Tank Leopard RI Pada Pameran Indo Defence Pada Tanggal 7-10 November 2012, Di Kemayoran Jakarta
www.tniad.mil.id
Jurnal
Vol. 33 No. II Edisi Juni 2013
6 Pesiapan Menghadapi Perang Hibrida
D A F T A R I S I
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
15 Menghadapi Ancaman Perang Hibrida: Determinasi Tantangan Tugas TNI AD “To Win The Hearts And Minds”
Oleh: Kolonel Czi Ir. Ignatius Budiman, S.P, M.Sc.M.Sc.
Oleh: Kolonel Inf Henra Hari Sutaryo
26
34
Perang Hibrida di Dunia
Teknologi Informasi dalam Perang Hibrida (Hybrid Warfare)
Oleh: Brigjen TNI Alva A.G. Narande, S.AP.,Dipl.SS.
Oleh: Kolonel Laut (S) Dr. Ivan Yulivan, M.M.
40
45
Hybrid Warfare dan Implikasinya Bagi Indonesia
Siapkah TNI Menghadapi Perang Hibrida?
Oleh: Kolonel Inf Teguh Pudjo Rumekso
Oleh: Kolonel Kav Eko Susetyo
49
57
Aspek Logistik Dalam Menghadapi Ancaman Hibrida
Kesiapan Bangsa Indonesia Secara Geopolitik Dalam Menghadapi Perang Hibrida
Oleh: Prof. DR. Bantarto Bandoro
Oleh: Letkol Inf Dr. Triyoga Budi Prasetyo, M.Si
Jurnal Yudhagama
Kata Pengantar Susunan Redaksi Jurnal
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
PELINDUNG : Kepala Staf TNI Angkatan Darat PEMBINA : Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat PENASEHAT : Irjenad, Aspam Kasad, Asops Kasad, Aspers Kasad, Aslog Kasad, Aster Kasad, Asrena Kasad, Kasahli Kasad. PEMIMPIN REDAKSI : Brigjen TNI Rukman Ahmad, S.IP. WAKIL PEMIMPIN REDAKSI : Kolonel Chb Firdaus Komarno, S.E.,M.Si. DEWAN REDAKSI : Kolonel Arh Erwin Septiansyah, S.IP. Kolonel Caj Drs. Moh. Noor, M.M. Kolonel Inf Drs. Zaenal Mutaqim, M.Si. Letkol Inf Mu’tamar KETUA TIM EDITOR : Kolonel Inf Drs. Andi Suyuti, M.M. SEKRETARIS TIM EDITOR : Mayor Caj (K) Dra. Sri Indarti ANGGOTA TIM EDITOR : Letkol Caj Drs. M. Yakub Mayor Caj (K) Yeni Triyeni, S.Pd. Mayor Inf Dodi Fahrurozi, S.Sos. Mayor Inf Supriyatno Kapten Inf Candra Purnama, S.H. Lettu Caj (K) Besarah Septiana M., S.S. DISTRIBUSI : Mayor Chb Gara Hendrik, A.Md. DESAIN GRAFIS : Serka Enjang TATA USAHA : Peltu (K) Ety Mulyati, PNS Listin PNS Parno REDAKTUR FOTO : Letkol Czi Drs. Syarifuddin Sara, M.Si. ALAMAT REDAKSI : Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Jl. Veteran No. 5 Jakarta Pusat Tlp. (021) 3456838, 3811260, Fax. (021) 3848300, Alamat email :
[email protected]
4
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
T
iada hentinya kita panjatkan Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Besar, karena berkat karunia dan lindungan-Nya, kita masih bisa melanjutkan sebuah pengabdian yang mulia kepada Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai. Tentu dengan memberikan pengabdian dan kinerja yang maksimal sebagai prajurit TNI Angkatan Darat. Selanjutnya pada Jurnal Yudhagama Volume 33 Nomor II Juni 2013, redaksi mengangkat topik tentang perang hibrida. Memang topik yang kami angkat pada kesempatan ini masih belum begitu populer dan masih merupakan pembahasan yang baru namun penting. Oleh karena itu, sangat menarik untuk kita simak dan baca sebagai penambah wawasan dan pengetahuan kita sebagai prajurit. Perang hibrida (hybrid war) adalah sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi. Sifat perang hibrida ini, bukan hanya kompleks tapi juga dapat memberi efek dalam berbagai aspek kehidupan Negara. Pada upacara bendera tujuhbelasan tanggal 18 Februari 2013 lalu, Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono dalam amanatnya menyampaikan bahwa dewasa ini, beberapa negara maju telah mengarahkan perhatian secara khusus kepada tren baru ancaman, yang populer disebut sebagai perang hibrida~hybrid war. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan ancaman perang hibrida tersebut, TNI harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat. Sebagai contohnya, dalam menghadapi ancaman perang hibrida, perlu pengadaan pesawat tempur Sergap Super Tucano yang sejalan dengan pengadaan pesawat Counter Insurgency (Coin) TNI AU, guna mengantisipasi kemungkinan berkembangnya aksi insurjensi dan/atau aksi terorisme. Dalam rangka memberikan pemahaman yang konprehensif kepada para prajurit TNI Angkatan Darat tentang perang hibrida, maka pada edisi kali ini dibahas oleh beberapa penulis baik dari lingkungan TNI maupun di luar lingkungan TNI diantaranya oleh Kolonel Czi Ir. Ignatius Budiman, S.P., M.Sc., dengan judul tulisan Teknologi Informasi Dalam Perang Hibrida (Hybrid Warfare). Kolonel Inf Henra Hari dengan topik Hybrid Warfare dan
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
Implikasinya Bagi Indonesia. Pembaca yang budiman, perang dilancarkan ke segala domain baik di darat, laut, udara, ruang angkasa dan diruang cyber (cyberspace) secara bersamaan. Perang akan menyentuh aspek multidimensi, bertali-temali, silangmenyilang antara dimensi militer, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, teknologi, psikologi, pertahanan dan keamanan. Tulisan tersebut diulas oleh Brigjen TNI Alva A.G Naranda, S.AP., Dipl.SS. dengan judul tulisannya Menghadapi Ancaman Perang Hibrida : Determinasi Tantangan Tugas TNI AD “To Win The Hearts And Minds”. Selanjutnya topik lain adalah Perang Hibrida di Dunia di bahas ole Kolonel Laut (S) Dr. Ivan Yulivan, M.M., menurutnya, perang hibrida merupakan suatu kombinasi bentuk peperangan model baru yang dilatarbelakangi oleh kondisi dunia yang dimotori oleh AS dan koleganya dimana perang hibrida merupakan perpaduan antara perang konvensional, perang modern, dan perang cyber. Yang tidak kalah menariknya, Topik Tulisan yang dibahas oleh Kolonel Inf Teguh Pudjo Rumekso, dengan judul Siapkah TNI Menghadapi Perang Hibrida? Dalam tulisannya diulas mengenai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang telah menggeser bentuk ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) berkembang menjadi spektrum konflik yang bersifat multi dimensional (fisik dan non fisik) yang dapat berkembang menjadi perang hibrida. Dan tulisan dari Kolonel Kav Eko Susetyo dengan topik tulisan Aspek Logistik Dalam Menghadapi Ancaman Hibrida. Diulas dalam tulisannya bahwa rancangan operasi yang digunakan dalam
menghadapi ancaman hibrida tentunya berupa sebuah rencana operasi yang sangat dinamis. Pembaca Jurnal Yudhagama masih ada tulisan lain yang akan menyemarakan terbitan edisi kali ini yakni oleh Prof. DR Bantarto Bandoro yang menulis dengan judul Persiapan Menghadapi Perang Hibrida. Menurutnya bahwa perang hibrida telah menjadi bagian integral dari lanskap sejarah kuno dunia, tetapi hanya baru-baru ini dianalisis dan dikategorikan sebagai konflik yang unik. Tulisan berikutnya yang menarik disimak adalah tulisan dari Letnan Kolonel Inf Dr. Triyoga Budi Prasetyo, M.Si, menurutnya untuk mempersiapkan menghadapi perang hibrida dibutuhkan adanya strategi untuk mengatasinya, terutama pengaturan tata ruang pertahanan wilayah Indonesia yang memiliki posisi strategis dengan membuat strategi. Strategi posisi garis luar dan posisi garis dalam. Negara berada pada posisi garis luar apabila dapat mengepung lawan atau musuhnya. Posisi garis dalam adalah posisi satu negara yang menghadapi kemungkinan permusuhan dari negara di sekelilingnya. Akhirnya, segenap redaksi menyampaikan terima kasih atas sumbangan tulisan baik berupa ide/gagasan maupun konsepsi yang sangat bermanfaat bagi kemajuan TNI Angkatan Darat dimasa yang akan datang. Tak ada gading yang tak retak, redaksi mengharapkan semoga tulisan yang dimuat pada edisi kali ini bermanfaat bagi pembaca sekalian dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan. Selamat membaca.
Jurnal Yudhagama sebagai media komunikasi internal TNI Angkatan Darat, mengemban misi: a. Menyebarluaskan kebijakan Pimpinan TNI Angkatan Darat kepada seluruh prajurit di jajaran TNI Angkatan Darat. b. Memberikan wadah untuk pemikiran-pemikiran yang konstruktif dalam pembinaan TNI Angkatan Darat dan fungsi teknis pembinaan satuan sesuai tugas pokok TNI Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara matra darat. c. Menyediakan sarana komunikasi untuk penjabaran Kemanunggalan TNI-Rakyat.
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Yudhagama ini merupakan pandangan pribadi penulisnya dan bukan pandangan resmi TNI Angkatan Darat, namun redaksi berhak merubah tulisan (rewrite) tanpa mengubah inti tulisan untuk disesuaikan dengan misi yang diemban Jurnal Yudhagama dan kebijakan Pimpinan TNI Angkatan Darat. Redaksi menerima karangan dari dalam maupun dari luar lingkungan TNI Angkatan Darat, dengan syarat merupakan karangan asli dari penulis. Topik dan judul tulisan diserahkan kepada penulisnya, dengan ketentuan panjang tulisan berkisar sepuluh halaman kertas folio, dengan jarak satu setengah spasi.
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
5
Jurnal Yudhagama
Teknologi Informasi dalam Perang Hibrida (Hybrid Warfare)
Oleh : Kolonel Czi Ir. Ignatius Budiman, S.P., M.Sc. (Kasubdis Binfung Disinfolahtad) Perang hibrida merupakan perang campuran. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi, namun juga dengan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. Pendahuluan.
P
erang hibrida merupakan istilah yang masih asing di telinga kita sebagai anggota TNI. Namun sebenarnya, hal ini sudah akrab bagi TNI karena konsep ini sebenarnya merupakan konsep “perang rakyat” yang menggunakan segala daya upaya dan sumber daya agar tidak dapat dikalahkan oleh lawan, perbedaannya hanyalah penggunaan senjatanya yang meliputi nuklir dan teknologi cyber. Konsep perang inilah yang masih diyakini kehebatannya oleh banyak kalangan terutama oleh para pendahulu kita. Istilah ini sebenarnya apabila dirunut berawal dari metafora untuk menggambarkan tuntutan medan perang modern oleh Jenderal (Mar) Charles C. Krulak tentang tantangan yang dihadapi oleh marinir Amerika Serikat (AS) ketika bertugas di “negara gagal” seperti Somalia dan bekas Yugoslavia. Krulak menyadari bahwa medan perang masa depan adalah terjadi di perkotaan, sifatnya
6
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
asimetris, situasinya sulit membedakan antara pejuang dan nonkombatan, dan persenjataan canggih sudah tersedia dengan mudah untuk semua pihak. Krulak menyebutnya dalam istilah perang tiga blok (Three Block War), “Anda berjuang seperti iblis pada satu blok, Anda berbuat baik menyerahkan bantuan kemanusiaan di blok berikutnya, dan Anda harus berjuang untuk tetap menjaga supaya kedua faksi tidak bertikai di blok yang berikutnya”. (Marine Corps Gazette, edisi 1999). Apapun bentuk perangnya, yang harus selalu diingat adalah bahwa yang menjadi musuh adalah manusia, karena manusia maka selalu mempunyai kemampuan kreatif untuk tidak dapat ditaklukkan. Akibatnya, walaupun secara militer konvensional mudah ditaklukkan, namun selalu saja musuh tersebut siap untuk berperang walaupun tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan secara internasional. Keunggulan konvensional satu negara akan menciptakan ide baru bagi negara-negara dan aktor nonnegara untuk bergerak keluar dari modus perang konvensional dan mencari kemampuan lain yang merupakan kombinasi dari teknologi dan taktik untuk mendapatkan keuntungan. Oleh AS, kelompok ini dikenal sebagai penantang tidak teratur (irregular challengers) yang meliputi aktoraktor yang bermain dalam terorisme, pemberontakan, perang terbatas, perang gerilya, dan perang narkoba. Kelompok-kelompok ini akan mengeksploitasi keuntungan taktis pada waktu dan tempat yang mereka pilih sendiri, dan memperbesar keuntungan mereka melalui media dan perang informasi, untuk melemahkan AS. Inilah yang disebut oleh mereka dengan perang hibrida. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada kekuatan teknologi, namun juga dengan memerhatikan aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. (Proceedings Magazine, Issue: November 2005 Vol. 132/11/1,233 Future Warfare: The Rise of Hybrid Wars oleh Letnan Jenderal James N. Mattis, USMC, dan Letkol (Purn) Frank Hoffman, (USMCR). Aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat mulai mendapatkan perhatian di kalangan militer Amerika, oleh karenanya untuk menghadapi perang hibrida ini mereka mengembangkan konsep yang disebut sebagai Human Terrain Systems (HTS). Konsep HTS ini pertama kali dikembangkan oleh antropolog Montgomery McFate pada tahun 2005, sebagai respons
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD terhadap kesenjangan antara komandan dan staf tentang pemahaman terhadap penduduk dan budaya setempat, terutama ketika melakukan invasi ke Irak dan Afghanistan. HTS ternyata bukan hal yang asing bagi TNI AD karena apabila dipadankan tidak lain dan tidak bukan adalah konsep pembinaan teritorial. Walaupun perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi saja, namun peran teknologi/Alutsista dalam satu perang masih tetap dominan seperti misalnya penggunaan Teknologi Informasi dalam memperbesar kemampuan perang informasi dan cyber war. Oleh karena itu, menghadapi kemungkinan ancaman perang hibrida tersebut, TNI AD harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang khususnya dibidang teknologi informasi agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat. Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian perang hibrida, apa implikasinya terhadap TNI AD, pelajaran apa yang bisa dipetik, apa yang harus dilakukan oleh TNI AD, dan bagaimana teknologi informasi akan sangat berperan dalam menentukan kemenangan perang hibrida ini khususnya melalui konsep cyber warfare sebagai salah satu payung dalam perang informasi dengan memanfaatkan semua channel/saluran/media massa untuk secara sistematis dan terus menerus memengaruhi pikiran dan perasaan masyarakatnya melalui pembinaan teritorial. Apa itu perang hibrida ? Sejauh ini, apabila kita mendengar kata hibrida, maka bayangan kita langsung teringat dengan masalah pertanian, karena istilah ini yang paling sering terkenal dulu-dulunya selalu terkait dengan kelapa hibrida. Namun, ternyata istilah hibrida juga berlaku dalam dunia perang, kita mendengar hal ini dari rangkuman amanat Panglima TNI yang mengingatkan para prajuritnya agar siap-siap menghadapi perang baru yang bernama perang hibrida, seperti yang beliau sampaikan dalam upacara hari Senin, tanggal 18 Februari 2013 (http:// www.tni.mil.id/view-45760-amanat-panglima-tni-padaupacara-bendera-17-an-tanggal-18-Februari-2013. html). Untuk lebih memahami tentang istilah hibrida ini, mari kita lihat beberapa definisi mengenai kata hibrida tersebut. Dalam istilah biologi, hibrida identik dengan heterozigot setiap anak yang dihasilkan dari perkawinan dua individu secara genetik berbeda, artinya kombinasi antara gen yang berbeda. Dalam bidang elektronika, hibrida menggambarkan kombinasi dari produsen listrik dan sarana untuk menyimpan tenaga dalam media penyimpanan energi. Sistem hibrida, seperti namanya, menggabungkan dua atau lebih model pembangkit
Panglima TNI mengingatkan para prajuritnya agar siap-siap menghadapi perang baru yang bernama perang hibrida listrik bersama-sama. Dibidang otomotif, mobil hibrida adalah mobil yang menggunakan energi dari listrik dan juga bisa dari bahan bakar fosil. Sedangkan dibidang komputer adalah merupakan gabungan antara kemampuan komputer analog dan komputer digital. Dari beberapa istilah hibrida intinya adalah merupakan gabungan dari beberapa hal yang berbeda, sehingga dengan demikian perang hibrida secara logika adalah penggabungan beberapa jenis perang yang meliputi perang konvensional dan inkonvensional. Apabila kita ingin lebih tahu tentang definisi Perang Hibrida dan bertanya kepada Google dengan mengetikkan “define:hybrid war”, karena belum ada dalam kamus umum, maka jawabannya adalah definisi versi Wikipedia yaitu “strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang tidak teratur dan cyber warfare”. Selain itu, perang hibrida digunakan untuk menggambarkan serangan senjata nuklir, biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi.
Perang hibrida adalah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang tidak teratur dan cyber warfare Lebih lanjut apabila kita mengacu pada pendapat dari para ahli yang mendalami teori mengenai perang hibrida, maka kita akan mendapatkan hal-hal yang kurang lebih sama. Salah satunya adalah Frank Hoffman yang mendefinisikan perang hibrida sebagai setiap musuh yang menggunakan secara bersama dan mengkombinasikan senjata konvensional, perang tidak teratur, terorisme dan cara kriminal dalam pertempuran untuk mencapai tujuan politis (Conflict in 21st Century: The Rise of Hybrid Wars) Sedangkan pengertian yang tertulis dalam amanat Panglima TNI yang kemungkinan besar mengadopsi definisi dari Wikipedia dinyatakan bahwa “perang hibrida” hybrid war, yaitu sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi”. Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
7
Jurnal Yudhagama Lalu bagaimana kita mengartikan perang hibrida ini dalam konteks yang mudah dimengerti? Untuk memudahkan pemahaman kita barangkali ada contoh yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat yaitu perang di medan Kurusetra dalam cerita pewayangan yang melibatkan pihak Pandawa dan Kurawa. Perang Kurusetra merupakan perang 18 hari yang berakhir dengan kemenangan pihak Pandawa, merupakan gambaran perang hibrida yang rasanya lebih mudah dimengerti. Perang tersebut meliputi perang konvensional karena mempunyai aturan perang dan dilakukan dalam formasi-formasi tertentu, senjata yang digunakanpun deskripsinya sudah mengarah kepada senjata nuklir saat ini (hanya saja saat itu hanya berupa panah, gada, pedang, cakra dan sejenisnya namun deskripsi ketika senjata itu digunakan efeknya sama dengan efek senjata nuklir saat ini), perang irreguler (menjadikan Srikandi tameng padahal bukan regular forces), asimetrik (Gatot kaca sendirian melawan pasukan yang besar) serta perang informasi (lebih tepatnya disinformasi dan rekayasa informasi dengan menyebarkan informasi terbunuhnya gajah bernama Aswatama yang merupakan faktor penentu kemenangan perang). Secara umum dapat disimpulkan bahwa perang hibrida intinya adalah gabungan berbagai jenis perang yang biasanya dilakukan oleh pihak yang lebih lemah untuk melawan pihak yang lebih kuat secara konvensional. Inilah barangkali gambaran sederhana yang lebih mudah dimengerti tentang apa itu perang hibrida. Apabila dicermati ternyata para penulis Amerika ketika membicarakan perang hibrida secara khusus adalah membahas tentang kasus-kasus perang di Irak, Afganistan dan Lebanon yang bisa dipastikan ini adalah konsep perlawanan atau perjuangan yang mengusung konsep gerilya, perang kota, asimetris, menggunakan persenjataan canggih, dan perang informasi dengan memanfaatkan segala upaya untuk dapat bertahan melawan agresor dan mengusirnya keluar dari negaranya. Apabila mengacu pada hal ini, maka situasinya kira-kira kembali sama ketika Indonesia mengalami perjuangan fisik yang tidak lain adalah people’s war yang merupakan perang inkonvensional dan tidak teratur (irregular), namun sesuai kondisi saat ini dengan kesulitan yang lebih tinggi karena sudah memanfaatkan teknologi informasi seperti yang digunakan dalam cyber war. Hal ini selaras dengan apa yang digambarkan oleh Seth G. Jones melalui The Future of Irregular Warfare yang menyatakan bahwa kelompok insurjen dan teroris memanfaatkan internet untuk berkomunikasi, mendistribusikan propaganda, merekrut anggotanya dan tugas-tugas lainnya yang menambah kompleksitas perang tersebut (RAND Corporation, 2012) 8
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Alutsista yang dibeli oleh TNI AD dan program yang dikembangkan saat ini hendaknya dalam konteks menghadapi perang hibrida Bagaimana implikasinya terhadap TNI AD. Martin van Creveld, profesor emeritus, seorang ahli militer dari Israel penulis buku The Transformation of War, meramalkan bahwa konflik militer konvensional antar angkatan bersenjata reguler akan menurun frekuensinya, namun konflik intensitas rendah (low intensity conflict) yang dilakukan oleh milisi, penguasa lokal, kelompok kriminal, dan pasukan paramiliter akan meningkat secara eksponensial. Bahkan diramalkan secara jelas bahwa konflik itu lebih cenderung antara kelompok etnis dan kelompok religius (conflicts will be between ethnic and religious groups). Dalam ramalannya disebutkan juga bahwa negara maju kemungkinan sulit memenangkan konflik ini. “In numerous incidents during the last two decades, the inability of developed countries to protect their interests and even their citizens’ lives in the face of low-level threats has been demonstrated time and time again”. Prediksinya apabila dikaitkan dengan kondisi Indonesia ternyata memang terbukti saat ini, dan konflik semacam inilah yang oleh para penulis Amerika dirumuskan sebagai perang hibrida. Khusus mengenai kondisi di Indonesia dikaitkan dengan prediksi Martin van Creveld ada beberapa ancaman aktual terkait dengan perang hibrida ini yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan Narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Dengan demikian ancaman perang hibrida itu memang benar-benar ada sesuai yang dinyatakan dalam amanat Panglima TNI, oleh karenanya TNI AD harus sedia payung sebelum hujan, jangan sampai ketika perang itu terjadi, TNI AD tidak punya alat perang yang memadai, artinya TNI AD harus melakukan respon cepat dan beradaptasi dengan perang gaya baru ini. Oleh karenanya Alutsista yang sedang dibeli oleh TNI AD dan program yang sedang dikembangkan saat ini hendaknya juga dalam konteks menghadapi perang hibrida tersebut. Apabila langkah TNI AD tidak menyesuaikan dengan ancaman nyata tersebut, maka kita akan terdadak dan apabila tidak siap maka harus menerima konsekuensinya. Pelajaran apa yang bisa dipetik. Dengan menebarkan konsep perang hibrida ini, maka sebenarnya negara Amerika secara tidak
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD langsung menyatakan bahwa itu adalah perang yang sulit dimenangkan karena semakin ditekan, maka kreativitas manusia yang menjadi musuhnya selalu dapat mengembangkan kemampuan daya tahannya. Apabila sebelumnya satu negara yang mempunyai keunggulan kekuatan militer dan ekonomi dengan mudah mengalahkan negara lain yang lebih kecil kemampuannya, namun saat ini dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Ada beberapa bukti sejarah bahwa negara yang relatif terbatas kemampuannya dapat bertahan dan bahkan kemudian unggul ketika diserang oleh negara besar. Sebagai contoh, Vietnam mampu bertahan terhadap serangan AS dan bahkan mengusir mereka keluar dari negaranya. Demikian pula ketika bangsa Afghanistan bertahan dari gempuran Uni Soviet. Dari contoh-contoh tersebut ternyata keunggulan dan kemenangan militer konvensional negara besar tidak otomatis meniadakan kemampuan perlawanan negara kecil. Artinya, negara besar sudah sangat menyadari bahwa ukuran sukses perang dewasa ini haruslah dapat mencapai kemenangan damai. Artinya, suatu bangsa
masyarakat, militer atau partai untuk berfikir yang sama dengan kehendak negara besar itu, sehingga tujuan akhirnya adalah perubahan rezim atau turunnya pihak yang sedang berkuasa. Jadi, penaklukan secara militer konvensional saja tidak cukup, karena apabila setelah ditaklukkan dan muncullah gerilya yang militan maka akan gagallah negara itu menguasainya secara damai dan terpaksa akan masuk dan mengalami perang hibrida yang lebih sulit. Apabila Indonesia ingin dapat bertahan sebagai bangsa pejuang yang besar, maka yang pertama dibangun dalam menghadapi era perang hibrida ini adalah menguatkan jati diri bangsa Indonesia agar tidak mudah terbawa oleh paham-paham yang tidak sesuai dengan filosofi yang ada dalam Pancasila. Pancasila sudah terbukti sebagai benteng kekuatan untuk melindungi dari ancaman, gangguan, tantangan serta hambatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya maka TNI AD haruslah menjadi pengawal yang setia terhadap Pancasila untuk menjamin tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apabila Indonesia ingin dapat bertahan sebagai bangsa pejuang yang besar, maka yang pertama dibangun dalam menghadapi era perang hibrida adalah menguatkan jati diri bangsa Indonesia agar tidak mudah terbawa oleh paham-paham yang tidak sesuai dengan filosofi yang ada dalam Pancasila.
