnik-Tehnik Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono .1998. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : ALFABETA Suharjo, Budi. 2006. Analisis Peubah Ganda, Bogor: IPB Suharto, Edi. 1997. Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS Sumarti, T. 1999. “Persepsi Kesejahteraan dan Tindakan Kolektif Orang Jawa dalam Kaitannya dengan Gerakan Masyarakat” dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera di Pedesaan.” Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor Suryabrata, S. 2001. Psikologi Kepribadian. Universitas Gajah Mada. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
211
Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Swasono, E. S. 1987. Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: Dari Cendekiawan Kita tentang Islam. Jakarta : UI Press. Syarief dan Hartoyo.1993. Beberapa Aspek dalam Kesejahteraan keluarga. Seminar keluarga menyongsong Abad 21 dan Peranannya dalam Pengembangan Sumberdaya Manusia Indonesia. GMSK, Fakultas Pertanian. IPB Bogor. Szilagyi, Andrew D .,Jr dan Wallace, Merc J, Jr. 1990. Organizational Behavior and Performance. USA: Harper Collinspublishers Thoha, 1996. Perilaku Organisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. van den ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius Wardoyo. 1992. Pendekatan Penyuluhan Pertanian untuk Meningkatkan Partisipasi Masyarakat. Makalah pada Seminar Nasional Peranan Penyuluhan Pembangunan dalam Memasuki Era Tinggal Landas, tanggal 25 September 1990 di Bogor. Winkle. 1978. Bimbingan dan Penyuluhan. Jakarta : Gramedia Whitaker, Dorothy Stock. 1989. Using Groups to Help People. London and New York: Routledge. Zanden, J. 1986. Sociology . New York: Alfred A. Knopt
Sumber Lain: Anonymous.2003. Promosi Keluarga Sehat. http/www.moh.gov.my Asngari, Pang S. 2007. Perencanaan Program Penyuluhan (tidak dipublikasikan). IPB Bogor.
212
Lampiran 1. Perincian Kerangka Sampling
PERINCIAN KERANGKA SAMPLING DI KOTA JAKARTA UTARA Kecamatan Cilincing* Keluarahan Kelurahan Kalibaru* Cilincing** RW IX* RW II** RW XI* RW V** RT VII 20 KK
RT X 20 KK
RT RT II IV 19 20 KK KK Jumlah
RT RT XIII XI 20 20 KK KK : 159 KK
RT VI 20 KK
RT IX 20 KK
Kecamatan Kelapa Gading** Kelurahan Kelapa Kelurahan Kelapa Gading Timur Gading Barat RW II* RW V** RW VII* RW XIII** RT X 1 KK
RT II 2 KK
RT RT RT RT III IX VI VIII 2 2 2 2 KK KK KK KK J u m l a h : 15 KK
RT IV 2 KK
RT XII 2 KK
PERINCIAN KERANGKA SAMPLING DI KOTA BEKASI Kecamatan Bekasi Utara* Kelurahan Teluk Kelurahan Jaya** Pecung* RW VII* RW VI** RW X* RW II** RT VII 13 KK
RT XIII 12 KK
RT XII 12 KK
RT VIII 12 KK
RT I 12 KK
RT VI 13 KK
RT III 12 KK
RT VII 12 KK
Kecamatan Bekasi Barat** Kelurahan Kranji* Kelurahan Jakasampurna** RW VII** RW X* RW III* RW XI** RT VII 4 KK
J u m l a h : 98 KK Keterangan: *Wilayah yang memiliki keluarga miskin terbanyak **Wilayah yang memiliki keluarga miskin paling sedikit
RT III 5 KK
RT VI 4 KK
RT V 4 KK
RT VII 4 KK
RT XII 4 KK
J u m l a h : 34 KK
RT II 5 KK
RT VI 4 KK
213
Lampiran 2: Perhitungan Koefisien Regresi PENGARUH X2 DAN X5 TERHADAP Y1
Model Summary Model 1
R R Square .391a .153
Adjusted R Square .147
Std. Error of the Estimate 5.45367
a. Predictors: (Constant), X5, X2
ANOV Ab Model 1
Regres sion Residual Total
Sum of Squares 1628.479 9011.991 10640. 471
df 2 303 305
Mean S quare 814.240 29.743
F 27.376
Sig. .000a
t 18.981 4.434 -4. 318
Sig. .000 .000 .000
a. Predic tors: (Constant), X5, X2 b. Dependent Variable: Y1
Coeffi cientsa
Model 1
(Const ant) X2 X5
Unstandardized Coeffic ients B St d. E rror 40.984 2.159 .059 .013 -.140 .032
a. Dependent Variable: Y1
St andardiz ed Coeffic ients Beta .246 -.239
214
Lampiran 3: Perhitungan Koefisien Regresi Pengaruh X1, X2, X3, X4, dan X5 Ke Y1
REGRESI Pengaruh X1, X2, X3, X4, dan X5 Ke Y1 Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Y1 1.0
Expected Cum Prob
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
Observed Cum Prob
0.8
1.0
215
216
217
218
219
220
221
Lampiran 4 : Hasil Perhitungan uji Beda ANOV A
Y1.1
Y1.2
Y1.3
Y1.4
Between Groups W ithin Groups Total Between Groups W ithin Groups Total Between Groups W ithin Groups Total Between Groups W ithin Groups Total
Sum of Squares 77.749 1228.199 1305.948 172.728 1194.426 1367.154 50.696 634.144 684.840 42.074 925.913 967.987
df 1 304 305 1 304 305 1 304 305 1 304 305
Mean S quare 77.749 4.040
F 19.244
Sig. .000
172.728 3.929
43.962
.000
50.696 2.086
24.303
.000
42.074 3.046
13.814
.000
Dari Tabel di atas menunjukkan tidak ada beda tingkat adaptasi, pencapaian tujuan, tingkat integrasi, dan latensi di jakarta dengan bekasi.
