Majalah J e m b a t a n
I n o v a s i
T e k n o l o g i
Paradigma Baru
Keberlanjutan Pengelolaan Energi
Edisi 2 - Maret 2014 Rp. 20.000
Smart Grid Biofuel Generasi Kedua Biomassa cangkang Kakao Teknologi Kogenerasi Paradigma Pengolaan Energi Menakar Penguasaan Asing
07 18 37 37 40 45
Editorial
Permulaan tahun 2014 dibuka dengan kegelisahan akan naiknya harga BBM bersubsidi dan gas elpiji. Bagi Indonesia, isu energi menjadi isu krusial sebab menyangkut pembangunan negara kedepan dan pendapatan negara aktual saat ini. Produksi hulu minyak dan gas (Migas) yang relatif terjaga melalui investasi memberikan kontribusi pendapatan negara terbesar setelah pajak. Sehingga, geliat yang terjadi pada dunia energi menjadi salah satu poin yang selalu disoroti. Pada sektor hulu, investasi Migas tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 17 persen dibandingkan tahun 2012. Dikutip dari Gatra edisi Januari 2014, investasi Migas meningkat dari US$ 16,543 menjadi US$ 19,342 miliar. Pengelolaan Migas Indonesia ini diatur dalam UU No 2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pertamina dan BKKA merupakan regulator sekaligus operator dalam industri migas tanah air sebelum diterbitkan UU No 2 Tahun 2001 tentang Migas tersebut. Namun peran Pertamina kini digantikan oleh SKK Migas setelah adanya judicial review mengenai UU Migas tersebut. Praktis, kedudukan Pertamina sama dengan para kontraktor asing maupun lokal yang akan atau sedang berinvestasi di sektor migas Indonesia. Dalam pengelolaan migas, pemerintah Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) yang juga diatur dalam UU No 2 Tahun 2001 tentang Migas. Disamping isu Migas yang terus menjadi sorotan, potensi energi baru terbarukan di Indonesia masih sangat menjanjikan cadangan energi cukup besar. Energi geotermal misalnya, dikutip dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2012, Indonesia memiliki potensi energi geotermal terbesar didunia yakni mencapai 29.000 megawatt (MW) yang tersebar di 253 titik di Indonesia. Selain energi geotermal, sumber energi baru terbarukan lainnya masih menunggu untuk dikembangakan seperti energi angin, energi surya, energi gelombang laut dan energi biomassa dapat dimanfaatkan untuk membangun ketahanan energi secara berkelanjutan. Berpijak pada kedua isu tersebut, pada edisi kali ini Majalah Beranda mengangkat tema Energi ketengah ruang baca para pembaca setia Majalah Beranda. Khusus pada edisi kali ini, Majalah Beranda menghadirikan ulasan mengenai perubahan paradigma pengelolaan energi dari Dr. Edi Hilmawan, Kabid Konservasi Energi, Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, BPPT. Selain itu, Majalah Beranda edisi Energi ini juga diperkaya dengan ide-ide pemanfaatan energi baru terbarukan dari para kontributor Beranda. Ide-ide segar mulai dari pemanfaatan energi baru terbarukan, aplikasi energi baru terbarukan, budaya hemat energi dan terobosan teknologi baru untuk energi terbarukan semakin memperluas khasanah pembahasan. Masih terlalu awal untuk menilai majalah ini dapat dikatakan sempurna, kami nantikan saran dan kritik dari pembaca. Namun inilah persembahan yang dapat kami berikan untuk bersama membuka paradigma pengelolaan energi di Indonesia. Mulai dari hal yang kecil, mulai dari diri kita sendiri, mulai saat ini, mari kita manfaatkan energi secara bijak.
Penerbit MITI Press Penanggung Jawab Dr. Dwi Handoko @dwihandoko
Redaksi Pelaksana Suci Latifah, S. Gz @latifahsuci
Staff Redaksi Ulya Amaliya, S.IP @ulyaamaliya
Deslaknyo Wisnu Hanjagi, S.Kpm @deslaknyo
Desain Grafis Muhtajin @muhtajin89
Keuangan Rohman Hafid @abdulrohman
Alamat Redaksi Palmyra Square 25A No. 11-12 Alam Sutera, Tangerang Telp/Fax +62 21-29315008 Email
[email protected] Website http://beranda.miti.or.id
Salam Kontribusi
Majalah Beranda MITI edisi 2
3
Majalah
03 01
Editorial
Artikel 07 Smart Grid:
Strategi jitu pengoptimalan sumber energi terbarukan di masa depan
09 Lampu LED
Teknologi lampu hemat energi untuk masa depan
11 Energi non-konvensional
Berbasis kelautan untuk masa depan Indonesia
13 Energi Panas Bumi
Untuk ketahanan energi nasional
16 Belajar Membangun Kesadaran Hemat energi
18 Biofuel Generasi Kedua
Opini 27 Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional
Melalui percepatan peralihan energi minyak bumi ke gas dan energi terbarukan
09 Pemanfaatan Limbah Biomassa Cangkang Kakao
Sebagai sumber energi terbarukan
33 Perubahan Paradigma
Sumber daya energi Indonesia sejak dini
35 Mikroalga sebagai alternatif bahan baku biodisel
Sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan
37 Teknologi kogenerasi
Menuju efisiensi dan penekanan emisi sektor industri
Solusi dilema pangan dan energi
19 Perilaku konsumsi
Dan penghematan energi
21 Hemat Energi
Dan budaya masyarakat
22 Revitalisasi Pedestrian
Salah satu non motorized transport (NMT)
24 Pencegahan Krisis Energi Sejak dini
Ulasan Ahli 40 Memperbaharui Paradigma Pengolaan Energi
Menuju pembangunan berkelanjutan
Catatan Beranda 45 Menakar Penguasaan Asing
Dalam pengelolaan migas indonesia
Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia “Bringing Technology to the People”
Visi “Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Kesejahteraan Rakyat dan Kemandirian Bangsa” •
• •
•
Misi Menjadi penggerak bangkitnya ilmuwan dan teknolog Indonesia agar berkarya lebih nyata dan berperanserta secara aktif dalam pembangunan nasional dan penyelesaian masalah bangsa. mendorong upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan IPTEK nasional. Memberi sumbangan pemikiran dan berpartisipasi dalam upaya menyelesaikan permasalahan bangsa dan negara yang berkaitan dengan pengembangan dan pemanfaatan IPTEK. Menjadi kekuatan penyeimbang yang berfungsi melakukan ealuasi dan pengawasan terhadap implementasi kebijakan publik yang menyangkut IPTEK. Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia @MITI_NEWS
“MITI berupaya mendorong generasi baru Indonesia menuju Gerbang Indonesia Madani (The Gateway of Modern Indonesia) yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.” Dr. Warsito P. Taruno (Ketua Umum MITI)
For More Information http://miti.or.id http://beranda.miti.or.id http://gopanganlokal.miti.or.id http://mahasiswa.miti.or.id http://vrl.miti.or.id http://ors.miti.or.id http://bti-c.com http://git-miti.com
Kontributor Foto Majalah Beranda Majalah beranda merupakan transformasi dari web beranda miti yang telah berkembang menjadi majalah. Majalah Beranda membuka kesempatan bagi pembaca yang ingin mengirimkan foto ke redaksi majalah beranda dengan kriteria sebagai berikut.
Ketentuan pengiriman foto • • • • • • • • • • • • • • • •
Foto yang dikirimkan adalah karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya Terbuka untuk semua kalangan (Pelajar atau umum) Jenis kamera bebas (DSLR/pocket kecuali handphone camera) Ukuran foto: foto yang dikirimkan dengan sisi terpanjang minimal 1000 pixel maksimal 1500 pixel, save quality medium 6, resolusi 300 Editing yang diperbolehkan sebatas cropping, sharpening, level dan saturasi warna. Karya foto bukan manipulasi digital Tidak diperkenankan memberi tulisan/watermark/logo/kode/frame apapun pada foto Foto harus merupakan hasil karya yang orisinal yang dibuat oleh pengirim Foto yang dikirimkan dapat berupa foto ilustrasi sub tema maupun foto obyek Foto yang dikirimkan tidak boleh bermasalah dengan hak cipta, merek dagang, moral, privasi dengan seseorang atau institusi Foto tidak boleh mengandung pornografi serta fitnah dan kebencian Setiap pengirim harus menjamin bahwa publikasi semua foto oleh Majalah Beranda tidak akan memunculkan masalah hukum dikemudian hari Foto dikirimkan ke email redaksi majalah beranda:
[email protected] dengan keterangan Foto_Sub tema_Nama pengirim, contoh: Foto_Waste_Management_Faiz Penerimaan pengiriman foto maksimal tanggal 15 Mei 2014 Setiap foto kontributor yang dimuat dalam Majalah Beranda akan mendapat insentif sebesar Rp. 150.000,Mencantumkan biodata: 1. Nama lengkap beserta foto 3x4 2. Tempat & Tanggal Lahir 3. Alamat Email 4. Akun twitter (jika ada) 5. No. Telepon/Mobile Phone 6. Aktivitas saat ini
Tema foto: Lingkungan Obyek foto berkaitan dengan: 1. Wastewater Treatment 2. Waste Management 3. Bioremediasi 4. Keselarasan Energi 5. Kelestarian Biodiversitas 6. Green Development 7. Energi Berkelanjutan
SMART GRID:
STRATEGI JITU PENGOPTIMALAN SUMBER ENERGI TERBARUKAN DI MASA DEPAN
S
aat ini, sebagian besar pembangkit listrik yang beroperasi di dunia menggunakan bahan bakar fosil seperti batubara. Padahal, cadangan bahan bakar fosil telah semakin menipis dan diperkirakan akan segera habis dalam waktu yang tidak lama lagi. Pada World Economic Forum 2010, terungkap bahwa pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Amerika Serikat menyumbang 40% emisi karbon di negara tersebut. Sementara, ketersediaan energi listrik yang mencukupi merupakan hal mutlak untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia. Tanpa energi listrik, maka akan timbul berbagai permasalahan. Fenomena menipisnya energi fosil memaksa alternatif solusi yang paling mungkin untuk diterapkan saat ini. SMART GRID menjadi jawaban yang paling mungkin sejak 3 tahun terakhir ini. SMART GRID merupakan suatu konsep tata kelola energi listrik yang mampu mengakomodir peran pembangkit listrik kecil berbahan bakar energi terbarukan (renewable Artikel : Smart Grid
energy) secara optimal. Terdapat banyak sumber energi terbarukan yang sangat potensial seperti cahaya matahari dan angin, namun demikian hampir semua sumber energi terbarukan tersebut menyebar dan sulit terjakau masyarakat. Logika awal dari pengembangan teknologi SMART GRID adalah berusaha semaksimal mungkin memberdayakan apapun yang tersedia di bumi ini. Secara umum, teknologi SMART GRID bisa menghasilkan beberapa keuntungan diantaranya meningkatnya efisiensi penggunaan energi listrik, meningkatnya kehandalan sistem tenaga listrik, mengurangi emisi karbon dan mendukung pemanfaatan sumber energi terbarukan dengan lebih optimal. SMART GRID sendiri terdiri atas tiga unsur penting, yaitu teknologi informasi (information technology), telekomunikasi (telecommunication) dan listrik (power system). Ketiga unsur tadi bekerja sama untuk memungkinkan adanya komunikasi dua arah antara perusahaan penyedia listrik (utility Majalah Beranda MITI edisi 2
7
company) seperti PLN dengan konsumen. Melalui teknologi SMART GRID, transfer energi listrik yang terjadi tidak hanya dari perusahaan penyedia listrik ke konsumen, namun bisa juga sebaliknya. Jika ternyata konsumen memiliki solar cell yang dapat menghasilkan energi listrik dari cahaya matahari, maka ketika energi listrik dari solar cell itu melebihi dari apa yang dibutuhkan oleh konsumen itu, konsumen bisa mengirim energi listrik ke jaringan listrik (power grid) yang ada. Konsumen bisa mendapatkan uang dari perusahaan penyedia listrik (utility company) atas hal tersebut. Dengan teknologi SMART GRID pula, konsumen akan mempunya kendali penuh untuk mengatur pemakaian energi listrik mereka. Teknologi sensor dan kendali otomatis pada SMART GRID memungkinkan pengaturan pengaktifan peralatan listrik konsumen secara otomatis dengan mempertimbangkan jumlah enegri listrik yang ada. Contohnya, ketika siang hari dimana bisa dihasilkan energi listrik yang cukup besar dari cahaya matahari, maka mesin cuci dan beberapa peralaan berat lainnya bisa diaktifkan. Dan ketika suplai cahaya matahari mulai menurun, maka kendali otomatis akan mengurangi pemakaian energi listrik yang tidak terlalu vital seperti penyejuk ruangan. Teknologi sensor dan kendali otomatis tidak hanya akan diletakan pada sisi konsumen tapi juga pada jaringan listrik (power grid). Jika terjadi kerusakan atau masalah pada sebuah jalur pengiriman energi listrik, maka rute pengiriman energi listrik akan diubah melalui jalur lain yang tersedia sehingga pemadaman listrik bisa diminimalisir. Semua data yang
8
Majalah Beranda MITI edisi 2
terekam pada sensor tersebut akan dikirim ke perusahaan penyedia listrik (utility company) untuk diolah guna menentukan strategi dan prediksi dimasa yang akan datang. Banyak negara maju seperti China, Jerman dan Amerika yang mulai menerapkan teknologi SMART GRID ini. World Economic Forum 2010 juga mengungkapkan bahwa SMART GRID ini mampu mengurangi emisi karbon sebesar 25% di negara itu atau setara dengan menghilangkan 130 juta mobil. Sudah saatnya dunia lebih intensif menerapkan dan mengembangkan teknologi ini demi mengurangi dampak pemanasan global. Referensi : 1. h t t p : / / w w w . y o u t u b e . c o m / watch?v=N8jqbKd8hVg 2. http://www.youtube.com/watch?v=8cM4WfZ_Wg
Profil Penulis: I Nyoman Yuliarsa I Nyoman Yuliarsa adalah mahasiswa Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada. Mahasiswa kelahiran Jakarta, 24 Juli 1992 ini merupakan salah satu kontributor Beranda yang paling aktif menulis. Beberapa tulisannya berhasil dimuat di Web Beranda MITI. Hubungi Nyoman di :
[email protected]
Artikel : Smart Grid
GettyImage
LAMPU LED
TEKNOLOGI LAMPU HEMAT ENERGI UNTUK MASA DEPAN
D
ahulu, penggunaan LED (Light Emitting Diode) untuk keperluan penerangan masih sangat terbatas contohnya pada senter berdaya rendah dan peralatan elekronik mobile. Namun kini, seiring dengan berkembang pesatnya teknologi semikonduktor ditahun 1990-an, LED mulai dilirik sebagai teknologi penerangan masa depan yang hemat energi, murah dan tahan lama. Secara garis besar, teknologi lampu LED memiliki beberapa keunggulan, antara lain: ukurannya yang compact, usia hidup yang panjang, membutuhkan perawatan yang minim, tidak mudah pecah dan tentunya sangat hemat energi. LED merupakan salah satu teknologi SSL (Solid State Lighting) yang menghasilkan cahaya dari aliran elektron pada material semikonduktor. Berbeda dengan lampu pijar dan lampu fluorescent, pada lampu LED tidak terdapat bola lampu, gas bertekanan maupun kawat filamen. Proses menghasilkan cahaya pada struktur semikonduktor P-N dari aliran electron disebut elektroluminasi. Artikel : Lampu LED
Tidak seperti lampu pijar dan CFL (Compact Flourescent Lamp) yang menghasilkan cahaya ke segala arah, LED memancarkan cahaya pada arah yang spesifik. Untuk menghasilkan cahaya putih pada LED tidaklah semudah pada jenis lampu lainnya. Dikenal 2 metode menghasilkan cahaya pada lampu LED yaitu, pertama adalah dengan menggabungkan cahaya merah, hijau Majalah Beranda MITI edisi 2
9
dan biru pada LED sehingga kombinasi ketiga warna tadi menghasikan cahay putih. Cara yang kedua adalah dengan metode phosphor on die. Ketika elektron mengalir melalui lapisan semikonduktor, photon biru akan dihasilkan dan mengalir melalui lapisan fosfor sehingga dikonversi menjadi photon kuning. Kombinasi kedua jenis photon inilah yang menghasilkan warna putih.
dioperasikan. Sebagai perbandingan, lampu pijar standar memiliki usia hidup 600-800 jam, sedangkan teknologi lampu LED mampu bertahan hingga 100.000 jam dengan desain mekanisme transfer panas yang sesuai. Panas menjadi hal yang paling mengurangi usia pakai lampu LED. Melihat beberapa fakta dalam tabel berikut ini, sudah seharusnya kita bergerak menuju
Hingga kini, penggunaan lampu LED sebagai alat penerangan masih kalah populer dibandingkan dengan jenis lampu lainnya, seperti lampu pijar dan CFL (Compact Flourescent Lamp). Hal ini mungkin karena mahalnya harga lampu LED yang ada di pasaran. Perbandingan instan inilah yang seringkali menimbulkan salah persepsi. Padahal jika kita membandingkan biaya keseluruhan dari penggunaan ketiga jenis lampu ini akan nampak bahwa LED meraih peringkat tertinggi dalam hal rendahnya biaya yang dikeluarkan konsumen. Teknologi lampu LED memiliki efisiensi 80%. Efisiensi ini terhitung sangat tinggi jika dibandingkan dengan lampu pijar biasa yang efisiensinya hanya mencapai 5%. Berbeda dengan lampu pijar, dimana usia pakai lampunya ditentukan dari usia “burn out” lampu tersebut, pada lampu LED tidaklah demikian. Teknologi lampu LED tidak mengenal istilah “burn out”. Lampu LED bisa bertahan hingga usia yang sangat lama, namun seiring dengan penuaan usia lampu, intensitas cahaya yang dihasilkan lampu LED akan mengalami degradasi. Parameter usia lampu LED ditentukan ketika lampu LED hanya mampu menghasilkan intensitas cahaya 70% dari kondisi awal ketika lampu tersebut
peralatan yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan seperi menggunakan LED sebagai lampu penerangan. Masa depan energi dunia ditentukan dari apa yang kita lakukan hari ini. Mari hemat energi untuk masa depan yang lebih baik !
