EDISI 2 / Tahun 2016
Daftar Isi UTAMA: l Menjaga Ketersediaan Infrastruktur Di Tengah Keterbatasan Anggaran......... 4 Oleh: Farid Arif Wibowo l Strategi Investasi Jangka Panjang Pemerintah Dalam Pembiayaan Infrastruktur............................................................................................................10 Oleh: Novijan Janis l Pemanfaatan Dana Repatriasi Tax Amnesty Oleh BUMN di Sektor Infrastruktur............................................................................................................15 Oleh: Oscar Aries Dwina Aji Sayoga
Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto Penyunting/Editor: Syahrir Ika, Farid Arif Wibowo, Ivan Yulianto, Novijan Janis, Riza Azmi, Hendro Ratnanto Joni, Eko Nur Surachman, Hadi Setiawan, Muhamad Nasir Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis PNM Sekretariat: Hani Widyastuti, Hapsari Widowati, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron Penerbit: Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Percetakan: PT Prima Najah Mandiri Alamat: Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786 Email:
[email protected]
Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. IRF versi digital dapat diakses pada website DJPPR: www.djppr.kemenkeu.go.id
MITIGASI RISIKO: l Rumahku Tabunganku (Analisis Risiko Fiskal Tabungan Perumahan)............. 20 Oleh: Ivan Yulianto dan Sunandar l Mengelola Risiko Project Financing Sukuk.......................................................... 26 Oleh: Eri Hariyanto wawancara: l Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF).............................................32 Askolani, SE., MA (Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan) Oleh: Riko Amir, Tony Prianto, Hani Widyastuti, Roki Gangsar Winoto edukasi fiskal: l Peran PT PII Sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) dalam Mendukung Infrastruktur Strategis Nasional.......................................... 38 Oleh: Sinthya Roesly l Pengelolaan Risiko Dukungan Pemerintah dalam Penyediaan Infrastruktur........................................................................................................... 40 Oleh: Rahmat Mulyono l Memanfaatkan Repatriasi Hasil Pengampunan Pajak untuk Pembangunan Infrastruktur PPP.......................................................................... 46 Oleh: Eko Nur Surachman opini: l Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pasar Keuangan: Potensi Obligasi dan Efek Beragun Aset.............................................................. 49 Oleh: Dr. Ferry Irawan dan Adelia Surya Pratiwi, MSc l Setelah Tax Amnesty, Apa Yang Harus Dilakukan?.............................................57 Oleh: Hadi Setiawan dan Sofia Arie Damayanty l Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Penerbitan Surat Berharga Negara Kementerian Keuangan dalam Pembiayaan Infrastruktur.......................................................................................61 Oleh: Akhmad Mahrus l Holding BUMN di Tengah Kebuntuan APBN dan Kebutuhan Infrastruktur... 66 Oleh: Mohamad Nasir Sekilas Info Risiko.................................................................................................. 70 Info Utang Pemerintah............................................................................................72 exposure......................................................................................................................74
2
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Editorial “Infrastruktur”, Syarat Untuk Menjadi Negara Maju
A
nggaran negara (APBN) yang terbatas menjadi salah satu bottleneck percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Gap pembiayaan infrastruktur masih sangat tinggi, sekitar 1,3% PDB dengan asumsi kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur pada kurun waktu 2015-2019 sebesar Rp4.976 triliun (Bappenas, 2016). Gap financing ini menyebabkan realisasi proyek-proyek infrastruktur strategis masih di bawah target yang diharapkan. Para teknokrat percaya bahwa masalah ini merupakan kendala utama bagi bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju. Pemerintah menyediakan berbagai fasilitas agar swasta tertarik memberi pendanaan, salah satunya skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU/PPP). Namun, selama sepuluh tahun terakhir, hanya 9 proyek yang mencapai penandatanganan perjanjian KPBU, 3 proyek di antaranya telah mencapai financial close (Sri Mulyani Indrawati, 2016). Persoalannya mulai dari kesiapan pembangunan proyek infrastruktur, yaitu bagaimana membangun proyek yang betul-betul siap, baik secara teknis maupun finansial. Bila proyek sudah siap dilelang, langkah berikutnya bagaimana meyakinkan pihak swasta agar mereka bersedia membantu pembiayaan, apakah rate of return sesuai ekspektasi mereka atau tidak. Beberapa fasilitas yang telah disediakan pemerintah dalam mendukung skema KPBU yaitu project development facility (PDF), viability gap fund (VGF), dan infrastructure guarantee yang dikelola BUMN (PT PII). Pemerintah juga menawarkan availability payment untuk menambah daya tarik pihak swasta. Pemerintah berharap skema KPBU/PPP menjadi win-win bagi pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Dari sisi penerimaan, pemerintah serius mengoptimalkan penerimaan pajak, karena potensinya masih cukup besar, diindikasi oleh tax ratio (rasio antara penerimaan pajak dan GDP) yang masih di level 11%-12%. Secara teori, tax ratio yang rendah menggambarkan banyak Wajib Pajak (WP) yang tidak membayar pajak dan basis pajak masih sempit. Menagih pajak ke WP dengan cara-cara biasa (konvensional), nampaknya cukup sulit karena berbagai alasan atau kendala. Itu sebabnya pada tahun 2016, pemerintah memilih cara yang tidak konvensional, yaitu memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada para WP, terutama WP “kelas kakap” yang memarkir dananya di luar negeri. Upaya ini berhasil manarik dana repatriasi sekitar Rp130 triliun pada periode pertama dan dana yang masuk ke kas negara (tebusan tax amnesty) hampir mencapai Rp100 triliun. Jumlah ini masih jauh dari cukup untuk menutup financing gap
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
