TANGGAP FUNGSI SERANGGA PERBANYAKAN TERHADAP KELIMPAHAN JUVENIL INFEKTIF SECARA IN VIVO Oleh: Erna Zahro’in
Perbanyakan Nematoda Entomopatogen Perbanyakan
nematoda
entomopatogen
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan 2 cara, yaitu secara In Vivo dan In Vitro. Khairunnisa dkk (2014) menyatakan bahwa perbanyakan secara In Vivo dapat dilakukan dengan menggunakan umpan serangga yang diletakkan pada cawan petri yang telah dilapisi dengan menggunakan kertas saring yang kemudian diinokulasikan dengan menggunakaon nematoda. Perbanyakan secara In Vitro dapat dilakukan dengan menggunakan media buatan, salah satunya yaitu media Bedding. Perbanyakan secara In Vivo lebih mudah dilakukan dibandingkan perbanyakan secara In Vitro. Friedman dalam Chaerani (2011) menyatakan bahwa perbanyakan nematoda secara In Vivo tergolong tidak ekonomis dalam skala komersial sehingga dibutuhkan perbanyakan dengan menggunakan media buatan yaitu secara In Vitro. Hasil perbanyakan nematoda entomopatogen secara In Vivo biasanya digunakan sebagai starter untuk melakukan perbanyakan secara In Vitro. Perbanyakan secara In Vivo dilakukan dengan menggunakan serangga seperti Galleria mellonellla. De Chenon et al dalam Chaerani dkk (2007) menyatakan bahwa larva-larva yang berasal dari ordo Lepidoptera seperti Tirathaba rufivena, Sethosea asigna, Corcyra cephalonica, Cadra cautella (syn. Ephestia cautella), Helicoverpa armigera, Pareuchaetes pseudoinsulata, dan Hidari irava dapat digunakan sebagai serangga untuk perbanyakan nematoda Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. secara In Vivo. Perbedaan serangga umpan yang digunakan untuk perbanyakan secara In Vivo dapat berpengaruh terhadap jumlah nematoda yang dihasilkan. Flanders et al dalam Chaerani dkk (2007) menyatakan bahwa 1 gram larva G. mellonella dapat menghasilkan nematoda Heterorhabditis sp. sebanyak 1,4 x 106 JI sedangkan T. molitor menghasilkan 759,9 x 103 JI. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap jumlah nematoda yang dihasilkan dari perbanyakan secara In Vivo yaitu jumlah serangga yang digunakan. Rahim (2010) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah serangga yang digunakan untuk media perbanyakan, maka semakin efektif meningkatkan infektif juvenil. Jumlah nematoda yang dihasilkan dari
perbanyakan secara In Vivo merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh pada perbanyakan secara In Vitro. Juvenile infektif
nematoda entomopatogen yang berasal dari inang yang
terinfeksi dapat terhambat keluarnya apabila kelembaban mencapai 75% dengan suhu 250C. Kelembapan 85-95% dengan temperatur 300C dapat menyebabkan terjadinya kematian pada nematoda entomopatogen setelah 102 jam (Sulistyanto, 1999). Temperatur juga berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen nematoda entomopatogen. Temperatur yang tinggi juga dapat menyebabkan nematoda entomopatogen tetap infektif apabila terdapat oksigen dengan jumlah yang banyak sehingga nematoda entomopatogen masih dapat bertahan selama 43 hari dengan oksigen 0,5% dan suhu 200C serta memiliki respon yang positif terhadap ion Na, Mg, Ca, dan Cl (Sulistyanto, 1999). Tanggap Fungsi Serangga Perbanyakan terhadap Juvenil Infektif secara In Vivo Uji pengaruh serangga terhadap hasil nematoda pada perbanyakan secara In Vivo dilakukan dengan menggunakan dua serangga uji yang berbeda yaitu larva C. cephalonica dan T. molitor. Pengujian dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Langkah-langkah yang digunakan yaitu sebagai berikut: 1. Menyiapkan serangga uji yang diperlukan dengan jumlah masing-masing 10 serangga pada setiap ulangan (ukuran larva dipilih dengan ukuran yang sama) 2. Menyiapkan cawan petri dim 9 cm yang di dalamnya diberi kertas saring. 3. Memasukkan serangga uji ke dalam petri dim 9 cm dan menginokulasikan NEP sebanyak 500 JI/ ml pada masing-masing cawan petri. 4. Menutup cawan petri dan memberi plastik wrap agar cawan petri tertutup rapat sehingga mencegah serangga lain masuk. 5. Membuat white trap setelah 3 hari (serangga uji mati) dengan cara membuka cawan petri kecil dan memasukkannya ke dalam petri besar dim 14 cm yang dasarnya diberi air steril sebanyak 10 ml. 6. Menutup cawan petri besar dan memberi seal/wrap hingga tertutup rapat pada pinggir cawan petri.
