TANTANGAN KEBIJAKAN TATA NIAGA IMPOR DI FORUM WTO
at musim panen. SK larangan impor beras pada musim panen demi melindungi petani ini tidak merujuk ketentuan WTO yang berlaku. Kebijakan semacam yakni tata niaga impor gula dalam SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 juga mendapat protes dari Australia.
Oleh: Sulistyo Widayanto
A. Permasalahan Indonesia sejak menjadi anggota WTO telah melaksanakan penyesuaian berbagai peraturan kebijakan perdagangannya menurut ketentuan World Trade Organization/WTO. Kebijakan perdagangan yang menyangkut perijinan import (import licensing) termasuk salah satu peraturan yang harus merujuk pada Agreement on Import Licensing WTO/ILA. Persetujuan ini mengharuskan setiap Anggota membuat peraturan kebijakan impor sesederhana mungkin, transparan, proses cepat, dan terprediksi. Meskipun demikian, upaya penyesuaian kebijakan impor tersebut menghadapi beberapa kendala.
Di dalam negeri sendiri, kebijakan impor dianggap oleh sejumlah pihak sengaja dibuat tidak transparan, memihak demi mendukung keuntungan sekelompok kepentingan tertentu saja. Melalui media massa, masyarakat non-produsen hingga anggota DPR bahkan mengecam kebijakan impor gula dan beras sebagai kebijakan yang tidak pro–rakyat. Meskipun demikian, ketika terjadi krisis kelangkaan pangan, tidak ada satu pihakpun dari pemrotes bertanggung jawab atas komentar mereka. Masalah domestik pada akhirnya juga akan menjadi masalah internasional, mengingat kedudukan importir tersebut merupakan representasi dari posisi negara mitra dagang yang mengekspor ke Indonesia.
Sejumlah peraturan impor masih dianggap bermasalah baik oleh negara mitra dagang maupun dari pemangku kepentingan dalam negeri. Mereka menganggap bahwa kebijakan impor Indonesia sebagai proteksi terselubung dan mendistorsi pasar. Dalam sidang ILA – WTO, tanggal 30 Oktober 2006, Amerika Serikat mempermasalahkan peraturan impor tekstil sebagaimana termuat di dalam SK No. 732/MPP/Kep/10/2002. Indonesia diminta untuk mencabut peraturan tersebut karena mendistorsi pasar dan tidak konsisten dengan ILA – WTO demi memproteksi industri tekstil domestik.
Di sisi lain, pemerintah juga memanfaatkan kebijakan impor sebagai instrumen strategis untuk menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan kebijakan impor dipakai sebagai instrumen menertibkan arus barang masuk baik untuk pajak, keamanan nasional, perlindungan industri dan petani, sanita-ry and phythosanitary, serta untuk mengatasi dampak yang merugikan akibat terjadinya penyelundupan. Pemerintah mendapat mandat dalam membuat kebijakan impor untuk me-lindungi industri nasional, melindu-ngi petani, meningkatkan ekspor dan mencegah penyelundupan. Mandat ini diwujudkan dalam bentuk per-aturan
Kebijakan impor beras juga dipertanyakan oleh Thailand yakni Surat Keputusan/SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/ 2005 mengenai tata niaga impor beras untuk melindungi petani pada sa1
EDISI-42/KPI/2007
impor. Namun demikian, da-lam pelaksanaannya peraturan terse-but mengundang kritik. Pemerintah dalam hal ini menghadapi kesulitan untuk menanggapinya baik dari luar negeri maupun dalam negeri.
tik kebijakan impor akan memudahkan pembuat kebijakan menetapkan prosedur langkah-langkah pembuatan peraturan impor dan koordinasi antar instansi pemerintah terkait. Departemen Perdagangan bukan satu-satunya pembuat kebijakan impor. Namun demikian, Departemen Perdagangan adalah pihak paling berkompeten dengan pembuatan kebijakan impor dan harus mampu mengenali dan melaksanakan tugas-tugas yang bersifat koordinasi dalam pembuatan kebijakan menyangkut impor.
B. Pokok Permasalahan Munculnya berbagai masalah tersebut kemungkinan diduga berasal dari adanya kendala mentransformasikan garis-garis besar ketentuan Import Licensing WTO ke dalam bentuk peraturan pelaksananya. Masalah tersebut juga diperberat oleh kompleksitas ketentuan AIL - WTO, belum meratanya pengetahuan mengenai ILA - WTO, sering terjadinya pergantian struktur dan pejabat pemerintah; serta adanya kendala teknis untuk pembuatan dan penyebarluasan peraturan.
Tulisan ini disusun untuk dapat memberi kontribusi untuk memperkecil dan meniadakan kendala-kendala di dalam mentransformasikan garis-garis besar ketentuan AIL – WTO ke dalam bentuk peraturan pelaksananya di Indonesia.
Mengingat berbagai masalah kebijakan impor tersebut di atas, tulisan ini berupaya untuk mengulas masalah tantangan kebijakan impor Indonesia di forum WTO. Tulisan ini bertujuan untuk mencari solusi masalah kesesuaian Pembuatan Kebijakan Impor menurut Agreement on Import Licensing.
D. Persetujuan Lisensi Impor WTO (AIL) Import Licensing merupakan prosedur administratif yang digunakan sebagai persyaratan didalam pengajuan permohonan atau dokumentasi tertentu kepada badan administrasi yang berwenang dan harus dipenuhi sebelum proses impor barang. Persetujuan Import Licensing (ILA) adalah bagian dari Single Undertaking Putaran Uruguay dan terdapat di Annex A GATT – 1994. Tujuan dari Import Licensing Agreement/ILA antara lain adalah untuk: a. Mempermudah dan menjamin transparansi terhadap prosedur kebijakan impor, b. sistem administrasi yang adil dan transparan dan, c. mencegah terjadinya efek restrictive dan distortive di dalam peraturan impor.
C. Maksud dan Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan memberikan pemahaman di kalangan pejabat mengenai ketentuan di dalam Agreement on Import Licensing WTO, beserta kewajiban notifikasi. Pemahaman mengenai agreement ILA – WTO penting untuk dapat mengidentifikasi karakteristik pembuatan peraturan di bidang perijinan impor baik untuk kepentingan verifykasi pra pengapalan maupun pembuatan regulasi. Pengenalan karakteris2
EDISI-42/KPI/2007
Setiap anggota WTO wajib untuk menyampaikan notifikasi kebijakan impor setiap satu tahun 1 (satu) kali setiap akhir bulan September. Notifikasi ini akan direview oleh Committee on Import Licensing setiap 2 (dua) tahun satu kali. Keberadaan Persetujuan ILA ini sering dirasakan sebagai beban yang merupakan tekanan negara maju terhadap negara berkembang. Meskipun demikian, setiap anggota WTO yang merasa dirugikan akses pasarnya oleh kebijakan impor negara mitra dagangnya, maka anggota yang dirugikan tersebut dapat menggunakan notifikasi ini sebagai “sarana” untuk menekan anggota WTO yang dituju dan terlebih lagi bagi anggota yang belum melakukan kewajiban notifikasi mereka.
tanyaan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi terhadap anggota penanya. Anggota yang melakukan notifikasi tidak dapat dipersengketakan karena notifikasi yang disampaikan ke WTO. Sengketa mengenai Kebijakan Impor Licensing dapat terjadi apabila aplikasi atau penerapan import licensing mengakibatkan terjadinya “nullification” dan “impairment” bagi anggota WTO lainnya. Pelanggaran di dalam Import Licensing tidak terdapat sanksi yang harus dipenuhi oleh pelanggar, kecuali mengganti kebijakan import licensing sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam ILA, sehingga import licensing dimaksud sesuai dengan WTO. Terdapat dua jenis kebijakan didalam ILA, yaitu peraturan yang bersifat Automatic; dan yang Nonautomatic Licensing. Menurut Artikel 2 ILA, Automatic Import Licensing (AIL) menjabarkan bahwa setiap permohonan terhadap kebijakan impor harus diperlakukan sama karena apabila tidak akan menjadi sebuah batasan/restrictive by-laws. Tujuan dari AIL secara umum dapat dikatakan sebagai pendukung keperluan sistem statistik. Sementara itu, Nonautomatic Import Licensing (NAL) bertujuan untuk mengontrol arus barang masuk. NAL dipilih bagi negara yang mau menjaga arus asal barang mereka, dan juga dipilih untuk mengendalikan arus impor barang (misalnya: quota). Biasanya NAL diberlakukan antara lain terhadap impor tumbuhan dan hewan, barang berbahaya, bahan peledak, barang yang diawasi seperti minuman beralkohol, bahan kimia serta limbah berbahaya.
