Tamu tak Diundang: Hubungan antara Pengungsi Maluku dan Penduduk Lokal di Sulawesi Utara1 Christopher R. Duncan (University of Missouri)
Abstract This paper looks at the deteriorating relations between the population of Sulawesi Utara and the approximately 35,000 internally displaced people (IDPs) who fled there from the neighboring province of Maluku Utara. These IDPs first began arriving in large numbers in November of 1999 when communal violence broke out on the islands of Ternate and Tidore in Maluku Utara. They continued arriving until the violence came to a halt in June of 2000. Initially, relations between the two groups were positive. However, the extended presence of 35,000 IDPs created several problems, including a decrease in wages and an increase in housing costs. Negative perceptions of IDPs and jealously over IDP aid have created further misunderstandings. Additionally, IDP experiences with locals have led them to distrust the local population. On a few occasions these tensions have broken out into violence, and some fear this is a foreshadowing of the future should large numbers of IDPs decide to stay in Sulawesi Utara. This paper examines the relationships between these groups, as well as some of the efforts made by international NGOs to address these issues.
Pendahuluan Konflik bernuansa SARA yang melanda Indonesia semenjak tahun 1998 telah menjadi topik hangat di kalangan akademisi (Bubandt 2000; Sihbudi dkk. 2000; Sudagung 2000; 1
Tulisan ini dibuat berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan di Sulawesi Utara dari bulan Juni sampai November 2002 yang disponsori oleh LIPI dan Universitas Sam Ratulangi. Penelitian ini dibiayai oleh the Anthropologists Fund for Urgent Anthropological Fiedwork berkoordinasi dengan Royal Anthropological Institute and Goldsmiths College, University of London. Tulisan ini adalah terjemahan dari makalah berjudul ‘Unwelcome Guests: Relations between Pengungsi Maluku Utara and Their Hosts in Sulawesi Utara’ yang versi awalnya dipresentasikan dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI IN-
48
Aragon 2001). Namun, masih sangat sedikit tulisan mengenai sekitar 1,3 juta pengungsi akibat konflik ini. Para pengungsi2 tersebut tersebar di seluruh Nusantara. Banyak konflik DONESIA ke-3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16– 19 Juli 2002. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta dalam diskusi panel ’How will Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? Responses to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia’ atas komentar mereka. 2
Catatan terjemahan: Dalam bahasa Indonesia tidak ada beda antara orang yang mengungsi ke luar negeri dan orang yang mengungsi di dalam negeri. Keduaduanya disebut ‘pengungsi’. Namun, dalam bahasa Inggris, dan di dalam hukum internasional ada bedanya.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
telah berakhir, namun banyak pengungsi yang belum kembali ke kampung halaman mereka. Di bulan September 2001 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa masalah pengungsi akan terpecahkan sekitar 31 Desember 2002. Rencana pemerintah ini tidak menjelaskan secara rinci tentang kemungkinan hal tersebut dapat diselesaikan. Hanya tiga pilihan diberikan kepada para pengungsi, yaitu (1) pemulangan, (2) pemberdayaan, atau (3) pengalihan (Departemen Sosial 2001). Kebijakan baru ini menimbulkan kebingungan di kalangan pengungsi karena muncul pada saat mereka masih menjadi pengungsi akibat kerusuhan yang masih berlangsung di Poso dan Ambon. Dalam kebijakan tersebut dinyatakan bahwa seluruh bantuan pemerintah kepada para pengungsi akan berakhir pada 31 Desember 2001. Para pengungsi kemudian berspekulasi bahwa rencana ini bertujuan untuk menenangkan penduduk asli yang banyak mempertanyakan waktu pemulangan para pengungsi ke kampung halaman masingmasing. Lamanya kehadiran 1,3 juta pengungsi di Indonesia jelas menjadi beban keuangan dan sosial bagi penduduk lokal di seluruh Orang yang berpindah secara terpaksa atau tidak sukarela ke luar negeri (‘refugees’ dalam bahasa Inggris) dilindungi oleh hukum internasional dan beberapa perjanjian internasional. Orang yang berpindah secara paksa atau tidak sukarela dalam batasbatas suatu negara (internally-displaced persons (IDPs) dalam bahasa Inggris) tidak dilindungi oleh hukum internasional. Sementara itu tidak ada konvensi yang diakui secara internasional yang melindungi hak-hak para pengungsi. Perserikatan Bangsa-bangsa baru-baru ini mengembangkan kerangka kerja normatif untuk menanganinya, disebut Prinsi-prinsip Panduan bagi Pengungsian internal (lihat OCHA 2001). Dokumen ini memberikan seperangkat petunjuk tentang hak-hak para pengungsi dan kewajiban pemerintah terhadap kelompok ini, dan juga nasihat untuk kelompok yang bekerja dengan para pengungsi.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Nusantara. Ketegangan muncul hampir di seluruh daerah yang ada pengungsinya. (Sebagai contoh, di Buton, Sulawesi Tenggara, sebagaimana diberitakan Tempo 2001; Jakarta Post 2001a). Upaya penduduk asli dalam mengatasi beban berat dan ketegangan yang terjadi, masih kurang jelas (Chambers 1986; Voutira and Harrel-Bond 1995; Whitaker 2002). Perkembangan ini tidak dapat diabaikan karena bentrokan antara penduduk asli dengan para pendatang telah menjadi penyebab utama munculnya banyak pengungsi (Sudagung 2000; Sihbudi dan Nurhasim 2001; Duncan 2002). Jika kepulangan atau intregrasi mereka tidak ditangani dengan tepat, pemerintah daerah akan menabur bibit-bibit konflik di masa depan. Untuk menjawab persoalan ini, pemerintah Indonesia telah memfokuskan pemulangan para pengungsi ke kampung halaman mereka masing-masing. Meskipun ada perhatian dari pemerintah Indonesia, pada semua tingkatan, masih sedikit dilakukan usaha untuk meredakan ketegangan antara pengungsi dengan penduduk asli. Sehubungan dengan hal tersebut penulis akan melihat perubahan hubungan antara pengungsi akibat kerusuhan di Maluku Utara dengan penduduk asli di Sulawesi Utara. Penulis mengkaji stereotipe dan titik-titik rawan ketegangan yang berkembang di antara kedua kelompok ini, dan juga beberapa usaha (atau kekurangan) pemerintah dan LSM dalam mengatasi potensi konflik.