7. Perbanyakan in vivo tersebut diinkubasi selama 14 hari kemudian diamati hasil nematoda yang dihasilkan dengan mengambil 1 ml dari setiap perlakuan. 8. Menghitung jumlah kelimpahan juvenile infektif dengan nematode counting dish dengan 3 kali ulangan, kemudian dirata-rata.
Pengujian perbedaan serangga terhadap hasil produksi NEP jenis Steinernema sp. dan Heterorhabditis sp. pada perbanyakan In Vivo sebelumnya telah dilakukan oleh Chaerani dkk (2007) menggunakan 4 jenis larva yaitu Galleria melonella, Tenebrio molitor, ulat cangkilung, dan Spodoptera litura. Pada penelitiannya dijelaskan bahwa Tenebrio molitor dapat dijadikan sebagai alternatif ke dua setelah Galleria melonella dalam kemampuan memproduksi JI. Pada pengujian pengaruh larva terhadap hasil NEP pada perbanyakan In Vivo dilakukan dengan menggunakan NEP Steinernema sp.. Larva yang digunakan Tenebrio molitor dan Corcyra cephalonica yang masing-masing berjumlah 20 larva dan dibagi menjadi 2 ulangan sehingga setiap ulangan berisi 10 larva. Setiap ulangan di inokulasi dengan NEP sebanyak 500 JI/ml. Pengamatan dilakukan setiap hari pada waktu yang sama selama 3 hari berturut-turut dengan tujuan untuk mengetahui persentase kematian larva akibat infeksi NEP. Larva yang secara keseluruhan sudah terinfeksi (mati) kemudian dilanjutkan dengan membuat white trap dengan menggunakan aquades sebanyak 10 ml pada masing-masing cawan petri. White trap kemudian diinkubasi selama 14 hari dan dihitung jumlah JI yang dihasilkan dari masing-masing perlakukan dengan menggunakan 3 contoh hitung. Setiap contoh hitung diambil NEP yang dihasilkan sebanyak 1 ml. Persentase kematian larva tertera pada gambar 1:
Gambar 1 : Grafik Perbedaan Persentase Kematian Larva selama Tiga Hari
Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa kematian larva mencapai 100% setelah hari ketiga pengamatan. Larva T. molitor memiliki persentase kematian lebih cepat dibandingkan larva C. cephalonica. Hal ini karena larva yang digunakan merupakan larva yang baru mengalami proses moulting atau ganti kulit sehingga dinding tubuh larva menjadi lunak dan tipis (Foster, 2013) Safitri dkk (2013) menyatakan bahwa efektivitas Steinernema sp. dalam menginfeksi inang dipengaruhi oleh mekanisme infeksi dan pada jevenil infektif (J3) NEP. Infeksi dapat melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Hal ini menjadi salah satu faktor mudah terinfeksinya larva T. molitor karena dinding tubuh yang lunak dan tipis sehingga NEP lebih mudah mengifeksi serta menyebabkan kematian menjadi lebih cepat. C. cephalonica merupakan larva yang berasal dari ordo Lepidoptera. C. cephalonica termasuk larva yang tidak mengalami pergantian kulit. Larva berkembang menjadi pupa tanpa melalui proses pergantian kulit dan kemudian menjadi imago.. Selain itu, larva C. cephalonica dapat membuat pintalan (menyerupai benang) yang mengandung kotoran dan sisa-sisa makanan. Tenrirawe dkk (2009) menyatakan bahwa benang-benang sutra yang dihasilkan oleh larva C. cephalonica dijadikan sebagai tempat tinggal larva. Pintalan pada larva C. cephalonica dapat membantu larva untuk menggelantung sehingga dapat dijadikan sebagai alat pertahanan diri. Adanya pintalan yang dihasilkan larva menjadi faktor yang juga menyebabkan larva C. cephalonica tidak mudah terinfeksi (mati).