Tidak melakukan notifikasi tidak serta merta bisa dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap ILA. Meskipun demikian, anggota yang tidak memenuhi kewajiban notifikasi tersebut suatu saat akan ‘dipaksa’ untuk memenuhinya. Salah satu cara memaksa adalah dengan mengirimkan daftar pertanyaan mengenai kebijakan impor yang tidak dinotifikasikan. Tanpa melalui WTO setiap negara dapat memperoleh informasi tentang kebijakan impor yang berlaku di negara mitra dagangnya melalui perwakilan masing-masing. Keadaan ini dialami Indonesia. Melakukan notifikasi segera ke Sekretariat WTO akan jauh lebih menguntungkan daripada menunda atau tidak melakukan notifikasi sama sekali. Suatu anggota WTO yang mengajukan pertanyaan terhadap notifikasi anggota WTO lainnya dapat dianggap sebagai indikasi bahwa anggota yang harus menjawab per3
EDISI-42/KPI/2007
Non-automatic Import Licensing (NAL) dibuat untuk mengendalikan arus barang masuk. Umumnya tindakan yang dilakukan sebagai pelaksanaan dari NAL ini berbentuk kuota atau Quantitive Restriction (QR). Tindakan pembatasan impor melalui alokasi kuantitatif ini dilakukan Pemerintah antara lain untuk melindungi “balance of payment”, melindungi produsen dalam negeri yang menghasilkan produk sejenis dengan barang yang diimpor, dan atau untuk mengendalikan impor bahan penolong yang bersifat multifungsi dan terdapat potensi untuk disalahgunakan bagi tindakan yang membahayakan. Meskipun QR ini harus diterapkan secara bijaksana dan fair, serta harus most favored nations atau tanpa ada pengecualian. Penerapan tindakan QR harus digunakan secara hati-hati berdasarkan alasan-alasan tertentu yang logis terutama bila yang digunakan adalah alasan untuk menjaga kepentingan “Public Morals”. Alasan agama tidak dapat digunakan. Pembatasan kuantatif sering digunakan sebagai filter untuk produk yang tarif bea masuknya sudah 0%.
Pembuatan peraturan dan Penetapan kebijakan impor Indonesia dilakukan berdasarkan WTO Rules: Artikel XX (General Exceptions), Artikel XXI (Security Exceptions), AIL, Konvensi-konvensi internasional; dan Kebijakan Nasional terkait lainnya. Perumusan kebijakan impor dilakukan melalui persiapan bahan pertimbangan keputusan berupa masukan dari Stakeholders (swasta, LSM, anggota DPR dan masyarakat umum) kemudian melakukan analisa dampak dari sebuah keputusan. Berdasarkan jenisnya, kebijakan impor Indonesia yang dikategorikan sebagai Automatic Licensing adalah sebesar + 91,4 % (dari seluruh pos HS Indonesia). Sisanya adalah kebijakan jenis Non-automatic licensing adalah sebesar + 8,6% yang diberlakukan terhadap sejumlah komoditi barang seperti minuman beralkohol, Nitrocellulose (bahan peledak), beras, prekursor, cakram optik dan intan kasar. Di dalam pelaksanaannya, kebijakan impor RI sering mengundang pertanyaan dari negara mitra dagang baik untuk sekedar permintaan klarifikasi, penjelasan, atau tuntutan agar kebijakan yang dibuat harus segera dicabut. Menghadapi masalah seperti ini, pejabat Indonesia dituntut untuk mampu memberikan tanggapan tanpa mengorbankan mandat untuk melindungi kepentingan nasional. Meskipun demikian, sering kali kekurangpahaman Indonesia mengenai Agreement on Import Licensing WTO menyebabkan pejabat Indonesia mengalami kesulitan untuk menanggapinya. Akibatnya, negara yang mempertanyakan akan terus menerus mengejar jawaban dan de-
E. Kebijakan Import Licensing Policy RI Kebijakan Impor RI merupakan bagian dari kebijakan perdagangan untuk memagari kepentingan nasional dari pengaruh masuknya barang-barang impor negara lain. Memagari kepentingan nasional yang dimaksud adalah memagari kepentingan nasional terhadap faktor-faktor kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa.
4
EDISI-42/KPI/2007
ngan mencocokkan rujukan berdasar ILA.
Salah satu contohnya adalah Keputusan Menperindag No.64/MPP/Kep /9/2002 mengenai impor gula. Disitu disebutkan bahwa tujuan dari pemerintah Indonesia mengeluarkan SK tersebut adalah untuk melindungi petani gula miskin, melindungi kesehatan masyarakat dan meningkatkan pendapatan petani gula di pedesaan.
Salah satu contoh adalah kebijakan impor tekstil yang tertuang di dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian nomor 732 tahun 2002. Amerika Serikat dari tahun 2002 sampai sekarang masih belum terpuaskan atas jawaban dan tanggapan Indonesia mengenai dasar pembuatan kebijakan impor tekstil tersebut. Indonesia menerbitkan SK MPP 732/2002 dengan tujuan untuk mencegah penyelundupan atau illegal import tekstil. Dalam jawaban terhadap Amerika Serikat, Indonesia menyampaikan bahwa sejak keluarnya peraturan tersebut, penyelundupan impor tekstil dapat dikatakan berhenti, karena terdapat indikasi bahwa penyelundupan ini justru dilakukan oleh pihak perusahaan yang memiliki lisensi resmi. AS tetap tidak bisa diyakinkan dengan tanggapan RI ini. Kesulitan merespon AS tersebut dikarenakan masih banyak pejabat Indonesia masih mengalami kesulitan untuk menafsirkan perbedaan antara AL dengan NAL. SK Impor tekstil dianggap AS sebagai non-automatic licensing/NAL, sedangkan RI menganggap sebagai otomatis/AL
SK tersebut menggunakan dasar pertimbangan yang rancu dan tidak berkaitan langsung dengan AIL, karena konsideran yang dipakai adalah subsidi dan alasan untuk melindungi kesehatan adalah untuk SPS. Keadaan ini menimbulkan kecurigaan negara mitra dagang seolah Indonesia memiliki rencana terselubung dibalik konsideran tersebut. Masalah lain yang sering menimbulkan kendala di bidang penerapan kebijakan impor adalah seringkalinya terjadi perubahan peraturan impor. Hal yang sering tidak disadari oleh pejabat adalah rujukan dari pejabat yang dianggap berwenang yang baru dan adanya perbedaan waktu untuk melakukan penyesuaian dari aturan lama serta pendistribusian aturan baru tersebut ke seluruh wilayah Indonesia. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas terdapat usulan untuk membentuk “export and import policy team” yang dipimpin oleh Menteri Keuangan dengan anggota Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, Ditjen Bea & Cukai, Badan Karantina. Tim ini beranggotakan pejabat pembuat kebijakan yang terkait dengan masalah impor. Meskipun demikian, hingga saat ini usulan tersebut belum mendapat tanggapan.
Ketidakjelasan pembedaan AL dan NAL ini juga menyulitkan penjaga border yakni Pihak Bea Cukai untuk menentukan boleh tidaknya barang masuk mengingat terdapat prosedur dan kelengkapan dokumen yang harus menyertainya terutama yang menyangkut perijinan. Kebijakan lain yang menjadi masalah adalah ketidakcocokan alasan yang dipakai sebagai konsideran pembuatan kebijakan lisensi impor. 5
EDISI-42/KPI/2007
F. Pemanfaatan Pasar.
IL
untuk
Akses
oleh negara lain. Salah satu caranya adalah dengan memodifikasi peraturan yang dipermasalahkan atau dengan menyampaikan kembali notifikasi dengan format dan tujuan yang berbeda. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh Australia di dalam kondisi yang sangat noticeable oleh negara anggota lainnya.
Kebijakan Import Licensing dalam kenyataannya tidak hanya dipakai sebagai instrumen untuk melindungi industri dan pasar domestik, namun juga dapat dimanfaatkan untuk memperluas, mengamankan, dan meningkatkan akses pasar produk domestik di luar negeri. Indonesia dapat menggunakan Import Licensing untuk membuka akses pasarnya. Cara terbaik untuk memanfaatkan ILA adalah secara agresif mempelajari peraturan Import Licensing yang dimiliki oleh negara lain melalui notifikasi yang mereka lakukan.