Apa yang harus dilakukan TNI AD. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan melalui operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia) Untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut TNI AD mengemban dua fungsi utama yaitu fungsi Pertempuran dan fungsi Pembinaan Teritorial. Fungsi Pertempuran menyelenggarakan pertempuran di darat, yang meliputi manuver, intelijen, tembakan, dukungan, perlindungan, Kodal dan informasi dalam rangka pertahanan negara di darat. Sedangkan fungsi Pembinaan Teritorial menyelenggarakan perencanaan, pengembangan, pengerahan, dan pengendalian potensi wilayah pertahanan dengan segenap aspeknya untuk menjadi kekuatan sebagai ruang, alat dan kondisi juang yang tangguh untuk kepentingan pertahanan negara di darat. Kombinasi dua fungsi utama ini sangat cocok untuk menghadapi perang hibrida. Kemampuan tempur yang dikembangkan sesuai dengan ancaman yang timbul baik yang sifatnya konvensional maupun inkonvensional, reguler maupun irreguler; sedangkan kemampuan
penyerang harus dapat menundukkan sepenuhnya kehendak bangsa yang diserang sehingga terwujud kondisi damai agar pihak penyerang dapat menguasai sepenuhnya negara yang diserang. Dengan demikian akan lebih efektif apabila negara kecil tersebut dapat dibawa terlebih dahulu dalam cara berpikir dan persepsinya sesuai dengan kepentingan negara besar tersebut. Oleh karenanya, maka yang pertama diberi perhatian serius adalah pikiran dan persepsi masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan. Caranya adalah memanfaatkan semua channel/saluran/media massa di negara itu dan memanfaatkannya untuk secara sistematis dan terus menerus memengaruhi pikiran dan perasaan masyarakat. Disamping itu, negara besar tersebut juga akan menginfiltrasi kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan partai politik dengan memberikan bantuan dana atau dukungan. Bahkan yang lebih canggih adalah menguasai tokoh-tokoh
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
9
Jurnal Yudhagama pembinaan teritorial akan sangat berguna untuk mengembangkan ketahanan wilayah agar memiliki daya tangkal yang efektif, baik terhadap kemungkinan serangan militer terbuka maupun serangan Perang Informasi yang tertutup. Untuk mewujudkan daya tangkal dan ketahanan dibidang militer konvensional saat ini masih sulit, karena TNI AD belum diberikan anggaran yang memadai untuk membangun satu kekuatan militer yang andal. Salah satu cara yang lebih realistis yang bisa dikembangkan adalah daya tangkal di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Walaupun untuk mewujudkan kemampuan militer secara konvensional masih sulit dan untuk mengembangkan daya tangkal dibidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya masih mengalami banyak hambatan, namun dalam rangka menghadapi perang hibrida tersebut, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: a. Kemampuan tempur. Kondisi di Indonesia yang terkait dengan ancaman hibrida yaitu masalah konflik horizontal antara kelompok etnis dan kelompok religius, jaringan narkoba, kelompok insurjen dan terorisme. Empat hal inilah yang merupakan ancaman serius bagi Indonesia. Disamping itu, ada masalah yang cukup serius dan akan menjadi ancaman yang harus dihadapi yaitu kebiasaan warga negara Indonesia yang suka “sweeping” warga negara asing apabila terjadi hubungan yang kurang harmonis antara Indonesia dan negara asing tersebut. Apabila dalam sweeping tersebut terjadi korban, maka akan ada kemungkinan negara asing masuk untuk melindungi warga negaranya dengan mengirimkan pasukan mereka, sehingga kemampuan tempur pun harus disesuaikan dengan kemungkinan ini. Oleh karenanya latihan-latihan yang berkait dengan penanggulangan konflik horizontal, jaringan narkoba, insurjen, dan terorisme selalu harus dilakukan sebagai langkah antisipasi apabila kejadian ini benar terjadi. Pasukan inti TNI AD seperti Kopassus dan Kostrad harus selalu memrogramkan dan melaksanakan latihan berkait dengan hal-hal tersebut. TNI AD juga harus melaksanakan latihan dengan matra yang lain untuk membiasakan diri melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi dengan pasukan sejenis yang mempunyai kemampuan tempur yang setara. b. Kemampuan teritorial. Ketahanan wilayah merupakan satu prasyarat mutlak untuk menuju pada ketahanan nasional, fungsi inilah yang seharusnya dilaksanakan oleh komando teritorial TNI AD melalui program yang berkaitan dengan pembinaan ketahanan wilayah (Bintahwil). Kegiatan Pembinaan Ketahanan wilayah pada dasarnya merupakan perwujudan dari kesadaran bela negara, dengan faktor yang paling dominan adalah seberapa besar tingkat kesadaran 10
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
masyarakat dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman. Sampai saat ini rasanya belum ada untuk pembinaan kemampuan teritorial dalam bentuk latihan yang menajamkan kemampuan anggota TNI AD dalam bidang ini karena belum ada tolok ukur seperti pada penajaman kemampuan tempur yang dapat dikuantitatifkan, seperti misalnya dilakukan dengan pemberian brevet keahlian. Oleh karenanya, perlu standardisasi kemampuan personel seperti yang dilakukan oleh aparat teritorial seperti yang dilakukan oleh Inggris, Amerika dan beberapa negara lain yang memang terdiri dari ahli yang berkaitan dengan antropologi, teknik sipil, pertanian, ahli bahasa dan bidang-bidang sejenis yang cocok untuk penugasan dalam operasi teritorial. Dalam konteks perang hibrida seperti disampaikan dalam amanat Panglima TNI yang membedakan dengan perang konvensional adalah adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk cyber war, dengan demikian maka kemampuan menguasai teknologi ini juga menjadi faktor yang penting. Apabila selama ini pembinaan teritorial diarahkan untuk pelatihan Wanra yang sifatnya fisik, maka perlu dipikirkan akan adanya pelatihan Wanra dalam bidang cyber agar mampu mengikuti perkembangan informasi di dunia maya khususnya yang berkaitan dengan media sosial sekaligus dapat melaksanakan perlawanan rakyat dibidang perang informasi. Dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, personel yang bekerja dibidang teritorial konsekuensinya harus mempunyai kemampuan cukup baik dalam penguasaan bidang ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya termasuk penguasaan teknologi informasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah personel tersebut harus mampu memberikan penjelasan mengenai pembinaan teritorial kepada masyarakat secara ilmiah agar semakin banyak orang yang meyakini bahwa dengan pembinaan teritorial Bangsa Indonesia akan dapat mencapai kemajuan yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD c. Rumuskan teritorial sebagai ilmu. P e m b i n a a n Teritorial yang selama ini diklaim sebagai roh TNI AD haruslah diilmiahkan, sehingga menjadi ilmu yang bisa dipelajari dan diterapkan untuk membantu kesuksesan setiap operasi yang digelar oleh TNI AD baik di dalam maupun di luar negeri. Sampai saat ini apabila ada pihak yang ingin mempelajari teritorial akan sulit mencari dimana tempatnya. Hal ini disebabkan oleh kerancuan mengenai apa yang disebut sebagai teritorial. Penulis mengusulkan untuk cenderung memandang teritorial ini sebagai salah satu staf dalam militer dan dikembangkan mengikuti pola negara-negara lain namun dengan mengusung nilai-nilai asli Indonesia. Apabila kita mengambil padanan dengan militer negara lain maka kita dapat petakan sebagai berikut:
tangan dan sebagainya). Setelah dipilih nilai luhurnya, maka hal itu perlu dibakukan dan dibentuk pusat-pusat pelatihan teritorial di seluruh Indonesia. Berikutnya adakan evaluasi ketika dilaksanakan pada operasi di medan pertempuran yang berbeda-beda dan diadakan penyesuaian-penyesuaian, baru berikutnya dirumuskan konsep bakunya dengan berdasarkan pengalamanpengalaman operasi tersebut (lesson learned). Setelah konsep baku ini jadi maka dapat digunakan sebagai pedoman bagi TNI AD untuk menjadikan teritorial sebagai roh dari TNI AD. Dengan demikian, apabila memang sudah terbukti bahwa teritorial ini memang menjadi roh TNI AD, maka siapapun dan dimanapun orang bertanya tentang teritorial rakyat pun akan mengetahui tentang hal tersebut. Hal ini bisa dianalogikan dengan sistem
Ketika berbicara teritorial sebagai staf militer, maka padanan yang ada adalah sebagai Civil Affair atau Civil Military Cooperation (CIMIC) di negara-negara lain. Oleh karenanya, tidak ada salahnya apabila kita meniru Korea yang mengusung konsep CIMIC namun dengan nilai-nilai Korea yang mengemas konsep Saemaul Undong yang berisi tiga nilai utama yaitu rajin (dilligence), berdikari (self-help) dan gotong royong (cooperation) (http:// www.saemaul.or.kr/english/). Untuk mengilmiahkan Teritorial sebagai CIMIC, yang mengusung nilai-nilai asli Indonesia, maka yang pertama kali dirumuskan adalah nilai apa yang akan dimasukkan (pilih dua atau tiga nilai saja, misalnya ramah, berdikari, gotong royong, ringan
Subak di Bali, dimanapun petani atau orang ingin tahu tentang Subak maka ketika pergi ke Bali kemanapun perginya asal bertanya kepada petani, maka mereka akan bisa menjelaskannya karena Subak sudah menjadi bagian dari hidup atau roh petani di Bali. Demikian pula, nantinya apabila orang bertanya tentang teritorial maka setiap prajurit dan rakyat akan tahu karena hal itu sudah menjadi bagian dari kehidupan prajurit. Dengan demikian, maka dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, setiap prajurit akan siap dan tahu karena teritorial ini sudah menjadi roh dari setiap prajurit. d. Bangun logistik wilayah. Perang apapun bentuknya pasti memerlukan dukungan logistik. Dengan demikian Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
11
Jurnal Yudhagama apabila kita menghadapi perang hibrida ini, maka kita perlu secara terencana harus membangun logistik wilayah. Sampai saat ini rasanya belum tersedia logistik wilayah yang tersusun dalam kesisteman logistik untuk mendukung perang semesta, sesuai dengan potensi daerah. Rasanya yang dilakukan oleh satuan teritorial adalah baru sekadar melaksanakan pendataan terhadap potensi wilayah. Secara umum ada tiga elemen logistik yang penting yaitu materiil, fasilitas dan jasa. Saat ini kegiatan penyiapan sarana depo logistik di daerah yang berjalan baru depo-depo logistik dari Bulog (urusan beras) dan Pertamina (urusan bahan bakar minyak), inipun baru terbatas pada daerah yang padat penduduknya. Depo atau pusat penimbunan logistik yang lain yang lebih spesifik dalam rangka menghadapi perang hibrida pun sampai saat ini belum ada konsep yang jelas. Oleh karenanya para ahli logistik TNI AD diharapkan segera menyusun konsep sistem logistik wilayah untuk mendukung konsep hibrida ini. Peran TI sebagai sarana pembinaan teritorial dalam perang hibrida. Seperti disampaikan di atas bahwa walaupun dengan pembinaan teritorial aspek sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat dapat dikuasai, namun kita juga tidak boleh melupakan faktor teknologi untuk dapat membantu memenangkan perang hibrida ini. Salah satu teknologi yang saat ini berperan penting adalah Teknologi Informasi khususnya untuk mendukung konsep perang informasi dan perang cyber. Oleh karenanya penguasaan dan kepemilikan teknologi ini secara aman dan secara mandiri merupakan satu hal yang penting untuk mendukung konsep perang hibrida ini. Pandangan umum menyatakan bahwa militer profesional adalah militer yang berperang secara konvensional, didukung oleh Alutsista yang modern dengan daya tempur yang tinggi, bertempur dalam jenis perang tertentu, dinilai sudah kurang relevan lagi. Hal ini disampaikan oleh mantan Sekretaris Pertahanan
12
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Amerika Serikat Robert Gates “The old paradigm of looking at potential conflicts as either regular or irregular war, conventional or unconventional, high-end or low is no longer relevant.” Saat ini mereka menghadapi perang hibrida yang untuk memenangkannya memerlukan militer dengan kemampuan yang sangat fleksibel untuk mengatasi berbagai spektrum konflik. (Defense Information Technology Acquisition Summit, 12 November 2009) Dalam perang hibrida, TI memainkan peran yang penting. Teknologi ini mampu memberikan informasi kepada prajurit secara real time tentang ancaman yang mereka hadapi dan memberi solusi bagi para prajurit tentang apa yang harus dilakukan. Bahkan saat ini mereka secara individual juga dapat langsung mengakses informasi itu melalui perangkat genggam (handheld) yang mereka bawa. Disamping keunggulannya, karena kemudahan pengoperasiannya dalam mendukung proses pengambilan keputusan, Teknologi informasi juga dapat digunakan dalam mendukung konsep penaklukan tanpa melaksanakan perang secara fisik yaitu menggunakan konsep perang informasi melalui sarana media massa, mailing list, dan bahkan sekarang ini menggunakan apa yang disebut sebagai media sosial (social media). Media sosial, seperti Twitter, Facebook, BB Messenger dan sebagainya, merupakan satu sarana yang cukup ampuh dalam rangka mendukung perang hibrida, bahkan dari pengalaman akhir-akhir ini di Timur Tengah dengan Arab Spring nya yaitu media sosial mampu membuat revolusi di Tunisia, Mesir, Libya dan sekitarnya. Gambar berikut ini menunjukkan bahwa media sosial mempunyai kecepatan yang tinggi dalam menyampaikan informasi dengan sangat efektif. Sesuai ilustrasi di atas, maka masyarakat yang mengakses ke media sosial akan mengetahui terlebih dahulu akan adanya satu kejadian sebelum media umum seperti radio, TV, internet umum, koran menyebarkan berita tersebut. Dengan konsep ini, maka untuk dapat mengetahui informasi secara dini adalah mau tidak mau masuk kedalam media sosial. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa Presiden SBY membuat akun di Twitter https://twitter.com/sbyudhoyono yang ternyata baru beberapa hari dibuka langsung pengikutnya sudah mencapai jutaan dan ini merupakan media sosial yang dimiliki pemimpin negara dengan pengikut tertinggi di Asia Tenggara. Inilah pentingnya teknologi informasi dalam rangka mendukung konsep perang hibrida. Khusus untuk pemanfaatan teknologi informasi dibidang teritorial dalam meningkatkan ketahanan wilayah diperlukan satu langkah terobosan melalui pelaksanaan Pembinaan Ketahanan Wilayah (Bintahwil). Bintahwil selama ini dilakukan dengan cara manual melalui tatap muka untuk menyampaikan pesan
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD kesadaran bela negara dengan tujuan akhir adalah perlawanan rakyat guna menangkal setiap ancaman yang datang. Seiring dengan kemajuan teknologi, maka penyampaian pesan saat ini dapat dilakukan secara efektif melalui media sosial, internet dan media lokal lainnya. Untuk dapat melakukan ini, maka personel teritorial dituntut untuk paling tidak melek komputer (computer literate), mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan kepada komunitas disekitarnya melalui media digital yang dianggap paling efektif di wilayah tersebut. Untuk mencapai hal tersebut, maka konsep rumah pintar yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah dapat diadopsi dalam rangka pembinaan ketahanan wilayah. Secara singkat sarana ini terdiri dari satu rumah sederhana/gubug ditambah dengan fasilitas komputer dan akses internet. Rumah sederhana ini idealnya dibangun di lokasi yang strategis dimana banyak orang dapat berkumpul. Ketika banyak orang berkumpul disatu tempat, maka hal itu dapat dimanfaatkan untuk tempat menyebarkan informasi kepada masyarakat. Apabila komputer yang dilengkapi internet ini sudah diprogram oleh pihak teritorial untuk memberikan informasiinformasi yang sangat berguna bagi masyarakat, maka masyarakat akan memeroleh manfaat yang sangat besar. Rumah sederhana ini ketika sudah mampu menjadi tempat berkumpul dan bertukar berbagi informasi, maka otomatis sudah menjadi CIP (community intelligence point). Apabila sudah menjadi community intelligence point, maka sarana ini sudah menjadi sarana untuk melawan perang informasi. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana para Babinsa atau aparat teritorial ini mampu memanfaatkan teknologi ini dengan baik, karena hal ini menjadi prasyarat awal untuk menjalankan konsep Bintahwil melalui media digital. Sarana berikutnya adalah satu perangkat lunak sederhana yang mengadopsi konsep “kentongan”. Kentongan sebagai sarana komunikasi pada masa lalu mempunyai efektivitas yang sangat tinggi. Namun, di zaman yang sudah digital ini, konsep tersebut perlu dikembangkan menjadi “kentongan digital”. Konsep ini sebenarnya sudah dilakukan oleh POLRI dengan konsep Community Policing, dengan membagikan perangkat handy talkie kepada pengurus RT/RW dan tokoh masyarakat, namun kegiatan ini berbiaya mahal karena harga handy talkie cukup mahal dan pemeliharaannya relatif lebih sulit. Namun, apabila menggunakan konsep kentongan digital, biaya dan pemeliharaannya relatif lebih mudah dan murah. Sarana ini terdiri dari perangkat sederhana berupa komputer sederhana dan SMS gateway yang dipasang di Komando Teritorial seperti Koramil, sedangkan fasilitas penerimanya menggunakan handphone yang
saat ini harganya sudah sangat terjangkau dan sudah hampir dimiliki oleh seluruh warga. (Berdasarkan data yang ada saat ini sudah lebih dari 250 juta handphone beredar di Indonesia). Sarana ini, perangkat komputer dan SMS gateway yang dilengkapi perangkat lunak yang dengan mudah dibuat dapat digunakan sebagai sarana menyebarkan informasi kepada baik seluruh masyarakat, tokoh masyarakat maupun daftar kontak yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan sarana ini, maka Koramil dapat memberikan peringatan dini sebagai bagian dari konsep lapor cepat dan temu cepat yang harus dilaksanakan oleh setiap aparat teritorial. Apabila sistem ini dihubungkan dengan rumah pintar di atas, maka akan menjadi sarana menyebarkan informasi yang baik tentang teritorial dan hal-hal baik yang dilakukan oleh TNI AD dari sumber yang dapat dipercaya. Apalagi saat ini Pemerintah melalui Kemkominfo sedang menggiatkan penyebaran PLIK (Pusat Layanan Internet Kecamatan) atau Internet Service Center Kabupaten dan MPLIK (Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan). Program ini merupakan kelanjutan dari program USO (Universal Service Obligation) yang dilakukan oleh para penyedia jasa telekomunikasi Indonesia. Pihak teritorial apabila jeli dan dapat memanfaatkan fasilitas ini, maka akan menjadi sarana yang sangat hebat dalam rangka membina ketahanan wilayah melalui program Bintahwil menggunakan sarana digital. Dari kombinasi rumah pintar dan kentongan digital ini yang apabila diintegrasikan dengan PLIK serta media lokal yang ada, maka akan menjadi sarana perang informasi yang sangat efektif dengan biaya yang sangat murah, dengan catatan semua aparat teritorial sudah melek komputer sekalipun dalam tingkatan yang paling rendah. Sebagai langkah untuk mengantisipasi perang hibrida tersebut, Disinfolahtad juga sedang membangun infrastruktur mandiri sesuai dengan arahan pimpinan TNI AD dan menyiapkan sumber daya manusia yang memahami cyber defence. Apabila konsep ini dapat terwujud, maka TNI AD akan memiliki infrastruktur mandiri walaupun baru terbatas di Jakarta dan Bandung. Dengan konsep ini, maka pengamanan informasi dan data akan lebih baik karena semua akan berada dibawah kontrol Mabesad, sehingga penyediaan layananpun menjadi lebih baik. Diharapkan beberapa kombinasi upaya yang dilakukan oleh pihak teritorial dan pembangunan infrastruktur ini akan dapat mendukung konsep perang hibrida. Penutup. Perang hibrida merupakan perang campuran. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi, namun juga dengan aspek Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
13
Jurnal Yudhagama sosial budaya dan aspek lain dalam masyarakat. Oleh karenanya, maka teritorial memegang peran penting terutama melalui program ketahanan wilayah dapat dilakukan dengan melaksanakan Bintahwil menggunakan konsep baru dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagai sarana penyebaran pengetahuan dan informasi kepada seluruh lapisan masyarakat melalui konsep Community Intelligent Point. Konsep rumah pintar yang dikombinasikan dengan kentongan digital dapat menjadi sarana peningkatan ketahanan wilayah dalam rangka mendukung perang informasi sebagai antisipasi menangani perang hibrida. Untuk lebih meluaskan konsep pembinaan ketahanan wilayah, maka disarankan Pusterad membuat MoU dengan Kemkominfo untuk menempatkan PLIK/ MPLIK pada tempat strategis sesuai hasil pemetaan Babinsa agar tempat itu menjadi tempat berkumpul masyarakat dalam community intelligent point. Saat ini
Kemkominfo akan menggelar kurang lebih 5600 Pusat Layanan Internet Kecamatan di seluruh Indonesia, yang sudah digelar baru sekitar 1800 buah, sehingga masih tersisa lebih dari 3000 yang belum terpasang. Apabila aparat teritorial mampu menempatkan sarana ini di tempat yang tepat dan dapat menggabungkannya dengan konsep rumah pintar serta kentongan digital, maka dengan otomatis sudah melaksanakan kegiatan untuk memperkuat ketahanan wilayah dalam rangka menghadapi perang informasi. Disarankan pula untuk Pusterad membuat konten yang berisi pesan teritorial akan kesadaran bela negara atau Bintahwil di website, teknisnya adalah ketika pertama kali orang membuka website maka pesan teritorial itu yang akan selalu muncul terlebih dahulu, sehingga masyarakat yang mengakses web akan menerima pesan yang diinginkan oleh pihak teritorial, sehingga konsep Bintahwil secara digital akan menjadi sangat efektif. Semoga bermanfaat.
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Data Pokok. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Pangkat Tempat/Tgl. Lahir Agama Status Sumber Pa/Th Jabatan
II. A. 1. 2. 3. 4.
III. Riwayat Penugasan. : : : : : : :
Ir. Ignatius Budiman, S.P, M.Sc. Kolonel Czi/33835 Magelang/02-02-1963 Katholik Kawin Sepamilwa/1988 Kasubdis Binfung Disinfolahtad
Riwayat Pendidikan Militer.
Dikbangum. Sepawamil Sekalihpa Suslapa I Zeni Suslapa Zeni
: 1988 : 1993 : 1995 : 2000
B. Dikbangspes. 1 Sus Bhs. Inggris : 1989 2. Sus Paprog : 1990 3. ELC : 1992 4. System Automation Course : 1992 5. English Teaching Dev. Course : 1998 6. Susjemen Rengar : 2003
14
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Luar Negeri. 1. Amerika (USA) 2. Australia 3. Australia 4. Australia 5. Amerika (USA) 6. Thailand 7. Australia
: 1992 : 1998 : 2007 : 2008 : 2008 : 2009 : 2011
IV. Riwayat Jabatan. 1. Pama Ditziad 2. Pa Perancang Bangmil 3. Paur Jillahta Bagstalpullahta 4. Paprogtu Bagprogap Sisfomin 5. Panalsis Muda Bagsisbek Sisfomin 6. Panalsis Muda Bagsismat Sisfomin 7. Panalsis Madya Bagsismat 8. Kabag Sisgarku Sisfomin 9. Kabag Sisforengar Sisfomin 10. Kasubbag Puspeng Pusinfolahta 11. Kasubdis Binfung Disinfolahtad
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
HYBRID WARFARE DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA HYBRID WARFARE ADALAH TIPE PEPERANGAN GENERASI IV
Oleh : Kolonel Inf Henra Hari Sutaryo (Kasubdis Sisfokuat Disinfolahtad)
Hibryd warfare adalah ancaman masa kini yang memiliki karakteristik yang mencampuradukkan berbagai aspek peperangan mulai dari aspek pelaku peperangan, sistem dan metode peperangan, didukung dengan penguasaan teknologi komunikasi dan informasi, menggunakan seluruh dimensi peperangan yang terkini termasuk media cyber dan melakukan aksinya dengan memanfaatkan aspek ideologi, politik, keamanan, teknologi, hukum dan lingkungan hidup.
P
ara analis perang Amerika merumuskan karakteristik peperangan yang terjadi di dunia sesuai perkembangannya dari masa kemasa. Sampai dengan saat ini mereka mengelompokkan perkembangan karakteristik peperangan tersebut menjadi empat kelompok dikenal dengan istilah The Four Generation of War1(Empat Generasi Peperangan). Peperangan Generasi I dimulai sejak sekitar tahun 1648 seiring dengan peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman sebagai sebuah negara sekaligus mengakhiri
“Perang 30 Tahun” yang terjadi antara negara-negara di kawasan Eropa. Perang 30 Tahun tersebut merupakan suatu perang yang sangat carut marut namun pada dasarnya dilatarbelakangi oleh konflik antara kelompok penganut Katolik dengan Protestan2. Sejak peristiwa diperolehnya kedaulatan oleh Jerman tersebut, maka peperangan mulai dianggap sebagai salah satu cara bagi suatu negara untuk mencapai kepentingannya setelah sebelumnya setiap peperangan selalu berlatar belakang kepentingan agama. Ciri-ciri peperangan generasi I adalah adanya penentuan medan/wilayah perang dengan batas-batas tertentu (garis batas kiri/kanan dan depan/belakang) dan digunakannya musket (senapan api sederhana) yang selanjutnya dikombinasikan dengan senjata tajam seperti panah, sangkur dan lainlain sampai pada pengembangannya menjadi senjata mesin.3 Peperangan Generasi II muncul seiring meletusnya Perang Dunia I. Pada era tersebut peperangan ditandai dengan penggunaan taktik yang mengkombinasikan kemampuan bergerak dan tembakan langsung. Peperangan Generasi II juga diwarnai dengan dimulainya penggunaan kemampuan tembakan tidak langsung, digunakannya taktik tertentu termasuk penggunaan pakaian/seragam. Pada periode Perang Dunia I ini juga terjadi suatu peralihan generasi perang, sehingga dianggap sebagai dimulainya era Peperangan Generasi III ditandai dengan mulai digunakannya taktik infiltrasi dengan pasukan kecil sebagai suatu cara baru dalam menghancurkan pasukan musuh selain taktik lama yang mengerahkan pasukan besar untuk mendekati dan menghancurkan musuh.4 Peperangan Generasi III ini juga ditandai dengan penggunaan taktik penghancuran kekuatan musuh dari arah belakang atau samping kedudukan musuh seperti yang dilakukan oleh Jerman pada saat berperang melawan Inggris dan Perancis pada awal masa Perang Dunia II. Penggunaan keunggulan pada aspek dan kecepatan bergerak inilah yang kemudian memicu semakin berkembangnya tipe peperangan Generasi III ini, walaupun aspek yang dijadikan sebagai sasarannya masih tetap yaitu kekuatan militer musuh dan sasaran musuh yang berada lingkungan pemukiman penduduk. Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
15
Jurnal Yudhagama
Peperangan Generasi IV adalah peperangan dengan ciri adanya ketidakjelasan dalam hal batasan antara konflik ideologi, politik, ekonomi dengan perang itu sendiri
Seiring dengan itu berkembang pula pelibatan kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara dalam suatu peperangan disamping kekuatan militer. Adanya pelibatan kekuatan insurjen/kelompok tertentu inilah yang menjadi tanda dimulainya peperangan tipe baru. Peperangan Generasi IV mulai dikenal sejak tahun 1989, dipicu oleh mulai terlibatnya kelompok insurjen atau kelompok tertentu yang bertindak bukan atas nama negara (nonstate actors) dalam suatu peperangan. Kelompok-kelompok tersebut sebenarnya merupakan suatu bagian dari sebuah negara namun perjuangan mereka memiliki tujuan yang unik yaitu merongrong hingga meruntuhkan suatu kekuatan negara musuh atau bahkan menjadikan negaranya sendiri sebagai sasaran. Peperangan Generasi IV adalah peperangan dengan ciri adanya ketidakjelasan dalam hal batasan antara konflik ideologi, politik, ekonomi dengan perang itu sendiri bahkan batasan antara militer (kombatan) dan penduduk sipil (nonkombatan). Tipe peperangan ini sering terjadi di suatu negara berkembang yang ditandai dengan terjadinya perang saudara atau antara suatu negara dengan kelompok yang ingin mendirikan negara sendiri. Peperangan generasi IV juga mulai berkembang dengan munculnya istilah asymetric warfare yang mendeskripsikan suatu keadaan konflik/peperangan yang terjadi antara pihak yang sangat berbeda dalam cara-cara melakukan peperangannya. Konflik yang terjadi bersifat kompleks, melebar dalam jangka waktu yang relatif lama. Aksi insurjensi, teror dan gerilya merupakan salah satu bentuk taktik peperangan yang biasanya dilancarkan oleh pihak dengan memiliki kekuatan kecil dalam melawan musuh yang kuat dan besar. Aksi-aksi tersebut juga memanfaatkan keunggulan teknologi informasi dan komunikasi. Manipulasi informasi dan media massa juga merupakan salah satu strategi yang digunakan pada peperangan generasi IV ini.5 Berbagai pengertian tentang hybrid warfare. Jill R. Aitoro seorang analis perang berkebangsaan Amerika pada tulisannya yang berjudul “Defense Lack Doctrine to Guide it Through Cyber Warfare” menyatakan bahwa“ Current and future adversary are
16
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
likely to rely more on a blending of conventional and irregular approaches to conflict, which they referred to as hybrid warfare” 6 Pendapat Jill tentang hybrid warfare terlihat lebih mengarahkan pemahamannya pada aspek sistem dan metode hybrid warfare sebagai perang yang menggabungkan sistem dan metode perang konvensional dengan nonkonvensional. Elizabeth Montalbano seorang penulis Amerika menyatakan bahwa “The United States is likely to have adversaries practicing “hybrid warfare” tactics, which will include attacks on computer networks and other forms of technology, more commonly known as cyber-attacks or cyber warfare…… The term is used to describe not just cyber-attacks, but also attacks by biological, nuclear, radiological, and chemical weapons; improvised explosive devices; and information and media manipulation, among other forms of attacks.7 Elizabeth terlihat lebih menekankan pemahaman hybrid warfare kepada adanya penggunaan jaringan komputer termasuk cara-cara memanipulasi media massa dan informasi sebagai cara melakukan peperangan. Lebih jauh dia menambahkan bahwa hybrid warfare juga melibatkan penggunaan senjata nuklir, biologi, kimia dan senjata radiologi yang dipadukan dengan penggunaan bahan peledak Bill Nemeth, seorang mantan Perwira Menengah Marinir Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai: “the contemporary form of guerrilla warfare” that “employs both modern technology and modern mobilization methods.”8 Pendapat Bill tentang hybrid warfare lebih mengarah kepada pemahaman bahwa peperangan tersebut adalah bentuk perang gerilya yang kontemporer dan menggunakan teknologi dan sistem mobilisasi kekuatan yang modern. Sistem mobilisasi kekuatan yang modern dapat diartikan sebagai penggunaan kekuatan bersenjata baik reguler sebagai bagian dari suatu negara yang digabungkan dengan kekuatan nonreguler/milisi (non-state actor). Jack McCuen, seorang Kolonel pensiunan Angkatan Darat Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “the focus of activity of asymmetric warfare, fought on three decisive battlegrounds: (1) within the conflict zone population; (2) home front population; and (3) international community”9 Jack terlihat lebih memfokuskan pemahamannya kepada lingkup peperangan. Dia menjelaskan bahwa peperangan tersebut dilakukan dalam 3 jenis medan perang yang mendalam yaitu (1) Medan dimana orang-orang terlibat langsung dalam konflik (2) Wilayah yang lebih luas/lebar dimana orang-orang tersebut tinggal/ menetap (3) lingkungan internasional. Pemahaman Jack memberikan penjelasan bahwa hybrid warfare
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD ternyata menggunakan setiap tempat/media sebagai medan peperangan. David Kilcullen penulis buku berjudul “The Accidental Guerrilla” menyatakan bahwa “hybrid warfare is the best explanation for modern conflicts, but highlights that it includes a combination of irregular warfare, civil war, insurgency and terrorism”10. Pendapat David memperkaya pemahaman kita tentang aksi-aksi yang dilakukan dalam hybrid warfare. Dia menambahkan bahwa aksi insurjensi, perang saudara dan aksi terorisme sebagai salah satu metode yang dilakukan oleh pelaku hybrid warfare. Frank G. Hoffman seorang wartawan Amerika mendefinisikan hybrid warfare sebagai “any enemy that uses simultaneous and adaptive employment of a complex combination ofconventional weapons, irregular warfare, terrorism and criminal behaviour in the battlespace to achieve political objectives” 11 Pemahaman Frank lebih menjelaskan apa yang dimaksud dengan hybrid warfare. Frank menjelaskan bahwa karakteristik hybrid warfare adalah suatu bentuk perlawanan yang dilakukan secara berkepanjangan, penggunaan suatu kekuatan yang bersifat mendalam yang merupakan penggabungan antara sistem konvensional, nonkonvensional, aksi teror dan aksi kriminal dalam suatu medan peperangan untuk mencapai suatu kepentingan politis. Dibanding penulis yang lain, Frank menambahkan aksi kriminal sebagai salah satu cara yang dilakukan dalam hybrid warfare. Perlawanan kaum hizbullah kepada israel = hybrid warfare. Para pakar dan analis peperangan Amerika sejak lama sudah mengamati perkembangan tipe peperangan khususnya yang dilakukan oleh kelompok nonstate actor seperti kelompok Hamas, Mujahidin, Balkan, Kaum Chenchen dan lain-lain. Mereka mulai menyebut-nyebut istilah hybrid warfare setelah melakukan pengamatan terhadap cara berperang yang dilakukan oleh Kaum Hizbullah dalam menghadapi angkatan bersenjata Israel terutama pada periode tahun 2006 (Perang Lebanon)12. Hizbullah adalah kelompok Muslim aliran syiah militan yang berlokasi di Libanon yang menentang Israel dibentuk sejak sekitar tahun 1985. Kelompok Hizbullah pada awalnya adalah kelompok milisi dengan kekuatan yang kecil namun mendapat dukungan politis dan keuangan dari negara Iran dan Syria. Lambat laun mulai berkembang dengan adanya pengakuan resmi dalam pemerintahan Lebanon, berhasil mendirikan stasiun satelit dan televisi dan mampu menyelenggarakan program-program sosial kemasyarakatan. Kaum Hizbullah di Lebanon sudah menjadi seperti suatu negara dalam negara.
