Tanah untuk Petani dan Upah yang Layak untuk Buruh adalah HAM Gunawan1 A. HAM: Hak Konstitusional dan Hak Legal Dalam sejarahnya, Konstitusi Indonesia, baik di masa UUD 1945 semasa perang revolusi kemerdekaan (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), sebagai konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 – 27 Agustus 1950) dan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga masa Rezim Militer Orde Baru dan presiden Habibie, UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan UUD 1945 yang diamandemen, mengakui hak-hak ekonomi, sosial, budaya (Ekosob) warganya dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Seluruh konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia mengakui kedudukan HAM sebagai hal yang penting. Hanya saja, seluruh konstitusi itu berbeda dalam menerjemahkan materi muatan HAM dalam UUD. UUD 1945 periode I (1945-1949) hanya menegaskan kedudukan asasi warga (HAW). Konstitusi RIS 1949 (1949-1950) dan UUDS 1950 (19501959) memberikan kepastian hukum yang tegas tentang HAM. Namun, agak kurang bisa diaplikasikan karena persoalan waktu dan suasana politik yang tidak stabil. Berlakunya kembali UUD 1945 Periode II (1959-1998) tidak jauh berbeda dengan materi muatan HAM dalam UUD 1945 Periode I. Paling akhir, sebagaimana yang berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai HAM telah memperoleh jaminan konstitusional yang sangat kuat. Penderitaan panjang akibat kolonialisme, mendorong para founding fathers Republik Indonesia, meletakan landasan hak asasi manusia, demokrasi, dan negara hukum dalam perdebatan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia – Dokuritzu Zyumbi Tioosakai) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian melahirkan Pancasila dan UUD 1945. “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan”, adalah memiliki maksud yang sama dengan Artikel 1 Duham: “All human`being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and consciense and should act towards on another in a spirit of brother hood”. Penghormatan negara atas hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial dan budaya tercermin dari alinea 4 Pembukaan UUD 1945: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
1 Penulis adalah Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Makalah untuk Seminar dan Lokakarya Nasional tentang Menuju Perlindungan dan Pemantauan yang Efektif Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Indonesia oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Universitas Oslo Norwegia.
1
Perumusan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang lebih dahulu daripada Deklarasi Hak Asasi Manusia, menunjukan bahwa HAM adalah nilai-nilai universal yang bisa berlaku dalam konteks nasional dan lokal. Dalam konteks legal formal, Hukum Hak Asasi Manusia Internasional (International Law of Human Rights) adalah perjanjian (treaty) antar negara. Karena merupakan perjanjian antar negara, maka dalam hukum asasi manusia internasional, negara adalah subyek hukum. Dengan pengertian, negara-negara peserta (states parties) perjanjian mempunyai kewajiban (obligation) dan tanggung-jawab (accountability), yaitu kewajiban yang harus diberikan kepada warga negara yang meliputi tiga kewajiban pokok (core obligation): Pertama. Negara berkewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia warganya; Kedua. Negara berkewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia warganya; Ketiga. Negara berkewajiban memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia warganya. Di tingkatan nasional, Indonesia telah memiliki instrumen HAM dan mekanisme HAM nasional, antara lain Undang-Undang Nomer 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomer 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa konvenan internasional HAM, diantaranya Konvenan Internasional Hak Sipil-Politik, Konvenan Internasional Hak Ekosob, Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Bentuk Lain Perlakuan atau Hukuman Tak Manusiawi, Konvenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvenam tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi ILO (organisasi buruh internasional) No 182 tentang Tindakan Segera untuk Menghapuskan dan Mengurangi Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak dan lain-lain, sedangkan mekanisme HAM nasional di Indonesia antara lain Komnas HAM, Pengadilan Ham, Class Action, Legal Standing, dan Judicial Review. B. Peluang dan Tantangan; Justiciability Hak Ekosob Hak Ekosob merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya sangat penting bagi martabat manusia. Hak ini mendapat