G. Penutup Sebagai penutup, para pembuat kebijakan impor Indonesia perlu lebih memperhatikan ketentuan yang terdapat pada Agreement on Import Licensing WTO. Indonesia perlu mengganti atau mengubah serta menotifikasikan kembali beberapa peraturan impor sesuai ketentuan WTO.
Terdapat ketentuan ILA yang menyatakan adanya perlakuan khusus (misalnya kemudahan dalam bentuk persyaratan atau waktu) yang diberikan ke negara berkembang di dalam menerbitkan persetujuan Import Licensing. Hal ini bisa dijadikan “loop hole” karena, adanya kata-kata “special consideration” dimana pengertian “special consideration” tidak pernah diutarakan secara jelas.
Dalam hal issue penyelundupan, Indonesia perlu menunjukkan bahwa apabila terdapat faktor penyelundupan dengan jumlah yang sangat besar dan dengan keadaan dimana bea dan cukai tidak dapat mengontrol hal tersebut maka artikel XX.d dapat dijadikan alasan. Indonesia perlu pula mengkoreksi sistem AL dan NAL dalam sistem perijinan impor yang berlaku secara tepat dan jelas agar dikemudian hari Indonesia tidak akan diajukan ke DSB – WTO karena adanya misplacing antara AL dengan NAL.
Apabila Indonesia menemukan ketidakkonsistenan import licensing dari negara mitra dagang, maka hal yang perlu dilakukan adalah mendiskusikan melalui pendekatan bilateral demi untuk mengamankan akses pasar terlebih dulu. Namun apabila pendekatan bilateral tidak membuahkan solusi maka bisa digunakan adalah pendekatan regional, dan jika gagal maka yang terakhir perlu dilakukan adalah pendekatan multilateral.
Terakhir, Indonesia perlu segera menyampaikan pandangan mengenai definisi national security yang di dalam GATT 1994 mungkin dipandang dari sudut pandang yang berbeda dengan negara maju. Bagi negara berkembang seperti Indonesia rakyat adalah hal pertama yang harus dilindungi. Komoditi sensitif yang terkait dengan keamanan pangan nasional seperti beras dan gula perlu dilindungi agar masyarakat tetap dapat
Pemanfaatan AIL yang tidak kalah pentingnya adalah mempelajari dari cara negara lain merespon kebijakan impor yang dipermasalahkan 6
EDISI-42/KPI/2007
menikmatinya (baik konsumen maupun petani). Sumber Penulisan: 1. Agreement on Import Licensing WTO, The Legal Texts, Cambridge University Press, 1999, UK 2. SK No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang tata niaga impor tekstil; 3. Surat Keputusan/SK Departemen Perdagangan No. 1718/M-DAG/XII/2005 mengenai tata niaga impor beras untuk melindungi petani pada saat musim panen. 4. SK No. 643/MPP/Kep/9/2002 tentang tata niaga impor gula. 5. Dokumen KPI tentang import licensing yang tidak diterbitkan.
7
EDISI-42/KPI/2007
puisi, karya panggung, film, musik, gambar, lukisan, fo-tografi dan patung, serta desain arsitektur. Hak yang berhubung-an dengan hak cipta termasuk ar-tis-artis yang beraksi dalam sebu-ah pertunjukan, produser fono-gram dalam rekamannya, dan pe-nyiar-penyiar di program radio dan televisi.
PENGERTIAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL SERTA KAITANNYA DENGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Paten
Oleh: Devy Panggabean
Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan atas sebuah penemu-an, dapat berupa produk atau proses secara umum, suatu cara baru untuk membuat sesuatu atau menawarkan solusi atas suatu masalah dengan teknik baru.
A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual Hak Kekayaan Intelektual merupakan hak yang diberikan kepada orang-orang atas hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran si pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol, penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan komersil.
Paten memberikan perlindungan terhadap pencipta atas penemuannya. Perlindungan tersebut diberikan untuk periode yang terbatas, biasanya 20 tahun. Perlindungan yang dimaksud di sini adalah penemuan tersebut tidak dapat secara komersil dibuat, digunakan, disebarkan atau dijual tanpa izin dari si pencipta.
Menurut WIPO (World Intellectual Property Organization) – badan dunia di bawah naungan PBB untuk isu HKI, hak kekayaan intelektual terbagi atas 2 kategori, yaitu:
Merek Merek adalah suatu tanda terten-tu yang dipakai untuk mengidentifi-kasi suatu barang atau jasa sebagai-mana barang atau jasa tersebut dipro-duksi atau disediakan oleh orang atau perusahaan tertentu. Merek membantu konsumen untuk mengidentifikasi dan membeli sebuah produk atau jasa berdasarkan karakter dan kualitasnya, yang dapat teridentifikasi dari mereknya yang unik.
1. Hak Kekayaan Industri Kategori ini mencakup penemu-an (paten), merek, desain indus-tri, dan indikasi geografis. Dari sumber situs WTO, masih ada hak kekayaan intelektual lainnya yang termasuk dalam kategori ini yaitu rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Desain Industri Desain industri adalah aspek ornamental atau estetis pada sebuah benda. Desain tersebut dapat mengandung aspek tiga dimensi, seperti
2. Hak Cipta Kategori ini mencakup karya-karya literatur dan artistik seperti novel, 8
EDISI-42/KPI/2007
bentuk atau permukaan benda, atau aspek dua dimensi, seperti pola, garis atau warna.
lumnya untuk melindungi informasi yang bersifat rahasia tersebut. Pengujian terhadap data yang diserahkan kepada pemerintah sebagai langkah memperoleh persetujuan untuk memasarkan produk farmasi atau pertanian yang memiliki komposisi baru juga harus dilindungi dari kecurangan perdagangan.
Desain industri diterapkan pada berbagai jenis produk industri dan kerajinan; dari instrumen teknis dan medis, jam tangan, perhiasan, dan benda-benda mewah lainnya; dari peralatan rumah tangga dan peralatan elektronik ke kendaraan dan struktur arsitektural; dari desain tekstil hinga barang-barang hiburan.
Desain Tata Terpadu
Letak
Sirkuit
Sirkuit terpadu adalah suatu pro-duk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat ber-bagai elemen dan sekurang-kurang-nya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semi-konduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elekronik.
Agar terlindungi oleh hukum nasional, desain industri harus terlihat kasat mata. Hal ini berarti desain industri pada prinsipnya merupakan suatu aspek estetis yang alami, dan tidak melindungi fitur teknis atas benda yang diaplikasikan. Indikasi Geografis Indikasi Geografis merupakan suatu tanda yang digunakan pada ba-rangbarang yang memiliki keaslian geografis yang spesifik dan memiliki kualitas atau reputasi berdasar tempat asalnya itu. Pada umumnya, Indikasi Geografis merupakan nama tempat dari asal barang-barang tersebut. Produk-produk pertanian biasanya memiliki kualitas yang terbentuk dari tempat produksinya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lokal yang spesifik, seperti iklim dan tanah. Berfungsinya suatu tanda sebagai indikasi geografis merupakan masalah hukum nasional dan persepsi konsumen.
Desain tata letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu. Hak Cipta Hak Cipta merupakan istilah le-gal yang menjelaskan suatu hak yang diberikan pada pencipta atas karya literatur dan artistik mereka. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan perlindungan atas hak cipta dan untuk mendukung serta memberikan penghargaan atas buah kreativitas.
Rahasia Dagang Rahasia dagang dan jenis-jenis informasi rahasia lainnya yang memiliki nilai komersil harus dilindungi dari pelanggaran atau kegiatan lainnya yang membuka rahasia praktek komersial. Namun langkah-langkah yang rasional harus ditempuh sebe-
Karya-karya yang dicakup oleh Hak Cipta termasuk: karya-karya literatur seperti novel, puisi, karya 9
EDISI-42/KPI/2007
pertunjukan, karta-karya referensi, koran dan program komputer, database, film, komposisi musik, dan koreografi, sedangkan karya artistik seperti lukisan, gambar, fotografi dan ukiran, arsitektur, iklan, peta dan gambar teknis.
yang dimaksud dengan ”hak kekayaan intelektual”. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kekayaan intelektual ini bentuknya bisa beragam, seperti buku-buku, lukisan dan filmfilm di bawah hak cipta; penemuan dapat dipatenkan; merek dan logo produk dapat didaftarkan sebagai merek; dan sebagainya.
B. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perdagangan Internasional
Dalam perkembangannya, perlindungan serta penerapan atas hak kekayaan intelektual ini bervariasi di seluruh dunia. Sebagaimana kesadaran akan pentingnya HKI dalam perdagangan semakin tinggi, maka perbedaan-perbedaan antar berbagai pihak di dunia menjadi sumber perdebatan dalam hubungan ekonomi internasional. Adanya suatu peraturan perdagangan internasional yang disepakati atas HKI dipandang sebagai cara untuk menertibkan dan menjaga konsistensi serta mengupayakan agar perselisihan dapat diselesaikan secara lebih sistematis.
Pemikiran dan pengetahuan merupakan bagian penting dari perdagangan sebab buah pemikiran dan pengetahuan tersebut dapat menghasilkan suatu ciptaan yang diperdagangkan. Oleh sebab itu, hak kekayaan intelektual menyentuh juga aspek industri dan perdagangan. Sebagian besar dari nilai yang dikandung oleh jenis obat-obatan baru dan produk-produk berteknologi tinggi berada pada banyaknya penemuan, inovasi, riset, desain dan pengetesan yang dilakukan. Film-film, rekaman musik, buku-buku dan piranti lunak komputer serta jasa on-line dibeli dan dijual karena informasi dan kreativitas yang terkandung, biasanya bukan karena plastik, metal atau kertas yang digunakan untuk membuatnya. Produk-produk yang semula diperdagangkan sebagai barang-barang berteknologi rendah kini mengandung nilai penemuan dan desain yang lebih tinggi sehingga meningkatkan nilai jual produk-produk tersebut.
Menyadari HKI sebagai faktor penting dalam perdagangan internasional, maka dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, kesepakatan mengenai HKI (Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS) dinegosiasi-kan untuk pertama kalinya dalam pe-rundingan WTO, yaitu Uruguay Round pada tahun 1986-1994.
Dalam hal penciptaan atas pro-dukproduk tersebut, pencipta dapat diberikan hak untuk mencegah pihak lain memakai penemuan mereka, desain atau karya lainnya dan pencipta dapat menggunakan hak tersebut untuk menegosiasikan pembayaran sebagai ganti atas penggunaan hasil ciptaannya itu oleh pihak lain. Inilah
Uruguay Round berhasil membuahkan kesepakatan TRIPS Agreement sebagai suatu jalan untuk memper-sempit perbedaan yang ada atas per-lindungan HKI di dunia dan me-naunginya dalam sebuah peraturan internasional. TRIPS Agreement me-netapkan tingkat minimum atas per-lindungan HKI 10
EDISI-42/KPI/2007
yang dapat dijamin-kan terhadap seluruh anggota WTO. Hal yang penting adalah ketika ter-jadi perselisihan perdagangan yang terkait dengan HKI, maka sistem penyelesaian persengketaan WTO kini tersedia.
an ekonomi internasional. Oleh karena itu, perjanjian TRIPS juga mencakup penerapan prinsip-prinsip dasar GATT dan perjanjian-perjanjian internasional yang relevan dengan masalah HKI, termasuk pemalsuan. Perjanjian TRIPS mengharuskan Anggota WTO untuk melakukan notifikasi kepada Dewan TRIPS. Notifikasi ini merupakan fasilitasi bagi Dewan TRIPS untuk memonitor implementasi Perjanjian dan wadah yang mendukung transparansi negara anggota menyangkut kebijakan atas perlindungan HKI. Selain itu, negara anggota yang akan memanfaatkan beberapa ketentuan yang tercakup dalam Perjanjian dan berhubungan dengan kewajiban harus memberikan notifikasi kepada Konsul. Konsul telah menetapkan prosedur dan arahan mengenai notifikasi. Sebagai tambahan, negara anggota juga telah setuju untuk melakukan notifikasi atas halhal yang belum diatur dalam Perjanjian.
Kesepakatan TRIPS ini meliputi 5 (lima) hal, yaitu: 1. Penerapan prinsip-prinsip dasar atas sistem perdagangan dan hak kekayaan intelektual 2. Perlindungan yang layak atas hak kekayaan intelektual 3. Bagaimana negara-negara harus menegakkan hak kekayaan intelektual sebaik-baiknya dalam wilayahnya sendiri 4. Penyelesaian perselisihan atas hak kekayaan intelektual antara negara-negara anggota WTO 5. Kesepakatan atas transisi khusus selama periode saat suatu sistem baru diperkenalkan Perjanjian TRIPS yang berlaku sejak 1 Januari 1995 ini merupakan perjanjian multilateral yang paling komprehensif mengenai HKI. TRIPS ini sebetulnya merupakan perjanjian dengan standar minimum yang memungkinkan negara anggota WTO untuk menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap HKI. Negara-negara Anggota dibebaskan untuk menentukan metode yang paling memungkinkan untuk menjalankan ketetapan TRIPS ke dalam suatu sistem legal di negaranya.
C. Peran Departemen Perdagangan RI dalam Meningkatkan Kesadaran akan Hak Kekayaan Intelektual Mengingat pentingnya aspek HKI dalam perdagangan, Depar-temen Perdagangan melalui Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan posisi Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung hak kekayaan intelektual.
Salah satu isu dalam HKI yang menarik untuk dibahas adalah pemalsuan. Pemalsuan merupakan masalah yang sedang berkembang yang menciptakan ketegangan dalam hubung-
Pada tahun 2006 Indonesia telah melakukan pembahasan dan perundingan dengan Amerika Serikat dengan kerjasama dalam konteks US11
EDISI-42/KPI/2007
Indonesia Trade and Investment Fra-mework Agreement (TIFA) antara lain adalah mengenai perbaikan pe-ringkat penegakan Hak Kekayaan In-telektual di Indonesia dan Priority Watch List (PWL) menjadi Watch List (WL). nasional komitmen Indonesia dalam penegakan perlindungan HKI, serta memberikan motivasi kepada aparat penegak hukum terkait serta kalangan masyarakat luas untuk lebih memiliki integritas tinggi dalam berbagai upaya penanggulangan dan pemberantasan pelanggaran HKI.
Sebagaimana dikutip dari Kom-pas Cyber Media, penting bagi Indonesia untuk keluar dari PWL ka-rena hal itu bisa menjadi momok ba-gi masuknya ivestor ke Indonesia karena pemerintah sudah melihat bahwa pembajakan berpengaruh besar terhadap ekonomi negara. Jika pembajakan terus dipupuk, kepercayaan mitra dagang dan investor asing terhadap Indonesia akan turun yang berdampak terpuruknya ekonomi nasional. Padahal, penurunan 10 (sepuluh) poin saja dari tingkat pembajakan, yang saat ini mencapai sekitar 87 persen, akan menghasilkan pertumbuhan industri IT lebih dari 4,2 triliun dollar AS hingga tahun 2009 mendatang.
Departemen Perdagangan juga berencana untuk mengadakan Malam Penganugerahaan Penghargaan Kepedulian & Penegakan Hak Kekayaan Intelektual. Dalam acara penganugerahan tersebut, akan diberikan penghargaan dalam isu Hak Cipta terhadap beberapa kelompok yang terdiri dari sektor pemerintah dan pelaku industri, mencakup produsen film dan sinetron, penerbit buku, produsen musik, lembaga pendidikan tinggi, tokoh, industri replikasi cakram optik serta tokoh individual.
Di samping itu, Ditjen KPI juga secara aktif melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Berbagai kegiatan seperti talkshow, seminar, dan workshop telah dilakukan dengan melibatkan baik sektor pemerintah dan industri.
Sumber Penulisan: 1. Situs Ditjen KPI, 2. Ditjen HKI Depdag, 3. WTO, 4. WIPO, 5. Kompas Cybermedia
Tujuan dari berbagai kegiatan tersebut adalah untuk memberikan pemahaman kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai pentingnya suatu iklim perdagangan yang sehat terutama yang berkaitan dengan HKI, menunjukkan pada dunia inter-
12
EDISI-42/KPI/2007
Disadari bahwa perkembangan dari Council on TRIPs tidak menun-jukkan suatu movement yang signifi-kan. Beberapa isu perundingan TRIPsWTO seperti halnya isu Relationship between TRIPs Agreement and Convention on Biological Diversity (CBD) sebagai salah satu outstanding implementation issue yang mengalami perdebatan alot ini, sangat terkait dengan kepentingan nasional dan memiliki nilai ekonomis yang bervariatif dalam jumlah; dimana isu-isu ini memerlukan suatu penanganan dan pemecahan yang lebih serius/intensif/fokus untuk mengeksplorasi, menggalang, dan memetakan kondisi akhir di dalam negeri terkait dengan paten, konsolidasi database dan legislasi nasional mengenai akses terhadap Genetic Resources (GR/Sumber Daya Genetika), Traditional Knowledge (TK/Pengetahuan Tradisional), Folklore dan Equitable Benefit Sharing (ABS/ Pembagian Keuntungan).
