PERLINDUNGAN INDIKASI GEOGRAFIS TERHADAP PRODUK DALAM NEGERI DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN NEGARA LAIN Oleh: Loura Hardjaloka Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email:
[email protected] Abstrak
Perlindungan Indikasi Geografis (IG) atas produk khas Indonesia sifatnya sangat mendesak mengingat kopi toraja dan kopi gayo telah diklaim oleh pihak lain dan diperdagangkan dengan menggunaka merek mereka. Pada prinsipnya, perlindungan IG tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pemegang haknya, tetapi juga memberikan keuntungan bagi tempat produk tersebut dihasilkan. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perlindungan IG di Indonesia dan negara lainnya, upaya menangani kasus pelanggaran IG, dan solusi terhadap kendala pelaksanaan IG di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang bersifat yuridis normatif dapat dijelaskan bahwa perlindungan IG diatur dalam ketentuan merek, seperti Indonesia, Amerika Serikat Perancis, India, Australia, dan lain-lain. Apabila produk khas suatu negara diklaim oleh negara lainnya, maka negara yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan IG melalui WTO atau pengadilan di negara tempat IG didaftarkan. Untuk itu, diharapkan Indonesia meratifikasi Lisbon Agreement sehingga IG yang telah diakui oleh Direktorat Jenderal HKI dapat langsung didaftarkan pada WIPO, sehingga IG dapat dilindungi secara internasional tanpa perlu mendaftarkan IG ke satu per satu negara. Pelaksanaan perlindungan IG di Indonesia masih terdapat kendala yang harus diatasi, seperti tingginya biaya dalam menentukan batas wilayah IG, terbatasnya jumlah tim ahli IG, dan sebagainya. Kata Kunci: perlindungan indikasi geografis, Lisbon Agreement, merek
Abstract
The Protection of Geographical Indications (GI) on a typical Indonesian products was highly urgent. The Toraja coffee and The Gayo coffee had been claimed by the other party outside Indonesia and used the brand to trade their product. Basically, GI protection not only provided commercial benefits to the right holder but also contributed benefit to the GI location. This article aimed to discuss the GI protection in Indonesia and other countries, the efforts to deal with the violation cases of GI and the solutions toward the obstacle of GI implementation in Indonesia. This study used normative approach. The result explained that the GI protection stipulated in the brand regulation, such as in Indonesia, United States of America, France, India, Australia, and others. If the typical product of a particular country was claimed by other country, the aggrieved state could ask for cancellation of GI through the WTO or the courts in the countries where The GI registered. Therefore, Indonesia was expected to ratify the Lisbon Agreement. While the GI had been registered by the General Directorate of IPR, WIPO could also be directly registered it. As the result, The GI could have international protection
1
without registering in each country. Meanwhile, the implementation of GI protection in Indonesia appeared obstacles in high costs of determining the GI boundaries, the limited number of expert teams, etcetera. Keywords: protection of geographical indications, Lisbon Agreement, brand
Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian pendirian Organisasi Perdagangan Dunia yang di dalamnya terdapat ketentuan TRIPs (Trade Related aspects of Intellectual Property Rights) yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan meratifikasi perjanjian tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO, yang telah diundangkan pada tanggal 2 November 1994. 1 Salah satu bentuk perlindungan HKI dalam TRIPs ialah Indikasi Geografis (IG) yang diatur dalam Pasal 22 hingga Pasal 24. Dalam sistem HKI Indonesia, IG menjadi bagian dalam hukum merek. IG ialah konsep HKI yang menunjukkan asal suatu barang terkait dengan kualitas, ciri khas, dan reputasi barang tersebut. Adapun IG menunjukkan hubungan antara barang dan tempat asal barang, kualitas dan karakteristik produk. Kualitas dan karakteristik produk yang dimaksud terkait dengan tempat asal produk dihasilkan. Istilah lain yang dipergunakan untuk melindungi produk dari suatu daerah adalah indikasi asal. Perbedaan antara IG dan indikasi asal adalah indikasi asal hanya menunjukkan asal suatu barang dengan tidak mensyaratkan adanya karakteristik ataupun keunggulan dari barang tersebut. Berbeda dengan IG yang tidak hanya menunjukkan asal suatu barang, namun juga menunjukkan bahwa barang tersebut memiliki karakteristik dan keunggulan dari barang lain yang sejenis.2 Perlindungan IG diberikan terhadap berbagai produk khas Indonesia untuk mencegah didaftarkannya produk Indonesia sebagai merek di luar negeri, seperti yang terjadi pada kasus kopi arabika Toraja yang didaftarkan oleh perusahaan Jepang dan kasus kopi Gayo oleh perusahaan Belanda. Selain kopi, masih ada produk lain khas Indonesia yang perlu dilindungi melalui IG, seperti pala dari kepulauan Banda, Nilam dari Aceh, dan Ikan Bilih dari Danau Singkarak, sebelum diklaim oleh Negara lain. Dengan pendaftaran merek atas produk yang dihasilkan dari tanah Indonesia tersebut, maka tidak dapat diakui sebagai milik Indonesia karena seakan-akan bukan berasal dari Indonesia dan pihak asing yang menikmati keuntungan dari kemasyhuran produk Indonesia. 3 Perlindungan IG tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi pemegang haknya, tetapi juga dapat memberikan keuntungan bagi lingkungan geografis tempat produk tersebut dihasilkan. Melihat pentingnya perlindungan IG atas suatu produk dalam perdagangan, maka tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai (i) perlindungan IG berdasarkan perjanjian multilateral di Indonesia dan beberapa Negara lainnya; (ii) produk-produk khas Indonesia yang perlu diberikan perlindungan IG, kasus-kasus perlindungan IG, dan upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan IG yang telah didaftarkan; dan (iii) kendala pelaksanaan IG di Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjawab permasalahan tersebut. Metode penelitian 1
Sudarmanto, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, (Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 142. 2 Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 1. 3 Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 22.
2
yang digunakan ialah penelitian hukum normatif dengan analisis kualitatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan berupa peraturan perundangundangan, buku, artikel, hasil penelitian, dan pendapat ahli yang berkaitan dengan rumusan permasalahan di atas. Berdasarkan data dan informasi yang sudah diperoleh, akan dilakukan analisis kualitatif, yakni suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang ditemukan dalam praktek dan literatur diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Perlindungan IG: Tinjauan dari Perjanjian Multilateral dan Berbagai Perspektif Negara a. Perlindungan IG Melalui Perjanjian Multilateral Perjanjian multilateral pertama yang mengatur IG ialah Paris Convention for the Protection of Industrial Property tahun 1883 (Paris Convention) yang kemudian diikuti dengan The Madrid Agreement 1891 for the Repression of False or Deceptive Indications of Source of Goods (Madrid Agreement), dan The Lisbon Agreement of 1958 for the Protection of Appellations of Origin (Lisbon Agreement). Dalam perkembangannya, IG menjadi salah satu bagian krusial dalam perdagangan internasional sejak adanya proses negosiasi perjanjian umum tarif dan perdagangan, The General Agreement on Tariffs and Trade, di Montreal tahun 1988. Pada tahun 1994, TRIPs disepakati sebagai bagian dari perjanjian pembentukan WTO dan mengikat mayoritas Negara di dunia yang tergabung dalam WTO. Secara singkat, perlindungan IG dalam perjanjian multilateral sebagai berikut: No. 1.
Perjanjian Paris Convention
2.
Madrid Agreement
3.