10
Majalah Beranda MITI edisi 2
Referensi : 1. http://www.onceinnovations.com/ 2. h t t p : / / w w w . y o u t u b e . c o m / watch?v=E4QWdd6_wVs
Profil Penulis: I Nyoman Yuliarsa I Nyoman Yuliarsa adalah mahasiswa Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada. Mahasiswa kelahiran Jakarta, 24 Juli 1992 ini merupakan salah satu kontributor Beranda yang paling aktif menulis. Beberapa tulisannya berhasil dimuat di Web Beranda MITI. Hubungi Nyoman di :
[email protected]
Artikel : Lampu LED
GettyImage
ENERGI NON-KONVENSIONAL
BERBASIS KELAUTAN UNTUK MASA DEPAN INDONESIA
L
aut nusantara mengandung sumber energi kelautan yang besar. Energi kelautan merupakan energi non konvensional dan termasuk sumberdaya non-hayati yang dapat diperbaharui. Keberadaan sumberdaya tersebut pada masa mendatang semakin signifkan mengingat sumber energi dari BBM (Bahan Bakar Minyak ) semakin menipis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan di laut adalah OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), energi gelombang,pasang surut dan arus laut serta konversi energi dari perbedaan salinitas. Perairan Indonesia merupakan wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam ) minimal 200Celcius dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding wilayah tropika lainnya. Dari beberapa sumber pengamatan oseanografis telah berhasil Artikel : Energi Non-Konvensional
dipetakan wilayah perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC yang siap dikembangkan berada di wilayah pantai utara Bali. Salah satu negara yang sudah menerapkan OTEC adalah Jepang. Di Jepang, penerapan teknologi OTEC sekaligus menjadi mesin desalinasi untuk mengubah air laut menjadi air tawar. Institut of Ocean Energy pada Saga University di Jepang, telah melakukan eksperimen dengan pilot proyek yang dikerjakan bersama dengan Pemerintah Republik Palau di Lautan Pasifik, di sebelah utara Pulau Papua. Sistem yang dicobakan tersebut mampu menghasilkan air minum bagi 20.000 penduduk pulau di negara kepulauan itu sekaligus menghasilkan listrik bagi penerangan mereka. Sumber energi kelautan lain adalah berasal dari perbedaan pasang surut dan energi yang berasal dari gelombang. Gaya yang dibawa air pasang dan gelombang dapat dikonversikan Majalah Beranda MITI edisi 2
11
menjadi energi listrik untuk menggerakkan ekonomi di kawasan yang berdekatan itu. Kedua jenis energi ini memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap kedua sumber energi tersebut telah dikembangkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dengan pemerintah Norwegia di pantai Baron, Yogyakarta. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi yaitu Bagan Siapi-api ( Rokan Hilir,Riau) dan Merauke (Papua). Kedua lokasi itu dipilih karena memiliki kisaran pasang surut mencapai 6 meter. Terakhir adalah pemanfaatan energi dari tenaga Angin laut. Pada prinsipnya energi dari tenaga angin laut sama dengan PLTA yang dipasang di darat. Namun, karena Indonesia mempunyai garis pantai yang lebih dari 81 Km (data lain menyebut 95 ribu Km,atau nomor 4 dunia setelah Kanada, Amerika, dan Rusia) serta berada pada kawasan kepulauan tropis yang banyak a ngin, maka menuai angin laut di pesisiran merupakan pilihan sumber energi alternatif yang sangat menarik. Hembusan angin yang mampu memutar baling-baling merupakan energi gratis yang berlimpah di Indonesia dan potensi setara dengan 450 GW dan masih belum dikembangkan. Jumlah yang sangat besar ini sangat menarik untuk dimanfaatkan terlebih dengan biaya pembangunan jaringan kincirnya lebih murah daripada pembangunan pembangkit listrik dengan sumber termal. Untuk negeri kepulauan seperti Indonesia, penerapan energi non konvensional ini bisa dirancang sistem yang terdesentralisasi, sehingga pengguna tidak bergantung kepada jaringan distribusi listrik luas. Pada perkampungan nelayan dan kota pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dikembangkan sistem modular dimana listrik yang dihasilkan dapat langsung dipakai oleh industri atau perumahan lokal. Desentralisasi pembangkit listrik seperti ini akan mengurangi jaringan transmisi dan distribusi listrik, yang juga mengurangi biaya pembangunannya. Dengan berkurangnya
12
Majalah Beranda MITI edisi 2
jaringan distribusi, maka tidak akan banyak pula energi yang hilang dalam transmisi. Selain itu, desentralisasi pembangit listrik dan kincir angin bisa sesuai dengan jumlah kebutuhan daya listrik di kawasan terpencil itu,tanpa harus mengorbankan keekonomisan dari proyek. Sementara, pada negara maju, kecenderungan penyediaan listrik bagi masyarakat dan industri telah berubah dari pembangkit listrik berskala raksasa kepada pembangkit listrik berskala mini (microhydro). Dengan berbagai kelebihan diatas, pembangunan nasional yang berbasis energi kelautan harus dijadikan penggerak utama (prime mover) bagi aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara.Selama ini, sektor kemaritiman tampak masih dijadikan sebagai obyek dan belum dikembangkan sebagai subyek pembangunan. Pembangunan di sektor Kelautan dan Perikanan juga memiliki multiple effect yang begitu banyak dengan nilai ekonomis yang besar sebagai new source of economic growth karena memiliki supply capacity yang sangat besar serta demand yang terus meningkat. Karakter dan jati diri Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara kepulauan (archipelago state) yang besar di dunia. Sebuah kenyataan bahwa masa depan Indonesia pun sejatinya berada di lautan, yang tentunya dengan memadukan kekayaan dan potensi di daratan yang juga melimpah ruah. Referensi : 1. Djamil, Agus. 2004. Al Qur’an dan Lautan. Bandung : Mizan Pustaka 2. Dewan Kelautan Indonesia. 2011. Membangun Laut Membangun Kejayaan Dulu, Kini dan Masa Depan. Jakarta Profil Penulis Nuriyati Lahir di Rembang, 23 Oktober 1993. Nuriyati kini aktif sebagai mahasiswa jurusan ilmu kelauatan, fakultas perikanan dan ilmu kelautan, Universitas Diponegoro. Hubungi Nuriyati di
[email protected]
Artikel : Energi Non-Konvensional
ENERGI PANAS BUMI
UNTUK KETAHANAN ENERGI NASIONAL
GettyImage
I
ndonesia memiliki potensi energi panas bumi (geothermal) yang sangat besar. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2012, Indonesia memiliki potensi energy panas bumi sebesar 29.000 megawatt (MW). Potensi ini tersebar di 253 lokasi di seluruh Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negeri dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Hal ini menjadi keuntungan yang wajib dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendukung ketahanan energi nasional. Potensi energi panas bumi di Indonesia yang mencapai 29 ribu MW sangat erat kaitannya dengan posisi Indonesia dalam kerangka tektonik dunia. Sebagian besar energi panas bumi yang dimanfaatkan merupakan energi yang diekstrak dari sistem hidrotermal, karena pemanfaatan dari hot-igneous system dan conduction-dominated system memerlukan Artikel : Energi Panas Bumi
teknologi ekstraksi yang tinggi. Sistem hidrotermal erat kaitannya dengan sistem vulkanisme dan pembentukan gunung api pada zona batas lempeng yang aktif dimana terdapat aliran panas (heat flow) yang tinggi. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng aktif yang memungkinkan panas bumi dari kedalaman ditransfer ke permukaan melalui sistem rekahan. Posisi strategis ini menempatkan Indonesia sebagai negara terkaya dengan energi panas bumi yang tersebar di sepanjang rangkaian vulkanik. Sehingga sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong mempunyai entalpi tinggi, yang artinya suhu uap reservoir diatas 225 derajat celcius dengan rapat spekulatif 15 MW/km2 dan konversi energi 15%. Panas bumi merupakan sumber daya energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (clean energy) dibandingkan dengan sumber bahan Majalah Beranda MITI edisi 2
13
bakar fosil. Proses eksplorasi dan eksploitasinya tidak membutuhkan lahan permukaan yang terlalu besar dan mengeluarkan emisi yang relatif kecil. Energi panas bumi bersifat tidak dapat diekspor sehingga sesuai untuk untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri.
GettyImage
Terkait pemanfaatan energi panas bumi Indonesia telah menerbitkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Panas Bumi untuk memberi kepastian hukum dan mendorong investasi di sektor energi ini dan UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan memberikan kesempatan pengembangan pembangkit tenaga listrik panas bumi. Selain itu, Indonesia juga memiliki Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang menegaskan bahwa energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan
14
Majalah Beranda MITI edisi 2
hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Namun, sayangnya potensi yang ada belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah dan pelaku industri di Indonesia. Dalam pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi Indonesia masih tertinggal dari Amerika Serikat dan Filipina. Amerika Serikat memiliki kapasitas pembangkit energi panas bumi terpasang sebesar 3.093 Megawatt, diikuti Filipina sebesar 1.904 Megawatt. Sementara Indonesia baru memiliki kapasitas sebesar 1.341 Megawatt atau ketiga terbesar di dunia. Artinya, Indonesia baru memanfaatkan sekitar 4% sumber energi panas bumi yang dimiliki. Setidaknya terdapat dua faktor utama yang menghambat pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Faktor pertama adalah rendahnya investasi di sektor ini. Investor terbesar sejauh ini berasal dari dalam negeri, yakni Pertamina. Sedangkan investor asing kebanyakan bekerjasama dengan Pertamina dalam bentuk Joint Operating Contract (JOC). Perusahaan multinasional yang berpartisipasi dalam pengembangan panas bumi antara lain Chevron dan Unocal. Sedangkan PLN selaku operator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) sejauh ini masih dalam tahap pengembangan untuk mencapai proyek pembangunan pembangkit listrik nasional 10.000 MW yang dicanangkan pemerintah beberapa tahun lalu. Rendahnya investasi di bidang energi panas bumi secara langsung juga berkaitan dengan faktor kedua, yakni penolakan sejumlah masyarakat terhadap eksplorasi panas bumi di wilayahnya. Pada tahun 2012 masyarakat adat di Lampung dan Bali menolak pembangunan proyek panas bumi. Alasannya, proyek eksplorasi panas bumi dikhawatirkan akan merusak hutan di wilayah mereka. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Kementerian ESDM sebesar 15% potensi pengembangan energi panas bumi berada di wilayah konservasi. Masyarakat bahkan menolak investor ke wilayah mereka dan meminta pemerintah mencabut izin eksplorasi. Hal ini tentunya menghambat upaya Artikel : Energi Panas Bumi
investasi di bidang panas bumi. Kedua faktor diatas seharusnya bisa diatasi oleh pemerintah asalkan memiliki komitmen yang tegas dan peraturan yang jelas. Dengan potensi terbesar di dunia akan sangat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan sumber energi panas bumi. Pemerintah seharusnya mengundang lebih banyak investasi untuk pengembangan energi ini. Di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh melupakan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di dekat proyek pengembangan. Pemerintah perlu menjadi penengah antara masyarakat dan pelaku industri. Di satu sisi pemerintah perlu menjamin bahwa proyek panas bumi ramah lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat dan sisi lain pemerintah perlu mengawasi pelaku usaha dan mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat. Pengembangan energi panas bumi pada akhirnya merupakan salah satu cara menuju ketahanan energi nasional, Sebagai sumber energi yang ramah lingkungan dan terbarukan (renewable), serta sifatnya yang tidak dapat diekspor, panas bumi adalah alternatif yang tepat untuk pemenuhan kebutuhan energi nasional. Hal ini sejalan dengan amanat UU Energi yang menetapkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang meliputi ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional, prioritas pengembangan energi, pemanfaatan sumber daya energi nasional dan cadangan penyangga energi nasional.