pembangunan infrastruktur atau sekitar Rp1.000 triliun per tahun. Dari sisi pembiayaan, strategi pembiayaan melalui utang untuk membiayai infrastruktur, misalnya dengan menerbitkan SBN (Surat Berharga Negara) juga merupakan sebuah pilihan yang baik. Namun, untuk kondisi tertentu, strategi ini bisa jadi “bukan merupakan pilihan yang terbaik”. Ada risiko yang berpotensi menghadang keberlangsungan fiskal (fiscal sustainability) sehingga menuntut pengelolaan utang (debt management) yang baik. Indonesia pernah mengalami masalah ini pada krisis moneter tahun 1998 yang berakibat jatuhnya rezim Soeharto. Ini pelajaran berharga bagi pemerintah sekarang bahwa pengelolaan utang harus benar-benar prudent. Bila potensi pajak masih sulit digarap dan pemerintah juga dituntut harus berhati-hati menambah utang, maka pemerintah harus berani melakukan penghematan belanja. Dimulai dari merancang anggaran secara lebih rasional dan belanja dengan skala prioritas. Selain itu, pemerintah juga melakukan reformasi fiskal. Kebijakan perpajakan misalnya, apakah masih stay pada rezim PPh atau segera moving ke rezim PPN yang mengandalkan economic value added. Ada banyak negara yang pro-PPh, tetapi tidak sedikit negara yang pro-PPN. Karena itu, perlu dilakukan kajian ilmiah, untuk memberikan keyakinan kepada pemerintah, pilihan mana yang terbaik bagi Indonesia. Kita akui bahwa kita sudah melakukan banyak perubahan, setidaknya dalam tugas, fungsi, dan kewenangan masingmasing. Tetapi harus disadari bahwa yang diperlukan pe merintah saat ini, bukan hanya sekadar berubah, tetapi juga maju. Speed harus lebih besar lagi agar infrastruktur kita lebih kompetitif. Indonesia harus mencapai peringkat (daya saing dan IPM) secara lebih fantastis. Target Indonesia bukan hanya mengalahkan Thailand atau Malaysia, tetapi juga mengalahkan banyak negara di dunia. Impian ini hanya bisa kita raih kalau kondisi infrastruktur kita sudah di level yang sama atau lebih tinggi dari kebanyakan negara lain. Pemerintah harus bisa menurunkan visi dan misi bangsa Indonesia ke dalam kebijakan-kebijakan yang jelas dan terukur serta dikawal implementasinya agar bisa berjalan efektif. Kebijakan fiskal misalnya, bukan saja persoalan desainnya, tetapi juga implementasinya yang harus “super baik”. Bila semua dikerjakan secara serius, maka setidaknya 20 tahun dari sekarang, menjadi negara maju adalah kenyataan, bukan lagi impian karena semua infrastruktur modern sudah terbangun, semoga....! Demikian editorial, selamat membaca. n Syahrir Ika.
3
Menjaga Ketersediaan Infrastruktur Di Tengah Keterbatasan Anggaran Oleh: Farid Arif Wibowo
Kepala Subdirektorat Hubungan Investor, DJPPR. Email:
[email protected]
U T A M A
K
risis ekonomi yang meng hantam Indonesia di akhir tahun 1990-an, meskipun telah menyengsarakan per ekonomian dan kehidupan masyara kat pada umumnya, tetapi terbukti memberikan juga banyak pelajaran bagi bangsa Indonesia. Salah satu pe lajaran berharga yang didapat adalah bahwa usaha untuk menanggulangi krisis dengan cara menghentikan atau menunda penyediaan infrastruktur justru akan memberikan pukulan yang lebih telak kepada perekono mian, terutama terkait dampak dalam jangka waktu yang lebih panjang. Sebagaimana tercatat, krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an ter
4
sebut telah membawa Indonesia da lam keterperosokan ekonomi yang cukup dalam. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai di tahun 1996 sebesar 8% turun drastis ke level -13.6 % pada tahun 1998. Demikian juga inflasi sebesar 6.5% di tahun 1996 melonjak 10 kali lipat menjadi 65% di tahun 1998. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang masih berada pada kisaran Rp 4.850/dolar pada tahun 1997 melemah secara drastis ke angka Rp 17.000/dolar pada awal Januari 1998. Dampak dari krisis tersebut antara lain bangkrutnya ratusan perusahaan swasta, pemu tusan hubungan kerja secara besarbesaran termasuk terpukulnya sektor konstruksi, sektor perbankan dan
sektor lainnya. Sebagai salah satu usaha yang dilakukan Pemerintah untuk menanggulangi dampak krisis tersebut adalah menunda pelaksanaan beberapa proyek infrastruktur baik yang dilaksanakan me lalui APBN maupun yang dikerjasamakan dengan swasta. Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintah pada waktu itu dengan menerbitkan Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1997 tentang Pe nangguhan/Peng kajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, dan Swasta yang Berkaitan dengan Pemerintah/BUMN. Keputusan Presiden tersebut menyatakan bahwa untuk menanggulangi dampak krisis, pemerintah menangguhkan 6 proyek
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
pemerintah dan 75 proyek BUMN dan swasta (yang dikerjasamakan dengan Pemerintah atau BUMN) termasuk puluhan proyek jalan tol, listrik, kere ta api dan pelabuhan. Keputusan pemerintah untuk menangguhkan pelaksanaan proyekproyek infrastruktur tersebut sebagai upaya untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi mungkin bisa dipahami pada waktu itu. Tetapi sebagai akibat langsung dari penundaan penyediaan infrastruktur tersebut, investasi infra struktur Indonesia turun drastis hingga hanya mencapai 2% dari PDB pada tahun 2001 setelah sebelumnya sempat menyentuh angka 9% dari PDB pada pertengahan tahun 1990an. Yang ke mudian menjadi permasalahan adalah penundaan tersebut terus berlanjut hingga beberapa tahun kemudian ketika sebetulnya per ekonomian Indonesia sudah mulai membaik. Ting kat investasi infrastruktur yang sangat rendah tersebut terus berlanjut hingga sekitar tahun 2014 ketika Indonesia mulai menunjukkan recovery parsial hingga mencapai 4% dari PDB. Terlepas dari kondisi keuangan negara waktu itu yang tidak memung kinkan adanya ruang yang cukup luas untuk meningkatkan penyediaan infrastruktur, masa kekurangan dan keterlambatan penyediaan infra struktur yang sedemikian panjang telah membuat Indonesia jauh terting gal dari negara-negara tetangganya dalam hal ketersediaan infrastruktur. Di tahun 2016 ini, kembali APBN dihadapkan pada masa ketika perekonomian global dan domestik tidak terlalu menggembirakan. Ke tidakpastian ekonomi negara maju, moderasi ekonomi Tiongkok, pele mahan harga komoditas dan faktorfaktor geopolitik lainnya telah memberikan dampak melemahnya pendapatan Pemerintah, baik dari sektor pajak maupun non pajak. Shortfall pendapatan negara dipro INFO RISIKO FISKAL
yeksikan sebesar 203 Triliun sehingga mengakibatkan pemerintah perlu melakukan penghematan be lanja Kementerian dan Lembaga (K/L) se besar Rp 65 triliun dan belanja transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 73 triliun. Tentu saja te kanan tersebut jauh dari kondisi krisis dan tidak seburuk sebagaimana dialami oleh Indonesia di tahun 1998 dan 2008. Akan tetapi kondisi ter sebut sedikit banyak membatasi ruang gerak belanja pemerintah ter masuk untuk mempercepat penye diaan infrastruktur. Dalam hal ini, pernyataan Pemerintah untuk me masti kan bahwa tidak akan ada pemotongan untuk belanja pro duktif termasuk infrastruktur sangat melegakan dan patut diapresiasi. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah belajar dari beberapa krisis sebelumnya untuk tetap menjaga per tumbuhan penyediaan infrastruktur. Pemerintah tidak mau mengulang kesalahan menunda pembangunan infrastruktur sehingga justru merugi kan perekonomian da lam jangka panjang. Akan tetapi walaupun Pe merintah telah memastikan bahwa belanja infrastruktur tidak dikurangi,
Pernyataan Pemerintah untuk memastikan bahwa tidak akan ada pemotongan untuk belanja produktif termasuk infrastruktur sangat melegakan dan patut diapresiasi.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
perlu disadari bahwa dengan keter batasan anggaran ini dibutuhkan strategi-strategi baru untuk menjaga tingkat penyediaan infrastruktur atau bahkan jika perlu mempercepatnya.
