112
VI. PEMBAHASAN 6. 1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga Pengunjung 6. 1. 1 Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung Keseluruhan serangga pengunjung bunga caisin yang ditemukan dari 15 titik pengamatan ialah sebanyak 1312 individu serangga yang terdiri dari 147 spesies yang digolongkan dalam 8 ordo yang berbeda, namun hanya 1247 individu (95,05%) dari total 1312 ekor serangga yang spesies-spesiesnya teridentifikasi hingga ke tingkat taksa famili yaitu 114 spesies (77,55%) dari keseluruhan 147 spesies serangga pengunjung (Tabel 6). Ordo Hymenoptera menyusun lebih dari setengah keseluruhan jumlah serangga pengunjung yang ditemukan yaitu sebesar 61,74% dari total 1312 ekor serangga, atau tepatnya 810 ekor serangga (Tabel 9). Hal ini diduga karena ordo Hymenoptera tersusun atas spesies-spesies yang memiliki banyak peran di alam diantaranya sebagai parasit, parasitoid, skavengger, dan penyerbuk (Lampiran 11) yang dalam hal ini serangga penyerbuk merupakan spesies-spesies yang paling umum ditemukan. Persentase kelimpahan individu terbesar kedua adalah ordo Diptera yang menyusun 32,09% dari total 1312 ekor serangga, atau sebanyak 421 ekor serangga (Tabel 9). Hal ini disebabkan ordo Diptera memiliki spesies-spesies yang banyak berperan sebagai pemangsa (Lampiran 12) yaitu famili Therevidae dengan kelimpahan individu sebanyak 158 ekor, dan famili Pipunculidae yang memiliki peran sebagai parasitoid sebanyak 93 ekor. Kedua famili serangga golongan ordo Diptera tersebut sangat umum ditemukan pada habitat hutan. Selain itu, ordo Diptera juga merupakan salah satu dari dua ordo yang memiliki spesies-spesies yang beperan sebagai serangga penyerbuk. Berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan, ordo Diptera memiliki jumlah spesies tertinggi yaitu sebanyak 73 spesies baik yang teridentifikasi famili yaitu 54 spesies (Tabel 10) dan yang tak teridentifikasi famili yaitu 19 spesies (Tabel 7) dari keseluruhan 147 spesies. Sebagian besar spesies-spesies dari ordo Diptera tersebut merupakan serangga saprofag 15 spesies dan fitofag 12 spesies (Lampiran 12). Ordo Hymenoptera memiliki jumlah spesies tertinggi kedua, yaitu
113
mewakili 38 spesies atau 25,85% dari total 147 spesies (Tabel 10), yang dalam komunitasnya sebagian besar berfungsi sebagai serangga penyerbuk dengan jumlah sebanyak 23 spesies (Lampiran 11). Ordo-ordo seperti Homoptera, Orthoptera, dan Dermaptera sebagian besar merupakan serangga fitofag dan saprofag (Lampiran 13), dikenal sebagai serangga hama sering ditemukan pada tanaman pertanian bagian daun, dan jarang ditemukan pada bagian bunga. Hal tersebut diduga sebagai penyebab kecilnya persentase keterwakilan ordo-ordo tersebut sebagai serangga pengunjung bunga. Menurut Daly et al (1978), larva Diptera mendominansi serangga akuatik, kemudian dinyatakan oleh Rizali (2000) bahwa ekosistem sawah adalah ekosistem tanah berair dimana banyak mengandung fitoplankton dan bahan makanan lain bagi larva Diptera. Sehingga dari kedua argumen tersebut turut memperjelas penyebab ordo Diptera ditemukan cukup melimpah karena 6 dari 15 titik pengamatan merupakan habitat persawahan, dan secara umum semua titik pengamatan berlokasi tidak jauh dari area persawahan. Kelimpahan individu ordo Hymenoptera mendominansi pada habitat sawah dan ladang, sedangkan kelimpahan individu pada habitat permukiman dan tepi hutan didominansi oleh ordo diptera (Tabel 9). Selain perannya sebagai agen penyerbuk, ordo Hymenoptera juga banyak berperan sebagai pemakan sisa binatang atau skavengger yang banyak ditemukan di habitat sawah (Lampiran 11). Hal yang menjadi penyebab ordo diptera mendominansi di habitat tepi hutan adalah perannya sebagai parasitoid dan pemangsa yang melimpah, dan mendominansi di habitat permukiman sebagai fitofag, saprofag, dan parasitoid (Lampiran 12). Ordo Hemiptera, Coleoptera, dan Orthoptera ditemukan lebih melimpah di habitat sawah dan ladang (Tabel 9) karena peran sebagian besar dari 3 ordo tersebut merupakan fitofag atau pemakan tumbuhan hidup (Lampiran 13). Ordo Lepidoptera hanya sedikit ditemukan di habitat sawah dan jarang ditemukan di habitat lain (Tabel 9). Ordo Lepidoptera merupakan golongan kupu-kupu dan ngengat, namun pada penelitian ini tidak ditemukan berperan sebagai penyerbuk, melainkan fitofag. Ordo Dermaptera hanya ditemukan di habitat sawah sebagai saprofag (Lampiran 13).
114
6. 1. 2 Komposisi dan Kelimpahan Fungsi Serangga Pengunjung Dalam penelitian ini peranan serangga secara garis besar dibagi menjadi dua fungsi yaitu serangga penyerbuk dan bukan penyerbuk yang terdiri atas 6 peranan jenis diantaranya; Predator, Parasitoid, Fitofag, Saprofag, Skavenger, dan Parasit. Kelimpahan serangga penyerbuk yang ditemukan ialah sebanyak 747 individu atau 56,94% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak semua serangga pengunjung yang ditemukan pada bunga tanaman merupakan serangga penyerbuk. Sedangkan sisa 43,06% atau sejumlah 565 ekor serangga dianggap sebagai serangga bukan penyerbuk meskipun serangga-serangga
bukan
penyerbuk
tersebut
mungkin
saja
membantu
penyerbukan secara tidak sengaja. Kelimpahan serangga predator (pemangsa) yang ditemukan 166 individu atau 12,65% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Serangga pemangsa merupakan golongan jenis serangga yang memangsa serangga lain yang masi hidup, mangsa dari golongan jenis serangga ini umumnya berupa imago (fase dewasa) maupun larva (ulat) dari serangga lain. Kehadiran serangga pemangsa pada bunga-bunga caisin ini diduga sebagai aktivitas serangga tersebut dalam mencari mangsanya. Pada tanaman caisin, bagian bunga merupakan bagian yang paling banyak dikunjungi oleh serangga-serangga lain, dan selama pengamatan tidak jarang ditemukan ulat pada bagian bunga ini. Kelimpahan serangga parasitoid yang ditemukan ialah sebanyak 109 individu atau 8,31% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Serangga parasitoid merupakan golongan serangga yang berkembangbiak dengan cara memasukkan telurnya ke dalam serangga lain yang masi hidup sebagai inang, mangsa dari golongan serangga ini umumnya berupa larva (ulat) dari spesies serangga lain, dan pada beberapa spesies parasitoid membutuhkan inang berupa imago (fase dewasa). Telur-telur yang telah disuntikan atau diletakan pada tubuh mangsanya, akan berkembang secara lambat dan terus memakan bagian dalam tubuh inang (mangsa) tampa membunuhnya, hingga parasitoid dewasa keluar dari tubuh inang yang telah mati secara perlahan. Kehadiran serangga parasitoid pada
115
bunga-bunga caisin ini diduga sebagai aktivitas serangga tersebut dalam mencari inang bagi telur-telurnya. Selama pengamatan, bagian bunga pada tanaman caisin kerap kali ditemukan ulat-ulat yang sedang berdiam dan berkamuflase pada tangkai bunga, sehingga hal tersebut yang membuat serangga-serangga parasitoid sering mengunjungi bagian bunga caisin. Kelimpahan serangga fitofag yang ditemukan ialah sebanyak 96 individu atau 7,32% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Serangga fitofag merupakan golongan serangga yang memakan atau memanfaatkan bagian tumbuhan atau tanaman sebagai sumber pakannya. Kehadiran fitofag pada bagian bunga, diduga serangga-serangga tersebut sedang memakan polen yang terdapat pada bunga ataupun mungkin memakan mahkota bunga yang mungkin disukai oleh beberapa spesies fitofag tertentu. Beberapa golongan fitofag ini yang biasa kita kenali dengan mudah ialah sebangsa kumbang-kumbangan (Coleoptera), belalang (Orthoptera), dan beberapa jenis lalat (Diptera). Kelimpahan serangga saprofag yang ditemukan ialah sebanyak 60 individu atau 4,57% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Serangga saprofag merupakan golongan serangga yang memakan bagian tumbuhan / tanaman yang telah mati atau membusuk, atau dengan kata lain sebagai serangga yang memanfaatkan sisa-sisa metabolisme sebagai sumber pakannya. Kehadiran serangga-serangga saprofag pada bagian bunga diduga sedang menghisap sari / juice bunga-bunga yang layu dan kemudian membusuk. Masa penelitian dengan cuaca yang sering turun hujan, dan lokasi penelitian yang bersuhu relatif rendah dan dengan kelembaban yang tinggi, sering ditemui bunga-bunga yang membusuk di tangkai akibat sering terkena hujan dan embun. Kelimpahan serangga skavengger (pemakan bangkai) yang ditemukan ialah sebanyak 55 individu atau 4,19% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Kehadiran serangga-serangga pemakan bangkai ini pada bagian bunga diduga memanfaatkan bangkai binatang-binatang kecil yang terjebak atau sisa mangsa laba-laba. Selama pengamatan berlangsung terkadang ditemukan jaring-jaring laba-laba diantara tangkai-tangkai bunga sebagai perangkap untuk menangkap serangga-serangga yang sering mengunjungi bunga. Serangga-serangga pemakan
116
bangkai yang ditemukan dalam penelitian ini ialah jenis-jenis dari ordo Hymenoptera yaitu famili Formicidae yang umum kita sebut sebagai semut. Kelimpahan serangga parasit yang ditemukan ialah sebanyak 20 individu atau 1,52% dari keseluruhan 1312 individu (Tabel 11). Parasit merupakan serangga yang hidupnya bergantung dari mahluk hidup lain, dan dapat menurunkan produktivitas mahluk hidup yang ditumpanginya. Kehadiran serangga parasit di bunga caisin ini belum dapat diketahui penyebabnya. Berdasarkan komposisi spesiesnya, persentase spesies serangga-serangga penyerbuk jauh lebih sedikit daripada total gabungan serangga-seranggga pengunjung yang bukan penyerbuk. Spesies-spesies serangga penyerbuk hanya mewakili 21,77% yaitu 32 spesies dari keseluruhan 147 spesies serangga (Tabel 11), sedangkan 82 spesies selebihnya merupakan serangga pengunjung yang memiliki peran yang beragam. Namun bila ditinjau perbandingan jumlah spesiesnya, penggolongan fungsi fitofag merupakan yang tertinggi yaitu 38 spesies (Tabel 11). Spesies-spesies serangga penyerbuk yang ditemukan selama pengamatan ialah merupakan perwakilan dari 2 ordo yaitu Diptera dan Hymenoptera. Ordo Diptera terdiri dari 1 famili mewakili 9 spesies serangga penyerbuk (Lampiran 12), Famili Syrphidae seringkali ditemukan di sekitar bunga, dan melakukan terbang setempat. Banyak spesies dari famili tersebut memili warna yang cermelang menyerupai lebah madu, namun tidak pernah menggigit (Borror et al 1996). Ordo Hymenoptera terdiri dari 6 famili mewakili 23 spesies serangga penyerbuk (Lampiran 11). Famili-famili tersebut adalah Andrenidae (2 spesies), Apidae (11 spesies), Colletidae (5 spesies), Halictidae (1 spesies), Megachilidae (3 spesies), dan Vespidae (1 spesies). Famili-famili tersebut umumnya memiliki rambut halus diseluruh tubuhnya terutama pada kaki-kakinya. Pada spesimen famili-famili tersebut kerap kali ditemukan serbuk kuning menempel pada bulubulu halus yang diduga sebagai serbuksari bunga caisin, hal ini membuktikan bahwa famili-famili tersebut memiliki peran penting dalam prosesn penyerbukan. Beberapa dari famili-famili tersebut bahkan memiliki scopa atau kantung polen pada tibia atau segmen ke dua dari kaki serangga tersebut yang sering digunakan untuk mengumpulkan polen dari bunga-bunga yang dikunjunginya.
117
Serangga fitofag merupakan golongan serangga dengan kekayaan jenis tertinggi diantara golongan-golongan fungsi serangga, yaitu 38 spesies atau 25,85% dari keseluruhan 147 spesies (Tabel 12). Ordo-ordo yang tergolong serangga fitofag adalah Coleoptera (kumbang-kumbangan), Diptera (lalat-lalatan), Hemiptera (kepik), Homoptera (sebangsa penggerek), dan Orthoptera (belalang). Jumlah spesies yang paling banyak ditemukan ialah berasal dari ordo Diptera (Lampiran 12) dengan jumlah sebanyak 12 spesies perwakilan dari 3 famili yaitu Diospidae (1 spesies), Drosophilidae (6 spesies), dan Tephritidae (5 spesies). Lalat-lalat tersebut memiliki tipe mulut penghisap, memakan cairan-cairan tumbuhan segar dan juga termasuk nektar pada bunga. Coleoptera atau serangga kumbang-kumbangan dikenal sebagai serangga pemakan tumbuhan-tumbuhan yang sangat sering memakan bagian-bagian bunga tumbuhan. Kumbang mengalami siklus metamorfosis sempurna, memiliki tipe mulut pengunyah, dan mandibel sangat bagus dan berkembang, sehingga dapat dipakai untuk menggilas biji-biji atau meremukan kayu. Terdapat 3 famili yang ditemukan dari ordo Coleoptera ini yaitu; Chrysomelidae (2 spesies), coccinelidae (3 spesies), Curculidae (1 spesies). Hemiptera atau kepik dikenal luas sebagai hama ganas bagi tanaman-tanaman budidaya, memiliki tipe mulut menusuk-menghisap dengan bentuk probosis (paruh) yang beruas-ruas dan ramping. Ordo yang memiliki siklus metamorfosis sederhana ini ditemukan mewakili 3 famili yaitu; Anthocridae (1 spesies), Cicadellidae (1 spesies), Pentatomidae (3 spesies). Homoptera juga dikenal sebagai serangga hama yang menyebabkan kerusakan yang cukup berat pada tanaman karena menghisap cairan tanaman disamping juga dapat berperan sebagai vektor virus (Kirk 1990). Perbedaannya dengan Hemiptera yaitu probosis pada Hemiptera timbul dari bagian depan kepala, sedangkan probosis Homoptera timbul dari posterior kepala. Dalam penelitian ini, Homoptera hanya ditemukan 1 spesies. Orthoptera atau sebangsa belalang ini mewakili jumlah individu yang cukup banyak yaitu 17 ekor dari 75 ekor serangga fitofag. Belalang memiliki tipe mulut pengunyah dan dikenal sebagai hama yang sangat merusak hasil pertanian terlebih bila dalam jumlah kelompok yang besar. Dalam penelitian ini, belalang hanya ditemukan 2 spesies yang berasal dari famili Tettigoniidae.
