Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PEMBERIAN LABEL HALAL PADA PRODUK MAKANAN DAN MINUMAN PERSPEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN RESPONSIBILITY PRODUCER CONCERNING GIVING LEGAL FOODS PRODUCT CONSUMER PROTECTION LAW PERSPECTIVE 1
Kurniawan, Budi Sutrisno, dan Dwi Martini * Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Mataram Jalan Majapahit Nomor 62 Mataram, Telp. (0370) 633035, Kode Pos 83125
ABSTRAK Masalah Label produk makanan sangat penting karena sebagian konsumennya adalah kalangan muslim dimana secara statistik lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Kegiatan mengkonsumsi suatu bahan pangan bagi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk Untuk menjamin kehalalan suatu produk, maka oleh produsennya produk tersebut harus dimohonkan sertifikasi halal sebelum dipasarkan bagi konsumen beragama Islam. Bagi setiap produsen yang hendak mendapatkan mencantumkan label halal pada produknya diharuskan untuk mengikuti proses atau tahapan memperoleh fatwa halal yang terdiri dari pra- pendaftaran dan pendaftaran hingga penerbitan fatwa halal/sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh komisi fatwa MUI. Akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administatif. Selain itu akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah yang pada dasarnya sangat merugikan konsumen muslim adalah dalam bentuk tanggung jawab pelaku usaha tersebut terhadap konsumen, dimana tanggung jawab pelaku usaha tersebut berupa tanggung jawab produk yaitu diartikan sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Key words : tanggung jawab, label halal, hukum.
ABSTRACT Problem of label foods product very important because a part consumer is in muslim circle whereas in statistics more than 80% Indonesian occupation is Islam religion Consume activity certain of material foods for muslim it just not only for fulfill hungry but more than worship to God. For ensure the permitted of product then by producer, that product must imploring certification of permitted before marketing for muslim consumer. For every produser going to having include label product in their product it must following process or stage to get permitted instruction consist of pre registration and registration up to publication of permitted certificate graduated by MUI after permanently of permitted status by instruction commision of MUI. Consequences law for producer carry out
80
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
inclusion of permitted label of product illegal from clause of UU Consumer Protection although UU No. 7 years 1996 about Label and Foods and PP No 69 years 1999 about Label and Foods Advertising there are three categories, producer can be allowed acted crime, civil although administratif. Besides that consequences law for producer that include permitted label of foods roduct, illegal actually really adverse the muslim consumer is like responsibility from producer to consumer, in other wise responsibility of producer like product responsibility it means responsibility product for that product bring along in currency that have made or included loss because flawed at that product. Keywords : responsibility, permitted label, law. PENDAHULUAN Bagi mayoritas masyarakat Indonesia masalah label produk makanan dan minuman sangat penting karena sebagian besar konsumennya adalah beragama islam (muslim). Prinsip bagi seorang muslim adalah „makan untuk hidup‟ bukan „hidup untuk makan‟. Kedua pernyataan tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Jika makan untuk hidup berarti menyadari bahwa aktifitas makan hanyalah salah satu alat untuk tetap bertahan, sedangkan hidup untuk makan berarti aktifitas hidup hanya untuk makan. Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal 2 MUI. Makanan yang baik atau halal adalah makanan yang dianggap baik oleh naluri kemanusiaan yang normal, atau dianggap baik oleh semua manusia. Bagi orang Islam ada satu faktor yang jauh lebih penting lagi yaitu kaitannya tentang halal atau haram suatu makanan. Umat Islam diajarkan memakan makanan yang bersih dan sehat. Islam sangat memperhatikan tentang sumber dan kebersihan makanan, cara memasak, menghidangkan dan 3 memakan makanan.
2
Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM, MUI, lembaga pengkajian pangan obat-obatan dan Kosmetika majelis ulama Indonesia 2008, hal.7 3 Santhi Rukminitia, Kiat Belanja Produk Halal dan Toyyibah, diakses melalui http://daffaliem.blogspirit.com/archive/2006/02/2
Untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu produk pangan dahulu bukan merupakan persoalan yang sulit, karena bahan-bahannya dapat diketahui secara jelas, serta prosesnya tidak terlalu rumit. Pada masa kini persoalan kehalalan suatu produk makanan maupun obatobatan sering dipertanyakan karena proses pembuatan yang rata-rata menggunakan teknologi canggih. Dari sudut pandang agama terutama Islam sering dihadapkan pada pertanyaan, ”halalkah kita mengkonsumsi makanan ini, atau sahkah kita menggunakan obat atau kosmetika itu?” Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka rumusan permasalahan yang diangkat adalah bagaimana mekanisme mendapatkan sertifiat label halal pada produk makanan dan minuman menurut aturan hukum positif di Indonesia, dan apa akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan secara tidak sah sehingga merugikan konsumen. Label adalah tulisan yang tercetak pada kemasan yang berisi informasi 4 singkat tentang produk yang dikemas . Secara umum label terdiri dari nama produk, komposisi ingredien (bahan penyusun) produk, nama dan alamat produsen atau importir, lot dan tanggal produksi, batas kadaluarsa, dan berat bersih. Informasi niali gizi, dan cara penyajian untuk beberapa produk tertentu juga sering dicantumkan. 5 Isi dari label adalah sebagai berikut : 1. Daftar ingredient; 2. Standardized Food; 3. Nutritional Claim. Beberapa nutritional claim yang sering digunakan antara lain : 8/kiat-belanja-produk-halal-dan-thoyyib.html, tanggal 12 Pebruari 2009. 4 Ibid 5 Ibid
81
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
a. kalori, dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1) Low calorie (rendah kalori); 2) Reduced calorie 3) Sugar Free/Sugarless/no sugar b. Garam, yang terdiri atas : low (rendah), very low (sangat rendah), reduced (dikurangi) salt free (bebas garam), dan dietary supplement(suplemen). 1) Code Dating; 2) Universal produk Code (UPC); 3) Expired Date (tanggal kadaluwarsa); 4) Simbol.
