TANTANGAN IMPLEMENTASI IPA TERPADU DI BERBAGAI NEGARA DAN BERBAGAI UPAYA DALAM MENGATASINYA Avia Riza Dwi Kurnia1, Muslimin Ibrahim2, Wahono Widodo2 1
Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Negeri Malang (UM). JL. Semarang 06 Malang avia.riza,
[email protected] 2 Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Abstract: IPA terpadu telah menjadi program Unesco dan telah dilaksanakan di berbagai negara yang bernaung dalam organisasi itu. Semenjak mulai direncanakan tahun 1969 sampai 3 dekade kemudian, banyak tantangan yang dihadapi berbagai negara dalam menerapkan kebijakan tersebut. Masalah yang umum ditemukan di semua negara adalah ketidaksesuaian latar belakang pendidikan guru dengan tugas mengajarnya. Laporan penelitian dari Banda Aceh-Indonesia, Barbados dan Nigeria menyatakan pengetahuan dan keterampilan guru yang kurang memadai untuk mengajar IPA terpadu. Guru kesulitan menerapkan metode sains atau keterampilan ilmiah untuk mengajarkan IPA sebagai proses, akibat terlalu padatnya kurikulum IPA. Tantangan lain adalah fasilitas laboratorium kurang memadai dan banyak guru tidak terlatih dalam mengajarkan metode ilmiah baik di laboratorium dalam ruang maupun di alam sekitar.
Pendahuluan Konferensi internasional pertama tentang pendidikan IPA terpadu, yang disponsori – salah satunya oleh Unesco, diadakan pada tahun 1968 di Droujba, Bulgaria bekerjasama dengan International Council of Scientific Unions (ICSU), Committee on Teaching of Science (CTS). Setahun setelah konfrensi tersebut, Unesco menindaklanjuti dengan rapat atau pertemuan untuk Planning Meeting For Unesco's Programme In Integrated Science Teaching Unesco atau musyawarah Perencanaan Program Pengajaran IPA Terpadu. Pertemuan diadakan di markas Unesco 17-19 Maret 1969 (Unesco, 1969:2). Sejak awal – ketika melakukan pertemuan untuk perencanaan mengajar IPA terpadu, Unesco menyadari bahwa implementasi IPA terpadu tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan lancar. Oleh karena itu pada Final Report: Summary Planning Meeting For Unesco's Programme In Integrated Science Teaching Unesco, Paris, 17-19 March 1969 dinyatakan bahwa Program Integrasi Sains Unesco mendorong pengembangan bahan ajar yang tepat dan peralatan baik untuk sekolah, perguruan tinggi maupun pelatihan guru. Mendorong percobaan dan pengujian hal tersebut pada skala pilot project, dan mendukung mekanisme yang tepat untuk pengembangan kurikulum yang berkelanjutan. Percobaan berdasarkan kerjasama internasional dapat mengaktifkan data pembanding yang digunakan yang dapat digunakan pada pendekatan yang berbeda. Melalui rekomendasi Unesco, berbagai percobaan untuk membantu anak-anak SD dan SMP untuk belajar sains sudah dilakukan di banyak negara. Berdasarkan percobaan beberapa kondisi diterima secara universal untuk mengajar IPA yang baik, yakni: merangsang dan mengembangkan rasa ingin tahu alami anak-anak, membina sikap bertanya tentang alam, serta mengembangkan sikap dan keterampilan ilmiah. Naskah dalam Bahasa Inggris telah dipresentasikan dalam The 2th International Seminar on Science Education – The 2th ISSE. UNY. 29 Oktober 2016.
164
Permintaan untuk pendidikan terpadu mencapai puncaknya pada tahun 1970 ketika Komite Penasehat AS untuk National Science Foundation merekomendasikan kurikulum dimana sains dan teknologi harus memiliki relevansi terhadap manusia dan sosial masyarakat. Dalam periode yang sama, dua organisasi internasional Unesco dan ICASE memulai pemetaan berkelanjutan dan pengembangan pendidikan IPA terpadu. UNESCO menerbitkan seri laporan"‘New Trends in Integrated Science Teaching“ dan ICASE, the International Council of Associations for Science Education, sebuah asosiasi organisasi guru internasional yang memiliki tujuan mengintegrasikan pendidikan IPA. Pembahasan A. Tantangan Implementasi IPA Terpadu di Berbagai Negara Unesco telah melaksanakan 6 kali pertemuan dan konfrensi untuk membahas sains dan integrasi sains. Laporan Volume VI ini didasarkan pada proses konsultasi Unesco, yang diselenggarakan dalam rangka world wide confrencee di Canberra pada tahun 1988 tentang pendidikan sains dan kualitas hidup, yang diselenggarakan oleh ICASE dan Science Teachers Association (ASTA) Australia. Konsultasi dilakukan 10 tahun setelah konferensi yang diadakan di Univ of Nijmegen Belanda dan dirancang untuk melihat perkembangan dalam pengajaran IPA terpadu selama periode antara untuk menginventarisasi tren dalam pengajaran IPA terpadu, membahas isu penting dan masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan pengajaran IPA terpadu. Prosiding konsultasi, diproduksi untuk Unesco oleh ICASE, meliputi laporan dari daerah dan negara untuk menunjukkan seberapa jauh pengajaran sains terintegrasi telah menyebar di seluruh dunia (Unesco, 1990:4). Secara umum diperoleh pandangan bahwa ada banyak tantangan yang dihadapi dalam mengajar IPA terpadu. Berikut ini diuraikan tantangan implementasi IPA terpadu yang dialami oleh banyak negara. Negara-negara dalam pembahasan ini diurutkan berdasarkan alfabet. Amerika. Harrell (2010) meneliti hambatan yang ditemui pada implementasi kurikulum IPA terpadu dan faktor yang berhubungan dengan kualitas masukan guru: Latar belakang kuliah, nilai IPK, dan nilai ujian guru. Peserta sebanyak 93 guru, dipilih dari pelamar Teacher Quality Grant Project untuk guru sains kelas 8 selama 2 tahun (periode akademik 2005-2006 dan 2006-2007). Fokusnya adalah pada pengetahuan guru yang berkaitan dengan sains kelas 8 di Texas, yang menggunakan kurikulum sains interdisipliner. Interdisipliner IPA terdiri dari topik biologi, kimia, fisika, dan ilmu bumi (Harrel, 2010:145). Ketidaksesuaian latar belakang