Artikel : Energi Panas Bumi
Referensi : 1. Rina Wahyuningsih. Potensi Dan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi Di Indonesia. Kolokium Hasil Lapangan, DIM 2005 2. Tempo.co. 16 Agustus 2013. Tiga Perusahaan Ditugasi Survei Panas Bumi. 3. Energi Today. 31 Juli 2013. Potensi Panas Bumi Indonesia Terbesar di Dunia, Tapi Pengembangannya Lambat. 4. Fakultas Teknik UGM. 2011. Skenario Kebijakan Energi Indonesia Menuju Tahun 2050. Diakses dari http://www.fakultasteknik.ugm.ac.id/ seminar-nasionalskenario-kebijakan-energi-indonesiamenuju-tahun-2050.html
Profil Penulis Kanyadibya Cendana Prasetyo Lahir di Malang 14 November 1992. Kanyadibya tengah menempuh studi di Universitas Brawijaya, jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini waktunya lebih banyak dipergunakan untuk menyelesaikan skripsinya sembari aktif menulis di Beranda MITI. Hubungi kanyadibya di @kanyaprasetyo
Majalah Beranda MITI edisi 2
15
BELAJAR MEMBANGUN KESADARAN HEMAT ENERGI
Hilmawan (2013) Hemat energi terlihat sebagai kegiatan yang KECIL, namun bila dilakukan secara BERSAMAAN akan menimbulkan EFEK yang BESAR
I
nternational Energi Agency (IEA) tahun 2013 mencatat, dalam konteks regional ASEAN, Indonesia menjadi negara dengan konsumsi energi terbesar dengan penggunaan energi mencapai 36% dari total konsumsi energi ASEAN tahun 2011. Selain itu, saat ini masih terdapat 27% wilayah Indonesia yang belum terjangkau listrik, termasuk wilayah rendah penggunaan listrik. Dalam skenario kebijakan energi yang baru, pemerintah merancang total permintaan energi primer Indonesia meningkat dengan pertumbuhan rata-rata 2.5% per tahun sejak 2011-2035, sedangkan pada periode tersebut jumlah penduduk meningkat dari 240 juta jiwa menjadi 302 juta jiwa. Pada saat yang sama pula, pertumbuhan ekonomi meroket hingga 220% dengan konsumsi energi per kapita meningkat hingga 46% (IEA 2013). Khusus untuk kebutuhan listrik, pertumbuhannya meningkat tiga kali lipat antara tahun 2011 dan 2035 dengan ratarata pertumbuhannya 4.8%. Dengan cadangan
16
Majalah Beranda MITI edisi 2
minyak bumi yang hanya berkisar 0.5% dari cadangan minyak dunia, Indonesia perlu segera menggiatkan hemat energi dan pengalihan penggunaan energi ke energi baru terbarukan (EBT). Salah satu sumber energi yang paling potensial adalah memanfaatkan energi geothermal. Energi geothermal yang dimiliki Indoensia diperkirakan akan menyumbang energi listrik hingga 330 megawatt (MW). Namun demikian, kondisi saat ini konsumsi energi masih termasuk belum efisien. Supply kebutuhan energi masih banyak dipenuhi dari bahan bakar fosil, padahal efisiensi konversi energi fosil menjadi listrik hanya 6%. Artinya 94% energi hilang saat konversi energi fosil ke energi siap pakai. Masyarakat Indonesia pada umumnya masih pada mind set bahwa selama dapat membeli energi, maka energi dapat dipergunakan secara tidak terbatas. Padahal kenyataannya, pada kasus energi listrik, PLN belum mampu meratakan fasilitas listrik bagi seluruh masyarakat. Artinya dibeberapa
Artikel : Belajar Membangun Kesadaran
tempat terdapat wilayah yang mengalami kesulitas akses energi listrik, penjatahan waktu elektrifikasi dan pemadaman bergilir. Oleh sebab itu, selain usaha penggiatan diversifikasi energi oleh pemerintah, kesadaran hemat energi juga harus dilakukan bersama oleh masyarakat. Kesadaran hemat energi Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa tanggal 22 Oktober lalu merupakan Hari Energi Sedunia. Penetapan ini merupakan salah satu hasil dari pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) setiap negara di dunia di Dubai tanggal 22 Oktober 2012. Hari Energi Sedunia dibuat sebagai usaha untuk menggugah kesadaran seluruh dunia tentang berbagai isu energi dan kesadaran politik untuk mendukung akses energi yang universal. Untuk Indonesia, dengan adanya Hari Energi, minimal setahun sekali masyarakat diingatkan untuk peduli terhadap energi. Selain itu, diharapkan hemat energi khususnya energi listrik dapat menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Kebiasaan-kebiasan sederhana berkaitan dengan hemat listrik harus selalu disosialisasikan. Kebiasan tersebut dapat berupa: 1. Mematikan lampu saat sudah tidak digunakan. 2. Mematikan alat elektronik seperti TV atau komputer dan lainnya jika tidak digunakan. 3. Biasakan mengatur AC pada temperatur normal (25-27oC). Tindakan kecil penghematan energi tidak hanya dilakukan oleh individu secara bersamaan namun juga perlu dilakukan oleh industri dengan kesadaran penuh bahwa energi harus digunakan secara bijak. Lakukan saat ini, mulai dari hal kecil, mulai diri kita sendiri. (SL/Redaksi).
Artikel : Belajar Membangun Kesadaran
Referensi: 1. International Energi Agency (IEA). 2013. Southeast Asia Energi. Diunduh dari http:// www.iea.org/publications/freepublications/ publication/SoutheastAsiaEnergiOutlook_ WEO2013SpecialReport.pdf. Diunduh pada 11 November 2013 2. Anonim.2013. 22 Oktober Diperingati Sebagai Hari Energi. Diunduh dari http:// www.kabarenergi.com/berita-22-oktoberdiperingati-sebagai-hari-energi-.html. Diunduh pada 11 November 2013 3. Hilmawan, Edi. 2013. Shifting Paradigm Toward National Energi Security. Disampaikan dalam Kajian Rutin Energi MITI.
Do You
Know
?
1. 94% energi batu bara hilang saat dikonversi menjadi listrik 2. Potensi total energi panas bumi mencapai 200 Twh/ tahun 3. Kebutuhan energi listrik nasional tahun 2010-2019 diperkirakan tumbuh ratarata 9,2% per tahun 4. Rasio elektrifikasi di Indonesia tahun 2012 adalah 75.8% 5. Tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Energi Sedunia
Majalah Beranda MITI edisi 2
17
BIOFUEL GENERASI KEDUA
SOLUSI DILEMA PANGAN DAN ENERGI BIOFUELS ETHANOL
1st GENERATION
• Corn • Cane • Maize
2nd GENERATION
• Switch Grass • Cellulosic • Gasification
S
BIODIESEL
1st GENERATION
• Palm • Soybeans • Rapeseed
ejauh ini masyarakat mengenal biofuel generasi pertama, yaitu bahan bakar yang dihasilkan dari bahan-bahan yang cenderung dapat dikonsumsi manusia seperti jagung, kedelai dan lain-lain. Biofuel generasi pertama memang sangat membantu manusia mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi. Namun disisi lain hal itu akan menimbulkan kompetisi di kemudian hari, karena bahan-bahan tersebut digunakan untuk konsumsi manusia yang juga akan menjadi bahan dasar pembuatan biofuel. Hal inilah yang menyebabkan dikembangkannya biofuel generasi selanjutnya. Biofuel generasi kedua menggunakan bahan dasar limbah, baik limbah pertanian dan kehutanan. Sedangkan biofuel generasi ketiga menggunakan gulma air, seperti eceng gondok, dan lain-lain. Berbeda dengan biofuel generasi pertama yang dihasilkan dari pati, misalnya dari tanaman singkong, tebu, atau jagung, yang teknologi prosesnya mudah. Biofuel generasi kedua berasal dari biomassa limbah pertanian atau kehutanan. Lignoselulosa, yang berasal dari limbah berbagai tanaman pangan, berupa kayu, jerami, dan rumput, dianggap sebagai alternatif bahan
18
Majalah Beranda MITI edisi 2
2nd GENERATION
• Jatropha • Gasification
3rd GENERATION
• Algae
baku bioenergi yang paling potensial. Limbah rumput dan jerami kering serta kayu umumnya mengandung biomassa lignoselulosa, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Pada tumbuhan, kandungan lignoselulosa mencapai 90 persen total biomassa. Bahan bakar berbasis biofuel generasi kedua sangat potensial dikembangkan di Indonesia, mengingat negara ini menjadi salah satu penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Tak hanya kelapa sawit, biomassa lignoselulosa lainnya juga bisa diperoleh dari tanamantanaman yang banyak tumbuh di Indonesia. Kedepannya, terdapat tantangan untuk mengembangkan biofuel generasi kedua ini. Biomassa bahan selulosa atau lignoselulosa memerlukan teknologi yang prosesnya lebih rumit karena perlu perlakuan awal atau pretreatment. Selain itu juga, teknologi pengembangan bioetanol yang menjadi campuran bahan bakar premium generasi kedua untuk saat ini harganya masih terbilang mahal. (NI/Redaksi) Referensi: http://www.ristek.go.id/index.php/module/ News+News/id/9257
Artikel : Biofuel Generasi Kedua
PERILAKU KONSUMSI
DAN PENGHEMATAN ENERGI
S
ebagai negara dengan jumlah penduduk besar, Indonesia dihadapkan pada masalah penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Salah satu hajat hidup yang harus dipenuhi oleh negara adalah ketersediaan energi. Permintaan energi berasal dari beberapa sektor yaitu Sektor Transportasi, Rumah Tangga, Komersial, Pertanian, Konstruksi, dan Pertambangan (PKP). Pada tahun 2010 Indonesia Energy Outlook melaporkan, total pemakaian energi final mencapai 800 juta SBM. Dengan jumlah penduduk yang terus meningkat bahkan diperkirakan Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, maka pada tahun 2030 diproyeksikan konsumsi final energi akan mencapai 2.500 Juta SBM. Tabel 1. Permintaan Energi Final Menurut Sektor, 20102030 (Menurut Skenario Dasar)
Sumber : Indonesia Energy Outlook, 2010, Kementerian ESDM
Penyediaan energi untuk kebutuhan domestik maupun ekspor sebagian besar ditopang oleh Artikel : Perilaku Konsumen
sumber energi fosil yaitu BBM, gas, LPG, listrik dan batubara. Dikutip dari blueprint pengelolaan sumber energi nasional 2005-2015, prosentase terbesar penggunaan energi fosil tersebut adalah BBM yang mencapai 63%. Seperti yang jamak diketahui, energi fosil merupakan sumber enegi yang tidak bisa diperbaharui sehingga seiring berjalannya waktu, cadangan sumber energi ini pun semakin menipis. Berbagai kebijakan untuk menanggulangi kesenjangan antara permintaan dan penyediaan energi telah ditempuh pemerintah. Salah satunya adalah dengan menggalakkan upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber-sumber energi baru dan terbarukan. Melalui Peraturan Presiden No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah mencanangkan untuk memulai pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Meski sumber energi baru melimpah, namun terdapat beberapa kendala dalam pemanfaatannya, yaitu biaya produksi yang tinggi serta nilai ekonomi dari energi ini yang rendah (Ibrahim, 2009). Oleh sebab itu, perlu ada langkah kongkrit lain yang harus diambil. Dalam menyelesaikan persoalan kebutuhan energi, pendekatan yang dilakukan tidak hanya dari segi penyediaan, melainkan harus dibarengi dengan perubahan pada sektor permintaan. Perubahan perilaku konsumsi energi merupakan salah satu langkah kongkrit dan sederhana yang bisa dilakukan oleh masyarakat, baik itu dalam skala rumah tangga maupun industri dengan Majalah Beranda MITI edisi 2
19
Picture of
the Month
Energi Baru Terbarukan (EBT) Profil Kontributor : Nama Lengkap : Choirul May Affandi Siregar Tempat & Tanggal Lahir : Padang Sidempuan, 17 Mei 1993 Alamat e-mail :
[email protected] Akun twitter : May Affandi Aktivitas Saat ini : Mahasiswa
20
Majalah Beranda MITI edisi 2
dukungan penuh pemerintah. Sebab konsumsi energi selama ini cenderung mengarah pada inefisiensi yang tidak memberi kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari tingkat elastisitas dan intensitas energi Indonesia yang masih tinggi dibanding beberapa negara maju seperti Jepang (Ikawati, 2013) Potensi penghematan yang dimungkinkan jika perilaku hemat dilakukan, untuk sektor industri, potensi penghematan energi antara 10-30 persen dari target tahun 2025 sebesar 17 persen, sektor komersial, potensi penghematan energi antara 10-30 persen dari target tahun 2025 sebesar 15 persen. untuk sektor transportasi, 15-30 persen dan target tahun 2025 sebesar 20 persen dan sektor rumah tangga, penghematan energi antara 1530 persen dengan target di tahun 2025 sebesar 15 persen. (EBTKE ESDM, 2013) Perilaku penghematan energi ini bisa dipraktekkan dalam keseharian. Mengubah perilaku konsumsi energi sambil tetap mengawal proses implementasi sumber energi terbarukan akan menjadi langkah strategis dalam mencegah bangsa ini menuju krisis energi. Semoga. (NI/ Redaksi) Referensi : 1. Indonesia Energy Outlook, 2010, Kementerian ESDM 2. Blueprint Pengelolaan Sumber Energi Nasional 2005-2015 3. Ibrahim, Herman Daniel. 2009. Pengembangan Energi Terbarukan: Regulasi Pricing, Pembiayaan Biaya Tambahan dan Penyediaan Dana Domestik. Diakses dari http://www.den.go.id/index.php/ wawancara/readArtikel/10 4. EBTKE. 2013. Potensi Penghematan Perilaku Capai 17 Persen. Diakses dari http://www.ebtke.esdm.go.id/en/ energy/energy-conservation/923-potensipenghematan-perilaku-hemat-capai-17persen.html
Artikel : Perilaku Konsumen
HEMAT ENERGI
DAN BUDAYA MASYARAKAT
B
We can reduce our energy use only through a radically different vision of what it means to be modern by Harold Langford Wilhite-energy anthropologist
udaya secara sederhana diterjemahkan sebagai bagaimana sekelompok orang memiliki kesamaan berpikir dan bertindak dalam kehidupan yang dilakukan terus menerus dan diturunkan ke generasi selanjutnya. Budaya memiliki banyak macam, salah satu budaya yang harus dikembangkan dalam menjalankan keseharian adalah budaya hemat energi.
Budaya hemat energi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan secara rutin dalam memanfaatkan energi. Dengan menjalankan budaya hemat energi dapat memberikan dampak yang besar pada lingkungan dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi. Namun, menciptakan budaya hemat energi juga merupakan tantangan tersendiri. Budaya hemat energi ini sangat berkaitan erat bagaiamana cara masyarakat menggunakan energi. Misalnya pada masyarakat Norwegia, masyarakat terbiasa tidak menggunakan lampu untuk penerangan rumah disiang hari namun menggunakan cahaya matahari yang masuk kedalam rumah melalui atap dan jendela. Meskipun demikian, penggunaan listrik per kapita Norwegia menjadi yang paling tinggi didunia sebab masyarakat Norwegia terbiasa menggunakan banyak lampu-lampu kecil Artikel : Hemat Energi
disekitar ruangan untuk menciptakan ruangan yang terkesan estetik dengan sapuan cahaya lampu yang unik (Wilhite dalam Khazaleh 2013). Bagaimana dengan di Indonesia? Salah satu tantangan Indonesia dalam penghematan energi adalah pada penggunaan air conditioner (AC). Indonesia yang memiliki iklim tropis seharusnya tidak begitu perlu memiliki AC. Guna mendapatkan suhu ruangan yang nyaman sebenarnya hanya memerlukan pengaturan/ sirkulasi udara yang baik. Namun bagunanbangunan yang ada saat ini dirancang kedap udara sehingga perlu memasang AC pada tiap ruangan. Menurut Wilhite, bahkan jika kita adalah orang yang konsen dengan penghematan energi, mau tidak mau akan menggunakan AC dalam ruangan semacam itu, meski hal ini dapat dimaklumi dengan alasan kesehatan dan kenyamanan. Wilhite menambahkan penggunaan AC menjadi salah satu penyumbang tingginya penggunaan listrik di dunia. Dengan demikian, ternyata rancang bangun juga berpengaruh pada kebiasaan masyarakat dalam menggunakan energi, meskipun sebelumnya menggunakan AC bukan budaya bangunan-bangunan di Indonesia. Referensi: 1. Khazelah L. 2013. Saving Energy: It’s Also about Culture. Diunduh dari http://www. sv.uio.no/sai/english/research/projects/ overheating/news/winther-wilhite.html. Diunduh pada 14 November 2013 2. Ai Group’s Energy and Sustainable Business. 2013. Creating an Energy Saving Cuture. Diunduh dari http://pdf. aigroup.asn.au/environment/01_Energy_ Savings_Culture_Factsheet.pdf. Diunduh pada 14 November 2013
Majalah Beranda MITI edisi 2
21
REVITALISASI PEDESTRIAN
SALAH SATU NON MOTORIZED TRANSPORT (NMT)
Adanya kawasan pedestrian ini akan memudahkan masyarakat untuk bermobilisasi dalam jarak yang tidak terlalu jauh dengan berjalan kaki.
