SALINAN
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal dan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, perlu menetapkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota;
Mengingat
1.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 150 tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 267, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4068);
:
1
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161);
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7.
8.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup;
9.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal; 11. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ Kota; MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI DAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
Pasal 1 Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup yang diatur dalam Peraturan Menteri ini terdiri atas: a. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan b. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 2
Pasal 2 Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dipergunakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang dilaksanakan secara bertahap. Pasal 3 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Petunjuk Teknis Pelaksanaan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal: 28 November 2008 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi V MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
3
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 20 Tahun 2008 Tanggal : 28 November 2008
PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG. Dengan meningkatnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada pemerintah provinsi, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah provinsi perlu memberikan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup. Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi yang terkait dengan permasalahan lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota terutama dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan teknis dan pengawasan, jenis pelayanan bidang lingkungan hidup daerah provinsi lebih ditekankan pada penyampaian informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah provinsi diprioritaskan pada: 1. Informasi status mutu air. 2. Informasi status mutu udara ambien. 3. Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
B.
TUJUAN. Petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah provinsi dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah provinsi secara bertahap. 1
C.
RUANG LINGKUP. Ruang lingkup standar pelayanan minimal daerah provinsi meliputi: 1. Pelayanan informasi status mutu air. 2. Pelayanan informasi status mutu udara ambien. 3. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang meliputi: 1. Gambaran umum. 2. Pengertian. 3. Indikator dan cara perhitungan. 4. Sumber data. 5. Batas waktu pencapaian. 6. Langkah kegiatan. 7. Rujukan/referensi.
II.
PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU AIR
A.
GAMBARAN UMUM. Penetapan status mutu air merupakan tahapan yang penting dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, karena akan menjadi titik tolak untuk pelaksanaan suatu program/kegiatan selanjutnya. Status mutu air juga merupakan hak masyarakat yang harus diakomodir, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air”. Penentuan status mutu air dan rencana tindak lanjutnya disajikan pada Gambar 1. Dari Gambar 1, diilustrasikan secara sederhana, bahwa penentuan status mutu air pada suatu sumber air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan baku mutu air (BMA) yang diterapkan pada sumber air tersebut. Baik atau buruknya kualitas air diindikasikan oleh parameter-parameter, antara lain parameter kadar polutan yang dikandungnya. Jika kadar polutan melebihi kadar maksimum yang dibakukan dalam BMA, air tersebut dinyatakan sebagai air yang cemar. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa air dinyatakan dalam kondisi cemar, jika mutu airnya tidak memenuhi BMA dan air dinyatakan dalam kondisi baik, jika mutu airnya memenuhi BMA. Selanjutnya Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air dinyatakan bahwa jika status mutu air dalam kondisi baik atau tidak tercemar, upaya 2
untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas air perlu dilakukan, dan jika status mutu air berada dalam kondisi cemar, dibutuhkan upaya penanggulangan dan pemulihan dengan menetapkan mutu air sasaran. STATUS MUTU AIR
BAKU MUTU AIR
Pemantauan Kualitas Air
Baik
Upaya Mempertahankan dan Meningkatkan Kualitas Air
Cemar
Mutu Air Sasaran
Upaya Penanggulangan dan Pemulihan
Gambar 1. Status mutu air dan tindak lanjutnya Penetapan status mutu air pada suatu sumber air dapat dilakukan jika tahapan-tahapan sebelumnya telah dilaksanakan yaitu penetapan kelas air dan BMA, penetapan titik pantau dan pemantauan kualitas air. Kegiatan pemantauan kualitas air di titik-titik pengambilan contoh merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara berkala dan berkelanjutan. Contoh hasil kegiatan pemantauan kualitas air disajikan pada Tabel 1. Secara sederhana, penentuan status mutu air dilakukan dengan cara membandingkan hasil pemantauan kualitas air dengan BMA yang diterapkan pada sumber air tersebut, namun mengingat jumlah parameter dalam BMA tidak sedikit (lihat Tabel 1), sehingga dengan hanya membandingkan masing-masing hasil pemantauan dengan BMA akan menghasilkan status mutu yang berbeda-beda untuk tiap parameter kualitas air. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu metode yang dapat memberikan status mutu yang merupakan gabungan dari semua parameter yang dipantau sehingga menjadi satu nilai yang menggambarkan status mutu air secara keseluruhan.
3
Dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air telah diatur 2 (dua) metode untuk menentukan status mutu air yaitu metode storet dan metode indeks pencemaran. Pada metode storet, status mutu air, dengan menggunakan sistem klasifikasi US-EPA, dinyatakan sebagai berikut: 1. Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu). 2. Kelas B : baik, skor antara -1 sampai dengan -10 cemar ringan). 3. Kelas C : sedang, skor antara -11 sampai dengan -30 cemar sedang). 4. Kelas D : buruk, skor ≤ -31 cemar berat). Sedangkan metode 1. 0 ≤ PIj ≤ 1,0 2. 1,0 < PIj ≤ 5,0 3. 5,0 < PIj ≤ 10 4. PIj > 10
indeks pencemaran dinyatakan bahwa nilai : : memenuhi baku mutu. : cemar ringan. : cemar sedang. : cemar berat.
Contoh hasil penetapan status mutu air yang menggunakan kedua metode tersebut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
STATUS PENCEMARAN SUNGAI CISADANETAHUN 2007 -70 SKOR STORET
-60 CEMAR BERAT
-50 -40 -30
CEMAR SEDANG
-20 -10
CEMAR RINGAN
0 Sebelum Intake PDAM
Cihuni
Jembatan Jembatan Jembatan Bendung Gading Cikokol Robinson Pasar Serpong Baru
Bayur
Kali Baru
Gambar 2. Contoh status mutu air menggunakan metode soret
4
25
25 Mar 2004 15 Jun 2004
20
7 Sep 2004 CEMAR BERAT
15
21 Des 2004
10 CEMAR SEDANG
5 CEMAR RINGAN
Ci
bu
ri a
At ta
l, C A wu isa n m Je m Ci le p a i ba m be ta n r K a Gad tu o g la m Ke S pa du em p n P o g H ur J e ndo ala n m b a k Ra g ta n je k Ke Pa la p nus a D Co ua M nd an e t gg a G u K w ra i it nu ng ang Sa ha ri PI K
0
Gambar 3. Contoh status mutu air menggunakan metode indeks pencemaran
Kewenangan penetapan status mutu air ada pada pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, namun karena penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi dan penetapan baku mutu air lebih ketat berada dalam kewenangan pemerintah provinsi serta penetapan status mutu air berkaitan erat dengan penetapan kelas air dan baku mutu air tersebut, sehingga dalam standar pelayanan minimal ini, penetapan status mutu air menjadi bagian dari standar pelayanan minimal provinsi.
5
Tabel 1. Contoh hasil pemantauan kualitas air HASIL PEMANTAUAN KUALITAS AIR DAS ABC PERIODE BULAN SEPTEMBER 2008 Baku Mutu Berdasarkan PP No: 82 Tahun 2001 tangggal 14 desember 2001 Sungai Lokasi
ABC 1
Koordinat Lokasi
Lintang (S)
ABC 3
ABC 4
ABC 5
Baku Mutu
-6.35889
-6.35917
-6.35500
-6.34917
-6.25917
106.24306 9/1/2008
106.2225 9/2/2008
106.23083 9/3/2008
106.24806 9/4/2008
106.28417 9/5/2008
11.30
12.15
12.14
11.45
12.55
II
Satuan
1
2
3
4
5
10
Bujur (T) Tanggal Jam Parameter
ABC 2
Kelas
FISIKA 1.
Temperatur
0C
27.50
27.50
27.40
27.40
27.50
deviasi 3
2
Zat Terlarut/TDS
mg/l
53.00
55.00
37.00
50.00
53.00
1000
3
Zat Tersuspensi/TSS
mg/l
99
28
70.5
197
77
50
6-9
KIMIA ANORGANIK 1
pH
-
5.68
5.60
5.72
5.67
5.71
2
BOD
mg/l
1.007
0.402
0.604
1.007
0.806
3
3
COD
mg/l
30.217
29.502
29.217
28.731
29.778
25
4 5
Oksigen Terlarut/DO
mg/l
4.429
4.026
4.228
3.825
4.278
fosfat/PO4
mg/l
0.015
0.012
0.008
0.010
0.008
4 0.2
6 7
Nitrat/NO3
mg/l
8.050
3.280
2.627
6.392
1.827
Amonia
mg/l
0.005
0.004
0.002
0.005
0.004
8
Arsen
mg/l
-
-
-
-
-
1
9
Cobalt/Co
mg/l
0.0099
0.0096
0.0095
0.0097
0.0098
0.2 (-)
10 (-)
10
Barium
mg/l
-
-
-
-
-
11
Boron
mg/l
-
-
-
-
-
1
12
Selenium
mg/l
-
-
-
-
-
0.05
13
Kadmium Total/Cd
mg/l
0.0097
0.0097
0.0096
0.0098
0.0099
0.01
14
Khrom (VI)
mg/l
-
-
-
-
-
0.05
15
Tembaga Total/Cu
mg/l
0.0122
0.0124
0.0116
0.0124
0.0126
16 17
Besi Total/Fe
mg/l
0.8266
0.8371
0.6539
0.8927
0.8975
0.02 (-)
Timbal Total/Pb
mg/l
0.0116
0.0119
0.0112
0.0119
0.0121
0.03
18
Mangan/Mn
mg/l
0.0168
0.0174
0.0153
0.0179
0.0187
(-)
19 20
Air Raksa
mg/l
-
-
-
-
-
0.002
Seng Total/Zn
mg/l
0.0165
0.0168
0.0148
0.0175
0.0183
0.05
21 22
Clorida/Cl
mg/l
5.339
11.650
2.912
3.883
5.334
Sianida
mg/l
tt
tt
tt
tt
tt
600 1
23
Flourida
mg/l
-
-
-
-
-
1.5
24
Nitrit/NO2
mg/l
0.153
0.144
0.073
0.092
0.104
0.05
25
Sulfat/SO4
mg/l
4.370
3.450
0.588
1.785
1.620
26
Khlorin Bebas
mg/l
-
-
-
-
-
400 0.03
27
Belerang sbg H2S
mg/l
-
-
-
-
-
0.002
MIKROBIOLOGI 1 E Coli 2
Total Coli
koloni/100 ml
3400
4400
3400
6000
2300
1000
koloni/100 ml
28000
28000
24000
54000
22000
5000
RADIOAKTIVITAS 1
Gross-A
Bq/L
-
-
-
-
-
0.1
2
Gross-B
Bq/L
-
-
-
-
-
1
KIMIA ORGANIK 1 Minyak Dan Lemak 2 MBAS 3
Fenol
ug/l
1000
1000
500
1000
500
1000
ug/l
200
200
200
200
200
200
ug/l
0.0302
0.0265
0.0235
0.0274
0.0259
1
m3/detik cm
70.12 45
11.22 10
65.31 20
65.11 20
40.15 20
-
LAIN-LAIN (Tidak diatur PP 82/01) 1 2
Debit Muka Air
6
B.
PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air laut dan air fosil. 2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di bawah dan di atas permukaan air, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk dan muara. 3. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu air yang ditetapkan. 5. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. 6. Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengendalian pencemaran air dan pemulihan kualitas air.
C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator. Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya. 2. Cara Perhitungan. Prosentase (%) jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya.
Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu = airnya. x 100% Jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi.
3. Contoh Perhitungan. Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat sebanyak 1 (satu) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi:
7
Prosentase (%) jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya.
1 x 100%
=
=
20 %
5
Selanjutnya pada tahun berikutnya: Jumlah sumber air yang dipantau kualitasnya, ditetapkan status mutu airnya dan diinformasikan status mutu airnya kepada masyarakat bertambah sebanyak 1(satu) sumber air lagi sehingga menjadi 2 (dua) sumber air, sedangkan jumlah sumber air yang telah ditetapkan berdasarkan hasil identifikasi provinsi sebanyak 5 (lima) sumber air, prosentasenya menjadi 2/5 = 40%. D.
SUMBER DATA. 1. Laporan instansi teknis terkait antara lain: instansi lingkungan hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan. 2. Hasil pemantauan (data primer). 3. Sumber lain yang relevan.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
F.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
20 % 40 % 60 % 80 % 100 %
LANGKAH KEGIATAN. 1. Perencanaan pemantauan kualitas air. a. Pengumpulan data sekunder. Data sekunder berguna untuk mendukung interpretasi data primer yang telah dihasilkan. Data sekunder yang perlu dikumpulkan antara lain gambaran lokasi pemantauan (panjang, lebar, sumber air, peruntukan, batas administrasi sumber air, peta lokasi, data pemantauan sebelumnya (jika ada), kegiatan sekitar lokasi pemantauan, dan sumber pencemar. b. Penyusunan tim pemantauan kualitas lingkungan. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di setiap daerah provinsi harus menyusun tim teknis pemantauan yang melibatkan berbagai personil seperti pada Tabel 2 di bawah ini yang meliputi:
8
Tabel 2. Susunan tim teknis pemantauan kualitas lingkungan. No. Peranan 1 Koordinator
2
Personil perencana program pemantauan
3
Personil pengambil sample
4
Personil pengujian laboratorium
5
Personil pengolah data dan pembuatan laporan
Uraian Pekerjaan Bertanggungjawab terhadap keseluruhan proses pelaksanaan pemantauan kualitas air Merencanakan program pemantauan, dan menyusun proposal sesuai tujuan pemantauan Mengambil sampel di badan air sesuai tujuan pemantauan dan standar yang ditetapkan Melaksanakan pengujian parameter kualitas air sesuai standar yang ditetapkan Melakukan pengumpulan data hasil analisis yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh penyelia laboratorium, memeriksa integritas data, melakukan analisis data (membandingkan dengan kriteria mutu air kelas I sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, melakukan penghitungan status mutu air berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air, dan menginterpretasikan data sesuai tujuan pemantauan, serta menyusun laporan sesuai format yang ditentukan.
c. Penetapan sumber air. Lokasi pemantauan ditetapkan terutama untuk sumber air yang diperuntukkan untuk Air Baku Air Minum (ABAM) dengan parameter sesuai kelas 1 (satu) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. d. Penetapan tujuan pemantauan. Pemantauan bertujuan untuk mendapatkan data kualitas air sungai yang bermanfaat bagi masing-masing daerah provinsi sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan air sungai. 9
e. Survei pendahuluan. Digunakan sebagai pertimbangan untuk penyusunan perencanaan pemantauan kualitas sumber air yang dijadikan sebagai ABAM termasuk dalam hal penentuan titik pantau yang representatif, frekuensi pengambilan contoh air yang seharusnya diambil, sumber pencemar yang berpengaruh terhadap sumber air, kemudahan akses, dan kebutuhan biaya. Survei pendahuluan ini diperlukan untuk kegiatan pemantauan pada lokasi dan titik pemantauan yang baru. f. Disain pemantauan. 1). Identifikasi sumber air dan penetapan lokasi sumber air yang akan dipantau paling sedikit 5 (lima) lokasi sumber air. 2). Penetapan lokasi sumber air diprioritaskan pada sumber air untuk dijadikan sebagai ABAM. 3). Penetapan titik pantau paling sedikit 3 (tiga) titik yang mewakili daerah hulu, tengah dan hilir sesuai dengan SNI 6989.57:2008 Air dan Air limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan, dan – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air tanah. 4). Penetapan parameter pemantauan sesuai dengan kriteria mutu air kelas I berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 5). Penetapan waktu dan frekuensi pemantauan (waktu pengambilan contoh air dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, yaitu pada musim hujan dan musim kemarau disesuaikan dengan kondisi cuaca). 2. Pelaksanaan pemantauan. a. Pelaksanaan pengambilan contoh air. Setelah lokasi sumber air yang akan dipantau kualitasnya ditetapkan dilakukan penetapan titik pantau dengan mengacu pada Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan, SNI 6989.57:2008 Air dan Air Limbah-Bagian 57 dan selanjutnya dilakukan pengambilan contoh air pada sumber air yang telah ditetapkan tersebut. b. Analisis laboratorium. Pelaksanaan analisis contoh air dapat dilakukan melalui laboratorium yang kompeten dan menerapkan sistem mutu. c. Verifikasi dan validasi data. Laboratorium harus melakukan verifikasi dan validasi data untuk menjamin mutu data hasil pengujian. d. Analisis dan interpretasi data. Analisis dan interpretasi data hasil pengujian merupakan suatu proses pengolahan data untuk menampilkan informasi yang sesuai dengan tujuan pemantauan yang mudah dipahami oleh pengguna dan pengambil kebijakan. Data hasil pengujian yang telah dikeluarkan oleh laboratorium dan telah melalui proses verifikasi dan validasi data, harus ditabulasikan dalam bentuk tabel data. 10
Analisis dan interpretasi meliputi beberapa tahapan seperti yang tercantum dalam Gambar 4 di bawah ini: Persiapan data
Pemeriksaan integritas data
Analisis dan interpretasi data 1. Membuat grafik garis atau batang yang menyatakan konsentrasi parameter dari hulu sampai ke hilir 2. Membandingkan dengan kriteria mutu air pada kelas air yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3. Menghitung status mutu air dengan metode indek pencemar (IP) dan/atau metode storet sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.
Gambar 4. Alur kerja analisis dan interpretasi data e. Penyebaran Informasi. Hasil analisis dan interpretasi data dari angka 2 huruf d diinformasikan kepada masyarakat melalui : 1). Papan pengumuman. 2). Media cetak. 3). Media elektronik. 3. Penetapan status mutu air. Data hasil analisis laboratorium dilakukan verifikasi dan validasi kemudian diolah dalam bentuk perhitungan status mutu air dengan metode storet atau indeks pencemaran sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. G.
RUJUKAN/ REFERENSI. Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu air antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. 4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. 11
5. Pedoman/Standar Teknis: a. SNI 6989.57:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan. b. SNI 6989.58:2008 tentang Air dan Air Limbah – Bagian 58: Metoda Pengambilan Contoh Air Tanah. III.
PELAYANAN INFORMASI STATUS MUTU UDARA AMBIEN
A.