proses produksi kontemporer tidaklah mudah. Dalam proses pengolahan pangan, yang menjadi perhatian adalah terjadinya pencampuran (ikhtilath), atau jika bahan tersebut dikeluarkan kembali dari produk, setidaknya akan terjadi pemanfatan (intifa’) bahan yang mungkin berasal dari bahan yang haram atau najis. Sebagai contoh, produksi kue/biskuit yang banyak melibatkan bahan tambahan makanan (misalnya pengemulsi, rennet) yang biasanya diperoleh dari bagian tubuh hewan-hewan tertentu. Bahan-bahan tersebut harus dipastikan hewannya bukan hewan yang diharamkan, kemudian harus dipastikan cara penyembelihannya sesuai dengan syariat islam dan harus dipastikan cara pengolahannya tidak melibatkan/bercampur bahan yang diharamkan. Di sinilah pentingnya otoritas yang mendapat legitimasi publik (MUI) untuk melakukan tugas yang tidak mungkin dilakukan masing-masing individu. Sekarang setelah otoritas publik tersebut menjalankan fungsinya, seberapa peduli kita dengan pesan MUI melalui logo halalnya? 2. Simbol tentang keamanan plastik kemasan produk makanan. Logo-logo di samping sebenarnya merupakan lambang yang digunakan untuk pengelompokan daur ulang plastik berdasarkan kode angka yang ada di dalamnya. Kode ini dikeluarkan oleh The Society of Plastic Industry pada tahun 1988 di Amerika Serikat dan diadopsi pula oleh lembaga-lembaga yang mengembangkan sistem kode, seperti ISO (International Organization for Standardization). Dalam pemakaian untuk kemasan makanan, kode ini menunjukkan tingkat keamanan plastik untuk digunakan sebagai kemasan makanan (food grade). Plastik dengan logo yang berkode angka 1 berbahan PET (polyethylene terephthalate), angka 2 berbahan HDPE (high density polyethylene), angka 3 berbahan PVC (polyvinyl chloride), angka 4 berbahan LDPE (low density polyethylene), angka 5 berbahan PP (polypropylene), angka 6 berbahan PS (polystyrene) dan angka 7 berbahan SAN styrene acrylonitrile, ABS-acrylonitrile butadiene styrene, PC-polycarbonate, dan Nylon. Tingkat keamanan plastik tersebut adalah sebagai berikut: a. Kode 4 dan 5; relatif sangat aman dan kode 5 merupakan
Beberapa ini beberapa simbol yang umum ada pada kemasan antara 6 lain yaitu sebagai berikut : 1. simbol tentang kehalalan produk. Logo di samping adalah identifikasi resmi yang diberikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap produk-produk yang telah lolos uji halal yang dilakukan oleh LP POM MUI. Meskipun bukan otoritas pemerintah, tetapi sejauh ini (sampai sekarang RUU Jaminan Produk Halal masih dibahas di DPR) MUI-lah yang memegang sertifikasi produk halal. Sertifikasi halal secara resmi dari MUI ditunjukkan dengan logo berupa tulisan halal (Indonesia dan Arab), yang dilingkari dengan tulisan nama lembaga MUI (Indonesia dan Arab), kemudian di bawahnya dilengkapi dengan nomor sertifikatnya. Namun, karena hingga sekarang di Indonesia belum ada standar label halal (dari pemerintah) sehingga beberapa produk yang menggunakan label halal ada yang belum mendapatkan sertifikat halal dari pihak yang berwenang. Biasanya produk yang mencantumkan logo halal yang tidak resmi MUI (tidak ada nomor sertifikasi) karena belum menyelesaikan sertifikasi MUI, tetapi berkeyakinan seluruh bahan produknya halal. Konsekuensinya kita harus senantiasa berhati-hati karena produk yang belum mencantumkan logo tersebut atau sudah mencantumkan tapi logonya tidak standar meskipun belum tentu haram tapi juga belum tentu halal. Hal ini karena memastikan kehalalan produk dalam 6
http://pujohari.wordpress.com/2009/05/20/seber apa-peduli-kita-dengan-simbol-simbol-ini/, diunduh tanggal 12 Januari 2014
82
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098 pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi. b. Kode 1 dan 2; aman untuk pemakaian satu kali sehingga direkomendasikan hanya digunakan untuk satu kali pemakaian. c. Kode 3 dan 6; tergolong plastik yang berbahaya dan direkomendasikan untuk dihindari. Plastik berkode angka 3 merupakan bahan yang paling sulit didaur ulang. d. Kode 7; yang berbahan PC dianjurkan untuk tidak digunakan sedangkan yang berbahan SAN dan ABS relatif aman digunakan untuk kemasan makanan. 5. 3. simbol tentang keamanan dan kelayakan makanan untuk dikonsumsi. Produk makanan yang aman dan layak dikonsumsi harus telah melewati uji standar kesehatan dan keamanan yang ditandai dengan kode legalitas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), atau bagi industri rumah tangga dengan pemasaran lokal oleh dinas kesehatan setempat. Kode legalitas tersebut sebagaimana simbol dalam gambar di samping. Kode BPOM MD untuk produk dalam negeri, kode BPOM ML untuk produk luar negeri, kode BPOM SP untuk produk industri kecil sampai menengah dan kode Dinkes P-IRT untuk industri lokal yang kebanyakan industri kecil (rumah tangga). Perhatian terhadap kode legalitas ini menunjukkan dua bentuk kepedulian sekaligus. Kepedulian pertama adalah kepedulian terhadap tingkat kesehatan dan keamanan konsumsi keluarga kita. Selain itu, dengan mengisi sebagian keranjang belanja dengan produk makanan berkode SP atau P-IRT juga mewujudkan kepedulian kita terhadap pengembangan usaha kecil dan menengah yang merupakan sektor kerja yang menghidupi sekitar 90% masyarakat Indonesia. 4. Simbol atau data tentang komposisi bahan. Sebelumnya kita memang kita harus memiliki pengetahuan yang cukup untuk