Foto : Bady
K
onsumsi energi di Indonesia dibagi menjadi beberapa sektor, diantaranya adalah industri, transportasi, rumah tangga serta sektor lainnya. Pada tahun 2010, konsumsi energi terbesar adalah sektor industri sebanyak 33% yang diikuti oleh sektor rumah tangga 30% serta transportasi 23%. Konsumsi energi akan terus meningkat di tahun mendatang seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Sektor industri dan transportasi diproyeksikan akan mengalami peningkatan konsumsi energi yakni masing-masing sebesar 7,5% dan 6,5% pada tahun 2030. (BPPT, 2012) Proyeksi Konsumsi Energi Menurut Sektor
Sumber : BPPT, 2012
22
Majalah Beranda MITI edisi 2
Laju ekonomi yang meningkat menyebabkan kebutuhan energi di sektor transportasi terus tumbuh. Pada sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan rata-rata konsumsi sektor transportasi adalah 5,8% per tahun, yaitu dari 129 juta SBM di tahun 2009 menjadi 226 juta SBM di tahun 2009 (IEO, 2010). Sebagian besar konsumsi energi di sektor ini menggunakan Bahan Bakar Minyak (BB) yang jumlahnya mencapai 99%. (IEO, 2010) Peningkatan konsumsi energi dalam bidang transportasi ini tergambar jelas dari padatnya jalan raya. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Indonesia meningkat cukup drastis tiap tahunnya. Pada tahun 2000, jumlah kendaraan yang ada di Indonesia berjumlah 18 975 344 unit, sedangkan pada tahun 2011 meningkat hingga 85 601 351 unit. Hal ini berarti dalam kurun waktu 10 tahun telah terjadi peningkatan sebesar 77% (BPS, 2013). Mobil pribadi dan motor menyumbang secara signifikan kenaikan jumlah kendaraan bermotor ini. Tercatat pertumbuhan dua jenis kendaraan pribadi tersebut masing-masing adalah 12% dan 11 % pada tahun 2011-2012 (Korlantas Polri dalam Kompas, 2013). Artikel : Revitalisasi Pedestrian
Transportasi publik yang masih buruk disebut sebagai faktor penyebab trend meningkat dari moda transportasi privat, motor dan mobil tersebut. Dampaknya seperti yang sudah jamak diketahui adalah kemacetan dan polusi yang menjangkiti kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta. Orang lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari karena dirasa lebih praktis dan cepat. Gejala ini jika dibiarkan tidak hanya akan menambah parah polusi dan kemacetan, namun kehidupan sosial khususnya masyarakat perkotaan pun akan ikut terganggu. Stress yang berujung pada masalah kesehatan baik mental maupun fisik pada akhirnya akan berujung pada masyarakat kota yang sakit. Jalanan akan dipenuhi dengan kendaraan dan tidak tersisa lagi ruang yang nyaman untuk berinteraksi. Tata kota yang baik disusun berdasarkan beberapa elemen. Salah satu elemen penting dari penyusun kota adalah kawasan pedestrian. Pedestrian berasal dari kata pedestris yaitu orang yang berjalan kaki. Sedangkan jalur pedestrian adalah trotoar yang berarti jalan kecil selebar 1,5 meter – 2 meter, memanjang sepanjang jalan umum, jalan besar atau jalan raya. Jalur pedestrian merupakan salah satu elemen-elemen pembentuk kota yang dapat dijadikan pembatas dari satu wilayah atau distrik (Mauliani, 2011). Pedestrian bukan hanya pelengkap untuk mengesankan suatu kota, tapi harus mengandung fungsi utamanya yaitu wadah pejalan kaki untuk dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan aman, nyaman dan tanpa rasa takut baik terhadap sesama pengguna jalur maupun terhadap kendaraan (Mauliani, 2011). Pedestrian adalah salah satu jenis non motorized transport selain bersepeda (bicycling). Adanya kawasan pedestrian ini akan memudahkan masyarakat untuk bermobilisasi dalam jarak yang tidak terlalu jauh dengan berjalan kaki. Di beberapa negara maju kawasan pedestrian sengaja dikembangkan sebagai kebijakan transportasi publiknya. Selain lahan luas, pedestrian juga terhubung Artikel : Revitalisasi Pedestrian
dengan pusat-pusat aktivitas keseharian seperti sekolah, kantor, mall atau disebut dengan mic land use neighborhood. Dengan demikian, pedestrian pun dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang memungkinkan warga kota bisa berinteraksi. Singapura adalah salah satu contoh negara yang serius menggarap kawasan pedestrian hingga mendapat julukan A Walkable City (World Bank, 2013) Pengembangan kawasan pedestrian tidak bisa dilakukan tanpa integrasi kebijakan transportasi lainnya. Pembatasan penggunaan mobil dan motor dengan sistem parkir berbayar dan parking zone di tempat-tempat khusus adalah salah satu kebijakan yang harus diupayakan. Selain itu, pemerintah harus tegas dalam menindak oknum masyarakat yang menggunakan trotoar tidak sesuai fungsinya. Pedagang Kaki Lima dan pengguna motor yang sering melintas di trotoar adalah beberapa aktivitas yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kampanye hidup sehat dengan berjalan kaki pun harus terus disosialisasikan. Karena mustahil terjadi perubahan jika perilaku masyarakat pun tidak diubah. Referensi : 1. Pusat Data dan Informasi ESDM Kementerian ESDM. 2010. Indonesia Energy Outlook 2010. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia 2. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2012. Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012. Balai Besar Teknologi Energi BPPT 3. Mauliani, Lili. 2010. Fungsi dan Peran Jalur Pedestrian Bagi Pejalan Kaki. Jurnal NALARs Volume 9 No. 2 Juli 2010. 4. The World Bank. 2013. Urban design manual for non-motorized transport friendly neighborhoods. Diakses dari h t t p : / / w w w. w o r l d b a n k . o r g / e n / t o p i c / urbandevelopment/x/eap?qterm=&docty_ exact=Working+Paper
Majalah Beranda MITI edisi 2
23
PENCEGAHAN KRISIS ENERGI SEJAK DINI
K
risis energi menjadi masalah serius yang sedang dihadapi dunia disebabkan sumber energi yang ada sudah mulai menipis. Penggunaan energi yang sangat besar mengancam negara-negara akan mengalami kekurangan energi untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini terungkap dalam laporan Global Tracking Framework Report yang dirilis di Wina, Austria menyatakan bahwa ada 20 negara dengan penggunaan energi terbesar yaitu Australia, Spanyol, Ukraina, Afrika Selatan, Arab Saudi, Italia, Meksiko, Inggris, Indonesia, Iran, Korea Selatan, Kanada, Perancis, Brasil, Jerman, Jepang, India, Rusia, Amerika Serikat, dan China. Menurut data International Energy Outlook 2013, yang dirilis oleh Energy Information Administration (EIA), lembaga energi milik pemerintah Amerika Serikat, menyatakan bahwa konsumsi energi dunia diperkirakan naik 56% pada 2040 karena didorong oleh pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Penggunaan energi secara berkelanjutan akan menyebabkan sumber energi semakin menipis sehingga terjadi krisis energi. Krisis energi ini sangat berdampak terhadap kehidupan penduduk di bumi. Di Indonesia, dampak ini juga sangat dirasakan oleh masyarakat kalangan menengah ke bawah. Krisis bahan bakar berbasis fosil telah berdampak pada melonjaknya harga bahan bakar. Selain itu, dampak lanjutannya adalah berbagai macam produk turunannya, harga sembako ikut melambung. Akhirnya beban masyarakat
24
Majalah Beranda MITI edisi 2
semakin berat. Belum lagi dengan pemadaman listrik bergilir yang terjadi di beberapa kota besar, hal ini tentu saja sangat menghambat kegiatan masyarakat sehari-hari. Kehidupan akan terus berlanjut jika kebutuhan energi ini tercukupi dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana jika suatu saat energi ini hampir habis, maka kehidupan juga mungkin akan sangat sulit untuk dijalani, karena banyak proyek-proyek industri, pendidikan dan sosial yang terhambat. Berbagai upaya dilakukan oleh negaranegara di dunia dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi yang semakin besar. Salah satunya adalah penggunaan tenaga nuklir sebagai penghasil energi yang ramah lingkungan. Di Indonesia belum menerapkan penggunaaan tenaga nuklir sebagai pemasok energi walaupun sudah banyak wacana yang mengarah kesana. Ada beberapa upaya yang telah dilakukan di Indonesia, untuk mengatasi krisis energi tersebut khususnya energi listrik. Salah satunya adalah pemakaian lampu hemat energi atas kerja sama PT. GE Lighting Indonesia dan PLN, yang dapat menghemat pemakaian energi listrik sebesar 80 % dan perencanaan gedung Hemat Energi “Graha Pangeran” di Surabaya oleh Jimmy Priatma. Penghematan yang dicapai dari hasil rancangan tersebut sebesar 65%. PLN juga telah mengantisipasi adanya krisis energi nasional dengan mencanangkan program percepatan produksi energi sebesar 10.000 mega watt untuk sistem jaringan Jawa – Bali. Usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah tersebut masih sangatlah kecil jika dibandingkan dengan pemakaian energi Artikel : Pencegahan Krisis Energi
listrik seluruh penduduk indonesia baik untuk kegiatan domestik maupun industri. Sehingga masih dibutuhkan sumber energi lain sebagai pemasok kebutuhan energi yang terus meningkat. Apalagi penyerapan energi listrik yang bersumber dari energi panas bumi atau geothermal masih sangat sedikit. Potensi listrik panas bumi yang terbuang sia-sia terjadi di Lampung. Potensi energi panas bumi di daerah itu mencapai lebih dari 300 Megawatt di kawasan Ulubelu, Sekincau, Danau Ranau dan Gunung Rajabasa. Energi panas bumi ini baru dimanfaatkan sekitar 110 megawat. Dari jumlah itu, yang terserap kurang dari 100 megawat tiap hari. Sisanya antara 20 megawat listrik terbuang sia-sia. Persoalan krisis energi bukanlah menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi semua pihak harus turut serta dalam upaya mengatasi permasalahan ini. Masyarakat sebagai konsumen energi itu sendiri juga harus melakukan penghematan agar energi tidak terbuang tanpa guna. Kebanyakan masyarakat masih belum memahami tentang aplikasi dari penghematan energi. Contoh sederhananya, sering kali kita membiarkan kabel pengisi baterai laptop atau Hp dari stop kontak dalam keadaan standby. Perlu kita ketahui bahwa energi akan terus mengalir pada kabel meskipun tidak digunakan. Hal ini tentu saja akan membuat energi listrik terbuang sia-sia. Belum lagi jika kita sering menyalakan lampu di siang hari, penggunaaan listik yang berlebihan seperti inilah yang mendukung semakin mewabahnya krisis energi. Suatu energi dapat berubah-ubah menjadi energi lainnya, contohnya kita menggunakan lampu untuk menerangi kamar adalah manfaat dari perubahan energi ini. Lampu listrik merupakan contoh perubahan energi listik menjadi cahaya dan panas. Selama ini yang kita manfaatkan dari lampu listrik hanyalah cahayanya saja sebagai penerangan dalam ruangan. Tetapi energi panas yang juga dihasilkan telah terbuang sia-sia. Oleh karena itu yang perlu kita lakukan adalah menghindari penggunaan lampu listrik secara berlebihan. Artikel : Pencegahan Krisis Energi
Misalnya saja mematikan listrik waktu siang hari dan saat kita tidur. Ada sebagian orang yang tidak bisa tidur malam hari dalam keadaan lampu yang dimatikan. Hal ini bisa diatasi dengan mengganti lampu dengan daya yang lebih kecil saat akan tidur, sehingga kita tetap masih bisa menghemat energi. Masyarakat perlu menyadari tentang pentingnya budaya menghemat energi. Permasalahan energi akan lebih mudah terselesaikan jika masyarakat turut serta dalam upaya pencegahan krisis energi. Walaupun hal yang dilakukan sangat sepele seperti mematikan lampu listrik saat tidur atau menggantinya dengan listrik berdaya rendah, itu juga memberikan sumbangsih yang besar dalam pencegahan krisis energi. Bayangkan jika seluruh masyarakat indonesia bisa melakukan hal itu, tentunya energi yang dikonsumsi juga lebih sedikit. Ini merupakan bentuk pencegahan krisis energi sejak dini yang seharusnya dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai sekarang. Referensi : 1. http://www.hijauku.com/2013/05/30/ inilah-20-negara-pengguna-energiterbesar-di-dunia/ 2. http://www.kamusilmiah.com/lingkungan/ meneropong-konsumsi-energi-duniabagian-pertama/ 3. http://bunghatta.ac.id/artikel/188/hematenergi-pada-sistem-air-conditioningsebagai-.html
Profil Penulis Khairul Ummah K Mahasisiwa kelahiran Tuban, 12 Juli 1991 ini tengah menyelesaikan studi semester akhir di Pendidikan Kimia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Disela-sela kesibukannya Khairul Ummah senang menulis di koran dan media online. Hubungi Khairul di yulie.
[email protected]
Majalah Beranda MITI edisi 2
25
Tujuan
Membentuk Jejaring antara pengambil kebijakan, peneliti, akademisi, serta praktisi dan sektor privat untuk saling bekerjasama, bertukar informasi dan menyusun agenda bersama untuk mendorong dan mengawal penerapan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (pembangunan hijau) Indonesia.
Karakter Jejaring
Jejaring ini bersifat independen, lintas sektor, lintas disiplin ilmu dan mengedepankan sinergi fungsional antara anggotanya untuk saling bekerjasama mendorong implementasi pembangunan hijau di Indonesia.
