TANTANGAN DAN HARAPAN PENDIDIKAN KEJURUAN DI INDONESIA
“Simposium Guru Dan Tenaga Kependidikan Tahun 2016”
Oleh: JUMAIR RISA, S.Pd
SMK NEGERI 1 SUKAMAJU KABUPATEN LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN 2016 0
A. Pengantar Era persaingan bebas seperti sekarang ini, sesungguhnya bukan mereka yang terkuat atau yang terpandai secara akademis yang bisa bertahan hidup (eksis) di tengah kompetisi itu, melainkan mereka yang memiliki daya adaptasi yang baik. Saat ini Indonesia merupakan bagian dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlangsung sejak awal tahun 2016. MEA merupakan perjanjian di lingkungan negara-negara ASEAN
yang
bertujuan
untuk
mengoptimalkan
potensi
ekonomi,
memfasilitasi pergerakan bisnis dan tenaga kerja, serta mempercepat sektor investasi. Dalam MEA barang, tenaga kerja, dan investasi akan bebas keluar masuk Indonesia. MEA merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pendidikan kejuruan di Indonesia. Oleh karena itu, tagline Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang selama ini didengung-dengungkan, yaitu “SMK Bisa, Siap Kerja, Cerdas dan Kompetitif”, maupun konsep “link and match”, serta Pendidikan Sistem Ganda (PSG) sudah saatnya terejahwantahkan ke dalam program dan praktik pendidikan di SMK secara integralkomprehensip. Pemerintah tidak boleh membuat konsep atau program yang bersifat reaktif belaka, yaitu sekadar menanggapi fenomena sesaat. Hal itu hanya akan membuat langkah pemerintah seolah menjadi pemadam kebakaran semata. Pemerintah akhirnya gagal menyentuh spektrum persoalan yang lebih luas, sehingga langkah penyelesaian yang ditempuh pun hanya bersifat parsial. Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung jawab menjamin keterlaksanaan dan pemenuhan delapan standar nasional pendidikan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 sebagai perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga
Kependidikan,
Standar
Sarana
dan
Prasarana,
Standar
Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan.
1
Standar Nasional Pendidikan tersebut adalah kriteria minimal yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan, tak terkecuali SMK, sebagai jaminan dan parameter pengendalian mutu pendidikan. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan formal vokasional yang bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia (human resources) yang kompeten dalam bidangnya. SMK merupakan penyedia tenaga terampil menengah (middle skilled worker). Lulusan SMK idealnya siap kerja, menguasai keterampilan sesuai dengan kompetensi lulusan yang telah dipersyaratkan, serta memiliki kemampuan adaptasi dan daya saing yang tinggi untuk bekerja di dunia usaha dan dunia industri (DU/DI).
B. Masalah Indonesia merupakan salah satu negara pemasok tenaga kerja ke dunia internasional, dengan jumlah yang cukup besar. Sayang sekali, tenaga kerja yang dipasok Indonesia itu sebagian besarnya merupakan tenaga kerja tidak terampil dan berpendidikan rendah. Karena itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri lebih banyak yang bekerja di sektor rumah tangga dan kurang sekali yang bekerja di sektor yang membutuhkan keahlian dan keterampilan tinggi. Kenyataan menyedihkan itu membuat perlunya kualitas tenaga kerja ditingkatkan, salah satunya melalui pendidikan formal vokasional di SMK. Penambahan jumlah SMK merupakan salah satu jawaban atas permasalahan kurangnya tenaga terampil menengah yang siap kerja. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai serius memprogramkan penambahan jumlah Unit Sekolah Baru (USB) SMK. Pemerintah bahkan menargetkan persentase SMK dan SMA sebesar 60 berbanding 40. Diperkirakan, persentase itu bisa tercapai pada tahun 2019. Kendati demikian, yang menjadi pertanyaan ialah, apakah program tersebut dibarengi dengan upaya penambahan jumlah guru ahli beserta pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan SMK? Di lapangan, 2
