TANGGUNG JAWAB TEKNOKRAT DAN BIROKRAT DALAM UTANG LUAR NEGERI Didik Rachbini
etiap ada pembahasan dan perbincangan kembali tentang masalah utang luar negeri, maka akan ada rasa prihatin, sikap menyesalkan dan bahkan menyakitkan. Mengapa dalam sejarah ekonomi politik Indonesia ada beban sangat berat dari utang luar negeri, yang diwariskan kepada generasi saat ini? Generasi pewaris utang seharusnya tidak bertanggung jawab terhadap beban yang sangat besar tersebut. Generasi pencipta utang pada masa Orde Baru lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap beban ini. Secara khusus, kelompok pengambil keputusan yang paling bertanggung jawab tidak lain adalah teknokrat ekonomi, selain tentunya lembaga kepresidenan dan parlemen. Menguraikan kembali masalah ini seperti membuka luka lama, yang tak pernah sembuh betul. Luka tersebut di masa lalu selalu ditutupi dengan jargon politik berupa kampanye sukses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di permukaan saja. Dampak negatif pembangunan dipoles dengan terapi di permukaan saja, yang sifatnya bukan sebagai penyembuh sebenarnya. Yang lebih menyedihkan, kebijakan utang luar negeri tersebut dijustifikasi secara ilmiah oleh ekonom di dalam pemerintah sendiri dan yang berafiliasi terhadapnya. Tidak ada kritik yang cukup memadai dan adil terhadap praktek pelaksanaan kebijakan utang luar negeri ini sehingga tumpukan utang yang menggunung dianggap wajar (manageable) dan masih dapat dikendalikan melalui kebijakan fiskal (controllable). Kritik yang cukup, bahkan sangat, tajam umumnya datang dari beberapa ekonom yang tidak berafiliasi dengan kekuasaan, seperti Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
Sritua Arief, Rizal Ramli, dan Sri Edi Swasono. Di masa lalu kelompok ilmuwan ini berada di pinggir dengan suara yang minor dan kurang sekai pengaruhnya terhadap perubahan kebijakan publik. Sementara itu, gerakan-gerakan LSM yang bersifat advokasi datang dari aktivis INGI (International Non Government Forum on Indonesia), yang kemudian "dibubarkan" karena desakan pemerintah menjadi INFID (International NGO Forum on Indonesia). Beberapa diantaranya adalah: Abdul Hakim Garuda, Dawam Rahardjo, dan saya sendiri. Kelompok ini juga tidak signifikan pengaruhnya terhadap perubahan
kebijakan
utang
luar
negeri
meskipun
setiap
tahun
menyelenggarakan konferensi tahunan di luar negeri dan menggalang advokasi terhadap pihak luar negeri, seperti Bank Dunia, negara besar dan negara donor lainnya. Ekonom-ekonom tersebut melakukan kritik melalui tulisan di jurnal dan berbagai media massa, tetapi gagasan yang tersebar hanya menjadi arus minor yang tidak banyak mengubah pikiran teknokrat perancang kebijakan fiskal pada waktu itu. Kegiatan para aktivis lainnya, seperti melakukan pertemuan, konferensi (nasional dan internasional) dan tekanan-tekanan yang bersifat advokasi, dianggap "musuh" dan rentan dengan tuduhan tidak nasionalis dan subversif. KESALAHAN INSTITUSI & DESAIN KEBIJAKAN Kegagalan negara (government failure) dalam kebijakan ini telah terjadi dan dampak negatifnya, yang telah meluluhlantakkan sistem perekonomian nasional, tidak dapat dihindari. Sejarah negara-negara berkembang seperti di Amerika Latin sebenarnya sudah memberi pelajaran ekonomi yang sangat berharga karena mendahului kasus di Indonesia. Sayangnya para pengambil keputusan tidak belajar dari kasus sejarah negara-negara lain tersebut. Kini kita hanya dapat menyesali, dan
56