Ulasan singkat konflik di Maluku Utara Di bulan Januari 1999, kerusuhan terjadi antara masyarakat Kristen dan Muslim di Ambon, ibukota provinsi Maluku. Bagian utara provinsi (yang kemudian menjadi provinsi baru Maluku Utara) tetap dalam keadaan damai. Pada pertengahan Agustus 1999 kerusuhan meletus di Halmahera, Kecamatan Kao, antara pendatang Makian dengan penduduk asli.
49
Bentrokan ini dipicu oleh rencana pemerintah daerah untuk mendirikan kecamatan baru, Makian Daratan, dari setengah bagian selatan Kecamatan Kao. Kecamatan baru tersebut akan terdiri dari seluruh desa Makian yang didirikan tahun 1975 oleh pemerintah Indonesia. Ketika itu, pemerintah Indonesia memindahkan penduduk Makian dari kampung halamannya di Pulau Makian ke Kao untuk melindungi mereka dari kemungkinan letusan gunung berapi. Termasuk juga di sini adalah beberapa desa Pagu dan beberapa desa dari Kecamatan Jailolo. Kerusuhan di bulan Agustus hanya berlangsung beberapa hari, tetapi masalahnya tetap tidak terpecahkan. Kekacauan yang terjadi kembali di bulan Oktober 1999 menyebabkan kalah telaknya penduduk Makian oleh penduduk asli. Sekitar 15.000 pengungsi Makian melarikan diri ke Ternate dan Tidore. Pada mulanya, konflik Kao-Malifut sebenarnya merupakan konflik antarsuku, tetapi kemudian berubah menjadi konflik agama karena penduduk Makian adalah Muslim dan mayoritas penduduk asli Kao adalah Kristen. Kerusuhan di Tidore dimulai dengan munculnya surat yang mencurigakan, yang meminta orang Kristen untuk membersihkan daerah tersebut dari kaum Muslim. Surat tersebut menimbulkan kemarahan kaum Muslim, khususnya para pengungsi Makian yang masih marah akibat kekalahan mereka dari orang Kao. Sesudah kerusuhan terjadi di awal bulan November 1999, sekitar 13.000 pengungsi Kristen terpaksa melarikan diri ke Sulawesi Utara atau ke Halmahera. Periode kerusuhan ini diikuti serangan Muslim ke bagian barat dan selatan wilayah Halmahera, yang mengakibatkan ribuan pengungsi Kristen pergi ke Sulawesi Utara dan ke bagian utara Halmahera. Pada akhir tahun 1999, setelah berbulanbulan dalam ketegangan, kerusuhan terjadi lagi di Tobelo di utara Halmahera yang meng-
50
akibatkan tewasnya ratusan orang muslim serta hancurnya rumah dan masjid mereka. Kerusuhan menyebar ke seluruh Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya. Laporan mengenai kerusuhan Tobelo diperburuk dengan berita yang berlebihan sehingga menciptakan kemarahan nasional yang diikuti pembentukan Laskar Jihad, kelompok lepas ‘Pejuang Suci’ kaum Muslim. Para anggota Laskar Jihad membanjiri Maluku dan Maluku Utara beberapa bulan kemudian untuk membantu saudara seagama mereka. Pasukan Jihad yang didukung oleh beberapa personil militer dan penduduk Muslim lokal ini menyerang dan menghancurkan setiap desa Kristen di Kecamatan Galela, dan juga menyerang bagian lain di provinsi tersebut. Ketika kerusuhan berskala besar ini akhirnya mereda pada bulan Juni 2000, diketahui bahwa sangat sedikit wilayah yang tidak terkena konflik, dan lebih 200.000 orang terusir dari kampung halamannya. Tiga tahun kemudian, banyak pengungsi tetap berada di Sulawesi Utara, atau masih menjadi pengungsi di Maluku Utara kerena berbagai alasan. Rasa saling tidak percaya dan ketegangan yang terus berkelanjutan antara kaum Muslim dan kaum Kristen, serta trauma, membuat para pengungsi enggan kembali ke tempat asal mereka. Di samping itu, kehancuran rumah, kebun, dan infrastruktur menghambat kepulangan banyak keluarga.