guru dengan tugas mengajarnya. Temuan Harrel (2010:148-149) menunjukkan ketidaksesuaian bekal pengetahuan guru dengan kurikulum IPA terpadu kelas 8, khususnya di negara bagian Texas. Semakin lama (dari tahun 1987 sampai 2004), latar belakang pengetahuan guru IPA di secondary school di Texas semakin tidak relevan dengan tugas mengajarnya. Berdasarkan hasil dalam studi ini, 26% guru tidak pernah menempuh kuliah kimia, dan 45,7% guru tidak menempuh kuliah fisika. Guru yang tidak menempuh kuliah ilmu bumi sebanyak 48,9%. Selanjutnya Harrel mengutip temuan Monk (1994); prestasi siswa akan lebih baik ketika guru mereka menyelesaikan kuliah setara dengan mayor. Ingersoll (1999) melaporkan bahwa 20% dari semua guru sains yang direkrut tak satu pun mayor maupun minornya terkait dengan tugas mereka mengajar. Temuan Ingersoll sesuai dengan laporan Wirt (2004), yang menemukan bahwa 20% guru sains SMP tidak memegang mayor, minor atau sertifikasi yang sesuai untuk tugas mengajar mereka. Data Statistik Pendidikan (2004) menunjukkan bahwa 17,2% guru SMP tak memiliki sertifikasi maupun mayor dalam sains dan 33,6% guru SMP memegang sertifikasi tanpa mayor dalam sains, meskipun hasil penelitian menunjukkan bahwa sarjana atau gelar sarjana di bidang yang relevan terkait dengan prestasi
165
belajar siswa (Ferguson & Ladd, 1996; Goldhaber & Brewer, 1997; 2000; Rowan, Chiang, & Miller, 1997; Wayne & Youngs, 2003) Untuk mendukung temuannya Harrel (2010:150) mengutip Palmer (1991) yang menyatakan bahwa IPA terpadu membutuhkan 1) guru berkemampuan tinggi, 2) materi pelajaran yang luas dan kaya namun terseleksi dan 3) administrasi yang mendukung inovasi dan eksperimentasi. Namun, ketika guru tidak memiliki latar belakang yang dibutuhkan untuk menerapkan kurikulum, timbul masalah yang cukup besar sehubungan dengan pengembangan pengetahuan siswa. Hasil uji TexEs (Uji Kompetensi Guru di Texas). Kekhawatiran lain yang berkaitan dengan pelaksanaan terpadu kurikulum adalah praktek pembuat kebijakan yang mengatur tugas guru. Struktur tugas guru di Texas memungkinkan seorang individu yang memegang sertifikat yang sekunder sains untuk mengajar sains kelas 8. Tidaklah mengherankan jika diuji, nilai kompetensi guru di bidang yang diajarnya adalah buruk. Tes bagi guru bukanlah fenomena baru di Texas. Tes kompetensi guru dimulai Maret 1986 (Kain & Singleton, 1996). Hasil tes diagnostik (degree 8-12 TexES) diperoleh nilai dengan rentang 13 – 84, di mana 100 adalah skor maksimum. Nilai kelulusan adalah ≥ 70. Dalam penelitian ini, hanya 5 dari 93 peserta lulus ujian diagnostik. Temuan ini meresahkan terutama di negara bagian Texas (Harrel, 2010:157). Persiapan akademik. Tugas untuk mengajar kurikulum terintegrasi mungkin bertentangan dengan keahlian guru (Werner, 1991 dalam Harrel, 2010:149). Guru berasal dari perguruan tinggi dan universitas yang menggunakan bidang tunggal. Beberapa tahun ini kandidat pemegang gelar bidang tunggal meningkat jumlahnya. Hal ini merupakan indikator keselarasan yang buruk antara mengajar tugas dan keberhasilan pelaksanaan kurikulum IPA terpadu. Dengan sedikit pengecualian, Texas college dan program gelar universitas yang terstruktur sebagai disiplin sains utuh. Persiapan akademik merupakan asumsi keberhasilan penghantaran kurikulum terpadu. Meningkatkan pengetahuan konten guru melalui penyelesaian kuliah IPA mungkin lebih baik. Tugas guru untuk memberikan konten di luar bidang keahlian mereka kemungkinan besar tidak akan mempromosikan prestasi siswa. Pelatihan bagi guru dibutuhkan untuk menerapkan kurikulum sains terpadu. Pelatihan seyogyanya juga memfasilitasi kemampuan guru sebagai ahli dalam bidang tertentu. (Harrel, 2010:160). Barbados. Ogunkola dan Samuel (2011:17-18) melaporkan hasil penelitiannya tentang pelaksanaan IPA terpadu di negaranya sebagai berikut. Pada tingkat SD dan SMP, kurikulum baru telah dikembangkan untuk: 1) Mengintegrasikan konsep-konsep sains dengan teknologi dan tema sosial. 2) Penekanan pada pendekatan berbasis inkuiri dalam pembelajaran. Pada tingkat menengah atas, Caribbean Examinations Council (CXC) dan Caribbean Secondary Education Certificate (CSEC) terus merevisi kurikulum sains agar lebih mencerminkan perubahan lingkungan sosial, ekonomi dan teknologi daerah. Meskipun upaya-upaya sudah dilakukan, kinerja dan minat masuk dan jumlah siswa yang mendaftar di Jurusan Sains tidak menggembirakan. Banyak penyelidikan dilakukan, berbagai usulan, rekomendasi, pendekatan dan strategi untuk mengatasinya dikemukakan peneliti dan organisasi terkemuka, namun masalah ini belum terselesaikan. Siswa masih mengeluh IPA terpadu terlalu sulit, atau karena berbagai alasan, pembelajaran sains tidak sesuai dengan kebutuhan siswa. Penelitian dengan metode survey dan wawancara ini menggunakan 200 sampel siswa dan 30 guru yang diambil dari 8 SMP. Sekolah diambil secara purposive selektif dengan 4 kriteria. Indeks kesulitan terendah 6.6 – 38.7% tertinggi. Hasil survey menunjukkan level tersulit (38.7%) adalah materi fisika dan kimia. Level medium (6.67–12.5%) adalah materi biologi dan pengetahuan lingkungan. Johnston (1991 dalam Ogunkola dan Samuel, 2011:19), mengomentari tentang topik IPA terpadu yang sulit. Kesulitan itu mungkin disebabkan oleh 166