“Bad Times Make Good Economic Policies” Masa krisis sering diidentikkan dengan tekanan di mana Pemerintah dituntut untuk berpikir keras menyelamatkan perekonomian sehingga memunculkan kebijakan-kebijakan yang bagus, di mana hal itu justru tidak muncul pada saat perekonomian dalam keadaan membaik. Dalam konteks diskursus ekonomi pembangunan Indonesia, hal ini yang sering disebut sebagai “Hukum Sadli” bahwa kondisi yang buruk akan menciptakan kebijakan ekonomi yang baik (“bad times make good economic policies”). Terkait dengan pembangunan infastruktur, “teori” ini pernah terbuktikan, salah satunya dengan dikeluarkannya re gulasi pertama yang mengatur skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public-Private Partnerships) atau yang sekarang lebih dikenal dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) pada tahun 1998. Peraturan tersebut adalah Ke pu tusan Presiden nomor 7 tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pem bangunan dan atau Pengelolaan Infrastruktur. Keppres ini merupakan peraturan antar sektor yang mele takkan pondasi prinsip-prinsip pelak sa naan proyek KPBU di Indonesia untuk pertama kalinya. Pemerintah mengeluarkan peraturan ini ketika masih berada dalam suasana krisis ekonomi di tengah tekanan publik untuk menyelamatkan perekonomian di satu sisi, tetapi juga di sisi lain harus menghadapi tekanan eksternal karena ketergantungan pemerintah kepada lembaga internasional pada waktu itu. Motivasi Pemerintah untuk menyusun 5
U T A M A
U T A M A
Keppres 7 tahun 1998 ini mungkin bisa diinterpretasikan berbeda oleh be berapa pihak, tetapi penerbitan per aturan pertama mengenai KPBU/PPP tersebut perlu diappresiasi sebagai se buah langkah awal menuju pengelolaan PPP di Indonesia secara lebih baik. Saat ini, ketika Pemerintah berada dalam kondisi perekonomian yang kurang menggembirakan, “teori” ter sebut diuji lagi untuk membuktikan apakah Pemerintah bisa melewati periode ini dengan baik dengan me munculkan strategi-strategi baru yang justru mendorong percepatan penye diaan infrastruktur. Tulisan ini akan membahas beberapa langkah yang diambil oleh Pemerintah untuk men jaga ketersediaan layanan infrastruk tur di tengah kondisi ekonomi seka rang, dengan mengambil fokus pada kebijakan-kebijakan yang berada dalam domain Kementerian Keuangan.
Menata fokus kebijakan di tengah beberapa opsi sumber pembiayaan Strategi pertama yang dilakukan Pemerintah adalah menata fokus pembiayaan infrastruktur terutama terkait dengan sumber-sumber yang digunakan untuk membangun la yanan infrastruktur tersebut. Seba gai m ana diketahui bahwa pem bia ya an infrastruktur publik bisa dilakukan melalui beberapa skema. Skema pertama adalah dengan me lalui APBN atau biasa disebut sebagai skema konvensional. Dengan skema ini, infrastuktur diadakan sepenuhnya melalui dana APBN yang dimiliki oleh Pemerintah, dengan risiko pro yek sepenuhnya ditanggung oleh Peme rintah. Pengadaan seperti ini dilakukan melalui mekanisme APBN dengan mengikuti prosedur pengadaan ba rang dan jasa oleh Pemerintah yang sudah diatur. Skema kedua adalah penyediaan infrastruktur dengan memakai pen 6
Pemerintah tidak lagi harus mengeluarkan dana dari anggaran pemerintah di muka untuk penyediaan layanan tersebut, tetapi Pemerintah bisa memberikan dukungan finansial termasuk yang berbentuk penjaminan. danaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam hal ini BUMN sebagai agen pembangunan bisa diberikan mandat atau tugas khusus yang se suai dengan tupoksinya untuk meng adakan proyek infrastruktur tertentu. Dengan skema BUMN ini Pemerintah tidak perlu mengeluarkan dana dalam bentuk belanja karena pembiayaan akan memakai dana perusahaan BUMN yang bersangkutan. Dukungan dana dari Pemerintah bisa disalurkan ke BUMN dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN), atau pemberian fasilitas tambahan misalnya dalam bentuk pinjaman atau penjaminan. Skema ketiga adalah penyediaan infrastruktur dengan cara melibatkan keikutsertaan pihak swasta (badan usaha). Dalam skema ini, Pemerintah lebih mengandalkan pembagian alokasi risiko proyek yang tepat dengan pihak swasta untuk memastikan value for money yang paling optimal, yang dituangkan dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dengan badan usaha. Secara umum, Pemerintah ti dak lagi harus mengeluarkan dana dari anggaran pemerintah di muka
untuk penyediaan layanan tersebut, tetapi Pemerintah bisa memberikan dukungan finansial termasuk yang berbentuk penjaminan. Implikasi fiskal dan finansial dari skema kerjasama ini terhadap APBN bisa berbeda-beda tergantung dari modalitas proyek dan skema transaksi yang digunakan dalam kerjasama. Melihat identifikasi kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia dalam beberapa tahun mendatang yang sangat besar, sulit untuk meng andalkan pembiayaan penyediaan layanan infrastruktur dari anggaran pemerintah (APBN dan APBD) sepe nuh nya. Sebagaimana yang telah diidentifikasi oleh Bappenas, ke butuhan pembiayaan penyediaan layanan infrastruktur dari tahun 2015 hingga tahun 2019 adalah sebesar Rp4796,2 triliun. Dari jumlah tersebut diperkirakan hanya sekitar 41 % atau Rp 1978.4 triliun yang bisa dicukupi oleh Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Sisanya, sebesar 59 % atau Rp 2.817,8 triliun harus dicarikan dari sumber selain pemerintah. Sumber lain tersebut diidentifikasi sekitar 22 % dari total kebutuhan pembiayaan akan didapatkan dari pembiayaan BUMN sementara 37% sisanya diharapkan dapat didanai oleh sektor swasta. Strategi penataan fokus ke bi j akan pembiayaan penyediaan infra struktur dimaksudkan untuk menentukan karakteristik proyek yang tepat untuk didanai dengan pilihan-pilihan sumber pembiayaan yang berbeda-beda sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Penajaman fokus tersebut dapat dilakukan de ngan mempertimbangkan beberapa hal pokok. Yang pertama, pemilihan proyek terkait dengan sumbersumber pendanaannya seharusnya berdasarkan pada kriteria value for money yang tepat, yaitu bagaimana dengan dikeluarkannya satu rupiah dari anggaran pemerintah bisa mem