setidaknya hingga hari ini, pemerintah belum melakukan langkah nyata terkait pengangkatan guru dan pengadaan sarana prasarana, khususnya bengkel dan laboratorium di SMK-SMK, terutama SMK di daerah-daerah. Kebijakan peningkatan jumlah SMK berjalan tidak paralel dengan ketersediaan guru serta sarana prasarana belajar. Langkah pemerintah melakukan moratorium pengangkatan guru dalam beberapa tahun terakhir, membuat SMK negeri kian krisis guru ahli. Tiap tahun ada saja guru yang memasuki usia pensiun, dan posisi mereka tidak digantikan oleh guru baru, padahal dari tahun ke tahun, jumlah siswa kian meningkat. Menjamurnya pembukaan kompetensi keahlian di seluruh SMK yang tidak melalui analisis yang mendalam dan kontrol ketat dari pihak berwenang, menjadi ancaman tersendiri lantaran adanya ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga pendidik (guru). Banyak kompetensi keahlian yang dibuka tetapi tidak didukung oleh ketersediaan guru yang kompeten. Beberapa kompetensi keahlian bahkan tidak memiliki guru atau calon guru, karena perguruan tinggi (utamanya LPTK sebagai
penyedia
calon
guru)
tidak
membuka
program
studi
bersangkutan. Permasalahan lain yang menjadi tantangan di SMK adalah konsep link and match. Sejauh ini, link and match belum menjadi dasar pijakan dalam membuat kebijakan integral-komprehensip mengenai SMK. Hal itu dibuktikan dengan minimnya, atau bahkan belum adanya DU/DI di Indonesia yang siap dan bersedia bekerja sama dengan SMK (sebagai wujud penerapan konsep link and match) secara konsisten dan berkesinambungan. SMK acapkali terlalu sibuk dengan kompetensi keahlian yang mereka miliki, sementara DU/DI telah mengalami perubahan dan perkembangan sedemikian rupa. Akibatnya, SMK kerap kesulitan mencari DU/DI yang ideal bagi siswa-siswanya yang melakukan Praktik Kerja Industri. Menurut Zainal, “Saat ini masih ada kesenjangan antara maturity level lulusan satuan pendidikan dengan tuntutan kerja di lapangan.
3
Tingkat kelulusan dari satuan pendidikan sangat tinggi, hampir seratus persen lulus, tetapi kompetensi yang mereka miliki tidak sesuai dengan tuntutan dunia kerja” (Zainal, 2015: 17). Lebih lanjut, Zainal menjelaskan bahwa dalam ekosistem standar pendidikan nasional, setiap lulusan satuan pendidikan mestinya memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketetapan standar dan memenuhi tuntutan dari dunia kerja. Untuk kualifikasi diatur dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), sedangkan yang terkait dengan profesi diatur dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2015, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK sebesar 9,05 persen. Terdapat 1,2 juta lulusan SMK yang menganggur pada periode ini. Pada Februari 2016, tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK bertambah menjadi 9,84 persen atau 1,35 juta orang (Kompas, 17 Oktober 2016). Meningkatnya
angka
pengangguran
lulusan
SMK
tersebut
jelas
disebabkan karena mereka tidak memiliki kompetensi yang mumpuni untuk bekerja, sehingga mereka tidak terserap di DU/DI. Kenyataan pahit ini membuat SMK dipandang sebelah mata, tidak bergengsi, bahkan dianggap lebih rendah derajatnya dibanding SMU. Lulusan SMP yang pandai, akhirnya enggan masuk SMK. Kurikulum yang dikembangkan di SMK acapkali tidak sesuai dengan permintaan pasar (demand driven). Ada kesan seolah-olah pasar yang diminta menyesuaikan diri dengan lulusan SMK, bukan sebaliknya, lulusan SMK yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar. Hal ini tentu saja bertentangan dengan logika supply and demand. C. Pembahasan dan Solusi Tidak dapat dipungkiri bahwa MEA memang membawa dampak negatif bagi tenaga kerja dalam negeri, tetapi juga sekaligus membawa peluang besar bagi tenaga kerja kita untuk memajukan dirinya secara ekonomis. Dampak negatif MEA terhadap tenaga kerja kita tentu saja soal