GAMBARAN UMUM. Fakta empirik menunjukkan bahwa udara merupakan komponen kehidupan yang sangat penting bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya (seperti tumbuhan dan hewan). Tanpa makan dan minum manusia bisa hidup untuk beberapa hari, tetapi tanpa udara manusia hanya dapat hidup untuk beberapa menit saja. Tidak seperti air yang bisa dipilih untuk diminum, sekali udara tercemar susah untuk membersihkannya. Karena manusia tidak dapat memilih udara yang dihirup. Kualitas udara (ambien) sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat dan kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tentunya akan meningkatkan penggunaan energi. Semakin banyak energi yang dibakar pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan atas) atau bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara tidak sehat atau berbahaya untuk jangka waktu yang panjang. Penduduk Indonesia diproyeksikan akan meningkat antara tahun 2000 dan 2025 dari sekitar 206 juta menjadi sekitar 274 juta. Pada tahun 2000 kebanyakan penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan, namun lambat laun jumlah penduduk yang tinggal di pedesaan semakin menurun, yang disebabkan oleh perkembangan pedesaan menjadi kotakota baru serta urbanisasi. Apabila pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan hanya berjumlah sekitar 47 juta jiwa, pada tahun 2025 jumlah penduduk perkotaan akan meningkat menjadi sekitar 187 juta jiwa atau sekitar 68% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2025. Oleh karena itu, tingkat pencemaran udara pada masa yang akan datang akan semakin meningkat khususnya di wilayah perkotaan dan industri serta wilayah permukiman.
12
Gambar. 5 Dampak polusi udara ambien pada kesehatan Penjelasan gambar pencemaran udara dari sumber : 1. Pembakaran terbuka (Open Burning), contoh: pembakaran sampah, TPA (tempat pengelolaan sampah ). 2. Tranportasi, contoh: sepeda motor, mobil penumpang , bus dan truk. 3. Permukiman, contoh: pemakaian gas LPG, kompor minyak tanah, briket batu bara dan tungku bakar. 4. Industri, contoh: pencemaran udara dari cerobong pabrik industri agro, manufaktur dan industri minyak dan gas bumi. B.
PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: a. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya. b. Status mutu udara ambien adalah tingkat kondisi mutu udara yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik dalam waktu tertentu dengan membandingkan baku mutu udara yang ditetapkan. c. Kawasan padat lalu lintas adalah daerah di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi terutama pada jam-jam sibuk pagi dan sore hari. d. Kawasan permukiman adalah daerah di wilayah perkotaan yang memiliki tingkat perumahan untuk tempat tinggal yang tinggi. e. Kawasan Industri adalah kawasan yang merupakan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan prasarana dan
13
sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Contoh: kawasan industri Pulo Gadung di Jakarta, KIM di Medan, Rungkut di Surabaya, KIMA di Makassar. Apabila di daerah tidak mempunyai kawasan industri, pengukuran bisa dilakukan pada daerah sekitar industri yang berpotensi mencemari udara di sekitarnya. f. Kualitas udara ambien yang dipantau adalah partikulat atau total suspended particulate (TSP) dan CO untuk lokasi padat lalu lintas , PM10 (partikel dengan diameter di bawah 10 mikron) dan SO2 untuk kawasan industri dan O3 dan PM untuk lokasi permukiman. g. Kualitas udara ambien yang diinformasikan adalah kualitas udara ambien pada saat dilakukan pengukuran parameter kunci di setiap lokasi pemantauan (permukiman, padat lalu lintas dan industri) dan diinformasikan mutu udara ambiennya dalam satu tahun. C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. a. Indikator: Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya. b. Cara Perhitungan:
Prosentase (%) jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya
=
Jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri dalam 1 (satu) tahun dan diinformasikan mutu udara ambiennya X 100 % Jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi
c. Contoh Perhitungan: Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambien dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya: Prosentase (%) jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu 14 udara ambiennya
5 X 100%
= 25
=
20%
Selanjutnya pada tahun berikutnya: jumlah kabupaten/kota yang dipantau kualitas udara ambiennya dan diinformasikan mutu udara ambiennya di lokasi/kawasan padat lalulintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri bertambah sebanyak 5 (lima) kabupaten/kota sehingga menjadi 10 (sepuluh) kabupaten/kota, sedangkan jumlah kabupaten/kota yang ada di wilayah provinsi sebanyak 25 kabupaten/kota, sehingga prosentasenya menjadi 10/25 = 40%. D.
SUMBER DATA. 1. Hasil pemantauan kualitas udara ambien yang dipantau oleh pemerintah provinsi 2. Laporan tahunan hasil pemantauan kualitas udara ambien dari pemerintah kabupaten/kota (instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perindustrian dan Perdagangan). Tabel 3. Contoh pelaporan udara ambien sekitar industri .
Kualitas Udara Ambien Parameter SO2 Partikulat
Satuan 3
µg/Nm µg/Nm3
Tanggal 19 januari 2008 Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Lokasi 4
Lokasi 5
28.19 57.26
12.01 5.21
0.69 ttd
ttd ttd
0.21 ttd
Penjelasan: Lokasi 1 : lingkungan pabrik utara. Lokasi 2 : lingkungan pabrik selatan. Lokasi 3 : lingkungan pabrik barat. Lokasi 4 : lingkungan pabrik timur. Lokasi 5 : lingkungan dalam pabrik (dekat cerobong). Tabel 4. Contoh pelaporan udara ambien sekitar permukiman. Kualitas Udara Ambien Parameter O3 (Ozon) Partikulat
Tanggal 19 januari 2008
Satuan
Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Lokasi 4
Lokasi 5
µg/Nm3 µg/Nm3
28.19 57.26
12.01 5.21
0.69 ttd
ttd ttd
0.21 ttd
Penjelasan: Lokasi 1 : lingkungan Lokasi 2 : lingkungan Lokasi 3 : lingkungan Lokasi 4 : lingkungan Lokasi 5 : lingkungan
permukiman utara. permukiman selatan. permukiman barat. permukiman timur. dalam permukiman (tengah). 15
Tabel 5. Contoh pelaporan udara ambien daerah transportasi : Kualitas Udara Ambien Parameter CO Partikulat
Tanggal 19 januari 2008
Satuan
Lokasi 1
Lokasi 2
Lokasi 3
Lokasi 4
Lokasi 5
ppm µg/Nm3
ttd 57.26
ttd 5.21
ttd ttd
ttd ttd
1.25 ttd
Penjelasan: Lokasi 1 : daerah Lokasi 2 : daerah Lokasi 3 : daerah Lokasi 4 : daerah Lokasi 5 : daerah
padat padat padat padat padat
lalu lalu lalu lalu lalu
lintas lintas lintas lintas lintas
utara. selatan. barat. timur. tengah.
3. Data statistik kabupaten/kota atau data dari status lingkungan hidup daerah (SLHD). 4. Hasil pemantauan kualitas udara ambien dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup 5. Sumber lain yang relevan . E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
F.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
20 % 40%. 60 % 80% 100%
LANGKAH KEGIATAN. 1. Melakukan inventarisasi hasil laporan kualitas udara ambien dari kabupaten/kota dari berbagai sumber. 2. Melakukan inventarisasi laboratorium pengukuran udara yang ada di wilayahnya. Apabila daerah belum memiliki laboratorium yang bisa melakukan pengukuran udara ambien, daerah bisa melakukan kerjasama dengan laboratorium daerah lain atau dengan pihak ketiga. 3. Melakukan survei pendahuluan atau mengumpulkan data pada kawasan padat lalu lintas, kawasan permukiman, dan kawasan industri di setiap kabupaten/kota. 4. Menetapkan 3 (tiga) lokasi pemantauan pada setiap kabupaten/kota. 5. Menetapkan kabupaten/kota yang akan dipantau berdasarkan skala prioritas sesuai dengan kemampuan daerah dalam rangka memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal. 6. Melakukan pengumpulan data melalui pengambilan dan pemeriksaan contoh udara pada setiap lokasi pemantauan tersebut. Ditetapkan minimal 1 (satu) titik pantau pada setiap lokasi pemantauan yang diambil 2 (dua) kali dalam setahun. Adapun parameter kunci yang diperiksa TSP atau PM10, CO, SO2, dan O3 (kawasan padat lalu lintas: TSP dan CO, 16
kawasan permukiman: PM10, dan O3 dan kawasan industri: PM10 dan SO2). Khusus untuk pemantauan parameter SO2 dan NO2 di udara ambien dapat menggunakan metoda pasif sampler yang sederhana, murah dan mudah. Pelaksanaan pemantauan mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. Alat ukur udara ambien pada Gambar 6.
G.
Gambar 6 . Peralatan pengukur udara ambien (TSP, O3, dan SOx). 7. Hasil pemantauan kualitas udara dari masing-masing lokasi dianalisis untuk menetapkan status mutu udara ambien dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 8. Penyusunan laporan dan penyampaian informasi dilakukan dengan melibatkan pihak laboratorium dan unit/instansi terkait di daerah. G.
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan dan pedoman yang terkait dengan pelayanan informasi status mutu udara ambien antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1999 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara. 3. Keputusan Kepala Bapedal Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak. 4. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 107/BAPEDAL/ II/1997 tentang Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. 5. Pedoman Pemantauan Kualitas Udara Jalan Raya Kementerian Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007.
17
IV. PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP. A.
GAMBARAN UMUM Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, menyebabkan makin meningkatnya pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup provinsi meningkat setiap tahunnya rata-rata 10% (Tahun 2005-2008). Salah satu upaya pemerintah untuk menyikapi kondisi tersebut dengan peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat. Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum upaya pemerintah tersebut. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga diatur dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang melipui: 1. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. 2. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. 4. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan hidup provinsi wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut. Tanggung jawab pemerintah provinsi untuk menerima laporan telah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi: 1. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. 18
2. Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. 4. Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada gubernur atau kepala instansi lingkungan hidup provinsi. Untuk meningkatkan efektivitas waktu pengelolaan pengaduan masyarakat, instansi lingkungan hidup provinsi melalui gubernur atau kepala instansi yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki unit kerja struktural dimaksud akan berperan untuk meningkatkan koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup provinsi meliputi: 1. Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota. 2. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan terjadi di wilayah 4-12 mil laut. 3. Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup provinsi. 4. Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya diberikan oleh pejabat provinsi. B.
PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 19
1. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup provinsi. 2. Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima, menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil pengelolaan kepada pengadu. 3. Mengklasifikasi pengaduan adalah mengelompokkan pengaduan berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan serta aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan. 4. Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran pengaduan. 5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah, dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan, getaran dan kebisingan. 6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan hutan. C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti. Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.
2. Cara Perhitungan Prosentase (%) jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti.
=
x 100% Jumlah pengaduan yang diterima instansi lingkungan hidup provinsi dalam 1 (satu) tahun.
20
3. Contoh Perhitungan: Misalkan : Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup provinsi menerima 50 (lima puluh) pengaduan. Dari 50 (lima puluh) pengaduan, 30 (tiga puluh) pengaduan telah ditindaklanjuti, sehingga prosentase pengaduan yang ditindaklanjuti sebesar 60 %. Prosentase (%) jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindak lanjuti D.
30 =
=
60%
50
SUMBER DATA. Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara lain: 1. Masyarakat. 2. Lembaga swadaya masyarakat. 3. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 4. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. 5. Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota. 6. Media cetak dan elektronik.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
F.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
60% 70% 80% 90% 100%
LANGKAH KEGIATAN. Instansi lingkungan hidup provinsi paling lama jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan pengaduan dengan tahapan: 1. Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan. 2. Menelaah dan mengklasifikasikan pengaduan. Telaahan dan kalsifikasi pengaduan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi dapat dilakukan koordinasi dengan instansi/pihak terkait. Berdasarkan hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan: 21
a. Tidak termasuk pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, segera diteruskan kepada instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dengan tembusan kepada pihak yang mengadukan. b. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi segera diserahkan kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. c. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup provinsi, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan klasifikasi. 3. Melakukan verifikasi pengaduan. Pelaksanaan verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan. b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota. d. Pedoman Verifikasi Pengaduan. Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada pejabat yang menugaskan verifikasi. 4. Usulan tindak lanjut. Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup provinsi harus memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan. Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan tim/petugas verifikasi, selanjutnya ditindaklanjuti atau diajukan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan 22
tindak lanjut penanganan merupakan akhir dari tahapan tindak lanjut (pengelolaan) pengaduan masyarakat yang perlu dilakukan verifikasi. Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi meliputi: a. Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. b. Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. c. Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. d. Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan telah menimbulkan kerugian bagi orang atau lingkungan hidup. e. Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. f. Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah. Mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana dijelaskan di atas tertuang dalam bagan alir Gambar 7.
23
Pengaduan secara tertulis atau lisan
Instansi lingkungan hidup provinsi. 7 hr
Instansi terkait di provinsi
Telaahan dan klasifikasi pengaduan 7 hr
Bukan pengaduan kasus lingkungan hidup.
7 hr
Pengaduan kasus lingkungan hidup
Pengaduan kasus lingkungan hidup, bukan kewenangan provinsi
14 hr
Verifikasi 30hr +30 hr 30 hr + 30 hr
Instansi teknis yang berwenang
Usulan penanganan kepada pejabat yang berwenang
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
Usulan penanganan oleh tim 7 hr
7 hr
14 hr
Menerima
14 hr
Atasan pengawas/ pemberi perintah
Menolak
Arah tindak lanjut
Gambar 7. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup G.
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan antara lain: 1. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Peraturan Pemerintah: a. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. b. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. d. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3. Peraturan/Keputusan Menteri: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. 24
b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota. d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. 4. Peraturan/Keputusan Kepala Daerah. Peraturan daerah provinsi atau keputusan gubernur yang mengatur tentang pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR Salinan sesuai dengan aslinya Deputi V MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Ilyas Asaad
25
Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 20 Tahun 2008 Tanggal : 28 November 2008
PETUNJUK TEKNIS STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KABUPATEN/KOTA
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG Dengan meningkatnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan lahan dan/atau tanah, dan meningkatnya pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup pada pemerintah kabupaten/kota, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang optimal agar masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu memberikan pelayanan dasar sesuai dengan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup. Dalam rangka pencapaian penerapan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota yang terkait erat dengan permasalahan lingkungan di daerah, diperlukan upaya pengelolaan lingkungan hidup secara efektif dan efisien melalui upaya pencegahan dan penanggulangan berdasarkan data hasil pemantauan, pengawasan dan tindak lanjut. Dengan demikian, jenis pelayanan dasar bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota diprioritaskan pada: 1. Pencegahan pencemaran air. 2. Pencegahan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak. 3. Penyediaan informasi status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa. 4. Tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
B.
TUJUAN. Petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam penerapan pencapaian standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota secara bertahap. 1
C.
RUANG LINGKUP Ruang lingkup standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup daerah kabupaten/kota meliputi: 1. Pelayanan pencegahan pencemaran air. 2. Pelayanan pencegahan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak. 3. Pelayanan penyediaan informasi status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa. 4. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Masing-masing jenis pelayanan tersebut dijabarkan secara rinci yang meliputi: 1. Gambaran umum. 2. Pengertian. 3. Indikator dan cara perhitungan. 4. Sumber data. 5. Batas waktu pencapaian; 6. Langkah kegiatan. 7. Rujukan/referensi.
II.
PELAYANAN PENCEGAHAN PENCEMARAN AIR
A.
GAMBARAN UMUM. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, bahwa pengendalian pencemaran air didefinisikan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air. Dari definisi di atas, salah satu upaya pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan. Pencegahan pencemaran air dapat dilakukan dengan cara membatasi jumlah air limbah yang dibuang dari sumber pencemar. Secara administratif, pembatasan air limbah yang dibuang dilakukan dengan cara menetapkan baku mutu air limbah dari masingmasing jenis sumber pencemar. Setelah baku mutu air limbah ditetapkan, pencegahan dilakukan melalui kegiatan pengawasan untuk melihat tingkat penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan terutama yang berkaitan pengendalian pencemaran air.
2
B.
PENGERTIAN. Dalam petujuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1. Pencegahan adalah suatu tindakan secara manajemen/administratif dan secara teknik yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam rangka mencegah terjadinya pencemaran. 2. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. 3. Pencegahan pencemaran air adalah tindakan secara manajemen/ administratif dan secara teknik yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam rangka mencegah masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia. 4. Usaha dan/atau kegiatan adalah setiap jenis usaha dan/atau kegiatan yang potensial menghasilkan air limbah yang dapat mencemari air.
C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator. Jumlah usaha dan/atau kegiatan yang mentaati administratif dan teknis pencegahan pencemaran air.
persyaratan
2. Cara Perhitungan. Prosentase (%) jumlah usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air.
Jumlah usaha dan/atau kegiatan yang telah mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air.
=
x 100%
Jumlah usaha dan/atau kegiatan yang diawasi.
3. Contoh Perhitungan. Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah usaha dan/atau kegiatan yang diawasi 5 (lima), jumlah usaha yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air sebanyak 1 (satu), prosentase usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air:
3
Prosentase (%) jumlah usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan = administratif dan teknis pencegahan pencemaran air
1 X 100%
=
20%
5
Selanjutnya pada tahun berikutnya: Jumlah usaha dan/atau kegiatan yang diawasi 5 (lima), jumlah usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air bertambah sebanyak 1 (satu) lagi sehingga menjadi 2 (dua), prosentase usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air menjadi 2/5 = 40%. D.
SUMBER DATA. 1. Laporan hasil pemantauan dan inventarisasi/identifikasi dari instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. 2. Laporan instansi terkait bidang lingkungan di kabupaten/kota. 3. Sumber lain yang relevan.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
F.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
20 %. 40 %. 60 %. 80 %. 100 %.
LANGKAH KEGIATAN. 1. Melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar dan kelengkapan persyaratan administratif: a. Mendata semua jenis usaha dan/atau kegiatan (industri, hotel, rumah sakit, rumah makan, dan permukiman/perumahan). b. Mengindentifikasi jenis usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi mencemari air. c. Memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan administratif jenis usaha dan/atau kegiatan. 2. Menentukan prioritas jenis usaha dan/atau kegiatan yang akan dipantau dan diawasi berdasarkan hasil identifikasi persyaratan teknis (paling sedikit 5 (lima) usaha dan/atau kegiatan dan masing-masing jenis diambil paling sedikit satu contoh air limbahnya dalam satu 4
tahun). Parameter yang diperiksa dan dianalisis datanya merupakan parameter kunci dari masing-masing jenis usaha dan/atau kegiatan. 3. Melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang diprioritaskan sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang diambil contoh air limbahnya paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Parameter yang diperiksa dan dianalisis merupakan parameter kunci dari masing-masing jenis usaha dan/atau kegiatan, yang meliputi: a. Kegiatan domestik, parameter yang diperiksa dan dianalisis sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 112 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, yang meliputi: pH, BOD, TSS, minyak dan lemak. b. Kegiatan hotel, parameter yang diperiksa dan dianalisis sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 52/MENLH/XII/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel, yang meliputi: BOD, COD, TSS, pH. c. Kegiatan Rumah Sakit, parameter yang diperiksa dan dianalisis sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58/MENLH/XII/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit, yang meliputi: BOD, COD, TSS, pH. d. Kegiatan Industri, parameter yang diperiksa dan dianalisis sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. 4. Menyampaikan laporan hasil pemantauan usaha dan/atau kegiatan yang mentaati persyaratan administratif dan teknis pencegahan pencemaran air. 5. Menyampaikan informasi status penaatan usaha dan/atau kegiatan (taat atau tidak taat). G.