Pengungsi di Sulawesi Utara Semenjak terjadinya konflik hingga sekarang ini, tempat menetap para pengungsi terpusat di tiga lokasi. Sekitar 35.000 pengungsi Kristen dari Ternate, Tidore, Morotai, dan bagian barat provinsi tersebut melarikan diri ke provinsi tetangga yaitu Sulawesi Utara. Sekitar 45.000 pengungsi Kristen lainnya berdiam di Kecamatan Tobelo di utara Halmahera.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Sementara hampir 100.000 pengungsi Muslim dari Malifut, Tobelo, dan tempat lainnya menetap di Ternate. Para pengungsi di Sulawesi Utara, yang menjadi fokus makalah ini, telah (dan masih) tinggal di provinsi ini. Sekitar sepertiganya ditempatkan pada tenda-tenda pengungsi yang terletak di daerah Manado dan Bitung. Tenda-tenda ini terdiri dari ukuran terkecil yang menampung sekitar 125 keluarga sampai yang terbesar yang menampung lebih 1000 keluarga. Sisa pengungsi yang berjumlah 25.000 orang tinggal tersebar di rumah-rumah di seluruh wilayah. Pengungsi yang tinggal di rumah-rumah sulit ditemukan, sementara para pengungsi yang berada di tenda-tenda darurat mudah terlihat. Oleh karena itu, para pengungsi umumnya dianggap oleh penduduk asli sebagai penghuni tenda-tenda darurat. Para pengungsi pada awalnya merasakan sambutan positif masyarakat Manado. Mereka sering menceritakan dukungan besar yang mereka terima dari penduduk lokal, termasuk makanan, pakaian, tempat hunian dan nasihat keagamaan. Banyak gereja, masjid, dan kelompok masyarakat yang menyumbangkan bantuan untuk para pengungsi karena banyak dari mereka yang telah kehilangan semua yang dimiliki. Akan tetapi, para pengungsi mengeluh karena mereka diawasi terus menerus oleh polisi, dan dipaksa memakai tanda pengenal yang menunjukkan bahwa mereka berstatus pengungsi. Pasukan keamanan setempat khawatir para pengungsi akan membawa masalah. Tindakan yang dilakukan oleh para pengungsi Makian di Ternate memberikan contoh berbagai hal yang dilakukan kelompok pengungsi di sebuah kota. Di samping itu, ada kekhawatiran bahwa kerusuhan akan dapat menyebar ke Sulawesi Utara. Dalam beberapa kesempatan, provokator dari Maluku Utara ditemukan di dalam tenda-tenda. Akibatnya,
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
pemerintah lokal merasa perlu ‘melindungi’ Manado dari para pengungsi. Sambutan hangat dari masyarakat Manado hanya berlangsung sebentar. Kedatangan berduyun-duyun para pengangguran dilaporkan telah mengurangi upah bagi buruh kasar dan pabrik. Harga rumah meningkat karena ribuan keluarga mencari tempat untuk tinggal. Lebih dari tiga tahun setelah kedatangan mereka, para pengungsi saat ini dianggap bertanggung jawab terhadap setiap masalah yang muncul di provinsi Sulawesi Utara. Para penduduk lokal selalu meyalahkan mereka mulai dari kemacetan lalu lintas, kenaikan tingkat kejahatan, sampai naiknya harga rumah dan polusi. Sialnya, kedatangan para pengungsi bertepatan dengan menurunnya kualitas layanan pemerintah akibat pengetatan anggaran. Akibatnya, para pengungsi dengan mudah dijadikan kambing hitam. Padahal, selain mendapat beban akibat kedatangan pengungsi, ada unsur masyarakat lokal yang juga memperoleh keuntungan dari kehadiran para pengungsi karena adanya penurunan upah dan banyaknya bantuan dari luar negeri.3 Setelah kerusuhan di Maluku Utara mulai mereda, pemerintah provinsi mulai meminta para pengungsi untuk kembali. Namun, pada kenyataannya banyak dari mereka tidak dapat melakukannya. Pernyataan resmi yang meminta para pengungsi kembali, menciptakan persepsi di antara masyarakat lokal bahwa adalah aman bagi para pengungsi untuk pulang ke kampung halamannya. Tetapi para pengungsi lebih suka diam di tenda-tenda darurat dan menerima bantuan. Pandangan ini semakin lama semakin menguat. 3
Makin meningkatnya penelitian yang melihat baik beban dan manfaat yang didapat dari kehadiran pengungsi dalam jumlah banyak (lihat Kuhlman 1990).
