ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH 3.1
Kegagalan Suatu Akad (kontrak) Kontrak sebagai instrumen pertukaran hak dan kewajiban diharapkan dapat
berlangsung dengan baik, fair dan porporsional sesuai kesepakatan para pihak. Aturan main pertukaran ini menjadi domain para pihak, kecuali dalam batas-batas tertentu muncul intervensi, antara lain, baik dari undang-undang yang bersifat memaksa maupun dari otoritas tertentu (hakim). Namun sifat intervensi ini lebih ditujukan untuk menjaga proses pertukaran hak dan kewajiban berlangsung secara fair.46 Akad dalam perbankan syariah diharapkan dapat berjalan sesuai dengan apa yang disepakati oleh para pihak, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan menemui hambatan-hambatan (kegagalan kontrak) yang merugikan salah satu pihak. Kegagalan kontrak dalam hal ini dapat timbul dari faktor internal maupun eksternal kedua belah pihak. Dari kerugian yang inilah prinsip pertanggungjawaban dapat dilihat.
Beberapa
faktor
penting
yang
46
Moch. Isnaeni, Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2013, h. 61
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
mengakibatkan kegagalan pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual meliputi :47 a.
Wanprestasi;
b.
Overmacht (force majeure;daya paksa);
c.
Keadaan sulit (Hardship). Wanprestasi, pada situasi normal antara prestasi dan kontra prestasi akan
saling bertukar, namun pada kondisi tertentu pertukaran prestasi tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi. Prestasi dalam hal ini adalah hal-hal yang menjadi kewajiban para pihak dalam akad yang apabila tidak dipenuhi secara otomatis terjadi wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, pihak yang merasa dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak lainnya mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan haknya. Dalam Pasal 1267 BW dinyatakan bahwa : pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, ganti kerugian dan bunga. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentang wanprestasi merujuk pada ketentuan Pasal 36 yang berbunyi : 47
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana, jakarta, Cet-1, 2010, h. 260
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Pihak yang dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahanya : a.
Tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;
b.
Melaksanakan apa yang diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
c.
Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; atau
d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Lebih lanjut dalam Pasal 38 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan Terhadap pihak yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi berupa membayar ganti rugi, dilakukannya pembatalan akad, peralihan risiko, denda, dan/ atau biaya perkara. Pembayaran ganti kerugian tersebut dapat dijatuhkan apabila pihak yang ingkar janji setalah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji. Force Majeur (overmacht) merupakan peristiwa yang tidak terduga yang terjadi diluar kesalahan seseorang (pihak) yang menghalangi terpenuhinya prestasi, sebelum pihak tersebut dinyatakan wanprestasi (lalai). Dalam hal ini pihak tersebut(debitor) tidak dapat dipersalahkan serta tidak menanggung risiko atas kejadian tersebut. Syarat untuk dapat dikatakan force majeure yaitu: a.
Peristiwa yang terjadi tidak terduga oleh para pihak;
b.
Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi;
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
c.
Peristiwa tersebut di luar kesalahan pihak yang harus melaksanakan prestasi;
d.
Pihak yang harus melaksanakan prestasi tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Hardship menurut Pasal 6.2.2 (Definition of Hardship) yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak, yang disebabkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi membebani pihak yang melaksanakan kontrak (debitur) atau nilai pelaksanaan kontrak menjadi sangat berkurang bagi pihak yang menerima (kreditor), dan: a.
peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan kontrak;
b.
peristiwa tidak dapat diperkirakan secara wajar oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;
3.2
c.
peristiwa terjadi di luar kontrol dari pihak yang dirugikan;
d.
risiko dari peristiwa itu tidak dapat diduga oleh pihak yang dirugikan.
Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Bank Syariah Pertanggungjawaban dalam bidang perbankan syariah adalah bentuk
pelaksanaan perlindungan hukum represif yang dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 34 Ayat (1) yang berbunyi : (1)
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib menerapkan tata kelola yang baik
TESIS
yang
mencakup
prinsip
PERLINDUNGAN HUKUM ...
transparansi,
akuntabilitas,
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
pertanggungjawaban, profesionalitas, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya. Perlu diketahui bahwa penerapan prinsip pertanggungjawaban haruslah dimaknai bahwa prinsip tersebut dituangkan dalam tiap prosedur, sistem, produk sehingga dipahami pertanggungjawaban menyangkut para pihak yang membuat dan melaksanakan akad/kontrak dalam hal ini yaitu bank syariah yang melakukan pelanggaran terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam operasional perusahaan. Pertanggungjawaban Bank Syariah timbul setelah adanya perbuatan hukum yang merugikan dan upaya hukum dari pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini adalah nasabah. Dengan demikian harus dipahami bahwa unsur yang ada terlebih dahulu adalah perbuatan hukum yang menimbulkan kerugian bagi nasabah, dari adanya kerugian tersebut timbul hak untuk melakukan upaya hukum.