Lisbon Agreement
Tabel 1. Perlindungan IG Melalui Perjanjian Internasional Deskripsi Istilah yang dipergunakan pada Paris Convention adalah indikasi sumber (indications of source) atau apelasi asal (appelations of origin) namun tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian istilah tersebut. Paris Convention menentukan bahwa negara-negara peserta konvensi berkewajiban untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang impor yang menggunakan merek dagang ataupun nama dagang, termasuk barang-barang yang menggunakan tanda asal tempat yang tidak benar dan identitas produsen tidak benar baik secara langsung atau tidak secara langsung. Selain mewajibkan negara-negara konvensi untuk melakukan penyitaan, Paris Convention memberikan perlindungan IG berdasarkan ketentuan anti persaingan curang. Pada Pasal 10bis diatur bahwa bahwa untuk terselanggaranya persaingan yang sehat maka produsen barang harus dilindungi dari persaingan tidak sehat dan masyarakat umum harus dilindungi dari informasi yang menyesatkan termasuk tentang asal suatu barang. Lebih lanjut, Pasal 10ter mengatur hak bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi atas pelanggaran dari ketentuan penggunaan tanda yang menyesatkan. Madrid Agreement bertujuan untuk melindungi konsumen dari penggunaan barang dengan indikasi palsu atau menyesatkan. Pada Madrid Agreement istilah yang dipergunakan bukan IG tetapi indikasi asal. Pokok-pokok pengaturan indikasi asal pada Madrid Agreement adalah: (i) Setiap negara peserta akan melakukan penyitaan
atas barang yang terkait dengan indikasi asal yang salah atau menyesatkan; dan (ii) Tiap negara anggota berhak menolak perlindungan terhadap indikasi asal apabila indikasi asal tersebut telah menjadi nama generik atau umum. Akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku untuk produk anggur. 4 Tidak seperti Madrid Agreement yang hanya memberikan perlindungan barang dengan indikasi asal, Lisbon Agreement juga memberikan perlindungan atas jasa. Perjanjian ini memberikan perlindungan lebih kuat terhadap penggunaan nama untuk asal barang dibandingkan kedua perjanjian internasional sebelumnya.5 Perjanjian ini menggunakan istilah apelasi asal yang memiliki pengertian mirip dengan IG sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Lisbon Agreement yakni sebagai penanda yang digunakan suatu barang menunjukkan asal barang tersebut dan kualitas atau karakter khusus barang tersebut karena lingkungan asal barang tersebut. Perlindungan apelasi asal menurut Lisbon Agreement tidak hanya memberikan perlindungan bagi konsumen untuk mencegah penipuan akibat penamaan asal barang yang tidak sesuai tetapi juga
4 Christopher Heath dan Anselm Kamperman (ed.), New Frontiers of Intellectual property Law: IP and Cultural Heritage, Geographical Indications, Enforcement and Overprotection, (Oregon: Hart Publishing,
2005), hlm. 98. 5 UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and Sustainable Development, Resource Book on TRIPs and Development, (New York: Cambridge University Press, 2005), hlm. 273.
3
4.
TRIPs
pada produsen dari berbagai bentuk peniruan. Hal lain yang diatur menurut Lisbon Agreement adalah pendaftaran internasional apelasi asal dilakukan melalui biro internasional di WIPO. Pendaftaran apelasi asal secara internasional yang disebut dengan The Lisbon System dilakukan oleh negara yang didasarkan pada perlindungan apelasi asal di negara asal pendaftar. Berdasarkan Pasal 6, apelasi asal yang telah diberikan perlindungan di suatu negara tidak akan dianggap menjadi nama generik dan tidak dapat dilakukan pendaftaran atas apelasi asal yang telah menjadi nama umum.6 Sehubungan dengan permasalahan antara merek dan apelasi asal yang memakai tanda atau nama yang sama maka Pasal 5 ayat (6) mengatur bahwa merek dengan tanda yang sama dengan apelasi asal yang telah dipergunakan harus diakhiri penggunaannya dalam jangka waktu dua tahun meskipun merek telah didaftarkan terlebih dahulu dan dipergunakan berdasarkan itikad baik sebelum dilakukannya pendaftaran apelasi asal. Lebih lanjut, apelasi asal mendapatkan perlindungan atas merek yang menggunakan tanda yang sama apabila apelasi asal telah terdaftar. Menurut TRIPs, IG adalah tanda yang menunjukkan asal suatu barang atau produk yang memiliki reputasi, karakter khusus atau kualitas yang memiliki keterkaitan dengan wilayah geografis asal barang tersebut. Ketentuan IG pada TRIPs memiliki kesamaan dengan Madrid Agreement yang mengatur secara khusus IG bagi produk minuman anggur dan beralkohol lainnya. Selain itu, TRIPs memiliki ruang lingkup lebih luas dibandingkan dengan Lisbon Agreement karena tidak lagi hanya memberikan perlindungan untuk barang-barang hasil pertanian namun juga barang hasil karya manusia termasuk juga karya seni.7 Lebih lanjut, Pasal 24 ayat (5) TRIPs mengatur apabila terjadi konflik merek yang menggunakan IG maka yang terlebih dahulu didaftarkan adalah yang paling berhak.8
Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber b. Perlindungan IG di Indonesia dan Beberapa Negara Lain Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) TRIPs, Negara anggota WTO wajib melaksanakan ketentuan IG terhadap peraturan nasionalnya. Adapun perlindungan IG oleh Indonesia dan beberapa Negara anggota lainnya melalui peraturan nasionalnya sebagai berikut: 1) Indonesia Indonesia mengatur IG sebagai bagian dari sistem hukum merek sehingga pengaturan IG terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001), yakni pada bagian VIII Pasal 56 hingga Pasal 60, Pasal 92, dan Pasal 93 mengatur tentang ketentuan pidana pelanggaran IG dan indikasi asal. Pengaturan IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengakibatkan berbagai ketentuan dalam sistem merek berlaku juga bagi IG. Ketentuan pelaksana IG diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tentang IG (Perauran Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007) yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran IG. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, IG adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas pada barang yang dihasilkan. Pengertian yang diberikan menurut undang-undang ini menunjukkan bahwa barang dengan IG akan dilekatkan tanda yang menunjukkan daerah asal barang tersebut. Wilayah geografis asal barang yang dilekatkan tanda IG memberikan ciri dan kualitas bagi barang tersebut. Pengertian IG ini mengacu pada pengertian yang ditetapkan oleh TRIPs, walaupun tidak memasukan persyaratan reputasi pada barang dengan IG. IG memiliki perbedaan dengan merek yang mana berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UU15/2001 merek merupakan suatu tanda pada suatu barang yang berfungsi sebagai pembeda atas barang yang sejenis pada kegiatan perdagangan barang atau jasa namun tidak berkaitan dengan karakter khusus, reputasi ataupun kualitas barang termasuk juga tidak menunjukkan asal barang tersebut. Sedangkan IG yang dilekatkan pada suatu barang tidak hanya menjadi pembeda dengan barang yang sejenis, namun juga 6 Daniele Giovanucci, et. al., Guide To Geographical Indications: Linking Products and Their Origins, (Geneva: International Trade Centre, 2009), hlm. 43. 7 Carlos M. Corea dan Abdulqawi A. Yusuf (ed.), Intellectual Property and International Trade: The TRIPs, (Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International BV, 2008), hlm. 165. 8 Lionel Bentley, Intellectual Property Law, (New York: Oxford University Press, 2009), hlm. 977.
