Prosiding SNaPP2014 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590 | EISSN 2303-2472
TANTANGAN DAERAH DALAM UPAYA PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS 1Djulaeka 2Yudi
Widagdo Harimurti 3Makhmud Zulkifli
1
Departemen Hukum Perdata Universitas Trunojoyo Madura Departemen Hukum Pemerintahan Universitas Trunojoyo Madura 3 Departemen Ekonomi Manajemen Universitas Trunojoyo Madura Email:
[email protected]
2
Abstrak. Perlindungan terhadap potensi produk daerah sudah merupakan kebutuhan bagi daerah. Kurangnya pemahaman terhadap pentingnya perlindungan indikasi geografis bagi stakeholders di daerah menjadi salah satu terhambatnya upaya melindungi kekhasan produk yang dimiliki daerah. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui kendala yang dihadapi daerah dalam memberikan perlindungan indikasi geografis, sekaligus menemukan keberadaan lembaga lokal sebagai legal standing bagi daerah. Kata Kunci: pemerintah daerah, indikasi geografis dan legal standing
1.
Pendahuluan
Indikasi geografis merupakan bagian dari hak kekayaan intelektual yang saat ini menjadi bagian dari isu yang digagas oleh Pemerintah kepada tiap daerah untuk memetakan sekaligus dapat memberikan perlindungan terhadap produk daerah yang berpotensi indikasi geografis. Indikasi geografis yang diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis menjelasskan bahwa “ indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.” Keberagaman dan kondisi sumber daya manusia, serta political will pemerintah daerah yang berbeda di tiap daerah membawa pengaruh terhadap eksistensi produk daerah dapat dilindungi indikasi geografis. Pemerintah daerah dalam hal ini adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah berwenang mengurus pemerintahannya sendiri sebagai wujud dari asas otonomi daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan yang pada dasarnya diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 Ayat 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa “Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.” Dalam tataran internasional, indikasi geografis diberikan wadah pengaturan dalam TRIPs (selanjutnya disebut Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) salah satu pengaturan tentang pengertian indikasi geografis sebagaimana Article 22 (1) TRIPs bahwa : “Geographical Indications are, for the purposes of this agreement, Indication which identify a good as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other 259
260 | Djulaeka, et al. characteristic of the good is essentially attributable to its geographical origin. “ Ketentuan ini memberikan batasan bahwa faktor geografis suatu daerah/wilayah tertentu dari suatu negara merupakan unsur penentu dalam membentuk kualitas, reputasi, atau karakteristik tertentu dari suatu barang yang akan memperoleh perlindungan indikasi geografis. Mengingat bahwa indikasi geografis sebagai rezim baru dalam HKI menjadi suatu tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk dalam mengakomodasikan pengaturan dalam skala nasional. Undang-undang Merek Tahun 2001 merupakan dasar pijakan untuk memberikan legalitas bahwa indikasi geografis harus diakui dan produk yang berbasis indikasi geografis harus memperoleh perlindungan hukum sebagai upaya untuk mewujudkan penegakan hukum dalam bidang HKI. 2.
Permasalahan
Dari uraian ini memunculkan isu hukum yang menarik untuk dilakukan penelitian dan kajian ulang yaitu terkait “kesiapan daerah dalam upaya memberikan perlindungan hukum bagi produk unggulan daerah yang berbasis indikasi geografis.” 3.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bertujuan untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi, sehingga dapat menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh sudah mengandung nilai ( Peter Mahmud Marzuki : 2005, h. 35). Pada dasarnya sasaran penelitian hukum adalah norma atau kaedah, bukan peristiwa atau perilaku. Dalam menemukan jawaban dalam penelitian ini digunakan pendekatan antara lain : pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundangundangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan masalah hukum dalam penelitian ini. Dalam kaitan dengan penelitian ini maka akan dilakukan analisis dan telaah terhadap peraturan-peraturan yang berkait dengan HKI, khususnya UU Merek Th. 2001 tentang Merek, PP Indikasi Geografis, serta TRIPs yang memiliki korelasi dengan perlindungan indikasi geografis. Untuk memecahkan isu hukum dalam penelitian ini, maka bahan hukum yang diperlukan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, yang terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki : 2005: h.141-142), yang berkait dengan materi yang menjadi objek dari penelitian ini. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang ditemukan melalui studi kepustakaan, baik berupa buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan jurnal ilmiah, literatur penunjang, ataupun informasi ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
Prosiding Seminar Nasional Penelitiandan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tantangan Daerah Dalam Upaya Perlindungan Indikasi Geografis
4.
