TESIS
PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (STUDI KASUS)
NI MADE IRPIANA PRAHANDARI NIM. 1092461017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (STUDI KASUS)
Tesis ini dibuat untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE IRPIANA PRAHANDARI NIM. 1092461017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 8 JULI 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Ibrahim R,SH.,MH.) NIP. 19551128 198303 1003
(I Gst. Nyoman Agung, SH.,M.Hum.) NIP. 19501231 197903 1020
Mengetahui :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
(Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH.) (Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal: 08 Juli 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana, Nomor : 1915/UN14.4/HK/2014 Tanggal 23 Juni 2014
Ketua
: Prof. Dr. Ibrahim R., SH.,MH.
Anggota
: 1. I Gusti Nyoman Agung, SH., M.Hum. 2. Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH. 3. Dr. I Gede Yusa, SH., MH. 4. B.F. Harry Prastawa, SH., M.Kn.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa : Nama
:
Ni Made Irpiana Prahandari
Nim
:
1092461017
Program Studi
:
Kenotariatan
Judul Tesis
:
Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, Juni 2014 Yang membuat pernyataan
( Ni Made Irpiana Prahandari )
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, kerena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
meyelesaikan tesis yang berjudul “PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (STUDI KASUS).” Penulis menyadari masih terdapat kekurangan di dalam penulisan tesis ini, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kreteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH., selaku pembimbing pertama dan I Gusti Nyoman Agung, SH., M.Hum., selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan dorongan, kesabaran, bimbingan, perhatian, dan saran kepada penulis dalam proses penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister pada Universitas Udayana. Kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. A.A. Raka Sudewi,
vi
Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana, kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebebesarbesarnya kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH., atas kesempatan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf dan karyawan disekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, I Gede Wijaya dan Ni Kadek Arsini atas nilai-nilai kehidupan, kasih sayang, dan dukungan yang besar kepada penulis. Terima Kasih kepada Bapak Drs. I Made Witna, M.Si., dan Ibu Ni Luh Mustikawati, S.Sos., yang selalu memberikan dorongan dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini, kepada saudara-saudara tercinta atas doa, bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk tetap semangat mengikuti Program Magister Kenotariatan, dan anak tercinta Aina Anindya Putri Pramana yang memberikan semangat dan inspiraasi
vii
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Untuk sahabat-sahabat Putu Deviyanti Sugitha, SH, Kadek Femy Yulistiawati, SH, I Gusti Ayu Novi Ratna Sari, SH., M.Kn., Putu Mas Maya Ramanti, SH., dan Anak Agung Putri Aprilina, SH., M.Kn., terima kasih atas semangat, dorongan dan dukungannya selama ini, serta seluruh teman-teman Angkatan I Magister Kenotariatan Universitas Udayana atas persaudaraan dan kekeluargaannya. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua. Dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Denpasar, Juni 2014 Penulis
viii
ABSTRAK PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (STUDI KASUS) Hukum pertanahan nasional melarang penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing sebagai tercermin dalam ketentuan Pasal 9 UUPA yang menetapkan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah. Selain itu, ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA juga melarang pemindahan hak milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun dewasa ini di Kota Denpasar banyak terjadi penguasaan Hak Milik atas tanah oleh orang asing melalui Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal tersebut disebabkan akibat terjadinya kekaburan norma dengan memanfaatkan celah yang ada dalam UUPA maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas, maka pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimanakah keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan apakah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan Pendekatan Perundang-undangan, Pendekatan Fakta, dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum. Sumber data utama yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data sekunder. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskripsi. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik interpretasi. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dilakukan Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah secara yuridis formal tidak menyalahi aturan, dalam arti sah secara hukum. Akan tetapi secara materiil hal itu melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA karena merupakan upaya tidak langsung untuk memindahkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah batal demi hukum karena syarat objektif tidak dipenuhi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan demikian sejak semula perjanjian itu tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sesungguhnya penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga
ix
Negara Asing, baik secara langsung maupun tidak langsung tidak menjanjikan perlindungan hukum bagi yang bersangkutan. Kata Kunci : Pemindahan, Hak Milik Atas Tanah, Tidak Langsung, Warga Negara Asing, Akta Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah.
x
ABSTRACT THE POSSESSION OF LAND PROPRIETARY RIGHT OF INDONESIAN CITIZEN BY FOREIGN NATIONALS WITH THE ACT FROM NOTARY/LAND DEED OFFICIAL (A CASE STUDY) National land laws prohibit the proprietary right of land by foreigners as reflected in the provisions of Article 9 UUPA which confirm that only Indonesian citizens who can have ownership rights on the land. In addition, the provisions of Article 26 Paragraph (2) UUPA also prohibit the transfer of ownership of land from the citizen of Indonesian to foreign citizen, both directly and indirectly. However today, in Denpasar there are lot of cases of the possession of land proprietary right by foreigners through notarial deeds/land deed officials. It is caused due to the vagueness of norm by utilizing the existing loopholes in the UUPA and in PP Number 41of 1996. The problem discussed in this thesis are : how is the arrangement validity of the use of property rights on land owner by Indonesian citizens by foreign nationals is carried out by a notary public/land deed official, and what are the legal consequencesof the deed agreement of the possession of the land proprietary right of the Indonesian citizen by a foreign national made by a notarypublic/land deed official. The type of study used is normative legal research which explains the vagueness of norm in the national land laws so that foreign nationals can prossess land property rights of Indonesian citizens with a notarial deed/land deed official by smuggling through legal means. The approach that used in this study are Legislation approach, Facts Approach and Analysis of Legal Concepts Approach. The main data sources used in normative legal research is secondary data. The analysis technique used is the technique descriptions. This was followed by interpretation techniques. Interpretation techniques such as the use of other types of interpretation in the jurisprudence as grammatical interpretation, historical, systematic, teleological, contextual, etc The results of the study show that the validity of the land proprietary rights of Indonesian citizens by foreign nationals which are drawn up by a notary with a notarial deed/land deed officials does not violate the rules land is in accordance with formal laws, in the sense that it is legally valid. But it violates materially the provisions of Article 26 Paragraph (2) of UUPA because it is an attempt to move indirectly to transfer the land of Indonesian citizen to foreign nationals. Legal consequences of the deed of agreement of the land proprietary rights of Indonesian citizen by foreign nationals made by a notary public/land deed official is null and void because the objective conditions are not met, as postulated by Article 1320 of the Civil Code. Thus since the beginning the agreement has never been produced and there has never been a bond agreement. The purpose of the parties to the agreement to deliver a legal engagement is failing.Thus, there is no basis to sue each other in front of a judge. Indeed tenure rights to land by foreign citizens, either directly or indirectly does not promise a legal protection to the party concerned. Keywords : displacement, land ownership,indirect, foreign nationals, notarial deed, land deed officials.
xi
RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai terjadinya penguasaan Hak Milik atas tanah oleh orang asing melalui Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Denpasar yang dilarang oleh UUPA. Penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing dilakukan secara tidak langsung melalui cara penyelundupan hukum. Bab I menggambarkan latar belakang mengenai adanya kekaburan norma dalam hukum pertanahan nasional sehingga Warga Negara Asing dapat menguasai Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia melalui serangkaian akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang pada hakekatnya merupakan perpindahan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Hal tersebut berhasil mensiasati larangan yang ditentukan oleh Pasal 9 UUPA dan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Selanjutnya diuraikan juga tentang rumusan masalah mengenai bagaimanakah keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) yang dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan apakah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan konseptual dengan menggunakan asas-asas UUPA, Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Konsep Subyek Hukum, dan Konsep Penguasaan Tanah, serta metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Bab II menguraikan tinjauan umum tentang penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing, yaitu mengenai pengertian dan dasar hukum Hak Milik atas tanah, pengertian Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing, pengertian dan dasar hukum Akta Notaris dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Bab III merupakan pembahasan untuk menjawab masalah pertama dari penelitian ini yang menguraikan mengenai penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing menurut UUPA, larangan pemindahan Hak Milik atas tanah kepada Warga Negara Asing menurut ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, serta dasar pemikiran larangan penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing dikaitkan dengan asas nasionalitas yang dianut oleh UUPA. Uraian tersebut dapat menjawab permasalahan keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) yang dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Bab IV merupakan pembahasan untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini yang menguraikan kasus penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Uraian tersebut dapat menjawab persoalan akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
xii
Bab V kesimpulan dan saran. Kesimpulan permasalahan pertama pada tesis ini adalah keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dilakukan Notaris dengan Akta Notaris/PPAT secara yuridis formal tidak menyalahi aturan, dalam arti sah secara hukum. Akan tetapi secara materiil hal itu melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA karena merupakan upaya tidak langsung untuk memindahkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia ke Warga Negara Asing. Kesimpulan kedua dari permasalahan dalam tesis ini adalah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah batal demi hukum karena syarat objektif tidak dipenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian sejak semula perjanjian itu tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sesungguhnya penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing, baik secara langsung maupun tidak langsung tidak menjanjikan perlindungan hukum bagi yang bersangkutan. Saran penulis adalah Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ada di Denpasar sebaiknya menolak membuat suatu perjanjian antara Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing apabila dengan perjanjian itu terjadi pengalihan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing tersebut secara tidak langsung. Majelis Pengawas Daerah sebagai ujung tombak pengawasan Notaris harus memantau dengan intensif dengan mencermati akta-akta yang dibuat oleh Notaris dan mengambil tindakan tegas apabila akta yang dibuat Notaris tersebut merupakan usaha penyelundupan hukum untuk mengalihkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia ke Warga Negara Asing karena hal tersebut melanggar hukum. Peralihan Hak Milik atas tanah secara tidak langsung oleh Warga Negara Asing melalui instrumen perjanjian harus dicegah melalui kerjasama antara Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kantor Badan Pertanahan karena mengabaikan hakekat dari Hukum Pertanahan Nasional.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN ...........................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................
vi
ABSTRAK .....................................................................................................
ix
ABSTRACT .....................................................................................................
x
RINGKASAN ................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1. Pendahuluan .............................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................
17
1.3. Ruang Lingkup Penelitian .............................................
17
1.4. Tujuan Penelitian ...........................................................
18
1.4.1. Tujuan Umum .......................................................
18
1.4.2. Tujuan Khusus ......................................................
19
xiv
BAB II
1.5. Manfaat Penelitian .........................................................
19
1.5.1. Manfaat Teoritis ...................................................
19
1.5.2. Manfaat Praktis .....................................................
20
2. Landasan Teoritis dan Konseptual ...........................................
20
2.1. Asas-Asas UUPA ..........................................................
21
2.2. Teori ...............................................................................
29
2.2.1. Teori Negara Hukum ..........................................
29
2.2.2. Teori Kewenangan ..............................................
32
2.3. Konsep-Konsep .............................................................
36
2.3.1. Konsep Subyek Hukum ......................................
36
2.3.2. Konsep Penguasaan Tanah ..................................
41
3. Metode Penelitian .....................................................................
44
3.1. Jenis Penelitian ..............................................................
44
3.2. Jenis Pendekatan ............................................................
45
3.3. Sumber Bahan Hukum....................................................
46
3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................
47
3.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................
48
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/ PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ...................................... 50 2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik Atas Tanah ...........
50
2.2. Pengertian Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing 56 2.3. Pengertian dan Dasar Hukum Akta Notaris dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ..............................................
xv
65
BAB III
PENGATURAN KEABSAHAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ...... 71 3.1. Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing Menurut UUPA 71
BAB IV
3.2. Dasar Pemikiran Larangan Pemindahan Hak Milik Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing ....................................
90
3.3. Keabsahan Penguasaan Hak Milik atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ...................................
93
AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERJANJIAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS/ PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ..................................... 102 4.1. Kasus Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ...................................
102
4.2. Akibat Hukum Akta Perjanjian Penguasaan Hak Milik atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing Yang Dibuat Oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ....................................................................................
117
BAB V PENUTUP .....................................................................................
129
5.1. Kesimpulan ...........................................................................
129
5.2. Saran ......................................................................................
130
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
132
LAMPIRAN : 1. Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan 2. Akta Kuasa Menjual 3. Akta Pernyataan 4. Akta Pernyataan Pelunasan 5. Perjanjian Sewa Menyewa
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Keberadaan tanah tidak dapat dilepaskan dari segala aktifitas manusia baik dalam pergerakan ekonomi, sosial, politik dan budaya seseorang maupun suatu komunitas masyarakat. Hal ini disebabkan karena tanah memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting bagi setiap manusia dalam menjalankan aktifitas dan melanjutkan kehidupannya sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak manusia dilahirkan, hidup bahkan sampai matipun erat kaitannya dengan tanah. Kedudukan tanah dalam era pembangunan ini juga demikian, dimana setiap kegiatan pembangunan senantiasa memerlukan tanah sehingga keinginan masyarakat untuk memiliki sebidang tanah pun semakin meningkat. Mengingat pentingnya peranan tanah bagi kehidupan manusia, maka penguasaan atas tanah dan kekayaan alam di Negara sebesar Indonesia sangat menarik untuk dikaji. Sejak era reformasi, masalah tanah menjadi isu sentral dalam pergerakan sosial di Indonesia. Terjadinya perubahan-perubahan dalam bidang pertanahan baik itu penguasaan tanah antar Pemerintah Daerah, antar Pemerintah
dengan
masyarakat,
maupun
antar
masyarakat
itu
sendiri
menyebabkan hampir setiap hari di media massa banyak memberitakan mengenai sengketa-sengketa
tanah
sebagai
hasil
berlangsung terlalu cepat.
1
dari
perubahan-perubahan
yang
2 Dewasa ini sengketa-sengketa tanah yang terjadi lebih kepada tanah yang digunakan
untuk
proyek
pembangunan
seperti
real
estate,
pariwisata,
pertambangan, pembangunan jalan, bendungan, kawasan industri, serta lapangan golf. Demikian pula kebanyakan dari sengketa tanah itu berkaitan dengan pertentangan hak dan kepentingan antara penduduk lokal dengan kekuatankekuatan luar yang berusaha keras mencari keuntungan komersial dari proyekproyek tersebut. Dalam banyak kasus, kepentingan penduduk asli atau penggarap tanah sering dikorbankan atas nama kepentingan umum demi pembangunan, karena kurangnya atau lemahnya pengakuan hukum terhadap tanah tersebut. Kerentanan terhadap pengakuan pemilikan tanah penduduk asli maupun penggarap tanah telah terjadi sejak periode kolonial Belanda, sehingga maraknya sengketa tanah saat ini memiliki akar sejarah yang panjang. 1 Seiring dengan adanya arus globalisasi yang semakin meluas, banyak negara-negara berkembang membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada para investor asing dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi di negaranya. Hal ini memberikan peluang bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya di Indonesia. Berbagai pihak yang terlibat dalam bisnis properti kerap menyuarakan perlunya orang asing diberi kesempatan memiliki properti di Indonesia. Salah satu latar belakang yang melandasi pemikiran tersebut adalah agar industri properti di Indonesia lebih maju karena pemasarannya akan diminati warga negara asing.
1
Kano Hiroyoshi, 1997, Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan, Cet. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 31.
3 Dengan diberikannya kesempatan orang asing memiliki properti di Indonesia, maka negara akan mendapat tambahan devisa dalam jumlah yang besar. Menurut Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, apabila orang asing diperbolehkan memiliki rumah atau properti di Indonesia dengan hak milik yang sama dengan Warga Negara Indonesia (WNI) maka investasi yang akan masuk diperkirakan mencapai 3 sampai dengan 6 milyar dolar AS pertahun.2 Hanya saja hal itu akan mengabaikan ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Untuk melaksanakan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Dalam dictum ke V UUPA
yang merupakan pembaharuan hukum
agraria bertujuan untuk
mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dari segi hukum Indonesia yang berdaulat sempurna. 3 UUPA secara tegas menetapkan bahwa hanya WNI yang dapat memiliki hak milik atas tanah di Indonesia. Dalam penjelasan Pasal 9 UUPA diuraikan bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. UUPA melarang hak 2
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, 2013, Kepemilikan Properti di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 1. 3 Notonagoro, 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hal. 5.
4 milik kepada orang asing sebagai mana ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi batal demi hukum. Sekalipun UUPA melarang orang asing mempunyai hak milik atas tanah, namun menurut A.P Parlindungan, UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi hanya terbatas, yakni hanya boleh dengan status hak pakai, tidak boleh hak jenis lain. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas kepentingan warga negara Indonesia di atas segala-galanya baik dari segi ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut hankamnas.4 Di era globalisasi dewasa ini, kesempatan bagi orang asing untuk memiliki hak atas tanah, sekalipun bukan hak milik, merupakan salah satu perwujudan dari asas-asas hukum baru yang berkembang dalam hukum perdagangan internasional global. Globalisasi perdagangan membuat kehadiran orang asing di Indonesia merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Sekalipun demikian perangkat hukum yang ada untuk mengatur kehadiran warga negara asing di Indonesia tidak secara tegas mendefinisikan pengertian warga negara asing. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kewarganegaraan) tidak memberikan pengertian mengenai Warga Negara Asing (WNA) secara gamblang. Dalam Pasal 7 UU Kewarganegaraan hanya disebutkan bahwa, “setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia 4
A.P Parlindungan, 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cet VII, Mandar Maju, Bandung, hal. 81.
5 diperlakukan sebagai orang asing.” Sementara itu pengertian WNI dinyatakan secara tegas dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan yang menyebutkan bahwa, “Yang menjadi Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Selanjutnya penjelasan Pasal 2 tersebut menyatakan bahwa, “Warga Negara Indonesia asli adalah orang yang berdasarkan tempat kelahiran dan kehendak orang itu hanya menerima satu kewarganegaraan yaitu Warga Negara Indonesia.” Sedangkan mengenai pengertian orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara tidak dijelaskan. Hanya saja diisyaratkan apabila ada orang asing yang akan menjadi Warga Negara Indonesia harus memenuhi persyaratan yang berlaku dan disahkan oleh UndangUndang. Sehingga orang yang berada diluar kententuan dalam Pasal 2 dan penjelasannya adalah bukan Warga Negara Indonesia atau orang asing. Kehadiran warga negara asing di Indonesia dapat dibagi dua golongan, yaitu yang bertempat tinggal secara menetap (penduduk Indonesia) dan yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap, melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia. Pembedaan dalam dua golongan tersebut berhubungan dengan dokumen yang harus ditunjukkannya pada waktu melakukan perbuatan hukum memperoleh rumah sebagai berikut :
6 a. Bagi orang asing penetap melalui izin tinggal tetap; b. Bagi orang asing lainnya melalui izin kunjungan atau izin keimigrasian lainnya berbentuk tanda yang diterakan pada paspor atau dokumen keimigrasian lainnya yang dimiliki oleh orang asing bersangkutan.5 Sensitifitas masyarakat internasional terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin meningkat, khususnya mengenai hak-hak sipil dan isu-isu diskriminasi terhadap orang asing yang dikaitkan dengan reputasi moral, komitmen dan martabat suatu bangsa terhadap dan dalam pergaulan internasional. WNA dalam tesis ini diartikan sebagai orang perorangan, tidak termasuk badan hukum. Pembatasan makna ini dilakukan berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini. Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisata dunia yang utama memberikan pengalaman beragam bagi wisatawan yang telah mengunjunginya. Dengan keunikan dan berbagai hasil seni budayanya menyebabkan pulau Bali tidak pernah sepi dikunjungi oleh para wisatawan asing. Bahkan, Warga Negara Asing yang berkunjung ke pulau Bali banyak yang menginginkan untuk memperpanjang waktu tinggal mereka bahkan tidak sedikit pula yang sampai berkeinginan untuk tinggal menetap dan menguasai tanah di Bali sebagai asset ataupun sebagai tempat peristirahatan. Bagi mereka pulau Bali adalah surga yang terkenal akan keindahan alam, kebudayaannya dan keramahtamahan penduduknya.
5
Arie S. Hutagalung, 1998, Condominium dan Permasalahannya, Cet. Pertama, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 99.
7 Hal ini menunjukan bahwa perekonomian Bali yang tergantung pada sektor pariwisata membuat kehadiran WNA dalam kegiatan dunia usaha pariwisata di Bali, pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, merupakan hal yang tak dapat dihindari. Untuk itu perlu diusahakan ketersediaan perangkat hukum yang dapat menciptakan situasi yang memungkinkan kelebihan pihak asing dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak. Perangkat hukum tersebut diperlukan sebagai instrumen pengendali dan pengawas masuknya pihak asing di Indonesia di bidang pertanahan, penanaman modal, pemilikan saham yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan dalam bidang kepariwisataan. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang ada saat ini berlaku di Indonesia sesungguhnya telah mengatur secara jelas dan tegas hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh orang asing. Secara umum dapat dinyatakan bahwa orang asing dapat memiliki hak-hak atas tanah tertentu kecuali Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 42 UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disebut PP 41/1996).
8 Pasal 42 UUPA menyatakan bahwa orang asing dan badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia dapat mempunyai hak atas tanah. Hak Pakai menurut Pasal 41 UUPA adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Sementara itu hak pakai untuk orang asing dalam bentuk yang lebih khusus diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP 41/1996 yang membolehkan orang asing mempunyai tempat tinggal di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) PP 41/1996 memuat syarat orang asing yang dapat mempunyai rumah tempat tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional. Selanjutnya Pasal 2 PP 41/1996 mengandung pembatasan bahwa orang asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai. Pasal 5 ayat (1) PP 41/1996 membatasi hak pakai tersebut paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu tertentu setelah jangka waktu
9 pemberian pertama berakhir. Hak pakai rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbaharui untuk jangka waktu 25 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia. Hal itu diatur oleh Pasal 5 ayat (2) PP 41/1996. Ketentuan dalam PP 41/1996 ini membatasi rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing adalah yang berdiri di atas “hak pakai atas tanah negara” atau “hak pakai diatas hak milik.” Khusus yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian dengan pemegang hak milik yang dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) (Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 tahun 1996 dan Nomor 8 tahun 1996). Dalam PP tersebut tidak disebut mengenai rumah yang dapat dimiliki orang asing yang berdiri di atas tanah hak pakai yang berasal dari hak pengelolaan. Pada kenyataannya pemanfaatan hak pakai oleh WNA sangat jarang bahkan sering dihindari karena prosesnya dianggap telalu rumit. Selain itu kepemilikan tanah dengan hak pakai memiliki keterbatasan jangka waktu yang apabila batas waktu tersebut telah habis masa berlakunya maka harus diperpanjang. Namun berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disebut UU PMA) semakin membuka celah bagi WNA untuk memiliki lahan di Indonesia sebagai sarana untuk
10 mempermudah WNA tersebut melakukan aktifitas penanaman modal di Indonesia. Dengan UU PMA ini diharapkan dapat membuat semakin banyak WNA menanamkan modalnya di Indonesia. Orientasi dari undang-undang ini adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi yang berasaskan kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, perlakuan yang sama, dan tidak membedakan asal negara. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas teknologi nasional. Penanaman modal yang dilakukan oleh WNA di Indonesia, misalnya dalam bidang Industri, jelas akan memerlukan ketersediaan lahan berupa tanah untuk keperluan industrinya tersebut. Selain itu WNA tersebut juga membutuhkan sarana dan prasarana untuk menjalankan aktivitasnya di Indonesia, seperti sarana perkantoran dan tempat tinggal (hunian). Sebagai konsekuensinya, WNA tersebut dapat mengelola hak atas tanahnya secara pribadi maupun melalui badan hukum yang didirikan di Indonesia. Selain itu WNA tersebut juga berpeluang mendapatkan hak-hak atas tanah yang lain. Ketentuan mengenai Hak Pakai dalam PP 41/1996 merupakan dasar bagi kepemilikan rumah bagi orang asing di Indonesia. PP 41/1996 memberikan jaminan terhadap kepemilikan rumah bagi orang asing yang berkedudukan di
11 Indonesia. Secara tegas dijumpai dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) sebagaimana telah diuraikan di atas. Kehadiran WNA di Indonesia tidak hanya untuk tujuan investasi saja. Tidak sedikit dari WNA yang datang ke Indonesia untuk menikmati keindahan alam Indonesia. Kenyataan ini merupakan daya tarik tersediri bagi WNA untuk terjun dalam bisnis penyelenggaraan kepariwisataan. Pengaturan mengenai kepariwisataan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (selanjutnya disebut UU Pariwisata). Keberadaan UU Pariwisata sebagai destinasi utama pariwisata Indonesia, menjadikan Bali sebagai magnet bagi orang asing. Tidak sedikit WNA yang berkunjung ke Bali berkeinginan untuk menetap dan menguasai hak atas tanah di Bali. Saat ini banyak terjadi penguasaan tanah oleh WNA, baik melalui tata cara penguasaan tanah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun dengan cara yang terselubung, seperti dengan pola meminjam nama Warga Negara Indonesia. Pertumbuhan ekonomi daerah Bali yang terpusat di Kota Denpasar menjadikan Kota Denpasar memiliki daya tarik utama bagi para investor asing untuk menanamkan modal, termasuk menguasai lahan sebagai asset utama. Bila dikaji secara normatif, peraturan perundang-undangan yang mengatur penguasaan tanah dalam bentuk sewa-menyewa oleh orang asing di Indonesia dalam bidang pertanahan sudah cukup memadai. Hanya saja masih ditemukan banyak celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh Warga Negara Asing untuk menguasai tanah
12 di Bali, khususnya di Kota Denpasar. Instrumen pengusaan tanah yang digunakan oleh Warga Negara Asing untuk mengikat Warga Negara Indonesia secara empiris dilakukan dengan memanfaatkan jasa Notaris. Notaris melalui akta yang dibuatnya memiliki andil yang sangat besar dalam hal terjadinya penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing dengan mengikutsertakan Warga Negara Indonesia. Secara formal kedudukan Warga Negara Indonesia dalam akta yang dibuatnya
adalah
sebagai
pemilik
tanah meskipun
sesungguhnya
sifat
kepemilikannya tersebut adalah semu karena kepemilikan yang sesungguhnya berada di tangan WNA. Dari identifikasi awal didapatkan data bahwa, para Notaris yang bersedia membuat
akta
untuk
menegaskan penguasaan atas tanah oleh
WNA
berargumentasi bahwa akta yang dibuatnya merupakan akta para pihak dan bukan akta jabatan. Selain itu karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak tersebut sering dilakukan hanya untuk mengakomodir kepentingan Warga Negara Indonesia ataupun Warga Negara Asing. Mengenai inventarisasi awal tentang jenis akta yang dibuat dihadapan Notaris oleh WNA untuk maksud mengikat kepemilikan atas tanah dari WNI antara lain melalui instrumen hukum seperti sewa menyewa tanah, perpanjangan sewa menyewa, akta pengakuan hutang, dan lain-lain. Persoalan hukum yang dapat diidentifikasi terkait persoalan di atas adalah sejauh mana peraturan hukum yang ada mengakomodir hak dan kepentingan antara Warga Negara Indonesia
13 dengan Warga Negara Asing melalui jasa Notaris, serta bagaimana pula legalitasnya apabila dikaji dari aspek Hukum Pertanahan dan Perjanjian. UUPA secara tegas tidak melegalkan WNA memiliki hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. UUPA menentukan hanya WNI yang dapat menguasai tanah di Indonesia dengan hak milik sedangkan orang asing termasuk perwakilan perusahaan asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah yang sifatnya terbatas dan tidak mengganggu kepentingan WNI. Prinsip nasionalitas dalam kepemilikan tanah seperti diatas tidak terlepas dari perumusan konsep hak milik yang relatif mutlak.6 Menurut Pasal 20 UUPA, hak milik disebut sebagai hak yang paling kuat dan paling penuh. Dikatakan paling kuat karena hak milik tidak dibatasi oleh jangka waktu, hak ini akan berlangsung selamanya kecuali terdapat hal-hal yang menyebabkan hapusnya hak milik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 UUPA. Dikatakan paling penuh karena penggunaan tanah hak milik dapat untuk bangunan maupun untuk pertanian, serta diatas tanah hak milik dapat berdiri hak atas tanah lainnya seperti, hak pakai atau hak guna bangunan. Uraian di atas menunjukkan bahwa telah terjadi kekaburan norma terkait penguasaan lahan oleh WNA di Kota Denpasar dengan memanfaatkan celah yang ada dalam UUPA maupun PP 41/1996. Norma hukum yang kabur tersebut membuat perangkat hukum yang bertujuan membatasi penguasaan lahan oleh
6
A.P Parlindungan, op.cit, hal. 80.
14 WNA hanya pada Hak Pakai atas tanah hak milik WNI atau Negara, tidak mampu mencegah peralihan hak milik atas tanah ke tangan WNA dengan cara memanipulasi aturan hukum tersebut. Dalam kaitannya dengan hal itulah, maka penulis tertarik untuk meneliti “Penguasaan Hak Milik atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (Studi Kasus).” Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu : Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Indonesia Program Studi Kenotariatan, atas nama Michael Wisnoe Barata, dengan judul “Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Asing dan Kewarganegaraan Ganda,” dengan permasalahan yang diangkat yaitu : 1. Bagaimana dengan kepemilikan hak-hak atas tanah beserta bangunan bagi Warga Negara Asing dan badan-badan hukum asing, menurut UndangUndang Pokok Agraria ? 2. Bagaimana dengan status kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh
anak
hasil
dari
perkawinan
campuran
yang
berstatus
kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Pokok Agraria ? Penelitian ini menekankan pada kepemilikan hak-hak atas tanah bagi Warga Negara Asing khususnya kewarganegaraan ganda yang terjadi akibat dari
15 perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1996 tentang Kewarganegaraan. Kedua, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Brawijaya Malang dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Magister Kenotariatan, atas nama A.A.Sri Anggraini, SH, dengan judul “Akta Notaris/PPAT dalam Peralihan Hak Atas Tanah dari Warga Negara Indonesia Kepada Warga Negara Asing di Provinsi Bali,” dengan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah peralihan hak atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing mempunyai landasan yuridis atau penyelundupan hukum ? 2. Apakah akta-akta pertanahan yang dibuat dalam peralihan hak atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing berdasarkan kewenangan pejabat pembuat Akta ? Penelitian ini membahas mengenai bentuk peralihan hak dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing berdasarkan hukum dan peralihan hak dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing yang berindikasi penyelundupan hukum serta akta-akta yang dipergunakan dalam peralihan hak tersebut.
16 Terakhir, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas Brawijaya Malang dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana Program Magister Kenotariatan, atas nama I Gusti Ngurah Dharma Laksana, SH, dengan judul “Penguasaan Tanah Oleh Orang Asing Dalam Kaitannya Dengan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960”, dengan rumusan masalah yaitu : 1. Perbuatan-perbuatan hukum apa sajakah yang dimaksudkan sebagai perbuatan hukum lain yang langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing ? 2. Apakah perbuatan-perbuatan hukum lain yang tidak langsung tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyelundupan hukum ? Penelitian ini membahas mengenai bentuk-bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh Warga Negara Asing baik itu perbuatan hukum secara langsung maupun tidak langsung untuk memindahkan hak milik atas tanah sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan penulisan yang mengkhusus mengenai keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jika dilihat dari beberapa penulisan diatas, dibandingkan penulisan yang dilakukan oleh penulis tampak perbedaannya. Pada penulisan ini lebih menitikberatkan pada keabsahan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dan akibat hukum dari dibuatnya akta
17 perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Denpasar.
1.2. Rumusan Masalah Dengan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia (WNI) oleh Warga Negara Asing (WNA) yang dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ? 2. Apakah akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah ?
1.3. Ruang Lingkup Penelitian Lingkup penelitian juga menunjukan secara pasti faktor-faktor mana yang akan diteliti, dan mana yang tidak, atau untuk menentukan apakah semua faktor yang berkaitan dengan penelitian akan diteliti ataukah akan dieliminasi sebagian.7 Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka ruang lingkup dalam penulisan ini dibatasi menyangkut penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara
7
Bambang Sunggono, 2011, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan ke 12, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 111.
18 Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan pembatasan ruang lingkup penelitian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi dalam hal keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah serta mengenai akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah di Kota Denpasar.
1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencapai tujuan yang bersifat umum dan khusus sebagai berikut : 1.4.1. Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
19 1.4.2. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan yang dibahas adalah : 1. Untuk mendiskripsikan dan menganalisa secara mendalam mengenai keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2. Untuk memahami dan menganalisa secara mendalam mengenai akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan maupun kepentingan praktis, sebagai berikut : 1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
perkembangan Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Hukum Agraria dan Hukum Perjanjian mengenai keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
20 1.5.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan menambah informasi mengenai keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Landasan Teoritis dan Konseptual Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian.8 Dalam rangka memecahkan masalah yang telah dirumuskan pada rumusan masalah di atas, maka akan digunakan beberapa asasasas hukum, konsep dan teori dalam meneliti permasalah penguasaan hak atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang terdiri atas : Asas-asas UUPA, Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Konsep Subyek Hukum yang didalamnya meliputi Teori Fiksi, Teori Konsesi, Teori Zweckvermogen, Teori Kekayaan bersama (Teori Ihering), dan Teori Realis atau Teori Organik yang dipergunakan 8
Program Studi Magister Kenotariatan, 2013, Pedoman Pendidikan Progaram Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Program Studi Magister Kenotariatan, Denpasar, hal. 58.
21 dalam membahas permasalahan yang diperlukan untuk membantu memecahkan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, serta Konsep Penguasaan Tanah. 2.1. Asas –Asas UUPA UUPA mengandung beberapa asas penting dalam hukum tanah sebagaimana diuraikan di bawah ini : a. Asas Kebangsaan. Asas ini tercermin dalam Pasal 1 UUPA yang terdiri dari enam ayat, yaitu : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi,air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. (5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. (6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini. b. Asas Hak Menguasai Negara. Asas ini tercantum dalam bunyi Pasal 2 UUPA yang terdiri empat ayat, yaitu : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :
22 a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. c. Asas pengakuan Hak Ulayat. Asas ini tercermin dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi : Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. d. Asas Hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat sebagaimana ketentuan Pasal 5 UUPA yang berbunyi : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. e. Asas Fungsi Sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 UUPA yang berbunyi : “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
23 f. Asas Landreform sebagaimana tercantum dalam Pasal 7, 10 dan 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi : “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Sedangkan Pasal 10 UUPA mengatur mengenai pengusahaan hak atas tanah pertanian bagi orang atau badan hukum yang dijabarkan dalam tiga ayat sebagai berikut : (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. (2) Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan. (3) Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat ( 1 ) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan. Pasal 17 UUPA mengatur mengenai batas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak oleh seseorang atau badan hukum yang dijabarkan dalam empat ayat, yaitu : (1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan dalam waktu yang singkat. (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. (4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.
24 g. Asas Tata Guna Tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 13, 14 dan 15 UUPA. Pasal 13 terdiri dari empat ayat, yaitu : (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. (2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta. (3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-Undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Selanjutnya, asas tata guna tanah juga tercermin dalam Pasal 14 UUPA terdiri dari tiga ayat, yaitu : (1) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasal 9 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya : a. untuk keperluan Negara; b. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan. (2) Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing. (3) Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari, Gubernur/Kepala Daerah yang
25 bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan. Adapun Pasal 15 UUPA berbunyi : “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.” h. Asas Kepentingan Umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUPA. Pasal 18 UUPA berbunyi : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.” i. Asas Pendaftaran Tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UUPA. Pasal 19 UUPA mengatur mengenai tahapan-tahapan dalam pendaftaran tanah yang dijabarkan dalam empat ayat, yaitu : (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: a. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
26 Dalam cara yang lain pengelompokan asas-asas UUPA dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Asas kebangsaan Menurut Pasal 1 ayat (1) UUPA, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah, air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia dan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional Indonesia. 2. Asas Tingkatan yang Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang Terkandung di dalamnya Dikuasai oleh Negara Asas ini didasari pada Pasal 2 ayat (1) UUPA. Sesuai dengan pendirian tersebut, perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberikan wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkatan yang tertinggi untuk : a. Mengatur
dan
menyelenggarakan
peruntukan,
penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam. b. Menentukan dan mengatur hak dan kewajiban yang dapat dipunyai atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang ditimbulkan dari hubungan kepentingan orang dan unsur agraria itu.
27 c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum terkait bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 3. Asas Mengutamakan Kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas Persatuan bangsa daripada Kepentingan Perseorangan dan Golongan Dapat dilihat dalam Pasal 3 UUPA. Sekalipun hak ulayat (tanah bersama menurut hukum adat) masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional, akan tetapi karena pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan, masyarakat hukum adat tidak dibenarkan untuk menolak penggunaan tanah untuk pembangunan dengan dasar hak ulayatnya. Sehingga Negara memiliki hak untuk membuka tanah secara besar-besaran, misalnya untuk kepentingan transmigrasi, areal pertanian baru dan alasan lain yang merupakan kepentingan nasional. 4. Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial Asas ini tertulis dalam Pasal 6, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan bila digunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, terutama apabila hal tersebut menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
28 5. Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah Asas ini dapat ditemui dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA. Hak milik adalah hak tertinggi yang dapat dimiliki individu dan berlaku selamanya. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Asas ini tidak mencakup warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing. Karena saat menikah terjadi percampuran harta, sehingga pasangan warga negara Indonesia yang memiliki hak milik akan kehilangan haknya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dibuat perjanjian pra-nikah yang menyatakan pemisahan harta. 6. Asas Persamaan bagi setiap Warga Negara Indonesia Sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) bahwa tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. 7. Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan secara Arif oleh Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-cara Bersifat Pemerasan Asas ini terdapat pada Pasal 10 ayat (1) UUPA. Munculnya kegiatan land reform atau agrarian reform, yaitu perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. Sehingga tanah yang dimiliki atau dikuasai seseorang tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
29 8. Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana Hal ini tertulis dalam Pasal 14 ayat (1) UUPA. Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indoensia dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air, dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana ini dibuat dalam bentuk Rencana Umum yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian dirinci lebih lanjut menjadi rencana-rencana khusus tiap daerah.
2.2. Teori 2.2.1 Teori Negara Hukum Pemikiran Negara hukum dimulai oleh Plato dengan konsepnya bahwa, “penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah nomoi.” Konsep Negara hukum tersebut berkembang dalam dua sistem hukum, yaitu negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law dan tradisi Eropa Kontinental yang disebut rechtstaat.9 Konsep negara hukum rule of law dipelopori oleh A. V. Dicey yang berasal dari Inggris. Konsep ini menekankan pada unsur sebagai berikut :
9
Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 66.
30 1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenangnya (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum jika melakukan pelanggaran. 2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law); dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat. 3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights); terjaminnya hak-hak manusia oleh undangundang serta keputusan-keputusan pengadilan. 10 Konsep negara hukum rechtsstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Fredrich Julius Stahl. Empat unsur rechtsstaat menurut beliau adalah : 1. Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. 2. Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montequieu. 3. Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. 4. Adanya peradilan administrasi negara. 11 Suatu Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rechtstaat) menurut Burkens, apabila memenuhi syarat-syarat : 1. Asas Legalitas, menentukan bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan
dalam arti formil dan
undang-undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. 10
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 11 Ibrahim, R., 2010, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional : Permasalahan Teoritik dan Praktek, Makalah Lokakarya Evaluasi UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Penerbit Universitas Udayana, Denpasar, hal. 4.
31 Dalam Hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian negara hukum. 2. Pembagian kekuasaan, dimana syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. 3. Hak-hak dasar (grandrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang. 4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. 12 Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka unsur pertama dari konsep negara hukum yakni mengisyaratkan setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum akan sangat membantu menemukan kepastian hukum dalam keabsahan tindakan Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing.
Adapun Teori Negara Hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Teori Negara Hukum menurut Utrecht. Pada intinya teori tersebut berpendapat bahwa negara hukum yang dianut Indonesia tidaklah dalam artian formal, melainkan dalam artian materiil yang juga diistilahkan dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau negara kemakmuran.13 Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah
12
Burkens, M.C.et.al, 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtstaat, Tjeek Wilink, Zwole, hal. 29. 13 E. Utrecht, 1960, Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHMP Universitas Negeri Padjajaran, Bandung, hal. 21-22.
32 untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.” Salah satu ciri negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan terhadap hak-hak individu dan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan terhadap hak-hak yang dijamin tersebut. Jaminan perlindungan hak-hak individu ini diberikan atau diatur oleh peraturan perundang-undangan. Jaminan perlindungan hak-hak individu disini termasuk hak-hak individu yang berkaitan perlindungan terhadap Warga Negara Asing yang telah menguasai hak milik atas tanah di Kota Denpasar. Teori Negara Hukum menurut Utrecht ini akan digunakan untuk menganalisa pokok permasalahan pertama dan kedua dalam penelitian ini. Tujuan dari Negera Hukum adalah memberi perlindungan terhadap WNI yang memiliki hak milik atas tanah dan PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebagai WNI, pemilik hak milik atas tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah warga negara yang harus dijamin dan dilindungi hak-haknya melalui peraturan perundangan. 2.2.2
Teori Kewenangan Istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan
bevoegdheid
(kemampuan) dalam istilah Hukum Belanda. Dalam ranah Hukum Perdata kedua
33 istilah tersebut memiliki perbedaan yang mendasar berkaitan dengan karakter hukumnya. Bevoegdheid digunakan dalam konsep hukum publik dan hukum privat, sedangkan istilah wewenang hanya berlaku dalam konsep hukum publik yang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau dengan kata lain wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dengan perbuatan hukum.14 Menurut Ibrahim, kekuasaan itu diperoleh pertama-tama melalui attributie (oorspronkelijk dalam arti aseli), setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan dengan dua cara yaitu delegatie dan mandat.15 Kewenangan attributie diperoleh dan berasal dari sistem pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara, sehingga kewenangan dan tanggung jawabnya ditetapkan dalam konstitusi, kecuali negara yang tidak memiliki konstitusi diatur dalam Undang-Undang. Delegatie dilakukan oleh yang memiliki wewenang dan dalam waktu tertentu, penerima bertindak atas nama diri sendiri dan bertanggung jawab secara eksternal. Sedangkan, Mandat tidak menimbulkan pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga beban tanggung jawab tetap berada pada pemberi kuasa.16
14
S.F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal. 154. 15 Ibrahim, R., op.cit, hal.23. 16 Ibid.
34 H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan cara pemerintah memperoleh kewenangan dan mengalihkan kewenangannya dengan beberapa cara seperti : a. Attributie : toekenning van een bestuur bevoegdheid door een wetgever aan een besttusorgan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan); b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari organ pemerintah lainnya); c. Mandaat : een bertuursorgan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintah mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). 17 Adapun Teori Kewenangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menurut Philipus M. Hadjon. Pada intinya Teori Kewenangan menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa kewenangan pada hakikatnya berasal dari 2 (dua) sumber yaitu : atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadangkala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang.18 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek, yang berpendapat bahwa :
17
Ridwan H.R, op.cit, hal. 105. Philipus M. Hadjon, dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), hal. 128-129. 18
35 Hanya ada dua cara organ memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Artibusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif) kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi. Mandat tidak mengakibatkan perubahan wewenang apapun, sebab yang ada hanyalah hubungan internal, seperti Menteri dengan pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara teknis, sedangkan menteri secara yuridis.19 Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa atribusi merupakan cara normal untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Yang dapat membentuk wewenang adalah yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hukum administrasi positif, ditemukan berbagai ketentuan tentang atribusi. Sedangkan delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang (untuk membuat “besluit”) oleh pejabat pemerintahan (pejabat Tata Usaha Negara) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Selanjutnya, Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi terdapat syarat-syarat sebagai berikut : a. delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu; b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan herarki kepegawaian tidak diperkenankan adalanya delegasi; d. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegasi berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang itu;
19
Ridwan H.R, op.cit, hal. 46.
36 e. peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. 20 Teori kewenangan dalam penelitian ini digunakan untuk membahas pokok permasalahan
kedua
dalam
penelitan
ini
yaitu
mengenai
kewenangan
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum yang diberikan oleh negara untuk membuat akta otentik. Wewenang yang diberikan oleh negara kepada Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat berpengaruh terhadap produk akta otentik yang dibuatnya. Hal ini terkait dengan tanggung jawab Notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya, khususnya mengenai penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2.3. Konsep-Konsep 2.3.1
Konsep Subyek Hukum Dalam ilmu hukum yang menjadi subyek hukum dibagi menjadi dua
adalah orang perorangan dan badan hukum. Adapun subyek hukum yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang perorangan bukan badan hukum. Orang perorangan yang dimaksud adalah Warga Negara Asing, Warga Negara Indonesia dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pengertian WNA sangat erat kaitannya dengan masalah kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 Undang-
20
Philipus M. Hadjon I, op.cit., hal. 107-108.
37 Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 yang telah dirubah dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing. Kriteria seseorang dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia ditentukan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, yaitu : Warga Negara Indonesia adalah : a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang dikui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; h. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; i. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; j. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; k. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan
38 dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; l. anak dari seorang ayah dan ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Selain yang telah ditentukan dalam Pasal 7 tersebut, yang juga dapat digolongkan sebagai orang asing adalah seorang Warga Negara Indonesia yang kehilangan kewarganegaraannya. Dengan demikian, apabila tidak dipenuhi kreteria di atas, maka orang tersebut dikaterogikan sebagai orang asing, yang hak dan kewajibannya terutama dalam mendapatkan hak atas tanah diadakan perbedaan yang tegas. Badan Hukum sebagai subyek hukum yang diakui dan telah ditetapkan adalah Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Koperasi. Uraian tentang Badan Hukum dalam kepustakaan dikenal beberapa teori, yaitu : 1.
Teori Fiksi Dalam teori ini disebutkan bahwa kepribadian hukum atas kesatuankesatuan lain manusia adalah hasil khayalan. Kepribadian yang sebenarnya hanya ada pada manusia. Teori fiksi ini semata-mata produk konsepsi filsafat; dari
sifat
pembawaan
manusia,
yang
secara
apriori
memberinya
kepribadian.21 Von Savigny berpendapat bahwa, “semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada setiap individu, oleh karena itu, konsepsi yang asli mengenai kepribadian harus sesuai dengan gagasan mengenai manusia.” 21
H.S. Salim, 2012, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 177.
39 2.
Teori Konsesi Menurut teori konsesi ini badan hukum dalam negara tidak memiliki kepribadian hukum, kecuali diperkenankan oleh hukum, dan ini berarti negara. Teori ini dikemukakan oleh Gierke. Tujuan dari teori konsersi ini adalah memperkuat kekuasaan negara kalau dikehendakinya, ikut serta dalam kelompok asosiasi dalam negara. Negara sendiri walaupun badan hukum tempatnya sejajar dengan individu. Dalam teori ini negara sebagai badan hukum mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari kelompok-kelompok badan hukum yang berada dibawah kekuasaannya.22
3.
Teori Zweckvermogen Dalam teori ini hak milik badan hukum dapat diperuntukkan dan mengikat secara sah pada tujuan-tujuan tertentu, tetapi tanpa pemilik (tanpa subyek). Teori ini juga menganggap bahwa manusia saja yang dapat memiliki hak-hak. Teori ini erat hubungannya dengan sistem-sistem hukum yang menganggap lembaga hukum publik (anstalt) dan hukum privat (stiftung) sebagai pribadi-pribadi hukum. Akan tetapi badan hukum itu dibentuk berdasarkan maksud dan tujuannya. Sehingga untuk mendapatkan maksud dan tujuan itu diperlukan pengabdian dari orang-orang yang mengelola badan hukum tersebut.23
22 23
Ibid, hal. 178. Ibid.
40 4.
Teori Kekayaan Bersama (Teori Ihering) Teori ini dikemukakan oleh Rodolf Von Jhering (1818-1892). Dalam teori ini yang dapat menjadi subjek-subjek badan hukum adalah : (1) manusia-manusia yang secara nyata berada dibelakangnya; (2) anggotaanggota badan hukum; dan (3) mereka-meraka yang mendapat keuntungan dari yayasan (stiftung). Inti kajian teori ini adalah pemilikan bersama harta kekayaan badan hukum.24
5.
Teori Realis atau Organik Teori ini berpendapat bahwa badan hukum adalah badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut. Teori Realis atau Teori Organik ini dikemukakan oleh Gierke dan didukung oleh Mitland.25 Dalam makalah Jimly Asshiddiqe menyajikan tentang teori organ. Menurut Otto van Gierke disebutkan bahwa dalam teori organ badan hukum sebagai sesuatu yang nyata (realiteit) bukan fiksi. Pandangan ini didukung oleh L.C. Polano yang menyebutkan bahwa badan hukum merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah sebagai manusia, yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum yang juga merupakan kehendak sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya, yaitu pengurus dan anggotanya dan sebagainya.26
24
Ibid, hal 180. Ibid. 26 Ibid. 25
41 2.3.2 Konsep Penguasaan Tanah Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik dan dalam arti yuridis yang memiliki aspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah tertentu. Sekalipun penguasaan yuridis memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang secara fisik namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya, apabila tanah yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam hukum tanah penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang mempunyai tanah. Hak penguasaan atas tanah apabila sudah dihubungkan dengan tanah orang (badan hukum) tertentu, maka yang dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan pada suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai hak.27
27
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal. 23.
42 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 2 UUPA dipakai dalam aspek publik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA, yaitu: (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk : a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa. b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. c) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejatehraan dan kemerdekaan, berdaulat, adil dan kemakmuran dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. Peraturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam huku tanah yang ada sebagai lembaga hukum. Hak penguasaan tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, yaitu : 1) Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.
43 2) Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, semata-mata beraspek publik. 3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, beraspek perdata dan publik. 4) Hak Perseorangan atau Individual, semuanya beraspek perdata terdiri atas : a) Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atau pun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut dalam Pasal 16 UUPA dan Pasal 53 UUPA. Macam-macam hak atas tanah dalam Pasal 16 UUPA, menentukan bahwa : (1) Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh perseorangan itu meliputi: (a) Hak Milik (b) Hak Guna Usaha (c) Hak Guna Bangunan (d) Hak Pakai (e) Hak Sewa (f) Hak Membuka Tanah (g) Hak Memungut Hasil Hutan (h) Hak-hak yang lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA. (2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) adalah : (a) Hak guna air (b) Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, (c) Hak guna ruang angkasa (d) Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49 UUPA. (e) Hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 5 UUPA.28
28
Ibid., hal. 24.
44 3. Metode Penelitian Agar penelitian hukum ini dapat dikatakan sebagai karya tulis ilmiah, maka harus memenuhi unsur metodis, artinya bahwa pencarian dan pembahasan serta penuangan bahan-bahan hukum serta keterangan-keterangan yang telah diperoleh dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Oleh karena itu dalam mencari bahan-bahan hukum serta keterangan-keterangan dan kemudian menuangkan dalam bentuk tulisan ini dipakai metode penelitian sebagai berikut : 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum normatif, artinya penelitian terhadap suatu masalah yang akan dilihat dari aspek hukumnya yaitu dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang ada. Kegunaan penelitian ini adalah untuk menjelaskan atau menerangkan apakah dan bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu.29 Penelitian ini lebih memfokuskan pada sistem hukum agraria nasional yang mengatur tentang keabsahan penguasaan hak milik atas tanah oleh milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah.
29
C.F.G. Hartono Sunaryati, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, Alumni, Bandung, hal. 140.
45 3.2. Jenis Pendekatan Penelitian Hukum Normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, yakni : (a.) (b.) (c.) (d.)
Pendekatan Kasus (The Case Approach) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) Pendekatan Fakta (The Fact Approach) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Aprroach) (e.) Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach) (f.) Pendekatan Sejarah (Historical Approach) (g.) Pendekatan Perbandingan (Comparative Aprroach).30 Dalam penelitian ini digunakan 3 pendekatan yaitu; Pendekatan Perundangundangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Aprroach). Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach) dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang telah ada secara mendalam, kemudian
dikaitkan dengan permasalahan
penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara asing yang dibahas. Dalam penelitian ini juga digunakan Pendekatan Fakta (The Fact Approach) dimana pengkajiannya dilakukan berdasarkan fakta-fakta hukum yang terjadi dalam masyarakat yang ada hubungannya dengan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendekatan yang terakhir digunakan adalah pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Aprroach). Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang 30
Program Studi Magister Kenotariatan, op.cit., hal. 48.
46 ada. Hal ini dilakukan karena memang belum ada atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi.31 Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis konsep-konsep dan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimengerti maksud dan maknanya berkaitan dengan keabsahan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. 3.3. Sumber Bahan Hukum Sumber data utama yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data sekunder. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dengan melakukan penelitian kepustakaan. Data sekunder terdiri dari : 1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat antara lain; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok
Agraria,
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2006
Tentang
Kewarganegaraan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia.
31
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 137.
47 2. Bahan-bahan hukum sekunder yaitu : Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah atau hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. 3.
Bahan-bahan hukum tertier yaitu : Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi : 1. Kamus Hukum; 2. Kamus Bahasa Indonesia.
3.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum dikumpulkan melalui penelitian
kepustakaan untuk mengkaji secara lebih mendalam atas literatur dan peraturan yang kolerasinya dengan pembahasan, baik langsung maupun tak langsung. Dalam teknik pengumpulan bahan hukum digunakan studi kepustakaan yaitu mengumpulkan semua bahan hukum yang terkait dengan penguasaan hak milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang dimulai dengan mencari keterkaitan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain, kemudian dilanjutkan dengan mencari dari buku-buku dan literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan, lalu memberikan tanda khusus pada buku-buku dan literatur yang telah dibaca, dan terakhir memindahkan semua informasi yang telah diperoleh ke dalam tulisan.
48 3.5
Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder
terkumpul, selanjutnya dilakukan dianalisis bahan hukum. Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis seperti : deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi, atau sistimatisasi.32 Dalam penelitian ini teknik analisis yang pertama digunakan adalah teknik deskripsi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum.33 Teknik analisis ini diawali dengan mengungkap apa adanya mengenai keadaaan yang sering terjadi dalam masyarakat yakni penguasaan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Warga Negara Asing atas tanah milik Warga Negara Indonesia dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik interpretasi. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain.34 Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran historis, sistematis, dan teologis.
32
Program Studi Magister Kenotariatan, op.cit., hal. 49. Program Studi Magister Kenotariatan, loc.cit. 34 Program Studi Magister Kenotariatan, loc.cit. 33
49 Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan penafsiran menurut terjadinya undangundang.35 Interpretasi sistematis adalah menafsirkan peraturan perundangundangan dengan peraturan hukum atau nudang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Dalam penafsiran sistematis, hukum dilihat sebagai satu keasatuan sistem peraturan. Tidak hanya suatu peraturan dalam himpunan peraturan, dapat membenarkan penafsiran tertentu dari peraturan itu, juga pada beberapa peraturan dapat mempunyai dasar tujuan
atau asas yang sama.36
Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Jadi penafsiran undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undangundang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang.37
35
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 60. 36 Ibid, hal. 58-59. 37 Ibid, hal. 61.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Milik Atas Tanah Adanya berbagai macam hak atas tanah diatur dalam UUPA yang terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 53. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA menjelaskan bahwa atas dasar menguasai dari Negara maka ditentukan adanya berbagai Hak Atas Tanah. Pasal 4 ayat (1) UUPA berbunyi, “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.” Hak-hak atas tanah tersebut kemudian memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA. Hak atas tanah dijelaskan sebagai hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya.38 Kata “menggunakan” mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, pabrik. Kata mengambil “manfaat” mengandung pengertian bahwa
38
Sudiko Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, KarunikaUniversitas Terbuka, Jakarta (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal. 4.
50
51 hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan peternakan, perkebunan.39 Menurut Sudikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Wewenang umum Yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi, air dan ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lain yang lebih tinggi. 2. Wewenang khusus Pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada tanah Hak Milik adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan/untuk mendirikan bangunan, wewenang pada tanah Hak Guna Bangunan adalah tanah hanya untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada tanah Hak Guna Usaha adalah menggunakannya hanya untuk kepentingan usaha di bidang pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.40 Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4 UUPA kemudian ditegaskan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA yang bunyinya sebagai berikut : (1) Hak-hak atas tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) adalah : a. hak milik b. hak guna usaha c. hak guna bangunan d. hak pakai e. hak sewa f. hak membuka tanah g. hak memungut hasil hutan h. hak-hak lain yang tidak termasuk hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53.
39
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Group, Jakarta, hal. 49. 40 Sudikno Mertokusumo II, op.cit., hal. 45.
52 Selain itu ada pula hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara sebagaimana ditentukan oleh Pasal 53 UUPA, yaitu : a. b. c. d.
Hak Gadai; Hak Usaha Bagi Hasil; Hak Menumpang; Hak Sewa Tanah Pertanian.
Khusus mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Menurut ketentuan dalam Pasal 50 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dengan undang-undang”. Oleh karena undang-undang yang dimaksud belum terbentuk, maka digunakan ketentuan peralihan Pasal 56 UUPA yaitu, selama undang-undang mengenai hak milik yang ditunjuk dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Pengertian Hak Milik ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA yaitu, “Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.” Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Sedangkan terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan
53 pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah Hak Milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dengan pengecualian Hak Guna Usaha) yang hampir sama dengan kewenangan Negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya.41 Hak ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut KUH Perdata yang memberikan kewenangan paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA yang menyatakan bahwa, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”42 Subjek Hak Milik yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA adalah perseorangan maupun badan hukum. Perorangan yang dapat mempunyai
tanah Hak Milik hanya Warga Negara Indonesia sebagaimana
ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA. Hal ini berarti bahwa perseorangan yang bukan Warga Negara Indonesia tidak dapat mempunyai Hak Milik atas tanah.
41
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Group, Jakarta, hal. 30. 42 Ibid.
54 Selain perorangan, badan hukum juga dapat mempunyai hak milik atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA yang berbunyi, “Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya.” Menurut ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 (selanjutnya disebut PP 38/1963) tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah adalah : 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara. 2. Perkumpulan-perkumpulan yang didirikan oleh Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 Nomor 139. 3. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama. 4. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Dengan demikian tidak ada pihak lain yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah. Ini berarti setiap orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Milik atas tanah tidak begitu saja dapat melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah yang dikuasainya tersebut. Hak Milik atas tanah hanya dapat dialihkan kepada Warga Negara Indonesia (WNI) atau kepada badan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh PP 38/1963. Peralihan Hak Milik atas tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang asing, kepada seseorang yang mempunyai dwi kewarganegaraan atau kepada badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, artinya tanahnya kembali menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara.
55 Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu : 1. Hak Milik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat; 2. Hak Milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah; 3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-Undang. Hak milik yang terjadi menurut hukum adat yaitu hak milik yang terjadi karena pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau karena timbulnya lidah tanah. Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat hukum adat yang dipimpin ketua adat melalui 3 (tiga) sistem penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir galeng, dan sistem bluburan.43 Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah bermula dari tanah Negara yang dimohonkan hak kepemilikannya oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Negara (BPN). Apabila permohonan
tersebut dikabulkan,
maka BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) yang wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak Milik atas tanah.44 Hak Milik atas tanah yang terjadi karena Undang-Undang karena diciptakan oleh Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Terjadinya Hak Milik atas tanah atas dasar ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak 43 44
Urip Santoso, op.cit, hal. 94. Urip Santoso, loc.cit.
56 berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960 semua hak atas tanah yang ada harus dirubah menjadi salah satu hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.45 Apabila Hak Milik atas tanah dapat terjadi, maka Hak Milik atas tanah dapat juga terhapuskan. Hapusnya Hak Milik atas tanah diatur dalam Pasal 27 UUPA yang menyebutkan bahwa; Hak miliknya hapus bila : a. Tanahnya jatuh kepada Negara : 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. Karena ditelantarkan; 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2); b. Tanahnya musnah. Menurut Boedi Harsono, untuk ketertiban administrasi dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan, hapusnya hak atas tanah harus dinyatakan dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang. Bagi hapusnya hak karena hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA, surat keputusan tersebut hanya bersifat deklarator, yaitu hanya sebagai pernyataan tentang hapusnya hak yang merupakan pembatalan. Surat keputusan tersebut bersifat konstitutif, artinya hak yang bersangkutan baru menjadi hapus dengan dikeluarkannya surat keputusan tersebut.46
2.2. Pengertian Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Warga
Negara
sesuai
dengan
definisi
Pasal
1
angka
1
UU
Kewarganegaraan adalah “Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan 45 46
Urip Santoso, op.cit, hal 95. Boedi Harsono, op.cit, hal. 331.
57 peraturan perundang-undangan.” Terkait dengan WNI, maka Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian direpetisi di dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan menetapkan bahwa, “Yang menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai Warga Negara.” Dengan demikian, maka WNI dapat didefinisikan sebagai orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai WNI. Pengertian WNI juga terdapat dalam Pasal 4 UU Kewarganegaraan yang secara rinci menyebutkan : Warga Negara Indonesia adalah: a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang- undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia; b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut; f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia; g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia; h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
58 i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. Status sebagai WNI mengandung hak dan kewajiban tersendiri yang harus dipatuhi. Hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia tercantum dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu : a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945); b. Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan. (Pasal 28 A UUD 1945); c. Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945); d. Hak untuk meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945); e. Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945);
59 f. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945); g. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak; h. Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945). Selain memiliki hak, WNI juga dibebani dengan berbagai kewajiban. Adapun kewajiban WNI adalah sebagai berikut : a. Wajib menaati hukum dan pemerintahan. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” b. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” c. Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Pasal 28 ayat (1) menyatakan bahwa, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain.”
60 d. Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UndangUndang. Dalam Pasal 28 J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” e. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Sementara itu, pengertian Warga Negara Asing (WNA) terdapat dalam Pasal 1 angka 17 UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yaitu, “Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai Warga Negara Asing.” Sedangkan menurut Penjelasan Undang-Undang Kewarganegaraan, Warga Negara Asing adalah “Orang/Badan Hukum Asing yang berstatus Kewarganegaraan Asing dan tidak pernah mengajukan permohonan sehingga ia tidak pernah ditetapkan menjadi Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia, serta tidak disebabkan karena kehilangan Kewarganegaraan Indonesia menurut ketentuan UndangUndang Kewarganegaraan di Indonesia.” Sehubungan dengan pengertian tersebut
61 Pasal 7 UU Kewarganegaraan menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing.” Berdasarkan UU Kewarganegaraan orang asing pun dapat menjadi WNI setelah memenuhi syarat dan tata cara yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Pasal 8 UU Kewarganegaraan menyebutkan bahwa, “Kewarganegaraan Republik
Indonesia
dapat
juga
diperoleh
melalui
pewarganegaraan.”
Pewarganegaraan adalah suatu tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Namun status WNI, tidak hanya dapat diperoleh dengan permohonan. Menurut Gatot Supramono ada tiga cara agar orang asing memperoleh status WNI, yaitu dengan naturalisasi, perkawinan, dan dengan pemberian oleh pemerintah RI.47 Cara memperoleh status WNI oleh orang asing melalui naturalisasi disebut juga dengan pewarganegaraan. Caranya adalah dengan mengajukan permohonan naturalisasi di
Indonesia. Permohonan diajukan secara tertulis
dengan
menggunakan Bahasa Indonesia yang dibuat di atas kertas bermaterai cukup (Rp. 6000) kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.48 Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon apabila telah memenuhi
persyaratan
sebagaimana
disebutkan
dalam
Pasal
9
UU
Kewarganegaraan, yaitu :
47
Gatot Supramono, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4. 48 Ibid.
62 a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin; b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut; c. sehat jasmani dan rohani; d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih; f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda; g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Permohonan harus ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai. Keputusan akhir atas permohonan adalah ada pada tangan Presiden. Bila dikabulkan oleh Presiden, maka status WNI dinyatakan berlaku efektif sejak pemohon mengucapkan sumpah atau janji setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain melalui proses naturalisasi, orang asing di Indonesia dapat pula memperoleh kewarganegaraan melalui perkawinan dengan WNI. Pasal 19 ayat (1) UU Kewarganegaraan menyebutkan bahwa, “Warga Negara Asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan
63 Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat.” Pernyataan tersebut dapat dilakukan dihadapan pejabat Kementerian Hukum dan HAM, apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10
(sepuluh)
tahun
tidak
berturut-turut
kecuali
dengan
perolehan
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.49 Sementara itu , terkait dengan kewarganegaraan pemberian pemerintah Republik Indonesia, ketentuan Pasal 20 UU Kewarganegaran dapat dijadikan acuan pembahasan. Pasal 20 UU Kewarganegaraan menetapkan : Orang asing yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. Adapun kriteria orang asing untuk mendapatkan kewarganegaraan menurut Gatot Suparmono, yaitu : 1. Orang asing yang telah berjasa kepada Republik Indonesia adalah orang asing yang karena prestasinya yang luar biasa di bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, lingkungan hidup serta keolahragaan telah memberikan kemajuan dan keharuman nama Bangsa Indonesia; 2. Orang asing yang diberi kewarganegaraan karena alasan kepentingan Negara adalah orang asing yang dinilai oleh Negara telah dan dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk kepentingan memantapkan kedaulatan Negara dan untuk meningkatkan kemajuan, khusunya di bidang perekonomian Indonesia.50
49 50
Ibid, hal. 8. Ibid.
64 Apabila orang asing dapat memperoleh kewarganegaraan, maka WNI dapat pula kehilangan kewarganegaraannya. Pasal 23 UU Kewarganegaraan mengatur sebab-sebab kehilangan kewarganegaraan Indonesia, yaitu : 1. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; 2. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu; 3. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, apabila yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan; 4. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu oleh presiden; 5. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan hanya dapat dijabat oleh WNI; 6. Secara suka rela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; 7. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing; 8. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya; 9. Bertempat tinggal di luar NKRI selama 5 tahun terus menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi WNI kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan. Selain ditentukan dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan juga diatur dalam Pasal 26 UU Kewarganegaraan, yang menyebutkan bahwa; 1. Perempuan WNI yang kawin dengan laki-laki WNA kehilangan kewarganegaraannya, jika menurut hukum negara asal suaminya kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut; 2. Laki-laki WNI yang kawin dengan perempuan WNA kehilangan kewarganegaran RI, jika menurut hukum asal istrinya kewarganegaraan
65 suami mengikuti kewarganegaraan istri sebagai akibat dari perkawinan tersebut. 2.3. Pengertian dan Dasar Hukum Akta Notaris dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Pengertian Akta Notaris tercantum secara tegas dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, selanjutnya disebut UUJN) yang menyebutkan bahwa, “Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Dengan demikian apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan Notaris tapi tidak mengikuti bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang, maka keontetikannya menjadi tidak ada. Akta Notaris adalah akta otentik. Pengertian mengenai akta otentik dijelaskan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa, “suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh UndangUndang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Berdasarkan ketentuan tersebut, Irawan Soerodjo menyebutkan tiga unsur pokok agar terpenuhinya syarat salah satu akta otentik, yaitu : 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
66 3. Akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.51 Salah satu syarat sahnya akta otentik seperti yang telah dinyatakan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, dimana akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, telah melahirkan tanggung jawab bagi seorang Notaris. Notaris bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat oleh atau di hadapannya, baik secara pidana, perdata maupun bertanggung jawab berdasarkan UUJN. Ketentuan mengenai bentuk akta dan sifat akta Notaris dipaparkan dalam Pasal 38 UUJN, yaitu : (1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan c. Akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat : a. Judul akta; b. Nomor akta; c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat : a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat : a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7); b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
51
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hal. 148.
67 c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1870 KUH Perdata yang berbunyi, “Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orangorang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.” Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat sehingga akta akan kehilangan keotentikannya. Suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil, dan materil. Kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.52 Kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut benar-benar dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak lain 52
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi IV (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo III), hal. 121.
68 yang menghadap. Artinya pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikan dalam jabatannya. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat, akta itu membuktikan kebenaran apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Artinya tidak hanya kenyataan yang dibuktikan oleh suatu akta otentik, namun isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai suatu yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan atau buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya.53 Akta otentik bukan hanya Akta Notaris, melainkan juga Akta PPAT. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 53, selanjutnya disebut PP 37/1998) yaitu, “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.” 53
R. Sugondo Notodisoeryo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia : Suatu Kejelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 55.
69 Sementara itu, pengertian Akta PPAT dapat simpulkan dari ketentuan mengenai wewenang PPAT yang dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyatakan bahwa, “PPAT mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya.” Lalu Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa, “PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya.” Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa, “PPAT khusus hanya berwenang membuat akta
mengenai
perbuatan
hukum
yang
disebut
secara
khusus
dalam
penunjukannya.” Dengan demikian, maka Akta PPAT adalah Akta Otentik yang dibuat PPAT mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun dengan daerah kerja di dalam wilayah kerja jabatannya. Mengenai bentuk akta PPAT ditentukan oleh Pasal 21 PP 37/1998 yang berbunyi :
70 (1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri; (2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwim; (3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar yaitu : 1. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang bersangkutan, dan; 2. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya. Mengingat Akta PPAT adalah akta otentik sebagaimana Akta Notaris, maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna dan mengikat. Agar terpenuhi otensitasnya, maka Akta PPAT harus memenuhi tiga unsur pokok, yaitu : 1. Dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang; 2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum; 3. Akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu dibuat.
BAB III PENGATURAN KEABSAHAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING YANG DILAKUKAN DENGAN AKTA NOTARIS/ PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
3.1. Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara Asing Menurut UUPA Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik dan yuridis. Selain itu kedua konsep di atas tersebut juga dapat memiliki aspek perdata dan aspek publik. Menurut Boedi Harsono, penguasaan secara yuridis dilandasi hak yang dilindungi hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan secara yurudis, yang biarpun memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tetapi pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.54 Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan tetapi penguasaan secara fisik ada pada yang empunya tanah.55 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” yang diuraikan diatas digunakan dalam aspek perdata. Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dalam aspek publik dapat dilihat pada UUD 1945 dan UUPA. Khusus dalam UUPA, “penguasaan” dan “menguasai” dalam aspek publik terlihat dalam Pasal 2 UUPA. 54 55
Boedi Harsono, op.cit, hal. 23. Boedi Harsono, loc.cit.
71
72 Secara mendasar Pasal 2 ayat (1) UUPA menetapkan negara menguasai bumi, air dan ruang angkas serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak menguasai
memberi
wewenang
pada
negara
untuk
mengatur
dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Negara juga berwenang menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa sebegai ditentukan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai dari Negara harus digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat sebagai ditentukan oleh Pasal 2 ayat (3) UUPA. Dengan demikian Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Selain itu Juga beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai
secara
fisik
tanah
yang
dihaki,
misalnya
pemilik
tanah
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan
73 tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA. Dapat disimpulkan bahwa penguasaan tanah dapat diartikan dalam dua hal yaitu
kewenangan untuk menguasai hak secara fisik dan penguasaan secara
yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Hak milik atas tidak selalu berarti penguasaan terhadap fisik tanah yang dimilikinya. Demikian sebaliknya hak penguasaan tidak selalu berasal dari hak memiliki. Penguasaan adalah kewenangan untuk menguasai secara fisik sedangkan hak milik menurut Pasal 20 UUPA adalah hak turunmenurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dalam hal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya dengan hakhak lainnya. Hak milik adalah hukum yang "terkuat dan terpenuh" yang dapat dipunyai orang atas tanah. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat dibandingkan dengan hak atas tanah yang lainnya, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lainnya dan tidak mudah
74 hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanahyang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah sebagimana ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA Jo. Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997). Sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat serta memberikan rasa aman dan tentram bagi pemiliknya, segala sesuatu akan mudah diketahui yang sifatnya pasti, bahkan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Sertipikat adalah bukti hak milik dalam lingkup hukum publik. Selain itu terdapat pula bukti hak milik berupa perjanjian dalam lingkup hukum perdata atau hukum privat, dalam arti bukti hak milik tersebut timbul akibat hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Sementara itu dari ketentuan Pasal 2 UUPA dapat disimpulkan bahwa hak penguasaan atas tanah yang paling tertinggi merupakan hak bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, baik secara perorangan selaku Warga Negara Indonesia maupun secara keseluruhan sebagai kesatuan utuh.
75 Hak-hak atas tanah sebagaimana ketentuan Pasal 4 dan Pasal 16 ayat (1) UUPA merupakan hubungan hukum antara Warga Negara dengan tanah yang secara tegas ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA yang berbunyi “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 ayat 2.” Bunyi Pasal 1 ayat (2) UUPA tersebut merupakan perwujudan dari prinsip nasionalitas hak-hak atas tanah di Indonesia, artinya dalam hal pemilikan tanah, maka Warga Negara Indonesia sebagai pihak yang diberikan tempat untuk mendapatkan hak sepenuhnya atas tanah di Indonesia.56 Prinsip kenasionalan sangat erat terkait dengan asas hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sebagaimana tercermin dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, yang masing-masing berbunyi, “(1) Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik; (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badanbadan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.” Tetapi UUPA tidak hanya menganut prinsip atau asas kenasionalan dan asas hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Adapun asas-asas lain yang dianut UUPA, yaitu : 1. Asas kenasionalan; 2. Asas pada tingkatan tertinggi bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi Negara;
56
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahin Lubis, op.cit, hal. 24.
76 3. Asas mengutamakan kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan dan golongan; 4. Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial; 5. Asas hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah; 6. Asas persamaan bagi setiap Warga Indonesia; 7. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara arif oleh pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan; 8. Asas tata guna tanah/penggunaan tata secara terencana.57 Prinsip kenasionalan dan prinsip hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik merupakan jiwa dari larangan untuk memindahkan hak milik atas tanah kepada Warga Negara Asing (WNA) sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA, yang berbunyi : Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Tetapi prinsip kenasionalan yang dikandung UUPA bukan hal yang mutlak, karena UUPA masih membuka kesempatan bagi Warga Negara Asing untuk memiliki penguasaan tanah di Indonesia. Penguasaan tanah oleh Warga 57
Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 54.
77 Negara Asing diatur dalam Pasal 42 UUPA dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996). Kedua peraturan perundangan tersebut memberi kemungkinan pada WNA untuk memiliki penguasaan tanah melalui hak pakai. Penguasaan hak atas tanah yang dilakukan oleh orang asing hanya dapat dilakukan melalui hak pakai karena hak pakai merupakan hubungan yang tidak sepenuhnya antara subjek hak dengan objek tanahnya. Hubungan sepenuhnya antara bumi, air dan rung angkasa hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UUPA. Sebagaimana pendapat Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis : Apabila prinsip nasionalitas dijadikan ukuran maka jelas terlihat bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan hanya dimungkinkan subjeknya hanya Warga Negara Indonesia dan badan Hukum Indonesia sehingga untuk hak ini tidak dapat dipunyai oleh Warga Negara Asing. Ketiga hak ini menunjukkan hubungan sepenuhnya antara subyek hak dengan objek tanahnya sehingga hanya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia bukan Warga Negara Asing. Hak pakai menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA bukan merupakan sewamenyewa atau perjanjian pengelolaan tanah. Untuk lebih jelasnya Pasal 41 ayat (1) UUPA menyebutkan : Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa
78 atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan ketentuan Undang-Undang ini. Adapun pihak-pihak yang dapat memperoleh Hak Pakai ini menurut Pasal 42 UUPA adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Warga Negara Indonesia; Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sementara itu, menurut Pasal 39 PP 40/1996 pihak-pihak yang boleh
memperoleh Hak Pakai disebutkan secara lebih terinci, yaitu : Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. Terjadinya Hak Pakai berdasarkan asal tanahnya dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Hak Pakai Atas Tanah Negara Hak Pakai atas tanah Negara diputuskan dengan pemberian hak oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hak pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
79 2. Hak Pakai Atas Tanah Pengelolaan Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh BPN berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Hak pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. 3. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.58 Mengenai jangka waktu Hak Pakai, UUPA tidak menentukan secara tegas. Dalam Pasal 41 UUPA hanya menyebutkan “selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.” Ketentuan yang lebih tegas mengenai jangka watu tersebut diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 PP 40/1996. Jangka waktu Hak Pakai adalah berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya :
58
Urip Santoso, op.cit, hal. 116.
80 1. Hak Pakai Atas Tanah Negara Hak Pakai atas tanah Negara berjangka waktu paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 Tahun. Khusus hak Pakai
yang
dipunyai
Departemen,
Lembaga
Pemerintah
Non-
Departemen, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan Negara asing dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. 2. Hak Pakai Atas Tanah Pengelolaan Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. 3. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun apabila ada kesepakatan antara pemilik tanah dan pemegang Hak Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat PPAT.59 Sekalipun UUPA yang merupakan salah satu sumber Hukum Tanah Nasional melarang orang asing mempunyai Hak Milik atas tanah, tetapi sistem hukum pertanahan di Indonesia memungkinkan WNA mempunyai kepemilikan
59
Urip Santoso, op.cit, hal. 117.
81 rumah tinggal atau hunian. Bagaimanapun juga harus dipahami bahwa selain dalam UUPA, Hukum Tanah diatur dalam peraturan pelaksanaan.60 Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disebut PP 41/1996) sebagai peraturan pelaksana UUPA dalam Pasal 1 dan 2 menentukan bahwa orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah yang dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Untuk jelasnya bunyi Pasal 1 dan 2 PP 41/1996 adalah sebagai berikut : Pasal 1 (1) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. (2) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Pasal 2 Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah : 1. Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah : a.Hak Pakai atas tanah Negara; b.Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemengang hak atas tanah. 2. Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara. Dalam penjelasan atas Pasal 1 ayat (1) PP 41/1996 tersebut diuraikan yang dimaksud dengan hak atas tanah tertentu dalam Peraturan Pemerintah ini adalah hak pakai. Selain itu kepemilikan rumah tersebut tetap dibatasi pada satu 60
Effendi Perangin, 1994, Hukum Agraria Di Indonesia : Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 193.
82 buah rumah. Tujuan pembatasan ini adalah untuk menjaga agar kesempatan pemilikan tersebut tidak menyimpang dari tujuannya, yaitu sekedar memberikan dukungan yang wajar bagi penyelenggaraan usaha orang asing tersebut di Indonesia. Dengan demikian jelas bahwa orang asing hanya dapat memperolah kepemilikan atas satu buah rumah. Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 1 ayat (2) PP 41/1996 dijelaskan ketentuan orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional dimaksudkan bahwa pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian bagi orang asing tersebut tidak boleh dilihat semata-mata dari kepentingan orang asing yang bersangkutan, tetapi lebih dari itu kehadirannya di Indonesia harus memberikan manfaat atau kontribusi terhadap pembangunan nasional. Dengan ini berarti orang asing yang tidak memberi manfaat bagi pembangunan nasional tidak dapat mempunyai hak milik untuk tempat tinggal atau hunian. Secara lengkap regulasi untuk kepemilikan rumah atau hunian oleh orang asing adalah sebagai berikut : a. Dalam UUPA, yaitu: 1). Pasal 42 UUPA yang menyatakan bahwa; Yang dapat mempunyai hak pakai ialah: a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
83 2). Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal yang bersangkutan disebutkan bahwa; “… orang-orang dan badan-badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya memberi wewenang yang terbatas.” 3). Pasal 45 UUPA yang menyebutkan bahwa; Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah: a. Warga Negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 4). Penjelasan Umum Angka Romawi II butir 5 UUPA menyebutkan bahwa; Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1, maka menurut Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) hanya warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak Milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat (2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. … . b. Dalam PP 40/1996 yaitu Pasal 39 disebutkan bahwa : Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah : (1) WNI; (2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; (3) Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah; (4) Badan-badan Sosial dan Keagamaan; (5) Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia; (6) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; (7) Perwakilan Negara Asing dan perwakilan badan internasional. c. Dalam PP 41/ 1996 yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dan juga terkait
84 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berkaitan dengan status pemilikan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Dalam PP 41/1996 secara garis besar mengatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1) Pada prinsipnya orang asing yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan memiliki satu (sebuah) rumah tempat tinggal, bisa berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun
yang
dibangun di atas tanah Hak Pakai; 2) Rumah yang berdiri sendiri dapat dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara (HPTN) atau Hak Pakai yang berasal dari Tanah Hak Milik yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik dengan Akta PPAT; 3) Perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik wajib dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat Hak Milik yang bersangkutan. Jangka waktu HP di atas HM sesuai kesepakatan dalam perjanjian, tetapi tidak boleh lebih lama dari 25 tahun. Jangka waktu Hak Pakai tersebut tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbaharui untuk jangka waktu 20 tahun, atas dasar kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian yang baru, dengan catatan bahwa orang asing tersebut masih berkedudukan di Indonesia. 4) Apabila orang asing yang memiliki rumah yang dibangun di atas Hak Pakai di atas Tanah Negara, atau berdasarkan perjanjian dengan
85 pemegang hak tidak berkedudukan lagi di Indonesia, dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. 5) Apabila dalam jangka waktu tersebut hak atas tanah belum dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat, maka terhadap rumah yang dibangun diatas Hak Pakai atas Tanah Negara (HPTN) rumah beserta tanah yang dikuasai WNA dilelang. Apabila rumah tersebut dibangun di atas Hak Pakai atas tanah Hak Milik, maka rumah tersebut menjadi milik pemegang Hak Milik. d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. e. Peraturan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. f. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. g. Pasal 45 sampai dengan Pasal 65 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
86 h. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 110-2871 tertanggal 8 Okotber 1996 tentang Pelaksanaan PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Dalam Surat Edaran tersebut ditegaskan : 1) Bahwa yang dimaksud dengan orang asing dari segi kedudukanya dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu : a. orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap (penduduk Indonesia dibuktikan dengan Izin Tinggal Tetap); dan b. orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap, melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia, dibuktikan dengan Izin Kunjungan atau Izin Keimigrasian lainnya berbentuk tanda yang diterakan pada Paspor atau dokumen kimigrasian lainnya yang dimiliki orang asing yang bersangkutan. 2) Jumlah rumah hunian yang boleh dimiliki atau dibeli maksimal sebuah atau satu rumah saja. Untuk memastikan hal tersebut kapada orang asing yang akan membeli rumah di Indonesia hendaknya diminta untuk membuat Surat Pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia pada waktu melakukan perbuatan hukum pembelian/penguasaan rumah hunian. 3) Rumah Hunian yang diperbolehkan dimiliki oleh orang asing dikecualikan atau tidak termasuk dalam kategori /klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.
87 Adapun pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Membeli tanah Hak Pakai atas Tanah Negara berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk tanah dan bangunan yang bersangkutan sesuai ketentuan yang ada. 2. Membeli tanah Hak Pakai atas Tanah Negara dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bangunan. 3. Membeli Tanah Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh ijin tertulis dari pemegang Hak Milik) berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan. 4. Membeli tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Pakai (setelah memperoleh ijin tertulis dari pemegang Hak Milik) dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan PPN bangunan. 5. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, berikut rumah yang ada di atasnya dengan membayar BPHTB tanah dan bangunan
88 6. Memperoleh Hak Pakai atas tanah Hak Milik dari pemegang Hak Milik berdasarkan perjanjian, dengan membayar BPHTB tanah dan kemudian membangun sendiri rumah di atasnya, dengan syarat mengurus IMB dan membayar PPN Bangunan. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Hak Pakai tidak sama dengan Hak Sewa. Keduanya mempunyai sifat-sifat khusus dan diatur tersendiri. Hak Sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan bukan untuk bidang tanah sebagimana halnya Hak Pakai. Dalam Pasal 44 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa, “seseorang atau suatu badan hukum memiliki Hak Sewa atas tanah apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan melakukan pembayaran kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.” Berbeda dengan Hak Pakai yang dapat terjadi di atas tanah negara atau tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan (HSUB) hanya dapat terjadi di atas tanah Hak Milik. Disebabkan tanah Hak Milik merupakan hak terkuat dan terpenuh sehingga dapat dipakai sebagai dasar pemberian hak atas tanah lain, termasuk Hak Sewa Untuk Bangunan. Adapun tujuan Pemerintah menerbitkan PP 41/1996 yang mengatur tentang pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia adalah untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 42 UUPA yang terkait dengan pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian bagi WNA. Di samping itu secara tidak langsung untuk mencegah terjadinya upaya
89 penyelundupan hukum yang seringkali terjadi dalam pemilikan rumah tempat tinggal oleh WNA di Indonesia. Selain itu, implementasi PP 41/1996 diperlukan dalam upaya memberikan kesempatan bagi WNA untuk mempunyai Hak Pakai atas tanah beserta bangunan yang digunakan untuk hunian maupun bukan hunian sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam implementasi PP 41/ 1996 dapat dilihat dari dua sisi yang mencakup aspek keadilan. Pada satu sisi, WNA diberi kesempatan untuk mempunyai hak atas tanah beserta bangunan. Namun di sisi lain, agar tidak mengurangi perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah kepada warga negaranya sendiri, terutama mereka yang secara ekonomis masih perlu dibantu, maka diberikan berbagai persyaratan bagi WNA dan badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah beserta bangunan, misalnya dalam hal klasifikasi bangunan yang boleh dibeli, dan pembatasan dalam bentuk-bentuk lain. Selain aspek keadilan, aspek kemanfaatan dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, juga dapat dilihat baik dari sisi WNA maupun Pemerintah. Bagi WNA, dibuka kemungkinan untuk mempunyai hak atas tanah beserta bangunan sebagai salah satu unsur pemenuhan kebutuhannya untuk bertempat tinggal maupun menjalankan usahanya. Bagi Pemerintah, PP 41/1996 ini diharapkan dapat memberi manfaat ekonomis melalui investasi di bidang
90 properti oleh WNA yang antara lain dapat memberikan pemasukan pada keuangan negara dalam bentuk pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.61 3.2. Dasar Pemikiran Larangan Pemindahan Hak Milik Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menunjukan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang mengamanatkan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya dan menggunakannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut maka Hukum Tanah Nasional harus sesuai dengan kepentingan rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Boedi Harsono : Hukum Tanah Nasional sudah barang tentu harus sesuai dengan kepentingan rakyat, artinya rakyat Indonesia. Bukan hanya rakyat orang-seorang atau golongan-golongan, apalagi rakyat asing. Hukum Tanah Nasional tidak diadakan untuk menjamin kepentingan orang-orang asing atau modal asing, seperti Agrarische Wet dulu.62 Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu kemudian dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA yang menegaskan bahwa hak menguasai dari negara Indonesia yang merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari Negara melahirkan wewenang untuk memanfatkan bumi, air, ruang angkasa dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk kemakmuran seluruh Rakyat Indonesia. UUPA sebagai salah satu sumber dari Hukum Tanah
61
Maria. S.W. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing, Penerbit Buku Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono I), hal. 52. 62 Boedi Harsono, op.cit, hal. 167.
91 Nasional secara tegas menghindari kesesuaian dengan orang asing melalui penerapan prinsip atau asas kenasionalan yang tercermin dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA. Pasal tersebut berkesesuaian dengan kepentingan rakyat Indonesia karena hanya mengijinkan WNI yang mempunyai hak milik atas tanah. Hak penguasaan Bangsa Indonesia sebagai hak penguasaan tertinggi diatur dalam Pasal 1 UUPA, yang bunyinya sebagai berikut : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia; (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional; (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Dengan demikian UUPA mengamanatkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan nasional. Kekayaan nasional berarti kekayaan seluruh rakyat Indonesia. Karena merupakan kekayaan milik rakyat Indonesia, maka hak milik atas bumi, air dan ruang angkasa Indoesia berada di tangan rakyat Indonesia. Dengan demikian orang asing tidak dapat mempunyai hak milik atas bumi, air dan ruang angkasa Negara Indonesia. Hanya saja Hukum Tanah Nasional harus pula memenuhi perkembangan jaman yang oleh Boedi Harsono disebut sebagai permintaan jaman. Dikatakan lebih lanjut bahwa, “Hukum Tanah Nasional bukan saja memenuhi keperluan-
92 keperluan dewasa ini tetapi juga harus memberikan kemungkinan untuk menampung atau menyelesaikan persoalan-persoalan hari depan.”63 Adanya keperluan untuk menampung persoalan-persoalan dikemudian hari itulah yang membuat UUPA tidak menganut prinsip kenasionalan secara kaku. UUPA sebagaimana telah diuraikan sebelumnya tetap membuka kemungkinan agar WNA dapat memiliki hak penguasaan atas tanah, sekalipun dalam bentuk yang sangat terbatas, yaitu Hak Pakai. Berbeda dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai bukanlah merupakan hubungan yang penuh antara hak tersebut dan objek yang dihaki. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka Hak Milik atas tanah yang menjadi monopoli WNI tidak dapat dipindahkan kepada WNA. Sekalipun ada ketentuan mengenai kepemilikan rumah oleh orang asing sebagaimana diatur oleh PP 41/1996, namun hal itu tidak menunjukan adanya pemberian Hak Milik atas bumi, air atau ruang angkasa. Kepemilikan rumah oleh orang asing sesungguhnya sangat terbatas dimana batasannya antara lain : 1. Rumah tersebut harus dibangunan di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. 2. Apabila bukan di atas tanah Hak Pakai atas tanah Negara, harus tegas dibuat dalam bentuk perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya dengan akta PPAT dan harus dicatat dalam buku tanah/sertifikat.
63
Boedi Harsono, loc.cit.
93 3. Orang asing tersebut berkedudukan di Indonesia yang kehadirannya bermanfaat bagi pembangunan nasional. 4. Jenis bangunan rumah yang dibeli oleh orang asing bukan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana.64 3.3. Keabsahan Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing Dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Hukum Tanah Nasional secara tegas melarang orang asing atau WNA mempunyai Hak Milik atas tanah. Pasal 21 UUPA secara tegas menyatakan bahwa, “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik.” Sebagai akibatnya, maka pengalihan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing juga dilarang sebagaimana ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA tersebut mengandung konsekuensi batal karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara. Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan : Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
64
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, op.cit, hal. 26.
94 Sementara itu menurut Maria S.W Sumardjono ketentuan mengenai persyaratan subyek hak, khususnya terhadap WNA, disertai dengan sanksi terhadap pelanggarannya sebagaimana dimuat dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pelanggaran terhadap ketentuan itu berakibat bahwa peralihan Hak Milik kepada WAN itu batal demi hukum dan hak atas tanahnya jatuh pada Negara. 65 Batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Hanya saja ketentuan dalam Hukum Tanah Nasional tersebut tidak membuat banyak Warga Negara Asing kehilangan keinginan untuk menguasai tanah dengan status Hak Milik dari Warga Negara Indonesia. Salah satunya dengan cara penyelundupan hukum untuk menguasai Hak Milik oleh Warga Negara Asing melalui berbagai cara pada umumnya dengan membuat satu paket perjanjian antara Warga Negara Asing sebagai penerima kuasa dan Warga Negara Indonesia sebagai pemberi kuasa yang memberikan kewenangan kepada Warga Negara Asing untuk menguasai hak atas tanah dan melakukan segala perbuatan hukum terhadap tanah tersebut, yang secara yuridis dilarang oleh UndangUndang, dalam hal ini UUPA. Pihak-pihak yang terkait mempunyai hak dan kewajiban yang sudah tertuang dalam kesepakatan perjanjian tersebut. Warga Negara Indonesia hanya dipinjam namanya saja untuk membeli tanah dari pihak pemilik tanah (owner), tentunya semua pembiayaan bersumber dari Warga Negara Asing tersebut.
65
Maria S.W Sumardjono (I), op.cit, hal. 7
95 Terjadinya wanprestasi dalam proses transaksi jual beli sebidang tanah mempunyai akibat hukum bagi kedua belah pihak yang terkait. Perjanjian yang mengatur hubungan hukum antara orang asing dengan orang Indonesia diatur dalam Buku III KUH Perdata. Dalam hubungan hukum perjanjian setiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan itu, demikan pula sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Prestasi adalah obyek perjanjian, yaitu sesuatu yang dituntut kreditur terhadap debitur atau sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau dapat dinilai dengan uang. Pemikiran mengenai varian perjanjian dalam penguasaan tanah Hak Milik oleh Warga Negara Asing seperti itu juga dijumpai pada pendapat Maria S.W. Sumardjono bahwa varian perjanjian yang dimaksudkan secara garis besar dikemukakan terdiri dari : 1) Perjanjian Induk yang terdiri dari dari Perjanjian Pemilikan Tanah (land agreement) dan Surat Kuasa; 2) Perjanjian Opsi; 3) Perjanjian sewa-menyewa (lease agreement); 4) Kuasa Menjual (power of attorney to sell); 5) Hibah Wasiat; dan
96 6) Surat Pernyataan Ahli Waris.66 Dalam praktik sehari-hari adalah memberikan kemungkinan bagi orang asing memiliki tanah yang dilarang oleh Undang-Undang Pokok Agraria adalah dengan jalan “meminjam nama” (Nominee) Warga Negara Indonesia dalam melakukan jual beli, sehingga secara yuridis formal tidak menyalahi aturan dalam arti sah secara hukum. Akan tetapi disamping itu dilakukan upaya pembuatan perjanjian antara Warga Negara Indonesia dengan orang asing dengan cara pemberian kuasa yaitu kuasa mutlak, yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa (WNI) dan memberikan kewenangan bagi penerima kuasa (orang asing) untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak (WNI) sehingga pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Pada dasarnya Nominee adalah orang yang diangkat atau ditunjuk. Nominee digunakan Warga Negara Asing untuk kepentingan kepemilikan hak atas tanah. Sebagaimana kita ketahui, bahwa orang asing tidak berhak memiliki tanah di Indonesia, oleh karena itu, Warga Negara Asing menggunakan cara Nominee agar dia dapat menikmati obyek tanah secara menyeluruh. Dalam praktik di lingkup Kenotariatan dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), pemakaian Nominee bukan lagi hal yang baru dan beberapa Notaris di Denpasar
66
Maria S.W Sumardjono I, op.cit, hal. 14.
97 menggunakan Nominee untuk memberikan kenyamanan dan sugesti perlindungan hukum bagi kliennya. Menurut pendapat Maria S.W Sumardjono menyebutkan adanya indikasi pemindahan hak atas tanah secara terselubung, misalnya dapat terjadi hal-hal sebagai berikut : 1) Uang sewa dibayar sekaligus atau uang pengganti untuk menyerahkan hak pakai besarnya kurang lebih sama dengan harga tanah itu; 2) Jangka waktu perjanjian (sewa) melampui batas kewajaran; 3) Pemilik hanya dapat meminta kembali tanahnya dengan membayar kembali sebesar harga tanah yang sebenarnya.67 Perjanjian Nominee bisa dikatakan perjanjian simulasi (perjanjian purapura) yang di lakukan oleh beberapa pihak dalam hal ini Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing bahwa mereka keluar menunjukkan seolah-olah terjadi perjanjian antara mereka, namun sebenarnya secara rahasia mereka setuju bahwa perjanjian yang nampak keluar itu tidak berlaku, ini dapat terjadi dalam hal hubungan hukum antara mereka tidak ada perbuatan apa-apa atau bahwa dengan perjanjian pura-pura itu akan berlaku hal lain. Jadi ada pertentangan antara kehendak dari para pihak dengan kenyataan keluar, sehingga perjanjian itu dapat
67
Maria S.W. Sumardjono, 2007, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disebut Maria S.W Sumardjono II), hal. 163.
98 batal demi hukum berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab yang terlarang, dan pihak ketiga yang dirugikan dapat membatalkan hal ini.68 Sebagaimana telah diutarakan sebelumya bahwa perjanjian nominee secara yuridis formal dalam rangka menguasai tanah hak milik WNI oleh WNA, tidak menyalahi aturan. Namun secara materiil melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA karena merupakan upaya tidak langsung memindahkan Hak Milik atas tanah dari WNI ke WNA. Pelanggaran atas UUPA diakibatkan oleh kausa kurang halal dari perjanjian nominee semacam itu. Menurut Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian, bahwa ada suatu sebab yang halal, artinya merupakan sebab dalam arti perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Pembatasan berikutnya dapat juga disimak ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, yang dengan jelas menyebutkan bahwa para pihak tidak bebas untuk mengadakan perjanjian yang menyangkut kausa yag dilarang oleh Undangundang atau bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Konsekuensi hukum bila perjanjian dibuat bertentangan dengan kausa tersebut adalah dapat menjadi penyebab perjanjian bersangkutan tidak sah atau perjanjian batal demi hukum. Apabila dianalis dari Teori Negara Hukum dari Utrecht, maka praktekpraktek perjanjian nominee dalam rangka mengalihkan Hak Milik atas tanah dari WNI kepada WNA harus dicegah karena bertentangan dengan ciri-ciri negara 68
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar maju, Semarang, 1994, hal. 58.
99 hukum, yaitu memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu Warga Negara Indonesia. Tetapi perlindungan hukum tersebut harus dilakukan melalui peraturan-perundangan. Perlindungan hukum kepada warga negara ini harus diberikan karena perjanjian nominee untuk memindahkan Hak Milik atas tanah secara isi perjanjian bertentangan dengan ketentuan Hukum Tanah Nasional, dimana UUPA merupakan salah satu sumber hukum pertanahan nasional tersebut. UUPA sudah mengatur dan memberikan rambu yang tegas dan jelas melalui rumusan pengaturan hak-hak atas tanah, Undang-Undang Pokok Agraria telah bersifat antisipatif terhadap perkembangan yang akan terjadi terkait dengan hubungan orang asing terhadap tanah. Hukum tanah (agraria) adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang mengatur lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan yang konkrit dengan tanah. Objek dari hukum tanah adalah hak-hak penguasaan atas tanah. Adanya objek yang sama dari semua peraturan tertentu, merupakan cukup alasan untuk mempelajari peraturanperaturan itu sebagai kesatuan. Dalam hal yang objeknya hak–hak penguasaan atas tanah, maka peraturan-peraturan sebagai keseluruhan kesatuan itu disebut Hukum Tanah. Orang asing, sesuai ketentuan UUPA berhak untuk memiliki Hak Pakai untuk peruntukan tanah di Indonesia, tetapi bukan Hak Milik. Status Hak Pakai ini diberikan kepada Warga Negara Asing dan menjadi fenomena hukum yang tidak memberikan kepastian atas kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam tatanan hukum
100 pertanahan nasional, hubungan hukum antara orang baik Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing, serta perbuatan hukumnya terkait dengan tanah, telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Salah satu prinsip yang dianut oleh UUPA adalah prinsip nasionalitas. Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan tanah sebagai bagian dari bumi dalam frasa yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke IV. Hubungan yang dimaksud adalah dalam wujud Hak Milik. Hak milik pada dasarnya diperuntukan khusus bagi Warga Negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal. Baik untuk tanah yang diusahakan, maupun untuk keperluan membangun sesuatu diatasnya. Salah satu ciri Hak Milik adalah bahwa hak tersebut dapat menjadi induk hak atas tanah yang lain, misalnya Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.69 UUPA menentukan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang dapat menjadi subyek Hak Milik. Secara tegas ditentukan bahwa Warga Negara Asing tidak dapat menjadi subyek Hak Milik sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Hukum tanah nasional melarang Warga Negara Asing untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Hukum tanah nasional mengatur bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah Indonesia. Sehingga ditinjau dari Undang-Undang Pokok Agraria bahwa kepemilikan tanah yang dimiliki oleh orang asing khususnya hak
69
Boedi Harsono, op.cit, hal. 286.
101 milik tidak sah dan apabila terbukti secara sengaja melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan terjadinya penyelundupan hukum maka kepemilikan tersebut dapat dibatalkan demi hukum. Peralihaan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing bertentangan dengan tujuan tujuan Negara hukum secara materiil yang dalam Teori Hukum menurut Utrecht disebut sebagai konsepsi Negara Kesehateraan (welfare state). Salah satu tujuan Negara Kesejahteraan adalah melindungi Bangsa Indonesia dari dominasi bangsa asing dalam segala bidang, termasuk dalam bidang pertanahan.
BAB IV AKIBAT HUKUM DARI AKTA PERJANJIAN PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA YANG DIBUAT OLEH NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 4.1. Kasus Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk memahami akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing terlebih dahulu akan dipaparkan mengenai kasus penyelundupan hukum yang dilakukan oleh Warga Negara Australia dengan menggunakan instrumen perjanjian yang dibuat oleh seorang Notaris di Denpasar. Tujuan penyelundupan hukum ini adalah untuk mendapatkan penguasaan hak milik atas tanah oleh warga negara Australia tersebut (lampiran). Kasus penyelundupan hukum tersebut dimulai dengan dibelinya sebidang lahan dengan luas 886 M2 (delapan ratus delapan puluh enam meter persegi) oleh seorang Warga Negara Australia bernama M. Pattinson. Oleh karena sistem hukum tanah di Indonesia melarang WNA mempunyai hak milik atas tanah, maka tanah seluas 886 M2 tersebut diatasnamakan seorang WNI bernama Sri Sulastri, seorang perempuan asal Madiun, Jawa Timur. Di atas tanah seluas 886 M2 tersebut kemudian dibangun sebuah Vila oleh M. Pattinson yang dikenal dengan nama Hidden Beach Villa dengan alamat Jalan Nelayan Nomor 100XXX, Banjar Canggu Tua, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Vila Hidden Beach tersebut juga dilengkapi dengan
102
103 sebuah kolam renang. Nilai total tanah dan bangunan vila tersebut Rp 2.550.000.000 ( dua miliar lima ratus lima puluh juta rupiah). Untuk mengamankan penguasaan atas tanah hak milik dan vila yang berdiri di atasnya yang telah diatasnamakan Sri Sulastri, maka M. Pattiinson meminta Sri Sulastri membuat surat pengakuan utang dihadapan seorang Notaris di Kota Denpasar dengan Akta Notaris Nomor : 89. Dalam Akta Pengakuan Utang dengan jaminan tersebut tercantum bahwa Sri Sulasti adalah pihak yang berhutang dan M. Pattinson adalah pihak yang berpiutang. Nilai utang Sri Sulastri kepada M. Pattinson dicantumkan Rp. 2.550.000.000 (dua milyar lima ratus lima puluh juta rupiah) jumlah yang setara dengan nilai pembelian tanah dan bangunan vila Hidden Beach yang berdiri di atasnya. Dalam Akta Pengakuan Utang Nomor 89 tersebut tercantum ketentuan sebagai berikut : 1. Sri Sulastri selaku Pihak Pertama yang berutang berjanji akan mengikatkan diri dan membayar kembali terhitung mulai tanggal 13 Juli 2012 dan harus lunas pada tanggal 13 Juli 2022. 2. Utang atau pinjaman tersebut tidak dikenai bunga. 3. Apabila Pihak Pertama meyimpang dari ketentuan yaitu harus membayar utang paling lambat tanggal 13 Juli 2022, maka pihak berpiutang (Pihak Kedua) berhak menagih utang tersebut kepada Pihak Pertama dengan seketika dan sekaligus apabila : a. Pihak Pertama meninggal dunia;
104 b. Jika Pihak Pertama ditaruh dibawah pengampuan (curatele) atau karena cara apapun kehilangan hak untuk mengurus harta bendanya; c. Jika harta benda Pihak Pertama seluruhnya atau sebagian disita oleh orang lain; d. Jika Pihak Pertama tidak memenuhi perjanjian menurut akta ini. 4. Semua biaya untuk menagih utang ini, diataranya biaya-biaya juru sita dan biaya orang yang dikuasakan oleh pihak berpiutang untuk menagih utang ini harus dipikul dan dibayar oleh pihak yang berutang. 5. Untuk menjamin lebih kuat dan pasti pihak berutang akan membayar semua utangnya sebagaimana mestinya sesuai yang diperjanjikan, maka pihak yang berutang memberi jaminan yang diterima baik oleh kedua belah pihak, yaitu: a. Memberi kuasa membebankan Hak Tanggungan pertama, kedua dan seterusnya kepada dan untuk kepentingan pihak kedua atas : a1. Sebidang tanah sertipikat hak milik Nomor 4476/Desa Canggu seluas 886 M2 Nomor Identifikasi Bidang Tanah, Tanah (NIB) : 00865 terletak di Desa Canggu, Kecamatan Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali tertulis atas nama Sri Sulastri. Berikut segala sesuatu yang terdapat di atas tanah tersebut, terutama bangunan vila yang berdiri diatasnya, setempat dikenal sebagai Hidden Beach Vila, Jalan Nelayan Nomor 100XXXX, Banjar Canggu Tua, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.
105 a2. Hak Tanggungan mana diberikan hingga jumlah yang dianggap baik oleh Pihak Kedua. a3. Pihak Pertama memberi kuasa kepada Pihak Kedua baik masingmasing atau bersama-sama hak untuk memindahkan kekuasaan itu kepada pihak lain dan menarik kembali pemindahan itu untuk dan atas nama penghadap Pihak Pertama (orang yang berutang) untuk keperluan
Pihak
Kedua
(orang
yang
berpiutang).
Untuk
menyelenggrakan pembebanan Hak Tanggungan. 6. Segala ongkos yang berkenaan dengan perjanjian pengakuan utang ini dipikul dan dibayar oleh pihak yang berpiutang (Pihak Kedua). Untuk memperkuat penguasaan M. Pattinson yang merupakan Warga Negara Australia atas tanah dengan Hak Milik atas nama Sri Sulastri, kemudian Sri Sulastri membuat Surat Kuasa Untuk Menjual. Surat Kuasa Menjual yang diberikan Sri Sulastri kepada M. Pattinson yang dalam akta disebut dengan penerima kuasa khusus. Dilihat dari hal-hal yang dikuasakan Sri Sulastri kepada M. Pattinson, maka dapat dilihat bahwa Surat Kuasa Menjual ini bersifat mutlak. Dalam surat kuasa yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris disebutkan bahwa Sri Sulastri memberikan kuasa untuk menjual dan menyerahkan atau dengan jalan lain mengoperkan hak atas : a. Sebidang tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 4476/Desa Canggu, seluas 886 M2, tertulis atas nama Sri Sulastri berikut segala sesuatu yang terdapat di atas tanah tersebut, terutama bangunan vila di atasnya yang
106 dikenal sebagai Hidden Beach Villa, Jalan Nelayan Nomor 100XXX, Banjar Canggu Tua, Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. b. Hak untuk menjual tersebut adalah kepada siapa saja dengan harga menurut serta menurut syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang dikuasakan yang dianggap baik dan disetujui oleh yang dikuasakan. Untuk itu Pihak Penerima Kuasa berhak menandatangani akta jual beli dan menerima uang dan memberi tanda terima serta menyerahkan apa yang dijual tersebut. Untuk menjamin bahwa penguasaan Hak Milik atas tanah seluas 886 M2 beserta Viila Hidden Beach yang berdiri di atasnya tidak akan jatuh ke tangan orang lain atau pihak lain selain ahli waris M. Pattinson apabila yang bersangkutan meninggal dunia, maka dibuatlah suatu Surat Pernyataan dalam bentuk Akta Notaris. Isi surat pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nyonya Sri Sulastri selaku penghadap menyatakan merupakan pemilik/pemegang hak atas sebidang tanah Sertipikat Hak Milik Nomor 4476/Desa Canggu, seluas 886 M2 berikut segala sesuatu yang terdapat di atas tanah tersebut, terutama Villa Hidden Beach. 2. Bahwa uang yang digunakan untuk membeli tanah dan bangunan tersebut berasal dari M. Pattinson. 3. Sehubungan dengan hal tersebut, maka jika penghadap Sri sulastri meninggal terlebih dahulu dari M. Pattinson maka tanah dan bangunan
107 villa tersebut akan diberikan kepada ahli waris penghadap untuk kemudian diserahkan pada M Pattinson. Jika akan dialihkan oleh ahli waris penghadap/dan atau walinya yang sah kepada pihak ketiga maka hasil penjualan atau ganti ruginya diberikan kepada M Pattinson. 4. Apabila M Pattinson meninggal terlebih dulu daripada Sri Sulastri, maka Sri Sulastri wajib menyerahkan tanah dan bangunan Villa tersebut kepada ahli waris M. Pattinson. Setelah mendapatkan penguasaan hak milik atas tanah dengan sertipikat Hak Milik atas nama Sri Sulastri maka dilakukan Perjanjian Sewa Menyewa di hadapan Notaris yang sama di Kota Denpasar, sehingga M. Pattinson dapat melakukan pemanfaatan atas villa Hidden Beach yang berdiri diatas tanah tersebut. Dalam Perjanjian Sewa Menyewa tersebut tercantum bahwa Sri Sulastri adalah Pihak Yang Menyewakan dan M. Patinnson adalah Pihak Penyewa. Yang disewa adalah Villa Hidden Beach yang terletak di Jalan Nelayan 100XXX, Banjar Canggu Tua, Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Nilai sewa adalah Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah ) untuk jangka waktu tiga puluh tahun. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa adalah perjanjian nominee Sri Sulastri tersebut di atas terdiri dari : 1. Perjanjian Pemilikan Tanah dan Surat Kuasa. Dalam perjanjian ini WNI mengakui bahwa tanah hak milik yang terdaftara atas namanya bukanlah miliknya tapi milik WNA yang telah
108 memberikan dana untuk pembeliannya. (dalam kasus perjanjian antar Sri Lestari dan M. Pattison, surat pernyataan Sri Sulastri tercantum dalam Akta Notaris Nomor : 91). Selanjutnya WNI memberi kuasa pada WNA untuk melakukan segala perbuatan hukum tehadap tanah hak milik tersebut (Kuasa Untuk Menjual Nomor : 90). 2. Perjanjian Opsi WNI memberikan opsi untuk membeli tanah Hak Milik kepada WNA karena dana untuk membeli sebelumnya disediakan oleh WNA tersebut (Surat Pernyataan Nomor : 91). 3. Perjanjian Sewa Menyewa Pada perjanjian ini diatur mengenai jangka waktu dan nilai sewa dan opsi untuk memperpanjang beserta hak dan kewajiban Pihak Yang Menyewakan yaitu Sri Sulastri dan Penyewa M. Pattinson (Akta Perjanjian Sewa Menyewa Nomor : 95). 4. Kuasa Menjual Memberi kuasa dengan hak substitusi dari pihak WNI, yaitu Sri Sulastri selaku pemberi kuasa kepada M. Pattinson selaku WNA penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum atau memindahkan tanah milik dan/atau bangunan yang berdiri di atasnya (Akta Kuasa Untuk Menjual Nomor : 90).
109 5. HibahWasiat Pihak WNI yaitu Sri Sulastri menghibahkan atah hak milik dan/atau bangunan atas namanya kepada M. Pattinson
(Surat Pernyataan
Nomor : 91). Konstruksi yuridis untuk menyerahkan Hak Milik kepada WNA dengan Hak Sewa untuk bangunan atau Hak Pakai adalah karena adanya asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum tanah nasional, yang pada prinsipnya kepemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya kecuali jika menurut kenyataaan pemilikan bangunan dan penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan.70 Dalam kasus Perjanjian antara Sri Sulastri dan M. Pattinson konstruksi yuridis tersebut tidak berlaku karena pemilik tanah dan bangunan berada pada satu tanah. Akta Pengakuan Utang Dengan Jaminan, Akta Kuasa Untuk Menjual, dan Akta Perjanjian antara Sri Sulastri dan M. Pattinson tersebut merupakan cara WNA memiliki Hak Atas Tanah yang dilarang oleh UUPA yang menganut prinsip nasionalitas. Secara hukum akta-akta yang telah dibuat di atas telah memenuhi unsur-unsur akta otentik yang diharuskan oleh KUH Perdata. Tetapi yang jadi persoalan adalah Akta Kuasa Untuk Menjual yang berupa kuasa mutlak dari Sri Sulastri yang adalah WNI kepada M. Pattinson yang adalah WNA pada hakikatnya tak ubahnya merupakan pemindahan hak atas tanah.
70
Maria S. W Sumardjono II, op.cit, hal. 164.
110 Adapun yang dimaksud dengan kuasa mutlak di sini sebagaimana yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yaitu kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Dalam praktek, klausula kuasa mutlak itu sering dicantumkan dalam bentuk akta Notaris, yang memakai judul “Perjanjian Pengikatan Jual Beli.” Dalam KUH Perdata tidak ditemui pengaturan mengenai dasar hukum surat kuasa sebagaimana dimaksud di atas. Biasanya sebuah surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak apabila dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan Pasal 1813 Jo. Pasal 1814 KUH Perdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa. Menurut Pasal 1813 KUH Perdata : Pemberian kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa, dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa manpun penerima kuasa, dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. Sementara itu, Pasal 1814 KUH Perdata menentukan bahwa, “Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya, dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu.” Dengan pencantuman klausula yang mengabaikan Pasal 1813 dan Pasal 1814 KUH Perdata, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa adanya kesepakatan dari pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 Jo. Pasal 1814 adalah karena Hukum
111 Perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap. Selain itu karena adanya prindip konsensualisme yang merupakan prinsip inti dari semua perjanjian. Dalam praktek banyak sekali contoh pemberian surat kuasa mutlak, misalnya untuk pembuatan perikatan nominee. Bisa juga dalam hubungan hutang piutang, dimana debitur menjaminkan tanah atau bangunan miliknya untuk diletakkan Hak Tanggungan, sedangkan pihak kreditur merasa belum perlu untuk meletakkan Hak Tanggungan itu. Lazimnya agar tetap merasa aman kreditur akan meminta kuasa untuk meletakkan Hak Tanggungan atas tanah dan bangunan debitur yang tidak dapat dicabut kembali. Praktek surat kuasa mutlak ini sebenarnya sudah menjadi hukum kebiasaan sehari-hari dalam dunia bisnis sehingga praktek pembuatan surat kuasa mutlak tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun timbul persoalan karena secara teori pemberi kuasa memang dapat dikekang haknya dari mencabut surat kuasa yang telah dilimpahkannya kepada penerima kuasa namun, secara praktek kuasa mutlak sering disalahgunakan untuk mengindari hambatan hukum sebagaimana yang terjadi dalam kuasa mutlak antara M. Pattinson dan Sri Sulastri yang telah diuraikan di atas. Dari sudut pandang
KUH Perdata, pemberian kuasa menunjukkan
hubungan seperti layaknya antara atasan dan bawahan. Pasal 1972 KUH Perdata menentukan bahwa, ”Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.” Berdasarkan ketentuan itu,
112 maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya suatu persetujuan mengani pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa-pun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain. Secara teori, karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang dimungkinkan bahwa pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan, namun hal tersebut merupakan halnya yang sangat janggal. Hal ini disebabkan karena ada kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun, dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut. Praktek pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 Jo. Pasal 1814 KUH Perdata merupakan raktek yang sangat aneh. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat diabaikan seperti yang sering dilakukan dalam perjanjian kredit bank. Namun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Umumnya yang dapat diabaikan adalah KUH Perdata Buku III mengenai perikatan.
113 Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUH Perdata. Tampak sangat tidak logis apabila Pasal 1813 KUH Perdata diabaikan. Selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, maka salah satu mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah adamya para pihak yang mengabaikan pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan. Secara gamblang dapat dimengerti bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya. Sementara apabila penerima kuasa yang meninggal, juga secara otomatis mengakhiri, karena penerima kuasa telah kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kuasa tersebut. Memang dalam sebuah surat kuasa biasanya
114 juga dilampirkan pemberian kuasa substitusi untuk menggantikan penerima kuasa pada saat dirinya kehilangan kemampuan untuk menjalankan kuasa. Tetapi ini adalah masalah yang berbeda. Dengan dipailitkan atau diampunya salah satu pihak, juga logis apabila kuasa berakhir. Karena adanya kepailitan, maka semua pihak yang dipailitkan akan kehilangan kekuasaannya atas harta miliknya, dan dialihkan kepada kurator ataupun balai harta peninggalan. Begitu juga dengan diampunya salah satu pihak yang akan mengalihkan kekuasaan kepada walinya. Kesimpulannya adalah surat kuasa mutlak tidak dapat dan tidak boleh dipraktekkan karena tidak sejalan dengan
undang-undang
yang
berlaku.
Pemberi
kuasa
yang
terlanjur
menandatangani surat kuasa semacam ini memiliki posisi kuat di hadapan pengadilan. Namun bagi penerima kuasa yang memiliki status sebagai kreditur dari pemberi kuasa, dilihat dari segi apapun untuk mencegah terjadinya pencabutan kuasa memang lemah, akan tetapi hanya terbatas yang berhubungan dengan surat kuasa tersebut, sebab penerima kuasa boleh saja memegang surat perjanjian dari pemberi kuasa yang sepakat untuk tidak melakukan pencabutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan penerima kuasa. Dengan demikian walaupun pemberi kuasa tetap berhak penuh untuk mencabut kuasanya secara sepihak dan kapan saja, namun penerima kuasa yang memegang perjanjian dari pemberi kuasa untuk tidak melakukan pencabutan kuasa secara sepihak dapat menggugat dengan dasar ingkar janji pada pihak
115 pemberi kuasa. Perlu dicatat bahwa gugatan tersebut tidak dapat membatalkan pencabutan kuasa. Dari segi hukum, pemberian kuasa merupakan suatu perjanjian, yaitu persetujuan kedua belah pihak. Pihak pemberi kuasa memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian kuasa ini yang umumnya dituangkan secara tertulis oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik dalam bentuk surat kuasa umum ataupun khusus. Bedanya, surat kuasa khusus hanya mencakup satu kepentingan tertentu atau lebih. Sedangkan surat kuasa umum meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1792 dan 1795 KUH Perdata. Pasal 1792 KUH Perdata menentukan bahwa pemberian kuasa adalah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa tersebut. Sementara itu, Pasal 1795 menentukan bahwa pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Selanjutnya, ketentuan Pasal 1813, 1814, 1815 KUH Perdata mengatur tentang berbagai macam cara untuk mengakhiri atau menarik kembali surat kuasa tersebut, di
antaranya dengan penerima kuasa menarik kembali atau
memberitahukan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa kepada pemberi kuasa; pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal, atau diampu, atau pailit; sewaktu-waktu pemberi kuasa menarik kembali kuasanya dan jika disertai alasan,
116 pemberi kuasa berhak memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa yang sudah diberinya atau penerima kuasa meninggal. Di sisi lain, ketentuan yang isinya melarang suatu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali memang tidak diatur dalam KUH Perdata Buku III tentang Perikatan. Penggunaan surat kuasa mutlak untuk menjual hak atas tanah sudah diinstruksikan untuk dilarang oleh Menteri Dalam Negeri demi kepentingan ketertiban status penggunaan tanah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982. Adanya surat kuasa mutlak ini rupanya digunakan sebagai dasar pemindahan hak-hak atas tanah yang seharusnya melekat pada pemegang hak menjadi beralih kepada penerima kuasa mutlak tersebut dengan tidak dapat ditarik kembali. Dengan demikian alasan penarikan kembali oleh pemberi kuasa dengan cara apapun, ataupun bilamana pemberi kuasa meninggal, tidak dapat mengakhiri pemberian kuasa tersebut. Lebih aneh lagi apabila si penerima kuasanya sendiri yang kemudian meninggal dunia dan tidak lagi dapat menjalankan kuasa-kuasa yang diberikan kepadanya. Secara yuridis formal, WNA melakukan jual beli atas nama WNI dengan Akta Notaris tidak menyalahi aturan. Tetapi apabila hal itu dilakukan dengan dengan upaya pembuatan perjanjian pemberian kuasa mutlak oleh WNI yang tidak dapat ditarik kembali oleh WNI pemberi kuasa dan memberi kewenangan pada WNA penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan hukum berkenaan dengan hak atas tanah tersebut yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh
117 WNI pemegang hak adalah melanggar ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum.71 4.2. Akibat Hukum Akta Perjanjian Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Milik WNI Oleh WNA Yang Dibuat Oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah Akibat Hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibatakibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum itu sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban bagi subjek hukum yang bersangkutan. Dalam pengertian yang lebih menyeluruh, akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu peristiwa hukum atau perbuatan dari subjek hukum. Ada tiga jenis akibat hukum, yaitu : 1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, lenyapnya suatu keadaan hukum tertentu. Misalnya, Usia 21 tahun melahirkan suatu keadaan hukum baru dari tidak cakap bertindak menjadi cakap bertindak atau orang dewasa yang dibawah pengampuan, melenyapkan kecakapan dalam tindakan hukum. 2. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. Misalnya, sejak kreditur dan debitur melakukan akad kredit, maka melahirkan hubungan hukum baru, yaitu 71
Maria S. W Sumardjono II, op.cit, hal. 166.
118 utang piutang atau sejak pembeli melunasi harga suatu barang dan penjual menyerahkan barang tersebut, maka berubahlah atau lenyaplah hubungan hukum jual beli diantara mereka. 3. Akibat hukum berupa sanksi, yang tidak dikehendaki oleh subjek hukum. Sanksi dari suatu akibat hukum berdasarkan pada lapangan hukum, dibedakan menjadi : a. Sanksi Hukum di bidang hukum publik seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, berupa Hukuman Pokok dan Hukuman Tambahan. b. Sanksi hukum di bidang hukum privat yang terdiri atas : 1. Melakukan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatigedaad) seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan seseorang yang mengakibatkan kerugian terhadap yg sebelumnya
tidak
diperjanjikan
sehingga
ia
diwajibkan
mengganti kerugian. 2. Melakukan Wanprestasi seperti diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata, yaitu akibat kelalaian seseorang tidak melaksanakan kewajibannya tepat pada waktunya, atau tidak dilakukan secara layak sesuai perjanjian, sehingga ia dapat dituntut memenuhi kewajibannya bersama keuntungan yg dapat diperoleh atas lewatnya batas waktu.72
72
Fully Handayani, 2013, “Pengertian Pokok Dalam Sistem Hukum”, URL: http//:www. Slideshare.net, diakses tanggal 8 Februari 2014.
119 Akibat hukum dari suatu akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik WNI oleh WNA yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah, adalah berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. Dalam kasus perjanjian antara Sri Sulastri dan M. Pattinson yang diuraikan di atas telah melahirkan hubungan hukum baru, yaitu utang piutang yang melandasi peralihan Hak Milik atas tanah dari WNI pada WNA. Namun causa dari akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik WNI oleh WNA yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang merupakan penguasaan Hak Milik atas tanah secara tidak langsung oleh WNA dilarang oleh peraturan pertanahan yang berlaku. Perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian lain terkait dengan penguasaan tanah Hak Milik oleh WNA sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa telah terjadi penyelundupan hukum melalui perjanjian notariil. Pihak WNI yang berlaku sebagai nominee atau trutee yang meminjamkan namanya kepada WNA terikat pada suatu hubungan hukum yang memberi keuntungan dan tidak memperdulikan kebenaran materiil dari perjanjian itu. Sebagaimana telah diuraiakan di atas sahnya suatu perjanjian harus memenuhi ketentuaan Pasal 1320 KUH Perdata, memerlukan empat syarat, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu pejanjian; 3. Mengenai suatu hal tertentu; 4. Sesuatu sebab yang halal;
120 Dua syarat pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai orangorangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Terkait dengan perjanjian antra Sri Sulastri dan M. Pattinson di atas, maka keabsahannya dapat diuraikan sebagai berikut : I. Sepakat mereka yang mengikat dirinya Sri Sulastri dan M. Pattinson sepakat mengadakan perjanjian mengenai halhal pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. II. Cakap Untuk Membuat Suatu Perjanjian Sri Sulastri dan M. Pattinson adalah orang yang membuat perjanjian dan cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Sri Sulastri telah berusia 52 tahun dan M. Pattinson telah berusia 56 tahun dan sehat pikirannya, sehingga dapat mendatangi Notaris untuk membuat perjanjian. Dari sudut rasa keadilan, kedua orang yang membuat perjanjian tersebut dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti
121 mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh bebas berbuat dengan harta kekayaannya. Menurut ketentuan Pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami, memerlukan bantuan dan izin (kuasa tertulis dari suaminya) untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin dari suaminya. Perbedaannya dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang/wali, adalah dengan diwakili, seorang anak tidak membikin perjanjian itu sendiri tetapi yang tampil ke depan wakilnya. Tetapi seorang istri harus dibantu, berarti ia bertindak sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya. Bantuan tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. Sri Sulastri tidak memerlukan ijin tertulis dari suaminya karena statusnya telah bercerai sehingga dianggap dapat mewakili dirinya sendiri. III. Mengenai Suatu Hal Tertentu Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Sri Sulastri dan M. Pattinson memperjanjian barang atau benda berupa sebidang tanah beserta semua yang ada di atasnya, terutama bangunan villa.
122 IV. Suatu Sebab Yang Halal Syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah adanya suatu sebab yang halal. Yang dimaksudkan dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, tidak boleh mengenai sesuatu yang terlarang. Terkait dengan hal ini maka, perjanjian antara Sri Sulastri dan M. Pattinson tidak memenuhi unsur suatu sebab yang halal karena menyangkut pemindahan hak atas tanah dari WNI kepada WNA secara tidak langsung yang dilarang dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut : Setiap jual beli, pertukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung maupun tidak langsung memindahkan hak milik pada warga negara asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada badan hukum, kecuali yang ditetapkan pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan ketentuan bahwa pihakpihak lain yang membebaninya tetap berlangusng serta semua pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut kembali. Karena syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sebagaimana dikatakan
123 Maria S.W Sumardjono bahwa, “Sustansi perjanjian tersebut melanggar syarat objektif dan oleh karena itu adalah batal demi hukum.”73 Perjanjian semacam itu tidak mempunyai dasar hukum yang kuat kecuali kesepakatan para pihak. Sesungguhnya penguasaan Hak Milik atas tanah oleh WNA secara tidak langung sebagaimana yang dilakukan M. Pattinson tidak menjanjikan perlindungan hukum bagi yang bersangkutan. Maria S.W Sumardjono mengungkapkan bahwa : Kedudukan WNA dalam perjanjian semacam itu sangat lemah karena dua alasan : Pertama, walaupun kedua belah pihak cakap bertindak dan mengikatkan diri secara sukarela tetapi ”causa” nya adalah palsu atau terlarang karena perjanjian itu mengakibatkan dilanggarnya ketetntuan Pasal 26 ayat (2) UUPA. Pasal 1335 menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dengan causa palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian yang dibuat antara WNI dan WNA tersebut didasarkan pada causa yang palsu, yakni perjanjian nyang dibuat dengan pura-pura serta menyembunyikan causa yang sebenarnya yang tidak diperbolehkan. Dalam hal ini, perjanjian itu dianggap sudah batal dari semula dan hakim berwenang karena jabatannya mengucapkan pembatalan itu, walaupun tidak diminta oleh sesuatu pihak (pembatalan mutlak). Kedua, tidak semua perjanjian yang dibuat mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang. Hanya perjanjian yang sah yang mengikat kedua belah pihak. Dengan demikian perjanjian pura-pura tidak mempunyai kekuatan mengikat karena dibuat tidak sah.74 Dengan demikian ada dua macam perlindungan hukum, yaitu : Perlindungan Hukum Preventif dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapat sebelum keputusan pemerintah tertentu
73 74
Ibid., hal. 18. Maria S.W Sumardjono II, op.cit, hal.85.
124 bersifat definitif; dan Perlindungan Hukum Represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.75 Apabila dianalisa menggunakan Teori Negara Hukum dari Utrecht, maka akta perjanjian penguasaan Hak Milik atas tanah milik WNI oleh WNA yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana setiap perbuatan hukum harus tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi dalam hal ini negara hanya memberi jaminan perlindungan pada hak-hak individu dari WNI. Akta yang dimaksud di atas tidak memberikan perlindungan terhadap WNA yang telah menguasai hak atas tanah milik WNI. Sebagai konsekuensi dianutnya Asas Kebangsaan atau Asas Nasionalitas dalam UUPA, maka perlindungan terhadap kepentingan WNI harus diutamakan di atas kepentingan WNA. Asas Nasionalitas terlihat dalam Pasal 1 UUPA yang berbunyi : (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. (4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. (5) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
75
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indoensia, Bina Ilmu, Surabaya (selanjutnya Philipus M. Hadjon II), hal. 34.
125 Dinilai dari Teori Kewenangan, maka kewenangan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah membuat perjanjian dalam bentuk akta otentik sebagai cara tidak langsung bagi WNA untuk menguasai Hak Milik atas tanah milik WNI merupakan bentuk wewenang atribusi, artinya kewenangan itu diciptakan dan diberikan sendiri oleh Undang-Undang, yaitu Pasal 15 UUJN. Dengan kata lain, kewenangan Notaris tidak berasal atau tidak diberikan oleh lembaga lain, tetapi diberikan oleh Undang-Undang. Di sisi lain, berdasarkan pula UUJN, maka seorang Notaris untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Notaris (MPN) berwenang memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan atas kasus hukum, jika itu berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpangan Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 66 UUJN. Dengan mengacu pada ketentuan ini, maka seorang Notaris tidak serta merta bisa didudukkan atau dihadirkan oleh penyidik sebagai saksi atas kasus yang dipersengketakan oleh para pihak, kendatipun objek hukum yang dipersengketakan para pihak tersebut memiliki akta otentik yang pernah dibuat dihadapan Notaris. Berbeda halnya jika akta yang dibuat Notaris cacat secara yuridis (batal demi hukum atau dapat dibatalkan) karena tidak memenuhi syarat formil dan atau syarat materil, maka ada kewajiban bagi Notaris mempertanggungjawabkan kesalahannya. Bahkan Notaris karena jabatannya atau karena profesinya dapat dituntut secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya akta
126 Notaris atau dapat dituntut oleh pengadilan, maupun tuntutan pidana oleh Penuntut Umum dan Penyidik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Selain itu, Notaris dapat juga diperkarakan oleh Majelis Pengawas Notaris selaku Badan dapat menjatuhkan sanksi administrasi kepada Notaris bersangkutan dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 7 UUJN. Oleh karenanya seorang Notaris tidak boleh sembarangan membuat akta otentik, meskipun ada permintaan dari para penghadap atau para pihak. Notaris harus hati-hati dan mengikuti segala prosedur dan persyaratan yang diperlukan dalam pembuatan akta atau apa yang menjadi kewenangannya menurut Undang-Undang. Akta Notaris adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, sehingga baik bentuk maupun sifatnya adalah suatu yang pasti dan mengikat. Bentuk akta Noataris terdiri atas awal akta atau kepala akta; badan akta; dan penutup akta (Pasal 38 UUJN). Karena akta otentik dibuat secara formal oleh pejabat berwenang, maka sifatnya mengikat, artinya memiliki kekuatan mengikat keluar dan ke dalam. Mengikat ke dalam artinya, para pihak yang dicantumkan atau diterangkan identitasnya (termasuk para saksi jika ada) dalam akta otentik tersebut harus tunduk dan mematuhinya. Mengikat ke luar artinya, pihak ketiga atau pihak
127 manapun harus mengakui kekuatan berlakunya akta tersebut. Bagi siapa yang tidak mempercayai atau meragukan akta atau isi akta tersebut, maka kepadanya harus membuktikan sebaliknya dengan menunjukkan bukti yang kekuatan pembuktiannya melebihi atau setidaknya sama dengan akta untuk melumpuhkan kekuatan/atau ketidakbenaran akta otentik yang disangkalinya. Pendeknya siapa yang meragukan atau tidak mengakui akta otentik yang dibuat Notaris, maka dialah yang harus menunjukkan/membuktikan ketidakbenaran akta otentik dimaksud. Inilah salah satu hal pokok yang membedakan antara akta otentik dengan akta dibawah tangan. Kalau akta di bawah tangan, baru bisa dijadikan dasar/alas hak jika para pihak tidak ada yang menyangkali akta dan mengakui isi/materi yang tercantum dalam akta di bawah tangan tersebut. Karena akta di bawah tangan pada dasarnya memiliki kekuatan pembuktian hanya kepada pihak-pihak yang terlibat saja dan baru memiliki kekuatan pembuktian ke luar jika para pihak yang tercantum dalam akta tersebut mengakui (tidak menyangkali) akta di bawah tangan tersebut. Jadi, kalau akta di bawah tangan itu dibawa ke proses hukum dan ada pihak tertentu (yang dicantumkan identitasnya/keterangannya) dalam akta di bawah tangan itu menyangkalinya, maka pihak (si pembuat akta di bawah tangan, terutama yang mengakui kebenaran isi akta tersebut) yang berkewajiban untuk mempertahankan isi akta tersebut, mungkin dengan cara mencarikan bukti lain yang bisa mendukung kekuatan pembuktian atas akta di bawah tangan tersebut.
128 Akta Notaris pada dasarnya adalah akta yang isinya merupakan kehendak para penghadap, Notaris hanya melaksanakan apa yang menjadi kehendak para pihak/penghadap yang kemudian dituangkan secara formal dalam bentuk akta. Dalam ketentuan Pasal 38 huruf c UUJN dikatakan bahwa, “isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para pihak yang berkepentingan.” Karena isi akta merupakan kehendak para pihak, maka Notaris berkewajiban membacakan kepada para pihak/penghadap tentang isi akta sebagai kesepakatan diantaranya sebelum difinalkan. Setelah Notaris selesai membaca isi akta yang baru saja dibuatnya, kemudian menanyakan kepada para pihak/penghadap tentang apakah isi akta yang baru saja di bacakan sudah sesuai dengan kehendak para penghadap. Dari proses yang demikian itulah, logika bisa menangkapnya mengapa dalam ketentuan mengharuskan para pihak yang kemudian disebut “penghadap” hadir di muka Notaris untuk sebuah pembuatan akta otentik. Dengan demikian, Notaris dituntut kehati-hatiannya dalam memenuhi keinginan para penghadap, di samping berkewajiban juga untuk mematuhi seluruh syarat, prosedur dan mekanisme dalam pembuatan akta otentik agar dikemudian hari tidak menimbulkan masalah yang justru bisa melibatkan Notaris bersangkutan. Hal ini karena apa yang tercantum dalam akta adalah kehendak para penghadap, bukan keinginan Notaris. Notaris adalah pejabat publik yang menjual jasa dan bekerja secara profesional, dan Notaris dilengkapi dengan Kode Etik Notaris dalam melaksanakan pekerjaannya.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan jawaban dari pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu: 1. Keabsahan penguasaan Hak Milik atas tanah milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dilakukan oleh Notaris dengan Akta Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah secara yuridis formal tidak menyalahi aturan, dalam arti hal tersebut bukan merupakan pemindahan hak atas tanah (melalui jual beli) dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Akan tetapi secara materiil hal itu melanggar, dalam arti substansinya merupakan pemindahan secara tidak langsung dari Warga Negara Indonesia Kepada Warga Negara Asing yang melanggar ketentuan dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA. 2. Akibat hukum dari akta perjanjian penguasaan hak atas tanah hak milik Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing yang dibuat oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah batal demi hukum karena syarat objektif tidak dipenuhi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian sejak semula perjanjian itu tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum
129
130 adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Sesungguhnya penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing, baik secara langsung maupun tidak langsung tidak menjanjikan perlindungan hukum bagi yang bersangkutan.
5.2 Saran Dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat diberikan saran sebagai berikut : 1. Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang ada di Denpasar sebaiknya menolak membuat suatu perjanjian yang substansinya merupakan peralihan secara tidak langsung hak milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Majelis Pengawas Daerah sebagai ujung tombak pengawasan Notaris harus memantau dengan intensif dengan mencermati aktaakta yang dibuat oleh Notaris dan mengambil tindakan tegas apabila akta yang dibuat Notaris tersebut merupakan usaha penyelundupan hukum untuk mengalihkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia ke Warga Negara Asing karena hal tersebut melanggar hukum. 2. Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah seharusnya dapat mencegah terjadinya peralihan Hak Milik atas tanah secara tidak langsung oleh Warga Negara Asing dengan menggunakan instrumen perjanjian. Hal ini dapat dilakukan dengan kerjasama yang baik antara Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Badan Pertanahan Nasional karena peralihan Hak Milik atas
131 tanah secara tidak langsung oleh Warga Negara Asing mengabaikan hakekat dari Hukum Pertanahan Nasional dan melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Benn, Stanley I dan Richard S. Peters, 1964, The Principles of Political Thought – Social Foundation of the Democratic State, CollierMaemillan Ltd, London. Burkens, M.C.et.all, 1990, Beginselen van de Democratiche Rechtstaat, Tjeek Wilink, Zwole. Campbell, Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minesota. Hadjon, Philipus M dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gajah Mada Universitiy Pres, Yogyakarta. Hartono Sunaryati, C.F.G, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke 20, Alumni, Bandung. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta. Hiroyoshi, Kano, 1997, Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Sengketa Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan, dalam Tanah dan Pembangunan, Cet. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Hutagalung, Arie S., 1998, Condominium dan Permasalahannya, Cet. Pertama, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ibrahim, R., 2010, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional : Permasalahan Teoritik Dalam Praktek, Makalah Lokakarya Evaluasi UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Universitas Udayana, Denpasar. Limbong, Bernhard, 2012, Konflik Pertanahan, Cet. Pertama, CV. Rafi Maju Mandiri, Jakarta.
132
133 Lubis, Muhammad Yamin dan Abdul Rahim Lubis, 2013, Kepemilikan Properti di Indonesia Termasuk Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing, CV. Mandar Maju, Bandung. Marbun, S.F, 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administrasi Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Mertokusuma, Sudikno , 1988, Hukum dan Politik Agraria, Universitas Terbuka, Jakarta.
Karunika-
________, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Cohen, Morris L and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group, ST. Paul Minn, Printed in the United States of America. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2010, Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Kencana Prenada Group, Jakarta.
2003,
Hak-Hak Atas Tanah,
Notodisoeryo, R, Sugondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia : Suatu Kejelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta Notonagoro, 1984, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Parlindungan, A.P., 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. Perangin, Effendi, 1994, Hukum Agraria Di Indonesia : Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Program Studi Magister Kenotariatan, 2013, Pedoman Pendidikan Program Study Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Program Study Magister Kenotariatan, Denpasar. Purwahid, Patrik, 1994, Dasar – Dasar Hukum Perikatan, Mandar maju, Semarang.
134 Ridwan H.R, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Salim H.S., 2012, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Cet. Kedua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Group, Jakarta. Soepomo, R, 1993, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta. Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya. Sumardjono, Maria S.W, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. _______, 2007, Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Impelentasi, Cetakan V, Kompas, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2011, Metodelogi Penelitian Hukum, Cetakan ke 12, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supramono, Gatot, 2012, Hukum Orang Asing di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Tutik, Titik Triwulan, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Utrecht. E., 1960, Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHMP Universitas Negeri Padjajaran, Cet. Ke 4, Bandung. Wheare, K.C, 1975, Modern Constitutions, Oxford University Press, London.
2. Surat Kabar Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001.
135 3. Internet Adjie,
Habib, 2012, Akta PPAT Bukan Akta Otentik, Ilmupoleksus.blogspot.com, diakses tanggal 22 Desember 2013.
Handayani, Fully, 2013, Pengertian Pokok Dalam Sistem Hukum, URL : http//:www. Slideshare.net, diakses tanggal 8 Februari 2014.
4. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634). Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643). Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. Peraturan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 8 Tahun 1996 tentang Perubahan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
136
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Surat Edaran (SE) Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 110-2871 tertanggal 8 Okotber 1996 tentang Pelaksanaan PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia.
137
TESIS
PENGUASAAN HAK MILIK ATAS TANAH MILIK WARGA NEGARA INDONESIA OLEH WARGA NEGARA ASING DENGAN AKTA NOTARIS/PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (STUDI KASUS)
NI MADE IRPIANA PRAHANDARI
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014