Lingkup Aktivitas • Melakukan sosialisasi, public awareness dan capacity building dalam bentuk seminar, workshop, pendidikan dan pelatihan. • Menyusun masukan untuk pengembangan standar, kebijakan, regulasi dan pedoman untuk penerapan pembangunan hijau di Indonesia. • Melakukan riset dan kajian bersama lintas disiplin ilmu untuk pengembangan konsep dan metodologi, pengembangan teknologi, implementasi, dan pemantauan pembangunan hijau di Indonesia
Keanggotaan • Perorangan Para pemangku kepentingan yang memiliki kemampuan dan perhatian untuk penerapan pembangunan hijau di Indonesia. • Instansi/Lembaga Mewakili institusi pemerintah, sektor swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkait dengan pembangunan hijau di Indonesia
26
Majalah Beranda MITI edisi 2
MEMPERKUAT KETAHANAN EKONOMI NASIONAL
MELALUI PERCEPATAN PERALIHAN ENERGI MINYAK BUMI KE GAS DAN ENERGI TERBARUKAN
D
alam kurun waktu beberapa tahun terakhir kondisi perekonomian indonesia cukup stabil meskipun perekonomian dunia banyak mengalami masalah. Di saat negaranegara Eropa dan negara maju di Asia dan Amerika mengalami krisis ekonomi, beberapa negara justru mengalami pertumbuhan ekonomi positif termasuk Indonesia. Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 6 % setiap tahunnya. Secara makro perekonomian di indonesia terus meningkat. Salah satu elemen penting penunjang pertumbuhan ekonomi adalah sektor energi. Saat ini, pertumbuhan kebutuhan energi dalam negeri berkisar 7-8 % setiap tahunnya. Dari sisi permintaan, konsumsi energi paling besar di sektor industri (41.49%) dan transportasi 32.52 %, sementara sektor rumah tangga 16,26 %. Berdasarkan energy outlook BPPT (Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi) 2011 bahwa proyeksi kedepan pertumbuhan konsumsi energi final mencapai 4 % sampai 2014, dan 5.3 % sampai tahun 2030. Jadi, dapat terlihat jelas korelasi nyata antara pertumbuhan ekonomi dengan sektor energi. Peran sektor energi sangatlah vital bagi perekonomian suatu bangsa yang terkait secara langsung dengan eksistensi bangsa itu sendiri baik sebagai suatu kesatuan negara maupun keberadaanya di dunia internasional. Bukan lagi rahasia, bila negara-negara yang menguasai sektor energi adalah negara-negara maju. Menurut Prof. Rinaldy (ketua Dewan Energi Nasional) menyatakan bahwa peran sektor
energi pada perekonomian nasional terdiri atas, yaitu : sumber devisa dan penerimaan negara, bahan bakar domestik, dan bahan baku industri. Sektor energi Indonesia pernah mengalami kejayaan energi pada era tahun 70-an. Saat itu, produksi minyak bumi kitat sebesar 1.6 juta barel/hari sementara konsumsi dalam negeri hanya berkisar 800 barel/hari. Kondisi inilah yang melatarbelakangi Indonesia mengekspor sebagian besar hasil minyak bumi. Tak heran bila kemudian Indonesia menjadi anggota OPEC bahkan pernah menjadi ketuanya. Seiring berjalannya waktu, ladang-ladang minyak mulai mengering. Akibatnya lifting minyak indonesia terus mengalami penurunan hingga di bawah 1 juta barel/hari. Disisi lain, konsumsi BBM (bahan bakar minyak) terus meningkat setiap tahun. Tercatat konsumsi BBM saat ini sebesar 1.4 juta barel/hari sedangkan produksi saat ini hanya berkisar 900-an barel/hari. Dengan kata lain, Indonesia defisit bahan bakar minyak bumi. Oleh karena itu, impor besar-besaran terus terjadi dalam kurun waktu lebih satu dasawarsa terakhir. Fakta di atas, menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi bergantung pada minyak bumi. Maka langkah strategis pun diambil oleh pemerintah yakni mencari energi alternatif lain yang siap digunakan seperti gas. Meskipun terlambat dan kurang persiapan, langkah ini sudah tepat untuk memenuhi kebutuhan energi. Tepat karena memang cadangan gas kita cukup besar sekitar 384.7 TCF. Cadangan tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia seperti: Pulau
Opini : Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional
Majalah Beranda MITI edisi 2
27
Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Papua dan sebagainya. Papua misalnya,ternyata memiki ladang gas terbesar di dunia yang terletak di blok tangguh. Tidak tanggung-tanggung menurut hasil sertifikasi DeGolyer and MacNaughton pada tahun 1998, potensi Blok Tangguh menunjukkan angka sebesar 14.4 triliun kaki kubik (TCF) sebagai cadangan gas terbukti. Potensi gas dari blok tangguh yang sebesar 14.4 TCF itu dapat menghasilkan ribuan triliun rupiah, dengan asumsi harga rata-rata minyak selama 20 tahun ekplorasi adalah US$ 80/ barel, cost recovery sebesar 35 persen, 1 boe = 5.487 cf dan nilai kurs US$/Rp adalah 10.200, maka dari simulasi perhitungan yang dilakukan diperoleh potensi pendapatan total gas Tangguh adalah sekitar US$ 210 miliar atau sekitar Rp 2.142 triliun. Dengan melihat potensi ekonomi dari energi gas ini, berbagai kebijakan pun diambil pemerintah untuk meningkatkan produksi gas nasional untuk memacu laju konversi minyak ke gas. Hasilnya sudah mulai terlihat dengan meningkatnya produksi gas nasional. Pada tahun 2012 tercatat total lifting gas kita sebesar sekitar 8.196 MMSCFD atau sekitar 1,3 juta barel ekuivalen minyak/har. Bahkan untuk pertama kalinya parameter lifting gas masuk dalam skema perencanaan APBN 2013. Sudah sekiranya kita, menggeser paradigma bahwa Indonesia bukanlah negera minyak. Jauh yang lebih harus kita pikirkan adalah mempersiapkan ketahanan energi dengan potensi energi terbarukan yang jumlahnya melimpah. Data dari Dewan Energi Nasional menyatakan potensi panas bumi sebesar 28 GW, tenaga air 75,67 GW, matahari 1200 GW, biomassa 49,81 GW, energi laut 240 GW dan masih banyak lagi. Namun, dengan kondisi saat ini, energi gas lebih berperan penting guna memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sehingga sudah saatnya Indonesia memasuki era “go gas” di mana sebagian besar kebutuhan energi dipenuhi oleh energi gas. Konsekuensi dari peralihan paradigma tentang “go gas” adalah munculnya “peperangan” akan gas itu sendiri. Setiap tahun permintaan gas dunia terus mengalami peningkatan. Jika dulu gas bukan suatu komiditi yang penting sebagai
28
Majalah Beranda MITI edisi 2
sumber energi – khususnya bagi indonesia maka kecenderungannya adalah menjual/ mengekspor gas. Atau secara sederhana, gas alam adalah sebagai komoditi dagang – sebagai sumber income negara dalam meraup devisa. Tidak bisa disalahkan karena memang dulu gas tidak memilki nilai jual yang menjanjikan di dalam negeri sendiri. Jelas, saat ini kondisinya jauh berbeda maka harus ada perubahan paradigma memandang gas itu sendiri, tidak lagi menganggapnya sebagai komoditi dagang melainkan lebih sebagai elemen pendukung pembangunan ekonomi. Maksudnya, kita tidak lagi menghambur-hamburkan gas untuk diekspor hanya untuk mendapatkan keuntungan dalam hal financial yang jumlahnya tidak sesuai dari dampak negatif di dalam negeri sendiri, seperti : kelangkaan gas untuk energi (PLN), industri dan lain-lain. Sebagai contoh pada 2011 saja, berdasarkan data dan proyeksi dari PLN (perusahan listrik negara), kebutuhan PLN akan gas 1.798 MMSCFD, tetapi baru terpenuhi 901 MMSCFD, sehingga defisit 896 MMSCFD. Akibatny PLN masih harus menggunakan bahan bakar diesel untuk tetap bisa memasok listrik ke masyaraka disebabkan tidak mendapatkan pasokan gas. heran jika, biaya operasi listrik membengkak. Misalnya apa yang terjadi di Kalimantan Timur, sangat disayangkan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) berkapasitas 180 megawatt (MW) justru menggunakan BBM untuk memproduksi listrik. Ironisnya, daerah Kaltim sendiri merupakan daerah kaya gas bumi bahkan sebagian produksinya diekspor ke luar negeri. Seharusnya gas harus menjadi penggerak ekonomi Indonesia secara nyata, prioritas alokasi dalam negeri lebih diutamakan lagi. Sehingga kelak, tidak lagi ada pembangkit listrik yang menggunakan BBM, industry-industri petrokimia (pupuk, ammonia, dan lain-lain) tercukupi kebutuhannya, sektor transportasi telah menggunakan gas, dan kebutuhan rumah tangga tidak lagi terbebani oleh kelangkaan ataupun harga yang melambung akibat kekurangan. Bahkan dengan potensi yang ada, energi gas bisa menjadi senjata meningkatkan posisi Indonesia di dunia melalui pembenahan kebijakan-kebijkan dengan negara luar untuk kembali merundingkan kesepakatankesepakatan yang selama ini merugikan. Opini : Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional
Dalam rangka memperkuat perekonomian indonesia maka diperlukan ketahanan energi nasional. Sektor energi merupakan elemen penting penopang pertumbuhan ekonomi. Untuk memperkuat ketahan energi nasionak dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang mendorong peralihan energi minyak bumi (BBM) ke energi alternatif lainnya seperti : gas, geothermal, sinar matahari, bioenergi dan lainlain secara cepat. Dalam jangka menengah, enegi gas menjadi sumber utama pemenuhan energi nasional selama proses peraliha ke energi terbarukan benar-benar terwujud secara maksimal. Sebagaimana master plan energy tahun 2025 di mana 25 % energi indoensia dihasilkan dari energi terbarukan. Oleh karena itu, mari bersama kita dukung kebijakan pemerintah guna mewujudakn visi tersebut disamping terus mengawasi kinerjanya. Selain itu, kesadaran akan hemat energi harus terus digalakan. Bila sinergisasi elemen terkait bisa berjalan sebagaimana mestinya maka kekuatan ekonomi Indonesia akan semakin meningkat sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia seluas-luasnya. Referensi: 1. Biro Riset BUMN center LM FEUI. Analissi Industri Gas Nasioanl. 2012 2. BPPT (Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi). Energy outlook. 2011 3. Kajian Dewan Energi Nasional 4. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM MANDIRI). Buku Panduan Energi yang Terbarukan. 2010 5. Pusat Data dan Informasi Energi Sumber Daya Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Indoensia Energy Outlook . 2010 6. Rezavidi, Arya. Membaca Nasib Energi baru dan TErbarukan di Indonesia. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). 7. Sekertariat PT PLN (persero). Statistik PLN. 2011 8. Website : www. esdm.go.id . Kementrian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Republik Indoensia 9. Website: www.pln.co.id . PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero.
Opini : Memperkuat Ketahanan Ekonomi Nasional
Profil Penulis Sony Ikhwanuddin Dilahirkan di Lampung, 19 September 1993. Saat ini tengah menyelesaikan studi S1 di Universitas Indonesia, jurusan Teknik Kimia. Hubungi Sony di
[email protected]
Do You
Know
?
1. Penggunaan AC menjadi salah satu penyumbang tingginya penggunaan listrik di dunia 2. Pada negara maju kawasan pedestrian sengaja dikembangkan sebagai kebijakan transportasi publiknya (non motorized transport) 3. Potensi energi geothermal Indonesia tersebar di 253 lokasi di seluruh Indonesia 4. Hanya 10% dari energi BBM yang menggerakkan mobil
Majalah Beranda MITI edisi 2
29
PEMANFAATAN LIMBAH BIOMASSA CANGKANG KAKAO SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN
P
erkembangan ekonomi Indonesia di era globalisasi saat ini menyebabkan peningkatan konsumsi energi di semua sector ekonomi. Diperkirakan kebutuhan energi nasional akan meningkat dari 674 juta SBM (setara barel minyak) tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020, meningkat sekitar 2,5 kali lipat atau naik dengan laju pertumbuhan rerata tahunan sebesar 5,2%. Sedangkan cadangan energi nasional semakin menipis apabila tidak ditemukan cadangan energi baru. Sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya krisis energi. Kenaikan akan permintaan energi juga akan menyebabkan peningkatan emisi lingkungan. Diperkirakan terjadi peningkatan emisi CO2 dari 183,1 juta ton di tahun 2002 menjadi 584,9 juta ton di tahun 2020 yang berarti terjadi kenaikan 3,2 kali lipat (KNRT, 2006). Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan blueprint pengelolaan energi nasional tahun
30
Majalah Beranda MITI edisi 2
Gambar 1. Buah kakao dan bagian cangkangnya
2005-2025. Penyusunan Kebijakan Energi Nasional dimulai dengan dituangkannya dokumen Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE). KUBE yang telah dirumuskan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) mulai tahun 1981 hingga yang terakhir tahun 1998 terdiri dari lima prinsip pokok, yaitu: diversifikasi energi, intensifikasi energi, konservasi energi, mekanisme pasar dan kebijakan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Energi Nasional tahun 2003 dengan kebijakan utama meliputi intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi. Kebijakan energi ini khususnya ditekankan pada usaha untuk menurunkan ketergantungan penggunaan energi hanya pada minyak bumi. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dirumuskan bahwa perlu adanya peningkatan pemanfaatan sumber energi baru dan sumber energi terbarukan. Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 pada tahun Opini : Limbah Biomassa Cangkang Kakao
2025 dan terwujudnya energi mix yang optimal meliputi penggunaan minyak bumi menjadi kurang dari 20%. Termasuk di dalamnya adalah energi baru dan terbarukan (termasuk biomassa) menjadi lebih dari 5%. Walaupun kebijakan ini terlihat kurang revolusioner, tetapi paling tidak memberikan harapan baik bagi ketahanan energi nasional. Salah satu energi terbarukan yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah biomassa. Dalam Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Koservasi Energi (Energi Hijau) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral yang dimaksud energi biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga. Biomassa dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik. Teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar padat, cair dan gas, antara lain teknologi pirolisis, esterifikasi, teknologi fermentasi, anaerobik digester (biogas). Dan teknologi konversi biomassa menjadi energi panas yang kemudian dapat diubah menjadi energi mekanis dan listrik, antara lain teknologi pembakaran dan gasifikasi (DESDM, 2003). Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar khususnya di pedesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), pengering hasil pertanian dan industri kayu, pembangkit listrik pada industri kayu dan gula. Pemerintah melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) juga telah menyusun peta jalan pengembangan energi sektor bahan bakar padat dan gas dari biomassa baik jangka pendek, menengah maupun panjang. Dalam jangka pendek pemerintah mendukung program karakterisasi biomassa di seluruh Indonesia berikut teknologi pembriketannya Opini : Limbah Biomassa Cangkang Kakao
dan difokuskan dua hal yaitu pengurangan dampak lingkungan dan perbaikan efisiensi (KNRT, 2006). Salah satu sumber biomassa yang potensial dan selama ini tidak banyak digunakan adalah limbah biomassa cangkang kakao. Cangkang kakao ini dihasilkan setelah pengambilan biji cokelat dari buahnya. Tabel 1. Analisis proksimasi dan kandungan energi limbah cangkang kakao Proximate Analysis (% berat, wet basis) Material
Nilai kalor (kJ/kg)
Moisture
Volatile matter
Fixed carbon
Ash
Cangkang kakao
16,1
49,9
20,5
13,5
16.998
Arang cangkang kakao
14,3
11,4
50,6
23,7
21.713
Indonesia merupakan negara terbesar ketiga produsen kakao dunia, oleh karenanya cangkang kakao ini sangat melimpah dan masih terbuang percuma. Pada tahun 2008 areal tanaman kakao di Indonesia mencapai lebih dari sejuta hektar yang meningkat dibandingkan tahuntahun sebelumnya. Produksinya cokelatnya sendiri mencapai sekitar delapan ratus ribu ton di tahun yang sama. Sebagai gambaran, di dalam satu buah kakao akan terkandung 10,93% biji cokelat dan 14,7% cangkang kakao kering, sehingga dapat diperkirakan berapa potensi cangkang yang ada. Salah satu metode pemanfaatan cangkang kakao ini adalah dengan pembriketan dan karbonisasi untuk dijadikan bahan bakar briket. Proses pembriketan sendiri bertujuan untuk meningkatkan densitas dari cangkang kakao sehingga kandungan energi untuk satu satuan volume yang sama menjadi meningkat. Karbonisasi adalah proses pembuatan arang dari biomassa untuk meningkatkan nilai kalor dengan pemanasan pada suhu tinggi atau yang lebih dikenal dengan proses pirolisis. Pada proses ini, uap air dan zat mudah menguap (volatile matter) akan terlepas dari biomassa sehingga yang tertinggal di biomassa adalah kandungan karbon terikat dan abu. Proses Majalah Beranda MITI edisi 2
31
ini akan mengubah warna biomassa menjadi hitam. Briket biomassa hasil dari proses ini kemudian bisa digunakan untuk aplikasi sederhana seperti untuk pemanasan tungku maupun aplikasi skala besar seperti untuk bahan bakar boiler untuk pembangkit listrik. Briket ini bisa juga digunakan untuk sumber panas pada proses pengeringan biji cokelat sehingga bisa langsung digunakan di lokasi perkebunan atau areal pengeringan cokelat. Dengan membakar briket ini, kemudian panas yang dihasilkan dihembuskan ke ruang pengering dengan bantuan blower diharapkan bisa menghemat penggunaan energi.
mempunyai lahan kakao, umumnya skala kecil, juga bisa memanfaatkannya untuk kebutuhan bahan bakar mereka seperti telah disebutkan di atas. Dengan demikian, akan mengurangi penggunaan energi yang tidak terbarukan khususnya fosil sehingga bisa mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan tentunya mengurangi dampak pencemaran lingkungan dari energi fosil. Referensi : 1. Syamsiro, M., Saptoadi, H., Tambunan, B.H., Pambudi, A.N., A Preliminary Study on Use of Cocoa Pod Husk as a Renewable Source of Energy in Indonesia, Energy for Sustainable Development 16, pp. 74-77, Elsevier, 2012. 2. Syamsiro, M., Saptoadi, H., Tambunan, B.H., Experimental Investigation on Combustion of Bio-Pellets from Indonesian Cocoa Pod Husk, Asian Journal of Applied Science 4 (7) : 712-719, 2011. 3. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), 2003, Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hijau). 4. Kementerian Negara Ristek (KNRT), 2006, Buku Putih Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Sumber Energi Baru dan Terbarukan untuk Mendukung Keamanan Ketersediaan Energi Tahun 2025, Jakarta.