118
Jumlah spesies serangga saprofag yang ditemukan ialah 16 spesies atau 10,88% terdiri dari 2 ordo yaitu Dermaptera dan Diptera (Lampiran 12 dan 13). Dermaptera merupakan serangga sebangsa cocopet yang biasa dikenal hidup pada malam hari, dan jika pada waktu siang biasa ditemukan terdapat pada celah-celah, di bawah kulit kayu, dan lubang-lubang kecil. Ordo ini mengalami metamorfosis sederhana, memiliki bagian mulut tipe pengunyah. Dermaptera merupakan serangga yang pemakan sayuran-sayuran yang telah mati atau membusuk, meskipun terdapat beberapa yang memakan makanan tumbuhan hidup, dan jarang sebagai pemangsa. Famili yang tergolong saprofag dari ordo Dermaptera adalah Anisollabididae dengan hanya ditemukan 1 spesies (Lampiran 13). Famili-famili serangga saprofag dari ordo Diptera adalah Micropezidae (2 spesies) dan Muscidae (13 spesies). Beberapa bunga caisin selama pengamatan ditemukan layu dan terdapat beberapa yang membusuk akibat jarang terkena panas matahari setelah beberapa hari hujan. Kelembaban udara yang tinggi pada pagi hari dan bentuk mahkota bunga yang menadah keatas menyimpan tetesan hujan menyebabkan bunga-bunga caisin tersebut melunak dan membusuk sehingga menjadi makanan yang ideal bagi beberapa spesies-spesies lalat ini. Jumlah spesies serangga parasitoid yang ditemukan ialah 12 spesies atau dengan proporsi perbandingan sebesar 8,16% dari keseluruhan 147 spesies ditemukan (Tabel 12). Serangga parasitoid yang ditemukan pada bunga caisin terdiri dari 2 ordo yaitu; Diptera dan Hymenoptera (Lampiran 11 dan 12). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Rizali (2000) bahwa golongan serangga parasitoid yang umum ditemukan pada persawahan di sekitar hutan ialah spesiesspesies yang berasal dari ordo Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dari ordo Diptera yang merupakan serangga parasitoid adalah Ceratogonidae (3 spesies), Pipunculidae (2 spesies), dan Tachinidae (1 spesies). Sedangkan famili-famili dari ordo Hymenoptera adalah Ichnemonidae (4 spesies), Spechidae (1 spesies), Tanaostigmatidae
(1
spesies).
Dari
keseluruhan
famili-famili
tersebut,
Pipunculidae merupakan famili dengan jumlah individu parasitoid terbanyak yaitu pada morfospesies Pipunculidae.002 dengan jumlah yang ditemukan sebanyak 87 ekor, sebagian besar ditemukan pada tepi hutan (Lampiran 12) dan hanya beberapa individu ditemukan di non hutan, hal senada juga dinyatakan oleh Rizali
119
(2000) bahwa famili Pipunculidae hanya sedikit ditemukan pada lahan persawahan di Gunung Halimun. Pipunculidae merupakan parasitoid potensial bagi wereng coklat (Kirk 1990). Famili Ichnemonidae dari ordo Hymenoptera merupakan famili yang ditemukan memiliki spesies terbanyak, Ichnemonidae merupakan salah satu famili serangga parasitoid potensial bagi larva serangga lain. Jumlah spesies serangga predator atau pemangsa yang ditemukan pada keseluruhan titik pengamatan ialah 9 spesies atau 6,12% (Tabel 12). Serangga predator yang diperoleh adalah dari ordo Coleoptera dan Diptera (Lampiran 12 dan 13). Famili-famili dari ordo Coleoptera ialah Cantharidae (1 spesies), Coccinelidae (5 spesies), Lycidae (1 spesies), Staphylinidae (1 spesies). Sementara ordo Diptera yang diperoleh hanya memiliki 1 spesies dari famili Therevidae. Rizali (2000) juga menyebutkan Coccinelidae ordo Coleoptera dalam penelitiannya sebagai salah satu predator yang umum dijumpai pada pertanaman padi. Jumlah spesies serangga parasit yang diperoleh adalah 6 spesies atau dengan proporsi perbandingan sebesar 4,08% terdiri dari 2 ordo yaitu Diptera dan Hymenoptera (Lampiran 11 dan 12). Ordo Diptera hanya memiliki 1 famili yaitu Calliphoridae dengan jumlah 4 spesies, kemudian ordo Hymenoptera juga hanya memiliki 1 famili yaitu Rhopalosomatidae dengan jumlah 2 spesies. Serangga parasit ini sangat jarang karena hanya ditemukan di 6 titik pengamatan yaitu Calliphoridae pada S06, L10, dan L11, kemudian Rhopalosomatidae pada P10, S03, L09, L10, L11. Meski hasil identifikasi menunjukan bahwa kedua famili dari 2 ordo tersebut berperan sebagai parasit, namun dalam penelitian ini tidak mengamati perilaku spesies-spesies parasit tersebut sehingga kehadiran serangga parasit di bunga caisin ini belum dapat diketahui penyebabnya. Serangga skavengger atau pemakan bangkai merupakan peranan serangga yang paling sedikit diperoleh jumlah spesiesnya yaitu hanya sebanyak 5 spesies atau 3,40% dari total 147 spesies (Tabel 11), mewakili famili Formicidae atau golongan semut-semut ordo Hymenoptera. Serangga-serangga skavenger ini juga sangat jarang karena hanya ditemukan di 5 titik pengamatan yaitu S02, S06, S07, L08, dan L11 (Lampiran 11).
120
6. 2 Penyebaran dan Indeks Kesamaan Jenis Serangga Penyerbuk 6. 2. 1 Penyebaran Jenis Serangga Penyerbuk Serangga penyerbuk yang ditemukan pada 15 titik dari tepi hutan hingga jarak kira-kira 1100 meter dari tepi hutan (Tabel 1) adalah sebanyak 32 spesies tersebar di 4 tipe habitat yaitu; permukiman penduduk, persawahan, perladangan, dan habitat ekoton tepi hutan. Dari keseluruhan 32 spesies tersebut, hanya terdapat 1 spesies yang memiliki penyebaran terluas disemua titik pengamatan yaitu Colletidae.002 dengan nilai frekuensi relatif sebesar 11,54%, kemudian Apis cerana yang dapat ditemukan di hampir semua titik pengamatan kecuali di titik S02 dengan nilai frekuensi relatif 10,77% (Tabel 14). Terdapat 4 spesies yang memiliki penyebaran ke semua tipe habitat yaitu: Colletidae.002 (11,54%); Apis cerana (10,77%); Apidae.004 (7,69%); dan Ceratinini sp.002 (6,15%). Kemudian sisa ke-28 spesies serangga penyerbuk tersebut tersebar di beberapa tipe habitat dan bahkan hanya dapat ditemukan di habitat tertentu (Tabel 14). Berdasarkan kategori tipe habitatnya, persawahan atau pada titik pengamatan S02 hingga S07, memiliki jumlah spesies serangga penyerbuk terbanyak diantara ketiga tipe habitat lainnya, yaitu sebanyak 22 spesies termasuk 4 spesies diantaranya yang dapat ditemukan di keempat habitat, dan 8 diantara 22 spesies tersebut hanya ditemukan di persawahan saja. kedelapan spesies yang memiliki penyebaran di tipe habitat persawahan saja adalah; Apis dorsata (2,31%); Xylocopa confusa (1,54%); Syrphidae.002 (0,77%); Syrphidae.016 (0,77%); Ceratinini.004 (0,77%); Colletidae.005 (0,77%); Fideliinae.001 (0,77%); Fideliinae.002 (0,77%). Tipe habitat ladang atau pada titik pengamatan L08 hingga L11, memiliki jumlah spesies serangga penyerbuk terbanyak ke-dua setelah tipe habitat sawah, yaitu sebanyak 18 spesies dengan 4 diantaranya hanya ditemukan di habitat ladang saja. Keempat spesies yang memiliki penyebaran di tipe habitat ladang saja adalah; Syrphidae.008 (0,77%); Syrphidae.009 (0,77%); Syrphidae.011 (0,77%); Ceratinini.006 (0,77%). Tipe habitat tepi hutan atau pada titik pengamatan H12 hingga H15, memiliki jumlah spesies serangga penyerbuk sebanyak 11 spesies dengan 4
121
diantaranya hanya ditemukan di habitat tepi hutan saja. Keempat spesies tersebut adalah; Apidae.003 (3,08%); Syrphidae.006 (0,77%); Syrphidae.015 (0,77%); dan Syrphinae.001 (0,77%). Permukiman penduduk atau pada titik pengamatan P01, merupakan tipe habitat yang paling sedikit memiliki spesies serangga penyerbuk. Hal tersebut dimungkinkan karena jumlah pengambilan contoh (sampling) di permukiman hanya 1 titik, selain disebabkan oleh faktor kondisi sekitar yang minim akan vegetasi, dan letaknya yang paling jauh dari habitat alami atau hutan. Jumlah spesies serangga penyerbuk yang terdapat di lokasi permukiman ini sebanyak 6 spesies, 4 diantaranya merupakan spesies yang terdapat di keempat tipe habitat, dan 2 sisanya ialah Andrenidae.001 (3,08%) dan Megachilidae.001 (2,31%). Selain ditemukan di lokasi permukiman, Andrenidae.001 juga ditemukan di habitat sawah, sedangkan Megachilidae.001 juga ditemukan di habitat tepi hutan. Spesies-spesies pada habitat permukiman penduduk tersusun atas spesies-spesies yang umum ditemukan pada tipe habitat lain, atau tidak ditemukan spesies yang hanya dapat ditemukan di habitat permukiman ini. Colletidae.002 merupakan morfospesies yang memiliki frekuensi relatif terbesar yaitu 11,54% yang dapat ditemukan di semua titik pengamatan. Morfospesies ini merupakan bagian dari famili Colletidae yang memiliki karakter dapat bersarang di liang-liang tanah maupun lubang-lubang pohon yang mati. Dengan karakter tersebut, Colletidae.002 dapat hidup di berbagai tipe habitat, baik habitat terbuka maupun habitat hutan atau berpohon sehingga Colletidae.002 dapat ditemukan di seluruh titik pengamatan. A. cerana juga dapat ditemukan di hampir semua titik pengamatan, kecuali titik S02 dengan frekuensi relatif sebesar 10,77%. Spesies A. cerana merupakan spesies yang bersarang dengan membuat lubang-lubang di pohon, namun spesies yang dikenal sebagai lebah madu ini terkenal dengan kemampuannya untuk menjelajah cukup jauh dalam aktifitas foraging atau mencari nektar, sehingga Apis cerana dapat ditemukan di semua tipe habitat hingga ke titik P01 yang merupakan titik terjauh dari hutan. Morfospesies Apidae.004 dan Ceratinini sp.002 juga dapat ditemukan di keempat tipe habitat yang ada. Kedua morfospesies ini juga bagian dari famili Apidae seperti Apis cerana yang sering ditemukan bersarang dengan membuat lubang-
122
lubang di pohon dan juga di sela-sela bebatuan. Morfospesies Apidae.004 dan Ceratinini sp.002 diduga memiliki kemampuan jelajah yang sama baiknya dengan Apis cerana karena di sepanjang jalur pengamatan tidak ditemukan adanya daerah dengan kondisi bebatuan terbuka, sehingga Apidae.004 dan Ceratinini sp.002 diduga bersarang pada lubang-lubang di pohon di hutan. Beberapa spesies menunjukan pola penyebaran yang identik ditemukan pada lahan terbuka seperti pada tipe habitat sawah dan pada ladang atau huma. Spesies-spesies tersebut adalah; Ceratinini sp.007; Nomia sp.005; Colletidae.001; Hylaeus sp; Syrphidae.010; Ropalidia sp.001; Andrenidae.001; Apinae.001; Xeromelissinae.001.