kompleksitas ide dan konsep. Materi sains dapat disajikan pada tiga tingkat yang berbeda: 1) Makro dan nyata, 2) mikro, dan 3) representasional atau simbolik. Misalnya konsep 'air'; konsep ini dapat diajarkan di tingkat makro di mana siswa dapat mengamati sifat-sifat air. Hal ini juga dapat diajarkan pada tingkat mikro di mana, misalnya, siswa diajarkan bahwa air terdiri dari molekul hidrogen dan oksigen. Pada tingkat representasi, molekul ini dapat direpresentasikan sebagai simbol H2O. Meskipun sifat spiral kurikulum memungkinkan konsep disajikan secara bertahap dari konkret (tingkat makro) ke abstrak (mikro dan representasional), sangat sering di guru sains harus menggunakan semua tingkat dalam satu pelajaran. Menurut Johnston interaksi tiga tingkat ini dapat menyebabkan aktivitas berlebihan dari memori kerja sehingga menyebabkan kesulitan dalam konseptualisasi berbagai bidang dalam sains. Ogunkola dan Samuel (2011:20) mengutip pernyataan Behar dan Polat (2007) bahwa terlalu banyak istilah dan simbol digunakan dalam konten sains. Siswa tidak mampu menghubungkan istilah-istilah baru dengan struktur kognitif mereka. Hal ini juga dapat menyebabkan informasi yang berlebihan dalam memori kerja. Kesalahan ini menyebabkan kesulitan dalam beberapa topik sains. Terutama jika strategi mengajar yang digunakan oleh guru tidak memadai untuk memfasilitasi perubahan konseptual. Namun, banyak guru menggunakan alasan kurikulum IPA terpadu kelebihan beban untuk menjelaskan ketergantungan mereka pada metode pengajaran yang kurang variatif. Ghana. Sarfo (2013:1) melakukan penelitian April – Mei 2012, di St. Louis College of Education, Kumasi – Ghana. Populasinya adalah 250 guru peserta training setingkat diploma IPA. 100 guru dipilih secara purposive selektif sebagai sampel. Temuan penelitiannya; latar belakang pendidikan di bidang IPA terpadu mempengaruhi praktek mengajar guru. Jika latar belakang IPA terpadu sedikit, maka keterampilan observasi, keterampilan pemecahan masalah dan kemampuan menarik perhatian siswa selama pelajaran IPA terpadu juga rendah. Hal juga dibuktikan dengan buruknya tampilan mereka pada ujian pendidikan dasar IPA terpadu setingkat diploma. Guru yang memiliki latar belakang yang baik dalam IPA terpadu mampu menunjukkan tampilan yang baik dalam hal keterampilan pemecahan masalah. Minat terhadap pelajaran IPA terpadu meningkat dan kualitas keterampilan pengamatan juga bagus. Guru yang memiliki latar belakang yang baik dalam IPA terpadu mendapatkan status yang baik pada diploma yang ditempuhnya. Indonesia. Negara kita telah mengikuti konfrensi Unesco ke 6, yakni world wide confrencee di Canberra pada tahun 1988 tentang pendidikan sains dan kualitas hidup, yang diselenggarakan oleh ICASE dan Science Teachers Association (ASTA) Australia. Data dari Indonesia (Unesco, 1990:38) dalam konfrensi di Canberra antara lain pembelajaran masih didominasi metode ceramah. Murid-murid tidak diberi kesempatan untuk mengekspresikan ide-ide mereka. Namun, sistem/pendekatan baru disebut CBSA (cara belajar mahasiswa aktif) telah diperkenalkan. Melalui CBSA siswa dapat mengekspresikan ide-ide mereka dan lebih mampu mempertahankan apa telah diajarkan. Masalah implemetasi IPA terpadu di Indonesia berdasarkan konfrensi di Canberra Australia, diantaranya: 1) Guru IPA terpadu masih sedikit jumlahnya. Guru yang saat ini mengajar, mempunyai latar belakang yang berbeda dengan tugas mengajarnya. 2) Beberapa layanan pelatihan guru tidak efektif. 3) Beberapa guru tidak terbiasa dengan peralatan laboratorium. 4) Fasilitas penunjang pembelajaran yang kurang memadai. 5) Kebijakan resmi (tentang pendidikan dasar dan menengah) belum berafiliasi terhadap rekomendasi Unesco. Sebagaimana negara – negara lain ada banyak tantangan yang dihadapi baik dalam pelaksanaan IPA terpadu di Indonesia. Jamaludin dkk (2015:23) melakukan penelitian deskriptif menggunakan kuisioner terhadap 10 guru fisika SMP dari 10 sekolah sekecamatan Sojol Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Responden dipilih dari SMP yang memiliki 167
laboratorium IPA dan tidak memiliki laboratorium IPA. Berdasarkan hasil penelitian praktikum menggunakan KIT fisika masih sangat jarang dilakukan. Hal ini disebabkan: 1) Intensitas pelatihan laboratorium untuk guru kurang. 2) Pemahaman guru terhadap konsep dan penggunaan alat laboratorium masih rendah. 3) Guru belum mampu merancang LKS sendiri. 4) Praktikum cukup memakan waktu sedangkan materi IPA cukup padat sehingga guru lebih memilih metode ceramah. 5) Tidak ada laboran yang membantu praktikum. Hasil penelitian terkait terhadap 46 guru IPA SMP di Pekan Baru Riau, diungkapkan oleh Yennita, dkk (2012:1-6). 37% guru IPA berasal Pendidikan Fisika dan 48% berasal dari Pendidikan Biologi. Mata pelajaran IPA (baik fisika maupun biologi) pada sebagian besar sekolah diajarkan oleh guru yang sama. Kualifikasi guru IPA di Pekan Baru kurang sesuai dengan tugas mengajarnya. Bekal pengetahuan guru untuk mengajar IPA masih belum memadai. Hal itu dirasakan terutama oleh guru berlatar belakang Pendidikan Biologi namun harus mengajar fisika. Selanjutnya menurut Yennita dkk (2012) 39% responden mengatakan bahwa pengetahuan praktikum masih kurang. Keterampilan guru IPA fisika menggunakan berbagai peralatan laboratorium masih rendah sebab guru-guru tidak pernah mengikuti pelatihan laboratorium dalam kurun 5 tahun terakhir. Yennita dkk (2012) mengutip hasil penelitian Jeperis (2009) dan Sumintono (2010), sebagai berikut: Guru IPA SMP tidak mempunyai latar belakang pendidikan IPA, alokasi waktu untuk fisika kurang dibandingkan dengan banyaknya materi dan praktikum yang dituntut oleh kurikulum, ruangan yang terbatas, tidak tersedia laboratorium IPA maupun alat-alat praktikum di sekolah, keterampilan laboratorium guru rendah dan pihak sekolah tidak menyediakan laboran. Laporan penelitian berikutnya berasal dari Banda Aceh. Suwarno dan Hidayat (2012:41-45) melakukan penelitian deskriptif melalui angket, wawancara dan observasi terhadap guru IPA SMP seluruh kota Banda Aceh. Guru IPA SMP Negeri di Kota Banda Aceh belum menerapkan pembelajaran