TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH TERHADAP KEGAGALAN BAYAR NASABAH PENERIMA PEMBIAYAAN MUDARABAH Oleh: Indah Purbasari1, Murni2, dan Muflihah3 1
Alamat: Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Jl. Raya Telang Po. Box. 2 Kamal, Bangkalan, Madura. Email:
[email protected] 2 Alamat: Jalan Karang Asem VII/21 Surabaya. Email:
[email protected] 3 Alamat: Desa Rekerek, Kecamatan Palengan, Kabupaten Pamekasan. Email:
[email protected] Abstrak Pembiayaan mudarabah adalah akad kerja sama dengan prinsip bagi hasil antara shahibul maal (pemodal) dan mudharib (pengusaha). Akad mudarabah semestinya tidak memerlukan pengikatan jaminan karena mudarabah dan pengikatan jaminan memiliki filosofi yang berbeda. Mudarabah dibangun atas dasar kepercayaan (amanah), sementara penjaminan diterapkan sebagai bentuk kehati-hatian terhadap itikad buruk dalam muamalat. Akad pengikatan jaminan yang diriwayatkan dalam Hadis adalah rahn (gadai), diterapkan pada transaksi utang piutang dan/atau jual beli tangguh bukan perjanjian bagi hasil. Namun, kemungkinan terjadinya kegagalan bayar pada pembiayaan mudarabah mendorong bank syariah sebagai shohibul maal meminta jaminan agar mudharib lebih bertanggung jawab dalam menjalankan usahanya. Legitimasi hukum atas praktik ini adalah undang-undang perbankan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Bank syariah menggunakan pengikatan fiducia dan hak tanggungan, bukan akad rahn (gadai) dalam konteks syariah. Ketika mudharib mengalami kegagalan bayar, bank syariah akan melakukan langkah restrukturisasi dan perdamaian. Jika langkah ini gagal, bank bertanggung gugat atas kegagalan bayar tersebut. Namun, pengajuan gugatan ke pengadilan jarang dilakukan dengan alasan prosesnya lama dan biayanya besar. Bank lebih memilih melakukan eksekusi jaminan tanpa membuktikan lebih dahulu apakah penyebab kegagalan bayar dikarenakan wanprestasi atau overmacht. Padahal, eksekusi jaminan dalam pandangan syariah hanya dapat dengan syarat adanya kelalaian dan/atau wanprestasi mudharib. Abstract Mudarabah is a trustee profit sharing contract between shahibul maal (financier) and mudharib (businessman). This contract should not need the existance of collateral. Mudarabah and collateral have different philosophy. Mudarabah is build on trustee but collateral is due to prudential principle to avoid bad willingness in business transaction. Based on Hadis, collateral is bound by the contract of rahn (mortgage). It is applied in the owing or credit transaction but it is not suitable to be applied in profit sharing contract. However, the possibility of default payment in mudarabah encourages Islamic bank as shahibul maal asks for collateral in order to build the responsibilty of mudharib. This Practice is legitimized by the rule on Indonesia banking law and the resolution of
Indonesian Council of Ulama. Islamic banking uses the instument of fiduciary and conventional mortgage not rahn (Islamic mortgage). When the mudharib get default payment, Islamic Banking conducts restructuring steps and litigation method. When these step are failed, Islamic banking has lialibility. However, the litigation process on lialibility is rarely to conduct because the of long process and enourmous expense. Islamic banking choses to execute the mortgage without proving whether default payment causes on breach of contract or force majure. Actually, based on Islamic principle, the mortgage execution in mudarabah contract can only be held due to the proof of breach of contract or mudharib fault. Kata kunci: tanggung gugat, pembiayaan mudarabah, wanprestasi. Pendahuluan Sektor perekonomian yang berjalan di dunia didominasi oleh sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis menggerakkan sistem ekonomi berbasis penanaman modal. Penanaman modal ini diwujudkan baik melalui dunia usaha maupun sektor keuangan, seperti perbankan, pasar modal dan lembaga pembiayaan. Penanaman modal dalam lembaga keuangan diberikan imbalan berupa bunga atas modal yang disetorkan. Pengenaan bunga inilah yang menjadi isu sentral pembangunan ekonomi dunia berbasiskan konsep Hukum Ekonomi Islam. Perekonomian Islam dibangun berdasarkan sistem ekonomi riil dengan mendorong kemajuan dalam sektor perdagangan, pelarangan riba sekaligus kewajiban membayar zakat. Pembangunan berdasarkan ketiga pilar tersebut firman Allah dalam Al-Quran yang menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan praktik riba.1 Artinya, Allah menghalalkan keuntungan yang diperoleh melalui transaksi jual beli dan melarang perolehan keuntungan melalui pelipatgandaan modal/uang yang termasuk dalam transaksi riba. Oleh karena itulah, praktik pengenaan bunga dalam lembaga keuangan baik bank maupun lembaga pembiayaan bukan bank termasuk praktik yang diharamkan menurut syariah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ulama berijtihad untuk mewujudkan konsep lembaga keuangan yang bebas riba. Konsep lembaga keuangan bebas riba ini telah dirintis sejak tahun 1960 dengan terbentuknya cikal bakal koperasi syariah di Mit Ghamr Mesir. Konsep ini selanjutnaya diwujudkan dengan pendirian bank berdasarkan konsep syariah, yakni Islamic Development Bank (1970-an), pendirian bank-bank syariah di negara-negara timur tengah seperti Al-Rajhi, Kuwait Finance House, pendirian Bank Islam Malaysia Berhad (1984) dan pendirian Bank Muamalat Indonesia (1991).2 Bank Muamalat Indonesia merupakan bank syariah yang pertama didirikan di Indonesia. Landasan hukum operasionalnya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengatur bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil. Perkembangan bank syariah menjadi lebih pesat setelah disahkannya UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang ia Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang mewadahi pelaksanaan prinsip syariah dalam dunia perbankan dan membuka peluang didirikannya bank syariah melalui 1
Al-Quran dan terjemahannya, Surat Al-Baqarah Ayat 75, Mujamma’ Al Malik Fadh Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-syarif, (Kerajaan Saudi Arabia: Madinah Munawwarah), hlm. 69. 2 Taufiqul Hulam, Jaminan dalam Transaksi Akad Mudarabah pada Perbankan Syariah, Mimbar Hukum, Vol. 2, No. 3, Oktober 2010, hlm. 523. Lihat juga Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori dan Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 25.
