EDISI I / Tahun 2015
Paradigma Baru Pengelolaan Risiko Keuangan Negara
EDISI I / Tahun 2015
Paradigma Baru Pengelolaan risiko keuangan negara
definefinancial.com
Penanggung jawab: Brahmantio Isdijoso Freddy R. Saragih Riko Amir Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto, Ivan Yulianto, Novijan Janis Penyunting/Editor: Syahrir Ika, Hendro Ratnanto Joni, Farid Arif Wibowo, Hadi Setiawan, Rahadian Zulfadin, Eko Nur Surachman, Riza Azmi Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis Nagamedia Sekretariat: Indra Setiawan, Hapsari Widowati, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron Penerbit: Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Percetakan: PT Prima Najah Mandiri Alamat: Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786 Email:
[email protected]
Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Daftar Isi
inventcivil.com
UTAMA: l Perluasan Pengelolaan Risiko Fiskal Evolusi Unit Pengelola Risiko di Kementerian Keuangan...................................................................................... 4 Oleh: Novijan Janis dan Maman Suhendra Mitigasi risiko: Peran Fiskal Lembaga Keuangan Pemerintah...................................................... 12 Oleh: Ivan Yulianto l Inisiasi Konsep Performance Based Ratemaking/Regulatory pada Subsidi Listrik...........................................................................................................18 Oleh: Prima Bagus Diarsa dan Riza Azmi l Identifikasi Risiko Tuntutan Hukum Kepada Pemerintah.................................. 24 Oleh: Ryan Astono Puwandhi l Risiko Program Jaminan Pensiun SJSN................................................................. 28 Oleh: Roki Gangsar Winoto l
wawancara: l Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) dengan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko ................................... 33 Oleh: Riko Amir, Hendro Ratnanto Joni dan Farid Arif Wibowo opini: l Pengungkapan Risiko Fiskal: Definisi dan Perkembangannya.......................... 37 Oleh: Rahmat Mulyono dan Hadi Setiawan l Pemanfaatan Barang Milik Negara dalam proyek PPP...................................... 42 Oleh: Eko Nur Surachman l Pentingnya penerapan Sovereign Asset Liability Management (SALM) di Indonesia............................................................................................................ 44 Oleh: Heri Setiawan l Pembatasan Rapat Di Luar Kantor: Dalam Perspektif Fiskal dan Ekonomi Makro.............................................................................................. 50 Oleh: Akhmad Yasin edukasi fiskal: Menengok Sejarah Keterlibatan Swasta dalam Pengembangan Infrastruktur Publik di Indonesia.......................................................................... 56 Oleh: Farid Arif Wibowo l Defisit Anggaran dan Perekonomian...................................................................61 Oleh: Rahardian Zulfadin l
exposure..................................................................................................................... 63
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Editorial PARADIGMA BARU Pengelolaan Risiko Keuangan Negara
D
ulu orang mengenal sebuah unit ese-
didukung dengan penjaminan pemerintah. Du-
lon II di Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
kungan pemerintah itu ada risikonya, karena itu
Kemenkeu yang bernama PPRF (Pusat
harus dikelola dengan baik.
Pengelolaan Risiko Fiskal), kini nama itu sudah ti-
Lalu dimana challenging-nya? Kedua unit or-
dak terdengar lagi. Kemana PPRF sekarang berada?
gnasisasi baru ini sama-sama memiliki challenging
PPRF berevolusi menjadi dua unit organisasi baru,
masing-masing. Kebutuhan dana infrastruktur da-
yaitu Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Ne-
lam medium term sekitar Rp5.000 triliun merupa-
gara (PKRN) dan Direktorat Pengelolaan Dukungan
kan tantangan bagi PDPPI, terutama memberikan
Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur (PDPPI).
dukungan terhadap pembiayaan yang dihandle
Kedudukannya juga berpindah dari BKF ke Direkto-
oleh BUMN, dukungan-dukungan fasilitas apa
rat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Masuknya
yang perlu kita berikan dan bagaimana menge-
unit baru dari BKF ke Direktorat Jenderal Pengelo-
lola risikonya. Harapannya beberapa proyek KPS
laan Utang (DJPU) membuat DJPU juga merubah
yang sudah ada di pipeline bisa segera terbangun.
identitas menjadi Direktorat Jenderal Pembiayaan
Bagaimana dengan PRKN? Direktorat ini challen-
dan Pengelolaan Risiko (DJPPR). Perubahan orga-
ging. ketika di BKF mereka (PPRF) mengelola risiko
nisasi ini tentu juga merubah mobilisasi para sta-
keuangan pemerintah (fiskal), sementara disini
keholder PPRF dari BKF ke DJPPR. Pertanyaannya,
(PKRN) mereka mengelola risiko yang lebih luas,
apa yang unik dan filosofis dari perpindahan unit
yaitu risiko keuangan negara. Tantangan utama-
kerja pengelolaan risiko ini? Apakah perubahan
nya adalah membuat Asset Liability Management
ini akan membuat pengelolaan risiko keuangan
yang saat ini baru di level Kementerian Keuangan
Negara akan lebih kuat?
diperluas ke level negara melibatkan aset di Bank
Inistiatif merubah nama suatu organisasi bukan
Indonesia atau lembaga-lembaga lain diluar peme-
sekadar perubahan identitas (change of identity),
rintah. Dalam jangka pendek, PKRN harus mampu
melainkan merubah hal yang lebih mendasar dari
memetakan semua jenis risiko keuangan Negara
organisasi tersebut, yaitu perubahan paradigma
dan mengukur berapa besar liability sebagai sua-
(change of paradigm). Pertama, penggabungan
tu negara. Inilah yang membedakan perubahan
organisasi ini akan membuat pengelolaan utang
organisasi yang bersifat simbolik dan perubahan
dapat dilakukan dengan lebih baik lagi mengingat
organisasi yang bersifat substantive yang tercermin
utang ada risikonya, tidak saja contingent liability
dari perubahan paradigmanya. Semoga sukses.
yang eksplisit, tetapi juga yang di luar eksplisit se-
Syahrir Ika
perti pembiayaan untuk infrastruktur yang harus
(Peneliti Utama pada Badan Kebijakan Fiskal)
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Perluasan Pengelolaan Risiko Fiskal
Evolusi Unit Pengelola Risiko di Kementerian Keuangan Oleh: Novijan Janis1 dan Maman Suhendra2
1. Kepala Seksi Analisis Struktur Aset dan Kewajiban Pemerintah. Email:
[email protected] 2. Kepala Subdit Penyiapan Kerjsama Pemerintah dengan Badan Usaha. Email:
[email protected]
Pengantar
U T A M A
Berdasarkan ketentuan yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan memiliki tiga (3) fungsi dalam Pemerintahan Republik Indonesia, yaitu : 1. Fungsi Pengelolaan Fiskal, merupakan pengelolaan atas Keuangan Negara yang meliputi kebijakan atas penerimaan, belanja dan pembiayaan pemerintah. Dalam hal ini fiskal didefinisikan sebagai APBN. 2. Fungsi Pengelolaan Kekayaan Negara, merupakan fungsi pengelolaan atas barang atau kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah. Dalam hal ini tercermin dalam bentuk neraca. 3. Fungsi Bendahara Umum Negara, yaitu fungsi treasury atau manajemen kas. Dalam Undang-Undang Keuangan Negara khususnya pada pasal 6 (2) (a) disebutkan dua fungsi Menteri Keuangan yaitu sebagai pemegang kuasa Presiden dalam pengelolaan fiskal dan sebagai wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. Fungsi Menteri Keuangan ketiga yaitu sebagai Bendaharawan Umum Negara dinyatakan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara pada pasal 7 (1). Fungsi-fungsi dimak
sud dirinci lebih lanjut dalam kedua undang-undang tersebut dalam pasalpasal selanjutnya. Dalam implementasi, Menteri Keuangan telah mendelegasikan ketiga fungsi dimaksud kepada unit-unit eselon 1 di Kementerian Keuangan dan secara hirarki dilaksanakan oleh unit-unit dibawahnya. Dalam perkembangan dari pelaksanaan ketiga fungsi dimaksud khususnya yang terkait dengan fungsi sebagai pengelola fiskal, pada akhir tahun 2006 Menteri Keuangan membentuk sebuah unit pengelola risiko fiskal. Dalam hal ini, fiskal diartikan sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Unit dimaksud adalah Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) yang merupakan unit eselon 2 dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Pada dasarnya pembentukan unit pengelola risiko dimaksud terinspirasi dari beberapa diskusi dan tulisan terkait dengan risiko keuangan negara seperti: Contingent Government Liabilities: A Hidden Risk for Fiscal Stability (Hana Polackova, 1998), Dealing With Public Risk in Private Infrastructure (Timothy Irwin et all, 1998), Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk (Hana Polackova Brixi dan Allen Shick, 2002) dan lainnya. Sejak terbentuknya PPRF, Indonesia telah mengalami beberapa gangguan ekonomi yang berasal dari dalam dan luar negeri. Beberapa gangguan eko-
nomi tersebut diantaranya adalah krisis ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 2008, kirisis ekonomi di Eropa pada tahun 2010, melemahnya mata uang rupiah, defisit perdagangan internasional dan lain sebagainya. Gangguan ekonomi tersebut menyadarkan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan bahwa pengelolaan risiko keuangan negara harus diperkuat atau diperluas. Selain itu belajar dari pengalaman krisis keuangan yang ada di negara lain seperti di Yunani, dimana pengelolaan kewajiban pemerintah baik yang implisit maupun yang eksplisit akan mempengaruhi ketahanan fiskal suatu negara, maka unit pengelola risiko digabungkan dengan unit pengelola utang. Tulisan ini akan mengupas tentang evolusi pengelolaan risiko fiskal di Kementerian Keuangan dari masa ke masa, temasuk apa yang melatarbelakanginya serta perbedaan tugas dan fungsi dari setiap institusi/unit pengelola risiko fiskal tersebut.
Komite Pengelola Risiko Fiskal Pada awalnya unit pengelola risiko keuangan pada APBN (keuangan negara) di Kementerian Keuangan berbentuk komite dengan tugas dan fungsi yang terbatas pada pengelolaan risiko keuangan negara yang berasal dari pemberian dukungan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
di Indonesia. Komite dimaksud bernama Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur (KPRPI) yang dibentuk pada akhir tahun 2005 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan nomor 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur. Periode kerja komite adalah sejak tanggal 31 Oktober 2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2006 dan bersifat ad hoc (sementara). Pembentukan KPRPI merupakan respon dari Kementerian Keuangan atas pembentukan Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) dan mendukung pelaksanaan program percepatan pembangunan infrastruktur secara umum dan mendukung skema kerjasama antara Pemerintah dan Swasta (KPS) atau Project Private Partnership (PPP) secara khusus. Secara formal KPRPI dikelola oleh Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional (Bapekki), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) dan Direktur Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK). Sebenarnya program percepatan pembangunan infrastruktur sudah muncul sejak tahun 2001. Program tersebut diangkat dalam rangka pemulihan ekonomi nasional setelah datangnya krisis ekonomi pada tahun 1997. Untuk mendukung program dimaksud, pemerintah membentuk sebuah komite yang bernama Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) dengan menerbitkan Keputusan Presiden nomor 81 tahun 2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur. Dalam perkembangannya, pada tahun 2005 dilakukan penyempurnaan atas tugas dan fungsi komite dimaksud dengan menerbitkan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. Pada dasarINFO RISIKO FISKAL
nya KKPPI menangani proyek infrastruktur yang dibiayai dengan skema pembiayaan APBN dan KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta). Terhadap proyek infrastruktur KPS, dibutuhkan dukungan fiskal dari pemerintah berupa jaminan pemerintah. Namun pemberian jaminan pemerintah dimaksud ternyata menimbulkan risiko bagi APBN sehingga Menteri Keuangan merasa perlu untuk menetapkan sebuah unit yang akan mengelola risiko dimaksud. Mengingat, pada saat itu, belum ada unit eselon 1 di Kementerian Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi yang dapat mengelola risiko tersebut maka dibentuklah sebuah komite di Kementerian Keuangan yaitu KPRPI. Selanjutnya dalam rangka menyediakan pola kerja komite dimaksud maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 38/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Kementerian Keuangan memahami bahwa tugas pengelolaan risiko atas keuangan negara yang berasal dari pemberian dukungan pemerintah pada program infrastruktur akan berkelanjutan. Oleh karena itu tugas
yang dibebankan kepada KPRPI juga mencakup mempersiapkan pembentukan sebuah unit yang tetap. Tugas KPRPI adalah : 1. Melakukan pengkajian terhadap kelayakan permintaan dukungan Pemerintah atas pelaksanaan kerjasama penyediaan infrastruktur; 2. Menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian kerjasama dalam penyediaan infrastruktur; 3. Memonitor secara aktif pelaksanaan kerjasama penyediaan infrastruktur yang membutuhkan dukungan Pemerintah; 4. Mengevaluasi secara berkesinambungan biaya dan pengeluaran operasi yang wajar, dan tingkat keuntungan yang wajar terhadap suatu proyek penyediaan infrastruktur dalam kurun waktu tertentu; 5. Melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait baik di dalam maupun di luar lingkungan Departemen Keuangan sehubungan dengan kegiatan penyediaan infrastruktur, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan perjanjian kerjasama;
Gambar 1. Struktur Organisasi Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Komite Pengelolaan Risiko Penyediaan Infrastruktur
Komite Kebijakan Komite Penasehat Komite Teknis
Wakil Ketua Bidang Pengkajian Kelayakan
Wakil Ketua Bidang Pembiayaan
Wakil Ketua Bidang Hukum
Anggota
Anggota
Anggota
U T A M A
U T A M A
6. Memberikan rekomendasi kebijakan pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur kepada Menteri Keuangan; 7. Mempersiapkan pembentukan unit kerja di bawah Menteri Keuangan yang akan melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur; 8. Melaksanakan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang berkaitan dengan pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur. Secara teknis KPRPI melakukan evaluasi terhadap kelayakan sebuah proyek infrastruktur untuk mendapatkan Dukungan Pemerintah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Dukungan Pemerintah adalah suatu jenis dukungan yang memerlukan pengelolaan risiko keuangan negara sehingga diperlukan keterlibatan dari suatu unit pengelola risiko keuangan negara.
Dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional dan internasional, Pimpinan Kementerian Keuangan melakukan re-organisasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden nomor 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi Dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia. Dalam re-organisasi dimaksud Bapekki bertransformasi menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Seiring dengan perubahan struktur organisasi di Kementerian Keuangan tersebut Komite Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur ditransformasikan menjadi salah satu unit eselon 2 di BKF yaitu Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF).
uangan yang fokus pada pengelolaan risiko yang berdampak pada fiskal (APBN). Dengan mempertimbangkan bahwa PPRF fokus pada fiskal dan tidak ada unit eselon 1 di Kementerian Keuangan yang cocok dengan tugas pengelola risiko fiskal maka PPRF dikategorikan sebagai unit pengelola kebijakan fiskal. Oleh karena itu PPRF dimasukkan dalam Badan Kebijakan Fiskal dimana unit eselon 2 selain PPRF juga mempunyai fungsi sebagai unit pengelola kebijakan fiskal namun dengan kekhususan tertentu. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 184/PMK.01/2010 tahun 2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, PPRF memiliki empat (4) unit eselon 3, sembilan belas (19) unit eselon 4 dan beberapa pejabat fungsional peneliti. Adapun tugas pokok dan fungsi dari PPRF sesuai PMK nomor 184/ PMK.01/2010 tahun 2010 adalah:
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal merupakan unit di Kementerian Ke-
Gambar 2. Struktur Organisasi Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
Bidang Rekomendasi Pengelolaa Risiko Fiskal
Bidang Analisis Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial
Bidang Analisis Risiko Dukungan Pemerintah
Bidang Peraturan Pengelolaan Risiko Fiskal
Kelompok Peneliti
SubBidang Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial
SubBidang Risiko Ekonomi
SubBidang BUMN Jasa Keuangan, Konstruksi dan Jasa lainnya
SubBidang Risiko Infrastruktur Transportasi
SubBidang Penyusunan Peraturan
SubBid BUMN
SubBid Risiko Keuangan dan Pengelolaan Utang
SubBid BUMN Logistik dan Pariwisata
SubBid Risiko Infrastruktur Jalan Tol
SubBid Kodifikasi
SubBid Risiko Dukungan Pemerintah
SubBid Sosial, Politik, dan Hukum
SubBid BUMN Agro Industri, Kehutanan, Kertas Percetakan dan Penerbitan
SubBid Risiko Infrastruktur Energi
SubBid Pengolahan Data Risiko Fiskal
SubBid Pertambangan, Industri Strategis, Energi dan Telekomunikasi
SubBid Risiko Infrastruktur Telekomunikasi dan Lainnya
SubBidang Tata Kelola
Staf
Staf
Staf
SubBid Kerja Sama Kelembagaan
Staf
Bidang Analisis Risiko BUMN
Staf
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
perumusan rekomendasi kebijakan pengelolaan risiko fiskal dan kelayakan pemberian dukungan pemerintah, serta penyiapan bahan negosiasi dan perjanjian kerja sama; analisis dan evaluasi pengelolaan risiko ekonomi, keuangan dan sosial, risiko BUMN dan risiko dukungan pemerintah; analisis dan evaluasi pengelolaan risiko fiskal terhadap pelaksanaan Public Service Obligation, penyertaan modal negara, restrukturisasi dan privatisasi BUMN; analisis dan evaluasi terhadap kelayakan permintaan dukungan pemerintah atas pelaksanaan kerja sama penyediaan infrastruktur; penyusunan bahan Nota Keuangan dan RAPBN, Laporan Semester I dan Prognosa Semester II pelaksanaan APBN, RAPBN Perubahan, bahan Pidato dan Lampiran Pidato Presiden, Jawaban Pemerintah atas pertanyaan DPR dan DPD, jawaban pertanyaan dan bahan konsultasi dengan Lembaga Internasional dan Regional di bidang pengelolaan risiko fiskal; penyiapan bahan, penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan di bidang pengelolaan risiko fiskal.
Secara teknis, PPRF melakukan pengelolaan risiko fiskal (APBN) yang berasal dari pemberian dukungan Pemerintah atas proyek infrastruktur, aksi korporasi dari BUMN yang berkaitan dengan kebijakan fiskal (yaitu BUMN pelaksana PSO seperti PT PELNI, PT KAI, PT ASDP dan lain sebagainya; BUMN pengelola subsidi seperti PT PLN, PT Pertamina dan lain sebagainya; BUMN Penerima PMN dsb), kebijakan fiskal terkait ekonomi, sektor keuangan dan sosial. Dalam pelaksanaan pengelolaan risiko fiskal INFO RISIKO FISKAL
PPRF melakukan evaluasi terhadap mitigasi risiko yang dilakukan dan dampak dari mitigasi dimaksud. Selain itu evaluasi juga dilakukan terhadap institusi PPRF sebagai unit pengelola risiko fiskal dan risiko-risiko yang seharusnya dikelola. dimaksud, PPRF melakukan evaluasi terhadap mitigasi risiko yang dilakukan dan dampak dari mitigasi dimaksud. Selain itu evaluasi juga dilakukan terhadap institusi PPRF sebagai unit pengelola risiko fiskal dan risiko-risiko yang seharusnya dikelola. Dari hasil evaluasi diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan risiko keuangan negara seharusnya mencakup pengelolaan risiko fiskal, pengelolaan risiko kekayaan negara (dari sisi neraca) dan pengelolaan risiko kas dari keuangan negara. Dengan berjalannya waktu, terjadi perubahan-perubahan pada kondisi ekonomi nasional dan ekonomi global. Perubahan dimaksud berdampak pada munculnya risiko baru bagi keuangan negara. Mengingat dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 dan Undang-Undang nomor 1 tahun 2004, Kementerian Keuangan memiliki tiga fungsi (Fungsi Pengelolaan Fiskal, Fungsi Pengelolaan Kekayaan Negara, dan Fungsi Bendahara Umum Negara) maka ruang
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
lingkup pengelolaan risiko keuangan negara seharusnya mencakup ketiga fungsi dimaksud. Faktor-faktor risiko keuangan negara yang mengalami peningkatan atau perubahan, antara lain: 1. Sektor Riil atau Pertumbuhan Ekonomi 2. Harga komoditas (Migas, Batubara, Karet, dan Crude Palm Oil) 3. Keuangan Daerah (transfer daerah) 4. Inflasi, suku bunga, dan nilai tukar rupiah 5. Public Service Obligation (PSO)/ subsidi, mencakup sektor Energi dan Non Energi 6. Utang Pemerintah, meliputi level of debt, structure of debt, time period of debt, dan denomination of debt. 7. Pemberian dukungan oleh Pemerintah, mencakup: • Pemberian insentif fiskal kepada investor secara umum. • Pemberian jaminan dukungan langsung dan lain-lain dalam proyek penyediaan infrstruktur. 8. Sektor Keuangan, meliputi fungsi intermediasi bank dan non bank, pasar saham, pasar utang, dan pasar uang. 9. BUMN dan Barang Milik Negara (BMN), meliputi kebijakan privatisasi, penambahan modal pada BUMN, kinerja BUMN dan investasi pemerintah lainnya. 10. Pencapaian target penyerapan anggaran Pemerintah Pusat. 11. Sosial dan Bencana Alam 12. Politik 13. Kondisi Global atau negara lain. Mengingat perlunya perluasan ruang lingkup dari pengelolaan risiko keuangan negara dan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas faktor risiko maka pimpinan di Kementerian Keuangan melakukan reorganisasi
U T A M A
U T A M A
atas unit pengelola risiko fiskal dimaksud. Reorganisasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor lainnya seperti transformasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kebutuhan akan integrasi antara unit pengelola utang dan unit pengelola risiko fiskal, kebutuhan akan penguatan unit pengelola kebijakan penerimaan negara, kebutuhan akan tersedianya unit pengelola dukungan pemerintah pada proyek Kerjasama Pemerintah dan Swasta, dan lain sebagainya. Dalam reorganisasi dimaksud, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) akhirnya dipindahkan ke Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) dan dilakukan perubahan nomenklatur dari unit eselon 1 menjadi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR). Dalam hal ini, PPRF juga mengalami perubahan nomenklatur dan pemecahan fungsi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan nomor 206/PMK.01/2014
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, PPRF mengalami perubahan nomenklaturnya menjadi Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara (PRKN). Pada saat kepindahan dari BKF ke DJPU, terjadi pemisahan beberapa fungsi di PPRF yaitu fungsi pengelolaan risiko dan pemberian dukungan pemerintah untuk proyek non KPS menjadi Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara (PRKN) sedangkan fungsi pengelolaan dukungan pemerintah untuk proyek KPS menjadi Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur.
Peran Strategis Direktorat PRKN Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara (DPRKN) merupakan unit eselon 2 di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dengan fungsi utama melakukan pengelolaan risiko keuangan negara. Namun demikian, ada perubahan ruang lingkup pengelolaan risiko
dibandingkan yang dilakukan oleh PPRF. Pengelolaan risiko di DPRKN mencakup pengelolaan risiko fiskal dan risiko atas aset-kewajiban pemerintah. Terkait dengan pengelolaan risiko keuangan negara, secara umum DPRKN memiliki fungsi : (1) penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengelolaan risiko keuangan negara, (2) penyiapan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan risiko keuangan Negara, (3) penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan risiko keuangan negara, (4) penyiapan pemberian bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi di bidang pengelolaan risiko keuangan negara. Dalam melaksanakan fungsi dimaksud, DPRKN akan melakukan berbagai kegiatan teknis seperti: 1. Merumuskan konsep risiko keuangan negara dan pengelolaannya. 2. Merumuskan rekomendasi mitigasi risiko keuangan negara dan instrumen yang dibutuhkan. 3. Mengoordinasikan pelaksanaan
Gambar 3. Struktur Organisasi Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara
Direktorat pengelolaan risiko Keuangan negara SubBagian Tata Usaha SubDirektorat Mitigasi Risiko Anggaran Pendapatan dan belanja negara
SubDirektorat Mitigasi Risiko Badan Usaha Milik Negara
SubDirektorat Mitigasi Risiko Lembaga Keuangan dan Instrumen Mitigasi Risiko
SubDirektorat Pengelolaan risiko aset dan kewajiban negara
seksi risiko dukungan dan jaminan atas penugasan pemerintah
seksi risiko pelaksanaan pso pada bumn i
seksi risiko lembaga keuangan i
seksi analisis struktur aset dan kewajiban pemerintah
seksi risiko jaminan sosial
seksi risiko pelaksanaan pso pada bumn ii
seksi risiko lembaga keuangan ii
seksi analisis risiko aset dan kewajiban lintas generasi
seksi risiko politik dan tuntutan hukum
seksi risiko penugasan non pso dan investasi pada bumn
seksi instrumen mitigasi risiko
seksi kerjasama kelembagaan
seksi pengungkapan risiko keuangan negara
seksi risiko pinjaman pada bumn
seksi peraturan mitigasi risiko
seksi perencanaan dan evaluasi kinerja
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
mitigasi risiko keuangan negara. Mengoordinasikan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap mitigasi risiko keuangan negara. 5. Mengoordinasikan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap peran fiskal BUMN dan Lembaga Keuangan. 6. Merumuskan pemberian jaminan dan/atau dukungan pemerintah atas penugasan pemerintah. 7. Merumuskan pemberian jaminan atas pinjaman langsung BUMN. 8. Melakukan penagihan, perencanaan penggunaan, dan administrasi fee penjaminan. 9. Mengoordinasikan penyusunan serta penyajian laporan risiko keuangan negara. 10. Mengoordinasikan penyiapan bahan, penelaahan dan penyusunan rancangan peraturan pengelolaan risiko keuangan negara. 11. Merumuskan rekomendasi identifikasi, pemetaan, dan kebijakan teknis operasional pengelolaan risiko keuangan negara. 12. Merumuskan bahan negosiasi dan konsep perjanjian kerja sama kelembagaan dalam rangka pengelolaan risiko keuangan negara. 13. Merumuskan konsep kebijakan terkait pengelolaan risiko keuangan negara. 14. Melaksanakan fungsi koordinasi terkait pelaksanaan Assets and Liabilities Management (ALM) di lingkungan Kementerian Keuangan dan negara. Secara nomenklatur DPRKN tidak hanya mengelola risiko fiskal (APBN) melainkan juga mengelola risiko keuangan negara dengan ruang lingkup yang lebih luas khususnya terhadap risiko aset dan kewajiban pemerintah. Dalam hal ini, pengelolaan risiko aset dan kewajiban pemerintah dilakukan dengan pendekatan neraca negara dan laporan lintas generasi. Berda4.
INFO RISIKO FISKAL
“Sejak tahun 2006, isu pengelolaan risiko di Kementerian Keuangan berkembang sangat cepat dan dinamis. Kepindahan unit pengelola risiko ke DJPPR ini merefleksikan dinamika itu, terutama dalam hal membangun sebuah paradigma baru tentang bagaimana risiko keuangan negara perlu dikelola.”
Ir. Brahmantio Isdijoso, M. S. Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara sarkan kajian yang dilakukan oleh PPRF-BKF tentang Penilaian Analisis Keberlanjutan Fiskal di Indonesia Melalui Pendekatan Neraca, diketahui bahwa neraca negara dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk
Yang dimaksud dengan neraca negara adalah neraca konsolidasi antara neraca Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia dan beberapa BUMN/BUMD yang memiliki hubungan kuat dengan keuangan Pemerintah Pusat/ Daerah.
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
mengevaluasi tingkat keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. Selain itu Kementerian Keuangan (dalam hal ini DJPU) bersama dengan Bank Indonesia telah melakukan evaluasi terhadap neraca Pemerintah (Pusat) dan Bank Indonesia khususnya terkait dengan pengeloaan utang negara dan pengelolaan cadangan devisa. Yang dimaksud dengan neraca negara adalah neraca konsolidasi antara neraca Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia dan beberapa BUMN/BUMD yang memiliki hubungan kuat dengan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah. Secara umum neraca negara dapat digunakan sebagai sebuah instrumen pengelolaan risiko keuangan negara khususnya sebagai alat pengawasan tingkat kerentanan atau tingkat keberlanjutan keuangan negara. Pada tahap awal, necara negara akan mencakup beberapa akun penting dari neraca Pemerintah Pusat dan neraca Bank Indonesia. Pada saat ini sedang dalam tahapan penyusunan kerangka kerja dari neraca negara dimaksud. Secara umum, Laporan Lintas
U T A M A
U T A M A
Generasi adalah sebuah laporan yang menjelaskan hal-hal terkait dengan masalah demografi khususnya mengenai tantangan dan peluang yang ada pada masa depan. Laporan ini menjadi sebuah kebutuhan bagi pengelolaan risiko keuangan negara dalam jangka panjang mengingat Indonesia sudah menerapkan konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara holistik. Pada dasarnya dengan neraca negara dan laporan lintas generasi DPRKN dapat melakukan pengawasan terhadap tingkat risiko dari keuangan negara untuk periode menengah dan panjang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengelolaan risiko keuangan oleh DPRKN dilakukan secara lebih holistik dibandingkan dengan pengelolaan risiko keuangan negara sebelumnya.
