Pengantar Sepasang Sayap Malaikat (Sebuah Antologi Mimpi), buku ini adalah sebuah mimpi bagi kami. Semua berawal dari mimpi. Kami baru belajar menulis, masih jauh perjalanan kami untuk menjadi penulis yang sebenarnya, tetapi kami selalu bermimpi suatu hari bisa menjadi penulis hebat. Bukankah seorang penulis profesional bermula dari seorang penulis amatir? Yang harus dilakukan adalah terus belajar, berusaha untuk menghasilkan karya yang terbaik. Karena itulah buku ini hadir, sebagai jalan bagi kami untuk berkarya, untuk menjajal kemampuan kami, dan untuk berbagi. Ya… berbagi! Berbagi kisah dalam setiap lembarnya, berbagi mimpi, berbagi semangat, berbagi kebahagiaan, dan berbagi sedikit rizki. Seluruh royalti dari penjualan buku ini akan disumbangkan ke Taman Bacaan Rumah Unyil, sebuah taman baca gratis untuk anak-anak kurang mampu di sebuah kampung nelayan di daerah Ampenan, Mataram, NTB. Taman baca ini hadir untuk membiasakan gemar membaca sejak usia dini, untuk memuaskan adik-adik kita yang haus akan bacaan tetapi tidak ada sarana untuk itu. Membeli buku ini berarti ikut membantu menambah banyak buku untuk adik-adik Rumah Unyil. Untuk mengetahui lebih jelas tentang taman bacaan ini, silahkan mengunjungi page facebook Taman Bacaan Rumah Unyil. Semoga buku ini bisa menjadi langkah awal dari lahirnya buku-buku selanjutnya… amin! Selamat membaca… Penulis
Woelan Tomomi, dkk
Sepasang Sayap Malaikat
2
Sepasang Sayap Malaikat Tha Mahardika Aku suka cuaca pagi ini. Mendung, angin bertiup semilir, tetapi tidak ada rintik hujan. Dengan ringan aku ayunkan langkah kakiku menyusuri gang kompleks tempat tinggalku. Perumahan yang berjajar di kanan kiri jalan, pohon-pohon dan tanaman bunga yang sedang mekar berwarna-warni membuat suasana hatiku menjadi hmmm… mengingatkanku pada… ah… “Ma, kenapa berhenti?” tanya Aal padaku. “Nggak apa-apa, Sayang. Mama cuma agak pusing. Ayo, kita lanjut lagi jalannya,” jawabku. “Ayo…” seru Aal dengan ceria. “Ma, lihat deh... kenapa capung cuma dikasih sepasang sayap kecil? Padahal badannya kan panjang, Ma. Kepalanya juga besar. Kasihan, pasti dia kesulitan mengangkat tubuhnya saat terbang. Kenapa bisa begitu ya, Ma?” tanyanya panjang lebar. Dia memang suka menanyakan ini itu sepanjang perjalanan kami dari rumah menuju halte bus di seberang kompleks. Lain hari dia tanya, “Ma, kenapa ikan matanya selalu terbuka? Kenapa mereka nggak pernah tidur, ya? Apa mereka nggak ngantuk? Kapan ikan-ikan itu boleh tidur, Ma?” Lain hari lagi dia tanya, “Ma, kenapa burung itu dimasukkan sangkar? Dia kan juga harus main sama temannya. Mamanya burung itu suka nyariin dia nggak, ya? Pasti mamanya sedih nggak bisa ketemu. Rumahnya burung itu dimana ya, Ma?” 3
kalau sudah begini aku jadinya yang bingung sendiri mau jawab apa. “Hmm… Kamu tahu nggak, capung itu nggak pernah protes sama Tuhan, lho, meskipun dia cuma dikasih sayap kecil. Karena dia tahu meskipun sayapnya kecil, tetapi itu adalah sayap yang sangat kuat. Coba perhatikan, dia bisa terbang tinggi dengan mudah, kan? Itu karena sayapnya sangat kuat.” …………………….
Aku adalah penderita thalasemia mayor. Salah satu penyakit yang menurut para ahli masih belum ditemukan obatnya. Thalasemia adalah penyakit kelainan darah karena sumsum tulang belakang tidak mampu membentuk protein yang diperlukan untuk memprodukasi hemoglobin. Akibatnya aku sering mengalami semacam gejala anemia, pusing, pucat, lemas, kurang nafsu makan, dan infeksi yang berulang. Bahkan aku sudah mengalami pembengkakan pada limpa sebesar buah kedondong, karena limpaku sudah tidak mampu lagi untuk membersihkan darah. Seharusnya aku menjalani transfusi darah secara rutin, tetapi aku tahu transfusi darah bukan perkara yang murah. Sejak kepergian suamiku aku tak lagi melakukan transfusi darah karena gajiku tidak cukup banyak untuk itu. ……………………….