konsep Islamic windows (dua jendela bank konvensional dan syariah). Selanjutnya, bentuk komitmen untuk mewujudkan bank bebas riba dilegitimasi berdasarkan UndangUndang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang (selanjutnya disebut UU Perbankan Syariah). Undang-undang perbankan mengatur secara terperinci prinsipprinsip syariah dalam operasional bank syariah, sehingga menjadi legitimasi hukum yang kuat. Hal ini berbeda dengan undang-undang sebelumnya yang hanya sempit mengatur prinsip bagi hasil dan/atau mengatur prinsip syariah secara umum. Kehadiran Undang-Undang Perbankan Syariah memperkuat kekedudukan bank syariah di Indonesia dan membuka peluang perkembangan bank syariah yang lebih kompetitif. Iklim kompetitif ini menyejajarkan fungsi bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan dengan bank konvensional.3 Fungsi lembaga intermediasi keuangan ini diterapkan dalam bentuk akad yang bersifat menunjang investasi di perbankan syariah. Akad tersebut berlaku baik untuk simpanan maupun pembiayaan. Adapun penyaluran pembiayaan dilakukan berbasis akad dengan prinsip bagi hasil musyarakah (bagi hasil dengan pola kemitraan) dan mudarabah. Prinsip mudarabah merupakan salah satu akad yang menarik untuk dibahas sebab pola investasi yang dibangun berdasarkan kepercayaan penuh pihak pemberi modal kepada pengusaha. Dengan kata lain, para pihak dalam akad mudarabah disebut dengan shahibul maal (pemodal) dan mudharib (pengusaha). Mudarabah dalam operasional perbankan syariah didefinisikan sebagai akad kerja sama dalam pembiayaan usaha nasabah di mana bank sebagai shahibul maal yang menyediakan keseluruhan (100%) modal yang diperlukan, sedangkan nasabah bertindak pihak lainnya sebagai mudharib, yang berperan menjadi pengelola dana yang diberikan oleh bank. Bank dan nasabah berbagi keuntungan berdasarkan kesepakatan nisbah bagi hasil yang tertuang dalam akad. Apabila tejadi kerugian konsep akad mudarabah maka kerugian dalam arti financial ditanggung oleh bank sebagai shahibul maal, sedangkan mudharib menanggung kerugian dalam arti tenaga dan pemikiran. Konsep ini berlaku dengan syarat kerugian tidak terjadi akibat kelalaian mudharib. Sebaliknya, apabila kerugian itu disebabkan kecurangan atau kelalaian mudharib, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.4 Penerapan konsep berbagi keuntungan dalam mudarabah tersebut tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah bagian ketiga angka 3 (tiga). Fatwa ini menjelaskan bahwa pada dasarnya dalam pembiayaan mudarabah tidak ada ganti kerugian. Hal ini didasari karena karakter dasar pelaksanaan akad ini bersifat amanah (yad al-amanah). Batalnya pertanggungan kerugian oleh shahibul maal hanya akan terjadi akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan antara shohibul maal dengan mudharib.5 Karakter amanah inilah yang menjadi dasar tidak diperlukannya permintaan jaminan pada akad mudarabah, meskipun perbankan syariah kenyataannya tetap meminta jaminan pada akad mudarabah atas dasar kepatuhan pada pengaturan Hukum Perbankan. Perbankan syariah juga tetap melakukan eksekusi jaminan mudarabah 3 Heri Sunandar, Dinamika Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Hukum Respublika, Vol. 10, No. 1, Tahun 2010, hlm. 63. 4 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarata: Ekonisia, 2004), hlm. 70. Mudarabah terbagi menjadi 2, yaitu mutlaqah (bebas) dan muqayyadah (terikat). Akad mudarabah muqayyadah banyak diterapkan bank syariah dalam pemberian pembiayaan
mudarabah kepada nasabahnya baik untuk produk simpanan (tabungan) maupun deposito. Lihat
Indah Purbasari, The Implementation of Akad Wadiah and Mudarabah in Islamic Banking of Indonesia and Malaysia, Rechtidee Jurnal, Vol. 6, No. 2, Desember 2010, hlm. 41. 5 Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah bagian ketiga angka 3 (tiga).