landasan legal yang luas dapat berlaku secara universal dan pelanggarnya dapat dituntut. Guna mengukur ada tidaknya realisasi hak Ekosob, dapat didekati dengan mengembangkan kewajiban korelatif yang mencakup kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi. Pelanggaran atasnya juga dapat diajukan ke pengadilan antara lain dengan mengintegrasikan hak tersebut dengan hak sipil-politik, maupun dengan menggunakan wewenang hakim untuk memberi penilaian sejauh mana sebuah kebijakan (ekonomi-sosial) melanggar HAM. Persoalannya, penegakan atas hak ini masih jauh dari kepedulian. Pasalnya, fokus pemenuhan HAM masih berpusat pada mereka yang disiksa, hilang secara paksa, maupun yang dibungkam. Padahal, pelanggaran Hak Ekosob acapkali merupakan akar dari lahirnya pelanggaran Hak Sipol. Perampasan hak Ekosob tersebut bisa berupa penggusuran, bertambahnya angka busung lapar, buruknya sanitasi, mahalnya pendidikan, dan sebagainya. Negara sesuai obligasinya, mengupayakan langkah-langkah yang terencana, deliberatif, konkrit, mempunyai target, dan dapat dilakukan dalam memenuhi hak ekosob warga negaranya. Namun, upaya terencana ini tidak menegasikan adanya hak-hak ekosob yang sifat pemenuhannya bersifat seketika. Hak-hak dasar seperti pangan, kesehatan, perumahan, pekerjaan dan pendidikan dinikmati, dengan difasilitasi serta disediakan oleh negara. Pelanggaran kewajiban oleh negara memiliki akibat yang mengerikan. Sehingga, hak-hak ekosob sebagai hak
2
konstitusional dan hak legal harus bisa menjadi klaim hukum rakyat yang dapat diajukan jika negara gagal memenuhi kewajibannya. Judicial review adalah upaya membatalkan undang-undang apabila undang-undang tidak sesuai konstitusi. Dalam pelaksanaan suatu judicial review, peran dari pengadilan adalah untuk mempertimbangkan fakta-fakta beserta aturannya, dan memutuskan absah tidaknya keputusan yang diperiksa. Dan indikator sederhana yang bisa dipakai dalam mengukur realisasi tanggung jawab negara dalam memenuhi, melindungi serta menghormati hak ekosob, dapat dilihat dari availability, accessibility, acceptability, dan quality. C. Judicial Violences Memfasilitasi Capital Violences Konsesi-konsesi yang dibuat oleh lembaga-lembaga modal internasional selalu melahirkan malapetaka bagi masyarakat dunia ketiga. Pasalnya, kesepakatan tersebut akan ditindaklanjuti para “pengampu negara terjajah” dengan melahirkan pelbagai kebijakan yang mendukung kepentingan internasional, baik secara hukum maupun politik. Buntutnya, kebijakan-kebijakan tersebut dalam prakteknya di lapangan, memunculkan kriminalisasi atas sikap rakyat yang sesungguhnya dilindungi konstitusi. Hal-hal yang notabene merupakan hak dasar warga negara, kini berubah hukumnya, menjadi “haram” bagi rakyat. Pelbagai perjuangan rakyat yang bertujuan memperoleh, mengelola dan memperjuangkan hak ekonomi, sosial dan budayanya (ekosob) justru ditanggapi negara cq. pemerintah dengan pengerahan aparat represif negara (TNIPolri), dan berimbas pada tindak kekerasan serta kriminalisasi. Sehingga, persoalan ini akhirnya merembet tak semata-mata kasus pelanggaran hak ekosob, namun telah pula menjadi pelanggaran hak sipil-politik (sipol). Sebut saja; Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Undangundang ini merupakan bagian dari syarat World Bank untuk pencairan US$ 300 juta, pinjaman (utang luar negeri) untuk program restrukturisasi air yang biasa disebut WATSAL (Water Resources Sector Adjustment Loan) yang telah ditandatangani pada bulan April 1998. Progam LAP (Land Administration Project) dan dilanjutkan dengan Land Policy Management Reform progam dari Bank Dunia melahirkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan sebagai dasar keluarnya Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Agraria. Infrastructur Summit 2005 yang melahirkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dan Letter of Intent antara Indonesia dengan IMF (International Monetary Fund) melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, serta Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual BBM. Pun Forestry Sector Adjustment (Penyesuaian Sektor Kehutanan) melahirkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. Pun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas mewakili potret kebijakan yang pro-modal dan mengancam keselamatan rakyat. Undang-undang ini tidak banyak berbeda dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Umum yang telah melahirkan tingginya tingkat pelanggaran HAM, sengketa rakyat dan pemiskinan di lokasi-lokasi pertambangan.
3
Daftar Kekerasan Negara cq. Pemerintah Dengan Menggunakan Hukum No. 1.
2.