Hizbullah sebagai actor non-state dalam peperangan tersebut saat ini memiliki kekuatan dan kemampuan yang setara dengan umumnya sebuah angkatan bersenjata di suatu negara. Pada peperangan tersebut kaum Hizbullah menerapkan taktik yang khas sehingga kekuatan Israel tidak dapat mengembangkan manuvernya. Mereka mampu melakukan manuver konvensional yang dipadukan dengan taktik gerilya didukung oleh pemanfaatan keunggulan teknologi komunikasi dan informasi. Taktik yang dilakukan oleh kaum Hizbullah tersebut pada akhirnya menggagalkan Israel dalam suatu perebutan wilayah di suatu kampung di sekitar wilayah perbatasan Israel-Lebanon. Pada peristiwa tersebut kekuatan dan kemampuan artileri Israel yang modern tidak dapat menghancurkan pasukan Hizbullah padahal pasukan Hizbullah hanya berlindung dalam bunker yang diperkuat dan melakukan perlawanan dengan ATGMs buatan Russia. Pasukan Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nasrullah juga menunjukkan kemampuannya yang mampu menembakkan ribuan roket dan rudal jarak sedang dan jarak jauh. Pada peristiwa itu juga kaum Hizbullah berhasil merusak kapal korvet INS Hanit dan membunuh 4 orang pasukan Israel menggunakan senjata rudal anti kapal C-802. Keberhasilan kaum Hizbullah tersebut juga ternyata didukung oleh kemampuan mereka dalam meretas sistem komunikasi dan kemampuan melakukan penyadapan terhadap telepon mobil para prajurit Israel bahkan Hizbullah juga memiliki kemampuan Unmanned Aerial Vehicle (UAVs) yang berarti juga memiliki kemampuan penguasaan frekuensi dan sistem pemetaan yang modern (GPS). Kekuatan Hizbullah ini jelas-jelas bukan merupakan kekuatan militer suatu negara (non-state actor) tetapi mampu melawan bahkan mengalahkan kekuatan bersenjata negara Israel sampai sampai pemerintah Amerika, Belanda, Bahrain, Perancis, Inggris , Australia, Kanada dan Israel mengklasifikasikan kaum Hizbullah sebagai organisasi teroris. Hizbullah juga menggabungkan gerakan politik terpusat yang terorganisir dengan agen-agen yang didesentralisir Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
17
Jurnal Yudhagama yang tersebar di berbagai wilayah, sehingga dapat mendukung aksi bersenjatanya. Agen-agen yang tersebar menerapkan taktik gerilya, memanfaatkan keunggulan teknologi komunikasi dan berbaur dengan nonkombatan untuk bersama-sama membangun kantong-kantong pertahanan yang kuat. Kemampuan berperang Kelompok Hizbullah sebagai non-state actor, penggunaan taktik campur aduk antara taktik konvensional dan gerilya didukung oleh kemampuan menggunakan keunggulan teknologi komunikasi dan pemetaan inilah yang kemudian banyak disebut-sebut sebagai bentuk ancaman baru dan diberi istilah hybrid warfare. Indonesia berpengalaman dalam perang konvensional dan gerilya. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa Indonesia telah menghadapi berbagai bentuk ancaman dengan melakukan peperangan. Pertama, menghadapi agresi militer Belanda. Pada awal masa kemerdekaan, bangsa Indonesia mengalami ancaman Agresi Militer Belanda I (tahun 1947) dan Agresi Militer Belanda II (tahun 1948).13 Kekuatan angkatan bersenjata Indonesia saat itu sangat terbatas terutama pada aspek peralatan dan persenjataan namun dengan semangat perjuangan yang sangat tinggi bangsa Indonesia saat itu berhasil menunjukkan kredibilitasnya sebagai negara merdeka. Pihak Belanda menerapkan tipe peperangan konvensional didukung peralatan dan persenjataan yang modern namun para pejuang Indonesia memadukan taktik konvensional dengan taktik gerilya. Kekuatan bersenjata pihak Indonesia (BKR/TKR) berbaur dalam lingkungan masyarakat (nonkombatan), membuat kantong-kantong pertahanan di berbagai wilayah dan melakukan aksi-aksi perlawanan terhadap Belanda secara sporadis.14 Cara berperang ini telah membuat pihak Belanda mengalami kesulitan karena mereka bukan hanya harus menghadapi kekuatan bersenjata Indonesia, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan bahwa apabila suatu perlawanan dilakukan oleh kekuatan bersenjata yang bergabung dengan masyarakat maka akan menimbulkan kesulitan bagi pihak lawan. Konsep peperangan yang menggabungkan kekuatan bersenjata (kombatan) dengan masyarakat (nonkombatan) inilah yang dinilai menyulitkan dalam menyelesaikan suatu konflik bersenjata. Kedua, menghadapi Pemberontakan DI/TII. Pemberontakan pasukan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat (tahun 1945-1962), Kahar Muzakar (1950-1965) dan lain-lain yang mendeklarasikan negara Indonesia
18
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
sebagai Negara Islam Indonesia (NII).15 Taktik yang mereka gunakan dalam melancarkan aksinya adalah taktik gerilya. Dalam menghadapi aksi gerilya dari para pemberontak tersebut, kekuatan bersenjata Indonesia juga menerapkan taktik gerilya. Pada akhirnya aksi pemberontakan tersebut berhasil dihentikan. Peristiwa tersebut semakin meyakinkan TNI bahwa taktik gerilya terbukti mampu mengatasi aksi gerilya. Ketiga, merebut Wilayah Irian Jaya. Operasi Trikora (1962-1964) membuktikan bahwa taktik konvensional terbukti ampuh dalam merebut kembali Irian Barat (Papua). Bangsa Indonesia pada awal masa kemerdekaannya menyepakati untuk melakukan perebutan wilayah Irian Jaya (Papua) dari pendudukan Belanda. Kali ini kekuatan bersenjata Indonesia sudah banyak mengalami kemajuan pada aspek peralatan dan persenjataan baik pada kekuatan matra darat, laut maupun udara. Kemajuan perlengkapan dan persenjataan perang yang dialami Angkatan Bersenjata Indonesia tersebut tidak lepas dari adanya dukungan internasional khususnya dari Uni Sovyet dan Amerika.16 Perebutan Irian Jaya dilakukan dengan menerapkan taktik peperangan konvensional. Operasi tersebut telah berhasil mengusir pendudukan Belanda di tanah Papua dan mengintegrasikan wilayah Irian Barat menjadi wilayah yang tidak terpisahkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mundurnya Belanda dari Tanah Papua ditandai dengan peristiwa diplomasi internasional dikenal dengan “Persetujuan New York”. Persetujuan tersebut dilakukan oleh pihak Indonesia dan Belanda di markas besar PBB New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Persetujuan New York itu juga telah mengubah sikap Australia atas desakan Amerika, yang semula mendukung Irian Barat untuk merdeka menjadi mendukung penggabungan Irian Barat dengan Indonesia. Lebih lanjut satu bunyi persetujuan itu adalah bahwa pihak Indonesia dengan bantuan PBB akan memberikan kesempatan bagi penduduk Irian Barat (Papua) untuk mengambil keputusan/pilihan secara bebas (referendum) antara bergabung dengan Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia. Maka pada tahun 1969 diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang berhasil mendapatkan pilihan rakyat Irian untuk bergabung dengan bangsa Indonesia sampai dengan sekarang.17 Namun, peristiwa itu juga menyisakan permasalahan lain yaitu munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang terutama disponsori oleh mereka yang tidak setuju terhadap proses integrasi Papua dengan Indonesia. Pihak yang tidak setuju ini merupakan kelompok yang berasal dari dalam dan luar negeri. Gerakan OPM tersebut masih dirasakan sampai dengan
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD saat ini terutama dengan masih ditemukannya aksi-aksi bersenjata di sekitar wilayah perbatasan, perang urat syaraf dan propaganda yang dilancarkan oleh kelompok OPM bahkan akhir-akhir ini terjadi peristiwa peresmian Kantor Perwakilan OPM di Oxford, Inggris18. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kekuatan bersenjata Indonesia terbukti telah berhasil merebut wilayah Papua dari tangan Belanda dengan menerapkan taktik konvensional, namun pada tahap berikutnya menyisakan permasalahan munculnya gerakan OPM yang belum bisa tuntas sampai dengan saat ini. Kondisi ini dapat mengarah kepada semakin kuatnya gerakan OPM tersebut. Bukan tidak mungkin negaranegara sponsor OPM dapat dengan cepat melakukan deployment peralatan dan persenjataan kepada OPM untuk melakukan aksi bersenjata melawan bangsa Indonesia. Transfer penguasaan teknologi mungkin memerlukan waktu yang relatif lama namun pada prinsipnya serangan yang menggunakan keunggulan teknologi komunikasi dan informasi dapat dilakukan dari mana saja di berbagai belahan dunia. Dengan demikian OPM yang diperkuat oleh kekuatan asing dapat berkembang menjadi bentuk ancaman hybrid warfare yang sangat mungkin dihadapi oleh bangsa Indonesia pada masa datang. Keempat, konfrontasi dengan Malaysia. Bangsa Indonesia pernah mengerahkan kekuatan bersenjatanya untuk melaksanakan konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1962-1966.19 Invasi dilakukan dengan menerapkan taktik konvensional dan gerilya di wilayah Malaysia. Pada saat itu Brunei, Sabah, Sarawak dan Borneo Utara akan dijadikan sebagai satu wilayah bersama dalam bentuk Federasi Malaya atas inisiatif Inggris. Keinginan tersebut ditentang oleh pemerintah Indonesia karena tidak sesuai dengan Persetujuan Manila. Indonesia kemudian mengerahkan kekuatan bersenjatanya ke wilayah Sabah dan Sarawak. Pasukan Indonesia menerapkan taktik gabungan antara taktik konvensional dan taktik gerilya. Hal ini diakui oleh pihak Australia dalam tulisan-tulisannya di Australian War Memoriam: “In September and October 1964, when Indonesia launched paratroop and amphibious raids against Labis and Pontian, on the south-western side of the peninsula. Members of the 3rd Battalion, Royal Australian Regiment (3 RAR) were used in clean-up operations against the invading troops.”20 Pasukan bersenjata Indonesia itu kemudian harus mengalami pengalaman pahit karena ancaman yang dihadapi ternyata bukan murni kekuatan pihak Malaysia tetapi justru kekuatan yang pendukungnya yaitu Angkatan Bersenjata Inggris dan aliansinya. Peristiwa konfrontasi tersebut menjelaskan bahwa TNI memiliki pengalaman dalam melakukan
peperangan secara konvensional dipadukan dengan taktik gerilya. Terlihat jelas bahwa keberhasilan dalam penerapan taktik gerilya tersebut diperoleh manakala taktik gerilya tersebut diterapkan dalam wilayah sendiri sementara itu penerapan taktik gerilya di wilayah negara lain ternyata tidak banyak memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia. Perkembangan situasi di kawasan Asia Tenggara baik pada aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya semakin hari menunjukkan semakin mengarah kepada kepentingan negara-negara Eropa dan Amerika. Keberadaan ASEAN sebagai wadah kerja sama negara-negara ASEAN terlihat semakin berkurang dalam mengkomunikasikan kerja sama antar negara ASEAN. Malaysia, Brunei, Singapura Thailand, Burma bahkan Timor Leste terlihat lebih menikmati kerjasama dengan negara Australia, Inggris dan Amerika daripada bekerjasama dalam forum ASEAN. Kondisi tersebut dapat mengarah kepada terjadinya suatu perkembangan tertentu di wilayah negara-negara tetangga tersebut yang dapat mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Bangsa Indonesia dan memaksa untuk mengerahkan kekuatan bersenjatanya. Namun seperti halnya yang pernah dialami pada peristiwa konflik dengan Malaysia maka hal yang sangat perlu untuk diwaspadai adalah bahwa kekuatan yang akan dihadapi tersebut bersifat non-state actor tetapi memiliki kemampuan peralatan dan persenjataan yang modern, mampu menerapkan taktik peperangan campuran didukung oleh penguasaan dalam teknologi komunikasi dan informasi. Kelima, menghadapi Gerakan Aceh Merdeka. Sejak sekitar tahun 1976, Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka sekaligus menunjukkan keinginannya untuk merdeka dan mendirikan negara sendiri.21 Semangat ini kemudian diakomodir oleh Pemerintah Pusat dengan menjadikan status Provinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa. Pada perkembangannya status Daerah Istimewa tersebut ternyata tidak menyurutkan semangat separatisme tersebut, sehingga timbullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Aksi separatisme GAM ini kemudian diatasi dengan mengerahkan kekuatan TNI untuk melaksanakan operasi penumpasan GAM. Status Daerah Operasi Militer diberlakukan di Propinsi Aceh pada sekitar tahun 1980 s.d 1990an dan ditingkatkan menjadi status Darurat Militer pada tahun 2003. Kelompok GAM melakukan aksi bersenjatanya dengan menerapkan taktik gerilya didukung dengan perjuangan diplomatis dari pendukung dan para tokoh GAM yang berada di luar negeri. Konflik tersebut berakhir dengan digelarnya proses perdamaian antara pemerintah RI dengan pihak GAM. Pada 17 Juli 2005, setelah perundingan selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
19
Jurnal Yudhagama mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Penandatanganan nota kesepahaman damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah tim yang bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Diantara point pentingnya adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi anggota GAM.22 Selain itu isi kesepahaman tersebut sekaligus mengamanatkan untuk dibubarkannya sayap militer GAM, pemberian status Provinsi Aceh menjadi Daerah Otonomi Khusus dan pemberian kewenangan bagi pemerintah Provinsi Aceh untuk merancang lambang/ simbol wilayah Provinsi Aceh. Pada periode awal pasca kesepakatan damai, terlihat bahwa stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara pada berbagai aspek mulai mengarah kepada situasi yang normal seperti halnya terjadi di berbagai propinsi lainnya. Namun pada saat Pemerintah Provinsi Aceh merancang lambang propinsi Aceh, semangat separatisme Aceh tersebut kembali muncul. Sebagian penduduk Aceh menginginkan agar lambang Provinsi Aceh menggunakan lambang lambang yang pernah digunakan oleh kelompok GAM. 23 Peristiwa ini menunjukkan bahwa proses perdamaian dan pemberian status Daerah Otonomi Khusus kepada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam belum menyurutkan semangat separatisme sebagian
20
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
warga Aceh. Kondisi ini merupakan hal yang perlu diwaspadai sebagai salah satu indikasi akan timbulnya kembali Gerakan Aceh Merdeka. Bukan tidak mungkin semangat separatisme ini akan kembali melahirkan kelompok militan bersenjata seperti yang pernah terjadi pada periode sebelumnya. Keenam, menghadapi konflik Timor-Timur. TimorTimur pada awalnya merupakan sebuah wilayah bekas koloni Portugis yang kemudian berintegrasi dengan Indonesia tahun 1976 sd 1999. Proses integrasi TimorTimur dengan Indonesia berakhir dengan peristiwa dramatis dengan berpisahnya kembali Timor-Timur menjadi negara Timor Leste pada tahun 2002.24Proses integrasi wilayah Timor-Timur menyisakan kenyataan yang kurang menguntungkan bagi pihak Indonesia. Selama kurang lebih 20 tahun Indonesia menghadapi perlawanan dari kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang tidak setuju dengan proses integrasi tersebut. Konflik yang terjadi merupakan konflik antara pemerintah Indonesia (state actor) dan GPK Timtim (non-state actor). Perlawanan bersenjata tersebut pada akhirnya mendapat dukungan dari para pendukung dan aktivis sosial maupun politiknya. Para aktivis sosial dan politik tersebut justru bergerak secara internasional yang pada akhirnya gerakan ini terindikasi mendapat dukungan internasional. Dukungan aspek sosial dan politis internasional tersebut diuraikan lebih rinci oleh Rachel Whitman dalam tulisannya berjudul History and
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
Proses timbulnya ancaman hybrid warfare Conflict in East Timor. 25 Pada sekitar tahun 1998, Pemerintah Indonesia mengalami instabilitas politik dalam negeri dengan munculnya gerakan politisasi massa yang berhasil melengserkan kepemimpinan Soeharto dari kursi kepresidenan. Kondisi dan situasi politik dalam negeri yang sangat terpuruk tersebut terlihat menjadi peluang bagi GPK dan para pendukungnya untuk melancarkan aksi selanjutnya. Disisi lain sikap politik luar negeri Indonesia yang nonblok dan bebas aktif terkesan menimbulkan kerugian karena dalam hal konflik dengan GPK tersebut Indonesia kurang mendapat dukungan dari dunia Internasional. Akhirnya hasil jajak pendapat yang digelar ternyata sangat menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Warga Timor-Timur lebih banyak yang memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri. Ancaman yang dihadapi Indonesia akan semakin kompleks. Pada berbagai peristiwa perang yang terjadi di
berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, kita tidak bisa dengan mudah menilai siapa aktor/pelaku perang yang sebenarnya, apakah mereka itu mengatasnamakan suatu negara (state actor) atau bukan negara (nonstate actor). Kita pun menemukan berbagai kesulitan tentang apa sebenarnya yang menjadi latar belakang terjadinya peperangan tersebut. Latar belakang terjadinya peperangan tersebut bercampur aduk antara kepentingan yang bersifat politik, ideologi, ekonomi, atau aspek sosial dan lain-lain. Sistem dan metode berperang juga bersifat kompleks karena perang dilakukan dengan menerapkan konsep perang konvensional dan perang modern. Dimensi peperangan yang terjadi juga sudah merambah kepada dimensi dunia maya (dunia cyber) sebagai fasilitas/sarana/media peperangan dunia maya (cyber warfare). Peperangan yang bersifat kompleks, bercampur aduknya berbagai kepentingan yang menjadi latar belakang konflik, ketidakjelasan siapa pelaku perang yang sebenarnya, bercampuraduknya metode, cara, teknik dan taktik berperang itulah yang kemudian disebut sebut sebagai Perang Hibrida (Hybrid Warfare).Pengalaman bangsa Indonesia dalam
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
21
Jurnal Yudhagama menghadapi berbagai konflik bersenjata tersebut telah banyak memberikan pelajaran bagi Bangsa Indonesia diantaranya: 1. Keberhasilan suatu pihak dalam menghadapi ancaman/konflik tertentu tidak bisa lepas dari pengaruh/dukungan negara lain. 2. Penghancuran kekuatan bersenjata tidak selalu menghentikan semangat perlawanan. 3. Stabilitas politik dalam negeri sangat berpengaruh dalam mencapai keberhasilan. 4. Pertimbangan untuk menerapkan suatu taktik dan teknik pengerahan kekuatan bersenjata harus memperhitungkan oleh kekuatan dan kemampuan pihak lawan. 5. Lawan dengan Alutsista sederhana belum tentu memiliki perjuangan yang juga sederhana. 6. Dalam menghadapi lawan yang non-state actor ternyata harus juga menghadapi negara pendukungnya. 7. Pelaku perang jenis non-state actor dapat memiliki kekuatan dan kemampuan angkatan bersenjata yang modern yang dipadukan dengan kemampuan gerilya dan terorisme. 8. Keunggulan teknologi, komunikasi dan informasi merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan. 9. TNI saat ini belum memiliki pengalaman dalam menghadapi lawan dengan kekuatan dan kemampuan yang modern. Mempelajari berbagai peristiwa sejarah dalam negeri dan perkembangan tipe konflik bersenjata tersebut maka pemerintah Indonesia sangat perlu untuk mewaspadai timbulnya ancaman hybrid warfare terhadap Indonesia. Bukan tidak mungkin kelompok militan yang ada di Indonesia seperti OPM, GAM dan lain-lain suatu saat dapat berkembang menjadi lebih besar sehingga pemerintah Indonesia akan mengalami kesulitan yang lebih besar. Kelompok militan anti Indonesia tersebut sudah tentu akan mencari dukungan politis, keuangan bahkan peralatan dan persenjataan dari dalam dan luar negeri untuk mendukung perjuangannya. Pemerintah RI perlu memiliki konsep menghadapi hybrid warfare. Walaupun kesungguhan pemerintah Indonesia dalam menghadapi ancaman hybrid warfare telah dijelaskan oleh Panglima TNI, pada upacara bendera 17an, tanggal 18 Maret 2013: “Kesungguhan pemerintah saat ini dalam menata pertahanan dan keamanan negara, tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga secara cerdas pemerintah telah menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah terorisme 22
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
di dalam negeri.26 Kesungguhan tersebut sudah tentu memerlukan tindakan nyata pada berbagai tataran kebijakan mulai dari kebijakan politis, strategis, operasional sampai dengan tataran kebijakan taktis dan teknis. Berbagai prestasi dan kegagalan tentu saja mewarnai perjalanan reformasi. Setelah kurang lebih 15 tahun agenda reformasi tersebut digulirkan, Perubahan yang sangat mencolok adalah terciptanya era kebebasan dalam berbagai bidang. Sejalan dengan kemajuan pesat dibidang komunikasi, khususnya media online dan elektronik, berbagai aspirasi ideologi bermunculan secara bebas. Reformasi telah memberikan ruang kebebasan yang sangat luas di berbagai bidang. Tentu saja, dalam kebebasan dan manfaat yang diraih oleh sebagian orang, timbul juga
Kesungguhan pemerintah saat ini dalam menata pertahanan dan keamanan negara, tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga secara cerdas pemerintah telah menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida efek samping dan dampak buruk yang dilihat dan dirasakan oleh sebagian masyarakat lainnya. Dalam berbagai bidang, dampak buruk ini begitu nyata, sehingga mulai meresahkan. Euphoria politik yang terjadi sebagai konsekuensi dari perubahan sistem berbangsa dan bernegara terkesan telah mengurangi kesadaran bangsa Indonesia terhadap adanya ancaman yang secara halus maupun secara kasar merongrong kedaulatan bangsa dan negara. Apabila pada masa lalu bangsa Indonesia mengalami era kebangkitan nasional karena semua bangsa Indonesia merasakan ancaman yang sama, maka Gerakan Kebangkitan Nasional II merupakan upaya yang bijaksana dan dapat ditempuh dalam rangka memelihara dan meningkatkan nasionalisme Bangsa Indonesia bukan hanya untuk menanamkan rasa cinta tanah air tetapi juga sekaligus meningkatkan kesadaran akan adanya ancaman yang setiap saat dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Hubungan internasional, regional, maupun bilateral merupakan faktor penting dalam menyikapi timbulnya berbagai ancaman. Kebijakan politik luar negeri yang diterapkan adalah politik luar negeri bebas aktif. Kebijakan ini sangat dipengaruhi oleh ideologi Bangsa Indonesia. Sebagai salah satu negara dalam kancah dunia, Bangsa Indonesia terkesan menganggap
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD negara lain adalah “sahabat” sementara negara yang dianggap sahabat tersebut belum tentu konsisten dengan kesepakatan untuk “bersahabat”. Sudah kita ketahui bersama bahwa dalam era globalisasi ini tiap negara berkompetisi untuk memajukan negaranya masing-masing. Dalam hal berkompetisi antar negara tersebut pemerintah Indonesia terkesan lebih mementingkan kemajuan bersama-sama dengan negara lain sementara negara tersebut belum tentu konsisten ingin juga bersama-sama memajukan Indonesia. Oleh karena itu diharapkan kebijakan politik luar negeri yang mengedepankan realisme merupakan upaya yang dapat ditempuh, sehingga Indonesia dapat memetakan negara-negara tersebut dalam kelompok negara “competitor”, “netral, pendukung dengan Indonesia. Dengan demikian maka Indonesia dapat dengan mudah melakukan konsep hubungan diplomatis dengan negara-negara tersebut. Pemerintah perlu memiliki peraturan/perudangundangan yang mengatur tentang kewenangan untuk menyatakan bahwa suatu pihak adalah lawan/musuh bangsa dan negara. Pada Pembukaan UUD 1945 sangat
Penguasaan dan keterampilan prajurit pada aspek teknologi informasi dan komunikasi perlu dikembangkan, sehingga memiliki kemampuan untuk melindungi infrastruktur milik sendiri jelas dicantumkan bahwa pemerintah negara Indonesia harus dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam rangka “melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia” tersebut, maka pemerintah negara Indonesia, dalam hal ini Badan Intelijen Negara dan unsur intelijen negara lainnya harus terus menerus memantau dan mengenali upaya-upaya pihak tertentu yang mungkin berpotensi menjadi ancaman terhadap bangsa dan negara. Dalam hal ancaman tersebut nyata-nyata menggangu keselamatan, keamanan dan kedaulatan bangsa dan negara, maka pemerintah negara Indonesia harus memiliki kewenangan untuk menyatakannya sebagai lawan/musuh negara dan bangsa. Pengaturan tentang kewenangan untuk menyatakan suatu pihak itu adalah lawan/musuh negara tersebut perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Koordinasi dan kerjasama lembaga pemerintah perlu ditingkatkan. Hasil analisa tentang adanya kemungkinan ancaman hybrid warfare perlu disebarluaskan dalam kalangan lembaga pemerintah.
Kemenko Polhukam kemudian dapat berperan sebagai “leader” menyusun konsep dan rencana aksi dalam menghadapi ancaman tersebut dari aspek keselamatan/keamanan negara dan berkoordinasi dengan Kemenko Kesra menyusun konsep serupa dengan pendekatan dari aspek kesejahteraan. Dua konsep strategis tersebut kemudian disosialisasikan kepada seluruh unsur pelaksana terkait pada tataran Pemerintah Pusat dan Daerah termasuk kepada unsur pengawasan dan pengembangan. Dengan demikian diharapkan ancaman hybrid yang dihadapi dengan visi dan misi yang jelas, terkoordinir dan terukur. Pemerintah Indonesia perlu menguasai keunggulan teknologi, informasi dan komunikasi. Pembangunan stasiun satelit dan televisi pemerintah merupakan faktor penting bukan hanya untuk melindungi infrastruktur komunikasi dan informasi yang dimiliki tetapi juga untuk melakukan pengamatan dan pengumpulan data/informasi dari pihak lain termasuk melakukan manipulasi data/informasi dan media pada pihak lawan. Pembangunan infrastruktur teknologi komunikasi tersebut perlu dilakukan secara terkoordinasi oleh Kemenkominfo, sehingga konsep infrastruktur yang dimiliki memiliki standard tertentu yang terintegrasi. Pembangunan pada aspek regulasi perlu disusun sedemikian rupa, sehingga akses yang dilakukan oleh pihak lain bisa dikendalikan. Penguasaan dan keterampilan prajurit pada aspek teknologi informasi dan komunikasi perlu dikembangkan, sehingga memiliki kemampuan untuk melindungi infrastruktur milik sendiri, mampu melakukan pengintaian dan pengamatan terhadap data/ informasi pihak lawan sekaligus mampu melakukan manipulasi data/informasi (kemampuan cyber defense dan cyber attack). Doktrin TNI khususnya tentang konsep menghadapi ancaman hybrid warfare yang dilakukan oleh nonstate actor perlu segera disusun untuk dapat dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh kekuatan TNI dalam melakukan pembinaan maupun dalam penggunaan kekuatan dalam menghadapi ancaman cyber warfare. Pembentukan unit cyber warfare sangat diperlukan sebagai salah satu unsur yang memiliki kemampuan melaksanakan perang elektronika khususnya cyber defense dan cyber attack. Kesimpulan. Hibryd warfare adalah ancaman masa kini yang memiliki karakteristik yang mencampuradukkan berbagai aspek peperangan mulai dari aspek pelaku peperangan, sistem dan metode peperangan, didukung dengan penguasaan teknologi komunikasi dan informasi, menggunakan seluruh dimensi peperangan
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
23
Jurnal Yudhagama yang terkini termasuk media cyber dan melakukan aksinya dengan memanfaatkan aspek ideologi, politik, keamanan, teknologi, hukum dan lingkungan hidup. Pengalaman sejarah Bangsa Indonesia dalam berbagai konflik merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam menghadapi ancaman yang akan datang. Pengaruh internasional, kemampuan diplomasi dan penguasaan teknologi Alutsista, informasi dan komunikasi merupakan faktor penting yang harus dikuasai, sehingga Bangsa Indonesia memiliki ketahanan yang tangguh. Era reformasi yang sudah digulirkan bangsa Indonesia sejak 15 tahun lalu telah mencapai keberhasilan sejalan dengan kegagalan pada berbagai aspek. Terciptanya situasi dan kondisi pada berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara disisi lain dapat dijadikan peluang oleh pihak pihak tertentu untuk merongrong bangsa dan negara Indonesia. Issu Gerakan OPM dan GAM merupakan issu yang mungkin dapat berkembang menjadi ancaman hybrid warfare yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Indonesia perlu melakukan Gerakan Kebangkitan Nasional II, melakukan pembaharuan politik luar negeri dengan melakukan diplomasi dan hubungan internasional yang mengedepankan realisme daripada idealisme. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pemerintah untuk menyatakan bahwa suatu pihak adalah lawan/ musuh negara setelah melalui proses analisa intelijen yang akurat. Kerjasama antar lembaga pemerintah dalam mengatasi ancaman hybrid warfare merupakan faktor ketahanan nasional yang tangguh baik melalui pendekatan keamanan maupun kesejahteraan. Pembangunan infrastuktur teknologi komunikasi dan informasi merupakan aspek penting yang perlu dilakukan sejalan dengan pembangunan regulasinya yang dapat menjadikan infrastruktur yang mandiri. Kualitas prajurit TNI yang sudah lebih dari 10 tahun tidak memeroleh kesempatan untuk mengaplikasikan operasi militer pada keadaan sebenaranya perlu dipelihara dan ditingkatkan melalui program revisi dan validasi doktrin TNI, pendidikan dan latihan yang kontinyu disertai dengan pengembangan organisasi, modernisasi Alutista dan penyiapan kekuatan dan kemampuan cyber warfare yang handal. Endnotes. 1 William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http:// www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf 2 KonradRepgen, ‘Negotiating the Peace of Westphalia: A Survey with an Examination of the Major Problems’, In: 1648: War and Peace in Europe: 24
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
3 vols. (Catalogue of the 26th exhibition of the Council of Europe, on the Peace of Westphalia), Klaus Bußmann and Heinz Schilling (eds.) on behalf of the Veranstaltungsgesellschaft 350 JahreWestfälischerFriede, Münster and Osnabrück: no publ., 1998, ‘Essay Volume 1: Politics, Religion, Law and Society’, pp. 355-372, here pp. 355seq. 4 William S Lind, Understanding Fourth Generation War, Military Review September-October 2004, http:// www.au.af.mil/au/awc/awcgate/milreview/lind.pdf 5 Ibid 6 Ibid 7 Jill J Aioro, Defense Lacks Doctrine to guide it through Cyberwarfare, 13 September 2010, http:// www.nextgov.com/defense/2010/09/defense-lacksdoctrine-to-guide-it-through-cyberwarfare/47575/ 8 Elizabeth Montabalno, Auditor Find Dod Hasn’t Defined Cyber Warfare, September 2010, http://www. informationweek.com/government/security/auditorsfind-dod-hasnt-defined-cyber-wa/227400359 9 Frank G Hoffman, Hybrid vs compound war, http:// www.armedforcesjournal.com/2009/10/4198658/ 10 Ibid 11 Ibid 12 Ibid 13 Frank G. Hoffman, Conflict in the 21st Century, The Rise of Hybrid Wars, Patomatic Institute, Virginia USA, Desember 2007. P 35. 14 Dr. A.H Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan, 1995 15 Ibid 16 JenniSibarani, Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan antara tahun 1945-1950an, Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Disintegrasi Bangsa Terutama dalam pergolakan dan Pemberontakan, November 2008, http://www.sejarahkita.comoj.com/ jenny12.html 17 Saleh A. Djamhari dkk. Tri Komando Rakyat, Markas Besar Angkatan Bersenjata RI, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta, 2000. 18 KanisWk, Mengenang 50 Tahun New York Agreement, Sejarah Integrasi Papua akan Ditulis Ulang,http://politik.kompasiana.com/2012/08/16/ mengenang-50-tahun-new-york-agreement-sejarahintegrasi-papua-akan-ditulis-ulang-486720.html 19 Majalah Tempo, Menlu Marty Protes Keras Ada Kantor OPM di Inggris, 05 Mei 2013, http://www. tempo.co/read/news/2013/05/05/078477991/MenluMarty-Protes-Keras-Ada-Kantor-OPM-di-Inggris 20 James, Harold and Sheil-Small, Denis. 1971. The Undeclared War: The Story of the Indonesian Confrontation 1962–1966
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD 21 Ibid 22 Otto Syamsuddin Ishak, dkk, Hasan Tiro: Unfinished Story of Aceh, Bandar Publishing-Banda Aceh, 2010 23 Ibid 24 Fasya, Ratusan Mahasiswa dan Masyarakat Gelar Aksi Damai bendera Merah Putih dan bendera GAM, Mei 2013, http://www.acehnationalpost.com/ langsaacehtimuranp/5576-ratusan-mahasiswamasyarakat-gelar-aksi-damai-bendera-merah-putihdan-bendera-gam.html
25 MozesAdiguna, Masa Integrasi Adalah Masa Terindah bagi Timor Timur, Kompasiana, Maret 2013, http://politik.kompasiana.com/2013/03/07/ masa-integrasi-adalah-masa-terindah-bagi-timortimur-539975.html 26 Rachel Whitman, History and Conflict in East Timor, Mount Holyoke College, December 2004 27 http://www.tni.mil.id/view-45760-amanatpanglima-tni-pada-upacara-bendera-17-an-tanggal-18februari-2013.html
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Data Pokok. 1. Nama 2. Pangkat/NRP 3. Tmp/Tgl. Lahir 4. Agama 5. Status 6. Sumber Pa/Th 7. Jabatan
: : : : : : :
Henra Hari Sutaryo Kolonel Inf/32258 Sumedang/27-01-1966 Islam Kawin Akmil/1988 Kasubdis Sisfokuat Disinfolahtad
B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Luar negeri. Kamboja Malaysia Malaysia Australia Selandia Baru Korea Selatan Jepang Filipina
: : : : : : : :
1991 1995 1997 2004 2006 2007 2011 2012
II. Riwayat Pendidikan Militer.
IV. Riwayat Jabatan.
A. Dikbangum. 1. Akmil 2. Sussarcab Inf 3. Suslapa I Inf 4. Selapa Inf 5. Seskoad 6. Sesko Komp. (New Zeland)
1. Pama Akmil 2. Danton Bant/B/305/17 Kostrad 3. Danton-3/B/305/17 Kostrad 4. Kasi-3/Pers/305/17 Kostrad 5. Paops Denma-9 Kostrad 6. Dankipan A/514/9 Kostrad 7. Dankipan B/509/9 Kostrad 8. Pbdaops Sopsdam VI/Tpr 9. Wadan Yonif-611/AWL 10. Kasiops Rem-132/TDl Dam VII/Wrb 11. Danyonif Linud-700/BS 12. Pabandya Ops Sopsdam VII/Wrb 13. Dandim-1414/Tator Dam VII/Wrb 14. Dandim-1310/Bitung 15. Kabagum Rindam VII/Wrb 16. Pabandya-4/Sahvetcad 17. Pabandya-2 Jahril Spb IV/Binwatpers 18. Kasubdis Sisfokuat Disinfolahtad
B. Dikbangspes. 1. Sus Intelpur 2. Sussar Para 3. KIBI 4. DIBI 5. Sus Danyon 6. Sus Dandim
: : : : :
1988 1989 1995 2000 2003
: 2008 : : : : : :
1989 1990 1990 1994 2003 2004
III. Riwayat Penugasan. A. Dalam negeri. 1. Ops. Perdamaian PBB 2. Ops. Rajawali
: 1993 : 1997
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
25
Jurnal Yudhagama
Menghadapi Ancaman Perang Hibrida: Determinasi Tantangan Tugas TNI AD “To Win The Hearts And Minds”
Pendahuluan.