sebagai langkah akhir jika nasabah mengalami kegagalan pembayaran meskipun tidak sepenuhnya kegagalan pembayaran tersebut akibat kelalaian ataupun kesengajaan wan prestasi. Wanprestasi didefinisikan sebagai suatu keadaan tidak terpenuhinya prestasi seseorang disebabkan kelalaian atau kesalahannya sehingga berakibat tidak terpenuhinya prestasi yang tertuang dalam perjanjian.6 Selain diakibatkan kelalaian, tidak terpenuhnya prestasi dapat terjadi karena kesalahan yang tidak disengaja, seperti karena adanya keadaan memaksa (overmacht) ataupun keadaan tidak terduga (force majure). Jika terjadi keadaan overmacht dan/atau force majure dalam perjanjian mudarabah, shahibul maal semestinya tidak membebani mudharib untuk melunasi kewajibannya. Dengan kata lain, bank yang bertindak sebagai shahibul maal tidak boleh meminta nasabahnya untuk menunaikan kewajibannya apalagi melakukan eksekusi jaminan. Dengan demikian, debitur (mudharib) tidak mempunyai kewajiban untuk membayar biaya ganti rugi, namun ketika terjadi wanprestasi tidak jarang dalam praktiknya kreditur (shahibul maal) membebankan segala kerugian kepada debitur (mudharib) dan tetap mewajibkannya mengembalikan dana serta menyerahkan hasil yang seharusnya diperoleh apabila usaha tersebut tidak gagal. Berdasarkan uraian di atas terdapat beberapa isu syariah dan penerapan konsep akad mudarabah oleh perbankan syariah. Isu ini terkait dengan tanggung gugat perbankan syariah dan pengenaan jaminan. Secara garis besar, ada dua isu hukum yang dapat dirangkum. Pertama, bagaimanakah tanggung gugat bank syariah terhadap terjadinya kegagalan bayar (default payment) nasabah dalam pembiayaan mudarabah? Kedua, apakah eksekusi penjaminan fiducia dan/ataurahn (gadai) oleh perbankan syariah dapat dibenarkan oleh hukum Islam? Tulisan ini diharapkan dapat memberikan uraian untuk memperoleh kejelasan mengenai tanggung gugat bank syariah terhadap terjadinya kegagalan bayar (default payment) nasabah dalam pembiayaan mudarabah dan status hukum eksekusi jaminan fiducia dan/atau rahn (gadai) dalam perspektif hukum Islam. Jaminan dalam Mudarabah Permintaan jaminan dalam pembiayaan mudarabah pada dasarnya tidak diatur dalam rukun dan syarat mudarabah. Rukun mudarabah lebih menekankan pada pembagian keuntungan yang jelas antara shahibul maal dan mudharib, tidak diwajibkan mengatur mengenai risiko kerugian. Dasar pemikirannya bahwa shohibul maal memang bermaksud menyerahkan harta pada mudharib untuk keperluan usaha sehingga dapat berbagi keuntungan. Mudharib merupakan wakil (kepanjangan tangan) dari shohibul maal dalam bertindak. Oleh karena itu, tidak ada permintaan jaminan dari shohibul maal. Risiko kerugian dianggap sebagai bagian dari risiko usaha. Mudharib sebagai pemegang amanah terhadap harta yang disetorkan dan dikelolanya tidak menjamin dan/atau tidak mengganti kerugian kecuali ada unsur kelalaian ataupun ia menghilangkan modal yang diberikan.7 Pelanggaran perjanjian mudarabah sering dilakukan oleh mudharib yang mengakibatkan kerugian bagi pihak shohibul maal. Oleh karena itu, timbullah pemikiran mengenai permintaan jaminan oleh bank syariah dalam memberikan pembiayaan mudarabah untuk menekan pelanggaran mudharib dan menghindari kerugian. Ijtihad mengenai permintaan jaminan oleh shahibul maal ini dilakukan oleh Dewan Syariah 6
221.
7
Nindo Pramono, Hukum Komersil, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), hlm.
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Nadirsyah Hawari (Penerjemah), Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Anzah, 2010), hlm. 262-263.