Produk Hukum Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Kebijakan Modal Privatisasi Sumber Daya Air
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Kasus
Lokasi
Sengketa mata air Sigedang
Klaten-Jawa Tengah
Proyek Perumahan Nasional
Penggusuran pemukiman rakyat Cakrawala Baru
Kel. Gisikrodo, Kec. Semarang Barat, Kab. Semarang Jawa Barat
Investasi proyek bandara
Kasus Tanak Awu
Desa Tanak Awu Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah NTB
Tata kota
Penggusuran PKL Terminal Joyoboyo
Surabaya Jawa Timur
3.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Eksploitasi, eksplorasi dan HGU
Kasus Freeport
Kabupaten Timika Papua
4.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Perluasan HGU
Kasus Petani Woloboa vs PT. Kyoko Sinju Indonesia
Woloboa, Kab. Sikka, NTT
Keterangan 419 hektar lahan pertanian terganggu karena sumber air diprivatisasi oleh PT. Danone Aqua Pertengahan Desember 2005, dengan memakai preman, warga diusir. Namun warga menolak. Maka, Bambang Darmono ditangkap (17 februari 2006) oleh pihak kepolisian (POLWILTABES). Perampasan tanah petani untuk pembangunan bandara; Kekerasan Polisi, Brimob dan pam swakarsa terhadap petani; 3 orang petani diadili dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan Tanggal 3 April 2006 kios-kios tempat PKL hancur dibongkar dengan alat berat milik Dinas PU Binamarga dan Pematusan Surabaya. 6 Maret 2006, bentrokan warga dengan aparat, mengakibatkan tiga polisi dan seorang anggota militer tewas. 10 warga Woloboa ditahan pada 28 Juli 2005 dengan tuduhan perusakan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah perampasan tanah masyarakat adat oleh PT. Kyoko Sinju yang merupakan milik Jepang
4
5.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Perluasan HGU
Register 40 Padang Lawas
Kec. Simangambat, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara
Perluasan HGU
Kasus Teluk Dalam
Perluasan HGU
Kasus petani Deli Sedang vs PT. Anugerah Tambak Perkasindo (ATP)
Desa Teluk Dalam, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara Desa Pematang Lalang, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang, Sumut
Perluasan HGU
Kasus Bohotokong
Bohotokong, Kab. Banggai, Sulawesi Tengah
Perluasan HGU
Kasus Pasir Mandoge
Desa Sei Kopas, Kecamatan Bandar Pasir Mandoge, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara
Kasus Puncu
Desa Manggis, Kec. Puncu, Kab. Kediri Jawa Timur
Sejak tahun 1998 sampai sekarang, DL. Sitorus merampas tanah seluas 8000 hektar yang ditanami oleh masyarakat. Tindakan ini langsung mendapati reaksi dari masyarakat. Perampasan tanah untuk perluasan HGU PT. Padasa Enam Utama, dengan PTPN IV Teluk Dalam sebagai eksekutor; intimidasi oleh aparat TNI. 17 Juni 2005 pukul 12.30, terjadilah bentrokan antara ratusan petani dengan puluhan preman beratribut Pemuda Pancasila Kab. Deli Serdang yang menjagai kebun PT. ATP tanah sengketa. konflik agraria antara petani dan konglomerat Bunta Jhony Nayoan karena persoalan HGU 27 Maret 2006, sekitar 100 orang Security PT Bakrie Sumatera Plantations (PT BSP) yang dikawal oleh 6 anggota Brimob dan 4 anggota polisi menggunakan 3 buah truk, dengan buldozer merusak lahan petani Tanggal 26 Oktober 2005, 8 petani (Juwari, Wakidi, Widodo, Rebo, Miskam, Mujiyem, Slamet, Satinem) ditahan di Polsek Puncu gara-gara membuka lahan
5
HPH
6.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Labor Market Flexibility
7.
Peraturan Daerah DKI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Swastanisasi RSUD
Swastanisasi
Kasus Muna
Daerah Kontu, Patupatu, Lasukara, Wawase, Kecamatan Katobu, Kabupaten Muna, Sulawesi
Kasus Register 45
Sungai Buaya, Tulang Bawang, Bandar Lampung
Kasus Cisurupan
Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat Woloboa, Kab. Sikka, NTT
Kasus Woloboa. Buruh vs PT. Kyoko Sinju Indonesia Penolakan RSUD merawat orang miskin
DKI Jakarta
Januari 2003, Bupati Muna memerintahkan kepada tim terpadu untuk melakukan penggusuran, pembakaran rumah gubuk, dan intimidasi terhadap 1000-an KK yang tengah berkebun. Perampasan tanah untuk kebutuhan PT. Silva Inhutani; kekerasan keamanan Pt. Silva Inhutani dengan dikawal Brimob dan Dalmas. 3 petani ditangkap
Pertengahan tahun 2005 PT. Kyoko Sinju Indonesia melakukan PHK sepihak. 27 Juli 2005, Zulfikri, bayi prematur anak keluarga tidak mampu Husein (22) dan Laelasari (20) ditolak 6 rumas sakit; RSUD Budhi Asih, RSCM, RSPAD Gatot Subroto. Penolakan itu dialami Husein karena tak mampu membayar uang administrasi sebesar Rp 700.000 yang disodorkan pihak RS.