menyilang antara dimensi militer, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, teknologi, psikologi, pertahanan dan keamanan. Aktor perang yang terlibat meliputi aktor negara, aktor nonnegara (non-state actors), combatants dan noncombatants sekaligus. Kompleksitas perang tersebut di atas merefleksikan fenomena konflik modern (modern conflict),4 atau juga disebut sebagai perang hibrida (hybrid warfare).5 Mencermati perkembangan ancaman diatas, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Laksamana TNI Agus Suhartono, SE., pada Upacara Bendera 17an tanggal 18 Februari 2013, di satuan-satuan TNI, menyampaikan amanat sebagai berikut: “TNI harus mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan Perang Hibrida, agar dapat mengantisipasi ancaman konflik secara lebih cepat dan tepat”.6 Berdasarkan amanat tersebut, maka analisa tulisan ini akan menelusuri korelasi antara konsep perang hibrida dihadapkan dengan tantangan tugas yang akan dihadapi TNI AD, sebagai subordinasi TNI. Salah satu klausul dalam konsep perang hibrida yang dominan dan relevan yang akan digiring menjadi fokus pembahasan adalah “memenangkan hati dan pikiran rakyat” (to win the hearts and minds of people). Oleh sebab itu, argumentasi pembahasan ini pada ujungnya adalah “memenangkan hati dan pikiran rakyat” merupakan faktor penting dalam menghadapi ancaman perang hibrida dan keberhasilan tugas-tugas TNI AD.
ara ahli strategi militer mengklaim bahwa saat ini telah terjadi revolusi terhadap cara kita berperang.1 Perang yang akan kita hadapi diberbagai konflik semakin kompleks. Perang konvensional, irregular warfare, perang gerilya, insurjensi, asymmetric warfare, terorisme dan cyber warfare tidak lagi dikerahkan secara tunggal.2 Melainkan perang akan bersifat kombinasi dari berbagai metode yang dilancarkan secara simultan. Perang melingkupi ruang nasional dan supra-nasional.3 Perang dilancarkan disegala domain baik di darat, laut, udara, ruang angkasa dan di ruang cyber (cyberspace) secara bersamaan. Perang akan menyentuh aspek multidimensi, bertali-temali, silang-
Perang sebagai a contest of human wills. Perang tidak akan pernah berakhir. Plato mengatakan bahwa, only the dead have seen the end of war, hanya orang mati yang akan menyaksikan ketiadaan perang. Namun, walaupun eksistensi perang akan berlanjut terus, perang akan berbeda dari waktu ke waktu. Mengutip teori klasik dari Prussia, bahwa setiap era memiliki konsep perangnya sendiri. Di era industrialisasi, konsep perang konvensional dipengaruhi oleh industri yang mendorong produksi persenjataan, perlengkapan dan peralatan militer secara besar-besaran, sehingga kecenderungan postur Angkatan Perang pada masa itu bersifat massive. Di era kemajuan teknologi,
Oleh : Brigjen TNI Alva A.G. Narande, S.AP.,Dipl.SS. (Bandep Strategi Nasional, Deputi Polstra, Setjen Wantannas) Perang hibrida merupakan perang campuran. Perang jenis ini tidak bisa dimenangkan dengan hanya berfokus pada teknologi, namun juga dengan aspek sosial, budaya dan aspek lain dalam masyarakat.
P
26
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
lahir konsep Revolutionary Military Affairs (RMA), dimana pendekatan perang berdasarkan kecanggihan teknologi Alutsista, mendorong kualitas persenjataan menjadi lebih cepat, akurat, lebih jauh, otomatis dan lebih mematikan. Era kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memengaruhi munculnya perang informasi. Secara sepintas, seakan perang berjalan lurus dengan perkembangan budaya manusia. Jikalau kita memerhatikan pandangan Carl Von Clausewitz tentang perang as a contest of human wills,7 sebagai ajang pertarungan untuk mewujudkan keinginan manusia, maka pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa sebenarnya perkembangan budaya tidak memengaruhi perang, tetapi perkembangan budaya dimanfaatkan untuk perang. Budaya manusia dimanfaatkan untuk mendapatkan keunggulan dalam memenangkan the contest of human wills. Penguasaan RMA telah memosisikan Amerika Serikat pada puncak rantai makanan (food chain) perang konvensional. Amerika Serikat tidak saja muncul sebagai negara dengan kekuatan militer unipolar, tetapi juga sebagai hegemony, tidak tertandingi oleh negara manapun di dunia. Hingga terjadi peristiwa serangan bunuh diri di New York City dan Washington D.C pada 11 September 2001. Para pemikir militer ortodoks terkejut mendapati kenyataan ketidakberdayaan konsep perang konvensional tradisional yang terlalu bersandar kepada kedigdayaan RMA. Mengingatkan kita kepada teori Mao Zedong tentang perang yang diarahkan kepada komponen dan konstituen tertentu, dimana kekuatan militer yang sangat besarpun menjadi tidak berdaya. Era Asymmetric Warfare lahir, lemah menantang yang kuat. Merefleksikan metode perang akan berubah secara terus menerus, berevolusi dan bermutasi untuk saling mengungguli. Munculnya konsep perang hibrida, mencerminkan karakter kompetisi dalam mewujudkan dominasi, bukan melalui menciptakan metode perang baru,8 tetapi kali ini mengombinasikan metode-metode perang yang sudah ada. Oleh sebab itu, menghadapi perang hibrida tidak dengan menciptakan teori baru tetapi kemampuan
memahami simpul-simpul perpotongan kombinasi suatu konflik agar dapat direspon dengan konsep kombinasi yang tepat pula. Berdasarkan pendekatan tersebut di atas, maka konflik yang akan dihadapi dimasa yang akan datang dipastikan tidak linear, menuntut pendekatan konseptual yang komprehensif. Dalam hal ini, perlu memerhatikan apa yang dikatakan Clauzewitz, war is more than Chameleon, perang bukan hanya seperti tontonan seekor Chameleon, yang berubah warna disetiap tahap pertumbuhannya. Akan tetapi, perang memerlukan adaptasi disetiap perubahan, memerlukan konsep, disesuaikan dengan karakter perang yang sedang berkembang.9 Kecenderungan dan implikasi kompleksitas konflik multidimensi. Kecenderungan perang semakin kompleks telah menjadi pembicaraan global. Teori-teori dan konsep tentang kompleksitas perang tersebut muncul bertaburan berdasarkan berbagai sudut pandang masing-masing. Frank G. Hoffman dalam tulisannya Conflict in the 21st Century: The rise of hybrid wars, yang memopulerkan istilah perang hibrida, berargumen bahwa perang sekarang menggunakan berbagai metode, diadaptasi menjadi suatu kombinasi, menggunakan persenjataan konvensional dengan cara irregular. Teori Fourth Generation Warfare/4GW (Perang Generasi Ke-empat), William S. Lind, menerangkan tentang kaburnya batasan antara perang dengan politik dan aktor militer dengan sipil. Three block war, oleh Jenderal Charles C. Krulak (US Marine), mengilustrasikan tantangan yang akan dihadapi prajurit militer dalam perang modern adalah, prajurit militer akan terlibat dalam tugas-tugas yang bervariasi, mulai dari pertempuran bersenjata, pasukan perdamaian, dan operasi kemanusiaan di tiga kota yang berbeda tetapi dalam satu penugasan sekaligus (three city blocks).10 Unrestricted Warfare, oleh 2 orang Kolonel dari Chinese People Liberation Army (PLA), Kolonel Qiao Liang dan Kolonel Wang Xiangsui, menginisiasi tentang perang tanpa konfrontasi militer, atau perang menggunakan cara lain seperti, hukum internasional (International Law) atau senjata ekonomi.11 Demikian juga teori-teori lainnya seperti From Kadesh to Kandahar: Military theory and the future of war, ditulis oleh Prof. Dr. Michael Evans, ahli counterinsurgency, adalah mentor saya (penulis) sewaktu belajar memperdalam Counterinsurgency di Centre of Defence Strategic Studies (Lemhanas), Australian Defence College, tahun 2011, mengatakan bahwa perang yang akan dihadapi sangat kompleks, lethal, chaos, asymmetric dan meningkatnya keterlibatan politik dalam operasional militer.12 Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
27
Jurnal Yudhagama Networks and netwars, The future of terror, crime, and militancy, ditulis oleh John Arquilla dan David Rondfelt, mengemukakan tentang konflik yang diperankan oleh aktor-aktor jaringan sosial (social networks) dengan tipikal perang jaringan (netwar) dalam mengerahkan terorisme transnasional, organisasi kriminal, grup-grup aktifis dan gerakan sosial.13 Demikian juga teori dan konsep lainnya mengemukakan tentang komplesitas konflik, antara lain; “The Cult of the Insurgent: Its Tactical and Strategic Implication”, Bruce Hoffman; “The Coming Urban Terror”, John Robb; “Joint Concept for Disorder, Insurgency, Criminality and Terrorism/JDICT”, Letkol Andrew Ross (Marinir, Inggris). Dari argumen-argumen tentang kompleksitas perang tersebut di atas, berikut ini akan dikemukakan implikasi dari fenomena kompleksitas konflik terhadap lingkungan operasi militer dalam perang-perang yang akan kita hadapi dimasa yang akan datang sebagai berikut: Konflik internal adalah ancaman aktual. Potensi munculnya konflik antar negara berkaitan isu kedaulatan masih ada.14 Namun, pengaruh globalisasi telah menumbuhkan hubungan antar negara menjadi saling ketergantungan. Pola kerja sama antar negara untuk meningkatkan hubungan agar tercapai saling pengertian (mutual understanding) dan saling menguntungkan (mutual benefit) terstruktur secara bilateral dan multilateral, mengakibatkan persoalanpersoalan kedaulatan antar negara selalu dapat diselesaikan melalui pendekatan diplomasi. Sehingga proyeksi konflik antar negara (interstate conflict) untuk dekade kedepan menjadi kecil kemungkinannya. Justru potensi konflik yang akan muncul pada dekade depan adalah konflik internal (intra-state conflict). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya persoalan-persoalan yang diakibatkan adanya ketegangan budaya, etnis, agama dan ketegangan sosial lainnya. Ancaman konflik internal kedepan akan diwarnai oleh aksi-aksi kombinasi kekerasan, nonkekerasan, bersenjata maupun tidak bersenjata.
Perang tidak lagi dimonopoli oleh negara. Meningkatnya peran aktor nonnegara dalam perang dikarenakan aksesibilitas terhadap diplomasi, ekonomi, informasi, teknologi dan persenjataan militer tidak jauh berbeda dengan aksesibilitas negara Meningkatnya keterlibatan aktor nonnegara dalam konflik. Perang tidak lagi dimonopoli oleh negara. Meningkatnya peran aktor nonnegara dalam perang dikarenakan aksesibilitas terhadap diplomasi, ekonomi, informasi, teknologi dan persenjataan militer tidak jauh berbeda dengan aksesibilitas negara.15 Kecenderungan ini memberi peluang aktor nonnegara memiliki kapabilitas mengerahkan operasi tempur konvensional, insurjensi, terorisme dan kriminal bersenjata.16 Tentunya dapat mengakibatkan ancaman terhadap kedaulatan, instabilitas, sumber daya, institusi pemerintah dan keselamatan masyarakat suatu negara. Sehingga definisi hakikat ancaman pertahanan dalam konsep perang bukan saja datang dari musuh dalam konteks negara, tetapi juga datang dari organisasi, grup, kelompok nonnegara dengan tujuan ideologi dan politiknya. Kriteria medan tempur militer. Kriteria medan tempur dalam operasi militer khususnya operasi di darat saat ini terjadi komplikasi. Medan tempur militer didarat yang dilaksanakan secara tradisional pada masa lalu hanya berkait secara fisik geografi yang terdiri dari perkotaan, perkebunan, rawa, hutan, sungai dan pegunungan. Sekarang telah menjadi medan yang dihuni oleh lautan manusia. Katagorisasi medan tempur dalam operasi-operasi militer bahkan semakin rumit karena faktor kebhinekaan manusia terpecah-pecah mengikuti kelompok-kelompok berbasiskan bahasa, faksi-faksi politik, suku atau clan, sekte keagamaan, ideologi dan agenda-agenda primordial, menyebabkan operasi-operasi militer dimasa akan datang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman sosial, kultur, agama, linguistik dan faktorfaktor kemanusiaan (human factors). Batasan kombatan dengan nonkombatan semakin kabur. Medan operasi militer dalam pertempuran cenderung berlangsung ditengah populasi, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat, karena
28
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD secara fundamental, daerah-daerah tersebut menjadi center of gravity konflik modern terutama pada operasi gerilya, insurjensi dan terorisme. Penduduk, jaringan transportasi, infrastruktur dan sarana prasarana publik dijadikan sebagai save haven, basis dukungan Sumber daya manusia (SDM) dan logistik, basis operasi dan latihan peperangan dalam konteks irregular warfare. Menjadikan lingkungan operasi militer berkomplikasi dengan eksistensi penduduk, mengancam terjadinya collateral damage dalam bentuk kematian penduduk yang tidak bersalah, pengrusakan dan penghancuran sarana publik nonkombatan, berhentinya operasional elemen ekonomi yang esensial, bahkan absennya operasional pemerintahan lokal.17 Hal tersebut berpotensi menciptakan krisis-krisis kemanusiaan. Berdasarkan perkiraan tersebut, maka prospek keberhasilan operasi militer dimasa yang akan datang bukan ditentukan saja oleh pertempuran berdasarkan keunggulan penggunaan kekuatan bersenjata, tetapi juga ditentukan oleh bagaimana cepatnya merehabilitasi kerusakan dan menstabilkan kondisi menjadi normal kembali. Karena jikalau tidak, akan bereskalasi kembali menjadi chaos, membuka komplikasi-komplikasi baru yang akan lebih merumitkan situasi dan kondisi, sehingga apa yang telah dicapai dalam operasi sebelumnya, sekalipun berhasil, akan berubah menjadi bencana. Perang Cyber. Teknologi informasi telah membuka jalan munculnya bentuk perang baru yaitu perang informasi. Perang yang diwadahi dengan komputer dan jaringan internet. Hal tersebut menimbulkan kecenderunagn terhadap platform fisik militer bergantung pada platform sistem informasi. Tanpa dukungan informasi yang memadai, platform fisik militer tidak dapat berfungsi dengan baik. Prosedur Pimpinan Pasukan (P3), proses pengambilan keputusan operasi, penentuan sasaran operasi dan pengendalian operasi militer akan menjadi bagian dalam pengolahan data informasi. Menunjukan bahwa perang telah berubah dari military platform centric warfare berubah menjadi information centric warfare.18 Menuntut perubahan doktrin, organisasi, pengetahuan, latihan dan teknologi baru. Komplikasi operasi militer dan informasi media massa. Pelaksanaan operasi militer dimasa yang akan datang akan berjalan seiring mengalirnya informasi. Operasi militer sekalipun berlangsung dimedan-medan yang sulit, tetap terjangkau oleh sarana-sarana media massa. Organisasi media massa mulai dari lokal, nasional maupun internasional dalam mengakses medan-medan tempur militer tidak lagi bergantung
kepada negara. Peralatan media massa mulai dari mobile phone yang sederhana, video, DVD sampai dengan satelit atau platform pesawat tanpa awak yang melakukan pengintaian udara (aerial reconnaissance), telah terbukti keefektifannya membuka tabirtabir perang yang dirahasiakan. Perang tidak dapat diisolasikan lagi dari informasi dan pemberitaan. Kerahasiaan operasi militer semakin sulit dipelihara. Mengakibatkan pengamanan berita dan informasi menjadi hal vital, tidak seperti pada operasi-operasi sebelumnya. Laporan yang diputarbalikan, propaganda, rumors, kebohongan, ketidakbenaran berita menyebar bukan saja di lingkungan lokal, juga nasional maupun internasional, lebih cepat dari berita yang dikeluarkan otoritas. Hal tersebut seringkali memaksa prajuritprajurit yang melaksanakan operasi militer menghadapi konsekuensinya. Faktor-faktor dalam memenangkan suatu peperangan semakin rumit. Kombinasi faktor dan unsur dalam perang saat ini telah jauh melampaui batasan militer.19 Hal tersebut dipengaruhi oleh eksistensi dunia dimana hubungan antar bidang militer, politik, ekonomi, diplomasi, hukum, agama, sosial dan budaya terjadi overlap, sehingga perang berlangsung tidak hanya diruang militer saja. Menuntut komandan militer dan para prajuritnya membutuhkan persiapan melebihi kapasitas profesional militernya. Memerlukan kemampuan mengkombinasikan sumber daya perang lainnya yang bisa dimobilisasi. Faktor-faktor lokal, nasional, internasional, tradisional, nontradisional, darat, laut, udara, politik, ekonomi, sosial, kultur, psikologi, teknologi dan faktor-faktor lainnya, menjadi pertimbangan di medan tugas. Perang informasi, perang finansial, perang ekonomi, perang perdagangan, perang propaganda, perang cyber dan bentuk-bentuk perang baru lainnya perlu dicermati dan dieksploitasi dalam mencapai kemenangan. Membutuhkan kerja sama yang erat dengan diplomasi, informasi, ekonomi, politik, kultur dan faktor-faktor lainnya, karena tidak bisa menghindari kenyataan bahwa perang militer secara fisik akan berlangsung di medan tempur, tetapi kemenangannya tidak hanya ditentukan oleh
Perang informasi, perang finansial, perang ekonomi, perang perdagangan, perang propaganda, perang cyber dan bentukbentuk perang baru lainnya perlu dicermati dan dieksploitasi dalam mencapai kemenangan Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
29
Jurnal Yudhagama hasil pertempuran secara fisik. Kemenangannya tidak hanya ditentukan oleh aspek operasional dalam menghancurkan, merebut dan menduduki sasaran di medan operasi, melainkan kemenangan ditentukan oleh aspek-aspek lainnya yang mungkin letaknya jauh dari medan pertempuran (war beyond the limit).20 Konsep operasi militer menghadapi perang hibrida. Akibat kecenderungan dan implikasi perang hibrida, memengaruhi respon global dalam merancang pola operasi militer. Framework pola operasi menjadi kompleks yang disebabkan pengaruh berbagai faktor lingkungan mulai dari lokal, nasional, internasional dan faktor-faktor lainnya. Konsep-konsep dari Inggris, Perancis, dan Rusia mangantisipasi ancaman Perang Hibrida dengan konsep-konsep operasi militer yang disebut dengan perang “multi-modal” atau “multi variants.”21 Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army) meluncurkan konsep full spectrum operation, yaitu konsep operasi kombinasi offence, defence, stability dan civil support operation.22 Full spectrum operation memperlihatkan peningkatan konten nilai-nilai kemanusiaan (human values) dalam langkah-langkah operasi tempur dan manuvernya. Angkatan Darat Australia (Australian Army), meluncurkan konsep yang disebut Army’s Future Land Operating Concept. Konsep tersebut menekankan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap faktor kemanusiaan (human factor), menggagas pendekatan etnis, agama, kultur dan faktor faktor kemanusiaan lainnya didalam langkah-langkah operasi militer.23 Mencermati munculnya konsep-konsep di atas, menunjukkan pola operasi militer dimasa yang akan datang cenderung berubah dimana skala operasi menjadi lebih kecil. Hal tersebut disebabkan kecenderungan untuk menghindari collateral damage dalam pelaksanaan operasi-operasi yang berlangsung diantara penduduk. Unit-unit militer dirancang dengan komposisi kecil untuk memeroleh unsur fleksibel, namun kelemahan tersebut ditutup dengan membentuk unit-unit gabungan kesenjataan, matra maupun gabungan multinasional dalam rangka mengantisipasi bentuk-bentuk perang irregular. Terjadi peningkatan teknik-teknik operasi dan manuver militer yang menekankan nilai akurasi dan presisi. Terjadi peningkatan kerja sama antara unsur militer, sipil dan swasta. Terjadi peningkatan peran fungsi-fungsi militer seperti intelijen, lawan propaganda, sistem informasi, cyber, human awareness (pendekatan etnis, agama dan kultur), legitimacy dan hukum. Yang paling menonjol adalah konsep “memenangkan hati dan pikiran rakyat” yang dahulunya hanya digunakan 30
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
dalam teknik counterinsurgensi, kelihatannya menjadi salah satu senjata pamungkas dalam perang hibrida. Memenangkan hati dan pikiran rakyat. Untuk memenangkan perang hibrida adalah harus berhasil di empat medan perang yang menentukan ialah; memenangkan pertempuran dimedan operasi, merebut hati dan pikiran rakyat di wilayah operasi, menjunjung tinggi legitimasi nasionalnya dan memenangkan opini publik lingkungan internasional. Salah satu dari keempat hal kritis tadi gagal, maka akan digiring kepada bencana kekalahan. Oleh sebab itu, keempat faktor tersebut perlu diadaptasi menyesuaikan dengan tantangan tugas kedepan berkaitan dengan ancaman perang hibrida. Namun, keempat faktor tersebut tidak akan dibahas disini, kecuali faktor memenangkan hati dan pikiran rakyat sedikit akan disinggung berikut ini. TNI AD sebenarnya tidak asing terhadap metode ‘merebut hati dan pikiran rakyat’. Karena secara taktis operasional, TNI AD memiliki buku petunjuk tentang operasi Gerilya Lawan Gerilya (GLG) atau Operasi Lawan Insurjensi (OLI), dimana memenangkan hati dan pikiran rakyat merupakan faktor penting yang harus diimplementasikan dalam konsep pertempuran. Bahkan ditingkat strategis, Strategi Pertahanan Negara, Kemhan RI24, Doktrin TNI (Tri Dharma Ekakarma)25 dan Doktrin TNI AD (Kartika Eka Paksi), mengemukakan konsep-konsep operasi seperti Bhakti TNI, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang muaranya merupakan teknik-teknik memenangkan hati dan pikiran rakyat. Rakyat lokal tidak bisa diisolasi. Seperti sudah dikatakan bahwa medan operasi perang hibrida sebenarnya adalah penduduk. Dukungan penduduk yang akan menentukan menang dan kalahnya suatu peperangan.26 Namun, konstelasi penduduk atau masyarakat di era modern telah berubah. Pattern masyarakat semakin kompleks. Masyarakat tidak dapat terisolasi secara lokal, karena pola hubungan masyarakat sudah lebih terbuka, dapat berhubungan secara nasional, regional bahkan global. Oleh sebab itu, metode memenangkan hati dan pikiran rakyat tidak dapat diukur hanya penduduk lokal saja, tetapi perlu dipertimbangkan juga konsep memenangkan opini masyarakat nasional, regional dan internasional. Membangun persepsi. Konflik dimasa yang akan datang harus dimenangkan dalam pikiran terlebih dahulu. Maka manajeman persepsi adalah komponen yang sangat vital. Teknik-teknik pemisahan musuh dari penduduk bukan dengan pendekatan fisik saja, tetapi harus dimulai dengan persepsi yang kuat secara fundamental. Persepsi
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD tersebut tentunya harus lebih strategis dan lebih bermanfaat terhadap penduduk dibandingkan dengan persepsi lawan, sehingga persepsi lawan dapat di demoralized dan legitimasi ideologi dan politiknya dapat ditekan pengaruhnya. Oleh sebab itu, merupakan hal yang sangat penting mengolah dan menajamkan dasar persepsi yang akan diperjuangkan dalam pelaksanaan operasi militer dimasa yang akan datang. Propaganda. Perebutan dukungan masyarakat menjadikan inti dari perang hibrida. Promosi visi-visi radikal untuk menghasut penduduk, membangkitkan pertentangan adalah bentuk-bentuk propaganda yang akan dihadapi dalam Perang Hibrida. Propaganda-propaganda tersebut semakin intens karena bertumbuhnya internet untuk memengaruhi emosi publik dalam siklus berita modern yang berputar selama 24 jam 7 hari seminggu. Dikombinasikan dengan jaringan yang telah menghubungkan secara global mampu memroduksi respon kepada audience diseluruh dunia untuk mendapatkan dukungan politik, finansial, material, dan dukungan sumber daya manusia. Untuk menghadapi tantangan tersebut memerlukan konsep lawan propaganda yang terintegrasi, didasari dengan strategi komunikasi, diplomasi publik, dan kemampuan public affairs yang kuat untuk menangkal berita-berita negatif yang merugikan. Keamanan penduduk. Dukungan dan kesetiaan masyarakat akan diberikan apabila masyarakat itu sendiri memeroleh keamanan dirinya. Siapa yang memberikan keamanan kepada penduduk, maka dialah yang akan mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari penduduk. Keamanan bukan saja secara fisik terhadap ancaman kekerasan tetapi juga keamanan dalam memeroleh kebutuhan dasar dalam kehidupannya seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan serta pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.27 Sun Tzu dalam bukunya The Art of War mengatakan bahwa, jika kita menuntut masyarakat agar mematuhi mekanisme pemerintahan sesuai hukum dan tata tertib dan gagal menyediakan kebutuhan masyarakat, maka dengan sendirinya timbul perlawanan. Legitimasi dan hukum. Salah satu kunci kemenangan menghadapi ancaman perang hibrida adalah ketaatan prajurit militer terhadap ketentuan dan hukum yang berlaku di lingkungannya, legitimasi dan hukum nasional, dan nilai-nilai universal diantaranya hukum perang internasional (the law of armed conflict), Hak Asasi
Manusia (HAM). Prajurit dalam perang hibrida akan menghadapi provokasi dari tindakan-tindakan kekerasan lawan, pembunuhan brutal, teror untuk memancing prajurit melakukan tindakan balas. Dan apabila prajurit melakukan tindakan balas seperti itu, muncul opini masyarakat tentang kebrutalan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan prajurit. Hal tersebut akan mendorong perlawanan, mendorong dukungan politik, dana, dan bahkan dukungan senjata dari masyarakat nasional dan internasional. Oleh sebab itu prajurit tidak boleh kehilangan kualitas disiplin untuk membalas provokasi tersebut. Prajurit harus melindungi kombatan, nonkombatan, tawanan perang, dan penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu. Prajurit harus memperlakukan tahanan secara manusiawi. Tidak boleh ada tindakan pembunuhan, penyiksaan, dan perlakuanperlakuan tidak manusiawi lainnya. Apabila tindakantindakan seperti itu dilakukan akan menumbuhkan kebencian, semangat perjuangan, semangat perlawanan yang lebih sengit dari sebelumnya, dan tentunya balas dendam dari lawan. Tindakan-tindakan tersebut juga akan menghapus keinginan lawan untuk menyerah. Didalam kondisi kekacauan sekalipun, prajurit tetap harus mengimplementasikan aturan-aturan hukum, ketentuan-ketentuan yang berlaku, tidak ada tawaran lain. Misalnya, dilarang menyerang personel medis, rumah sakit, peralatan rumah sakit, tidak boleh mencuri, menghormati kepemilikan orang lain, dan lain-lain. Mengimplementasi aturan-aturan ini secara lengkap, sabar, disiplin dan dengan komitmen, maka prajurit berpotensi membuka jalan untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat dan memenangkan opini masyarakat nasional dan internasional. Kesimpulan. Pengaruh perang hibrida telah menyebar secara global, kecenderungan tersebut dapat disaksikan secara nyata dari peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi saat ini. Menyitir harapan Panglima TNI untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka TNI AD kiranya perlu melakukan pendalaman lebih lanjut tentang ancaman perang hibrida agar dapat diadaptasi dengan konsep-konsep operasi TNI AD, disesuaikan dengan bentuk-bentuk ancaman yang akan muncul. Sehingga TNI AD siap menghadapi tantangan tugas dimasa yang akan datang dengan tepat dan cepat. Saran. Berdasarkan pembahasan tulisan di atas tentang menghadapi ancaman perang hibrida, berikut ini disampaikan saran sebagai berikut: Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
31
Jurnal Yudhagama TNI AD mengadaptasi perkembangan strategi perang hibrida dalam konsep operasi militer di darat dalam menghadapi perkiraan ancaman tugas kedepan. Menyesuaikan operasi gabungan dalam hubungan kesenjataan, matra, dan organisasi sipil dalam menghadapi ancaman irregular warfare perang hibrida. Mengembangkan metode “memenangkan hati dan pikiran rakyat” disesuaikan dengan perkembangan masyarakat di era konflik modern. Meningkatkan kemampuan intelijen dalam konteks irregular warfare. Meningkatkan kemampuan lawan propaganda, baik propaganda yang datang dari lingkungan nasional maupun internasional. Meningkatkan kemampuan diplomasi militer. Mengembangkan kemampuan perang cyber. Meningkatkan pemahaman prajurit tentang faktor-faktor kemanusiaan (human factors) dan teknik implementasinya didalam mendukung keberhasilan tugas operasi. Meningkatkan pemahaman tentang Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI, hukum perang (the law of armed conflict), dan Hak Asasi Manusia (HAM) secara praktis. Endnotes. 1 Frank G. Hoffman, Conflict in the 21st century: The rise of hybrid wars, Potomac Institute for Policy Studies, Arlington, Virginia, Desember 2007, hal. 1 2 Petri Huovinen, Hybrid warfare, Just a twist of compound warfare, views on warfare from the United States Armed Forces perspective, Department of Military history, National Defence University, April 2011, hal. 3. 3 Qiao Liang and Wang Xiangsui, Unrestricted Warfare, Beijing: PLA Literature and Arts Publishing House, 1999. 4 David Kilcullen, The Accidental Guerilla, Fighting small wars in the midst of big one, Oxford University Press, 2009. 5 Frank G. Hoffman, Conflict in the 21st century: The rise of hybrid wars, hal. 10. 6 Puspen TNI, TNI harus siap hadapi perang hibrida, Official Website of Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, 18 Februari 2013, hal. 1, diakses 16 Mei 2013, pada <www.tni.mil.id/view-45781-tni-harus-siap-hadapiperang-hibrida,html> 7 Williamson Murray, War, strategy, and military effectiveness, Cambridge University Press, New York, 2011, hal. 53. 8 Petri Huovinen, Hybrid warfare-Just a twist of compound warfare, views on warfare from the United
32
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
States Armed Forces perspective, hal. 6. 9 Frank G. Hoffman, Conflict in the 21st century: The rise of hybrid wars, hal. 20. 10 Charles C. Krulak, The strategic corporal: Leadership in the three block war, Marines Magazine, on Air University. 11 Qiao Liang and Wang Xiangsui, Unrestricted Warfare, Beijing: PLA Literature and Arts Publishing House, 1999. 12 Michael Evans, “From Kadesh to Kandahar: Military theory and the furute of war,” Naval War College Review, Summer 2003, hal. 136. 13 John Arquilla dan David Rondfelt, Networks and Netwars, the future of terror, crime, and militancy, Rand Corporation, 2001. 14 Australian Army Headquarters, Army’s future land operating concept, Head Modernisation and strategic planning, Canberra 2009, hal. 9. 15 David Kilcullen, The Accidental Guerilla, Fighting small wars in the midst of big one, Oxford University Press, 2009. 16 Petri Huovinen, Hybrid warfare-Just a twist of compound warfare, views on warfare from the United States Armed Forces perspective, hal. 8. 17 Australian Army, Complex Warfighting, Future Land Warfare Branch, 2004. 18 Manuel W. Wik, Revolution in information affairs Tactical and strategic implication of information warfare and information operation, Defence Materiel Administration, hal. 27, diakses 12 Juni 2013, pada <
[email protected]> 19 Qiao Liang and Wang Xiangsui, Unrestricted Warfare, Beijing: PLA Literature and Arts Publishing House, 1999. 20 Qiao Liang and Wang Xiangsui, Unrestricted Warfare. 21 Michael Evans, “From Kadesh to Kandahar: Military theory and the furute of war,” hal. 136. 22 US Army, Operations, FM 3-0, Headquarters Department of the Army, February 2008, hal. 3-1. 23 Australian Army Headquarters, Army’s future land operating concept, Head Modernisation and strategic planning, Canberra 2009, hal. 9. 24 Kemhan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2009. 25 Mabes TNI, Doktrin TNI, Tridharma Ekakarma (Tridek), Jakarta 2010, diakses 16 Juni 2013, pada
26 John J. McCuen, Hybrid wars, Military Review, March-April 2008, hal. 107. 27 David Galula, Counterinsurgency warfare: Theory and practice.