Nasional Majelis Ulama Indonesa (DSN MUI) yang kemudian mengeluarkan Fatwa Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000) tentang Pembiayaan Mudarabah (Qiradh) dalam Pasal I angka 7, menyatakan bahwa pembiayaan mudarabah pada azaznya tidak memerlukan jaminan, namun untuk menekan penyimpangan penggunaan dana, shahibul maal dapat meminta jaminan dari mudharib ataupun pihak ketiga. Ketentuan yang berlaku terhadap jaminan ini bahwa jaminan hanya dapat dieksekusi apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang tertuang dalam akad.8 Fatwa MUI mengenai permintaan jaminan ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan dari shahibul maal dan menjamin pengelolaan usaha dengan amanah oleh mudharib. Analisis Pelaksanaan Pembiayaan Mudarabah Fatwa DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah menyatakan bahwa pembiayaan mudarabah dikhususkan penyalurannya untuk usaha yang bersifat produktif.9 Usaha produktif ini dapat dilakukan baik oleh orang perorangan maupun badan hukum. Namun, tidak banyak bank syariah yang berminat menyalurkan pembiayaan mudarabah karena risiko besar yang terkandung di dalam akad tersebut. Meskipun pemberian pembiayaan mudarabah oleh pengusaha perorangan tetap diterapkan oleh Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Bhakti Sumekar Sumenep. Sasaran pembiayaan BPRS Bhakti Sumekar Sumenep ini adalah usaha retail dan menengah micro. BPRS Bhakti Sumekar melakukan 5C analisis, yaitu Character (watak), Capital (modal), Capacity (kemampuan), Colateral (jaminan), Condition of Economy (kondisi ekonomi). Namun, BPRS Bhakti Sumekar Sumenep menekankan pada analisis character (watak). Analisis character dilakukan dengan cara penyelidikan, mencari informasi di tetangga sehingga jika terdapat indikasi watak yang kurang baik maka pembiayaan mudarabah tidak akan diberikan.10 Selain menekankan pada capacity atau kemampuan nasabah dalam mengelola usahanya. Hal ini penting sebab mudarabah menekankan pada konsep amanah dari shahibul maal kepada mudharib.11 Oleh karena itu, bank syariah dalam memberikan pembiayaan mudarabah harus yakin dengan kemampuan manajerial nasabah dan kemampuan memgembalikan hutang serta memberikan bagi hasil sesuai akad. Analisis capacity ini perlu didukung dengan analisis condition of economy, yakni analisis terhadap prospek kondisi ekonomi dan pasar yang akan mempengaruhi keberhasilan usaha nasabah serta melunasi kewajibannya kepada shahibul maal. Jika seorang nasabah yang mengajukan pembiayaan dinilai memiliki watak yang baik, bank akan melaksanakan analisis selanjutnya, yakni capital (modal) dan collateral (jaminan). Analisis terhadap dua hal ini sebetulnya tidak diperlukan dalam prinsip mudarabah. Alasan mudharib tidak diharuskan mempunyai capital (modal awal) sebab kewajiban penyediaan dana berada pada shahibul maal. Namun, hukum perbankan mewajibkan analisis capital, sehingga bank syariah wajib pula mengikuti mekanisme ini dalam pencairan pembiayaan mudarabah. Adapun permintaan jaminan (collateral) sebetulnya juga tidak diperlukan dalam pembiayaan mudarabah. Sebab, konsep pembiayaan mudarabah terjadi atas kesukarelaan shahibul maal dalam memberikan dana, kepercayaan terhadap mudharib dalam pengelolaan usaha (amanah). Mengingat kewajiban dalam hukum perbankan mengharuskan adanya jaminan dan Fatwa MUI 8
Pasal 1 angka 7 Fatwa Dewan Syariah Nasional, Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah (Qiradh). 9 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudarabah (Qiradh). 10 Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah yang Bermasalah dengan Menggunakan Akad Rahn, Skripsi, Penelitian Tidak Dipublikasikan, Bangkalan Madura, 2011, hlm. 51. 11 Lihat pembahasan Jaminan dalam mudarabah pada pembahasan sebelumnya.
membolehkan sebagai bentuk kehati-hatian dan menjaga agar mudharib tetap amanah dalam menjalankan usahanya, bank syariah tetap meminta jaminan atas pembiayaan mudarabah yang diberikan.12 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bank syariah sebagai shahibul maal cukup menekankan pada analisis watak, kemampuan menjalankan usaha dan kondisi ekonomi sebagai pertimbangan sebelum memberikan pembiayaan mudarabah. Adapun analisis modal dan jaminan seharusnya tidak perlu dilakukan mengacu pada konsep syariah pembiayaan mudarabah. Selain memberikan pembiayaan mudarabah pada nasabah perorangan, bank syariah dapat memberikan pembiayaan mudarabah kepada badan usaha/badan hukum. Salah satu bank syariah yang memiliki skim pembiayaan mudarabah dikhususkan kepada koperasi adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). BMI memilih memberikan skim mudarabah kepada badan hukum dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Fatwa MUI menyaratkan bahwa pembiayaan mudarabah harus disalurkan untuk usaha produktif. Salah satu usaha produktif yang berbentuk badan hukum adalah koperasi. Kedua, Koperasi merupakan badan hukum berasaskan kekeluargaan yang mempunyai visi ekonomi kerakyatan sehingga mendukung terwujudnya komitmen BMI dalam mendorong perkembangan perekonomian masyarakat dan usaha kecil yang ditekuni masyarakat.13 Ketiga, pembiayaan mudarabah dalam konsepnya bank sebagai mudharib memberikan keseluruhan dana dan menanggung kerugian. Oleh karena itu, manajemen BMI berpandangan bahwa memberikan mudarabah terhadap usaha perorangan lebih berisiko mengalami kegagalan bayar yang mengakibatkan kerugian bank. Hal ini disebabkan5C analysis terhadap