4
menunjukkan karakteristik, reputasi atau kualitas barang dan asal barang tersebut.9 Untuk melindungi IG atas suatu produk agar tidak diambil oleh pihak lain, maka Pasal 56 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa IG harus didaftarkan. Adapun pihak yang dapat mengajukan pendaftaran ialah (a) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, yang terdiri atas (i) Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam; (ii) Produsen barang hasil pertanian; (iii) Pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau (iv) Pedagang yang menjual barang tersebut; (b) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau (c) Kelompok konsumen barang tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka perlindungan IG di Indonesia ialah sistem konstitutif yang mensyaratkan adanya pendaftaran untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Pasal ini menunjukkan bahwa IG tidak dapat dimiliki oleh satu orang, namun dimiliki secara kolektif oleh masyarakat penghasil barang IG. Hal tersebut membedakan IG dari tata cara kepemilikan HKI lainnya, seperti merek, paten, hak cipta, desain industri, dan rahasia dagang yang dimiliki secara individual. Masyarakat di daerah IG dapat menunjuk lembaga untuk mewakili mereka untuk mendaftarkan IG. Setiap orang yang menghasilkan suatu barang atau produk dengan IG yang berada di wilayah asal barang IG dapat mempergunakan tanda IG apabila barang yang dihasilkannya sesuai dengan persyaratan pendaftaran IG. Pengaturan penggunaan tanda IG diatur oleh masing-masing lembaga yang mewakili daerah tersebut. Langkah selanjutnya setelah pendaftaran indikasi geografis ialah pengumuman. Tujuan pengumuman permohonan IG ialah agar pihak lain dapat memberikan keberatan atau sanggahan atas pendaftaran IG apabila ada. Apabila pendaftaran diterima, maka perlindungan IG diberikan selama ciri dan/atau kualitas indikasi geografis tersebut masih ada dan sesuai dengan persyaratan saat diajukan pendaftarannya. Adapun pendaftaran IG tidak dapat dilakukan berdasarkan Pasal 56 ayat (4) UU 15/2001 apabila IG (i) Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas, asal sumber, proses pembuatan, dan/atau kegunaannya; dan (ii) Tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi geografis. Lebih lanjut, tidak semua istilah geografis dapat digunakan untuk penamaan suatu barang atau produk. Istilah geografis tidak menunjukkan asal daerah suatu barang dan nama tersebut telah menjadi nama umum/generik maka istilah tersebut, tidak dapat digunakan sebagai penamaan suatu barang. Istilah tersebut juga tidak berfungsi sebagai indikasi geografis.10 Misalnya saja rendang padang tidak dapat didaftarkan sebagai IG karena kata rendang padang telah menjadi umum yang dapat terlihat keberadaannya di setiap kota di Indonesia. Selain itu, nama varietas tanaman atau hewan juga tidak dapat dipergunakan sebagai nama indikasi geogafis seperti padi pandan wangi kecuali ketika didaftarkan ditambahkan letak geografisnya seperti pandan wangi cianjur yang menunjukkan padi dengan varietas padi pandan wangi yang ditanam dari Cianjur. Adapun IG berbeda dengan indikasi asal yang mana berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 bahwa indikasi asal hanya menunjukkan asal suatu barang atau jasa. Dengan demikian, apabila indikasi geografis mensyaratkan adanya hubungan antara barang dengan faktor lingkungan geografis, sehingga memiliki karakter khusus, indikasi asal hanya menunjukkan asal barang tersebut tanpa mensyaratkan barang tersebut memiliki karakter khusus yang berhubungan dengan tempat asal barang tersebut. 9 Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, Perlindungan Indikasi Geografis, Jurnal Media HKI, Vol. VIII, No. 5, Oktober 2010, hlm. 2. 10 Ibid.
5
2) Australia Konsep IG mulai diatur di Australia pada tahun 1993 dan khusus melindungi minuman anggur dan minuman keras. Sebelumnya, di Australia hanya ada Badan Minuman Anggur dan Minuman Keras berdasarkan The Australia Wine and Brandy Corporation Act 1980 yang khusus mengatur mengenai pendaftaran merek oleh perusahaan yang memproduksi minuman anggur. Untuk melaksanakan ketentuan IG, maka pada Januari 1984 dibentuklah Panitia IG yang bertugas menentukan nama-nama dan batas-batas IG di Australia. Panitia ini pula yang akan mengumumkan hasil akhir dari penelitiannya yang berkaitan dengan pendaftaran IG. Adapun perlindungan IG berlaku terhitung sejak tanggal pendaftaran IG tersebut. Lebih lanjut, pihak-pihak yang dapat mengajukan sebagai pemohon IG di wilayah Australia ialah (i) a declared winemakers organization; (ii) a declared wine grape growers organization; (iii) an organization representing winemakers in a state of territory; (iv) an organization representing growers in a state of territory; (v) a winemaker; dan (vi) a grower of wine grapes. Pihak yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, seperti pemalsuan produk sehingga menimbulkan informasi yang tidak sesuai dan membuat sesat dalam masyarakat akan diganjar dengan hukuman penjara 2 (dua) tahun dan denda sebanyak $ 60,000 (enam puluh ribu dollar Australia).11 3) Perancis Perancis merupakan Negara yang pertama kali menggunakan konsep IG dengan menggunakan istilah l’Appelation d’Origine Controlee (AOC). Pengaturan perlindungan IG di Perancis berdasarkan Undang-Undang 94-2 tentang Pengakuan atas Kualitas Produk Pertanian dan Bahan Makanan yang juga mengatur tentang Protected Geographical Indications (PGI), Protected Designation of Origin (PDO) dan Traditional Specialities Guaranteed (TSG) yang diharmonisasikan dengan ketentuan Uni Eropa. Selain itu, Perancis telah meratifikasi berbagai konvensi internasional bidang HKI, seperti Paris
Convention, Madrid Agreement, Madrid Agreement on Marks, Madrid Protocol on Trademarks serta Lisbon Agreement. Selain itu, Perancis ialah salah satu negara anggota WTO yang memiliki kewajiban memenuhi ketentuan TRIPs. Pada tahun 1935, dibentuk lembaga untuk menentukan produk anggur dan minuman beralkohol lainnya, termasuk AOC atau tidak. Pada tahun 1947, lembaga tersebut berubah menjadi Institut Nationale des Appellations d'Origine (INAO). Berdasarkan hukum Perancis, maka kondisi yang menjadi syarat pemberian perlindungan AOC sebagai berikut:12 (i) Adanya kaitan atau hubungan yang jelas antara asal geografis dan karakter produk; (ii) Nama produk diakui oleh keputusan pengadilan atau peraturan-peraturan administratif; dan (iii) Nama produk telah terdaftar pada badan pemerintah INAO. Pada dasarnya perlindungan AOC di Perancis untuk memberikan hak kepada sekelompok produsen penghasil suatu produk pada wilayah tertentu yang telah terdaftar, untuk menggunakan sumber daya dan nama daerah tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Adapun perlindungan AOC di Perancis didasarkan produk AOC memiliki hubungan dengan wilayah produk tersebut dihasilkan dan adanya kewajiban bagi semua pihak yang terlibat untuk menjaga kualitas dari produk AOC tersebut. 11 Tony Battaglene, The Australian Wine Industry Position on Geographical Indications, http://www.wipo.int/meetings/en/2005/geo_pmf/presentations/doc/wipo_geo_pmf_05_battaglene.doc, diakses tanggal 8 Mei 2015). 12 EU-China Project for the Protection of Intellectual Property Rights (IPR2), European Legislation on
Protection of Geographical Indications: Overview of the EU Member States’ Legal Framework for Protection of Geographical Indications, http://www.ipr2.org/storage/European_legislation_on_protection_of_GIs1011.pdf, diakses tanggal 7 Mei 2015.
6
Lebih lanjut, apabila suatu produk telah didaftarkan dan mendapatkan perlindungan AOC, maka nama tersebut tidak menjadi nama umum. Pemegang hak AOC memiliki hak eksklusif untuk melarang pihak lain menggunakan apelasi yang dimilikinya untuk produk lain, baik jenis yang sama atau berlainan, yang menyebabkan kerugian atas reputasi yang dimilikinya atas produk AOC yang telah didaftarkan. Pendaftaran produk AOC diberlakukan sama dengan produk PGI dan PDO. Pendaftar harus membentuk suatu kelompok yang terdiri dari pihak-pihak yang menghasilkan produk AOC atau yang berkaitan dengan produk AOC (syndicat de défense) yang memiliki kewajiban untuk mendaftarkan produk AOC. Permohonan pendaftaran disampaikan kepada INAO yang mana sebelumnya pemohon pendaftaran melakukan konsultasi tentang pendaftaran produknya dengan INAO, dilanjutkan dengan menyampaikan permohonan tersebut kepada Komite Nasional. Lembaga ini yang mengatur tentang AOC di Perancis yang terdiri atas the National Committee for Wines and Sprits, the National Committee for
Dairy Products (cheeses), the National Committee for Agricultural Products dan the National Committee for Protected Geographical Indications. Apabila permohonan tersebut disetujui, maka INAO berkewajiban mengumumkannya di French Journal Official oleh INAO’s National Committee dengan ditandatangani oleh pihak dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan. Produk yang disetujui permohonannya berhak menggunakan label pada produknya sesuai permohonan yang disampaikannya. Proses selanjutnya disampaikan kepada Komisi Eropa untuk mendaftarkan produk tersebut. Disamping memberikan persetujuan, INAO juga berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan pengawasan atas mutu produk AOC tersebut.13 4) Amerika Serikat Sama seperti Indonesia, Amerika Serikat juga menempatkan IG tidak dalam suatu peraturan perundang-undangan khusus, melainkan menjadi bagian dari undang-undang merek, yakni sebagai merek kolektif dan dicantumkan dalam sertifikat merek. 14 Pada dasarnya, ketentuan IG diatur dalam US Trademark Act dan Alcoholic Beverage Labelling Act untuk perlindungan IG terhadap minuman anggur dan beralkohol. Di Amerika Serikat, perlindungan IG diberikan pada barang (hasil pertanian atau industri) dan jasa yang memenuhi ketentuan menurut sistem hukum merek Amerika Serikat, yaitu adanya kaitan antara produk dengan tempat asal produk. Seperti halnya di Indonesia, hukum merek Amerika Serikat menetapkan bahwa tanda yang telah menjadi milik umum tidak dapat didaftarkan sebagai IG. Pemegang hak IG diberikan hak eksklusif untuk mencegah pihak lainnnya menggunakan tanda IG tanpa izinnya. Menurut US Trademark Act, perlindungan IG yang didaftarkan akan diberikan sertifikat merek yang meliputi aspek-aspek yang menunjukkan wilayah, bahan baku, cara pembuatan dan hal lain yang menunjukkan karaker khusus dari barang atau jasa serta barang atau jasa tersebut dihasilkan oleh sekelompok orang atau organisasi. Dengan adanya sertifikat merek dapat diketahui kebenaran dan menjamin aspek yang berkaitan dengan sifat suatu barang atau jasa yang bersumber dari daerah asal. Selain itu, dengan adanya sertifikat merek, maka konsumen mengetahui barang atau jasa yang dibeli atau dipergunakannya telah memenuhi kualitas dan standar-standar yang telah ditetapkannya.15 13 European Commision: The Directorate General for Trade European Commision of the European Comunities, Part II Protection of Geographical Indication in 160 Countries Around the World dalam Geographical Indications and TRIPs: 10 Years Later, A Roadmap for EU GI Holders to Get protection in Other WTO Members, Brussels: The Directorate General for Trade European Commision, 2007, hlm. 427. 14 Ibid. 15 United States Patent and Trademark Office, Geographical Indications in the United States, http://www.uspto.gov/web/offices/dcom/olia/globalip/pdf/gi_system.pdf, diakses tanggal 7 Mei 2015.