4
makin ketatnya persaingan merebut lapangan kerja dalam negeri, sebab mereka tidak hanya bersaing dengan sesama tenaga kerja dalam negeri, tetapi juga bersaing dengan tenaga kerja asing. Namun dampak positif MEA ialah bahwa tenaga kerja kita juga terbuka aksesnya secara luas di negara-negara ASEAN untuk memperebutkan lapangan kerja di negaranegara itu, tentu dengan bersaing dengan tenaga kerja setempat dan tenaga kerja dari negara lain. Yang celaka ialah ketika tenaga kerja kita selalu gagal bersaing dengan tenaga kerja asing lantaran kompetensi tenaga kerja kita tidak memadai. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia sesungguhnya bisa menjadi jawaban sekaligus solusi atas segala macam permasalahan di SMK. Dalam inpres tersebut, Presiden telah memberikan rincian mengenai tugas dan tanggung jawab masing-masing kementerian, lembaga, dan para gubernur. Persoalannya kemudian ialah mampukah stakeholder terkait menerjemahkan
inpres
tersebut
ke
dalam
program
yang
nyata,
transparan, cepat, dan integral-komprehensif? Inpres yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tersebut merupakan pertanda baik bahwa pemerintah benar-benar serius membenahi dan meningkatkan kualitas SMK. Pemerintah bahkan telah menjalin kerjasama dan belajar pada instansi pendidikan vokasi di luar negeri, seperti Jerman, yang sistem pendidikan vokasinya sudah demikian mapan dan sukses. Jerman sendiri menerapkan konsep Dual Systems pada lembaga pendidikan vokasinya, yakni memadukan secara proporsional antara pembelajaran di kelas (sekolah) dengan pembelajaran langsung (praktik dan magang) di industri. Keberhasilan pendidikan vokasi di Jerman tentu saja karena ada kerjasama yang erat antara pemerintah, lembaga pendidikan vokasi, dan industri. Pengembangan SMK di Indonesia masih menghadapi kendala besar pada sejumlah aspek. Dalam mengembangkan SMK, para pihak perlu
5
memperhatikan dan melakukan evaluasi mendalam terhadap sejumlah persoalan yang masih jadi penghambat bagi berkembangnya SMK. Kebijakan yang diambil seyogianya memperhatikan secara saksama manfaat dan kemungkinan mudharat yang akan ditimbulkan, juga efektifitas
atau
kemungkinan
ketidakefektifitasannya.
Pembukaan
kompetensi keahlian pada SMK, misalnya, seyogianya melalui proses analisis potensi di masing-masing daerah. Pembukaannya pun sebaiknya bukan wewenang sepenuhnya pada sekolah, melainkan harus ada supervisi dan asistensi dari pihak/lembaga yang konsen menjaga mutu pendidikan (yaitu keterlaksanaan delapan standar nasional pendidikan). Dengan demikian diharapkan bahwa kompetensi keahlian tidak tumpang tindih antar SMK, melainkan masing-masing SMK memiliki kompetensi keahlian yang berbeda-beda tapi fokus. Hal ini sekaligus upaya menjaga lulusan/alumni SMK tidak menambah daftar panjang pengangguran karena membludaknya lulusan kompetensi keahlian tertentu. Kompetensi
keahlian
semestinya
dibuka
dan
dikembangkan