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
berikan dampak peningkatan kese jahteraan masyarakat (atau dalam hal ini ketersediaan layanan infrastruktur) yang paling besar. Pertimbangan yang kedua terkait dengan feasibilitas atau kelayakan proyek-proyek infrastruktur baik dilihat dari perspektif ekonomi maupun finansial. Dalam hal ini, se cara umum biasanya dibangun kri teria bahwa pembiayaan melalui APBN dilakukan untuk proyek-proyek infrastruktur dasar yang layak secara ekonomis tetapi tidak layak secara finansial. Sementara itu untuk proyek yang layak secara baik secara ekonomis maupun secara finansial, skema yang lebih tepat adalah dilakukan melalui pendanaan dari swasta. Kriteria ter sebut adalah kriteria yang masih berlaku secara umum karena dalam hal ini pemerintah bisa membuat proyek yang tidak layak secara fi nansial menjadi layak dengan me lak uk an restrukturisasi transaksi atau memberikan fasilitas-fasilitas finansial tertentu. Hal yang ketiga yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dengan alasan-alasan yang lebih bersifat praktis, di mana dalam konteks penyediaan infrastruktur di Indonesia, beberapa sektor atau tipe infrastruktur tertentu telah lama ditangani oleh BUMN-BUMN yang mapan dan berpengalaman. Da lam hal ini, perhitungan mengenai economics of scale dari penyediaan layanan dan pertimbangan legal dan praktikal bisa dikedepankan untuk memberikan penugasan penyediaan layanan infrastruktur kepada BUMNBUMN yang memang telah lama berkecimpung dalam penyediaan layanan tersebut. Hal keempat yang perlu dipertimbangkan adalah terkait dengan isu penyediaan kesempatan berusaha kepada sektor swasta, di mana pemerintah dalam memberikan penugasan ke BUMN seharusnya tidak mematikan kesempatan berusaha atau berbisnis bagi sektor swasta. INFO RISIKO FISKAL
Lebih lanjut lagi, penajaman fokus terkait pembagian sumbersumber pembiayaan infrastruktur ini bisa dilakukan dengan memberikan kerangka kebijakan yang lebih kuat dan komprehensif tentang bagaimana strategi pembiayaan tersebut diterap kan untuk memberikan arahan yang lebih jelas dan lebih transparan dalam menentukan suatu proyek untuk dapat dibiayai dengan skema tertentu. Selama ini penentuan skema tersebut lebih bersifat ad-hoc dan kasuistik se hingga kurang memberikan kepas tian baik dari sisi penyiapan proyek maupun dari sisi persepsi pasar pem biayaan infrastruktur.
Mengoptimalkan instrumen dukungan finansial pemerintah Strategi yang kedua adalah menata dukungan dan fasilitas yang diberikan kepada pihak non-pemerintah untuk turut serta berpartisipasi dalam pe nyediaan infrastruktur. Selama ini Pemerintah telah memiliki berbagai instrumen baik dalam bentuk kelem bagaan maupun skema pembiayaan yang dibentuk untuk mendorong keterlibatan swasta maupun BUMN dalam pembiayaan infrastruktur. Instrumen pendorong yang diberikan dalam bentuk kelembagaan seperti PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII) yang memberikan layanan penjaminan pemerintah kepada pro yek KPBU, atau PT. Sarana Multi Infra struktur Indonesia (PT. SMI) dan PT. Indonesia Infrastruktur Finance (PT. IIF) yang memberikan layanan pem biayaan infrastruktur dengan berbagai bentuk dan skema, serta yang terakhir adalah Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) yang akan membantu melaksanakan pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur. PPP Unit yang dibentuk di Kementerian Keuangan yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
dan Pembiayaan Infrastruktur (PDPPI) diharapkan berperan penting untuk mengkoordinir pelaksanaan fasilitasi dukungan pemerintah yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sendiri atau yang dimiliki oleh lembagalembaga tersebut di atas. Selain fa silitas yang dibentuk secara kelem ba g aan, Kementerian Keuangan juga menyediakan dukungan dalam bentuk fasilitas keuangan yang bisa mendorong terlaksananya penyediaan infrastruktur dengan skema KPBU seperti penjaminan pemerintah, Viability Gap Fund (VGF), Project Development Facility (PDF) dan skema Availability Payment (AP). Kegunaan fasilitas-fasilitas ini terbukti telah mendorong proyek-proyek KPBU yang telah lama dipersiapkan akhirnya bisa mencapai tahap penandantanganan kontrak dan juga financial close. Untuk proyek-proyek infrastruktur yang melibatkan BUMN, Kementerian Keuangan juga menyediakan fasilitasfasilitas keuangan termasuk pem be rian pinjaman dan penjaminan pemerintah. Pinjaman diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN tertentu terutama yang mendapatkan pe nugasan Pemerintah seperti PT. PLN, sementara penjaminan pemerintah di b erikan untuk BUMN dalam mengakses pembiayaan dari pasar keuangan. Penjaminan Pemerintah diberikan dalam bentuk penjaminan kredit, seperti yang diberikan kepada PT. PLN dalam program Fast Track tahap I (FTP 1) dan kepada PT. Hutama Karya dalam program pembangunan Tol Trans Sumatra. Penjaminan pe merintah kepada BUMN dapat juga diberikan dalam bentuk lain misal nya dalam bentuk Surat Jaminan Ke layakan Usaha (SJKU) seperti yang disediakan untuk program Fast Track tahap 2 (FTP 2) yang dilaksanakan PT. PLN. Terakhir, penjaminan pemerintah juga diberikan kepada BUMN untuk menjamin pinjaman langsung BUMN 7
U T A M A
U T A M A