IPA terpadu. Berdasarkan hasil pengolahan data ditemukan sejumlah kendala: 1) Sarana belajar seperti laboratorium kurang lengkap, 2) motivasi belajar siswa rendah, 3) buku pelajaran yang menunjang PBM kurang tersedia, 4) kompetensi guru yang kurang memadai, sehingga guru mengalami kesukaran dalam mengaitkan konsep antar subdisiplin dalam IPA, 5) rasio antara guru dan siswa rendah, jumlah siswa melampaui kapasistas kelas, 7) alokasi waktu yang tidak efektif. Jam pelajaran yang tercakup ke dalam bidang kajian IPA berkurang, padahal muatan kurikulum IPA cukup banyak. IPA terpadu belum diterapkan di sekolah disebabkan latar belakang guru yang berbedabeda. Guru sulit untuk beradaptasi dalam pengintegrasian bidang kajian IPA, karena guru berlatar belakang fisika tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk mengajar kimia dan biologi, begitu juga sebaliknya. Pihak sekolah belum melaksanakan pembelajaran IPA terpadu, untuk memperkecil resiko kesalahan pengajaran pada siswa. Nigeria. Ontarigho dan Oruese (2013) mencoba untuk mendalami problematika dalam implementasi IPA terpadu yang dihadapi Nigeria. Penelitian ini dilandasi oleh hasil evaluasi pembelajaran sains di secondary school Nigeria yang memperoleh predikat buruk. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif survey terhadap 10 sekolah dan menganalisis 300 angket yang berhasil diisi responden. Identifikasi pra-penelitian oleh Ontarigho dan Oruese (2013:21) menemukan bahwa sebagian besar guru sama sekali tidak tahu apa itu “IPA terpadu”. Guru merupakan faktor penentu dalam keberhasilan inovasi kurikulum. Tidak layaknya latar belakang guru dalam bidang sains, pengetahuan dan keterampilan guru yang tidak memadai untuk mengajar IPA terpadu merupakan penyebab utama buruknya pembelajaran IPA terpadu di Nigeria. Stake et al (1978:19 dalam Ontarigho dan Oruese, 2013:22 ) menyatakan keberhasilan proses belajar mengajar IPA terpadu sangat tergantung pada apa yang guru yakini, ketahui dan lakukan. 168
Temuan penting dalam penelitian ini adalah; 93% responden memberi tanggapan bahwa guru IPA terpadu tidak memiliki metode mengajar yang memadai. Mengajar sains/IPA terpadu di Nigeria dipercayakan kepada guru-guru yang mayoritas tidak memenuhi syarat untuk mengajar matpel tersebut. 81% responden menginginkan guru meningkatkan metode mengajar di bidang sains. Selain faktor guru, 95% responden menyarankan materi pelajaran juga harus ditinjau ulang karena terlalu banyak hal masuk dalam konten. 91% responden menyarankan keluasan silabus perlu dikurangi, agar materi lebih sesuai bagi siswa. Metode dalam IPA terpadu harus diupayakan untuk menanamkan manfaat praktis dan penerapan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dalam diri siswa. Jika guru tidak mampu menerapkan metode yang diperlukan untuk mengajar mata pelajaran tersebut, maka malpraktik akan segera terjadi. Tujuan pembelajaran seperti keterampilan sosial, open ended inkuiri dan eksperimen untuk melatih inovasi dan memecahkan masalah kehidupan, tidak akan tercapai. Rekomendasi: 1) Pemerintah harus mendorong minat sainstis muda melalui penawaran beasiswa, simposium dan kompetisi IPA. 2) Pelajaran IPA terpadu harus menekankan pentingnya pengamatan, pengujian dan eksperimen sebagai proses sains untuk meningkatkan pemahaman tentang lingkungan hidup, juga harus memperkenalkan berpikir logis dan mendorong bakat ilmiah siswa. 3) Hal yang penting dalam kurikulum IPA terpadu adalah isi pelajaran harus bijaksana dipilih. Materi disusun secara kolaboratif antar guru yang berbeda dan spesialis lainnya dengan hati-hati. 4) Eksperimen berikutnya adalah mengembangkan kurikulum baru yang terintegrasi dan produksi bahan ajar yang diperlukan (Ontorigho dan Oruese, 2013:25). Laporan penelitian berikutnya masih dari negara yang sama, Nigeria. Oludipe (2011:134-145), menguraikan berbagai masalah dalam pelaksanaan IPA terpadu di secondary school Nigeria. Kompleksnya masalah implementasi IPA terpadu. Guru yang berkualitas sedikit, peralatan dan fasilitas untuk mengajar kurang, karya praktis kurang, alokasi waktu untuk IPA terpadu tidak proporsional dan metode pengajaran yang buruk merupakan faktor utama penolakan terhadap pelaksanaan kurikulum IPA terpadu di berbagai tingkat satuan pendidikan. IPA terpadu di tingkat SMP memberikan dasar yang kuat bagi pendidikan sains di tingkat selanjutnya, jika fondasi pengetahuan IPA terpadu tidak baik, siswa tidak akan menunjukkan minat dalam pelajaran sains inti (biologi, kimia dan fisika) di SMA. Padahal Nigeria sedang berupaya meningkatkan jumlah mahasiswa untuk bidang sains. (Afuwape dan Olatoye, 2004 dalam Oludipe, 2011:134). Penataan materi yang kurang baik. Masalah lain yang cukup krusial adalah penataan konsep IPA terpadu dalam kurikulum yang tidak berurutan. Konsep sains seharusnya diajarkan dari mulai dari materi dikenal ke yang tidak diketahui dan dari yang sederhana menuju yang kompleks. Jika hal ini diabaikan siswa akan kesulitan untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan. Hal ini dibuktikan dalam ujian IPA terpadu – JSSCE (Junior Secondary School Sertifikat Examintion). Hasil ujian yang buruk menyebabkan berkembangnya sikap negatif terhadap sains di kalangan siswa. Mereka tidak menunjukkan minat pada biologi, fisika dan kimia di sekolah menengah atas dan program studi sains pada perguruan tinggi negeri. Perencanaan kurikulum IPA terpadu menggunakan pendekatan spiral (atau konsentris). Konsep-konsep yang akan diajarkan dalam pendekatan ini, disusun sedemikian rupa sehingga seluruh materi habis dalam tiga tahun. Urutan ini bersifat progressional dalam hal kedalaman, pelajaran terus dimatangkan selama bertahun-tahun pada jenjang-jenjang berikutnya. Pertanyaannya kemudian, apakah urutan isi kurikulum benar-benar spiral? Temuan isi kurikulum berdasarkan hasil investigasi menunjukkan banyak topik yang harus disajikan secara berjenjang, diberikan langsung di kelas 1 saja, kelas 2 saja atau kelas 3 saja. Misalnya sistem saraf dan sistem reproduksi, tidak diperkenalkan pada tahun ke 2 tiba-tiba disajikan di tahun ke 3. Perencana kurikulum seharusnya memperkenalkan materi itu di tahun ke 2, melalui 169
