BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati
hasil
analisis
data
dan
pembahasan
mengenai
profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal Batu Televisi (Batu TV) Kota Batu Jawa Timur pada bulan Agustus – September 2012, maka ada beberapa temuan yang menjadi kesimpulan penelitian ini, yaitu:
Profesionalisme wartawan televisi terletak pada
keterampilan teknis dan kepatuhan etis wartawan, serta hubungan pekerja media dengan pemilik modal (perusahaan). Analisis hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor keterampilan teknis dan kepatuhan etis jurnalis hanya berperan sebagai prakondisi menuju profesionalisme wartawan televisi, sebab ada tiga komponen penting lainnya yaitu otoritas, pengawasan, dan pelayanan. Jika tiga komponen ini ―diaktifkan‖ hubungannya, ia akan menjadi suatu sistem yang terlembagakan. Jadi profesionalisme adalah sistem hubungan antara otoritas, pengawasan, dan pelayanan yang terlembagakan. Otoritas didapat dari kompetensi, aktivitas pekerjaan, dan adanya organisasi. Seorang sarjana komunikasi secara formal memang memiliki otoritas karena kompetensinya di bidang pengetahuan sistematis tentang jurnalistik. Namun otoritas itu baru aktual ketika ia bekerja sebagai jurnalis. Pola hubungan ―profesionalisme‖ demikian disebut patronase. Ada dua bentuk patronase, yakni patronase oligarki dan patronase korporasi. Pada kenyataannya, media massa telah dikontrol oleh korporasi dan karena itu mengaburkan makna kebebasan pers yang selama ini menjadi jargon paling penting dalam dunia jurnalistik. Hubungan pekerja media dan pemilik modal tidak lagi sekedar sebagai relasi fungsional, akan tetapi sudah memperlihatkan dominasi yang menjadi model di berbagai institusi media. Karena baik pemilik modal dan pekerja media mempunyai tujuan yang sama, yaitu kelangsungan hidup media sebagai institusi bisnis dan politik yang dibingkai atas nama peran media dalam kehidupan demokrasi. 109
Patronase korporasi melahirkan orang-orang yang ―dipelihara‖, apakah secara langsung sebagai pekerja atau dalam konteks kendali organisasi
birokrasi profesional. Dalam
hal
jurnalis
kita,
mereka
kebanyakan sebagai pekerja langsung perusahaan, sedangkan ikatannya dengan organisasi profesi amat longgar. Jurnalis ini tunduk dan berlindung pada si patron serta mengidentifikasi diri sebagai anggota korporasi, bukan kepada komunitas atau asosiasi profesionalnya. Sebagai organisasi, media massa tentu saja memiliki tujuan. Dan tujuan itu seringkali memberi pengaruh pada isi berita. Pengelola media dan wartawan bukanlah satu-satunya yang paling menentukan isi berita. Mereka hanya pekerja media yang terkadang harus patuh pada aturan perusahaan media. Karena itu, dalam level organisasi, biasanya terjadi dialektika mikro antara kepentingan perusahaan dan idealisme Jurnalis. Seharusnya para wartawan lebih tunduk kepada aturan yang tertulis dan telah disepakati oleh beberapa lembaga profesi yang telah dilegalkan, bukan malah tunduk pada patronase korporasi media tersebut. Pada kondisi ini, profesionalisme jurnalis sudah tidak dapat dinilai karena wartawan tersebut tunduk pada aturan perusahaan dan intervensi pemilik Batu TV. Aspek komersial dapat mengalahkan aspek publik. Kepatuhan
etis
ini
dapat
digolongkan
dalam
beberapa
hal:
1)Melindungi dan menghormati serta menghargai harkat dan martabat sumber berita : a) Sensor terhadap nama pelaku serta korban yang tidak ingin disebutkan. b) Harus mensensor visual yang menjadi korban tindak asusila. c)Memberikan nama serta identitas yang jelas bila sumber berita menghendaki. 2). Pedoman perilaku etis : a) Kebebasan wartawan dalam meliput sebuah berita. b) Kepatuhan wartawan terhadap KEJ. c) Nada dan gaya tulisan tidak menggunakan kata-kata mengandung opini. 3). Menjaga kebenaran berita : Keseimbangan wartawan dalam pemberitaan. Kenyataan diatas melahirkan pemikiran bahwa pers Indonesia bisa ―main mata‖ dengan gerakan sosial. Artinya, bukan tidak mustahil ada pihak yang berpendapat bahwa pers Indonesia bisa bekerja sama dengan gerakan-gerakan sosial untuk menciptakan gelombang politik baru. Pers 110
Indonesia terutama lokal perlu menjaga dirinya agar tidak meluncur menjadi kuda tunggangan gerakan sosial ―sewaan‖ pihak tertentu. Seorang jurnalis yang profesional merupakan seorang jurnalis yang paham keterampilan teknis jurnalistik dan kepatuhan etis dalam menjalankan
praktiknya.