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri berbagai aspek kehidupan ekonomi pada saat ini. Pengeluaran rutin APBN membengkak tidak wajar karena kewajiban pembayaran utang luar negeri, yang begitu besar. Akibatnya, pengeluaran pembangunan tersendat dan APBN sendiri tersiksa berat akibat krisis utang luar negeri tersebut. Setelah 30 tahun hanya ada satu arus pemikiran dan alternatif di luar negara dibungkam, maka ada pula rasa salah pada diri kita yang membiarkan kebijakan tersebut berlangsung terus tanpa kontrol sosial yang memadai. Artinya, tanggung jawab untuk mengontrol kebijakan publik secara tepat juga terpulang ke pundak akademisi dan ilmuwan, termasuk kalangan pers dan masyarakat umumnya. Tetapi pemerintah terlalu kuat dan kukuh dalam sistem kekuasaanya sehingga tidak memungkinkan pertumbuhan alternatif pemikiran yang bersifat korektif untuk memperbaiki kesadaran kolektif (collective consciousness) dari kaum teknokrat di dalam pemerintahan. Rancangan ekonomi-politik kebijakan yang terbuka untuk kritik dan akomodatif terhadap alternatif pemikiran lainnya terlupakan sehingga distorsi pemikiran kolektif di kalangan teknokrat terjadi dengan mudah dalam implementasinya.. Hal tersebut sebenarnya tidak saja penting untuk diperbaiki bila ingin mencapai demokrasi, tetapi juga mutlak diperlukan untuk mendampingi kebijakan ekonomi-politik. Bukti-bukti kegagalan kebijakan publik seperti sistem berlangsung tidak transparan, kondisi tidak seimbang antara negara dengan non-negara, serta tidak ada proses "check and balance" yang memadai ini terlihat pada kasus kebijakan utang luar negeri. Sejak awal, kesalahan rancangan kebijakan pembangunan ekonomi berbasis utang luar negeri ini adalah karena tidak memiliki pilar institusi pendukung non-ekonomi dan kontrol sosial yang memadai. Akibatnya,
kebijakan
tersebut
menghasilkan
proses
penyuburan
perburuan rente pelajaran ekonomi yang marak Rancangan kebijakan yang sebaiknya, menarik berharga darisekali. krisis utang luar negeri seperti (invalid ini. cacat Dampak negatif dari utang luar negeri terlihat jelas pada krisis di
57
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
akan menghasilkan produk yang cacat pula. Hal tersebut terlihat utamanya pada kegagalan kebijakan utang itu sendiri. Dalam masa yang panjang (tiga dekade) kebijakan publik itu berlangsung tanpa kritik yang berarti. Sistem ekonomi-politik tersebut terus berjalan semakin buruk dan terus dilindungi oleh kekuasaan sehingga akhirnya semakin distortif dan kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri dari dalam maupun dari luar. Lambat laun sistem itu keropos, membusuk dari dalam dan ambruk dalam bentuk krisis, yang dirasakan bersama pada saat ini. Faktor apa yang menjadi penyebab utama dari krisis ekonomi ? Jawaban hipotetisnya tidak lain adalah rancangan (design) dari kebijakan ekonomi Orde Baru itu sendiri. There must be something wrong with policy desain. Desain kebijakan ekonomi, yang prosesnya steril dari substansi kelembagaan, proses ekonomi-politik yang baik, dan tidak ada "chek and balance" serta menutup alternatif pemikiran dalam ruang dialektika yang terbuka telah menciptakan distorsi yang semakin dalam dari waktu ke waktu. Jadi, kesalahan desain kebijakan tersebut tidak lain karena ketiadaan kelembagaan, yang menjadi kendaraan untuk membawa proses kebijakan utang tersebut berjalan efektif (M. Ikhsan, 2000). Kegagalan negara yang bersamaan dengan kegagalan swasta terjadi karena sebab-sebab kesalahan institusional, yang bersifat ekonomi politik. Institusi modern yang secara ekonomi politik berfungsi menopang pembangunan ekonomi tidak cukup memadai atau bahkan tidak ada karena norma dan aturan di seputar kebijakan ekonomi adalah aturan informal, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi politik modern. Sementara itu, perancang kebijakan ekonomi di masa Orde Baru sama sekali tidak tertarik (dan secara kolektif bisa dianggap tidak mengerti) arti pentingnya pembentukan institusi ekonomi-politik untuk menopang pembangunan ekonomi. ) ditinjau dari sisi ke-sistem-an dan aspek ekonomi-politik ini
58