ke lembaga-lembaga keuangan internasional untuk pelaksanaan pro gram infrastruktur. Bukti bahwa beberapa proyek KPBU dan proyek infrastruktur BUMN telah bisa dijalankan setelah men dapatkan fasilitas-fasilitas tersebut di atas menunjukkan bahwa problem dan permasalahan pelaksanaan pe nye diaan infrastruktur baik yang melalui KPBU maupun BUMN sedikit banyak telah bisa diidentifikasi dan diselesaikan. Namun pada pelak sanaannya, masih terdapat beberapa isu yang menunjukkan bahwa arrangement fasilitasi keuangan di atas masih memerlukan perbaikan dan penyempurnaan. Untuk itulah hingga saat ini pihak Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko secara terus menerus menyempurnakan skema du kungan dan jaminan agar dapat me menuhi kebutuhan yang diperlukan oleh proyek-proyek KPBU dan BUMN. Di saat APBN berada dalam te kanan seperti sekarang ini, Pemerintah perlu berhitung lebih cermat dan teliti dalam menggunakan fasilitas-fasilitas tersebut untuk mendukung proyek infrastruktur agar setiap rupiah yang dikeluarkan sebagai bentuk du kungan, memberikan leverage yang lebih tinggi terhadap dana yang dikeluarkan oleh BUMN maupun Ba dan Usaha Swasta. Hal tersebut bisa dilakukan Pemerintah dengan ber bagai cara. Yang pertama, diperlukan ada nya orkestrasi, kebersamaan, dan koordinasi yang kuat di antara fasilitas-fasilitas tersebut dalam sebuah arrangement pembiayaan proyek. Fakta bahwa fasilitas penjaminan pe merintah dilakukan oleh PT. PII dan Kementerian Keuangan sementara pembiayaan dan penyiapan proyek berada di PT. SMI menunjukkan bah wa koordinasi menjadi tantangan ter sendiri dalam mengoptimalkan 8
dukungan-dukungan ini. Keberadaan PPP unit diharapkan dapat menjadi dirijen dan playmaker yang gesit dan kredibel sehingga dapat meng optimalkan penggunaan instrumeninstrumen fasilitasi tersebut secara tepat dan efektif. Kerangka koordinasi tersebut perlu diletakkan dalam sebuah kerangka kebijakan yang kuat. Kedua, perlunya membangun skema yang lebih inovatif dan variatif dengan memanfaatkan instrumeninstrumen fiskal yang lain yang di miliki oleh Kementerian Keuangan. Meskipun saat ini Pemerintah sudah memiliki banyak fasilitas yang bisa diberikan kepada BUMN dan skema KPBU sebagaimana dijelaskan di atas, hal tersebut seharusnya tidak menutup adanya terobosan-terobosan baru untuk mengkombinasikan fasilitas tersebut dengan instrumen lain misalnya dengan skema penerusan pinjaman kepada pemerintah daerah sebagai PJPK atau skema project financing melalui penerbitan sukuk. Saat ini hal-hal tersebut sepertinya masih belum bisa dilaksanakan ka rena aturan dan kebijakan yang membatasi, tetapi dengan adanya terobosan-terobosan yang inovatif, inisiatif-inisiatif tersebut tidak tertutup kemungkinannya.
Diperlukan adanya orkestrasi, kebersamaan, dan koordinasi yang kuat di antara fasilitas-fasilitas tersebut dalam sebuah arrangement pembiayaan proyek.
Mempercepat penyediaan infrastruktur tanpa mengganggu kesinambungan fiskal Strategi yang ketiga yang bisa dila kukan Pemerintah dalam hal pe nyediaan infrastruktur di saat APBN mengalami tekanan seperti sekarang adalah terkait dengan pengelolaan risiko fiskal terutama sehubungan dengan penjaminan yang diberikan oleh Pemerintah untuk mendukung keterlibatan swasta atau badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Da lam masa keterbatasan anggaran seperti saat ini, pemberian jaminan pemerintah dapat dilakukan sebagai instru men pembiayaan alternatif yang bersifat “indirect” karena de ngan tanpa mengeluarkan budget, Pemerintah atau publik dapat me nikmati layanan infrastruktur yang dibiayai dari dana swasta. Akan tetapi, pemberian dan penerbitan penjamin an pemerintah tersebut harus tetap memperhatikan dampaknya di masa depan karena di dalam produk jamin an yang dikeluarkan oleh pemerintah terkandung implikasi kewajiban kontin jensi di mana terbuka kemungkinan pemerintah harus membayar klaim kepada swasta pada waktu yang akan datang. Hal inilah mengapa penjamin an pemerintah dianggap sebagai salah satu sumber risiko fikal yang perlu di kelola oleh Pemerintah untuk menjaga kesinambungan fiskal jangka panjang. Memperhatikan risiko fiskal dalam program pembangunan infrastruktur sangat diperlukan karena, pertama, dalam masa keterbatasan anggaran, pemerintah di mana pun cenderung “terpancing” untuk “jor-joran” da lam penerbitan jaminan untuk me narik dana swasta demi menutupi kebutuhan pembiayaan yang tidak dapat dipenuhi dari anggaran peme rintah. Penerbitan jaminan sering kali dilihat sebagai solusi jangka pendek untuk mendatangkan dan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
menarik partisipasi swasta agar bisa menutupi kekurangan pendanaan. Kedua, kesinambungan fiskal me rupakan isu jangka panjang yang biasa n ya dikesampingkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek. Padahal, meskipun dam pak dari pemberian jaminan baru muncul di masa yang akan da tang tetapi dampaknya bisa meng ancam keberlangsungan fiskal seca ra signifikan. Karena alasan dan kebutuhan politik untuk menyediakan layanan infrastruktur secara cepat, isuisu terkait dengan kesinambungan fiskal seringkali dikesampingkan ka rena dampaknya tidak akan terlihat dalam jangka pendek. Ketiga, dampak yang muncul dari pemberian jaminan bersifat kontinjen dan perwujudannya bisa tidak terlihat pada anggaran atau neraca saat ini, secara akuntansi. Hal ini yang seringkali membuat PPP/ KPBU dianggap sebagai “backdoor financing” yang digunakan untuk “me nyembunyikan utang” pemerintah guna menghindari batasan-batasan defisit yang sudah ditentukan. Dalam kasus Indonesia, usaha yang dilakukan oleh Pemerintah dalam mengelola jaminan pemerintah dan kewajiban kontinjensi yang muncul dari penyediaan jaminan pemerintah untuk penyediaan proyek infrastruktur telah dimulai paling tidak sejak tahun 2005 ketika Kementerian Keuangan mem bentuk Komite Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur (KPRPI) melalui KMK nomor 518 tahun 2005. Komite ini kemudian lebih di perkuat kelembagaannya dengan dibentuknya Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF) di bawah Badan Kebijakan Fiskal di tahun 2006. Pusat ini yang kemudian berperan aktif, dengan di bantu oleh unit-unit terkait, dalam membangun kerangka kebijakan pengelolaan risiko fiskal terutama yang muncul dari penyediaan du INFO RISIKO FISKAL