Profil Penulis Mochamad Syamsiro ST, M.Eng Gambar 2. Briket cangkang kakao
Sebagai penutup tentunya perlu keterlibatan pemangku kepentingan untuk penerapan teknologi pemanfaatan limbah biomassa cangkang kakao ini, khususnya dari perusahaan yang mempunyai lahan kakao. Masyarakat yang
32
Majalah Beranda MITI edisi 2
Beliau merupakan dosen di Jurusan Teknik Mesin, Universitas Janabadra. Sehari-hari Mochamad Syamsiro aktif mengajar, menulis dan meneliti. Pria kelahiran, Cilacap, 7 Agustus 1978 ini juga merupakan salah satu kontributor Beranda MITI yang aktif menuangkan gagasannya melalui media Beranda MITI. Hubungi Mochamad Syamsiro di
[email protected]
Opini : Limbah Biomassa Cangkang Kakao
PERUBAHAN PARADIGMA
SUMBER DAYA ENERGI INDONESIA SEJAK DINI
I
NDONESIA. Sebuah negara kepulauan yang pernah mengalami kegemilangan pada era 1970-an dalam bidang energi hingga menjadi Ketua OPEC, namun kini telah turun tahta dan tengah tertatih dalam memenuhi kebutuhan energi nasional pada era globalisasi. Produksi minyak bumi Indonesia pernah menyentuh angka 1,6 juta barel per hari (bph), namun kini hanya mampu memproduksi sekitar 830 ribu bph. Sungguh, sebuah penurunan kapasitas produksi yang sangat signifikan dan memprihatinkan. Jika fenomena ini dibiarkan terus berlalu tanpa adanya suatu tindakan penanggulangan, lambat laun Indonesia akan mengalami krisis energi. Produksi minyak bumi Indonesia kini tak lagi mampu menutupi kebutuhan energi domestik, sehingga Indonesia mengalami defisit bahan bakar minyak mencapai 500 ribu bph. Impor minyak dalam volume besar dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir menyebabkan Indonesia menyandang status sebagai negara net importir minyak hingga keluar dari keanggotaan OPEC pada tahun 2008. Selama tahun 2012, menurut data Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi, produksi minyak bumi Indonesia hanya mencapai 870 ribu bph dan 132 juta barel diekspor ke luar negeri. Namun, Indonesia malah mengimpor minyak mentah sebanyak 500 ribu bph karena kebutuhan BBM mencapai 1,3 juta bph. Sesuai dengan pernyataan Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional (DEN), dibutuhkan suatu kebijakan energi nasional yang tepat sasaran guna memantapkan paradigma sumber daya energi Opini : Perubahan Paradigma
Indonesia haruslah digunakan sebagai modal pembangunan bangsa, bukan sebagai sumber pendapatan negara. Sejak Indonesia masuk dalam era perdangangan minyal global pada tahun 1958, dilakukan ekspor minyak secara massal yang tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur sektor migas dan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Saat ini, pengelolaan hasil sektor minyak yang berorientasi jangka pendek menyebabkan tidak adanya alokasi APBN untuk pengembangan infrastruktur dan kegiatan eksplorasi lebih lanjut. Hal ini menyebabkan kapasitas produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan sebanyak 4 persen per tahunnya. Indonesia berakhir menjadi sebagai negara net importir minyak karena produksi minyak selama ini hanya ditujukan untuk memperoleh devisa negara. Gas alam dan batubara yang merupakan sumber daya energi nomor dua di Indonesia pun kini dieksploitasi sebagai komoditas dagang. Permasalahan utama negara ini adalah cenderung melihat suatu fenomena dari sudut pandang jangka pendek dan menengah dan jarang melihat konteks permasalahan dalam jangka panjang. Kebijakan energi nasional yang komprehensif memiliki peran krusial dalam menanggulangi realita ini. Tepat sasaran disini merujuk kepada kebijakan yang berorientasi pada ketahanan energi nasional jangka panjang, peningkatan kapasitas produksi sumber daya energi, Majalah Beranda MITI edisi 2
33
optimisasi devisa negara, serta pengembangan dan aplikasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Andaikan Indonesia bersedia untuk mendedikasikan seluruh sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan energi nasional, maka tidak diperlukan suatu kata bernama impor. Perubahan paradigma pemanfaatan sumber daya energi dari sumber devisa negara menjadi modal pembangunan bangsa sangatlah mendesak untuk direalisasikan. Indonesia belumlah terlambat untuk memulai prinsip pengembangan energi nasional. Pertama, implementasi kebijakan pengelolaan energi strategis tepat sasaran dan komprehensif sejak dini melalui optimisasi eksplorasi potensi sumber daya energi−baik bahan bakar fosil hingga EBT, peningkatan sistem produksi, transportasi, dan distribusi penyediaan energi skala domestik. Kedua, konsep EBT sebagai modal utama pembangunan ekonomi serta minyak bumi, batubara, dan gas alam sebagai elemen pendukung pembangunan. Dengan mengurangi pasokan ekspor energi fosil dan meningkatkan produksi EBT secara bertahap, maka akan terwujud suatu keseimbangan dan ketahanan energi nasional. Ketiga, pengalokasian APBN berorientasi jangka panjang, khususnya untuk sektor infrastruktur dan kegiatan eksplorasi migas demi terwujudnya proses eksplorasi lanjut untuk menemukan cadangan minyak baru dan meningkatkan kapasitas produksi.
34
Majalah Beranda MITI edisi 2
Dengan mengimplementasikan beberapa alternatif solusi pengembangan energi nasional di atas, ketahanan energi nasional bukanlah suatu masalah penghambat pembangunan, justru akan menjadi elemen pendukung utama pembangunan bangsa. Referensi: 1. http://migasreview.com/ubah-paradigmaenergi-sebagai-sumber-devisa.html 2. http://migasreview.com/cadangan-minyakindonesia-mampukah-keluar-dari-predikatnet-importir.html 3. http://finance.detik.com/read/2012/04/ 11/203221/1890362/1034/tiap-hariindonesia-impor-bbm-500000-barel 4. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/ makro/12/07/09/m6w8a9-hah-produksiminyak-indonesia-hanya-870000-barelhari 5. http://www.investor.co.id/energy/bp-migasperkirakan-produksi-minyak-870000barelhari/47045 Profil Penulis Clarissa Olivia Susanto Mahasiswa Teknik Kimia ITB kelahiran Jakarta, 23 Oktober 1993 ini pernah menjadi salah satu delegasi APEC 2013. Selain kesibukannya menyelesaikan studi, Clarrisa juga aktif berorganisasi dan berwirausaha. Hubungi Clarissa di
[email protected]
Opini : Perubahan Paradigma
MIKROALGA SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKU BIODISEL
SUMBER ENERGI TERBARUKAN YANG RAMAH LINGKUNGAN
M
ikroalga merupakan mikroorganisme fotosintesis prokariotik atau eukariotik yang dapat tumbuh dengan cepat dan hidup dalam berbagai kondisi karena struktur uniseluler atau multiseluler yang sederhana. Mikroalga terdapat di semua ekosistem bumi, bukan hanya air tetapi juga terrestrial yang dapat hidup diberbagai kondisi lingkungan. Mikroalga diperkirakan lebih dari 50.000 spesies, sekitar 30.000 spesies telah dipelajari dan dianalisa. Banyaknya spesies yang sudah dikoleksi dan teridentifikasi membuktikan bahwa mikroalga dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti meningkatkan nilai tambah produk untuk keperluan farmasi, untuk konsumsi manusia (pangan) dan sebagai sumber energi. Mikroalga alga berpotensi dikembangkan sebagai sumber bahan baku pembuatan bioenergi. Mikroalga dapat dikonversi menjadi beberapa bahan bakar terbarukan seperti biodiesel, metana, etanol dan sumber hidrogen. Saat ini, yang bahan bakar terbarukan yang sudah dikembangkan dari mikroalga yaitu biodiesel. Biodiesel dari mikroalga tidak mengandung sulfur, dapat mengurangi gas emisi, CO, hidrokarbon, dan SO2. Mikroalga sebagai baku biodiesel mempunyai keuntungan jika dibandingkan bahan baku lain yang sudah dikembangkan seperti kedelai, rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit. Mikroalga mudah untuk dibudidaya, dapat tumbuh dalam kondisi ekstrim, dan mudah mendapatkan nutrisi. Mikroalga sebagai produsen primer, dengan fotosintesis dapat mengubah energi matahari menjadi energi kimia, siklus pertumbuhan cepat hanya dalam Opini : Mikroalga sebagai Alternatif
beberapa hari. Selain itu, mikroalga dapat tumbuh hampir dimana saja, membutuhkan sinar matahari dan beberapa nutrisi sederhana. Tingkat pertumbuhan mikroalga dapat dipercepat dengan penambahan nutrisi yang spesifik dan aerasi yang cukup. Mikroalga dapat diproduksi dan dapat hidup dengan cocok dilingkungan lokal dengan karakteristik pertumbuhan spesifik. Karakteristik tersebut tidak mungkin diterapkan pada sumber bahan baku biodiesel yang saat ini sudah dikembangkan seperti kedelai, rapeseed, bunga matahari dan minyak sawit. Mikroalga memiliki tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman hasil hutan, tanaman pertanian, dan tanaman air yang lain. Mikroalga dengan kandungan minyak sekitar 30-70% dapat menghasilkan minyak sebesar 58700-136900 L/ha, hal ini lebih tinggi juka dibandingkan dengan minyak sawit (5950 L/ha), minyak kelapa (2689 L/ ha), jarak (1892 L/ha) dan sumber bahan baku lainnya. Mikroalga juga membutuhkan lahan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan sumber bahan baku biodiesel lain yaitu Majalah Beranda MITI edisi 2
35
Picture of
the Month
Budaya Hemat Energi Profil Kontributor : Nama Lengkap : Hendra Yoni Sinaga Tempat & Tanggal Lahir : Sumbul, 1 Maret 1993 Alamat e-mail :
[email protected] Akun twitter : @hendrayoons Aktivitas Saat ini : Belajar dan sebagai mahasiswa aktif di Institut Pertanian Bogor (IPB)
36
Majalah Beranda MITI edisi 2
bahan baku hasil pertanian (lobak/rapeseed), sampai dengan 49 atau 132 kali, sehingga lahan produktif bisa digunakan untuk produksi pangan bukan untuk produksi bahan bakar. Dengan demikian, mikroalga berpeluang untuk dikembangkan sebagai alternatif bahan baku biodiesel bahan bakar terbarukan yang bersifat ramah lingkungan. Referensi : 1. Aslan S, Kapdan IK. 2006. Batch kinetics of nitrogen and phosphorus removal from synthetic wastewater by algae. Ecological Engineering 28(1): 64–70. 2. Chisti Y. 2007. Biodiesel from microalgae. Biotechnology Advances 25(3): 294–306. 3. Li Y, Horsman M, Wu N, Lan CQ, DuboisCalero N. 2008a. Biofuels from microalgae. Biotechnology Progress 24(4):815–20. 4. Li Y, Wang B, Wu N, Lan CQ. 2008b. Effects of nitrogen sources on cell growth and lipid production of Neochloris oleoabundans. Applied Microbiology and Biotechnology 81(4):629–36. 5. Mata TM , Martins AA, Caetano NS. 2010. Microalgae for biodiesel production and other applications: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 14:217– 232. 6. Richmond A. 2004. Handbook of microalgal culture: biotechnology and applied phycology. Blackwell Science Ltd. 7. Wang B, Li Y, Wu N, Lan CQ. 2008. CO2 bio-mitigation using microalgae. Applied Microbiology and Biotechnology 79(5):707–18. Profil Penulis Patmawati, S. Pi, M. Sc Mahasiswa pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Kesibukannya saat ini adalah menjadi asisten dosen dan menulis jurnal-jurnal ilmiah. Mikroalga sebagai bahan baku biodiesel merupakan salah satu bidang keahliannya.
Opini : Mikroalga sebagai Alternatif
TEKNOLOGI KOGENERASI
MENUJU EFISIENSI DAN PENEKANAN EMISI SEKTOR INDUSTRI
K
ebutuhan konsumsi energi (energy demand) pada sektor industri di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Dari jumlah energy demand pada tahun 2010 sebesar 39% diproyeksikan akan menglalami kenaikan menjadi 41% pada tahun 2015 dan 44% pada tahun 2030. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor paling dominan dalam penggunaan energi tidak lain adalah sektor industri, diikuti sektor transportasi sebesar 24% pada tahun 2010. Meningkatkan efisiensi energi adalah langkah pertama yang paling penting untuk mencapai tiga tujuan kebijakan energi: keamanan pasokan, perlindungan lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. Hampir sepertiga dari permintaan energi global dan emisi CO2 yang disebabkan manufaktur, terutama oleh industri besar bahan primer seperti bahan kimia dan petrokimia, besi dan baja, semen, kertas dan aluminium. Memahami bagaimana energi ini digunakan, tren nasional dan internasional serta potensi peningkatan efisiensi memiliki posisi yang Opini : Teknologi Kogenerasi
sangat penting. Berdasarkan kesepakatan G8 pada Gleneagles Summit tahun 2005 terkait perubahan iklim, pembangunan yang berlanjut serta ketahanan energi, International Energy Agency (IEA) telah melakukan penilaian kinerja kebijakan efisiensi energi dan sektor yang diidentifikasi matang untuk analisis lebih lanjut. Sektor-sektor tersebut adalah: bangunan (buildings), peralatan (appliance), transportasi (transportation) dan industri (industry).
Teknologi Kogenerasi Salah satu solusi yang dicanangkan oleh Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) dalam upaya konservasi energi pada sektor industri adalah penggunaan teknologi proses yang hemat energi. Salah satu contohnya adalah dengan menggunakan cogeneration atau teknologi combined heat and power (CHP). Kogenerasi adalah penggunaan suatu sumber energi untuk menghasilkan tenaga dua jenis energi pada saat bersamaan (biasanya energi panas dan mekanik). Energi pada kogenerasi merupakan usable energy atau energi yang dapat dipakai. Energi mekanik dapat digunakan dalam menggerakkan sebuah dinamo untuk menghasilkan listrik, menggerakkan motor, kompresor, pompa atau kipas angin untuk menunjang fungsi dari sebuah unit proses. Energi panas dapat digunakan untuk aplikasi proses langsung atau tidak langsung menghasilkan uap, air panas, udara panas untuk pengering atau air dingin untuk pendinginan proses (Kolamala, 2007). Majalah Beranda MITI edisi 2
37
Teknologi Kogenerasi memiliki prospek yang menarik karena dapat meningkatkan diversitas aplikasi energi, mengurangi emisi pada lingkungan dan berbagai keuntungan ekonomi: 1. Efisiensi Energi Efisiensi energi dari sebuah sistem dinyatakan oleh sebuah konsep sederhana yaitu net energy. Net energy sama dengan jumlah total energi yang tersedia dan dapat digunakan (energy consumable) dikurangi energi yang diperlukan untuk membuatnya tersedia bagi konsumen (energy expended). Dalam proses transformasi energi terdapat input, output dan waste. Kualitas penggunaan energi dapat diukur dari rasio energi output/energi input (Miller & Spoolman, 2012). Meningkatkan efisiensi dan net energy pada sektor industri merupakan suatu tahapan yang penting menuju ketahanan energy nasional. Di negara-negara berkembang di kawasan AsiaPasifik, konsumsi energi listrik hanya sekitar 20% dari kebutuhan energi total sektor industri, sisa 80% adalah dalam bentuk energi panas atau termal. Industri menggunakan jumlah energi yang besar dalam aplikasi manufaktur, unit proses, pengemasan serta alat dan teknologi lainnya. Unit proses umumnya menggunakan banyak mesin dan membutuhkan panas dalam jumlah besar. Jenis energi yang digunakan pada umumnya adalah energi fosil seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Karena jenis dan tipe industri sangat beragam, maka efisiensi energi sangat bergantung pada peralatan dan teknologi yang digunakan untuk proses produksi tersebut (EBTKE, 2011). Efisiensi total kogenerasi adalah ukuran gabungan kemampuan konversi bahan bakar dan dinyatakan sebagai rasio dari total output energi yang berguna (usable energy) per input bahan bakar. Menurut IEA (2007), efisiensi total kogenerasi untuk sistem berbasis turbin gas antara 1 dan 40 MW, berkisar 70-75%. Dalam aplikasi industri kecil, microtrubine biasanya mencapai antara 65 - 75% efisiensi total ogenerasi, sementara spark ignition natural gas berkisar antara 100 kW sampai
38
Majalah Beranda MITI edisi 2
5 MW cenderung memiliki efisiensi total kogenerasi antara 75 - 80%. Efisiensi mesin uap akan bervariasi tergantung pada bahan bakar masukan, cenderung mendekati efisiensi 80%, bahan bakar fuel cell dapat mencapai efisiensi total kogenerasi kisaran 65-75%.