Peran Strategis Direktorat PDPPI Sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 206/PMK.01/2014, Direktorat
“Pemilihan pembiayaan infrastruktur harus dilaksanakan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menjunjung aspek akuntabilitas dan transparansi serta mempertimbangkan risikonya. Pengelolaan risiko dalam mendukung kesinambungan fiskal di masa depan telah menjadi kesadaran bagi segenap stakeholders di Pemerintahan.”
Drs. Freddy R. Saragih, MPAcc Direktur Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur PDPPI mempunyai tugas: (1) penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur, (2) pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan dukungan pemerintah dan pembia-
yaan infrastruktur, (3) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur, (4) pemberian bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi di bidang pe-
Gambar 4. Struktur Organisasi Direktorat PDPPI direktorat pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur subbagian tata usaha
subdirektorat penyiapan kerja sama pemerintah dengan badan usaha
10
subdirektorat evaluasi dukungan pemerintah
subdirektorat persetujuan dukungan pemerintah
seksi perencanaan
seksi dukungan pemerintah proyek sektor i
seksi persetujuan proyek sektor i
seksi pengelolaan dana penyiapan proyek
seksi dukungan pemerintah proyek sektor ii
seksi persetujuan proyek sektor ii
seksi penyiapan proyek kerja sama sektor i
seksi koordinasi fasilitas dukungan pemerintah
seksi penyusunan peraturan
seksi penyiapan proyek kerja sama sektor ii
seksi pemantauan dan evaluasi dukungan pemerintah
seksi perencanaan, evaluasi kinerja, dan kerja sama kelembagaan
INFO RISIKO FISKAL
kelompok jabatan fungsional
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
ngelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur. Direktorat PDPPI diharapkan menjadi PPP Unit pada Kementerian Keuangan yang diharapkan akan dapat menciptakan breakthrough percepatan penyediaan infrastruktur dengan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) di Indonesia. Unit ini akan mengelola semua fasilitas dukungan dan jaminan pemerintah yang diberikan Kementerian Keuangan dalam rangka mendukung kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015. Struktur organisasi Direktorat PDPPI dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2015 – 2019, peran strategis Kementerian Keuangan dalam Agenda Pembangunan Nasional Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau yang dikenal dengan Nawa Cita adalah mendukung Nawa Cita 6, yaitu Nawa Meningkatkan Produktivitas Rakyat dan Daya Saing di Pasar Internasional. Salah satu strategi dalam mewujudkan Nawa Cita tersebut adalah peningkatan efektivitas dan efisiensi dalam pembiayaan infrastruktur. Sasaran yang ingin diwujudkan adalah menyediakan dukungan pembiayaan untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur melalui penyediaan alternatif pembiayaan, seperti melalui skema kerja sama Pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dan skema innovative financing lainnya. Arah kebijakan dalam rangka mencapai sasaran dimaksud adalah pengembangan alternatif pembiayaan infrastruktur, dengan strategi antara lain: 1) mengkaji dan mengimplementasikan berbagai model KPBU berbasis pendanaan Pemerintah (innovative financing scheme), 2) penyediaan dana untuk dukungan (dukungan penyiapan proyek, INFO RISIKO FISKAL
dukungan kelayakan, dukungan pengadaan tanah, dll) dan jaminan pemerintah untuk proyek proyek KPS, baik yang bersifat dana bergulir (revolving) maupun yang bersifat habis pakai (sinking fund), 3) menyempurnakan mekanisme pemberian berbagai bentuk dukungan Pemerintah termasuk viability gap fund (VGF) untuk proyek KPS berbasis pendanaan swasta, dan 4) pembentukan fasilitas pembiayaan infrastruktur berupa pembentukan bank pembangunan/ infrastruktur, dana amanah (trust fund) infrastruktur, obligasi infrastruktur, dan instrumen pembiayaan lain khusus untuk infrastruktur, khususnya untuk mendorong percepatan pembangunan proyekproyek dengan skema KPS. Peran strategis Kementerian Keuangan dalam mendukung Nawa Cita tersebut dilaksanakan oleh Direktorat PDPPI dengan mewujudkan (1) pengelolaan dukungan pemerintah dengan risiko yang terkendali untuk mendukung percepatan penyediaan infrastruktur; (2) pengelolaan dukungan pemerintah yang kredibel dalam rangka percepatan pembiayaan infrastruktur; dan (3) penyusunan kebijakan pengelolaan dukungan pemerintah dan pembiayaan infrastruktur yang berkualitas. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat PDPPI antara lain: 1. Penyiapan dan pelaksanaan kebijakan pemberian fasilitas penyiapan proyek (Project development fund/PDF), meliputi: a. Penyusunan perjanjian PDF/ PDF Agreement; b. Asistensi pelaksanaan PDF; c. Penugasan pelaksana fasilitasi penyiapan proyek; d. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan fasilitas penyiapan proyek.
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
2. Penyiapan dan pelaksanaan kebijakan pemberian dana dukungan kelayakan proyek KPS/Viability Gap Fund (VGF), meliputi: a. Pengalokasian dana dukungan kelayakan di APBN; b. Penentuan besaran dana dukungan kelayakan yang diberikan; c. Mekanisme pemberian dana dukungan kelayakan kepada badan usaha swasta; d. Monitoring dan evaluasi pemberian dana dukungan kelayakan. 3. Penjaminan untuk proyek KPS, meliputi: a. Evaluasi atas permintaan penjaminan dari PJPK; b. Menentukan struktur dan ruang lingkup penjaminan; c. Penyusunan kebijakan pemberian penjaminan pemerintah; d. Monitoring dan evaluasi pemberian penjaminan pemerintah. 4. Penyusunan kebijakan atas struktur pembiayaan proyek KPS, misalnya skema ketersediaan pembayaran (availability payment). 5. Rekomendasi kebijakan Kementerian Keuangan dalam forum Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Dengan adanya 2 direktorat baru (PRKN dan PDPPI), DJPPR merupakan eselon I di Kementerian Keuangan yang diharapkan dapat melihat secara holistic risiko keuangan negara dari berbagai sumber, bukan lagi hanya terbatas pada menetapkan kebijakan pembiayaan utang dan mengelola risikonya, namun juga mengelola risiko keuangan negara yang bersumber dari risiko fiskal, risiko atas aset-kewajiban pemerintah serta risiko atas pemberian dukungan pemerintah terhadap proyek-proyek infrastruktur serta melakukan mitigasi atas risiko-risiko tersebut. n 11
U T A M A
Peran Fiskal Lembaga Keuangan Pemerintah Oleh: Ivan Yulianto
Kepala Seksi Risiko Lembaga Keuangan I. Email:
[email protected]
A. PENDAHULUAN
m i t i g a s i r i s i k o
Sejalan dengan program Transformasi Kelembagaan Kementerian keuangan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) selaku unit yang sebelumnya mengelola utang Pemerintah mendapat amanat tambahan yang cukup strategis antara lain pengelolaan risiko keuangan Negara dan pengelolaan pembiayaan infrastruktur baik dalam skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) maupun skema pembiayaan infrastruktur melalui APBN murni. Dengan penambahan tugas baru tersebut, nomenklatur DJPU berubah menjadi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJP2R). Sebagai unit pengelola pembiayaan dan risiko, DJP2R mempunyai tanggung jawab melakukan pengelolaan risiko keuangan negara secara terintegrasi, yaitu risiko utang, risiko APBN, risiko BUMN, risiko lembaga keuangan, dan risiko kerjasama Pemerintah dengan badan usaha. Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, usaha yang dilakukan dalam rangka menyatukan pegelolaan dan mitigasi risiko adalah dengan cara mengalihkan satu unit eselon II di BKF ke DJP2R, yaitu Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF). Langkah ini tertuang dalam Treasury Function pada salah satu program Transformasi Kelembagan yaitu “To ensure government sovereign financial risk is managed prudently and holistically”. Dalam hal pengelolaan risiko keuangan Negara, dibentuk Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara 12
(PRKN) yang mempunyai tugas mengelola risiko yang berasal dari APBN, BUMN, Lembaga Keuangan, dan unit yang mengelola Asset-Liability Management (ALM) risiko keuangan Negara. Pengelolaan risiko yang berasal dari APBN dan BUMN merupakan pengembangan dari tugas yang sebelumnya dikerjakan oleh Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal di bawah Badan Kebijakan Fiskal, sedangkan pengelolaan risiko yang berasal dari Lembaga Keuangan Pemerintah dan ALM Risiko merupakan tugas baru dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan risiko keuangan Negara. Lahirnya unit baru setingkat Eselon III yang mengelola risiko yang berasal dari Lembaga Keuangan, mengemban tugas penguatan peran fiskal dan melakukan mitigasi risiko yang berasal dari Lembaga Keuangan Pemerintah seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Sarana Multigriya Financial (SMF), Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), Geodipa Energi, dan Badan Layanan Umum (BLU).
B. ARAH KEBIJAKAN MITIGASI RISIKO DAN PENGUATAN PERAN LEMBAGA KEUANGAN PEMERINTAH I. Peran Fiskal Lembaga Keuangan Pemerintah Sering muncul pertanyaan, apa yang dimaksud peran fiskal lemba-
ga keuangan Pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya harus dilakukan pendekatan melalui tiga sisi yaitu Kebijakan Fiskal, Fungsi Fiskal dan Tujuan Pembentukan Lembaga-Lembaga Keuangan Pemerintah tersebut. Menurut Subiyantoro & Riphat (2007) Kebijakan fiskal memiliki dua instrumen pokok, yakni perpajakan (tax policy) dan pengeluaran (expenditure policy). Dengan menggunakan dua komponen utama tersebut kebijakan fiskal mampu menjawab pertanyaan tentang bagaimana pengaruh penerimaan dan pengeluaran negara terhadap kondisi perekonomian, tingkat pengangguran, dan inflasi. Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan untuk pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga pening katan aspek sosial seperti pemerataan pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.1 Fungsi Kebijakan Fiskal menurut sumber Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, adalah: Fungsi kebijakan fiskal yang pertama adalah fungsi alokasi. Dalam penerapan fungsi ini kebijakan fiskal berperan aktif mengalokasikan atau mengatur faktor-faktor produksi yang sudah ada di masyarakat secara lebih maksimal. Dan jika faktor ekonomi tersebut dapat dikelola dengan baik maka dapat
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
membantu pemenuhan kebutuhan rakyat disamping juga memberikan dampak positif terhadap perekonomian secara luas. Fungsi yang kedua adalah fungsi distribusi. Untuk mencapai fungsi ini, penerapan kebijakan fiskal dapat dimulai dari sistem yang mengatur pembagian dan pemerataan hasil pendapatan negara. Hal ini tentunya menjadi faktor yang sangat penting mengingat tidak jarang pendistribusian pendapatan negara tidak benar-benar sampai dengan baik hingga ke rakyat banyak. Dan fungsi yang ketiga adalah fungsi stabilitas. Pada fungsi stabilitas beberapa faktor yang dijaga agar tetap stabil yaitu harga barang kebutuhan pokok, pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang memadai. Ketiga faktor tersebut merupakan hal yang harus diperhatikan untuk memenuhi fungsi stabilitas dari kebijakan fiskal”.2 Dari fungsi alokasi fiskal di atas, Pemerintah dapat mengalokasikan sebagian faktor produksi yang dimilikinya dalam rangka memperkuat perekonomian nasional melalui lembaga-lembaga keuangan yang dibentuk untuk menutupi kelemahan mekanisme pasar yang ada. Lembaga-lembaga ini mempunyai tujuan utama fill the market
gap sesuai area-area tertentu, terlebih ketika negara sedang menghadapi krisis dan sektor keuangan privat menghadapi crowding out. Mark Horton & Asmaa El Ghanainy berpendapat: “…Governments typically use fiscal policy to promote strong and sustainable growth and reduce poverty. The role and objectives of fiscal policy gained prominence during the recent global economic crisis, when governments stepped in to support financial systems, jump-start growth, and mitigate the impact of the crisis on vulnerable groups”. 3 Dalam prakteknya Lembaga Keuangan Pemerintah (Government Financial Institutions/GFIs) mempengaruhi ekonomi melalui enam hal (Iwamoto (2002)), yaitu: 1) improve the operational efficiency of private financial institutions through their competition with GFIs; 2) credit information produced by GFIs, rather than private financial institutions; 3) term-conversion (short-term deposits used to fund long-term projects); 4) externalities; 5) risk-bearing; and 6) asymmetric information.4 Lembaga Keuangan Pemerintah (GFI) merupakan salah satu alat pendukung pengelolaan fiskal (fiscal tool) melalui:
a. Sebagai lembaga fiskal yang independen, lembaga keuangan independen , tujuan utama yang membatasi risiko yang terkait dengan kebijakan yang tidak bertanggung jawab fiskal, terutama pemantauan , pengendalian defisit dan evaluasi hasil jangka panjang dari tindakan yang diambil oleh pemerintah. b. Kebijakan fiskal bertanggung jawab dianggap sebagai kondisi yang signifikan untuk pemerintahan yang efektif , yang mengarah ke pengurangan defisit anggaran dan utang publik . Salah satu alat yang tidak diragukan lagi lembaga fiskal independen mendukung kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah . Contoh : Biro Perencanaan Pusat Belanda atau Kantor Anggaran Kongres Amerika. Merujuk penjelasan di atas, maka peran fiskal lembaga-lembaga keuangan pemerintah dapat diartikan sebagai: “Menjalankan mandat pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara melalui fungsi alokatif fiskal atas faktor-faktor produksi yang tersedia pada area-area tertentu dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional”.
II. Contoh Government Financial Institutions di Nigeria dan Jepang 1. Nigeria Operational Performance Of Fiscal Policies In Nigerian Financial Institutions Fiscal Functions 1. The government can use fiscal to influence the level of aggregate demand in the economy. 2. Keynesian also suggested that government spending and taxes can be used in time of recession or low economic activity as an essential tool for building the framework for strong economic growth and working towards full employment. 3. Fiscal policy makes sense, given a complete absence of tradition of fiscal indiscipline. A fiscal rule commits government to a certain level of conduct in budgetary management; it assists to build credibility and promotes strong fiscal financial discipline in all the tiers of government and reduces corruption and misappropriation.
Details The study concludes that a fiscal policy rule could make sense in Nigeria. a. Using a total (n=180) bank managers from the selected banks. b. The participants were 78 (65%) M and 42 (35%) F. c. Ages ranged from 34 years to 55 years old.
Example The study investigated three selected banks namely a. First bank. b. Ecobank. c. Access Bank.
Result : 1. Significant and positive relationship between fiscal and monetary policy and macroeconomic stabilization in Nigerian financial institutions. 2. Positive relationship between fiscal and monetary policy and financial discipline in the Nigerian financial institutions.
Sumber: Enahoro, John ; Jayeola Olabisis; Onou Dafe P, Takero; Operational Performance of Fiscal and Monetary Policies in Nigerian Financial Institutions, 2013.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
13
m i t i g a s i r i s i k o
2. Jepang Japan’s Government Financial Institutions: 1. Government Financial Intermediation 1.1. GFIs have been created in six points, These are: 1. 2. improve the operational efficiency of private financial institutions through their competition with GFIs; 1. 3. credit information produced by GFIs, rather than private financial institutions; 1. 4. term-conversion (short-term deposits used to fund long-term projects); 1. 5. externalities; 1. 6. risk-bearing; 1. 7. asymmetric information.
m i t i g a s i r i s i k o
2. Reforms Underway 2.1. It is stated that privatization is not the sole solution because if existing GFIs should simply be privatized without scaling down their scope of operation to become private financial institutions. 2.2. Stressed that GFIs that cannot be simply privatized or are not suited to privatization are to be retained as public institutions, though their scope of operation is to be scaled down and limited. 2.3. GFIs should withdrawal from businesses that private financial institutions can carry on. 3. General Issues 3.1. Limiting Liability of government capital contributions 3.2. Creating a New Corporate Structure 3.3. Greater Transparency 3.4. Using the Grant Element as an Indicator 3.5. Funding 3.6. Comparison among policy tools 3.7. Bankruptcy.
GFIs can claim a “double-complementary role” to private financial institutions. GFI enhance both • private intermediation • the functioning of capital markets. GFIs were part of a segmented-market system, filling gaps in the private part of that system.
For that purpose, it is effective to promote securitization and assign their financial receivables to private financial institutions.
Reforming GFI 1. Postal Savings System (PSS) 2. Government Housing Loan Corporation (GHLC), 3. GFIs for Small and Medium Enterprises 4. Development Bank of Japan (DBJ) 5. Japan Bank for International Corporation (JBIC),
Agriculture, Forestry and Fisheries Finance Corporation (AFC) Okinawa Development Finance Corporation (ODFC).
• The reform of GFIs are three points: • Clarification of roles between the private and public sectors. • Increasing business efficiency in GFIs. • Restraint of fiscal burden.
–
4. Inter-Government Finance 3.1. Some Reforms and Changes 3.2. Use of FILP Funds 3.3. Local Government Solvency 3.4. Government Guarantees 3.5. The Mediation Law 3.6. Bankruptcy 3.7. Japan Finance Corporation for Municipal Enterprises (JFM)
–
–
5. Conclusion 5.1. Clarifying their role. 5.2. From such viewpoints, the important aims of the reform of GFIs are the following points: 5.3. clarification assignments of roles between the private and public sectors 5.4. increasing business efficiency in GFIs 5.5. restraint of fiscal burden. 5.6. The soft budget constraint problem must be fundamentally settled to accomplish these goals. 5.7. To the extent subsidies are deemed appropriate for a GFI’s activities.
–
–
Sumber: Doi, Takero, Government Financial Institutions, Japan, August 2004.
14
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
III. Beberapa Lembaga Keuangan Pemerintah (LKP) 1. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Landasan hukum LPS adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan UndangUndang tersebut, LPS adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. 2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Dalam rangka implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pemerintah dan DPR membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang dituangkan dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS terbagi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. a. BPJS Kesehatan Landasan Hukum BPJS Kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Adapun visi BPJS Kesehatan adalah “Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya”. INFO RISIKO FISKAL
b.
BPJS Ketenagakerjaan Landasan Hukum BPJS Kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 161 Tahun 2013 Tentang Pengangkatan Dewan Komisaris Dan Direksi PT Jamsostek (Persero) Menjadi Dewan Pengawas Dan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Adapun visi dan misi BPJS Ketenagakerjaan adalah Menyelenggarakan program jaminan sosial yang merupakan salah satu tanggungjawab dan kewajiban Negara, untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. 3. PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI) PT SMI adalah perusahaan pembiayaan infrastruktur yang didirikan pada tanggal 26 Februari 2009, dengan 100% saham dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keuangan. PT SMI memainkan peran aktif dalam memfasilitasi pembiayaan infrastruktur seperti jalan tol & jembatan, angkutan, minyak & gas, telekomunikasi, pengelolaan sampah, listrik, irigasi & waterway, dan persediaan air serta mempersiapkan proyek dan melayani konsultasi untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. 4. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) atau BEI yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 1999, BEI masih terikat kepada peraturan perbankan dan bekerja sesuai dengan prinsip bank umum sehingga profit oriented dan masih belum bisa melayani sektor UKM secara maksimal. BEI merupakan embrio sebuah lembaga keuangan yang
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
berdaulat, dengan nama Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Pada tahun 2000 berdasarkan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah RI dan IMF pada butir 98 dibentuklah LPEI untuk mendukung Usaha Kecil Menengah. Atas dasar LoI tersebut disusun Rancangan Undang-Undang tentang LPEI yang disampaikan oleh Presiden ke DPR dengan Surat Presiden (Surpres) pengantar RUU LPEI tanggal 11 Juni 2007, dan baru pada tanggal 16 Desember 2008 DPR menyetujui RUU LPEI menjadi UU LPEI. Pengesahan UU LPEI sendiri baru dilaksanakan pada 12 Januari 2009. Peresmian operasionalisasi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank dilakukan pada tanggal 1 September 2009 oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Indonesia Eximbank, adalah institusi keuangan khusus yang memiliki ruang lingkup melayani eksportir dengan beberapa fasilitas, yaitu: pembiayaan, penjaminan, jasa konsultasi, dan asuransi. Bila diperlukan, Indonesia Eximbank juga bisa memberikan pembiayaan kepada pembeli di luar negeri dalam bentuk Buyer’s Credit. 5. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PII) PII didirikan sebagai respon Pemerintah Indonesia terhadap kebutuhan akan adanya penjaminan terhadap risiko politik yang melekat pada investasi di bidang infrastruktur. Melalui penjaminan tersebut, diharapkan akan mendorong keikutsertaan pihak swasta yang lebih luas dalam pembangunan infrastruktur khususnya melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta/ KPS (Public Private Partnership, PPP). Sebagai dasar pelaksanaan KPS, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang KPS dalam Penyediaan Infrastruktur, yang diubah dengan Perpres 13/2010. Perpres 13/2010 menyebutkan adanya 15
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
dukungan kontinjen berupa Jaminan Pemerintah yang akan diberikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) kepada proyek KPS. Dukungan kontinjen atau jaminan tersebut diberikan Menkeu melalui suatu Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Untuk itu, PII sebagai BUPI dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 sebagai salah satu upaya Pemerintah mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, melalui penyediaan jaminan yang dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan dan kredibel. Disamping itu, kehadiran PII sebagai BUPI diharapkan akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta untuk sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) proyek KPS yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund dari proyek-proyek infrastruktur. PII bertindak sebagai Penjamin bagi sektor swasta atas berbagai risiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau tidak adanya tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial bagi proyek KPS infrastruktur, seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan perundangan-undangan, ketiadaan penyesuaian tarif, kegagalan pengintegrasian jaringan/fasilitas dan risikorisiko lainnya yang ditanggung atau dialokasikan ke pemerintah dalam masing-masing kontrak KPS. 6. Sarana Multigriya Finansial (SMF) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 5/2005, tanggal 7 Februari 2005, tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia serta Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19/2005, tanggal 7 Februari 2005, tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, akte Notaris Imas Fatimah, SH, No. 59 yang telah diumumkan dalam Berita Negara 16
Republik Indonesia tertanggal 30 Agustus 2005 No. 69 Tambahan No. 9263 maka didirikanlah PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) pada 22 Juli 2005. Pada 26 Januari 2008, diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 1/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 19/2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Visi SMF adalah Menjadi entitas mandiri yang mendukung kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi setiap keluarga Indonesia, sedangkan Misinya adalah Membangun & mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan, yang dapat meningkatkan tersedianya sumber dana jangka menengah/panjang untuk sektor perumahan, yang memungkinkan kepemilikan rumah menjadi terjangkau bagi setiap keluarga Indonesia. 7. Geodipa Energi Didirikan pada tanggal 5 Juli 2002, Geo Dipa Energi sejak mendedikasikan dirinya untuk memanfaatkan nilai ekonomis dan lingkungan dari energi panas bumi untuk menghasilkan listrik. Dengan memanfaatkan kapasitas besar proyek pembangkit listrik kami di Dieng dan Patuha, Geo Dipa Energi berusaha untuk memenuhi permintaan listrik nasional listrik dengan memanfaatkan kualitas hemat biaya dan lingkungan dari energi panas bumi. Geo Dipa Energi adalah anak perusahaan patungan PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) - memimpin dua perusahaan milik negara dalam eksplorasi energi dan generasi dengan pengalaman terbukti dalam mengembangkan dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga panas bumi. Pada Desember 2011 Geo Dipa Energi telah mengubah dirinya menjadi Perusahaan Milik Negara yang baru. 8. Badan Layanan Umum (BLU) Berdasarkan Peraturan Pemerin-
tah RI Nomor 23 Tahun 2005 tetang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, disebutkan bahwa Bdan Layanan Umum yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Sampai tahun 2015 jumlah BLU di Indonesia sebanyak 158 institusi. Contoh BLU Pembiayaan: a. Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU-PPP) BLU-PPP ditetapkan berdasarkan keputusan Menkeu Nomor 290/ KMK.05/2010 sebagai Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada tanggal 15 Juli 2010. Tugas pokok BLUPPP dalam rangka pelaksanaan kebijakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) adalah menggalang, mengelola dan menyalurkan dana pembiayaan perumahan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan tujuan meningkatkan akses kepada sumber pembiayaan. b. Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (BLU LPDB KUMKM) LPDB-KUMKM dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 19.4/Per/M.KUMKM/ VIII/2006 tanggal 18 Agustus 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 11/Per/M.KUKM/ VI/2008 tanggal 26 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
dan Menegah. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-292/MK.5/2006 Tanggal 28 Desember 2006 LPDB-KUMKM ditetapkan sebagai instasi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Dengan dibentuknya LPDBKUMKM diharapkan pengelolaan dana bergulir dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan dan menghasilkan manfaat berkelanjutan atas penyaluran dana bergulir kepada Koperasi dan UMKM. Sesuai Misinya LPDB KUMKM bertekad untuk 1)Mewujudkan kualitas layanan LPDB yang handal, akuntabel, transparan, tepat waktu, dan berkelajutan, serta mudah diakses oleh KUMKM yang belum bankable, tetapi layak usaha; 2)Mengelola dan mengembangkan dana bergulir KUMKM secara profesional, akuntabel dan berkelanjutan; 3)Melaksanakan pembiayaan usaha dalam rangka memperkuat lembaga leuangan mikro dan perberdayaan KUMKM; 4)Mewujudkan program pemerintah dibidang pembiayaan usaha KUMKM dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, serta meciptakan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan; 5)Mengembangkan industri keuangan mikro yang efisien, dan efektif dalam rangka mendukung pengembangan usaha mikro dan kecil; dan 6)Mengintegrasikan pengelolaan dana bergulir dana bergulir KUMKM lintas instansi untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas perberdayaan KUMKM.
C. SUMBER RISIKO YANG BERASAL DARI LEMBAGA KEUANGAN PEMERINTAH (LKP)
amanatkan dan efisiensi penggunaan dana APBN untuk membiayai penugasan tersebut. Risiko LKP dikatakan tinggi, apabila potensi kegagalan sangat besar atas penugasan/peran fiskal pada LKP yang menggunakan dana APBN. Sebaliknya jika penggunaan dana APBN untuk menambah modal atau belanja pada LKP dapat mengoptimalkan peran fiskal LKP untuk mencapai target pembangunan melalui sektor tertentu, maka dapat dikatakan bahwa risiko LKP tersebut rendah. Sumber risiko lain dari LKP adalah tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi (risiko operasional) dan risiko efek kompetisi negatif dengan lembaga keuangan privat.
D. MITIGASI RISIKO LEMBAGA KEUANGAN PEMERINTAH Sebagaimana tertuang dalam Arah Kebijakan DJP2R, Mitigasi Risiko Lembaga Keuangan bertujuan untuk melakukan mitigasi risiko keuangan negara yang bersumber dari Lembaga Keuangan yang dibentuk oleh Pemerintah dengan cara meningkatkan efisiensi penggunaan dana APBN dan penguatan peran fiskal Lembaga Keuangan untuk mencapai target pembangunan melalui sektor tertentu. Beberapa upaya mitigasi yang sudah dan sedang berjalan untuk memastikan terkendalinya risiko atas peran fiskal Lembaga Keuangan antara lain: • Penyusunan IKU Fiskal Direktur Eksekutif dan Direktur Pelaksana
Catatan Akhir 1. 2. 3. 4.
Sumber risiko dari LKP berasal dari tingkat efektifitas penugasan yang diINFO RISIKO FISKAL
diberlakukan mulai tahun 2013 dan untuk RKAT 2014, IKU Fiskal telah diperbaharui dan lebih fokus pada orientasi aspek fiskal dan makro ekonomi dengan perhitungan target dan bobot yang lebih challenging berdasarkan model Social Accounting Matrix (SAM) dan Analytical Hierarchy Process (AHP); • Mendukung penguatan peran BLU-PPP dalam mendukung pengurangan back-log perumahan penduduk melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). • Penguatan peran fiskal Sarana Multigriya Finansial dalam mendukung pengadaan perumahan dan tempat tinggal yang terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. • Pemantauan kebutuhan modal Lembaga Penjamin Simpanan, • Penyusunan RPMK Penugasan Khusus Ekspor, • Perluasan mandat PT SMI, • Penyusunan RPerPres tentang Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional. Secara bertahap, DJPPR akan menyusun IKU Fiskal untuk masingmasing Lembaga Keuangan dalam rangka mengevaluasi peran fiskal Lembaga Keuangan Pemerintah sesuai mandat yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan pembentukannya. n
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Subijantoro, Heru & Riphat, Singgih, Era Baru Kebijakan Fiskal, Konsep, Pemikiran, dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007. www.fiskal.go.id; IMF, Finance & Development, March 28, 2012. Iwamoto, Yasushi, 2002, The Fiscal Investment and Loan Program in transition, Journal of the Japanese and International Economies vol.16, Issue 4, pp.583-604.