kungan pemerintah kepada proyek infrastruktur, baik dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan hingga pelaporannya. Dari sisi perencanaan, Komite dan Pusat tersebut telah merumuskan beberapa peraturan ter k ait penyediaan penjaminan mulai dari PMK nomor 38 tahun 2006 terkait Pengelolaan Risiko atas Pe nyediaan Infrastruktur. Dengan semakin meningkatnya kompleksitas pemberian jaminan seiring dengan semakin aktifnya Pemerintah men dorong swasta dan BUMN terlibat dalam penyediaan infrastruktur, pada tahun 2014 PPRF dipindahkan menjadi bagian dari Direktorat Jenderal Pe ngelolaan Pembiayaan dan Risiko dan dipecah menjadi dua direktorat yaitu Direktorat Pengelolaan Risiko Ke uangan Negara (PRKN) dan Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur. Dari sisi pelaporan, pemerintah juga berusaha untuk terus meningkat kan akuntabilitas dan transparansi pemberian penjaminan pemerintah dengan menerbitkan Pernyataan Risiko Fiskal (Statement of Fiskal Risks) yang menyajikan risiko-risiko fiskal termasuk risiko yang terkait dengan penyediaan penjaminan pemerintah terkait proyek infrastruktur. Bentuk pelaporan tersebut telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pernyataan risiko fiskal tersebut saat ini menjadi bagian yang tidak ter pisahkan dari nota keuangan yang disampaikan oleh Pemerintah setiap tahun. Eksposur pemerintah terhadap kewajiban kontinjen yang berasal dari penjaminan infrastruktur juga dilapor kan dan diupdate secara periodik setiap bulan dan ditampilkan kepada publik melalui website DJPPR.
Penutup Belajar dari pengalaman menghadapi tekanan ekonomi pada krisis-krisis sebelumnya, Pemerintah Indonesia
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
berusaha untuk tetap menjaga ke tersediaan infrastruktur di tengahtengah keterbatasan anggaran yang kali ini disebabkan oleh adanya te kanan di sisi penerimaan APBN. Pe nyediaan infrastruktur tidak lagi “dikorbankan” karena Pemerintah menya dari bahwa penundaan pe nyediaan infrastruktur akan membuat per ekonomian semakin tertinggal dari negara-negara lain. Untuk men jaga ketersediaan penyediaan infrastruktur tersebut, Pemerintah menerapkan beberapa strategi di an taranya dengan mempertajam fokus pem biayaan berdasarkan sumbersumber pembiayaan yang berbeda dari APBN, BUMN dan swasta. Selain itu Pemerintah juga mengoptimalkan penggunaan instrumen-instrumen fasilitas pendukung keterlibatan BUMN dan swasta dalam skema KPBU untuk memastikan bahwa setiap rupiah dukungan yang diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, bisa me-leverage dana yang akan dikeluarkan oleh BUMN dan swasta dalam menyediakan infra struktur yang lebih cepat, handal dan efisien. Pemerintah juga belajar bah wa semangat untuk secara pro gres if mempercepat penyediaan infrastruktur tidak berarti mengor bankan kesinambungan fiskal dalam jangka panjang. Untuk itu Pe me rintah telah menyiapkan kerangka pengelolaan risiko fiskal dan risiko keuang an negara yang lebih kuat terutama terkait dengan kewajiban kontinjensi yang timbul dari pem berian penjaminan pemerintah. Di tengah keterbatasan anggaran, se mangat Pemerintah untuk menjaga penyediaan layanan infrastruktur dih ar apk an justru memunculkan inovasi-inovasi kebijakan yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabil di masa yang akan datang. n 9
U T A M A
Strategi Investasi Jangka Panjang Pemerintah Dalam Pembiayaan Infrastruktur Oleh: Novijan Janis
Kepala Seksi Analisis Struktur Aset dan Kewajiban Pemerintah-Dit. PRKN-DJPPR. Email:
[email protected]
Pendahuluan
U T A M A
Dengan mengacu kepada teori ekonomi yang dikeluarkan oleh John Maynard Keynes dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest, and Money (1935), yang menyatakan bahwa Pemerintah harus campur tangan dalam perekonomian nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka Pemerintah di semua negara menyediakan anggar an khusus untuk membangun infra struktur publik yang dapat diakses oleh masyarakat umum. Namun demikian dengan berjalannya waktu dan munculnya faktor-faktor lain seperti masalah kualitas bangunan infrastruktur publik, keterbatasan dana / anggaran negara maka skema pem biayaan untuk pembangunan dan penyediaan infrastruktur publik meng a lami perkembangan dan modifikasi. Hal ini juga terjadi di Republik Indonesia. Pada awalnya pembiayaan untuk penyediaan infrastruktur publik seperti jalan, terminal bis, bandara, pelabuhan, gedung sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya dilakukan oleh Pemerintah secara penuh. Dengan adanya perkembangan baik dari dalam dan luar negeri maka skema pembiayaan untuk pe n yediaan infrastruktur publik mengalami modifikasi. Diantaranya 10
penyediaan infrastruktur melalui BUMN secara bertahap seperti pem bangunan (ekspansi) Bandara Soekarno Hatta pada bulan Mei 1980 yang dilakukan secara konsorsium oleh Sainraptet Brice, SAE, Colas dan PT Waskita Karya. Pada saat Republik Indonesia mengalami krisis keuangan pada tahun 1998 dimana Pemerintah, BUMN/BUMD dan Swasta mengalami kesulitan keuangan maka mulai diwacanakan skema pembiayaan infrastruktur publik yang didominasi oleh swasta khususnya investor dari luar negeri. Skema dimaksud selanjutnya dikenal dengan skema KPS. Dalam per
Pada awalnya pembiayaan untuk penyediaan infrastruktur publik seperti jalan, terminal bis, bandara, pelabuhan, gedung sekolah, rumah sakit dan lain sebagainya dilakukan oleh Pemerintah secara penuh.