7
Selain itu, IG juga dapat dilindungi sebagai merek dagang. Adapun suatu tanda tidak dapat didaftarkan sebagai IG, apabila tanda tersebut tidak menunjukkan asal barang atau jasa. Hal ini dapat menyebabkan konsumen keliru mendapatkan barang tidak sesuai yang diinginkannya. Selain menunjukkan asal barang, tanda yang dipergunakan juga menunjukkan karakter khusus dari barang atau jasa yang menggunakan tanda IG. 5) India Perlindungan IG di India diatur melalui The Geographical Indications of Goods (Registration and Protection) Act 1999 dan The Geographical Indications of Goods (Registration and Protection) Rules 2002. Di India, perlindungan diberikan kepada hasil pertanian, hasil industri, dan kerajinan tangan yang memiliki karakteristik khusus yang terkait dengan wilayah asal barang tersebut dihasilkan. Permohonan pendaftaran IG diajukan oleh sekelompok orang atau organisasi yang mewakili kepentingan penghasil barang pada Kantor IG. Kemudian, Kantor IG akan melakukan pemeriksaan administratif dan substantif sebelum memberikan keputusan perlindungan IG terhadap barang yang diajukan. Pendaftaran IG yang disetujui akan memberikan hak eksklusif bagi pemegangnya selama 10 tahun dan dapat diperpanjang hingga jangka waktu yang tidak terbatas selama IG tersebut masih dipakai. Akan tetapi, pendaftaran IG dapat ditolak oleh pihak yang berwenang, apabila: (i) Berpotensi menyesatkan atau menyebabkan kebingungan publik; (ii) Berlawanan dengan ketentuan hukum yang tengah berlaku; dan (iii) Mengandung sesuatu yang memalukan, mengancam ketentraman masyarakat atau bertentangan dengan moralitas umum. 16 Lebih lanjut, berdasarkan peraturan yang berlaku di India bahwa IG tidak dapat didaftarkan sebagai merek. 2. Produk Indonesia yang Perlu Diberikan Perlindungan IG, Kasus-Kasus Perlindungan IG, dan Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Untuk Membatalkan IG yang Telah Didaftarkan Untuk melindungi berbagai potensi kekayaan alam dan budaya milik Indonesia supaya tidak diakui pihak lain, maka harus mendapatkan perlindungan hukum setelah dilakukan identifikasi atas produk tersebut. Identifikasi produk didasarkan bahwa produk tersebut khas dari Indonesia, telah dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, banyak diperjualbelikan di dalam negeri, dan memiliki potensi untuk dapat meningkatkan ukuran pasar.17 Saat ini masih terdapat beberapa produk kekayaan alam dan budaya Indonesia yang memerlukan perlindungan hukum agar tidak diakui oleh pihak lain, sebagai berikut: No. 1.
2.
Produk Pala dari Kepulauan Banda
Nilam Aceh
Tabel 2. Produk Kekayaan Alam Indonesia yang Perlu Dilindungi Deskripsi Produksi pala Indonesia menguasai 80 % dari produksi pala dunia baik dalam bentuk biji pala, fuli dan pala glondong. Biji dan fuli pala diolah menjadi oleoresin yaitu cairan senyawa minyak atsiri dan resin yang berfungsi sebagai bahan baku industri makanan, bahan pengawet alami, bahan baku obat, dan bahan baku kosmetik. Adapun pala yang memiliki kualitas terbaik di dunia berasal dari Pulau Banda karena memiliki kadar minyak atsiri dan miristisin di atas 10 %. Meskipun demikian, mutu pala Indonesia masih kalah apabila dibandingkan dengan biji pala yang dihasilkan Grenada karena pengolahan pasca panen meskipun biji pala Indonesia sudah diakui kualitasnya sejak dahulu.18 Industri penghasil minyak nilam paling banyak di Aceh dan memiliki kualitas terbaik di dunia. Nilam adalah jenis tanaman semak tropis yang menghasilkan minyak atsiri yang di pasar internasional dikenal sebagai minyak patchouli. Adapun minyak nilam banyak dimanfaatkan
16
Daniele Giovanucci, et. al., Guide To Geographical Indications ….. Op. Cit., hlm. 74. Agus Sardjono, Potensi Ekonomi dan Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklore Indonesia, dalam Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), hlm. 145. 18 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pala, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kemtan, Januari 2012), hlm. 3. 17
8
3.