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri kekuasaan), yang tertarik dan terinspirasi pemikirannya dengan visi ekonomi politik yang baik, yaitu Mohammad Ikhsan dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Kebanyakan lainnya yang berada di kekuasaan memiliki visi ekonomi politik yang gersang karena proses ekonomi hanya dianggap mesin-mesin sosial yang secara otomatis menggerakkan modal, fiskal, konsumsi, ekspor dan investasi. Kebijakan ekonomi dalam visi gersang seperti ini pada gilirannya dianggap dapat mensejahterakan masyarakat diukur dari peningkatan pendapatan per kapita. Proses ekonomi akan dengan sendirinya dapat "menetes ke bawah" (Trickle down effect), suatu pernyataan yang sering didengar dari ekonom-ekonom itu, yang sekaligus menjelaskan visinya yang kering akan pengetahuan ekonomi politik kelembagaan. Ekonomi dianggap dapat hidup dimana saja tanpa keberadaan insitusi, bahkan dapat hidup di ruang yang hampa. Padalah ekonom seperti Myrdal
telah begitu gamblang menyebutkan tentang makna
institusi di dalam ekonomi. Peranan institusi telah dideteksi oleh pemenang Nobel di bidang ekonomi ini sebagai substansi, yang sangat penting artinya bagi sistem ekonomi dan seluruh dinamikanya (G. Myrdal, 1968). Hal ini kemudian diperkuat oleh ekonom-ekonom pemenang Nobel di bidang ekonomi lainnya, seperti Douglass North, Joseph Stiglitz, dan Ronald Coase. Kelompok ekonom ini justru berhasil memenangkan hadiah paling bergengsi tersebut karena mengaitkan ekonomi dengan institusi (Douglass North & George Stigler, 1990). Hal yang sama dikemukanan pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, dalam memahami kesinambungan pertumbuhan ekonomi Asia (terutama di Jepang) yang memperhitungkan rancangan kombinasi kebijakan negara dan ekonomi pasar yang berhati-hati. Menurut Sen, dalam kuliah Asia Pasifik di Singapura, ada tiga ciri utama dari kebijakan yang menciptakan pertumbuhan ekonomi tidak bahwa persis sama Barat. Pertama, Sejauh ini, saya fantastis mempelajari hanyadengan ada satu ekonom yunior dari Universitas Indonesia dan satu ekonom senior (tetapi tidak di
59
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
negara (pemerintah) dan penggunaan mekanisme pasar, yang sangat berhati-hati. Kedua, proses awal dari tahap pembangunnnya melibatkan penyebarluasan peluang ekonomi seluas mungkin untuk masyarakat melalui reformasi pertanahan (land reform), pendidikan, pelatihan, dan penyebaran kredit. Ketiga, dasar dari gerak pembangunan itu adalah pembangunan pendidikan dasar, yang dilaksanakan sejak awal (Amartya K. Sen, 2000) Kata kunci yang dikemukakan oleh Sen adalah kombinasi kebijakan berdasarkan tindakan negara dan ekonomi pasar, yang berhatihati. Berdasarkan kerangka berpikir Sen tersebut, maka krisis ini dapat dijelaskan sebab-sebabnya antara lain karena kombinasi kebijakan liberalisasi ekonomi pasar yang tidak berhati-hati atau sembrono. Dari penjelasan sebelumnya juga dapat dijelaskan bahwa institusi yang berkembang di dalam domain negara dan interaksinya dengan pihak swasta sangat primitif sehingga merusak proses liberalisasi pasar itu sendiri. Akhirnya rancangan kebijakan ekonomi pasar yang dibangun para teknokrat tersebut ambruk karena kesalahan rancangan institusionalnya, yang rapuh dan tidak mampu mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Hal yang sama saya dengar dalam seminar Wolfgang Kartte ketika memberikan gambaran krisis ekonomi Indonesia, yang terjungkal karena
implementasi
kebijakan
liberalisasi
ekonomi
pasar
yang
berlebihan. Sambil mengejek teknokrat bergaya dan bervisi Amerika, Kartte menganjurkan untuk melakukan seleksi yang efektif terhadap visi kebijakan yang datang dari luar, sembari menyesuaikannya dengan kondisi sosial-politik di lingkungan internal setempat (saya mendengar langsung komentar ringkas ini dalam workshop persaingan usaha di Bonn, Jerman Barat, Oktober 2000). Kebijakan liberalisasi ekonomi pasar tersebut sebenarnya juga merupakan titipan teknokrat ekonom Bank Dunia dan CGI. Terutama pada dekade 1980adalah rancangan kebijakan yang dipilih berhati-hati antara tindakan
60