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Data Pokok. 1. Nama 2. Pangkat 3. Tempat/Tgl. Lahir 4. Agama 5. Status 6. Sumber Pa/Th 7. Jabatan
: : : : : : :
Alva A.G. Narande, S.AP.,Dipl.SS. Brigjen TNI/30081 Manado/27-04-1958 Kristen/Protestan Kawin AKABRI/1984 Bandep Strategi Nasional, Deputi Polstra, Setjen Wantannas
II. Riwayat Pendidikan Militer. A. Dikbangum. 1. AKABRI Darat 2. Sussarcab Armed 3. Kursus FA. OBC (Amerika Serikat) 4. Diklapa I Armed 5. Diklapa II Armed 6. Sesko (Bangladesh) 7. Seskoad (Pasis Khusus) 8. Lemhannas (Australia)
: 1984 : 1984 : 1991 : 1991 : 1993 : 1997 : 1998 : 2011
B. Dikbangspes. 1. Sussarpara : 1983 2. Sussarcab Armed : 1988 3. Sus PSV SMB 12,7 MM TSD : 1985 4. Sus Bhs Inggris (Dephan RI) : 1986 5. Specialized English Course (USA) : 1991 6. Field Artilery OBC (USA) : 1991 7. Sus Gumil TNI AD : 1994 8. National Security and Leadership Course : 2005 9. Kursus ZEE (British Royal Navy ) : 2007 10. APPSMO (Rajaratnam Univ., Singapore) : 2008 11. SYMP. On Eeast-Asia Security (USPACOM, USA) : 2008 12. Suskat Manajemen Pertahanan: Perang Informasi dan Teknologi : 2009 13. Advance Australian English Course : 2010 14. Kursus ADF PREP (Australia) : 2010
B. Luar Negeri. 1. Singapura : 1989, 2008 2. USA : 1991, 2008, 2011 3. Kamboja : 1993 4. Bangladesh : 1997 5. China : 2008, 2011 6. India : 2008 7. Malaysia : 2009 8. Australia : 2009, 2011 9. Rusia : 2010 10. Korea Selatan : 2011 11. PNG : 2011 IV. Riwayat Jabatan. 1. Danton Yon Armed 9-130/Roket, Kostrad 2. Pajau 3 Rai A Yonarmed 9-130/Roket, Kostrad 3. Pamu Rai C Yon Armed 9-130/Roket, Kostrad 4. Parai A Yon Armed 9-130/Roket, Kostrad 5. Kasi 1/Lidik Yon Armed 9-130/Roket, Kostrad 6. Dan Rai C Yon Armed 9-76/How, Kostrad 7. Kasi 2/Ops Yon Armed 9-76/How, Kostrad 8. Pabung A Yon Armed 9-76/How, Kostrad 9. P.s. Dan Kotakta C Yontar Dewasa, Akmil 10. Dan Kotakta C Yontar Dewasa Akmil 11. Dan Kotakta B Yontar Madya Akmil 12. Pabandya Jianbangdik Seskoad 13. Danyon Armed 7-105/ GS Kodam Jaya 14. Kasi Ops Rem 051/WKT Kodam Jaya 15. Dandim 1502/Malteng Kodam XVI/PTM 16. Waaster Kasdam XVI/PTM 17. Waasrendam XVI/PTM 18. Pabandya 1/Progdalwasgar Spaban 1/Ren Spersad 19. Tafung Gol. IV Dit Anlingstra Ditjen Strahan Dephan 20. Kasubdit B Dit Anlingstra Ditjen Strahan Dephan 21. Kasubdit Organisasi Ditrah Ditjen Strahan Kemhan 22. Bandep Strategi Nasional Setjen Wantannas
III. Riwayat Penugasan. A. 1. 2. 3.
Dalam Negeri. Operasi Seroja Tim-Tim : 1987-1988 PKO (Kontindo Garuda XII B/Kamboja) : 1991-1992 Opslihkam Provinsi Maluku : 2000-2002
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
33
Jurnal Yudhagama
PERANG HIBRIDA DI DUNIA
Oleh : Kolonel Laut (S) Dr. Ivan Yulivan, M.M. (Koordinator Spri Panglima TNI)
“Perang merupakan kelanjutan politik negara dalam bentuk lain, sehingga kesiapan dalam melaksanakan perang harus dipersiapkan sedemikian rupa dengan memanfaatkan segala kemampuan dan kekuatan yang dimiliki.” (Carl Phillip Gottfried Van Clausewitz)
LATAR BELAKANG.
B
ila saja kita membayangkan saat ini negeri kita yang kita cintai ini terjadi perang, tentu kita akan menduga apa yang akan terjadi. Hal yang paling mudah adalah dengan berpikir seandainya kita menjadi musuh atau lawan diri kita sendiri. Tentu akan banyak pertanyaan yang kita lontarkan antara lain: a. Di titik mana critical point Indonesia akan diserbu yang berdampak langsung bagi kelangsungan ekonomi dan lain-lain pusat tenaga listrik, bendungan air, kilang minyak dan industri strategis, pusat media, televisi, radio, komunikasi, jamming dan hacker; b. Pulau mana yang menjadi prioritas serangan yang dapat memberi efek domino dunia? Jawakah, Balikah ....atau Papuakah, dan lain-lain;
34
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
c. Bagaimana memutuskan rantai komando dan logistik khususnya antarpulau atau wilayah mengingat Indonesia adalah negara kepulauan; Seiring dengan contoh-contoh pertanyaan tadi, maka tentu kita akan berpikir dan bertanya-tanya pula antara lain bagaimana upaya pertahanan kita, bagaimana sistem pertahanan semesta kita, bagaimana upaya jaring komunikasi dan rantai komando tetap berjalan utuh meski dalam kondisi caos, bagaimana kesinambungan logistik dan pangkalan aju, bagaimana upaya melawan serangan cyber dan hacker agar tidak mengganggu dan lain-lain. Oleh karena itu, amatlah bijak bila kita merujuk ke masa lalu apa yang telah terjadi dengan “kondisi perang ini”. Kegagalan PBB. PBB dibentuk tanggal 24 Oktober 1945 dengan dipelopori oleh lima negara, yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan Republik Rakyat China. Berdirinya PBB dilatarbelakangi oleh sebuah cita-cita untuk menciptakan perdamaian diantara negaranegara di dunia setelah sebelumnya mengalami dua peperangan besar. Perang Dunia I yang berlangsung antara tahun 1914-1918, dan Perang Dunia II yang terjadi antara tahun 1939-1945. Tujuan dibentuknya PBB adalah sebagai berikut: memelihara perdamaian dan keamanan dunia, mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan asas-asas persamaan derajat, hak menentukan nasib sendiri, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, mengembangkan kerja sama internasional dalam memecahkan masalahmasalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan, menyelesaikan perselisihan dengan cara damai dan mencegah timbulnya peperangan, memajukan dan menghargai hak asasi manusia serta kebebasan atau kemerdekaan fundamental tanpa membedakan warna, kulit, jenis kelamin, bahasa, dan agama, menjadikan pusat kegiatan bangsa-bangsa dalam mencapai kerja sama yang harmonis untuk mencapai tujuan PBB. Dari uraian tersebut di atas menyangkut bagaimana peranan PBB dalam mencapai tujuannya untuk mencegah terjadinya perang/memelihara perdamaian dihadapkan pada kondisi saat ini dapat dikatakan merupakan suatu kegagalan. Konflik bersenjata terjadi hampir di seluruh belahan muka bumi. Mulai dari konflik
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD bersenjata antarnegara maupun konflik bersenjata antara negara dengan nonnegara atau dengan kelompok tertentu. Konflik berasal dari bahasa latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok), dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Dengan kata lain, setiap konflik masing-masing pihak akan menggunakan segala macam daya dan upayanya untuk mengungguli pihak yang menjadi lawannya, mulai dari menggunakan senjata paling modern sampai berupaya menemukan hal baru untuk dapat mengungguli atau dapat mengimbangi lawan. Disinilah seharusnya PBB berperan tanpa pandang bulu dan tanpa memihak kepada kekuatan tertentu untuk mencegah terjadinya konflik yang berujung terjadinya perang diantara dua kelompok yang saling konflik. Bagi pihak yang merasa tidak mendapatkan perhatian oleh PBB akan melakukan berbagai cara dan upaya dalam rangka memenangkan konflik tersebut, sehingga lahirlah banyak strategi dan taktik guna mengimbangi kekuatan yang tidak seimbang tersebut salah satunya adalah perang dengan metode perang hibrida. Terjadinya ketimpangan ekonomi di dunia. Selain dari gagalnya PBB mencegah terjadinya konflik yang berujung pada timbulnya perang, terjadinya ketimpangan ekonomi yang menyebabkan munculnya levelisasi atau penggolongan kelas terhadap suatu negara atau kelompok tertentu menyebabkan munculnya pertentangan diantara kelompokkelompok tersebut. Menurut Karl Max, munculnya konflik disebabkan adanya pertentangan antar kelas, yakni kelas yang memiliki sumber ekonomi dan kelas yang tidak memiliki sumber ekonomi. Bagi kelompok yang memiliki sumber ekonomi akan berupaya untuk mempertahankan kondisi yang ada dengan berbagai cara dan upaya, serta bagi yang tidak memiliki sumber ekonomi akan berupaya mendapatkan atau mencari sumber ekonomi dengan berbagai cara dan upaya pula. Akhirnya, pada suatu titik tertentu dua kepentingan yang berbeda tersebut akan saling berhadapan dengan tujuan yang berbeda pula dan akhirnya pecahlah apa yang disebut dan dikenal dengan perang. Perang ini dapat berupa perang dalam bidang ekonomi atau politik dan bahkan dapat pula menjelma menjadi
Seharusnya PBB berperan tanpa pandang bulu dan tanpa memihak kepada kekuatan tertentu untuk mencegah terjadinya konflik yang berujung terjadinya perang
perang yang bersifat fisik dengan pengerahan segala kemampuan, cara dan kekuatan yang dimiliki oleh suatu kelompok atau negara. Menurut Carl Phillip Gottfried Van Clausewitz perang merupakan kelanjutan dari politik. Dengan demikian persiapan menuju perang adalah hal yang bukan mustahil harus dilakukan oleh setiap kelompok atau negara AS dan koleganya sadar benar mengenai hal ini. Untuk itu berbagai cara dan upaya dilakukan oleh AS dan sekutunya, sehingga menimbulkan perlawanan dan aksi tandingan baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Perang AS di Irak dan Afghanistan diyakini oleh banyak pihak merupakan aksi AS dalam rangka mempertahankan hegemoni penguasaan sumber-sumber ekonomi yang semakin hari semakin terbatas. Munculnya trend perang global melawan terorisme. Runtuhnya Gedung WTC di New York oleh serangan mematikan yang dipercaya dilakukan oleh Al Qaeda telah memengaruhi pola dan gaya Amerika dalam mempertahankan supremasinya, meskipun saat ini AS merupakan pemain tunggal dalam memberikan dan memengaruhi negara-negara di dunia, membuat Rusia dan China berupaya menjadi penyeimbang Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
35
Jurnal Yudhagama namun dirasa masih belum dapat mencegah AS dalam melaksanakan aksi-aksinya. AS melancarkan aksinya hampir ke seluruh bagian muka bumi, dimulai di Afghanistan yang dianggap sebagai pendukung utama Al Qaeda dan dipercaya bahwa pemimpin Al Qaeda berada di Afghanistan. Sejak saat itulah, AS dan kolega baratnya serta Israel yang berada di Timur Tengah menjalani babak baru dalam kancah perang di muka bumi dengan alasan mengejar para kaum yang dinamakan sebagai kaum teroris atau yang memiliki keterkaitan dengan teroris. AS dan koleganya mengerahkan kemampuan militer dan persenjataan perang canggihnya, khususnya di wilayah Timur Tengah. Disisi lain, perlawanan beberapa negara di Timur Tengah baik secara langsung “face to face” maupun yang direprestasikan perlawanan oleh kelompok-kelompok tertentu yang berasal dari suatu negara di Timur Tengah telah mengubah persepsi dalam memandang sebuah perang. Bagi kelompok AS dan koleganya perang adalah pengerahan kemampuan militer semasif dan semodern mungkin, sebagai contoh menarik adalah perang di Irak. Disisi lain pihak-pihak yang menjadi komponen AS dan koleganya berupaya memiliki daya tempur untuk menjadi penyeimbang, sehingga bisa tetap bertahan baik dari strategi maupun segi taktik peperangan, sehingga munculnya istilah perang yang asimetris. ANALISA. Si vis pacem para bellum yang maksudnya adalah “Jika kau mendambakan perdamaian, bersiapsiaplah menghadapi perang“. Menurut Letjen TNI (Purn)Sayidiman Suryohadiprojo, perang merupakan penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan pertentangan antarnegara tetap terjadi, meskipun selalu ada niat untuk meniadakannya dan anjuran yang
36
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Bangsa yang paling sedikit mengalami gangguan kedaulatan adalah bangsa yang mampu melakukan pertahanan negara secara efektif
kuat untuk sebisa mungkin menggunakan cara damai. Setiap bangsa yang ingin menjamin kemerdekaan dan kedaulatan wajib memberikan perhatian besar kepada masalah pertahanan negara dan bersedia melakukan “segala usaha untuk mewujudkannya”. Fakta menujukkan bahwa bangsa yang paling sedikit mengalami gangguan kedaulatan adalah bangsa yang mampu melakukan pertahanan negara secara efektif. Dalam bukunya On War Von Clausewitz menyampaikan pendapatnya bahwa perang merupakan kelanjutan politik negara dalam bentuk lain. “War should be the politics of last resort when we go to war, we should have a purpose that our people understand and support, we should mobilize the county’s resources to full fill that mission and then go in to Win.” (General Colin Powell). Dalam diktumnya, Sun Tzu menyatakan bahwa : a. Satu orang lawan terlampau banyak, seribu kawan terlampau sedikit. • All warfare based on deception. • Menang dalam waktu singkat adalah tujuan perang. • Perang berkepanjangan akan membuat senjata jadi tumpul, semangat pasukan merosot, tenaga terkuras, sumdanas tak mendukung. b. Menundukkan musuh tanpa bertempur, merebut kota tanpa mengepung, tidak menumpahkan darah merebut kemenangan dengan utuh adalah “kemahiran paling tinggi dari seorang panglima”. Dari diktum tersebut di atas, dapat kita kaitkan dengan beberapa kejadian konflik yang terjadi saat ini di beberapa negara, dimana telah terjadi suatu bentuk peperangan baru dengan istilah perang modern yang dilakukan secara nonmiliter dari negara maju atau asing untuk menghancurkan suatu negara tertentu melalui bidang IPOLEKSOSBUDHAN (Ideologi, Politik, Sosial, Budaya, dan Pertahanan). Perang modern ini melibatkan banyak cara
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD dan media canggih (cyber) yang digunakan sebagai bagian dalam pelaksanaan peperangan tersebut, sehingga dapat pula dikatakan sebagai suatu bentuk kontrol dari negara-negara koalisi global yang dimotori oleh negara besar terhadap negara lain yang tidak mengakomodasi kepentingan negara koalisi tersebut atau membahayakan negaranya yang pada akhirnya adalah tentang penguasaan sumber-sumber ekonomi suatu negara. Dalam perang konvensional, kekuatan musuh mudah sekali diperkirakan kuantitas maupun kualitasnya, misalkan tentang kekuatan komando dan pengendaliannya. Dengan demikian, strategi yang hendak digunakan relatif mudah dipelajari dan dibaca, sehingga dapat digunakan untuk dasar-dasar mengantisipasinya. Sedangkan teori tentang perang asimetris dapat dijabarkan sebagai suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan diluar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek Astagatra (perpaduan antara Trigatra-geografi, demografi, dan sumber daya alam dengan Pancagatra ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Perang asimetris selalu melibatkan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang, sehingga dari penjabaran tentang dua jenis perang tersebut kini muncul istilah perang dengan nama perang hibrida. PERANG HIBRIDA. Istilah perang hibrida merupakan perpaduan antara perang konvensional, perang tidak teratur (asimetris), dan perang modern serta penggunaan cyber warfare. Dengan demikian, perang hibrida merupakan manifesto dari kondisi yang asimetris diantara dua pihak yang sedang bertikai, menurut Kolonel Jack Mc. Queen, US ARMY. Ret. Perang hibrida ini memiliki wilayah battles space tertentu yang dijadikan Palagan perang bagi salah satu pihak yang bertikai, sehingga terjadilah perang yang bersifat asimetris pada sisi lainnya. Sampai dengan saat ini, pencetus atau penggagas pertama kali istilah kata tentang perang hibrida masih belum mendapatkan info yang pasti. Beberapa teori yang dikembangkan oleh para ahli strategi militer diantaranya adalah Kolonel US ARMY Jack Mc Cuen menuangkan ide tentang strategi perang hibrida. Perang hibrida ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan pentas perang yang pernah ada di muka bumi. Dimulai dari Perang Dunia I yang merupakan perang konvensional antara beberapa negara dan terkenal dengan cirinya yakni penggunaan parit-parit perlindungan bagi satuansatuan infanteri, sehingga dalam era perang ini “parit”
Perang hibrida ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan pentas perang yang pernah ada di muka bumi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam strategi untuk memenangkan pertempuran. Perang Dunia I berakhir dengan dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa yang dimaksudkan untuk menghindari pecahnya perang. Pada Perang Dunia I ini dua belah pihak yang bertikai akan saling berhadapan dan saling mengalahkan satu dengan lainnya dengan memanfaatkan teknologi yang sederhana bila dibandingkan dengan pada saat ini. Kemudian Perang Dunia II, pada era ini perang sudah menggunakan berbagai persenjataan baik yang bersifat masif maupun parsial dan yang paling menonjol dalam Perang Dunia II ini adalah penggunaan teknologi mutakhir yang diaplikasikan dalam persenjataan perang, seperti penggunaan rudal dan pesawat tempur serta kapal-kapal induk yang membawa pesawat-pesawat terbang jauh dari pangkalan utamanya contohnya adalah pada Perang Pasifik. Dewasa ini, dalam beberapa kejadian perang yang telah terjadi saat ini dimana perang merupakan perpaduan antara beberapa konsep perang itu sendiri, perang sudah keluar dari pakemnya dimana kekuatan
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
37
Jurnal Yudhagama
yang besar saja belum tentu mampu menghadapi kekuatan yang jauh lebih kecil, dengan syarat apabila kekuatan kecil tersebut memiliki keunggulan strategi yang tidak dimiliki oleh lawannya sebagai contohnya adalah pada perang Israel yang berhadapan dengan pejuang Hizbullah di Lebanon Selatan. Dalam perang ini, banyak pihak meyakini bahwa Israel kesulitan untuk menghadapi perlawan dari para pejuang Hizbullah, padahal bila kita bandingkan secara langsung kekuatan yang dimiliki oleh kedua pihak jauh berbeda dimana Israel adalah sebagai strong actor yang memiliki kapabilitas dan kapasitas jauh melebihi Hizbullah, sedangkan bagi Hizbullah untuk mampu menandingi, bahkan untuk dapat mengalahkan Israel diperlukan cara yang tidak lazim dengan memanfaatkan SDA dan SDM yang sudah dimiliki oleh Hizbullah, seperti gambar tabel di atas. Terlihat bahwa semakin kearah sekarang dan yang akan datang adanya tren aktor perang asimetris yang lemah semakin memiliki peluang memenangkan perang ini lebih tinggi. Hal ini terjadi karena Hizbullah memiliki strategi yang andal melalui pemanfaatan yang kombinasi dengan kemampuan beradaptasi dengan kondisi alam yang menjadi Palagan peperangan yang dikombinasi dengan penguasaan teknologi mesin perang dan kemampuan mengelola cyber serta indoktrinasi kepada personel-personel akan tujuan perang yang sedang dijalani baik yang terlibat secara langsung maupun tidak terlibat langsung (rakyat/masyarakat). Dengan demikian, aktor yang kuat bisa saja terkalahkan dengan olah strategi yang andal oleh pemain yang lemah. KESIMPULAN. 1. Perang merupakan kelanjutan politik negara dalam bentuk lain, sehingga kesiapan dalam melaksanakan perang harus dipersiapkan sedemikian rupa dengan 38
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
memanfaatkan segala kemampuan dan kekuatan yang dimiliki. 2. Perang hibrida merupakan suatu kombinasi bentuk peperangan model baru yang dilatarbelakangi oleh kondisi dunia yang dimotori oleh AS dan koleganya dimana perang hibrida merupakan perpaduan antara perang konvensional, perang modern, dan perang dengan penggunaan cyber. 3. Untuk dapat menjadi aktor yang dapat berperang secara hibrida, penguasaan teknologi mesin perang serta penguasaan teknologi cyber yang didukung dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan alam setempat serta dilandasi oleh doktrin-doktrin peperangan menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaannya. 4. Hizbullah merupakan salah satu contoh organisasi militer yang mampu mengaplikasikan peperangan dengan model perang hibrida dan berhasil menandingi kekuatan Israel (IDF) di Lebanon Selatan. SARAN. 1. Indonesia sudah saatnya meningkatkan penguasaan teknologi (Alutsista dan cyber) yang dilandasi oleh kondisi geografi Indonesia serta penerapan doktrin-doktrin yang berorientasi kepada tujuan pelaksanaan peperangan. 2. Perang konvensional yang kini masih menjadi bagian doktrin dari TNI dalam pelaksanaan Operasi Militer untuk Perang sudah harus disempurnakan dan berorientasi untuk menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih besar. 3. Pelaksanaan latihan-latihan yang dilaksanakan oleh TNI perlu dikombinasikan dengan kondisi teraktual di dunia, karena bukan tidak mungkin Indonesia dapat menjadi obyek dari negara-negara maju dalam upaya menguasai sumber-sumber alam Indonesia.
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS III. Riwayat Penugasan.
I. Data Pokok. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Pangkat/NRP Tmp/Tgl. Lahir Agama Status Sumber Pa/Th Jabatan
: : : : : : :
Dr. Ivan Yulivan, MM. Kolonel Laut (S)/9868/P Bandung/23-11-1968 Islam Kawin AAL Angk. 36/1990 Koorspri Panglima TNI
II. Riwayat Pendidikan Militer. A. Dikbangum. 1. Akademi Angkatan Laut Angkatan 36 2. Dikpasis Angkatan III 3. Suspaja 4. Sus Scuba Driver Dislambair 5. Diklintas Jalur S 1 Undip 6. Sus Pembekalan NATO 7. Dikreg Seskoal Angkatan 43 8. Sus Intensif Bahasa Inggris KIBI Dephan Angkatan 66 9. Sus The Human Resourches Recuirement Australia 10. Sus Peace Keeping Operation Support Australia 11. Sus Kesehatan Bawah Air Hyperbarik 12. Sus ADS Internasional Diving School Japan 13. Sus Menembak senapan & pistol Kormar 14. Sus Dan Lanal Kolatarmabar 15. Sus Defence Management Australia 16. Sus Leadership & Western Pasific Forum Japan 17. Sus Instruktur MC Bhs. Inggris Disdikal 18. SusTerroris and Counter Terrorism 19. Sus Good Governance 20. Sus Global Security and Global Walfare 21. Sus Public Speaking and Phsycology Audiences 22. Sus Media Operation Royal Military Standurst 23. Sus Terjun bebas Paskhas TNI AU 24. Sus Dikko Kehormatan Paskhas TNI AU
: 1990 : 1991 : 1991 : 1993 : 1993 : 1997 : 2005 : 2006 : 2006 : 2006 : 2007 : 2008 : 2008 : 2008 : 2009 : 2009 : 2009 : 2010 : 2010 : 2010 : 2010 : 2012 : 2012 : 2012
A. Dalam negeri. 1. Ops. Prajala Seisya Indonesia 2. Ops. “BEDES” di Tim-Tim : 1991 4. Ops. Rahwan Pemilu Papua : 1992 7. Ops. Pam Pulau-pulau terluar : 1993 8. Ops. Perbatasan Kalimantan : 1993 9. Ops. Aru Jaya di laut Arafuru : 1996 10. Ops. Rig Timor Leste : 1997 11. Ops. Wilayah Barat Laut Indonesia : 1998 12. Ops. Wilayah Timur Laut Indonesia dan Latihan Armada Jaya : 1998 13. Ops. Bakti Surya Bhaskara Jaya : 1998 B. Luar Negeri. 1. Thailand 2. Malaysia 3. Kamboja 4. Turki, Amerika, Australia, Libanon, Jepang dan negaranegara ASEAN lainnya
: 1990 : 1991 : 1992 : 1997
IV. Riwayat Jabatan. 1. Kedeplog KRI Teluk Penyu 513 Armatim 2. DPB Lanal Semarang Dik Lintas Jalur S-1 UNDIP 3. Kadeplog KRI Ki Hajar Dewantara 364 Kadep Diklat KRI Ki Hajar Dewantara 364 Satuan Kapal Escorta Armada Timur 4. Staff Disku Koarmatim 5. Kasubagminpers Diskual Mabesal 6. Kabagminpers Diskual Mabesal 7. Staf Laksus Kasal Spri Mabesal 8. Staf Lantamal II Jakarta 9. Staf Disku Koarmabar 10. Staf Disku Mako Korps Marinir 11. Staf Perencanaan Mako Koarmabar 12. Intruktur Fighting Combate Pasukan Elite Denjaka, Pasukan Katak, Taifib Marinir, Den Bravo Paskhas, Gultor 81 Kopassus, (Walpri Panglima TNI) 13. Komandan Lanal Bandung 14. Koorspri Panglima TNI
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
39
Jurnal Yudhagama
SIAPKAH TNI MENGHADAPI PERANG HIBRIDA?
Oleh : Kolonel Inf Teguh Pudjo Rumekso (Asops Kasdam VI/Mulawarman) “Beberapa negara maju telah mengarahkan perhatian secara khusus kepada tren baru ancaman, yaitu perang hibrida (hybrid war), perang hibrida merupakan sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi”. Demikian sepenggal amanat Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, S.E., pada upacara 17-an tanggal 18 Februari 2013.