Selain
spesies-spesies
tersebut,
juga
terdapat
satu
morfospesies yang memiliki pola penyebaran tidak hanya ditemukan di dalam hutan tetapi juga dapat ditemukan di sekitar hutan, morfospesies ini adalah Trigona sp.001 yang memiliki penyebaran hingga ke habitat ladang. Tidak semua spesies memiliki pola penyebaran yang berkaitan dengan lingkup habitat, karena terdapat 2 spesies yang tidak memiliki pola penyebaran yang jelas atau tidak memiliki kecenderungan, spesies-spesies tersebut adalah Andrenidae.002 dan Megachilidae.001. Morfospesies Andrenidae.002 berasal dari famili Andrenidae, yang mana semua anggota dari famili ini bersarang di liang-liang berdekatan ditemukan pada daerah yang jarang terdapat tumbuh-tumbuhan (Borror et al. 1996) dan sarangnya terkubur di dalam tanah (Gaulet H & J T Huber 1993). Kebanyakan dari andrenid ini bersifat soliter, namun beberapa bersifat komunal, dan tidak ada yang bersifat parasit (Gaulet H & J T Huber 1993). Andrenidae.002 memang banyak ditemukan pada titik-titik pengamatan di habitat terbuka seperti di titik S03, S04, S06, dan L11, dan terkecuali di habitat tepi hutan yaitu pada titik H12 dan H14. Hal ini disebabkan titik H12 dan H14 merupakan titik di habitat tepi hutan yang paling berdekatan dengan habitat ladang, sehingga Andrenidae.002 masih dapat ditemukan meski di kedua titik tersebut tergolong habitat tepi hutan. Morfospesies Megachilidae.001 berasal dari famili Megachilidae memiliki sebutan sebagai lebah pemtong daun, bersarang pada rongga-rongga di alam, terkadang di dalam tanah (Borror et al. 1996), di dalam batang yang berinti, atau bertempat tinggal di dalam kayu (Gaulet H & J T Huber 1993), dan hidup secara
123
soliter (Borror et al. 1996). Megachilidae.001 tidak hanya ditemukan di habitat tepi hutan pada titik H12 dan H14, namun juga di temukan di habitat permukiman penduduk yaitu pada titik P01 yang merupakan titik terjauh dari tepi hutan. Ditemukannya Megachilidae.001 pada habitat permukiman diduga karena habitat permukiman dekat dengan kebun warga yang umumnya ditanami pohon-pohon penghasil buah-buahan. Dengan kondisi di sekitar titik P01 yang seperti itu, sangat memungkinkan bagi Megachilidae.001 untuk bersarang sehingga spesies ini dapat ditemukan di habitat permukiman penduduk meskipun titik P01 merupakan titik terjauh dari tepi hutan. 6. 2. 2 Indeks Kesamaan Jenis Serangga Penyerbuk Tiap titik pengamatan memiliki keragaman jenis maupun komposisi jenis serangga penyerbuk yang berbeda antara satu titik dengan titik yang lain, namun bukan berarti diantara titik-titik pengamatan tersebut tidak memiliki persamaan jenis penyusun komunitas serangga penyerbuk di masing-masing titik pengamatan. Indeks kesamaan jenis Sǿrensen pada Tabel 15 telah menunjukkan tingkat kesamaan keterwakilan atau presents spesies penyusun komunitas serangga penyerbuk di masing-masing titik pengamatan. Dua titik pengamatan dengan indeks kesamaan jenis sǿrensen tertinggi ialah antara titik H12 dengan H14 yang terletak pada habitat sekitar tepi hutan dengan nilai indeks kesamaan 0,92 yang dapat diartikan bahwa kedua titik tersebut memiliki jenis serangga penyerbuk yang hampir serupa (92%). Kemiripan komunitas serangga penyerbuk antara H12 dengan H14 dikarenakan kedua titik tersebut mewakili tipe habitat yang sama yaitu tepi hutan (Tabel 1), dan juga memiliki persamaan jarak yang cukup dekat ke habitat ladang dibanding dengan titik H13 dan H15 (Gambar 2). Faktor persamaan habitat dan jarak antara dua titik pengamatan tidak selalu menjadi penyebab utama tingginya indeks kesamaan jenis. Contohnya pada H12 dengan H13 yang memiliki jarak sekitar 20 meter (Gambar 2) memiliki indeks kesamaan sebesar 0,73, yang ternyata masih lebih kecil bila dibandingkan indeks kesamaan jenis antara H12 dengan H14 yang berjarak lebih jauh yaitu sekitar 30meter (Gambar 2), bahkan indeks kesamaan jenis antar H13 dengan H14 jauh lebih kecil (0,67) meski hanya berjarak 10 meter. Sehingga penyebab utama
124
tingginnya indeks kesamaan jenis antar titik H12 dan titik H14 ialah memiliki persamaan jarak yang lebih dekat ke habitat ladang dibandingkan dengan titiktitik tepi hutan lainnya. Hal tersebut menunjukan bahwa jarak dari tepi hutan dapat menentukan komposisi spesies serangga penyerbuk. Semakin jauh jarak dari tepi hutan yang berbatasan dengan ladang, maka semakin terjadi penurunan kelimpahan dan juga berkurangnya spesies-spesies yang umum ditemukan di tepi hutan, kekurangan yang terjadi pada relung tersebut kemudian diisi oleh spesiesspesies lainnya yang umum ditemukan pada habitat disekitar titik pengamatan. Indeks kesamaan jenis terendah yaitu terdapat pada antar titik H12 dengan S02 dengan nilai kesamaan jenis 0,13 yang mengindikasikan bahwa kemiripan jenis serangga penyerbuk antara dua titik tersebut sangat jauh (13%), atau dengan kata lain bahwa jenis serangga penyerbuk yang ditemukan melimpah di H12 namun hanya sedikit ditemukan di S02, dan juga sebaliknya. Selain karena jarak kedua titik ini terbentang sangat jauh (940 meter), penyebab kecilnya nilai kesamaan jenis kedua titik ini adalah perbedaan tipe habitat yaitu tepi hutan (H12) dan sawah (S02). Hal ini menunjukan bahwa spesies-spesies yang umum ditemukan pada habitat tepi hutan jauh berkurang bahkan tidak ditemukan pada habitat pertanian. Hal senada juga pernah diungkapkan oleh Klein et al. (2003) dalam hasil penelitiannya bahwa nilai keanekaragaman serangga semakin menurun seiring dengan jaraknya yang semakin menjauhi habitat alami. Namun, hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun titik pengamatan yang terletak jauh dari habitat alaminya juga memiliki jumlah spesies yang tidak selalu lebih kecil dari jumlah spesies yang ada di hutan atau pinggiran hutan. Habitat pertanian ternyata masih dapat menyimpan keanekaragaman spesiesnya sendiri dan mampu memberikan tempat hidup yang ideal bagi beberapa spesies, terutama bagi spesies-spesies yang tidak bersarang dengan membuat lubang pada cabang-cabang pohon. Selain itu, menurut Fǽgri K dan Pijl LVD (1971) daerah dimana terjadi kelangkaan lebah sosial maka daerah tersebut akan diambil alih secara fisiognomik oleh lebah-lebah soliter. Berdasarkan pada pola penyebaran spesies, pada penelitian ini menunjukan bahwa lebah-lebah sosial lebih banyak ditemukan di hutan atau di tepian hutan, sehingga kemungkinan lebah-lebah soliter yang
125
tidak hidup di hutan menguasai daerah berbunga yang dalam hal ini adalah titiktitik pengamatan yang jauh dari tepi hutan. Dari hasil penelitian ini ditemukan kejanggalan yaitu titik P01 yang terletak paling jauh dari tepi hutan ternyata memiliki angka indeks kesamaan yang lebih besar dari titik S02 terhadap titik di tepi hutan H12 dan H14 (Tabel 15). Hal ini disebabkan oleh ditemukannya morfospesies Megachilidae.001 di titik P01 yang juga terdapat di titik H12 dan H14, sementara spesies ini tidak ditemukan pada titik-titik pengamatan lainnya. Morfospesies Megachilidae.001 diduga bersarang pada lubang-lubang di pohon sehingga hanya di temukan di habitat tepi hutan, sementara ditemukannya spesies ini di permukiman penduduk diduga karena lokasi permukiman dekat dengan perkebunan masyarakat yang ditumbuhi banyak pohon buah-buahan, atau Megachilidae.001 diduga bersarang dengan membuat lubang pada kayu-kayu kusen di permukiman penduduk. Selain indeks kesamaan, juga terdapat indeks ketidaksamaan yang merupakan kebalikan dari indeks kesamaan. Nilai 1 pada indeks ketidaksamaan ini mengindikasikan tidak ditemukan adanya kemiripan jenis antar dua titik pengamatan yang dibandingkan, sedangkan nilai 0 mengindikasikan bahwa kedua titik pengamatan yang dibandingkan memiliki kesamaan jenis yang sempurna. Diagram pohon tersebut menggambarkan hubungan ketidakmiripan antar titik pengamatan dengan mengunakan satuan indeks jarak hubungan (linkage distance), sehingga dapat terlihat pola pengelompokan titik berdasarkan kemiripan jenis terdekat (Gambar 3). Nilai indeks ketidaksamaan terkecil terdapat pada hubungan titik H12 dan H14 dengan nilai indeks ketidaksamaan 0,08 (Lampiran 13). Rendahnya nilai indeks ketidaksamaan tersebut menunjukan bahwa kedua titik tersebut memiliki persamaan yang tinggi. Pada nilai indeks ketidaksamaan 0,8 seperti yang ditunjukan dengan garis strip (Gambar 4) maka dapat terlihat adanya pembagian 2 kluster atau 2 akar utama, yaitu akar pertama (1) yang menghubungkan 4 titik (H15, H13, H14, dan H12) dan akar ke-dua (2) yang menghubungkan 11 titik sisanya (L11, L10, L09, L08, S07, S06, S04, S03, S02, S05, dan P01). Dengan menunjukan sketsa peta letak titik-titik pengamatan (Gambar 5), maka pada
126
indeks ketidaksamaan 0,8 secara jelas memisahkan kelompok spesies-spesies yang terdapat pada habitat tepi hutan (elips 1) dan non-hutan (elips 2). Elips 1 menunjukan pola kemiripan jenis antar titik-titik H15, H13, H14, dan H12 yang secara kebetulan keempat titik tersebut mewakili habitat tepi hutan. Hal ini menunjukan bahwa spesies-spesies serangga penyerbuk yang berasal dari dalam hutan memberi pengaruh yang besar dalam penyusunan komposisi keragaman jenis di titik-titik tersebut. Elips 1 terlihat memiliki hubungan kemiripan jenis yang paling jauh diantara elips-elips lainnya. Hal ini menunjukan adanya keunikan pada spesies-spesies serangga penyusun komunitas serangga penyerbuk pada habitat tepi hutan yang kemudian dapat dibedakan dengan mudah, atau membedakan spesies mana saja yang merupakan ciri serangga hutan dan spesies mana yang bukan ciri serangga hutan. Elips 2 juga dibuat untuk memperjelas pola kemiripan dari titik-titik yang berada pada habitat non hutan yang terdiri gabungan 3 tipe habitat yaitu habitat ladang, persawah, dan permukiman penduduk. Pada nilai indeks ketidaksamaan 0,8 ini membuktikan bahwa terdapat kemiripan komposisi spesies yang terdapat di ketiga habitat tersebut yang sangat jauh kemiripannya dengan komposisi spesies yang terdapat di hutan. Hal ini dapat ditinjau kembali berdasarkan pola penyebaran spesies (Tabel 14) yang menunjukkan spesies-spesies apa saja yang dapat ditemukan pada masing-masing habitat. Pada batas indeks ketidaksamaan sebesar 0,7 (Gambar 6) menunjukan pola kemiripan yang lebih mendetil pada tiap-tiap titik pengamatan. Secara garis besar, diagram terbagi menjadi tiga akar utama, yaitu akar pertama (1) sebanyak 4 titik (H15, H13, H14, dan H12), akar ke-tiga (3) sebanyak 5 titik (L11, L10, L09, L08, dan S07), dan akar ke-empat (4) sebanyak 6 titik (S06, S04, S03, S02, S05, dan P01). Sketsa peta letak titik-titik pengamatan (Gambar 7) menunjukan pengelompokan 3 akar utama pada indeks ketidaksamaan 0,7 yaitu kelompok kesamaan jenis pada titik-titik di tepi hutan (elips 1), titik-titik di ladang (elips 3) dan titik-titik di sawah dan permukiman (elips 4). Elips 2 pada indeks ketidaksamaan 0,8 terbagi menjadi dua elips yaitu elips 3 dan 4 pada indeks ketidaksamaan 0,7.