Namun
tidak
mudah
seorang
menjadi
profesional. Secara alami profesionalisme di Amerika terdiri dari lima tahap: munculnya pekerjaan penuh-waktu (full-time); berdirinya sekolah untuk latihan (training school); berdirinya asosiasi profesional (profesional association); agitasi politik yang diarahkan pada perlindungan asosiasi tersebut secara hukum; diterimanya suatu aturan formal. Jika merujuk pada berbagai macam konsep profesionalisme, kita dapat merumuskan beberapa ciri yang kita konsepsikan sebagai profesional. Antara lain: a. Adanya keterampilan dan keahlian yang didasarkan pada pengetahuan teoritis. b. Memiliki pengetahuan umum yang sistematis; c. Lebih berorientasi kepada kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi (altruisme); d. Tersedianya
pelatihan
dan
pendidikan
untuk
meningkatkan
kompetensinya; e. Adanya organisasi yang membuat kode etik profesi, melakukan pengujian dan pengawasan terhadap perilaku anggotanya. f. Adanya suatu sistem balas jasa (berupa uang dan kehormatan) yang terutama merupakan lambang prestasi kerja. Media pers baik itu cetak, audio, serta audio visual, memiliki empat posisi. Yang pertama, media pers sebagai media komunikasi; yang kedua, media sebagai lembaga sosial; yang ketiga, media sebagai lembaga ekonomi; dan yang ke empat, media sebagai produk informasi. Keempat sumber ini menjadi tumpuan aktivitas, fungsi, tujuan, kewajiban, dan muatan isi media pers. Posisi ini menyebabkan fungsi utama media pers adalah mediator. Posisi ini pula menyebabkan tujuan media pers adalah 111
menyeimbangkan informasi. Posisi ini pula yang menyebabkan media pers tidak boleh berpihak. Media TV Lokal sebagai provider informasi politik lokal. Hal ini hanya dapat
disampaikan
oleh
wartawan
yang
memegang
teguh
profesionalisme, yaitu 1) wartawan yang punya ilmu yang relevan dengan bidangnya, 2) punya standar etik yang tinggi, 3) punya standar profesi yang tinggi. Ketiga hal tersebut dapat terwujud apabila tertanam di dalam diri para wartawan sikap objektivitas. Wartawan harus senantiasa menyadari bahwa sajiannya berpengaruh besar terhadap perubahan perilaku, pola pikir, dan wawasan masyarakat. Sebuah sajian akan menumbuhkan empaty. Tugas media massa juga mendidik masyarakat, sehingga tidak adil jika filter untuk mencermati makna sebuah sajian diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat tanpa ada seleksi yang bertangggung jawab dari para pekerja pers atas sajiannya. Pers hakikatnya bukan sekedar penjual berita dengan sajian menu berdasarkan selera pasar dan mempersilahkan pasar untuk memberikan penilaian akhir dan berikutnya menentukan pilihannya. Terlepas dari kondisi internal perusahaan pers di Indonesia, khususnya pers di daerah, maka profesionalisme yang dapat dicapai melalui objektivitas dari para wartawan akan dapat terwujud manakala wartawan tersebut memegang teguh prinsip cover both side, triple checking, rechecking, bahkan control checking atau triple bahkan kalau perlu multichecking. Hal ini menjadi dasar elementer yang harusnya dipunyai wartawan.Tidak ada pilihan lain bagi para wartawan dan media massa harus selalu berupaya menegakkan pilar ke empat demokrasi yakni jurnalistik yang kredibel dan bermanfaat, yang hanya bisa dikerjakan oleh jurnalis yang kompeten. Beberapa realitas terkait profesionalisme wartawan Batu TV dan hubungan wartawan dengan pemilik Batu TV yang telah dianalisis dalam penelitian ini, sebagai berikut: Pertama, profesionalisme jurnalis di Batu TV tidak berkembang sebagaimana layaknya. Konsep lembaga penyiaran yang profesional tidak 112