Vol.18 No. 1
memilih bahan makanan yang perlu diwaspadai. Kemudian pastikan tertulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia dan tercetak dengan menggunakan huruf latin untuk membuktikan bahwa produk tersebut telah melewati sensor Pemerintah. Selain itu, pengetahuan yang cukup juga diperlukan mengingat sebagian produsen makanan tidak merinci bahannya, terutama bahan tambahan makanan (BTM) yang biasanya hanya ditulis bahasa umumnya, seperti pengemulsi, pewarna, dll. BTM perlu diwaspadai terkait kerawanan status kehalalan dan keamanannya. Sebagian BTM dicantumkan dalam kode huruf E diikuti 3 angka di belakangnya. Kode yang perlu diwaspadai antara lain E252 (berasal dari hewan atau tumbuhan), E334 (dari limbah pembuatan anggur/wine) dan E335-E337 serta E-353 (turunan asam tartarat yang dapat berasal dari limbah pembuatan anggur/wine). Simbol yang menunjukkan kelayakan produk makanan untuk dipasarkan. Keterangan tentang kelayakan produk dipasarkan umumnya ditandai dengan simbol trade mark dan copyright. Registered Trade Mark, dilambangkan dengan huruf R dalam lingkaran yang menunjukkan bahwa merek dagang tersebut telah terdaftar di kantor paten negara asal produk. Sedangkan Copy Right, dilambangkan dengan huruf C dalam lingkaran yang menunjukkan bahwa huruf dan dekoratif yang terdapat pada label terdaftar di kantor paten telah dilindungi dari pembajakan. 6. Simbol-simbol lain yang tetap harus diperhatikan. Selain simbol-simbol di atas masih ada beberapa keterangan antara lain tentang tanggal kadaluarsa yang dilambangkan dengan tulisan tanggal pada salah satu bagian kemasan produk, juga simbol yang memberikan pesan agar sampah kemasan dikelola dan dibuang dengan baik yang juga patut kita perhatikan. Sertifikat Halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam. Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman LABEL
83
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
HALAL pada kemasan produk dari 7 instansi pemerintah yang berwenang. Pengadaan Sertifikasi Halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun ketidaktahuan seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal. Makanan halal dalam Islam antara lain makanan yang tidak mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang dalam hukum Islam, tidak mengandung benda najis sesuai hukum Islam, tidak diproses atau dikilang dengan menggunakan alat yang tidak bebas dari najis, pada sat pemrosesan atau penyimpanan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan benda-benda yang mengandung najis. Makanan dikatakan halal yaitu makanan yang diizinkan bagi seorang muslim untuk memakannya. Sedangkan makanan yang haram adalah terlarang seorang muslim untuk memakannya. Adapun ciri-ciri 8 makanan yang halal apabila ; 1. Tidak berbahaya atau mempengaruhi fungsi tubuh dan mental yang normal; 2. Bebas dari “najis” (filth) dan produk tersebut bukan berasal dari bangkai dan binatang yang mati karena tidak disembelih atau diburu; 3. Bebas dari bahan yang berasal dari babi dan beberapa binatang lain yang tidak dapat dimakan oleh seorang muslim kecuali dalam keadaan terpaksa; 4. Diperoleh sesuai dengan yang sudah ditentukan dalam syariat Islam Sebaliknya ciri makanan yang haram adalah 9 : 1. Berbahaya dan berpengaruh negatif pada fisik dan mental manusia; 2. mengandung “najis (filth)” atau produk berasal dari bangkai, babi,
binatang lain yang tidak dapat dimakan oleh seorang muslim; 3. Berasal dari binatang yang diizinkan, tetapi tidak disembelih dengan aturan yang telah ditetapkan (secara Islam) dan tidak dilakukan sepatutnya.
7
http://riau1.kemenag.go.id/file/dokumen/TataCa raSertifikasiHalal.pdf diunduh tanggal 10 Januari 2014. 8 Syekh Muhammad Yusuf Qardlaawi, Halal dan Haram Dalam Pandangan Isalam (1980) diakses di www.google.com 9 Ibid
METODE PENELITIAN 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang mengkaji dan menganalisis peraturan perundangundangan, asas-asas hukum dan norma-norma hukum berkaitan dengan mekanisme pemberian label halal produk makanan dan minuman pada pelaku usaha. 2. Metode Pendekatan Adapun metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini 10 adalah: 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan dengan menelaah semua peraturan atau regulasi berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti; 2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan dengan mengkaji pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum; 3. Pendekatan kasus (casus approach) yaitu pendekatan dengan melihat dan mengkaji kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti. 3. Bahan hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bahan-bahan hukum yang bersumber dari Undang Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Pangan, Peraturan-peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan objek yang diteliti. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang difungsikan untuk menjelaskan bahan-bahan 10
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitan Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal. 248.