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan pencegahan pencemaran air antara lain: 1. Peraturan Pemerintah: a. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. b. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. 2. Peraturan Menteri/Keputusan Menteri: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 35/MENLH/7/1995 tentang Program Kali Bersih (PROKASIH). b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. 5
c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep52/MENLH/10/ 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel. d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit. e. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi. f. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep09/MENLH/4/1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep- 42/MENLH/10/1996 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi. g. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 03/MENLH/1/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri. h. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. i. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 57 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota. j. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pedoman Teknis Pengkajian Pemanfaatan Air Limbah Dari Industri Minyak Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit. k. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan Pemanfaatan Air Limbah Industri Minyak Kelapa Sawit Pada Tanah di Perkebunan Kelapa Sawit. l. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 110 Tahun 2003 tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Pada Sumber Air. m. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Pengkajian Pembuangan Air Limbah Ke Air atau Sumber Air. n. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara. o. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 142 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 111 Tahun 2003 tentang Pedoman Mengenai Syarat dan Tata Cara Perizinan serta Pedoman Pengkajian Pembuangan Air Limbah Ke Air atau Sumber Air. 6
p. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2008 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.
III. PELAYANAN
PENCEGAHAN
PENCEMARAN
UDARA
DARI
SUMBER TIDAK BERGERAK. A.
GAMBARAN UMUM. Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya. Pencemaran udara selalu terkait dengan sumber yang menghasilkan pencemaran udara, salah satunya berasal dari kegiatan sumber tidak bergerak dimana yang paling dominan adalah industri. Pencegahan pencemaran udara dapat dilakukan dengan mengurangi atau mencegah terjadinya pencemaran udara. Upaya yang dilakukan oleh pihak industri untuk mengendalikan pencemaran udara dengan cara tiga tahap dalam industri itu sendiri, yang meliputi: 1. Tahap pertama, pada input dengan cara menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan seperti bahan bakar gas, batubara yang mengandung kadar sulfur rendah, atau baggase yang telah dikeringkan (bila industri tersebut menggunakan bahan bakar bio mass). 2. Tahap kedua, menggunakan proses produksi yang ramah lingkungan seperti proses gasifikasi, pirolisis atau exhaustgas recirculation. 3. Tahap ketiga, merupakan teknologi tahap akhir berupa pemasangan peralatan penyaring polutan debu dan gas-gas seperti bag house, EP (Elektrostatik Precipitator), Cyclon untuk polutan debu dan De-Nox untuk mengurangi kadar Nox dan FGD (Flue Gas Desulfurisasi) untuk mengurangi kadar SO2. Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dengan memberikan pengetahuan kepada industri agar menerapkan ketentuan peraturan-perundangan khususnya yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor 205 Tahun 1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak, agar pelaksanaan pemenuhan standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
. 7
CONTOH SUMBER BERGERAK DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARANYA (INCENERATAOR LIMBAH DOMESTIK)
Output Polusi Udara PM, SOx, NOx
input Bahan Baku Bahan bakar
ALAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA BAG HOUSE, DESULFUSRISASI DAN De- NOx
cerobong
PROSES PRODUKSI
Gambar 1. Contoh sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara (incenerataor limbah domestik)
Gambar 2. Pabrik gula dan cerobong asapnya
Gambar 3. Cerobong asap dari proses kilang minyak
8
Gambar 4. Cerobong asap dari cerong pembakaran jenjang kosong pabrik kelapa sawit .
Cerobong Asap Bag House
Gambar 5. Electric precipitator sebagai alat pengendali pencemaran udara (industri semen)
9
Proses Peleburan Logam
Duct penampung Debu Peleburan
Bag house
Cerobong
Gambar 6. Dust Coolector System sebagai alat pengendali pencemaran udara (industri peleburan baja).
Gambar 7. Cerobong bleaching plant pada industri pulp dan paper.
Gambar 8. Cerobong Prilling Tower pada industri pupuk 10
Pengendalian pencemaran udara industri mencakup kegiatan: 1. Inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran udara. 2. Penetapan baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi yang digunakan sebagai tolok ukur pengendalian pencemaran udara. 3. Penetapan mutu kualitas udara di suatu daerah termasuk perencanaan pengalokasian industri dan/atau kegiatan yang berdampak mencemari udara. 4. Pemantauan kualitas udara baik ambien dan emisi yang diikuti dengan evaluasi dan analisis. 5. Pengawasan terhadap penaatan peraturan perundang-undangan pengendalian pencemaran udara. 6. Peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara. 7. Kebijakan bahan bakar bersih dan ramah lingkungan. 8. Penetapan kebijakan dasar baik teknis maupun non teknis dalam pengendalian pencemaran udara secara nasional. B.
PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha dan/atau kegiatan adalah badan hukum atau perorangan yang melakukan aktifitas yang menimbulkan pencemaran udara. 2. Sumber tidak bergerak adalah usaha dan/atau kegiatan yang aktifitasnya secara menetap yang menghasilkan pencemaran udara. 3. Persyaratan administratif adalah persyaratan terkait sistem perizinan antara lain izin usaha, analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. 4. Persyaratan teknis adalah persyaratan sesuai dengan kelayakan prosedur pengendalian pencemaran udara. 5. Pencemaran udara adalah masuknya/dimasukannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. 6. Pencegahan pencemaran udara adalah tindakan secara manajemen/administratif dan secara teknik dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam rangka mencegah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara ambien. 7. Pengendalian pencemaran udara tidak bergerak adalah kegiatan dalam rangka untuk mengendalikan pencemaran udara dari jenis usaha dan/ atau kegiatan. 8. Parameter emisi udara yang dipantau adalah parameter kunci dari masing-masing jenis industri spesifik yang diatur dalam: 11
a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 133 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Sedangkan industri yang belum diatur baku mutu emisi spesifik mengacu pada Lampiran VB Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak, parameter yang dipantau merupakan parameter yang berpotensi mencemari. Tabel 1.
Parameter minimum yang dipantau untuk masing-masing jenis industri spesifik sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.
Jenis Industri Semen Pulp & kertas Power plant Peleburan baja Pupuk Boiler bahan bakar batubara dan atau gabungan dengan bagasse Boiler bahan bakar gas. Boiler bahan bakar minyak.
Parameter Dominan Partikulat TRS sebagai H2S Partikulat Partikulat Amonia
Satuan mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3 mg/Nm3
Partikulat
mg/Nm3
NO2 Partikulat
mg/Nm3 mg/Nm3
Tabel 2. Parameter minimum yang dipantau untuk masing-masing jenis industri spesifik sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. Jenis Kegiatan Eksplorasi dan produksi gas Eksplorasi dan produksi Minyak Kilang minyak Kilang LNG
12
Parameter Dominan NO2
Satuan mg/Nm3
SO2
mg/Nm3
SO2, NO2 SO2, NO2
mg/Nm3 mg/Nm3
Tabel 3. Parameter yang dipantau untuk jenis industri yang belum diatur baku mutu spesifik mengacu pada Lampiran VB Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. Jenis Industri
Parameter Dominan H2S Partikulat
Rayon Kaca
Satuan mg/Nm3 mg/Nm3
Usaha dan/atau kegiatan yang diawasi dan dibina untuk mentaati : 1) Persyaratan administratif antara lain izin usaha dan/atau kegiatan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. 2) Persyaratan teknis antara lain melakukan pengolahan emisi udara sehingga memenuhi baku mutu emisi yang telah ditetapkan, cerobong dilengkapi lubang sampling, lantai kerja, tangga, dan pagar pengaman limbah, serta melakukan pemantauan emisi secara rutin atau sewaktu-waktu sesuai keperluan. C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator. Jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara. 2. Cara Perhitungan. Prosentase (%) jumlah usaha dan/ atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara.
Jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang telah memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara. x 100%
= Jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang potensial mencemari udara yang telah di inventarisasi.
3. Contoh Perhitungan. Misalkan: Pada tahun 2009 jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang telah memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara sebanyak 4 (empat), sedangkan jumlah usaha dan/atau 13
kegiatan sumber tidak bergerak yang potensial mencemari udara yang telah diinventarisasi sebanyak 20 (dua puluh). Prosentase jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis: Prosentase (%) jumlah usaha dan/ atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara
4 x 100%
=
=
20 %
20
Selanjutnya pada tahun berikutnya: Jumlah usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang telah memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara bertambah 5 (lima), sehingga total usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara menjadi 9 (sembilan). Prosentase usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang memenuhi persyaratan administratif dan teknis pengendalian pencemaran udara menjadi sebesar 9/20 = 45 % (melebihi target minimal yang ditetapkan pada tahun kedua sebesar 40 %). Demikian perhitungan selanjutnya sampai mencapai 100 %. E.
SUMBER DATA. 1. Hasil pengawasan lapangan antara lain: laporan pemerintah daerah, laporan PROPER. 2. Laporan instansi yang menangani bidang perindustrian dan perdagangan. 3. Sumber lain yang relevan.
F.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
G.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
20 %. 40 %. 60 %. 80 %. 100 %.