|
261
Pembahasan
Indiksi geografis yang memiliki spesifikasi berbeda dengan rezim HKI lainnya, belumlah dipahami oleh masyarakat secara keseluruhan, khususnya yang berada di daerah. Penelitian ini secara khusus di wilayah Kepulauan Madura (baik Kab. Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) menunjukkan bahwa rata-rata pihak stakeholders, khususnya Pemerintah Daerah belum memahami dengan baik pentingnya perlindungan dari indikasi geografis. Sejumlah daerah yang telah mendaftarkan indikasi geografis hanya terbatas beberapa propinsi, misalnya wilayah Jawa Timur masih ada 1 (satu) potensi lokal yang berhasil dilindungi indikasi geografis, yaitu bandeng asap Sidoarjo, dan Jawa Tengah ada 6 (enam) potensi lokal yang dilindungi indikasi geografis yaitu salak Pondoh, carica Dieng, purwaceng Dieng, kopi Arabika Ijen Raung, tembakau srinthil Tumenggung, dan ukir Jepara. Jawa Barat memiliki 4 (empat) produk lokal yang dilindungi indikasi geografis, antara lain : tembakau hitam Sumedang, tembakau mole Sumedang, ubi Cilembu, dan kopi Arabika Java Peanger. Padahal wilayah Indonesia sangat luas dan masih terdapat potensi lokal yang belum tergali di dalam masyarakat untuk dilindungi. Data dari Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa di Indonesia masih ada 24 (dua puluh empat) produk lokal yang dilindungi indikasi geografis (http://www.dgip.go.id/). Perlindungan indikasi geografis yang diatur dalam Undang-undang Merek Tahun 2001 secara jelas merumuskan bahwa indikasi geografis mendapat perlindungan ‘setelah terdaftar’ atas dasar permohonan yang diajukan oleh : a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas : 1) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; 2) Produsen barang hasil pertanian; 3) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau 4) Pedagang yang menjual barang tersebut; b. Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau c. Kelompok konsumen barang tersebut. Ketentuan ini membawa pengaruh pada daerah untuk mempersiapkan diri lebih memahami dan memaknai ketentuan dalam Undang-undang Merek Th. 2001 tersebut, setidaknya mampu untuk melakukan koordinasi dengan jajaran instansi yang dibawah kewenangnya. Keberadaan lembaga lokal yang ada di daerah sebagai pihak yang berhak untuk mendaftarkan produk daerah yang memiliki indikasi geografis mempunyai peran yang sangat penting. Apabila dicermati ketentuan dalam Undang-undang Merek Th. 2001 tersebut di atas menunjukkan bahwa ‘lembaga’ yang ada di daerah dapat diwakili oleh masyarakat secara kolektif yang memang sudah lama mengusahakan produk yang berpotensi indikasi geografis, lembaga yang diberi kewenangan dapat merujuk pada instansi terkait di daerah, misalnya untuk produk lokal yang masuk dalam ranah bidang pertanian tentu akan menjadi kewenangan dinas pertanian untuk memberikan perhatian terhadap potensi yang ada di daerahnya. Dari data yang dapat dicermati dari Ditjen HKI menunjukkan bahwa ‘lembaga’ yang mengajukan pendaftaran indikasi geografis didominasi dari instansi pemerintah, meski ada pula yang diwakili oleh kelompok masyarakat yang menyebutkan dirinya sebagai ‘masyarakat perlindungi indikasi geografis x atau sesuai dengan nama produk dan wilayah yang ada di daerah’. Daerah memiliki peran yang tidak sedikit untuk ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 4, No. 1, Th, 2014
262 | Djulaeka, et al. memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya dengan berbagai program yang mengatasnamakan ‘pengentasan kemiskinan’. Indikasi gografis sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual memiliki potensi secara ekonomi untuk memberikan nilai tambah bagi daerah, dan secara signifikan akan berdampak pada kenaikan harga jual produk yang memperoleh perlindungan indikasi geografis. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh peneliti menunjukkan bahwa ‘konsumen merasa terlindungi apabila produk yang dibeli sudah jelas asal usulnya’. Sama halnya dengan merek, indikasi geografis terwujud dalam bentuk ‘label’ yang melekat pada produk, dan yang membedakan hanya pada sisi kalau merek mengidentifikasikan pada milik perorangan dan privat, sedangkan indikasi geografis merupakan milik bersama dari masyarakat yang ada di daerah. Bagaimana daerah harus memahami tantangan pada masa kini dan masa yang akan datang? Undang-undang Pemerintahan Daerah Th. 2004 secara jelas memberikan wewenang penuh bagi daerah untuk me’manage’ potensi daerah yang memiliki nilai ekonomis, namun pemahaman dari kepala daerah tekait indikasi geografis masih dalam proses berjalan, hal ini dapat dicermati belum seluruh daerah memberikan perlindungan terhadap potensi daerah yang berbasis indikasi geografis. Amanat Undang-undang Pemerintahan Daerah Th. 2004 belum sepenuhnya terwujud, sebagai contoh penelitian sebelumnya yang dilakukan di wilayah Madura menunjukkan bahwa rata-rata instansi di 4 (empat) kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep) belum memahami sepenuhnya tentang perlindungan indikasi geografis dan belum ada program kegiatan yang merujuk pada upaya perlindungan indikasi pada produk lokal yang dimiliki daerah. Produk lokal daerah Madura yang berpotensi indikasi geografis, antara lain : salak dan tali agel di