berdasarkan DU/DI yang tersedia dan dibutuhkan di daerah sekitar keberadaan SMK, sehingga lulusannya dapat langsung terserap. Mesti ada lembaga yang ditugaskan untuk mengontrol kebutuhan atau pembukaan kompetensi keahlian. Jangan sampai sekolah bersikap serampangan dalam membuka kompetensi keahlian baru, yang justru nantinya akan menambah daftar panjang kompetensi keahlian yang menghasilkan lulusan tetapi tidak memiliki kompetensi, tidak siap kerja apalagi mau bersaing dan beradaptasi di DU/DI, lantaran mereka tidak mendapatkan pelayanan minimal di sekolah. Di lapangan, kerap kali ditemukan pembukaan kompetensi keahlian di sejumlah SMK, dan bahkan USB SMK itu sendiri (baik negeri maupun swasta), yang tidak didasarkan pada kajian yang menyeluruh dan mendalam terhadap kebutuhan dan dukungan sumber daya. Hal semacam ini tentu saja akan berdampak pada kualitas lulusan SMK kelak. Karena itu, pihak berwenang perlu mengambil langkah segera untuk
6
menghentikan sementara atau memoratorium pembukaan kompetensi keahlian baru maupun program USB SMK. Untuk jangka pendek, segala upaya perlu difokuskan terlebih dahulu pada pembenahan SMK yang sudah ada. Perlu
dilakukan
analisis
menyeluruh
terhadap
keberadaan
kompetensi keahlian. Yang tidak sesuai dengan potensi daerah dan belum didukung oleh jumlah guru yang berkompeten dan sarana prasarana utama, sudah saatnya dirasionalisasi. Sebaliknya, bagi SMK dan kompetensi keahlian yang relevan dengan potensi daerah namun masih kekurangan sumber daya, justru harus segera dibenahi. SMK harus dikembangkan berdasarkan bidang keahlian atau bidang pekerjaan yang dibutuhkan oleh pasar. Langkah berikutnya yang harus ditempuh ialah menyempurnakan dan menyelaraskan kurikulum SMK agar kompetensi yang dihasilkannya sesuai (link and match) dengan kebutuhan pengguna lulusan (DU/DI). Salah satu faktor penyebab kurang link and match-nya SMK dengan DU/DI ialah karena minimnya atau bahkan tiadanya komunikasi yang intensif antara pihak SMK dengan pihak DU/DI. SMK jalan dengan alam pikirannya sendiri yang lepas dan tidak terkoneksi dengan perkembangan DU/DI. SMK gamang bahkan tidak mampu menjawab kebutuhan ketenagakerjaan yang kompetensinya berstandar DU/DI. Siswa SMK mestinya mendapat waktu dan pengalaman mengasah kemampuan keahliannya secara proporsional di DU/DI. Program kunjungan industri perlu dilakukan secara rutin oleh siswa-siswa SMK. Selain harus link and match dengan DU/DI, lulusan SMK juga harus link and match dengan perguruan tinggi vokasional (seperti politeknik) maupun perguruan tinggi keguruan (dengan program studi kependidikan vokasional). Siswa SMK yang memiliki kemampuan akademik yang baik, perlu didorong untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi vokasinal. Siswa SMK yang berminat menjadi guru SMK di kemudian hari, juga perlu didorong melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi (program
7
studi) keguruan. Baik perguruan tinggi vokasional maupun perguruan tinggi keguruan harus memfasilitasi dan memberi jalur khusus bagi lulusan SMK untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Kenapa? Karena lulusan SMK kesulitan bersaing dengan lulusan SMU dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, lantaran bidang studi yang diujikan lebih kompatibel dengan kurikulum SMU dibanding kurikulum SMK. Sungguh tidak adil memberikan soal ujian yang sama antara lulusan SMU dengan lulusan SMK. Lulusan SMK yang masuk perguruan tinggi vokasional tentu akan jauh lebih terampil dibanding teman kelasnya yang lulusan SMU, sebab lulusan SMK sudah memperoleh pembelajaran vokasional di SMK. Sementara itu, lulusan SMK yang melanjutkan studi di perguruan tinggi keguruan tentu saja lebih mengerti kebutuhan dan suasana ke-SMK-an ketika kelak mereka menjadi guru SMK, dibanding teman kelasnya yang lulusan SMU. Karena itu, baik perguruan tinggi vokasional maupun perguruan
tinggi
keguruan
(dengan
program
studi
kependidikan