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri tahun sidang CGI mensyaratkan perlunya diterapkan kebijakan-kebijakan liberalisasi pasar berdasarkan visi dan standar luar dari pihak mereka sendiri tanpa memperhitungkan atau mempertimbang kondisi sosialbudaya dan kelembagaan ekonomi-politik di Indonesia. Jika tidak, Bank Dunia mengancam untuk menunda pemberian utang. Kebijakan ekonomi politik di Indonesia selama ini berada di bawah penjara pikiran liberal ala Bank Dunia dan teknokrat ekonom yang berafiliasi dengan ekonom aliran arus utama (mainstream economists) dan umumnya berkumpul di bawah organisasi Bank Dunia (ILO, "Structural Adjusment: by Whom, for Whom", New Delhi: ILO Asian Employment Proggramme, hal 5-16). Proses kebijakan ekonomi, terutama liberalisasi sektor moneter dan perbankan yang menjerumuskan tersebut, adalah produk kerjasama ekonom Bank Dunia dan teknokrat ekonom, yang juga dilindungi oleh penguasa serta distempel karet oleh parlemen. Inilah kesalahan mendasar dari rancangan kebijakan publik dalam bidang ekonomi tersebut. Pemikiran parsial dari kesadaran kolektif kaum teknokrat dianggap cukup atau bahkan telah sempurna untuk dilaksanakan langsung sebagai basis kebijakan publik. Hal itu terlihat dari dominasi pikiran dan tindakan kalangan teknokrat ini, yang sekaligus enggan berinteraksi dengan ekonom di luarnya maupun kelompok akademisi non-ekonomi lainnya. Rancangan kebijakan ekonomi yang telah dilaksanakan dan menghasilkan krisis yang dirasakan sekarang benar-benar murni datang dari pemikiran kolektif kelompok teknokrat tersebut. Interaksinya hanya dengan kekuasaan saja dan tidak dengan rakyat sehingga menyebabkan orientasi kebijakan itu pun semakin distortif dan semakin jauh dari kepentingan publik. Rancangan
kebijakan
yang
diciptakan
akhirnya
semakin
melenceng dan lebih mengabdi kepada kepentingan penguasa atau kelompok kepentingan di sekitar penguasa. Proses distorsi itu semakin an setelah krisis minyak dan harganya berfluktuasi, setiap
61
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
besar yang tidak banyak jumlahnya. Salah satu distorsi yang amat menonjol adalah kebijakan dan transaksi utang luar negeri serta implementasi proyek-proyeknya sebagai obyek KKN kolektif antara penguasa, birokrat dan pengusaha. Yang jelas-jelas dapat ditunjuk langsung sebagai kelompok paling bertanggung jawab terhadap rancangan kebijakan pembangunan ekonomi ini pada hirarkhi kebijakan (policy level) adalah teknokrat Orde Baru. Kelompok ini bertanggung jawab sebagai inisiator dan promotor hampir seluruh kebijakan ekonomi, yang bertumpu pada utang luar negeri ini. Kelompok teknokrat berperan sangat strategis dalam masa yang panjang sebagai perancang (desainer) tunggal dan "partner" negara-negara donor serta lembaga-lembaga internasional. Kolaborasinya dengan birokrasi, yang secara alamiah berwatak cost maximizer, menjadi lengkap untuk menjadikan utang luar negeri tersebut sebagai obyek yang memberikan peluang terbuka untuk praktek korupsi. Kelompok teknokrat pada 1980-an dan 1990-an, yang umumnya bekumpul di Bappenas dan kementrian ekonomi, mendapat kekuasaan yang sangat besar dan leluasa dalam merancang serta menjalankan desain kebijakan ekonomi. Tidak ada kelompok lain yang mempunyai kekuasaan sangat besar ini sehingga tanggung jawab terbesar dalam kesalahan rancangan berada di pundak kelompok teknokrat ini, karena itu, turunan dan afiliasinya yang terkait pun tidak terlalu layak untuk memimpin pemerintahan di bidang ekonomi setelah krisis terjadi karena kesalahan utama pada rancangan kebijakan. Implementasi kebijakan dalam keadaan dimana sistem politik tidak demokratis, pemerintah tidak transparan dan birokrat pada umumnya korup, telah menyebabkan berbagai distorsi yang lebih besar lagi. Kelompok ini menganggap distorsi tersebut bukan kesalaan "desainer", tetapi merupakan kesalahan penguasa sebagai kontraktor politik Orde Baru. melebar dan kebijakan tertuju pada kepentingan pelaku-pelaku usaha
62