84
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder ini dapat berupa pendapat atau komentar-komentar ilmiah para sarjana, yang dimuat dalam artikelartikel, jurnal-jurnal hukum, dan media ulasan ilmiah lainnya. c. Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang dimaksudkan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum dan lainlain. 4. Teknik dan Alat Pengumpul Bahan Hukum Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yaitu dikumpulkan bahan-bahan kepustakaan baik berupa peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, makalah-makalah, jurnal-jurnal hukum maupun pendapat sarjana. 5. Analisis Bahan Hukum Bahan hukum hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara mendalam, holistic dan komprehensif. Bahan hukum yang dianalisis adalah menyeluruh (comprehensive) dan merupakan satu kesatuan yang bulat (holistic).
obatan dan Kosmetika) adalah lembaga yang berwenang menetapkan suatu 11 produk berhak memiliki label Halal. Menurut Stanton dan William (2004:282) label adalah bagian sebuah produk yang membawa informasi verbal tentang produk atau tentang penjualnya. Sebuah label bisa merupakan bagian dari kemasan atau pula etiket (tanda pengenal) yang dicantumkan pada produk. Stanton dan J william (2004:282) membagi label 12 kedalam tiga klasifikasi yaitu : a. Brand Label, yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada kemasan. b. Descriptive Label, yaitu label yang memberikan informasi objektif mengenai penggunaan, konstruksi/pembuatan, perhatian/perawatan, dan kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan dengan produk. c. Grade Label, yaitu label yang mengidentifikasikan penilaian kualitas produk (product‟s judged quality) dengan suatu huruf, angka, atau kata. Misal buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A,B dan C.
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Mekanisme mendapatkan Label Halal pada Produk Makanan dan Minuman Menurut Hukum Positif di Indonesia. Bagi orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Untuk meyakinkan mutu dan kualitas produk yang ditawarkan kepada para konsumen, para pengusaha biasanya memberikan jaminan berupa nomor registrasi produk yang tertera pada kemasan sebagai pengakuan bahwa produk yang dijual tersebut telah memenuhi standard yang ditetapkan oleh lembaga/badan yang ditunjuk pemerintah, misalnya Dinas Kesehatan, BPOM, dan juga MUI. Majelis Ulama Indonesia, melalui sub organisasinya, yaitu LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-
Produk Halal adalah produk yang dikategorikan aman menurut syariat Islam. Label halal tersebut biasanya diberikan pada produk makanan, minuman, obatobatan, maupun kosmetika yang telah memenuhi standar menurut kaidah-kaidah Islam, baik yang menyangkut komposisi bahan, proses pembuatan, dan tempat produksinya. Untuk berhak menggunakan label “Halal” pada kemasan produk yang diproduksi ataupun pada tempat usaha seperti restaurant dan catering, produsen harus mengajukan sertifikasi halal ke 13 LPPOM.
11
http://www.kerjausaha.com/2013/01/prosesmendapatkan-sertifikat-halal.html, diunduh tanggal 12 Januari 2014 12 Yuli Mutiah Rambe dan Syaad Afifuddin, Pengaruh pencantuman label halal pada kemasan mie instan terhadap minat pembelian masyarakat muslim (studi kasus pada mahasiswa universitas al-washliyah, medan), Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, Desember 2012, hal. 37-38 13 Ibid
85
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
Selama ini orang atau masyarakat menganggap bahwa suatu produk disebut halal kalau tidak mengandung bahan-bahan yang secara eksplisit dilarang oleh agama misal unsur-unsur dari daging babi, alkohol, 14 natrkotika dan lain-lain.
dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Agama dengan memperhatikan pertimbangan dan saran Lembaga Keagamaan yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Dalam bagian pejelasan disebutkan bahwa Lembaga Keagamaan yang dimaksud adalah Majelis Ulama Indonesia mengingat bahwa MUI merupakan wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan cendekiawan muslim yang dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (iftat) yang terjadi di 15 Indonesia. Dalil hukum di atas memberi arahan bagi setiap produsen yang hendak mendapatkan mencantumkan label halal pada produknya untuk mengikuti proses atau tahapan memperoleh fatwa halal tersebut, berikut merupakan ketentuan pra- pendaftaran yang harus 16 diikuti oleh perusahaan: 1. Sebelum produsen mengajukan sertifikat halal terlebih dahulu harus mempersiapkan sistem jaminan halal. Penjelasan rinci tentang sistem jaminan halal dapat merujuk kepada buku panduan penyusunan sistem jaminan halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI 2. Berkewajiban mengangkat secara resmi seorang atau tim Auditor Halal Internal (AHI) yang bertanggung jawab dalam menjamin pelaksanaan produksi halal. 3. berkewajiban menandatangani kesediaan untuk diinspeksi secara mendadak tanpa pemberitahuan sebelumnya oleh LPPOM MUI 4. membuat laporan berkala setiap 6 bulan tentang pelaksanaan sistem jaminan halal.
Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang label pangan yang menyatakan bahwa: “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label”. Ketentuan di atas ditujukan untuk menunjang jaminan kehalalan bagi konsumen muslim, karena mengkonsumsi makanan dan minuman halal bagi pemeluk Islam tidak sebatas memenuhi kebutuhan hidup saja tapi merupakan bentuk aplikasi ajaran agama. Disebutkan dalam Al Quran surat Abasa 24 bahwa “hendaklah manusia itu memperhatikan barang-barang yang dikonsumsi dan yang digunakannya”. Jaminan inilah yang berusaha ditegaskan pula oleh Undang-undang perlindungan konsumen Indonesia No. 8 tahun 1999 dengan mengancamkan sejumlah sanksi bagi pelaku usaha yang tidak mengikuti ketentuan mengenai labelisasi halal. Sedangkan mengenai kompetensi MUI dalam menerbitkan sertifikat halal ditegaskan oleh Pasal 11 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “untuk mendukung kebenaran pernyataan halal sebagaimana dimaksud Pasal 9 Ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan, wajib memeriksakan terlebih dahulu pangan tersebut pada lembaga pemeriksa yang telah diaktreditasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berbeda”. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa: “pemeriksaaan sebagaimana yang
Adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum pendaftaran sebagaimana tertera diatas, menunjukkan adanya upaya untuk menjamin kehalalan produk tersebut sesuai syariat Islam yakni untuk memjamin 15
14
http://riau1.kemenag.go.id/file/dokumen/Ta taCaraSertifikasiHalal.pdf diunduh tanggal 10 Januari 2014.
Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama RI, 2003. hal 6 16
http://riau1.kemenag.go.id/file/dokumen/Tata Cara Sertifikasi Halal.pdf diunduh tanggal 11 Desember 2013.
86
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
kehalalan dzatnya, halal cara memperolehnya, halal cara memprosesnya, halal dalam penyimpanannya, halal dalam pengangkutannya dan halal dalam 17 penyajiannya . Setelah melalui tahapan prapendaftaran diatas, berikutnya produsen harus mengikuti prosedur pendaftaran hingga penerbitan fatwa halal sebagai 18 berikut : 1. Mengisi formulir permohonan yang disediakan oleh LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, obat-obatan dan Kosmetika) MUI yang disediakan di kantor MUI dengan melampirkan: a. permohonan pencantuman tulisan / logo halal pada label pangan b. Photocopy sertifikat (pilihlah salah satu jenis produk) 1) Sertifikat persetujuan pendaftaran/ ijin edar MD/ ML dari Badan POM RI; 2) Sertifikat No. P-IRT dari Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota untuk pangan produksi industri rumah tangga; 3) Sertifikikat laik higiene dan sanitasi dan ijin usaha boga yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota (untuk rumah makan atau katering) c. Daftar nama produk dan jenis produk yang diajukan untuk sertifikasi dan labelisasi Halal. d. Daftar komposisi bahan-bahan yang digunakan dalam produksi berupa bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan penolong untuk setiap jenis produksi yang diajukan, diurutkan dalam jumlah bahan yang terbanyak. e. Spesifikasi dan/ atau sumber/ asal bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan penolong yang digunakan untuk tiap jenis produk yang diajukan. Untuk bahan yang berasal dari hewan (sapi, kambing, ayam) sebutkan sumber/ asal pembelian (pasar/ depot). f. Bagan alir proses produksi untuk setiap jenis produk yang diajukan
g. SOP (Standard Operasional Procedure atau prosedur kerja baku) untuk setiap jenis produk yang diajukan. h. Layout sarana produksi i. Hasil analisa produk akhir dari laboratorium yang telah terakreditasi (khusus untuk produksi air minum dalam kemasan dan produk lain yang ditetapkan oleh balai besar POM). j. Photocopy sertifikat SNI (Standar Nasional Indonesia) yang masih berlaku apabila mengajukan sertifikat halal untuk produk garam beryodium, AMDK (air minum dalam kemasan) k. Untuk produk AMDK agar melampirkan photocopy sertifikat halal yang masih berlaku (jika mengajukan perpanjangan – pen) dan karbon aktif serta deterjen pencuci kemasan gallon yang digunakan. l. Photocopy sertifikat halal bahan baku lainnya untuk produk yang ditetapkan oleh balai besar POM. m. Surat keterangan dari perusahaan tentang kebenaran bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi n. Surat pernyataan kesediaan perusahaan untuk memenuhi peraturan terkait sertifikasi Halal. 2. Formulir beserta lampiran tersebut diperiksa kelengakapannya dan bila belum memadai perusahaan diwajibkan melengkapi sesuai ketentuan 3. LPPOM MUI akan memberitahukan perusahaan mengenai jadwal audit baik melalui surat atau panggilan telpon. Tim auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaan/ audit ke lokasi produksi dan pada saat audit produsen harus dalam keadaan memproduksi produk yang dimohonkan. 4. Hasil pemeriksaan/ audit dan hasil laboratorium (bila diperlukan) dievaluasi dalam rapat auditor LPPOM MUI. Hasil audit yang belum memenuhi persyaratan diberitahukan kepada perusahaan melalui audit memorandum. Jika telah memenuhi persyaratan, auditor akan membuat laporan hasil audit guna diajukan pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalannya. 5. laporan hasil audit disampaikan oleh pengurus LPPOM MUI dalam sidang
17
Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta 2003. Hal 17. 18 Juaini Adnan, sekretaris Majelis Ulama Indonesia Propinsi Nusa Tenggara Barat, Senin, 6 September 2013
87
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
fatwa MUI pada waktu yang telah ditentukan 6. sidang komisi fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan dan hasilnya akan disampaikan kepada pemohon sertifikasi halal 7. sertifikat halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya 19 oleh komisi fatwa MUI. 8. Bagan 1. Proses sertifikasi halal
PELAKSANA
AKTIVITAS
DOKUMEN
Mulai Mulai Produsen
BAGAN PROSES SERTIFIKASI HALAL
-surat permohonan Mengajukan permohonan sertifikat halal
Produsen
Produsen
Melengkapi persyaratan permohonan ; Surat izin usaha setempat; surat keterangan dari dinas kesehatan ;SP atau PIRT
Membuat daftar bahan baku dan proses produksi serta mengisi formulir pendaftaran LPPOM MUI Riau
Produsen Ditanda-tangani surat kontrak & membayar biaya sertifikasi halal yang ditetapkan oleh LPPOM MUI
-PIRT , SP -surat izin usaha setempat Daftar; -bahan baku -proses produksi -formulir - surat kontrak - kwitansi pembayaran
tidak lengkap LPPOM MUI RIAU
-laporan pemeriksaan Audit di lokasi
LPPOM MUI RIAU
Revisi
-laporan pemeriksaan
Evaluasi; tim ahli
Komisi Fatwa MUI RIAU MUI RIAU
Fatwa MUI Revisi Sertifikat Halal
-laporan pemeriksaan -sertifikat halal
3
19
Ibid.