pendekatan sequencing siswa akan terbantu untuk mendalami topik yang kembali hadir di tahun ke 3. Alokasi waktu yang buruk. Siswa harus memperoleh keterampilan laboratorium dan pengalaman lapangan yang memadai dalam IPA terpadu. Hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman materi, dan dinyatakan dengan jelas dalam silabus. Selain itu pengembang kurikulum juga harus memberikan topik yang memiliki relevansi langsung kepada masyarakat. Dalam kurikulum tidak ada lokasik untuk itu dan tabel alokasi waktu disesaki terlalu banyak mata pelajaran. Pembelajaran tidak memenuhi kaidah sains. Tujuan IPA terpadu dengan demikian tidak pernah tercapai (Oludipe, 2011:138). Strategi pengajaran harus memenuhi kaidah sains. Kurikulum IPA terpadu menekankan pada pembelajaran sains sebagai proses, pencapaian pengetahuan harus berpusat pada anak. Belajar sains sebagai proses bukan merupakan praktik umum dalam mengajar sains di Nigeria. Perencana kurikulum baru, harus menentukan metode pengajaran yang akan diadopsi dalam mengelola materi. Metode yang direkomendasikan adalah: 1. Guided discovery; 2. Gunakan latihan laboratorium (sesuai dengan STAN, 1970); dan 3. Field trip. Guru harus menggunakan strategi pengajaran lain, bukan hanya ceramah dan diizinkan menggunakan strategi yang sesuai. Kegiatan laboratorium penting dalam meningkatkan pemahaman tentang aspek-aspek tertentu dari sifat sains. Kegiatan ini mendorong pengembangan intelektual dan konseptual dalam sains. Khususnya mengembangkan sikap positif terhadap IPA. Kegiatan laboratorium menjadi unsur penting dalam pengembangan kemampuan memecahkan masalah tertentu. Belajar melalui strategi laboratorium memperluas dan memperkuat pembelajaran teoritis. Alam adalah guru besar IPA; mengajak siswa ke lapangan akan memberikan pengalaman kontekstual tentang organisme-organisme di lingkungan mereka. Pengalaman lapangan tersebut sangat dianjurkan, jika kerja ilmiah tidak memungkinkan dalam batas-batas laboratorium (Oludipe, 2011:139-140). Masalah guru IPA terpadu. Guru tetap satu-satunya harapan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPA terpadu di sekolah dasar dan menengah. Tapi kenyataannya, Nigeria berada dalam kondisi kekurangan guru. Guru IPA terpadu yang ada sebagian besar belum berpengalaman, tidak terlatih dan dalam beberapa kasus, tidak memenuhi syarat untuk pekerjaan yang mereka lakukan (Oludipe, 1997 dalam Oludipe, 2011:141). Langkah-langkah yang harus diambil untuk meningkatkan kualitas guru: 1) Seleksi dan perekrutan yang lebih baik. 2) Melanjutkan pendidikan guru melalui progran inservice (pelatihan). 3) Pendidikan yang lebih baik di lembaga pelatihan guru. 4) Memagangkan guru muda dengan guru yang lebih berpengalaman selama pelatihan. Rekomendasi. 1) Alokasi waktu untuk IPA terpadu harus ditingkatkan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan mengamati, melakukan percobaan, berdiskusi, berhipotesis dan menarik kesimpulan. 2) Guru wajib mengikuti ketentuan kurikulum, mengajak siswa melakukan kunjungan lapangan dan wisata. 3) Pemerintah federal dan kementerian pendidikan harus memastikan bahwa setiap guru IPA terpadu menghadiri minimal satu lokakarya atau seminar setiap tahun. Selain itu, pelatihan inservice untuk guru IPA terpadu harus disetujui wajar tanpa pengecualian. 4) Eksperimen maupun penyelidikan berfungsi sebagai pilar pendidikan IPA modern. Ini tidak dapat dicapai tanpa kegiatan laboratorium yang efektif. Oleh karena itu, memiliki laboratorium fungsional dan fasilitas infrastruktur lainnya penting bagi semua sekolah. 5) Terakhir pemerintah federal dan negara harus meningkatkan kesejahteraan guru, meningkatkan status profesi guru dan menyediakan insentif yang sesuai. Hal ini akan mendorong generasi muda menjadi guru IPA terpadu yang berpengalaman dan berdedikasi. Turki. Evagorou et al (2013:69) - Evagorou, EM (Univ of Nicosia Turkey), Guven, D & Mugaloglu, E (Bogacizi Univ Istambul Turkey) berpartisipasi dalam sebuah proyek yang didanai oleh the European Community and the Life Long Learning Programme. Proyek itu 170
diikuti oleh 7 negara eropa untuk mengembangkan kurikulum program preservice for elementary and middle school. Program tersebut diberi nama Everyday Science untuk mendidik calon guru SD dan SMP agar dapat mengajarkan SSI - socio-scientific issues. Analisis awal kurikulum dari Siprus, Spanyol, Turki, Inggris, Denmark, Rumania, & Prancis mengungkapkan bahwa 7 negara tersebut menekankan literasi sains dalam kebijakan mereka, dan mempertimbangkan pentingnya SSI dalam dokumen reformasi kurikulum mereka. Inggris dan Denmark secara eksplisit mendekati masalah sains melalui topik kontroversial. Negara-negara yang tersisa penekanannya pada penggunaan isu sehari-hari untuk mengajarkan sains, isu yang belum tentu kontroversial (Evagorou et al., 2014:70). Selanjutnya Evagorou et al (2014:70) mengutip pendapat banyak periset tentang SSI: Sains yang menimbulkan dilema politik dan moral dan terlibat dengan isu-isu sosial-ilmiah, memungkinkan siswa untuk memahami relevansi sains untuk kehidupan sehari-hari, mendapatkan wawasan tentang bagaimana orang menggunakan sains dan mengembangkan kapasitas mereka untuk