mudharib perorangan lebih sulit terutama menjamin character dan capacity. Sebaliknya, BMI 5C analysis terhadap koperasi lebih mudah sebab jelas badan hukumnya, usahanya, penilaian reputasi dan cash flow (aliran keuangan). Keempat, skema yang diharapkan adalah BMI memberikan pembiayaan mudarabah kepada koperasi. Koperasi kemudian menyalurkan dana yang diberikan kepada anggota koperasi dengan akad murabahah (jual beli dengan margin keuntungan yang disepakati) ataupun akad-akad lainnya.14 Berdasarkan pertimbangan tersebut, pembiayaan mudarabah mayoritas diberikan kepada koperasi simpan pinjam. Namun, koperasi yang menjadi mudharib tidak hanya koperasi yang beroperasi dengan prinsip syariah, melainkan diberikan pula terhadap koperasi simpan pinjam yang mengenakan bunga kepada anggotanya. Data nasabah koperasi penerima pembiayaan mudarabah menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2008-2013 hanya satu koperasi syariah yang menerima pembiayaan mudarabah dari BMI.15 Salah satu contoh koperasi yang mendapat pembiayaan mudarabah dari BM Kantor Cabang Surabaya Darmo ialah Koperasi Pegawai Republik Indonesia Bakti Husada Bangkalan (selanjutnya disebut KP-RI Bakti Husada), 5 Agustus 2006 – 5 Juli 2009, dengan plafond Rp 300,000,000,00 (tiga ratus juta Rupiah), nisbah bagi hasil bank dan nasabah 88,07:11,9316 dan Koperasi Pegawai Republik Indonesia Dhaya Harta Jombang (selanjutnya disebut KP-RI Dhaya Harta), 2 Mei 2011- 2014, pembiayaan (plafond) sebesar Rp 3.000,000,000,00 (tiga milyar rupiah), nisbah bagi hasil
12
Lihat pembahasan mengenai Jaminan pada mudarabah sebelumnya. Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi Pembiayaan Mudarabah Kepada Koperasi Di PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk Kantor Cabang Surabaya Darmo, Skripsi, Penelitian Tidak Terpublikasi, Bangkalan Madura, 2013, hlm. 61. 14 Keterangan Hayuris Pranindiar, Staf Legal Officer Bank Muamalat Indonesia, Jalan Raya Darmo Nomor 80 Surabaya, 14 Januari 2014. 15 Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 62. 16 Ibid., hlm. 63. 13
Bank:Nasabah adalah 97,9:2,07.17 Kedua koperasi ini tidak beroperasi berdasarkan prinsip syariah. Dana mudarabah ini disalurkan kepada anggota koperasi baik untuk keperluan konsumtif maupun produktif. Berdasarkan analisis akad mudarabah antara BMI dan nasabah koperasi menunjukkan bahwa akad pembiayaan mudarabah tidak tegas mengatur penyaluran dana kepada anggota/nasabah koperasi harus menggunakan akad murabahah ataupun akad berbasis prinsip syariah lainnya. Artinya, skema yang diharapkan bahwa koperasi sebagai nasabah penerima pembiayaan mudarabah akan menyalurkan dana tersebut sesuai dengan ketentuan syariah.18 Tidak tercantumnya syarat tersebut mengindikasikan bahwa jenis pembiayaan mudarabah yang disalurkan adalah mudarabah mutlaqah. Konsekuensi hukum yang timbul atas mudarabah muthlaqah ialah kebebasan mudharib dalam menggunakan dana dan menentukan mekanisme penyaluran dana. Fakta-fakta hukum tersebut, memunculkan isu dalam penerapan prinsip syariah. Salah satu syarat dari penyaluran dana oleh bank syariah adalah diberikan kepada usaha yang halal berdasarkan prinsip syariah. Jika pembiayaan diberikan kepada koperasi yang beroperasi dengan sistem bunga tentunya hal ini melanggar prinsip syariah. Bunga atas pinjaman termasuk kategori riba al-fadl (riba yang timbul dalam transaksi hutang piutang karena adanya penundaan waktu pembayaran). Pendirian bank syariah untuk menghindari penerapan riba dalam transaksi perbankan. Jika BMI menyalurkan kepada koperasi yang berbasis bunga dalam operasionalnya tentu bertentangan pula dengan visi pendirian bank syariah itu sendiri dan menunjukkan ketidakkonsistenan dalam penerapan prinsip syariah dalam penyaluran dananya ke masyarakat. BMI seharusnya dapat menyalurkan pembiayaan mudarabah muqayyadah (pembiayaan mudarabah yang memiliki batasan). Dengan demikian, BMI dapat ikut menentukan jenis usaha yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Namun, jenis pembiayaan ini jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, mekanismenya dilakukan secara paralel, yakni BMI melakukan akad mudarabah mutlaqah dengan koperasi induk, kemudian koperasi induk melakukan akad mudarabah muqayyadah dengan anak koperasi.19 Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi Pembiayaan Mudarabah Meskipun pembiayaan mudarabah merupakan jenis akad yang bersifat amanah, kenyataannya tidak menutup kemungkinan terjadinya kegagalan bayar baik karena kondisi usaha yang kurang stabil maupun karena wanprestasi (ingkar janji). Menangani kondisi kegagalan bayar, bank syariah terikat pada ketentuan dalam akad, hukum Islam maupun hukum perdata dan perbankan. Menurut perspekif hukum perjanjian, jika nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya dan berakibat pihak lain merasa dirugikan, kondisi ini disebut wanprestasi. Oleh karena itu, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang dideritanya dan pihak lainnya bertanggung jawab atas kerugian yang telah diakibatkannya di hadapan pengadilan. Konsep ini disebut dengan tanggung gugat. Sebagaimana Pasal 1367 KUHPerdata Buku III tentang perikatan yang menyebutkan bahwa seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barangbarang yang berada di bawah pengawasannya. 17 18 19
Ibid., hlm. 64. Lihat Poin 4, Pertimbangan BMI dalam menyalurkan pembiayaan mudarabah pada koperasi. Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 63.