88
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
Berdasarkan keterangan diatas terlihat bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh MUI dimulai dari pemeriksaan dokumen administrasi, dokumen kehalalan bahan baku, informasi terkait produk hingga pemeriksaan langsung di tempat produksi untuk memastikan bahwa keterangan tertulis yang diberikan oleh produsen sesuai dengan keadaan yang terdapat di tempat produksi. Berikut merupakan rincian kelengkapan pendaftaran bagi masingmasing golongan industri: 1. Bagi industri pengolahan: a. produsen harus mendaftarkan seluruh produk yang diproduksi di lokasi yang sama dan/atau yang memiliki merek/brand yang sama. b. Produsen harus mendaftarkan seluruh lokasi produksi termasuk maklon dan pabrik pengemasan c. Ketentuan untuk tempat maklon harus dilakukan di perusahaan yang sudah mempunyai produk bersertifikat halal atau yang bersedia disertifikasi halal 2. Bagi restoran dan katering: a. Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh menu yang dijual termasuk produkproduk titipan, kue ulang tahun serta menu musiman. b. Restoran dan katering harus mendaftarkan seluruh gerai, dapur serta gudang 3. Bagi rumah potong hewan: a. Produsen harus mendaftarkan seluruh tempat penyembelihan yang berada dalam satu perusahaan yang sama Dalam hal terdapat indikasi kandungan bahan atau proses tidak halal dalam produksi yang ditemukan oleh tim auditor maka produsen diberikan kesempatan untuk menyempurnakan bahan atau proses tersebut melalui pemberitahuan tertulis atau melalui panggilan telepon oleh pihak MUI, jika pihak produsen melalaikan atau tidak memenuhi
syarat penyempurnaan maka tim auditor melalui LPPOM MUI melaporkan secara tertulis hasil auditnya kepada sidang fatwa MUI untuk diputuskan mengenai status kehalalan produk yang dimohonkan. Tata cara pemeriksaan (audit) produk 20 halal mencakup: 1. Manajemen produksi dalam menjamin kehalalan produk (sistem jaminan halal) 2. Pemeriksaan dokumendokumen spesifikasi yang menjelaskan asal-usul bahan, komposisi dan proses pembuatannya dan/atau sertifikat halal pendukungnya 3. Observasi lapangan yang mencakup proses produksi secara keseluruhan mulai dari penerimaan bahan, produksi, pengemasan dan penggudangan serta penyajian untuk restoran/ katering/ outlet 4. Keabsahan dokumen dan kesesuaian secara fisik untuk setiap bahan harus terpenuhi 5. pengambilan contoh dilakukan untuk bahan yang dinilai penuh. Produsen yang telah berhasil melewati serangkaian prosedur diatas akan memperoleh sertifikat halal dan sertifikat inilah yang menjadi dasar hukum bagi setiap produsen untuk mencetak label halal pada setiap kemasan produk makanan atau minuman yang mereka produksi dan pasarkan. Sertifikat tersebut berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal penetapan fatwa. Untuk tetap dapat memperoleh sertifikat halal produsen harus mengajukan perpanjangan sertifikat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa berlaku sertifikat tersebut.
20
http://riau1.kemenag.go.id/file/dokumen/TataCa raSertifikasiHalal.pdf diunduh tanggal 11 Desember 2013.
89
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
Label halal tersebut menjadi jaminan bahwa produk pangan yang dilabeli bebas dari unsur haram sebagaimana dipertegas dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 21 huruf d yang berbunyi: “.........ketentuan lainnya misalnya kata atau tanda halal yang menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai dengan persyaratan makanan halal” Adapun pencantuman label halal bersifat sukarela bagi produsen yang telah mendapatkan fatwa halal dari MUI, sementara ijin untuk mencantumkan label tersebut dikeluarkan oleh BPOM berdasarkan fatwa halal tersebut. Pemegang sertifikat halal mempunyai kewajiban untuk mempertahankan kehalalan produk yang diproduksinya dan sertifikat ini tidak dapat dipindahtangankan.
Secara umum didalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan Pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar dan jujur atas setiap produk yang dihasilkannya. Pada prinsipnya UU Perlindungan Konsumen lahir dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum bagi konsumen terhadap segala bentuk pelanggaran dari produsen atau pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi konsumen termasuk bahaya atau kerugian yang mungkin timbul akibat belum memberikan informasi yang tepat. Sedangkan berdasarkan pasal 4 UUPerlindungan Konsumen, salah satu hak konsumen adalah berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Terjadinya perbuatan-perbuatan yang berakibat merugikan konsumen akibat penggunaan barang dan/atau jasa harus dihindari. Seperti perbuatan mencantumkan label halal pada produk makanan tidak sah. Berkaitan dengan jaminan kehalalan suatu produk makanan, secara normatif ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a sampai dengan h Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa : 1. Pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label
B.
Akibat Hukum Bagi Pelaku Usaha Yang Mencantumkan Label Halal Pada Produk Makanan dan Minuman
Mayoritas penduduk di Indonesia pemeluk agama Islam, hal ini berarti bahwa konsumen terbesar di Indonesia adalah konsumen muslim. Salah satu yang terpenting didalam ajaran Islam adalah menempatkan pentingnya kebaikan dan kebersihan disegala aspek kehidupan, baik dari makanan maupun barang-barang yang digunakan. Berkaitan dengan makanan maka umat Islam diperintahkan untuk memakan dan mengkonsumsi bahan-bahan makanan yang baik, suci dan bersih saja, karena hal ini berkaitan dengan hukum halal maupun haram. Dengan demikian umat Islam perlu mengetahui informasi yang jelas mengenai makanan yang mereka konsumsi. Islam sangat menekankan pentingnya aspek keselamatan dan keamanan dalam menkonsumsi barang dan/ atau jasa. Dalam Islam faktor keselamatan dan keamanan dalam hal ini adalah adanya jaminan kehalalan dari suatu produk makanan. Bentuk dari jaminan kehalalan suatu produk makanan adalah bahwa makanan tersebut secara resmi memiliki sertifikat halal.