menjadi konsumen informasi ilmiah yang kritis (Kolsto, 2001). Studi tentang SSI dan sains sehari-hari sejauh ini berfokus pada pengambilan keputusan siswa (Ratcliffe, 1996), pemahaman konseptual (Zohar & Nemet, 2002), dan keterlibatan dengan sains untuk kehidupan sehari-hari (Albe, 2008a; Venville & Dawson, 2010). Evagorou et al (2014:71) menjelaskan bahwa berdasarkan identifikasi publikasi penelitian guru tidak mampu membuat hubungan antara sains dan kehidupan sehari-hari. Mereka kesulitan untuk mengkoordinasikan antara data ilmiah dan aspek-aspek sosial dari masalah yang membawa ketidakpastian dalam diskusi (Zeidler, Sadler, Simmons, & Howes 2005 dalam Evagorou et al., 2014:69). SSI tidak secara eksplisit diajarkan dalam sistem pelatihan profesional guru di semua negara peserta. Berdasarkan temuan tersebut dan temuan dari studi yang menjelaskan pentingnya pelatihan guru (Abd-El-Khalick, 2003; Kilinc et al., 2013; Sadler, 2009b; Zeidler, 1997), dirancang kerangka kerja yang akan digunakan sebagai pedoman dalam pengembangan modul SSI untuk mahasiswa calon guru. B. Upaya Mengatasi Tantangan Implementasi IPA Terpadu di Berbagai Negara Amerika. Battarcharyya et al (2013:4) melakukan penelitian longitudinal selama 4 semester untuk melacak kemampuan 41 calon guru sains SD saat mereka mengambil kuliah Metode Sains, sampai prakteknya dalam kelas. Kuliah Metode Sains berfokus pada penggunaan inkuiri untuk praktek mengajar di sekolah. Calon guru harus tenggelam dalam penyelidikan ilmiah selama kuliah untuk memahami keterampilan proses. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah temuan. Salah satunya guru kurang percaya diri dalam mengajar sains (Frey, 2004). Menurut Luehman (2007) jika pelatihan sains hanya berfokus pada pengetahuan konten dan pedagogi, tanpa perhatian untuk meningkatkan kepercayaan diri calon guru, mustahil untuk mengubah pengajaran sains sesuai dengan cara yang diinginkan. Efektivitas pengajaran sains ditentukan dengan membandingkan hasil pre dan posttest siswa yang diajar oleh mahasiswa calon guru. Tingkat kepercayaan mengajar sains mereka diukur secara kuantitatif menggunakan Instrumen Keyakinan Efikasi (STEBI – B), caranya dengan membandingkan skor pra dan pasca praktek mengajar sains. Data kualitatif diperoleh dengan observasi kelas, RPP, kuesioner survei dan wawancara open ended terstruktur selama mereka mengajar. Data kuantitatif dan kualitatif ditrangulasi dan dianalisis dengan induksi analitis dan metode komparatif konstan. Hasil penelitian menunjukkan kepercayaan diri mahasiswa calon guru meningkat dalam menerapkan metode inkuiri maupun metode tradisional di kelas mereka. Gain skor meningkat signifikan, terutama untuk kelas tradisional (Battacharyya et al., 2013:21). Masih dari Amerika, Keebaugh et al (2009) menggunakan model problem base learning, untuk melatih mahasiswa melakukan penelitian interdisipliner dengan bantuan ahli dari berbagai bidang. Mereka menggunakan proyek-proyek penelitian yang sedang 171
berlangsung sebagai dasar untuk isi pelajaran. Pengalaman belajar tersebut diwujudkan bentuk mata kuliah Interdiciplinary Research (Leonard, 1991; Stukus 1995; Lawson 1999; Tolman 1999; Dimaculangan 2000; dalam Keebaughet al, 2009:118-120). Dukungan dari instruktur diberikan dalam bentuk pemodelan, pelatihan, tugas yang tertata, pertanyaan dan umpan balik yang relevan. Secara ringkas dalam sesi perkuliahan seorang expert dengan bidang keahlian yang berbeda bergantian menjadi mentor pendamping bagi periset pemula. Selanjutnya, implementasi PBL dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk modul yang berisi tugas-tugas yang kompleks, untuk membantu siswa menemukan dan terlibat dalam masalah, proses pemecahan, mengartikulasikan pemikiran mereka, dan merefleksikan pembelajaran mereka. Untuk mempertahankan kontinuitas, setiap modul berisi (a) struktur yang sama, (b) overlapping content, dan (c) instruksi untuk mentoring siswa. Di akhir semester diharapkan siswa menjadi pemecah masalah dan mampu menjadi peneliti pemula pada beragam bidang yang diminatinya (Keebaughet al, 2009:122). Indonesia. Salah satu cara mengatasi masalah kurangnya pelatihan laboratorium bagi guru, dapat ditanggulangi dengan program pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Salirawati dkk (2010: 3) dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) melakukan kegiatan pelatihan laboratorium berbasis lingkungan di Lab IPA SMPN 1 Yogyakarta. Pelatihan ini diikuti 25 guru IPA SMP. Pelatihan biologi berupa demonstrasi alat sederhana yang mampu menunjukkan bahaya nikotin dalam rokok bagi organ pernafasan. Demonstrasi berikutnya adalah alat yang dirancang untuk menunjukkan terjadinya erosi di dataran tinggi ketika tidak ada tumbuhan di dataran tersebut. Percobaan yang terakhir adalah proses kapilaritas pada batang tumbuhan. Untuk fisika percobaan yang dipilih adalah tentang pengukuran massa jenis zat cair dan simulasi tekanan zat cair. Kedua alat dirancang dari bahan sederhana dan mudah didapat serta dapat menggunakan limbah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk kimia demonstrasi diawali dengan ciri-ciri reaksi kimia; reaksi pembentukan gas dan endapan, perubahan warna dan suhu. Demonstrasi yang lainnya berkaitan dengan atom, ion, dan molekul; sifat senyawa dan campuran; rumus kimia. Seluruh percobaan mampu menarik perhatian semua peserta pelatihan dan mereka dipersilakan mencoba sendiri. Dengan adanya demonstrasi ini, guruguru IPA SMP menjadi yakin bahwa mereka dapat mempraktikannya di sekolah, karena bahan dan alat yang digunakan terbukti sangat mudah didapat dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, peserta pelatihan mengisi lembar angket evaluasi. 