17
m i t i g a s i r i s i k o
Inisiasi Konsep Performance Based Ratemaking/Regulatory pada Subsidi Listrik Oleh: Prima Bagus Diarsa1 dan Riza Azmi2
1. Pelaksana pada Subdit Mitigasi Risiko BUMN. Email:
[email protected] 2. Kepala Seksi Risiko Pinjaman Pada BUMN. Email:
[email protected]
Pendahuluan
m i t i g a s i
Meskipun subsidi listrik dialokasikan secara reguler dalam APBN, namun keberadaanya tidak banyak diketahui oleh sebagian pelanggan rumah tangga. Padahal subsidi listrik dinikmati mayoritas keluarga, misalnya untuk mencuci (mesin cuci), memasak (magic jar dan lain-lain), serta bersantai (TV, kipas angin atau AC, dan lain-lain). Inilah realita subsidi listrik bagi masyarakat pelanggan listrik bersubsidi. Lain halnya bagi PT PLN dan Pemerintah. Bagi PT PLN, subsidi listrik
melalui skema yang saat ini berjalan cenderung membebani perusahaan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar akibat adanya lag waktu penerimaan kas dari subsidi dengan kebutuhan kas dalam penyediaan tenaga listrik. Di sisi lain, dengan adanya subsidi listrik, PT PLN dapat menikmati fasilitas yang hampir setara dengan Pemerintah dalam mengakses pasar finansial domestik maupun internasional. Sedangkan bagi Pemerintah, subsidi listrik telah menjadi beban belanja yang cukup besar sehingga
mengurangi kapasitas fiskal Pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana umum seperti infrastruktur jalan dan lain-lain. Beberapa tahun terakhir, Pemerintah menerapkan kebijakan rasionalisasi tarif yang berimplikasi pada pengurangan subsidi listrik. Akibatnya, pelanggan membayar listrik dengan harga yang lebih mahal. Kebijakan ini tentu mengurangi beban fiskal. Namun beberapa hal lain, seperti kondisi ekonomi makro (harga komoditas dan nilai tukar dolar yang terus meningkat)
r i s i k o
www.beritadaerah.co.id
18
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Tabel 1 Margin PT PLN Subsidi Listrik
satuan s.d 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015* % 0 1 2 8 8 8 7 7 7 Milyar Rp 36,604.70 78,577.00 53,719.82 58,108.00 93,177.74 103,331.00 101,207.86 99,303.20 74,000.00
Sumber : Diringkas dari berbagai sumber.
dan pertumbuhan pelanggan PT PLN, menyebabkan rasionalisasi tarif tidak dapat mengurangi beban subsidi listrik dalam APBN secara signifikan. Di lain pihak, masyarakat dan anggota DPR RI sebagai wakil rakyat merasa bahwa kenaikan tarif yang telah dilakukan sudah memberatkan masyarakat dan meminta agar PT PLN lebih efisien. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengukur efisiensi PT PLN ? Apakah skema subsidi listrik yang ada saat ini dapat mengukur efisiensi PT PLN? Melalui kajian komprehensif terkait proses bisnis PT PLN, termasuk subsidi, yang dilakukan oleh konsultan independent dengan topik kajian Service Level Agreement (SLA) antara Pemerintah dan PT PLN, ditemukan indikasi adanya efficiency paradox dalam pelaksanaan public service obligation (PSO) dengan skema perhitungan subsidi listrik saat ini. Untuk memitigasi risiko efficiency paradox tersebut, beberapa ahli di bidang ekonomi kelistrikan merekomendasikan untuk mengubah skema perhitungan yang saat ini berupa cost plus margin menjadi skema performance based regulatory (PBR). Dalam artikel singkat ini, penulis mengulas inisiasi konsep PBR dalam kerangka peningkatan tata kelola kebijakan subsidi listrik.
Konsep Perhitungan Subsidi Listrik dan Kekurangannya
digunakan oleh Pemerintah dalam membayar subsidi listrik adalah menggunakan pendekatan cost plus margin. Berdasarkan pendekatan ini, subsidi listrik dihitung atas dasar kompensasi biaya sebagai pengganti ongkos produksi dengan tambahan marjin atas biaya tersebut sebagai imbalan keuntungan yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam lampiran Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dimana apabila penugasan kepada BUMN menurut kajian secara finansial tidak layak, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan. Tabel 1 menunjukkan perkembangan margin yang diterima PT PLN dan besarnya subsidi listrik untuk periode 2007-2015. Berdasarkan PMK 170/2013, seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh PT PLN akan diganti oleh Pemerintah, kecuali beberapa kategori biaya seperti tercantum dalam pasal 9 PMK 170 Tahun 2013 diantaranya biaya tidak langsung seperti pemeliharaan wisma dan rumah dinas, pakaian dinas, asuransi pegawai, bahan makanan dan konsumsi dan lain sebagainya. Sementara itu, pemberian marjin sendiri ditujukan untuk menjaga kapasitas PT PLN dalam melakukan investasi sehingga PT PLN dapat berkembang untuk melayani lebih banyak masyarakat.
Merujuk kepada PMK Nomor 170/ PMK.02/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik sebagai dasar hukum formulasi subsidi listrik, maka dapat disimpulkan model perhitungan yang
a. Disinsentif bagi PT PLN untuk melakukan efisiensi Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, skema subsidi listrik yang berlaku saat ini mengindikasikan adanya efficiency paradox karena cara
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
penghitungan margin sebagai insentif bagi PT PLN menggunakan basis cost yang tercermin dari formula berikut:
dimana, S = Subsidi listrik TTL = Tarif tenaga listrik rata-rata (Rp/kWh) dari masing-masing golongan tarif BPP = BPP pada masing-masing golongan tarif m = margin (%) V = Volume penjualan Dari formula di atas, terlihat bahwa setiap tambahan biaya (BPP) yang dikeluarkan oleh PT PLN dalam menyediakan subsidi, Pemerintah akan memberikan margin sebesar 7% dari tambahan biaya. Akibatnya, PT PLN tidak mempunyai insentif dalam melakukan efisiensi penurunan biaya mengingat margin yang didapat dengan efisiensi akan semakin kecil. Grafik 1 berikut menunjukkan fenomena tersebut. Dengan kondisi tersebut, tidak tercipta lingkungan bisnis yang sehat karena efisiensi tidak diapresiasi dengan wajar oleh Pemerintah (subsidi listrik). Sebaliknya PT PLN menikmati lebih banyak margin dari praktik bussiness as usual. Namun demikian, melalui PMK 170 Tahun 2013, PT PLN juga diberikan batasan-batasan in-efisiensi berupa batasan nilai susut jaringan atau lebih dikenal sebagai losses dan pembatasan bauran energi (fuel mix) khususnya BBM sesuai dengan pasal 6 PMK tersebut. Apabila batasan-batasan tersebut terlampaui, maka PT PLN 19
m i t i g a s i r i s i k o
Grafik 1
Rp / triliun
Setiap kenaikan Rp. 100/kwh dalam BPP mengakibatkan penambahan EBITDA sebesar Rp. 2,5 triliun
Rp / triliun Sumber: McKinsey, Kajian SLA Tahun 2012
m i t i g a s i r i s i k o
harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian ESDM selaku Pembina teknis PT PLN. b. Tidak ada burden sharing ketika subsidi listrik melebih anggaran Selain masalah disinsentif efisiensi, dalam skema subsidi listrik saat ini tidak ada risk sharing antara Pemerintah dan PT PLN/pelanggan. Metode yang ada adalah pengendalian parameter seperti telah dijelaskan sebelumnya. Akibatnya, Pemerintah berada pada posisi risk taker atas pengelolaan subsidi listrik yang bersumber dari risiko pasar ataupun risiko operasional. Adapun dampak dari kondisi ini dapat dilihat besar-
nya selisih antara BPP dan harga jual rata-rata seperti terlihat pada Grafik 2 berikut.
Grafik 3: Selisih anggaran subsidi dengan realisasi
Sumber : McKinsey dan BKF
Grafik 2: Tren BPP/kwh dan perubahan asumsi subsidi listrik
Sumber : BKF, 2013
20
Risiko pasar dari pengelolaan subsidi listrik berasal dari volatilitas harga komoditas energi primer seperti BBM, Gas dan Batubara serta volatilitas variabel makroekonomi seperti perubahan nilai tukar dan perubahan suku bunga pembiayaan. Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa seluruh risiko pasar menjadi tanggung jawab Pemerintah melalui subsidi listrik yang terus bergerak naik turun. Sedangkan pelanggan atau PT PLN relatif tidak terpapar risiko pasar ini karena tarif yang dibayarkan cenderung flat atau datar. Risiko fiskal yang harus ditanggung Pemerintah atas pengelolaan subsidi listrik tercermin dari Grafik 3, dimana pada tahun-tahun 2008, 2011 dan 2012, nilai subsidi tahun berjalan mengalami peningkatan yang
sangat besar dari yang direncanakan sehingga sangat membebani fiskal Pemerintah. Berdasarkan analisa dan konfirmasi dengan pihak-pihak terkait, risiko fiskal tersebut disebabkan oleh kenaikan harga komoditas, deviasi beberapa parameter subsidi listrik akibat inefisiensi operasional seperti terlampauinya bauran energi (pemakaian BBM yang melebihi rencana) dan tidak tercapainya target susut jaringan PT PLN. INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Mengenal Konsep PBR dan Penggunaannya dalam Perhitungan Subsidi Listrik Timbulnya kesadaran atas adanya kelemahan dalam skema perhitungan subsidi listrik yang sedang berjalan mendorong Pemerintah untuk mencari model/konsep pengaturan tarif listrik di negara lain yang dapat menyempurnakan kekurangan tersebut. Salah satu model yang secara luas diaplikasikan di negara-negara maju maupun berkembang dan dapat dijadikan bechmarking adalah Performance-Based Ratemaking/Regulatory (PBR). Berdasarkan kajian literatur yang tersedia, PBR dapat didefinisikan sebagai bentuk pengaturan yang menguatkan insentif finansial untuk menurunkan tarif, biaya atau meningkatkan kinerja non financial, terhadap pengaturan tradisional yang biasa disebut biaya penyediaan (Cost of Supply, CoS) atau tingkat pengembalian (Rate of Return, RoR) (Comnes, 1995). Pada dasarnya, PBR digunakan oleh regulator ketenagalistrikan untuk menghitung fair tarif sehingga konsumen terlindung dan perusahaan utilitas tetap berkembang dengan normal. Berdasarkan kajian Pedro Atmann (20120???), fitur-fitur utama penerapan PBR di beberapa negara dapat dijabarkan sebagai berikut: n PBR merupakan pendekatan dalam penetapan tarif layanan yang disediakan oleh perusahaan jaringan seperti listrik, air dan sanitasi, pipa gas dan lain-lain dalam kondisi pasar monopoli. Dengan kondisi tersebut, tarif atau harga harus dibuat: - Fair dan reasonable untuk kualitas layanan yang baik - Agar penyedia layanan yang efisien mendapatkan remuINFO RISIKO FISKAL
nerasi yang meliputi biaya dan reasonable return yang sesuai dengan risiko bisnisnya. - PBR datang sebagai pemecah masalah kesulitan metode lama “cost of service” berdasarkan penilaian atas biaya yang disampaikan oleh penyedia layanan. Permasalahan pada metode lama antara lain karena:Asymmetry of information - Lack of competition to promote efficiency n Berdasarkan PBR, tarif dibuat untuk merefleksikan kinerja yang efisien dalam penyediaan layanan dimana biaya parameter biasanya memepertimbangkan referensi eksternal (benchmarks) yang dikombinasikan dengan biaya yang disampaikan oleh perusahaan penyedia layanan. n PBR diimplementasikan dalam multi-years(4-5 tahun) periode tarif. n Perusahaan yang diregulasi oleh PBR memiliki insentif untuk meningkatkan efisiensi dengan mengijinkannya menikmati selisih antara tarif dengan realisasi biaya yang efisien selama periode tarif berjalan. n PBR secara umum diterapkan pada kondisi pasar monopoli atau sektor secara natural bersifat monopolistis untuk pasar yang sudah ”unbundled”. Penerapan konsep PBR di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan peningkatan efisiensi pada pengelolaan subsidi listrik. PBR akan diimplementasikan terlebih dahulu pada subsidi listrik sehingga lebih tepat didefinisikan sebagai pengaturan target performance PT PLN agar dapat meningkatkan efisiensinya, memperbaiki kualitas pelayanannya, dan menurunkan biaya produksinya. Da-
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
lam hal iniPemerintah melalui subsidi memberikan reward atas pencapaian performance tersebut, sekaligus untuk mitigasi risiko fiskal yang bersumber dari subsidi listrik.
Negara yang menerapkan PBR PBR telah terlebih dahulu diterapkan di Eropa yang dimulai di Inggris, dan Amerika (Amerika Serikat dan Amerika Latin). Dalam perkembangannya, penerapan PBR terus meluas ke hampir seluruh Eropa dan beberapa Negara Asia, sebagaimana dapat dilihat dalam Grafik 4. Sejarah kemunculan PBR dilatarbelakangi oleh kerugian besar pada sistem kelistrikan yang dialami oleh beberapa negara berikut: a. Inggris Kegagalan mekanisme pasar telah mngakibatkan tingginya harga listrik serta turunnya keandalan sistem. Hal ini yang menginspirasi regulator di Inggris menerapkan PBR. Hasilnya, sejak PBR diterapkan pada 1992, National Grid Company di Inggris dan Wales telah berhasil menurunkan unit cost transmisi sebesar 37% dan pada saat yang bersamaan meningkatkan keandalan penyediaan listrik sampai 99% layanan dan meningkatkan kapasitas transmisi sebesar 20%. b. Brazil Penerapan PBR di Brazil berawal dari kegagalan mekanisme pasar dalam menyediakan listrik yang handal sehingga menyebabkan krisis listrik pada bulan Juni 2001 – Februari 2002. Setelah pemerintah Brazil bersama dengan PSR melakukan investigasi untuk menemukan penyebab krisis, ANEEL sebagai regulator independent kemudian melakukan perannya dengan menghilangkan sistem wholesale market pada segmen transmisi dan distribusi dengan tujuan meningkat21
m i t i g a s i r i s i k o
Grafik 4: Perkembangan penerapan PBR di kawasan Eropa
Sumber: McKinsey & Co., 2012
m i t i g a s i r i s i k o
kan efisiensi dan mengatur kehandalan sistem kelistrikan di Brazil. Dalam perkembangannya, dengan model PBR sistem kelistrikan di Brazil telah berkembang sangat pesat. Mulai tahun 2005 segmen pembangkitan telah menambah kapasitas sebesar 62.000 MW. Jaringan transmisi dan distribusi telah berkembang dengan baik dimana elektrifikasi sudah mencapai 94% pada tahun 2012 dan direncanakan mencapai 100% pada tahun 2014. Sistem kelistrikan di Brazil memang sudah “unbundled” atau sudah terpisah antara pembangkitan, transmisi dan distribusi. Dengan kondisi tersebut, Brazil dapat dengan mudah menerapkan PBR hanya untuk sektor yang non-market kompetitif, yaitu transmisi dan distribusi saja. c. Malaysia Latar belakang perapan PBR di Malaysia adalah peningkatan kualitas dan kapasitas sistem kelistrikan yang dicanangkan oleh Suruhanjaya Tenaga (regulator ketenagalistrikan di Malaysia). Malaysia mulai mengadopsi sistem PBR pada tahun 2012 dan menerapkannya secara penuh mulai tahun 22
2015. Malaysia menerapkan sistem PBR murni melalui penentuan tarif. Catatan atas implementasi PBR di Malaysia adalah pemecahan fungsi dan pembentukan anak perusahaan pada masing-masing pembangkit sehingga dapat diciptakan situasi persaingan pada sistem pembangkitan. Dengan demikian PBR tidak perlu mengatur pembangkitan.
Nilai Tambah PBR Penerapan PBR di Indonesia merupakan harapan bersama Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menetapkan sistem penghitungan subsidi listrik yang lebih baik dari skema yang saat ini berlaku. Beberapa nilai tambah yang ditawarkan dalam model PBR antara lain: 1) Dalam PBR sudah terdapat mekanisme risk sharing antara Pemerintah, pelanggan dan PT PLN sebagai penyedia layanan. Dalam PBR, terdapat parameter terkendali dan parameter tidak terkendali. Sebagaimana sifatnya parameter terkendali merupakan faktor yang harusnya dapat dikendalikan oleh manajemen
perusahaan penyedia layanan. Segala risiko atas tercapai (efisien) ataupun tidak tercapai (tidak efisien) target atas parameter terkendali menjadi reward atau punishment bagi perusahaan penyedia layanan. Parameterparameter ini merupakan ukuran-ukuran kinerja operasional perusahaan. Proses penetapan parameter terkendali ini membutuhkan proses negosiasi yang cukup alot mengingat adanya keterbukaan informasi yang menjadi fitur PBR serta adanya data-data pembanding dari proses benchmarking. Dengan proses tersebut, diharapkan dapat diperoleh data-data dan asumsi yang fair bagi perusahaan, Pemerintah dan/atau pelanggan. Berikut parameter terkendali yang akan diterapkan untuk PBR subsidi listrik: a) Biaya bukan bahan bakar, b) Heat rate bahan bakar, c) Losses atau susut jaringan transmisi dan distribusi, d) Pemakaian sendiri pembangkit, e) Faktor penghematan,
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Sedangkan parameter tidak terkendali merupakan faktor yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan maupun Pemerintah. Dengan demikian dampak atas fluktuasi nilai parameter ini menjadi tanggung jawab Pemerintah dan pada akhirnya akan ditanggung oleh pelanggan melalui mekanisme tarif yang sudah mencapai tingkat keekonomian. Berikut adalah parameter tidak terkendali yang akan diterapkan untuk PBR subsidi listrik: a) harga bahan bakar, b) nilai tukar rupiah, c) perubahan penjualan tenaga listrik, d) keadaan kahar yang menyebabkan perubahan bauran energi, e) ketidaktersediaan bahan bakar f) ketidaktersediaan pasokan tenaga listrik dari pembelian pembangkit swasta
2) Dalam PBR, tiga kementerian, yaitu Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN bersama-sama bertindak sebagai regulator dalam melakukan penghitungan bersama subsidi listrik sehingga kedepannya anggaran subsidi listrik dan realisasinya tidak berbeda jauh. Dengan demikian, risiko fiskal subsidi listrik lebih mudah dikontrol.. Penghitungan subsidi listrik dengan skema PBR akan memperhatikan kebutuhan dan kesanggupan sektor fiskal dan sektor kelistrikan, karena penghitungan usulan subsidi listrik pemerintah telah melalui pembahasan bersama antara sector energi, yang diwakili oleh Kementerian ESDM dan Kementerian BUMN serta kemampuan fiskal yang diwakili oleh Kementerian Keuangan. Dengan demikian, INFO RISIKO FISKAL
diharapkan pengelolaan subsidi listrik dalam APBN akan berjalan beriringan dengan perkembangan sektor ketenagalistrikan.
Rencana Implementasi PBR di Indonesia Terkait dengan periode PBR yang akan diterapkan, telah disepakati bersama antar pemangku kepentingan bahwa periode PBR akan diberlakukan selama 3 tahun. Dengan demikian, selama masa periode tersebut, nilai target parameter terkendali akan sama antara tahun pertama sampai dengan tahun ketiga. Nilai parameter tersebut hanya akan disesuaikan terhadap beberapa faktor seperti inflasi dan kurs. Sedangkan tahun keempat, akan ditetapkan target baru yang akan disesuaikan dengan hasil periode pertama dan akan ditambahkan target efisiensi yang lebih menantang. Seperti halnya dengan penerapan PBR di negara lainnya, penerapan PBR di Indonesia juga mendukung perkembangan sektor kelistrikan khususnya percepatan investasi. Terkait dengan hal tersebut, PT PLN diperkenankan untuk mendapatkan dana investasi yang dikenal dengan istilah kebutuhan pendapatan investasi. Kebutuhan pendapatan investasi ini diperkenankan untuk mendanai aktivitas investasi sebagai porsi ekuitas dalam setiap investasi sesuai kemampuan fiskal. Untuk dapat mengoptimalkan skema PBR ini, tiga kementerian perlu melakukan sinergi target dan kepentingan sehingga tujuan fiskal dapat berjalan bersama dengan tujuan sektor. Oleh karena itu, perlu dikembangkan Tim Lintas Kementerian sebagai pengganti sementara regulator ketenagalistrikan. Namun demikian, ke depan tetap perlu diusahakan adanya regulator independen yang mampu mengembangkan skema PBR bersama-sama dengan pengelolaan tarif yang lebih transparan serta
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
menjadi badan yang akan melindungi kepentingan-kepentingan pelanggan PT PLN. Selain itu, mengingat kebutuhan regulasi utama seperti Undangundang dan Peraturan Pemerintah, perlu juga dibentuk sebuah badan regulator independen di masa yang akan datang dalam rangka melengkapi fitur-fitur dan keunggulan PBR secara optimal.
Penutup PBR merupakan skema alternatif yang perlu segera diterapkan untuk dapat meningkatkan tata kelola industri kelistrikan sekaligus meningkatkan pengelolaan risiko APBN terkait anggaran belanja subsidi listrik. Kebutuhan akan efisiensi dan transparansi telah disadari bersama, baik Pemerintah, parlemen dan juga pelanggan secara umum. Dengan adanya PBR, harapan seluruh stakeholder agar pengelolaan subsidi listrik yang dapat berjalan beriringan dengan kebutuhan pengembangan sistem kelistrikan bukanlah menjadi impian yang sulit untuk terealisasi. Sementara itu, urgensi kebutuhan implementasi PBR semakin nyata di masa mendatang ketika penyesuaian tarif listrik menjadi suatu keniscayaan. Di tengah optimisme efektifitas PBR dalam mendukung tata kelola industri kelistrikan yang lebih baik tersebut, Pemerintah tetap perlu menyusun langkah-langkah strategis agar penerapan PBR dapat dilakukan sesegera mungkin. Upaya nyata dapat berbentuk percepatan revisi regulasi perhitungan subsidi listrik serta pembentukan perangkat tim yang akan melakukan verifikasi data PBR. Akhir kata, meskipun Kementerian Keuangan merupakan inisiator skema PBR, namun komitmen dan peran serta Kementerian ESDM sebagai regulator industri kelistrikan merupakan faktor yang paling menentukan keberhasilan implementasi PBR. n 23
m i t i g a s i r i s i k o
Identifikasi Risiko Tuntutan Hukum Kepada Pemerintah Oleh: Ryan Astono Puwandhi
Kepala Seksi Risiko Politik dan Tuntutan Hukum. Email:
[email protected]
Pendahuluan
m i t i g a s i r i s i k o
Suatu subyek hukum yang mandiri (persona standi in judicio) memliki kemampuan untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum baginya. Dalam hal tindakan hukum tersebut memberikan dampak negatif kepada orang lain, maka badan hukum tersebut dapat dibebankan tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi.1 Hal ini juga berlaku terhadap pemerintah yang bertindak sebagaimana layaknya suatu subyek hukum. Pemerintah berdasarkan kewenangannya di dalam undang-undang dapat melakukan perbuatan hukum baik dalam lingkup hukum publik maupun lingkup hukum private. Namun, tindakan pemerintah terkadang juga berpotensi menimbulkan sengketa antara pemerintah dengan masyarakat baik secara individu maupun bersama-sama. Salah satu bentuk penyelesaian sengeketa dimaksud adalah melalui jalur hukum (legal approach), halmana masyarakat baik perorangan maupun Badan Hukum yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu tindakan pemerintah dapat mengajukan gugatan tertulis kepada lembaga peradilan sesuai dengan kewenangannya, hal ini juga berlaku sebaliknya dalam hal pemerintah dirugikan oleh perbuatan masyarakat baik perorangan maupun badan usaha. Berdasarkan Nota Keuangan Tahun 2015, terdapat 632 gugatan dari masyarakat kepada Pemerintah (pusat) baik di peradilan tingkat per24
Tindakan hukum pemerintah dapat diterjemahkan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum. tama, tingkat banding, tingkat kasasi maupun peninjauaan kembali. Tuntutan tersebut ditujukan kepada 16 kementerian/lembaga di tingkat pusat yang berisi antara lain: 1). tuntutan ganti rugi atau pembayaran sejumlah uang sebesar Rp 5.504.718.584.944,19, USD 216.760.847,32, MYR 1.847.588,15, ¥ 193.173.348,00, € 1.603.535,03, BS. 11.500,00, 2). pengembalian atau penyerahan aset berupa tanah dan/atau bangunan ± 4.839.556 m2.2 Nilai ganti rugi diatas menunjukkan besarnya potensi risiko pengeluaran Negara melalui APBN. Disamping itu, tuntutan dimaksud juga menimbulkan risiko kehilangan sejumlah aset yang merupakan barang milik Negara baik dalam bentuk tanah, bangunan atau-
pun aset tetap/tidak tetap lainnya. Memperhatikan perkembangan pola hubungan antara negara (pemerintah) dengan warga negaranya (masyarakat) terutama berkenaan dengan penyelesaian sengketa antara mereka melalui jalur litigasi serta merujuk pada besarnya potensi risiko yang mungkin timbul dari proses sengketa tersebut, maka tulisan ini mencoba untuk mengidentifikasi tindakan hukum pemerintah/organ pemerintah/pejabat pemerintahan yang berpotensi memunculkan gugatan dari masyarakat. Selanjutnya, tulisan ini juga mencoba untuk menjelaskan konsekuensi bagi APBN dalam hal dikabulkannya gugatan dimaksud oleh pengadilan.
Tindakan Hukum Pemerintah Tindakan hukum pemerintah dapat diterjemahkan sebagai setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat hukum. Secara umum, tindakan pemerintah dimaksud dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: tindakan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan (regelling), tindakan pemerintah untuk menerbitkan keputusan (beschikking), serta tindakan pemerintah yang bersifat material (materielle daad).3 Tindakan regelling bertautan erat dengan fungsi pemerintah selaku regulator halmana ruang lingkup peraturan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
perundang-undangan dimaksud sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 7 ayat (1) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.4 Ruang lingkup sebagaimana dimaksud diatas meliputi juga peraturan yang ditetapkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengikat dan bersifat umum sebagai contoh peraturan menteri, peraturan Bank Indonesia atau peraturan komisi yang merupakan perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan.5 Lebih lanjut, tindakan pemerintah untuk menerbitkan keputusan merupakan perbuatan alat perlengkapan pemerintah melalui penetapan tertulis yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang bersifat konkrit, individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata seperti keputusan pemberian/pencabutan izin melakukan usaha tertentu kepada badan usaha.6 Sedangkan tindakan pemerintah yang bersifat material diterjemahkan sebagai tindakan Pemerintah sebagai subjek hukum yang dapat memberikan konsekwensi hukum bagi pemerintah. Contoh tindakan dimaksud, seperti pengadaan barang atau jasa untuk kegiatan pembangunan ataupun kegiatan administrasi.