Khusus untuk merespons perihal investasi negeri ini, pemerintah lantas mengeluarkan paket kebijakan peningkatan iklim investasi melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006. Dalam rangka peningkatan iklim investasi inilah rencana revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan sempat terlontar. Tiga pilar kebijakan pun mengiringi. Pertama, paket kebijakan untuk menggerakkan pembangunan infrastruktur dan investasi pada umumnya. Kedua, perbaikan sistem kepabeanan, perpajakan, perizinan investasi, dan berbagai prosedur birokrasi guna mempercepat proyek-proyek besar yang tertunda. Kesepakatan ExxonMobilOil dengan Pertamina menjadi salah satu realisasinya. Paket selanjutnya terkait pelbagai skema pembiayaan guna mendukung peningkatan kapasitas investasi dunia usaha.
6
Menurut teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan juga produksi) dari kapital barang-barang yang tidak dikonsumsi, namun digunakan untuk produksi yang akan datang. Hanya saja, dalam konteks ekonomi Indonesia, investasi kemudian berelasi dengan kooptasi kapital asing, dan penggadaian kepentingan serta kedaulatan nasional oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi dibayar dengan membubarkan tanggung jawab negara. Orientasi pada pertumbuhan ekonomi secara membabibuta ditunjukkan dengan dibukanya jalur hubungan ekonomi dengan negara-negara maju (industri) serta pelbagai perjanjian ekonomi dengan beberapa instansi ekonomi dunia. Jalur industri dengan mainstream multinasional akan melakukan strategi penyerangan global melalui pengembangan kapasitas produksi barang jadi dan membuka pasar-pasar baru lewat kerja sama. Mekanisme pasar menjadi paling dominant, dan menggeser peran negara dalam hal tanggung jawab sosial ekonomi. Tak ayal, yang terjadi adalah tanggung jawab sosial bisnis tak lain hanyalah menggunakan seluruh sumber dayanya untuk aktifitas yang mengabdi pada akumulasi laba. Lantaran merasa frustasi dengan kebijakan ekonomi tertutup dan subtitusi impor, maka dibukalah pasar domestik, dan kemudian mempraktekkan kapitalisme pasar bebas. Alhasil, internasionalisasi perdagangan dan keuangan makin pesat berkembang, meningkatnya kekuatan perusahaan multinasional ataupun transnasional, serta semakin kuatnya pengaruh dan peran World Bank (WB), World Trade Organization (WTO), dan Internasional Monetery Found (IMF). Di mana dalam operasinya, lembaga-lembaga tersebut merupakan kepanjangan tangan dari beberapa negara industri dan sektor usaha yang juga terwakili melalui terselenggaranya bisnis-bisnis multinasional atau transnasional. Fakta ini semakin nyata adanya. Seperti yang diungkapkan oleh John Perkins, bekas seorang economic hit man (EHM), di buku Confessions of an Economic Hit Man tentang skenario kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi Amerika Serikat. Dalam ”pengakuan dosanya” tersebut ia menulis: ”Sementara itu, aku merenungkan sifat alami bantuan luar negeri, dan aku mempertimbangkan peran sah yang dapat dimainkan oleh negara-negara maju (DC -Developed Countries di dalam jargon Bank Dunia) untuk membantu mengurangi kemiskinan dan kesengsaraan di negara-negara terbelakang (LDC – Less-Developed Countries). Aku mulai bertanya-tanya kapan bantuan itu tulus dan kapan bantuan itu hanya tamak dan mengutamakan keuntungan dan kepentingan diri sendiri,”
Syahdan, ketika tatanan ekonomi sosialisme dan komunisme di UniSoviet ambruk, dan terbukti mengalami kegagalan, maka tak sedikit perusahaan-perusahaan negara yang akhirnya dijual kepada swasta, perdagangan internasional menerobos masuk ke pasar domestik. Dan ketika perekonomian asia secara umum terpuruk, sang IMF datang menawarkan bantuan dengan syarat apabila kita melaksanakan SAP (Structural Adjustment Programs), yakni: liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Di masa yang sama, bantuan sebagai salah satu instrumen tradisional bagi pembangunan dihapus secara bertahap oleh negara-negara maju. Seperti yang ditulis Rifky Pradana dalam artikelnya berjudul ”Neo-Liberalisme, Siapakah Dia?,” menyebutkan bahwa di tahun 1990, volume total investasi langsung atau foreign direct investment senilai 60 milyar USD, sedangkan volume bantuan senilai 20 milyar USD. Pada tahun 1992, volume FDI untuk kali pertama mengungguli volume bantuan. Kemudian terus berkembang sehingga pada tahun 1997, volume FDI di negara-negara berkembang bernilai lebih dari 160 milyar USD, sementara volume bantuan hanya 40 milyar USD.
7
Daftar Beberapa Pinjaman Bank Dunia untuk Sectoral Adjustment Loans (SAL) bagi Pemerintah Indonesia. No. 1.