100% (25 peserta) menyatakan pelatihan ini sangat bermanfaat untuk mengembangkan praktikum IPA di sekolah masing-masing. Sebanyak 18 peserta (72%) menyatakan termotivasi untuk mencoba merancang percobaan sederhana, 12 peserta (48%) menyatakan memperoleh bekal untuk meningkatkan kualitas pembelajarannya, 10 peserta (40%) menyatakan ingin belajar lebih banyak lagi, sedangkan beberapa peserta (5 peserta/20%) menyatakan bahwa dengan pelatihan ini mereka merasakan betapa kurangnya praktikum yang dilakukan di sekolah selama ini. Masih dari Indonesia, Setiawan dkk (2013:80-88) dari Universitas Sriwijaya (UNSRI) mengadakan program pengabdian kepada masyarakat (PPM), berupa pelatihan praktikum IPA biologi bagi guru SMP di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir Sumetra Selatan. Total peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut berjumlah 13 orang guru IPA dari 5 sekolah yang ada di kecamatan Indralaya Utara. Materi pelatihan adalah teknik pembuatan herbarium, pemantauan kualitas perairan berdasarkan metode biotilik, teknik pembedahan dan identifikasi morfologi dan anatomi ikan, pengenalan dan teknik pembuatan preparat jaringan hewan. Pelatihan bertujuan meningkatkan pemahaman, motivasi, kreatifitas guru dalam merancang, membuat dan menggunakan media pembelajaran yang ada di sekitar untuk kegiatan praktikum IPA-biologi di sekolahnya masingmasing. Kegiatan ini merupakan sebuah contoh, bagaimana memanfaatkan alam sekitar untuk kegiatan ilmiah, mengingat fasilitas laboratorium sekolah kurang memadai. 172
Berdasarkan umpan balik yang diberikan peserta hasilnya 100% atau semua peserta pelatihan mendapatkan hasil yang positif dan sangat antusias mengikuti kegiatan pelatihan. Semua peserta ingin menerapkan hasil yang mereka dapatkan ke sekolahnya masing-masing. Selain menggunakan bahan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan alam sekitar sebagai materi praktikum, banyak penelitian dilakukan untuk mengatasi masalah hambatan praktikum. Salah satunya adalah penggunaan media PhET. Mubarok dan Mulyaningsih (2014:1) melakukan penelitian animasi PhET untuk materi IPA SMP fisika cahaya. Metode eksperimen penting digunakan untuk membuktikan konsep fisika secara nyata kepada siswa. Tujuan penelitian adalah meningkatkan pemahaman siswa. Software dan dapat digunakan untuk memperjelas konsep-konsep fisis atau fenomena yang telah dipraktikumkan Penelitian dilakukan di SMPN 7 Bojonegoro. Kelas pengguna PhET Simulations dan praktikum, hasil belajarnya lebih baik daripada kelas praktikum saja tanpa PhET. PhET sebagai media virtual dapat menjelaskan dan memperlihatkan jalannya sinar yang membentuk suatu bayangan. Sedangkan siswa yang hanya mendapatkan praktikum, hanya melihat bayangan yang dihasilkan sinar (cahaya). Siswa tidak mengetahui dengan jelas jalannya sinar yang membentuk bayangan karena tidak dapat ditangkap oleh mata. Selain itu, media PhET dapat digunakan sebagai umpan balik untuk mengecek pemahaman siswa setelah melakukan praktikum. Sehingga hasil pembelajaran menjadi lebih maksimal. Salah satu cara mengatasi keterbatasan peralatan laboratorium fisika SMP adalah dengan mengembangkan media pembelajaran. Penelitian oleh Henlenti dkk (2014:57-59) adalah salah satu contohnya. Henleti dkk mengembangkan laboratorium virtual pada materi Optika kelas VIII dengan Kompetensi Dasar 3.11 yaitu Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya, pembentukan bayangan, serta aplikasinya untuk menjelaskan penglihatan manusia, dan prinsip kerja alat optik. Multimedia ini memuat materi dipadu dengan gambar, teks, musik pengiring, animasi, dan suara yang dibuat dalam bentuk flash. Animasi: menentukan fokus pada cermin cekung, cermin cembung, lensa cekung, dan lensa cembung untuk pemahaman materi. Nigeria. Agoro dan Akinsola (2013) atas permintaan NCE – komisi nasional perguruan tinggi kependidikan, melakukan riset berbagai masalah dalam pendidikan guru SD dan SMP. Berdasarkan analisis masalah, dirancang metode Reflectif Reciprocal Peer Tutoring (RRPT). Pengajaran reflektif didasarkan pada konstruktivisme dan metakognisi. Dosen dan mahasiswa mengajar dan belajar di bawah pengawasan rekan-rekan mereka dan mentor atau supervisor universitas yang mengkritik ide-ide mereka. Refleksi, menurut Clarke (2006 dalam Agoro & Akinsola, 2013:4), melibatkan pikiran mahasiswa calon guru sebelum, selama dan sesudah pelajaran. Reciprocal Teaching (RT) adalah metode pembelajaran kooperatif instruksional. Dosen didorong melakukan pengajaran melalui keyakinan metode kolaboratif konstruksi antara mereka dan siswa akan mengarah ke kualitas belajar yang lebih tinggi (Allan, 2003; Akinsola, 2006 dalam Agoro & Akinsola, 2013:4). Mahasiswa calon guru mengambil bagian aktif dalam perencanaan dan tampil sebagai pengajar. Mahasiswa bertukar peran dengan dosen sehingga meningkatkan kepercayaan diri dan tingkat pemahaman mereka. Strategi ini mendorong mahasiswa calon guru untuk merasa nyaman mengekspresikan ide-ide dan pendapat mereka dalam dialog terbuka. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Fantuzzo, King dan Heller (1992), Slavin (1996) Griffin dan Giffin (1997), Fuchs dan Fuchs (2003) dan Mayfield dan Vollmer (2007 dalam Agoro & Akinsola, 2013:9). Turki. Masalah dalam social scientific issues adalah masalah ill-defined (belum memiliki kejelasan), sarat akan nilai-nilai, memiliki kaitan dengan estetika, ekologi, ekonomi, moral, pendidikan, budaya, dan agama yang dibatasi oleh hilangnya pengetahuan. Kemampuan untuk menangani social scientific issues telah diakui sebagai tujuan penting dari pendidikan sains (Sadler, 2009a dalam Evagorou et al., 2014:68).