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri Transaksi keuangan publik seperti utang luar negeri tidak mungkin berjalan dengan sendirinya efisien bersama birokrasi, tanpa institusi kontrol yang memadai. Selain itu, syarat-syarat utama bagi transaksi keuangan publik yang sehat adalah clean government dan demokrasi politik terbuka agar memungkinkan publik secara leluasa melakukan kontrol, baik secara langsung melalui pers maupun tidak langsung melalui wakil-wakilnya yang independen di parlemen. Tetapi prasyarat tersebut dilanggar sendiri oleh penguasa dan kelompok kepentingan di sekitarnya. Kalangan teknokrat tidak peduli dengan distorsi ini dan yakin akan kemampuan sistem birokrasi untuk melakukan kontrol internal secara otomatis terhadap segala kebijakan publik dan rangkaian kegiatan untuk melaksanakan implementasinya. Krisis
ekonomi,
yang
diikuti
oleh
reformasi
politik,
telah
menghasilkan "kambing hitam", yang menjadi sasaran sumpah serapah seluruh kekesalan dan dendam sebagian rakyat yang menggumpal selama puluhan tahun. Rakyat dan bangsa Indonesia mengkambinghitamkan Soeharto pada masa reformasi sekarang ini. Perlakuan ini sama persis dengan perlakukan kepada Soekarno pada masa Orde Lama berakhir. Para pemimpin dan elit politik pada jaman gelegar politik dan ekonomi masa dua krisis tersebut lebih mengutamakan pemuasan nafsu politik dan lupa menarik hikmah dari kegagalan sistem ekonomi-politik yang lalu. Reformasi akhirnya memang kemudian jatuh menjadi ajang cacimaki, saling tuding, balas dendam dan saling menjatuhkan satu sama lain. Agenda perbaikan institusi yang buruk di masa Orde Baru masih jauh dari harapan, bahkan cenderung diabaikan. Proses reformasi berhenti pada agenda penumbangan sebuah regim, yang sebenarnya menghadapi kekeroposannya sendiri dari dalam. Konfirmasi kebenaran pikiran seperti ini bisa dilihat dari pertanyaan: "Apa saja institusi baru yang lahir pada
63
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
Komunisme
yang
ambruk
dengan
sendirinya
akibat
pilar-pilar
pendukungnya sudah sangat keropos dan ringkih. Dalam bidang ekonomi-politik tidak ada hikmah pelajaran yang dapat diambil secara kolektif untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat. Golongan yang disebut reformis bersilang pendapat satu sama lain dan tidak pernah berhasil membangun barisan bersama untuk membangun kembali reruntuhan sistem ekonomi-politik lama. Bukti-bukti lemahnya kelompok ini terlihat pula pada proses pemulihan ekonomi yang sangat lambat, jauh dari tuntas dan bahkan masih sangat terbengkalai. Negara-negara lain, yang menghadapi krisis moneter dan ekonomi sama persis dengan Indonesia, telah tuntas menyelesaikan proses pemulihan ekonominya. Nilai tukar, tingkat suku bunga dan indikator makro ekonomi lainnya telah kembali ke dalam posisi normal sejak tahun 1999 yang lalu dan bahkan cenderung semakin baik pada tahun 2000 ini. Sektor Perbankan dan industrinya telah berperan secara normal dengan kapasitas produksi yang optimal seperti sedia kala hanya dalam waktu dua tahun. Keadaan di Indonesia justru sebaliknya sehingga indikator-indikator
makro
masih
jauh
dari
normal,
serta
proses
restrukturisasi perbankan dan dunia usaha masih sulit dituntaskan. Sistem dan institusi lebih layak dipersoalkan ketimbang individu sebagai penyebab utama dari krisis yang terjadi. Meskipun aktor-aktor utamanya
juga
patut
betanggung
jawab
terhadap
sistem
yang
dibangunnya secara kolektif, tetapi krisis terjadi juga karena desain kebijakan yang salah. Jadi, krisis tidak semata-mata disebabkan oleh nakhoda, tetapi juga karena desainnya ringkih terhadap kelabilan sistem moneter global. Lubang besar yang ditinggalkan penguasa dan teknokrat ekonom Orde Baru adalah masalah utang luar negeri ini. Dua kelompok strategis dan fungsional ini (penguasa dan teknokrat ekonom) diketahui sebagai masa krisis ini dan potensial membawa bangsa ini keluar dari krisis?" Jawabnya masih negatif karena keadaan kita relatif sama dengan sistem
64