Nama Proyek PRSL (Policy Reform Loan)
Jumlah Jumlah PRSL III saja US$300 juta
Tujuan Pinjaman Reformasi Kebijakan
2.
SSNAL (Social Safety Net Adjustment Loan)
US$600 juta
Ini dikenal juga dengan JPS – beras murah, penciptaan lapangan kerja dsb.
3.
WATSAL (Water Sector Adjustment Loan)
US$300 juta
Pinjaman penyesuaian sektor pengairan.
4.
SECAL
US$3oo juta
Restrukturisasi PLN
5.
Telecommunicatio ns Adjustment
US$257,9 juta
Reorganisasi sektor telekomunikasi dan restrukturisasi Telkom
Keterangan Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Vicrim Nehru. Di AS dipegang oleh Burft Hofman. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Janet Pomeroy. Pinjaman ini bernomor: LOAN 4471-IND Proyek ini berstatus pinjaman aktif dengan nomor pinjaman: LOAN ID 4469-IND. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Ilham Abla. Di AS: Teddy Herman. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh David Hawes dan Tom E. Walton. Di AS: Muhammad Farhandi Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Bernad Drum dan David Hawes. Pinjaman ini bernomor LOAN 3904-IND
SAL adalah pinjaman Bank Dunia yang kontroversial karena bertujuan mengubah struktur suatu industri atau sektor ekonomi. Hal ini kerapkali berarti swastanisasi, deregulasi atau liberalisasi. Dalam prakteknya, SAL mengarah kepada pengurasan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan yang semakin cepat. Daftar Beberapa Pinjaman Bank Dunia Non-SAL untuk Pemerintah Indonesia No. 1.
Nama Proyek Integrated Swamps Development
Jumlah US$51 juta
Tujuan Pembangunan kawasan rawa terintegrasi
2.
Land Administration
US$46,1 juta
Mendukung pasar tanah yang efisien melalui pendaftaran sistemik
3.
Decentralized Agricultural and Forestry Extension Project
US$18 juta
Proyek penyuluhan pertanian dan kehutanan terdesentralisasi
Keterangan Pinjaman berstatus aktif, disetujui pada Juni 1994 dan ditutup September 2000, bernomor LOAN 3755-IND. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Ilham Abla. Pinjaman berstatus aktif, disetujui pada September 1994 dan ditutup Maret 2001, bernomor LOAN 3792-IND. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Sumaryo Soemardjo. Pinjaman berstatus aktif, disetujui pada Agustus 1999 dan ditutup Maret 2004, bernomor LOAN 4510-IND. Manajer Proyek Penanggung Jawab di Kantor Bank Dunia Jakarta dipegang oleh Sumaryo Soemardjo.
Dari kelompok pinjaman non-SAL, Land Administration Project (Proyek Administrasi Pertanahan) mengundang kecaman karena mendukung komoditisasi tanah. Secara umum proyek-proyek non-SAL beranggaran lebih kecil dibandingkan proyek SAL. Akan
8
tetapi karena wilayah sasaran mereka lebih terlokalisasi maka dampak langsung kepada masyarakat lokal dan lingkungan menjadi lebih besar. Kebijakan Agraria Nasional Sumber daya agraria sampai saat ini masih menjadi tumpuan, sekaligus kunci bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, dengan telah digadaikannya aset-aset tersebut kepada kepentingan investasi para pemodal dan segelintir elit-politik, maka kemiskinanlah yang kini melanda. Hal ini tak lain merupakan konsekuensi dari arah politik kebijakan pengelolaan aset-aset agraria nasional. Kenyataan-kenyataan yang berkait dengan arah politik kebijakan nasional yakni, pertama, upaya peningkatan penanaman investasi tidak sejalan dengan upaya mewujudkan redistribusi pendapatan bagi masyarakat lokal. Contoh kasus; privatisasi sumber mata air Sigedang, Klaten, Jawa Tengah oleh Aqua-Danone. Tahun 2002 PT Tirta Investama, produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) merek Aqua-Danone mengoperasikan unit produksi ke-14 di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Unit produksi ini memperoleh air tanah untuk bahan baku AMDK dari sumur bor 20 meter di samping Mata Air Sigedang. Sumur bor tersebut disembunyikan di bawah sebuah bangunan permanen berbentuk rumah di dalam kawasan berpagar dan berpenjaga selama 24 jam tanpa jeda. Satu-satunya pintu di kompleks sumur bor ini dipasangi tulisan peringatan “Dilarang Masuk“, tanpa keterangan tambahan lain tentang pemilik atau penanggungjawab areal lahan. Eksploitasi air tanah oleh perusahaan ini mempengaruhi komunitas tempatan. Sejak bulan Agustus 2004, dampak kekurangan air irigasi telah dirasakan oleh komunitas yang tinggal pada jarak 3 kilometer dari mata air Sigedang. Secara keseluruhan, mata air Sigedang menjadi sumber utama jaringan irigasi Kapilaler yang mengaliri 419 hektar lahan pertanian dengan total panjang jaringan 12 kilometer. Fenomena menyedihkan ini