[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Iwan Januar, anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI
Berulang-kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur dan memberikan sanksi administrasi kepada televisi yang menyiarkan tayangan yang dianggap melecehkan simbol Islam. Namun berulangkali pula televisi memproduksi sinetron dan berbagai tayangan yang merusak akidah, akhlak serta gaya hidup penontonnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Apa akar masalah dan solusi mendasarnya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko prasetyo dengan pengamat sosial Iwan Januar yang juga anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut petikannya.
Tanggapan Anda tentang teguran KPI kepada stasiun televisi yang menayangkan tokoh antagonis bergelar “Haji” dan “Ustadz”?
Memang sudah seharusnya pihak pemerintah dalam hal ini KPI mengawasi dan memberikan teguran bahkan sanksi, bila perlu, kepada tayangan-tayangan yang bermuatan anti-sosial termasuk yang berisi pelecehan ajaran agama, atau menggiring opini publik kepada stigmatisasi ajaran-ajaran agama.
Sekarang ini banyak program televisi baik itu sinetron, reality show termasuk iklan yang bermuatan anti sosial. Hanya saja dulu yang dominan adalah konten pornografi tapi kalau sekarang sudah mulai berani ‘bermain’ membawa-bawa simbol agama. Bila dibiarkan maka akan membuat tayangan-tayangan seperti ini menjamur dan dianggap biasa.
1/6
[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Tapi bukankah sinetron tersebut hanya mengungkap realitas yang ada?
Ya, sebagian ada benarnya. Kita bisa dengan mudah melihat orang bertitel haji tapi punya sifat hasud pada orang lain, atau ustadz dan ustadzah yang matre misalnya. Namun demikian jangan lupa, sinetron atau tayangan televisi yang mengungkap seperti secara berulang-ulang pada akhirnya bukan lagi mengungkap realita, tapi sudah bisa menggiring atau menciptakan opini negatif.
Kan seharusnya tayangan itu memberikan edukasi bahwa haji yang hasad itu salah, ustadz yang matre itu nggak benar, lalu diberikan penjelasannya. Bukannya justru ‘dipelihara’, dijadikan ikon dan dibiarkan terus berulang-ulang.
Selain itu, adakah sinetron lain yang Anda nilai merusak akhlak, tauhid, pergaulan, gaya hidup dan anti sosial lainnya?
Wah banyak sekali, mulai dari iklan sampai sinetron atau film-film lepas. Iklan banyak yang mengeksploitasi wanita atau ikhtilat pria-wanita. Sinetron-sinetron kita banyak yang terlalu mendramatisir tokoh antagonis, jadi kalau tokoh jahat benar-benar dibuat aktingnya jahat bener . Mengumbar kebencian dan permusuhan. Ini kan sudah menyebarkan watak anti-sosial kepada publik.
Sinetron kita juga banyak yang mengumbar mimpi, mengumbar kemewahan. Rumah dan kendaraan mewah hal yang sepertinya ‘wajib’ dipajang dalam sinetron-sinetron Indonesia.
Nilai-nilai pergaulan bebas juga begitu kental dalam dunia sinetron tanah air. Meski tidak sampai ada adegan persetubuhan, tapi aktifitas seperti pacaran dan perselingkuhan jadi tema yang biasa.
Bahayanya bagi penonton?
2/6
[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Bahaya bagi penonton terutama yang ababil alias ABG labil ya mereka akan langsung copy paste apa yang muncul di televisi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal pacaran. Akhirnya ada kesan kalau remaja gak pacaran ya bukan remaja namanya.
Melahirkan ikonisasi tokoh Muslim yang jahat dan matre. Seperti haji yang kerjanya menghasut melulu, atau ustadz yang centil dan matre. Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada ajaran Islam atau orang yang sedang menjalankan ajaran Islam. Orang awam akan mencibir ‘haji’ atau mencibir ‘ustadz’, karena biasanya publik sering melakukan generalisasi.
Tayangan-tayangan yang mengandung khurafat dan takhayul juga sudah pasti merusak akidah. Karena tidak ada tuntunannya seorang Muslim harus memburu hantu.
Mengapa?
Kita hidup di alam yang berbeda, dan masing-masing ada taklif amal yang harus dijalankan. Mengurus manusia saja sudah susah ngapain juga mengurus makhluk halus. Lagipula kewajiban dakwah kita adalah memperbaiki kehidupan umat manusia, bukan bangsa jin.
Apakah tayangan-tayangan tersebut memang sekeadar dibuat untuk menghibur atau memang benar-benar dibuat untuk merusak pemahaman dan gaya hidup penonton?