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri maupun tidak langsung dari transaksi utang negara dengan lembaga keuangan internasional. Desain kebijakan pembangunan seperti ini tidak dapat dipisahkan dari perilaku kolektif segelintir kelompok teknokrat ekonom, yang menjadi "panglima" pembangunan ekonomi selama ini. Penguasa menjadi penanggung jawab, sementara itu teknokrat ekonom menjadi tukang dan pengabsah kebijakan tersebut dari sisi ilmu. Implementasinya yang buruk dan penuh lobang korupsi dilakukan oleh birokrasi yang tertutup, yang tidak mengabdi kepada rakyat melainkan kepada penguasa. Jadi, masalahnya adalah kombinasi antara proses kebijakan publik, desain strategi pembangunan ekonomi dan pelaku-pelakunya. Strategi ekonomi Orde Baru tersebut tidak lain adalah strategi pertumbuhan tinggi, yang didukung oleh utang luar negeri dan ketersediaan sumberdaya alam dalam jumlah yang cukup melimpah sebagai jaminannya. TANGGUNG JAWAB BIROKRASI Selain kesalahan rancangan, kegagalan kebijakan utang luar negeri dapat dikaitkan dengan eksistensi dan karakter lembaga birokrasi, yang menjadi transmisi pelaksanaan proyek-proyek utang luar negeri di lapangan bersama pengusaha swasta. Karena itu, analisis secara teoritis terhadap sifat dan karakter dasar institusi birokrasi ini sangat membantu menjelaskan sebab-sebab kegagalan kebijakan utang luar negeri pada hirarkhi intitusi pelaksananya. Maksud dari analisis ini tidak lain untuk menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya agar sejarah yang pahit sekalipun dapat diambil manfaatnya. Posisi utang luar negeri sekarang adalah hasil kumulatif dari kebijakan fiskal dan moneter, yang dirancang secara sembrono oleh para teknokrat ekonom pada masa itu. Rancangan tersebut secara inheren
motor pembangunan ekonomi, yang bertumpu pada utang luar negeri. Sementara itu, kekayaan alam yang melimpah menjadi jaminan langsung
65
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
yang tidak memiliki kemampuan legal dan profesional untuk melakukan koreksi atas kebijakan yang melenceng dari kepentingan rakyat. Jadilah akhirnya kebijakan utang luar negeri sebagai agenda tetap dan rutin di dalam APBN, yang akhirnya menjadi "candu" ketergantungan memabukkan. Keadaan ini terus berlanjut karena tidak ada perubahan pada sistem ekonomi politik dimana institusi dan proses politik yang menghasilkan kebijakan tidak dapat dikoreksi dari luar. Sistem tersebut telah menerapkan apa yang disebut "redistributive combine", suatu istilah yang diajukan Hernando de Soto untuk regim yang memburu rente bagi dirinya sendiri. Kebijakan digulirkan tidak dalam rangka kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan regim dan pihak-pihak terkait di dalamnya. Pada masa-masa awal bulan madu kerja sama Indonesia dalam hal utang luar negeri dengan negara kreditor menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang melaju cukup baik. Fakta ini sangat lumrah karena merupakan konsekuensi langsung dari suntikan modal dari luar. Mekanisme ini memang merupakan cara yang paling mudah untuk menumbuhkan ekonomi melalui suntikan modal sebanyak-banyaknya. Jalan pintas seperti ini merupakan cara bagi institusi negara untuk menjadi lokomotif segalanya (ekonomi dan sosial-politik), tetapi hanya bersandar pada utang luar negeri dan eksploitasi sumberdaya alam (hutan, tambang, dan sebagainya). Meskipun banyak kebocoran-kebocoran yang terjadi -- juga dalam banyak kasus di berbagai negara penerima utang -- tetapi dampaknya terhadap ekonomi masih terlihat cukup nyata. Keberhasilan sementara tersebut menutupi segala akumulasi distorsi dan potensi kegagalan yang tertunda. Tetapi pada saat yang sama, proses pembangunan tersebut memupuk
beban
yang
berat,
yang
pada
gilirannya
nanti
akan
mengganggu jalannya kelemahan, roda perekonomian itu sendiri. telah mengandung yang kemudian dilaksanakan secara boros tiba saatnya membayar kembali -- sementara hasil-hasil oleh Bila birokrasi. Sementara itu, parlemen hanya menjadi "stempel karet", produktif dari investasi dana utang luar negeri tersebut tidak memadai
66