Tanggung gugat atas terjadinya wanprestasi mudharib (koperasi) di bank syariah dilakukan apabila langkah restrukturisasi perbankan dan jalur non-litigasi (perdamaian) tidak dapat menyelesaikan masalah. Kasus wanprestasi terjadi di BMI Kantor Cabang Surabaya Darmodalam kurun waktu 2004-2012 sekitar 30 koperasi.20 Langkah-langkah restrukturisasi pembiayaan mudarabah bermasalah di BMI Kantor Cabang Surabaya Darmo dilakukan bersumber dari Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/18/DPbS tanggal 30 Mei 2011 Perubahan atas Surat Edaran Nomor 10/34/DPbS tanggal 22 Oktober 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah dengan tiga cara, yakni penyehatan kembali terhadap mudharib yang bermasalah dan penyelesaian wanprestasi dalam pembiayaan mudarabah dan penyelesaian sengketa dengan litigasi. Pertama, penyehatan kembali terhadap mudharib yang bermasalah. Upaya penyehatan ini merupakan langkah awal penanganan pembiayaan bermasalah dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja usaha mudharib dan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar dengan memperhatikan kemampuan pengembalian dana pembiayaan. Upaya penyehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip 3R, yaitu rescheduling (penjadwalan kembali). Tahapan ini memberikan kesempatan bank dan nasabah untuk mereview kembali jangka waktu pembayaran yang tertuang dalam akad. Bank umumnya akan memperpanjang jangka waktu pembayaran sehingga nilai cicilan akan lebih kecil dan dapat disesuaikan dengan kemampuan bayar nasabah (mudharib); reconditioning (persyaratan kembali) merupakan upaya penyehatan dengan melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan persyaratan pembiayaan tanpa menambah sisa pokok kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank. Upaya reconditioning umumnya dilakukan bank dengan memotong tingkat nisbah bagi hasil bank dan/atau menghapus kewajiban membayar bagi hasil sehingga mudharib sekurang-kurangnya dapat membayar pokok pembiayaan saja; dan restructuring (penataan kembali) dilakukan jika tahap reconditioning belum menyelesaikan masalah dengan menekankan perubahan sebagian atau seluruh ketentuan pembiayaan berkaitan dengan jenis dan kondisi struktur fasilitas pembiayaan mudarabah yang telah diberikan BMI kepada nasabah. Perubahan persyaratan pembiayaan yang dapat dilakukan, antara lain penambahan dana fasilitas Pembiayaan BUS atau UUS, konversi akad pembiayaan, konversi pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dan konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah yang dapat disertai dengan rescheduling atau reconditioning.21 Kedua, penyelesaian wanprestasi dalam pembiayaan mudarabah. Apabila langkah restrukturisasi gagal, bank selakushohibul maal akan melakukan penyelesaian baik dengan non-litigasi dan litigasi. Penyelesaian sengketa non-litigasi yang diawali dengan langkah mediasi, dengan cara melakukan pendekatan kepada mudharib agar bersedia membayar atau melunasi kewajibannya, memberi surat peringatan (somasi) agar mudharib melakukan pembayaran sebanyak 3 kali. Langkah terakhir yang dilakukan jika mudharib tetap tidak melakukan kewajibannya adalah melakukan eksekusi jaminan pembiayaan mudarabah dengan mengajukan permohonan eksekusi jaminan pada pengadilan negeri.22
20
Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 76. Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/18/DPbs/20011, tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, dikutip dari www.bi.go.id/SENo1318 (diunduh pada tanggal 19 Maret 2013). LIhat Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 61-62. Lihat juga Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 77. 22 Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 61-62. Lihat juga Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm.80-81. 21
Ketiga, penyelesaian sengketa dengan litigasi. Penyelesaian dengan litigasi, yakni dengan mengajukan gugatan di pengadilan hanya dilakukan jika terdapat perlawanan terhadap eksekusi jaminan. Pengajuan gugatan ini merupakan pelaksanaan konsep tanggung gugat bank terhadap nasabah yang wanprestasi. Namun gugatan ini jarang dilakukan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut Undang-undang Jaminan Fidusia). Bank juga dapat melaporkannya sebagai perkara pidana jika terdapat unsur penipuan.23 Namun, tanggung gugat melalui proses pengadilan dan pelaporan sebagai perkara pidana tidak banyak dilakukan sebab membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal. Bank lebih menyelesaikan melalui langkah penyehatan, non-litigasi dan melakukan eksekusi jaminan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Akad Pengikatan Jaminan dalam Pembiayaan Mudarabah Pada dasarnya fuqaha berpandangan bahwa mudarabah merupakan kerja sama saling menanggung, satu pihak menjadi penanggung modal dan pihak lain bertugas menanggung pekerjaan atas dasar saling kepercayaan. Dengan demikian, pengikatan jaminan semestinya harus ditiadakan. Hal ini ditegaskan pula oleh Ibnu Qudamah bahwa hubungan shohibul maal dengan mudharib dibangun atas dasar kepercayaan, sehingga jaminan tersebut tidak perlu diberikan. Apabila mudharib melakukan pelanggaran ataupun kelalaian, kewajibannya