LANGKAH KEGIATAN. 1. Tahap inventarisasi: a. Inventarisasi industri yang potensial mencemari udara. 14
Industri yang telah ditetapkan baku mutu emisi spesifik sebagaimana diatur dalam: 1). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. 2). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 133 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk. 3). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap. 4). Industri yang telah ditetapkan sebagai Program PROPER. b. Inventarisasi cerobong yang potensial mencemari udara dalam 1 (satu) industri, serta parameter dominan yang harus diukur. 2. Pelaksanaan pemantauan. a. Secara manual (dengan bantuan laboratorium eksternal yang sudah terakreditasi atau rujukan gubernur). b. Secara otomatis dengan peralatan Continuous Emission Monitoring (CEM) yang terpasang langsung dicerobong yang dapat langsung menyajikan data kualitas emisi tiap jam. c. Pemeriksaan persyaratan teknis cerobong. 1). Pemeriksaan tersedianya sarana pendukung sampling emisi seperti lubang sampling, tangga, lantai kerja, pagar pengaman dan sumber listrik pada cerobong. 2). Untuk cerobong yang berbentuk lingkaran, penentuan titik lubang sampling berada diantara minimal 8 x diameter stack (ds) untuk down stream dan 2x diameter stack (Ds) untuk upstream. 3). Diameter lubang pengambilan sampel paling sedikit 10 cm atau 4 inci. 4). Lubang pengambilan sampel harus memakai tutup dengan sistem pelat flange yang dilengkapi dengan baut. 5). Arah lubang pengambilan sampel tegak lurus dinding cerobong. 6). Untuk cerobong berdiameter dalam lebih kecil (d) dari diameter dalam aliran bawah (D), dapat ditentukan dengan diameter ekuivalen (De) sebagai berikut: De = 2 dD / ( D + d) Keterangan : De D d
= diameter ekuivalen = diameter dalam cerobong bawah = diameter dalam cerobong atas
Untuk cerobong berpenampang empat persegi panjang, dapat ditentukan dengan diameter equivalen (De) sebagai berikut:
15
De = 2 LW / ( L + W) Keterangan : De L W
= diameter ekuivalen = panjang cerobong = lebar cerobong
3. Pengambilan contoh uji emisi udara . Pengambilan contoh uji emisi udara dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk oleh tim pengawas untuk melakukan pengujian emisi udara terhadap cerobong utama dan parameter dominan yang telah ditentukan sebelumnya dengan ketentuan: a. Jumlah titik 1 (satu) cerobong untuk setiap lokasi (2 (dua) industri) 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. b. Parameter yang diukur tergantung dari industri jenis industri spesifik. c. Pengambilan contoh uji emisi pada cerobong dan sampel yang meliputi: pengumpulan sampel, analisa laboratorium, pembuatan laporan dan evaluasi. 4. Pelaporan hasil pemantauan. a. Laporan 3 (tiga) bulanan, dari hasil pemantauan peralatan CEM. b. Laporan 6 (enam) bulanan (manual), yang dilakukan oleh pihak ketiga. c. Laporan terjadinya kasus/kerusakan.
Tabel 4. Contoh pelaporan data pemantauan emisi udara industri kelapa sawit (dengan parameter dominan partikulat dan SO2 ). Parameter SO2 Partikel
Satuan 3
mg/m mg/m3
Boiler
Genset
Boiler
Genset I
Genset II
28.19 57.26
12.01 5.21
14.62 500.23
18.27 32.24
30.26 36.31
Baku Mutu emisi Udara Bolier kelapa sawit menurut permen LH No. 7 tahun 2007 SO2 Partikel
mg/m3 mg/m3
800 350
800 350
16
800 350
800 350
800 350
Tabel 5. Contoh pelaporan data pemantauan emisi udara pabrik gula (dengan parameter dominan partikulat )
Kualitas Emisi Udara Parameter Partikel
Partikel
G.
19 januari 2007
11 Juni 2007
Satuan
Boiler
Genset
Boiler
Genset I
Genset II
Kepmen LH No. 13/95
mg/m3
57.26
5.21
500.23
32.24
36.31
350
3
mg/m
Baku Mutu Emisi Udara Pabrik Gula 350 350 350 350
350
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan, pedoman/standar teknis yang terkait dengan pelayanan pencegahan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak antara lain: 1. Peraturan Pemerintah: Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 2. Pedoman/Standar Teknis: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep13/MENLH/3/1993 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak. b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep15/MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. e. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Propinsi/Kabupaten/Kota. f. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi. g. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 133 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk. h. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap. i. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor Kep-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
17
IV. PELAYANAN INFORMASI STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA A.
LAHAN
DAN/ATAU
GAMBARAN UMUM. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pelaksanaan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa dilakukan sebagaimana Gambar 10 di bawah ini : Pemerintah
Provinsi
Kabupaten/Kota
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah nasional
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah daerah provinsi
Penetapan kriteria baku kerusakan tanah daerah kabupaten/kota
Pembuatan peta kondisi lahan dan/atau tanah daerah provinsi
Pembuatan peta kondisi lahan dan/atau tanah daerah kabupaten /kota
Pengawasan kerusakan lahan dan/atau tanah
Pengawasan/penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah
Pencegahan kerusakan lahan, penanggulangan dan pemulihan kondisi lahan dan/atau tanah
Gambar 9. Bagan alir pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa.
1. Penetapan kriteria baku kerusakan tanah daerah. Untuk keperluan penetapan kondisi tanah dan status kerusakan tanah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan kriteria baku kerusakan tanah daerah, jika kondisi tanah di wilayahnya lebih rentan terhadap kerusakan dibandingkan dengan kondisi rata-rata nasional. Dalam penetapan kriteria baku kerusakan 18
tanah daerah tersebut mengacu pada kriteria baku kerusakan tanah nasional dan berkoordinasi dengan Menteri. 2. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah dilakukan oleh bupati/walikota. Dalam penetapan kondisi lahan dan/atau tanah tersebut, perlu dipetakan dengan skala minimal 1:100.000 (kabupaten) dan 1:50.000 (kota). Untuk pelaksanaan pemetaan dan penetapan kondisi lahan dan/atau tanah pada masingmasing kabupaten/kota dikoordinasikan oleh gubernur. Berdasarkan peta kondisi lahan dan/atau tanah daerah kabupaten/kota, selanjutnya gubernur menyusun peta kondisi lahan dan/atau tanah daerah provinsi dengan skala minimal 1:250.000. 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah dilakukan oleh bupati/walikota, gubernur dan Menteri. Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut, dilakukan berdasarkan informasi mengenai areal yang berpotensi mengalami kerusakan, kondisi lahan dan/atau tanah dan status kerusakan lahan dan/atau tanah. 4. Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah. Untuk mengefektifkan dan mensinergikan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa diperlukan pengaturan di daerah antara lain: a. Penetapan kriteria baku kerusakan lahan dan/atau tanah. b. Penetapan kondisi dan status kerusakan lahan dan/atau tanah. c. Pelaksanaan pengawasan, terkait dengan usaha dan/atau kegiatan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak lintas kabupaten/kota atau lintas provinsi. d. Pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah yang dilakukan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. 5. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan bertanggung jawab atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah di arealnya dan wajib melakukan pencegahan kerusakan, penanggulangan dan pemulihan kondisi lahan dan/atau tanah. Dalam upaya mengaktualisasikan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta keterbukaan informasi, masyarakat berhak memperoleh informasi mengenai: 1. Kondisi lahan dan/atau tanah. 2. Status kerusakan lahan dan/atau tanah. 3. Rencana, pelaksanaan, dan hasil pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah. 19
4. Kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerusakan lahan dan/atau tanah. Standar pelayanan minimal bidang lingkungan hidup untuk pemerintah kabupaten/kota ini difokuskan pada pelayanan terhadap informasi status kerusakan lahan dan/atau tanah. B.
PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer, atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantap atau mendaur. 2. Tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. 3. Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman. 4. Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa. 5. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. 6. Status kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. 7. Lahan untuk produksi biomassa adalah areal yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah provinsi atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sebagai kawasan untuk produksi biomassa (seperti lahan pertanian, lahan perkebunan, kawasan hutan tanaman, ruang terbuka hijau perkotaan). 8. Penyampaian informasi status kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah hasil pengukuran kriteria baku kerusakan tanah yang diinformasikan kepada masyarakat melalui media cetak, media elektronik, atau papan pengumuman.
C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator. Prosentase luasan lahan yang telah ditetapkan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa yang diinformasikan. Keterangan: 20
a. Penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah melalui keputusan bupati/walikota. b. Penyampaian informasi status kerusakan lahan dan/atau tanah melalui media cetak, media elektronik, dan/atau papan pengumuman. 2. Cara Perhitungan.