SEKILAS ISU WTO MENGENAI RELATIONSHIP BETWEEN TRIPs AND CBD Oleh: Faried W. Rachman
A. Pendahuluan Dengan diratifikasinya Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang pe-ngesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, De-partemen Perdagangan sebagai fokal poin diwajibkan untuk mengimplementasikan segala kebijakan yang terkait dengan aspek perdagangan, agar sejalan dengan perjanjian perdagangan multilateral WTO. Salah satu perjanjian dalam kerangka WTO adalah Perjanjian Trade Rela-ted Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) dengan membentuk Council secara tersendiri yang disebut Council on TRIPs.
Genetic Resources (GR) sendiri dapat didefinisiskan sebagai materi/ bahan biologis yang memiliki nilai ekonomis, termasuk yang bersifatkan warisan turun temurun. Akses terha-dap GR sangatlah penting untuk ke-tahanan pangan, kesehatan dan pe-ngembangan yang berkelanjutan. GR memberikan basis untuk peningkatan pada lahan pertanian yang mana pa-ling tidak 25% digunakan dalam bi-dang farmasi dan 75% lainnya untuk obatobatan tradisionil dari populasi dunia, secara meningkat juga digunakan untuk produk-produk pengelolaan sampah dan membantu dalam meningkatkan lingkungan industri yang bersih. Dimana tercatat bahwa
Council on TRIPs merumuskan perjanjian yang bertujuan untuk me-ngurangi gangguan dan hambatan (distorsi) pada perdagangan interna-sional, yang disebabkan oleh pelang-garan HKI. Disamping itu perjanjian TRIPs memberikan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap HKI, serta menjamin bahwa prosedur serta langkah-langkah penegakan hukum HKI itu sendiri tidak akan menjadi hambatan terhadap perdagangan.
13
EDISI-42/KPI/2007
industri terkait tersebut (tidak termasuk industri kesehatan dan pertanian) dapat mencakup US$ 500 - $800bn per tahun.
dianjurkan dalam forum CBD agar para negara anggota dapat mengintegrasikan sustainable biodiversity conservation and utilization sebanyak mungkin kedalam bentuk rencana, program dan kebijakan sektoral maupun inter-sektoral dalam tingkat nasional.
B. Konflik TRIPs dan CBD Dengan dasar penelitian dan pe-ngamatan para ahli dan pakar, mere-ka menyepakati bahwa biodiversitas secara global menurun dengan sangat cepat. Atas dasar itu pula maka di-awali pada tahun 1992 dalam agenda Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, United Nations on Convention of Biological Diversity (UNCBD) didirikan. Pemerintah Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut pada tahun 1994 melalui Act No.5/1994, yang mana fokal poin dari implementasinya dipimpin oleh Kementrian Lingkungan Hidup. 3 (tiga) objektivitas utama dari CBD dapat dipahami adalah sebagai berikut: conservation of biodiversity, sustainable utilization of its componenets, and the equitable distribution of benefits arising from the use of genetic resources, dimana objektifitas dimaksud dapat juga memfasilitasi akses terhadap sumber daya genetika dan pengalihan teknologi yang cukup dan memadai dengan ketentuan pendanaan yang sesuai.
Ratifikasi CBD merupakan peran yang menguntungkan bagi Indonesia. Termasuk didalamnya yaitu untuk akses fasilitas pengalihan dan kontrol terhadap teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan keanekaragaman hayati di dalam negeri, pengkolabo-rasian ilmu pengetahuan ilmiah dan teknologi, dan pengerahan pendana-an untuk penelitian dan pengemba-ngan sehubungan dengan keanekaragaman hayati. CBD secara gamblang dapat di-mengerti bahwa pada dasarnya bertu-juan untuk memperkuat kapasitas pa-ra negara berkembang dalam hal konservasi dan penggunaan keaneka-ragaman sumber daya biologi dalam jangka panjang dengan mementing-kan segala bentuk hak kepemilikan terhadap sumber daya tersebut, termasuk hak untuk menerima bentuk keuntungannya. Dikarenakan oleh ketidakseimbangan struktural dan geografis antara negara yang memiliki kekayaan terhadap keanekaragaman sumber daya biologi tersebut dengan negara yang kuat atas perkembangan teknologi dan aspek hukumnya, maka negara–negara berlokasikan di bagian selatan sering kali tereksploitasi.
CBD menghendaki agar negara anggota untuk dapat merumuskan rencana pengkonservasian yang stra-tegis, action plan dan program-pro-gram dari sustainable biodiversity utilization ataupun negara anggota dalam forum CBD lebih lanjut diperkenankan pula untuk memodifikasi dokumen-dokumen serupa yang telah tersedia demi kepentingan nasionalnya. Hal dimaksud juga kemudian
Pada sisi lain, TRIPs menguta-makan hak kepemilikan privatisasi atas produk-produk 14
EDISI-42/KPI/2007
ataupun proses-proses bioteknologi. Hal ini tentunya akan menjamin kepentingan-kepen-tingan perusahaan agar dapat terlin-dungi secara global. Kesatuan rejim hukum merupakan tujuan utama dari TRIPs agar mendapatkan kontrol monopoli kepada para inventor yang mana telah mengklaim atas invensiinvensinya dalam hal varietas tanaman baru, binatang, mikroorganisme dan lain sebagainya.
Penyempurnaan atas ketentuan artikel 27.3(b) pada ketentuan TRIPs pada dasarnya telah mendapat perha-tian khusus dan menimbulkan perde-batan yang cukup intensif mengenai konflik antara Intellectual Property Rights (IPR) dalam konteks WTO-TRIPs dengan Sustainable Bio-diversity Management yaitu dalam konteks Convention on Biological Diversity (CBD).
Sidang dewan TRIPs dalam me-nanggapi isu akses terhadap Sumber Daya Genetika (SDG) dan pemba-gian keuntungan sangat erat dengan pembahasan penyempurnaan artikel 27 TRIPs dimana pada artikel tersebut telah menetapkan bahwa persyaratan untuk paten seharusnya mengikuti ketentuan-ketentuan didalam kesepa-katan TRIPs itu sendiri. Perlu dicatat bahwa sesungguhnya tidak ada ruang untuk negosiasi dalam hal ini, dima-na para negara anggota hanya diberi kesempatan untuk melakukan diskusi lebih lanjut untuk mandat yang telah ditetapkan. Hal dimaksud tentunya mendapatkan pertentangan pandangan bagi sebagian negara anggota, dimana mereka melihat bahwa penyempurnaan artikel 27.3 (b) semestinya dapat memfasilitasikan ruang untuk para negara anggota untuk bernegosiasi.
Kesepakatan TRIPs mengecam CBD lebih sulit untuk diimplemen-tasikan dan banyak negara anggota (lebih dari 130 untuk kedua treaty) mempertanyakan sekiranya treaty mana yang harus terlebih dahulu diutamakan, yang mana perlu dipahami pula bahwa kesepakatan CBD merupakan bentuk komitmen internasional dan legally binding se-perti halnya kesepakatan TRIPs. De-ngan demikian negara anggota (governments) dan masyarakat sipil pada umumnya dianjurkan untuk se-segera mungkin mengkonfrontasikan kontradiksikontradiksi antara TRIPs dan CBD. Dimana paling tidak dite-mukan 3 (tiga) bentuk kontradiksi utama mengenai TRIPs dan CBD, yaitu dalam hal objektifitas, sistem hak kepemilikan dan obligasi hu-kum.
Konflik-konflik mengenai hak dan obligasi antara TRIPs dan CBD dapat dirangkum dalam bentuk matriks sbb: CBD Nation states have sovereign public rights over their biological resources.
TRIPs Biological resources should be subject to private IPR. Compulsory licensing, in the national interest, should be restricted.
15
Conflict National sovereignity implies that countries have the right to prohibit IPRs on life forms (biological resources ). TRIPs overlooks this right by requiring provision of IPRs on EDISI-42/KPI/2007
microorganisms, nonbiological resource and microbiological process, as well as patents and/ or sui generis protection on plant varieties. The use or exploitation of biological resources must give rise to equitably shared benefits.
Patents must be provided for all fields of technology, therefore the use or expolitation of biological resources must be protected by IPR. There is no mechanism for sharing benefits between a patent holder in one country and the donor of material in another country from which the invention is derived.