semakin menggila, terlebih sejak dikeluarkannya Undangundang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang secara eksplisit melegalkan adanya privatisasi. Atau, kasus di Kelurahan Wali Labaha dan Bangkali Kecamatan Kusambi Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Pada bulan Januari 2003, Bupati Muna mengeluarkan kebijakan pengosongan kawasan hutan lindung Jompi dan sekitarnya dari aktifitas perladangan masyarakat, terutama daerah Kontu, Patu-patu, Lasukara, Wawase dan sekitarnya. Dengan berbekal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan Kepmenhut Nomor 454/Kpts II/1999 tentang Penetapan Kawasan Hutan Lindung di Wilayah Propinsi Sultra, Bupati Muna mengeluarkan kebijakan menggusur masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut. Padahal, dalih hutan lindung hanya merupakan kedok dari pelaksaan hasil Memory of Understanding (MoU) antara Pemerintah Kabupaten Muna (Dinas Kehutanan Muna) dengan PT. Usaha Loka Malang demi melakukan pengelolaan dan pemanfaatan tunggak kayu jati di kawasan tersebut. Alhasil, kebijakan inipun menuai perlawanan, dan meletuslah konflik. Pemerintah Daerah memerintahkan kepada tim terpadu untuk melakukan penggusuran, pembakaran rumah gubuk, dan intimidasi terhadap 1000-an KK yang tengah berkebun di kawasan Kontu, Patu-patu, Wawesa, dan Lasukara Kecamatan Katobu. Selain itu, aparatnya juga melakukan, penculikan, penangkapan, penahanan dan pemenjaraan 4 warga petani di Kontu. Kedua, peningkatan investasi juga dilakukan dengan merusak daya dukung lingkungan. Banyak contoh kasus berderet. Mulai dari sektor pertambangan, kehutanan, sampai kelautan. Salah satunya adalah kasus PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Sumbawa. Perusahaan yang telah mengantongi kontrak karya sejak tahun 1996 ini melakukan penambangan
9
dengan sistem pertambangan terbuka (open pit mining) di kawasan hutan lindung. Meningkatnya laju kerusakan hutan, baik yang disebabkan oleh illegal logging, maupun konversi hutan untuk peruntukan lain, sesungguhnya tidak hanya berpengaruh terhadap hilangnya peluang usaha bagi masyarakat, melainkan juga hilangnya fungsi jasa lingkungan yang sangat penting bagi pelestarian ekosistem dan lingkungan hidup, untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, baik lokal maupun global. Ketiga, peraturan perundang-undangan tidak memberikan potensi berlangsungnya pemanfaatan secara adil, berdaulat, dan berkelanjutan. Lebih spesifik lagi, persoalan kelembagaan pengelolaan aset-aset agraria kerap menimbulkan masalah. Semisal, saat Megawati berkuasa, ia mencabut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, diganti Undang-undang Migas Nomor 22 tahun 2001, sehingga pola pengelolaan dan penguasaan negara atas kekayaan alam migas dan produk BBM berubah secara drastis. Imbasnya, Pertamina tidak lagi sebagai pemegang kuasa tunggal pertambangan migas di Indonesia dan tidak lagi berhak mengontrol para kontraktor (investor) yang berbentuk Kontrak Production Sharing (KPS). Padahal, seperti yang diketahui seluruh masyarakat bumi ini, Indonesia mempunyai kandungan minyak yang sangat luar biasa, bahkan melebih kebutuhan nasional. Kini status Perusahaan Minyak Nasional, yang pernah menjadi kiblat dan acuan banyak negara penghasil minyak dalam mengembangkan sumber daya migas termasuk Petronas Malaysia, PDVSA Venezuela telah dikerdilkan menjadi PT. (Perseroan) biasa, sederajat dengan semua KPS bekas kontraktornya. Akibat perubahan itu, kini sewaktu-waktu Pertamina dapat dijual dan dimiliki siapa saja (swasta). Lebih menyedihkan lagi, ketika masa kepemimpinan Baihaki Hakim, secara jelas roadmap Pertamina justru diarahkan untuk dijual. Dengan demikian, atas dasar Undang-undang Migas, kini negara sebenarnya tidak lagi memiliki prasarana/alat (berupa badan usaha) untuk menguasai dan memiliki sumber daya migas dan produk BBM yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pertamina tidak lebih dari PT-PT lain di Indonesia ini. Jika shareholder Pertamina (pemerintah) suatu saat memutuskan untuk menjual Pertamina, seperti Indosat, itu sah dan tidak melanggar Undang-undang. Hari ini, mimpi buruk itu menjelma menjadi nyata. Di usia republik yang telah mencapai 61 tahun ini, Indonesia hanya mampu menggarap minyaknya sendiri sekitar 8%, sisanya diserahkan pada eksplorasi dan eksploitasi perusahaan-perusahaan asing. Salah satu fakta yang mencolok mata adalah ketika pemerintah memutuskan memperpanjang kerja sama dengan Exxon Mobil (Exxon) untuk blok Cepu selama 20 tahun sampai 2030. Syahdan, Exxon membeli lisensi dari Tommy Soeharto untuk mengambil minyak dari sebuah sumur di Cepu yang kecil. Exxon lalu melakukan eksplorasi tanpa izin. Dan ternyata ditemukan cadangan dalam sumur yang sama sebanyak 600 juta barel. Kebijakan Sektor Tenaga Kerja Persoalan Labor Market Flexibility (LMF) masih menjadi core persoalan sektor ini. Manajemen pasar tenaga kerja yang lentur ini merupakan jalan pintas yang ditempuh pemerintah, dan merupakan tawaran kepentingan modal internasional sebagai solusi krisis ekonomi. Dengan alasan