S
eiring dengan bertambahnya kemampuan anggaran TNI, telah menimbulkan berbagai dinamika dan keriuhan dalam pengadaan Alutsista TNI, khususnya selama tiga tahun belakangan ini yang semakin memberikan kedewasaan peran bagi TNI. Kesungguhan pemerintah dalam menata pertahanan dan keamanan negara, tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah terorisme di dalam negeri. Lebih lanjut Panglima TNI mengatakan bahwa, dalam menghadapi ancaman perang hibrida, TNI harus mampu merespon dan segera beradaptasi dengan situasi yang berkembang agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat. Sebagai contohnya, pengadaan pesawat tempur sergap Super Tucano yang sejalan dengan pengadaan pesawat
40
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Counter Insurgency (Coin) TNI AU, guna mengantisipasi kemungkinan berkembangnya aksi terorisme, demikian pula pembelian dan pengadaan Alutsista matra darat dan laut yang dimaksudkan untuk menghadapi ancaman perang hibrida. Pembuka di atas merupakan pengantar tulisan yang akan membahas tentang sejauh mana kesiapan TNI dalam menghadapi perang hibrida yang saat ini sedang tren dibicarakan di lingkungan komunitas pemerhati pertahanan di Indonesia. Sekilas tentang perang hibrida yang akan menjadi perang “masa depan“ dimana perang dimasa mendatang kemungkinan tidak lagi mengandalkan prajurit untuk maju ke medan laga. Sasaran dan target musuh cukup dibidik dari pusat komando pertahanan. Tidak butuh waktu lama, perangkat diluncurkan dan sasaran dapat dilumpuhkan dengan teknologi terbaru seperti pesawat tanpa awak atau drone. Kombinasi antara perang konvensional yang dipadukan dengan peralatan teknologi komunikasi mampu menghasilkan dan menghancurkan target musuh dengan meminimalkan kerusakan dan kerugian, baik peralatan tempur maupun sumber daya militer seperti prajurit. Beberapa negara sejak beberapa tahun terakhir secara intensif sudah mulai mengembangkan perangkat perang tersebut. Malahan negara seperti Amerika Serikat (AS), Israel dan beberapa negara Eropa Barat sudah melakukan aksi-aksi militernya dengan teknologi perang paling maju tersebut. Bagaimana dengan TNI? Sejauh mana persiapan militer Indonesia dalam menghadapi perang hibrida (hybrid war) yang menonjolkan kekuatan perangkat teknologi komunikasi tercanggih? Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) apakah sudah mengantisipasi kemungkinan menguatnya apa yang diistilahkan dengan perang hibrida tersebut? Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Sisriadi di Jakarta menyatakan kesiapannya baik Kemhan dan TNI dalam menghadapi peperangan dimasa mendatang. “Kami akan menyiapkan perangkat lunak dan perangkat keras dalam menghadapi berbagai ancaman di medan peperangan termasuk perang hibrida,” ujarnya. Sementara pengamat militer yang juga dosen Universitas Pertahanan (Unhan) Prof. Bantarto Bandoro mengungkapkan jajaran militer Indonesia atau TNI tidak boleh berdiam diri dengan perkembangan terbaru dalam strategi perang tersebut. TNI tidak boleh berdiam diri menghadapi perubahan peperangan dimasa mendatang. Kekuatan cyber defence harus dipersiapkan secara maksimal oleh TNI,” katanya. Karenanya, Prof. Bantarto menyarankan agar jajaran TNI yang terdiri dari tiga matra
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD harus melakukan investasi besar-besaran dibidang pengadaan sumber daya baik perangkat teknologi maupun dukungan personelnya. “Dengan dukungan tersebut diharapkan TNI memiliki daya tahan,” ujar Bantarto. Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Ramadhan Pohan menegaskan sudah selayaknya TNI mewaspadai ancaman perang hibrida, selain ancaman perang konvensional. “Dari segi darat, laut, dan udara, TNI harus mewaspadai segala bentuk ancaman, baik itu perang konvensional maupun perang nonkonvensional seperti perang hibrida. Dan pernyataan Panglima TNI agar prajurit TNI mewaspadai perang hibrida sudah selayaknya menjadi perhatian kita,” kata Ramadhan Pohan. Pohan mengakui, jika sejauh ini bangsa Indonesia masih memfokuskan pada upaya pemenuhan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI untuk mencapai Minimum Essential Force (MEF). Saat ini kita memang masih mengupayakan pemenuhan Alutsista TNI. Tapi untuk menghadapi cyber war ataupun perang teknologi informasi TNI belum menyiapkan diri secara penuh kearah sana. Namun begitu, TNI dengan segala sumber daya manusianya mampu mempersiapkan diri menghadapi perang hibrida. “Kalau ditanya soal kesiapan TNI, saya yakin TNI sudah siap. Tapi dari segi anggaran yang diberikan itu masih bersifat untuk pertahanan konvensional,” tuturnya. Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Suhartono mengatakan, TNI harus siap menghadapi perang hibrida. Pembelian perlengkapan senjata TNI dalam tiga tahun terakhir ini juga dipersiapkan untuk kemungkinan menghadapi perang tersebut (Harian Pelita , 07 Maret 2013 : 1). Setiap negara memiliki pandangan masing-masing terhadap damai dan perang (Buku Doktrin Pertahanan Negara, 2007 : 44). Pandangan bangsa Indonesia tentang damai dan perang adalah Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan dan kedaulatan. Perang merupakan jalan terakhir apabila usaha diplomasi mengalami jalan buntu serta dilaksanakan dalam rangka melawan kekuatan negara lain yang secara nyata mengancam kemerdekaan, kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Indonesia menganut prinsip Si Vis Pacem Para Bellum yakni untuk memelihara kondisi damai, negara membangun kemampuan pertahanan yang kuat yang berdaya tangkal tinggi. Meski demikian penyelenggaraan perang bagi Indonesia adalah merupakan opsi yang paling akhir yang harus dipilih untuk menyelesaikan konflik. TNI sebagai garda terdepan dituntut untuk selalu memiliki kesiapan untuk menghadapi ancaman militer berupa agresi negara asing maupun dalam bentuk lain selain agresi militer oleh TNI AD, TNI AL maupun TNI AU. Dihadapkan kepada kesiapan untuk merespon dan menghadapi perang hibrida, maka akan muncul berbagai macam permasalahan yang harus dipecahkan, sehingga TNI tidak perlu ragu dalam menjawab tantangan tersebut, karena sesuai dengan
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang telah menggeser bentuk ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) berkembang menjadi spektrum konflik yang bersifat multi dimensional (fisik dan nonfisik) yang dapat berkembang menjadi perang hibrida pepatah ahli perang dari China, Tsun Zu “Tentara harus dapat menyesuaikan dengan segala macam kondisi daerah pertempuran, siapa yang dapat menyesuaikan diri dengan kondisi pertempuran, maka ia akan keluar sebagai pemenang” (Sun Tzu , Arts Of War : 535 SM) Bertitik tolak dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk menginventarisir beberapa permasalahan yang saat ini sedang dihadapi TNI tentang kesiapan tiga matra untuk menghadapi perang hibrida, antara lain: Pertama, bagaimana kesiapan antar matra (TNI AD, TNI AL dan TNI AU) merespon dan menghadapi perang hibrida?; Kedua, permasalahan apa yang dihadapi antar matra dalam menghadapi perang hibrida?; Ketiga, bagaimana konsep yang dapat ditempuh dalam menghadapi perang hibrida? ; dan Keempat, bagaimana sebaiknya koordinasi antar matra dan institusi lain dalam menghadapi perang hibrida. Kesiapan antar matra (TNI AD, TNI AL dan TNI AU) merespon dan menghadapi perang hibrida. Tren globalisasi disegala bidang saat ini telah mengakibatkan munculnya berbagai bentuk dan dinamika ancaman. Perebutan kepentingan yang lebih banyak diprakarsai dan didominasi oleh negara maju telah berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi negara-negara miskin dan berkembang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang telah menggeser bentuk ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) berkembang menjadi spektrum konflik yang bersifat multi dimensional (fisik dan nonfisik) yang dapat berkembang menjadi perang hibrida. Perang yang akan datang tidak akan dalam bentuk head to head war tetapi musuh akan menyerang will to fight atau kemauan bertempur pasukan yang dihadapi dalam bentuk perang informasi, bom improvisasi (Improvised Explosive Device), perang elektronik dan perang perangkat lunak/software (cyber war). TNI sebagai kekuatan penangkal utama wajib untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi segala bentuk ancaman yang akan datang baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Dihadapkan kepada kesiapan untuk perang Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
41
Jurnal Yudhagama
Dengan Alutsista yang lebih modern diharapkan TNI mampu menyesuaikan diri dengan tren perang hibrida yang cepat atau lambat akan dihadapi oleh TNI
hibrida, penyiapan TNI masih dalam proses pemenuhan dan pengadaan Alutsista sesuai dengan kebijakan pemerintah RI Minimum Essential Force (MEF). Dengan Alutsista yang lebih modern diharapkan TNI mampu menyesuaikan diri dengan tren perang hibrida yang cepat atau lambat akan dihadapi oleh TNI. Proses pengadaan Alutsista pada masing-masing matra disesuaikan dengan Dokumen Rencana Strategis yang dimiliki masing-masing matra yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap matra. Berikut cuplikan rencana pengadaan Alutsista modern di jajaran TNI. Pertama, TNI AD. Pengadaan materiil/Alutsista TNI AD dilakukan melalui dua macam pendekatan yaitu: Rematerialisasi/pemenuhan serta pengadaan Alutsista baru bagi kebutuhan yang mendesak. Adapun dalam penyelenggaraannya diutamakan pada produksi dalam negeri. Sedangkan bagi materiil/Alutsista yang belum mampu dipenuhi oleh Industri Pertahanan Nasional dan merupakan kebutuhan yang mendesak dilakukan melalui pengadaan produksi luar negeri yang sesuai dengan kemajuan teknologi serta mengedepankan alih teknologi (Transfer of Technology) dan alih pengetahuan (Transfer of Knowledge). Prioritas pengadaan Alutsista diperuntukan bagi Senjata Armed, Senjata Arhanud, Ranpur Kavaleri, Pesawat Terbang dan Heli (Serbu/Serang), Ranpur Mekanis, Alhub, Aloptik, Matsus serta Munisi, Alberzi yang dilaksanakan secara bertahap. Beberapa Alutsista yang akan dimiliki oleh jajaran TNI AD antara lain: Rudal Mistral, Rudal Startstreak, MLRS Astros II, MBT Leopard-2 A6, Meriam Caesar 155/52-Calibre, Helikopter angkut dan serbu antara lain : Helikopter MI-35, Helikopter Black Hawk S-70i, MBT Marder 1 Infantery Fighting Vehicle. Kedua, TNI AL. Alutsista TNI AL yang sedang dibangun saat ini berada di dalam dan luar negeri. Untuk Alutsista yang berasal dari luar negeri akan datang secara bertahap, baik itu kapal perang, pesawat, helikopter maupun tank. Beberapa Alutsista TNI AL yang akan datang tahun ini, antara lain 37 unit tank BMP-3F asal Rusia untuk Korps Marinir dan kapal perang. Sebelumnya, Marinir sudah mendapatkan 17 unit tank BMP-3F dan akhir tahun ini akan ditambah lagi 37 unit. Mabes TNI AL telah memesan sejumlah peralatan tempur dari industri strategis di dalam dan luar negeri, antara lain tiga kapal selam dari Korea Selatan, empat LST (Landing Ship Tank) dari PAL, dan kapal fregat dari Inggris. Selain itu, masih ada kapal cepat
42
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
rudal, kapal hidrografi, helikopter antikapal selam, dan kapal latih Kadet AAL pengganti KRI Dewaruci. Ketiga, TNI AU. TNI Angkatan Udara akan terus menambah jumlah Alutsista yang dimilikinya, bahkan ada 102 Alutsista baru pada rencana strategis pembangunan TNI AU tahun 2010-2014. Alutsista baru tersebut meliputi pesawat tempur F-16, T-50, Sukhoi, Super Tucano, CN-295, pesawat angkut Hercules, Helikopter Cougar, Grob, KT-1, Boeing 737-500 dan radar. Pada tahun 2013 ini pesawat Super Tucano sebagian telah datang untuk melengkapi yang sudah ada sehingga saat ini, TNI AU telah memiliki empat unit pesawat tempur taktis Super Tucano. Diharapkan kedepan TNI AU memiliki satu skadron pesawat Super Tucano yang ditempatkan di Skadron Udara 21 Lanud Abdulrahman Saleh, Malang. Direncanakan pada akhir 2013 atau awal 2014 akan tiba delapan unit lagi, sehingga tercapai satu skadron atau 16 unit. Pada 2014 nanti 14 jenis Alutsista akan menambah kekuatan TNI AU, seperti pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter, pesawat latih, pesawat intai dan pesawat tempur lainnya. Permasalahan yang Dihadapi Antar Matra Dalam Menghadapi Perang Hibrida. Pertama, doktrin. Doktrin militer didalam suatu negara akan mencerminkan cara bertempur militernya. Cara bertempur militer suatu negara tidak akan berubah apabila doktrinnya tidak berubah. Merujuk kepada pernyataan tersebut, doktrin TNI yang saat ini digunakan oleh TNI belum sepenuhnya menyiapkan TNI untuk menghadapi perang hibrida. Doktrin TNI Tridek 2012 menyesuaikan dengan amanat undang-undang dimana TNI disiapkan untuk melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam Operasi Militer Perang TNI bertugas sebagai penangkal dan penindak terhadap negara agresor yang akan merebut kedaulatan negara. Sedangkan di luar situasi perang TNI akan melaksanakan 14 tugas OMSP yang berbeda. Posisi perang hibrida yang merupakan bagian dari Operasi Militer Perang belum masuk ke dalam ranah doktrin TNI dimana dalam perang hibrida proses perubahan situasi perang yang terjadi semuanya akan serba cepat, serba tidak dapat diramalkan/unpredictable. Dalam doktrin TNI yang ada sekarang, masih cenderung menggunakan cara-cara konvensional yang banyak dipengaruhi oleh Clausewitz yang menekankan bagaimana kekuatan militer dikerahkan untuk segera menguasai dan menghancurkan Centre of Gravity (CoG) dari musuh yang benar-benar nyata dihadapi, keterangan intelijen yang akurat, disposisi musuh yang jelas serta kemampuan musuh yang terukur. Berbeda dengan konsep perang hibrida di mana kekuatan, kemampuan dan disposisi musuh sifatnya cenderung abstrak. Kedua, anggaran. Perang hibrida merupakan perang yang menggunakan peralatan serta teknologi yang
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD canggih serta aspek-aspek lain seperti Nubika, perang informasi dan cyber warfare. Untuk dapat menyesuaikan diri kedalam situasi tersebut, maka dibutuhkan anggaran yang sangat besar karena perang hibrida bukanlah jenis peperangan yang dapat dihitung kapan periode mulai dan kapan selesainya. Strategi dalam perang hibrida dapat diasumsikan mirip dengan strategi perang gerilya yang protracted (berlarut) yang membutuhkan anggaran yang tidak sedikit karena perang hibrida tidak hanya melibatkan aspek komponen perang saja. Ketiga, Sumber Daya Manusia. Manusia merupakan potensi utama sebagai faktor penentu kemenangan dalam perang. Tanpa kualitas SDM yang memadai dihadapkan kepada kompleksnya peperangan hibrida, sangat mustahil TNI dapat memenangkan perang karena perang hibrida akan membutuhkan penguasaan teknologi, informasi dan kemampuan-kemampuan lain yang bersifat non-war skils namun akan berpengaruh terhadap suksesnya operasi yang diselenggarakan, seperti kemampuan cyber warfare, merakit bom dan perang informasi. Secara riil sampai dengan sekarang kekuatan TNI masih sangat terbatas untuk menghadapi perang secara konvensional yang mengerahkan kekuatan besar, namun pada perang hibrida, dengan beberapa orang yang terlatih dalam penguasaan cyber dan perang informasi, setidaknya akan melemahkan kemauan bertempur musuh. Keempat, Alutsista. Alutsista yang dimiliki TNI saat ini diprioritaskan untuk menghadapi perang konvensional. Belum disiapkan sepenuhnya untuk menghadapi perang hibrida yang situasinya lebih kompleks karena melibatkan unsur nubika, perang informasi, dan cyber war. Beberapa jenis persenjataan yang memiliki teknologi yang tinggi digunakan untuk menghancurkan sasaran yang sifatnya riil, menghantam kekuatan musuh dari luar saja, tetapi belum ada yang dapat melemahkan dan menghancurkan musuh dari dalam. Konsep yang Dapat Ditempuh Dalam Menghadapi Perang Hibrida. Pertama, penyempurnaan doktrin. Doktrin bukan merupakan sesuatu yang dogmatis dan tidak terbantahkan, justru sebaliknya, doktrin militer yang baik akan menyesuaikan dengan lingkungan operasi yang aktual, adaptif dengan segala bentuk situasi dan dapat dipahami serta dilaksanakan mulai dari pimpinan TNI sampai dengan prajurit pelaksana di lapangan dan doktrin harus aplikatif menyesuaikan dengan sifat peperangan. Sehingga untuk mendukung kesiapan TNI dalam menghadapi fenomena perang hibrida, doktrin TNI harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan peperangan yang aplikatifnya pada taktik yang dioperasionalkan di lapangan. Taktik harus menyesuaikan dengan lingkungan operasi dan sifat dari musuh yang akan dihadapi, jangan sampai taktik peperangan yang digunakan oleh
Tuntutan kemajuan perang telah memaksa TNI untuk memiliki nonwar skills. Selain itu hubungan sipil dan militer perlu dilatihkan dalam wujud latihan yang terintegrasi TNI tidak sinkron dengan pola peperangan hibrida yang cenderung menembus ruang dan waktu. TNI AD sebagai tumpuan dalam pelaksanaan operasi TNI sudah seyogyanya menjadi leading sector perubahan doktrin perang yang mengarah kepada perang hibrida kedepan. Contoh keberhasilan dalam pembuatan doktrin seperti yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat di mana perumusan doktrin diawali oleh angkatan darat, sedangkan angkatan lain akan menyesuaikan dalam bentuk joint publication yang berisi prinsip-prinsip dasar yang mengarahkan penggunaan militer dalam kegiatan yang terkoordinir untuk suatu sasaran yang sama (JS Prabowo, 2009 : 31). Kedua, peningkatan SDM melalui pendidikan dan latihan di dalam dan luar negeri. Personel TNI mulai dari sekarang harus mulai memahami apa yang dimaksud dengan perang hibrida, bagaimana mengawaki Alutista untuk perang hibrida, bagaimana menghadapi cyber warfare dan perang informasi. Tuntutan kemajuan perang telah memaksa TNI untuk memiliki nonwar skills. Selain itu hubungan sipil dan militer perlu dilatihkan dalam wujud latihan yang terintegrasi, dimana dalam pola operasi yang dilakukan, instansi-instansi nonmiliter akan memberikan dukungan dalam bentuk personel, keahlian dan perlengkapan yang tidak dimiliki oleh TNI dalam menghadapi perang hibrida. Koordinasi Antar Matra dan Institusi Lain Dalam Menghadapi Perang Hibrida. Pertama, pembentukan badan koordinasi. Gejala perang hibrida tidak sama seperti perang konvensional dimana ancaman/musuh yang datang dapat benarbenar kelihatan nyata karena ancaman pada perang hibrida akan muncul dalam bentuk gejala atau sebaliknya dampak setelah terjadi. Guna menyikapi hal tersebut maka diperlukan suatu badan koordinasi di bawah kementrian pertahanan yang keanggotaannya berasal dari militer dan instansi-instansi nonmiliter. Baik anggota militer dan nonmiliter perupakan orang-orang yang memiliki kemampuan khusus dalam perang hibrida, seperti : ahli piranti lunak, anti hacker, pakar informasi, pakar telematika, ahli bahan peledak, ahli fisika atom, ahli biologi dan pakar taktik militer. Badan ini bertugas untuk mengkoordinasikan tindakan yang akan dilakukan terhadap segala bentuk potensi ancaman terhadap kedaulatan negara dihadapkan kepada perang hibrida. Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
43
Jurnal Yudhagama Kedua, satelit bersama. Sudah saatnya TNI memiliki satelit militer untuk mendukung kegiatan operasi, terlebih untuk mengantisipasi perang hibrida. Dengan memiliki satelit, TNI akan lebih terintegrasi dalam hal komando pengendalian, penyebaran informasi dan deteksi awal untuk mengetahui ancaman yang akan datang. Halhal yang diketahui sebagai ancaman akan lebih cepat terinformasi kepada seluruh matra, sehingga masingmasing matra akan menyiapkan satuan operasionalnya untuk melaksanakan penindakan secara terkoordinasi. Dari tulisan di atas, maka dapat disimpulkan, kemampuan TNI saat ini belum sepenuhnya siap untuk menghadapi perang hibrida yang sifatnya kompleks. Diperlukan sinergisitas antar matra serta dengan instansi lain untuk bisa saling melengkapi agar TNI mampu menjawab fenomena perang hibrida. Faktor
doktrin, anggaran dan SDM merupakan hal paling krusial untuk disiapkan lebih awal guna menghadapi perang hibrida, sehingga disarankan : Pertama, penyesuaian doktrin TNI dan doktrin masing-masing matra guna menjawab fenomena perang hibrida; Kedua, pemenuhan dan pengadaaan Alutsista dalam rangka MEF agar diorientasikan juga kepada kesiapan TNI untuk menghadapi perang hibrida; Ketiga, penyiapan SDM TNI yang lebih dini untuk diarahkan kepada perubahan sifat peperangan dari waktu ke waktu yang semakin kompleks. Demikian essai tentang kesiapan TNI menghadapi perang Hibrida yang dapat penulis tuangkan sebagai sumbangan pemikiran bagi TNI AD. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penyusunan essai ini, sehingga koreksi dan arahan yang membangun sangat dibutuhkan guna mendukung perbaikan kedepan.
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Data Pokok. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama Pangkat Tempat/Tgl. Lahir Agama Status Sumber Pa/Th Jabatan
: : : : : : :
Teguh Pudjo Rumekso Kolonel Inf/1910038210468 Medan/20-04-1968 Islam Kawin Akmil/1991 Asops Kasdam VI/Mulawarman
II. Riwayat Pendidikan Militer. A. Dikbangum. 1. Akmil 2. Sessarcabif 3. Suslapa Inf 4. Seskoad
: : : :
1991 1992 2002 2005
B. Dikbangspes. 1. Sus Dasar Para 2. Sus Kibi 3. Tarlat Kader Yonif 4. Suspa Intel Pur 5. Tar Litpers 6. Sus Danyon 7. Sus Dandim
: : : : : : :
1991 1996 1997 1998 2003 2006 2008
III. Riwayat Penugasan. A. Dalam Negeri. 1. Ops. Tim-Tim : 1993 2. Ops Tim-Tim : 1998 3. Pamtas RI-Malaysia : 2007
44
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
B. 1. 2. 3. 4. 5.
Luar Negeri. Singapura China Singapura Australia Arab Saudi
: : : : :
1996 2010 2011 2011 2011
IV. Riwayat Jabatan. 1. Pama Pussenif 2. Pama Kodam V/Wrb 3. Danton II Ki-A Yonif-512 4. Dan Kipan C Yonif-512 5. Pasi 2/Ops Yonif-512 6. Pasi Intel Kodim-0824 7. Pasi Intel Rem-044/Gapo 8. Kasdim-0418/Plg Rem-044/Gapo 9. Pamen Kodam II/Swj 10. Ps. Kadeppeg Susintel Pusdik Intel Kodiklat 11. Ps. Dansat Dikpa Pusdik Intel Kodiklat 12. Kasi Intel Rem-091/ASN 13. Danyonif-623/Bwu 14. Dandim-0904/Tng Rem-091/ASN 15. Wadan Grup B Paspampres 16. Asops Kasdam VI/Mlw
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
ASPEK LOGISTIK DALAM MENGHADAPI ANCAMAN HIBRIDA
Oleh : Kolonel Kav Eko Susetyo (Aslog Kasdam IX/Udayana) Ancaman hibrida menjadi tren dalam perkembangan ancaman yang dihadapi oleh suatu negara. Ancaman ini menggabungkan kemungkinan sebuah kekuatan nonnegara tetapi mempunyai kemampuan sebagaimana layaknya sebuah negara. Atau juga bisa jadi sebuah negara tetapi mempraktekkan cara-cara bertindak yang lazim dilakukan oleh aktor-aktor nonnegara, seperti misalnya tindakan terorisme. Pendahuluan.
P
erang hibrida merupakan terminologi yang digunakan untuk mengungkapkan suatu bentuk perang yang ditimbulkan oleh ancaman yang bersifat hibrida (campuran, turunan dari dua jenis induk yang berbeda). Istilah hibrida (campuran) ini mempunyai konotasi pada jenis ancaman yang dihadapi, yakni ancaman yang jenis, sifat dan kemampuannya merupakan campuran antara negara dan nonnegara. Jika selama ini kita telah akrab dengan istilah “perang konvensional” untuk mendeskripsikan perang antar negara dan juga ada terminologi “perang asimetris” untuk menjelaskan perang antara suatu negara melawan musuh yang bukan merupakan suatu negara (nonstate), maka perang hibrida adalah percampuran antara keduanya. Dalam perang hibrida, musuh yang dihadapi
bisa merupakan sebuah kelompok nonnegara tetapi mereka mempunyai kemampuan sebagaimana layaknya sebuah negara. Bagi TNI AD, teori tentang ancaman hibrida dapat ditimbulkan oleh kelompok-kelompok teroris, separatis atau kelompok pengacau keamanan lainnya yang mendapat bantuan dari negara lain. Menghadapi ancaman semacam ini, TNI AD harus mengembangkan dan mengadopsi taktik dan strategi yang sesuai. Aspek logistik sebagai komponen utama dari bisa atau tidaknya taktik dan strategi ini dioperasionalkan, juga harus melaksanakan penyesuaian. Tulisan ini akan menjelaskan tentang perang hibrida secara umum, kemudian kemungkinan implikasinya bagi TNI AD, dan selanjutnya bagaimana tinjauan aspek logistik dalam konsep implementasi tersebut. Tulisan ini diakhiri dengan langkah-langkah yang direkomendasikan penulis untuk mendukung kesiapan TNI AD terutama dari aspek logistiknya. Penjelasan tentang perang hibrida. Perang hibrida disebabkan oleh ancaman yang bersifat hibrida juga. Ancaman hibrida adalah ancaman yang merupakan gabungan dari semua aspek ancaman meliputi kemampuan konvensional, taktik dan formasi yang tidak beraturan (irregular), tindakan terorisme dan aksi kriminal (kejahatan) lainnya. Sumber ancaman ini bisa berupa suatu negara atau juga oleh kelompok/ kekuatan nonnegara. Ancaman yang bersifat sangat heterogen ini bisa dikerjakan oleh satu satuan atau oleh beberapa satuan yang berbeda. Tetapi walaupun dikerjakan oleh beberapa satuan dengan beberapa sasaran, biasanya pengendalian secara operasional dan taktis tetap berfokus pada satu medan tempur untuk mencapai sinergitas dalam aspek fisik maupun psikologis. Hal yang juga berbeda dengan konsep perang sebelumnya (bukan hibrida) adalah tentang dislokasi komponen reguler dan nonreguler. Dalam konsep perang sebelumnya, walaupun tidak selalu, mungkin juga akan dibentuk komponen-komponen reguler dan nonreguler. Namun komponen-komponen ini biasanya ditempatkan dalam lokasi perang yang berbeda. Dalam perang hibrida, komponen-komponen ini bercampur menjadi satu di dalam medan tempur yang sama, dengan komponen nonreguler sebagai komponen yang menentukan secara operasional. Komponen nonreguler akan menjadi satuan yang menentukan kemenangan, Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
45
Jurnal Yudhagama
Musuh dalam perang hibrida bisa merupakan sebuah negara, kelompokkelompok yang didukung oleh sebuah negara atau kelompok-kelompok yang mampu membiayai operasional mereka sendiri dan bukan hanya sebagai satuan yang difungsikan untuk memperpanjang konflik atau untuk memprovokasi lawan agar menghabiskan sumber dayanya. Musuh dalam perang hibrida bisa merupakan sebuah negara, kelompok-kelompok yang didukung oleh sebuah negara atau kelompok-kelompok yang mampu membiayai operasional mereka sendiri. Tindakan aktor dalam perang hibrida ini bisa berupa eksploitasi terhadap kemampuan militer suatu negara meliputi pembobolan sistem komando, sistem senjata canggih yang dimiliki suatu negara, atau perusakan sistem militer yang vital lainnya. Ancaman dengan pola kekerasan juga mereka laksanakan dengan aksi-aksi insurjensi (penghadangan, penggunaan bahan peledak improvisasi, serta pembunuhan-pembunuhan secara keji). Yang juga perlu diingat adalah bahwa dalam perang hibrida, tidak selalu negara berperan sebagai kekuatan tradisional atau kekuatan nonnegara sebagai kekuatan yang nonreguler. Kekuatan militer seperti yang dimiliki oleh Hezbollah telah membuktikan bahwa kekuatan nonnegara telah mampu menunjukkan ancaman yang bersifat tradisional terhadap kemampuan bersenjata Israel. Implikasi bagi TNI AD. Ancaman hibrida adalah suatu realita dan negara manapun harus siap menghadapinya. Bagi TNI AD, kesiapan ini hendaknya dapat diaplikasikan dengan penyesuaian organisasi dan kemampuan dalam menghadapi ancaman berupa aksi terorisme dan atau separatisme yang dibantu oleh negara lain. TNI AD dituntut untuk memiliki kemampuan menghadapi kelompok separatis yang kekuatan bersenjatanya menjadi sedemikian kuat dilengkapi dengan senjata modern dan teknologi informasi karena ada bantuan dari negara sponsor. Kelompok ini dalam operasinya bukan saja mengandalkan kekuatan bersenjatanya secara konvensional, tetapi juga menggunakan aksi-aksi kriminal dan terorisme dalam rangka memecah konsentrasi dan mengacaukan kekuatan TNI. Untuk menghadapi hal demikian, peningkatan kemampuan dalam aspek intelijen dan teritorial merupakan hal yang mutlak. Pada era teknologi informasi, kemampuan intelijen tidak bisa hanya dengan mengandalkan kemampuan sumber daya manusia. 46
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Sepandai apapun personel intelijen yang dimiliki tetap harus dilengkapi dan dibantu dengan peralatan modern. Di sisi lain, kemampuan teritorial yang menjadi titik kuat dan ciri khusus TNI, juga harus dipertajam arahnya. Kemampuan teritorial harus mampu mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk yakin terhadap apa yang dikerjakan TNI dan karenanya mereka mendukung dengan penuh kesadaran segala upaya TNI. Dalam hal pembinaan kekuatan secara konvensional, TNI AD dituntut memiliki kemampuan interoperabilitas yang baik. Hal itu hanya bisa dicapai dengan cara modernisasi Alutsista, menjamin kesiapannya dan menajamkan kemampuan bertempur antar kecabangan maupun kemampuan bertempur secara gabungan (antar angkatan). Aspek logistik. Paradigma yang dipakai dalam rangka menghadapi ancaman yang bersifat hibrida sebagaimana dijelaskan di atas adalah bahwa TNI AD harus memodernisasi Alutsista, mengadopsi taktik dan teknik bertempur yang berkembang di dunia, menajamkan kemampuan intelijen dan teritorial serta kemampuan bertempur secara konvensional maupun asimetris. Dalam semua langkah tersebut, aspek logistik memegang peran yang sangat vital. Dalam hal modernisasi Alutsista, pejabat logistiklah yang harus mampu menyiapkan sesegera mungkin Alutsista dengan karakteristik/spesifikasi seperti yang diinginkan oleh perencana operasi. Proses pengadaan (procurement) dilaksanakan secara efisien, akuntabel dan profesional. Proses logistik lanjutan setelah proses pengadaan yang meliputi penggudangan, distribusi, pemeliharaan dan penghapusan juga harus dilakukan secara profesional. Siklus logistik merupakan suatu proses universal yang dikerjakan oleh semua angkatan bersenjata di dunia, sehingga sebenarnya tidak sulit bagi para logistician TNI AD untuk mampu bekerja secara profesional karena banyak model yang bisa dijadikan acuan. Untuk mengadopsi taktik tempur modern, dukungan logistik juga harus diselenggarakan secara modern dengan tetap mengacu pada prinsip universal dalam penyelenggaraan logisitik sebagai berikut : • Responsif, yakni penyediaan menyediakan dukungan logistik yang tepat waktu, jumlah, mutu, dan tempat. • Sederhana, penyelenggaraan yang tidak rumit dalam semua tahapan dukungan logistik. • Fleksibel, mampu beradaptasi dengan perubahanperubahan kondisi di lapangan. • Ekonomis, efisien dan tidak berlebihan. • Kemampuan penyediaan dukungan awal dan selama waktu operasi. • Penyiapan infrastruktur logistik untuk memeroleh ketahanan selama operasi.