CBD gives developing countries a legal basis to demand a share of benefits. TRIPs negates that legal authority.
The use or exploitation of Traditional Knowledge, innovations and practices relevant to the use of biodiversity must give rise to equitably shared benefits.
Patents must be provided for all fields of technology, therefore the use or exploitation of biological resources must be protected by IPR. There is no mechanism for sharing benefits between a patent holder in one country and the donor of material in another country from which the invention is derived.
CBD gives developing countries a legal basis to demand a share of benefits. TRIPs negates that legal authority.
Access to biological resources requires the prior informed consent (PIC) of the country of origin. It also requires the approval and involvement of local communities.
There is no provision requiring prior informed consent (PIC) for access to biological resources which may be subsequently be protected by IPR.
CBD now gives states legal authority to diminish the incidence of biopiracy by requiring PIC. TRIPs ignores this authority and thus promotes biopiracy.
States should promote the conservation and sustainable use of biodiversity as a common concern of humankind taking into account all rights over biological resources
The safegurading of pulic health and nutrition, and the public intrest in general, shall be subject to the private intrest of IPR holders as reflected in the provisions of the TRIPs Agreement.
CBD places the public intrest and common good over private property and vested intrests. TRIPs does the exact opposite.
16
EDISI-42/KPI/2007
Topik-topik yang timbul pada sidang Dewan TRIPs : 1. Pengaplikasian ketentuan TRIPs yang telah tersedia terhadap proses paten atas invensi-invensi terkait dengan bioteknologi; 2. Arti penting atas ”sui generis” yang efektif terhadap perlindungan varietas tanaman baru; 3. Pengaturan tentang pengetahuan tradisionil, foklor, dan bahan-bahan genetik, dan juga atas hakhak komunitas dimana bahanbahan dimaksud berasal; 4. Pengimplementasian kesepakatan TRIPs dan UNCBD secara berkesinambungan, dan sekiranya perlu ada perubahan terhadap kesepakatan TRIPs terutama sekiranya perlu disertakannya suatu bentuk asal (disclosure of origin) atas sumber pengetahuan tradisionil dan bahan-bahan genetik tsb; persetujuan para peneliti dan inventor yang diperlukan sebelum penggunaan atas produkproduk yang telah mereka ciptakan; metode pembagian keuntungan dengan komunitas lokal yang dikenakan kepada inventor yang menggunakan bahan/material dari komunitas lokal tersebut. European Union (EU), pada ke-sempatan yang sama telah menyam-paikan sebuah konsep serupa dengan butir iv diatas dan menambahkan agar dapat diciptakannya konsekuen-si hukum (legal consequences) diluar dari jangkauan/keleluasaan hukum paten (patent law) itu sendiri. Switzerland mengusulkan agar dapat terjadi perubahan amandemen terhadap WIPO’s Patent Cooperation Treaty (and, by reference, WIPO’s Patent Law
Treaty) agar hukum domestik (domestic’s laws) dapat mempersyaratkan para inventor untuk menyertakan asal atas sumber daya genetika, pengetahuan tradisionil atas pengajuan paten mereka dan para inventor yang tidak memenuhi persyaratan penyertaan asal materi/bahan tersebut akan menyebabkan pembatalan dalam pengajuan paten dimaksud. Sebagian negara berkembang se-perti halnya Bolivia, Brazil, Cuba, Ecuador, India, Peru, Thailand, Venezuela, dll menyetujui proposal tersebut yaitu bahwa penggunaan atas sumber daya biologi dan pengetahuan tradisionil oleh para inventor selayaknya pula dapat menyertakan pemberitahuan/izin awal (prior informed consent, a term used in CBD) dan juga pembuktian atas pembagaian keuntungan (fair and equitable benefit sharing). China menambahkan atas duku-ngannya terhadap perubahan ke-sepakatan TRIPs, dengan anggapan bahwa TRIPs tidak sepenuhnya da-pat memadai prinsipprinsip kedau-latan nasional (national sove-reignity), pemberitahuan/ izin awal (prior informed consent) dan akes terhadap pembagian keuntungan (access of benefit sharing/ABS) seperti halnya yang terakomodir di dalam forum CBD. Amerika Serikat sebagai negara yang belum meratifikasi CBD, men-cermati situasi perdebatan pada sidang dewan TRIPs berargumentasi bahwa objektivitas terhadap akses sumber daya genetika, pengetahuan tradisionil dan pembagian keunEDISI-42/KPI/2007
tungan sebaiknya dapat dilakukan melalui legislasi tingkat nasional dan kesepakatan-kesepakatan kontraktual dimana dengan hal itu juga dapat memberikan kesempatan penyertaan asal materi. Relationship between TRIPs Agreement and Convention on Biological Diversity (CBD) sebagai salah satu outstanding implementation issue seperti yang telah diutarakan diatas, tentunya sangat erat pula keterkaitannya dengan perkembangan teknologi dalam hal genetic characterisation, screening of valuable genetic traits dan kemungkinan-kemungkinan dalam pengembangan ataupun pemodifikasian nilai tambah terhadap genetic resources, yang mana permintaan dalam hal ini diramalkan akan terus meningkat. Dengan demikian, era globalisasi dalam bioinformatika dan genetic engineering akan mempunyai impact dalam perdagangan tumbuh-tumbuhan yang memiliki sumber daya genetik dan pengembangan dari industri produk-produk yang berorientasikan natural. Termasuk dalam hal ini yaitu dengan perdagangan genetic resources antara patent-rich (tetapi gene-poor) dalam hal ini Northern Countries dengan Southern Countries (gene-rich). Hal ini juga terkait erat dengan perdagangan dari tumbuh-tumbuhan, micro-organisme dan alga yang dapat menghasilkan compounds (contoh: kosmetik, minyak wangi, bumbu-bumbu rasa dari produk-produk natural) yang menarik dan mempunyai nilai ekonomis, industrial crops untuk biofuels dan biodegradable polymers (Fibres, stratch products, oils, lubricants and detergents. Companies such as Du Pont and Dow Chemicals are in the
process of developing a base for industrial production of niche crops. Hence agriculture is converted to industry). Maka pengembangan dalam hal dimaksud akan menawarkan negara-negara berkembang dengan berbagai resiko dan juga kesempatan. A. Pengamatan dan Rekomendasi Jika dipahami bahwa pengimple-mentasian CBD dikedepankan untuk kepentingan kehidupan masyarakat luas, maka langkah-langkah penting layaknya dapat diambil demi memas-tikan agar objektivitas CBD dapat terlaksana dan tidak terhalangi oleh agenda TRIPs yang sempit. Langkah-langkah tersebut dapat dimaksud yaitu sebagai berikut : 1. Mengakui bahwa CBD selayaknya dapat lebih diutamakan dibandingkan TRIPs-WTO dalam areal biodiversitas dan sistem traditional knowledge; 2. Dapat memastikan bahwa penyempurnaan dari kesepakatan TRIPs dapat mengandung persetujuan dimana sovereign states dapat mengecualikan all life forms dan ilmu pengetahuan terkait dari sistem HKI; 3. Secara cepat dan seksama dapat mengakui hak-hak komunal dari masyarakat adat dan komunitas lokal terhadap lingkungan biodiversitas dan ilmu tradisionil mereka. Indonesia secara lebih spesifik sebagai negara berkembang dalam hal ini para aktor/institusi-institusi (authorities, private sectors and universities) terkait dalam hal access EDISI-42/KPI/2007
and transfer of genetic resources, knowledge and information tentunya akan mengalami tantangan berat dalam memformulasikan kebijakan/ regulasi demi kepentingan nasional seefisien mungkin. Tantangan dimaksud dapat diformulasikan dalam bentuk sebagai berikut : 1. Optimalisasi kegunaan dari regulasi-regulasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) 2. Memperkuat sektor-sektor terkait dalam proses penjagaan dan pengamanan 3. Optimalisasi benefits sehubungan dengan perdagangan 4. Optimalisasi institusi-institusi penelitian dan pengembangan sehubungan dengan proprietary science 5. Optimalisasi sistim-sistim terkait dengan HKI yang sesuai dengan keadaan agro-economy dalam konteks TRIPS (patents of genes and crops and the protection of traditional varieties) 6. Optimalisasi dari kesepakatankesepakatan dalam konteks third party use of proprietary biology/ technology products and methods 7. Optimalisasi dari Cartagena Biosafety Protocol terhadap implement and benefit from information sharing mechanisms.