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri maka krisis yang tertunda tersebut mulai terjadi. Akhirnya, generasi pencipta utang memang kemudian mewariskan tumpukan beban pada generasi berikutnya (sebagai penerima utang), yang sekaligus menjadi pencuci piringnya setelah pesta memabukkan selama dua dekade 1970an dan 1980-an usai. Generasi pencipta utang pada masa Widjojo Nitisastro tidak menerima beban berat untuk membayar utang luar negeri tersebut. Generasi pembayar utang setelah pesta pora tersebut harus menanggung akibat yang begitu mendalam, berat, dan tidak mudah diselesaikan. Ketidakadilan antar generasi ini tidak ada yang menjembatani sehingga generasi intelektual muda cenderung membenci sejarah ekonominya sendiri. Itulah sebenarnya yang terjadi pada pertengahan 1980-an atau sekitar 15 tahun setelah desain kebijakan utang luar negeri mulai menampakkan masalah. Pada pertengahan 1980-an ini utang luar negeri mengalami krisis karena debt service ratio atau DSR -- perbandingan antara dana untuk pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap devisa dari ekspor per tahun -- sudah melampaui garis merah. Kewajiban utang luar negeri pemerintah yang harus dibayarkan sudah melebihi utang luar negeri yang diterima. Utang luar negeri yang mengalami defisit tidak dicegah secara efektif oleh DPR dan tidak diingatkan publik secara luas (termasuk pers). Diskursus publik tentang substansi utang luar negeri ini sangat tidak memadai karena kebenaran suatu proses kebijakan publik sudah dimonopoli oleh empu-empu teknokrat ekonom, yang berada di Bappenas dan departemen-departemen ekonomi pada waktu itu. Selama 15 tahun itu pula utang luar negeri, yang dianggap pelengkap (supplement) di dalam
kebijakan
fiskal
Indonesia
justru
semakin
menjadi-jadi
pertumbuhannya dari tahun ke tahun. Tidak ada tanda-tanda ke arah
--
67
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
Sementara itu, pemerintah memasang "palu godam" subversif untuk pengritik utang luar negeri. Di antara yang ditindas pada waktu itu adalah aktivis-aktivis INFID, LP3ES, LBH, YLKI, dan sejumlah LSM. Kelompok-kelompok pengritik ini dianggap sebagai minoritas yang tidak tahu diri. Bahkan dianggap tidak rasional karena rancangan pembangunan ekonomi dengan utang dianggap telah menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran yang memadai untuk rakyat. Akhirnya suara-suara tersebut lenyap begitu saja, sementara regim ekonomi semakin ringkih dan busuk dari dalam sehingga mengalami krisis dengan mudah. Dengan cara tersebut, teknokrat ekonom dan pembantupembantu presiden lainnya melenggang sangat leluasa melakukan transaksi utang luar negeri, tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya. Kelompok kecil cendekiawan yang menjadi penguasa bidang ekonomi mempunyai otoritas yang sangat besar, sebagai derivat kekuasaan regim Orde Baru yang besar pula. Perilaku teknokrat tersebut tidak terbendung oleh siapa pun sehingga proyek apa pun dapat dibuat (termasuk yang sekadar untuk tambahan nafkah) karena jumlah anggaran yang disediakan melalui utang luar negeri sangat besar. Pengeluaran pemerintah memang tidak disesuaikan dengan potensi dan kemampuan internal sendiri. Tabiat birokrasi dan pembuat keputusan betul-betul tersalurkan secara leluasa tanpa kontrol sosial dari "civil society", terutama melalui perilakunya sebagai "cost maximizer". Dengan meningkatkan biaya pembangunan atau apa pun yang terkait dengan pengeluaran fiskal sesungguhnya telah merupakan pemborosan sekaligus sebagai suatu pada tahap awal penyimpangan lanjutan. Penyimpangan tersebut kemudian melembaga ke dalam birokrasi dan terus meluas dalam hubungannya dengan swasta melalui kontrak-kontrak proyek yang tidak efisien. Dalam keadaan dimana sistem politik tertutup dan seluruh elemen kontrol sosial sangat lemah (termasuk DPR), maka transaksi negeri merupakan jawaban terhadap pemenuhan mandiriutang dari luar perkembangannya selama periode tersebut, baik hobi melalui tersebut. korupsi dalam skala yang masif terjadi dalam koreksiPemborosan pengeluarandan maupun penurunan utang.