Ikan Bilih Danau Singkarak
sebagai bahan baku minyak wangi dan dupa. Di pasar internasional harga minyak nilam lebih tinggi dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya. Budidaya tanaman nilam di Aceh mempergunakan sub varietas nilam Tapaktuan di Aceh Selatan, nilam Lhokseumawe (Aceh Utara) dan nilam Sidikalang (Aceh Tamiang). Setiap sub varietas tanaman nilam tersebut memiliki karakteristik fisik dan kandungan kimiawi berbeda-beda. Ketiga sub varietas tersebut memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi dengan nilam Tapaktuan memiliki batang berwarna hijau dan sedikit warna ungu. Nilam Lhokseumawe memiliki tampilan fisik dengan batang berwarna ungu sedangkan nilam Sidikalang memiliki batang berwarna ungu gelap. Adapun kandungan minyak pada varietas tersebut cukup tinggi seperti Tapatuan memiliki kandungan minyak sebesar 28.6935.90%, Lhokseumawe memiliki kandungan sebesar 29.11-34.46%, dan Sidikalang sebesar 30.21-35.20%.19 Danau Singkarak yang terletak di Sumatera Barat ini merupakan habitat ikan bilih, selain hidup juga di Danau Maninjau dan Sungai Amazon. Ikan bilih termasuk jenis ikan konsumsi yang juga diekspor ke Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat. Nilai ekonomi yang tinggi dari ikan bilih mengakibatkan masyarakat sekitar menangkap ikan bilih termasuk telur ikan bilih secara berlebihan sehingga mengancam keberlanjutan populasi ikan bilih di Danau Singkarak. Selain penangkapan yang berlebihan, pembangunan PLTA Singkarak dan pembuangan limbah ke Danau Singkarak mengakibatkan rusaknya ekosistem di Danau Singkarak sehingga berkurangnya populasi ikan bilih Singkarak.20
Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber Selain di Indonesia, Negara lainnya juga memiliki produk geografis unggulan dan dengan berbagai upaya dilakukan untuk melindungi produk-produk geografis unggulan tersebut. Dalam rangka upaya perlindungan tidak jarang banyak kasus perlindungan IG hingga ke tingkat pengadilan. Kasus Champagne Kasus ini berkaitan dengan penggunaan kata champagne untuk merek jenis barang selain minuman anggur. Pada tahun 1984, kata champagne dipergunakan oleh perusahaan Perancis untuk jenis barang tembakau dan pada tahun 1993 kata champagne digunakan untuk parfum. Kedua kasus tersebut akhirnya dibawa ke pengadilan. Menurut Wenger, penggunaan nama geografis yang sudah mempunyai reputasi untuk produk lainnya akan mengakibatkan hal-hal. Pertama, membuat penekanan atas nama yang bergengsi atau nama yang mempunyai reputasi berakibat kehilangan daya tariknya sehingga dapat membahayakan kesan di masyarakat dan kehilangan reputasi. Kedua, menyuburkan tindakan haram dimana pengguna nama yang tidak berhak tersebut menikmati kesan atau reputasi dari barang yang sudah mempunyai reputasi. Ketiga, produk dengan menggunakan nama yang sudah mempunyai reputasi akan mendapatkan pengakuan dari seluruh dunia serta mendapat kesan positif dari pembeli, dan juga membawa dampak tidak meragukan konsumen apabila menjual produk tersebut dengan harga tinggi.21 Fakta dan alasan tersebut di atas menunjukkan bahwa penggunaan suatu nama geografis untuk produk lain selain produk geografis tersebut akan menjatuhkan reputasi dan menyesatkan masyarakat. Kasus Teh Darjeeling Teh Darjeeling22 merupakan salah satu produk IG di India yang cukup terkenal karena kekhasannya yang hanya tumbuh di daerah pegunungan Sadar, Kalimpong, dan 19
Linda Purwaningrat, Kajian Pengaruh Umur dan Bagian Tanaman Nilam (Pogostemon cablin benth) yang Disuling Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam yang Dihasilkan, Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian: Institut Pertanian Bogor, 2008, hlm. 4-10. 20 Ibid. 21 Fabrice Wenger, Protection for Geographical Indication, Makalah disampaikan pada Peringatan Hari Hak kekayaan Intelektual, Jakarta, tanggal 23 April 2001. 22 S. C. Srivastava, Protecting the Geographical Indication for Darjeeling Tea, https://www.wto.org/english/res_e/booksp_e/casestudies_e/case16_e.htm (diakses pada 8 Mei 2015).
9
Kurseong dari Distrik Darjeeling, Bengal Barat, India. Pemerintah India berupaya keras untuk melindungi komoditas ini dari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat menurunkan reputasi atau penggunaan secara tanpa hak. Adapun bentuk upaya perlindungan yang dilakukan oleh Pemerintah India ialah dengan membentuk Tea Borad of India sebagai lembaga pemegang hak atas teh Darjeling dengan ruang lingkup tugas. Pertama, memberikan lisensi kepada setiap lembaga atau orang yang akan menggunakan dan memproduksi teh Darjeeling. Kedua, mengadministrasikan lembaga atau perorangan yang akan menggunakan, memperdagangkan, dan menerima lisensi atas teh Darjeeling. Ketiga, memberikan ijin kepada setiap kembaga atau orang yang akan menggunakan logo Darjeling serta kata Darjeling untuk didaftarkan sebagai merek dagang untuk jenis barang teh. Keempat, memberikan perlindungan penggunaan teh Darjeling diseluru dunia melalui ketentuan-ketentuan internasional yang berlaku dan melalui jalur WTO, serta membuka cabang-cabang di beberapa Negara antara lain Inggris, Jerman, Rusia, Dubai, New York, dan Jepang. Kelima, membantu dan mengembangkan perdagangan teh Darjeeling baik secara nasional maupun internasional. Dengan adanya lembaga tersebut, perlindungan atas teh Darjeeling dapat terjamin keberadaannya. Pendaftaran teh Darjeeling berikut logonya didaftarakan oleh Tea Borad of India Corporation di Amerika Serikat dengan tanggal pendaftaran 2 Januari 1991. Selain pendaftaran tersebut, juga terdapat pendaftaran lain atas kata Darjeeling, yaitu Darjeeling Gardens pada tanggal 31 Mei 1988 atas nama Kraft Inc Corporation Delaware yang juga digunakan untuk jenis teh. Akan tetapi, pada tahun 1994 pendaftaran oleh Kraft Inc dibatalkan karena Pasal 8 Undang-Undang Merek Amerika Serikat mengatur bahwa terdapat persamaan dengan pendaftaran merek milik orang lain/lembaga lain dan mengingat teh Darjeeling merupakan asli dan termasuk dalam produk khas dari India. Kasus Beras Basmati Basmati23 memiliki makna the queen of fragrance or the perfumed one. Adapun tipe beras ini tumbuh di kaki bukit Himalaya sejak ribuan tahun dengan memiliki aroma yang khas dan memiliki biji padi yang panjang. Pada tahun 1997, sebuah perusahaan Amerika Rice Tec Inc melakukan penemuan dan mendaftarkan sebagai paten yang diberi nama the aromatic rice grown outside India Basmati. Penemuan tersebut merupakan metode untuk mengembangan beras Bamati di luar India, namun dengan cita rasa dan aroma yang sama dengan beras Basmati yang berasal dari India. Rice Tec Inc mencoba masuk ke pasar internasional dengan menggunakan merek Kasmati dan Texmati. Adapun dalam kemasannya, Rice Tec Inc tidak hanya menyebutkan aroma Basmati dalam produk tersebut, melainkan juga label Basmati untuk diekspor. Beras merupakan produk andalan utama bagi India dalam menumbuhkan pertumbuhan ekonomi dan telah mengekspor beras tersebut kurang lebih setengah juta ton ke Saudi Arabia, Eropa, dan Amerika. Dengan adanya rekayasa pertanian yang dilakukan oleh Rice Tec Inc tentu merugikan India. Oleh karena itu, pemerintah India memberikan upaya perlindungan dengan membawa kasus ini ke WTO karena apabila dikaitkan dengan ketentuan TRIPs yang mengatur mengenai IG, maka penggunaan kata Basmati merupakan eksklusif berasal dari India sehingga tidak dapat dipergunakan kepada suatu produk yang bukan berasal dari wilayah yang bersangkutan. Kasus Kopi Toraja dan Kopi Gayo 23
Anonim, A Study of The Basmati Case (India-US Basmati Rice Dispute): Geographical Indication
Perspective, http://www.csb.uncw.edu/people/eversp/classes/BLA361/Intl%20Law/Cases/Study%20of%20Basmati%20Ri ce%20Intl%20Case.ssrn.pdf, diakses tanggal 8 Mei 2015).