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD Penyiapan infrastruktur logistik. Rancangan operasi yang digunakan dalam menghadapi ancaman hibrida tentunya berupa sebuah rencana operasi yang sangat dinamis. Operasi dilaksanakan oleh berbagai satuan dengan kerja sama yang erat di lapangan dengan kemungkinan perubahan cara bertindak yang sangat cepat. Model operasi yang demikian menuntut sistem dukungan logistik yang juga sangat fleksibel. Beberapa kemungkinan cara bertindak yang disiapkan harus sudah didukung dengan rencana dukungan logistik yang memadai. Untuk itu diperlukan penyiapan aspek logistik jauh-jauh hari sebelum situasi perang mulai terjadi. Infrastruktur logistik berupa sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan distribusi logistik di daerah pertempuran dan wilayah pendukungnya memiliki peran yang sangat penting. Rute pembekalan yang baik, alat angkut yang mumpuni ditambah dengan sistem distribusi yang sesuai, diharapkan akan mampu menjamin ketersediaan logistik dalam situasi yang berubah-ubah. Penyiapan infrastruktur logistik ini tidak melulu dikerjakan oleh TNI. Sesuai dengan doktrin pertahanan semesta dimana segenap potensi wilayah harus dapat dikerahkan untuk kepentingan pertahanan, maka penyiapan wilayah sesuai dengan rencana strategis pertahanan sangat penting untuk dikerjakan. Permasalahannya adalah siapa sebenarnya yang bertugas untuk melaksanakan pengelolaan infrastruktur logistik ini, baik di tingkat pusat maupun di tingkat Kotama TNI AD. Tugas untuk menghimpun data tentang logistik wilayah dan mengkoordinasikannya dengan Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh staf teritorial yang merupakan penyedia fungsi Binter satuan-satuan Kowil maupun nonkowil. Data ini biasanya berisi data tentang kemampuan sebuah wilayah dalam mendukung kemungkinan operasi militer di wilayah tersebut, berupa berapa panjang jaring jalan klas I, jumlah kendaraan, pembangkit tenaga listrik, pabrik-pabrik, luas lahan pertanian dan perkebunan, sumber air bersih dan sebagainya. Tentu saja data di atas bukan semata-mata hanya berhenti pada proses pengumpulannya saja. Bukan hanya untuk dipajang sebagai kelengkapan administrasi kantor. Data ini harus diolah dan diintegrasikan dengan logistik pasukan dalam bentuk penyusunan rencana operasi yang diikuti dengan pelaksanaan latihan atau uji coba rencana. Kegiatan inilah yang selama ini belum pernah dicoba. Latihan-latihan yang dilaksanakan lebih mengedepankan skenario tentang efektivitas manuver pasukan, sementara bagaimana skenario tentang dukungan logistiknya belum sepenuhnya menjadi perhatian. Rencana dalam bantuan logistik harus betulbetul dipraktekkan, tidak dilewati hanya dengan alasan efisiensi. Latihan untuk menguji kesiapan dukungan logistik di lapangan mutlak harus dilaksanakan. Jika
selama ini aspek logistik dalam latihan seringkali dibuat pre-memory¸ dan terkesan seolah-olah latihan taktis lebih penting dan terpisah dari aspek logistik itu sendiri, maka paradigma demikian sudah waktunya dihapuskan. Proses dukungan logistik dari garis belakang sampai ke lini depan wilayah pertempuran harus dikerjakan secara profesional, sejalan dengan rencana operasi. Kegagalan dukungan logistik merupakan kehancuran bagi pasukan, begitulah peran penting dukungan logistik. Singkatnya, pengintegrasian logistik wilayah dengan kemampuan dukungan logistik pasukan dalam suatu operasi militer mutlak harus direncanakan, dilatihkan dan diuji coba. Menjamin kesiapan Alutsista. Pemeliharaan materiil untuk menjamin kesiapan Alutsista harus terus menerus dilaksanakan. Hal ini menuntut perubahan sistem pemeliharaan secara masif di lingkungan TNI AD, karena pelaksanaan pemeliharaan selama ini masih belum berjalan secara profesional. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam tulisan terdahulu, pemeliharaan harus dikerjakan secara “seketika, transparan dan universal”. “Seketika” artinya kebutuhan akan pemeliharaan (termasuk perbaikan) harus sesegera mungkin dikerjakan. “transparan” berarti segala aspek dalam kegiatan pemeliharaan termasuk penggunaan anggaran dan stok suku cadang yang ada di gudang merupakan sesuatu yang bukan rahasia bagi para pemangku kepentingan dalam bidang pemeliharaan. “universal” berarti bahasa (terminologi) yang digunakan dalam kegiatan pemeliharaan merupakan bahasa yang universal yang digunakan oleh seluruh logistician di dunia internasional. Disamping dengan melaksanakan pemeliharaan yang baik, perencanaan pengadaan dan pembaharuan Alutsista juga sangat berperan penting. Pemeliharaan sehebat apapun tidak akan mampu membuat sebuah Alutsista menjadi lebih unggul dari Alutsista yang lain jika secara teknologi memang sudah tidak memungkinkan. Ibarat sebuah handphone, dengan mudah kita bisa melihat bahwa teknologi saat ini sudah sedemikian berubahnya dibandingkan dengan teknologi yang dipakai oleh pesawat telepon seluler buatan 10 tahun yang lalu. Kecepatan perkembangan teknologi informasi telah membuat sebuah peralatan menjadi begitu cepat usang. Pengadaan materiil (Alutsista) tidak bisa lagi dibuat hanya dengan perencanaan yang setengah-setengah, yang hanya merencanakan untuk mengadakan (membuat/membeli) saja. Setelah barang itu kita miliki, pihak perencana biasanya belum membuat konsep pasca pengadaan secara jelas. Perencanaan pengadaan seharusnya mencakup permasalahan tentang bagaimana pemenuhan anggaran untuk pemeliharaan dan sampai berapa lama Alutsista ini bisa dipakai karena pada saatnya negara harus mampu meremajakannya dengan Alutsista yang sesuai generasinya. Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
47
Jurnal Yudhagama Pada bagian akhir tulisan ini, penulis ingin mengajak keluarga besar TNI AD untuk mengubah mindset yang memandang aspek logistik dengan sebelah mata, bahwa logistik hanyalah unsur pendukung. Dalam era super modern seperti sekarang ini, logistik justru memegang peran makin penting untuk ditangani secara serius dan profesional. Perencanaan aspek logistik menempati posisi yang sama pentingnya dengan perencanaan manuver pasukan, keduanya saling mempunyai ketergantungan dalam meraih kemenangan. Dengan makin bercampurbaurnya (baca: ancaman hibrida) spektrum ancaman terhadap kedaulatan dan keselamatan bangsa ini, makin mengemuka juga kebutuhan akan logistik yang efektif dalam mendukung operasi militer. Kesimpulan. Ancaman hibrida menjadi tren dalam perkembangan ancaman yang dihadapi oleh suatu negara. Ancaman ini menggabungkan kemungkinan sebuah kekuatan nonnegara tetapi mempunyai kemampuan sebagaimana layaknya sebuah negara. Atau juga bisa jadi sebuah negara tetapi mempraktekkan cara-cara bertindak yang
lazim dilakukan oleh aktor-aktor nonnegara, seperti misalnya tindakan terorisme. Bagi TNI AD, tidak ada kata lain kecuali menyesuaikan dengan tuntutan di lapangan dan siap melaksanakan perang hibrida. Dari sudut pandang logistik, perang hibrida merupakan perang yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi tinggi dan terkini. Hal ini membawa konsekuensi pada 2 hal: kesiapan Alutsista dan sistem dukungan logistik yang aplikatif dan terlatih. Kesiapan Alutsista mendesak segera dilaksanakannya sistem pemeliharaan material secara “seketika, transparan, dan universal”, serta perencanaan yang menyeluruh dalam pengadaan Alutsista. Sistem dukungan logistik yang aplikatif dan terlatih dapat diwujudkan dengan perbaikan pengelolaan doktrin logistik yang menyangkut sinkronisasi antara logistik wilayah dan logistik pasukan dan ditunjang dengan latihan yang berfokus pada keberhasilan dukungan logistik. Semua inisiatif di atas memerlukan pergeseran paradigma yang menyadari bahwa logistik memang harus ditangani secara sangat-sangat serius.
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Data Pokok. Nama Pangkat Tempat/Tgl. Lahir Agama Status Sumber Pa/Th Jabatan
: : : : : : :
Eko Susetyo Kolonel Kav/1910040920768 Tuban/22-07-1968 Islam Kawin Akmil/1991 Aslog Kasdam IX/Udayana
II. Riwayat Pendidikan Militer. A. Dikbangum. 1. Akmil 2. Sussarcabkav 3. Selapakav 4. Seskoad 5. Sesko Australia (ACSC)
: : : :
1991 1992 2000 2005
: 2007
III. Riwayat Penugasan. Luar Negeri. 1. Malaysia : 1994 2. Selandia Baru : 1996
48
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Inggris Australia Jepang Rusia Amerika Serikat Belarusia
: : : : : :
1998 2007 2008 2010 2011 2011
IV. Riwayat Jabatan. 1. Dantontank Yonkav-8 Divif 2 Kostrad 2. Pasiops Yonkav-8 Divif 2 Kostrad 3. Dankitank Yonkav-8 Divif 2 Kostrad 4. Gumil Gol. VI Deptikstaf Pusdikkav 5. Dandenkav-2 Dam VI/Tpr 6. Pabandyajianbangdik Seskoad 7. Dandenmadam Jaya 8. Dandim-0503/JB Dam Jaya 9. Padya-2/Dalugri Spaban V/Dalada Slogad 10. Aslog Kasdam IX/Udy
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
PeRsiapan Menghadapi Perang Hibrida
Oleh : Prof. DR. Bantarto Bandoro (Dosen Universitas Pertahanan Indonesia)
Perang hibrida (hybrid war) adalah sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi.
P
erang hibrida telah menjadi bagian integral dari lanskap sejarah kuno dunia, tetapi hanya barubaru ini dianalisis dan dikatagorikan sebagai konflik yang unik. Kekuatan besar sepanjang sejarah telah dihadapkan pada lawan yang menggunakan kombinasi regular and irregular forces kekuatan untuk meniadakan keuntungan dari kekuatan yang memiliki militer konvensional lebih besar. Perang hibrida ini paling sering digunakan untuk merujuk kepada konflik yang memiliki kedua elemen konvensional dan tidak konvensional. Banyak yang menggunakan perang konvensional dan hibridisasi untuk menjelaskan konflik baru hari ini, tapi ada yang lebih percaya bahwa perang asimetris adalah istilah yang lebih pas karena sebagian besar konflik ini tidak menyelimuti misi rahasia atau perang konvensional klasik secara diam-diam.
Williamson Murray dalam bukunya Hybrid Warfare (2012) mengatakan perang hibrida sebagai perang yang berkaitan dengan masalah padat karya (labor intensive) dan jangka panjang. Perang hibrida adalah sebuah pergulatan yang sulit, yang seringkali menentang logika domestik dari sebuah jajak pendapat. Perang hibrida adalah konflik terbesar abad dua puluh satu1, karena mereka yang terlibat dalam perang ini menggunakan kekuatan hibrida untuk mengungguli negara dengan kekuatan besar sekalipun melalui operasi-operasi tanpa lelah. Yang jelas, sekarang ini kekuatan besar seperti Amerika Serikat harus berurusan dengan perang semacam ini. Sebuah buku berjudul Conflict in the 21st Century: The Rise of Hybrid Wars, ditulis oleh Frank Hoffman, menganalisis perubahan karakter perang di abad XXI ini. Hoffman mengakui bahwa kini dunia memasuki era beberapa jenis peperangan yang dilakukan secara lebih fleksibel dan canggih. Musuh memahami bahwa keberhasilan sebuah konflik mengambil beberapa bentuk yang memang dirancang untuk memenuhi tujuan-tujuan mereka. Musuh hari ini dan esok akan menggunakan kombinasi dari berbagai jenis peperangan. Inilah yang disebut dengan perang hibrida (hybrid warfare). Hoffman mencatat bahwa itu terlalu sederhana untuk hanya mengklasifikasikan konflik sebagai “big and conventional“ atau “small vs conventional .” Aktor nonnegara sebagian besar dapat menggunakan bentuk perang tidak teratur, tetapi jelas akan mendukung, mendorong, dan berpartisipasi dalam konflik konvensional jika perang-perang itu melayani tujuan mereka. Demikian pula, negara-negara mungkin terlibat dalam konflik tidak teratur, selain terlibat dalam jenis perang konvensional untuk mencapai tujuan mereka. Perang hibrida adalah semacam perang secara militer yang akan dihadapi oleh negara-negara Barat dimasa depan, mungkin juga semacam perang militer yang akan dihadapi dimasa depan. Oleh karenanya, mereka membutuhkan kemampuan untuk menghadapi perang semacam itu. Perang hibrida ibarat sebuah kumpulan kapabilitas militer konvensional, pemberontak, terorisme dan perang gerilya, kejahatan terorganisir, perang cyber dan teknologi militer canggih. Perang ini juga merupakan perang yang melanggar hukum internasional dan sering melibatkan aktor nonnegara yang didukung oleh negara. Penggunaan
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
49
Jurnal Yudhagama elemen-elemen dalam perang hibrida sangat tergantung dari tujuan yang ingin dicapai dalam perang itu dan dari kemampuan setiap elemen untuk mendukung perang semacam itu. Tulisan ini menjabarkan beberapa implikasi dari konsep perang hibrida. Yang jelas negara-negara dunia, termasuk Indonesia harus siap untuk menghadapi konflik dengan spektrum penuh di semua lini ini. Beberapa definisi. Hybrid warfare awalnya menjadi terkenal setelah Revolusi Amerika, yang digunakan oleh George Washington. Pada dasarnya, kata perang hybrid merupakan kombinasi dari tentara besar dan milisi terlatih yang membentuk para militer untuk melawan berbagai bidang lini dari musuh. Letnan Kolonel Bill Nemeth anggota Korps Marinir Amerika Serikat mendefinisikan perang hibrida sebagai “bentuk kontemporer perang gerilya“ yang mengaplikasikan teknologi modern dan metode mobilisasi modern. Sementara Nathan Freier dari Pusat Studi Strategis dan Internasional mengatakan perang hibrida melibatkan empat jenis ancaman, yaitu (1) tradisional, (2) tidak teratur, (3) terorisme bencana, dan
50
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Perang hibrida merupakan bentuk kontemporer perang gerilya yang mengaplikasikan teknologi modern dan metode mobilisasi modern (4) mengganggu, yang memanfaatkan teknologi untuk melawan superioritas militer. Pensiunan Angkatan Darat Amerika Serikat Kolonel Jack McCuen mendefinisikan perang hibrida sebagai fokus kegiatan perang asimetris, yang dapat dilihat di tiga medan pertempuran yang menentukan, yaitu (1) di daerah konflik, (2) populasi depan rumah, dan (3) masyarakat internasional. David Kilcullen penulis buku “The Accidental Gerilya“ perang negara hibrida adalah bentuk konflik modern. Fokus perang itu mencakup kombinasi peperangan tidak teratur, perang sipil, pemberontakan dan terorisme. Semua definisi perang hibrida di atas menjelaskan sesuatu yang umum dalam perang hibrida yaitu karakter kompleksitasnya. Perang ini memiliki kompleksitas yang tinggi bukan hanya karena metode yang digunakan dalam perang itu begitu beragam, tetapi juga karena
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
perang itu memunculkan berbagai dimensi yang tidak ditemukan dalam perang-perang konvensional pada umumnya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perang hibrida merupakan perpanjangan dari perang blok tiga ke perang blok empat. 2 Apalagi dalam perang hibrida, musuh akan menggunakan “prajurit hibrida” yang bersembunyi di tengah-tengah penduduk. Perang hibrida dan Indonesia. Perang hibrida (hybrid war) adalah sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi. Sifat perang dalam bentuk semacam ini bukan hanya kompleks, tetapi juga dapat memberi efek dalam berbagai aspek kehidupan negara. Ketika negara menghadapi ancaman teroris misalnya, maka perang melawan teroris harus menggandakan bukan hanya pada kemampuan mendeteksi serangan itu, tetapi juga strategi untuk menghancurkan teroris. Ini berarti bahwa perang hibrida dapat dilakukan oleh negara dan aktor nonnegara. Perang hibrida menggabungkan kisaran berbagai modus peperangan, termasuk kemampuan konvensional, formasi dan taktik yang tidak reguler. Dalam contoh perang melawan teroris, ketika teroris menggunakan berbagai taktik untuk mencapai tujuan mereka, maka negara yang menghadapi ancaman semacam itu harus menggunakan berbagai strategi yang menggabungkan berbagai elemen kekuatan nasional dan melibatkan berbagai institusi. Dengan kata lain, dalam perang hibrida, negara perlu memobilisasi semua kemampuannya di semua lini. Tetapi ini saja tidak cukup. Sinergi antara unit yang satu dan unit lainnya diperlukan untuk memastikan sebuah kemenangan. Untuk menghadapi ancaman dan tantangan
perang hibrida dimasa depan dibutuhkan sebuah metode berbeda dari metode-metode konvensional yang selama ini digunakan dalam perang konvensional. Karena acaman perang hibrida memiliki spektrum yang sangat luas, maka metode yang digunakan haruslah sebuah metode yang mampu menjangkau seluruh bagian dari perang hibrida itu. Penerapan metode multi (multimethod) ini harus didasari oleh sebuah pandangan bahwa perang hibrida tidak dapat diatasi secara sendirian, tetapi memerlukan sebuah sinergi dan koordinasi antar unit dan dengan menggunakan instrumen-instrumen canggih. Apalagi musuh juga akan mengaplikasikan cara-cara perang yang jauh lebih kompleks. Perang hibrida menjadi jauh lebih kompleks jika perang itu melibatkan organisasi hibrida semacam Hizbullah dan Hamas. Ketika perang, mereka menggunakan beragam kemampuan untuk bisa mengalahkan musuh mereka. Mereka juga menerapkan taktik-taktik baru dalam perang, yang menggeser cara-cara perang konvensional ke cara-cara yang mengandalkan misalnya pada kemampuan jaringanjaringan taktis. Mungkin contoh yang paling terbaru dari perang hibrida adalah kinerja Hizbullah dalam perang Lebanon pada tahun 2006. Selama konflik ini, Hizbullah melakukan perlawanan secara militer terhadap militer Israel dengan menggunakan taktik ala Viet Cong dengan melakukan manuver-manuver infanteri secara konvensional di desa-desa di Lebanon. Hasil dari taktik ini adalah bahwa pasukan pertahanan Israel gagal menaklukkan satu desa di sepanjang perbatasan Israel dengan Lebanon, terutama disaat serangan darat terhadap Hizbullah selama dua minggu. Kekuatan terbesar Israel, yaitu korps lapis baja modern dan angkatan udara, mampu dilumpuhkan oleh pejuang Hizbullah dengan memanfaatkan bunker-bunker dan menggunakan rudal jelajah anti tank modern buatan Rusia yang mampu menghancurkan semua jenis kendaraan lapis baja. Pada
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
51
Jurnal Yudhagama
perang hibrida merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap keamanan nasional. Karena itu, negara harus menerapkan strategi berlapis untuk menghadapi ancaman tersebut satu titik, Hizbullah memanfaatkan anti-pengiriman rudal jelajah, C-802, untuk menghancurkan korvet INS Hanit dan membunuh empat pelaut Israel di atas kapal. Perang hibrida Hizbullah ini dikombinasikan dengan kemampuan Hizbullah menjebol sistem komunikasi Israel dan ponsel tentara Israel untuk mendapatkan informasi tangan pertama mengenai musuh dan pergerakan-pergerakannya. Seperti telah dikatakan di atas, perang hibrida adalah sebuah strategi militer yang memadukan perang konvensional, perang teratur dan cyber warfare. Selain itu, perang hybrid digunakan untuk menggambarkan serangan senjata nuklir, biologi dan kimia, improvisasi alat peledak dan perang informasi. Singkatnya, perang hibrida dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah ruang perang yang dinamik, fleksibel dan kompleks dan karena itu membutuhkan bentuk tanggap yang tangguh dan mudah beradaptasi. Sebuah buku yang ditulis oleh Paul Britter (2011) berjudul Hybrid Warfare and Transnational Threat menganalisis secara mendalam lingkungan 52
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
keamanan internasional dan respon negara untuk menghadapi tantangan itu. Salah satu tantangan itu adalah perang hibrida yang tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan pada kapabilitas satu kesatuan tempur saja, tetapi kombinasi antara satuan-satuan tempur lainnya untuk mendapatkan kemenangan yang maksimal. Ini berarti bahwa perang hibrida merupakan salah satu bentuk ancaman terhadap keamanan nasional. Karena itu, negara harus menerapkan strategi berlapis untuk menghadapi ancaman tersebut. Strategi pertahanan negara menjadi penting ketika negara menghadapi spektrum ancaman perang hibrida yang demikian luas. Perang hibrida adalah perang yang akan mendominasi masa depan. Realitas ancaman perang ini hampir ditemukan di seluruh dunia. Dengan memadukan kemampuan perang konvensional dan perang secara tidak beraturan, perang hibrida adalah perang abad dua puluh satu. Karena itu penting bagi Kementerian Pertahanan Indonesia misalnya untuk menentukan implikasi strategis perang hibrida pada strategi pertahanan nasional dan cara bagaimana perang melawan perang hibrida. Beberapa negara maju telah mengarahkan perhatian secara khusus kepada tren baru ancaman perang hibrida ini. Perang hibrida merupakan sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi. Itu adalah salah satu bagian penting dari amanat
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, S.E., pada upacara 17 Februari 2013, bertempat di Mabes TNI Cilangkap Jakarta, Senin (Kompas, 18/2/2013). Bagian penting dari amanat Panglima TNI itu merupakan signal bahwa Indonesia dimasa depan dapat menjadi bagian, bahkan target dari perang hibrida. Oleh karena itu, TNI dituntut untuk mengantisipasi ancaman perang semacam itu dengan meninjau kembali strategi-strategi pertahanan apapun yang dimiliki. Perang hibrida bagi Indonesia/TNI tidak dapat diabaikan begitu saja ketika perang itu sudah melibatkan aktor-aktor nonnegara. Berbagai dinamika dan keriuhan dalam pengadaan Alutsista TNI selama tiga tahun belakangan ini, memang semakin memberikan kedewasaan peran bagi TNI. Tapi dinamika pengadaan Alutsista itu tentu juga harus memerhatikan perubahan-perubahan lingkungan strategis Indonesia, apalagi yang namanya perang hibrida kini sudah menjadi perhatian internasional. Kesungguhan pemerintah dalam menata pertahanan dan keamanan negara, tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar, tetapi juga menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah terorisme dari dalam negeri. Dalam menghadapi ancaman perang hibrida ini, TNI harus memiliki kemampuan untuk merespon secara cepat perang itu dan berbagai implikasi strategisnya. Bukan hanya itu, TNI juga harus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan strategis yang perkembangannya demikian cepat agar TNI dapat mengantisipasi dan mengatasi dampak perubahanperubahan secara cepat. Apa yang dilakukan oleh TNI dengan pengadaan pesawat tempur sergap Super Tucano yang sejalan dengan pesawat Counter Insurgency (Coin) TNI AU adalah untuk mengantisipasi kemungkinan berkembangnya aksi terorisme dan ancaman perang hibrida. Demikian pula pembelian dan pengadaan Alutsista matra darat. Perang hibrida tidak mungkin bisa diatasi secara efektif kecuali melalui koordinasi, keterpaduan, dan
komunikasi antar matra. Setiap matra juga perlu memiliki semacam kemampuan untuk mendeteksi secara dini tanda-tanda perang hibrida. Semakin kuat keterpaduan dan koordinasi antar matra, maka upaya yang ditempuh dalam mengatasi segala permasalahan di daerah akan semakin efektif. Ini sesuai dengan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, dan dioperasionalkan sesuai Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2013, dalam penanganan gangguan keamanan secara terpadu, termasuk konflik sosial dan terorisme. Dalam konteks perang hibrida, tantangan Indonesia kedepan tidak akan datang dari negara yang menerapkan atau memilih satu pendekatan, tetapi dari negara-negara atau kelompok negara yang memilih taktik dan teknologi dari daftar menu taktik dan teknologi untuk memenuhi budaya strategis mereka, misalnya kemenangan. Sudah saatnya bagi Indonesia/TNI untuk mulai memikirkan kemungkinan Indonesia menghadapi perang hibrida dimasa depan melalui proses institusional yang melibatkan seluruh institusi khususnya di lingkungan TNI. Kekuatan yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman perang hibrida harus dibangun berdasarkan landasan militer profesional yang kuat. Sama pentingnya adalah kemampun kognitif TNI untuk mengidentifikasi dan beradaptasi terhadap sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Keberhasilan dalam perang hibrida membutuhkan unit-unit pemimpin dengan keterampilan dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis. “Organization learning” dan adaptasi adalah sesuatu yang mutlak diperlukan jika Indonesia/TNI ingin dilihat dirinya mampu mengatasi dampak dari perang hibrida ini dimasa depan. Pada level prajurit secara individu, TNI perlu menentukan “sweet spot” dimana semua prajurit TNI perlu memeroleh pendidikan, pelatihan dan dilengkapi dengan keterampilan-keterampilan khusus lainnya agar mereka berhasil mengatasi ruang perang hibrida dan implikasinya secara maksimal. Net Assessment dan perang hibrida. Sebagai bagian dari sistem internasional, Indonesia dan TNI tidak dapat menghindar dari perubahan-perubahan yang terus berlanjut pada tataran internasional. Perang hibrida kini menjadi salah satu bentuk ancaman terhadap keamanan nasional. Perubahan-perubahan itu harus disikapi melalui berbagai langkah kebijakan terutama pada tataran nasional. Langkah-langkah demikian penting untuk diambil karena beberapa alasan antara lain (1) sebagai antisipasi terhadap efek negatif dari globalisasi misalnya dalam bentuk perang hibrida; (2) untuk melindungi kedaulatan negara; (3) mencegah Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
53
Jurnal Yudhagama kecenderungan fragmentasi dan disintegrasi politik akibat ketidakmampuan Indonesia menghadapi kemungkinan perang hibrida. Keamanan nasional Indonesia erat kaitannya dengan perubahan-perubahan tersebut di atas. Perubahan akibat globalisasi telah memperluas spektrum ancaman keamanan. Seperti telah dikatakan oleh Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono, negara dan masyarakatnya kini menghadapi ancaman perang hibrida yang tidak bisa diatasi secara sendiri, apalagi perang semacam itu kini juga mengambil bentuk peperangan yang tidak teratur. Spektrum ancaman yang sudah berubah ini menuntut penataan kembali dalam pola dan sistem keamanan nasional umumnya. Dalam konteks keamanan nasional, penataan kembali sistem pengamanan perbatasan misalnya menjadi sebuah keharusan ketika negara menghadapi ancaman seperti : perdagangan manusia, lalu lintas senjata ringan dan kaliber kecil, penyelundupan komoditas lainnya. Dalam konteks itu, kejahatan transnasional berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Karena itu, proses reformasi juga harus menyentuh bagian-bagian penting dari lembaga-lembaga yang juga diberi tangung jawab untuk mengatasi isu kejahatan transnasional. Sebagai bagian penting dari sistem dan birokrasi nasional, Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan Indonesia tidak dapat menghindar dari keharusan untuk menghadapi dan merespon setiap perubahanperubahan yang terjadi dalam lingkungan nasional, apalagi jika perubahan-perubahan itu memunculkan indikasi ancaman hibrida. Respon TNI dan Kemhan tentu harus disesuaikan dengan peran dan fungsi
54
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
mereka sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menangani persoalan-persoalan pertahanan nasional. Dalam lingkungan yang selalu berubah dan akan terus berubah ini, terutama akibat ancaman perang hibrida, respon TNI dan Kemhan hendaknya memerhatikan beberapa faktor antara lain sebagai berikut: 1. Kecepatan dari perubahan lingkungan (volatility). 2. Perubahan yang sulit diramal (uncertainty) . 3. Keruwetan dari faktor-faktor keputusan kunci (complexity). 4. Ketidakjelasan mengenai situasi yang ada dan implikasi potensialnya (ambiguity). 5. Karakater dari ancaman. 6. Kecepatan dari perubahan lingkungan akibat ancaman perang hibrida. 7. Sumber daya. 8. Infrastruktur birokrasi. 9. Kondisi negara pada saat ancaman perang hibrida timbul. 10. Respon publik terhadap efek dari ancaman perang hibrida. TNI dan Kemhan tidak cukup hanya memerhatikan faktor-faktor di atas. Mereka juga perlu memahami spektrum dari keamanan itu sendiri, yaitu ancaman keamanan (security threat), resiko keamanan (security hazard) dan bencana keamanan (security disaster), yang kesemuanya itu bersumber dari perang hibrida. Spektrum ini harus dilihat dalam konteks implikasi ancaman hibrida terhadap keamanan nasional. Yang dimaksud dengan ancaman keamanan disini adalah resiko (hazard) yang potensial. Disini ancaman tidak eksis sebagai kejadian atau obyek yang nyata. Ia bukan bahaya yang nyata (actual), tetapi hanya
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
Bagi TNI dan Kemhan, membangun net assessment dalam mengantisipasi ancaman perang hibrida saja tidak cukup. Kerja sama dan koordinasi antara TNI dan Kemhan dan dengan instansi terkait lainnya bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan bahaya yang potensial. Meskipun demikian, ancaman keamanan tetap penting untuk diperhatikan, hanya saja ia tidak muncul melalui cara-cara yang seharusnya. Ia eksis sebagai sebuah gagasan saja, dan bukan sebagai suatu kejadian atau obyek yang aktual/nyata. Resiko keamanan adalah ketika ancaman keamanan berubah menjadi kenyataan, maka ia menjadi sebuah resiko. Ketika ancaman keamanan menjadi nyata (actualized), maka ia menjadi resiko keamanan. Pada tahap ini, masyarakat belum dirugikan. Meskipun masyarakat terpapar (exposed) kepada resiko, ia hanya merupakan bencana yang potensial (potential disaster) dan bukan bencana yang aktual. Sedangkan bencana keamanan adalah jika masyarakat secara aktual berhubungan langsung dengan resiko, maka mereka akan menghadapi apa yang disebut dengan bencana keamanan. Masyarakat berada dalam situasi dimana mereka mengalami penderitaan yang serius atau bahkan kematian. Isu-isu ancaman perang hibrida harus dipahami oleh TNI dan Kemhan sebagai isu strategis karena memiliki efek langsung terhadap pertahanan dan keamanan nasional. Peran TNI dan Kemhan dalam konteks ini akan menjadi lebih efektiv jika saja TNI dan Kemhan memiliki lembaga internal yang disebut sebagai Office of Net Assessment (ONA). Lembaga ini dapat berfungsi sebagai semacam think tank internal TNI dan Kemhan yang melakukan analisis mengenai perkembangan-perkembangan internasional untuk kepentingan pengambilan keputusan, khususnya ketika Indonesia harus menghadapi kemungkinan perang hibrida. Net assessment adalah metode sistematis analisis untuk memenuhi kebutuhan sistem pendukung keputusan secara tidak langsung dan memberikan masukan utama untuk perencanaan strategis/sistem manajemen, baik di lingkungan TNI maupun di Kemhan. Di Amerika Serikat, lembaga semacam ini adalah bagian integral dari Pentagon dan sudah beroperasi sejak tahun 1972. Melalui proses analisis yang sistematis ini diharapkan TNI dan Kemhan akan memeroleh informasi yang lebih
rinci mengenai perubahan-perubahan di lingkungan internal dan ekstenal Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kemungkinan ancaman perang hibrida. Untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, internal dan eksternal, Indonesia yang demikian cepat, dan kemungkinan dampak perang hibrida terhadap keamanan dan pertahanan nasional, maka keberadaan kantor net assessment di TNI maupun di Kemhan ini bukanlah sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan jika TNI dan Kemhan ingin dilihat dirinya peka terhadap perubahan-perubahan lingkungan strategi Indonesia. Dalam konteks ini pengambilan keputusan menjadi bagian penting dalam merespon ancaman perang hibrida. TNI dan Kemhan juga perlu menyadari bahwa net assessment ini adalah sebuah proses penilaian strategis yang sifatnya multidisipliner dan sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah-masalah pertahanan dan keamanan, termasuk penilaian mengenai sumber-sumber ancaman perang hibrida. Ketika efek dari ancaman perang hibrida menyentuh hampir seluruh kehidupan bangsa, maka disaat itu pula net assessment itu diperlukan untuk mengevaluasi secara komparatif kekuatan dan kelemahan Indonesia dalam menghadapi efek tersebut, utamanya terhadap keamanan nasional. Dalam prosesnya, net assessment ini akan melibatkan berbagai elemen untuk mempelajari peran dan pengaruh politik, militer, demografi, ekonomi, anggaran dan teknologi dalam menghadapi ancaman perang hibrida sebagai bagian dari lingkungan keamanan (security environment) Indonesia. Meskipun proses net assessment itu menerapkan metodologi ilmu politik yang standard, net assessment itu juga dapat melibatkan prinsip-prinsip bisnis (misalnya untung ruginya dalam mengambil suatu keputusan tertentu), pembuatan skenario dan simulasi konflik serta alat analisis lainnya. Jika saja TNI dan Kemhan menganggap net assessement itu sebagai suatu keharusan dan menerapkannya secara tepat, maka proses net assessment itu akan dapat membantu pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi hubungan strategis antara faktor-faktor penting yang membentuk kemungkinan terjadinya ancaman perang hibrida. Bagi TNI dan Kemhan, membangun net assessment dalam mengantisipasi ancaman perang hibrida saja tidak cukup. Kerja sama dan koordinasi antara TNI dan Kemhan dan dengan instansi terkait lainnya bukan sebuah pilihan, tetapi sebuah keharusan ketika spektrum ancaman akibat perang hibrida sudah semakin meluas dan tidak terbatas kepada ancaman keamanan negara. Dalam konteks demikian, TNI dan Kemhan dapat mengambil prakarsa-prakarsa kebijakan (policy initiatives) yang bukan hanya memiliki Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
55
Jurnal Yudhagama jangkauan nasional, tetapi juga kebijakan yang memiliki kemampuan untuk mengantisipasi efek dari ancaman perang hibrida itu, betapapun buruknya efek tersebut. Endnotes. 1. Untuk mengetahui contoh-contoth perang hibrida, lihat Petri Huovinen Hybrid Warfare Just a Twist of Compound Warfare? (2011). 2. Perang Blok Tiga adalah sebuah konsep yang dijelaskan oleh Marinir AS Jenderal Charles Krulak diakhir 1990-an untuk menggambarkan spektrum tantangan yang kompleks yang kemungkinan besar
akan dihadapi oleh tentara di medan perang modern. Dalam contoh Krulak itu, tentara mungkin diperlukan untuk melakukan aksi militer berskala penuh, operasi pemeliharaan perdamaian dan bantuan kemanusiaan. Dorongan dari konsep ini adalah bahwa militer modern harus dilatih untuk beroperasi disemua kondisi secara bersamaan, dan untuk melakukannya, pelatihan kepemimpinan ditingkat terendah harus tinggi. Kondisi terakhir menyebabkan Krulak memperkanalkan apa yang ia sebut “kopral strategis”, pemimpin unit tingkat rendah yang dapat mengambil tindakan independen dan membuat keputusan besar.