51
Pandangan masyarakat lokal terhadap pengungsi Selama lebih dari tiga tahun, penduduk asli di Manado dan di tempat lainnya di Sulawesi Utara telah membuat sejumlah stereotipe (ciriciri) mengenai para pengungsi yang telah berinteraksi dengan mereka. Kebenaran mengenai stereotipe para pengungsi kebanyakan tidak relevan. Kuatnya stereotipe pengungsi yang ditanamkan oleh penduduk asli dan aparat pemerintah menjadi cara yang terus efektif dalam mendefinisikan para pengungsi. Akibatnya para pegawai negeri, yang merupakan kelompok yang paling mempercayai stereotipe ini, membuat program bantuan berdasarkan gambaran yang salah ini. Keluhan yang paling umum adalah para pengungsi malas dan hanya menunggu bantuan (Manado Post 2001a). Kemalasan mereka sering dibanding-bandingkan dengan ‘kebiasaan kerja keras orang Minahasa’. Banyak penduduk asli merasa bahwa para pengungsi mempunyai kebiasaan menerima bantuan dari pemerintah dan LSM, dan hal ini telah menghilangkan semangat mereka untuk bekerja (Berita Telegraf 2001; Manado Post 2001a). Sementara yang lainnya merasa para pengungsi terlalu memilih-milih dalam bekerja. Sebagai contoh, seorang perempuan Bitung mengunjungi sebuah tenda darurat untuk mencari pembantu. Ia menawarkan gaji Rp 100.000 perbulan ditambah makan dan penginapan. Seorang ketua tenda darurat mengatakan bahwa seorang perempuan di sini bisa mendapat penghasilan Rp 80.000,00 perbulan hanya sekadar mencuci untuk orang lain di tenda darurat, tidak termasuk memasak dan bersih-bersih. Reaksi si perempuan Bitung bukannya mengubah tawarannya, tetapi berkata dengan marah—‘So pengungsi, mau belagu’ (Kamu hanya pengungsi dan kamu so milih-milih pekerjaan). Banyak orang di Manado
52
menyamakan keengganan bekerja para pengungsi dengan kemalasan. Dengan dianggap sebagai orang pengangguran dan pemalas, tenda-tenda darurat pengungsi dilukiskan sebagai tempat anarkis yang jauh dari jangkauan hukum dan penuh dengan kekerasan dan keributan. Dalam satu kesempatan, kepala Satkorlak mengatakan bahwa ia ingin tenda-tenda darurat ini terus dibuka ‘karena sedikitnya di tenda-tenda darurat ini sikap permusuhan para pengungsi (sic!) dapat dicegah untuk tidak menjalar ke luar’ (Far Eastern Economic Review 2001). Ia nampaknya lupa bahwa 25.000 pengungsi yang mempunyai ‘sikap bermusuhan’ tidak tinggal di tenda-tenda darurat tersebut. Pada kesempatan lain, ketua DPRD Sulawesi Utara mengatakan di Jakarta Post (2001b) bahwa kehadiran para pengungsi telah mendorong perdagangan senjata api dan pembuatan senjata rakitan. Sementara yang lainnya mengeluh bahwa para pengungsi telah menyebabkan meningkatnya angka tindak kejahatan. Akan tetapi, angka-angka dari Biro Statistik pada Polresta di Manado dan Bitung menunjukkan tidak ada korelasi antara kehadiran para pengungsi dengan kenaikan tingkat kejahatan. Dalam masa tiga tahun di Manado, polisi hanya menahan seorang pengungsi (Manado Post 2001d). Menurut pendapat mereka, para pengungsi lebih sering menjadi korban tindak kejahatan (Posko Manado 2001). Adanya anggapan bahwa para pengungsi merupakan ancaman bagi kedamaian setempat menjadi isu menjelang hari Natal 2001. Selama bulan Oktober dan November 2001, rumor mulai menyebar di seluruh Sulawesi Utara bahwa Laskar Jihad (aktif di Poso, Sulawesi Tengah pada saat itu) sedang merencanakan Natal Berdarah di wilayah ini (Manado Post 2001e). Ketegangan meningkat menjelang perayaan Idul Fitri dan berlanjut hingga selesai Tahun
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Baru, khususnya pada saat beberapa anggota Laskar Jihad ditahan di Manado (Manado Post 2001b; Komentar 2001). Rumor ini membuat para pengungsi menjadi tidak tenang. Mereka berpendapat bahwa merasakan kerusuhan satu kali lebih dari cukup, dan mereka tidak mempunyai keinginan untuk melakukan kerusuhan lagi. Selama periode ini halaman belakang tendatenda pengungsi berubah menjadi pabrik senjata karena mereka bersiap-siap untuk menghadapi serangan yang ternyata tidak pernah terbukti. Mereka mencoba mendiskusikan ketakutan ini dengan tetangganya, karena mereka berpikir