Tindakan Hukum Pemerintah Yang Dapat Menimbulkan Kerugian Dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, organ pemerintah perlu diberikan ruang gerak yang cukup untuk membentuk regulasi, menetapkan keputusan ataupun melakukan perbuatan-perbuatan lainnya (Freis Ermeseen). Namun secara prakteknya, keleluasan ruang gerak bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terkadang menimbullkan keINFO RISIKO FISKAL
rugian dan berpotensi memunculkan tuntutan hukum dari masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, tindakan-tindakan dimaksud, antara lain: 1). perbuatan hukum yang dilakukan badan/pejabat pemerintahan tidak memenuhi asas legalitas, halmana tindakan-tindakan tersebut tidak didasarkan kepada ruang lingkup kewenangan yang didelegasikan, diatribusi, ataupun dimandatori oleh peraturan perundangan-undangan (ultravires) atau mereka menyalahgunakan kewenangan yang telah diberikan (detournement de pouvoir), 2). tindakan hukum pemerintah dimaksud tidak memenuhi asas–asas formalitas yang berlaku, dengan kata lain bahwa pembentukan peraturan, formulasi keputusan maupun, serta tindakan hukum lainnya dilakukan tanpa mengikuti prosedur atau mekanisme yang telah ditetapkan dalam rangka melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta 3). Tindakan hukum pemerintah yang secara substansi dinilai tidak wajar (unreasonableness) dikarenakan perbuatan dimaksud tidak memperhatikan kepentingan umum, kepastian hukum baik secara materiil dan formil serta rasa keadilan bagi masyarakat. Undang-undang menjamin hak masyarakat untuk menggugat perbuatan pemerintah sebagaimana dijelaskan diatas. Dalam hal tindakan tersebut berkenaan dengan pembentukan peraturan, masyarakat berhak meminta judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) untuk peraturanperaturan di bawah undang-undang,7 dan Mahkamah Konstitusi (MK) atas undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945).8 Sedangkan untuk tindakan pemerintah yang berkenaan dengan penerbitan keputusan atau hukum administrasi, undang-undang menjamin hak masyarakat untuk mengajukan gugatan tata usaha negara kepada Pemerintah
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah.9 Sementara itu, dalam hal tindakan pemerintah yang bersifat materiil, dipandang merupakan perbuatan melawan hukum atau tindakan wanprestasi kepada masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, maka mereka berdasarkan perikatan yang berlaku dan penafsiran dari Pasal 1365 KUHPerdata dapat mengajukan gugatan kepada pemerintah melalui badan peradilan umum. Berdasarkan pemahaman atas Pasal 1365 KUHPerdata bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian dimaksud memberikan ganti rugi, hal ini tidak terkecuali bagi pemerintah selaku subjek hukum yang mandiri.10 Selanjutnya, menunjuk pada permintaan judicial review atas peraturan perundangan yang diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal undang-undang terhadap UUD 1945, MK dapat memutuskan bahwa undang-undang yang diajukan judicial review dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat baik dikarenakan materi muatan uu tersebut bertentang dengan UUD 1945 atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945.11.Sebaliknya dalam hal peraturan perundang-undangan yang dibawah undang-undang, MA dapat memutuskan bahwa peraturan tersebut tidak sah dikarenakan bertentang dengan peraturan yang lebih tinggi atau peraturan tersebut tidak memenuhi persyaratan formal pembentukan peraturan perundang-undangan.12 Di sisi lain, beralaskan gugatan terhadap keputusan organ atau pejabat pemerintah, PTUN dapat memutuskan bahwa gugatan tersebut ditolak, dikabulkan, tidak diterima atau gugur.13 Apabila gugatan dimaksud 25
m i t i g a s i r i s i k o
dikabulkan oleh PTUN, maka organ atau pejabat pemerintah memiliki kewajiban, yaitu: a). mencabut keputusan; b). mencabut keputusan dan menerbitkan keputusan yang baru; atau c). menerbitkan keputusan apabila badan atau pejabat pemerintah tidak menerbitkan keputusan sebagaimana yang dimohonkan oleh masyarakat selaku penggugat.14 Disamping itu, PTUN juga dapat menetapkan pengenaan ganti rugi kepada pejabat atau badan pemerintah dalam hal terkait dengan kerugian yang ditimbulkan atas ada atau tidaknya tindakan pemerintah untuk menerbitkan keputusan.15
m i t i g a s i r i s i k o
Berikutnya terkait dengan tuntutan hukum kepada pemerintah melalui peradilan umum, pengadilan umum dapat menolak, tidak menerima atau mengabulkan tuntutan tersebut. Apabila tuntutan dimaksud dikabulkan maka pengadilan menetapkan bentuk dan/atau besaran kewajiban pemerintah kepada masyarakat selaku penggugat. Bentuk kewajiban tersebut dapat berupa pemberian ganti rugi baik yang bersifat material yaitu ganti rugi dalam hal memulihkan kembali kondisi keuangan si penggugat karena adanya tindakan pemerintah beserta biaya-biaya yang
Referensi 1. Hukum online.com, ‘Pemerintah Alokasikan Rp250 Miliar untuk Tuntutan Hukum’, Senin, 29 Oktober 2012, http://new.hukumonline.com/ berita/baca/lt508e7d94993ac/pemerintah-alokasikan-rp250-miliaruntuk-tuntutan-hukum, diakses tanggal 10 April 2015. 2. Nota Keuangan dan APBN 2015. 3. Sutiyoso, Bambang. ‘Alternatif Menyikapi Kebijakan Pemerintah’. http://bambang.staff.uii.ac.id/2009/04/01/alternatif-menyikapi-kebijakan-pemerintah-2/comment-page-1/. diakses tanggal 22 Mei 2015. 4. Wahyudi, Moch.’Hingga Juli, Pemerintah Hadapi Tuntutan Hukum Senilai Rp 8,2 T’, Minggu, 18 Agustus 2013 , 17:49 WIB, http://www. merdeka.com/uang/hingga-juli-pemerintah-hadapi-tuntutan-hukumsenilai-rp-82-t.html, Merdeka.com, diakses tanggal 10 April 2015. 5. Undang-Undang Dasar 1945. 6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 9. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 11. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 12. Undang‑Undang Nomor 3 Tahun 2009 Perubahan Kedua Atas Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 13. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 14. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 15. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
26
timbul maupun yang bersifat immaterial yakni pemulihan kerugian yang bersifat moril dari penggugat atau menyerahkan aset.
Implikasi terhadap APBN Memperhatikan penjelasan diatas, beberapa putusan badan peradilan terhadap tuntutan hukum gugatan yang ditujukan kepada pemerintah oleh perorangan maupun badan usaha dapat memberikan implikasi kepada APBN. Dampak paling nyata kepada APBN adalah bertambahnya pengeluaran pemerintah baik untuk pelaksanaan putusan maupun biaya proses peradilan itu sendiri (legal expenses) baik di tingkat pertama, banding, kasasi bahkan peninjauan kembali.16 Putusan-putusan yang memberikan implikasi finansial bagi APBN, antara lain putusan PTUN yang mewajibkan kepada pejabat/badan pemerintah untuk memberikan ganti rugi serta putusan peradilan umum yang mengabulkan gugatan masyarakat dan membebankan ganti rugi finansial baik yang bersifat material maupun immaterial. Selain konsekuensi diatas, gugatan hukum kepada pemerintah juga dapat memberikan potensi risiko berkurangnya penerimaan negara di dalam APBN terutama berkenaan dengan penerimaan negara non-pajak. Hal ini muncul dari kemungkinan adanya putusan yang mengabulkan gugatan atas tagihan kurang bayar atau gugatan pengembalian atas lebih bayar terkait kewajiban pembayaran perorangan ataupun badan usaha kepada pemerintah (negara) yang diakui sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Mengingat besarnya potensi pengeluaran dan kehilangan penerimaan negara yang disebabkan oleh adanya tuntutan hukum dari masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, perlu ada kajian lebih lanjut terutama berkenaan dengan bentuk-bentuk mitigasi yang dapat diupayakan oleh
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
pemerintah dalam rangka mengurangi dampak risiko tuntutan hukum kepada pemerintah bagi APBN.
Catatan Akhir
Penutup
2. Subbab Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi Tuntutan Hukum Pada Bab Risiko Fiskal, Nota Keuangan dan APBN 2015.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa gugatan kepada pemerintah merupakan konsekuesi yang timbul sebagai bentuk pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam membentuk peraturan, penerbitan keputusan, serta tindakan-tindakan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana layaknya subjek hukum yang mandiri. Tindakan-tindakan pemerintah yang disengketakan oleh masyarakat baik perorangan ataupun badan usaha timbul karena, tindakan pemerintah tersebut dilakukan tanpa memperhatikan asas legalitas. Selain itu, tindakan pejabat/badan pemerintahan yang dilaksanakan tanpa taat asas formal, dan tindakan-tindakan tersebut secara material dinilai unreasonableness. Berdasarkan tindakan-tindakan diatas, masyarakat dapat mengajukan tuntutan hukum kepada pemerintah melalui badan peradilan sesuai dengan tugas, fungsi, serta kewenangannya masing-masing. Pengadilan dapat memutuskan untuk memberikan ganti rugi kepada masyarakat baik perorangan maupun badan usaha. Hal ini tentu saja akan memberikan implikasi kepada APBN baik dalam bentuk pengeluaran tambahan bagi pemerintah serta hilangnya potensi penerimaan bagi pemerintah, akan tetapi dalam konteks yang lebih luas, adanya kewajiban pemerintah yang berasal dari tuntutan hukum kepada pemerintah dapat juga berdampak kepada keuangan negara. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih lanjut terutama berkenaan dengan bentuk mitigasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengurangi dampak risiko tuntutan hukum kepada pemerintah. n INFO RISIKO FISKAL
1.
Penafsiran atas Pasal 1365 KUHPerdata.
3. Sutiyoso, Bambang. ‘Alternatif Menyikapi Kebijakan Pemerintah’. http://bambang.staff.uii.ac.id/2009/04/01/alternatif-menyikapi-kebijakan-pemerintah-2/comment-page-1/. diakses tanggl 22 Mei 2015. 4. Jenis dan Hierarki Peraturan perundang-undangan meliputi: 1). Undang-Undang Dasar 1945, 2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 3). Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti UndangUndang, 4). Peraturan Pemerintah, 5). Peraturan Presiden, 6). Peraturan Daerah Provinsi, dan 7). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 5. Lihat Pasal 8 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 6. Pasal 1 Angka (9) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 7. Lihat Pasal 11 Ayat (2.b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. 8. Lihat Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 jo Pasal 10 ayat (1a) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 jo Pasal 9 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. 9. Lihat Pasal 1 Angka (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 10. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digugat apabila memenuhi unsur-unsur :a), Adanya suatu perbuatan, b). Perbuatan tersebut melawan hukum, c). Adanya kesalahan, d). Adanya kerugian Unsur kerugian, dan e). Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian. 11. Lihat Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 12. Lihat Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
27
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
Risiko Program Jaminan Pensiun SJSN
iberita.com
Oleh: Roki Gangsar Winoto
Kepala Seksi Risiko Jaminan Sosial. Email:
[email protected]
I. Pendahuluan Indonesia mulai menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mulai 1 Januari 2014. Sistem ini mewajibkan Pemerintah untuk menyelenggarakan lima program Jaminan Sosial Nasional. Salah satu dari kelima program tersebut adalah program Jaminan Pensiun (JP). UU nomor 40 tentang SJSN (UU SJSN) mengamanahkan JP SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan tabungan wajib serta bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak. Program ini bertujuan untuk melindungi penggantian penghasilan peserta pada hari tuanya. Sama dengan tujuan salah satu program SJSN lain yaitu Jaminan Hari Tua (JHT). Berbeda dengan JHT yang menerima 28
manfaat secara sekaligus (lump-sum) saat peserta mencapai usia pensiun, manfaat JP diterima setiap bulan. Terdapat beberapa hal lain yang diatur dalam UU SJSN terkait program JP. Skema yang digunakan dalam program JP adalah manfaat pasti. UU SJSN tidak menjelaskan secara komprehensif apa yang dimaksud dengan manfaat pasti. Terkait hal ini penjelasan UU SJSN hanya menjelaskan bahwa yang dimaksud manfaat pasti adalah terdapat batas minimum dan maksimum manfaat yang akan diterima peserta. Hal lain yang diatur adalah mengenai iuran, dimana besarannya dihitung berdasarkan persentase tertentu dari upah, penghasilan, atau suatu jumlah nominal tertentu yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan pekerja.
Berdasarkan pengalaman di negara-negara lain yang telah lama menjalankan program sejenis, program JP diyakini akan memberikan dampak yang signifikan bukan saja bagi kehidupan pekerja di Indonesia tapi juga bagi seluruh warga negara Indonesia. Apabila didisain dengan baik, program ini merupakan nutrisi penting yang dapat mengakselerasi pertumbuhan perekonomian yang tinggi dan berkesinambungan serta mampu juga meningkatkan kesejahteraan seluruh warga negara sampai dengan beberapa generasi ke depan. Sebaliknya, apabila tidak didisain dengan baik dan hati-hati program ini juga berpotensi menjadi risiko bagi negara yang ketika terjadi akan sangat sulit dan membutuhkan banyak resources untuk memulihkannya.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
II. Skema Pensiun Skema pensiun yang lazim diterapkan di seluruh dunia adalah skema pensiun iuran pasti dan manfaat pasti. Dalam skema iuran pasti, besaran iuran ditetapkan diawal sedangkan manfaat yang akan diterima oleh peserta berdasar pada akumulasi iuran dan hasil pengembangannya. Skema ini memang sangat bergantung kinerja investasi dari badan penyelenggara dan risiko relatif ditanggung oleh peserta. Program Jaminan Hari Tua SJSN menerapkan sistem iuran pasti. Sedangkan dalam skema manfaat pasti, besaran manfaat ditetapkan di awal program dan besar iuran bergantung kebijakan pendanaan dari sponsor (Perusahaan atau untuk program jaminan pensiun sponsor adalah Pemerintah). Pendanaan program manfaat pasti dikenal dengan tiga metode yaitu fully funded, dimana biaya manfaat pensiun yang dibayarkan saat peserta pensiun akan didanai sepenuhnya oleh iuran dan hasil pengembangannya. Metode berikutnya adalah partial funded, dimana biaya manfaat pensiun yang akan dibayarkan saat peserta pensiun sebagian ditanggung oleh sponsor (bisa melalui asset yang dimilki) dan sisanya melalui iuran peserta beserta hasil pengembangannya. Sedangkan yang terakhir adalah pay as you go, dimana biaya manfaat pensiun yang dibayarkan saat peserta pensiun ditanggung sepenuhnya oleh sponsor seperti yang diterapkan di pensiun PNS saat ini atau besaran iuran yang ditetapkan minimal memenuhi pembayaran manfaat pensiun di tahun tersebut. Formula manfaat pasti adalah accrual rate dikali lama masa iur atau masa kerja dikali dengan penghasilan dasar pensiun (penghasilan terakhir saat peserta memasuki usia pensiun atau ratarata upah tertimbang selama peserta mengiur). Risiko dari skema ini sepenuhnya ditanggung oleh sponsor. INFO RISIKO FISKAL
Manfaat yang sangat baik akan membutuhkan besaran iuran yang tinggi. Tidak semua pihak memiliki kemampuan membayar iuran yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi program. III. Tantangan dalam menyusun program pensiun SJSN Berdasarkan UU nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), program JP akan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Juni 2015. Untuk mendukung
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
implementasi porgram JP, telah terbit PP nomor 45 tahun 2015 tentang program JP (PP). Tantangan yang dihadapi terutama terkait disain manfaat dan besaran iuran. Dalam mendisain program pensiun penting untuk mencari keseimbangan antara kelayakan manfaat (adequacy), cakupan kepesertaan (coverage) yang biasanya berkorelasi erat dengan kemampuan membayar (affordability), dan kesinambungan program (sustainability). Ketiganya saling memberikan dampak tradeoff. Manfaat yang sangat baik akan membutuhkan besaran iuran yang tinggi. Tidak semua pihak memiliki kemampuan membayar iuran yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi program. Apabila manfaat ditentukan sangat baik dan iuran ditetapkan rendah atau dibawah yang seharusnya, maka program dapat dipastikan tidak akan maka program dapat dipastikan tidak akan berkesinambungan. Setelah melewati berbagai diskusi diantara para stakeholders yang antara lain terdiri dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), Kemen-
Gambar 1. Tantangan
29
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
terian Keuangan (Kemenkeu), Serikat Pekerja (SP), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan BPJS Ketenagakerjaan), maka dicapai kesepakatan tentang beberapa hal yang krusial dan telah diatur dalam PP, diantara: Kepesertaan, PP mengatur peserta dari program JP adalah seluruh pekerja formal yang terdiri dari pekerja pada penyelenggara negara dan selain penyelenggara negara. Bagi pekerja pada penyelenggara negara (PNS, TNI, dan Polri) akan diatur di PP tersendiri. Sesuai UU BPJS, PT Taspen dan PT Asabri paling lambat pada tahun 2029 sudah harus mengalihkan programnya ke Program JP (BPJS). Sampai saat ini Pemerintah masih melakukan pembahasan terkait roadmap pengalihan program pensiun PNS, TNI, dan Polri Manfaat pension, dasar penentuan besaran manfaat untuk program JP SJSN adalah upaya Pemerintah untuk memenuhi rekomendasi ILO yaitu minimum replacement ratio untuk perlindungan dasar sebesar 40% dari penghasilan terakhir. Untuk memenuhinya, program JP tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus memperhitungkan program perlindungan penghasilan di hari tua lainnya yang sejenis (seperti program Jaminan Hari Tua dan komponen penghargaan masa kerja pada program Pesangon-UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Program Jaminan Hari Tua (JHT) SJSN diperkirakan dapat memberikan replacement ratio sebesar 10% s.d. 12% (asumsi masa kerja 30
tahun) sedangkan program Jaminan Pensiun SJSN diharapkan dapat memberikan replacement ratio sebesar 25% s.d. 35% (dapat lebih tinggi jika masa iur lebih dari 30 tahun). UU SJSN mengatur manfaat pension adalah manfaat bulanan yang diberikan kepada peserta yang telah mengiur minimal selama 15 tahun. Apabila ada peserta yang mencapai usia pensiun namun belum memenuhi 15 tahun masa mengiur, maka akan mendapatkan hak atas akumulasi iuran dan hasil pengembangannya. Selanjutnya PP mengatur manfaat pensiun yang diberikan berupa pensiun hari tua, pensiun cacat, pensiun janda/duda, pensiun anak, dan pensiun orang tua. Usia Pensiun, Definisi usia pensiun di PP adalah usia dimana peserta berhak mendapatkan manfaat pensiun. Pada tahun pertama program dijalankan usia pension adalah 56 tahun dan menjadi 57 tahun pada 1 Januari tahun 2019. Secara bertahap akan bertambah 1 tahun untuk setiap tiga tahunnya hingga mencapai usia 65 tahun. Apabila peserta yang telah memasuki usia pensiun namun masih bekerja diberikan pilihan dapat menerima manfaatnya saat mencapai usia pensiun atau saat berhenti bekerja, dengan batasan maksimal 3 tahun setelah usia pensiun. Penambahan usia pension sangatlah penting untuk program jaminan pension. Hal ini sejalan dengan penambahan angka harapan hidup dan kondisi demografi dari penduduk Indonesia kedepannya.
Besaran iuran, PP mengatur besaran iuran JP untuk pertama kali sebesar 3% dimana beban pemberi kerja sebesar 2% dan pekerja sebesar 1% Besaran iuran akan dievaluasi setiap tiga tahun memperhatikan kondisi ekonomi dan perhitungan kewajiban aktuaria yaitu kesehatan keuangan DJS JP.. Pada saat penyusunan PP, penentuan besaran iuran ini memakan waktu cukup lama pembahasannya. Hal ini disadari karena banyak pihak yang menginginkan program ini berkesinambungan. Terdapat beberapa usulan yang mengemuka saat itu antara lain: • BPJS Ketenagakerjaan & Kemenaker mengusulkan iuran sebesar 8%. Proporsi pengusaha sebesar 5% dan Pekerja sebesar 3% • Apindo mengusulkan iuran awal sebesar 1,5% dan secara bertahap naik 0,3% tiap 3 tahun sekali mulai tahun 2019. Proporsi antara pemberi kerja dan pekerja dua dibanding satu. • Serikat Pekerja mengusulkan iuran sebesar 18% dimana beban pemberi kerja sebesar 12%, pekerja sebesar 3%, dan Pemerintah sebesar 3% dengan manfaat sebesar 75% dari gaji terakhir. • Kementerian Keuangan mengusulkan iuran awal sebesar 3% dan naik sebesar 0,3% tiap 3 tahun sekali mulai tahun 2033. Kenaikan bisa lebih atau kurang
Tabel 3. Simulasi Ketahanan Dana
30
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
dari 0,3%, tergantung perhitungan aktuaria terkini. Proporsi antara pemberi kerja dan pekerja adalah dua dibanding satu. Dasar usulan kementerian keuangan adalah simulasi yang menunjukkan bahwa dengan manfaat sebesar 1% untuk setiap satu tahun masa iur, besaran iuran awal yang relatif kecil pun ketahanan dari dana program JP dapat berlangsung sampai dengan tahun 2080. Namun tentunya iuran ini bertahap akan naik secara wajar menyesuaikan biaya pension yang dikeluarkan di tahun itu (pay go). Selain itu perlu dipertimbangkan reserve atau dana kelolaan dari BPJS Ketenagakerjaan. Dengan iuran awal sebesar 1.5%, BPJS Ketenagakerjaan akan mengelola dana pada tahun 2030 sebesar Rp802 triliun. Apabila iuran awal JP SJSN ditetapkan 8%, BPJS Ketenagakerjaan akan mengelola dana yang sangat besar dan tentunya akan menimbulkan risiko-risiko lainnya. Risiko dari iuran awal yang besar dan kelolaan dana yang sangat besar antara lain cakupan kepesertaan dengan tambahan beban dari iuran
awal JP yang besar, dampak terhadap pasar modal dan pasar keuangan terkait kemampuan meng-absorb dana kelolaan, dan tingkat kompetitif Indonesia dalam berinvestasi. Pengalaman dari negara lain yang sudah puluhan tahun menyelenggarakan program jaminan pensiun seperti Amerika, Kanada, dan Jepang, mereka memulai program ini dengan besaran iuran yang relatif kecil yaitu kisaran 3-4%.
IV. Sumber Risiko dan Langkah Mitigasinya Risiko fiskal dari program ini secara umum adalah ketidakcukupan dana kelolaan untuk membayar manfaat pensiun yang akan dirasakan setelah program ini berjalan lebih dari 15 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain: Faktor demografi, populasi penduduk indonesia saat ini dapat dikatakan mengalami bonus demografi dimana jumlah penduduk dengan usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia lanjut. Namun hal ini perlu mendapatkan perhatian lebih,
sesuai proyeksi PBB pada tahun 2050 populasi penduduk Indonesia akan mengalami perubahan signifikan dapat dilihat pada gambar 2. Selain itu, diyakini dengan semakin membaiknya pola hidup penduduk indonesia akan berdampak pada angka harapan hidup yang semakin lama. Faktor penyelenggaraan program, faktor ini dipengaruhi oleh faktor governance dari badan penyelenggara dan pemangku kepentingan yang terlibat seperti pengelolaan aset dan kewajiban, faktor perekonomian melihat kondisi perekonomian yang mempengaruhi kemampuan peserta dan pemberi kerja mengiur, dan faktor politik. Faktor cakupan kepesertaan, dengan bonus demografi saat ini sampai 15-30 tahun lagi, sangat penting program ini menjangkau peserta yang usianya masih produktif sebanyakbanyaknya. Langkah mitigasi yang diperlukan untuk meminimalisir sumber risiko tersebut adalah • Melakukan evaluasi aktuaria yang diperlukan secara berkala
sritex.co.id INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
31
m i t i g a s i r i s i k o
•
•
•
untuk memonitoring risiko dan memitigasi semakin lebar gap yang terjadi dengan kebijakan kependudukan dan mencegah adverse selection. Bantalan atau dana cadangan untuk absorb fluktuasi dari menurunnya jumlah penerimaan iuran akibat meningkatnya tingkat PHK, dan faktor lain yang dapat menimbulkan missmatch. Menjaga dependency ratio dengan meningkatkan usia pensiun. Automatic balancing mechanism.
V. Penutup Salah satu tujuan utama dibentuknya Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Oleh karena itu, penduduk Indonesia harus diberikan jaminan agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Selama ini Pemerintah Indonesia berusaha mewujudkannya dengan menyelenggarakan berbagai program jaminan sosial. Pelaksanaan berbagai program jaminan sosial tersebut dalam kenyataannya dapat dikatakan masih jauh dari yang diharapkan. Dibanding
negara lain, khususnya negara-negara maju, Indonesia memang relatif kurang pengalaman dalam pelaksanaan jaminan sosial yang baik. Meski demikian, patut diapresiasi usaha Pemerintah Indonesia yang selalu bertekad untuk memperbaikinya. Harapannya, dari penyelenggaraan Jaminan Pensiun SJSN dapat memberikan kepastian perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan kesejahteraan yang dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. n
Gambar 2.
m i t i g a s i r i s i k o
32
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
w a w a n c a r a
Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF)
Bapak Robert Pakpahan
(Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan ) Oleh: Riko Amir1, Hendro Ratnanto Joni2 dan Farid Arif Wibowo3
1. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko APBN. Email:
[email protected] 2. Kepala Seksi Persetujuan Proyek Sektor I. Email:
[email protected] 3. Kepala Seksi Analisis Risiko Aset dan Kewajiban Lintas Generasi. Email:
[email protected]
W
awancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) dengan Bapak Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Dengan adanya reorganisasi di lingkungan Kementerian Keuangan, INFO RISIKO FISKAL
berdirilah unit eselon I baru yang bernama Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dimana sebelumnya unit ini bernama Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Untuk menggali lebih jauh mengenai target dan sasaran DJPPR ke depan, redaksi IRF melakukan wawancara dengan Direktur Jenderal Pengelolaan
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Pembiayaan dan Risiko. Wawancara dilaksanakan pada hari Kamis, 2 Juli 2015 di ruang kerja Dirjen PPR. Bagaimana sejarah DJPU sebelum reorganisasi menjadi DJPPR Sebelum bergabung, Direktorat Jenderal ini hanya fokus pada pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan 33
w a w a n c a r a
utang sebagai dampak daripada kegiatan pembiayaan tersebut. Kemudian utang tersebut dikelola sedemikian rupa sehingga portofolionya sehat, aman dan sustainable. Jadi itu tugas utama kita sebelumnya, dan itu sudah terlaksana dengan baik. Kalau kita ingat sebelum krisis tahun 1998, sumber pembiayaan untuk defisit hanya berasal dari pinjaman luar negeri, yaitu loan multilateral dan bilateral yang sumbernya terbatas dan persyaratannya biasanya cukup banyak. Akses terhadap financing saat itu sangat terbatas. Setelah 2002, belajar dari krisis maka dibentuklah unit ini. Dengan terobosan yang dilakukan, sekarang kita berhasil memperluas akses terhadap pembiayaan khususnya melalui penerbitan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) menjadi sumber utama pembiayaan. Perbedaan antara SBN dan loan adalah bahwa pembeli SBN bisa siapa saja dan jumlahnya jauh lebih banyak dari pada pemberi pinjaman. Investor kita tiba-tiba meluas di pasar keuangan, seperti perbankan nasional, dana pensiun, asuransi, reksa dana, bahkan masyarakat biasa. Lelang SBN dilakukan setiap minggu dan diminati pasar. Kita terbitkan ORI dan SUKUK retail, dimana masyarakat biasa pun membeli. Hal ini adalah suatu capaian yang sangat besar bagi pemerintah Republik Indonesia, dimana sumber pembiayaan sekarang menjadi lebih banyak dan terbuka. Bahkan bukan hanya itu, kita juga menerbitkan surat berharga negara di dalam nominasi valas US dollar, Global Bonds, dimana pembelinya adalah investor di Asia, di Eropa, dan di Amerika Serikat. Kita juga terbitkan Global US dollar Sukuk, dimana middle east investors dan Islamic countries banyak membeli. Tidak berhenti sampai disitu saja, pada tahun 2010-an kita menerbitkan Samurai Bonds dimana basis investor Jepang ikut membeli surat berharga negara 34
Dengan terobosan yang dilakukan, sekarang kita berhasil memperluas akses terhadap pembiayaan khususnya melalui penerbitan instrumen Surat Berharga Negara (SBN) menjadi sumber utama pembiayaan. kita. Dan yang terakhir adalah tahun 2014, kita menerbitkan Euro Bonds, dimana traditional European investor yang selama ini tidak mengenal SBN kita kemudian menjadi ikut membeli. Ini semua adalah basket-basket investor yang tersedia, menjadi opsiopsi bagi kita untuk mencari funding. Karena memang tugas utama kita di DJPU pada waktu itu adalah mencari sumber dana untuk membiayai defisit. Jadi hal ini merupakan capaian yang bagus pada waktu itu. Bagaimana strategi DJPU pada waktu itu dalam mengelola portofolio utang Dalam mengelola portofolio utang, beberapa faktor penting menjadi acuan. Faktor pertama adalah bagaimana currency mix yang ideal. Utang dalam mata uang asing mungkin lebih murah tingkat bunganya, tetapi terdapat risiko kurs. Domestic issuance SBN dalam rupiah mudah dilakukan tetapi tingkat bunganya lebih tinggi dibanding tingkat bunga utang dalam mata uang asing. Untuk
strategi portofolio yang sehat, kita cari dimana keseimbangannya. Sekarang ini sekitar 56% dari total utang kita dalam rupiah, sisanya dalam mata uang asing. Pelan-pelan komposisi ini akan kita arahkan agar semakin tercapai keseimbangan yang ideal. Faktor kedua, interest rate risk juga kita pikirkan. Surat utang itu ada yang tingkat imbal hasilnya bersifat variable dan ada yang bersifat fixed atau tetap. Secara umum, kita mengupayakan porsi yang variable itu makin lama makin berkurang. Fixed rate cenderung lebih aman dan lebih pasti. Faktor ketiga terkait timing atau waktu penerbitan. Dalam hal diyakini bahwa kadaan pasar SBN akan semakin sulit ke depan, maka penerapan strategi front loading diterapkan untuk menghindari kegagalan dalam mencari sumber pembiayaan dan menghindari biaya bunga yang tinggi. Demikian juga kalua sebaliknya. Tujuan kita ke depan adalah bagaimana mengelola utang sedemikian rupa sehingga dengan basis investor yang lebih besar demand terhadap SBN kita juga meningkat. Hal itu merupakan salah satu cara yang akan mampu menurunkan tingkat imbal hasil. Jika pengelolaan utang bagus, maka credit rating akan membaik dan risiko akan berkurang. Pemberian investment grade oleh rating agency, misalnya S&P, akan sangat membantu. Saat ini kita mendapat investment grade dari dua rating agency yaitu Moody’s dan Fitch. Kita harapkan dalam tempo enam bulan sampai satu tahun ke depan S&P juga memberikan investment grade sehingga dapat meningkatkan credit rating kita. Bagaimana pengelolaan portofolio utang berubah setelah adanya penggabungan dari unit yang ada di BKF Penggabungan beberapa fungsi dari BKF yaitu pengelolaan risiko
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
keuangan negara dan PPP unit merupakan penggabungan fungsi yang berkaitan juga dengan fungsi DJPU yang lama. Dengan penggabungan ini maka kita tidak hanya mengelola utang yang eksplisit tetapi juga utang yang tidak eksplisit. Utang yang kami kelola sebelum penggabungan juga memiliki resiko. Dengan adanya penggabungan dua hal ini seyogyanya kita bisa mengelola dengan baik mengingat portofolio manajemennya hamper sama. Pola yang kita terapkan secara terpisah dalam mengelola resiko baik utang eksplisit maupun utang yang tidak eksplisit akan kita kombinasikan sehingga pengelolaannya lebih efektif dan bersifat menyeluruh. PPP unit yang mendukung pembangunan Infrastruktur di Indonesia memegang peranan penting. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam medium term terdapat ambisi untuk membangun infrastruktur dengan nilai kurang lebih Rp 5,000 triliun proyek. Dukungan Pemerintah untuk proyek-proyek tergolong PPP dan untuk proyek infrastruktur yang dihandle oleh BUMN adalah dukungan-dukungan fasilitas yang perlu INFO RISIKO FISKAL
terus menerus kita kembangkan dan kelola supaya cukup menarik untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur yang pembiayaannya tidak seluruhnya dari Pemerintah. Bagi saya hal itu juga sama pentingnya, mengingat bottleneck dalam pertumbuhan
Pembangunan infrastruktur dengan model PPP melibatkan banyak pihak. Koordinasi biasanya menjadi tantangan karena cara pandang yang berbeda beda sesuai kepentingan masing-masing organisasi. Hal ini merupakan tantangan baru bagi DJPPR.