vokasional), mestinya lebih banyak menerima lulusan SMK ketimbang lulusan SMU. Keterbatasan guru ahli di SMK, utamanya di SMK negeri, disebabkan oleh terbatasnya anggaran pemerintah untuk mengangkat guru baru yang berstatus pegawai negeri sipil. Tapi selain karena masalah tersebut, keterbatasan guru juga sesungguhnya disebabkan oleh tiadanya calon guru yang akan direkrut, khususnya untuk kompetensi keahlian tertentu. Perguruan tinggi keguruan harus didorong untuk membuka program-program studi keguruan vokasional, utamanya kompetensi keahlian yang saat ini guru ahlinya masih langka padahal sangat dibutuhkan, seperti dalam bidang pariwisata, ekonomi kreatif, ketahanan pangan, kemaritiman dan lain sebagainya. Memang penyediaan guru ahli di bidang-bidang tersebut akan membutuhkan waktu. Namun sambil menunggu perguruan tinggi keguruan menelurkan guru-guru ahli di bidang-bidang tersebut, ada baiknya pemerintah menempuh cara lain,
8
misalnya merekrut para pelaku bidang-bidang keahlian tersebut yang memenuhi kualifikasi akademik atau kualifikasi tertentu, untuk dididik menjadi guru. Pemerintah tentu tidak perlu kerja keras untuk mendidik mereka dalam bidang keahliannya (sebab mereka memang sudah ahli), hanya saja mereka harus dididik serius dalam aspek pedagogisnya. Baik aspek keahlian maupun aspek pedagogis, merupakan dua hal yang harus dikuasai secara mendalam oleh seorang guru ahli. Terkait kompetensi keahlian di SMK, pemerintah perlu memperketat pemberian izin pembukaan kompetensi keahlian baru di sebuah SMK, baik SMK negeri maupun SMK swasta. Pemerintah tidak boleh mendasarkan penilaiannya soal apakah kompetensi keahlian di sebuah SMK diberi izin atau tidak, hanya berdasar pada pengusulan atau proposal yang diajukan oleh pihak sekolah, melainkan pemerintah harus betul-betul melakukan kajian (baik kajian dokumen maupun kajian lapangan) secara komprehensif. Kalau perlu, pemerintah membuat sebuah badan khusus yang berwenang mengurusi perizinan pembukaan kompetensi keahlian SMK. Dalam rangka pemantapan kompetensi, untuk kompetensi keahlian tertentu, semestinya diberikan kewajiban kepada kementerian/lembaga untuk membina atau membuka SMK. DU/DI juga diberi stimulus atau bahkan kewajiban untuk membuka/membina SMK yang relevan dengan usaha dan industrinya. Pemerintah bahkan dapat membuat kebijakan agar pengelolaan SMK negeri yang sudah ada, yang relevan dengan kementerian/lembaga tertentu atau DU/DI tertentu, diserahkan kepada mereka untuk dibina ataukah dikelola. DU/DI yang membina SMK harus diberi insentif khusus oleh pemerintah, sehingga mereka tidak merasa terbebani atau merasa rugi membina SMK. Kementerian/lembaga tertentu serta DU/DI juga harus memberikan kemudahan akses, selain untuk Praktik Kerja Industri dan program kunjungan industri para siswa SMK, juga untuk program pelatihan bagi guru SMK. Para guru SMK perlu diakrabkan dengan dunia kerja melalui program pelatihan atau kunjungan
9
industri, supaya mereka dapat menyesuaikan pembelajaran mereka di sekolah dengan perkembangan dunia kerja. Terkait pembelajaran Surachim
(2016:
2)
mengungkapkan
bahwa
pembelajaran
dalam
dinamikanya harus mencerminkan upaya yang efektif dalam memenuhi kebutuhan dunia kerja yang berkembang semakin kompetitif, secara terukur dapat mengembangkan keahlian pada bidang yang diampunya. Salah satu persoalan pelik yang dihadapi oleh SMK yang sudah ada ialah pada perkara jumlah dan kompetensi guru yang masih kurang. Dalam menjawab kekurangan tenaga guru produktif di SMK, pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakannya soal alih fungsi guru. Program alih fungsi bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru SMK yang mengampu mata pelajaran adaptif untuk memperoleh kompetensi keahlian tambahan dan mampu menjadi guru mata pelajaran produktif. Program ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan guru produktif di SMK yang kekurangan tenaga pendidik, khususnya untuk bidang-bidang prioritas, yaitu maritim/kelautan, pertanian, ekonomi kreatif, pariwisata, serta teknologi dan rekayasa. Program ini tampaknya positif belaka, namun menimbulkan pertanyaan: apakah program ini benar-benar diperuntukkan untuk menjawab permasalahan kurangnya guru pada bidang atau kompetensi tertentu di SMK, ataukah sekadar siasat bagi problem pemenuhan jumlah jam bagi guru adaptif bersertifikasi yang kekurangan jam? Antara pemenuhan sumber daya guru dengan pemenuhan jumlah jam merupakan dua hal yang berbeda dan terpisah. Jumlah guru mestinya diselesaikan atau dituntaskan melalui rasionalisasi kompetensi keahlian di SMK atau penambahan jumlah guru yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Sementara soal jumlah jam, khususnya bagi guru bersertifikasi, perlu diatur dengan ketentuan yang adil (proporsional) berdasarkan kinerja sang guru. Pertanyaan lain terkait program alih fungsi ini, ialah: apakah nantinya guru alih fungsi benar-benar akan memiliki kompetensi sesuai dengan yang dipersyaratkan? Sebab, jangankan mata pelajaran alih fungsinya
10
kelak, mata pelajaran yang diampu saat ini saja belum tentu ia kuasai sepenuhnya sebagaimana mestinya seorang guru yang profesional. Seorang guru mata pelajaran Fisika, misalnya, tidak akan segampang itu menguasai dan menjadi guru produktif Teknik Mesin yang profesional, hanya melalui diklat Teknik Mesin yang diselenggarakan selama beberapa minggu atau beberapa bulan dalam program alih fungsi. Saat ini saja, menurut data Kemendikbud, jumlah guru SMK yang mengajar sesuai dengan bidang studi keahliannya, atau guru ahli, jumlahnya sangat minim, yakni hanya sebesar 22 persen saja (Kompas, 22 Oktober 2016). Lantas, kenapa pemerintah membuat program mengalih fungsikan guru-guru adaptif itu, sementara 78 persen guru produktif yang sudah ada saja, belum layak disebut guru ahli? Alih fungsi semestinya diarahkan kepada guru yang selama ini telah mengajar di SMK sebagai guru produktif, tetapi tidak sesuai atau tidak linear dengan latar pendidikan S1-nya. Misalnya, latar belakang S1-nya Pendidikan Teknik Otomotif tetapi mengajar Matematika, atau dengan kata lain, latar belakang pendidikannya harusnya mengajar mata pelajaran produktif tetapi sehari-hari yang bersangkutan mengajar bukan mata pelajaran produktif. Guna menindaklanjuti keseriusannya dalam mengembangkan SMK, sudah
saatnya
pemerintah,
melalui
Kemendikbud,
membentuk
lembaga/badan tertentu yang ditugaskan khusus untuk mengurusi SMK. Lembaga/badan ini mengurusi soal perizinan pembukaan USB SMK dan pembukaan kompetensi keahlian, sertifikasi lulusan SMK, penyaluran lulusan
SMK
ke
DU/DI,
menjalin
kerja
sama
antara
dengan
kementerian/lembaga lain dan DU/DI, dan lain-lain. Pemerintah tidak boleh setengah-setengah dan mati langkah dalam mendorong kemajuan SMK. Masih rendahnya keterserapan lulusan SMK di DU/DI perlu dilihat secara komprehensif agar para pihak, juga dapat memberikan tanggapan secara komprehensif pula. Aspek yang diperhatikan oleh DU/DI dalam
11
merekrut tenaga kerja ialah tidak semata-mata aspek hard skills pelamar kerja belaka, melainkan juga aspek soft skills-nya. Karena itu, muatan pendidikan di SMK tidak boleh hanya fokus pada pemberian materi-materi hard skills, tetapi juga harus melengkapinya dengan materi-materi soft skills. Aspek hard skills adalah kemampuan teknis bidang keahlian tertentu, sementara aspek soft skills menyangkut kreatifitas, daya adaptasi, kepribadian, etos kerja, kerjasama, kepemimpinan, komunikasi, dan lain sebagainya. Telah banyak penelitian yang dilakukan yang menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang lebih ditentukan oleh soft skills-nya
daripada
hard
skills-nya.