masyarakat Sulawesi Utara dapat belajar dari pengalaman masa lalu. Akan tetapi penduduk lokal melihat sebaliknya, dan menuduh para pengungsi sebagai provokator. Sumber utama ketegangan adalah bantuan yang didapat para pengungsi dari pemerintah dan sumber lainnya. Banyak penduduk lokal yang marah melihat truk pemerintah penuh dengan bahan makanan sedang menuju tendatenda pengungsi. Mereka membaca berita media (sering dibesar-besarkan) bahwa porsi besar bantuan diperuntukkan bagi pengungsi (sebagian besar tidak pernah sampai ke mereka). Para penduduk lokal memprotes jumlah bantuan yang tidak terbatas kepada para pengungsi, sementara penduduk lokal yang miskin dilupakan. Keluhan ini sering disuarakan ketika membicarakan banyaknya pegawai negeri yang tinggal di tenda-tenda darurat. Gelombang pertama pengungsi dari Ternate dan Tidore terdiri dari sejumlah besar pegawai negeri dan guru sekolah yang ditempatkan di tenda-tenda. Kebanyakan para pengungsi ini cepat mendapatkan pekerjaan ketika tiba di Sulawesi Utara. Kenyataan bahwa pengungsi pegawai negeri yang tinggal ditenda-tenda mudah mendapatkan pekerjaan, bahkan beberapa di antaranya memiliki mobil, membuktikan kepada masyarakat lokal di Manado bahwa pengungsi tidak lagi
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
memerlukan bantuan. Banyak pengungsi sendiri yang mengakui bahwa sejumlah besar dari mereka tidak perlu tinggal di tenda-tenda. Tetapi mereka terus tinggal di tenda-tenda karena gratis dan mudah mendapat bantuan. Sebagai contoh, beberapa pengungsi yang tinggal di tenda-tenda darurat mempunyai rumah di Sulawesi Utara. Mereka lebih suka tinggal di tenda-tenda dan menyewakan rumahrumah mereka untuk memperoleh pendapatan tambahan.4 Alasan utama untuk tetap bertahan adalah adanya ‘perumahan gratis’ yang dijanjikan kepada sebagian pengungsi. Ada dua proyek besar perumahan di Sulawesi Utara untuk para pengungsi (tidak termasuk proyek-proyek transmigrasi); pembangunan tempat pemukiman kembali di desa Pandu dekat Manado dan pembangunan beberapa barak di desa Manembo-nembo di Bitung.5 Dari awal, tempat pemukiman kembali di Pandu dibayangi oleh kecemburuan dari kelompok termiskin penduduk Pandu. Mereka menuntut penjelasan tentang alasan mereka tidak menerima perumahan 4
Kecurigaan terhadap semangat kewirausahaan beberapa penghuni tenda-tenda darurat tidak hanya terbatas pada penduduk lokal. Para pengungsi yang tinggal di luar tenda-tenda juga menunjukkan kecemburuan mereka. Pemerintah, LSM dan penduduk lokal umumnya beranggapan bahwa pengungsi yang tinggal di luar tenda-tenda melakukan ini karena mereka mampu untuk menyewa rumah, dan dengan demikian mereka tidak memerlukan bantuan. Meskipun ada benarnya, sejumlah besar pengungsi yang tinggal di luar tenda-tenda melakukan hal ini karena ketika mereka tiba, seluruh tenda sudah penuh. Mereka sendiri mengritik orang-orang yang kehidupannya lebih baik, tetapi masih tinggal di tenda-tenda. Kelompok terakhir ini terutama terdiri dari para petani dan nelayan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di Sulawesi Utara. 5
Barak-barak di Manembi-nembo dibangun untuk menampung para pengungsi yang diungsikan dari basis militer di Bitung. Barak-barak ini adalah berupa tenda-tenda baru bagi para pengungsi, bukan perumahan gratis. Tetapi para penduduk lokal melihat sebaliknya sehingga ketegangan muncul (Republika 2001).
53
sebagai bagian dari program tersebut.6 Pada berbagai kesempatan, kecemburuan ini pecah menjadi konflik yang mengakibatkan kehancuran rumah-rumah pemukiman kembali dan serangan fisik terhadap para pengungsi. Ketika tahap kedua pembangunan rumah-rumah dilakukan, sekelompok penduduk desa membentuk sebuah ‘panitia’ untuk mengawasi pembagian. Mereka menyita rumah-rumah baru dan menolak untuk memberikannnya kepada para pengungsi tanpa pembayaran tunai yang besar. Mereka juga mulai melakukan ‘patroli’ di tempat pemukiman kembali. Patroli ini dilakukan oleh orang mabuk yang membawa senjata tajam berkeliling sambil mengancam para pengungsi dan melempari rumah-rumah mereka dengan batu.