68
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri mekanisme
utang
luar
negeri
ini
sehingga
begitu
sulit
untuk
memberantasnya. Birokrasi tanpa kontrol sosial dan sistem politik yang terbuka adalah nonsense akan bersih dan profesional. Kondisi inilah yang dilupakan oleh teknokrat ekonom di masa yang lalu sehingga anggapan "semakin banyak utang semakin tinggi pertumbuhan ekonomi" ternyata salah sama sekali. Pertumbuhan yang terjadi justru karena injeksi utang luar negeri yang besar dan eksploitasi sumberdaya alam yang melebihi batas kesinambungannya. Justru lewat mekanisme utang luar negeri tersebut pemborosan dan korupsi semakin subur terutama karena dukungan sistem politik yang tertutup dan tanpa kontrol sosial yang memadai. Semakin besar jumlah utang luar negeri, maka semakin besar pula jumlah pemborosannya. Fakta-fakta seperti ini bisa dilihat di lapangan di mana banyak sekali proyek-proyek utang luar negeri ternyata tidak efisien, mahal, bahkan penuh mark up. Tidak hanya di dalam negeri, utang luar negeri juga telah mengalami pemborosan sejak dari negara donornya, terutama melalui penyaluran barang-barang yang harganya lebih mahal dari harga pasar. Konsultan-konsultan
dikirim
sebagai
bagian
dari
technical
assistance dengan gaji tidak rasional karena ekstra besar sehingga justru menjadi beban berat bagi Indonesia karena dibiayai dari utang luar negeri tersebut. Tidak sedikit dari utang luar negeri tersebut hanya sekadar proyek pembodohan belaka, yang disalurkan melalui birokrasi dengan hobi cost maximizer tadi. Transaksi utang luar negeri, yang telah dibatasi dengan garis merah tersebut tetap dilanggar oleh pemerintah dan teknokrat-teknokratnya sendiri, akibatnya, utang luar negeri menjadi bagian dari tempat bergantung yang laten di dalam APBN. Kemaruk terhadap ut
69
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1, No. 1, September 2001: 55-71
Transfer negatif keluar sesungguhnya telah terjadi sejak tahun 1986, tetapi sampai saat ini APBN tidak lepas dari ketergantungannya terhadap utang luar negeri. Sejauh ini tidak ada pula upaya-upaya kebijakan yang nyata untuk melepaskan diri dari lilitan utang luar negeri tersebut. Tidak ada tanda-tanda bahwa hal tersebut sebagai suatu awal dari krisis kecil, yang kemudian memberi kontribusi besar terhadap krisis akumulatif pada masa berikutnya. APBN dijalankan sebagaimana mestinya tanpa kritik yang memadai dengan tiang gantungan utang yang besar, tetapi mencekik pengeluaran-pengeluaran lainnya (pengeluaran rutin maupun pembangunan). Kritik-kritik dari kalangan ilmuwan telah dianggap sebagai suatu suara yang tidak bermanfaat (Lihat Prisma dan Kompas). Suara-suara di luar negara diabaikan sehingga istilah "anjing menggonggong kafilah berlalu" menjadi sangat terkenal. Lama-lama pemerintah Orde Baru menjadi tidak peka atau bahkan tuli terhadap kenyataan yang berkembang di luar, yang akhirnya bermuara pada ledakan ketidakpuasan publik menjadi gerakan reformasi, yang dimotori mahasiswa. Utang luar negeri pada dasarnya adalah penciptaan krisis yang tertunda. Tahun-tahun awal dari transaksi utang luar negeri tersebut menyemburkan harapan karena persoalan pangan dan kebutuhan investasi sektoral terpenuhi. Akan tetapi birokrasi yang mencandu utang tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungannya tanpa ada koreksi dari luar, yang memadai. Sementara itu, elemen "civil society" masih sangat lemah.***
ang luar negeri akhirnya menjadi candu politik dan ekonomi, sehingga proses transaksi utang luar negeri seperti gali lubang tutup lubang.
70
Didik J. Rachbini Tanggung Jawab Teknokrat dan Birokrat dalam Utang Luar Negeri
DAFTAR P USTAKA Ikhsan, M. 2000. "Reformasi Institusi dan Pembangunan Ekonomi". Jakarta. Jurnal Demokrasi dan HAM, September-November 2000, Vol 1, No. 2, Hal. 30-58 Myrdal, G. 1968. Asian Drama: An Inquiry into Poverty Nations, New York: Vintage Books. North, Douglass. 1990. Institutions, Institutional Change Performance. New York: Cambride University Press.
and
Economic
Sen, Amartya K. 1999. Beyond the Crissis: Development Strategis in Asia. Singapore: ISEAS. ----------. 2000. Demokrasi Bisa Membrantas Kemiskinan. Bandung: Mizan. Stigler, George. Memoirs of An Unregulted Economist.
71
New York: Basic Books.