127
Elips 3 juga memperjelas pola kemiripan dari titik-titik yang berada pada tipe habitat ladang, kecuali titik S07 yang semestinya termasuk ke dalam habitat sawah (Gambar 7). Letak S07 yang berbatasan dengan habitat ladang menyebabkan keragaman jenis serangga penyerbuk di titik ini banyak disusun oleh serangga-serangga penyerbuk yang biasa ditemukan di habitat ladang seperti morfospesies Ceratinini sp.007, Nomia sp.005, dan Hylaeus sp. Elips 4 dibuat untuk memperjelas pola pengelompokan kemiripan terdekat pada titik-titik pengamatan di habitat sawah yaitu titik S02, S03, S04, S05, dan S06. Meskipun titik S01 mewakili habitat permukiman, namun dikarenakan komposisi spesies di titik tersebut sebagian besar tersusun oleh spesies-spesies yang biasa ditemukan pada habitat sawah maka diagram indeks ketidaksamaan menunjukan relasi yang dekat antara titik S01 dengan titik S05 dan S02. 6. 3 Dominansi Serangga Penyerbuk 6. 3. 1 Dominansi Serangga Penyerbuk di Seluruh Titik Pengamatan Morfospesies Colletidae.002 merupakan satu-satunya spesies serangga penyerbuk yang dapat ditemukan di seluruh titik pengamatan, sekaligus juga sebagai spesies serangga penyerbuk yang jumlah individunya mendominasi di seluruh 15 titik pengamatan, yaitu sebesar 47,52% dengan 355 individu hampir setengah dari total seluruh 747 ekor serangga. Namun sebaliknya, terdapat 13 spesies serangga penyerbuk yang hanya ditemukan pada satu titik pengamatan saja, dan bahkan 11 spesies diantaranya hanya ditemukan 1 individu (singletone species) selama 17 hari pengamatan. Meskipun Colletidae.002 dapat ditemukan mendominasi di seluruh titik pengamatan (Tabel 16) dengan 9 titik diantaranya tercatat dengan nilai dominansi diatas atau sama dengan 50,00%, yaitu dari titik P01 sampai ke titik L09, sehingga Colletidae.002 merupakan spesies serangga penyerbuk yang identik dengan kondisi habitat terbuka, yang dalam penelitian ini adalah habitat-habitat nonhutan. Hal ini didukung oleh beberapa literatur hasil penelitian yang menyatakan bahwa famili Colletidae merupakan golongan lebah-lebah penambal yang membuat liang ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet H & J T Huber 1993; Borror et al. 1996), sehingga dalam penelitian ini Colletidae.002 diduga lebih
128
menyukai kondisi habitat yang terbuka untuk bersarang dari pada habitat yang tertutup rimbunan dan dibawah tajuk pepohonan. Trigona sp.001 merupakan spesies dominan terbesar ke-dua, yaitu dengan nilai dominansi 15,13% dari keseluruhan 747 ekor serangga penyerbuk di 15 titik pengamatan. Spesies ini dapat ditemukan di 6 titik pengamatan yaitu dari titik L10 hingga ke titik H15 (Tabel 16) namun hanya mendominasi di titik L10, H12, H13, H14, dan H15. Trigona sp.001 memiliki nilai dominansi yang besar di 3 titik yaitu H12, H13, dan H15, sehingga dengan kecenderungan tersebut maka spesies ini diduga merupakan spesies yang hidup di habitat tepi hutan atau habitat hutan pada umumnya. Hal ini sesuai dengan oleh pernyataan Gaulet H dan J T Huber (1993) bahwa Trigona sp. sering ditemukan bersarang pada lubang-lubang pohon, batubatu, atau tanah, dan di Asia Tenggara sering ditemukan pada sarang yang terbuka dengan ruang-ruang sel yang tersusun menyerupai sisir tergantung menempel dibawah cabang-cabang pohon. Trigona sp.001 merupakan salah satu spesies dari beberapa lebah yang hidup secara sosial, beraktifitas mencari nektar dengan jumlah kelompok yang besar, namun memiliki jarak penyebaran yang tidak luas. Daya jelajah Trigona sp.001 ini dapat diketahui dari jumlahnya yang mendominasi namun hanya ditemukan di tepi hutan dan di 2 titik di habitat ladang yang terdekat dengan tepi hutan yaitu L10 dan L11. Trigona sp.001 tidak ditemukan satu individu pun pada titik L09 dengan jaraknya 190 meter dari tepi hutan terdekat hingga ke titik terjauh P01 di permukiman penduduk dengan jaraknya 1100 meter dari tepi hutan terdekat. Spesies dominan ke-tiga dari keseluruhan titik pengamatan ialah Apis cerana sebesar 10,84%. Spesies ini dapat dijumpai di semua tipe habitat yang ada, dan hampir ditemukan di semua titik pengamatan kecuali titik S02. Dari 14 titik penyebaran tersebut, spesies ini hanya mendominasi di 9 titik pengamatan, yaitu P01, S06, S07, L08, L09, L10, L11, H12, dan H13 (Tabel 16). Berdasarkan tiap titik pengamatan, spesies ini tidak memiliki nilai dominansi diatas 50% sehingga menunjukan bahwa A. cerana bukanlah suatu spesies dominan utama dalam komunitas serangga penyerbuk di sekitar kawasan TNGHS ini. Nilai dominansi tertinggi A. cerana terdapat di titik L10 sebesar 30,10% dan kemudian nilai dominansi yang lebih rendah setelah itu berturut-turut adalah P01, L11, S07, L09,
129
L08, H12, S06, dan H13 (Tabel 17). Berdasarkan data tersebut, A. cerana terlihat memiliki kecenderungan sebagai spesies yang umum ditemukan pada habitat ladang dan permukiman. Namun berdasarkan hasil studi literatur, A. cerana berasal dari famili Apidae atau biasa disebut golongan lebah-lebahan merupakan famili yang paling umum dikenal oleh masyarakat umum sebagai lebah madu seperti pada kebanyakan genus Apis yang hidup sosial, dan bersarang di lubanglubnag pohon (Borror et al. 1996). Dominansi A. cerana di habitat ladang menunjukan bahwa spesies ini adalah spesies hutan yang memliki penyebaran yang luas dan memiliki kemampuan mencari nektar yang jauh dari sarangnya yang berada di hutan. Hal ini dapat ditunjukan dari Tabel 18. terlihat nilai dominansi yang semakin menurun pada habitat sawah yang merupakan habiat yang jauh dari tepi hutan, dan bahkan spesies ini tidak ditemukan pada titik S02 yang berjarak 940 meter dari tepi hutan terdekat. Namun pada titik P01 pada habitat permukiman yang berjarak 1100 meter dari tepi hutan, dominansi spesies ini kembali meningkat dengan nilai sebesar 17,65%. Hal ini diduga karena habitat permukiman penduduk dekat dengan perkebunan buah-buahan milik warga setempat yang terdiri dari bermacam-macam pepohonan yang rimbun sehingga memberikan tempat bersarang yang cukup ideal bagi A. cerana. Selain terdapat 3 spesies dominan, keanekaragaman serangga penyerbuk di pinggir kawasan TNGHS ini juga tersusun oleh 5 spesies yang berdominansi sedang atau sub-dominan, spesies-spesies tersebut adalah; Ceratinini sp.007 (4,02%), Apidae.004 (3,61%), Colletidae.001 (3,08%), Hylaeus sp. (3,08%), dan Nomia sp.005 (2,14%). Berdasarkan studi literatur, spesies-spesies sub-dominan ini dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok spesies yang memiliki penyebaran di habitat terbuka atau habitat non-hutan dan kelompok spesies yang hidup di hutan. Spesies-spesies sub-dominan yang merupakan kelompok habitat non-hutan adalah;
Colletidae.001
dan
Nomia
sp.005.
Morfospesies
Colletidae.001
berdominansi sedang di titik-titik pengamatan; S06 (2,56%) dan L10 (2,51%), serta spesies ini memiliki nilai dominan pada titik; S02 (8,33%), S03 (6,59%), S04 (10,34%), S05 (11,11%). Titik-titik yang menjadi tempat dominan bagi Colletidae.001 menunjukan bahwa spesies ini adalah spesies serangga penyerbuk
130
yang mengisi relung pada habitat sawah. Famili Colletidae merupakan lebahlebah penambal yang membuat liang ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet H & J T Huber 1993; Borror et al. 1996). Morfospesies Colletidae.001 ini memiliki kemiripan dengan Colletidae.002 dalam hal penempatan habitat, namun Colletidae.002 memiliki penyebaran yang lebih luas dan kelimpahan yang jauh lebih besar dari Colletidae.001. Spesies Nomia sp.005 berdominansi sedang pada titik S07 (4,75%), selain itu spesies ini memiliki nilai dominan pada titik S02 (12,50%), L08 (10,20%), dan L09 (6,25%). Titik-titik yang menjadi tempat dominan bagi Nomia sp.005 menunjukan bahwa spesies ini adalah spesies serangga penyerbuk yang mengisi relung pada habitat terbuka seperti pada sawah dan ladang. Nomia sp.005 merupakan serangga sosial yang mengembangkan spektrum soliter berasal dari sub-famili Nominae famili Halictidae yang bersarang di permukaan tanah dan membuat liang pada tebing-tebing dengan sarang yang saling berdekatan (Borror et al. 1996). Spesies-spesies sub-dominan yang merupakan kelompok habitat hutan adalah; Ceratinini sp.007, Apidae.004, dan Hylaeus sp. Spesies Ceratinini sp.007 berdominansi sedang pada titik L08 (4,08%), dan juga menjadi dominan pada titik-titik S03 (8,79%), S04 (6,90%), S05 (15,56%), S07 (7,14%), dan L09 (8,70%). Genus Ceratinini hidup berkoloni, dengan hampir semua spesies dari genus ini bersarang di kayu dan batang (Gaulet H & J T Huber 1993), atau melubangi sumsum dari batang-batang berbagai semak-semak (Borror et al 1996). Ceratinini sp.007 ditemukan berdominansi pada habitat terbuka dan tidak satupun ditemukan pada habitat tepi hutan. Hal ini diduga karena Ceratinini sp.007 tidak mendapatkan relung pada habitat tapi hutan yang telah terisi dan didominasi oleh spesies-spesies yang umum ditemukan di tepi hutan. Morfospesies Apidae.004 berdominansi sedang pada titik-titik S02 (4,17%), S06 (2,56%), L08 (4,08%), L10 (3,88%), L11 (4,48%), dan H14 (3,45%), sedangkan morfospesies ini berdominan pada titik-titik P01 (5,88%), S04 (5,71%), dan H15 (31,03%). Morfospesies Apidae.004 berasal dari famili Apidae yang juga biasa disebut golongan lebahlebahan yang hidup sosial, dan bersarang di lubang-lubang pohon (Borror et al. 1996). Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya nilai dominansi pada titik H15 yang merupakan titik tepi hutan terdalam atau terjauh dari habitat ladang.
131
Apidae.004 memiliki penyebaran yang luas, daya jelajah yang jauh, dan dapat ditemukan di keempat tipe habitat di pinggir kawasan hutan TNGHS ini, meskipun tidak sebaik A. cerana yang ditemukan di semua titik pengamatan kecuali titik S02. Apidae.004 pun menjadi spesies dominan di habitat permukiman di titik P01 juga diduga karena habitat permukiman penduduk dekat dengan perkebunan buah-buahan milik warga setempat yang terdiri dari bermacammacam pepohonan yang rimbun sehingga memberikan tempat bersarang yang cukup ideal bagi Apidae.004. Spesies Hylaeus sp. berdominansi sedang pada titiktitik S04 (3,45%), S07 (4,76%), L08 (2,04%), dan L09 (2,17%), serta menjadi spesies dominan pada titik L11 (24,19%). Genus Hylaeus dicirikan dengan betina yang tidak memiliki scopa, polen dibawa ke sarang bersamaan dengan nektar. Kebanyakan dari genus ini bersarang di lubang-lubang pohon yang mati atau di batang berongga (Gaulet H & J T Huber 1993), juga pada celah-celah dan liang di tanah (Borror et al. 1996). Dari hasil studi literatur tersebut cukup dapat menjelaskan mengapa Hylaeus sp. ditemukan mendominasi hampir seperempat kelimpahan serangga penyerbuk di titik L11. Kondisi sekitar titik L11 sangatlah ideal bagi spesies ini untuk bersarang, karena di titik terdekat dengan tepi hutan ini banyak dijumpai semak-semak dan tunggak-tungak atau batang-batang pohon yang mati dan melapuk sisa tebangan pohon oleh warga kampung untuk kayu bakar. Hylaeus sp. tidak ditemukan di 4 titik di hutan diduga karena spesies ini lebih mudah menemukan hamparan mekar bunga pada habitat terbuka dibandingkan dengan kemampuan spesies serangga penyerbuk hutan lainnya yang dapat menemukan sepetak hamparan mekar bunga di bawah tajuk pepohonan.
6. 3. 2 Dominansi Serangga Penyerbuk Pada Tiap-tiap Habitat Habitat-habitat yang terdapat di tepi hutan TNHS memiliki kelimpahan spesies dan jumlah individu yang berbeda. Setiap tipe habitat memiliki beberapa spesies yang dominan dan spesies tidak dominan terkecuali hanya pada habitat permukiman yang memiliki komposisi kelimpahan spesies yang keseluruhannya adalah dominan. Hal tersebut dikarenakan habitat permukiman memiliki indeks kemerataan yang sedang EHeip= 0,52 (Tabel 19) yang kemudian akan dibahas lebih dalam pada sub-bab nilai keragaman jenis.
132
Habitat permukiman penduduk didominasi oleh keseluruhan 6 spesies yang ditemukan pada habitat tersebut (Tabel 18) yaitu; Colletidae.002 (58,82%), A. cerana (17,65%), Andrenidae.001 (5,88%), Apidae.004 (5,88%), Ceratinini sp.002 (5,88%), Megachilidae.001 (5,88%). Kemerataan spesies di habitat ini tergolong sedang, atau cukup merata dengan persentase kelimpahan spesies atau dominansi setiap spesies diatas 5,01% sehingga keseluruhan spesies yang terdapat di habitat permukiman penduduk digolongkan sebagai spesies dominan. Lebih dari separuh kelimpahan individu di habitat ini didominansi oleh morfospesies Colletidae.002 (58,82%) dan hampir seperlima kelimpahan individu di habitat ini didominansi oleh Apis cerana (17,65%). Selain karena kedua spesies tersebut merupakan spesies dominan dari keseluruhan titik pengamatan, Colletidae.002 adalah spesies dengan jumlah individu yang sangat melimpah dan umum ditemukan disekitar persawahan, sehingga habitat permukiman penduduk yang berbatasan dengan habitat sawah didomiansi oleh Colletidae.002. Dominansi A. cerana (17,65%) di ini diduga karena habitat permukiman penduduk dekat dengan perkebunan buah-buahan milik warga setempat yang terdiri dari bermacammacam pepohonan yang rimbun sehingga memberikan tempat bersarang yang cukup ideal bagi A. cerana, hal ini terbukti dari nilai dominansi spesies ini di habitat sawah yang tidak lebih besar dari nilai dominansi pada habitat permukiman penduduk dan habitat ladang. Habitat sawah memiliki 4 spesies dominan, 3 spesies sub-dominan atau sedang, dan 15 spesies tidak dominan (Tabel 18). Keempat spesies dominan tersebut
adalah
Colletidae.002
(63,88%),
Ceratinini
sp.007
(7,36%),
Colletidae.001 (6,69%), A. cerana (5,02%). Morfospesies Colletidae.002 mendominasi lebih dari separuh kelimpahan individu di habitat ini, sekaligus menjadi spesies yang memiliki nilai dominansi tertinggi (63,88%) dibandingkan nilai dominansi di ketiga habitat lainnya. Nilai kemerataan yang sangat rendah EHeip=
0,18 (Tabel 19) pada habitat ini menyebabkan dominansi Colletidae.002
terlihat sangat jauh mencolok, terlebih pada habitat ini memiliki spesies tidak dominan terbanyak (15 spesies) bila dibandingkan dengan ketiga habitat lainnya. Dalam hasil penelitian ini, Colletidae.002 adalah spesies yang umum ditemukan disekitar persawahan dengan jumlah individu yang sangat melimpah. Famili
133
Colletidae merupakan lebah-lebah penambal yang membuat liang ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet H & J T Huber 1993; Borror et al. 1996). Colletidae.002 diduga sebagai spesies yang hidup secara soliter dan bersarang di dalam tanah di lahan yang memiliki penutupan tajuk yang rendah. Terdapat teori dalam ekologi serangga penyerbuk yang menyatakan bahwa lokasi dimana terjadi kelangkaan atau rendahnya kelimpahan lebah sosial, umunnya secara fisiognomik peranan akan diambil alih oleh sejumlah besar lebah soliter (Fǽgri & Van Der Pijl 1971). Teori tersebut menjawab pertanyaan mengapa Colletidae.002 sangat dominan di habitat sawah, yaitu karena Colletidae.002 mengisi kekosongan atas terbatasnya kelimpahan serangga penyerbuk sosial seperti A. cerana, Ceratinini.007, Apidae.004, dan juga Trigona sp001 akibat jauhnya jarak titik pengamatan di habitat sawah dari tempat spesies-spesies tersebut bersarang di sekitar tepi hutan. Habitat ladang memiliki 4 spesies dominan, 3 spesies sub-dominan atau sedang, dan 12 spesies tidak dominan (Tabel 18). Keempat spesies dominan tersebut adalah; Colletidae.002 (46,54%), A. cerana (20,38%), Hylaeus sp.001(7,31%), Trigona sp.001 (5,38%). Kondisi habitat ladang yang terbuka masih menjadi tempat bersarang yang ideal bagi Colletidae.002 sehingga spesies ini masih mendominasi di habitat ini. Dominansi Colletidae.002 cukup besar yaitu sebesar 46,45% atau hampir separuh dari keseluruhan serangga penyerbuk di habitat ini, namun tidak sebesar nilai dominansi pada habitat permukiman (58,82%) dan sawah (63,88%). Hal tersebut disebabkan oleh adanya spesiesspesies kompetitor atau pesaing yang merupakan lebah sosial yaitu A. cerana, Hylaeus sp.001, dan Trigona sp.001 yang diduga berasal dari tepi hutan yang tepat berbatasan dengan habitat ladang. Habitat tepi hutan memiliki 5 spesies dominan dan 6 spesies tidak dominan. Habitat ini tidak memiliki spesies-spesies sub-dominan dan hal ini dapat terlihat dari rendahnya nilai kemerataan EHeip=0,31 sehingga perbandingan kelimpahan individu spesies-spesies dominan dengan yang tidak dominan cukup berbeda jauh. Kelima spesies dominan tersebut adalah; Trigona sp.001 (57,89%), Colletidae.002 (19,30%), Apidae.004 (6,43%), A. cerana (5,85%), dan Apidae.003 (5,26%). Kondisi tepi hutan yang memiliki banyak rimbunan dan tegakan pohon menjadi tempat bersarang yang ideal bagi lebah-lebah hutan yang
134
biasa bersarang membuat lubang di pohon dan juga tempat bersarangnya lebah sosial yang dominan seperti Trigona sp.001, Apidae.004, A. cerana, Apidae.003, Megachilidae.001, dan beberapa lalat bunga seperti golongan famili Syphidae. Spesies Trigona sp.001 merupakan spesies yang paling mendominasi di habitat hutan tepian kawasan TNGHS, lebih dari separuh total kelimpahan serangga penyerbuk di habitat ini yaitu sebesar 57,89%. Meskipun habitat hutan bukan tempat bersarang yang baik bagi Colletidae.002, namun lokasi titik-titik pengamatan di tepi hutan yang masih dekat jaraknya dengan habitat ladang memberi pengaruh terhadap komposisi spesies di habitat tepi hutan, sehingga hal ini menjadi alasan tingginya nilai dominansi Colletidae.002 di habitat tepi hutan diatas spesies-spesies serangga penyerbuk yang biasa hidup di hutan seperti Apidae.004, A. cerana, Apidae.003, dan keenam spesies tidak dominan lainnya. 6. 4 Nilai Keanekaragaman Jenis Serangga Penyerbuk Secara umum, nilai keanekaragaman jenis dapat berupa indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis. Ketiga indeks tersebut merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah spesies dan jumlah individu yang ditemukan. Jumlah spesies serangga penyerbuk yang ditemukan di seluruh 15 titik pengamatan ialah 32 spesies yang mencakup keseluruhan 747 ekor serangga. Spesies-spesies tersebut mewakili 7 famili dan 2 ordo, yaitu ordo Hymenoptera dan Diptera.