Persepsi pengungsi terhadap penduduk lokal Para pengungsi menyadari kedudukan mereka yang rendah di mata para penduduk lokal. Banyak dari mereka menjadikannya sebagai alasan untuk kembali ke Maluku Utara. Mereka juga menyadari status mereka sebagai orang luar di provinsi ini dan mereka takut mengritik aparat lokal. Sebagaimana para penduduk lokal memberikan stereotipe kepada mereka, para pengungsi juga memberikan stereotipe kepada penduduk lokal. Kebanyakan stereotipe ini bernada negatif dan berdasarkan interaksi mereka dengan aparat pemerintah di semua tingkatan. Hubungan ini dibayangi perasaan saling tidak percaya di antara kedua belah pihak. Aparat menuduh para pengungsi sebagai penipu dan pencuri. Sementara para pengungsi mengritik merajalelanya korupsi dan kurang pekanya para pegawai negeri. Salah satu contoh terkenal mengenai korupsi adalah 6
Warga Pandu yang sama ini awalnya diberikan tanah oleh pemerintah untuk mengurangi ketegangan. Namun, mereka tidak puas dengan pengaturan ini. Ada juga pertikaian mengenai status hukum tanah tersebut (Manado Post 2001c; Sulut Post 2002).
54
menyangkut pengiriman beras yang seharusnya dibagikan kepada para pengungsi di Bitung. Dua anggota staf Departemen Sosial tidak membagikan beras tersebut kepada para pengungsi melainkan menjualnya ke pasar. Mereka membuat kesalahan dengan mempekerjakan beberapa pengungsi untuk mengangkut beras tersebut. Pengungsi tersebut kemudian menceritakan kepada yang lain mengenai penyelewengan ini. Meskipun ada kejadian seperti ini, aparat lokal sangat membantah tuduhan adanya korupsi. Sebaliknya, para pengungsi mengakui bahwa mereka sering memperdayai sistem dengan alasan para pegawai akan mencuri bagian mereka. Dengan contoh-contoh yang ada ini, para pengungsi menjulukinya ‘perilaku yang tidak Kristiani’ dari orang Minahasa dan mengeluhkan tentang tidak adanya penghormatan terhadap sesama saudara Kristen. Pada saat kedatangan mereka di Manado, para pengungsi berharap menemukan rasa solidaritas dari masyarakat Kristen Sulawesi Utara. Rusaknya hubungan, dan tampak tingginya korupsi di kalangan pegawai negeri, yang sebagian besar adalah beragama Kristen, telah menimbulkan kekecewaan kepada para pengungsi. Komentar yang sering terdengar adalah ‘Orang Muslim membakar rumah kami dan mengambil harta benda kami di Maluku Utara, sekarang orang Kristen mengambil semua yang kami miliki di sini.’ Padahal para pengungsi berharap dukungan dalam konflik mereka dengan kaum Muslim di Maluku. Beberapa dari mereka bahkan berharap penduduk Kristen lokal mau membantu mereka kembali berperang di Maluku Utara. Penduduk lokal kurang menanggapi permintaan ini karena khawatir dengan keselamatan masyarakat mereka sendiri. Perbedaan yang ada antara para pengungsi dengan orang Minahasa adalah para pengungsi pertama menunjukkan diri
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
mereka sebagai orang Kristen sedangkan penduduk lokal pertama melihat diri mereka sebagai orang Minahasa. Para pengungsi juga mengkritik penduduk Sulawesi Utara karena ‘rendahnya standar moral’ yang dimiliki. Mereka menggambarkan penduduk lokal sebagai sangat materialistis yang dibuktikan oleh kegandrungan mereka berbelanja dan memakai pakaian model terbaru. Mereka juga mengkritik moralitas perempuan Manado. Mereka melihat banyak pelacur di wilayah ini, dan juga banyak pelacur yang berasal dari Manado ditemukan di tempat lain. Keyakinan mereka akan rendahnya standar moral masyarakat di Sulawesi Utara menjadi alasan lain yang membuat mereka ingin kembali ke Maluku Utara. Para ibu yang khawatir, mengeluhkan tentang kurangnya pengawasan moral di kalangan orang Minahasa. ‘Manado akan menghancurkan anak-anak kami’ adalah ucapan yang sering diungkapkan oleh para ibu tersebut. Mereka melihat minuman keras, kekerasan remaja, ‘kebebasan seks’, dan VCD porno yang tersedia di pasar berbahaya bagi masa depan anak-anak mereka.7
Ketakutan akan adanya konflik di masa depan Lebih dari tiga tahun sesudah mereka tiba, ada masih lebih 15.000 pengungsi di Sulawesi Utara. Program pemerintah untuk mendorong mereka kembali telah gagal mencapai tujuan. Berbagai instansi menyatakan bahwa banyak pengungsi yang telah kembali. Akan tetapi data mereka tidak akurat dengan berbagai alasan. 7
Perlu dicatat di sini bahwa media lokal di Manado menyebarkan gagasan ini dengan kolom pendapat setiap hari yang mengkhawatirkan menurunnya moralitas di kalangan pemuda, dan bahaya pornografi dari negara barat, kebebasan seks, dan pengaruhnya pada moral seks pemuda Manado. Mereka juga sering menyajikan cerita mengenai pemakaian obat-obatan secara berlebihan, kekerasan pemuda, dan perdagangan wanita muda yang terus meningkat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Banyak pengungsi menggunakan program ini sebagai kesempatan untuk mengunjungi Maluku Utara baik untuk bisnis maupun untuk bersenang-senang. Mereka memakai nama palsu, kemudian kembali setelah semua urusan selesai. Selain itu, orang dari Maluku yang mengunjungi Manado, sering berpura-pura sebagai pengungsi yang ingin kembali agar mendapatkan tiket gratis. Masalah korupsi dan kesalahan manajemen yang ada juga menghambat program tersebut sejak awal. Di samping itu, pemerintah provinsi Maluku Utara pada awalnya menolak berkoordinasi dengan pemerintah Sulawesi Utara. Mereka mengatakan kepada salah satu LSM bahwa mereka tidak perlu