terlihat secara nyata diterapkan, sehingga harapan agar lembaga penyiaran berjalan sesuai standar etika jurnalistik yang menjunjung profesionalisme tidak kunjung terjadi. Batu TV hanya mememiliki empat wartawan dengan beban pekerjaan rangkap. Kedua, dari aspek keterampilan teknis, hampir semua jurnalis Batu TV belajar jurnalisme secara otodidak, tidak didukung dengan pendidikan dan pelatihan secara formal. Hal ini mempengaruhi kualitas pemberitaan Batu TV, yaitu : 1)Analisis Berita ; Cara – cara penyiaran berita, Pengaturan tayangan berita, Analisis kebenaran berita; 2) Menulis pendapat dan komentar : penelusuran dari pelaku, penggalian pendapat dan komentar dari para ahli Ketiga, tuntutan kapitalisme korporasi mengalahkan etika jurnalistik di Batu TV. Hal ini merupakan imbas tiadanya pengawasan, regulasi dan proses manajemen yang ketat. Jurnalis di Batu TV tidak menjadi pribadi ―bebas‖ yang memproduksi kebenaran melalui hasil jurnalistik, namun lebih karena tuntutan kapitalisme korporasi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya berita pesanan, yang disebut blockingtime. Sehingga dalam peliputan sebuah berita, para jurnalis sering merasa bingung antara sebuah pemberitaan murni dengan berita pesanan. Karena dalam fakta di lapangan banyak faktor yang mempengaruhi isi berita. Oleh karena itu keterampilan profesionalisme yang berkaitan dengan keterampilan teknis sangat sulit diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil pemberitaan di Batu TV
yang didominasi oleh
berita
pesanan.
Profesionalisme jurnalis sering terabaikan dengan adanya jenis berita ini, karena para jurnalis harus mematuhi apa yang diinginkan pemesan atau klien. Dan kinerja para jurnalis di Batu TV sangat diatur dan dibatasi oleh direktur. Keempat, kurangnya pengawasan terhadap keterampilan teknis berakibat pula pada kepatuhan etis wartawan. Yang semula wartawan harus mematuhi peraturan yang telah dibuat berupa Undang – Undang Pers maupun Kode Etik Jurnalistik Televisi, wartawan sendiri harus lebih tunduk dengan aturan yang dibuat di Batu TV yang secara jelas tidak 113
tertulis. Bagi jurnalis Batu TV, penerapan kode etik merupakan hal yang langka. Sebab bagaimana mau diterapkan kode etik secara baik dan tepat, jika peraturan dan regulasi yang dijalankan berdasarkan ―perkataan pemilik Batu TV‖ Penggambaran ini menurut asumsi penulis bertentangan dengan visi dan misi Batu TV. Visi Batu TV adalah menjadikan Pemimpin Terkemuka Dalam Bisnis Pertelevisian Lokal, khususnya di daerah Malang Raya. Sedangkan Misi Batu TV :
Menjadikan yang Pertama, Terbaik dan
Terpercaya Bagi Konsumen dalam jasa untuk Pengembangan Sumber daya Manusia, Pendidikan, Kepariwisataan, Pertanian, Perdagangan, Kerohanian, Hiburan dan Olah Raga serta Informasi Kejadian Seputar di daerah Malang Raya. Visi dan misi Batu Televisi
menunjukkan itikad
untuk memberikan kualitas maupun kuantitas pelayanan yang terbaik serta menjalankan bisnis berdasarkan komitmen, etika, kerja sama, profesionalisme dan kesejahteraan. B. Saran Bagi lembaga penyiaran/ televisi:
Lembaga yang profesional
mengisyaratkan kerja jurnalistiknya mengikuti kaidah-kaidah jurnalistik dan etika profesinya, sehingga langkah menjadi profesional menjadi terukur dan memberikan dampak yang positif bagi pemberitaan. Bagi jurnalis (khususnya wartawan televisi): Wartawan atau jurnalis harus dapat mengkonsep sebuah fakta serta menyusun dan melakukan penyuntingan berita. Dengan kata lain, seorang wartawan atau jurnalis harus memiliki kemampuan teknis jurnalistik dan memahami etika hukum pers karena ini menyangkut kepentingan dan perlindungan publik. Bila kompetensi itu diabaikan, dipastikan banyak timbul masalah dalam kerja jurnalistik maupun hasilnya. Bagi para peneliti selanjutnya: penelitian ini dapat menjadi referensi untuk meneliti kesadaran pertelevisian lokal dalam mematuhi serta menjalankan
Undang-Undang
dan
Kode
Etik
Jurnalistik
dengan
menggunakan komparatif model atau pembanding dengan televisi yang lain, sehingga terlihat dibagian mana perbedaannya. 114