TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Oleh Pande Putu Doron Swardika NIM : 1092461010 Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Email :
[email protected] Pembimbing I : Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH. Pembimbing II : J.S. Wibisono, SH., MH., MKn. Abstract Along with the growth and development of such a large population, while the land area are relatively not increased, obviously this causes the increasing demand for land, thereby it results in various problems of land. To prevent or at least reduce the potential for conflict or dispute, then the mechanism of transfer of land to be registered must be proven under the notarial deed of the Land Deed Official (PPAT). In practice, often a deed which is not in accordance with the procedures of making the deed of the Land Deed Official which could pose a risk to the security of rights to land. The legal consequences of such deviations will put Land Deed Official held a judicial accountability with regard to authentic act made, if it has legal flaws. In this case, the aspects of legal protection of the PPAT are not expressly regulated by the Regulation for Position of PPAT, PPAT as an honorable position, should be given special treatment than the general population because of PPAT is a representation of the state government to implement some of the tasks in the areas of land associated with data maintenance of the land registration (Bijhouding or Maintenance). The problems under discussion in this study is what the responsibility of the Land Deed Official over the deed of sale of land that they made if it has legal flaws and whether the Job Regulations of the Land Deed Official has provided legal protection to the Land Deed Officials in performing their duties? This study is classified as a normative legal research which is due to the lack of its governing law by using the legislative and the conceptual approach. The legal research material used is derived from the research literature in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through the techniques of document studies and library research. The supporting legal materials and information that has been collected were analyzed by the techniques of description, systematization and construction, then it was analyzed qualitatively to obtain conclusions on the two issues under studied. The research results showed that as a result of legal deviations from the law-making procedures of the PPAT deed, therefore, the PPAT can be subject to sanctions as their consequences both administrative, civil, or criminal sanctions. While the aspects of legal protection in the law enforcement process against PPAT who violates the law is not regulated by the Job Regulations of the PPAT. Keywords: Procedure for Making PPAT deed, Responsibility, Legal Protection, Land Deed Official (PPAT).
I.
Dalam rangka memberikan perlindungan
Pendahuluan Tanah dalam pengertian geografis adalah
terhadap
pemilik
tanah
dan
mengatur
lapisan permukaan bumi yang digunakan untuk
kepemilikan, peralihan dan peruntukan tanah
dipakai sebagai usaha. Dewasa ini tanah tidak
secara adil dan menyeluruh serta untuk dapat
hanya dibutuhkan secara sederhana untuk tempat
mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia,
tinggal ataupun sebagai modal alami utama dalam
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD
kegiatan pertanian dan peternakan. Seiring dengan
NRI 1945 dan untuk dapat mengejawantahkan
laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk
amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, maka
yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif
diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional yakni
tidak
ini
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang
meningkat, sehingga menyebabkan tanah dan
lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang
berbagai masalah agraria muncul dipermukaan.
Pokok Agraria. (selanjutnya disingkat UUPA).
bertambah,
secara
nyata
hal
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 1
Tanah
tanggung jawab dari padanya. 2 Dengan demikian
(selanjutnya disingkat PPAT) mempunyai peran
PPAT diberi kewenangan membuat akta otentik
yang penting dalam pendaftaran tanah, yaitu
khususnya bidang pertanahan, maka PPAT yang
membantu
bersangkutan
Pejabat
Pembuat
Kepala
Akta
Kantor
Pertanahan
berkewajiban
telah
ditentukan,
segala
kegiatan
tanah.
khususnya dalam pembuatannya agar akta yang
Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998
dibuat itu memenuhi syarat sebagai akta otentik
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
yang sah. Sebagai konsekuensinya PPAT sebagai
Tanah
PJPPAT),
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
merupakan pelaksanaan dari ketentuan PP No. 24
membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum
Tahun 1997. Kemudian PP No. 37 Tahun 1998
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Negara
atas satuan rumah susun, harus bertanggung jawab
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4
apabila
Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
pelanggaran persyaratan pembuatan akta yang
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (PMNA/Ka
dilakukannya,
BPN 4/1999). PMNA/Ka BPN 4/1999 dinyatakan
terhadap tidak sahnya akta yang dibuat PPAT
tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan
tersebut.
dalam
(selanjutnya
pendaftaran
disingkat
terjadi
yang
memenuhi
Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatantertentu
persyaratan
untuk
penyimpangan
yang
akan
dan/atau
membawa
akibat
Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1
Meskipun peralihan hak atas tanah
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT,
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (Perka BPN
tetapi
1/2006).1 Kemudian Perka BPN 1/2006 diubah
menimbulkan sengketa pertanahan. Pembatalan
dengan beberapa perubahan pasal, yang diatur
kepemilikan hak atas tanah, sedikit banyaknya
dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 23 Tahun
juga berkaitan dengan pembuatan akta jual beli
2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
tanah dihadapan PPAT yang tidak sesuai dengan
BPN RI No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
prosedur
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang
disebabkan dalam prakteknya ada situasi-situasi
PJPPAT, (Perka BPN 23/2009). Pendaftaran
dan
peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh
menyebabkan ketidak-sesuaian tersebut sepertinya
PPAT, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 2
harus dilakukan agar transaksi atau proses jual
PJPPAT,
beli tanah bisa dilangsungkan.
dengan
demikian
dalam
rangka
terbuka
kemungkinan
pembuatan
kondisi-kondisi
akta
akan
PPAT.
dalam
jual
dapat
Hal
beli
ini
yang
pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak
Adanya penyimpangan maupun kelalaian
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
dalam pembuatan akta jual beli oleh PPAT yang
Susun harus dibuktikan dengan akta yang dibuat
pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang
di hadapan PPAT. Selain itu syarat jual beli harus
telah
dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan pula
dalam praktek yang seringkali terjadi misalnya,
dalam Pasal 37 Ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.
penandatanganan akta jual beli telah dilakukan
Menurut pemberian
atau
Wawan adanya
Setiawan, suatu
ditentukan
dalam
perundang-undangan
setiap
tapi PPAT belum mengecek atau memeriksa
kewenangan
kesesuaian sertifikat terlebih dahulu ke Kantor
senantiasa diikuti pula dengan kewajiban dan/atau
Pertanahan;
penandatanganan akta jual beli
2
1
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 316-317.
Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro, 9 Maret 1991, Semarang, tanpa halaman.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 2
dilakukan di luar kantor PPAT dan tanpa dihadiri
kekuasaan
dan/atau
kewenangannya,
oleh saksi-saksi; nilai harga transaksi yang dimuat
hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang
dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi
yang dikecualikan dari prinsip equality before the
yang sebenarnya; dan praktek lainnya yang dapat
law, tentu saja harus memenuhi persyaratan-
memberikan akibat hukum berupa akta yang
persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart
dibatalkan dimuka pengadilan atau yang hanya
pemenuhan
dianggap sebagai akta di bawah tangan, yang
terhormat
semua itu diantaranya disebabkan kelalaian dari
terhormat (nobile officium).
nilai-nilai
sebagai
person)
(nobile
maka
orang
maupun
yang jabatan
seorang PPAT yang membuat akta yang tidak
Seorang PPAT dalam melaksanakan
didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus
fungsi jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip
berdasarkan
equality
peraturan
perundang-undangan
terkait.
before
melaksanakan Prinsip equality before the law adalah
pilar utama dari bangunan Negara Hukum yang
prosedur
the
law,
jabatannya
yang
telah
ditentukan
perundang-undangan.
sepanjang
oleh
dalam
mengikuti peraturan
Namun
dengan
mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme of law). Pengakuan kedudukan tiap individu di
penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah
muka hukum ditempatkan dalam kedudukan yang
terdapat unsur pengkondisian bagi PPAT tersebut
sama
untuk ditempatkan dalam posisi tidak berada
tanpa
memandang
status
sosial.
Keberlakuan prinsip equality before the law
nobile person
nobile
dalam praktek penegakan negara hukum yang
officium
berdasarkan
pada prinsip equality before the law seperti yang
kedaulatan
hukum
terkadang exception
(pengecualian). Perbedaan
k
terjadi pada orang pada umumnya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mendasar apakah PPAT
perlakuan
hukum
atau
yang
merupakan
jabatan
tertentu
yang
pengecualian ini hanya berlaku jika ada alasan
menjalankan sebagian dari tugas pemerintah
yang khusus, misalnya pengecualian berlaku bagi
khususnya di bidang pertanahan di dalam sistem
orang-orang/kelompok orang-orang tertentu yaitu
hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan
mereka yang oleh karena melaksanakan suatu
hukum secara layak?
perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang
Ketentuan dalam PP No. 37 Tahun 1998
tidak dapat dihukum/dipidana. Terhadap orang-
tentang PJPPAT, maupun dalam Perka BPN
orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena
1/2006 sebagaimana telah diubah dengan Perka
apabila mereka terbukti melakukan tindak pidana
BPN 23/2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN
dengan
dan
No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka
PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagai
lebih berat daripada hukuman yang seharusnya
ketentuan bagi PPAT, tidak ada pengaturan
diterima oleh orang biasa.
tentang perlindungan hukum bagi PPAT itu
menggunakan
kekuasaan
Sehingga terhadap orang-orang ini jika
sendiri, dalam peraturan terkait ke-PPAT-an
melakukan suatu perbuatan guna melaksanakan
lainnya pun tidak diatur, maka perlu adanya dasar
ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum
hukum
(bukan kebal hukum), sebaliknya apabila yang
mempunyai peranan yang cukup besar dalam
bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang
membantu tugas pemerintah khususnya dibidang
melanggar
pertanahan.
hukum
dengan
menggunakan
mengenai
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
hal
itu,
karena
PPAT
Page 3
Jadi dalam hal seorang PPAT juga ikut
mengandung cacat hukum, dan untuk mengetahui
terpanggil dalam suatu kasus tertentu, di mana ia
sejauh mana pengaturan perlindungan hukum
dijadikan sebagai saksi atau tersangka maupun
kepada
terdakwa, maka sampai di mana perlindungan
jabatannya.
yang ia peroleh sebagai Pejabat Umum yang II. menjalankan jabatannya, adalah dia diproses
PPAT
dalam
melaksanakan
tugas
Metode Penelitian 2.1 Jenis Penelitian
dengan cara pada umumnya sesuai dengan Kitab
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
adalah
dan tidak ada suatu mekanisme atau prosedur
penelusuran terhadap permasalahan yang telah
yang
dirumuskan
bersifat
khusus.
Padahal
PPAT
dikategorikan sebagai seorang Pejabat Umum,
yuridis
normatif,
dengan
perundang-undangan
mempelajari yang
dan oleh undang-undang diberikan suatu imunitas
permasalahan yang dibahas.
hukum bagi jabatan-jabatan tertentu salah satunya
2.2 Jenis Pendekatan
PPAT berupa hak ingkar atau hak mengundurkan diri
(verschoningrecht)
dalam
dimana
dilakukan
ketentuan
berkaitan
dengan
3
Jenis pendekatan yang digunakan dalam
pelaksanaan
penelitian ini adalah pendekatan perundang-
kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di
undangan (the statute approach) dan pendekatan
Pengadilan, hal ini berkaitan dengan rahasia
analisis konsep hukum (analitical & conceptual
jabatan.
approach). Berdasarkan uraian di atas terdapat
kekosongan
norma
mengenai
perlindungan
hukum
bagi
ketentuan
PPAT
dalam
menjalankan tugas jabatannya, dimana konsep perlindungan hukum ini berkaitan erat dengan
2.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum berupa: a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah : 1.
Undang-Undang
aspek pertanggungjawaban, sehingga Penulis
Republik
tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai
(UUD NRI 1945);
aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta
2.
jual beli tanah yang mengandung cacat hukum kemudian
mengkaji
mengenai
sejauh
mana
3.
Tujuan
yang
ingin
dicapai
4.
Undang-Undang
1945
Hukum
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
5. dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
adanya penelitian ini adalah meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum penelitian
Tahun
Pidana (KUHP);
PPAT dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Umum dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
Indonesia
Negara
Perdata (KUHPerdata);
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatur mengenai perlindungan hukum bagi
Kitab
Dasar
Pokok Agraria (UUPA); 6.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis
2004
tentang
mengenai aspek tanggung jawab dan perlindungan
(UUJN);
Jabatan
Notaris
hukum PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis mengenai aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang di buat dihadapannya
3
Ro n n y H a m i t ij o S o e mi tr o , 1990, M e to d o l o gi P e ne l i ti a n Hukum d an Ju r u me t r i , G h a li a I n d o n e si a, Ja ka r t a, ha l . 1 4 .
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 4
7.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
tentang Peraturan Jabatan Pejabat
2009 tentang Pajak Daerah Dan
Pembuat Akta Tanah (Perka BPN
Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun
23/2009);
2009); 8.
14. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat
Peraturan Tahun
Pemerintah
1997
Nomor
tentang
24
Pendaftaran
Tanah (PP No. 24 Tahun 1997); 9.
Peraturan
b. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ada yang berupa buku-
Peraturan
buku teks, artikel dalam berbagai
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
majalah ilmiah atau jurnal hukum,
(PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT);
dan
1998
10. Peraturan Agraria/Kepala
Nomor
IPPAT).
37
Tahun
Pemerintah
Akta Tanah Indonesia (Kode Etik
tentang
Menteri
Negara
Badan
Pertanahan
makalah-makalah.
Selain
itu,
digunakan bahan hukum dari internet dengan menyebutkan nama situsnya.
Nasional RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan
Pelaksanaan
Peraturan
Pemerintah
Nomor
Tahun
1997
tentang
c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan
24
hukum
Pendaftaran
Nasional RI Nomor 8 Tahun 2012
Agraria/Kepala
Pertanahan
Nasional
Nomor
3
1997
hukum
2.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
tentang Perubahan Atas Peraturan
Badan
bahan
hukum.
11. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Negara
dan
sekunder antara lain berupa kamus
Tanah (PMNA/Ka BPN 3/1997);
Menteri
primer
Teknik
pengumpulan
bahan
hukum
dalam penelitian ini dilakukan dengan sistem
RI
kartu.4 Sistem kartu yang digunakan kemudian
tentang
diterapkan dengan menggunakan teknik bola salju
Peraturan
dengan menemukan bahan hukum sebanyak
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
mungkin yang diawali dengan penentuan bahan
tentang Pendaftaran Tanah (Perka
hukum
BPN 8/2012);
kemudian dari bahan hukum ini dipilih bahan-
Ketentuan
Tahun
Pelaksanaan
yang
mula-mula
berjumlah
kecil,
12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
bahan hukum untuk dijadikan bahan hukum
Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006
berikutnya, begitu selanjutnya, sehingga jumlah
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan
bahan hukum semakin banyak.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
2.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Tahun
1998
tentang
37
Peraturan
Analisis bahan hukum yang digunakan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
dalam penilitian ini adalah teknik analisis isi.
(Perka BPN 1/2006);
Teknik analisis isi dalam penelitian ini diawali
13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
dengan mengambil bahan hukum yang tepat
Nasional RI Nomor 23 Tahun 2009
dengan permasalahan penelitian. Bahan hukum
tentang Perubahan Atas Peraturan
yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan
Kepala Badan Pertanahan Nasional
deskripsi dengan menguraikan proposisi-proposisi
RI Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan
Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
4
Sistem kartu yaitu dilakukan dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder maupun bahan hukum tersier.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 5
hukum sesuai pokok permasalahan yang dikaji,
pembuatan akta otentik itu. Perwujudan tentang
untuk
sistematisasi
perlunya kehadiran pejabat umum untuk lahirnya
/pengklasifikasian terhadap bahan-bahan hukum
akta otentik, maka keberadaan PPAT sebagai
tertulis melalui proses analisis tentang isi-isinya.
pejabat umum tidak dapat dihindarkan. Agar suatu
Berdasarkan atas hasil sistematisasi tersebut,
tulisan mempunyai nilai bobot akta otentik yang
kemudian
bentuknya
selanjutnya
interpretasi
dilakukan
konstruksi
penafsiran
hukum
secara
dan
ditentukan
oleh
undang-undang
normatif
membawa konsekuensi logis, bahwa pejabat
terhadap proposisi-proposisi yang ada sehingga
umum yang melaksanakan pembuatan akta otentik
dapat diberikan argumentasi untuk mendapat
itupun harus pula diatur dalam Undang-Undang,
kesimpulan atas pokok permasalahan yang akan
dan tidak dalam peraturan perundang-undangan
diteliti dalam penulisan penelitian ini.
yang
III.
atau
dilakukan
lebih
rendah,
misalnya
Peraturan
Pemerintah.
Tinjauan Umum
Embrio institusi PPAT telah ada sejak 3.1 Tinjauan Umum tentang PPAT Sebagai Pejabat Umum
Umum
tahun 1961 berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran
Tanah
dengan
istilah
Menurut Soegondo Notodisoejo, Pejabat
Penjabat saja. Bahwa yang dimaksud pejabat
adalah
adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri
seorang
yang diangkat dan diberi
Agraria No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta
wewenang dan kewajiban untuk melayani publik
(PMA 11/1961). 7 Pada awal kelahirannya PPAT
dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta
tidak dikategorikan atau disebut sebagai Pejabat
melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber
Umum, perkembangan kemudian berdasarkan
pada kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Dalam
Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996 tentang
jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya
Benda yang Berkaitan dengan Tanah bahwa :
diberhentikan
oleh
pemerintah
dan
5
dalam masyarakat. Sedangkan menurut Wawan Setiawan, Pejabat Umum adalah organ negara
selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat
yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum (met
Umum yang diberi wewenang untuk membuat
openbaar
berwenang
akta pemindahan hak atas tanah, akta
menjalankan (sebagian dari) kekuasaan negara
pembebanan hak atas tanah, dan akta
untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik
pemberian
dalam bidang hukum perdata. 6
Tanggungan menurut peraturan perundang-
gezag
bekleed),
kuasa
membebankan
Hak
Berkenaan dengan diperlukannya akta PPAT sebagai alat bukti keperdataan yang terkuat
Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan
menurut tatanan hukum yang berlaku, maka
dalam Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997
diperlukan adanya pejabat umum yang ditugaskan
tentang Pendaftaran Tanah bahwa :
oleh
undang-undang
untuk
melaksanakan
5
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44.
7
Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 253. Catatan Penulis : Dalam ketentuan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sedangkan
Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, hal. 264.
PMA No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta.
6
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 6
tersebar dalam berbagai peraturan yang terkait kedisebut PPAT adalah Pejabat Umum yang
PPAT-an.
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
pembuatan akta PPAT didasari oleh Pasal 24 PP
Mengenai
bentuk
dan
tata
cara
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT yang Secara khusus keberadaan PPAT diatur
menentukan
Ketentuan-ketentuan lebih lanjut
dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998
mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur
tentang PJPPAT, yang menegaskan bahwa :
dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah
disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
mengatur mengenai hal ini ditegaskan pada Pasal
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
Bentuk, isi dan
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas
cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri
uran
yang
dimaksud
adalah
Pengertian yang sama diatur juga didalam
PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada Pasal 1
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997
angka 1 Perka BPN 1/2006, yang menegaskan :
tentang Pendaftaran Tanah, yang diatur pada Pasal 95-102. Ketentuan formil lainnya dapat juga
disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang
ditemui pada Pasal 21-24 PP No. 37 Tahun 1998
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta
tentang PJPPAT, Pasal 51-55 Perka BPN No. 1
otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, dan peraturan yang berkaitan dengan perpajakan. 8
Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Kode Etik IPPAT, menentukan bahwa :
1.
Syarat Formil Dalam hal pembuatan akta PPAT, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh
menjalankan
tugas
jabatannya
yang
menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum
PPAT yaitu: a.
Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih dahulu PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan setempat untuk mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan sertifikat asli kepada petugas Kantor Pertanahan. (Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997).
b.
Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan oleh PPAT sendiri dan harus dilakukan
Dari definisi-definisi PPAT yang disebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa PPAT adalah
otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan hak-hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dimana kewenangan ini diberikan kepada pejabat tersebut oleh peraturan perundang-undangan. 3.2 Tinjauan Umum tentang Tata Cara Pembuatan Akta PPAT 8
Berkaitan
dengan
jual
beli
tanah,
terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT, yakni syarat formil dan syarat materil. Adapun syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT
Ketentuan formil mengenai tata cara pembuatan akta PPAT ini pada substansinya adalah sama, dan Penulis lebih menitikberatkan pada pengaturan yang diatur pada PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena lebih memiliki relevansi secara yuridis.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 7
dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan. (Pasal 96 Perka BPN 8/2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
membuat aktanya sendiri. BPN melalui
Ketentuan mengenai bentuk akta
menghadapi kelangkaan dan kekurangan
suratnya Nomor 640/1884 tertanggal 31 Juli 2003 telah memberikan kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan
mendesak
seperti
dalam
dengan
blanko akta PPAT dengan membuat
disahkannya Perka BPN 8/2012, dimana
fotocopy blanko akta sebagai ganti
pada peraturan yang lama pembuatan
blanko akta yang dicetak, dengan syarat
akta
dengan
pada halaman pertama setiap fotocopy
menggunakan formulir (blanko) akta
blanko akta itu dilegalisasi oleh Kepala
yang dikeluarkan oleh BPN. Artinya
Kantor
PPAT tinggal mengisi blanko yang
Propinsi atau pejabat yang ditunjuk serta
bentuk dan formatnya telah ditentukan
dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap
oleh BPN. Sedangkan ketentuan pada
halaman. 9
telah
mengalami
harus
Perka
BPN
keleluasaan
perubahan
dilakukan
8/2012, untuk
PPAT
diberi
menyiapkan
diatur
oleh
Pertanahan
Dalam hal izin pemindahan hak diperlukan maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta pemindahan atau pembebanan hak yang bersangkutan dibuat. (Pasal 98 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
d.
Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan: a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah
dan
bentuk dan formatnya harus mengikuti yang
Badan
c.
membuat akta PPAT sendiri. Akan tetapi
ketentuan
Wilayah
BPN
sebagaimana terlampir pada lampiran 1623 Perka BPN 3/1997. Penulis
berpendapat
bahwa
perubahan yang diatur dalam peraturan yang baru tersebut bertujuan untuk mengatasi terjadinya kelangkaan blanko. Sehingga
PPAT
diberi
kewenangan
untuk membuat akta sendiri akan tetapi bentuk dan formulasinya harus sama seperti
yang
ditentukan oleh BPN.
Sebagaimana di atur pada Pasal 96 ayat Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat BPN akan menolak akta PPAT yang bentuk
dan
formatnya
tidak
sesuai
dengan ketentuan dari BPN.
9
Sebelum Perka BPN 8/2012 berlaku apabila terjadi kelangkaan blanko, PPAT tidak
diberikan
kewenangan
untuk
KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian Tugas diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL : http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/norm al-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 8
absentee tersebut menjadi obyek landreform; d. bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. (Pasal 99 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). e.
f.
g.
h.
Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumendokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. (Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain. (Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT). i.
Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar. (Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
j.
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan. (Pasal 40 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).
k.
Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah). Ketentuan mengenai tugas PPAT
PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku. (Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
untuk meminta bukti pembayaran pajak
PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping
atas tanah dan atau bangunan pada saat
dari pembeli diatur pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah (UU
BPHTB),
PPAT/Notaris
yang
menyatakan:
hanya
dapat
menandatangani akta pemindahan hak
Wajib
Pajak
menyerahkan
bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 9
Bangunan
bagi penjual
yang berhak menjual tanah itu ialah
diatur pada Pasal 2 ayat (2) PP No. 71
kedua orang itu bersama-sama. Tidak
Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga
boleh
Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang
sebagai penjual.
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
c.
saja
yang
bertindak
Tanah hak yang bersangkutan boleh
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
diperjualbelikan dan tidak sedang dalam
Tanah
yang
keadaan sengketa. Jika salah satu syarat
Pejabat yang berwenang
materil ini tidak dipenuhi dalam arti
hanya menandatangani akta, keputusan,
penjual bukan merupakan orang yang
perjanjian, kesepakatan atau risalah
berhak atas tanah yang dijualnya atau
lelang atas pengalihan hak atas tanah
pembeli tidak memenuhi syarat untuk
dan/atau bangunan apabila kepadanya
menjadi pemilik hak atas tanah, atau
dibuktikan oleh orang pribadi atau
tanah
badan
kewajiban
dalam sengketa atau merupakan tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang tidak boleh diperjualbelikan, maka
telah dipenuhi dengan menyerahkan
jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.
fotokopi Surat Setoran Pajak yang
Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang
bersangkutan
tidak berhak adalah batal demi hukum.
Dan/Atau
dimaksud
Bangunan,
bahwa
dengan
menunjukkan
aslinya 2.
seorang
yang
Artinya,
Syarat Materil.
diperjualbelikan
sejak
semula
sedang
hukum
menganggap tidak pernah terjadi jual
Selain tahapan-tahapan syarat formil
beli.
tersebut di atas, Adrian Sutedi mengemukakan
Ketentuan mengenai syarat materil diatas,
bahwa syarat materil sangat menentukan sahnya
secara yuridis adalah berdasarkan ketentuan
jual beli tanah, antara lain sebagai berikut : a.
10
dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
Pembeli berhak membeli tanah yang
tentang Pendaftaran Tanah, yakni PPAT
bersangkutan.
berwenang menolak untuk membuat akta jual
Maksudnya
adalah
pembeli
sebagai
penerima hak harus memenuhi syarat
beli jika:11 a.
untuk memiliki tanah yang dibelinya atau memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. b.
Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan
b.
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik.
c.
Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila
d.
pemilik tanah adalah dua orang maka
Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli atau saksinya tidak berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual beli; Salah satu atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; Untuk jual beli yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut
10
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 77-78.
11
Urip Santoso, Op.cit, hal. 375.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 10
ketentuan tersebut tercantum dalam ketentuan
Pembuatan dan penandatanganan akta jual beli dilakukan diluar daerah kerja PPAT dan atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi. d. PPAT tidak membacakan isi dari akta jual beli dihadapan para pihak secara terperinci, hanya menjelaskan mengenai maksud dari pembuatan akta. e. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak sesuai dengan nilai harga transaksi sebenarnya. f. Penandatanganan akta jual beli telah dilakukan akan tetapi para pihak belum melakukan pembayaran pajak, yakni Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi Penjual, dan Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi Pembeli. Ketentuan dalam pasal-pasal itu
Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997
merupakan syarat formil dari prosedur pembuatan
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun
akta PPAT, yang apabila dilanggar oleh PPAT,
1997 tentang Pendaftaran Tanah.
maka akta PPAT itu hanya memiliki kekuatan
e.
f.
diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; Obyek jual beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan/atau data yuridis; dan Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.12
IV. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Atas Akta Jual Beli Tanah Yang Dibuatnya Mengandung Cacat Hukum 4.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Batalnya Akta PPAT 1.
Sebab Pasal 1868 KUHPerdata. Dalam kaitannya dengan akta PPAT,
a.
b.
PPAT belum melakukan cek bersih atau pemeriksaan kesesuaian data ke Kantor Pertanahan, akan tetapi penandatanganan akta jual beli telah dilakukan. Penandatanganan akta jual beli oleh para pihak (penjual dan pembeli) tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan di hadapan PPAT dan atau di hadapan PPAT yang menandatangani akta jual beli.
c.
pembuktian
sebagai
akta
dibawah
tangan
sepanjang para pihak menandatanganinya, dan degradasi kekuatan bukti akta PPAT tersebut menjadi akta dibawah tangan sejak adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Sepanjang
berubahnya
atau
terjadinya degradasi dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, maka PPAT bersangkutan tidak dapat dimintakan
12
D al a m p e n je l a sa n p ad a P a sa l 3 9 a ya t ( 1 ) P P N o . 2 4 T a h u n 19 9 7 , me n ye b u t k a n co n t o h sya r a t a t a u la r a n g a n ya n g d it e nt u k a n o le h p er a t ur a n p er u n d a n g - u nd a n g a n ya n g b er l a k u seb a g a i ma n a k e te n t u an h ur u f f d i a ta s, ad a la h la r a n ga n ya n g d i a da k a n o l e h P P N o . 4 8 T ah u n 1 9 94 t e n ta n g P e mb a y a r a n P a j ak P e n g ha si la n At a s P e n g ha s ila n D a r i P e n ga l i h a n H a k A ta s T an a h d a n B a n g u n an Jo . P P N o . 2 7 T a hu n 1 9 9 6 te n t a n g pe r u b a h a n A ta s P P N o. 48 T ah u n 1994 t e nta n g P e m b a ya r a n P a j a k P e ng h a si la n A ta s P e n g ha si la n D ar i P e n ga l i h a n H a k A t a s T an a h D a n B an g u n a n u nt u k me mb ua t ak t a, j ik a ke p a da n y a ti d a k d i se r a h ka n fo to c o p y s ur a t se to r a n p a j ak p en g h a si l an ya n g b e r sa n g k u ta n .
tanggung jawab hukumnya melalui Pasal 1365 KUHPerdata. Namun apabila karena degradasi kekuatan bukti menjadi akta dibawah tangan tersebut menimbulkan kerugian, dimana adanya pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan ini sehingga salah satu pihak mendapatkan kerugian maka PPAT bersangkutan dapat digugat dengan perbuatan melanggar hukum sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 KUHPerdata. Jadi
kesimpulannya
adalah
apabila
terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka akta otentik
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 11
dapat
turun
atau
terdegradasi
kekuatan
dari
mempunyai
kekuatan
pembuktiannya
pembuktian sempurna menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat umum yang membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau jika akta tersebut cacat dalam bentuknya, karena dalam perjalanan proses pembuatan akta tersebut
terdapat
penyimpangan
salah
terhadap
satu syarat
atau
lebih
formil
dari
prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT, baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan. 2.
Sebab Pasal 1320 KUHPerdata. Penyimpangan terhadap syarat materil
(subyektif) menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau wakilnya yang sah. Sehingga salah satu pihak dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelahnya. Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap
kebatalan
membawa
akibat
bahwa
kebendaan dan orang-orang yang dipulihkannya sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu dibuat. Jadi perjanjian yang telah di buat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan
tersebut.
Sedangkan
penyimpangan terhadap syarat materil (obyektif) menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dinyatakan batal demi hukum atau batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. 1. Akta PPAT tersebut dapat dibatalkan. Dalam
kaitannya
dengan
syarat
materil
prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT adalah
ketidakcakapan
melakukan
tindakan
sonbekwaamheid).
seseorang hukum
untuk
(handeling-
a. Salah satu atau para penghadap dalam perjanjian tersebut tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, dan/atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Misalnya anak berumur 17 tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana jika yang bertindak adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Mengenai yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang menentukan: 1). Telah berusia 21 tahun, 2). Atau belum 21 tahun tetap sudah atau pernah kawin sebelumnya. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 330 Jo. 1330 KUHPerdata). b. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa, namun pemberi kuasa yang disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal dunia. Berdasarkan Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan karena penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa; penghentian kuasa oleh penerima kuasa; meninggalnya atau diampunya atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa; dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak pemberi atau penerima kuasa. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1813 KUHPerdata). c. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa substitusi, namun pada surat kuasa semula tidak dicantumkan klausula atau ketentuan tentang hal itu. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata mengatur bahwa pemberian kuasa substitusi harus dengan jelas disebutkan dalam surat kuasa, dan apabila jelas disebutkan maka pemberian kuasa substitusi harus diikuti dengan penyebutan nama penerima kuasa substitusi. Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan, atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain. Surat kuasa bisa dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pemberi kuasa awal, dengan ketentuan dalam surat kuasa yang pertama harus dinyatakan bahwa surat kuasa tersebut dapat dialihkan dengan hak substitusi. Jika tidak dinyatakan demikian, maka surat kuasa tersebut dapat dinyatakan tidak sah. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1803 KUHPerdata).
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 12
Penyimpangan
terhadap
syarat
materil
(subyektif) ini menyebabkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai pembatalan oleh pihak yang tidak cakap dan/atau wakilnya yang sah. Sehingga salah satu pihak dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat mengajukan pembatalan atas perjanjian baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan maupun setelahnya. Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa setiap
kebatalan
membawa
akibat
bahwa
kebendaan dan orang-orang yang dipulihkannya sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu dibuat. Jadi perjanjian yang telah di buat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. 2. Akta PPAT tersebut batal demi hukum Dalam kaitannya dengan syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT adalah ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum (handelingsonbevoegdheid). a. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai dengan adanya persetujuan dari pihak-pihak yang berhak memberi persetujuan terhadap perbuatan hukum dalam suatu akta, artinya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya : - Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut adalah harta bersama dengan suaminya, akan tetapi istri tidak atau belum mendapat persetujuan menjual sendiri tanah tersebut dari suami, atau suaminya belum memberikan persetujuan tertulis kepada istri. Demikian juga sebaliknya, istri belum memberi persetujuan kepada suami untuk menjual suatu tanah sebagai harta bersama walaupun tertulis atas nama suami. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 119 KUHPerdata). - Terhadap pengurus perseroan melakukan perbuatan untuk mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah yang merupakan harta kekayaan perseroan tanpa adanya persetujuan dari pesero yang ditetapkan dalam anggaran dasar perseroan. Demikian juga terhadap salah seorang atau beberapa orang pengurus
yayasan atau koperasi dalam melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pengurus yayasan dan koperasi yang ditetapkan dalam anggaran dasar. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997). - Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama, misalnya X, tetapi Tuan X ini tunduk kepada KUHPerdata yakni sedang berada dibawah pengampuan, dan Y sebagai pengampu atau curator dari X hendak menjual tanah tersebut dengan alasan untuk kepentingan X, akan tetapi Y belum mendapat persetujuan atau ijin dari Ketua Pengadilan Negeri. (Pasal 39 ayat (1) huruf e dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 452 Jo. 393 KUHPerdata). b. Penghadap yang hendak menjual tanah belum/tidak mendapat persetujuan dari para ahli waris. (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 833 ayat (1) Jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata). c. Salah satu penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa mutlak, surat kuasa mutlak pada saat ini tidak diperbolehkan lagi khususnya dalam hubungannya dengan Tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, tanggal 6 Maret 1982, jual-beli tanah dengan menggunakan surat kuasa mutlak tidak sah, sehingga batal demi hukum. Jadi kesimpulannya adalah apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
juncto
Pasal
1320
KUHPerdata, maka akta PPAT yang dibuatnya akan
berkonsekuensi
pendaftarannya,
logis
dimana
dapat
berkas
ditolak
permohonan
pendaftaran peralihan haknya sudah diproses secara
administratif,
substansi
namun
perbuatan
ketika
hukumnya,
diteliti terdapat
permasalahan yang menyebabkan akta ditolak pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan wewenang dari PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung unsur penyimpangan
terhadap
syarat
materil
dari
prosedur pembuatan akta PPAT, yang terdiri dari
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 13
syarat subyek (subyek hak atau orang-orang yang
karena kesengajaan maupun kelalaian berupa
menghadap atau komparan) dan syarat obyek
kekurang-hati-hatian,
ketidakcermatan
(obyek hak yang dialihkan), baik disengaja
ketidaktelitian
pelaksanaan
maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari
hukum bagi PPAT dalam pembuatan akta jual beli
PPAT bersangkutan, maka akta PPAT itu akan
tanah, sehingga menyebabkan pelaksanaan hak
memiliki
subyektif seseorang menjadi terganggu, apabila
konsekuensi
yuridis
yaitu
dapat
dibatalkan dan/atau batal demi hukum.
dalam
dan
kewajiban
menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT bersangkutan harus bertanggung
4.2 Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Atas
oleh
Akta Yang Mengandung Cacat Hukum 1.
Tanggung Jawab Secara Administratif. Pertanggungjawaban
kesengajaan,
kealpaan
PPAT
dan/atau
kelalaiannya
dari syarat formil dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, maka PPAT dapat dikenakan sanksi administratif. Berdasarkan Perka BPN 1/2006, penyimpangan terhadap syarat formil dan materil tersebut adalah termasuk berat
oleh
PPAT
yang
dapat
dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia. Tanggung
jawab
para
pihak
tersebut
penggantian
biaya,
ganti
secara
tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan PPAT yang diberikan oleh
itu PPAT dapat dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,- terhadap pelanggaran Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Jadi, sanksi yang dapat mengancam PPAT yang membuat akta tidak sesuai dengan syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau
bunga.
batal dan/atau batal demi hukum, dan menjadi suatu delik perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, harus didasari dengan adanya suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta PPAT tersebut palsu atau tidak benar karena telah terjadi penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT (aspek formal), maka pihak tersebut harus
melalui proses hukum gugatan perdata bukan dengan cara mengadukan PPAT kepada pihak kepolisian. 3.
Tanggung Jawab Secara Pidana. Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT
dapat
hormat
dari
jabatannya dan pengenaan denda administratif.
dilakukan
sebagaimana
sepanjang
tersebut
batasan-batasan
dilanggar,
artinya
disamping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an, Kode Etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
tata cara pembuatan akta PPAT adalah sanksi tidak
dan
menjadi akta dibawah tangan maupun dinyatakan
undang-undang perpajakan. Berkaitan dengan hal
dengan
rugi
bentuk
membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri PPAT
administratif ini, termasuk didalamnya adalah
pemberhentian
dalam
Penentuan bahwa akta tersebut terdegradasi terkait
dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang
pelanggaran
jawab untuk mengganti kerugian yang diderita
Menurut Habib Adjie, adapun perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai berikut: 13
2.
Tanggung Jawab Secara Keperdataan. Pertanggungjawaban
PPAT
a. secara
keperdataan sebagai akibat dari adanya kesalahan
13
Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang Habib Adjie, Op. cit, hal. 76.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 14
b. c.
d.
e.
dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP); Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP); Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP); Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP); Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP).
(BPN) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Penulis
adalah merupakan wujud
berpendapat
bahwa
seorang
(IPPAT). Adapun peranan BPN dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap
PPAT
agar
dalam
melaksanakan
jabatannya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT
dalam
hal
ini
adalah
memberikan
bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik IPPAT. Penulis berpendapat bahwa pengawasan oleh BPN dan IPPAT tersebut pada dasarnya dari perlindungan
PPAT tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1)
hukum (bersifat intern) terhadap PPAT itu sendiri
KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 266 ayat
oleh karena dengan adanya suatu pengawasan,
(1) tersebut, terdapat unsur menyuruh. PPAT
maka setiap
dalam pembuatan akta jual beli hanya merupakan
tindakannya baik dalam menjalankan jabatannya
media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik,
maupun diluar jabatannya selalu dalam koridor
sedangkan inisiatif timbul dari para penghadap,
hukum, sehubungan dalam menjalankan tugasnya,
sehingga dalam hal ini PPAT adalah pihak yang
seorang PPAT dituntut untuk selalu berpijak pada
disuruh dan bukan pihak yang menyuruh. Namun,
hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia,
apabila seorang PPAT telah dengan sengaja dan
dan juga berkewajiban untuk menjalankan tugas
diinsyafi atau disadari bekerja sama dengan
sesuai dengan etika yang sudah disepakati
penghadap, maka PPAT dapat dikenakan Pasal
bersama dalam bentuk Kode Etik. Kode Etik ini
263 ayat (1) KUHP yang dikaitkan dengan Pasal
membatasi tindak tanduk PPAT agar dalam
55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak
menjalankan tugas jabatannya tidak bertindak
pidana. Selain itu, karena produk yang dihasilkan
sewenang-wenang.
oleh PPAT adalah berupa akta otentik, maka
2.
PPAT dikenakan pemberatan yaitu sebagaimana
PPAT
dalam
berperilaku
dan
Prosedur Khusus Dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT
yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) huruf a KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan
MoU
atau
Nota
Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik V.
Perlindungan Hukum Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Melaksanakan Tugas Jabatannya
Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, No. Pol. : B/1055/V/2006 dan Nomor : 05/PP-IPPAT/V/2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan
Profesionalisme Dalam
Bidang
5.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT
Penegakan
Berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT
kesepahaman (MoU) ini pada Pasal 1 ayat (2),
1.
mengatur bahwa ketentuan Pasal 66 UUJN
Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT.
Hukum.
Di lampiran
nota
diberlakukan juga bagi PPAT dalam lingkup Institusi yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional
proses peradilan pidana, sedangkan dalam proses peradilan perdata tidak ada perangkat hukum yang mengaturnya, karena MoU diatas adalah nota
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 15
kesepahaman antara POLRI dengan IPPAT,
Perkembangan terkini telah menghentak
sedangkan MoU antara Badan Peradilan dengan
dunia
IPPAT tidak ada atau tidak diatur. Namun yang
Konstitusi (MK), dengan Putusan MK No.
menjadi
bagaimanakah
49/PUU-X/2012 tanggal 28 Mei 2013, telah
kekuatan hukum dari suatu nota kesepahaman
mengabulkan permohonan uji materiil (judicial
atau MoU ini? Menurut Sjaifurrachman, MoU
review) terhadap Pasal 66 ayat (1) UU No. 30
atau Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan
pertanyaan
Republik
Indonesia
adalah
dengan
merupakan
produk
hukum,
kesepakatan
antara
organisasi
IPPAT
Notaris,
yakni
Majelis
Mahkamah
bukan
dan
hanya
IPPAT
dan
berubah bunyi menjadi : Untuk kepentingan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan tidak
proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
mengikat Majelis Pengawas Daerah. Dalam hal
hakim berwenang (tanpa izin MPD):
ini PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau
a.
Mengambil fotokopi Minuta Akta
tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112
dan/atau surat-surat yang dilekatkan
KUHAP sedangkan penyitaan terhadap akta asli
pada Minuta Akta atau Protokol
PPAT (minuta) dan warkahnya hanya dapat
Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan
dan
Negeri setempat berdasarkan ketentuan Pasal 43 b.
KUHAP.14
Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
Dengan demikian dapat disimpulkan
dengan akta yang dibuatnya atau
bahwa terdapat kekosongan norma berkaitan
Protokol Notaris yang berada dalam
dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum
penyimpanan Notaris.
bagi seorang PPAT apabila ditinjau dari sudut peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-
Sehingga dengan dikeluarkannya putusan
an. Walaupun telah diatur dalam MoU dan
MK tersebut otomatis ketentuan perlindungan
memiliki kekuatan hukum mengikat, akan tetapi
hukum bagi Notaris khususnya dalam proses
MoU
urutan
pidana dan perdata kembali seperti sebelum
perundang-undangan di Indonesia. Salah satu
berlakunya UUJN atau pada saat berlakunya
konsekuensi logis dari prinsip negara hukum
Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.
adalah penerapan asas legalitas, dengan kata lain,
1860:3) tentang Peraturan Jabatan Notaris (PJN).
dalam unsur negara hukum Pancasila, asas
Dimana dalam proses peradilan guna mengambil
legalitas menjadi hal yang penting terutama
dokumen
kaitannya dengan aspek perlindungan hukum bagi
memanggil
PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan
pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-
yang mengatur, karena perlindungan hukum harus
dokumen yang dibuatnya dalam kedudukan
dimaknai
sebagai saksi, tersangka maupun terdakwa, tidak
tidak
termasuk
sebagai
dalam
tata
perlindungan
dengan
menggunakan sarana hukum atau perlindungan
dalam
penyimpanan
Notaris
untuk
Notaris hadir
dan dalam
perlu meminta persetujuan MPD.
yang diberikan oleh hukum, artinya pengaturan
Putusan MK ini jelas berimplikasi pula
mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang
kepada jabatan PPAT, karena dengan dicabutnya
dalam hukum positif.
beberapa frasa dalam Pasal 66 ayat (1) UUJN
14
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 236.
otomatis MoU atau nota kesepahaman antara POLRI-INI-IPPAT
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
menjadi
berubah
juga.
Page 16
Selanjutnya
sampai
sejauh
perundang-undangan
mana
terkait
peraturan
ke-PPAT-an
Putusan
MK
RI Nomor
49/PUU-X/201215,
tidaklah menghilangkan hak istimewa lainnya
mengatur mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya,
sehingga Jabatan PPAT sebagai Pajabat Umum
disamping ketentuan yang telah otomatis berubah
dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi.
sebagaimana penjelasan diatas. Penulis
berpendapat
Secara implisit hak istimewa PPAT frasa
diatur karena berkaitan dengan rahasia jabatannya
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD
sebagai pejabat umum. Apabila dikaitkan dengan
NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
hukum, maka tindakan membocorkan rahasia,
mengikat
pemanggilan
secara materil didasarkan pada Pasal 322 ayat (1)
terhadap Notaris maupun PPAT dalam suatu
KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata dan
perkara,
adanya
bahkan apabila terdapat unsur pencemaran nama
persetujuan dari MPD (karena frasa ini sudah
baik dapat dilihat pada pasal-pasal perbuatan
dihapus)
melanggar hukum dalam KUHPerdata.
maka
dalam
walaupun
akan
rangka
tidak
tetapi
walaupun
diperlukan
secara prosedur
etik,
pemanggilan tersebut minimal atau tetap harus diberitahukan kepada MPD sebagai pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Daerah sebagai pengawas
PPAT,
dan/atau
apabila
pihak
kepolisian dalam hal ini penyidik hendak meminta
Pasal 322 ayat (1) KUHP : rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu
keterangan dari Notaris/PPAT, akan lebih bijak
Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata :
pihak penyidik yang datang ke kantor. Di sisi lain menjadi kewajiban formal dan terstruktur dari INI dan/atau
IPPAT
untuk
mendampingi
atau
melakukan pendampingan kepada Notaris/PPAT yang
dipanggil
untuk
memenuhi
pekerjaannya atau jabatannya menurut undangundang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya
panggilan Sedangkan secara formil atau hukum
penyidik, kejaksaan dan hakim. Berkaitan dengan hal
tersebut
hendaknya
segera
dikeluarkan
Peraturan Menteri Hukum dan Ham perihal pemanggilan Notaris dan/atau Peraturan Kepala BPN RI perihal pemanggilan PPAT sehubungan dengan adanya Putusan MK tersebut agar tidak terjadi kesemena-menaan dalam pemanggilan Notaris/PPAT. 5.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT Berdasarkan uraian di atas Penulis
acara, didasarkan pada Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana, dan dalam Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. Pasal 170 KUHAP : (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
yang pertama yakni perlindungan hukum berupa
Pasal 277 ayat (1) HIR :
keharusan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim memperoleh persetujuan Majelis Pengawas
atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, boleh minta dibebaskan daripada
Daerah untuk memanggil PPAT dalam rangka proses
peradilan
telah
dicabut
berdasarkan
15
Berdasarkan Putusan MK ini otomatis MoU antara POLRI dengan IPPAT, yang memberlakukan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN bagi Jabatan PPAT juga berubah.
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 17
memberi penyaksian; akan tetapi hanya tentang hal itu saja, yang diberitahukan kepadanya karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya
diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata). 1.
Pasal 146 ayat (1) angka 3 HIR : Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan syah diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya sematamata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau
Pelaksanaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) oleh PPAT. Telah menjadi suatu asas hukum publik,
bahwa seorang pejabat umum, sebelum dapat menjalankan
jabatannya
dengan
sah,
harus
terlebih dahulu mengangkat sumpah atau diambil Sebagaimana uraian di atas, PPAT
sumpahnya, selama hal ini belum dilakukan, maka
sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menjaga
jabatan itu tidak boleh dan tidak dapat dijalankan
rahasia
yang
menggunakan
dipercayakan
orang
yang
dengan sah. Untuk jabatan PPAT asas ini tertuang
jasa PPAT kepadanya.
Sama
dalam
Pasal
15
ayat
(1)
PJPPAT,
yang
halnya dengan profesi Notaris maupun Advokat, rahasia
jabatan
tidak
sekedar
merupakan
jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib
ketentuan etik, melainkan pula menjadi asas
mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan
hukum yang memberikan Kewajiban Ingkar
Kepala
(Verschoningsplicht)
Kotamadya
dan
Hak
Ingkar
Kantor di
Pertanahan daerah
kerja
Kabupaten/ PPAT
yang
(Verschoningsrecht). Hal ini bermakna disamping berkewajiban untuk merahasiakan isi akta baik
jabatan PPAT dan PPAT Sementara, berdasarkan
karena hukum formal (Pasal 170 KUHAP dan
ketentuan Pasal 17 ayat (2) PJPPAT, diatur
Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3
didalam peraturan pelaksana PJPPAT yakni pada
HIR) maupun hukum materil (Pasal 322 ayat (1)
Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006.
KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata),
Pengaturan mengenai sumpah jabatan
juga untuk menjaga martabatnya sebagai seorang
tersebut merupakan instrumen Kewajiban Ingkar
Notaris/PPAT
(Verschoningsplicht)
yang
tentunya
menjadi
tidak
bagi
PPAT,
hal
ini
dipercaya, apabila Notaris/PPAT tersebut tidak
ditegaskan pula dalam Kode Etik IPPAT, dimana
bisa menjaga rahasia kliennya.
seorang PPAT dalam rangka melaksanakan tugas
Hak untuk tidak
membuka rahasia
jabatan ataupun dalam kehidupan sehari-hari
didasarkan atas kepercayaan yang diberikan oleh
di
klien untuk kepentingan suatu jabatan. Menjadi
negara dan hukum yang berlaku serta bertindak
kewajiban
sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik
untuk
tidak
membuka
rahasia
didasarkan pada sumpah jabatan dan Kode Etik IPPAT yang memberikan sanksi bagi PPAT yang
(Pasal 3 huruf b Kode Etik IPPAT).
membuka rahasia. Dalam hukum pidana Pasal 322
Jadi ketika PPAT dipanggil atau diminta
ayat (1) KUHP memberikan ancaman pemidanaan
oleh Penyidik untuk bersaksi atau memberikan
bagi wajib penyimpan rahasia yang membuka
keterangan berkaitan dengan akta yang dibuat
rahasia pekerjaan atau jabatannya. Sedangkan
dihadapannya, adalah menjadi kewajiban hukum
dalam kedudukan sebagai saksi pada perkara
PPAT untuk memenuhi hal tersebut. Kemudian
perdata PPAT dapat minta dibebaskan dari
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dapat
kewajibannya
kesaksian,
dipergunakan oleh PPAT pada saat memenuhi
undang-undang
panggilan penyidik, PPAT dapat menyatakan
karena
untuk
jabatannya
memberikan menurut
akan
mengunakan
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Kewajiban
Ingkarnya
Page 18
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1)
Seringkali terjadi persamaan perlakuan terhadap
PJPPAT Jo. Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006.
pemeriksaan PPAT sebagai saksi baik dalam
Pernyataan
Ingkar
tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan,
Acara
PPAT diposisikan seolah-olah sebagai warga
Pemeriksaan (BAP). Pernyataan menggunakan
negara masyarakat umumnya yang tidak memiliki
kewajiban
semata-mata
rahasia jabatan yang wajib dirahasiakannya.
menjalankan perintah PJPPAT, sehingga tidak
in the constitutional sense
tersebut
menggunakan
akan
dicatat
ingkar
Kewajiban
dalam
tersebut
Berita
equality does not mean that the law must treat
perlu disertai alasan apapun. 2.
Pelaksanaan Hak Ingkar
everyone equally and justice require differential
(Verschoningsrecht) oleh PPAT
treatment when there are relevant or justified
Kewajiban untuk memenuhi panggilan
grounds
for
that
treatment.
Equality
in
sebagai saksi ditegaskan dalam Pasal 244 KUHP
constitutional sense therefore means that those
Jo. 522 KUHP, dimana terdapat ancaman pidana
who are similarly situated, or which reasons are
apabila tidak dipenuhi sehingga PPAT wajib
just
memenuhi panggilan tersebut. Berkaitan dengan
kesetaraan tidak berarti bahwa hukum harus
hal tersebut, Penulis berpendapat ketika PPAT
memperlakukan semua orang sama dan keadilan
dipanggil pengadilan untuk bersaksi berkaitan
memerlukan perlakuan yang berbeda ketika ada
dengan akta yang dibuat dihadapannya atau
alasan yang relevan atau dibenarkan untuk
berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan PPAT
perlakuan itu.
berdasarkan
peraturan
reasons
16
Artinya
dalam
konstitusi
perundang-undangan
Di sisi lain, Notaris/PPAT merupakan
terkait ke-PPAT-an, maka PPAT wajib memenuhi
profesi hukum dan dengan demikian profesi
panggilan tersebut, dan ketika panggilan tersebut
Notaris/PPAT adalah suatu profesi mulia (nobile
dipenuhi, seorang PPAT bisa mempergunakan
officium),
Hak
dengan
profesi notaris sangat erat kaitannya dengan
terlebih dahulu membuat surat permohonan
kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh dan/atau
kepada hakim yang mengadili/memeriksa perkara
dihadapan Notaris/PPAT dapat menjadi alas
tersebut, bahwa PPAT akan menggunakan Hak
hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban
Ingkarnya. Hakim yang memeriksa perkara yang
seseorang. Kekeliruan atas akta Notaris/PPAT
bersangkutan
dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang
Ingkar
(Verschoningsrecht)-nya
akan
menetapkan
apakah
disebut nobile
terbebaninya
officium dikarenakan
mengabulkan atau menolak permohonan PPAT
atau
tersebut. Jika hakim mengabulkan permohonan
kewajiban.17 (garis bawah dari Penulis)
PPAT tersebut, maka PPAT tidak perlu bersaksi.
Berpijak
seseorang
pada
atas
pandangan
suatu
tersebut,
Tapi jika hakim menolak permohonan PPAT
Penulis berpendapat bahwa Notaris maupun
tersebut, maka PPAT perlu bersaksi, dan atas
PPAT yang dalam pasal 1868 KUHPerdata,
keterangan PPAT sebagai saksi di Pengadilan,
dikenal
sebagai
Pejabat
Umum
(Openbare
jika ada yang dirugikan atas keterangan PPAT, maka PPAT tidak dapat dituntut berdasarkan Pasal
322
ayat
(1)
KUHP
karena
PPAT
melakukannya atas perintah hakim. Berpijak pada uraian diatas keberadaan PPAT selama ini dimata hukum seolah-olah tidak ada
bedanya
dengan
masyarakat
umum.
16
Johan Rabe, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ, Germany, p. 21. 17 A n sh o r i , Ab d u l Ghofur, 2009, Le m b a g a K e no t a r i at an I nd o ne si a ( P e r sp e k ti f H u k u m d an E ti k a) , U I I P r e ss, Y o g y a k ar ta, ha l . 2 5 .