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
ekonomi di Indonesia salah satu penyebabnya adalah infrastruktur yang kurang memadai. Walaupun tergolong baru dibanding yang lain-lain, bahkan waktu di BKF pun juga masih cukup baru, proses bisnis pemberian dukungan terhadap pembangunan infrastruktur, masih akan berkembang terus dengan melibatkan banyak pihak. Pembangunan infrastruktur dengan model PPP melibatkan banyak pihak. Koordinasi biasanya menjadi tantangan karena cara pandang yang berbeda beda sesuai kepentingan masingmasing organisasi. Hal ini merupakan tantangan baru bagi DJPPR. Dari sisi organisasi DJPPR, apa tantangan penggabungan ini Tantangan utama ada pada penyediaan dan penyiapan SDM-nya. Khusus di dua direktorat yang baru ini mungkin penyediaan SDM dan skill manjadi tantangan tersendiri. Karena harus diakui bahwa kedua bidang tugas ini merupakan bidang tugas baru. Disiplin ilmu dan pengetahun teknis menyangkut kedua bidang ini masih sangat terbatas. Namun, mudah-mu35
w a w a n c a r a
w a w a n c a r a
dahan dengan persiapan-persiapan yang ada, misalnya trainingnya, maka orang-orang lama itu bisa lebih optimal bersinergi dan kita juga harus cepat-cepat menyiapkan orang baru yang kompeten di bidang ini untuk bergabung. Setelah ada PRKN dan PDPPI, secara lebih spesifik apa harapan Bapak untuk kedua direktorat ini Kalau untuk PDPPI sudah jelas, mewujudkan beberapa proyek KPS yang di pipe line menjadi harapan utama saya sembari mencari atau menemukan pola yang paling ideal dalam proyek-proyek kerjasama pemerintah swasta. Memikirkan fasilitas apa yang diberikan, jaminankah, atau Viability Gap Fund atau metode Availability Payment. Kata kunci adalah fasilitas dukungan yang cukup menarik investor dan sekaligus dapat dikelola secara terkendali. Kalau PRKN itu sangat lain. Tupoksinya lebih luas lagi daripada PDPPI, challenging, karena menyangkut risiko keuangan negara secara menyeluruh. Mereka punya tugas dan fungsi harusnya memikirkan col36
Kalau untuk PDPPI sudah jelas, mewujudkan beberapa proyek KPS yang di pipe line menjadi harapan utama saya sembari mencari atau menemukan pola yang paling ideal dalam proyekproyek kerjasama pemerintah swasta. lectively semua resiko yang dihadapi negara baik resiko utang, risiko contingent liability seperti penjaminan bahkan resiko lainnya. Jadi sangat luas sebenarnya. Sementara ini semua dukungan untuk infrastruktur yang terkait dengan BUMN yang tidak ma-
suk lingkup KPS menjadi tugasnya. Yang kita khawatirkan sebenarnya adalah adanya risiko-risiko keuangan negara yang belum kita monitor dan belum kita kelola. Itu adalah tugas PRKN ke depan. Salah satu program ke depan adalah membuat Asset Liability Management di level Negara. Kita beruntung sejak dua atau tiga tahun yang lalu telah mulai menerapkan Asset Liability Management di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal itu sudah mulai berjalan sehingga Kementerian Keuangan dari waktu ke waktu secara detil tahu posisi akhir bulan berapa sisa uang, berapa penerimaan dan belanja serta outlooknya, berapa defisit, sumber pembiayaannya. Itu dipetakan sehingga kalau ada masa-masa sulit misalnya jika terjadi kekurangan, kita akan bisa mengetahuinya lebih dulu dan mampu melakukan upaya mitigasi. Yang ada sekarang baru di level Kementerian Keuangan yaitu masih dalam lingkup keuangan Pemerintah. Perlu dikembangkan ke level Negara yang melibatkan aset di Bank Indonesia atau lembaga-lembaga lain diluar Pemerintah. n
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Pengungkapan Risiko Fiskal: Definisi dan Perkembangannya Oleh: Rahmat Mulyono1 dan Hadi Setiawan2
1. Pelaksana pada Subdit Persetujuan Dukungan Pemerintah. Email:
[email protected] 2. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected]
Latar belakang Pengungkapan risiko fiskal sudah mulai dituangkan dalam Nota Keuangan dan APBN yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR sejak tahun 2008. Adapun yang melatarbelakangi pengungkapan risiko fiskal dalam Nota Keuangan tahun 2008 adalah adanya kesadaran bahwa pemerintah pada saat itu mengalami peningkatan ketidakpastian dan risiko fiskal yang lebih tinggi yang disebabkan karena adanya beberapa perubahan dalam skema belanja Pemerintah. Jika sebelumnya, peran pemerintah selalu dalam bentuk penyedia pembiayaan secara langsung, maka pada tahuntahun belakangan sebagian peran tersebut berubah menjadi hanya sebagai penjamin (guarantor) dalam penyediaan jasa-jasa dan proyek-proyek pembangunan. Penjaminan oleh Pemerintah tersebut kemudian menjadi salah satu metode dukungan pemerintah terhadap kegiatan pembangunan khususnya untuk infrastruktur. Definisi risiko fiskal dapat dikutip dari beberapa sumber, antara lain, Brixi dan Schick (2002) yang mengatakan bahwa risiko fiskal adalah sumber tekanan finansial yang mungkin dihadapi oleh pemerintah di masa depan (“a source of financial stress that could face a government in the future”).. Menurut mereka, risiko fiskal utamanya dihubungkan dengan kewajiban kontinjensi pemerintah. Sementara Cebotari et al. (2008) mendefinisikan risiko fiskal sebagai kemungkinan peINFO RISIKO FISKAL
nyimpangan dalam variabel-variabel fiskal dari apa yang diharapkan pada saat penyusunan anggaran maupun perkiraan lainnya (“the possibility of deviations in fiskal variables from what was expected at the time of the budget or other forecast”). . Dalam definisi ini, sumber utama risiko fiskal berasal dari tekanan dari ekonomi makro dan kewajiban kontinjensi. Selain itu, Schick mendefinisikan risiko fiskal sebagai kontinjensi dari pendapatan dan pengeluaran di masa depan karena adanya ketidakpastian kejadian di masa depan (“the contingency of future revenues or expenditures on uncertain future events”). . Nota Keuangan dan APBN Tahun 2015 sendiri mendefinisikan risiko fiskal sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN. Pengungkapan risiko fiskal ditujukan untuk: (1) meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengelolaan ke-
bijakan fiskal; (2) meningkatkan keterbukaan fiskal (fiskal transparency); (3) meningkatkan tanggung jawab fiskal (fiskal accountability); serta (4) menciptakan kesinambungan fiskal (fiskal sustainability). Polackova (1998) juga memberikan suatu kerangka analisis yang dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengklasifikasikan dan mengidentifikasi risiko fiskal yang dihadapi oleh Pemerintah. Empat jenis risiko yang dihadapi oleh Pemerintah menurut Polackova merupakan kombinasi dari empat unsur yang terdiri dari eksplisit dan implisit serta pasti dan kontinjen. Unsur eksplisit dan implisit merupakan unsur-unsur yang menjadi dasar timbulnya kewajiban pemerintah, yaitu apakah berupa peraturan atau perjanjian yang tersurat, ataukah hanya berupa kewajiban moral yang tidak tersurat. Sedangkan unsur pasti dan kontinjen merupakan gambaran tingkat kepastian timbulnya kewajiban pemerintah (Tabel-1).
Tabel 1. Sumber Risiko Fiskal Sumber Risiko Fiskal
Tingkat Kepastian Timbulnya Kewajiban Direct
Contingen
Explisit
Utang Pemerintah
Dukungan/Jaminan pemerintah pada proyek kerjasama infrastruktur
Implisit
Future health care and social security financial
Bencana alam
Sumber: Polackova (1998)
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
37
O P I N I
Dalam perkembangannya, sumber risiko fiskal tersebut tidak hanya berasal dari adanya dukungan pemerintah dalam bentuk pemberi jaminan (guarantor), melainkan dapat juga berasal dari (i) dukungan pemerintah lainnya seperti dana dukungan kelayakan proyek (Viability Gap Fund/VGF) dan subsidi bunga, (ii) perubahan keadaan ekonomi global termasuk juga risiko asumsi dasar ekonomi makro, seperti inflasi, tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi, harga komoditas, dan nilai tukar, (iii) risiko utang pemerintah pusat, termasuk (iv) aksi korporasi BUMN, dan lain-lain.
Benchmark ke Negara lain
O P I N I
Pengungkapan risiko fiskal merupakan hal yang tak terpisahkan dari identifikasi, analisis, dan pengelolaan risiko fiskal. Identifikasi merupakan prasyarat dari pengungkapan dan pengelolaan risiko fiskal. Sementara itu, adanya pengawasan publik yang muncul karena adanya pengungkapan risiko fiskal menciptakan dorongan bagi pemerintah untuk memastikan bahwa risiko-risiko telah diidentifikasi dan dikelola secara memadai. Untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh risiko fiskal, beberapa negara telah meningkatkan pengungkapan atas risiko fiskal untuk menjaga kesinambungan fiskal serta berjaga dari kemungkinan krisis. Menurut Velloso (2008), pengungkapan risiko fiskal di dunia dibagi menjadi dua kategori, yaitu pengungkapan risiko fiskal yang bersumber dari tekanan ekonomi makro ekonomi dan pengungkapan risiko fiskal yang bersumber dari kewajiban kontinjensi. Pengungkapan risiko fiskal yang bersumber dari tekanan makro ekonomi dilakukan oleh banyak negara, diantaranya hampir semua negara OECD, seluruh Negara Uni Eropa, dan beberapa negara berkembang seperti Brazil, Chile, Thailand dan tentunya 38
Indonesia. Pengungkapan risiko fiskal yang bersumber dari makro ekonomi antara lain dilakukan dengan menggunakan analisis sensitifitas, alternative scenario makro ekonomi, serta analisis stress test. Selanjutnya pengungkapan risiko fiskal yang bersumber dari kewajiban kontinjensi dipelopori oleh New Zealand, Australia dan kemudian diikuti oleh Brazil, Chile dan Kolumbia. Saat ini sudah semakin banyak negara yang melakukan praktek ini walaupun dengan sarana yang berbeda-beda. Misalnya pengungkapan risiko fiskal di laporan keuangan dilakukan oleh Australia, Kanada, New Zealand dan Amerika Serikat, sementara fiskal framework jangka menengah dilakukan di Kolumbia dan Peru. Jepang, Turki dan Republik Ceko menampilkan risiko fiskalnya dalam Laporan Manajemen Utang. Australia, Indonesia, Brazil, Kolumbia dan New Zealand juga mengungkapkan risiko fiskal dalam “Statement of Fiscal Risk”. Chile bahkan sudah mengungkapkan risiko fiskal ini dalam laporan tersendiri (Velloso, 2008).
Australia memiliki ukuran materialitas untuk menentukan apakah kewajiban kontinjensi perlu diungkapkan atau tidak di dalam laporan risiko fiskal. Australia, di dalam Statement of Risk, Budget Paper No. 1 20152016 menetapkan bahwa kewajiban kontinjensi, aset kontinjensi, dan risiko fiskal lainnya dengan kemungkinan dampak terhadap prakiraan maju sebesar AU$20 juta dalam satu tahun, atau total AU$50 juta selama periode prakiraan, dimasukkan di dalam laporan risiko fiskal. Informasi mengenai kewajiban kontinjensi dan aset kontinjensi juga disediakan di dalam laporan keuangan tahunan Pemerintah Australia dan laporan keuangan tahunan departemen dan lembaga pemerintah lainnya. Beberapa negara, seperti Australia, New Zealand, dan Brazil, telah memiliki dasar hukum untuk pengungkapan risiko fiskal. Di Australia, Charter of Budget Honesty Act 1998 mensyaratkan adanya Statement of Risks di dalam budget economic and fiscal outlook report. Statement of Risks mencakup hal-hal yang mempunyai dampak ma-
Tabel 2. Jenis-jenis Kewajiban Kontinjensi Yang Diungkapkan di Beberapa Negara No.
Jenis Kewajiban Kontinjensi
Negara
1.
Penjaminan utang dan program asuransi
Australia, Kanada, Chile, Kolumbia, New Zealand, Afrika Selatan, USA
2.
Penjaminan infrastruktur
Chile, Kolumbia
3.
Penjaminan pension
Chile, Afrika Selatan, USA
4.
Tuntutan hukum
Australia, Brasil, Kanada, Chile, Kolumbia, New Zealand, USA
5.
Kewajiban lingkungan
Kanada, New Zealand, USA
6.
Quasi-fiskal deficit Bank Sentral
Australia, Chile
7.
Callable Capital
Australia, Kanada, New Zealand
8.
Unquantifiable liabilities
Australia, Kanada, New Zealand
9.
Implicit Liabilities
Chile, Pakistan, USA
Sumber: Velloso, 2008
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
terial terhadap prakiraan fiskal, yang meliputi perubahan indikator ekonomi dan parameter lain; kewajiban kontinjensi; komitmen pemerintah yang telah dipublikasikan yang belum masuk dalam estimasi fiskal; dan negosiasi pemerintah yang belum selesai. New Zealand telah mempunyai dasar hukum setingkat undangundang, yaitu Public Finance Act 1989, yang mewajibkan pemerintah menyampaikan economic and fiscal update kepada parlemen setiap tahun fiskal. Di dalam economic and fiscal update tersebut terdapat prakiraan fiskal (fiscal forecast) yang di dalamnya terdapat statement of specific fiscal risks. Statement of specific fiscal risks berisi keputusan Pemerintah dan
Perkembangan Pengungkapan Risiko Fiskal di Indonesia Tahun 2008 – 2015
kondisi lain (other circumstances) yang mempunyai pengaruh cukup material terhadap fiscal and economic outlook, kewajiban kontinjensi, dan pedoman yang digunakan untuk menentukan apa yang merupakan dan bukan merupakan risiko fiskal. Brazil telah mempunyai dasar hukum setingkat undang-undang, yaitu Fiscal Responsibility Law, yang mengatur bahwa di dalam Budget Guidelines Law harus melampirkan Fiscal Risk Appendix, mengevaluasi kewajiban kontinjensi dan risiko lainnya yang dapat memengaruhi kepentingan publik, dan merinci tindakan yang akan diambil apabila kewajiban kontinjensi dan risiko itu terjadi/terealisasi.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengungkapan risiko fiskal pertama kali dilakukan pada tahun 2008 dalam subbab risiko fiskal di Nota Keuangan dan APBN Tahun 2008. Sejak saat ini dan tahun-tahun berikutnya subbab risiko fiskal selalu menjadi bagian dalam Nota Keuangan dan APBN yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR. Pada Nota Keuangan dan APBN Tahun 2008, terdapat 11 risiko fiskal yang dilaporkan dalam Nota Keuangan. Mulai Nota Keuangan dan APBN Tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, risiko fis-
Tabel-3. Perincian Pengungkapan Risiko Fiskal dalam Nota Keuangan dan APBN Sumber Risiko Fiskal yang Diungkap
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
Sensitivitas asumsi ekonomi makro
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko BUMN
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko utang pemerintah
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko dukungan dan/atau jaminan pemerintah pada proyek pemb. Infrastruktur
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko Program Jaminan Sosial
-
-
-
-
-
√
√
√
Dana Pensiun dan THT PNS
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko penambahan modal pemerintah pada BI
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko penambahan modal pemerintah pada LPS
√
√
√
√
√
√
√
√
Risiko penambahan modal pemerintah pada LPS
-
-
√
√
√
√
√
√
Tuntutan hukum kepada Pemerintah
√
√
√
√
√
√
√
√
Keanggotaan organisasi int’l
√
√
√
√
√
√
√
√
Bencana alam
√
√
√
√
√
√
√
√
Lumpur Sidoarjo
√
-
-
-
-
-
-
-
Desentralisasi Fiskal
-
√
√
√
√
-
-
-
Risiko Mandatory Spending
-
-
-
-
-
√
√
√
MItigasi Risiko Fiskal
-
-
-
-
-
-
-
√
Sumber: Nota Keuangan dan APBN Tahun 2008-2015
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
39
O P I N I
O P I N I
kal dikelompokkan menjadi analisis sensitivitas, risiko utang pemerintah pusat, kewajiban kontinjensi pemerintah pusat, dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dihapus dari daftar risiko fiskal pada Nota Keuangan dan APBN Tahun 2013 karena desentralisasi fiskal dianggap sudah tidak relevan sebagai risiko bagi Pemerintah Pusat. Sebagai gantinya, muncul risiko fiskal mandatory spending, yaitu risiko yang timbul karena pengeluaran yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan. Mandatory spending membuat ruang fiskal pemerintah (fiscal space) menjadi terbatas. Perubahan lain yang cukup signifikan adalah perubahan definisi risiko fiskal. Sampai dengan Nota Keuangan dan APBN Tahun 2012, risiko fiskal didefinisikan sebagai potensi tambahan defisit APBN yang disebabkan oleh sesuatu di luar kendali Pemerintah. Mulai pada Nota Keuangan dan APBN Tahun 2013, risiko fiskal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN. Perubahan definisi ini didasari atas kondisi bahwa risiko terhadap APBN tidak hanya berupa tambahan defisit, yang berarti hanya terkait dengan pendapatan dan belanja negara, tetapi juga berupa adanya tekanan di sisi pembiayaan. Pengungkapan risiko fiskal di dalam Nota Keuangan dan APBN Tahun 2008 sampai dengan 2014 dilaporkan dalam subbab di dalam Bab VI Nota Keuangan dan APBN yang membahas Pembiayaan Defisit dan Risiko Fiskal. Tetapi kemudian pada tahun 2015, subbab risiko fiskal berubah menjadi satu bab tersendiri di dalam Nota Keuangan dan APBN. Hal ini didasari karena Pemerintah merasa bahwa pengungkapan risiko fiskal harus mendapatkan perhatian yang lebih serius. Tabel 3 menunjukkan secara lengkap, apa saja yang diungkapkan 40
dalam subbab risiko fiskal maupun bab risiko fiskal di Nota Keuangan dan APBN dari tahun ke tahun. Dari Tabel-3 terlihat bahwa perkembangan pengungkapan risiko fiskal dari tahun-tahun semakin lengkap dan mengikuti perkembangan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Pada tahun 2015 pengungkapan risiko fiskal ini juga disertai dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh Pemerintah untuk memitigasinya.
Reviu atas Transparansi Fiskal Salah satu tujuan pengungkapan risiko fiskal adalah terwujudnya transparansi fiskal. Manual on Fiscal Transparency yang diterbitkan oleh (IMF) pada tahun 2007 merupakan salah satu acuan yang digunakan dalam transparansi fiskal. Berdasarkan manual tersebut, risiko fiskal merupakan salah satu informasi yang harus disediakan oleh pemerintah kepada publik. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2009 melakukan reviu atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal pada Pemerintah Pusat yang dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tujuan reviu pelaksanaan transparansi fiskal adalah untuk memberikan simpulan umum atas pemenuhan kriteria transparansi fiskal Pemerintah Pusat dengan berpedoman pada praktek-praktek yang baik dalam transparansi fiskal. Pada tahun 2014, reviu pelaksanaan transparansi fiskal mencakup tiga pilar utama yaitu: (1) pelaporan fiskal; (2) perkiraan fiskal dan penganggaran; dan (3) analisis dan manajemen risiko fiskal. Hasil reviu atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal pada tahun 2014 menunjukkan bahwa Pemerintah lebih transparan dalam pemenuhan pilar perkiraan fiskal dan penganggaran dibandingkan dengan pilar pelaporan fiskal dan pilar analisis
dan manajemen risiko fiskal. Secara keseluruhan, hasil reviu keseluruhan Pemerintah sudah memenuhi sebagian besar kriteria transparansi fiskal secara memadai yang ditunjukkan dengan pemenuhan level advanced dan good sebanyak 30 kriteria atau 83% dari keseluruhan kriteria dan level basic pada enam kriteria atau hanya 17% dari keseluruhan kriteria. Pada pilar analisis dan manajemen risiko fiskal, level transparansi fiskal Pemerintah yang berada pada kondisi advanced dan good sebanyak sembilan kriteria yaitu pada risiko makroekonomi, penganggaran untuk kontinjensi, kerjasama pemerintah-swasta, jaminan, stabilisasi sektor keuangan, risiko lingkungan, manajemen aset dan kewajiban, pemerintah daerah, dan perusahaan publik. Pencapaian level advanced dan good ini dikarenakan Pemerintah telah mengungkapkan analisis risiko fiskal secara eksplisit pada Nota Keuangan (NK) RAPBN yang mencakup risiko perubahan asumsi dasar ekonomi makro, risiko utang pemerintah, kewajiban kontinjensi pemerintah, dan belanja negara yang diwajibkan (mandatory spending). Selain itu, Pemerintah juga telah melaksanakan analisis sensitivitas defisit APBN terhadap perubahan asumsi ekonomi makro, menyusun scenario alternatif, dan prakiraan tingkat kemungkinan atas setiap skenario alternatif. Pemerintah juga telah menyusun dan menyampaikan anggaran kewajiban penjaminan di dalam NK dan LKPP. Selanjutnya, masih terdapat tiga kriteria yang berada dalam level basic, yaitu analisis kesinambungan fiskal jangka panjang, risiko fiskal tertentu, dan sumber daya alam. Hal ini karena Pemerintah belum mengungkapkan seluruh dampak risiko fiskal tertentu, risiko kesinambungan fiskal jangka panjang dan risiko menurunnya penerimaan negara dari sumber daya alam.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Hasil reviu atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal oleh BPK tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah sudah memenuhi sebagian besar kriteria transparansi fiskal pada pilar analisis dan manajemen risiko fiskal secara memadai, yang ditunjukkan dengan pemenuhan level advanced dan good sebanyak 75% dari keseluruhan kriteria. Namun demikian, masih terdapat ruang untuk perbaikan atau peningkatan dari level basic ke good/advance dan level good ke advance.
Penutup Pengungkapan risiko fiskal yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia didasari dengan adanya keinginan untuk (1) meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dalam pengelolaan kebijakan fiskal; (2) meningkatkan keterbukaan fiskal (fiskal transparency); (3) meningkatkan tanggung jawab fiskal (fiskal accountability); serta (4) menciptakan kesinambungan fiskal (fiskal sustainability). Semua yang diungkapkan oleh Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN tersebut telah sesuai dengan teori yang ada serta benchmark ke negara-negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia telah sepenuhnya sadar akan pentingnya pengungkapan risiko fiskal ini dilakukan. Hal ini semakin dikuatkan dengan “meningkatnya status” pengungkapan risiko fiskal dari sebelumnya hanya merupakan subbab dalam Nota Keuangan dan APBN menjadi suatu bab tersendiri pada tahun 2015. Bahkan pada tahun-tahun mendatang ada wacana bahwa pengungkapan risiko fiskal ini akan dilakukan dalam suatu laporan tersendiri. Dibandingkan dengan pengungkapan risiko fiskal di beberapa negara lain, pengungkapan risiko fiskal di Indonesia belum memiliki landasan hukum berupa peraturan perundangINFO RISIKO FISKAL
Semua yang diungkapkan oleh Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN tersebut telah sesuai dengan teori yang ada serta benchmark ke negara-negara lain. undangan. Adanya landasan peraturan perundang-undangan tentang pengungkapan risiko fiskal memberikan pedoman informasi apa saja yang harus diungkapkan di dalam laporan risiko fiskal sehingga lebih sistematis dan memberikan landasan hukum atas pengelolaan risiko fiskal. Hasil reviu atas pelaksanaan unsur transparansi fiskal oleh BPK tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah sudah memenuhi sebagian besar kriteria transparansi fiskal pada pilar analisis dan manajemen risiko fiskal secara
memadai, yang ditunjukkan dengan pemenuhan level advanced dan good sebanyak 75% dari keseluruhan kriteria. Pada tahun 2014, Kementerian Keuangan menjalankan reorganisasi. Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal yang semula berada di Badan Kebijakan Fiskal, direorganisasi menjadi dua direktorat pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, yaitu Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur. Berdirinya Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dengan perluasan cakupan dari semula pengelola risiko fiskal menjadi risiko keuangan negara, di mana di dalamnya termasuk pengelolaan risiko aset dan kewajiban pemerintah jangka panjang, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengungkapan risiko fiskal ke depannya. Semoga apa yang telah dilakukan sampai dengan saat ini, sesuai dengan tujuan dari pengungkapan risiko fiskal itu sendiri khususnya ketika Indonesia sedang menghadapi krisis. n
Referensi 1. Cebotari, Aliona, et al. 2009. “Fiscal Risks: Source, Disclosure, and Management”. Fiscal Affairs Department, IMF, Washington DC. 2. Brixi, Hana Polackova, Schick, Allen. 2002. “Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiskal Risk”. World Bank, Washington DC. 3. Commonwealth of Australia. 2015. Budget Strategi and Outlook: Budget Paper No. 1, 2015-2016, http://www.budget.gov.au/2015-16/content/ bp1/download/Budget_Paper_No_1.pdf, diunduh 25 Juni 2015. 4. Polackova, Hana. 1998. “Government Contingent Liabilities: A Hidden Risk to Fiskal Stability” Policy Research Working Paper 1989. World Bank, Washington DC. 5. Velloso, Ricardo. 2008. “Good Practice in Fiskal Risk Disclosure: International Experience”. Presentation at High Level Conference on Fiskal Risk in Paris. October 2008. 6. Nota Keuangan dan APBN Tahun 2008 – 2015. 7. Badan Pemeriksa Keuangan. 2015. Laporan Hasil Reviu atas Pelaksanaan Transparansi Fiskal Tahun 2014, http://www.bpk.go.id/assets/files/ lkpp/2014/lkpp_2014_1433387376.pdf, diunduh 25 Juni 2015.