DU/DI
tentu
saja
berharap
mendapatkan tenaga kerja yang memiliki kemampuan hard skills sekaligus soft skills yang baik. SMK tidak boleh terlampau fokus pada pendidikan bermuatan hard skills dan abai pada pendidikan bermuatan soft skills. SMK harus pandai-pandai membaca apa yang dikehendaki oleh pasar (DU/DI). Tidak jarang DU/DI enggan merekrut tenaga kerja lulusan SMK, karena mereka beranggapan soft skills lulusan SMK tidak cukup mumpuni lantaran, misalnya, tawuran pelajar seringkali melibatkan siswasiswa SMK. D. Kesimpulan dan Harapan Tantangan dan problem yang dihadapi SMK ada yang berkadar berat dan ada yang ringan. Tanggapan yang harus diberikan atas tantangan dan problematika itu, ada yang bersifat jangka pendek dan ada yang jangka panjang. Dari pemaparan tersebut di atas, sejumlah kesimpulan dapat ditarik, yaitu: Pertama, lulusan SMK akan sulit bersaing dalam pasar kerja MEA apabila kompetensinya tidak ditingkatkan, setidak-tidaknya sejajar dengan lulusan sekolah menengah vokasional di negara-negara ASEAN lainnya. Lulusan SMK yang minim kompetensi tidak hanya akan sulit bersaing di luar negeri dalam lingkup MEA, tetapi bahkan juga sulit bersaing di dalam negeri dengan tenaga kerja asing. Arus tenaga kerja asing negara-negara
12
ASEAN tidak mungkin dihalau, sebab hal itu sudah merupakan bagian dari perjanjian MEA. Agar lulusan SMK tidak kalah bersaing di bursa tenaga kerja di luar negeri, serta tidak menjadi penonton di negeri sendiri, maka kualitas SMK (sekolah, guru, dan siswa) harus ditingkatkan. Kedua, ketersediaan guru dan sarana prasarana yang belum memadai, membuat kompetensi lulusan SMK akhirnya sangat minim. Pemerintah menangani kekurangan guru produktif dengan membuat program alih fungsi ataukah fungsi ganda bagi guru-guru adaptif sehingga memiliki kompetensi yang sama dengan guru produktif. Namun demikian, hal ini justru menimbulkan persoalan baru, terutama soal penguasaan materi pelajaran produktif oleh guru yang berlatar belakang adaptif. Program alih fungsi ini juga ditengarai sebagai siasat belaka untuk mengakali kekurangan jam bagi guru adaptif bersertifikasi. Adapun kekurangan sarana dan prasarana SMK, utamanya bengkel dan laboratorium, harus diatasi secara serius oleh pemerintah, mengingat hal tersebut merupakan salah satu penunjang utama proses belajar mengajar di SMK. Ketiga,
kompetensi
keahlian
acapkali
dibuka
tanpa
mempertimbangkan ketersediaan guru dan kebutuhan dunia kerja di daerah setempat. Hal ini berakibat pada rendahnya mutu pengajaran karena keterbatasan guru yang kompeten, serta tidak tersalurkannya lulusan SMK di dunia kerja lantaran tiadanya lapangan kerja di lingkungan sekitarnya yang sesuai dengan kompetensi keahliannya. Karena itu, harus ada analisa atau kajian mendalam sebelum membuka kompetensi keahlian, bahkan sebelum membuka USB SMK, baik SMK negeri maupun SMK swasta. Keempat, SMK belum benar-benar link and match dengan DU/DI, yang berakibat pada rendahnya serapan DU/DI terhadap lulusan SMK. Rendahnya kompetensi lulusan SMK, termasuk juga tidak terkoneksinya dengan pas antara kebutuhan DU/DI dengan kompetensi lulusan SMK, membuat DU/DI kurang berminat merekrut lulusan SMK. Guru-guru SMK
13