6. 4 .1 Nilai Keanekaragaman Jenis Serangga Penyerbuk Pada Tiap-tiap Habitat Jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi terdapat di habitat persawahan yaitu sebanyak 22 spesies dengan kelimpahan individu total sebanyak 299 ekor serangga penyerbuk. Hal itu mungkin dikarenakan habitat ini memiliki 6 titik pengamatan, sedangkan habitat lainnya hanya memiliki 4 titik pengamatan, dan pada habitat perumahan penduduk hanya terdapat 1 titik pengamatan. Bila berdasarkan nilai rata-ratannya, maka jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi terdapat di habitat ladang yaitu dengan rata-rata 10,5 speseis dan kelimpahan individu rata-rata 65 ekor serangga (Tabel 19). Dugaan penyebab tingginya rata-rata jumlah spesies di habitat ladang adalah
135
karena habitat ladang merupakan daerah ekoton dari perpaduan habitat hutan dan non-hutan. Hal ini dapat dihubungkan dengan melihat tabel persebaran spesies yang menunjukan bahwa komunitas serangga penyerbuk di habitat ini tersusun atas spesies-spesies yang berasal dari habitat hutan dan habitat lahan terbuka (Tabel 14). Pada habitat ladang ini juga memiliki kelimpahan rata-rata serangga penyerbuk tertinggi diantara ketiga habitat lainnya. Penyebabnya adalah daerah ekoton yang secara ekologi dikenal sebagai daerah yang memiliki kelimpahan individu yang lebih tinggi dari pada habitat asal, karena umumnya daerah ekoton lebih banyak menyediakan relung bagi spesies-spesies, sehingga habitat ladang ini mendapat lebih banyak kunjungan serangga penyerbuk dari dua tipe habitat utama yaitu habitat hutan dan non-hutan. Indeks kekayaan jenis Margalef merupakan salah satu dari berbagai pendekatan sederhana untuk menduga nilai kekayaan spesies pada suatu lokasi yang tidak terlalu terpengaruh oleh banyaknya jumlah pengambilan petak contoh. Indeks kekayaan spesies tertinggi adalah DMg= 3,68 yaitu terdapat di habitat persawahan karena di habitat ini dapat ditemukan 22 spesies yang diantaranya juga termasuk spesies-spesies hutan yang memiliki penyebaran yang luas. Indeks kekayaan spesies terendah adalah DMg= 1,76 yaitu terdapat di habitat permukiman penduduk karena di habitat ini hanya dapat ditemukan 6 spesies. Rendahnya nilai indeks kekakayaan jenis di habitat permukiman penduduk dikarenakan habitat ini tidak memiliki spesies asli, serta lokasinya yang terlalu jauh dari tepi hutan. spesies-spesies di habitat ini berasal dari habitat persawahan yang tidak jauh dari habitat permukiman penduduk, serta beberapa spesies hutan yang diduga berasal dari beberapa kelompok individu spesies lebah hutan yang bersarang di pepohonan perkebunan milik warga setempat yang tidak jauh dari permukiman penduduk. Indeks kekayaan jenis pada habitat hutan lebih rendah dari habitat persawahan, dan sedikit lebih tinggi dari habitat permukiman penduduk, yaitu sebesar DMg= 1,94. Rendahnya indeks kekayaan jenis di habitat hutan dikarenakan komposisi spesies-spesiesnya sebagian besar tersusun atas spesies-spesies asli atau spesies hutan. Karakter kondisi vegetasi di habitat hutan yang lebih tertutup kemungkinan besar membuat spesies-spesies non-hutan tidak tertarik untuk
136
mencari nektar ke dalam habitat hutan, meskipun terdapat beberapa spesies dari habitat non-hutan yang masih dapat ditemukan di titik-titik pengamatan di dalam hutan, salah satunya adalah Colletidae.002 (Tabel 19) Indeks kemerataan sangat erat kaitannya dengan nilai keanekaragaman spesies, dan indeks kemerataan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai dominansi kelimpahan suatu spesies, karena bila jumlah spesies pada suatu lokasi tinggi namun kemerataannya rendah maka akan menghasilkan indeks keanekaragaman jenis yang rendah pula (Krebs 1978). Dalam hasil penelitian ini, indeks kemerataan Heip yang terendah terdapat pada habitat persawahan dengan nilai EHeip= 0,18 dengan kata lain dapat dideskripsikan bahwa komposisi serangga penyerbuk di habitat sawah sangat tidak merata. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya kelimpahan individu dari morfospesies Colletidae.002 dengan nilai dominansi 63,88% atau sebanyak 191 ekor dari total kelimpahan 299 ekor pada habitat tersebut, sedangkan sisa kedua puluh dua spesies lainnya memiliki jumlah individu yang sangat sedikit (Lampiran 2). Indeks kemerataan tertinggi pada hasil penelitian ini adalah EHeip= 0,52 yaitu pada habitat permukiman penduduk. Penyebab lebih tingginya kemerataan individu spesies di habitat ini adalah sedikitnya kelimpahan serangga penyerbuk yang ditemukan selama pengamatan yaitu hanya 17 ekor dari 6 spesies, sehingga peluang ketimpangan jumlah individu antar spesies tidak terlalu besar. Meskipun begitu, pada habitat ini juga didominansi oleh Colletidae.002 dengan nilai dominansi yang sangat besar yaitu 52,82% atau sebanyak 10 ekor dari total 17 ekor serangga penyerbuk, sehingga indeks kemerataan EHeip= 0,52 hanya dikategorikan sebagai kemerataan yang sedang, meskipun merupakan nilai indeks kemerataan tertinggi di seluruh keempat tipe habitat yang ada. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener tertinggi terdapat pada habitat ladang (H’=1,84) sedangkan indeks yang terendah terdapat pada habitat permukiman
(H’=1,28).
Hal
yang sama juga ditunjukan
oleh
indeks
keanekaragaman Hill dimana habitat ladang memiliki nilai indeks tertinggi (N1=6,29) kemudian habitat permukiman memiliki nilai indeks terendah (N1=3,61). Faktor utama yang menyebabkan habitat ladang memiliki nilai tertinggi pada dua indeks keanekaragaman ialah faktor kondisi ladang yang dalam
137
penelitian ini menjadi daerah ekoton atau dareah peraduan dua tipe habitat yang berbeda, yaitu habitat terbuka (non-hutan) dan habitat hutan. Serangga penyerbuk lebih mudah ditemukan pada daerah yang banyak terpapar oleh sinar matahari, hal ini sangat erat kaitannya dengan banyaknya (besarnya) cahaya yang dapat dipantulkan oleh mahkota bunga untuk menarik serangga, disamping faktor jenis dan warna bunga itu sendiri (Atmowidi 2008). Dalam penelitian ini terdapat 2 habitat yang banyak terpapar cahaya matahari yaitu habitat ladang dan sawah. Namun, nilai kedua indeks keanekaragaman di habitat sawah (H’=1,56; N1=4,77) memiliki nilai yang lebih rendah daripada nilai kedua indeks keanekaragaman di habitat ladang (H’=1,84; N1=6,29). Penyebab nilai keanekaragaman di habitat sawah yang lebih rendah daripada habitat ladang diduga terpengaruh oleh faktor jarak dari tepi hutan. Titik-titik pengamatan yang terdapat di sawah memiliki jarak dari tepi hutan (400 – 940 meter) yang lebih jauh dibandingkan titik-titik pengamatan di habitat ladang (110 – 380 meter). Hal tersebut membuktikan bahwa faktor jarak dari hutan memberi pengaruh terhadap indeks keanekaragaman jenis serangga penyerbuk, karena keanekaragaman serangga penyerbuk di dalam hutan akan memperngaruhi keanekaragaman serangga penyerbuk di ekosistem pinggir hutan, terutama karena berkaitan dengan aktifitas foraging (Steffan-Duwenter et al. 2002) Selain faktor jarak dari hutan, faktor banyaknya paparan cahaya matahari lebih memberi pengaruh terhadap indeks keanekaragaman jenis serangga penyerbuk. Hal tersebut dapat ditunjukan dari perbandingan nilai kedua indeks keanekaragaman jenis di habitat ladang (H’=1,84 dan N1=6,29) dengan habitat tepi hutan (H’=1,37 dan N1=3,95). Habitat tepi hutan yang tidak hanya berlokasi paling dekat, namun sekaligus menjadi bagian dari habitat hutan ternyata tidak memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis yang lebih besar dari indeks keanekaragaman di habitat ladang. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi vegetasi di sekitar titik-titik pengamatan di habitat tepi hutan yang keseluruhannya dikelilingi oleh tumbuhan bawah dan sedikit atau banyak ternaungi oleh tajuktajuk pohon di sekitarnya, sehingga kemampuan bunga caisin pada titik-titik pengamatan di habitat tepi hutan ini, dalam fungsinya untuk menarik seranggaserangga penyerbuk menjadi tidak sebaik bila dibandingkan dengan titik-titik
138
pengamatan di habitat sawah dan ladang. Hal ini turut memperkuat hasil-hasil penelitian yang telah menunjukan adanya pengaruh banyaknya paparan cahaya terhadap keanekaragaman jenis serangga penyerbuk pada suatu lokasi (Atmowidi 2008).
6. 4. 2 Nilai Keanekaragaman Jenis Serangga Pada Jarak Yang Berbeda Dari Hutan Titik S03 pada jarak 850 meter dari tepi hutan dan titik L10 pada jarak 120 meter dari tepi hutan memiliki jumlah spesies terbanyak dan sama besarnya meskipun kedua titik tersebut terletak di jarak dan tipe habitat yang berbeda, yaitu sawah (S03) dan ladang (L10). Jumlah spesies yang ditemukan ialah sebanyak 13 spesies yang 8 spesies diantaranya sama-sama ditemukan di kedua titik tersebut (Tabel 20). Sedangkan titik H13 yang terdapat di habitat hutan merupakan titik pangamatan yang paling sedikit ditemukan serangga penyerbuk yaitu sebanyak 5 spesies. Penyebab sedikitnya jumlah spesies pada habitat hutan diduga karena faktor penempatan bunga yang kurang dapat menarik perhatian serangga penyerbuk karena petak bunga kurang terpapar sinar matahari akibat terhalang tajuk-tajuk pepohonan di sekitar titik. Selain itu, faktor habitat sebagai tempat tinggal serangga penyerbuk juga dapat mempengaruhi jumlah spesies yang dapat ditemukan. Titik-titk pengamatan pada habitat hutan sangat jarang mendapat kunjungan dari spesies-spesies yang berasal dari habitat terbuka atau habitat nonhutan. Komposisi spesies pada kedua titik S03 dan L10 sebagian besar disusun oleh beberapa spesies yang biasa ditemukan pada habitat terbuka, namun terdapat perbedaan pada komposisi penyusun kekayaan spesies serangga penyerbuk seperti pada titik L10 yang komposisi serangga penyerbuknya diperkaya oleh spesiesspesies yang umum ditemui pada tepi hutan, hal ini terkait dengan jarak lokasi titik L10 yang lebih dekat dengan hutan (110 meter). Sebaliknya, komposisi serangga penyerbuk di titik S03 pada habitat sawah tidak diperkaya oleh spesiesspesies yang umum ditemukan di tepi hutan, namun penyebab tingginya jumlah spesies di titik S03 ini karena disusun oleh melimpahnya spesies-spesies yang hanya dapat ditemukan di habitat persawahan saja.