kembangan terakhir, mengingat praktek dari pelaksanaan skema KPS di negara-negara maju dimana skema KPS umumnya menyumbang penyediaan infrastruktur sebesar 10% sd 20% dari kebutuhan infrastruktur nasional maka Pemerintah mencoba menerapkan skema Penugasan pada BUMN untuk membangun infra struktur publik secara utuh. Secara sekilas akan nampak bahwa Pemerintah mengurangi perannya dalam pembiayaan pem bangunan infrastruktur publik. Namun bila dielaborasi lebih lanjut, maka akan tampak bahwa Pemerintah tetap memiliki peran yang dominan dari masing-masing jenis pembiayaan infrastruktur dimaksud.
Investasi Jangka Panjang Pemerintah Berdasarkan Pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945, Pemerintah (Pusat) mempunyai kewajiban berupa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan kewajiban-kewajiban dimaksud maka Pemerintah melakukan aktivitas ekonomi. Dengan demikian, sesuai
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
dengan ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku pada Sistem Akuntansi Pemerintahan maka Pemerintah Pusat termasuk dalam kategori sebagai entitas akuntansi dan entitas pelaporan yang mem punyai kewajiban diantaranya berupa menyusun laporan keuangan dari pelaksanaan aktivitas ekonomi dimaksud. Dalam hal ini, laporan keuangan yang disusun disebut dengan Laporan Keuangan Pemerin tah Pusat (LKPP). dimana salah satu unsurnya adalah laporan posisi ke uangan (neraca). Salah satu akun dalam neraca dari LKPP tersebut adalah investasi jangka panjang. Definisi lebih lanjut dari investasi jangka panjang Pemerintah disebutkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) nomor 06. Secara umum, PSAP dimaksud menjelaskan bahwa investasi jangka panjang Pemerintah merupakan suatu investasi dalam bentuk aset non lancar untuk memperoleh pendapatan dalam jangka panjang. Dalam peng ungkapan di Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (NK APBN), investasi jangka
panjang dikelompokkan menurut sifat penanaman investasinya, yaitu permanen dan nonpermanen. Yang dimaksud dengan Investasi Permanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara berkelanjutan yaitu untuk dimiliki terus menerus tanpa ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali. Sedangkan Investasi Nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan yaitu ada niat untuk memperjualbelikan atau menarik kembali.Salah satu bentuk dari investasi permanen adalah Penyertaan Modal Negara (PMN) pada perusahaan negara/ daerah (BUMN/BUMD) dengan tujuan untuk mendapatkan dividen dan/ atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang. Dalam Laporan Keuangan Pe merintah Pusat khususnya pada Neraca Pemerintah Pusat di sisi Aset, Investasi Jangka Panjang Pemerintah merupakan akun yang paling dominan nilainya dibandingkan de ngan akun lainnya di sisi Aset.Selanjut nya PMN pada BUMN merupakan
Tabel 1. Neraca Pemerintah Pusat Per 31/12/2015, 31/12/2014, dan 31/12/2013 (Dalam triliun rupiah) URAIAN
2015
Aset Aset Lancar Investasi Jangka Panjang Investasi Non Permanen
2014
2013
326.76
263.41
252.88
2,223.80
1,309.92
1,183.17
29.72
30.91
26.17
Investasi Permanen BLU
0.01
0.20
0.18
Investasi Permanen Lainnya
393.13
338.62
312.73
Investasi Permanen PMN
1,800.94
940.19
844.09
1,852.05
1,714.59
1,709.86
Aset Tetap Aset Lainnya
760.72
623.01
421.68
Jumlah Aset
5,163.32
3,910.92
3,567.59
Kewajiban
3,493.53
2,898.38
2,652.10
Ekuitas
1,669.79
1,012.54
915.49
Jumlah Kewajiban dan Ekuitas
5,163.32
3,910.92
3,567.59
Sumber : LKPP Tahun 2015, 2014 dan 2013
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
akun yang paling besar nilainya pada akun Investasi Jangka Panjang. Hal ini menunjukkan bahwa Peme rintah mempunyai kepentingan tertentu atas BUMN khususnya dalam hal memenuhi kewajiban utama Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Peran BUMN dalam Perekonomian Nasional Dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) disebutkan bahwa BUMN memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan per ekonomian nasional guna mewujud kan kesejahteraan masyarakat. Peran dimaksud diwujudkan dalam bentuk kontribusi BUMN berupa dividen dan pajak yang disetorkan kepada keuangan negara atau bisa juga dalam bentuk belanja modal atau investasi (Capital Expenditure/Capex) dan belanja operasional (Operational Expenditure/Opex).Namun peran BUMN secara luas telah disebutkan dalam Pasal 2 dari UU nomor 19/2003 bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah : 1. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan pe nerimaan negara pada khususnya; 2. mengejar keuntungan; 3. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan ba rang dan/atau jasa yang ber mutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; 4. menjadi perintis kegiatankegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi; 5. turut aktif memberikan bim bingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. 11
U T A M A
U T A M A
Dengan demikian, secara legal formal Pemerintah dapat meng optimalkan peran BUMN pada pengembangan ekonomi nasional termasuk dalam pembiayaan infra struktur publik dengan memperhati kan aspek korporasi dari BUMN. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 66 dari UU tentang BUMN dimaksud. Pada dasarnya pasal dimaksud mengatur penugasan Pemerintah kepada BUMN yang dapat menimbulkan kerugian secara finansial bagi BUMN. Oleh karena itu diperlukan kajian finansial atas penugasan Pemerintah dimana bila hasil kajian finansial menyatakan bahwa proyek penugasan tidak fisibel, maka pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN yang menerima penugasan dan termasuk juga margin yang diharapkan.