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
41
O P I N I
Pemanfaatan Barang Milik Negara Dalam Proyek PPP Oleh: Eko Nur Surachman
Kepala Seksi Dukungan Pemerintah Proyek Sektor I. Email:
[email protected]
I O P I N I
su kebutuhan pembangunan infrastruktur guna mendukung laju pertumbuhan perekonomian sudah tidak terbantahkan lagi. Namun, persoalan klasik berupa masalah terbatasnya pendanaan pemerintah untuk membiayai pembangunan infrastruktur seperti lagu lama yang terus diulang-ulang, tanpa bosan dan tanpa solusi. Pemerintah tidak tinggal diam dalam menyikapi persoalan ini dan terus mencari strategi dalam memecahkan permasalahan pendanaan pembangunan infrastruktur. Sejak tahun 2005, Pemerintah telah menginisiasi, mengundang dan menawarkan kepada pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur dalam satu wadah yang dikenal dengan PPP (public private partnership). Memang jauh sebelum itu, sudah ada sektor-sektor infrastruktur tertentu seperti jalan tol dan energi kelistrikan yang telah melibatkan swasta dalam membangun sarana infrastruktur jalan tol dan kelistrikan, namun dalam lingkup lebih kecil. Usaha dalam rangka menarik investasi swasta agar turut berperan dalam pembangunan infrastruktur, merupakan pekerjaan tidak mudah untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Motif maksimalisasi profit yang merupakan nature behaviour dari pihak swasta harus dapat dipertemukan dengan motif pelayanan infrastruktur untuk publik (non profit oriented) yang merupakan tugas dari pemerintah dalam sebuah titik kesetimbangan. Oleh ka42
rena itu, Pemerintah kemudian memperkenalkan dukungan pemerintah untuk proyek PPP dengan harapan dapat membuat packaging project yang membuat proyek layak secara ekonomi, layak secara keuangan dan layak untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan, sehingga pada akhirnya dapat mempertemukan dua motif yang secara diametral berbeda antara pemerintah dan pihak swasta. Salah satu poin penting perlunya dukungan pemerintah adalah guna membuat proyek layak secara keuangan. Substansi dari kelayakan finansial itu sendiri adalah membuat keuntungan swasta yang diperoleh dari proyek PPP sama atau lebih besar dari biaya modal dan biaya pinjaman serta tingkat keuntungan (opportunity cost) jika berinvestasi pada sektor lain. Jika melihat hal tersebut, logika dasar yang terbangun adalah bagaimana membuat komponen biaya investasi menjadi seefisien mungkin, karena di sisi lain, komponen pendapatan dari proyek sudah terbatasi dengan unsur pelayanan publik dari sebuah infrastruktur, yang mengedepankan kemampuan masyarakat dalam membayar tarif layanan infrastruktur. Biaya investasi proyek didominasi oleh biaya konstruksi dan pembebasan lahan. Bahkan, dalam hal pembebasan lahan bukan hanya harga yang menjadi permasalahan, tetapi situasi dan kondisi sosial daerah dan masyarakat sekitar juga menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan dua hal tersebut, penentuan lokasi lahan
pembangunan infrastruktur sebaiknya memprioritaskan lahan yang berstatus barang milik negara (BMN) sebagai lokasi pembangunan infrastruktur. Diharapkan dengan penggunaan lahan BMN, biaya pembebasan lahan lebih bisa diminimalkan untuk menunjang kelayakan finansial proyek dan juga membuat proses pembebasan lahan menjadi lebih progresif karena tidak bersentuhan langsung dengan lahan milik masyarakat. Pemerintah sangat responsif dalam melihat dan memfasilitasi potensi penggunaan BMN untuk proyek PPP ini. Hal fundamental pertama yang dilakukan adalah membuat pengaturan tentang penggunaan BMN untuk PPP ini dengan menerbitkan PP No 27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang merevisi peraturan pemerintah sebelumnya yang mengatur tentang pengelolaan barang milik negara yaitu PP 6 Tahun 2006 dan PMK No 78/PMK.06/2014 tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara. Di dalam rezim pengaturan ini, Menteri/Pimpinan Lembaga bertindak selaku Pengguna Barang yang memegang kewenangan penggunaan BMN dan mengusulkan pemanfaatan BMN kepada Pengelola Barang. Sedangkan, Menteri Keuangan bertindak selaku Pengelola Barang yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN, termasuk menyetujui usulan pemanfaatan BMN dari Pengguna Barang.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Lebih jauh, di dalam PP No 27/2014 disebutkan, selain pemanfaatan BMN berupa sewa dan kerjasama pemanfaatan, BMN juga dapat dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur dengan skema Kerjasama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). Di dalam skema Kerjasama Penyediaan Infrastruktur ini, Barang Milik Negara/Daerah, berupa lahan, bangunan maupun selain lahan/ bangunan, baik yang masih digunakan maupun sudah tidak digunakan lagi oleh instansi pemerintah pengguna BMN bisa dikerjasamakan untuk pembangunan infrastruktur. Jangka waktu kerjasama penyediaan infrastruktur ini bisa mencapai 50 tahun, sehingga cocok dengan kebutuhan dan karakteristik proyek infrastruktur PPP yang konsesinya berlangsung dengan waktu yang cukup lama rata-rata sampai dengan 50 tahun. Perpanjangan jangka waktu KSPI dimungkinkan apabila terjadi government force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Mekanisme penggunaan skema Kerjasama Penyediaan Infrastruktur ini dimulai dari usulan pelaksanaan KSPI dari Menteri/Pimpinan Lembaga yang bertindak sebagai PJPK (termasuk dalam kapasitasnya sebagai Pengguna Barang) kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang. Dalam hal PJPK adalah Kepala Daerah, BUMN, atau BUMD, maka usulan pelaksanaan KSPI disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang memiliki tugas dan fungsi pada bidang infrastruktur yang akan dikerjasamakan, dalam kapasitas Menteri/Pimpinan Lembaga bersangkutan sebagai Pengguna Barang. Proses selanjutnya, Dalam hal usulan dapat disetujui oleh Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang, maka akan dilakukan proses pengalihan status penggunaan BMN. Selama masa kerjasama penyediaan infrastruktur, pihak badan INFO RISIKO FISKAL
Gambar 1. Skema Kerjasama Penyediaan Infrastruktur (PJPK selaku Pengguna Barang Milik Negara)
Sumber : Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
usaha/swasta selaku mitra kerjasama, dilarang untuk menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan Barang Milik Negara/Daerah yang menjadi objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; wajib memelihara objek Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur dan barang hasil Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur; dan dapat dibebankan pembagian kelebihan keuntungan sepanjang terdapat kelebihan keuntungan yang diperoleh dari yang ditentukan (claw back mechanism) Dibukanya peluang penggunaan BMN dalam proyek PPP ini memberikan kemudahan bagi pelaksanaan proyek terutama dalam hal penyediaan lahan lokasi pembangunan infrastruktur. Di-
harapkan dengan penggunaan BMN, bisa menjadi solusi dari permasalahan di dalam pembebasan lahan untuk pembangunan proyek infrastruktur. Hal ini dikarenakan mekanisme pembebasan lahan BMN lebih sederhana daripada lahan milik masyarakat yang lebih kompleks karena tidak semata harus memperhatikan unsur komersial, tetapi juga unsur sosial kemasyarakatan. Manfaat lain yang diperoleh yaitu, penggunaan BMN dapat meminimalkan biaya investasi proyek, karena tidak ada biaya pembebasan lahan, namun hanya diwajibkan untuk membayar sewa atau pembagian keuntungan jika keuntungan yang diperoleh melebihi yang diperjanjikan. n
Gambar 2. Skema Kerjasama Penyediaan Infrastruktur (PJPK bukan selaku Pengguna Barang Milik Negara)
Sumber : Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
43
O P I N I
O P I N I
beritadaerah.co.id
Pentingnya Penerapan Sovereign Asset Liability Management (SALM) di Indonesia Oleh: Heri Setiawan
Kepala Subdit Pengelolaan Risiko Aset Dan Kewajiban Negara. Email:
[email protected]
Pelajaran dari Krisis Asia 1997-1998 Pada dekade 1990an perekonomian negara-negara Asia melaju pesat sehingga dikenal dengan sebutan Asian Tigers economy atau Macan Asia. Negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapore diperkirakan akan menyusul Jepang sebagai raksasa manufacture dunia, sementara negara-negara Asia 44
Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Indonesia menyusul tepat di belakangnya. Kecepatan pertumbuhan ekonomi tersebut meninabobokkan pengambil keputusan di masing-masing negara untuk berhati-hati dalam mengelola Neraca Negara atau Sovereign Balance Sheet. Berbeda dengan Jepang yang memiliki surplus capital, negara-negara Macan Asia banyak yang mengandalkan investasi asing
jangka pendek untuk membangun proyek-proyek yang bersifat spekulatif dan memberikan pengembalian tinggi seperti sektor properti. Di Indonesia, pembangunan proyek properti menjamur di mana-mana khususnya di ibu kota negara seperti Jakarta. Pembangunan apartemen, hotel dan perkantoran marak terjadi dengan pembiayaan yang berasal dari luar negeri dimana umumnya memiliki
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
tenor pendek dan dalam mata uang asing khususnya USD. Pembangunan proyek-proyek tersebut memang mendukung pertumbuhan ekonomi, namun terdapat masalah yang besar karena terjadi mismatch atau ketidak cocokan antara penerimaan/aset dengan kewajiban/liability baik dari sisi mata uang dimana aset dalam rupiah sedangkan kewajiban dalam dollar. Selain itu, sifat pinjaman yang berjangka pendek sangat rentan apabila tidak didukung arus kas masuk yang kuat dan apabila terjadi shock. Potensi bahaya telah tercium oleh beberapa lembaga internasional seperti IMF yang melihat tidak sustainnya model pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan arus dana asing jangka pendek tanpa dilindungi dengan aset valas (cadangan devisa) yang aman. Sebagai contoh cadangan devisa Indonesia sesaat sebelum krisis hanya USD17 milliar. Sementara pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh defisit current account yang tinggi yaitu mencapai 3,2 persen PDB pada tahun 1996. Sistem nilai tukar yang dianut Indonesia saat itu disebut sistem mengambang terkendali, dimana pergerakan kurs melemah sangat terbatas sekitar 5 persen per tahun atau lebih kecil dibandingkan tingkat inflasi 1997 yang mencapai 7,9 persen. Pelemahan kurs yang berada dalam kendali Bank Indonesia, mendorong para pengusaha untuk meminjam dari luar negeri yang memiliki bunga lebih rendah. Timbulnya krisis dipicu oleh kolaps-nya mata uang Bath Thailand yang menyebabkan kepanikan para investor asing. Efek menular menyebabkan investor asing menyama ratakan kondisi di negara-negara sekitar yang memiliki kesamaan kondisi seperti Indonesia, dan Korea Selatan, sementara negara-negara asia yang lain juga terkena imbasnya namun tidak separah ketiga negara ini. Arus keluar valas dari Indonesia memicu INFO RISIKO FISKAL
Ditingkat negara pengawas perbankan kewalahan untuk mengawasi jumlah bank yang banyak, dan terdapat kelonggaran dalam hal bank meminjam ke luar negeri dalam valas.
kepanikan akibat kecilnya cadangan devisa Indonesia saat itu sehingga Pemerintah terpaksa melepas kurs nilai tukar Rupiah. Mismatch antara penerimaan Rupiah dan kewajiban dollar membuat proyek-proyek dan pengusaha pembangunnya default, sehingga masifnya default dan mismatch yang sama di perbankan menyebabkan sebagian besar bank termasuk bank pemerintah kolaps.
Krisis Asia dilihat dari Persfektif SALM Banyak hal dapat dipelajari dari krisis Asia atau di Indonesia orang mengenalnya sebagai krisis moneter. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis, didukung oleh pertumbuhan jumlah bank swasta yang menjamur sehingga jumlah bank mencapai lebih dari 150-an bank. Sebagian besar bank tidak menerapkan kerangka kerja pengelolaan risiko yang baik, antara lain dengan tidak menerapkan Asset Liability Management (ALM). Pada neraca bank terjadi banyak mismatch di sisi asset dan lia-
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
bility diantaranya banyak pemberian kredit dalam rupiah dengan durasi panjang sementara funding dalam valas dengan durasi pendek. Kualitas aset juga kurang baik karena terlalu fokus ke sektor tertentu. Ditingkat negara pengawas perbankan kewalahan untuk mengawasi jumlah bank yang banyak, dan terdapat kelonggaran dalam hal bank meminjam ke luar negeri dalam valas. Besarnya exposur pinjaman luar negeri swasta, juga dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah secara rutin meminjam ke lembaga multilateral dan bilateral untuk membiayai anggaran pembangunan (belanja modal), sementara jumlah aset valas yang ada di Bank Indonesia hanya sedikit. Sehingga dilihat dari Neraca Foreign Exchange (FX) indonesia terjadi mismatch yang cukup besar, yang harus ditutupi melalui pinjaman valas jangka pendek. Belum adanya pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan masih sangat dangkalnya pasar keuangan domestik menyebabkan pembiayaan dari sumber dalam negeri belum memungkinkan. Agar pengelolaan keuangan negara mampu memperhitungkan risiko melalui pendekatan neraca negara terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, pembangunan pasar finansial domestik agar pemerintah dan swasta dapat lebih mengandalkan sumber pembiayaan dalam negeri. Kedua, memperbesar jumlah cadangan devisa melalui penggalakan investasi yang dapat menunjang ekspor. Ketiga, membatasi jumlah pinjaman luar negeri swasta jangka pendek. Keempat, penerapan ALM pada perbankan nasional agar bank dalam beroperasi dapat memperhitungkan risiko terhadap neracanya.
Pengertian SALM dan perkembangannya Secara singkat ALM dapat diartikan sebagai pengelolaan risiko yang 45
O P I N I
O P I N I
timbul akibat adanya mismatch antara aset dan kewajiban suatu perusahaan atau institusi keuangan. Pengertian ALM yang lebih luas adalah kordinasi pengelolaan aset dan pengelolaan kewajiban dengan melihat karakteristik aset dan kewajiban serta toleransi risiko institusi untuk mencapai tujuan institusi pada tingkat risiko yang terkendali. SALM atau penerapan ALM di tingkat neraca negara adalah pendekatan pengelolaan risiko dengan melihat gambaran secara penuh seluruh aset dan kewajiban negara yang dikelola oleh pemerintah (termasuk BI, LPS, BUMN dan lain-lain). Dalam kerangka kerja pengelolaan risiko berbasis neraca negara nilai aset dan kewajiban yang diukur tidak hanya nilai secara akuntansi namun juga nilai ekonomis dari aset dan kewajiban tersebut. Sebagaimana diketahui sebelum SALM diperkenalkan di Indonesia koordinasi antara pengelolaan aset dan kewajiban belum berjalan baik. Sebagai contoh, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dalam rangka memenuhi kebutuhan APBN sementara Bank Indonesia menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai alat operasi moneter sehingga secara keseluruhan negara membayar biaya bunga dua kali. Dengan diperkenalkannya SALM maka Bank Indonesia mulai menggantikan SBI dengan SBN dalam pelaksanaan operasi Moneter.
Perbedaan SALM dengan ALM institusi/korporasi Secara prinsip SALM dan ALM pada institusi menggunakan mekanisme yang sama dalam melakukan pengelolaan risiko yaitu dengan berusaha me-matching-kan antara karakteristik aset dan kewajiban. Namun dari sisi praktiknya akan lebih sulit me-matching-kan aset dan kewajiban negara dibandingkan aset dan kewajiban institusi. Perbedaan 46
utama SALM dengan ALM institusi adalah diakibatkan oleh konstruksi neraca negara yang sangat berbeda dari neraca institusi. Perbedaan utama antara neraca negara dengan neraca institusi/korporasi adalah : a. Neraca negara lebih kompleks dan tidak secara langsung menggambarkan hubungan antara sisi aset dan sisi kewajiban. Sebagai contoh pembangunan infrastruktur jalan yang dibiayai melalui pinjaman. Di sisi aset tidak hanya nilai jalan yang dicatat secara nilai buku namun manfaat ekonomi berupa present value dari tambahan nilai penerimaan pajak yang akan diterima dimasa yang akan datang. Sementara pada korporasi pendirian pabrik dengan menggunakan pinjaman secara langsung dapat dibandingkan antara pengembalian dan investasinya. b. Banyaknya kewajiban kontinjensi baik yang bersifat explisit maupun implisit yang harus diperhitungkan di dalam ALM negara yang sama sekali berbeda dibandingkan kewajiban kontinjensi pada korporasi seperti sektor keuangan, bencana alam, kewajiban sosial dan lain lain. c. Pengelola sub portofolio aset dan liability yang beragam seperti pemerintah, BUMN, Bank Indonesia, LPS dan lainnya memiliki misi, tugas dan fungsi masing masing sehingga membutuhkan karakteristik aset dan kewajiban yang berbeda. Sebagai contoh Bank Indonesia mengelola aset valas berupa cadangan devisa terutama untuk menyediakan likuiditas FX negara dengan karakteristik sangat likuid, rendah risiko, dan umumnya berdurasi pendek d. Valuasi aset dan kewajiban tidak mudah karena perbedaan sistem akuntansi, metodologi, serta
belum tersedianya model yang dapat digunakan. Sehubungan dengan perbedaan konstruksi neraca tersebut, pendekatan antara ALM institusi dan SALM sangat berbeda.
Tujuan dari SALM Secara umum kita mengetahui bahwa secara terpisah tujuan pengelolaan aset dan tujuan pengelolaan kewajiban adalah sebagai berikut : Tujuan pengelolaan aset adalah memastikan kecukupan saldo kas pemerintah dapat memenuhi kewajiban/komitmen yang jatuh tempo dan memaksimalkan daya beli (nilai) dari modal jangka panjang pada tingkat risiko yang moderat Tujuan pengelolaan kewajiban adalah untuk membiayai APBN (budget) pada tingkat biaya yang minimal dan risiko yang dapat diterima/terkendali Walaupun secara terpisah kedua tujuan tersebut dapat diupayakan untuk dicapai, namun dalam praktiknya apabila dilakukan secara terkoordinasi antara sisi aset dan sisi kewajiban maka hasilnya akan lebih optimal. Berkaitan dengan tujuan pengelolaan aset dan kewajiban secara terpisah tersebut di atas, tujuan SALM adalah untuk menunjang pencapaian tujuan makroekonomi dan pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, sementara secara bersamaan menjaga net worth negara tetap positif dengan memilih besaran dan karakteristik dari aset dan kewajiban pada pada neraca negara yang memperhatikan tingkat biaya dan risiko yang terkendali.
Neraca Konsolidasi dan Neraca Economic-risk Sebagaimana diketahui neraca merupakan salah satu jenis laporan keuangan yang harus di sampaikan atau
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Tabel 1 diumumkan secara berkala. fiskal untuk mencapai tuNeraca bersifat double entry juan makro ekonomi dan Neraca BI 31 Dec 2013 yaitu melaporkan jumlah aset pelayanan masyarakat meRp Trilyun atau kekayaan di sebelah kiri/ lalui APBN. Untuk mencapai Aset Liability -equity atas dan kewajiban di sebelah tujuan tersebut pemerintah Emas 36.76 Uang beredar 500.03 kanan/bawah. Apabila jumlah ditunjang oleh neraca yang SDR 33.06 Giro 382.61 kekayaan melebihi jumlah memiliki aset sebagian beSurat berharga 972.74 SBI &SBI syariah 119.66 kewajiban maka disebut ne- SBN 117.07 Deposit 184.16 sar berupa aset jangka panraca memiliki net worth atau SUP 237.78 repo 68.79 jang yaitu: investasi pada nilai kekayaan bersih positif. lain lain 251.27 SDR 37.17 BUMN dan lembaga publik, Net worth yang positif dapat lain lain 76.90 serta aset tetap (BMN) dan dengan cepat berubah mentotal 1,369.31 sebagian kecil berupa aset jadi negatif apabila terjadi Equity 279.37 lancar sepert kas, piutang, 1,648.68 Total 1,648.68 dan persediaan. Demikian penurunan nilai aset atau Total peningkatan nilai kewajiban pula pada sisi kewajiban akibat perubahan variabel pasar atau yang memiliki karakteristik likuid dan pemerintah sebagian besar berbentuk faktor lainnya. Sehubungan dengan aman, sehingga dapat sewaktu-waktu utang jangka panjang pemerintah hal tersebut dalam industri keuangan dicairkan tanpa banyak mengurangi baik dalam mata uang Rupiah maupun misalnya perbankan terdapat aturan nilainya (low volatility aset). Fungsi valas. Neraca pemerintah ada akhir tayang mengharuskan untuk memiliki utama cadangan devisa adalah untuk hun 2013 dapat dilihat di tabel 2. jumlah modal minimal tertentu sebamemenuhi kebutuhan impor dan pemApabila dilihat pada neraca pegai bantalan apabila terjadi penurubayaran kewajiban valas ke luar negemerintah di atas terdapat perbedaan nan net worth. ri. Cadangan devisa tersebut sebagian bila dibandingkan neraca BI. Pada Konstruksi neraca suatu institusi besar di danai dari uang beredar, giro neraca pemerintah di sisi aset seberbeda dari konstruksi neraca institu(milik perbankan, pemerintah, dan bagian besar berupa aset tetap dan si lain yang memiliki fungsi dan tugas lainnya) Sertifikat Bank Indonesia. Investasi jangka panjang. Aset tetap yang berbeda. Neraca pemerintah, neEkuitas BI sangat mudah terpengaruh merupakan kekayaan negara berupa raca BI, dan neraca BUMN sangat beroleh pergerakan nilai tukar Rupiah setanah, bangunan, infrastruktur dan beda yang disebabkan oleh tugas dan bagai akibat adanya mismatch antara lainnya yang digunakan untuk mefungsi masing-masing. Sebagai contoh aset yang sebagian besar berbentuk nunjang administrasi pemerintahan neraca Bank Indonesia ditujukan untuk valas dengan kewajiban yang sebagidan pelayanan masyarakat. Sedangmendukung fungsi BI selaku pengelola an besar dalam Rupiah. kan investasi jangka panjang terdiri moneter. Sebagai pengelola moneter Sementara tugas utama pemedari Penyertaan Modal Pemerintah BI mempunyai target mengendalikan rintah adalah menjalankan kebijakan (PMP) pada BUMN dan lembaga inflasi dan nilai tukar Rupiah. BI juga Tabel 2 memfasilitasi penyediaan likuiditas FX bagi negara, sehingga karakteristik Neraca Pemerintah 31 Dec 2013 aset sebagian besar berbentuk cadangRp Trilyun an devisa yang sangat likuid dan aman Aset Liability -equity serta Surat Berharga Negara (SBN) yang aset lancar kewajiban lancar digunakan sebagai sebagai instrumen Kas dan Bank 83.41 kewajiban jk pendek 368.09 operasi moneter. Di sisi kewajiban Piutang 104.80 terdiri dari uang beredar, giro (pemeaset lancar lainnya 64.39 SBN 1,523.75 rintah, perbankan dan swasta). Contoh Total aset lancar 252.60 Pensiun 17.16 Neraca BI dapat dilihat di tabel 1. Investasi Jk Panjang 1,183.17 Pinjaman LN 586.06 Sebagaimana dapat dilihat pada aset tetap 1,709.86 lain lain 157.04 neraca BI di atas mayoritas aset beaset lainnya 421.96 total kewajiban jk panjang 2,284.01 rupa emas, SDR dan surat berharga Total kewajiban 2,652.10 Equity 915.49 (ketiga aset tersebut termasuk ke Total 3,567.59 total 3,567.59 dalam perhitungan cadangan devisa) INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
47
O P I N I
Tabel 3 Neraca Konsolidasi Pemerintah - BI
O P I N I
adalah SBN dan pinjaman luar negeri. Sebagian eksposur risiko dapat diliPer 31 Desember 2013 hat dari neraca konsolidasi misalnya Asset Liability jumlah cadangan devisa yang masih Kas dan Bank 23.33 Uang beredar 500.03 mencukupi jumlah kewajiban jangka Cadangan devisa 1,042.56 SBI 119.66 pendek. Piutang Pemerintah 104.80 Giro ,deposit, repo 575.47 Walaupun dalam menampilkan Aset lancar lainnya 64.39 Kewajiban lancar Pem. 368.09 gambaran eksposur risiko neraca koninvestasi jk panjang 903.80 SBN 1,168.90 solidasi telah lebih lengkap dibandingAset tetap 1,709.86 Pinjaman LN &SDR 623.23 kan neraca pemerintah saja, namun asetjk panjang lain 673.23 Pensiun 17.16 belum dapat digunakan untuk melihat lain-lain 233.94 seluruh eksposur risiko yang ada. DaTotal Liability 3,606.48 lam guidelines yang diterbitkan oleh Net worth 915.49 IMF dan paper yang dikeluarkan oleh Total 4,521.97 Total 4,521.97 Harvard Business School yang ditulis oleh Robert C. Merton (2007) diperpublik seperti BI, LPS, BPJS dan lainsolidasi tersebut di atas dapat disimkenalkan pendekatan neraca econolain. Penyertaan modal pemerintah pulkan bahwa pada neraca konsolimic-risk untuk mengukur probability tersebut memiliki misi yang beragam dasi sebagian besar aset lancar adalah of default dari neraca negara. Dalam seperti untuk pengelolaan moneter, cadangan devisa sementara sebagian neraca economic risk tidak hanya konpenjaminan simpanan, pelayanan mabesar kewajiban lancar adalah kewasolidasi dari Neraca BI dan pemerintah syarakat, agen pembangunan, sampai jiban monetersementara sebagian beyang diperlukan, namun juga present dengan tujuan investasi berupa return sar aset jangka panjang adalah PMN value dari penerimaan dan belanja atau profit. Di sisi kewajiban dapat dan aset tetap milik pemerintah. Di pemerintah di saat ini dan dimasa dilihat bahwa kewajiban pemerintah sisi lain, kewajiban jangka panjang yang akan datang, serta perhitungan didominasi oleh kewajiban kewajiban kontinjensi yang jangka panjang seperti SBN, memasukkan kewajiban konTabel 4 pinjaman luar negeri, dan tijensi yang eksplisit maupun Tipe Neraca Negara Economic-Risk kewajiban pensiun. yang implisit. Tipikal neraca Asset Kewajiban Dalam rangka pengeloeconomic-risk dapat dilihat PV Pendapatan Pemerintah PV Belanja Pemerintah -Pajak -Sosial laan risiko keuangan negara di tabel 4. -PNBP -Pembangunan dibutuhkan gambaran yang Secara keseluruhan, -Seniorage -Administrasi utuh dari neraca negara, dalam pendekatan econosehingga neraca pemerintah mic-risk balance sheet aset Saldo (balance) Saldo (balance) dan neraca BI perlu dikonsoterbesar pemerintah adaKas Uang Beredar lidasi. Manfaat konsolidasi nelah nilai sekarang (present Cadangan Devisa Utang Pemerintah raca, bila dibandingkan hanya value) dari penerimaan Investasi (Pensiun dan SWF -Valuta asing jika melihat neraca pemerinpajak dan non pajak, serta BUMN -Rupiah tah saja (dimana Neraca BI hanet value dari pencetakan Aset Tetap Kewajiban Pensiun nya dicatat ekuitasnya saja), uang yang akan diterima Kekayaan Alam adalah dapat secara jelas dipemerintah sekarang dan Aset Lainnya Kewajiban Kontijensi lihat eksposur atau mismatch dimasa yang akan datang. Modal BI, LPS, dll yang ada. Secara singkat daDalam pendekatan neraca Sektor Keuangan lam konsolidasi neraca utang economic-risk ini terdapat Penjaminan piutang antara pemerintah kendala yang cukup besar Bencana Alam dan BI dapat saling di setdalam melakukan proyeksi Litigasi off atau di net-kan. Neraca dan simulasi terkait asumsi dll konsolidasi pemerintah dan dan metodologi, terutama Net Worth BI dapat dilihat di tabel 3. untuk kewajiban kontinjensi -Financial Networth Berdasarkan neraca konyang sulit untuk diukur. 48
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Jenis Risiko yang dicakup dalam SALM Pendekatan ALM paling sering dilakukan untuk pengelolaan risiko likuiditas dan risiko pasar (risiko tingkat bunga dan risiko nilai tukar). Risiko likuiditas adalah risiko suatu perusahaan atau institusi tidak mampu membayar atau memenuhi kewajibannya akibat tidak tersedianya kas atau alat likuid yang cukup. Pada neraca tercantum jumlah aset lancar dan kewajiban lancar, contoh rasio cepat (quick ratio) adalah apabila jumlah aset lancar melebihi kewajiban lancar pada rasio tertentu (misal 1,2 yang berarti jumlah aset 120% dari jumlah kewajiban) maka dianggap cukup likuid. Namun untuk lebih aman maka hanya aset yang sangat likuid yang diperhitungkan seperti kas, bank deposit, emas, tagihan dan surat berharga. Masih terkait dengan risiko likuiditas juga terdapat risiko funding yaitu risiko tidak terpenuhinya sumber dana yang dibutuhkan untuk pembiayaan APBN dan risiko refinancing yaitu risiko utang yang jatuh tempo tidak dapat dibiayai kembali atau dapat dibiayai kembali dengan biaya yang mahal. Risiko pasar adalah risiko kerugian suatu institusi (penurunan nilai aset atau kenaikan nilai kewajiban) akibat perubahan variabel pasar seperti tingkat bunga, nilai tukar mata uang dan harga komoditas. Perubahan variabel pasar dapat mengenai sisi aset dan sisi kewajiban tergantung pada acuan variabel pasar yang berlaku dari masing masing item aset dan kewajiban. Sebagai contoh aset berupa emas pada cadangan devisa ter-expose pada harga emas dan harga valas. Beberapa risiko lainya yang cukup penting adalah risiko sustainability Neraca atau lebih spesifik sebagai sustainability networth yaitu risiko tergerusnya networth akibat lebih kecilnya pertumbuhan nilai aset bila INFO RISIKO FISKAL
Risiko pasar adalah risiko kerugian suatu institusi (penurunan nilai aset atau kenaikan nilai kewajiban) akibat perubahan variabel pasar seperti tingkat bunga, nilai tukar mata uang dan harga komoditas. dibandingkan pertumbuhan nilai kewajiban, sehingga dalam jangka menengah-panjang net worth semakin kecil atau malah negatif (bangkrut).