Perbandingan Efisiensi Kogenerasi dan Sistem Konvensional
Pembangkit listrik konvensional, umumnya mampu mengkonversi energi dari bahan bakar yang dikonsumsinya menjadi listrik dengan efisiensi sekitar 30 sampai 40% saja. Dengan kata lain, ada sekitar 60 hingga 70% panas yang hilang dari proses konversi tersebut. Panas yang terbuang buang ini merupakan kerugian karena proses pembakaran yang tidak efisien, panas buang yang terbawa gas panas hasil pembakaran dapat mencapai 50-60% dari total energi yang dibakar (MCTAP, 2010). Efisiensi dengan teknologi kogenerasi jelas lebih unggul dibandingkan dengan teknologi konvensional yang memiliki efisiensi rendah karena memiliki heat waste lebih banyak. 2. Penurunan Emisi Peningkatan efisiensi energi juga berdampak pada pengurangan emisi CO2 dari teknologi Kogenerasi. Diperkirakan teknologi kogenerasi dapat mengurangi emisi CO2 sekitar 25% dibanding sistem konvensional yang menggunakan bahan bakar yang sama. Pengurangan CO2 akan jauh lebih besar apabila dipasang menggantikan sistem yang berbahan bakar batubara menjadi sistem berbahan bakar gas yang rendah emisi (MCTAP, 2010). Teknologi kogenerasi menawarkan manfaat lingkungan ganda, karena intensitas produksi panas buang yang tereduksi, kogenerasi Opini : Teknologi Kogenerasi
mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara menurun dibandingkan dengan sistem konvensional. Sistem kogenerasi mereduksi 1,8% dari konsumsi energi tahunan AS dan emisi CO2 tahunan sebesar 248 juta metrik ton (setara dengan 3,5 % dari total emisi gas rumah kaca AS pada tahun 2007). Sebuah studi terbaru oleh Oak Ridge National Laboratory (ORNL) menghitung bahwa meningkatnya pangsa Kogenerasi terhadap total kapasitas pembangkit listrik AS hingga 20% pada tahun 2030 akan menurunkan emisi gas rumah kaca AS sebanyak 600 juta metrik ton CO2 (setara dengan mengambil 109 juta mobil dari lalu lintas) (DOE,2013). 3. Efisiensi biaya
Cost Saving Penerapan Teknologi Kogenerasi Sektor BBG
Meskipun investasi awal untuk teknologi kogenerasi lebih besar dibandingkan teknologi konvensional, teknologi ini memiliki keuntungan ekonomi yang berkelanjutan. Menurut Yunarso (2011), asumsi biaya tahunan yang dapat dihemat dari penerapan teknologi kogenerasi Bahan Bakar Gas (BBG) yang beroperasi selama 12 jam adalah Rp. 29.985.881.184,00 atau hampir 30 miliar. Potensi aplikasi teknologi kogenerasi pada sektor industri di Indonesia cukup tinggi dengan berbagai jenis industri seperti industri makanan, industri kimia, industri semen, industri kertas dll. Penerapan teknologi kogenerasi merupakan salah satu langkah menuju efficient industry sehingga dapat mendorong berkembangnya industri yang tidak hanya efisien dalam pengelolaan energi dan hemat secara ekonomi, namun juga mendukung penekanan emisi CO2; Opini : Teknologi Kogenerasi
ketahanan energi dan reduksi emisi, killing two birds with one stone. Referensi : 1. DOE. 2013. Powering Progress in Combined Heat and Power (CHP). 2. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE). 2011. Efisiensi dan Konservasi Energi di Indonesia 3. IEA.2008. Assesing Measures of Energy Efficiency Performance and Their Application in Industry 4. IEA.2008. Tracking Industrial Energy Efficiency and CO2 Emissions, OECD/IEA, Paris. 5. Kolamala, Suresh.2007. Co-generation, Combined Heat and Power (CHP) 6. Microturbine Cogeneration Technology Application Project (MCTAP). 2010. Teknologi Kogenerasi. http://mctap.b2te. bppt.go.id/index.php/83-slidenews/72teknologi-kogenerasi.html 7. Pusat Data dan Informasi ESDM Kementerian ESDM. 20102. Indonesia Energy Outlook 2012. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia 8. Yunarso, Teguh. 2011. Pendanaan Proyek Efisiensi Energi di Indonesia Melalui Aplikasi Teknologi Kogenerasi 9. G.Tyler Miller, Jr. and Scott E. Spoolman.2012.Living in the Environment 17th. Belmont: Brooks/Cole, Cengage Learning Profil Penulis Muhammad Hamzah Mahasiswa kelahiran Jakarta, 3 Agustus 1994 ini kini tengah menempuh studi pendidikan tinggi di Sekolah dan Ilmu Teknologi Hayati, bidang RekayasaHayati, Institut Teknologi Bandung. Selain aktif kuliah, Muhammad Hamzah juga aktif dalam kegiatan kerohanian Islam Salman ITB dan Himpunan Mahasiswa Rekayasa Hayati. Hubungi Muhammad Hamzah di @hamzafu
Majalah Beranda MITI edisi 2
39
Ulasan Ahli
MEMPERBAHARUI PARADIGMA PENGOLAAN ENERGI
MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Dr Edi Hilmawan Kabid Konservasi Energi, Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi, BPPT Direktur Kajian dan Inovasi Iptek Industri, MITI
Diolah dari data Neraca Energi Indonesia (BPS)
D
Kondisi saat ini ewasa ini kebutuhan energi nasional semakin meningkat, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan jumlah penduduk lima tahun terakhir (2006-2011) yang masing-masing mencapai rata-rata 5,92% dan 1,384%. Pertumbuhan penggunaan energi primer selama 10 tahun terakhir tercatat rerata 6,2% per tahun, sedangkan konsumsi energi final tumbuh sebesar 5,6% per tahun1. Dengan 1. Handbook of Energy and Economic Statistics of Indone-
40
Majalah Beranda MITI edisi 2
laju seperti ini, diperkirakan pada tahun 2030 kebutuhan energi primer akan meningkat menjadi sekitar 3781 juta SBM (Setara Barel Minyak, BOE) 2, atau meningkat hampir sekitar 3 kali lipat dari konsumsi tahun 2011 yang sebesar 1516 juta SBM . Disamping kebutuhan yang terus meningkat, yang mengkhawatirkan adalah ketergantungan terhadap sumber energi tak terbarukan yang masih sangat tinggi, yaitu sekitar 95%. sia 2012, Pusdatin – KESDM 2. BPPT: Outlook Energi Indonesia 2013
Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
Kondisi ini diperkirakan masih akan bertahan sampai beberapa tahun ke depan. Sekalipun sudah mulai digalakkan, peran sumber energi terbarukan diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 13,3% di tahun 2030. Artinya walaupun penggunaan energi tak terbarukan sudah mulai digantikan, namun sumber energi tak terbarukan masih akan mendominasi penyediaan energi nasional. Hal ini akan menimbulkan dampak serius terkait dengan peningkatan emisi gas rumah kaca (CO2) di atmosfir maupun terkurasnya cadangan minyak,
gas dan batubara nasional.
Pertumbuhan konsumsi energi final dan primer nasional (2000-2010)
Dalam kondisi seperti itu, sepertinya kebijakan pengeolaan energi kita masih belum menunjukkan perubahan yang berarti. Neraca energi nasional tahun 2010, seperti ditunjukkan pada gambar 2, memperlihatkan bahwa ekspor energi kita masih sangat tinggi, hampir setara dengan jumlah energi yang dikonsumsi untuk keperluan domestik. Dari total produksi energi primer (termasuk batubara, minyak, gas, dan sumber EBT lainnya) sekitar 2,42 milyar SBM ditambah impor sekitar 275 juta SBM, yang digunakan untuk pasokan energi sebesar 1,68 milyar SBM, sedangkan yang diekspor kembali mencapai 1,07 milyar SBM. Ekspor ini didominasi oleh batubara yang mencapai sekitar 874 juta SBM. Belum termasuk ekspor Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
LNG yang mencapai 201 juta SBM3. Ditambah lagi adanya kecenderungan penurunan produksi migas sejak 8 tahun terakhir dan tidak adanya penemuan cadangan baru yang signinfikan semenjak 2001. Jika hal ini terus berlanjut, dengan laju pertumbuhan ekonomi di atas 7% untuk mengejar skenario Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), maka diperkirakan kita akan menjadi net importir energi di tahun 20284. Dari sisi akses masyarakat terhadap energi, keterlambatan berbagai pembangunan infrastruktur energi menyebabkan terhambatnya akses terhadap energi. Krisis ekonomi tahun 1998 yang lalu masih menyisakan “pekerjaan rumah” yang belum terselesaikan hingga saat ini, antara lain pembangunan pembangkit listrik dan pembaruan jaringan sistem kelistrikan yang sempat berhenti selama 5 tahun di kurun waktu 1999-2004 dan juga pembangunan kilang pengolahan minyak bumi yang sudah lebih dari 3 dekade tidak ada realisasinya. Program percepatan pembangunan pembangkit listrik 10rb MW tahap 1 dan 2, yang digagas Wapres Jusuf Kalla untuk mengatasi krisis listrik waktu itu, belum bisa dikatakan 100% menyelesaikan permasalahan kelistrikan nasional. Kesemuanya ini pada akhirnya berujung pada pembengkakan nilai subsidi energi hingga mencapai 309,9 Trilyun Rupiah di tahun 20135. Besarnya volume impor BBM, menurunnya lifting minyak dalam negeri dan kenaikan harga minyak bumi dunia antara lain yang menyebabkan bengkaknya subsidi energi yang mencapai sekitar 17% dari total APBN di tahun 2013 tersebut. Dari sisi kemandirian nasional, kesempatan meningkatkan kemampuan industri lokal sebenarnya muncul pada waktu proyek percepatan pembangkit listrik 10 rb MW baik tahap I maupun tahap II. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, kita lebih memilih impor teknologi, dan pada akhirnya sampai proyek selesai tidak terjadi proses transfer teknologi ke industri lokal sebagaimana diharapkan. Sehingga hal ini berakibat kepada ketergantungan terhadap teknologi dari luar masih tingi. 3. KESDM, 2012 4. BPPT Outlook Energi Indonesia 2012 5. APBN-P 2013
Majalah Beranda MITI edisi 2
41
Dari kacamata lingkungan, dapat dikatakan bahwa pemerintah masih memandang sebelah mata pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah pusat maupun daerah masih belum memiliki perangkat dan metodologi yang memadai untuk merencanakan pembangunan yang ramah lingkungan. Pembangunan lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Perencanaan perkotaan, gedung dan sektor industri masih belum mempertimbangkan aspek hemat energi dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan secara maksimal. Kemacetan lalu lintas dan pemborosan listrik menjadi salah satu di antara beberapa penyebab meningkatnya kebutuhan energi nasional dan juga semakin meningkatnya beban terhadap lingkungan. Pengelolaan energi nasional yang masih belum baik sebagaimana telah diuraikan di atas pada akhirnya mengerucut kepada satu kesimpulan bahwa diperlukan redefinisi ulang mengenai peran energi dalam pembangunan nasional, khususnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sambil mengurangi dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Redefinisi tentang ketahanan energi Yang dimaksud dengan ketahanan energi tidak hanya keamanan dari sisi suplai, sebagaimana yang sering diartikan oleh beberapa pihak. Suatu negara dapat mencapai ketahanan energinya jika setidaknya memenuhi 6 aspek, yaitu: Ketersediaan, Ketercukupan, Keterjangkauan, Ketermanfaatan, Kemandirian, dan Keberlanjutan6. 1. Ketersediaan. Aspek ketersediaan berbicara tentang cadangan dan pasokan energi primer. Apakah sumber cadangan maupun pasokan sudah dapat dipastikan ketersediaannya secara kualitatif maupun kuantitatif. 2. Ketercukupan. Apakah jumlah/volume penyediaan energi sudah memadai untuk memenuhi volume kebutuhan energi nasional. 3. Keterjangkauan. Apakah semua masyarakat sudah mendapatkan akses terhadap energi secara kualitas dan kuantitas dengan harga 6. Hilmawan, Edi: “Green and Sustainable Energy”, materi presentasi pada Seminar Green Development, MITI, Depok 15 Februari 2014.
42
Majalah Beranda MITI edisi 2
yang terjangkau. 4. Ketermanfaatan. Apakah energi diolah dan dimanfaatkan secara efektif dan efisien guna mendukung pembangunan nasional 5. Kemandirian. Sejauh mana kapasitas dan keterlibatan industri lokal dalam menyediakan dan membangun infrastruktur energi nasional 6. Keberlanjutan. Sejauh mana pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan dalam penyediaan energi nasional. Definisi tentang ketahanan energi nasional sebenarnya sudah tersirat di dalam UU no 30 tahun 2007 sebagai salah satu tujuan dari pengelolaan energi nasional7. Di dalam pasal 3, UU tersebut tertulis bahwa tujuan pengelolaan energi adalah: a. Tercapainya Kemandirian Pengelolaan Energi, b. Terjaminnya Ketersediaan Energi dalam negeri, baik dari sumber dalam negeri maupun di luar negeri, c. Tersedianya sumber energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, kebutuhan bahan baku dalam negeri dan peningkatan devisa negara, d. Terjaminnya pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan, e. Termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor, f. Tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Dengan kata lain, undang-undang tersebut sudah menyiapkan payung hukum yang penting dalam pengelolaan enegi nasional ke depan. Jika kita lihat ke enam butir tujuan pengelolaan energi nasional sebenarnya sudah sesuai dan memenuhi enam aspek ketahanan energi nasional sebagaimana diuraikan di atas. Langkah berikutnya adalah, bagaimana supaya ke enam aspek tersebut dapat dijabarkan lebih rinci untuk kemudian diterapkan secara konsisten dan berkelanjutan. Permasalahan muncul karena pola pikir dan paradigma dalam pengelolaan energi yang masih belum berubah sejak jaman orde baru. Pada 7. UU No 30/2007 ps 2-3.
Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
saat itu Indonesia mendapatkan pemasukan yang melimpah dari ekspor minyak dan gas bumi (windfall profit) . Karena produksi minyak melimpah (di atas 1 juta BPH) sedangkan kebutuhan domestik masih rendah. Bahkan Indonesia pada saat itu masuk dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak dunia atau OPEC. Kondisi saat ini, produksi minyak sudah di bawah 900 ribu BPH, dengan kebutuhan yang terus meningkat hingga mencapai sekitar 1,6 juta BPH. Sejak tahun 2003 Indonesia sudah berubah menjadi negara net importir minyak. Oleh karena itu keluar dari keanggotaan OPEC. Perubahan-perubahan kondisi strategis baik domestik maupun global tersebut, memaksa kita untuk melakukan pembaharuan paradigma terkait dengan pengelolaan energi. Memperbarui paradigma pengelolaan energi Paradigma baru pengolaan energi menuju pembangunan berkelanjutan menurut penulis di antaranya adalah : 1. Sumber daya energi sebagai modal pembangunan bukan sumber pendapatan negara Sepanjang orde baru, komoditas migas merupakan tulang punggung pemasukan negara dan APBN. Sehingga target ekspor ditentukan untuk mengejar pemasukan negara untuk pembiayaan pembangunan nasional. Pada saat sekarang, di mana Indonesia sudah menjadi net-importir minyak, maka paradigma ini perlu diganti. Minyak dan Gas Bumi (Migas) harus dinilai sebagai modal dan bukan sumber pendapatan. Pendapatan negara dihitung bukan dari hasil penjualan komoditas migas. Akan tetapi justru lebih kepada nilai tambah yang dihasilkan apabila komoditas migas dimanfaatkan dengan optimal untuk industri lokal. Dengan demikian, konsekuensi logisnya adalah prioritas pemakaian sumber energi untuk kepentingan nasional, sebelum diekspor ke luar negeri. Bahkan bila perlu diberlakukan pelarangan untuk ekspor komoditas energi ke luar negeri. 2. Economic (Industry) Follow Energy Salah satu permasalahan laten dalam penyediaan energi di Indonesia, adalah Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
timpangnya antara sentra-sentra ekonomi di satu sisi, dengan sentra tambang dan penyedia sumber energi di sisi yang lain.
Distribusi sumber energi dan PDB serta Populasi berdasarkan wilayah
Kalimantan misalnya, di mana volume produksi batubara mencapai sekitar 50% dari total produksi batubara Indonesia, hanya berkontribusi sekitar 9,6% dalam PDB nasional. Di sisi lain, Jawa dengan jumlah penduduk mencapai 59,1% dan PDB 57,6% sama sekali tidak memiliki tambang batu bara. Kesenjangan ini menjadi bottleneck untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Ke depan perlu diubah pendekatannya yaitu mendekatkan industri padat energi dengan sumber energi. Misalnya membangun industri peleburan logam di daerah2 padat energi, seperti Sumatera atau Kalimantan. Membangun sentra-sentra ekonomi di daerah-daerah produsen batubara atau migas. 3. Demand Side Management (Pendekatan Konservasi Energi) Pendekatan konservasi energi mendorong untuk menganilisa lebih kritis kebutuhan energi sebelum menentukan penyediaannya. Pendekatan ini pada akhirnya adalah bertujuan untuk mengurangi pemborosan dan menyediakan energi sesuai kebutuhan. Dimulai dari pengelolaan energi secara optimal (manajemen energi), peningkatan efisiensi melalui penerapan teknologi dan optimasi sistem sampai dengan pendekatan disain sistem baru yang hemat energi. Pendekatan ini memberikan sudut pandang Majalah Beranda MITI edisi 2
43
baru bagi pengembang untuk selalu berpikir apakah energi yang digunakan tidak berlebihan dan masih dapat dikurangi ?