90
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
atau keterangan barang dan / atau jasa tersebut; f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara "halal" yang di cantumkan dalam label. Dengan adanya ketentuan seperti tersebut di atas terutama Pasal 8 ayat (1) huruf h maka setiap pelaku usaha (produsen) dalam memproduksi suatu barang dan /atau jasa mempunyai kewajiban untuk: a. Mentaati atau memenuhi persyaratan peraturan atau ketentuan yang telah di tetapkan pemerintah. b. Menjamin produk-produk makanannya tersebut aman atau tidak berbahaya jika dikonsumsi dan dicantumkan label halal. Selain termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturan kehalalan suatu produk makanan yang diwujudkan dalam bentuk sertifikasi halal dan labelisasi halal di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Selanjutnya dalam ketentuan yang bersifat teknis diatur dalam beberapa surat keputusan maupun ketetapan, yaitu Surat Ketetapan No: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan „‟Halal‟‟ pada Label Makanan. Selain itu, Departemen Agama juga mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman
dan Tatacara pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, SK Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, serta Keputusan Menteri Agama Nomor 525 Tahun 2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai Pelaksana Percetakan Label Halal. Sertifikasi sebenarnya adalah merupakan suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu barang yang diproduksi suatu perusahaan telah memenuhi ketentuan halal. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal yang tujuan-tujuan akhirnya adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal. Berkaitan dengan pengaturan tentang sertifikasi halal terdapat dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan disebutkan pada ayat (1) setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia makanan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Pada ayat (2) disebutkan Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai; nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia, keterangan tentang halal, dan tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa. Pada ayat 3 diatur selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label makanan. Labelisasi yang diwujudkan dalam label merupakan penanda dan sumbersumber informasi tentang substansi yang diwakilinya. Karena itu isi label haruslah sesuatu yang benar dan harus dapat dipertanggung jawabkan. Ketentuan Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pada Pasal 1 angka (15) menyatakan bahwa : ”Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau 91
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
bentuk lain yang disertakan pada pangan,dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan” Pasal 30 ayat (1) No. 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam atau dikemasan pangan. Sedangkan ayat (2) menyatakan : “Label,
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label”. Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut maka adalah suatu konsekuensi hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal dalam produk yang dijualnya untuk melengkapi dan mempertanggung jawabkan kebenaran dari apa yang tertera dalam label tersebut. Sehingga apabila kemudian pihak pelaku usaha tidak dapat membuktikan kebenaran atas apa yang dicantumkan dalam label tersebut yaitu suatu produk makanan dilabeli halal namun ternyata bahwa produk makanan tersebut tidak melalui proses ataupun bahan yang halal maka ia dapat dinyatakan telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Apabila diidentifikasi akibat-akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administatif seperti diuraikan dibawah ini : Berkaitan dengan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah, di dalam UU Perlindungan Konsumen pada pasal 8 ayat (1) h disebutkan Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan „‟halal‟‟ yang dicantumkan pada label. Berkaitan dengan ketentuan tersebut maka jika terdapat produsen yang melanggar aturan tersebut akan bisa dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 62 yang menyatakan; (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai”: a. b. c. d.
nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; e. keterangan tentang halal; dan f. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Sedangkan menurut Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa label berisikan keterangan sekurang-kurangnya: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan pangan ke wilayah Indonesia; d. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 PP No 69 tahun 1999 menyatakan bahwa “pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan dalam label hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan”. Dalam Pasal 10 ayat (1) “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
92
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098 dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Namun, jika pelaku usaha tidak mencantumkan label halal maka tidak terdapat sanksi yang melekat padanya, sebab penekanan pemberian sanksi berkaitan dengan berproduksi secara tidak halal. Didalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No.82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan Halal pada Label Makanan pada pasal 2 disebutkan pada label makanan dapat dicantumkan tulisan halal. Pada pasal 3 ayat 2 a disebutkan Produk Makanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan makanan halal berdasarkan hukum Islam. Sedangkan akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada suatu produk makanan tidak sah yang bisa terkena sanksi bertanggung jawab secara perdata dapat dijelaskan sebagai berikut : Pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban sebagai berikut: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang di buat dan/atau diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
Vol.18 No. 1
g.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang di terima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Berbicara mengenai akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah yang pada dasarnya sangat merugikan konsumen muslim maka akibat hukum bagi pelaku usaha tersebut akan berbentuk tanggung jawab pelaku usaha tersebut terhadap konsumen, dimana tanggung jawab pelaku usaha tersebut berupa tanggung jawab produk. Tanggung jawab produk dapat diartikan sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian maupun tanggung jawab perundangundangan/berdasarkan perbuatan melawan hukum. Berkenaan dengan tanggung jawab produk, dapat ditemukan dalam Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (5) serta Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen berbunyi: “(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Selanjutnya ayat (5) menentukan bahwa Ketentuan sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen”. Lebih lanjut dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di maksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Apabila dikaji secara mendalam maka Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang 93