Ya ini bisa saling berkelindan, saling menumpangi. Ada produser atau sutradara yang awalnya membuat sinetron sekadar memenuhi permintaan pasar atau produser atau pihak televisi.
Bangsa kita kan biasa copy paste, apa yang laku biasanya langsung ditiru. Hanya saja mungkin insan perfilman itu tidak menyadari kalau sinetron yang mereka buat itu sudah terkategori melecehkan ajaran-ajaran agama, stigmatisasi. Di sisi lain sangat mungkin ada pihak yang punya kepentingan untuk melakukan tindakan stigmatisasi.
3/6
[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Siapa di balik ini semua?
Para pengusung sekulerisme dan liberalisme. Mereka ingin khalayak berada dalam kondisi tidak percaya kepada syariat Islam. Digerogoti dulu dari persoalan akidah dan ibadah, dibuat ikonisasi tokoh-tokoh agama buruk akhlak seperti itu.
Mengapa sinetron yang merusak itu bisa marak?
Ada dua keping di sini. Pertama, bisnis perfilman yang memang menguntungkan bagi para pemilik modal, pemilik stasiun televisi dan insan perfilman. Dan mereka secara umum belum punya pemahaman yang benar serta kuat tentang ajaran Islam.
Malah dunia televisi swasta yang besar kan dikuasai non Muslim. Bagi mereka sinetron-sinetron seperti ini seperti kata pepatah; sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui. Uang dapat, perusakan terhadap umat Islam juga berhasil.
Kedua, selama ini memang perhatian pemerintah terhadap pembinaan akidah dan akhlak umat minim. Film-film cabul, horor yang penuh takhayul bahkan yang bermuatan lesbian, gay, biseksual dan transeksual juga sudah beberapa kali tayang di layar bioskop.
Mengapa pemerintah begitu?
Negara ini kan pondasinya sekulerisme; persoalan akidah dan akhlak ya diserahkan kepada diri masing-masing. Mau jadi apa terserah kepada individu yang bersangkutan. Yang penting jangan mengganggu hak orang lain dan meresahkan umum.
Negara sekuler tidak akan ikut campur dalam persoalan ini. Karenanya paham sekulerisme itu memang jahat dan merusak umat Islam.
4/6
[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Apa yang harus dilakukan negara untuk menjaga umat dari sinetron atau pun konten media massa yang merusak lainnya?
Harus ada standar hukum yang benar dan ajeg, tidak multitafsir. Sekarang batasan pornografi dan pornoaksi adalah pasal karet, bisa ditarik-ulur sesuka orang. Makanya sampai kapan pun bila kondisinya seperti sekarang tidak akan bisa mencegah maraknya tayangan atau konten media massa yang merusak.
Seharusnya ada rambu-rambu tentang dunia seni dan budaya, sehingga dari awal insan seni sudah tahu mana yang boleh dan yang tidak. berikutnya ada lembaga sensor yang memang disiplin dan tidak kompromi dalam persoalan agama. Berikutnya harus ada sanksi tegas bagi mereka yang melanggar aturan ini.
Menghambat seni dan kreativitas dong?
Tidak. Dengan adanya aturan ini justru orang akan terpacu untuk menghasilkan karya seni yang bermoral dan bermutu. Bukankah dalam kehidupan sekulerisme dan liberalisme seperti sekarang, orang malah berlomba-lomba membuat karya seni dan budaya yang murahan. Film horor atau komedi kalau tidak ada paha dan dada perempuan seperti kurang lengkap. Itu norak!
Nah, perlindungan umat dari konten media massa yang merusak hanya bisa efektif dan efisien bila negara berpondasikan Islam dengan sistem pemerintahan khilafah-nya.
Mengapa harus negara, tidak cukupkah kita mencegah anak untuk menonton televisi?
Memang, secara pribadi dan keluarga setiap Muslim sebenarnya bisa melindungi akidah dan akhlak dari tayangan-tayangan negatif televisi, tapi hanya sampai batas-batas tertentu.
Hanya saja apa yang bisa dilakukan oleh keluarga dan komunitas ruang lingkupnya amat terbatas? Keluarga Muslim hanya bisa menyampaikan petisi dan melindungi secara lokal.
5/6
[104] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat Tuesday, 11 June 2013 17:49
Lantas, siapa yang bisa mencegah ditayangkannya karya seni yang tidak bermoral dan tidak bermutu? Pertanyaannya apakah sistem budaya dan hukum sekarang bisa melakukan itu semua? Ternyata tidak, malah semakin menjadi-jadi.[]
6/6