222
Lampiran 5 : Data Frekuensi Berdasarkan wilayah Data Frekuensi Berdasarkan wilayah X1.1 * Wil Crossta bul ation Count W il X1.1
1.00 2.00 3.00
Total
Jakarta 88 85 1 174
Bekas i 83 49 0 132
Total 171 134 1 306
X1.2 * Wil Crossta bul ation Count
X1.2
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 24 66 92 104 4 16 174 132
Total 90 196 20 306
X1.3 * Wil Crossta bul ation Count
X1.3
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 8 39 159 90 7 3 174 132
Total 47 249 10 306
X2.1 * Wil Crossta bul ation Count
X2.1
Total
1.00 2.00 3.00
W il Jakarta Bekas i 6 18 9 12 159 102 132 174
Total 24 21 261 306
223
X2.2 * Wil Crossta bul ation Count
X2.2
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 2 18 52 41 120 73 174 132
Total 20 93 193 306
X2.3 * Wil Crossta bul ation Count
X2.3
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 0 18 3 9 111 165 174 132
Total 18 12 276 306
X3.1 * Wil Crossta bul ation Count
X3.1
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 4 12 145 110 25 10 174 132
Total 16 255 35 306
X3.2 * Wil Crossta bul ation Count W il X3.2
1.00 2.00 3.00
Total
Jakarta 18 81 75 174
Bekas i 0 57 75 132
Total 18 138 150 306
X4.1 * Wil Crossta bul ation Count W il X4.1
Total
1.00 2.00 3.00
Jakarta 14 77 83 174
Bekas i 0 17 115 132
Total 14 94 198 306
224
X4.2 * Wil Crossta bul ation Count
X4.2
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 63 126 45 3 3 66 174 132
Total 189 48 69 306
X4.3 * Wil Crossta bul ation Count
X4.3
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 12 0 118 46 44 86 174 132
Total 12 164 130 306
X4.4 * Wil Crossta bul ation Count
X4.4
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 83 19 44 125 30 5 174 132
Total 102 169 35 306
X4.5 * Wil Crossta bul ation Count
X4.5
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 15 59 109 51 50 22 174 132
Total 74 160 72 306
X4.6 * Wil Crossta bul ation Count W il X4.6
Total
1.00 2.00 3.00
Jakarta 49 58 67 174
Bekas i 51 60 21 132
Total 100 118 88 306
225
X4.7 * Wil Crossta bul ation Count
X4.7
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 156 128 15 4 3 0 174 132
Total 284 19 3 306
X5.1 * Wil Crossta bul ation Count
X5.1
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 0 1 0 53 131 121 174 132
Total 1 53 252 306
X5.2 * Wil Crossta bul ation Count
X5.2
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 97 30 73 75 4 27 174 132
Total 127 148 31 306
X5.3 * Wil Crossta bul ation Count W il X5.3
1.00 2.00 3.00
Total
Jakarta 29 61 84 174
Bekas i 2 5 125 132
Total 31 66 209 306
Y1.1 * Wil Crossta bula tion Count W il Y1.1
Total
1.00 2.00 3.00
Jakarta 1 75 98 174
Bekas i 7 71 54 132
Total 8 146 152 306
226
Y1.2 * Wil Crossta bula tion Count
Y1.2
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 6 13 68 89 30 100 174 132
Total 19 157 130 306
Y1.3 * Wil Crossta bula tion Count
Y1.3
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 6 1 49 57 124 69 174 132
Total 7 106 193 306
Y1.4 * Wil Crossta bula tion Count
Y1.4
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 0 11 12 31 132 120 174 132
Total 11 43 252 306
Y2.1 * Wil Crossta bula tion Count
Y2.1
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 87 80 85 52 2 0 174 132
Total 167 137 2 306
Y2.2 * Wil Crossta bula tion Count W il Y2.2
Total
1.00 2.00 3.00
Jakarta 42 108 24 174
Bekas i 43 71 18 132
Total 85 179 42 306
227
Y2.3 * Wil Crossta bula tion Count
Y2.3
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 159 130 11 2 4 0 174 132
Total 289 13 4 306
Y2.4 * Wil Crossta bula tion Count
Y2.4
1.00 2.00 3.00
Total
W il Bekas i Jakarta 142 131 1 28 4 0 174 132
Total 273 29 4 306
Y2.5 * Wil Crossta bula tion Count
Y2.5
1.00 2.00 3.00
Total
W il Jakarta Bekas i 39 18 129 114 6 0 174 132
Total 57 243 6 306
Y2.6 * Wil Crossta bula tion Count W il Y2.6
Total
1.00 2.00 3.00
Jakarta 58 9 107 174
Bekas i 31 1 100 132
Total 89 10 207 306
xxii