Prosentase (%) luasan lahan yang ditetapkan dan diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa
Luasan lahan yang telah ditetapkan dan diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa pada tahun berjalan =
x 100% Luasan lahan yang diperuntukkan sebagai lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa
Keterangan : Luas lahan yang diperuntukkan sebagai lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa merupakan lahan yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian, lahan perkebunan dan kawasan hutan tanaman (produksi), serta ruang terbuka hijau yang terdapat pada rencana tata ruang wilayah provinsi atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 3. Contoh Perhitungan Kabupaten x mempunyai luas wilayah 160.796,5 hektar. Dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten x terdapat rencana pemanfaatan lahan yang berfungsi untuk produksi biomassa (hutan produksi, lahan pertanian, tanaman tahunan) seluas 88.384,57 hektar. Pada tahun 2009, luasan lahan yang telah ditetapkan (melalui keputusan bupati) status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa seluas 20.441,13 hektar, dan telah diinformasikan melalui papan pengumuman. Dari data tersebut, dapat dihitung prosentase luasan lahan yang telah ditetapkan dan diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa sebesar 23,13%. Prosentase (%) luasan lahan yang ditetapkan dan/atau diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa
20.441,13 x 100% = 23,13%
= 88.384,57
21
Pada tahun 2010, luasan lahan yang telah ditetapkan (melalui keputusan bupati) status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa seluas 21.797,14 hektar, dan telah diinformasikan melalui papan pengumuman. Jadi pada tahun 2009-2010, luasan lahan yang telah ditetapkan (melalui keputusan bupati) status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa seluas 42.238,27 hektar (20.441,13 hektar + 21.797,14 hektar). Dari data tersebut, dapat dihitung prosentase luasan lahan yang telah ditetapkan dan diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa sebesar 47,79%. Prosentase (%) luasan lahan yang ditetapkan dan/atau diinformasikan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa
D.
20.441,13 =
x 100% = 47,79% 88.384,57
SUMBER DATA. 1. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 2. Laporan hasil pemantauan kerusakan lahan dan/atau tanah daerah kabupaten/kota (Instansi lingkungan hidup di kabupaten/kota). 3. Data statistik kabupaten/kota. 4. Sumber lain yang relevan.
E.
BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
F.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
20%. 40%. 60%. 80%. 100%.
LANGKAH KEGIATAN. Untuk pelaksanaan penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah dilakukan dengan tahapan sebagaimana digambarkan pada bagan alir Gambar 11.
22
Gambar 10. Bagan alir penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa.
1. Identifikasi kondisi awal tanah. Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui areal yang berpotensi mengalami kerusakan. Identifikasi kondisi awal tanah ini dilakukan dengan cara: a. Menghimpun data sekunder, untuk memperoleh informasi awal mengenai sifat-sifat dasar tanah yang terkait dengan parameter kerusakan lahan dan/atau tanah. Peta tanah dan peta lahan kritis biasanya memuat informasi sifat dasar tanah. b. Menghimpun data sekunder yang terkait dengan kondisi iklim, topografi, penggunaan tanah, dan potensi sumber kerusakan. c. Menghimpun data sekunder lain yang dapat mendukung penetapan kondisi tanah, seperti citra satelit, foto udara, data kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat, serta pengaduan masyarakat. Data dan informasi yang terhimpun kemudian dituangkan dalam peta dasar skala minimal 1:100.000, jika memungkinkan peta tersebut didigitasi sehingga menjadi peta-peta tematik tunggal. d. Melakukan overlay atau superimpose atas beberapa peta tematik yang telah dibuat guna memperoleh gambaran tentang areal yang berpotensi mengalami kerusakan lahan/tanah pada Gambar 12.
23
OVERLAY / SUPERIMPOSE
PETA IKLIM/ CURAH HUJAN
PETA JENIS TANAH
PETA KEMIRINGAN LERENG
PETA PENGGUNAAN LAHAN
PETA KERUSAKAN LAHAN HASIL
Proses Overlay Pembuatan Peta Potensi Kerusakan Lahan
Gambar 11. Proses overlay pembuatan peta potensi kerusakan lahan Dari proses ini, suatu lahan dan/atau tanah memiliki potensi rusak yang tinggi apabila: a. Kondisi iklim atau curah hujan yang memiliki curah hujan tahunan >2.500 mm, karena berpotensi sebagai agensia yang mampu merusak tanah melalui kemampuan energi kinetiknya. b. Tingkat kelerengan >40%, karena memiliki potensi terjadinya erosi dan longsor. c. Jenis tanah yang memiliki kepekaan erosi tinggi, seperti jenis regosol, latosol, organosol dan renzina. d. Penggunaan lahan yang penutupan lahan dan/atau tanahnya terbuka (jarang) lebih mudah rusak daripada penutupan lahan dan/atau tanahnya tertutup (rapat). e. Keberadaan kegiatan yang berpotensi sebagai sumber kerusakan lahan dan/atau tanah disekitarnya, seperti lahan dekat kawasan penambangan, dekat kawasan industri, dan daerah yang sering mengalami genangan/banjir pada Gambar 13. Tindakan manusia (kegiatan) di areal produksi biomassa
Hutan Tanaman Industri
Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa di areal produksi biomassa
Laut
24
Tindakan manusia (kegiatan) di luar areal produksi biomassa
KEGIATAN DI LUAR AREAL PROD. BIOMASSA (TAMBANG)
DAMPAK
Laut
Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomasa di areal produksi biomassa
Gambar 12. Identifikasi kerusakan berdasarkan potensi sumber. 2. Analisis sifat dasar tanah. Dari hasil identifikasi kondisi awal tanah, areal yang berpotensi mengalami kerusakan tanah selanjutnya dilakukan analisis sifat dasar tanah yang mengacu pada kriteria baku kerusakan tanah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Analisis sifat dasar tanah dilakukan melalui: a. Pengamatan dan pengambilan contoh tanah. b. Analisis contoh tanah. Tatacara pengamatan, pengambilan contoh tanah dan analisis contoh tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Evaluasi untuk penetapan status kerusakan lahan dan/atau tanah. Evaluasi ini bertujuan untuk menentukan rusak tidaknya lahan dan/atau tanah berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil analisis sifat dasar tanah dengan kriteria baku kerusakan tanah. Apabila salah satu ambang parameter terlampaui, lahan dan/atau tanah dinyatakan rusak. Selanjutnya hasil evaluasi ini digunakan untuk menetapkan status kerusakan lahan dan/atau tanah. a. Evaluasi kerusakan lahan dan/atau tanah di lahan kering akibat erosi air sebagaimana Tabel 6.
25
Tabel 6. Ambang kritis erosi besaran erosi menurut tebal tanah. Tebal Tanah
Ambang Kritis Erosi (PP 150/2000) (mm/10 tahun)
< 20 cm 20 - < 50 cm 50 - < 100 cm 100 – 150 cm > 150 cm
No.
(mm/10 tahun)
dan/atau
tanah
di
lahan
1.
Ketebalan solum
< 20 cm
2.
Kebatuan Permukaan Komposisi fraksi
> 40 %
%
< 18 % koloid; > 80 % pasir kuarsitik > 1,4 g/cm3 < 30 % ; > 70 % < 0,7 cm/jam; > 8,0 cm/jam < 4,5 ; > 8,5 > 4,0 mS/cm
% %
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
kering
Ambang kritis berdasarkan hasil pengamatan menurut parameter di lahan kering. Hasil Pengamatan/ Analisa cm
3.
Melebihi / Tidak
> 0,2 - < 1,3 1,3 - < 4 4,0 - < 9,0 9,0 – 12 > 12
b. Evaluasi kerusakan lahan sebagaimana Tabel 7. Tabel 7.
Besaran erosi
Parameter
Ambang Kritis (PP 150/2000)
Berat Isi Porositas total Derajat pelulusan air pH (H2O) 1 : 2,5 Daya hantar listrik /DHL Redoks Jumlah mikroba
< 200 mV < 102 cfu/g tanah
c. Evaluasi kerusakan lahan sebagaimana Tabel 8.
26
dan/atau
Melebihi / Tidak
g/cm3 % cm/jam
mS/cm mV cfu/ g tanah
tanah
di
lahan
basah
Tabel 8.
No.
Ambang kritis berdasarkan hasil pengamatan menurut parameter di lahan basah. Parameter
1.
Subsidensi Gambut di atas pasir kuarsa
2.
Kedalaman Lapisan Berpirit dari permukaan tanah Kedalaman Air Tanah dangkal Redoks untuk tanah berpirit Redoks untuk gambut pH (H2O) 1 : 2,5
3. 4. 5. 6. 7.
Daya Hantar Listrik/DHL
8.
Jumlah mikroba
Ambang Kritis (PP 150/2000)
> 35 cm/tahun untuk ketebalan gambut ≥ 3 m atau 10 % /5 tahun untuk ketebalan gambut < 3 m < 25 cm dengan pH ≤ 2,5
Hasil Pengamatan / Analisa cm
Melebihi / Tidak
cm
> 25 cm
cm
> - 100 mV
mV
> 200 mV
mV
< 4,0 ; > 7,0 > 4,0 mS/cm
mS/cm
< 102 cfu/g tanah
cfu/g tanah
Dari hasil evaluasi tersebut, bupati/walikota selanjutnya menetapkan status kerusakan tanah yang kemudian diumumkan pada masyarakat. Hasil evaluasi juga digunakan untuk verifikasi atau updating status kerusakan lahan dan/atau tanah pada setiap satuan peta kerusakan lahan dan/atau tanah yang telah disusun sebelumnya atau dalam kurun waktu lima tahun.
27
G.
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan informasi status kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa antara lain: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
V.