139
Tiap titik-titik pengamatan memiliki jumlah spesies yang berbeda meski terletak dalam tipe habitat yang sama, dan begitu juga dengan jumlah kelimpahan serangga penyerbuknya, meskipun di dalam kondisi habitat yang sama namun kelimpahan serangga penyerbuk bisa menjadi jauh berbeda. Kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi terdapat pada titik L10 pada habitat ladang yaitu sebanyak 103 ekor serangga yang didominasi oleh spesies A. cerana (30,10% atau 31 individu) dan morfospesies Colletidae.002 sebesar 39, 81% atau sebanyak 41 individu. Kelimpahan serangga penyerbuk kedua tertinggi ialah pada titik S03 pada habitat sawah yaitu sebanyak 91 ekor serangga yang didominasi oleh morfospesies Colletidae.002 dengan nilai dominansi sebesar 71,43% atau sebanyak 65 individu. Kelimpahan serangga penyerbuk yang tinggi di suatu titik pengamatan cenderung disebabkan oleh tingginya jumlah spesies serangga penyerbuk yang ditemukan, meskipun kecenderungan tersebut tidak selalu benar. Seperti pada titik pengamatan dengan kelimpahan serangga penyerbuk terendah terdapat pada titik P01 pada habitat pemukiman yaitu hanya terdapat 17 ekor serangga penyerbuk yang diwakili oleh 6 spesies, hal ini diduga karena habitat permukiman penduduk bukanlah tempat yang biasa dijelajahi oleh serangga penyerbuk dalam mencari nektar, sedangkan titik pengamatan H13 pada habitat hutan yang hanya diwakili oleh 5 spesies namun memiliki kelimpahan yang lebih banyak yaitu 30 ekor serangga penyerbuk. Hal ini diduga karena hutan merupakan habitat alami bagi beberapa spesies serangga penyerbuk dalam aktivtas mencari nektar sehingga meskipun pada titik pengamatan ini hanya tersusun oleh sedikit spesies namun memiliki kelimpahan yang cukup. Indeks kekayaan spesies Margalef merupakan salah satu dari berbagai pendekatan sederhana untuk menduga nilai kekayaan spesies pada suatu lokasi yang tidak terlalu terpengaruh oleh banyaknya jumlah pengambilan petak contoh. Nilai kekayaan spesies tertinggi terdapat pada titik S02 pada habitat persawahan dengan nilai DMg=2,83. Berdasarkan rumusnya pada Bab III, nilai kekayaan spesies secara sederhana dipengaruhi oleh banyaknya spesies yang ditemukan di titik pengamatan, namun terdapat juga faktor kelimpahan serangga penyerbuk yang menjadi pembaginya, sehingga semakin melimpah serangga penyerbuk pada
140
titik pengamatan maka semakin kecil indeks kekayaan jenisnya. Seperti halnya pada titik S03 dan L10 memiliki jumlah spesies yang lebih banyak dari spesies pada S02 namun kelimpahan individu pada kedua titik tersebut (S03 dan L10) yang sangat melimpah menyebabkan indeks kekayaan spesies di kedua titik tersebut tidak lebih tinggi dari titik S02. Indeks kekayaan terendah terdapat di titik pengamatan H13 dengan nilai DMg=1,18 yang merupakan habitat hutan, hal ini disebabkan karena pada titik pengamatan H13 hanya ditemukan 5 spesies yang merupakan jumlah spesies terendah dari keseluruhan 15 titik pengamatan, selain juga karena faktor kelimpahan serangga penyerbuk yang sedang yaitu 30 ekor serangga. Dalam hasil penelitian ini, ternyata habitat hutan umumnya memiliki indeks kekayaan yang rendah, hal ini disebabkan oleh perolehan jumlah spesies yang kecil namum dengan kelimpahan serangga penyerbuk yang cukup banyak, kecuali pada titik H15 dimana jumlah spesiesnya cukup banyak tetapi kelimpahan serangga penyerbuknya tidak terlalu banyak. Habitat hutan merupakan habitat yang sangat kurang mendapat sinar matahari pada lantai hutannya akibat tertutup tajuk pepohonan, sehingga bunga-bunga yang ditanam di titik-titik pengamatan pada lantai hutan tidak terlalu menarik perhatian serangga penyerbuk karena bunga-bunga tersebut kurang optimal memantulkan cahaya matahari (Atmowidi 2008). Selain itu, faktor habitat sebagai tempat tinggal serangga penyerbuk juga dapat mempengaruhi jumlah spesies yang dapat ditemukan. Titik-titk pengamatan pada habitat hutan sangat jarang mendapat kunjungan dari spesies-spesies yang berasal dari habitat terbuka atau habitat non-hutan. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) serangga penyerbuk pada 15 titik pengamatan berkisar antara H’=0,81 – 1,74. Indeks keanekaragaman tertinggi tercatat pada titik S02 yaitu H’=1,74 pada habitat sawah dengan jaraknya dari tepi hutan sejauh 940 meter, kemudian indeks keanekaragaman ke-2 tertinggi ialah titik L11 yaitu H’= 1,7 pada habitat ladang dengan jaraknya dari tepi hutan sejauh 110 meter. Indeks keanekaragaman terendah tercatat pada titik S06 yaitu H’= 0,81 pada habitat sawah dengan jaraknya dari tepi hutan sejauh 520 meter. Tinggi-rendahnya nilai indeks keanekaragaman yang beragam dari titik P01 hingga ke titik H15 membentuk pola yang fluktuatif. Hal tersebut diduga adanya pengaruh faktor jarak dari hutan dan habitat atau lingkungan biotik sekitar
141
titik pengamatan. Dalam pembahasan ini, indeks keanekaragaman jenis akan dibagi dalam 3 golongan yaitu; indeks diatas 1,5 (H’>1,5); diantara 1,5 dan 1 (1,5≥ H’ ≥ 1); dan dibawah 1 (H’<1). Titik-titik pengamatan yang memiliki indeks lebih besar dari 1,5 (H’>1,5) ialah titik S02, S04, S05, L09, L10, L11, dan H15. Penyebab titik-titik tersebut relatif lebih tinggi dari titik-titik lainnya kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, seperti titik S02, S04, dan S05 lebih dipengaruhi oleh faktor vegetasi di sekitar titik pengamatan. Titik S02 terletak di bawah naungan sebuah pohon aren yang menghasilkan nektar sehingga diduga lokasi ini banyak dikunjungi serangga-serangga pencari nektar yang sebagian besar juga merupakan serangga penyerbuk, sehingga titik S02 ini secara tidak sengaja mendapat kunjungan dari jenis-jenis yang biasa beraktifitas pada pohon aren kemudian datang ke titik pengamatan karena tertarik oleh sepetak kecil hamparan kuning dari warna bungabunga caisin, selain itu penyebab tingginya indeks keanekaragaman pada titik S02 ini adalah jumlah individu dari spesies-spesies penyusun komposisi serangga penyerbuk di titik ini yang lebih merata dan dengan total kelimpahan serangga yang lebih rendah (Tabel 20) bila dibandingkan dengan titik S03 yang memiliki jumlah jenis yang lebih banyak, namun memiliki kelimpahan serangga penyerbuk yang lebih tinggi, dan kemerataan yang sangat rendah. Tingginya indeks keanekaragaman pada titik S04 juga diduga karena penyebab yang sama, yaitu banyaknya jumlah spesies dengan tingkat kemerataan sedang, serta
kondisi
sekitar titik pengamatan yang dekat dengan ladang tanaman ketimun yang sedang berbunga sehingga mudah menarik serangga penyerbuk pengunjung tanaman ketimun untuk datang ke petak pengamatan Titik L09, L10, dan L11 yang berlokasi di habitat ladang memiliki nilai indeks yang cukup tinggi dikarenakan lokasinya yang dekat dengan tepi hutan yaitu berjarak 190 m, 120 m, dan 110 m dari tepi hutan. Habitat ladang lebih terlihat sebagai perpaduan dua habitat (ekoton) yang biasanya memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi. Titik H15 yang berada pada tepi hutan, namun titik pengamatannya lebih masuk ke dalam hutan sehingga memiliki komposisi jenis yang turut disusun oleh jenis-jenis serangga penyerbuk yang khas hanya ditemukan di dalam hutan seperti Syrphidae. 006, Syrphidae. 015, dan Syrphinae. 001, maka indeks di titik 15 terlihat lebih
142
menonjol dibandingkan dengan 3 titik tepi hutan lainnya (titik H12, H13, dan H14). Titik-titik yang memiliki nilai indeks keanekargaman diantara 1,5 dan 1 (1,5>H’>1) ialah titik P01, S03, S07, L08, dan H14. Titik P01 terdapat pada pemukiman penduduk yang berbatasan dengan sawah, dan dekat dengan kebun masyarakat yang ditanami pepohonan buah-buahan. Meskipun titik pengamatan ini miskin akan vegetasi namun titik pengamatan ini dekat dengan kebun buahbuahan penduduk setempat menjadi tempat yang cukup ideal bagi lebah-lebah sosial yang bersarang di lubang-lubang pada pepohonan, sehingga memperkaya jumlah jenis serangga penyerbuk pada titik P01 ini. Titik S03, S07, dan L08 terletak di habitat sawah dengan kondisi sekitar berupa area persawahan seperti pada umumnya, titik L08 merupakan titik yang mewakili habitat ladang namun letaknya berbatasan dengan persawahan yang diairi. Titik H14 terdapat pada habitat tepi hutan yang dikelilingin tumbuhan bawah dan pepohonan dengan penutupan tajuk yang tidak rapat. Pada titik ini sinar matahari jatuh ke petak tanaman caisin sehingga warna kuning dari bunga caisin lebih banyak menarik perhatian serangga dibandingkan pada titik H12 dan H13. Titik-titik yang memiliki nilai indeks keanekargaman lebih kecil dari 1 (H’<1) ialah titik S06, H12, dan H13. Titik S06 diletakan diatas sebuah batu besar tepat diantara dua petak sawah yang sedang dibajak, sehingga tidak ada tumbuhan bunga lain ataupun tanaman pertanian lain disekitar titik pengamatan tersebut, hal ini yang menjadi dugaan penyebab rendahnya nilai keanekaragaman jenis di titik S06, selain dikarenakan faktor jaraknya dari tepi hutan yaitu sejauh 520 meter. Titik H12 dan H13 terletak di habitat tepi hutan namun letaknya yang lebih dekat batas tepi hutan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan tajuk yang cukup rapat sehingga sepetak kecil hamparan kuning dari warna bunga tanaman caisin tidak terlalu terlihat oleh serangga penyerbuk, sehingga kedua titik pengamatan tersebut memiliki keanekaragaman jenis rendah, selain dikarenakan oleh tingginya kelimpahan serangga penyerbuk, serta rendahnya kemerataan individu pada titik H12 sehingga mempengaruhi penilaian indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman Hill (N1) menjadi pilihan alternatif penilaian keanekaragaman jenis selain indeks Shannon-Wiener yang sulit diinterpretasikan.
143
Indeks Hill lebih menekankan pada jumlah spesies yang dapat ditemukan dalam contoh pengamatan bila semua spesies yang didapat dengan setara adalah umum. Nilai indeks Hill tertinggi terdapat pada titik S02 yaitu N1= 5,7 yang dapat diartikan secara langsung bahwa jumlah spesies yang diperkirakan akan ditemukan pada titik pengamatan S02 dalam satu kali pengamatan ialah sebanyak 5,7 spesies. Nilai indeks Hill kedua tertinggi ialah pada titik L11 yaitu N1= 5,5 sedangkan nilai indeks Hill terendah terdapat pada titik S06 yaitu N1= 2,26. Berdasarkan rumusnya pada Bab III, nilai indeks Hill dipastikan selalu berbanding lurus dengan nilai indeks Shannon-Wiener. Oleh karena itu, tinggi rendahnya indeks Hill pada tiap-tiap titik pengamatan juga diduga karena adanya faktor pengaruh jarak dari hutan, habitat atau lingkungan biotik sekitar titik pengamatan, serta kemerataan dan kelimpahan serangga penyerbuk pada titik-titik tersebut, seperti yang sudah dipaparkan dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Indeks kemerataan Heip (EHeip) merupakan salah satu indeks kemerataan yang banyak disarankan oleh para pakar ekologi karena cukup sensitif dalam penilaian yaitu dapat menunjukan nilai yang sangat rendah bila data memperlihatkan perbedaan jumlah antar individu yang sangat jauh. Dalam hasil penelitian ini banyak ditemukan proporsi individu spesies yang sangat jauh tertimpang dalam satu titik pengamatan yang sama, seperti pada titik S03 dimana sebagian besar spesies yang ditemukan hanya memiliki 1 individu namun terdapat satu spesies (Colletidae.002) yang berjumlah hingga 65 individu (Lampiran 16). Indeks kemerataan Heip serangga penyerbuk pada 15 titik pengamatan sebagian besar menunjukan nilai yang tidak merata karena tidak satupun dari 15 titik pengamatan yang mendekati angka EHeip= 1, melainkan hanya berkisar antara 0,19 – 0,54. Nilai indeks kemerataan yang relatif rendah hingga sedang ini menunjukan bahwa kelimpahan tiap-tiap spesies serangga pada semua titik pengamatan tidaklah merata. Titik-titik pengamatan dengan indeks kemerataan yang rendah umumnya memiliki nilai indeks keanekaragaman yang rendah pula bila jumlah spesiesnya sedikit dengan kelimpahan yang besar. Nilai indeks kemerataan Heip tertinggi terdapat pada titik H15 dengan nilai indeks EHeip= 0,54 kemudian indeks kemerataan kedua tertinggi ialah titik P01 dan S02 dengan nilai yang sama besar yaitu EHeip= 0,52. Persamaan dari
144
ketiga titik tersebut ialah jumlah individu spesies dominan (Colletidae.002) yang tidak terlalu tertimpang jauh yaitu berkisar antara 10 – 12 individu (Lampiran 16), dibandingkan dengan spesies-spesies non-dominan yang umum ditemukan 1 ekor. Dari sudut kuantitas spesies dominan tersebutlah yang menyebabkan ketiga titik pengamatan tersebut memiliki nilai kemerataan yang lebih tinggi dari titik-titik pengamatan lainnya, meskipun EHeip= 0,52 – 0,54 masih dikategorikan sebagai nilai kemerataan sedang. Nilai indeks kemerataan Heip terendah terdapat pada titik S03 dengan nilai indeks EHeip= 0,19 yang dapat dikategorikan sebagai nilai kemerataan sangat rendah atau tidak merata. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah kuatitas individu spesies dominan (Colletidae.002) yang sangat jauh tertimpang yaitu 65 individu dibandingkan dengan individu spesies non-dominan yang umumnya berjumlah 1 individu. Perbedaan jumlah individu yang sangat mencolok tersebut dapat dilihat pada (Lampiran 16)