adalah menanggung kerugian sebagai bentuk sanksi dan tanggung jawabnya.24 Bank syariah terikat dengan kewajiban meminta dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.25 Fatwa MUI tentang pembiayaan mudarabah menegaskan bahwa pembiayaan mudarabah diperbolehkan meminta jaminan dengan alasan agar mudharib tidak melakukan penyimpangan. Jika meninjau Fatwa MUI yang membolehkan permintaan jaminan pada mudarabah tersebut. Memang benar Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 283 membolehkan permintaan jaminan jika bermuamalat tidak secara tunai dan tidak ada dalil yang mengharamkan permintaan jaminan dalam mudharabah. Namun, perlu dipertimbangkan konteks AlQuran Surat Al-Baqarah ayat 283 tersebut bahwa hutang piutang dan/atau jual beli secara tangguh dan akad tersebut tidak dilaksanakan secara tertulis.26 Konteks ayat ini tidak membicarakan masalah syirkah (persyarikatan dagang/kerja sama perniagaan) yang konsepnya bukanlah hutang piutang ataupun jual beli melainkan bagi hasil. Oleh karena itu, meskipun tidak ada dalil yang mengharamkan permintaan jaminan pada mudarabah, konteks permintaan jaminan dalam Surat Al-Baqarah ayat 283 mempunyai filosifi yang berbeda. Filosofi permintaan jaminan dalam Al-Baqarah ayat 283 dibangun atas dasar keraguan pemenuhan prestasi karena akad tidak tertulis sementara mudarabah dibangun atas dasar kepercayaan. Dalam praktiknya bank syariah lebih bersandar pada Fatwa MUI dan undangundang perbankan syariah. BPRS Bhakti Sumekar Sumenep dan Bank Muamalat Indonesia Kantor Cabang Surabaya Darmo meminta jaminan dan mencantumkan klausula jaminan tersebut dalam akad mudarabah.27 Akad pengikatan jaminan dilakukan 23
Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 61. Ibnu Qadamah, Al Mughni, (Riyadh: Maktabat Al Riyadh Al Hadis, 1981), hlm. 68. 25 Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah 26 Q.S. Al-Baqarah (2): 283. 27 Pasal 7 tentang jaminan dalam surat perjanjian pemberian fasilitas mudarabah kepada KP-RI Dhaya Harta Jombang. 24
melalui mekanisme fiducia untuk benda bergerak dan hak tanggungan untuk benda tidak bergerak. BPRS Bhakti Sumekar Sumenep meminta jaminan baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang mudah dicairkan (dieksekusi). Sementara Bank Muamalat Indonesia Kantor Cabang Surabaya Darmo meminta jaminan berupa tagihan para anggota koperasi yangtercantum dalam daftar pengajuan pembiayaan, tagihan anggota koperasi yang difidusiakan.28 Pengikatan jaminan fiducia tersebut didasarkan pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu.29 Dengan kata lain, bank syariah tidak menggunakan instrumen akad syariah dalam pengikatan jaminan. Hukum Islam sebenarnya mengatur akad rahn (gadai) sebagai akad pengikatan jaminan. Rahn (gadai) merupakan akad pertanggungan barang (penjaminan) dan barang jaminan dapat ditebus kembali apabila hutang sudah dilunasi. Akad rahn ini berdasarkan Hadis Rasulullah Saw. Rasulullah SAW menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan gandum. Hadis tersebut menyuratkan barang fisik harus dikuasa dalam bentuk fisik oleh penerima gadai. Penguasaan secara fisik inilah yang menjadi kendala pelaksanaan akad rahn karena memerlukan tempat penyimpanan dan biaya perawatan. BPRS Bhakti Sumekar Sumenep menerapkan akad rahn hanya untuk pembiayaan gadai emas syariah.30 Namun, Pasal 331 KHES sesungguhnya mengatur bahwa akad rahn sah jika barang yang digadaikan telah dikuasai oleh pemegang gadai dan tidak mempersyaratkan penguasaan fisik. Dengan demikian, akad rahn semestinya dapat digunakan baik untuk penjaminan dengan mekanisme hak tanggungan dan fiducia. Hanya saja, dalam konteks pembiayaan mudarabah, permintaan jaminan meskipun dengan akad rahn tidak diperlukan sebab rahn merupakan akad pertanggungan hutang piutang. Akad hutang piutang tidak boleh ada pertambahan nilai karena dapat menimbulkan riba. Sementara itu, mudarabah merupakan akad perjanjian kerja sama berdasarkan prinsip bagi hasil, bukan hutang piutang ataupun pertanggungan. Pelaksanaan Eksekusi Jaminan dalam Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Pembiayaan Mudarabah Penyelesaian sengketa wanprestasi dalam pembiayaan mudarabah dilaksanakan jika mudharib tidak dapat diajak dalam penyelesaian secara damai. Mekanisme tanggung gugat tidak lagi dilaksanakan karena prosesnya lama dan biaya mahal sehingga permohonan eksekusi jaminan yang difiduciakan ataupun dijaminkan melalui hak tanggungan lebih banyak dilakukan. Eksekusi jaminan fidusia dan hak tanggungan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan fatwa MUI tentang mudarabah, eksekusi jaminan seharusnya hanya dapat dilakukan sebagai penyelesaian sengketa jika mudharib terbukti dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan kerugian bagi shohibul maal. Hal ini hanya dapat dibuktikan melalui proses peradilan yang menunjukkan bahwa mudharib melakukan kelalaian ataupun wanprestasi. Dengan kata lain, eksekusi jaminan seharusnya didahului dengan proses tanggung gugat untuk membuktikan apakah benar mudharib melakukan kelalaian. Namun, kenyataannya eksekusi dilakukan tanpa proses pembuktian apakah wanprestasi mudharib terjadi akibat kelalaian. 