Perlunya Suatu kerangka kerja Pengelolaan Risiko berbasis SALM Belajar dari pengalaman krisis Asia ketidakadaan kerangka kerja pengelolaan risiko yang bersifat holistik cukup menjadi sebab mengapa Indonesia yang secara makro ekonomi sangat bagus dapat tertular dengan cepat oleh kejadian yang ter-triger oleh kejadian di Thailand. Kerangka kerja pengelolaan risiko keuangan negara berbasis neraca negara dapat memberikan nilai tambah, efisiensi, dan ketahanan terhadap krisis yang lebih baik. Fungsi kerangka kerja adalah agar pengelolaan risiko dapat dilakukan secara sistematis, terdapat pembagian kerja yang jelas, dan semua pihak dapat menjalankan tugas dan fungsi pengelolaan risiko yang menjadi tangung jawab masing-masing. Kerangka kerja pengelolaan risiko yang efektif dapat membantu semua pihak bersinergi dalam mengelola risiko keuangan negara yang ada,
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
sementara masing-masing pihak tetap dapat menjalankan misi organisasi. Kerangka kerja SALM disusun sebagai dasar untuk bekerjanya mekanisme pengelolaan risiko berbasis neraca negara. Dalam kerangka kerja disiapkan hal-hal sebagai berikut: (i) Prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam pengelolaan risiko berbasis neraca negara (ii) Organisasi pengelolaan risiko dan kelengkapannya (iii) Tugas dan peran masing-masing unit pengelola risiko (iv) Jenis risiko yang dikelola (v) Mekanisme kerja dan mekanisme koordinasi (vi) Output rekomendasi dan laporan risiko (vii) dan fungsi dari masing masing unit yang terlibat dalam pengelolaan Neraca Negara, Beberapa Kesimpulan yang dapat diambil : a. Adanya kerangka kerja pengelolaan risiko berbasis SALM dapat lebih mengoptimalkan pengelolaan risiko di tingkat negara, sehingga dapat diupayakan penurunan kerentanan (vulnerability) keuangan negara terhadap berbagai faktor yang dapat menyebabkan keuangan negara tidak sustain. b. Pengelolaan risiko secara holistik dengan menggunakan neraca economic-risk dapat menggambarkan kondisi risiko negara secara keseluruhan sehingga dapat ditentukan langkah-langkah mitigasi risiko yang tepat c. Penerapan SALM dapat membantu menurunkan tingkat risiko negara (sovereign risk) yang akan diindikasikan oleh naiknya credit rating Indonesia. Dengan adanya penurunan sovereign risk berarti keuangan negara akan lebih aman. n 49
O P I N I
Pembatasan Rapat di Luar Kantor: Dalam Perspektif Fiskal dan Ekonomi Makro Oleh: Akhmad Yasin
Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected]
P O P I N I
emilihan presiden dan wakil presiden periode 2014 – 2019 telah dilaksanakan dengan sukses. Rakyat secara langsung dan aklamasi telah mendaulat pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden baru yang memimpin bangsa Indonesia hingga 2019 mendatang. Berbagai harapan dan impian rakyat dipikulkan kepada kedua pemimpin baru ini. Sosok pemimpin yang sederhana, down to earth, dengan slogannya kerja, kerja dan kerja telah membius jutaan rakyat di negara yang terkenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa dalam euphoria. Berbagai kebijakan pemerintah Jokowi sudah mulai diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Kebijakan dari mulai menaikkan harga BBM bersubsidi hingga gerakan penghematan nasional serta menurunkan kembali harga BBM hingga dua kali yang disertai dengan pencabutan subsidi BBM telah membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam rangka meminimalisir pengeluaran oleh kementerian dan lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah, pemerintah mengeluarkan kebijakan Gerakan Penghematan Nasional. Kebijakan ini diperkuat dengan adanya Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2015 tentang 50
Pedoman Pembatasan Pertemuan/ Rapat Di Luar Kantor dalam Rangka Peningkatan Efisiensi dan Efektivitas Kerja Aparatur. Melalui Permen tersebut, Menteri PAN RB meminta seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menyusun petunjuk teknis beserta Standar Operasional Prosedur (SOP) mengenai tata kelola kegiatan dan tata cara pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pertemuan/rapat di luar kantor yang efektif dan efesien (lihat Pasal 3). Pertemuan atau rapat di luar kantor yang dibiayai baik oleh APBN maupun APBD yang menggunakan fasilitas gedung yang bukan milik pemerintah dapat dilaksanakan secara selektif apabila memenuhi kriteria: a. Penyelenggaraan sidang/konvensi/konferensi Internasional/workshop/seminar/simposium/sosialisasi/bimbingan teknis/sarasehan berskala Internasional yang diselenggarakan di dalam negeri. b. Konsinyering/Focus Group Discussion (FGD)/pertemuan/rapat koordinasi/rapat pimpinan/rapat kerja/rapat teknis/sosialisasi/bimbingan teknis/workshop/seminar/ simposium dan sarasehan (pertemuan nonInternasional), dapat dilaksanakan apabila memenuhi salah satu kriteria berikut: 1) Pertemuan yang memiliki
urgensi tinggi terkait dengan pembahasan materi bersifat strategis atau memerlukan koordinasi lintas sektoral, memerlukan penyelesaian secara cepat, mendesak, dan terus menerus (simultan), sehingga memerlukan waktu penyelesaian di luar kantor. 2) Tidak tersedia ruang rapat kantor milik sendiri/instansi pemerintah di wilayah tersebut, tidak tersedia sarana dan prasarana yang memadai. 3) Lokasi tempat penyelenggaraan pertemuan sulit dijangkau oleh peserta baik sarana transportasi maupun waktu perjalanan. Pedoman ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya dalam penerapan prinsip-prinsip kesederhanaan hidup, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Terkait dengan kebijakan penghematan nasional ini, muncullah pro dan kontra dari kalangan stakeholder dan masyarakat, baik dari kalangan PNS di pusat dan daerah maupun para pelaku usaha, khususnya para pengusaha hotel dan penginapan. Para ahli ekonomi pun menyikapinya dengan wacana dan pendapat yang berlainan. Beberapa kalangan mengaitkan kebijakan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
tersebut dengan kondisi fiskal dan makro ekonomi secara keseluruhan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Jadi bagaimana kondisi fiskal dan makro ekonomi terkait dengan pembatasan rapat di luar kantor?
Anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan sarana penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Efisiensi dan Efektivitas: Literature Review Anggaran pendapatan dan belanja negara merupakan sarana penting dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan APBN yang optimal dapat dicapai jika pengelolaannya baik, efektif, efisien, dan akuntabel, khususnya pengelolaan pada sisi belanja atau pengeluaran. Efisiensi dan penghematan anggaran belanja negara menjadi program pemerintah Jokowi saat ini dalam rangka menyehatkan APBN dan meminimalisir potensi kerugian negara karena penggunaan anggaran yang tidak efektif. Efisiensi dan efektivitas anggaran belanja merupakan salah satu prinsip utama dalam penyelenggaraan anggaran belanja suatu organisasi publik agar dapat memberikan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal (Bastian, 2006). Efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara ouput yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output). Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya (spending well). Indikator efisiensi menggambarkan hubungan antara masukan sumber daya oleh suatu unit organisasi (misalnya: staf, upah, biaya administratif) dan keluaran yang dihasilkan (Sumenge, 2013). Dalam konteks pengeluaran publik, efektivitas dapat dikaitkan dengan tujuan umum pemerintah/kebijakan fiskal, antara lain: kesejahteraan (perINFO RISIKO FISKAL
tumbuhan ekonomi), keadilan sosial (ekuitas), stabilisasi dan lain-lain, ataupun tujuan sektoral yang lebih spesifik misalnya kualitas kesehatan masyarakat, kuantitas dan kualitas pelayanan publik, kondisi infrastuktur, standar kesehatan, dan lain-lain. Efektivitas pelaksanaan anggaran dapat pula dikaitkan dengan terlaksananya kegiatan atau tercapainya output. Cara pengukuran efisiensi dan efektivitas tersebut dapat disimpulkan bahwa menilai kinerja pelaksanaan anggaran bukanlah hal yang sederhana, tidak cukup hanya dengan melihat tingkat penyerapan anggarannya saja, melainkan harus dihubungkan dengan capaian output, outcomes, dan benefit-nya (Zaenuddin, 2013). Indikator-indikator yang menggambarkan kinerja pelaksanaan anggaran adalah: (1) Belanja pemerintah telah memenuhi tujuannya, (2) Dieksekusi dengan baik untuk memenuhi targetnya, (3) Efisien dalam pelaksanaannya, (4) Efektif mencapai tujuannya, dan (5) Berbagai indikator lain yang mewakili kinerja dan kualitas (Zaenuddin, 2013). Melalui kebijakan pembatasan rapat-rapat di luar kantor, pemerintah berharap terdapat penghematan pengeluaran untuk belanja negara. Sehingga secara otomatis pendapatan negara dapat lebih bisa dioptimalkan, dan tentunya
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas belanja. Belanja negara yang berkualitas dapat diukur dari sustainability atau keberlanjutannya, efisiensi dan efektivitas belanja dengan hasil capaian output dan outcomes serta benefit yang sesuai dengan target dan perencanaan anggaran. Belanja berkualitas yang berkelanjutan mencerminkan adanya fiscal sustainability pemerintah yang lebih terjamin. Struktur belanja yang berkualitas semestinya juga masih memberikan ruang fleksibilitas bagi pemerintah untuk merespons berbagai dinamika yang mungkin terjadi. Harus disadari bahwa saat ini perekonomian kita dihadapkan pada iklim ekonomi dunia yang lebih dinamis, diliputi ketidakpastian dan volatilitas yang cukup tinggi. Oleh karenanya diperlukan fleksibilitas fiskal yang memadai bagi pemerintah untuk merespon dan menjawab gejolak dan dinamika yang terjadi. Ruang fleksibilitas fiskal tersebut sangat terkait erat dengan ketersediaan ruang fiskal (fiscal space) yang memadai dalam struktur belanja APBN (http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Keynotespeechmenkeu.pdf, 2015).
Pengaruh Fiskal Alokasi belanja negara yang digunakan untuk pembayaran rapat atau konsinyering di hotel, walaupun dianggap kurang efektif, tetapi dapat menambah pendapatan hotel. Semakin besar tingkat pendapatan yang diperoleh hotel menjadikan hotel dapat meningkatkan kemampuan investasinya, menaikkan gaji karyawannya, dan bagi pemerintah dapat memperoleh peningkatan jumlah pajak dari sektor hotel, restoran dan pariwisata. Kebijakan pelarangan rapat di hotel sangat dikhawatirkan oleh para pelaku usaha di sektor perhotelan dan pariwisata. Kebijakan pemerintah ini berakibat 51
O P I N I
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) pada Hotel Berbintang di 27 Provinsi, 2014
O P I N I
Propinsi
Jul
Ags
Sept
Okt
Nov
Des
Aceh
37.27
47.44
52.77
48.18
55.70
44.74
Sumatera Utara
40.10
42.27
45.21
44.60
44.49
45.86
Sumatera Barat
39.02
52.55
52.62
53.14
55.21
49.20
Riau
39.90
40.90
43.75
44.26
44.50
39.74
Jambi
44.85
45.88
46.49
42.42
47.36
43.33
Sumatera Selatan
36.98
46.24
47.62
49.61
48.56
48.24
Bengkulu
43.99
47.49
59.09
55.78
53.63
35.45
Lampung
58.09
56.41
62.70
54.05
59.19
61.38
Kep, Bangka Belitung
33.53
34.77
41.03
38.96
40.03
35.71
Kepulauan Riau
51.21
50.22
50.65
51.23
50.27
50.58
DKI Jakarta
56.72
56.75
58.91
60.26
60.29
53.20
Jawa Barat
41.20
47.38
47.10
48.31
51.05
49.14
Jawa Tengah
44.33
45.79
48.03
48.90
48.84
47.19
DI Yogyakarta
49.43
59.63
62.77
62.29
65.26
65.22
Jawa Timur
45.88
49.49
52.87
53.40
53.24
49.51
Banten
41.57
51.40
54.31
45.62
50.86
54.31
Bali
61.40
62.07
63.87
62.83
61.36
51.07
Nusa Tenggara Barat
49.15
52.33
55.70
52.42
47.30
46.79
Kalimantan Barat
46.55
49.24
52.06
52.72
52.82
49.53
Kalimantan Tengah
43.88
52.19
53.72
56.20
56.56
53.33
Kalimantan Selatan
33.14
47.84
55.59
52.18
53.13
47.92
Kalimantan Timur
51.42
51.07
52.43
55.16
59.74
58.63
Sulawesi Utara
50.75
54.17
57.46
53.47
58.09
46.51
Gorontalo
28.51
46.94
54.22
51.52
49.70
33.82
Sulawesi Tengah
36.21
56.75
63.94
65.44
59.71
57.18
Sulawesi Selatan
41.67
45.49
48.46
51.20
52.57
42.99
Sulawesi Tenggara
30.71
32.92
39.70
36.36
39.07
31.18
Total
49.09
52.02
54.21
54.29
54.45
50.13
Sumber: BPS, data diolah.
terhadap menurunnya tingkat margin hotel karena menurunnya secara drastis tingkat penghunian kamar (TPK). Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang pada Desember 2014 menurun drastis bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan tersebut mencapai 5,6%, TPK per Desember 2014 hanya 50,13% dibandingkan Desember 2013 yang mencapai 55,73%. (http://www. 52
jawapos.com, 2015). Pendapatan hotel sebagian besar berasal dari bisnis meetings, incentives, conferences, and exhibitions (MICE). Secara otomatis penurunan pendapatan hotel dapat berdampak pada tersendatnya proyek pembangunan hotel dan munculnya kredit macet akibat pembangunan hotel dan bisnis MICE untuk skala nasional. Dampak lainnya adalah terjadinya pengurangan karyawan dan persaingan
tariff hotel yang tidak sehat. Efek domino sebagai dampak dari kebijakan penghematan anggaran yang terkait dengan pelarangan rapat di hotel adalah menurunnya kegiatan usaha di sektor pariwisata. Hotel merupakan salah satu usaha yang berperan penting terhadap sektor pariwisata. Dari sisi fiskal, menurunnya penghasilan hotel berdampak terhadap penerimaan pajak, baik pajak penghasilan maupun pajak hotel. Komponen pajak penghasilan diperoleh dari penghasilan karyawan hotel dan pajak hotel diperoleh dari okupansi kamar hotel. Dampak menurunnya penghasilan pajak hotel sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang melarang PNS rapat di hotel sangat berpengaruh terhadap kemampuan operasional hotel. Kemampuan operasional hotel yang terbatas menjadikan pihak manajemen hotel melakukan penghematan. Sebagai akibatnya tingkat pelayanan hotel pun semakin buruk. Tingkat pelayanan yang semakin menurun dan memburuk berdampak terhadap minat tamu atau wisatawan untuk menginap di hotel. Tingkat pelayanan yang buruk berdampak besar terhadap tingkat okupansi kamar hotel. Semakin sedikit atau kosong kamar pada suatu hotel, tentunya sangat berpengaruh terhadap pendapatan hotel. Pendapatan yang semakin menurun jumlahnya berdampak terhadap kemampuan hotel dalam membayar gaji karyawannya. Sebagai akibatnya manajemen hotel akan melakukan perampingan jumlah karyawannya melalui pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK tentunya menambah jumlah pengangguran. Semakin banyak pengangguran, maka jumlah pajak penghasilan yang ditarik dari gaji atau penghasilan penduduk pekerja akan berkurang. Bagi pemerintah daerah, semakin banyak hotel yang gulung tikar karena menurunnya pendapat-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
an hotel berdampak terhadap penerimaan pajak hotel bagi pemerintah daerah. Akibatnya penerimaan asli daerah bagi pemerintah daerah juga menurun. Menurunnya penerimaan asli daerah dapat berakibat pada pelayanan publik pemerintah daerah terhadap warganya kurang memuaskan dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi.
Pengaruh Ekonomi Makro Pemerintah telah berkomitmen untuk memperbaiki kualitas anggaran belanja. Efisiensi belanja negara oleh pemerintah melalui pengurangan perjalanan dinas dan pengurangan pengadaan rapat di hotel bertujuan untuk menciptakan belanja yang berkualitas, sehingga di satu sisi terjadi kelambatan dalam penyerapan anggaran. Dalam konteks analisis makro ekonomi negara, penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator efisiensi alokasi. Semakin optimal penyerapan anggaran maka mengindikasikan efisiensi dalam pengalokasian dan sebaliknya, meskipun bukan satu-satunya ukuran karena masih ada beberapa indikator lainnya seperti kualitas output/outcome, manfaat program/kegiatan serta nilai tambah atas implementasi program/kegiatan tersebut. Hingga kini pemerintah masih berkutat di persoalan penyerapan belanja semata (Joko Tri Haryanto, 2015). Hal ini karena belanja negara sangat penting untuk menopang pertumbuhan ekonomi ke depan, selain konsumsi rumah tangga. Di samping konsumsi rumah tangga, penopang pertumbuhan ekonomi adalah sektor riil. Jika sektor riil tidak berjalan, maka pengangguran akan meningkat, penurunan produksi, inflasi tinggi, dan kian melebarnya defisit neraca perdagangan. Pertumbuhan ekonomi yang berasal dari perhotelan dapat dilihat dari besaran pajak hotel, ketersediaan INFO RISIKO FISKAL
Efisiensi belanja negara oleh pemerintah melalui pengurangan perjalanan dinas dan pengurangan pengadaan rapat di hotel bertujuan untuk menciptakan belanja yang berkualitas, sehingga di satu sisi terjadi kelambatan dalam penyerapan anggaran.
tasinya dapat berperan serta dalam meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investasi, yaitu: 1. investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat, sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat, pendapatan nasional dan kesempatan kerja, 2. pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi, dan investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi (http://herlinarukun.blogspot.com/, 2013).
Kondisi Belanja Pemerintah Pusat lapangan kerja, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap dari sektor perhotelan dan kemampuan investasi. Pasang surutnya pertumbuhan jumlah hotel sangat mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap secara langsung. Sedangkan penyerapan jumlah tenaga kerja secara tidak langsung diperoleh dari industri pertanian dan manufaktur lainnya yang mendukung operasional hotel dimana hotel merupakan bagian dari industri pariwisata. Tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap keberhasilan industri. Ketika suatu industri mengalami perkembangan yang pesat, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara juga mengalami peningkatan. Tenaga kerja sudah menjadi salah satu investasi vital dan penggerak dalam mencapai tujuan pembangunan industri menuju kearah perekonomian bangsa yang mandiri. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat disebabkan oleh produksi barang dan jasa, disamping adanya pinjaman dan investasi. Kemampuan hotel dalam mengembangkan inves-
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Belanja pemerintah pusat terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja Iain-Iain dan belanja daerah. Kegiatan di luar kantor seperti pengadaan rapat dan konsinyering termasuk dalam belanja barang, baik sebagai belanja barang operasional maupun nonoperasional. Belanja barang adalah pengeluran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan. Belanja ini terdiri belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan dan belanja perjalanan. Pembatasan pengadaan kegiatan di luar kantor seperti rapat dan/atau konsinyering, membawa pesan bahwa penggunaan anggaran negara untuk pengeluaran harus dilaksanakan dengan hati-hati, efisien dan berkualitas. Efisiensi belanja negara melalui refo53
O P I N I
cusing ke kegiatan yang lebih prioritas dan lebih produktif, serta mendukung berbagai program prioritas (sesuai visi dan misi presiden), meliputi dukungan sektor pendorong pertumbuhan (pangan, energi, maritim, pariwisata, dan industri); pemenuhan kewajiban dasar (pendidikan, kesehatan, dan perumahan); pengurangan kesenjangan antar kelas pendapatan dan antar wilayah; dan pembangunan infrastruktur konektivitas (http://www. anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/ FINALBIBAPBN2P.pdf, 2015). Terkait dengan program pemerintah untuk melakukan penghematan belanja negara melalui pembatas-
an kegiatan-kegiatan di luar kantor seperti rapat di hotel, konsinyering di hotel, dan perjalanan dinas, apakah berpengaruh signifikan terhadap jumlah belanja negara dalam hal ini belanja barang? Besarnya belanja barang dalam APBN-P 2011 – 2015 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0.8% (lihat tabel). Jika kita melihat jumlah peningkatan pada komponen belanja barang, maka dapat dikatakan bahwa pembatasan kegiatan di luar kantor tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan jumlah belanja barang. Namun, pemerintah berharap ada penghematan sebesar Rp.16 triliun dari pembatasan atau pemang-
kasan anggaran untuk konsinyering, perjalanan dinas, dan rapat di luar kantor atau hotel. Oleh karena itu, untuk kementerian/lembaga dalam melaksanakan ketentuan standar biaya 2015 perlu melakukan langkah-langkah efisiensi anggaran. Langkah-langkah tersebut antara lain, Pertama, pembatasan dan pengendalian biaya perjalanan dinas. Kedua, pembatasan dan pengendalian biaya rapat di luar kantor. Ketiga, penerapan sewa kendaraan operasional sebagai salah satu alternatif penyediaan kendaraan operasional. Keempat, pembatasan dan pengendalian pemberian honorarium tim
APBN-P 2011-2015
O P I N I
(dalam miliar rupiah)
-
B. BELANJA NEGARA
2011
2012
2013
2014
2015
APBN-P
APBN-P
APBNP
APBN-P
APBN-P
1,320,751.3
1,548,310.3
1,726,191.3
1,876,873.8
1,984,149.7
I.
BELANJA PEMERINTAH PUSAT
908,243.4
1,069,534.4
1,196,828.4
1,280,368.6
1,319,549.0
-
Belanja K/L Belanja Non K/L 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Belanja Modal 4. Pembayaran Bunga Utang i. Utang Dalam Negeri ii. Utang Luar Negeri 5. Subsidi a Subsidi Energi
461,508.0 446,735.4 182,875.0 142,825.9 140,952.5 106,583.8 76,613.7 29,970.1 237,194.7 195,288.7
547,925.5 521,608.9 212,255.1 162,012.3 176,051.4 117,785.4 84,749.3 33,036.1 245,076.3 202,353.2
622,008.7 574,819.7 233,639.1 191,318.7 194,562.8 112,517.8 96,758.4 15,759.4 348,119.0 299,829.7
602,292.0 678,076.6 258,435.6 195,206.7 160,790.5 135,453.2 120,566.2 14,887.0 403,035.6 350,310.5
795,480.4 524,068.6 293,129.3 238,818.3 275,788.0 155,730.9 141,203.8 14,527.1 212,104.4 137,824.0
1) BBM, LPG & BBN 2) Listrik b Subsidi Non Energi 6. Belanja Hibah 7. Bantuan Sosial 8. Belanja Lain-Lain Penyesuaian Anggaran Pendidikan Cadangan Belanja
129,723.6 65,565.1 41,906.0 404.9 81,810.4 15,596.2
137,379.8 64,973.4 42,723.1 1,790.9 86,028.0 68,535.0
199,850.0 99,979.7 48,289.3 2,346.5 95,053.5 19,270.8
246,494.2 103,816.3 52,725.1 2,853.3 93,355.4 27,938.4
64,674.8 73,149.2 74,280.3 4,644.2 107,669.9 31,663.9
II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA 1. Dana Perimbangan a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus 2. Dana Otonomi Khusus dan Peny. a. Dana Otonomi Khusus b. Dana Penyesuaian c. DanaKeistimewaanDIY
412,507.9 347,538.6 96,772.1 225,533.7 25,232.8 64,969.3 10,421.3 54,548.0
478,775.9 408,352.1 108,421.7 273,814.4 26,115.9 70,423.9 11,952.6 58,471.3
529,362.9 445,531.5 102,695.0 311,139.3 31,697.1 83,831.5 13,445.6 70,385.9
596,505.2 491,882.9 117,663.6 341,219.3 33,000.0 104,097.4 16,148.8 87,424.8 523.9
664,600.7 521,760.5 110,052.0 352,887.8 55,820.7 122,074.1 17,115.5 104,411.1 547.5
6,313.0
0.0
0.0 0.0
20,766.2
3. Hibah ke daerah Dana Desa
Sumber: PKAPBN, BKF, Kemenkeu, 2015, diolah
Sumber:PKAPBN,BKF,Kemenkeu,2015,diolah 54
Penutup
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
pelaksana kegiatan. Kelima, lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri (http://www.pemeriksaanpajak.com, 2015).
Penutup Upaya penghematan melalui efisiensi penggunaan anggaran negara yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, membawa dampak dan gejolak bagi industri pariwisata, khususnya perhotelan. Banyak pengusaha hotel yang mengeluhkan kebijakan pemerintah tersebut. Semakian berkurangnya pendapatan hotel, sementara biaya operasional yang semakin besar, menjadikan banyak hotel yang memutus hubungan kerja karyawannya. Sementara di sisi lain, multiplier effect dari industri pariwisata perhotelan cukup banyak. Melalui industri pariwisata, kehidupan para pelaku usaha sektor riil menunjukkan adanya geliat ekonomi yang menjanjikan, mulai dari tukang becak, kusir delman, pedagang kecil kaki lima, dan para petani pemasok sayuran dan bahan makanan ke hotel, serta para pengusaha mikro, kecil dan menengah lainnya. Namun, bagaimana akibatnya jika industri perhotelan mengalami kemunduran dan bahkan ada di kalangan mereka yang akhirnya menutup usahanya? Tentu hal ini sangat berpengaruh terhadap keberadaan usaha faktor-faktor pendukung industri tersebut. Tukang becak, kusir delman, dan para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah akan terkena dampaknya. Pendapatan berkurang karena berkurangnya pelanggan atau konsumen. Hingga akhirnya menciptakan pengangguran dan menambah jumlah penduduk miskin. Secara makro, dapat mempengaruhi percepatan pertumbuhan ekonomi. Bagi aparatur sipil negara dalam hal ini PNS, kegiatan konsinyering dan rapat di hotel walaupun mereka menINFO RISIKO FISKAL
dapatkan honor dan uang transport, tidak menambah tingkat kesejahteraan PNS secara signifikan. Namun, hal yang perlu dibenahi adalah sistem manajemen kerja di lingkungan birokrasi tersebut. Kegiatan konsinyering atau rapat di hotel jangan melibatkan terlalu banyak peserta karena sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas penyelesaian pekerjaan dan pelayanan publik kepada stakeholders. Kebijakan pembatasan pengadaan kegiatan di luar kantor diganti dengan rapat dalam kantor (RDK) yang dilaksanakan sesudah jam kerja dan bertempat di dalam kantor, justru menimbulkan dampak yang sama terhadap anggaran belanja pemerintah
pusat. Kalau sebelumnya ada biaya akomodasi hotel dan honor peserta, saat ini tidak ada biaya akomodasi, tetapi pemberian honor peserta rapat lebih besar daripada honor peserta konsinyering atau rapat di hotel dan dilaksanakan dengan frekuensi yang lebih banyak daripada konsinyering. Hal ini tentunya berdampak terhadap jumlah belanja barang pemerintah. Sama saja pada akhirnya jumlah belanja pemerintah, baik ketika ada konsinyering maupun adanya pelarangan atau pembatasan. Anggaran belanja tidak berkurang secara signifikan. Jadi perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pembatasan rapat atau kegiatan di luar kantor. n
Daftar Pustaka 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Bastian, I. (2006). Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. http://herlinarukun.blogspot.com/. (2013). Retrieved from http://herlinarukun.blogspot.com/2013/04/pengaruh-variabel-variabel-makro. html. http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/FINALBIBAPBN2P. pdf. (2015, Maret). Retrieved from http://www.anggaran.depkeu. go.id. http://www.jawapos.com. (2015, Februari 3). Retrieved from http:// www.jawapos.com/baca/artikel/12354/Ganggu-Ekonomi-BPS-MintaLarangan-Rapat-di-Hotel-Ditinjau. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Keynotespeechmenkeu.pdf. (2015, February 11). Retrieved from http://www.kemenkeu. go.id/. http://www.pemeriksaanpajak.com. (2015, Maret 30). Retrieved from http://pemeriksaanpajak.com/2015/03/30/rapat-di-luar-kantor-dibatasi-anggaran-hemat-rp-16-triliun/. Joko Tri Haryanto. (2015, Januari 16). http://www.kemenkeu.go.id/. Retrieved from http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/perbaiki-kualitasbelanja-2015. Sumenge, A. S. (2013). ANALISIS EFEKTIFITAS DAN EFISIENSI PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) MINAHASA SELATAN. Jurnal EMBA, 74-81. Zaenuddin, A. (2013, October 19). http://kanwil-djpbjabar.net/index. php/keuangan-publik/123-mengukur-efisiensi-dan-efektivitas-belanjadalam-reviu-pelaksanaan-anggaran. Retrieved from http://kanwildjpbjabar.net/.