Jenewa selama ini, Indonesia belum memiliki posisi dasar resmi yang komprehensif dan strategis da-lam menghadapi rangkaian persida-ngan dan perundingan TRIPs ini.
Sebagaimana telah direkomen-dasikan, upaya tindak lanjut yang perlu segera dilakukan oleh Indonesia c.q. Direktorat Kerjasama Multilateral untuk memformulasikan suatu posisi dasar yang resmi, kom-prehensif dan strategis, kiranya perlu difokuskan pada aspek atau isu uta-ma perundingan sehingga pada masa yang akan datang Indonesia dapat memiliki point of reference (titik acuan) serta pedoman yang dapat digunakan sebagai senjata dalam negosiasi council TRIPs-WTO dan dapat berdampak positif terhadap peningkatan dan kesejahteraan dunia industri-perdagangan dan masyarakat luas pada umumnya. Sumber Penulisan: 1. Swedish Biodiversity Centre (Capacity Building on WTO and Environmental Protection); 2. GRAIN website (TRIPs Vs CBD); 3. National Document (Biodiversity Crisis in Indonesia); 4. Laporan PTRI Jenewa.
Sebagaimana telah disampaikan (Vide Berita Faksimile PTRI Jenewa No. BB-103/PTRI Jenewa/III/06 tanggal 8 Maret 2006), perundingan isu TRIPs yang berlangsung di WTO ini memiliki implikasi yang signi-fikan terhadap Indonesia, yang seca-ra logika memiliki potensi dan ke-pentingan yang tinggi. Pengamatan PTRI EDISI-42/KPI/2007
impor Taiwan dari Indonesia mencapai USS 460,96 juta dan ekspor ke Indonesia mencapai USS 201,91 juta, sehingga neraca perdagangan antara Taiwan - Indonesia pada bulan Oktober 2006 tetap menunjukkan angka surplus bagi Indonesia, yakni sebesar USS 259,05 juta. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN BILATERAL TAIWAN-INDONESIA Oleh: Bagian Evalap A. Pendahuluan Ekspor Taiwan pada bulan Oktober 2006 mencapai nilai tertinggi ke-2 sepanjang 10 (sepuluh) bulan pertama 2006, yakni sebesar USS 18,86 milyar. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 5.25% bila dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Total nilai ekspor Taiwan sampai dengan bulan Oktober 2006 adalah sebesar USS 175,98 milyar. Peningkatan ekspor pada bulan Oktober 2006, antara lain didukung oleh ekspor produk elektronik yang mencapai nilai sebesar USS 560 juta, atau mengalami peningkatan sebesar 9.77%. Produk-produk yang memperoleh permintaan pasar yang cukup tinggi antara lain adalah memory products dan consumer electronics. Ekspor produk informasi dan komunikasi mencapai angka sebesar USS 5,79 milyar. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 10.25% (USS 540 juta) bila dibandingkan dengan nilai pada periode yang sama tahun sebelumnya. Total perdagangan Taiwan dengan Indonesia pada bulan Oktober 2006 mencapai USS 662,87 juta dengan
Secara garis besar, grafik perdagangan Taiwan pada bulan Oktober 2006 dapat dikatakan cukup baik dan tidak terlalu fluktuatif dengan peningkatan yang cukup stabil pada sebagian besar aspek. Gambaran mengenai perkembangan ekonomi Taiwan, tingkat pengangguran di Taiwan mencapai angka terendah dalam 5 (lima) tahun terakhir ini yaitu sebesar 3.84%. Hal ini diperkirakan adanya ekspansi eksportir produk-produk elektronik seperti Powerchip Semiconductor Corp. yang memperoleh pesanan besar terhadap produk mereka, sehingga menciptakan sejumlah kesempatan kerja pada periode tersebut. Perusahaan manufaktur produk memory-chip terbesar di Taiwan, Powerchip Semiconductor, meningkatkan kuantitas produksi mereka pada bulan Oktober dengan mengandalkan ke tiga wafer plants mereka. Ke dua wafer plants lainnya berada dalam tahap konstruksi. Perusahaan yang telah meraup laba sebesar USS 834,50 juta pada tahun 2006 mengharapkan kapasitas produksi mereka pada kuartal pertama tahun 2007 ini meningkat sebesar 18%. Pada bulan Oktober 2006, jumlah pengangguran mengalami penurunan ke angka 413.000 pencari kerja. Angka ini mengalami penurunan bila dibandingkan dengan toEDISI-42/KPI/2007
tal angka pengangguran bulan September 2006, yakni 419.000 orang. GDP Taiwan pada kuartal ke-4 tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 4% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2005 lalu setelah sempat mencapai nilai 4.57% pada kuartal ke-3 lalu. Dilihat dari segi harga barang pada bulan oktober, consumer price index (CPI) mengalami penurunan sebesar 1.19%. Penurunan ini terjadi berkat berkurangnya bencana alam angin topan yang sering melanda Taiwan terutama pada bulan tersebut. Harga sayur-mayur menurun sebesar 26.66%, harga buah-buahan juga menurun sebesar 19.83% dan penurunan rendah sebesar 3.84% terjadi pada harga produk sandang. Kendati demikian, harga perumahan mengalami peningkatan sebesar 1.44%. Dalam bidang investasi, nilai investasi asing mencapai nilai tertinggi tahun 2006 lalu, dengan total nilai mencapai USS 11,23 milyar sampai dengan bulan Oktober 2006 lalu (naik 29%). Komisi Investasi yang berada di bawah naungan Ministry of Economic Affairs (MOEA), telah menyetujui sebanyak 172 proyek investasi dengan total nilai sebesar USS 1,9 milyar pada bulan Oktober 2006. Proyek investasi terbesar pada bulan Oktober 2006 diluncurkan oleh Standard Chartered yang membeli saham Hsin Chu Commercial Bank sebesar USS 1,23 milyar. Sementara itu, beberapa perusahaan Taiwan menginvestasikan modalnya sebesar USS 566 juta di RRC pada bulan Oktober 2006. Pada bulan Oktober 2006 Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Indonesia mengadakan seminar serta pameran investasi di Taipei. Sejumlah perusahaan Taiwan mengutarakan minat mereka untuk berinvestasi di Indonesia melalui ajang tersebut. Nilai investasi tersebut diperkirakan akan mencapai angka USS 10,25 milyar untuk beberapa tahun mendatang. Sekembalinya dari kunjungannya di Taipei, kepala BKPM, Bapak Muhammad Lutfi, mengemukakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berminat untuk menanamkan modal mereka pada sektor-sektor yang berbeda. Di antara perusahaan dimaksud, China Petroleum Co. (CPC) mengutarakan minat mereka untuk menginvestasikan modal sebesar US$ 3,5 milyar pada 2 (dua) kilang minyak dan gas. Formosa International Group tertarik untuk menginvestasikan modal sebesar US$ 500 juta pada proyek pembangkit tenaga listrik. Taiwan Sugar Corp. berencana untuk membangun pabrik pemurnian gula yang diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar USS 250 juta. Nilai investasi Taiwan ke Indonesia dalam setengah tahun pertama tahun 2006 mencapai angka USS 203,7 juta. B. Perdagangan Bilateral dengan Indonesia
Taiwan
1. Nilai perdagangan Indonesia dengan Taiwan pada bulan Oktober 2006 tercatat sebesar USS 662,87 juta atau mengalami penurunan sebesar -5.74% dibandingkan dengan nilai bulan September lalu, atau turun sebesar -11.64% bila dibandingkan dengan nilai bulan Oktober tahun 2005. EDISI-42/KPI/2007
2. Sampai dengan periode JanuariOktober 2006, total perdagangan Indonesia-Taiwan telah mencapai nilai sebesar US$ 6,32 milyar atau naik 9.52% dibandingkan nilai periode yang sama tahun 2005. Indonesia merupakan mitra dagang ke-12 Taiwan-Dunia, dengan pangsa 1,84%. Untuk kelompok negara-negara ASEAN, Indonesia berada pada peringkat ke-4, setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.
2006 tetap menunjukkan angka surplus bagi Indonesia, atau defisit bagi Taiwan, yakni sebesar US$ 259,05 juta. Nilai ini mengalami peningkatan sebesar 2.48% dibandingkan dengan nilai surplus bulan September 2005. Sampai dengan periode JanuariSeptember 2006, neraca perdagangan Indonesia-Taiwan telah mencapai nilai surplus sebesar USS 2,41 milyar, mengalami peningkatan pesat sebesar 30.11% bila dibandingkan dengan nilai periode yang sama tahun sebelumnya.