6. 4. 3 Pengaruh Jarak Dari Tepi Hutan Terhadap Komunitas Serangga Penyerbuk Pada beberapa sub-bab sebelumnya telah dibahas tentang kekayaan dan kelimpahan jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kesamaan jenis, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perbedaan habitat telah memberikan pengaruh terhadap komunitas serangga penyerbuk di 15 titik pengamatan, maka pada sub-bab ini membahas lebih dalam tentang pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap jumlah jenis, jumlah individu, dan indeks-indeks keanekaragaman jenis serangga penyerbuk. Titik-titik pengamatan yang berada di habitat tepi hutan (titik H12, H13, H14, dan H15) dihitung sebagai titik nol, dan Komunitas serangga penyerbuk pada titik-titik pengamatan tersebut menjadi titik-titik tolak pembanding dengan titik-titik pengamatan yang jauh dari tepi hutan. Jarak dari tepi hutan turut mempengaruhi jumlah spesies serangga penyerbuk pada titik-titik yang semakin menjauhi hutan. Gambar 8.a telah menunjukan penurunan jumlah spesies dimulai dari jarak 120 meter dari tepi hutan (titik L10) dengan jumlah 13 spesies menurun hingga pada jarak 520 meter dari tepi hutan (titik S06) dengan jumlah 6 spesies. Penurunan jumlah spesies ini
145
erat kaitannya dengan semakin jauhnya jarak dari tepi hutan, karena habitat tepi hutan menjadi tempat ideal bagi beberapa jenis lebah sosial seperti Trigona sp.001, Apidae.004, Apis cerana, Apidae.003, Megachilidae.001, dan beberapa spesies dari famili Syrphidae ordo Diptera. Beberapa dari spesies-spesies tersebut memiliki penyebaran yang jauh sehingga faktor jarak akan sangat mempengaruhi jumlah spesies di titik-titik pengamatan disekitar tepi hutan karena spesies-spesies tersebut dapat menambah kekayaan spesies serangga penyerbuk. Setelah melewati batas jarak 520 meter (titik S06), jumlah spesies kembali mengalami peningkatan secara berkala hingga mencapai jumlah spesies tertinggi yaitu 13 spesies serangga penyebuk pada jarak 850 meter dari tepi hutan (titik S03), namun kembali mengalami penurunan jumlah spesies hingga pada titik terjauh (titik P01) pada lokasi pemukiman penduduk yang berjarak 1100 meter dari tepi hutan, dengan jumlah 6 spesies. Peningkatan kembali jumlah spesies serangga penyerbuk seiring meningkatnya jarak dari tepi hutan dapat disebabkan oleh berkurangnya dominansi atau okupasi spesies-spesies lebah sosial yang berasal dari habitat tepi hutan sehingga spesies-spesies habitat lahan terbuka dapat mengisi kekosongan tersebut. Spesies-spesies yang menggantikan peran serangga penyerbuk
hutan
yang
berkurang
ialah;
Fideliinae.001,
Fideliinae.002,
Colletidae.005, Colletidae.001, Xylocopa confusa, Syrphidae.002, Syrphidae.016, Ceratinini sp.004, dan Ceratinini sp.007. Berdasarkan perolehan hasil penelitian ini, terlihat adanya korelasi positif antar kelimpahan serangga penyerbuk dengan jumlah jenis serangga penyerbuk. Kelimpahan serangga penyerbuk di luar hutan juga mengalami jumlah yang naikturun seiring jaraknya dari tepi hutan (Gambar 8.b). kelimpahan serangga penyerbuk yang dimulai dari titik terdekat dengan jarak 110 meter dari tepi hutan (titik L11) memiliki kelimpahan sebanyak 62 ekor serangga kemudian meningkat drastis menjadi 103 ekor serangga pada jarak 120 meter dari tepi hutan (titik L10) yang sekaligus merupakan kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi dari keseluruhan 15 titik pengamatan. Peningkatan kelimpahan yang drastis ini tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya jumlah spesies pada jarak tersebut, namun juga pengaruh kelimpahan individu dan dominansi yang sangat besar dari spesies Apis cerana (30,10% atau 31 individu) dan morfospesies Colletidae.002 (39, 81% atau
146
41 individu) pada titik pengamatan di L10 tersebut. Hal ini membuktikan kecenderungan bahwa habitat ekoton selalu menjadi tempat yang memiliki kelimpahan yang besar. Setelah melewati jarak 120 meter dari tepi hutan, jumlah jenis serangga penyerbuk mengalami penurunan drastis pada jarak 190 meter dari tepi hutan yaitu dengan jumlah 46 ekor serangga penyerbuk, dan hingga pada jarak 730 meter dari tepi hutan (titik S05) kelimpahan tetap berfluktuatif antara 39-49 ekor serangga. Kelimpahan serangga penyerbuk kembali mengalami peningkatan menjadi 58 ekor serangga penyerbuk dimulai dari jarak 830 meter dari tepi hutan (titik S04) yang kemudian meningkat drastis pada jarak 850 meter dari tepi hutan (titik S03) dengan kelimpahan 91 ekor serangga, dan kelimpahan kembali dengan tajam hingga hanya ditemukan 17 ekor serangga penyerbuk pada jarak 1100 meter dari tepi hutan yaitu pada titik P01 di habitat pernukiman penduduk. Peningkatan kelimpahan yang drastis ini tidak hanya dipengaruhi oleh tingginya jumlah spesies pada jarak tersebut, namun juga pengaruh kelimpahan dan dominansi yang luar biasa besar dari morfospesies Colletidae.002 dengan nilai dominansi sebesar 71,43% dan kelimpahan sebanyak 65 individu dari 91 ekor serangga pada titik pengamatan S03. Sedangkan merosotnya kelimpahan serangga penyerbuk hingga ke angka kelimpahan terkecil yaitu 17 ekor pada jarak 1100 meter dari tepi hutan diduga karena habitat permukiman penduduk bukanlah tempat yang biasa dikunjungi oleh serangga penyerbuk meskipun di habitat tersebut ditemukan 6 spesies serangga penyerbuk, yaitu jumlah spesies yang sama pada titik-titik pada jarak 400 meter dan 520 meter dari tepi hutan. Dengan jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang beragam, maka jarak dari tepi hutan sedikitnya juga memberi pengaruh terhadap indeks-indeks keragaman jenis seperti indeks Shannon-Wienner (H’) dan indeks kemerataan (EHeip). Lampiran 15 menunjukan pola yang fluktiatif sehingga tidak membentuk kecenderungan yang jelas atas bukti keberadaan hutan yang diasumsikan dapat mempengaruhi nilai keanekaragaman spesies di luar hutan. Namun pola fluktuasi pada Lampiran 15 masih dapat terlihat adanya penurunan sedikit demi sedikit pada indeks keanekaragaman yaitu yang dimulai dari jarak 110 meter (titik L11) hingga 190 meter dari tepi hutan (titik S09) dengan nilai
147
H’=1,70 – 1,65, dan kemudian indeks keanekaragaman terus menurun dengan tajam hingga ke nilai terendah H’= 0,81 pada jarak 520 meter dari tepi hutan (titik S06). Hubungan negatif antara semakin jauh jarak dari tepi hutan dengan nilai keanekaragaman spesies ini memperkuat pernyataan bahwa daerah ekoton atau peraduan dua habitat yang berbeda akan selalu memiliki nilai keanekaragaman spesies yang lebih tinggi dari nilai keanekaragaman spesies pada habitat asal. Hal ini terbukti dari nilai keanekaragaman serangga penyerbuk di habitat ladang lebih tinggi dari nilai keanekaragaman pada habitat persawahan, dan juga bahkan lebih tinggi dari nilai keanekaragaman pada habitat dalam hutan itu sendiri. Penurunan nilai keanekaragaman seiring jaraknya dari tepi hutan ternyata tidak terus menurun hingga nol, karena setelah melewati jarak 520 meter dari tepi hutan nilai keanekaragaman secara fluktuatif kembali meningkat. Terjadi peningkatan indeks keanekaragman serangga penyerbuk yaitu H’= 0,81 – 1,68 pada kisaran jarak 520 – 830 meter dari tepi hutan, namun kemudian menurun menjadi H’= 1,19 pada jarak 850 meter dari tepi hutan (titik S03). Pada jarak 940 meter dari tepi hutan indeks keanekaragaman mencapai nilai tertinggi H’= 1,74 dari keseluruhan 15 titik pengamatan, namun pada jarak 1100 meter dari tepi hutan nilai keanekaragaman kembali menurun menjadi H’= 1,28. Berbagai penyebab fluktuasi indeks keanekaragaman di beberapa titik yang jauh dari tepi hutan adalah ditemukannya serangga-serangga habitat terbuka yang memiliki penyebaran terbatas atau hanya dapat ditemukan pada titik pengataman tertentu saja, sehingga meningkatkan perolehan jumlah spesies pada titik pengamatan tersebut, namun faktor kelimpahan serangga penyerbuk serta kemerataan individu dari spesies-spesies di titik pengamatan tersebut menberi pengaruh terhadap penurunan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener. Kejanggalan ini dapat ditelusuri dengan melihat komposisi serangga penyerbuk penyusun komunitas di titik S03. Titik S03 ini yang memiliki jumlah spesies tertinggi dari keseluruhan 15 titik pengamatan yaitu 13 spesies, namum memiliki indeks Shannon-Wiener yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai indeks pada titik-titik sebelum dan sesudah S03. Hal ini disebabkan oleh kelimpahan serangga penyerbuk yang tinggi yaitu 91 ekor serangga, namun nilai kemerataan (EHeip) terendah diantara 14 titik pengamatan lainnya. Tabel 16 menunjukan bahwa dominansi spesies-spesies
148
serangga penyerbuk di titik S03 sangat tidak merata, yaitu didominasi oleh Colletidae 002 sebesar 71,43% atau sebanyak 65 individu, Ceratinini sp.007 sebanyak 8 individu, Colletidae 001 sebanyak 6 individu, A. cerana sebanyak 3 individu, serta 9 spesies lainnya hanya memiliki 1 individu. Kelimpahan serangga penyerbuk yang besar dan dominansi Colletidae 002 pada titik S03 itulah yang menyebabkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menurun cukup tajam disaat kecenderungan meningkatnya indeks keanekaragaman pada titik-titik yang semakin jauh dari tepi hutan. Jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu lokasi mengalami naik-turun seiring jaraknya dari tepi hutan, perubahan kelimpahan dan jumlah spesies tersebut dapat dilebur dalam satuan nilai kekayaan jenis, yang dalam penelitian ini digunakan indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg). Indeks kekayaan jenis pada titik-titik pengamatan pada habitat hutan, yang dalam sub-bab ini dianggap sebagai titik nol, memiliki jumlah spesies dan kelimpahan yang berbeda-beda sehingga memiliki indeks kekayaan jenis yang berbeda-beda pula , yaitu mulai berkisar antara Dmg= 1,25 – 2,08. Seiring menjauhi dari tepi hutan, indeks kekayaan jenis mengalami fluktuasi namun masi dapat terlihat pola penurunan dan penaikannya. Pada jarak 110 – 400 meter dari tepi hutan, indeks kekayaan jenis mengalami penurunan yaitu dimulai dari nilai Dmg= 2,59 ingga Dmg= 1,34. Penurunan indeks kekayaan jenis ini berkaitan erat dengan penurunan jumlah spesies pada titik-titik pengamatan di rentang jarak tersebut yaitu akibat dari menurunnya pengaruh okupasi dan penyebaran spesies-spesies serangga penyerbuk yang umum ditemukan di sekitar hutan seperti Trigona sp.001, Apidae.004, A. cerana, Apidae.003, Megachilidae.001, dan beberapa spesies dari famili Syrphidae ordo Diptera. Setelah melewati batas jarak 400 meter dari tepi hutan (titik S07) hingga ke jarak 940 meter dari tepi hutan (titik S02), indeks kekayaan jenis kembali mengalami peningkatan seiring meningkatnya jumlah spesies pada titik-titik pengamatan hingga mencapai indeks kekayaan jenis tertinggi yaitu Dmg= 2,83 pada jarak 940 meter dari tepi hutan (titik S02). Peningkatan ini juga berkaitan dengan semakin banyaknya jumlah spesies serangga penyerbuk yang ditemukan jauh dari tepi hutan akibat berkurangnya dominansi atau okupasi spesies-spesies
149
lebah sosial yang berasal dari habitat tepi hutan sehingga spesies-spesies habitat lahan terbuka dapat mengisi kekosongan tersebut. Peningkatan indeks kekayaan jenis tidak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah spesies serangga penyrbuk yang ditemukan. Dari jarak 850 – 940 meter dari tepi hutan terjadi pengurangan jumlah spesies yang ditemukan, yaitu dari 13 spesies menjadi 10 spesies, namun indeks kekayaan jenis terus meningkat. Hal tersebut disebabkan oleh cara penghitungan indeks kekayaan jenis Margalef (Dmg) yang menjadikan variabel kelimpahan total individu menjadi faktor pembaginya, sehingga semakin kecil kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu lokasi, maka semakin besar nilai kekayaan jenis pada lokasi tersebut, dengan asumsi penurunan jumlah spesies yang ditemukan tidak terlalu besar. Dalam penelitian ini, penurunan jumlah spesies dari jarak 850 – 940 meter dari tepi hutan, yaitu dari 13 spesies menjadi 10 spesies diikuti dengan penurunan kelimpahan serangga penyerbuk yang sangat besar, yaitu dari 91 ekor menjadi 24 ekor serangga penyerbuk. Pada jarak 940 – 1100 meter dari tepi hutan, kembali terjadi penurunan yang sangat berarti pada indeks kekayaan jenis, yaitu dari Dmg= 2,83 menjadi Dmg= 1,76. Penurunan kekayaan jenis tersebut berkaitan dengan penurunan jumlah spesies yang ditemukan, meskipun kelimpahan pada jarak 1100 meter dari tepi hutan ini juga menurun dari 24 ekor menjadi 17 ekor serangga penyerbuk. Titik P01 yang berjarak 1100 dari tepi hutan ini adalah habitat yang tidak umum bagi serangga penyerbuk untuk mencari nektar, namun indeks kekayaan jenis telah menunjukan hal yang berlawanan karena meski berada pada jarak 1100 dari tepi hutan, namun kekayaan jenisnya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan titik-titik yang ada di habitat hutan (H12, H13, dan H14). Kejanggalan ini dapat dijelaskan dengan membandingkan kelimpahan pada titik P01 dengan titik H12. Kedua titik tersebut memiliki jumlah spesies yang sama yaitu 6 spesies, namun memiliki kelimpahan serangga penyerbuk yang jauh berbeda yaitu P01 memiliki 17 ekor sedangkan H12 memiliki 54 ekor, sehingga indeks kekayaan di hutan tidak lebih tinggi dari permukiman penduduk.