10
merangsang investasi, maka pemerintah berusaha menciptakan suatu pasar tenaga kerja yang fleksibel. Laiknya proses produksi kuno, yang berlangsung adalah pola relasi majikan–buruh (untuk tidak menyebut tuan–budak). Hanya saja, yang sedikit berbeda adalah mekanisme hubungannya. Dulu, buruh secara langsung berhubungan dengan majikan dalam sebuah proses produksi. Kini, pengusahan (investor) tidak harus berhubungan langsung dengan pekerjanya, tetapi melibatkan pihak ketiga dalam penyediaan tenaga kerja (outsourching). Konsep ini banyak diminati investor. Pasalnya, melalui outsourching, buruh tidak lagi bertanggungjawab pada perusahaan yang menggunakan jasa tenaganya, namun kepada perusahaan yang menyalurkan tenaga kerjanya. Ini juga berarti bahwa perusahaan pemakai jasa tenaga kerja tidak perlu ambil pusing dengan persoalan produktifitas buruh. Para investor bisa seenaknya melakukan bongkar-pasang tenaga kerja melalui perusahaan pengerah tanaga kerja. Selain itu, secara implementatif, perwajahan LMF juga berbentuk status pekerja magang dan kontrak. Hal-hal yang dijadikan sasaran tembak LMF adalah mengeliminir biayabiaya yang tidak efektif, seperti penghilangan upah minimum, menekan upah, serta menghapuskan jaminan sosial. Dan seluruh malapetaka ini termaktub dalam Undang-undang Nomor XIII Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam kebijakan ini, proses pemutusan hubungan kerja (PHK) juga semakin dipermudah. Ketika proses PHK berlangsung masif, situasinya kemudian berbanding lurus dengan peningkatan pengangguran secara masal. Bila angka pengangguran tinggi, maka jumlah pencari kerjapun akan meningkat. Sehingga, secara diametral, rakyat (masyarakat pencari kerja) akan menegasikan perhitungan kelayakan hidupnya sendiri, dan menerima upah rendah, asalkan bisa memperoleh pekerjaan. Selain itu, Undang-undang ini juga mengandung banyak permasalahan. Terutama masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut; Pertama, Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam undang-undang ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karena pihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu. Table Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK yang Ditangani P4P Tahun 2005
11
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Sumber: P4P
Sisa Bulan Lalu 27.606 31.306 25.000 33.652 33.285 26.091 22.785 25.387 27.597 21.319 27.739 28.578
Perkara yang Masuk 8000 3.973 11.276 6.357 6.081 4.882 4.677 11.824 5.166 10.404 8.366 13.583 94.589
Jumlah Putusan 4.300 10.279 2.624 6.724 13.275 8.188 2.075 9.614 11.444 3.984 7.257 19.640 99.674
Sisa Perkara 31.306 25.000 33.652 33.285 26.091 22.785 25.387 27.597 21.319 27.739 28.578 22.521
Kedua, outsourcing. Bak jamur di musim hujan, sejak diundangkannya kebijakan ini, outsourcing pekerja banyak diminati pengusaha. Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, buruh yang di-outsource juga merasa di-back up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasal 6 ayat 2a UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, Pemerintah melegalkan bukan sekadar perbudakan modern melainkan juga termasuk human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia. Kebijakan anti-rakyat ini semakin massif ketika pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor III tahun 2006, yang bertujuan menjadikan investasi sebagai motor pertumbuhan ekonomi, terutama untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran yang makin meningkat. Lantas, Inpres ini menunjuk lima faktor yang perlu dibenahi, di antaranya soal pelayanan dan kejelasan aturan, pabean dan cukai, perpajakan serta tenaga kerja. Dan ketika dihadapkan pada permasalahan pengangguran, yang angkanya telah mencapai sekitar 104,02 juta, pemerintah justru membiarkan buruh bertarung sendiri dalam sistem ekonomi predator. Di balik kebijakan soal investasi dan perburuhan, pemerintah masih percaya bahwa buruh murah adalah strategi utama. Rincian Tindakan dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi Tindakan Umum Finalisasi Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Merumuskan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah untuk urusan penanaman modal Penyempurnaan organisasi Mengaktifkan forum dialog dengan dunia usaha Peninjauan sejumlah ketentuan-ketentuan perizinan di bidang perdagangan Menyederhanakan proses pembentukan perusahaan dan izin usaha Merealisasikan sistem pelayanan terpadu dengan penanaman modal dengan pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pusat yang jelas