berkoordinasi dengan Manado dalam masalah pemulangan pengungsi karena sekarang zaman otonomi daerah. Meskipun kemajuan program ini berjalan lambat, kepulangan pengungsi berjalan cukup lumayan. Akan tetapi kelompok terbesar pengungsi, yaitu mereka yang berasal dari Ternate dan Tidore, merasa tidak dapat kembali dalam waktu dekat, bahkan banyak dari mereka tidak bermaksud kembali lagi. Sebagian besar dari mereka telah menjual rumah-rumah mereka di Maluku Utara. Tampaknya sebagian besar pengungsi akan terus menetap di Sulawesi Utara, khususnya di Manado dan Bitung. Pengungsi kelompok terakhir ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aparat lokal dan LSM. Mereka takut terjadinya bentrokan di masa datang antara kedua kelompok. Pada suatu pertemuan yang membicarakan pemulangan para pengungsi, seorang aparat yang bertanggung jawab menangani para pengungsi di Sulawesi Utara memberikan pendapatnya mengenai alasan harus kembalinya semua pengungsi ke daerahnya masing-masing. Ia mengatakan bahwa setiap orang di Indonesia mempunyai kampung halaman masing-masing dan mereka harus kembali ke sana. Mereka tidak dapat tinggal di atas tanah orang lain karena
55
hal ini lambat laun akan menimbulkan konflik. Aparat tersebut memaparkan banyak contoh konflik yang disebabkan oleh keadaan seperti ini di Sulawesi Utara, dan di Indonesia umumnya. Ia mengatakan, ‘Jika saudara (para pengungsi) tidak kembali lagi ke Maluku Utara dalam waktu sepuluh tahun, anak-anak kami akan membunuh anak-anak kalian, karena tanah ini adalah kampung halaman kami, bukan kampung halaman kalian.’ Pernyataan aparat tersebut yang bertanggung jawab menangani para pengungsi jelas jauh dari menghibur. Sangat sedikit program pemerintah atau LSM yang bertujuan untuk mengatasi ketegangan ini. Pada sekitar akhir September 2001 sebuah LSM internasional bernama CARDI (The Consortium for Assisting the Refugees and Displaced in Indonesia) mengadakan serangkaian lokakarya dengan para pemuda dari tenda-tenda pengungsi dan dari Manado dan Bitung. Topik lokakarya tersebut adalah mengenai toleransi, jender, perdamaian dan bahayanya stereotipe. CARDI berharap pertemuan-pertemuan tersebut dan kegiatankegiatan yang mendampinginya (termasuk liga sepakbola dan sebuah program radio) akan memperbaiki hubungan antara kedua kelompok tersebut. Pada acara penutupan, hampir semua pihak yang terlibat menganggap program ini berhasil. Akan tetapi, usaha mereka tidak disambut dengan sama hangatnya oleh seluruh unsur masyarakat pengungsi. Pada akhir program, sekelompok pemuda yang terlibat, melakukan kunjungan ke Ternate untuk bertemu dengan para pemuda di sana. Sekembalinya dari kunjungan tersebut, mereka mendiskusikan hasilnya dan memberikan pandangan mereka mengenai Ternate yang disiarkan di radio. Dua remaja perempuan yang diwawancari adalah penduduk lokal dari Manado (anak-anak pengungsi tidak hadir). Mereka berbincang-bincang selama satu jam
56
mengenai telah amannya Ternate dan menyarankan para pengungsi agar kembali pulang.8 Akan tetapi, saya perlu menekankan di sini bahwa ketakutan akan terjadinya bentrokan di masa datang antara para pengungsi dan penduduk lokal Sulawesi Utara, di luar tempat pemukiman kembali di Pandu, terlalu dibesarbesarkan. Pada saat bantuan dihentikan, dan tenda-tenda darurat ditutup, para pengungsi yang tidak kembali akan berbaur dengan masyarakat. Adalah bantuan yang terus menerus yang menimbulkan kemarahan penduduk lokal dan keberadaan tenda-tenda pengungsi mengingatkan orang akan bantuan tersebut. Rencana terbaru pemerintah untuk membuat barak-barak bagi mereka yang tidak dapat, atau tidak ingin kembali ke Maluku Utara hanya akan memperpanjang masalah. Dengan membangun barak-barak besar, pemerintah akan meresmikan tenda-tenda tersebut sebagai tempat tinggal para pengungsi. Meskipun mereka akan menjadi penduduk lokal sesuai dengan kartu penduduk mereka, mereka akan tetap hidup seperti pengungsi. Selain itu, barakbarak tersebut akan terus mengingatkan penduduk lokal bahwa para pengungsi menerima perumahan pemerintah secara gratis. Sementara penduduk lokal (yang kebanyakan hidup miskin) tidak mendapatkannya. 8
Program CARDI yang lain adalah kampanye melalui media mengenai hubungan antara penduduk lokal dan pengungsi di akhir tahun 2002. Sasarannya adalah untuk mendidik penduduk lokal mengenai masalah yang terusmenerus dihadapi para pengungsi yaitu tetap tinggal di Sulawesi Utara atau kembali ke Maluku Utara. Kampanye melalui media ini menampilkan program perbincangan mingguan di radio dan televisi yang mendiskusikan berbagai aspek kehidupan para pengungsi, atau hubungan antara para pengungsi dengan penduduk lokal. Mereka juga memasang iklan di korankoran lokal, membuat iklan pendek televisi dan mengadakan konperensi pers untuk membicarakan situasi para pengungsi di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Rencana pemberdayaan untuk membantu masyarakat membangun rumah sendiri, serta usaha keras dan tulus pemerintah Sulawesi Utara untuk membantu kembalinya para pengungsi akan menjadi pemecahan yang lebih baik dalam jangka panjang. Akan tetapi, penelitian antropologi lanjutan dibutuhkan di
Sulawesi Utara dan di tempat lainnya, untuk mengkaji kemungkinan berbaur atau tidaknya masyarakat pengungsi dengan penduduk asli dalam jangka panjang, dan melihat kemungkinan konflik antara kedua kelompok dapat ditekan seminimal mungkin.