3. Neraca perdagangan TaiwanIndonesia pada bulan Oktober
TABEL 4: REALISASI PERDAGANGAN TAIWAN DENGAN INDONESIA TAHUN / PERIODE 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005(1-10) 2006(1-10)
TOTAL PRBN NILAI (%) 4,318.5 12.47 5 3,150.00 -27.06 3,589.97 13.97 4,748.7 32.28 4 3,998.01 -15.8 1 4,050.99 1.33 4,435.44 9.49 5,976.51 34.74 5,767.04 26.83 6,316.20 9.52
EKSPOR PRBN NILAI (%) 2,133.8 9.13 4 1,048.91 -50.84 1,298.61 23.81 1,733.67 33.50 1,474.61
-14.94
1,462.85 1,513.93 1,866.33 1,959.20 1,955.43
-0.80 3.49 23.28 16.21 -0.19
Unit: USS juta IMPOR PRBN NERACA NILAI (%) 2,184.71 15.93 (50.86) 2,101.09 2,291.36 3,015.07
-3.83 9.06 31.58
(1.052.18) (992.74) (1.281.41)
2,523.4 -15.31 (1.04879) 0 2,588.14 2.57 (1.12528) 2,921.51 12.88 (1.407.59) 4,110.18 40.69 (2,243.86) 3,807.85 32.26 (2,145.28) 4,360.75 14.52 (2,405.33)
Sumber: Directorate General of Customs, Ministry of Finance, ROC Diolah oleh Bidang Perdagangan. KDEl-Taipei
4. Nilai impor Taiwan dari Indonesia pada bulan Oktober 2006 mencapai nilai USS 460,96 juta, turun -8.08% dibandingkan impor bulan September 2006. Secara kumulatif total impor Taiwan dari Indonesia telah
mencapai nilai US$ 4,36 milyar, mengalami peningkatan sebesar 14.52% dari total impor periode Januari-Oktober 2005. Peranan Indonesia terhadap total impor Taiwan-Dunia adalah sebesar 2,6%. Indonesia berada EDISI-42/KPI/2007
pada pe-ringkat ke-10 terhadap total im-por Taiwan-Dunia dan peringkat ke-3 Taiwan-ASEAN. 5. Sebesar 66.75% dari permintaan impor Taiwan yang berasal dari Indonesia merupakan produk mi-
gas, dengan nilai mencapai USS 2,91 milyar, naik 18.67% dari nilai Januari-Oktober 2005. Pangsa Indonesia terhadap keseluruhan nilai impor migas TaiwanDunia adalah sebesar 9.28%.
TABEL 5: REALISASI EKSPOR-IMPOR MIGAS-NON MIGAS TAIWAN DENGAN INDONESIA Unit: USS jula Growth Deskrips 2005 2006 2001 2002 2003 2004 Rate i Jan-Okt Jan-Okt (%) Total 1,474.56 1,462.78 1,513.93 1,866.32 1,959.20 1,955.45 -0.19 Migas 20.55 10.54 5.79 31.1 276.3 305.02 10.38 EKSPO 4 5 R Non 1,454.01 1,452.24 1,508 14 1,835.18 1,682.85 1,650.43 -1.93 Miga s Total 2,523.36 2,588.11 2,921.51 4,110.18 3,807.85 4,360.76 14.52 Migas 1,388.39 1,436.30 1,577.78 2,474.4 2,452.69 2,910.65 18.67 3 IMPOR Non 1,134.97 1,151.81 1,34373 1,635.75 1,355.16 1,450.11 7.01 Miga s Sumber: Directorate General of Customs, Ministry of Finance, ROC Diolah oleh Bidang Perdagangan. KDEI-Taipei
EDISI-42/KPI/2007
6. Impor utama produk migas Taiwan dari Indonesia dilihat berdasarkan HS 11 digit antara lain adalah: a. Liquefied natural gas (HS No. 27111100003) sebesar USS 1.56 milyar (naik 7%); b. Bituminous coal (HS No. 27011200004) sebesar USS 891,16 juta (naik 10.38%); c. For refining purposes with specific gravity over 0.83 at 20 degree C, more than 3 percent light fraction on distillation up to 150 degree C, and viscosity over 2 degrees engler at 20 degrees C (HS No. 27090010008) sebesar USS 270,03 juta (naik 114.06%); d. Naphtha, mineral (HS No. 27101964009) sebesar USS 99,59 juta (naik 58.81%) dan e. Fuel oil, at 15 degrees C, over 0.93 specific gravity (HS 27101941007) sebesar USS 74,44 juta. 7. Sampai dengan periode JanuariOktober 2006 total impor nonmigas Taiwan-Indonesia telah mencapai nilai US$ 1,45 milyar, naik 7.01% dari nilai tahun lalu. Pangsa Indonesia terhadap total nilai impor utama non-migas Taiwan-Dunia adalah sebesar 1,06%. 8. Produk impor non-migas utama Taiwan dari Indonesia berdasarkan HS 8 digit (tabel 16) adalah: a. Ammonia, anhydrous (liquified ammonia) (HS No. 28141000) sebesar USS 130,44 juta (naik 23.074%); b. Refined copper, cathodes and sections of cathodes,
unwrought (HS No. 74031100) sebesar USS 103,40 juta (naik 49.75%); c. Tin, not alloyed, unwrought (HS No. 80011000) sebesar USS 92,88 juta (naik 52.15%); d. Non-coniferous wood (including strips and friezies forparquet flooring, notassembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, Vjointed, beaded, moulded, rounded or the like) (HS 44092000) sebesarUS$ 61,03 juta (naik 24.36%) dan e. Benzene (HS No. 29022000) sebesar USS 54,34 juta (naik 3080.68%). 9. Ekspor Taiwan ke Indonesia pada bulan Oktober 2006 mencapai nilai sebesar USS 201,91 juta, turun -16.58% dari nilai ekspor bulan September lalu. Sampai dengan periode JanuariOktober 2006 total eks-por Taiwan ke Indonesia telah mencapai nilai USS 1,96 milyar, mengalami penurunan sebesar -0.19% dibandingkan dengan total ekspor periode JanuariOktober 2005. Pangsa Indonesia terhadap total ekspor TaiwanDunia adalah sebesar 1,11%, menduduki peringkat ke-16 Taiwan-Dunia dan peringkat ke6 Taiwan-ASEAN. 10. Komposisi ekspor utama Taiwan ke Indonesia terdiri dari 84.4% produk non-migas dan 15.6% produk migas. Total ekspor non-migasnya sampai dengan periode JanuariOktober 2006 mencapai nilai USS 1,65 milyar, dan ekspor EDISI-42/KPI/2007
migasnya mencapai nilai USS 30.5,02 juta. 11. Ekspor produk migas Taiwan ke Indonesia yang mengalami peningkatan berdasarkan HS 8 digit adalah: a. Gasoline(HS No. 27101110) USS 277,3 juta, naik 50.18%; b. Kerosene (HS No. 27101920002) sebesar USS 14,78 juta, naik 98.47%; dan c. Lubricating oil (containing mineral oil not less than 70%) (HS 27101951) sebesar USS 8,82 juta, naik 70.15%.
Pada bulan Desember 2006 bidang Perdagangan KDEI-Taipei menerima 10 inquiries dari perusahaan Taiwan yang ingin mengimpor produk-produk dari Indonesia yakni: float glass; scrap drained battery; printing products; fish; stone, marbles, granite; stearic acid, urea; coffee; spices; base oil (SN700/SN500/SN150); dan dry gourami. Sumber: KDEI Taipei Bidang Perdagangan
12. Sedangkan ekspor produk non-migas berdasarkan HS 8 digit antara lain adalah: m. Other hybrid integrated circuits (HS 8546090) sebesar USS 55,15 juta (naik 741.29%); n. Other monolithic integrated circuits (HS No. 85422190) sebesar USS 51,6 juta (naik 0.01%); o. Liquid crystal devices (HS 90138030) sebesar USS 49,14 juta (naik 1205.13%); p. Other dyed woven fabrics, containing 85% or more by weight of textured polyester filaments (HS No. 54075200) sebesar USS 30,58 juta (naik 5.58%) dan q. Other flat-rolled products of iron or non-alloy steel, of a thickness of less than 3 mm, hot-rolled, in coils, containing by weight less than 0.25% of carbon (HS 72083930) sebesar US$ 30,41 juta (naik 31.39%). C. Inquiries EDISI-42/KPI/2007