PELAYANAN TINDAK LANJUT PENGADUAN MASYARAKAT AKIBAT ADANYA DUGAAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN
A. GAMBARAN UMUM. Meningkatnya pembangunan di berbagai sektor telah mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kondisi tersebut dan didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendapatkan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menyebabkan makin meningkatnya pengaduan masyarakat akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi lingkungan hidup kabupaten/kota setiap tahunnya rata-rata 20% (Tahun 2005-2008). Salah satu upaya pemerintah kabupaten/kota untuk menyikapi kondisi tersebut dengan peningkatan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat. Berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan telah mengatur dasar hukum yang terkait upaya pemerintah ini. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan hak kepada setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut juga mengatur, bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peran tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan cara menyampaikan informasi dan/atau laporan. Hak setiap orang untuk melaporkan adanya potensi maupun keadaan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan juga diatur dalam berbagai 28
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang meliputi: 1. Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. 2. Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. 4. Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Dalam rangka menjamin hak dan peran setiap orang, instansi lingkungan hidup di kabupaten/kota wajib mengelola pengaduan masyarakat. Tanggung jawab pengelolaan ini sebagai bentuk pelayanan tindak lanjut terhadap pengaduan tersebut. Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota untuk menerima laporan telah terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan kewajiban untuk segera menindaklanjuti laporan tersebut dimandatkan oleh berbagai ketentuan peraturan perundangan-undangan yang meliputi: 1. Pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. 2. Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 3. Pasal 39 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. 4. Pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan pelaksanaannya tersebut telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Berdasarkan peraturan ini setiap orang yang mengetahui, menduga dan/atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada bupati/walikota atau kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan pengaduan masyarakat, instansi lingkungan hidup kabupaten/kota melalui bupati/walikota atau 29
kepala instansi yang bersangkutan dapat membentuk pos pengaduan lingkungan. Pos pengaduan ini berfungsi sebagai unit kerja yang mengkoordinir pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, bagi instansi yang belum memiliki unit kerja struktural yang bertanggung jawab untuk mengelola pengaduan. Sedangkan bagi instansi yang telah memiliki unit kerja struktural berperan dalam meningkatkan koordinasi kerja antar unit kerja yang terlibat dalam pengelolaan pengaduan masyarakat. Pengaduan masyarakat tentang kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang wajib dikelola oleh instansi lingkungan hidup kabupaten/kota meliputi: 1. Usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya berada pada suatu wilayah kabupaten/kota. 2. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terjadi di wilayah 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut. 3. Usaha dan/atau kegiatan yang penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup kabupaten/kota. 4. Usaha dan/atau kegiatan yang izin usaha dan/atau izin lingkungannya diberikan oleh pejabat kabupaten/kota. B. PENGERTIAN. Dalam petunjuk teknis ini yang dimaksud dengan: 1. Pengaduan adalah pemberitahuan secara tertulis dan/atau lisan mengenai dugaan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. 2. Pengelolaan pengaduan adalah upaya terpadu untuk menerima, menelaah, mengklasifikasi, memverifikasi dan mengajukan usulan tindak lanjut hasil verifikasi serta menginformasikan proses dan hasil pengelolaan kepada pengadu. 3. Mengklasifikasi pengaduan adalah mengelompokkan pengaduan berdasarkan aspek pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup serta aspek kewenangan dari instansi penerima pengaduan. 4. Verifikasi pengaduan adalah kegiatan untuk memeriksa kebenaran pengaduan. 5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran lingkungan hidup mencakup pencemaran air, laut, tanah, dan udara termasuk dalam hal ini yang berbentuk debu, kebauan, getaran dan kebisingan. 30
6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Perusakan lingkungan hidup mencakup perusakan tanah, lahan dan hutan. C.
INDIKATOR DAN CARA PERHITUNGAN. 1. Indikator. Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti. 2. Cara Perhitungan.
Prosentase(%)jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti.
Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti
=
x 100% Jumlah pengaduan yang diterima instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dalam 1 (satu) satu tahun.
3. Contoh Perhitungan: Misalkan : Pada tahun 2009 instansi lingkungan hidup kabupaten/kota menerima 20 (dua puluh) pengaduan. Dari 20 (dua puluh) pengaduan, 10 (sepuluh) pengaduan telah dikelola, sehingga prosentase pengelolaan pengaduan sebesar: Prosentase(%) Jumlah pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan pecemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang ditindaklanjuti.
10 x 100% =
= 20
31
50%
D.
SUMBER DATA. Data didapat dari berbagai sumber, baik secara lisan maupun tertulis antara lain: 1. Masyarakat. 2. Lembaga swadaya masyarakat. 3. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 4. Instansi lingkungan hidup provinsi. 5. Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi atau kabupaten/kota. 6. Media cetak dan elektronik.
E. BATAS WAKTU PENCAPAIAN. 1. 2. 3. 4. 5.
Sampai Sampai Sampai Sampai Sampai
dengan dengan dengan dengan dengan
tahun tahun tahun tahun tahun
2009 2010 2011 2012 2013
: : : : :
50%. 60%. 70%. 80%. 90%.
F. LANGKAH KEGIATAN. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota paling lama dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima pengaduan dari masyarakat melakukan pengelolaan pengaduan dengan tahapan: 1. Mencatat pengaduan dalam buku pengaduan. 2. Menelaah dan mengklasifikasi pengaduan. Telaahan dan klasifikasi pengaduan harus dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya pengaduan. Dalam rangka telaahan dan klasifikasi, dapat dilakukan koordinasi dengan dinas/instansi/pihak terkait. Berdasarkan hasil telaahan dan klasifikasi pengaduan dapat dikategorikan: a. Tidak termasuk pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, segera diteruskan kepada instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dengan tembusan kepada pihak yang mengadukan. b. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, namun bukan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup kabupaten/kota segera diserahkan kepada Kementerian Negara Lingkungan Hidup atau kepada instansi lingkungan hidup provinsi sesuai dengan kewenangannya. Penyerahan pengaduan ini dipantau untuk mengetahui perkembangan penanganannya. c. Termasuk dalam kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dan merupakan kewenangan instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, segera dilakukan verifikasi lapangan paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya telaahan dan klasifikasi. 32
3. Melakukan verifikasi pengaduan. Verifikasi harus diselesaikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Apabila dalam jangka waktu tersebut pelaksanaan kegiatan verifikasi belum selesai dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Verifikasi dilakukan dengan berpedoman pada: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota. d. Pedoman Verifikasi Pengaduan. Berdasarkan hasil verifikasi, tim/petugas verifikasi wajib membuat laporan verifikasi, termasuk mengajukan usulan penanganan paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya verifikasi kepada pejabat yang menugaskan verifikasi. 4. Usulan tindaklanjut. Pejabat yang berwenang di instansi lingkungan hidup kabupaten/kota harus memberikan keputusan menolak atau menerima usulan tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan. Usulan tindak lanjut penanganan dapat berupa pembinaan teknis atau langkah penegakan hukum (administrasi, perdata dan pidana) sesuai dengan hasil verifikasi. Apabila menyetujui usulan tindak lanjut penanganan tim/petugas verifikasi selanjutnya ditindaklanjuti, diajukan atau diteruskan kepada pejabat yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Usulan tindak lanjut penanganan merupakan akhir dari tahapan tindak lanjut (pengelolaan) pengaduan masyarakat yang perlu dilakukan verifikasi. Jenis usulan tindak lanjut penanganan berdasarkan hasil verifikasi meliputi: a. Diteruskan kepada instansi teknis yang berwenang apabila bukan merupakan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. b. Dilakukan pembinaan teknis dan pemantauan, apabila tidak terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. c. Dikenakan sanksi administrasi (oleh pejabat yang berwenang), apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, tetapi tidak mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. 33
d. Dikenakan sanksi administrasi dan/atau penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan atau di luar pengadilan, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, serta telah menimbulkan kerugian bagi orang atau lingkungan hidup. e. Dilakukan sanksi administrasi dan/atau penegakan hukum pidana, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau ada indikasi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelelolaan Lingkungan Hidup. f. Direkomendasikan kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan atau meninjau kembali kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah, apabila telah terjadi pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup karena belum adanya atau kesalahan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah. Mekanisme pengelolaan pengaduan sebagaimana dijelaskan di atas tergambar dalam bagan alir berikut ini. Pengaduan secara tertulis atau lisan
Instansi lingkungan hidup kab/kota 7 hr
Instansi terkait di kabupaten/kota
Telaahan dan klasifikasi pengaduan 7 hr
Bukan pengaduan kasus lingkungan hidup.
Pengaduan kasus lingkungan hidup, bukan kewenangan kabupaten/kota
Pengaduan kasus lingkungan hidup 30hr +30 hr
14 hr
Verifikasi 30 hr + 30 hr
Instansi teknis yang berwenang
Usulan penanganan kepada pejabat yang berwenang
Kementerian Negara Lingkungan Hidup
Instansi lingkungan hidup daerah provinsi
Usulan penanganan oleh 7 hr tim 7 hr
14 hr
Menerima
14 hr
Atasan pengawas/ pemberi perintah
Menolak
Arah tindak lanjut
Gambar 13. Mekanisme pengelolaan pengaduan kasus lingkungan hidup 34
G.
RUJUKAN/REFERENSI. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan antara lain: 1. Undang-Undang: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Peraturan Pemerintah: a. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. b. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. c. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. d. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Air dan Pengendalian Pencemaran Air. 3. Peraturan/Keputusan Menteri: a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 07 Tahun 2001 tentang Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah. b. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 56 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup Bagi Pejabat Pengawas. c. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 58 Tahun 2002 tentang Tata Kerja Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup di Provinsi/Kabupaten/Kota. d. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. 4. Peraturan/Keputusan Kepala Daerah: Peraturan daerah kabupaten/kota atau keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pengelolaan pengaduan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, ttd RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi V MENLH Bidang Penaatan Lingkungan, Ilyas Asaad 35
36