4
Aku Dan Dirimu Meliantha Pantai ini masih sama dengan keadaannya dua tahun yang lalu. Bangku itu masih disitu. Pohon itu masih disitu. Batas air juga masih disekitar itu. Kalaupun ada yang membedakan mungkin hanyalah beberapa kios sementara yang dibangun beberapa pedagang di tepian pantai agak jauh dari laut. Dua tahun yang lalu tidak seramai ini. Aku melihat ke sekeliling, mencari seseorang yang akan kutemui disini saat ini. Beberapa menit lagi, tepatnya. Yah, aku memang suka datang lebih awal. Biar lebih bisa mengontrol situasi, pikirku selalu. …………… “Kau??” tanyanya pendek. Tapi aku sudah tahu apa yang dimaksudnya. Akupun tak menjawab pertanyaannya. Tapi binar dimataku pasti sudah bisa membuatnya mengerti. Tapi aku melihatnya menunduk. “Jadi kau akan menikah?” tanyanya. “Iya,” jawabku singkat. Cenderung bersemangat, malah. Tapi kulihat dia tampak lesu. Sinar matanya menghilang. “Hei, sudahlah. Jangan pasang tampang seperti itu. Bagaimanapun ini berita bahagia,” hiburku. “Ya, bahagia untukmu,” katanya ketus. “Hei, apa maksudmu berkata begitu?”
5
“Ya, aku tahu aku bersalah padamu. Dan kau melakukan ini mungkin hanya untuk membalaskan dendammu padaku. Kau sengaja melakukan ini….” “Hei, apa maksudmu? Aku tulus mengundangmu, kok. Hanya ingin berbagi kebahagiaan denganmu. Bagaimanapun kau pernah menjadi kisah indah di hidupku. Jadi aku hanya ingin mengajakmu berbahagia bersama. Dan bukankah kau dulu juga mengundangku untuk pesta pernikahanmu?” kata-kataku berkejaran dengan nafasku. …………………….
6
Mimpi yang Tercabik Woelan Tomomi Berkali-kali kulirik jam tangan putihku. Bukan jam mahal memang, aku membelinya di toko kecil pinggir jalan, toko jam murahan. Sudah hampir setengah jam aku duduk di sebuah bangku taman. Mungkin sebentar lagi aku bisa jadi seperti ikan teri, kering. Panas begitu menyengat padahal hari masih pagi. Pohon rimbun yang menaungi bangku ini tak cukup perkasa melindungiku dari panas sang mentari, yang semakin hari sengatannya semakin menjadi. Keringat mulai mebanjiri gamis dan hijab biru mudaku, tapi Ratri belum juga menampakkan diri. “Kebiasan buruk yang nggak hilang-hilang, deh, si Ratri ini,” batinku dalam hati. Ratri adalah teman kuliahku dan kami berjanji untuk bertemu disini. Kusibukkan diri dengan membaca buku, sebuah novel terbaru dari penulis favoritku. Tapi konsentrasiku teganggu karena panasnya bumi membuat kerongkonganku kering. Aku melihat sekeliling, mencari penjual minuman. Di sudut taman aku melihatnya duduk dengan dagangan digendongan. Seorang anak lelaki berusia sekitar 10 tahun bertampang dekil, dengan rambut merah dan kulit legam karena terlalu banyak bercengkrama dengan sinar matahari. Tubuh kurusnya tampak kepayahan dan kelelahan. Aku mendekatinya.
7
ya?”
“Air mineral satu, dik,” aku tersenyum, “capek,
“Ya capek, Mbak. Tapi kalau nggak gini nggak dapat duit,” jawabnya cuek sambil menyerahkan sebotol air mineral padaku. Aku duduk di sampingnya, menyerahkan uang sepuluh ribuan untuk membayar air yang sudah membebaskan kerongkonganku dari kemarau. “Kembaliannya ambil aja,” kembali aku tersenyum. Dia nampak bingung, masih memandangi uang itu. “Nggak apa-apa, itu buat kamu,” kembali aku meyakinkannya. “Makasih, Mbak,” senyum sumringah terpancar dari wajah kanak-kanaknya. “Nama kamu siapa?” aku mencoba mengajaknya mengobrol. “Iman.” “Iman nggak sekolah?” tanyaku begitu sadar ini masih pagi, masih jam sekolah. Seharusnya dia berada di sekolah, belajar, bukan berjualan di jalanan. “Udah nggak sekolah, Mbak,” suaranya terdengar sedih. Aku hanya bisa diam memandanginya penuh simpati. “Dulu pernah sekolah,” dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan, “bapak meninggal waktu Iman kelas 2 SD. Ibu nggak sanggup bayar sekolah Iman lagi, karena itu Iman dikeluarin dari sekolah.” ………………………
8