kurang akrab dengan DU/DI, sehingga materi pelajaran yang mereka sampaikan di sekolah kurang relevan dengan perkembangan DU/DI. Kelima, SMK dan perguruan tinggi vokasional maupun perguruan tinggi keguruan (dengan program studi kependidikan vokasional), belum memperlihatkan sinergi yang baik. Perguruan-perguruan tinggi tersebut kurang memberikan akses yang mudah bagi lulusan SMK untuk melanjutkan pendidikannya. Sementara itu, perguruan tinggi keguruan belum banyak membuka program studi keguruan vokasional yang dibutuhkan SMK. Salah satu problem yang mengakibatkan kelangkaan guru kompetensi keahlian tertentu di SMK ialah karena guru ahli yang akan direkrut tidak tersedia sebab tidak dihasilkan oleh perguruan tinggi keguruan. Keenam, SMK tidak boleh terlalu berorientasi pada pendidikan yang semata-mata bermuatan hard skills, tetapi juga harus membekali siswasiswanya dengan pendidikan bermuatan soft skills. DU/DI dewasa ini tidak hanya merekrut tenaga kerja berdasarkan kemampuan hard skills semata, tetapi juga sekaligus kemampuan soft skills. Guna menjawab sejumlah persoalan yang membelit SMK, serta untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi SMK dan lulusannya, maka penulis berharap sebagai berikut: Pertama, para pihak diharapkan konsisten dan bersungguh-sungguh mematuhi Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan dalam Rangka Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. Inpres ini sudah cukup ideal, tinggal dilaksanakan saja. Kedua, pemerintah diharapkan melakukan rasionalisasi guru SMK, meningkatkan
anggaran
laboratorium/bengkel),
SMK
(utamanya
memperketat
kontrol
sarana
dan
(pengawasan)
prasarana terhadap
pembukaan USB SMK dan pembukaan kompetensi keahlian, serta merevisi kurikulum SMK agar lebih kompatibel dengan lapangan kerja.
14
Ketiga, pendidikan tinggi vokasional dan pendidikan tinggi keguruan (dengan program kependidikan vokasional) diharapkan agar membuka jalur
khusus
penerimaan
mahasiswa
bagi
lulusan
SMK.
Mengkompetisikan antara lulusan SMU dan lulusan SMK dengan soal ujian yang sama dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru, adalah sangat tidak fair. Keempat, perguruan tinggi keguruan diharapkan agar sesegera mungkin membuka jurusan/program studi keguruan vokasional yang dibutuhkan oleh SMK, utamanya untuk kompetensi keahlian yang langka namun sangat dibutuhkan. Kelima, pihak sekolah diharapkan menjalin komunikasi yang baik dan intens dengan DU/DI, tidak gegabah (serampangan) membuka kompetensi keahlian, serta memperkuat tidak hanya muatan pendidikan hard skills tetapi juga soft skills. Keenam, para guru SMK diharapkan agar kreatif memanfaatkan sumber daya yang ada dalam menyiasati kekurangan sarana dan prasana pembelajaran, meningkatkan wawasan dan kompetensi yang mengikuti kemajuan dan perkembangan DU/DI, serta proaktif berkomunikasi dengan DU/DI. Ketujuh, DU/DI diharapkan bersedia dan mudah menerima siswa praktek kerja industri maupun program kunjungan industri, serius membimbing siswa yang praktek industri di tempat usaha/industrinya, bersedia dan mudah menampung lulusan SMK, serta terbuka menerima komunikasi dengan pihak SMK.
15
E. Daftar Pustaka Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan Dalam Rangkah Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia. Kompas. 17 Oktober. 2016. Jutaan Lulusan SMK Menganggur. ______. 22 Oktober 2016. Mendikbud: Guru SMK yang Sesuai Bidang Studi Hanya 22 Persen. Republika 26 September. 2015. Ini Alasan Kemendikbud Perbanyak Jumlah SMK. Surachim, Ahim. 2016. Efektivitas Pembelajaran Pola Pendidikan Sistem Ganda. Bandung: Alfabeta. Zainal. 2015. Kerjasama BSNP dan Puslitjak Kemdikbud: Penelitian Pencapaian Standar Nasinal Pendidikan. Buletin BSNP Vol. X/No. 3/September 2015(online).(http://bsnp-indonesia.org/wpcontent/uploads/2015/10/Buletin-BSNP-Edisi-3-2015.pdf. diakses 12 Oktober 2016.
16
17