Tingginya tingkat kematian larva T. molitor dibandingkan C. cephalonica juga dapat disebabkan lebih mudahnya NEP dalam menemukan inangnya. Apabila NEP lebih cepat dalam menemukan inangnya maka larva akan segera terinfeksi dan segera mengalami kematian. Apabila NEP tidak bisa menemukan inangnya maka kematian larva menjadi lebih lambat. Setelah di inkubasi selama 14 hari dan dilakukan perhitungan terhadap NEP yang dihasilkan dapat diketahui bahwa dari 2 serangga uji yang digunakan memiliki kemampuan produksi NEP yang berbeda (Gambar 2)
Gambar 2 : Grafik Perbedaan Rata-Rata Jumlah NEP Hari Ke-14
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa larva T. molitor dan C. cephalonica dengan jumlah larva terinfeksi yang sama tetapi menghasilkan JI dengan jumlah yang berbeda. Rata-rata JI yang dihasilkan dari larva T. molitor pada ulangan 1 yaitu sebanyak 2252 JI sedangkan pada ulangan 2 sebanyak 1254 JI. Rata-rata JI yang dihasilkan dari larva C. cephalonica yaitu sebanyak 2911 JI sedangkan pada ulangan 2 sebanyak 2676 JI. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa larva C. cephalonica dapat memproduksi JI lebih banyak dibandingkan larva T. molitor. Chaerani dkk (2007) menyatakan bahwa 20 larva yang diinokulasi dengan NEP sebanyak 0,1-0,2 x 103 dengan penggunaan air pada white trap sebanyak 0,5 cm dapat menghasilkan NEP Steinernema sp. dengan jumlah yang berbeda pada serangga uji yang berbeda yaitu T. molitor sebanyak 51,0x103 JI, ulat cangkilung sebanyak 3,0x103 JI dan S. litura sebanyak 3,1 x103 JI. Perbedaan larva yang digunakan dalam pengujian perbanyakan ini diketahui dapat berpengaruh terhadap
NEP yang dihasilkan. Chaerani dkk (2007) menyatakan bahwa interaksi antara nematoda dan serangga tidak berpengaruh terhadap hasil produksi NEP tetapi penggunaan spesies serangga atau nematoda berpengaruh terhadap hasil produksi NEP. Chaerani dkk (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa T. molitor merupakan alternatif kedua terbaik setelah G. mellonela. Akan tetapi, berdasarkan pengujian yang dilakukan di BBPPTP Surabaya diperoleh data bahwa larva C. cephalonica dapat menghasilkan NEP lebih banyak dibandingkan larva T. molitor, sehingga larva C. cephalonica dapat digunakan sebagai alternative serangga perbanyakan NEP secara invivo karena mampu memproduksi juvenile infektif yang berlimpah. PUSTAKA Chaerani. 2011. Pembiakan Nematoda Patogen Serangga (Rhabditida : Heterorhabditis dan Steinernema) pada Media Semi Padat. HPT Tropika, 11(1) : 69-77. Chaerani., Y, Suryadi., T.P. Priyatno., D. Koswanudin., U. Rahmat., Sujatmo., yusuf., dan C.T. Griffin. 2007. Isolasi Nematoda Patogen Serangga Steinernema dan Heterorhabditis. HPT Tropika, 7(1) : 1-9. Foster, B. 2013. The Life Cycle of Tenebrio molitor. http://www.ehow. com/ about_ 5339939_life_cyle_tenebrio_molitor.html. Diakses pada 17 November 2015. Khairunnisa, S., Mukhtar, I.P., dan Fatimah, Z. 2014. Uji Efektifitas Nematoda Entomopatogen sebagai Pengendali Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros L.) (Coleoptera: Scarabaidae) di Laboratorium. Online Agroteknologi, 2(2) : 607-620. Rahim, A. 2010. Pengaruh Jumlah Ulat Tenebrio molitor sebagai Media Perbanyakan terhadap Kerapatan Infektif Juvenil (IJ) Agens Hayati Nematoda Entomopatogen. Media Sains, 2(1) : 44-51. Safitri, M., Evie, R., dan Reni, A. 2013. Efektivitas Steinernema sp. dalam Pengendalian Hama Serangga Tanah pada Berbagai Tekstur Tanah. LenteraBio, 2(1) : 25-31. Sulistyanto, D. 1999. Nematoda Entomopatogen, Steinernema spp. dan Heterorhabditis spp. Isolat Lokal sebagai Pengendali Hayati Serangga Hama Perkebunan. Makalah Lustrum Universitas Jember, 2 Desember 1999. Jember. 12 hal.
Tenrirawe, A., Tandiabang, A.M., Adnan., Pabbage., Soenartiningsih dan Haris. 2009. Pengelolaan Hama pada Tanaman Sorgum. Jakarta : Balai Penelitian Tanaman Serealia.