12
Penyediaan informasi mengenai perizinan yang diperlukan Membentuk tim bersama untuk mengawasi penyusunan rancangan Perda dan mengevaluasi Perda
Kepabeanan dan Cukai Menyederhanakan prosedur pemeriksaan kepabeanan Pengembangan sistem EDI di Dirjen Bea Cukai Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan serta melaksanakan dengan konsisten penggunaan jalur hijau dan jalur merah Menetapkan kriteria yang jelas dan transparan serta melaksanakan dengan konsisten penggunaan jalur prioritas Menyusun pedoman proses penetapan klasifikasi barang utama tertentu dalam rangka penetapan tarif yang jelas dan transparan Persiapan penerapan NSW 2008, yang meliputi Trade-Net dan Port-Net
Perpajakan Menilai usulan perubahan • Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan • Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan • Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1083 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang & Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Menetapkan bidang-bidang usaha tertentu dan daerha-daerah tertentu yang dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan pasal 31A Undang-undang Pajak Penghasilan Menurunkan tarif pajak kendaraan bermotor untuk jenis angkutan umum Menurunkan tarif pajak penerangan jalan bagi industri dan non-industri Menyelesaikan masalah pungutan pajak/retribusi daerah: 1. “tower” telekomunikasi 2. jembatan timbang 3. lalu lintas barang Mengubah perkiraan penghasilan netto sebagai dasar “withholding tax”
Ketenagakerjaan Menyusun draf perubahan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, mengenai: 1. PHK, pesangon, dan hak-hak pekerja/buruh lainnya 2. Perjanjian Kerja Bersama 3. Ketentuan mengenai pengupahan 4. Perjanjian kerja waktu tertentu 5. Penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain (outsourcing) 6. Izin mempekerjakan tenaga kerja asing 7. Ketentuan mengenai istirahat panjang Menyederhanakan prosedur pemberian visa dan izin tinggal bagi investor: cukup mempunyai 2 jenis izin; IMTA dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta KITAS dari Kantor Imigrasi Mempercepat proses: 1. Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja, dari sebulan menjadi dua bulan 2. Akreditasi Balai Latihan Kerja Luar Negeri, dari 23 hari menjadi 14 hari 3. Akreditasi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dari 23 hari menjadi 14 hari 4. Akreditasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dari 3 bulan menjadi 2 bulan 5. Hubungan Perindustrian: a. Fasilitas pengesahan dari, dari 10 hari menjadi 7 hari b. Fasilitas perjanjian kerja, dari 7 hari menjadi 6 hari
Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi Pembuatan pedoman penyempurnaan dan penyederhanaan pemberian izin bagi UKMK dan pengembangan sistem pelayanan perizinan satu atap satu pintu Penyusunan Peraturan Menteri tentang Pengembangan Jasa Konsultasi bagi IKM Pengembangan skema kredit investasi bagi UKMK Penyediaan insentif fiskal bagi UKMK yang memanfaatkan teknologi inovatif Mengubah Keppres Nomor 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan Bvidang/Jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau besar dengan
13
syarat kemitraan sesuai dengan daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat Pengembangan kawasan industri bagi UKMK Mengubah PP Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba Sumber: Kompas
D. Reforma Agraria dan Industri Nasional Hak-hak ekosob, kesimpulannya di Indonesia, tidak cukup sebatas pengakuan di atas kertas, tetapi terkait dengan upaya pemenuhan yang itu sangat tergantung dengan rencana pembangunan ekonomi nasional. Inilah saatnya bagi negara untuk secara serius menjalankan progam reforma agraria dan menciptakan industrial policy (industrial strategy) yang mampu mengatasi kontradiksi antara industri dengan pertanian, industri besar dengan industri ringan, modal dengan masyarakat, serta negara memberikan jaminan sosial bagi warga negara.
14