173
Agar mahasiswa calon guru mampu mengajarkan SSI, Evagorou et al merancang kurikulum perkuliahan dengan bantua modul. Modul pertama Pemanasan Global, dirancang untuk membantu guru preservice memahami sifat masalah SSI. Mahasiswa ditugaskan dengan peran khusus (lingkungan, politisi, produsen mobil, ilmuwan). Mahasiswa harus menggunakan lembar kerja untuk merekam bukti dan sumber informasi. Ilmuwan, aktivis lingkungan dan politisi menyajikan argumen masing-masing. Poster-poster disajikan selama sesi diskusi kelas. Kemudian mereka diminta untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk debat solusi dari peran ditugaskan. Setelah perdebatan peserta merefleksikan sifat masalah yang sedang dibahas, isu-isu lain yang dianggap kontroversial (Evagorou et al., 2014:72). Modul kedua berfokus pada isu kontroversial. Tujuan dari modul ini adalah dua: 1) Membantu calon guru mengenal dan mendalami berbagai strategi pedagogis dalam mengajar SSI. 2) Mendukung mahasiswa calon guru untuk mengidentifikasi masalah yang mungkin tidak disertakan dalam kurikulum nasional secara eksplisit, tetapi memiliki relevansi untuk mengajar isu-isu sosial ilmiah (Evagorou et al., 2014:73). Kesimpulan 1. Hasil riset dari Nigeria, Indonesia, Turki dan Amerika, menunjukkan bahwa penyiapan guru adalah masalah yang sangat penting untuk diperhatikan. Guru membutuhkan pelatihan agar memahami IPA terpadu dan terampil untuk mengajarkannya sesuai kaidah sains. Kemampuan tersebut diperoleh dari pendidikan dan latihan yang relevan dengan bidang yang akan diajarnya. 2. Agar pelaksanaan pembelajaran IPA terpadu berjalan sesuai tujuan kurikulum diperlukan dukungan sarana seperti buku yang menunjang PBM, laboratorium dan alokasi waktu yang sesuai. Terutama agar siswa memperoleh pengalaman bekerja ilmiah (inkuiri). 3. Alur penyajian materi dalam kurikulum kurang tertata sehingga sulit dipahami siswa. Masalah ini diperparah dengan padatnya kurikulum IPA terpadu sehingga menyulitkan guru memilih metode pembelajaran. Guru mengalami dilema, antara mengajar untuk mencapai nilai ujian yang bagus, atau mengajar untuk melatih keterampilan ilmiah (sains sebagai proses dan sikap), berpikir kritis, berpikir kreatif (mampu menyelesaikan masalah dalam kehidupannya). 4. Upaya mengatasi berbagai tantangan dalam pelaksanaan IPA terpadu dilakukan dalam bentuk: a) Disain kurikulum perkuliahan untuk meningkatkan kepercayaan diri calon guru mengajar inkuiri. b) Mengembangkan kemampuan meneliti agar mampu memecahkan masalah dan membimbing siswanya bereksprerimen. c) Mengembangkan metode pembelajaran untuk meningkatkan kepercayaan diri dan tingkat pemahaman konten IPA terpadu calon guru. d) Melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat untuk mengatasi keterbatasan alat dan bahan praktikum. Mengembangkan media atau lab virtual untuk daerah-daerah yang terbatas sarana laboratoriumnya. E) Mendisain kurikulum mata kuliah dan modul untuk membantu guru mengajar social scientific issues. Daftar Pustaka Agoro and Akinsola. (2013). Effectiveness of Reflective Reciprocal Teaching on Pre-Service Teachers’ Achievement and Science Process Skills In Integrated Science. International Journal of Education and Research (IJER) Vol.1 No. 8 August 2013, 1-20. Bhattacharyya, Mead, Junot and Welch. (2013). Effectiveness of Science Method Teaching in Teacher Education: A longitudinal case study. Electronic Journal of Science Education. Vol. 17, No. 2 (2013) (Southwestern University). Evagorou, Guven and Mugaloglu. (2014). Preparing Elementary and Secondary Pre-Service Teachers for Everyday Science. Journal Science Education International Vol. 25, Issue 1, 2014, 68-78. 174
Harrell, Pamela Esprívalo. (2010). Teaching an Integrated Science Curriculum: Linking Teacher Knowledge and Teaching Assignments. Journal Issues in Teacher Education Volume 19, No. 1, Spring 2010, 145-165. Henlenti, Syamsurizal dan Asyhar. (2014). Pengembangan Media Praktikum Laboratorium Virtual untuk Pembelajaran Optika Kelas VIII SMP Negeri 1 Tungkal Ulu. Jurnal EduSains Volume 3 No. 2 Juli 2014, 57-64. Jamaludi, Kade dan Nurjanah. (2015). Analisis Pelaksanaan Praktikum Menggunakan KIT IPA Fisika di SMP Sekecamatan Donggala. Ejournal Pendidikan Fisika Tadulako. Vol.3 No.1 (2015). 23-38. Keebaugh, Darrow, Tan and Jamerson. (2009). Scaffolding the Science: Problem Based Strategies for Teaching Interdisciplinary Undergraduate Researh Methods. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education 2009, Volume 21, Number 1, 118-126. Mubarok dan Mulyaningsih. (2013). Penerapan Pembelajaran Fisika pada Materi Cahaya dengan Media Phet Simulations untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa di SMP. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika (JIPF) Vol. 03 No. 01 Tahun 2014, 76-80 ISSN: 2302-4496. Ogunkola, B J and Samuel. (2011). Science Teachers’ and Students’ Perceived Difficult Topics in the Integrated Science Curriculum of Lower Secondary Schools in Barbados. World Journal of Education Vol. 1, No. 2; October 2011, 17-29. Oludipe, Daniel Idowu. (2011). Developing Nigerian Integrated Science Curriculum. Journal of Soil Science and Environmental Management. Vol. 2(8), pp. 134-145, August 2011 Otarigho and Oruese. (2013). Problems and Prospects of Teaching Integrated Science in Secondary Schools in Warri, Delta State, Nigeria. Te c h n o LEARN: An International Journal of Educational Technology. Techno LEARN: 3 (1): 19-26. June, 2013. Salirawati, Subiantoro dan Pujianto. (2011). Pelatihan Pengembangan Praktikum IPA Berbasis Lingkungan. Jurnal Inotek Volume 15. No.1 Februari 2011, 1-16. Setiawan, Setiawan, Kamal, Nofyan dan Aminasih. (2013). Pelatihan Pengunaan Alat- Alat Laboratorium untuk Meningkatkan Pemahaman Praktikum IPA-Biologi bagi Guru SMP Di Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pengabdian Sriwijaya. Vol.2 No.1 (2014) 80-88. Sarfo, Solomon. (2013). The relation between teacher trainees’ background in science and success in the end of first year first semester integrated science examination (a case study at St. Louis College of Education, Kumasi). Merit Research Journal of Education and Review Vol. 1(2) pp. 050-057, March, 2013. Soewarno, S dan A. Hidayat. (2012). Implementasi Pembelajaran IPA Terpadu di SMP Kota Banda Aceh. Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu. Hal 41-45. Volume 12 No.1 Juli 2012. Stohlmann, Moore, and Roehrig. (2012). Considerations for Teaching Integrated STEM Education. Journal of Pre-College Engineering Education Research (J-PEER): Vol. 2: Iss. 1, Article 4. 2:1 (2012) 28–34 DOI: 10.5703/1288284314653 Unesco. (1990). New Trends in Integrated Science Teaching. Volume VI. 7 Place de Fontenoy, 75700 Paris: Published in 1990 by the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. ISBN 92-3-102665-8. Unesco. (1969). Planning Meeting From Unesco’s Programme in Integrated Science Teaching. Paris: Unesco Archives. Yennita, Sukmawati & Zulirfan. (2012). Hambatan Pelaksanaan Praktikum IPA Fisika yang Dihadapi Guru SMP Negeri di Kota Pekanbaru. Jurnal Pendidikan Universitas Riau. Volume 3 No.1.2012, 1-11.
175