10
Merek Kopi Toraja telah didaftarkan oleh perusahaan Jepang, Key Coffee Inc. dengan merek Toarco Toraja. Pendaftaran tersebut disertai dengan tulisan kata “TORAJA” dan rumah adat Toraja, Tongkonan. Perusahaan Jepang tersebut mengimpor kopi dari Toraja yang kemudian mengemasnya dengan merek Toarco Toraja. Pendaftaran merek kopi Toraja oleh perusahaan Jepang tersebut dapat merugikan Indonesia. Kerugian akibat pendaftaran merek oleh pihak Key Coffee Inc diantaranya adalah petani dan pengusaha Indonesia tidak dapat mengekspor kopi arabika Toraja dengan merek kopi Toraja walaupun kopi yang dikirimnya berasal dari Toraja.24 Reputasi kopi arabika Toraja sebagai salah satu dari kopi terbaik di dunia juga dapat tercemar yang dapat merugikan petani kopi Toraja. Hal ini dapat terjadi apabila ternyata kopi yang diimpor oleh perusahaan Jepang tersebut bukan kopi asli dari Toraja ataupun dicampur dengan kopi dari daerah lain sehingga tidak murni berasal dari kopi arabika Toraja. Dengan pendaftaran merek tersebut, maka kopi yang dihasilkan dari tanah Indonesia tersebut tidak dapat diakui sebagai milik Indonesia karena seakan-akan bukan berasal dari Indonesia dan pihak asing yang menikmati keuntungan dari kemasyhuran kopi arabika Toraja. Sama seperti kasus kopi Toraja, kopi Gayo yang merupakan kopi khas dan asli dari Nanggroe Aceh Darussalam juga diklaim oleh pihak lain. Perusahaan asal Belanda (Holland Coffe B.V) mengklaim bahwa perusahaan tersebut merupakan pemilik dari hak merek dagang kopi tersebut dan terdaftar di dunia internasional dengan nama Gayo Mountain Coffee. 25 Upaya Hukum Dalam hal terjadi konflik antara merek dan IG, yakni dengan penggunaan tanda yang sama pada suatu produk, maka terdapat dua pendapat dalam rangka penyelesaiannya. Pertama, IG diutamakan dari pada merek. Pendaftaran indikasi geografis mengakibatkan merek yang memiliki persamaan dengan indikasi geografis akan dihentikan pemakaiannya, walaupun merek tersebut telah terdaftar terlebih dahulu daripada pendaftaran IG. 26 Kedua, apabila merek dan IG menggunakan tanda yang sama maka diselesaikan berdasarkan prinsip the first time first in right. Berdasarkan prinsip ini, maka yang mendaftarkan terlebih dahulu, akan mendapatkan perlindungan, baik IG ataupun merek. Pendaftar terlebih dahulu memiliki hak eksklusif mencegah pihak lain menggunakan tanda yang sama. Dengan demikian, banyak pendaftaran internasional IG ditolak karena tanda yang sama telah dipergunakan terlebih dahulu sebagai merek.27 TRIPs sebagai konvensi internasional HKI mengatur ketentuan-ketentuan HKI yang harus dipenuhi oleh negara anggotanya, termasuk ketentuan penyelesaian apabila terjadi konflik atau sengketa HKI. Dalam menangani konflik pada penggunaan merek yang mengandung IG, TRIPs menganut prinsip the first time first in right.28 Berdasarkan Pasal 24 ayat (5) TRIPs, apabila merek dagang terdaftar identik atau serupa dengan IG yang belum dilindungi di negara asal, maka merek dagang tersebut harus tetap dipertahankan sepanjang merek tersebut didaftarkan dengan itikad baik serta memenuhi ketentuan yang berlaku dengan tidak boleh memprasangkakan keabsahan dari pendaftaran merek yang identik atau sama dengan indikasi geografis. Ketentuan ini sering disebut sebagai grandfathering clause. 24 Afrillyana Purba, Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Indonesia, (Bandung: Alumni, 2012), hlm. 278. 25 Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan ….. Loc. Cit. 26 Lennart Schüβler, Protecting ‘Single-Origin Coffee’within the Global Coffee Market: The Role of Geographical Indications and Trademarks, The Estey Centre Journal of International Law and Trade Policy,
Vol. 10, No. 1, 2009, hlm. 162. 27 Dev Gangjee, Quibling Siblings: Conflicts between Trademarks and Geographical Indications, Chicago-Kent Law Review, Vol. 82, No. 2, 2007, hlm. 13. 28 Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual ….. Op. Cit., hlm. 37.
11
Selain itu, Pasal 24 ayat (7) TRIPs juga mengatur apabila merek terdaftar identik dengan IG dan didaftarkan dengan itikad tidak baik, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pelarangan untuk menggunakan atau invalidasi penggunaan merek. Permohonan tersebut harus diajukan dalam waktu lima tahun setelah pemakaian merek dagang dengan IG yang dilindungi diketahui umum di negara anggota tersebut atau setelah tanggal registrasi merek dagang anggota dengan ketentuan merek dagang tersebut telah dipublikasikan sebelum atau pada tanggal tersebut. Dengan demikian, dalam melindungi produk Indonesia yang telah diklaim oleh pihak lain, seperti kopi Toraja dan kopi Gayo, maka Indonesia harus dapat membuktikan bahwa penggunaan merek kedua pihak yang mengklaim atas produk Indonesia tersebut telah beritikad tidak baik yang semata-mata hanya untuk memanfaatkan reputasi dalam rangka menguntungkan bisnisnya. Apabila pembuktian menunjukkan terbuktinya tidak ada itikad baik, maka merek kopi tersebut dapat dibatalkan. Selain mengajukan upaya pembatalan, Indonesia patut mempertimbangkan ratifikasi Lisbon Agreement yang menggunakan istilah apelasi asal sebagai istilah lain IG. Konvensi tersebut memberikan perlindungan internasional bagi apelasi asal paling signifikan sebelum ditandatanganinya TRIPs. Saat ini Indonesia belum menjadi salah satu negara anggota Lisbon Agreement yang berjumlah 27 negara. Secara khusus, Lisbon Agreement memfasilitasi pendaftaran produk apelasi asal yang telah diakui di negara asal ke negara-negara peserta Lisbon Agreement. Perlindungan apelasi asal sesuai Lisbon Agreement ialah produk yang akan didaftarkan harus memenuhi persyaratan, yaitu penamaan tempat asal harus diakui dan dilindungi di negara asal terlebih dahulu. Berdasarkan Pasal 5 Lisbon Agreement, pendaftaran internasional apelasi asal dilakukan oleh negara yang bersangkutan, tidak dilakukan oleh individu ataupun kelompok yang diajukan kepada Biro Internasional WIPO di Geneva. Biro Internasional WIPO kemudian akan mengumumkan pendaftaran tersebut di negara-negara anggota. Setiap negara anggota berhak menolak pendaftaran apelasi asal di negaranya dan penolakan tersebut disampaikan pada jangka waktu yang ditetapkan. Selain mempermudah pendaftaran internasional atas produk apelasi asal, Lisbon Agreement memberikan perlindungan bagi apelasi asal atas penggunaan tanda apelasi asal oleh pihak-pihak yang tidak berhak di negara-negara anggota Lisbon Agreement (Pasal 5 ayat (4) Lisbon Agreement). Ketentuan penyelesaian sengketa pengunaan merek yang mengandung apelasi asal yang sama pada Lisbon Agreement berbeda dengan penyelesaian masalah yang sama pada TRIPs terutama untuk produk selain produk minuman anggur dan minuman beralkohol. Merek yang menggunakan tanda apelasi asal harus dibatalkan atau ditolak pendaftarannya, walaupun merek tersebut dipakai berdasarkan itikad baik dan telah mendapatkan perlindungan hukum sejak sebelum apelasi asal tersebut didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Setelah apelasi asal didaftarkan maka merek dengan tanda yang sama dengan apelasi asal harus dihentikan pemakaiannya dalam jangka waktu dua tahun. Dengan meratifikasi Lisbon Agreement, maka Indonesia dapat membatalkan merek yang menggunakan apelasi asal tanpa harus membuktikan adanya itikad tidak baik penggunaan merek dengan apelasi asal yang sama. Selain itu, Indonesia mendapatkan kemudahan untuk mendaftarkan produk-produk apelasi asal yang dimilikinya secara internasional. Pendaftaran internasional atas produk IG dilakukan melalui biro internasional WIPO yang kemudian didaftarkan di seluruh negara anggota Lisbon Agreement. Apabila Indonesia telah meratifikasi Lisbon Agreement, maka pendaftaran produkproduk IG yang dimiliki Indonesia secara internasional semakin mudah. Hal yang sama dapat dilakukan untuk kopi Toraja dan kopi Gayo. Untuk mendaftarkan produk IG, maka tersebut terlebih dahulu produk tersebut didaftarkan di dalam negeri sebagai bentuk
12