Perbuatan Hukum yang merugikan
Kerugian
Upaya Hukum
Perbuatan hukum yang merugikan nasabah dalam hal ini diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum oleh bank syariah dalam operasional kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk-produk yang harus sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan, bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang yang karena kesalahannya menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Perbuatan melanggar hukum dalam hal ini mengenai isi akad yang melanggar prinsip islam dalam hal ini dapat dianalisis dengan melihat Peraturan Bank Indonesia yang merujuk dari Fatwa MUI maupun perundang-undangan lain yang mengatur tentang Perbankan Syariah atau dalam penerapan pelaksanaan Good Corporate Governance secara keseluruhan. Semua produk Bank Syariah wajib berlandaskan prinsip syariah sebagaimana yang diatur dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Apabila ternyata dalam isi akad yang dibuat Bank Syariah melanggar nilai-nilai Islam, maka Bank Syariah dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu melanggar peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Mengenai kerugian yang diderita oleh nasabah. Kerugian diartikan kerugian yang dapat dinilai dalam hal ini berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan perbuatan melanggar hukum Bank Syariah yang melanggar prinsip syariah yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam akad yang disepakati para pihak. Kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya keadaan harta kekayaan ketika adanya pelanggaran dengan keadaan harta kekayaan ketika tidak terjadi pelanggaran. Jadi kerugian disini terdiri dari dua unsur, yaitu kerugian yang nyata diderita meliputi biaya dan rugi yang diderita, dan keuntungan yang tidak diperoleh akibat adanya pelanggaran oleh Bank Syariah. Upaya hukum dalam perbankan syariah merupakan upaya perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang untuk melindungi kepentingankepentingan nasabah yang merasa dirugikan. Perlindungan hukum bagi nasabah
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
bank syariah adalah hal yang sangat urgen untuk kepentingan-kepentingan bagi nasabahnya. Bentuk perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah pada Peraturan Perundang-Undangan, adalah tercermin konsistensi dan komitmen bank dalam menjalankan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam Undang-Undang, sehingga adanya kepastian aktualisasi nilai-nilai islami yang dianut para nasabah. Upaya hukum dalam perbankan syariah (sektor jasa keuangan) dalam bentuk perlindungan hukum represif yaitu melakukan pengaduan serta mengajukan gugatan ganti kerugian atas pelanggaran dalam operasional kegiatan usaha bank syariah. Sanksi yang dapat dikenakan dalam sektor perbankan syariah yaitu sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, terhadap nasabah yang merasa dirugikan juga dapat memperoleh ganti kerugian dari Bank Syariah. 3.3
Tanggung Gugat Bank Syariah Atas Pelanggaran Kepatuhan Pada
Prinsip Syariah Pelanggaran kepatuhan pada prinsip syariah oleh bank syariah perlu dimaknai bahwa tidak hanya pelanggaran kepatuhan syariah secara pada akad yang disepakati para pihak saja melainkan pelanggaran kepatuhan dalam proses pelaksanaan Good Corporate Governance secara menyeluruh. Dengan demikian pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap fungsi kepatuhan termasuk didalamnya budaya kepatuhan. Budaya kepatuhan yaitu nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Budaya Kepatuhan termasuk di dalamnya mencakup budaya perusahaan, yang meliputi pakaian, dekorasi, dan imej perusahaan, juga merupakan salah satu aspek kepatuhan syariah dalam bank syariah yang bertujuan untuk menciptakan suatu moralitas dan spiritualitas kolektif yang apabila digabungkan dengan sistem operasional kegiatan usaha bank akan menopang kemajuan dan pertumbuhan jalan hidup yang Islami. Pelanggaran kepatuhan syariah berarti bahwa bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya (akad yang dijalankan) tidak sesuai dengan prinsip syariah. Dalam hal ini adalah merupakan tugas dan wewenang Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan, satuan kerja kepatuhan, serta Dewan Pengawas Syariah yang bertugas memastikan semua jenis kegiatan usaha (Akad) yang dilakukan bank syariah memenuhi prinsip syariah yang bersumber dari fatwa yang dipositifkan melalui Peraturan Bank Indonesia, serta Dewan Komisaris selaku pengawas dalam pelaksanaan fungsi kepatuhan. Tanggung gugat atas pelanggaran kepatuhan syariah ini pada dasarnya dibebankan kepada Bank Syariah apabila telah diakibatkan dari perbuatan yang telah sesuai dengan standar operasional dan tujuan bank syariah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
namun juga dapat dibebankan kepada Direksi, Dewan
Pengawas Syariah apabila perbuatan tersebut dilakukan tidak sesuai dengan tujuan dan ketentuan yang ditetapkan bank syariah. Nasabah dapat melakukan upaya hukum atas pelanggaran yang terjadi berupa pengaduan nasabah. Bank syariah selaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan juga diwajibkan untuk memiliki dan
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
melaksanakan mekanisme pelayanan dan pengaduan nasabah sebagai bentuk pertanggungjawaban bank terhadap pelanggaran yang merugikan kepentingan nasabah termasuk pelanggaran kepatuhan bank syariah pada prinsip syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya yang meliputi pelaporan adanya pengaduan nasabah, menindaklanjuti adanya pengaduan nasabah yang meliputi : a.
pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;
b.
melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan; dan
c.
menyampaikan
pernyataan
maaf
dan
menawarkan
ganti
rugi
(redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan Konsumen benar Dalam hal tidak terdapat kesepakatan penyelesaian terhadap adanya pengaduan, nasabah dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai isi dalam akad atau melalui pengadilan dalam lingkup peradilan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Nasabah juga dapat mengajukan pengaduan kepada Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa yang sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbritrase atau peradilan atau lembaga mediasi lainnya. Otoritas Jasa Keuangan selaku Lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor Lembaga Jasa Keuangan. Dalam konsideran penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dinyatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Hal tersebut dikuatkan lebih lanjut dalam Pasal 4 huruf c. Perlindungan Konsumen di sektor jasa keuangan bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan Konsumen
yang
andal,
meningkatkan
pemberdayaan
Konsumen,
dan
menumbuhkan kesadaran Pelaku Usaha Jasa Keuangan mengenai pentingnya perlindungan Konsumen sehingga mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada sektor jasa keuangan. Tujuan Otoritas jasa Keuangan tersebut sesuai dengan asas-asas yang dianut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, yaitu antara lain : 1.
asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.
asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
3.
Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
4.
asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
tentang
penyelenggaraan
Otoritas
Jasa
Keuangan,
dengan
tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; 5.
Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.
Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan; dan
7.
Asas Akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Terhadap adanya pengaduan oleh nasabah, Otoritas Jasa Keuangan
melakukan upaya untuk mempertemukan nasabah dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (bank syariah) untuk mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian dengan menunjuk fasilitator untuk melaksanakan penyelesaian pengaduan. Otoritas Jasa Keuangan memulai proses fasilitasi setelah Konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan sepakat untuk difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan dalam perjanjian fasilitasi yang memuat: a.
kesepakatan untuk memilih penyelesaian pengaduan yang difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
b.
persetujuan untuk patuh dan tunduk pada aturan fasilitasi yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan juga berwenang melakukan pembelaan hukum
untuk melindungi kepentingan nasabah yang dirugikan atas pelanggaran yang dilakukan Lembaga Jasa Keuangan (bank syariah) dengan mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan pihak (nasabah) yang dirugikan sekaligus untuk memperoleh ganti kerugian dari lembaga jasa keuangan (bank syariah secara khusus) sebagai akhibat dari adanya pelanggaran terhadap pinsip syariah dalam kegiatan usahanya. Apabila pelanggaran kepatuhan syariah secara operasional ( isi Akad ) tersebut benar-benar terbukti maka bank syariah wajib mengganti kerugian pada nasabah sesuai dengan nilai yang ditetapkan pihak yang berwenang serta dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Sanksi yang mungkin dikenakan bagi bank syariah yaitu teguran tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan, penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan, pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring, pembekuan kegiatan usaha tertentu, pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia, serta pencabutan ijin usaha. Terhadap Organ-Organ seperti Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah dikenakan sanksi berupa berupa teguran tertulis dari Otoritas
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN
ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Jasa Keuangan. Khusus untuk Dewan Pengawas Syariah apabila teguran tertulis telah diberikan Otoritas Jasa Keuangan (lembaga yang mempunyai kewenangan mengawasi perbankan syariah) sebanyak tiga kali, maka bank syariah harus mengganti anggota Dewan Pengawas Syariah yang bersangkutan. Apabila pelanggaran oleh Dewan Pengawas Syariah tersebut mengakibatkan dicabutnya ijin usaha bank syariah, maka anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut dapat dikenakan sanksi pelarangan menjadi anggota Dewan Pengawas Syariah dalam perbankan syariah selama 10 tahun sejak tanggal pencabutan ijin usaha bank. Hal tersebut diatur dalam Pasal 82 Peraturan bank Indonesia Nomor : 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM ...
CHOIRUDIN