Referensi Aragon, L. 2001 ‘Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People’, Indonesia 72:45–79. Berita Telegraf 2001 ‘Palakat Rakyat: Pengungsi Manado Seharusnya Tahu Diri’, 25 Juni. Bubandt, N. 2000 ‘Conspiracy Theories, Apocalyptic Narratives and the Discursive Construction of the Violence in Indonesia’, Antropologi Indonesia 24:15–32. Chambers, R. 1986 ‘Hidden Losers? The Impact of Rural Refugees in Refugee Programmes on the Poor Hosts’, International Migration Review 20:245–263. Departemen Sosial 2001 Kebijakan Penanganan Pengungsi di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial. Duncan, C. R. 2002 ‘The Aftermath of a Civil War’, Inside Indonesia, Januari-April. Far Eastern Economic Review 2001 ‘Strangers in Our Own Land’, January 18. Jakarta Post 2001a ‘Local Official Warns Buton a Ticking Time Bomb’, 22 Desember. 2001b ‘North Sulawesi Wants Refugees to Return Home’, 2 Februari. Komentar 2001 ‘Diduga Jihad, Enam Orang Diamankan Polresta Manado’, 31 Desember. Kuhlman, T. 1990 Burden or Boon? A Study of Eritrean Refugees in the Sudan. Amsterdam: Free University Press. Manado Post 2001a ‘Dari Dialog Eksternal Kota Bitung: Pengungsi Dituding Pemalas, FKPM Bantah’, 9 Agustus. 2001b ‘Enam Anggota Jihad Diciduk di Manado’, 31 Desember. 2001c ‘Hari Ini Warga Pandu Demo’, 14 November.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
57
2001d ‘Kisah Pengungsi yang Rindu Halaman: Tak Punya Ongkos Pulang, Empat Kaos pun Digasak’, 29 Juni. 2001e ‘Provokator Terus Goda Warga Sulut’, 12 Desember. OCHA 2001
Prinsip-prinsip bagi Pengungsian Internal. Jakarta: Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusian. Available at: http://www.idpproject.org/training/guiding_principles/Guiding_Principles_Indonesian.pdf.
Posko Manado 2001 ‘Pembunuhan di Eks Diklat BP-7 Dituntut 7 Tahun’, 5 Juli. 2002 ’Konteksualisasi Makna Menjadikan Pengungsi Sebegai Warga Biasa. Posko Manado’, 30 Agustus. Republika 2001 ’Kamp Pengungsi di Bitung Rusuh’, 21 Februari. Sihbudi, R. dan M. Nurhasim (peny.) 2001 Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grasindo. Sihbudi, R., A. Irewati, I.Nusa Bhakti, M. Nurhasim, S. Haris, dan T. Ratnawati 2000 Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau. Jakarta: LIPI-Mizan Pustaka - Kantor Menristek RI. Sudagung, H. S. 2000 Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swarkarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Sulut Post 2002 ’Gubernur “Kalah“ Kasus Pandu’, 31 Agustus. Tempo 2001
‘Gubernur Sulawesi Tenggara Ancam Usir Pengungsi Ambon’, 10 Oktober.
Voutira, E., B.E. Harrell-Bond 1995 ‘In Search of the Locus of Trust: The Social World of the Refugee Camp’, dalam E.D. Valentine and J.C. Knudsen (peny.) Mistrusting Refugees. Berkeley: University of California Press. Hlm. 225–256. Whitaker, B.E. 2002 ‘Refugees in Western Tanzania: The Distribution of Burdens and Benefits Among Local Hosts’, Journal of Refugee Studies 15:339–358.
58
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004