Pendekatan Konservasi Energi
4. Pemanfaatan Sumber Energi Lokal berbasis EBT Salah satu karakter geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang tersebar dari barat ke timur. Konsekuensi dari negara kepulauan adalah sistem energi yang dibangun terisolasi dengan skala kecil. Selain rentan dari sisi pasokan energi, negara kepulauan membutuhkan biaya besar untuk pembangunan infrastruktur energi yang interkoneksi. Oleh karena itu diperlukan pemanfaatan sebesar mungkin sumber-sumber energi lokal, khususnya dari sumber energi baru dan terbarukan. 5. Membangun Kemandirian Teknologi (membangun kapasitas industri energi nasional) Kelemahan dalam penguasaan teknologi akan mengakibatkan ketergantungan tinggi terhadap teknologi luar. Dan kondisi ini yang sekarang terjadi di Indonesia. Akibatnya kita tidak mampu mengembangkan sistem energi yang memanfaatkan potensi lokal, dan menjadi pasar dari industri-industri asing untuk menjual produk-produknya di Indonesia. Ke depan, paradigma ini perlu diubah dan mendorong tumbuhnya kemampuan penguasaan teknologi oleh industri dalam negeri. Dengan demikian banyak multipliereffect yang dihasilkan, mulai dari penciptaan lapangan kerja, mencegah pengurasan devisa, perubahan kultur masyarakat menjadi kultur negara
44
Majalah Beranda MITI edisi 2
industri, sekaligus menciptakan sumbersumber pertumbuhan eknomi baru. Bahkan jika peralatan sistem energi dapat dibuat oleh lokal, dapat mengurangi dampak lingkungan yagn disebabkan oleh transportasi peralatan. 6. Low and Clean Energy Planning and Design (Green Design, Sustainable Energy Planning) Pemborosan energi utamanya disebabkan karena disain yang tidak mempertimbangkan aspek efisiensi dalam penggunaan energinya. Disain dan perencanaan pembangunan yang belum terintegrasi dengan perencanaan penyediaan energi yang efisien dan berkelanjutan, menyebabkan pemborosan luar biasa yang harus ditutupi dengan impor dan subsisdi. Dalam kasus sebuah kota misalnya, kemacetan lalu lintas menjadi sumber pemborosan energi yang luar biasa. Kemacetan lalu lintas dapat dicegah melalui perencanaan kota dan sistem transportasi yang baik. Paradigma untuk memasukkan aspek hemat energi ke dalam tahapan disain dan perencanaan menjadi penting untuk dikembangkan. Sehingga ke depan, pembangunan tumbuh ke arah yang lebih hemat energi.
Pendekatan Passive Design untuk penghematan energi di gedung
Penutup Ketahanan energi merupakan landasan utama dalam pembangunan yang berkelanjutan. Penyediaan energi secara optimal, efektif dan efisien serta jaminan pasokan yang sustainable hanya bisa dicapai melalui perubahan Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
paradigma mendasar dalam pengelolaan energi nasional. Tanpa perubahan paradigma dalam pengelolaan energi, kerangka pembangunan berkelanjutan hanya akan merupakan simbol dan retorika. Perubahan paradigma pengelolaan energi ke arah yang lebih berkelanjutan, akan mengubah pola perencanaan pembangunan nasional dan menentukan arah pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Profil penulis opini ahli
Referensi: • Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2011, DJK-ESDM (2012) • UU No 30 Thn 2007 tentang Energi • Outlook Energi Indonesia 2013, BPPT • Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2012, Pusdatin – KESDM • Hilmawan, E.: “Energy Audit Prerequisite For Energy Efficiency Project - An Integrated Approach On Energy Conservation –”, Presentation material on APEC Conference on clean, renewable & sustainable use of energy (2013) • Hilmawan, E.: “Green and Sustainable Energy”, materi presentasi pada Seminar Green Development, MITI, Depok 15 Februari 2014. • BPPT Study on Energy Management and Energy Efficiency Technology (20092011)
Dr. Edi Hilmawan sebagai Kepala Bidang Konservasi Energi, Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi.
Dr. Edi Hilmawan yang biasa disapa Dr. Edi, menempuh studi bidang teknik kimia semenjak S1 hingga meraih gelar doktor terbaik bidang teknik kimia. Beliau menyelesaikan keseluruhan studi pendidikan tingginya di Universitas Kanazawa, Jepang. Kecintaannya pada bidang energi terbarukan membuat fokus penelitiannya selalu mengarah ke penelitian bidang energi baru terbarukan. Dr. Edi memiliki keahlian dibidang proses dan teknik kimia, termodinamik, sistem dan analisis optimaslisasi dan analisis energi. Saat ini beliau berkarir di Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Puspitek, Serpong Ulasan Ahli :Memperbaharui Paradigma
Ditengah kesibukannya mengelola BPPT, beliau juga aktif tergabung pada Deputi Kajian dan Kebijakan, Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) sebagai Direktur Kajian dan Kebijakan Inovasi IPTEK Inovasi dan Potensi Daerah. Salah kontribusi terbaik beliau adalah menjadi salah satu pendiri Jejaring Indonesia untuk Pembangunan Hijau (JIPH) yang pada 15 februari 2014 lalu telah resmi diluncurkan. Selain itu, beliau juga aktif menulis dan mengisi berbagai seminar ilmiah diberbagai kampus di Indonesia. Selain aktif dalam kegiatan keilmiahan, ayah dari lima orang putra dan satu orang putri ini senang menghabiskan waktunya untuk bersantai bersama keluarga jalan-jalan menikmati berbagai kuliner khas daerah. Selain itu, beliau juga selalu meluangkan waktunya untuk menonton sepak bola bersama keluarganya. Majalah Beranda MITI edisi 2
45
Catatan Beranda
gettyimages
MENAKAR PENGUASAAN ASING DALAM
PENGELOLAAN MIGAS INDONESIA
S
ektor Minyak dan Gas (Migas) adalah sumber pendapatan terbesar untuk negara setelah pajak. Saat ini, pengelolaan sektor migas, khususnya di sisi hulu, sebagian besar diserahkan pada kontraktor asing. Eksplorasi dan eksploitasi migas memang membutuhkan sumberdaya yang tidak sedikit, baik infrastruktur, modal, teknologi dan sumber daya manusia yang professional. Ketidakmampuan negara dalam menyediakan sumberdaya tersebutlah yang akhirnya membuka kesempatan pada kontraktor baik swasta nasional maupun asing untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas Indonesia. Di sisi lain, sejumlah kalangan menilai bahwa menyerahkan pengelolaan migas pada asing
46
Majalah Beranda MITI edisi 2
sama saja menggadaikan kedaulatan Indonesia. Sebab dengan jangka waktu kontrak yang lama, sumber daya alam yang terkandung akan habis untuk memenuhi kebutuhan asing, sebelum negara dapat menikmati sumber daya energi tersebut sebagai modal untuk pembangunan nasional. Demikian juga keuntungan Negara dalam bentuk bagi hasil, adalah tidak seberapa dibandingkan dengan porsi yang diambil asing apalagi jika ditambahkan cost recovery yang harus dikeluarkan untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor. Berdasarkan latar belakang tersebut, diskusi ini ingin membahas mengenai pengelolaan migas Indonesia oleh asing dan menjawab sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengannya. Sebagai hasil dari diskusi ini ingin memberikan Catatan Beranda :Menakar Penguasaan Asing
sumbangsih saran terkait dengan perbaikan mekanisme pengelolaan migas di Indonesia yang lebih baik ke depannya. Ada dua pembicara yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini, yaitu Dr. Asep Handaya selaku dosen Teknik Kimia Universitas Indonesia dan Dr. Rohadi Awaludin dari BPPT. Diskusi yang berlangsung pada tanggal 30 November 2013 ini bertempat di kantor MITI Alam Sutera, Tangerang. Industri Migas, High Risk High Gain Menurut penuturan Dr. Asep Handaya, industri migas di Indonesia sudah berlangsung lama sejak penjajahan Belanda. Oleh sebab itu, perusahaan negara yang berperan sebagai pengelola pun banyak yang diwariskan dari Belanda. Hanya sedikit yang benar-benar dikelola oleh anak negeri. Medco adalah salah satu contohnya.
mengebor satu sumur di Selat Sulawesi. Ketika investasi waktu dan biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan besar, kemungkinan untuk gagal pun besar. Tidak jarang kontraktor yang pulang tanpa membawa hasil dalam tahap eksplorasi ini. Inilah yang disebut dengan resiko tinggi sebagai karakteristik bisnis migas. Atas dasar rasionalisasi tersebut, menurut Dr. Asep Handaya pemerintah lebih memilih untuk mengundang investor baik asing maupun lokal untuk mengelola migas. Pemerintah tidak ingin mengeluarkan investasi pada bisnis yang rentan. APBN diarahkan untuk pembiayaan pada sektor yang tidak beresiko tinggi. Walaupun sebenarnya dari sisi teknologi, negara sudah mampu untuk melakukan eksplorasi dan eksplotasi migas. Pengeboran misalnya, apakah vertical atau horizontal drilling sudah mampu diterapkan. Peralatan bisa sewa, kecuali untuk vertical drilling Indonesia sudah punya. Tidak mengherankan jika akhirnya kontraktor asing banyak yang berinvestasi di Indonesia karena secara teknologi dan modal mampu. Diagram di bawah ini adalah daftar kontraktor yang menguasai sektor migas Indonesia.
Sebagai industri yang menjanjikan keuntungan besar, migas juga mengandung resiko tinggi. Imvestasi baik waktu maupun biaya yang diperlukan tidaklah sedikit. Mulai dari tahap eksplorasi hingga eksploitasi bisa memakan waktu hingga 10 tahun. Di tahap eksplorasi, para kontraktor akan melakukan pengeboran Pengelolaan migas untuk melihat ada Indonesia ini diatur tidaknya minyak atau dalam UU No 2 Tahun gas di dalamnya. Tahap 2001 tentang Minyak eksplorasi sendiri dan Gas Bumi. membutuhkan waktu Pertamina dan BKKA 3-5 tahun dengan merupakan regulator biaya hingga 150 juta sekaligus operator PricewaterhouseCooper (2012) dollar untuk satu sumur. dalam industri migas Waktu dan biaya tersebut dibutuhkan untuk tanah air sebelum diterbitkan UU No 2 Tahun melakukan pengeboran di beberapa titik. 2001 tentang Migas tersebut. Namun peran Seperti pengalaman beberapa tahun lalu, yaitu Pertamina sekarang digantikan oleh SKK Migas Catatan Beranda :Menakar Penguasaan Asing
Majalah Beranda MITI edisi 2
47
setelah adanya judicial review ttg UU Migas tersebut. Praktis, kedudukan Pertamina sama dengan para kontraktor asing maupun lokal yang akan atau sedang berinvestasi di sektor migas Indonesia. Dalam pengelolaan migas, pemerintah Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract (PSC) yang juga diatur dalam UU No 2 Tahun 2001 tentang Migas. Semangat yang Hilang dalam PSC Kontrak bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan istilah PSC ini merupakan produk asli Indonesia. PSC diibaratkan seperti sewa lahan antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Jadi, bagi hasilnya adalah berupa produk, bukan uang. Hal ini seperti yang dituturkan oleh Dr. Rohadi Awaludin. Konsekuensinya, minyak bumi dan gas bukan hanya dimiliki oleh negara tapi juga kontraktor. Dalam PSC ini, kontraktor menanggung seluruh resiko selama pengelolaan. Selain itu, seluruh fasilitas yang dibangun oleh kontraktor akan menjadi milik negara. Negara pun memiliki instrument pengendali pengelolaan berupa Plan of Development (PoD), Work Program and Budget (WP&B) dan Authorization for Expenditure (AFE). Untuk mekanisme bagi hasil dilakukan setelah dikurangi semua biaya pengeluaran (cost recovery). Sejarah PSC dimulai ketika ada kesadaran bahwa Indonesia merupakan negara yang punya lahan minyak dan gas tapi tidak tahu bagaimana cara mengolahnya. Maka disepakati untuk mengundang pihak lain, namun didampingi. Semangat awal dari desain PSC ini adalah kemandirian dan penguasaan teknologi. Kontrak bagi hasil atau PSC dibatasi waktu selama kurang lebih 30 tahun. Dalam pelaksanaan pengelolaan migas mulai dari tahap eksplorasi hingga eksploitasi, harus benar-benar didampingi oleh pemerintah. Di awal pembentukannya dahulu, Pertamina adalah wakil pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan peran tersebut.
48
Majalah Beranda MITI edisi 2
Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan oleh Pertamina cukup ketat, karena nanti semua uang akan diganti oleh negara, maka pengeluarannya harus benar. Misalnya harus membuat PoD terlebih dahulu, rencana kerja dan anggaran tahunan, proses tender semua harus dikerjakan bersama-sama antara pihak asing dengan pertamina. Tujuannya agar pertamina bisa belajar bagaimana mengelola migas. Karena seharusnya setelah 30 tahun bekerja sama, pertamina sudah bisa melanjutkan. Jadi kontrak tidak perlu diperpanjang. Sayangnya, hingga saat ini semangat kemandirian dan penguasaan teknologi tersebut belum terwujud. Peran Pertamina sebagai regulator dan operator yang mengawasi jalannya kontrak asing telah digantikan oleh BP Migas yang tidak punya perangkat bisnis dan tidak punya kapasitas dalam mengakuisisi teknologinya, termasuk dalam melakukan evaluasi. BP MIgas kemudian menggandeng atau melakukan outsourcing pihak ketiga dalam hal ini Universitas. Karena dikerjakan oleh beberapa lembaga outsource, maka evaluasi yang dilakukan tida komprehensif, hanya sepotong-sepotong. Saat itu Pertamina dianggap sebagai sarang korupsi karena perannya yang ganda, sebagai regulator dan operator. Maka peran Pertamina pun dipangkas. Selain itu, dari sisi Pertamina menganggap bahwa kebijakan untuk menyerahkan semua hasil pendapatan minyak dan gas pada negara telah membuat Pertamina merugi. Pasalnya, jika membutuhkan suatu pembiayaan Pertamina harus mengajukan anggaran terlebih dahulu. Namun saat ini, Pertamina sudah mulai diberikan kepercayaan kembali. Karena sebenarnya secara kemampuan baik teknologi maupun sumberdaya manusia, Pertamina mampu mengelola migas tanah air. Keterlibatan Pertamina kembali dalam pengelolaan migas ini memang perlu didorong. Sebab, akan lebih mudah mengatur arus hasil minyak dan gas jika diambil alih oleh Pertamina. Jika dikelola oleh asing, maka pemerintah Catatan Beranda :Menakar Penguasaan Asing
tidak punya wewenang untuk menentukan pemanfaatan hasil minyak dan gas yang menjadi wilayah asing. Namun keterlibatan Pertamina ini perlu dibarengi dengan pengawasan yang ketat. Tidak dapat dipungkiri jika Indonesia belum sepenuhnya mampu mengelola minyak dan gas bumi. Oleh sebab itu keterlibatan kontraktor baik asing maupun lokal masih diperlukan. Namun dalam pelaksanaan PSC harus dilakukan pembenahan agar semangat kemandirian dan penguasaan teknologi dapat tercapai. Beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah adalah Pengendalian Cost Recovery, Aset fisik dan aset non fisik (intangible assets) menjadi milik negara, Proses pembelajaran teknologi pengelolaan migas. Jika semangat kemandirian dan penguasaan asset ini mampu diwujudkan, Indonesia akan sanggup mengelola minyak dan gas nya secara mandiri.
Referensi: Awaludin R. 2013. Kontrak Bagi Hasil (Product Sharing Contract): Proses pembelajaran teknologi, semangat yang hilang dalam kontrak PSC. Materi Presentasi dalam Diskusi Kajian Bulanan MITI
Rubrik Pembaca Redaksi Majalah Beranda menerima kritik, saran dan masukan dari pembaca. Silakan email ke
[email protected]
Catatan Beranda :Menakar Penguasaan Asing
Majalah Beranda MITI edisi 2
49
50
Majalah Beranda MITI edisi 2
Galeri Inovasi Teknologi (
(GIT)
Sebuah portal untuk Intermediasi Online yang diluncurkan oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI)
For More Information :
http://git-miti.com