55
O P I N I
Menengok Sejarah Keterlibatan Swasta Dalam Pengembangan Infrastruktur Publik di Indonesia Oleh: Farid Arif Wibowo
Kepala Seksi Analisis Risiko Aset Dan Kewajiban Linstas Generasi. Email:
[email protected]
B m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
erangkat dari anggapan bahwa keterlibatan swasta dapat menutupi kekurangan pendanaan penyediaan infrastruktur, Pemerintah Indonesia saat ini tengah gencar mengembangkan skema KPS (Kerjasama Pemerintah-Swasta atau Public-Private Partnerships – PPPs) sebagai sebuah skema untuk melibatkan swasta dalam penyediaan infrastruktur publik. Sejak tahun 1990an, komitmen untuk mengembangkan skema KPS tersebut telah diikuti dengan banyak kebijakan termasuk penyusunan daftar proyek, penerbitan peraturan, pendirian lembaga, komitmen dengan lembaga internasional dan lain-lain. Banyak isu yang sering diidentifikasi sebagai hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan ini. Salah satunya adalah pandangan bahwa KPS (atau keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur secara umum) merupakan sesuatu konsep dan praktek yang baru bagi Indonesia, sehingga perlu waktu yang lebih lama untuk membangun pemahaman dan pengalaman. Apakah memang kerjasama penyediaan infrastruktur antara pemerintah dan swasta adalah hal yang baru bagi Indonesia? Jika Indonesia memiliki pengalaman di masa lalu, seperti apakah dinamika keterlibatan swasta dalam penyediaan fasilitas in-
frastruktur publik tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan isu yang perlu dijawab untuk lebih memahami bagaimana sebetulnya skema keterlibatan swasta menjadi bagian dari keberadaan layanan infrasruktur di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif sejarah, tulisan ini disajikan secara deskriptif untuk menggali sejauh mana sektor swasta terlibat dalam penyediaan infrastruktur publik di masa lalu. Rentang waktu yang diamati dalam tulisan ini mencakup era penjajahan baik oleh penjajah Belanda maupun Jepang hingga era pasca kemerdekaan Indonsia. Sedikit diskusi disajikan untuk memberikan analisis dan kesimpulan tentang pembahasan isu kesejarahan ini.
Era Pemerintahan Kolonial Belanda dan Jepang Kebijakan untuk melibatkan sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur di tanah air dimulai pada sekitar awal abad ke 19, ketika pemerintah kolonial Belanda berusaha merumuskan sistem yang cocok untuk menjalankan ekonomi kolonialnya. Pilihan yang ada pada waktu itu adalah apakah ekonomi akan dijalankan dengan monopoli oleh pemerintah atau melalui perdagangan bebas yang dijalankan oleh swasta (Dick et al., 2002). Pemerintah kolonial Belanda pada akhirnya memilih opsi yang kedua dengan mencoba lebih banyak membuka kesempatan pada swasta dalam menyediakan layanan
wikimedia.org
56
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
publik. Pilihan tersebut terbukti tepat, paling tidak ditunjukkan dengan berkembangnya perekonomian kolonial pada waktu itu. Pilihan untuk melibatkan swasta dijalankan salah satunya dengan mengikutsertakan swasta dalam pengembangan infrastruktur publik, terutama di sektor kereta api, pelabuhan dan kelistrikan. Catatan tentang pengembangan layanan kereta api di Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan jaringan kereta api yang pertama di Indonesia dilakukan oleh sebuah perusahaan swasta yang bernama “Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NISM) di tahun 1864. Perusahaan swasta tersebut diberikan konsesi oleh pemerintah kolonial untuk membangun rel kereta api sepanjang 26 kilometer dari Semarang ke Tanggung. Di tahun 1869, pemerintah kolonial sendiri juga mengusahakan proyek kereta api yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta (atau Batavia waktu itu) di bawah Staats Spoorwegen (SS), sebuah badan usaha yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Kesuksesan NV. NISM dalam mengelola proyek kereta api pertama tersebut mendorong perusahaan swasta lain untuk terlibat dalam pembangunan kereta api hingga akhirnya tumbuh menjadi 11 perusahaan swasta penyedia layanan kereta api yang beroperasi baik di Jawa, Sumatra dan Sulawesi. Keputusan untuk memberikan konsesi ke perusahaan swasta bukanlah sesuatu yang mudah mengingat kebijakan tersebut banyak mendapatkan tantangan dan kritik. Dari awal kebijakan tersebut diterapkan, Gubernur Jenderal Duymer van Twist sendiri telah meminta pemberian konsesi ke swasta tersebut dipikirkan kembali. Keberatan seperti itu biasanya didasarkan pada pandangan bahwa sektor kereta api mempunyai nilai yang penting dan strategis sehingga sangat berisiko ketika diserahkan ke pihak swasta. INFO RISIKO FISKAL
Keterlibatan swasta dalam pembangunan jaringan jalur kereta api di Jawa juga menuai perdebatan. Pengembangan jaringan yang dimulai pada tahun 1860an tersebut awalnya disarankan untuk dikelola oleh perusahaan yang dimiliki negara, akan tetapi pada akhirnya diberikan kepada pengelolaan oleh pihak swasta. Kontroversi berlanjut karena meskipun, jaringan jalur kereta api di Jawa tersebut merupakan jalur yang dianggap menguntungkan, namun pemerintah kolonial masih memberikan jaminan keuntungan sebesar 4.5 persen dari modal yang ditanamkan selama 33 tahun dengan ketentuan setelah dua puluh lima tahun pemerintah bisa memiliki opsi untuk membeli seluruh jaringan kereta api pada harga yang disepakati (Wellenstein, 1909 di Booth, 1998 ). Bahkan dengan dukungan tersebut, perusahaan swasta pemilik konsesi yang dijamin pemerintah masih kesulitan untuk menarik modal yang cukup. Pada akhirnya, jalur jaringan kereta api di Jawa tersebut bisa diselesaikan di tahun 1872, ketika pemerintah kolonial terpaksa harus menyediakan dukungan lain dalam bentuk pinjaman tanpa bunga (Booth, 1998). Catatan di sektor pelabuhan juga menunjukkan bahwa keterlibatan
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
swasta berperan aktif dalam penyediaan layanan infrastruktur di era kolonial. Pembangunan pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dilakukan dengan pemberian skema konsesi kepada Koninklijke Paketvaar Maatschappij (KPM), sebuah perusahaan yang sebetulnya bergerak di bidang pelayaran. Konsesi tersebut diberikan sepanjang 75 tahun kepada KPM untuk membangun dan mengoperasikan pelabuhan baru. Pelabuhan Tanjung Priok akhirnya terbangun pada tahun 1877 setelah pemerintah kolonial memberikan jaminan untuk penyediaan tenaga kerja, yang dipenuhi dengan meminta pemimpin-pemimpin lokal untuk memaksa orangorang pribumi di daerahnya. Di sektor kelistrikan , pembangunan beberapa pembangkit listrik juga dimulai dari keterlibatan swasta. Dengan tumbuhnya industri pertanian seperti gula dan teh, pembangkitan listrik umumnya diusahakan secara sendiri-sendiri oleh perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut untuk memenuhi permintaan perusahaannya sendiri dan kebutuhan penduduk kolonial di sekitarnya. Hal seperti ini ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kolonial dengan menerbitkan peraturan (Staatsblaad) nomor 190/1890 yang
wikimedia.org
57
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
mendorong perusahaan-perusahaan tersebut untuk membangun pembangkit listrik sendiri dan juga menjual sisanya ke publik. Perusahaan swasta pertama yang merespon anjuran tersebut adalah Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) yang di tahun 1897 mulai menyediakan listrik di Batavia (sekarang Jakarta). Usaha itu segera diikuti dengan pendirian beberapa perusahaan penyedia listrik seperti Nederlandche Indische Gas Maatschappij (NIGM) yang pada akhirnya mengambil alih NIEM, Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (ANIEM), dan Gemeenschcappelijk Electriciteitsbedrifjf Bandoung en Omstreken (GEBEO). Perusahaan-perusahaan ini beroperasi di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Medan, Palembang dan Makassar berdasarkan konsesi yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Skema pembiayaan infrastruktur publik dengan keterlibatan swasta tersebut berhasil mendukung dan mendorong perekonomian di tanah air meskipun manfaatnya mungkin lebih banyak dinikmati oleh pemerintah dan komunitas kolonial daripada penduduk pribumi (Dick et al., 2002). Kejayaan peran swasta dalam penyediaan infrastruktur publik yang terbangun pada zaman penjajahan Belanda berhenti pada tahun 1942 ketika Jepang datang dan mengambil alih sebagian besar wilayah penjajahan Belanda. Kendali dan penguasaan layanan infrastruktur beralih dari perusahaan-perusahaan swasta ke penjajah Jepang, terutama diambil alih untuk melayani kepentingan militer. Selama masa penjajahan Jepang ini, perusahaan-perusahaan penyedia listrik diambil alih oleh pemerintah kolonial Jepang dan dibagi secara regional. Demikian juga dalam layanan Kereta Api di mana semua jaringan kereta api di Jawa dan Sumatra diambil alih oleh penguasa militer dan 58
dikelola oleh dua pemerintahan di kedua pulau tersebut. Beberapa sumber juga mencatat bahwa Jepang juga mengambil alih beberapa aset kereta api di Indonesia dan membawanya ke tempat jajahan Jepang yang lain seperti Burma dan Indocina. Penting juga untuk dicatat bahwa pelabuhan Tanjung Priok sebagai infrastruktur yang sangat penting saat itu juga diambil alih oleh Djawa Unko Kaisya, sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh Angkatan Laut Jepang, Kaigun.
Era Kemerdekaan Penjajahan Jepang di Indonesia hanya berlangsung kurang lebih selama tiga tahun, karena di bulan Agustus 1945 Jepang menyerah kepada tentara Sekutu yang menandai akhir Perang Dunia Kedua. Penguasaan aset-aset publik segera diambil alih oleh rakyat Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, 3 hari setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Semua aset publik termasuk kereta api, pelabuhan dan pembangkit listrik diambil alih dari penguasaan Jepang oleh rakyat Indonesia sebelum penjajah Belanda datang kembali. Pengambilalihan ini kebanyakan dilakukan secara sporadis oleh para
pejuang kemerdekaan, terutama oleh serikat pekerja dari perusahaan-perusahaan yang bersangkutan. Sebagai usaha untuk melembagakan pengambilalihan ini, Pemerintah Indonesia yang baru segera membentuk beberapa lembaga untuk mengelola fasilitas publik seperti pendirian Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia di sektor kereta api dan Djawatan Listrik dan Gas di sektor kelistrikan. Akan tetapi tidak lama setelah kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, Belanda kembali datang ke Indonesia mencoba untuk mengklaim kembali kekuasaannya, termasuk dengan cara mendirikan kembali otoritas di penguasaan infrastruktur publik. Seperti contohnya di sektor kereta api, Belanda mendirikan kembali Staatsspoorwegen/Verenigd Spoorwegbedrijf (SS/VS) untuk memulihkan kendali di layanan kereta api. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia berusaha untuk menolak kembali kehadiran penjajah dan mempertahankan penguasaan aset-aset publik. Perbedaan kepentingan tersebut membuat isu penguasaan fasilitas dan aset infrastruktur publik menjadi salah satu hal penting dalam perang dan negosiasi antara dua pihak; pemerintah Indonesia yang baru dibentuk dan pemerintah kolonial Belanda
beritadaerah.co.id INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dalam Konferensi Meja Bundar antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Belanda di Den Haag pada tahun 1949, disepakati bahwa Pemerintah Indonesia harus mengembalikan hak-hak perusahaan swasta Belanda termasuk yang terkait dengan konsesi yang telah diberikan pada masa lalu. Perjanjian ini berakibat Pemerintah Indonesia harus mengembalikan pengelolaan pelabuhan Tanjung Priok kepada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) karena konsesi diberikan hingga tahun 1952. Perjanjian tersebut juga mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan semua penguasaan perusahaan listrik kepada pemilik sebelumnya, kecuali beberapa yang memang boleh diteruskan oleh Pemerintah Indonesia seperti Land Waterkracht Bedrijden (LWB). Perkembangan kemudian menunjukkan bahwa ketika konsesi perusahaan-perusahaan penyedia layanan infrastruktur tersebut selesai, Pemerintah Indonesia lebih memilih mengambil alih dan menasionalisasikan aset-set tersebut daripada mengalihkannya ke swasta nasional. Perusahaan-perusahaan penyedia listrik dinasionalisasikan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 163/1953 dan kemudian diperkuat dengan Undang Undang nomor 86 tahun 1958. Regulasi-regulasi ini mewajibkan bahwa perusahaan penyedia listrik milik Belanda seperti NV OGEM, NV ANIEM, and NV EMA diambil alih dibawah pengelolaan PLN/Penupetel dan diletakkan di bawah koordinasi Menteri Pekerjaan Umum dan Listrik/ Teknologi. Kendali pelabuhan-pelabuhan nasional juga disatukan di bawah Djawatan Perhubungan Laut dikoordinasikan oleh Kementerian Perhubungan di tahun 1952. Nasionalisasi aset-aset infrastruktur publik pada awal kemerdekaan dan pengalihan ke pengelolaan oleh INFO RISIKO FISKAL
instansi pemerintah telah mengakhiri era dari keterlibatan swasta dalam pengembangan infrastruktur publik di Indonesia. Alasan mengapa Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak mempertahankan pengelolaan aset infrastruktur di sektor swasta dan memilih untuk mengalihkannya ke pengelolaan pemerintah/publik masih menjadi perdebatan. Tetapi, paling tidak ada beberapa argumen yang bisa menjelaskan kebijakan tersebut. Pertama, kapitalisme dan ekonomi perdagangan bebas yang dijalankan oleh perusahaan swasta telah diasosiasikan dengan kolonialisme, sementara semangat yang digelorakan oleh negara dan pemerintah yang baru berdiri lebih cenderung pada sosialisme seperti dijelaskan dalam UUD 1945. Kedua, ada pertimbangan bahwa pelaku usaha swasta lokal dan pribumi masih dianggap tidak mampu untuk menjalankan bisnis dan mengelola industi pelayanan infrastruktur. Ketiga, pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, isu ekonomi dan masalah-masalahnya umumnya terabaikan karena obsesi untuk menyelesaikan revolusi nasional dan melawan negara-negara barat kapitalis.
Beberapa dimensi isu keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur publik Dengan melihat catatan sejarah keterlibatan swasta pada pengembangan infrastruktur publik seperti digambarkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa peran swasta sebetulnya bukan merupakan hal yang baru bagi pembangunan fasilitas infrastruktur publik di tanah air karena bahkan sebelum merdeka pun praktek seperti itu sudah banyak dijalankan. Meskipun pengalaman itu dibangun pada era kolonial yang mempunyai setting dan konteks berbeda dengan pemerintahan Indonesia setelah merdeka,
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
akan tetapi jejak keberadaan layanan tersebut masih bisa dilihat dan dinikmati hingga sekarang. Jaringan rel kereta api yang dibangun oleh swasta di Jawa hingga sekarang masih dipakai secara aktif, begitu pula pelabuhanpelabuhan kapal utama yang ada di beberapa tempat di Indonesia adalah hasil pengembangan dari yang dirintis oleh swasta di era kolonial. Dengan datangnya kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan beberapa tahun sesudahnya yang dipenuhi dengan usaha mempertahankan kemerdekaan, potret keterlibatan swasta tersebut berubah, karena didorong oleh faktor-faktor politik, ideologi dan ekonomi. Dalam konteks perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan, dimana isu nasionalisme dan patriotisme dibenturkan dengan kehadiran kepentingan kolonial yang diwakili oleh negara barat yang kapitalis, tidak begitu aneh apabila swasta lebih banyak diasosiasikan sebagai hal yang “buruk”. Stigma yang negatif terhadap peran swasta dalam perekonomian tersebut lebih diperburuk lagi dengan mengemukanya retorika-retorika politik mengalahkan pertimbanganpertimbangan ekonomi dalam wacana pembangunan Indonesia. Pada akhirnya, hingga bertahun-tahun kemudian, peran swasta dalam penyediaan infrastruktur secara langsung di Indonesia terpinggirkan hingga akhir tahun 1980an, ketika Pemerintah Indonesia memulai lagi ketertarikannya pada kebijakan untuk melibatkan swasta dalam penyediaan infrastruktur melalui sebuah skema yang sedang berkembang pada waktu itu yaitu Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) atau lebih dikenal secara umum sebagai PublicPrivate Partnerships (PPP). Dari pengalaman di era kolonial dan awal kemerdekaan tersebut, tampak bahwa keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur publik selalu berada dalam status yang 59
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
mengundang perdebatan dalam beberapa dimensi. Dari dimensi ideologi ekonomi, keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur publik sering dipertanyakan sebagai alat kapitalisme yang digunakan dalam menjustifikasi peran swasta yang lebih besar untuk mengeksploitasi keuntungan dari publik. Perdebatan yang muncul pada masa awal kolonial Belanda ketika mereka menentukan model ekonominya menunjukkan isu tersebut. Hal itu terulang ketika Pemerintah Indonesia di awal kemerdekaan berusaha merumuskan pengalihan pengelolaan layanan infrastruktur untuk negara yang baru berdiri, dimana ide sosialisme yang sangat kuat akhirnya memilih untuk meminggirkan peran swasta. Dari dimensi nasionalisme, keterlibatan swasta di Indonesia (dan juga di beberapa negara lain) kadang dipandang sebagai bagian dari intrusi peran asing yang terlalu besar dalam perekonomian nasional. Hal ini paling jelas ditunjukkan di awal kemerdekaan ketika penentangan dan resistensi muncul terhadap kehadiran kembali perusahaan-perusahaan swasta yang nota bene berasal dari Belanda untuk menguasai pengelolaan layanan
infrastruktur publik di Indonesia. Kehadiran swasta pada saat itu mendapatkan resistensi yang tinggi dari rakyat karena selalu diasosiasikan sebagai representasi barat, kapitalis dan penjajah. Sementara itu, dilihat dari dimensi akuntabilitas publik, keterlibatan swasta dalam pengadaan infrastruktur publik kadang dipandang sebagai sebuah bentuk penyamaran ketidakadilan karena keuntungan pihak swasta cenderung ditutupi sementara manfaat yang didapat oleh publik cenderung terlalu ditonjolkan. Kasus pemberian jaminan dan dukungan pemerintah kolonial kepada proyek-proyek jaringan kereta api di Jawa yang dikembangkan oleh swasta seperti diungkapkan di bagian sebelumnya menunjukkan bahwa selain konsesi yang diberikan, pihak swasta bisa mendapatkan fasilitas finansial lain dari pemerintah seperti jaminan dan dukungan pinjaman. Sebagai tambahan, dari dimensi strategis, kehadiran swasta dalam penyediaan layanan publik juga sering dikaitkan dengan sifat penting infrastruktur karena melibatkan hajat hidup orang banyak serta kaitannya dengan ketahanan dan pertahanan negara. Oleh
karena itu tidak aneh apabila keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur publik di awal era kolonial sempat mendapatkan penentangan yang dikaitkan dengan sifat strategis infrastruktur bagi kolonial. Pada era kolonial Jepang, infrastruktur publik justru secara terang-terangan dipakai sebagai alat militer sehingga pemanfaatannya pun betul-betul diambil alih oleh pemerintahan kolonial Jepang. Akan menjadi hal yang menarik ketika isu-isu yang diperdebatkan dalam berbagai dimensi tersebut dipakai untuk melihat penerapan kebijakan untuk melibatkan swasta dalam penyediaan infrastruktur di jaman Indonesia modern, baik di era masuknya PPP di masa pemerintahan Presiden Suharto pada awal 1990an, era redupnya PPP pada masa krisis ekonomi di akhir 1990an dan di era kebangkitan PPP pada awal masa pemerintahan Presiden Yudhoyono di tahun 2004. Hal ini bisa menjadi sebuah kajian lanjutan yang akan lebih banyak memberikan manfaat untuk menilai kebijakan pemerintah saat ini dalam menerapkan skema KPS dan skema yang melibatkan partisipasi swasta lainnya. n
aktual.com
60
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Defisit Anggaran dan Perekonomian Oleh: Rahardian Zulfadin
Kepala Subbidang Kebijakan Pembangunan Ekonomi Global, BKF. Email:
[email protected]
D
alam kondisi ekonomi normal, bagian besar investasi dalam perekonomian idealnya berasal dari sektor swasta. Belanja pemerintah diarahkan pada sektor-sektor dimana swasta tidak memiliki insentif untuk masuk, pada sektor-sektor dasar yang dapat menjadi landasan tumbuhnya investasi sektor swasta dan untuk menjaga jalannya roda pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Akan tetapi ketika perekonomian berada dalam kondisi krisis atau resesi, peran dan besaran belanja pemerintah menjadi penting. Dalam kondisi resesi, kadangkala kebijakan moneter dalam bentuk
penurunan suku bunga tidak cukup mampu memberikan dorongan bergeraknya sektor swasta karena persepsi risiko bisnis yang tinggi. Selain itu, bagi Indonesia yang secara historis memiliki kecenderungan inflasi yang cukup tinggi, kebijakan moneter yang ekspansif berpotensi memperbesar tekanan inflasi tanpa memberikan dorongan yang cukup kuat dalam memperbesar output. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang memiliki tugas menjaga stabilitas harga dihadapkan pada kondisi dilematis. Dalam kondisi demikian, belanja pemerintah mejadi alternatif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang cukup
kuat untuk menahan laju kenaikan pengangguran dan kemiskinan. Yang perlu diperhatikan, stimulus dalam bentuk defisit anggaran tidak serta merta dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi. Leeper et. al. (2010) mengajukan dua hal yang perlu diperhatikan dalam menilai efektifitas stimulus anggaran dalam perekonomian. Pertama, tidak flesibelnya belanja pemerintah. Leeper (2010) berargumen bahwa kebijakan fiskal memiliki bobot politik yang besar, baik dalam perencanaan maupun implementasinya, sehingga faktor ketidakpastiannya pun cukup besar. Mengingat anggaran adalah
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
businesstimes.com.sg INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
61
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
keputusan bersama antara eksekutif dan legislatif, kebijakan stimulus anggaran seringkali tertinggal ketika dihadapkan dengan momentum penyelamatan ekonomi yang menyertai krisis ekonomi. Masalah kedua dalam menilai efektifitas stimulus anggaran adalah ekspektasi dari agen-agen dalam perekonomian, terutama di sektor swasta, terhadap penyesuaian anggaran di masa depan atas belanja stimulus yang dikeluarkan saat ini. Defisit yang terjadi pada saat ini suatu saat harus ditutup, baik dengan tingkat pajak yang lebih tinggi, belanja yang lebih rendah di masa depan, maupun dengan cara penerbitan baru atau me-refinancing pembiayaan baik yang berasal dari utang maupun obligasi.Idealnya, defisit anggaran digunakan untuk membiayai investasi produktif yang dapat memberikan tingkat keuntungan yang mampu menutup biaya yang dikeluarkan, dalam hal ini besaran defisit. Penggunaan untuk investasi yang tidak produktif justru akan mengakibatkan stimulus anggaran yang dikeluarkan bersifat kontraktif pada perekonomian dalam jangka panjang. Di awal tahun 2015 perekonomian Indonesia memperlihatkan kecenderungan melambat. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar 4,7% yang lebih kecil dibandingkan kuartal pertama tahun sebelumnya yang sebesar 5,2%. Hal ini dipengaruhi baik dari faktor domestik maupun faktor perekonomian global. Pelambatan sektor perekonomian Tiongkok, serta membaiknya perekonomian Amerika Serikat merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi perekonomian domestik karena Tiongkok adalah tujuan ekspor utama Indonesia, dan pulihnya perekonomian AS menyebabkan menguatnya nilai tukar Dollar AS terhadap mata uang asing, termasuk pada rupiah. Selain situasi global yang kurang 62
Di awal tahun 2015 perekonomian Indonesia memperlihatkan kecenderungan melambat. Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama sebesar 4,7% yang lebih kecil dibandingkan kuartal pertama tahun sebelumnya yang sebesar 5,2%. Hal ini dipengaruhi baik dari faktor domestik maupun faktor perekonomian global. mendukung, faktor internal di dalam negeri juga turut memperlambat perekonomian domestik, dimana tingkat konsumsi yang biasanya menjadi andalan, menurun karena kenaikan BBM dan Harga Bahan Pokok. Situasi ini diperburuk dengan lambatnya belanja pemerintah di kuartal pertama tahun 2015, yang hanya berkisar Rp 540,5 Triliun dari total APBN sebesar Rp 1984.1 Triliun, juga disinyalir menjadi penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi.
Dihadapkan pada perlambatan laju pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat suku bunga BI rate pada angka 7,5% dengan pertimbangan masih tingginya tekanan inflasi akibat kenaikan harga BBM sepanjang awal tahun 2015. Bank Indonesia yakin seiring dengan membaiknya belanja pemerintah, pertumbuhan ekonomi akan semakin membaik. Dengan demikian, belanja pemerintah menjadi penting untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di tahun 2015 ini. Melihat kecenderungan realisasi belanja pemerintah di tahun-tahun sebelumnya, biasanya belanja pemerintah akan membaik memasuki kuartal kedua, karena pada kuartal pertama proses tender umumnya masih dilakukan. Hal yang kemudian patut mendapatkan perhatian berikutnya adalah percepatan belanja perlu dilakukan dengan tetap menjaga kualitasnya, sebagaimana argumen Leeper et. al. (2010). Tekad pemerintah untuk mengalihkan belanja yang tidak produktif, misalnya subsidi BBM, ke belanja infrastruktur sudah tepat. Hanya saja, tekad itu perlu dibarengi dengan strategi implementasi yang cepat dan terukur pada proyek-proyek yang memiliki peluang besar untuk dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang. Dengan demikian, kebijakan fiskal dalam bentuk belanja pemerintah dapat memberikan dorongan yang cukup besar kepada laju pertumbuhan ekonomi terutama dimasa resesi. n
Referensi 1. Leeper, E. M., et. al. (2010). “Govvernment Investment and Fiscal Stimulus.” IMF Working Paper, WP/10/229 2. Leeper, E. M. (2010). “Monetary Science, Fiscal Alchemy.” NBER Working Paper Series, WP 16510.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I I / TA H U N 2 0 1 5
Seminar Upaya Peningkatan Ekspor Nasional melalui Pembiayaan Penugasan Khusus di Malang.
Kunjungan ke Pemda Kabupaten Gianyar dalam rangka Sosialisasi Penjaminan atas Pembiayaan Infrastruktur Daerah melalui Pinjaman dari PT SMI (Persero) di GianyarBali.
Workshop Skema Availability Payment sebagai Alternatif Pembiayaan Infrastruktur yang Menjanjikan di Medan.
Workshop of Availability Payment Scheme: Concept, International Best Practise and Lenders Perspective di Bali.
e x p o s u r e