pengakuan atas IG yang melekat pada produk tersebut kemudian menyampaikan pendaftaran tersebut kepada Biro Internasional WIPO. Akan tetapi, kelemahan perlindungan apelasi asal menurut The Lisbon Agreement ialah terbatasnya jumlah negara peserta Lisbon Agreement dibandingkan dengan jumlah negara yang menjadi anggota TRIPs.29 Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan Perlindungan IG di Indonesia Sejak diaturnya ketentuan perlindungan IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007, terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan perlindungan IG di Indonesia yang diharapkan dapat segera ditangani sehingga perlindungan IG di Indonesia dapat terlaksana secara efektif. Pertama, Perbedaan Konsep IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007. Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengatur bahwa IG memberikan perlindungan kepada barang dengan ciri dan kualitas khusus yang dilekatkan tanda yang menunjukkan asal barang tersebut. Pada penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, barang dengan IG tidak hanya memiliki ciri dan kualitas tertentu, namun juga reputasi dan karakteristik tersendiri. Konsep ini diadopsi dari pengertian IG dalam Pasal 22 ayat (1) TRIPs. Sedangkan, konsep IG pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 tidak menyebutkan perlunya reputasi atas suatu barang untuk dapat didaftarkan sebagai produk IG. Adanya perbedaan kriteria pendaftaran IG tersebut dapat menyebabkan ketidakjelasan kriteria apakah suatu produk dapat didaftarkan sebagai IG atau tidak.30 Kedua, Kendala dalam Pendaftaran dan Pelaksanaan IG. Dalam rangka memberikan perlindungan IG, maka suatu barang yang memiliki karakter atau kualitas tertentu harus didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI. Untuk memperoleh perlindungan secara internasional, maka permohonan IG yang disetujui oleh Direktorat Jenderal HKI harus didaftarkan ke negara-negara lain secara satu per satu. Hal ini dilakukan karena saat ini Indonesia belum meratifikasi Lisbon Agreement sehingga tidak dapat mendaftarkan produk IG secara internasional melalui Biro Internasional WIPO. Dalam proses pendaftaran IG terdapat beberapa kendala dari beberapa aspek, yakni Pemohon Pendaftaran IG, Keterbatasan Jumlah Tim Ahli IG, dan Buku Persyaratan IG. Pemohon Pendaftaran IG Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 telah mengatur pihakpihak yang berhak mendaftarkan IG, yakni bersifat kolektif. Adapun pihak pendaftar IG harus ditentukan terlebih dahulu dan mereka harus memiliki keterkaitan dengan produk yang didaftarkan IG baik itu produsen, investor, ataupun instansi pemerintah yang terkait. Dengan ditentukannya pihak-pihak yang menjadi anggota pendaftar IG, maka sistem keterunutan (traceability) atas produk IG dapat diketahui. Sistem ini menjamin asal usul produk IG berasal sehingga konsumen dapat mengetahui dari mana produk IG tersebut berasal termasuk pihak-pihak yang menghasilkan dan memasarkan. Akan tetapi, penentuan pihak-pihak pendaftar IG menjadi kesulitan tersendiri saat dilakukan permohonan pendaftaran IG karena perbedaan latar belakang dari para pihak dan kesiapan sumber daya manusia di daerah penghasil produk IG. Selain itu, pihak-pihak 29 Antonio Corte-Real, The Conflict Between Trade Marks and Geographical Indications-The Budweiser Case in Portugal, dalam Christopher Heath dan Anselm Kamperman (ed.), New Frontiers of Intellectual Property Law: IP and Cultural Heritage, Geographical Indications, Enforcement and Overprotection, (Oregon: Hart Publishing, 2005), hlm. 152. 30 Faranita Ratih L, Perlindungan Hukum Bagi Kopi Arabika Toraja Melalui Sistem Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Tesis Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2013, hlm. 128-141.
13
yang terlibat pada permohonan pendaftaran IG harus memiliki visi dan tujuan yang sama serta partisipasi aktif dari semua pihak. Berdasarkan ketentuan pendaftaran IG di Indonesia, maka syarat pendaftaran IG dilakukan oleh lembaga yang mewakili masyarakat yang memproduksi barang IG, kelompok konsumen atau lembaga yang diberikan kewenangan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, maka dibentuk berbagai lembaga atau organisasi sebagai perwakilan masyarakat di daerah penghasil produk IG, seperti di wilayah Toraja dibentuk Masyarakat IG Kopi Arabika Toraja, Forum Masyarakat Perlindungan Nilam Aceh di Aceh, dan Asosiasi Petani Vanili di Kepulauan Alor. Lembaga-lembaga tersebut tidak hanya mewakili masyarakat di daerah bersangkutan, tetapi juga mengidentifikasi potensi IG di wilayahnya dan mendaftarkannya untuk mendapatkan perlindungan IG. Sayangnya, di Indonesia belum semua lembaga-lembaga tersebut dikelola secara profesional sehingga upaya untuk mengidentifikasi potensi IG termasuk mewakili daerahnya untuk mendaftarkan potensi tersebut belum optimal. Keberadaan organisasi perwakilan daerah penghasil produk IG yang profesional menjadi salah satu kunci sukses pelaksanaan IG. Selain itu, semua pihak yang tergabung dalam organisasi tersebut harus memiliki kesamaan visi terhadap perlindungan IG bagi produk dari daerah tersebut. Sumber daya manusia juga menjadi masalah pelaksanaan IG di Indonesia. Produsen barang dalam hal ini adalah petani atau pengrajin di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda termasuk latar belakang pendidikan. Sistem keterunutan pada pelaksanaan IG mengharuskan semua pihak yang terkait dengan produk IG melaporkan, mengawasi produk yang dihasilkannya sehingga produk tersebut dapat dilacak asal usulnya termasuk menjaga mutu produk tersebut. Sistem keterunutan produk IG cukup rumit karena produk tersebut harus dapat dilacak asul usul produk tersebut dari tingkat produsen hingga produk tersebut berada di tangan konsumen. Dengan sistem ini adanya jaminan mutu dan asal usul produk IG. Proses ini menimbulkan kesulitan bagi produsen, dalam hal ini adalah petani atau pengrajin penghasil produk IG di Indonesia karena pengetahuan petani tentang sistem ini masih terbatas sehingga perlu terus dilakukan pelatihan atau sosialisasi agar pelaksanaan IG dapat berjalan baik termasuk juga kesadaran pentingnya sistem keterunutan ini pada proses pelaksanaan IG. Selain pengetahuan yang terbatas, pada pembentukan organisasi perlindungan IG, petani berserta kelompoknya berada pada posisi tawar yang lemah karena kurang memiliki kekuatan untuk memimpin keseluruhan para pemangku kepentingan. Buku Persyaratan IG Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007, permohonan pendaftaran IG harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan selain memenuhi formalitas permohonan pendaftaran IG. Berdasarkan Buku Persyaratan dapat diketahui ciri khas atau kualitas barang yang diajukan permohonan IG, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas atau karakteristik barang tersebut. Selain itu, Buku Persyaratan menjadi standar saat dilakukan pengawasan terhadap pemakaian IG setelah barang tersebut terdaftar sebagai produk IG. Apabila diketahui barang dengan IG tidak memenuhi kualitas atau karakter seperti pada Buku Persyaratan maka perlindungan IG atas barang tersebut berakhir. Ketentuan kewajiban menyertakan Buku Persyaratan IG menjadi salah satu kendala bagi produsen atau pihak-pihak yang berkepentingan saat mengajukan permohonan pendaftaran IG suatu produk. Penyusunan Buku Persyaratan menjadi kendala permohonan pendaftaran IG karena tidak semua pihak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menyusun Buku Persyaratan sehingga diperlukan bantuan saat penyusunannya. Terdapat tiga faktor yang menjadi kendala untuk mempersiapkan Buku Persyaratan IG. Pertama, pertentangan dua ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
14
Nomor 51 Tahun 2007. Buku Persyaratan IG harus memuat deskripsi lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang memberikan karakter khusus atau kualitas dari produk yang dihasilkan. Ketentuan ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 yang mengatur bahwa IG diberikan kepada produk yang memiliki kualitas atau ciri khas yang keduanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan geografis asal barang tersebut. Keadaan tanah, iklim adalah contoh faktor alam yang memberikan karakter khusus bagi barang dengan IG dan keterampilan pengrajin adalah contoh dari faktor manusia. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 menyebutkan bahwa produk IG memiliki ciri dan kualitas tertentu karena faktor alam, faktor manusia atau kombinasi keduanya. Akan tetapi, terdapat ketentuan berbeda pada Pasal 6 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 yang mengatur tentang kelengkapan Buku Persyaratan, yaitu: Permohonan harus dilengkapi dengan Buku Persyaratan yang terdiri atas:
… d. uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan antara definisi IG dan hal-hal yang harus tercantum pada Buku Persyaratan Pendaftaran IG. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 mengatur bahwa kerajinan tangan dari daerah tertentu tidak dapat didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan IG. Sedangkan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 mengatur bahwa ruang lingkup IG termasuk hasil kerajinan tangan. Kedua, sulit dan tingginya biaya dalam menentukan batas-batas daerah dan/atau peta wilayah yang dicakup oleh IG. Pada Buku Persyaratan Pendaftaran IG mensyaratkan adanya peta wilayah daerah penghasil produk IG. Peta wilayah menggambarkan batas wilayah penghasil produk IG dan pihak-pihak yang berhak mempergunakan nama IG pada produk yang dihasilkannya. Akan tetapi, proses pembuatan peta wilayah memiliki kendala karena harus dilakukan melalui survey dengan biaya yang cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan konflik apabila produsen berada di wilayah IG, namun tidak menjadi anggota atau bagian dari kelompok yang mendaftarkan IG maka dikhawatirkan produsen ini dapat mengaku produknya sebagai IG karena berasal dari wilayah yang sama. Ketiga, keterbatasan jumlah Tim Ahli IG. Salah satu tahap pendaftaran IG ialah pemeriksanaan substantif yang berlangsung paling lama dua tahun oleh Tim Ahli IG yang ditetapkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. Adapun Tim Ahli IG bertugas untuk memeriksa subtansi permohonan indikasi geografis dan melakukan pengawasan pelaksanaan indikasi geografis, dapat dibantu oleh tim teknis di bidangnya masingmasing. Pada dasarnya, pemeriksan substansi bertujuan untuk memeriksa kesesuaian pernyataan di Buku Persyaratan Pendaftaran dengan keadaan yang sebenarnya. Demikan juga dengan pengawasan pelaksanaan IG yang bertujuan untuk memeriksa secara berkala kesesuaian mutu, kualitas atau karakter produk yang telah dillindungi indikasi geografis dengan pernyataan di Buku Persyaratan Pendaftaran. Apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka akan dilaporkan dan diikuti dengan tindakan berikutnya, seperti penyampaian ketidaksesuaian tersebut kepada Direktorat Jenderal HKI yang kemudian menerbitan surat keputusan penolakan indikasi geografis atau membatalkan sertifikat IG apabila kualitas produk tersebut tidak sesuai dengan pernyataan pada Buku Persyaratan Pendaftaran. Mengingat krusialnya tugas Tim Ahli, namun kenyataan yang dihadapi saat ini justru Tim Ahli yang ada jumlahnya sangat minim. Penutup
15
Berdasarkan pemaparan di atas, perlindungan IG dalam perjanjian multilateral diatur dalam Paris Convention, Madrid, Agreement, Lisbon Agreement, dan TRIPs. Sebagai anggota TRIPs, maka Negara-negara anggota harus mengejahwantakan TRIPs dalam peraturan perundang-undangan nasional. Di Indonesia digabungkan dalam ketentuan merek yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 sebagai peraturan pelaksanaanya. Di Negara lain, perlindungan terhadap IG juga diatur dalam ketentuan merek, seperti di Amerika Serikat, namun juga ada yang mengaturnya secara terpisah dalam sebuah peraturan perundang-undangan khusus, seperti di Perancis, India, dan Australia. Dalam rangka perlindungan produk dalam negeri Indonesia, maka terdapat beberapa produk yang harus dilindungi oleh IG sebelum Negara lain mengklaim, seperti Pala dari Kepulauan Banda, Nilam Aceh, dan Ikan Bilih Danau Singkarak. Adapun kasuskasus di bidang IG tidak hanya dialami oleh Indonesia dalam kasus kopi Toraja dan kopi Gayo tetapi juga di Negara lain seperti kasus penggunaan kata Champagne di Perancis, kasus teh Darjeeling dan kasus beras Basmati dari India. Dalam rangka menangani kasus tersebut, Perancis membawa kasus tersebut ke tingkat pengadilan, India dalam kasus teh Darjeeling membawa pihak lawannya ke pengadilan di Amerika Serikat sedangkan untuk beras Basmati dibawa kasusnya ke WTO. Untuk Indonesia sendiri dalam menangani kasus kopi Toraja dan kopi Gayo maka pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini kelompok masyarakat penghasil kopi Toraja dan kopi Gayo) dapat mendaftarkan kopi tersebut sebagai IG di Direktorat Jenderal HKI. Selain itu, Indonesia juga diharapkan dapat meratifikasi Lisbon Agreement sehingga IG yang telah diakui oleh Direktorat Jenderal HKI dapat langsung didaftarkan pada WIPO, sehingga IG dapat dilindungi secara internasional tanpa perlu mendaftarkan perlindungan IG ke satu per satu Negara. Pelaksanaan IG di Indonesia tidak terlepas dari berbagai kendala, seperti (i) adanya perbedaan konsep IG dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 sehingga membuat inkonsistensi; (ii) minimnya pengetahuan para petani mengenai sistem keterunutan pada perlindungan IG; (iii) adanya inkonsisten mengenai definisi wilayah geografis dan ruang lingkup IG pada dua pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007; (dan iv) sulit dan tingginya biaya dalam menentukan batas-batas wilayah IG; dan (v) terbatasnya jumlah tim ahli IG. Oleh karena itu, diharapkan ke depannya terdapat pembaharuan peraturan perundang-undangan IG sehingga dapat meminimalisir inkonsistensi yang ada saat ini serta Indonesia dapat meratifikasi Lisbon Agreement. Daftar Pustaka Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika. Afrillyana Purba. 2012. Pemberdayaan Perlindungan Hukum Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional Sebagai Sarana Pertumbuhan Indonesia. Bandung: Alumni. Agus Sardjono. 2009. Potensi Ekonomi dan Perlindungan Hukum Sumber Daya Genetika, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklore Indonesia, dalam Membumikan HKI di Indonesia. Bandung: Nuansa Aulia. Antonio Corte-Real. 2005. The Conflict Between Trade Marks and Geographical Indications-The Budweiser Case in Portugal, dalam Christopher Heath dan Anselm Kamperman (ed.), New Frontiers of Intellectual Property Law: IP and Cultural Heritage, Geographical Indications, Enforcement and Overprotection. Oregon: Hart Publishing. Carlos M. Corea dan Abdulqawi A. Yusuf (ed.). 2008. Intellectual Property and International Trade: The TRIPs. Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International BV.
16
Christopher Heath dan Anselm Kamperman (ed.). 2005. New Frontiers of Intellectual
property Law: IP and Cultural Heritage, Geographical Indications, Enforcement and Overprotection. Oregon: Hart Publishing. Daniele Giovanucci, et. al. 2009. Guide To Geographical Indications: Linking Products and Their Origins. Geneva: International Trade Centre. Dev Gangjee, Quibling Siblings: Conflicts between Trademarks and Geographical Indications, Chicago-Kent Law Review, Vol. 82, No. 2, 2007. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Teknis Perluasan Tanaman Pala. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan Kemtan. European Commision: The Directorate General for Trade European Commision of the European Comunities. 2007. Part II Protection of Geographical Indication in 160
Countries Around the World dalam Geographical Indications and TRIPs: 10 Years Later, A Roadmap for EU GI Holders to Get protection in Other WTO Members. Brussels: The Directorate General for Trade European Commision. Fabrice Wenger, Protection for Geographical Indication, Makalah disampaikan pada Peringatan Hari Hak kekayaan Intelektual, Jakarta, tanggal 23 April 2001. Faranita Ratih L, Perlindungan Hukum Bagi Kopi Arabika Toraja Melalui Sistem Indikasi Geografis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013. Lennart Schüβler, Protecting ‘Single-Origin Coffee’within the Global Coffee Market: The Role of Geographical Indications and Trademarks, The Estey Centre Journal of International Law and Trade Policy, Vol. 10, No. 1, 2009. Linda Purwaningrat, Kajian Pengaruh Umur dan Bagian Tanaman Nilam (Pogostemon
cablin benth) yang Disuling Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Nilam yang Dihasilkan, Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian: Institut Pertanian Bogor, 2008. Lionel Bentley. 2009. Intellectual Property Law. New York: Oxford University Press. Miranda Risang Ayu. 2006. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis. Bandung: Alumni. Sudarmanto, Kepentingan Negara Berkembang Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika dan Pengetahuan Tradisional, Depok: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, Perlindungan Indikasi Geografis, Jurnal Media HKI, Vol. VIII, No. 5, Oktober 2010. UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and Sustainable Development. 2005. Resource Book on TRIPs and Development. New York: Cambridge University Press.
17