Bangkalan, jambu air camplong di Sampang, tembakau di Pamekasan dan Sumenep dan cabe jamu di Sumenep. Pemerintah Daerah diharapkan siap untuk menghadapi pasar bebas ASEAN tahun 2015. Kerjasama yang baik di antara pemerintah daerah merupakan hal yang dapat digagas untuk dapat menjawab tantangan tahun 2015. Dalam perspentif kepentingan ekonomis, penelitian yang pernah dilakukan oleh Hardwick dan Kretschmer, menunjukkan bahwa perlindungan indikasi geografis sangat baik digunakan sebagai alat (instrument) kebijakkan publik dalam mempercepat perkembangan tehnik produksi, dan pembagian pasar dunia. Sebagaimana studi yang dilakukan oleh Anselm Kamperman Sanders (Anselm Kamperman Sanders: 2005, h.141), dengan meneliti produk Tequila, dengan kesimpulan bahwa : 1. the GI protection may help to create a virtual ‘country’ or ‘regional’ monopoly for a particular brand,…; 2. the GI protection may help to create a segregated market, with the ‘superior’ GI-protected commodity in one part of the market, and ‘inferior’ lower-priced substitutes in another …; and 3. the GI protection may help to create a monopolistically competitive market of many brands, each with own established reputation and GI protection, and each with the others for a share of the world market. Selain memiliki nilai ekonomis, perlindungan indikasi geografis terhadap produk daerah akan memberikan pengaruh pada nama daerah serta menghalangi tindakan persaingan yang tidak sehat dengan memanfaatkan nama suatu daerah. Undang-undang Merek Th. 2001 sudah memberikan rambu terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab sebagaimana ketentuan Pasal 92(1) bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama
Prosiding Seminar Nasional Penelitiandan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora
Tantangan Daerah Dalam Upaya Perlindungan Indikasi Geografis
|
263
pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain ... dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis milik pihak lain ... dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”. Ketentuan Pasal 93 Undang-undang Merek Th 2001 menyebutkan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”. Sedangkan ketentuan Pasal 94 (1) menyebutkan bahwa “Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran”. Esensi dari semua ketentuan yang ada dalam Undang-undang Merek Th. 2001 menunjukkan bahwa perlindungan indikasi geografis memberikan perlindungan bagi produk daerah yang berkarakteristik khas yang tidak dimiliki oleh daerah lain, dan di sisi lainnya perlindungan indikasi geografis memberikan perlindungan kepada konsumen sehingga konsumen terjamin terhadap beredarnya produk lokal yang palsu atau asli tapi palsu. Untuk itu Pemerintah daerah harus memberikan perhatian secara maksimal dan memetakan setiap produk unggulan yang ada di wilayahnya yang berkarakteristik khas dan khusus untuk dilindungi dengan rezim indikasi geografis. Keberadaan lembaga lokal sebagai legal standing dapat terwujud apabila pemerintah daerah sudah memahami esensi dari perlindungan indikasi geografis yang bersifat komunal sehingga masalah dana tidak bukan merupakan penghalang utama namun kebersamaan dan kerjasama diantara instansi terkait dan stakeholders di daerah merupakan satu kunci keberhasilan daerah mengangkat nama harum dan sekaligus memberikan kesejahteraan masyarakat di daerah. Kecenderungan ‘mati suri’nya lembaga di daerah dapat diambil alih oleh instansi terkait dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan daerah secara keseluruhan. 5.
Kesimpulan 1. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat daerah, salah satunya melalui upaya perlindungan terhadap potensi produk unggulan daerah dengan indikasi geografis; 2. Perlindungan indikasi geografis memiliki nilai ekonomis bagi daerah, karena akan memberikan nilai jual yang berbeda dengan produk yang tidak dilindungi indikasi geografis; 3. Perlindungan indikasi geografis memberikan kepastian hukum bagi konsumen, sehingga pemerintah daerah harus memahami dan melaksanakan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Merek Th. 2001.
ISSN 2089-3590, EISSN 2303-2472 | Vol 4, No. 1, Th, 2014
264 | Djulaeka, et al. 6.
Saran 1. Pemerintah daerah harus memaknai secara mendalam tentang esensi dari perlindungan indikasi geografis; 2. Perlu persiapan SDM yang cukup bagi daerah dalam mempersiapkan diri datangnya pasar bebas ASEAN; 3. Perlunya pemerataan dalam pembangunan bidang ekonomi serta keseimbangan dalam manajemen pengelolaan keuangan terkait dengan program pendaftaran dan perlindungan potensi daerah berbasis indikasi geografis.
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal : Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cet. I, Prenada Media, 2005. Sanders, Anselm Kamperman, “Future Solution for Protecting Geographical Indications Worldwide”, Studies in Industrial Property and Copyright Law (IIC Studies), Vol. 25, the Max Planck Institute, Munich, 2005. Peraturan Perundang-undangan : Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis Agreement of Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Sumber Lain : http://www.dgip.go.id/
Prosiding Seminar Nasional Penelitiandan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora