ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB II JENIS PERBUATAN HUKUM ATAS TANAH YANG TIDAK DIBUKTIKAN DENGAN AKTA PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
1. Pengaturan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Hukum Pertanahan Pada tanggal 24 September 1960 diundangkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA membawa perubahan fundamental bagi hukum agraria di Indonesia. Tidak ada lagi dualisme dan perlakuan diskriminasi bagi golongan tertentu, karena dengan diundangkannya UUPA maka berlaku unifikasi di bidang hukum pertanahan. UUPA menganut sistem pendaftaran tanah berupa rechts cadaster yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tercantum pada Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa, “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Peraturan Pemerintah yang melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1) tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Karena dinilai belum cukup memberikan hasil yang memuaskan dalam pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, akhirnya aturan ini dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Penyempurnaan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 meliputi penegasan mengenai berbagai hal yang belum jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
yakni
pengertian
pendaftaran
tanah
itu
sendiri,
asas-asas
dan
tujuan
penyelenggaraannya serta prosedur pendaftaran tanah yang diuraikan secara lebih rinci. UUPA hanya menyebutkan bahwa yang mengadakan pendaftaran tanah adalah pemerintah. Namun UUPA tidak menyebutkan pihak atau instansi yang melaksanakan
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pendaftaran tanah tersebut secara spesifik. Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pejabat lainnya. Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, disebutkan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah. Sedangkan berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, peralihan hak atas tanah hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta PPAT. Jadi, PPAT memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia karena PPAT merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang dalam membuat akta pemindahan hak atas tanah guna pelaksanaan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Mengingat peran PPAT yang begitu besarnya, maka diperlukan peraturan yang secara rinci mengatur mengenai tugas dan wewenang PPAT. Aturan-aturan tersebut diharapkan mampu memberikan perlindungan serta kepastian hukum bagi PPAT. UUPA tidak mengatur PPAT, akan tetapi mengatur perbuatan hukum yang membutuhkan peran PPAT.25 Perbuatan hukum tersebut diantaranya berupa peralihan dan pembebanan hak-hak atas tanah. Peraturan pelaksana dari Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah untuk pertama kalinya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang dilaksanakan dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penunjukan Pejabat Yang Dimaksudkan Dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah Serta Hak Dan Kewajibannya. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menyebutkan bahwa setiap perjanjian memindahkan hak atas tanah harus 25
Urip Santoso (selanjutnya disebut Urip Santoso – II), Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perspektif Regulasi, Wewenang dan Sifat Akta), Revka Petra Media, Surabaya, 2015, h. 43.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh penjabat yang ditunjuk Menteri Agraria. Pejabatpejabat yang berwenang dalam membuat akta tersebut dijabarkan secara rinci dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961, antara lain notaris, pegawai dan bekas pegawai Departemen Agraria, pegawai pamongpraja dan orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang diadakan Menteri Agraria. Dalam peraturan-peraturan tersebut juga tidak disebutkan mengenai PPAT. Walaupun tidak diatur di dalam UUPA beserta peraturan pelaksananya, pada akhirnya PPAT diatur dalam peraturan-peraturan yang muncul setelahnya. Hingga saat ini banyak aturan yang mencantumkan pengertian, kedudukan, tugas dan wewenang serta akta PPAT. Berikut adalah beberapa aturan mengenai PPAT dalam hukum pertanahan di Indonesia : 1.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 merupakan dasar hukum bagi PPAT untuk membuat akta pemindahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, pemindahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dilakukan dengan akta PPAT dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan. Namun aturan ini telah dicabut dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
2.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka PPAT memiliki kewenangan untuk membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) dan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pasal-pasal dalam UndangUndang ini yang mengatur mengenai PPAT antara lain Pasal 1 ayat (4), Pasal 1 ayat
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
(5), Pasal 10 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1). Aturan ini masih berlaku hingga sekarang. 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Aturan ini merupakan landasan hukum bagi PPAT dalam hal membuat Akta peralihan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. PPAT diatur di dalam Pasal 1 ayat (5), Pasal 16 ayat (4), Pasal 34 ayat (4) serta Pasal 54 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, rumah tempat tinggal yang dapat dimiliki orang asing adalah rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara dan tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah serta Satuan Rumah Susun. Lalu Pasal 3 ayat (1) jo. Ayat (2) nya menyebutkan bahwa perjanjian dengan pemegang hak atas tanah tersebut harus dibuat secara tertulis dengan akta PPAT. Jadi, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 merupakan dasar hukum bagi PPAT dalam membuat perjanjian pemilikan rumah tempat tinggal antara orang asing dengan pemegang hak atas tanahnya.
5.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 19 UUPA mengenai pendaftaran tanah. Dengan disahkannya aturan ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi. Banyak ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang mengatur mengenai tugas dan wewenang PPAT, antara lain Pasal 1 angka (24), Pasal 6 ayat (2),
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 23 Pasal 37 ayat (1), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (1), Pasal Pasal 38 ayat (2), Pasal 39 ayat (1), Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 45 ayat (3), Pasal 51 ayat (1), Paal 51 ayat (2), Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 62. 6.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam aturan ini terdapat beberapa pasal mengenai PPAT khususnya jenis-jenis, bentuk dan isi akta PPAT beserta prosedur pembuatannya. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 76 ayat (1), Pasal 95 ayat (1), Pasal 95 ayat (2), Pasal 96 ayat (1), Pasal 96 ayat (2), Pasal 96 ayat (3), Pasal 97 ayat (1), Pasal 97 ayat (1-8), Pasal 99 ayat (2), Pasal 100 ayat (1), Pasal 100 ayat (2), Pasal 101 ayat (1-3), Pasal 102, Pasal 103 ayat (1-8), Pasal 104 ayat (1-4), Pasal 106, Pasal 114 ayat (1-7) Pasal 115 ayat (1-4), Pasal 116 ayat (1-4), Pasal 117 ayat (1-4), Pasal 120 ayat (1-3), Pasal 136 ayat (1) dan Pasal 193 ayat (2).
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 merupakan peraturan yang melaksanakan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Peraturan ini mengatur PPAT secara khusus. Seluruh pasalnya berisi aturan mengenai PPAT yang meliputi pengertian PPAT, tugas pokok dan kewenangan PPAT, jenis akta PPAT, pengangkatan dan pemberhentian PPAT, daerah kerja PPAT, sumpah jabatan PPAT, pelaksanaan jabatan PPAT, honorarium PPAT serta pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan ini mengatur lebih lanjut mengenai PPAT. Isi aturan ini mencakup hal-hal teknis seperti formasi dan pengangkatan PPAT, penunjukkan PPAT sementara dan khusus, pemberhentian PPAT, sumpah jabatan PPAT, pelaksanaan jabatan PPAT yang meliputi stempel jabatan PPAT, papan nama dan kop surat PPAT, pembuatan akta PPAT, buku daftar akta PPAT, penjilidan akta dan warkah, laporan bulanan PPAT, cuti PPAT dan PPAT pengganti serta pembinaan dan pengawasan PPAT. Namun aturan ini telah dicabut dengan diundangkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
9.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Aturan ini menyempurnakan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999, sehingga isi pasal-pasalnya hampir sama dengan
pasal-pasal
yang
tercantum
di
dalam
Peraturan
Menteri
Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 namun dengan sedikit perubahan termasuk penambahan bab. Isi dari Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 mencakup pengertian PPAT, tugas pokok dan kewenangan PPAT, jenis akta, daerah kerja PPAT, formasi PPAT, PPAT sementara dan PPAT khusus, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PPAT, pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan PPAT, pelaksanaan jabatan PPAT, pembinaan dan pengawasan PPAT serta organisasi profesi PPAT.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
10. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Peraturan ini mengubah beberapa pasal yang ada di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, antara lain ketentuan mengenai daerah kerja PPAT serta pengangkatan PPAT. 11. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hanya ada dua pasal dalam peraturan ini. Pada intinya aturan ini dibuat untuk mengubah Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, yaitu mengenai bentuk akta PPAT. Demikianlah peraturan-peraturan yang menjabarkan mengenai PPAT. Namun, sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai PPAT seperti halnya Undang-Undang Jabatan Notaris pada notaris. Di antara aturan-aturan yang telah dijabarkan di atas, terdapat beberapa aturan yang memberikan pengertian mengenai PPAT, antara lain : a.
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan Hak Tanggungan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
b.
Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
c.
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.
d.
Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
e.
PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu hak-hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Terdapat beberapa persamaan di antara pengertian-pengertian PPAT di atas, yakni wewenang PPAT dalam membuat akta pertanahan dan penggolongan PPAT sebagai pejabat umum. Namun dalam aturan-aturan tersebut tidak dijelaskan secara rinci mengenai pengertian dari pejabat umum. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.26 Sedangkan Sri Winarsi menyatakan bahwa pejabat umum mempunyai karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik. Sifatnya dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian dan kewenangan PPAT.27 Dari segi istilah, pejabat umum merupakan terjemahan dari openbare ambtenaren seperti yang dijabarkan dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Oleh Habib Adjie diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik.28 26
Boedi Harsono, Op.cit., h. 483. Sri Winarsi dalam Urip Santoso – I, Op.cit., h. 326. 28 Habib Adjie (selanjutnya disebut Habib Adjie II), Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), Mandar Maju, Bandung, 2009 h. 16. 27
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Mengenai pengangkatan dan pemberhentian PPAT, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa PPAT diangkat dan diberhentikan Menteri. Menteri yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan berkaitan dengan kewenangannya, Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan bahwa PPAT memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Jadi, benarlah bahwa PPAT tergolong pejabat umum, karena PPAT adalah orang yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri serta memiliki wewenang utama dalam membuat akta guna pelayanan umum terhadap masyarakat di bidang pertanahan. Dengan adanya akta PPAT inilah maka terjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat pemegang hak atas tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 membagi PPAT menjadi tiga macam, yaitu PPAT, PPAT Sementara dan PPAT Khusus. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Yang dapat diangkat menjadi PPAT adalah notaris atau orang yang telah lulus pendidikan spesialis Notariat / lulus Magister Kenotariatan. Secara rinci, persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat diangkat menjadi PPAT telah dijabarkan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, antara lain : a. berkewarganegaraan Indonesia. b. berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
c. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat. d. belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. e. sehat jasmani dan rohani. f. lulusan program pendidikan spesialis notaris atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi. g. lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Sedangkan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, PPAT dapat berhenti menjabat dikarenakan PPAT tersebut meninggal dunia, telah pensiun (berusia 65 tahun) serta diangkat menjadi Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kotamadya yang lain dari daerah kerjanya sebagai PPAT. Selain itu, PPAT juga dapat diberhentikan secara hormat atau tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri dengan sebab-sebab tertentu yang tercantum dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Sedangkan yang dimaksud dengan PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998). Berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang dapat diangkat menjadi PPAT Sementara adalah Camat atau Kepala Desa. PPAT ini dibentuk karena ada beberapa wilayah di Indonesia yang kekurangan PPAT, sehingga ditunjuklah Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT yang bersifat sementara. Khusus bagi masyarakat yang ada di daerah terpencil yang kesulitan untuk pergi ke kantor Kecamatan maka dapat mendatangi Kepala Desa untuk dibuatkan akta.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Namun apabila sudah terdapat cukup PPAT di Indonesia, maka keberadaan PPAT Sementara ini sudah tidak diperlukan lagi. Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyebutkan pengertian dari PPAT Khusus, yakni pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu. Jadi, yang dapat ditunjuk sebagai PPAT Khusus adalah Kepala Kantor Pertanahan (Pasal 5 ayat (3) huruf b), Pegawai Kantor Urusan Agama yang berkaitan dengan tanah wakaf PPAIW serta Pegawai Pemerintahan tingkat II yang berkaitan dengan Hak Guna Usaha. 29 Sebagai PPAT Khusus, Kepala Kantor Pertanahan berwenang membuat akta yang berhubungan dengan
pelaksanaan
program-program
pelayanan
masyarakat
seperti
program
persertipikatan tanah yang memerlukan akta PPAT terlebih dahulu karena tanah yang bersangkutan belum atas nama pihak yang menguasainya serta berwenang dalam membuat akta bagi negara lain dengan tujuan untuk memberi kemudahan di bidang perubahan dan pendaftaran hak atas tanah kepunyaan negara asing. Pemerintah menunjuk berbagai macam PPAT karena PPAT memiliki fungsi yang amat sangat penting dalam bidang pertanahan. PPAT adalah pelaksana sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah. Dalam pendaftaran tanah, terdapat asas mutakhir yang berarti bahwa data yang ada di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan data atau keadaan yang sebenarnya di lapangan. Padahal dalam praktiknya, terjadi banyak perubahan data baik data fisik maupun data yuridis. Perubahan data yang sekian banyak tersebut lalu dicatat oleh PPAT dalam bentuk akta sehingga hal ini dapat membantu tugas dari Kantor Pertanahan. Dengan adanya akta PPAT maka pendaftaran dapat dilaksanakan. Oleh karena
29
TESIS
A.A. Andi Prajitno, Op.cit., h. 65.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
itu Pemerintah selalu berupaya untuk menghadirkan PPAT di tengah-tengah masyarakat agar fungsi pelayanan di bidang pertanahan dapat terselenggara dengan baik. Sebelum menjalankan jabatannya, PPAT dan PPAT Sementara harus mengangkat sumpah jabatan terlebih dahulu di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana tertera dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Sedangkan untuk PPAT Khusus tidak perlu mengangkat sumpah jabatan. Jadi, setelah surat keputusan pengangkatan PPAT ditetapkan, maka PPAT wajib melapor ke Kepala Kantor Pertanahan perihal pengangkatannya sebagai PPAT. Dalam waktu 1 bulan setelah diterimanya laporan tersebut, maka Kepala Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan atas PPAT tersebut. Sumpah jabatan itu lalu dituangkan ke dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh PPAT yang bersangkutan, Kepala Kantor Pertanahan beserta para saksi. Apabila tidak dilakukan pelaporan dalam jangka waktu 3 bulan setelah penetapan keputusan pengangkatan PPAT, maka keputusan pengangkatan tersebut menjadi batal demi hukum. Oleh sebab itu maka sumpah jabatan ini adalah suatu keharusan bagi PPAT agar dapat segera menjalankan tugasnya. Pada dasarnya, pengangkatan PPAT selalu dikaitkan dengan daerah kerjanya. Apabila seorang PPAT ingin pindah kerja ke wilayah lain, maka ia harus diberhentikan dari jabatannya sebagai PPAT di daerah kerjanya itu lalu diangkat kembali menjadi PPAT di daerah kerja yang baru. Mengenai daerah kerja PPAT, Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Sedangkan daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Yang dimaksud dengan daerah kerja adalah tempat kediaman hukum sebagai tempat tinggal dan letak kantor dalam kesehariannya untuk mejalankan
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
jabatannya.30 Jadi daerah kerja PPAT itu menunjukkan wilayah kewenangan seorang PPAT dalam membuat akta, dan daerah kerja PPAT itu sama dengan wilayah kerja Kantor Pertanahan. Dalam hal membuka kantor, PPAT hanya boleh memiliki satu kantor di daerah kerjanya. PPAT tidak diperbolehkan memiliki kantor cabang di wilayah manapun. Hal ini tercantum pada Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. PPAT mempunyai tugas dan wewenang utama yaitu membuat akta di bidang pertanahan. Dalam menjalankan tugasnya, PPAT mengkonstantir kepentingan para pihak lalu menuangkannya ke dalam akta. Jadi, akta PPAT dibuat sesuai kehendak dari para pihak. Dengan demikian PPAT bukanlah termasuk “pihak” di dalam akta tersebut. Menurut A.P. Parlindungan, PPAT melaksanakan suatu recording of deeds of conveyance, yaitu suatu perekaman pembuatan akta yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai bangunan (Hak Tanggungan), mendirikan hak baru di atas sebidang tanah
(HGB/HP di atas HM) ditambah tugas baru membuat surat kuasa
memasang hak tanggungan (UU Hak Tanggungan).31 Untuk lebih jelasnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, terdapat 8 jenis akta yang dapat dibuat oleh PPAT antara lain : a. Akta Jual Beli b. Akta Tukar - Menukar c. Akta Hibah d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (inbreng) e. Akta Pembagian Hak Bersama f. Akta Pemberian Hak Tanggungan g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik 30 31
TESIS
Ibid., h. 67. A.P. Parlindungan, Op.cit., h. 83.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Akta PPAT tersebut terutama berkaitan dengan peralihan hak yang berupa pemindahan hak, pembebanan hak dan pemberian hak baru. Akta PPAT berfungsi sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu dan sebagai syarat utama pelaksanaan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa peralihan hak haruslah dibuat dengan Akta PPAT agar bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 103 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, PPAT wajib menyampaikan aktanya beserta dokumen-dokumen yang terkait kepada Kantor Pertanahan guna pemeliharaan data pendaftaran tanah selambatlambatnya 7 hari kerja sejak tanggal penandatanganan akta tersebut. Apabila tidak melaksanakan ketentuan tersebut maka PPAT dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT (Pasal 62 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997). Namun dalam praktiknya, tidak ada sanksi bagi PPAT yang terlambat menyerahkan aktanya ke Kantor Pertanahan. Pelaksanaan aturan ini masih rancu hingga sekarang. Di samping berwenang dalam membuat akta, seorang PPAT juga memiliki wewenang untuk menolak membuat akta, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Terhadap tanah yang sudah terdaftar, PPAT berhak menolak membuatkan akta apabila kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan. Sedangkan terhadap tanah yang belum terdaftar, PPAT berhak menolak membuat akta apabila tidak disampaikan surat tanda bukti hak yang berkaitan dengan pembuktian hak lama ataupun surat keterangan dari Kantor Pertanahan yang menyatakan bahwa bidang tanah tersebut belum bersertipikat. Selain itu PPAT juga berhak menolak
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
apabila terdapat pihak yang tidak berhak atau onbevoeg terhadap tanahnya, adanya kuasa mutlak, belum diperoleh izin dari instansi yang berwenang serta obyeknya sedang dalam sengketa. Dalam rangka menjalankan tugasnya, PPAT dapat merangkap jabatan sebagai notaris, konsultan ataupun penasihat hukum. Namun PPAT dilarang merangkap jabatan sebagai pengacara/advokat dan pegawai negeri. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Ratio legis larangan PPAT merangkap jabatan adalah karena tanggung jawabnya yang besar dan jabatan PPAT tersebut melekat sampai PPAT pensiun atau meninggal dunia atau masa jabatan berakhir menurut Undang-Undang.32 Yang terakhir adalah mengenai cuti PPAT. Yang dimaksud dengan cuti adalah seseorang tidak dapat menjalankan tugas atau jabatannya dalam jangka waktu tertentu atas izin dari pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.33 Cuti PPAT diatur di dalam Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dan lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 44 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009. PPAT yang mengajukan cuti dapat digantikan oleh PPAT Pengganti. Mengenai aturan PPAT Pengganti juga telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006. Dari pengaturan dan pembahasan mengenai PPAT di atas, didapatkan bahwa betapa pentingnya peran PPAT dalam bidang pertanahan. PPAT adalah jabatan strategis karena mewakili sebagian tugas negara dalam membuat akta pertanahan. Namun sampai saat ini peraturan yang mengatur secara khusus mengenai jabatan PPAT hanyalah berupa Peraturan Pemerintah saja, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Berbeda 32 33
TESIS
A.A. Andi Prajitno, Op.cit., h. 120. Urip Santoso – II, Op.cit., h. 98.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
halnya dengan Notaris yang saat ini telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. 2. Perbuatan Hukum Atas Tanah Yang Tidak Dibuktikan Dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa PPAT adalah pejabat yang berwenang dalam membuat akta di bidang pertanahan. Berdasarkan Pasal 1 angka (4) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang dimaksud dengan akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Makna dari “bukti” di sini adalah akta PPAT hanya membuktikan ada tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah, bukan sah tidaknya suatu perbuatan hukum atas tanah. Berkaitan dengan akta PPAT, Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa peralihan hak berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan serta perbuatan hukum pemindahan hak lainnya hanya dapat didaftarkan apabila dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Dari ketentuan di atas, apabila tidak dibuktikan dengan akta PPAT, maka suatu perbuatan hukum atas tanah tetap sah, hanya saja tidak bisa didaftarkan ke Kantor Pertanahan guna penerbitan sertipikat. Jadi, selain berfungsi sebagai bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum atas tanah, akta PPAT juga berfungsi sebagai syarat utama pemeliharaan data pendaftaran tanah serta sebagai dasar pertimbangan bagi hakim apabila terjadi sengketa. Dengan demikian betapa pentingnya fungsi akta PPAT di bidang pertanahan, terutama sebagai bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum tertentu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, jenis perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT antara lain :
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
a. jual beli b. tukar - menukar c. hibah d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. pembagian hak bersama f. pemberian Hak Tanggungan g. pemberian Hak Guna Bangunan/Hk Pakai atas tanah Hak Milik h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan Di samping itu, PPAT juga berwenang membuat perjanjian pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh orang asing berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996. Demikianlah ruang lingkup wewenang PPAT. Selain perbuatan hukum yang telah disebutkan di atas, PPAT tidak memiliki kewenangan dalam membuat akta. PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta pertanahan, namun bukan satu-satunya. Ada pejabat lain yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat akta pertanahan, seperti notaris, pejabat lelang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, jenis perbuatan hukum di bidang pertanahan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta PPAT antara lain : 1. Pemberian hak atas tanah negara. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, yang dimaksud dengan tanah negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Munculnya istilah tanah negara dilatarbelakangi adanya pelimpahan wewenang dari rakyat Indonesia kepada negara selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat sehingga lahir hak menguasai negara atas bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana tercantum
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
dalam Pasal 2 UUPA. Dengan hak menguasai tersebut, negara dapat mengatur peruntukan dan penggunaan hak atas tanah. Sehubungan dengan hal tersebut maka negara berwenang memberikan hak atas tanah negara kepada seseorang ataupun badan hukum yang telah memenuhi syarat. Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, pengertian pemberian hak atas tanah adalah penetapan pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan. Pihak yang ingin memperoleh tanah negara tersebut terlebih dahulu harus mengajukan permohonan atas tanah negara tersebut kepada Menteri (Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) melalui kantor pertanahan. Apabila telah memenuhi syarat, maka diterbitkanlah Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH) oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat lain yang diberi kewenangan olehnya. Jadi, perbuatan hukum berupa pemberian hak atas tanah negara dibuktikan dengan SKPH. 2. Pelepasan hak atas tanah. Pada prinsipnya, konsep pelepasan hak tidak dapat dilepaskan dari konsep pengadaan tanah atau pembebasan hak. Pengadaan tanah ada dua macam yaitu pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta. Pada jaman kolonial Belanda terdapat istilah prijsgeving (pembebasan tanah) dan onteigening (pencabutan tanah). Perbedaan yang prinsip antara prijsgeving dan onteigening terletak pada hapusnya hak atas tanah dan penetapan ganti ruginya. Pada prijsgeving, hapusnya melalui pelepasan hak atas tanah yang didasarkan pada pemberian ganti rugi yang ditentukan berdasarkan
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
kesepakatan pemiliknya, sedangkan pada onteigening hapusnya hak atas tanah karena adanya keputusan yang bersifat memaksa dan oleh karena itu penetapan ganti ruginya bersifat sepihak (tanpa melalui kesepakatan).34 Onteigening diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961 tentang tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, sedangkan prijsgeving diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976. Peraturan tersebut lalu diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, yang kemudian diubah lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, sampai akhirnya diundangkanlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Yang dimaksud pengadaan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti rugi yang layak. Pengadaan tanah tersebut dilaksanakan melalui pelepasan hak. Jadi pengadaan tanah adalah lembaga hukum, sedangkan pelepasan hak adalah jenis perbuatan hukumnya. Dahulu lembaga hukum tersebut dinamakan pembebasan hak, namun sejak diundangkannya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 istilah pembebasan hak diganti dengan pengadaan tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, yang dimaksud dengan pelepasan hak yaitu kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui lembaga pertanahan. Lembaga pertanahan di sini adalah Badan Pertanahan Nasional. Pengertian pelepasan hak dalam Undang-Undang 34
Eman Ramelan, Buku Ajar Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2014, h. 26.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Nomor 2 Tahun 2012 ini adalah dalam rangka kepentingan umum sehingga terdapat campur tangan Badan Pertanahan Nasional dalam pelaksanaannya, yakni sebagai ketua pelaksana pengadaan tanah. Pada dasarnya pelepasan hak tidak hanya untuk kepentingan umum tapi juga kepentingan swasta. Secara umum pengertian pelepasan hak adalah kegiatan melepaskan hak seseorang dengan cara memberikan ganti rugi yang layak. Dengan adanya pelepasan hak maka hak atas tanah menjadi hapus dan tanah kembali menjadi tanah negara. Pada dasarnya perolehan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara peralihan hak, seperti jual beli, tukar menukar dan sebagainya. Namun jika terjadi ketidaksesuaian antara subjek hak dengan jenis hak atas tanahnya, perolehannya tidak dapat dilakukan dengan cara dialihkan, tetapi dilakukan melalui proses pengadaan tanah.35 Jadi, apabila subyek hukum yang menginginkan hak atas tanah tidak memenuhi syarat sebagai subyek hukum atas hak atas tanah tersebut maka dapat dilakukan proses pengadaan tanah melalui perbuatan hukum pelepasan hak. Sebagai contoh, akta pelepasan yang dilampirkan pada tesis ini, yakni antara perorangan dengan PT dengan obyek berupa Hak Milik. PT bukanlah subyek Hak Milik sehingga perolehannya tidak bisa melalui peralihan hak biasa. Maka dilakukan proses pelepasan hak sehingga Hak Milik tersebut menjadi hapus dan tanah kembali menjadi tanah negara. Dengan demikian PT tersebut dapat mengajukan permohonan atas tanah negara agar bisa memperoleh tanah tersebut. Jadi, pelepasan hak dilakukan apabila peralihan hak yakni jual beli, tukar menukar, hibah dan sebagainya tidak mungkin dilakukan. Pada umumnya, pelepasan hak atas tanah dibuktikan dengan akta notaris atau Surat Pernyataan Pelepasan atau
35
TESIS
Ibid., h 21.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Penyerahan Hak Atas Tanah oleh pemegang haknya.36 Namun untuk kepentingan umum, pelepasan hak atas tanah dilaksanakan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat dan dibuat dalam Berita Acara Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 96 jo. 97 Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. 3. Pencabutan hak atas tanah. Pencabutan hak atas tanah merupakan salah satu sebab hapusnya hak atas tanah. Yang dimaksud pencabutan hak atas tanah adalah suatu sarana yang disediakan pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama
rakyat, kepentingan bangsa dan
negara, serta kepentingan pembangunan.37 Jadi, pencabutan hak itu dilakukan untuk kepentingan umum dengan disertai
pemberian ganti rugi yang layak. Pada dasarnya
pencabutan hak ini adalah cara “paksa” karena merupakan cara terakhir untuk memperoleh tanah apabila musyawarah tidak juga mencapai hasil yang diharapkan. Dasar hukum pencabutan hak atas tanah adalah Pasal 18 UUPA dan secara khusus juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 serta ditindaklanjuti dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Pencabutan hak atas tanah ini dapat diselenggarakan dengan adanya Surat Keputusan Presiden. 4. Pembatalan hak atas tanah. Yang dimaksud pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut 36 37
TESIS
Urip Santoso – I, Op.cit., h.349. Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 68.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mengandung cacad hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999). Pembatalan hak atas tanah dibuktikan dengan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk olehnya. 5. Wakaf tanah Hak Milik. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam. Para pihak dalam wakaf adalah pihak yang berwakaf (wakif) dan pihak penerima wakaf (nadzir). Jenis hak atas tanah yang dapat diwakafkan adalah Hak Milik agar sesuai dengan fungsi wakaf, yakni untuk “mengekalkan” benda wakaf sesuai tujuan wakaf.38 Dalam pelaksanaannya, wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Jadi, wakaf dibuktikan dengan Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh PPAIW. 6. Pemindahan hak melalui lelang. Istilah lelang telah dimuat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Namun di antara peraturan perundang-undangan tersebut tidak dijabarkan mengenai pengertian dari lelang. Yang dimaksud dengan lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk
38
TESIS
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. 2009, h. 80.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.39 Dan lelang yang dimaksudkan di sini adalah lelang tanah. Pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan Risalah Lelang atau Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat Kantor Lelang. 7. Perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, yang dimaksud dengan perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannya dapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan berakhir. Baik perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan maupun Hak Pakai atas tanah dibuktikan dengan SKPH yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 8. Pembaharuan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, yang dimaksud dengan pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang sama dengan pemegang hak yang sama yang dapat diajukan setelah jangka waktu berlakunya hak yang bersangkutan berakhir. Pembaharuan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah dibuktikan dengan SKPH yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 9. Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan.
39
TESIS
Urip Santoso – I, Op.cit., h. 382.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan dapat melalui Perjanjian Penggunaan Tanah (PPT) dan Perjanjian Bangun Guna Serah/Built Operate and Transfer (BOT). Yang dimaksud dengan PPT adalah perjanjian yang dibuat oleh pemegang Hak Pengelolaan dan pihak ketiga yang berisi pihak ketiga mempergunakan sebagian tanah Hak Pengelolaan, yang memperoleh Hak Guna Bangunan dengan memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi oleh pihak ketiga kepada pemegang Hak Pengelolaan.40 Sedangkan BOT adalah perjanjian yang dibuat oleh pemegang Hak Pengelolaan dan pihak ketiga yang berisi pihak ketiga mempergunakan tanah Hak Pengelolaan yang memperoleh Hak Guna Bangunan, pihak ketiga membangun gedung, pihak ketiga mempergunakan atau mengelola gedung tersebut, dan pada akhir masa perjanjian, gedung diserahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan. 41 Baik PPT maupun BOT dibuktikan dengan akta notaris. Khusus untuk PPT, selain akta notaris, PPT juga dapat dibuktikan dengan akta di bawah tangan. 10.Perubahan Hak Yang dimaksud perubahan hak berdasarkan Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 adalah penetapan pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidang tanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonan pemegang haknya, menjadi tanah Negara dan sekaligus memberikan tanah tersebut kepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya. Perubahan hak terdiri dari peningkatan hak dan penurunan hak. Peningkatan hak adalah kegiatan mengubah dari hak atas tanah yang kuat sifatnya menjadi hak atas tanah yang sifatnya terkuat.42 Sebagai contoh, Hak Guna Bangunan yang memiliki jangka waktu diubah menjadi Hak Milik yang tidak memiliki jangka waktu. Sedangkan penurunan hak adalah kegiatan mengubah dari hak atas tanah yang terkuat sifatnya 40
Urip Santoso – II. Op.cit., h. 142. Ibid. 42 Ibid., h. 141. 41
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
menjadi hak atas tanah yang sifatnya kuat.43 Contohnya adalah Hak Milik yang memiliki sifat turun-temurun, terkuat dan terpenuh diubah menjadi Hak Guna Bangunan/Hak Pakai yang lebih lemah sifatnya. Baik peningkatan maupun penurunan hak dibuktikan dengan SKPH yang dibuat oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 11.Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak tersebut di atas dapat dibuktikan dengan perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua belah pihak yang terkait. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua jenis perbuatan hukum atas tanah dapat dibuktikan dengan akta PPAT. PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum atas tanah yang jenisnya telah ditetapkan di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. PPAT berwenang membuat akta pertanahan, namun PPAT bukanlah satu-satunya pejabat yang berwenang membuat akta pertanahan. Pejabat lain yang berwenang untuk membuat akta pertanahan adalah notaris. Akta pertanahan yang dibuat oleh notaris antara lain akta pelepasan, perjanjian Bangun Guna Serah, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) huruf f UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Maka apabila dilihat dari segi normatif, hal ini menimbulkan kesan adanya tumpang tindih antara kewenangan notaris dan PPAT dalam hal membuat akta di bidang pertanahan. Guna menguraikan jawaban atas sengketa kewenangan antara notaris dengan PPAT, maka terlebih dahulu akan dijabarkan mengenai sejarah PPAT dan notaris secara singkat.
43
TESIS
Ibid.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jauh sebelum Indonesia dijajah, bangsa Indonesia telah memiliki hukum sendiri yang berkembang dari kebiasaan, yakni hukum adat. Berkaitan dengan pertanahan, sejak dulu telah terdapat kebiasaan untuk mengalihkan tanah di hadapan pejabat atau penghulu setempat. Inilah cikal bakal PPAT. Dengan demikian, lembaga PPAT yang kemudian lahir hanya merupakan kristalisasi dari pejabat yang mengalihkan hak atas tanah dalam hukum adat.44 Berbeda halnya dengan notaris. Notaris bukanlah lembaga yang lahir dari hukum adat asli Indonesia, namun merupakan bentukan dari pemerintah kolonial Belanda. Notariat mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Sejak awal pembentukannya notaris tidak mempunyai kebebasan di dalam menjalankan jabatannya oleh karena mereka pada masa itu adalah “pegawai dari “Oost Ind. Compagnie”. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 Instructie voor de notarissen in Indonesia yang pada intinya mengatur batas-batas tugas dan wewenang seorang notaris, antara lain membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli dan minutanya, demikian juga salinannya. 45 Berdasarkan aspek sejarahnya, memang sejak awal notaris di Indonesia mempunyai wewenang yang terbatas dan tidak disebutkan secara jelas dalam peraturannya bahwa notaris memiliki wewenang dalam bidang pertanahan. Menurut Habib Adjie, wewenang bidang pertanahan tidak pernah menjadi wewenang notaris di Indonesia sejak kelahirannya. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN tidak menambah wewenang notaris di bidang pertanahan dan bukan pula pengambilalihan wewenang dari PPAT. Bahwa notaris mempunyai wewenang dalam bidang pertanahan, sepanjang bukan wewenang yang sudah ada pada PPAT.46 44 45
20.
TESIS
46
Habib Adjie – I, Op.cit., h. 92. G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga, Jakarta, 1991, h. Habib Adjie – I, Op.cit., h. 93.
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jadi, tidak ada tumpang tindih antara wewenang notaris dan PPAT di bidang pertanahan. Memang PPAT memiliki wewenang dalam membuat akta pertanahan, namun sejak munculnya Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN bukan berarti notaris mengambil kewenangan PPAT di bidang pertanahan. PPAT tetap memiliki kewenangan membuat akta pertanahan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 95 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997. Di luar itu maka PPAT tidak memiliki kewenangan dalam membuat akta. Dengan demikian notaris memiliki wewenang untuk membuat akta pertanahan di luar kewenangan dari PPAT tersebut. Jadi, hal ini bukanlah suatu permasalahan. Notaris yang merangkap sebagai PPAT memiliki kewenangan dalam membuat akta pertanahan yang tercantum pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998. Sedangkan bagi notaris yang tidak merangkap sebagai PPAT hanya berwenang membuat akta pertanahan di luar itu, yakni Akta Pelepasan, Perjanjian Penggunaan Tanah, Perjanjian Bangun Guna Serah, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan sebagainya. Khusus untuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT asalkan memenuhi syarat. Jadi, baik notaris maupun PPAT samasama memiliki kewenangan dalam membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh notaris harus didasarkan pada syarat akta notaris sebagaimana tercantum pada Pasal 38 UUJN. Sedangkan untuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT harus sesuai dengan format yang ada pada lampiran Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012.
TESIS
AKTA PEJABAT ...
FARA CLAUDIA