28 Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 65. Lihat juga Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 89. 29 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 30 Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 65.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika wanprestasi terjadi akibat dari kecurangan pengurus koperasi dalam pembiayaan mudarabah di BMI Kantor Cabang Surabaya Darmo eksekusi jaminan tetap dilaksanakan terhadap tagihan anggota koperasi yang terdaftar dalam anggota penerima pembiayaan secara murabahah dari koperasi yang telah difidusiakan, meskipun anggota koperasi tersebut sudah melunasi pinjamannya kepada koperasi.31 Dengan kata lain, anggota koperasi turut menanggung akibat kecurangan ataupun kelalaian pengurus. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kegalan bayar nasabah baik akibat wanprestasi ataupun akibat lain, seperti overmacht (keadaan memaksa) memang dapat terjadi pada akad mudarabah. Oleh karena itu, pengikatan jaminan diperlukan berdasarkan prinsip ishtishan (kemaslahatan) agar pelaksanaan akad mudarabah terdorong beritikad baik dan amanah.32 Meskipun demikian, prinsip yang harus dipegang adalah eksekusi jaminan harus melalui pembuktian bahwa kerugian yang terjadi adalah akibat dari kelalaian mudharib. Namun, fakta hukum menunjukkan sekalipun mudharib tidak melaksanakan kewajibannya akibat keadaan memaksa (overmacht), bank syariah tetap mewajibkan mudharib untuk membayar modal pembiayaan dengan memberikan keringanan berupa tambahan jangka waktu pelunasan sedangkanmudharib tidak beritikad baik untuk membayar kewajibannya melunasi modal pembiayaan mudarabah yang telah diterima, eksekusi terhadap jaminan tetap dilaksanakan. Pelaksanaan eksekusi jaminan terhadap mudharib yang mengalami keadaan memaksa (overmacht) tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak sesuai dengan hukum Islam karena kegagalan bayar bukan unsur kesengajaan. Kesimpulan Bank Syariah tidak banyak melaksanakan konsep tanggung gugat terhadap mudharib yang mengalami kegagalan bayar. Bank syariah melakukan langkah restrukturisasi pembiayaan bermasalah terlebih dahulu dalam menyelesaikan masalah kegagalan bayar nasabah. Jika upaya ini tidak berhasil, bank syariah akan melakukan eksekusi jaminan fiducia dan/atau hak tanggungan. Eksekusi jaminan atas pembiayaan mudarabah ini menimbulkan isu syariah. Pengikatan jaminan secara syariah dapat menggunakan akad rahn, tetapi bank syariah tetap menggunakan mekanisme hak tanggungan dan fiducia. Filosofi pengikatan jaminan menurut syariah adalah keraguan atas itikad baik dalam bermuamalah sementara akad mudarabah ini bersifat amanah (kepercayaan) sementara. Dengan kata lain, konsep jaminan dan mudarabah ini sangat bertentangan. Hukum pembolehan permintaan jaminan didasari pemikiran untuk mendorong mudharib lebih bertanggung jawab dan/atau beritikad baik. Pelaksanaan eksekusi jaminan terhadap kegagalan bayar nasabah seharusnya hanya dapat dilakukan jika nasabah terbukti tidak beritikad baik, lalai, dan wanprestasi. Kenyataannya, bank syariah tetap melakukan eksekusi jaminan meskipun mudharib mengalami kegagalan bayar dalam keadaan overmacht (terpaksa) dan praktik ini tidak dibenarkan secara syariah. Tanggung gugat semestinya dilakukan terlebih dahulu untuk membuktikan nasabah mengalami kegagalan bayar karena wanprestasi atau sebab lainnya sebelum melakukan eksekusi jaminan. Eksekusi jaminan hanya dapat dilakukan bagi mudharib yang terbukti tidak beritikad baik, melakukan kelalaian dan/atau wanprestasi akad mudarabah. Eksekusi jaminan tidak dapat dilakukan dalam kondisi force majure (darurat), overmacht (memaksa). 31 32
Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi …… Op. Cit., hlm. 89. Taufiqul Hulam, Jaminan dalam Transaksi Akad Mudarabah ….. Op. Cit., hlm. 531.
Daftar Pustaka Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2010. Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam. Nadirsyah Hawari (Penerjemah). Jakarta: Anzah. Heri Sudarsono. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarata: Ekonisia. Heri Sunandar, Dinamika Politik Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Hukum Respublika, Vol. 10, No. 1, Tahun 2010. Imam Rosadi, dkk. 2009. Ringkasan Kitab Al-Umm. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Azzam. Indah Purbasari, The Implementation of Akad Wadiah and Mudarabah in Islamic Banking of Indonesia and Malaysia, Rechtidee Jurnal, Vol. 6, No. 2, Desember 2010. Muflihah, Tanggung Gugat Terhadap Wanprestasi Pembiayaan Mudarabah Kepada Koperasi Di PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk Kantor Cabang Surabaya Darmo, Skripsi, Penelitian Tidak Terpublikasi, Bangkalan Madura, 2013. Muhammmad Syafii Antonio. 2001. Bank Syariah: Dari Teori dan Praktik. Jakarta: Gema Insani Press. Nindo Pramono. 2003. Hukum Komersil. Cetakan Pertama. Jakarta: Pusat Penerbitan UT. Ratna Budi Kurniasari, Penyelesaian Sengketa Pembiayaan Mudarabah yang Bermasalah dengan Menggunakan Akad Rahn, Skripsi, Penelitian Tidak Dipublikasikan, Bangkalan Madura, 2011. Taufiqul Hulam, Jaminan dalam Transaksi Akad Mudarabah pada Perbankan Syariah, Mimbar Hukum, Vol. 2, No. 3, Oktober 2010.