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Nama: Bantarto Bandoro II. Pendidikan: a. Kokusai Daigaku, Graduate School of International Relations,Niigata, Japan. b. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. III. Konsentrasi studi: a. Masalah-masalah strategi dan keamanan internasional b. Politik luar negeri Indonesia c. Keamanan regional Asia Tenggara dan Asia Pasifik d. Diplomasi IV. Pengalaman: a. Peneliti CSIS dari 1979 sampai 2008. Pensiun dini dari CSIS 2008. b. Peneliti dan pengamat masalah-masalah strategi , keamanan dan hubungan internasional hingga sekarang. c. Staf pengajar program sarjana reguler dan program pascasarjana FISIP Universitas Indonesia. d. Staf pengajar, Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta. e. Staf pengajar, FISIP Universitas Parahyangan, Bandung. f. Staf pengajar, President University, Cikarang. g. Dosen tamu di lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan TNI antara lain : Sesko AL (Jakarta), Sesko TNI - (Bandung), Sesko AU (Lembang), Sespati dan Sespim Polri (Lembang), Dosen di Pusat Pendidikan dan Manajemen Pertahanan (Pusdikjemenhan), Kemhan RI, Dosen tamu Pusat Pendidikan dan Latihan, Kementerian Luar Negeri, Indonesia, Professor tamu, Kementerian Pertahanan Brunei Darussalam. V. Publikasi: Sejak 1980 telah menerbitkan buku dan artikel mengenai masalah-masalah strategi dan hubungan internasional. Buku terakhir yang terbit berjudul Kajian Strategis (Ditulis bersama Banyu Perwita, 2012). VI. Penghargaan: a. Satya Lencana Dwidya Sistha dari SESKO ABRI (sekarang Sesko TNI), Bandung. b. Satya Lencana Dwidya Sistha dari SESKO AL, Jakarta. c. Satya Lencana Dwidya Sistha dari Sesko AU. Kini: Dosen senior, Universitas Pertahanan Indonesia, Jakarta
56
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
KESIAPAN BANGSA INDONESIA SECARA GEOPOLITIK DALAM MENGHADAPI PERANG HIBRIDA
Oleh : Letkol Inf Dr. Triyoga Budi Prasetyo, M.Si. (Kasubbag Rekaman dan Transkrip Persidangan Kemenko Polhukam) Dalam perang hibrida aspek penguasaan atas kemajuan teknologi persenjataan memegang peranan yang sangat penting, terutama hal hal yang terkait penggunaan ruang udara dan angkasa luar, perang informasi dan penggunaan network centrik warfare yang dapat dimanfaatkan dimasa damai maupun ketika terjadi perang.
PENDAHULUAN.
M
encermati perkembangan lingkungan strategis Indonesia khususnya dari Aspek Geopolitik maka pada saat ini secara khusus kita harus menaruh perhatian pada tren baru ancaman, yaitu Perang Hibrida. Upaya untuk mengatasi ancaman ini dilakukan dengan menerapkan stategi militer yang memadukan perang konvensional, perang yang tidak teratur, dan cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi, serta perang informasi. Kombinasi antara perang
konvensional yang dipadukan dengan peralatan teknologi komunikasi mampu menghasilkan dan menghancurkan target musuh dengan meminimalkan kerusakan dan kerugian, baik peralatan tempur maupun sumber daya militer seperti prajurit. Beberapa negara sejak beberapa tahun terakhir secara intensif sudah mulai mengembangkan perangkat perang tersebut. Malahan negara seperti Amerika Serikat (AS), Israel dan beberapa negara Eropa Barat sudah melakukan aksi-aksi militernya dengan teknologi perang paling maju tersebut. Pengembangan perangkat perang tersebut tidak lagi mengandalkan prajurit untuk maju ke medan laga. Sasaran dan target musuh cukup dibidik dari pusat komando pertahanan. Tidak butuh waktu lama, perangkat diluncurkan dan sasaran dapat dilumpuhkan dengan teknologi terbaru seperti pesawat tanpa awak atau drone. Persoalan yang akan muncul kemudian adalah sejauhmana persiapan Jajaran TNI dalam menghadapi perang hibrida (hybrid war) yang menonjolkan kekuatan perangkat teknologi komunikasi tercanggih, mengingat Asia Pasifik kini dikepung oleh berbagai macam ancaman non tradisional “nontraditional security” (NTS) atau “non-military security threat” atau “non-conventional security threat” atau “asymetric security threat”, serta bagaimana dengan pengembangan strategi Perang Hibrida dihadapkan ada penguasaan teknologi militer pada saat ini ? Tulisan berikut ini akan mencoba mengupas berbagai persoalan tersebut serta bagaimana konsepsi strategis berdasarkan pada kemampuan penguasaan teknologi kemiliteran yang dimiliki oleh TNI yang akan digunakan dalam menghadapi perang hibrida tersebut. ANALISIS : PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERANG HIBRIDA DAN KESIAPAN INDONESIA MENGHADAPI PERANG HIBRIDA. Dalam perang hibrida aspek penguasaan atas kemajuan teknologi persenjataan memegang peranan yang sangat penting, terutama hal-hal yang terkait penggunaan ruang udara dan angkasa luar, perang informasi dan penggunaan network centrik warfare Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
57
Jurnal Yudhagama
Kegiatan cyber warfare dewasa ini sudah dapat dimasukkan dalam kategori perang informasi berskala rendah (low-level information warfare) yang dapat dimanfaatkan dimasa damai maupun ketika terjadi perang. Aspek penguasaan teknologi tersebut tidak akan banyak bermanfaat ketika jajaran TNI sebagai kekuatan utama sistem pertahanan belum mengembangkan strategi dan peningkatan kekuatan posturnya. Karena itu analisis kali ini akan berfokus pada pengembangan teknologi perang hibrida dan bagaimana kesiapan jajaran TNI menghadapinya. Pengembangan teknologi. a. Network centric warfare. Cyber warfare (cyberwar), merupakan perang yang sudah menggunakan jaringan komputer dan Internet atau dunia maya (cyber space) dalam bentuk strategi pertahanan atau penyerangan sistem informasi lawan. Cyber warfare juga dikenal sebagai perang cyber yang mengacu pada penggunaan fasilitas www (world wide web) dan jaringan komputer untuk melakukan perang di dunia maya. Kegiatan cyber warfare dewasa ini sudah dapat dimasukkan dalam kategori perang informasi berskala rendah (low-level information warfare) yang dalam beberapa tahun mendatang mungkin sudah dianggap sebagai peperangan informasi yang sebenarnya (the real information warfare). Di dalam konsep cyber warfare, penggunaan teknologi sistem informasi dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan komunikasi antar prajurit atau jalur komando yang difasilitasi oleh satu sistem komando kendali militer modern, yaitu sistem NCW (Network Centric Warfare). Apakah Network Centric Warfare (NCW) itu ? Network Centric Warfare (NCW) merupakan konsep Siskodal operasi militer modern yang mengintegrasikan seluruh komponen atau elemen militer kedalam satu jaringan komputer militer NCW berbasis teknologi satelit dan jaringan Internet rahasia militer yang disebut SIPRNet (Secret Internet Protocol Router Network). Dengan adanya teknologi NCW yang didukung infrastruktur SIPRNet, berbagai komponen atau elemen militer di mandala operasi dapat saling terhubung (get connected) secara online system dan realtime, sehingga keberadaan lawan dan kawan dapat saling diketahui melalui visualisasi di layar komputer atau laptop. Dengan adanya teknologi Internet SIPRNet 58
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
serta penggunaan satelit mata-mata dan satelit GPS, memungkinkan NCW memvisualisasikan seluruh kegiatan operasi militer gabungan yang sedang berlangsung di medan pertempuran (battle field) ke layar lebar ruang yudha (military operation room), yang mungkin jaraknya terpisahkan ribuan kilometer jauhnya. Di dalam doktrin operasi militer gabungan, Siskodal NCW “mengharuskan” seluruh elemen atau komponen militer beroperasi secara bersamasama (interoperability) didalam suatu Joint Task Force Command (JTFC). Sehingga konsep NCW pada akhirnya akan merubah paradigma militer lama yang menyatakan bahwa suatu medan pertempuran dapat dimenangkan hanya oleh satu komponen militer saja. b. Penggunaan ruang cyber (cyber space) dalam perang hibrida. • Penggunaan ruang udara & angkasa luar. Penguasaan angkasa (space) dalam sistem pertahanan negara melalui perang hibrida merupakan bagian dari impian intelegensia manusia, dengan kemampuan sensornya yang mampu menjelajahi area melintasi batas negara dengan bebas, tanpa pagar dan batas. Tidak ada area terlarang untuk Satelit. Dikenal sebagai “perangkat teknis nasional”, satelit mampu mengirimkan data dengan tingkat kedetailan yang sama dengan akurasi sebuah peluru. Pertempuran elektronik (electronic warfare) dengan memanfaatkan media ruang udara dan angkasa luar, pada saat ini adalah salah satu perangkat yang paling penting untuk mengumpulkan informasi dalam kondisi damai maupun perang. Radio mampu menyadap informasi mentah dari link radio yang insecure, bahkan bisa membuat gambaran dari suatu sebaran, pengaturan taktis, dan sebagainya. Aktivitas serapan/sadapan (intercept) informasi ini meliputi radio, radar, gelombang mikro, dan transmisi elektro magnetik lainnya. Penggunaan ruang udara dan angkasa luar dalam pengembangan perang hibrida tidak lepas dari penggunaan teknologi satelit. Setidaknya terdapat lima jenis satelit yang dapat digunakan untuk kepentingan perang hibrida yaitu : Pertama, paling awal adalah satelit untuk tujuan mempelajari ruang angkasa. Inilah satelit pertama yaitu SPUTNIK yang diluncurkan Uni Soviet tahun 1959, juga satelit stasiun ruang angkasa internasional (International Space Station atau ISS) yang sekarang menjadi tempat kerja sejumlah astronot Amerika, Eropa, Rusia dan Jepang. Kedua, satelit telekomunikasi. Sebagai contoh adalah satelit Palapa yang dibeli Indonesia pada 1970-an dan sudah disusul berbagai generasi. Satelit jenis inilah yang faktanya paling populer.
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD Ketiga, satelit militer yang dibekali dengan senjata laser. Inilah proyek star wars Ronald Reagan, presiden Amerika tahun 1980-an di era Perang Dingin. Keempat, satelit pemantau langit atau satelit astronomi, misalnya pembawa teleskop “hubble”, radio-astronomy “hyparchos” atau pemantau matahari “soho”. Kelima, satelit pemantau bumi (surveillance satellite), sesuai misi NASA yang beralih dari misi ke planet lain ke “Mission to Planet Earth”. Fungsinya untuk memantau seluruh penjuru teritorial. Dengan satelit ini diharapkan pelanggaran wilayah laut oleh kapal-kapal asing, baik penyelundupan maupun penangkapan ikan secara liar (illegal fishing), pembalakan hutan (illegal logging), penambangan liar (illegal mining) hingga bencana alam, kecelakaan transportasi dan kerusuhan dapat dimonitor secara terus menerus. • Perang informasi. Perang informasi merupakan bagian dari penggunaan ruang cyber untuk kepentingan perang dengan tujuan memengaruhi sistem informasi lawannya. Perang informasi bisa didefinisikan sebagai cabang dari pertarungan/peperangan, dimana tujuannya adalah mendapatkan keuntungan melalui perusakan, gangguan, kecurangan, pemalsuan atau pencurian informasi, baik informasi yang disimpan maupun yang disebarkan. Tipe pertarungan ini bisa dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun negara, dan targetnya bisa jadi militer, pemerintahan sipil, atau organisasi komersial. Klasifikasi perang informasi terbagi menjadi 5 (lima) level, yaitu : - Level 1 : Penyebarluasan informasi yang keliru, merugikan, dan merusak (misal: propaganda, penyensoran, atau peremehan sebuah kebenaran). - Level 2 : Perusakan sumber informasi atau menghentikan penyebaran informasi (misal: perusakan fasilitas fisik seperti C2 Centres atau instalasi broadcasting publik). - Level 3 : Penyisipan kode jahat pada sebuah sistem data (misal : virus komputer), bentuk serangan ini sangat halus, karena biasanya target tidak menyadari bahwa dia telah diserang. Konsekuensinya, perang informasi level 3 diposisikan sebagai ancaman utama terhadap setiap sistem yang berbasis komputer. - Level 4 : Ilegal akses terhadap suatu data atau sistem data (misal : hacking) - Level 5 : Kerusakan data atau sistem data melalui dispasi energi secara langsung dan tidak pandang bulu (misal : penggunaan senjata energi seperti senjata High Energy Radio Frequency (HERF) c. Implementasi cyberspace. • Kondisi damai/pra-operasi militer. Dalam kondisi damai/pra operasi militer, penggunaan cyberspace dapat dimanfaatkan oleh pihak Intelijen. Di AS, pihak
intelijen dapat memburu data dari semua penjuru yang dibantu oleh satelit mata-mata untuk membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Informasi yng didapatkan tersebut sangat penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI AD dengan memanfaatkan satuan dan personel TNI AD sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan Laporan Geografi Militer dari data yang ada di seluruh dunia. Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang keuntungan perang dalam jangka panjang. • Saat Operasi Militer. Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran, komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui. Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit. Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer melalui satelit dalam penggunaan ruang udara untuk kepentingan pertahanan tersebut menghasilkan teknologi perang yang berfokus pada pengembangan teknologi bidang mikro elektronika, material, dan perangkat lunak, kimia, fisika, biologi, dan matematika. Semua perkembangan itu membawa kita keambang revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuan umat manusia yang menurut Stevan Harnad dalam Post-Guttenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Production of Knowledge dicirikan dengan cara Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
59
Jurnal Yudhagama berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking). Perpaduan antara teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer akhirnya menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace. Sebuah dunia komunikasi berbasis komputer (computer mediated communication); yang menawarkan realitas baru, yaitu realitas virtual (virtual reality). Cyberspace (ruang cyber) menjelma menjadi sebuah ruang relasi sosial ketiga dalam kehidupan masyarakat, setelah ruang publik dan ruang privat. Cyberspace merupakan alat pemuas logika kecepatan (logic of speed), dimana orang dapat saling berhubungan dalam ruang, tanpa harus mengurangi kecepatan dan tanpa harus meninggalkan tempatnya berada. Kesiapan Indonesia menghadapi perang hibrida. a. Strategi kesiapan. Untuk mempersiapkan menghadapi perang hibrida dibutuhkan adanya strategi untuk mengatasinya, terutama pengaturan tata ruang pertahanan wilayah Indonesia yang memiliki posisi strategis dengan membuat strategi baik strategi posisi garis luar maupun posisi garis dalam. Negara berada pada posisi garis luar apabila dapat mengepung lawan atau musuhnya. Posisi garis dalam adalah posisi satu negara yang menghadapi kemungkinan permusuhan dari negara di sekelilingnya. Proses strategi dalam perang hibrida dapat dijalankan melalui tahapan : Menentukan tujuan keamanan nasional sebagai dasar proses strategi. Merumuskan strategi raya, lebih dikenal dengan istilah kebijakan, mengembangkan strategi militer, merancang strategi operasi perang hibrida dan merumuskan strategi medan tempur, lebih dikenal dengan istilah taktik Proses Strategi Militer. Proses strategi militer tersebut dipadukan dengan kondisi geopolitik wilayah Indonesia yaitu bagaimana memanfaatkan penataan ruang berdasarkan posisi strategis Indonesia baik secara geografis dan politik berdasarkan 4 unsur yang dapat mendukung pembangunan, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan. Untuk memeroleh kemenangan, pada posisi garis dalam membutuhkan kemampuan manuver yang cepat dengan daya pukul yang tinggi sedangkan pada posisi garis luar memerlukan koordinasi dan komunikasi yang baik untuk mempertahankan dan memanfaatkan posisinya. Namun sulit untuk mengkoordinasikan dua atau lebih negara yang berbeda, meskipun mereka bersekutu. Selalu ada kesalahpahaman akibat dari prestise dan kebanggaan nasional masing-masing. Proses strategi untuk menghadapi perang hibrida adalah menentukan tujuan keamanan nasional sebagai dasar proses strategi. Merumuskan strategi raya, lebih 60
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Proses strategi untuk menghadapi perang hibrida adalah menentukan tujuan keamanan nasional dikenal dengan istilah kebijakan mengembangkan strategi militer merancang strategi operasi serta merumuskan strategi medan tempur, lebih dikenal dengan istilah taktik. Meskipun jajaran TNI pada saat ini masih memfokuskan pada strategi pemenuhan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI untuk mencapai Minimum Essensial Force (MEF), namun sudah melakukan langkah antisipasi kemungkinan menguatnya ancaman tersebut dengan menyiapkan perangkat lunak dan perangkat keras dalam menghadapi berbagai ancaman di medan peperangan termasuk perang hibrida. Pada level strategi, permasalahan dapat dilihat pada dokumen strategi yang disusun oleh masingmasing angkatan. Di lingkup TNI AL misalnya, telah disusun Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) yang kemudian disempurnakan menjadi Strategi Pertahanan Maritim Indonesia (SPMI). Kedua strategi tersebut menyatakan bahwa operasi tempur yang dilaksanakan oleh TNI AL akan membutuhkan dukungan dari TNI AU dan TNI AD. Karenanya jajaran TNI yang terdiri dari tiga matra harus melakukan investasi besar-besaran di bidang pengadaan sumber daya, baik perangkat teknologi maupun dukungan personelnya. Kekuatan cyber defence harus dipersiapkan secara maksimal. Kesungguhan pemerintah dalam menata pertahanan dan keamanan negara tersebut tidak hanya diproyeksikan untuk menghadapi musuh dari luar. Tetapi juga, menyiapkan kemungkinan berkembangnya perang hibrida dan masalah terorisme di dalam negeri. Pembelian perlengkapan senjata TNI dalam tiga tahun terakhir ini juga dipersiapkan untuk kemungkinan menghadapi perang tersebut. b. Kesiapan TNI. Perang hibrida merupakan sebuah strategi militer yang memadukan antara perang konvensional, perang yang tidak teratur dan ancaman cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi dan perang informasi. Bagaimana dengan kesiapan Indonesia? Para pemikir baik dari militer, analis pertahanan maupun dari anggota perlemen Indonesia menjelaskan bahwa, Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sudah mengantisipasi kemungkinan menguatnya apa yang diistilahkan dengan Perang
Media Informasi dan Komunikasi TNI AD
Hibrida tersebut. Jajaran TNI tidak boleh berdiam diri dengan perkembangan terbaru dalam strategi perang tersebut. Sudah selayaknya TNI mewaspadai ancaman perang hibrida, selain ancaman perang konvensional. Dari segi darat, laut, dan udara, TNI harus mewaspadai segala bentuk ancaman, baik itu perang konvensional maupun perang non konvensional seperti perang hibrida. Saat ini Kementerian Pertahanan tengah menetapkan kebijakan pembangunan kekuatan, dengan memfokuskan pengembangan dan pembangunan kekuatan pada TNI AL dan TNI AU serta melaksanakan pemantapan kemampuan TNI AD. Setidaknya arah pembangunan kekuatan militer nantinya akan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang telah tertuang dalam undang-undang. TNI sebagai komponen utama pertahanan, memerlukan acuan yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas pokoknya. Oleh karena itu, pemerintah perlu didorong untuk segera menyusun suatu strategi nasional yang menjadi kesepakatan semua komponen
TNI harus mewaspadai segala bentuk ancaman, baik itu perang konvensional maupun perang nonkonvensional seperti perang hibrida
bangsa, yang oleh Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan TNI akan diterjemahkan menjadi suatu kesiapan sistem pertahanan yang disesuaikan dengan kondisi geografis negara dengan melibatkan segenap instrumen kekuatan nasional. Sehingga pada gilirannya nanti, masing-masing angkatan akan dapat menjadikan strategi pertahanan tersebut sebagai pedoman dalam melaksanakan pembangunan kekuatan dan penyusunan doktrin pelaksanaan tugas-tugas di lapangan. Tentunya dengan tetap mengingat bahwa semua ini hanya akan dapat terwujud apabila aspek lainnya seperti politik, hubungan luar negeri maupun ekonomi juga berjalan secara terpadu Pada saat ini TNI masih mengupayakan pemenuhan Alutsista dengan merespon dan beradaptasi dengan situasi yang berkembang. Itu tidak lain agar dapat mengantisipasi serta mengatasinya secara lebih cepat dan tepat. Di tahun 2013 ini Pengadaan pesawat tempur sergap Super Tucano yang sejalan dengan pengadaan pesawat Counter Insurgency (Coin) TNI AU, pengadaan 100 unit MBT (Main Bittle Tank) Leopard bagi TNI AD serta pengadaan Kapal selam bagi TNI AL tidak lain guna mengantisipasi kemungkinan berkembangnya ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara. Berkaitan dengan perkembangan tersebut, keterpaduan, koordinasi dan komunikasi antar matra dan dengan segenap institusi terkait, merupakan kata kunci yang paling penting. Semakin kuat keterpaduan Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
61
Jurnal Yudhagama dan koordinasi yang dilakukan, maka upaya yang ditempuh dalam mengatasi segala permasalahan di daerah akan semakin efektif, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. KESIMPULAN. a. Upaya untuk mengatasi ancaman dilakukan dengan menerapkan strategi militer yang memadukan perang konvensional, perang yang tidak teratur, dan cyber warfare, baik berupa serangan nuklir, senjata biologi dan kimia, alat peledak improvisasi, serta perang informasi. Kombinasi antara perang konvensional yang dipadukan dengan peralatan teknologi komunikasi mampu menghasilkan dan menghancurkan target musuh dengan meminimalkan kerusakan dan kerugian baik peralatan tempur maupun sumber daya militer seperti prajurit. b. Dalam perang hibrida aspek penguasaan atas kemajuan teknologi persenjataan memegang peranan yang sangat penting, terutama hal-hal yang terkait penggunaan ruang udara dan angkasa luar, perang informasi dan penggunaan network centrik warfare yang dapat dimanfaatkan dimasa damai maupun ketika terjadi perang. c. Aspek penguasaan teknologi tersebut tidak akan banyak bermanfaat ketika jajaran TNI sebagai kekuatan utama sistem pertahanan belum mengembangkan
strategi dan peningkatan kekuatan posturnya. DAFTAR PUSTAKA 1. Bond, Margaret S. (2007). Hybrid War: A New Paradigm for Stability Operations in Failing States. Carlisle Barracks, Pa: USAWC Strategy Research Project. U.S. Army War College 2. Fleming, Brian P. (2011). The Hybrid Threat Concept: Contemporary War, Military Planning and the Advent of Unrestricted Operational Art. Fort Leavenworth, KS: U.S. Army School of Advanced Military Studies (SAMS), U.S. Army Command & General Staff College. 3. Makers of Modern Strategy, diedit oleh Peter Paret, Oxford University Press, Oxford, 1986 Faites comme chez vous: Konsepsi Strategi Militer untuk mewujudkan Hannas yang Tangguh 4. id.wikipedia.org/ 5. Colonel Richard Szafranski, A Theory of Information Warfare – Preparing For 2020, Airpower Journal 1995 6. Christopher J. Rhodes, Information Warfare- How Real Is the Threath, And Can It Be Countered?, MILTECH 2001 7. Moch. Faisal, Dari Anarchic Cyber Space menjadi Transnational Public Sphere, Jurnal Politik Internasional GLOBAL, Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI, 2008 8. Gus Rahardjo, Ringkasan Disertasi MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE, UNDIP 2008
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS I. Data Pokok. 1. Nama 2. Pangkat 3. Tempat/Tgl. Lahir 4. Agama 5. Status 6. Sumber Pa/Th 7. Jabatan
III. Riwayat Penugasan. : : : : : : :
Dr. Tri Yoga Budi Prasetyo, M.Si. Letkol Inf/34148 Surabaya/06-12-1963 Islam Kawin Sepawamil/1989 Kasubag Rekaman dan Transkrip Persidangan
II. Riwayat Pendidikan Militer. A. Dikbangum. 1. Sepawamil : 1989 2. Sekalih PA : 1995 3. Suspa Jurnalistik : 1998
62
Volume 33 No. II Edisi Juni 2013
Dalam Negeri. 1. Ops. Seroja I Tim-Tim 2. Ops. Seroja II Tim-Tim 3. Ops. Seroja III Tim-Tim Luar Negeri. 1. China
: 1989 : 1991 : 1998
: 2011
IV. Riwayat Jabatan. 1. Pama Kodam IX/Udayana. 2. Kapenrem 164/Wira Dharma 3. Kaur Prod Pendam IX/Udayana 4. Kasi Prod Pendam IX/Udayana 5. Gumil Utama Belneg Rindam IX/Udy 6. Kasubag Rek/Transkrip Kemenko Polhukam
MLRS Astros II Avibras Pada Pameran Indo Defence Tanggal 7-10 November 2012, Di Kemayoran, Jakarta
Meriam 155 mm Caesar Pada Pameran Indo Defence Tanggal 7-10 November 2012 Di Kemayoran Jakarta