150
6. 5 Faktor Lain Terhadap Nilai Keanekaragaman Serangga Penyerbuk 6. 5. 1 Pengaruh Faktor Jumlah Pemekaran Bunga Terhadap Jumlah Spesies dan Kelimpahan Serangga Penyerbuk Hasil penelitian ini telah menunjukan bahwa jarak dari tepi hutan sedikit banyak telah mempengaruhi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk di berbagai titik pengamatan di empat macam habitat. Namun jarak dari tepi hutan bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, karena faktor jumlah mekar bunga pada suatu lokasi juga dapat mempengaruhi kunjungan serangga penyerbuk (Thompson 2001; Stout et al. 2004; Atmowidi 2008). Hasil penelitian ini pun telah menunjukan bukti yang memperkuat hasil penelitian Atmowidi (2008) seperti pada Gambar 10.a bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara hubungan banyaknya jumlah mekar bunga dengan jumlah spesies yang ditemukan dari total akumulasi keseluruhan hari pengamatan dan di seluruh titik pengamatan, meskipun Atmowidi (2008) menyatakan bahwa jumlah spesies serangga yang ditemukan tidak terlalu terpengaruh dengan banyaknya mekar bunga. Peningkatan jumlah spesies serangga penyerbuk terhadap meningkatnya jumlah mekar bunga ditandai dengan persamaan garis regresi y = 0,0007x+5,2807 berkorelasi positif dengan kemiringan 42,49% (r2=0,4249) dan tingkat signifikan p = 0,0046 (Lampiran 5). Korelasi yang positif dan signifikan juga terdapat pada hubungan antara peningkatan kelimpahan serangga penyerbuk terhadap meningkatnya jumlah mekar bunga dari total akumulasi keseluruhan hari pengamatan dan di seluruh titik pengamatan, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 10.b. Hubungan korelasi posotif tersebut ditandai dengan persamaan garis regresi y = 0,008x+13,046 dengan kemiringan sebesar 68,49% (r2=0,6849) dan dengan tingkat signifikan p = 0,00004 (Lampiran 6). Penanaman tanaman caisin pada titik pengamatan ditujukan agar menghasilkan petak hamparan mekar bunga berwarna kuning yang dapat menarik serangga penyerbuk untuk berkunjung. Pada penelitian ini, bunga-bunga caisin yang terdapat di seluruh titik penelitian terbukti berhasil menarik serangga penyerbuk, namun sangat disayangkan bunga-bunga yang mekar pada tiap-tiap
151
titik pengamatan tidak sama jumlahnya, hal ini diduga sedikit banyak telah memberi pengaruh pada perberbedaan kemampuan petak hamparan di tiap-tiap titik dalam menarik serangga. Salah satu kendala yang dihadapi pada penelitian ini adalah ketidakmampuan peneliti untuk mengatur pertumbuh-kembangan tanaman caisin agar dapat mekar dengan serempak dan dengan jumlah yang sama di semua titik pengamatan, meskipun banyak upaya penyeragaman yang telah dilakukan saat penelitian pendahuluan untuk mengurangi ketimpangan tersebut, seperti penyeragaman asal induk benih caisin, proporsi pupuk organik dan bobot tanah yang seimbang, dan penyeragaman jumlah tanaman di tiap titik pengamatan. Jumlah akumulatif pemekaran bunga selama 17 hari pengamatan pada tiap-tiap titik pengamatan sangat bervariasi yaitu berkisar antara 3536 – 6923 kuntum, begitu juga dengan rata-rata jumlah pemekaran bunga yang berkisar antara 196,45 – 384,61 kuntum bunga per hari (Tabel 5.). Bukti adanya pengaruh faktor jumlah mekar bunga terhadap jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk ditunjukan oleh Gambar 10 (a dan b) yang memperlihatkan hasil bahwa fluktuasi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, khususnya pada titik-titik pengamatan di luar hutan, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor jumlah pemekaran bunga caisin di masing-masing titik pengamatan tersebut. Fluktuasi kelimpahan serangga penyerbuk terus berlangsung mengikuti pola fluktuasi jumlah pemekaran bunga caisin pada titik-titik pengamatan, dari batas terdekat tepi hutan yaitu titik L11 (110 meter dari tepi hutan) hingga ke titik P01 (1100 meter dari tepi hutan). Pada titik S03 (850 meter dari tepi hutan) terjadi peningkatan kelimpahan serangga penyerbuk yang sangat mencolok hingga 91 ekor, hal tersebut selain diduga terjadi akibat dominansi morfospesies Colletidae.002 hingga 71,43% yang disebabkan berkurangnya pengaruh dominansi lebah sosial dari habitat hutan, namun juga diduga akibat jumlah pemekaran bunga caisin yang sangat banyak yaitu 6034 mekar bunga, jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah pemekaran bunga yang terdapat di semua titik-titik diluar hutan. Meskipun jumlah pemekaran bunga caisin memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelimpahan serangga penyerbuk, namun faktor jarak lokasi
152
titik pengamatan dari tepi hutan juga memiliki andil yang cukup signifikan. Hal ini dapat dibuktikan dari Gambar 11. yaitu pada titik L10 (120 meter dari tepi hutan) yang menunjukan bahwa meskipun jumlah pemekaran bunga hanya berjumlah 5399 mekar bunga, namun kelimpahan serangga penyerbuk di jarak ini mencapai 103 ekor serangga, dengan dugaan kelimpahan ini disebabkan karena lokasinya yang terdapat pada daerah ekoton sehingga lokasi ini banyak mendapat kunjungan serangga penyerbuk dari habitat hutan dan non-hutan. selain itu, terdapat pula bukti bahwa jumlah mekar bunga tidak terlalu signifikan pada titiktitik pengamatan H15, H14, H13, dan H12, yang berada di habitat hutan yang memiliki persamaan yaitu sebagai titik 0 meter (nol) dari tepi hutan. Kelimpahan serangga penyerbuk pada keempat titik pengamatan di habitat hutan ini tidak terlalu mengikuti pola naik-turunnya jumlah pemekaran bunga yang terdapat di masing-masing titik pengamatan. Sehingga dalam penelitian ini, jumlah pemekaran bunga caisin memberikan pengaruh yang besar terhadap kelimpahan serangga penyerbuk di tiap-tiap titik pengamatan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah spesies serangga penyerbuk. Kelimpahan serangga penyerbuk per 1000 jumlah mekar bunga (Lampiran 17) dianalisa untuk menyeragamkan kelimpahan serangga penyerbuk untuk mengurangi bias akan adanya pengaruh faktor jumlah mekar bunga. Namun pengaruh faktor jarak tetap tidak lebih besar dari pengaruh mekar bunga terhadap kelimpahan serangga penyerbuk.
6. 5. 2 Pengaruh Faktor Suhu Udara Sekitar Terhadap Jumlah Spesies dan Kelimpahan Serangga Penyerbuk Serangga merupakan binatang berdarah dingin atau poikilothermal yang memiliki suhu tubuh yang tidak tetap atau naik turun mengikuti suhu lingkungannya (Sunjaya 1970). Binatang berdarah dingin umumnya memerlukan panas agar dapat beraktifitas dan membuat metabolisme tubuh berjalan dengan baik. Dikarenakan serangga penyerbuk memerlukan panas yang hanya didapat dari suhu lingkungannya sehingga faktor suhu diprediksi dapat mempengaruhi nilai kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu titik pengamatan. Sunjaya (1970) juga menambahkan pernyataan bahwa sebagian besar jenis serangga hidup pada
153
lingkungan di dekat dan dibawah permukaan tanah, maka suhu muka tanah dan suhu diatas permukaan tanah menjadi tolak ukur dalam mempelajari serangga. Suhu udara rata-rata yang diukur di tiap titik pengamatan berkisar antara 22,5 – 30,5 ˚C, dengan suhu rata-rata pada habitat hutan adalah 23 – 25 ˚C, pada habitat ladang 22,5 – 30,5 ˚C, pada habitat sawah 25 – 29 ˚C, dan pada habitat permukiman penduduk 28,5 ˚C (Lampiran 1). Suhu rata-rata pada habitat ladang memiliki kisaran yang sangat jauh dan ekstrim dikarenakan kondisi vegetasi dan topografinya. Titik-titik pada habitat ladang ialah titik L08 – L11 dengan jarak titik berkisar antara 380 – 110 meter dari tapi hutan. habitat ladang memiliki suhu yang paling rendah (22,5 ˚C) dikarenakan angin dingin bertiup kencang pada pagi hari di titik-titik pengamatan yang terletak di punggung bukit tanpa terhalang pepohonan. Begitu puga dengan suhu tertinggi yang mencapai (30,5 ˚C ) pada siang hari akibat paparan sinar matahari yang sangat intensif tanpa penutupan tajuk pepohonan disekitar titik pengamatan yang telah dimulai sejak pukul 09:00 WIB. Atmowidi (2008) menyatakan bahwa suhu udara dan intensitas cahaya umunya berkorelasi positif dengan kelimpahan serangga penyerbuk, meskipun beberapa spesies lebah memiliki respon yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Dalam penelitian ini, faktor suhu juga menunjukan korelasi yang positif dengan kelimpahan serangga penyerbuk, namun memiliki nilai signifikan yang sangat rendah, seperti yang ditunjukan dengan persamaan regresi (Gambar 12.b) yaitu y = 1,7202x + 3,9848, dengan nilai p = 0,5188 (Lampiran 8). Hal ini dapat disebabkan karena serangga memiliki batasan suhu udara yang optimum untuk beraktifitas sehingga pada suhu udara diatas suhu optimum, maka aktivitas serangga penyerbuk akan kembali menurun. Suhu optimum serangga darat adalah sekitar 26˚C dengan kisaran suhu maksimalnya adalah 48 – 50 ˚C, sedangkan titik-titik estivasi berada disekitar 38 - 50˚C (Sunjaya 1970). Roubik (1989) turut menyatakan bahwa Aktivitas terbang pada lebah memerlukan suhu thoraks minimum 25 – 30 ˚C dan maksimum 45 – 50 ˚C. Meskipun begitu, dalam penelitian ini suhu udara yang optimun tersebut tidak selalu diikuti dengan jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang tertinggi.
154
Jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk tertinggi dalam hasil penelitian ini berada pada suhu udara rata-rata 27 ˚C yaitu pada titik L10 (120 meter dari tepi hutan) terdapat 13 spesies dengan kelimpahan 103 ekor serangga penyerbuk, namun dengan suhu udara rata-rata yang sama (27 ˚C) pada titik S05 (730 meter dari tapi hutan) hanya terdapat 9 spesies dengan kelimpahan 45 ekor serangga penyerbuk., bahkan pada titik S06 (520 meter dari tepi hutan) yang bersuhu udara rata-rata 26,5 ˚C memiliki jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang rendah yaitu 6 spesies dengan kelimpahan 39 ekor serangga penyebuk (Lampiran 1). Pada titik-titik pengamatan dengan suhu udara rata-rata 25 ˚C yaitu pada titik H14 dan S07 (0 dan 400 meter dari tepi hutan) memiliki jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang sedang yaitu sebanyak 7 dan 6 spesies dengan kelimpahan 58 dan 42 ekor serangga penyerbuk. Dengan menggabungkan seluruh data suhu udara di seluruh 15 titik pengamatan, maka terlihat perbedaan rata-rata suhu udara saat pengamatan pada titik yang memiliki jarak yang berbeda-beda dari tepi hutan. Fluktuasi jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk pada jaraknya yang semakin menjauhi tepi hutan, tidak terlalu mengikuti pola turun-naik suhu udara rata-rata pada titik pengamatan tersebut, bahkan pada suhu udara rata-rata yang optimun ternyata tidak diikuti dengan jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk yang tinggi (Gambar 13). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya pengaruh faktor suhu udara terhadap jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, tidak lebih besar dari pengaruh faktor jarak lokasinya dari tepi hutan.
6. 5. 3 Pengaruh Faktor Kelembaban Udara Sekitar Terhadap Jumlah Spesies dan Kelimpahan Serangga Penyerbuk Serangga di daerah tropis, khususnya serangga penerbang menyukai lingkungan dengan kelembaban yang lebih rendah karena dengan sayap yang kering maka serangga penerbang yang dalam hal ini adalah serangga penyerbuk akan lebih leluasa dalam beraktivitas foraging atau mencari nektar dan polen (Atmowidi 2008), sehingga kelembaban udara diprediksi memiliki korelasi negatif dengan kelimpahan serangga penyerbuk. Namun dalam penelitian ini faktor kelembaban udara tidak memberi pengaruh yang signifikan kepada jumlah
155
spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk, seperti yang ditunjukan oleh Gambar 14 (a dan b) bahwa nilai p pada variabel jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk diatas nilai 0,05 atau p > 0,05 meskipun persamaan garis regresi hubungan jumlah spesies dengan kelembaban menunjukan adanya penurunan yaitu y = 0,1287x – 18,528 (Lampiran 9) dan penurunan pada hubungan kelimpahan serangga penyerbuk dengan kelembaban udara mununjukan adanya korelasi negatif yang sangat kecil yaitu y = 0,0876x – 56,512 (Lampiran 10). Atmowidi
(2008)
dalam
hasil
penelitiannya
menyatakan
bahwa
kelimpahan serangga penyerbuk pada pertanaman caisin ditemukan tinggi pada kisaran kelembaban udara 67 – 85%. Namun dalam hasil penelitian ini, jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk sangat bervariatif meskipun dalam rentang kelembaban udara yang sama. Titik L10 yang jaraknya 120 meter dari tepi hutan dengan kelembaban udara rata-rata 76,5% memiliki kelimpahan tertinggi yaitu 103 ekor serangga penyerbuk, namum titik S04 yang jaraknya 830 meter dari tepi hutan dengan kelembaban udara rata-rata yang hampir sama yaitu 75% memiliki kelimpahan yang lebih kecil yaitu 58 ekor serangga penyerbuk. Ironisnya, pada titik-titik pengamatan S02, S05, dan S06 (berjarak 940, 730, dan 520 meter dari tepi hutan) dengan kelembaban udara rata-rata terendah yaitu 69% justru memiliki kelimpahan yang rendah pula yaitu berkisar antara 24 – 45 ekor serangga penyerbuk saja. Nilai kelembaban udara rata-rata di setiap titik pengamatan pun berbedabeda seiring jaraknya dari tepi hutan, namun pola fluktuasi kelembaban udara rata-rata ini tidak menyerupai pola fluktuasi kelimpahan serangga penyerbuk maupun pola fluktuasi jumlah spesiesnya (Gambar 15). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa besarnya pengaruh faktor kelembaban udara terhadap jumlah spesies dan kelimpahan serangga penyerbuk pada suatu lokasi, tidak lebih besar dari pengaruh faktor jarak lokasinya dari tepi hutan.