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengandung makna bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen apabila konsumen mengalami kerugian, kerusakan, dan/atau pencemaran sebagai akibat mengkonsumsi barang yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Membebankan tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian secara langsung kepada pelaku usaha, sekalipun tidak terdapat hubungan kontraktual antara pelaku usaha dengan konsumen, merupakan salah satu indikasi penggunaan pertanggungjawaban produk. Sedangkan Pasal 19 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa terdapat unsur kesalahan dari pelaku usaha yang apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen, maka pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk memberikan ganti kerugian. Berdasarkan pada ketentuan tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa tujuan pertanggungjawaban produk adalah pembagian risiko yang adil antara pelaku usaha dan konsumen. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pertanggungjawaban produk adalah lembaga hukum keperdataan yang merupakan perwujudan dari lembaga hukum perbuatan melawan hukum seperti yang ditentukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Perbuatan melawan hukum sering di sebut juga sebagai pertanggungjawaban atas dasar kesalahan karena apabila digunakan oleh konsumen untuk menggugat ganti kerugian dari pelaku usaha, maka konsumen berkewajiban untuk membuktikan 4 unsur yang terpenuhi sesuai ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu: a. Pelaku usaha telah melakukan perbuatan melawan hukum b. Pelaku usaha telah melakukan kesalahan c. Konsumen telah mengalami kerugian d. Kerugian yang dialami oleh konsumen merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha
Terhadap keempat macam kewajiban konsumen tersebut di atas ini, kewajiban konsumen untuk membuktikan bahwa pelaku usaha telah melakukan kesalahan merupakan kewajiban yang relatif paling sulit dipenuhi oleh konsumen, karena selain dibutuhkan keahlian tertentu, pada umumnya pelaku usaha sebagai pihak yang harus memberikan ganti kerugian kepada konsumen tidak mudah akan mengakui kesalahannya sekalipun sesungguhnya pelaku usaha memang telah melakukan kesalahan. Padahal apabila konsumen tidak berhasil memenuhi keempat macam kewajiban tersebut di atas secara kumulatif, maka konsumen akan kehilangan haknya untuk memperoleh ganti kerugian dari pelaku usaha. Jika kondisi ini terjadi, maka tujuan melindungi konsumen secara hukum tidak akan tercapai, oleh karena itu, pertanggungjawaban produk yang bertujuan melindungi konsumen meniadakan kewajiban konsumen untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha, dan sebaliknya pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Konsekuensi logis dari konstruksi hukum bahwa pelaku usaha harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah adalah bahwa pelaku usaha di anggap telah melakukan kesalahan seketika setelah konsumen mengalami kerugian akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Selain akibat hukum berupa sanksi pidana dan perdata bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah maka pelaku usaha tersebut juga dapat terkena sanksi administratif sebagaimana di atur dalam PP Nomor 66 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan. Pasal 66 ayat (1) menyebutkan “setiap orang yang melanggar ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif”. Tindakan administratif tersebut meliputi: a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; 94
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098
Vol.18 No. 1
d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha.
Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi-sanksi pidana, sanksi perdata maupun sanksi administatif.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Untuk menjamin kehalalan suatu produk maka oleh produsennya, produk tersebut harus dimohonkan sertifikasi halal sebelum dipasarkan bagi konsumen beragama Islam. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 tahun 1999 tentang label pangan yang menyatakan bahwa: “setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label”. Bagi setiap produsen yang hendak mendapatkan mencantumkan label halal pada produknya diharuskan untuk mengikuti proses atau tahapan memperoleh fatwa halal yang terdiri dari pra- pendaftaran dan pendaftaran hingga penerbitan fatwa halal/sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh komisi fatwa MUI. 2. Konsekuensi atau akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal yang tidak prosedural dapat dinyatakan telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. akibat-akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Pangan dan
Saran 3. Diharapkan kepada Pemerintah maupun Pemerintah Daerah untuk segera membuat regulasi atau peraturan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) untuk mengatur tentang Sertifikat Halal mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam; 4. Diharapkan kepada Lembaga terkait seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) dan instansi lainnya untuk lebih banyak melakukan sosialisasi dan penyuluhan berkaitan dengan mekanisme mendapatkan label halal dan akibat hukum apbila pencatuman label yang melanggar ketentuan perundang-undangan. DAFTAR PUSTAKA Buku/Jurnal/Internet Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta. --------------,1980-1981, Naskah Akademis Peraturan Perundangundangan tentang Perlindungan Konsumen, BPHN Jakarta. Burhan Ashshofa,1998, Metode Penelitian Hukum, Rineka Karya, Jakarta. Departemen Agama Republik Indonesia, 2003, Tanya jawab seputar produksi Halal, Jakarta. -----------------,2003, Sistem dan prosedur penetapan fatwa produk halal Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama RI. -----------------,Tata Cara Sertifikasi Halal, Departemen Agama RI, 2003 . Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama. Hadari Nawawi & Hilmi Martini, 1996, Penelitian Terapan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 95
Jurnal Penelitian UNRAM, Februari 2014 ISSN 0854 - 0098 Ibrahim, Teori dan Metode Penelitan Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2005MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM, MUI, lembaga pengkajian pangan obatobatan dan Kosmetika majelis ulama Indonesia 2008 Nurmadjito,2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundangundangan tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas, CV. Mandar Maju, 2000. Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gransindo, Jakarta. Syekh Muhammad Yusuf Qardlaawi, Halal dan Haram Dalam Pandangan Isalam (1980) diakses di www.google.comed Santhi Rukminitia, Kiat Belanja Produk Halal dan Toyyibah, diakses melalui http://daffaliem.blogspirit.com/ar chive/2006/02/28/kiat-belanjaproduk-halal-dan-thoyyib.html, tanggal 12 Pebruari 2009. Yuli Mutiah Rambe dan Syaad Afifuddin, Pengaruh Pencantuman Label Halal pada Kemasan Mie Instan Terhadap Minat Pembelian Masyarakat Muslim (Studi Kasus pada Mahasiswa Universitas Al-Washliyah, Medan), Jurnal Ekonomi dan
Vol.18 No. 1
Jhonny
Keuangan, Vol. Desember 2012
1,
No.
1,
Peraturan Perundang-undangan Indonesia,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentanng Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, 1999, Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3821. Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Lemabaran Negara RI Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3656. Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3867 Surat Ketetapan No: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pecantuman Tulisan „‟Halal‟‟ pada Label Makanan. Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal.
96