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 19
Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam UUJN
Pasal 1868 KUHPerdata dikaitkan dengan
dan PJPPAT adalah orang yang dikecualikan dari
ketentuan Pasal 95-102 Peraturan Menteri
prinsip equality before the law, dan memenuhi
Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun
persyaratan-persyaratan
1997
tertentu
yang
dibuat
tentang
Ketentuan
Pelaksanaan
sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
orang yang terhormat (nobile person) atau profesi
tentang Pendaftaran Tanah, maka apabila
terhormat dan luhur (officium nobile), sebaliknya
ketentuan formil tersebut dilanggar, akan
seorang Notaris/PPAT yang tidak sedang dalam
menyebabkan terdegradasinya kekuatan
kapasitas sebagai Notaris/PPAT adalah sama
bukti sempurna dari akta jual beli tersebut
dengan orang pada umumnya, yang tunduk pada
menjadi kekuatan bukti akta dibawah
prinsip equality before the law.
tangan
Dengan
demikian
berpijak
pada
berdasarkan
putusan
Pengadilan menyatakan adanya salah satu
diakuinya suatu imunitas hukum berupa Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dan Kewajiban Ingkar
apabila
atau lebih pelanggaran yang dilakukan. -
Penyimpangan terhadap Syarat Materil
(Verschoningsplicht), serta PPAT dikualifikasikan Dengan
sebagai Pejabat Umum yang juga termasuk dalam
berpijak
pada
syarat-syarat
perjanjian yang diatur pada Pasal 1320
kategori orang yang terhormat, jabatan terhormat
KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan
(nobile person, nobile officium), maka sudah
Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah
sepantasnya urgensi pengaturan secara normatif
No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
mengenai prosedur khusus dalam penegakan
Tanah, maka syarat materil dari tata cara
hukum (pemanggilan dan pemeriksaan pada
pembuatan akta PPAT harus memenuhi
proses penyidikan, penuntutan dan persidangan)
syarat-syarat subyektif (subyek hak atau
terhadap seorang PPAT segera diatur kembali
para
dengan masukan pengaturan tersebut di atur
pihak
yang
menghadap
atau
komparan) dan syarat obyektif (obyek hak
bukan dalam suatu MoU tapi dalam suatu
yang dialihkan) dalam pembuatan akta
ketentuan normatif.
PPAT. Apabila syarat subyektif dan obyektif dilanggar, maka akta PPAT
VI. Simpulan dan Saran
tersebut
6.1 Simpulan
1.
Tanggung jawab PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum yang dikarenakan adanya kesengajaan maupun kelalaian dalam proses pembuatan akta PPAT akan berakibat hukum terhadap akta jual beli sekaligus terhadap PPAT
beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum yang didasari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT dapat dikenai sanksi : -
Sanksi Administratif : PPAT yang bersangkutan dapat dikenai sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda administratif karena telah melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya.
-
Sanksi Perdata : Apabila akta PPAT yang terdegradasi menjadi akta dibawah tangan,
Penyimpangan terhadap Syarat Formil Dengan
berpijak
pada
pembatalan
Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual
bersangkutan berupa: -
dimintai
dan/atau dinyatakan batal demi hukum.
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
dapat
syarat-syarat
terpenuhinya akta otentik yang diatur pada
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 20
jabatan
atau dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT dapat dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. -
2.
Pejabat
tentang
Pembuat
Peraturan
Akta
Pasal 322 ayat (1) KUHP;
-
Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata.
Secara Formil : - Pasal 170 KUHAP dalam proses acara pidana; -
Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR dalam proses acara perdata.
Jabatan
Tanah
beserta 6.2 Saran
PPAT-an
1.
tidak
mengatur
perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan
tugas
jabatannya.
Secara
eksplisit pengaturan mengenai perlindungan hukum
bagi
PPAT
diatur
pada
Nota
Kesepahaman antara POLRI dengan IPPAT No. Pol. : B/1055/V/2006 dan Nomor : 05/PP-IPPAT/V/2006,
yang
menentukan
bahwa Pasal 66 UUJN diberlakukan pula terhadap PPAT. Namun berdasarkan Putusan MK RI Nomor 49/PUU-X/2012 prosedur khusus dalam mekanisme pemanggilan dan penyitaan protokol akta Notaris/PPAT tidak perlu meminta persetujuan Majelis Pengawas Daerah, artinya hak istimewa tersebut telah dicabut. Secara implisit hak istimewa lainnya yang dimiliki oleh PPAT adalah Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht) yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban memberi keterangan
sebagai
saksi
di
PPAT,
-
peraturan perundang-undangan terkait kelainnya
satunya
Secara Materil : - Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998;
Secara normatif Peraturan Pemerintah No. 37 1998
salah
berdasarkan :
Sanksi Pidana : Sepanjang tindakan PPAT bersangkutan terbukti secara sengaja dan direncanakan baik sendiri maupun secara bersama-sama dengan salah satu atau para pihak melakukan pembuatan akta yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana, maka terhadap PPAT bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku.
Tahun
tertentu,
tingkat
penyidikan, penuntutan dan persidangan baik perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-
Untuk PPAT Sebagai PPAT dalam melakukan pembuatan akta jual beli hendaknya berpijak pada ketentuan
peraturan
perundang-undangan
terkait ke-PPAT-an yang ada, karena akta otentik yang dibuatnya akan mempengaruhi kepastian hukum peralihan hak atas tanah sehingga
dapat
mengurangi
timbulnya
permasalahan dan konflik pertanahan yang disebabkan dari alat bukti hak atas tanah yang cacat hukum, baik secara yuridis maupun teknis dan administratif. PPAT hendaknya lebih
memperhatikan
ketentuan-ketentuan
dan
yang
memahami
terkait dengan
pelaksanaan tugas jabatannya agar terhindar dari
sanksi
pemberhentian,
denda
administratif, dan gugatan ganti rugi dari para pihak maupun tuntutan pidana. Disamping itu PPAT dalam menjalankan tugasnya harus selalu berlandaskan pada moralitas dan integritas yang tinggi terhadap profesi dan jabatannya selaku PPAT. Untuk Pemerintah dan DPR
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 21
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan akta
melaksanakan
PPAT lebih menitikberatkan pada unsur
Umum. Berpijak pada diakuinya hak ingkar
kepastian hukum, akan tetapi perkembangan
sebagai suatu kewajiban hukum sekaligus
dalam praktek terkadang menerobos aturan-
imunitas hukum, menunjukkan PPAT selaku
aturan tersebut yang apabila tidak dipenuhi
Pejabat
maka akan banyak kepentingan klien yang
dibanding masyarakat biasa, maka perlu
tidak bisa dilayani. Sehingga perlu kiranya
dipertimbangkan
dinamika-dinamika yang berkembang dalam
khusus dalam penegakan hukum terhadap
proses pembuatan akta PPAT diperhatikan
PPAT. Untuk tindakan jangka pendek demi
dan ditampung untuk dijadikan pertimbangan
menjaga harkat dan martabat Jabatan PPAT
dalam
(juga
pengaturan
Umum
memiliki
hak
pengaturan
istimewa
mekanisme
unsur
kepastian
pemanggilan terhadap PPAT (juga Notaris)
hukum dalam pembuatan akta PPAT dapat
minimal ada pemberitahuan kepada Majelis
terpenuhi dan sebaliknya unsur pelayanan
Kehormatan Daerah (MPD bagi Jabatan
terhadap masyarakat pengguna jasa PPAT
Notaris) melalui suatu peraturan organis.
juga dapat terakomodasi dengan baik.
Sedangkan
Diharapkan peraturan perundang-undangan
penyitaan protokol PPAT kembali pada
yang
(ius
aturan Pasal 43 KUHAP, yakni harus dengan
unifikasi
izin Ketua Pengadilan Negeri setempat
akan
berlaku
constituendum) hukum
dibentuk
mengenai
kemudian suatu
pengaturan
PPAT
di
diharapkan
Pejabat
normatif
Sehingga
Notaris)
sebagai
secara
kedepannya.
2.
tugasnya
prosedur
prosedur
pengambilan
atau
terlebih dahulu.
Indonesia dalam bentuk Undang-Undang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta
PPAT
dan
pengaturan
mengenai
perlindungan hukum bagi PPAT dalam VII. Daftar Bacaan A. Buku-buku Adjie, Habib, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), UII Press, Yogyakarta. Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rabe, Johan, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ, Germany. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung. Soemitro, Ronny Hamitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta. B. Artikel Majalah
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 22
Setiawan, Wawan Media Notariat Nomor 3841, Jan-Apr-Jul-Okt 1996. C. Makalah Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Diponegoro, Semarang. D. Internet
diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
:
Tjahjono, Jusuf Patria diakses pada tanggal 15 November 2012, URL : http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakahnotaris-tunduk-pada-prinsip.html E. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23). Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.I.B.) (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 1017, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4432). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3746). Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta. Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Kepala BPN Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta. *****
Jurna l Ilmia h P ro di Mag ister K eno ta riata n, 20 13 -201 4
Page 23