seperti swasta, BUMN – BUMD, dan Pemerintah Daerah. Setelah tujuh puluh satu (71) tahun berjalannya Pemerintahan Republik Indonesia dan mengalami berbagai macam kondisi perekonomian, skema pembiayaan infrastruktur publik mengalami perkembangan. Secara umum skema dimaksud dapat dibedakan menjadi empat (4) kelom pok yaitu (1) pembiayaan secara utuh oleh Pemerintah, (2) melibatkan BUMN/BUMD dalam penyediaan infra struktur namun pembiayaan tetap ditanggung oleh Pemerintah secara utuh, (3) melibatkan swasta dalam hal pembangunan dan pencarian sumber dana (dikenal dengan sebutan Kerjasama Pemerintah dan Swasta), dan (4) memberikan penugasan
Strategi Pembiayaan Infrastruktur Nasional
(Dalam jutaan rupiah)
Pada dasarnya penyediaan infra struktur publik yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas merupa kan kewajiban Pemerintah. Sehingga apapun skema / mekanisme pem biayaan yang digunakan dalam penyediaan infrastruktur publik, Pemerintah seharusnya tetap meme gang peranan yang paling dominan. Sejak krisis keuangan melanda ASEAN dan termasuk juga Republik Indonesia pada tahun 1997-1998, penyediaan infrastruktur publik mengalami perlambatan sehingga memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu masalah utama terhambatnya penye diaan infrastruktur publik dimaksud adalah karena keterbatasan pen danaan Pemerintah (APBN). Hal ter sebut mendorong Pemerintah untuk menyusun beberapa strategi pem biayaan infrastruktur yang dapat melibatkan secara lebih intensif dari para pemangku kepentingan 12
kepada BUMN/BUMD untuk mem bangun dan mencari sumber pem biayaan. Elaborasi lebih lanjut atas strategi pembiayaan infrastruktur publik di maksud adalah sebagai berikut : 1. Melakukan pembangunan infra struktur dengan menggunakan APBN Sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dasar bagi masyarakat. Hal ini dilakukan di seluruh negara termasuk Republik Indonesia. Dalam hal ini, perencanaan, pencarian sumber pendanaan, konstruksi dan pemantauan hasil konstruksi dilakukan secara dominan oleh Pemerintah. Sumber pembiayaan untuk penyediaan infrastruktur ber
Tabel 2. BUMN Infrastruktur Dan Kepemilikan Negara Kepemilikan Negara No
Badan Usaha Milik Negara
Dalam %
1 PT Yodya Karya (Persero)
Dalam Nominal
100
64.614,1
51
2.628.451,9
3 PT Amarta Karya (Persero)
100
204.064,9
4 PT Brantas Abipraya (Persero)
2 PT Adhi Karya (Persero) Tbk
100
664.245,4
5 PT Waskita Karya (Persero) Tbk
66
6.307.765,8
6 PT Wijaya Karya (Persero) Tbk
65
2.846.044,6
100
5.254.028,3
51
2.234.757,2
100
2.224.187,2
7 PT Hutama Karya (Persero) 8 PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk 9 Perum Perumnas 10 PT Istaka Karya (Persero)
100
135.467,7
11 PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
100
793.210.143,0
12 PT Pelabuhan Indonesia I (Persero)
100
3.638.576,6
13 PT Pelabuhan Indonesia II (Persero)
100
10.818.770,7
14 PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)
100
6.558.880,4
15 PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero)
100
5.263.576,5
16 PT Angkasa Pura I (Persero)
100
11.027.271,3
17 PT Angkasa Pura II (Persero)
100
16.235.767,9
18 PT Kereta Api Indonesia (Persero)
100
8.990.209,8
19 PT Pertamina (Persero)
100
265.997.300,6
Sumber: Kementerian BUMN
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
asal dari penerimaan negara dari dalam negeri, bantuan dari luar negeri dan pinjaman luar negeri. Pelaksanaan penyediaan infrastruktur publik de ngan pembiayaan penuh dari APBN dilakukan oleh Kementerian / Lembaga terkait. Mengingat dana yang di guna kan adalah dana masyarakat maka pelaksanaan pem bangunan infrastruktur membutuhkan izin dari Lembaga Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat). Secara umum, prosesnya mencakup penyusunan perencanaan proyek antara Unit Perencanaan (dhi. Bappenas) dan Kementerian/ Lembaga terkait, kemudian bila Unit Pengelola Keuangan Negara (dhi. Kementerian Keuangan) menyatakan bahwa keuangan negara mencukupi maka rencana proyek akan diajukan ke DPR untuk mendapatkan per setujuan, terakhir dengan berbekal izin dimaksud dilakukan realisasi pem bangunan infrastruktur. Secara berkala proyek dimaksud akan dilakukan audit oleh lembaga yang berwenang ( dhi. Inspektorat Jenderal dari Kementerian terkait, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan / BPKP dan Badan Pemeriksa Keuangan / BPK). 2. Melalui BUMN/BUMD Selain dari cara pertama, Pemerintah juga membentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk penyediaan infrastruktur dan penyediaan jasa bagi masyarakat.
Ada beberapa BUMN/BUMD yang dibentuk pada masa Pemerintahan Republik Indonesia dan ada juga yang merupakan hasil nasionalisasi dari perusahaan yang dibentuk pada masa penjajahan Belanda. Diantaranya ter dapat BUMN yang bergerak di sektor infrastruktur termasuk konstruksi. Berdasarkan catatan di Ke menterian BUMN, sampai dengan akhir Desember 2015, BUMN yang masuk dalam kategori BUMN infra struktur berjumlah sembilan belas (19). BUMN dimaksud dan data atas kepemilikan Pemerintah adalah se bagaimana tersebut dalam tabel 2. BUMN infrastruktur dimaksud men cakup beberapa sektor yaitu sektor konsultasi teknik konstruksi, sektor konstruksi baik darat maupun air, kelistrikan, transportasi dan energi. Dalam hal ini, BUMN hanya menerima permintaan untuk mem bangun infrastruktur dari Pemerintah dengan biaya yang akan ditang gung secara penuh oleh APBN. Skema penyediaan infrastruktur dengan cara ini pun dapat berupa pe ngelolaan sebuah infrastruktur seperti pengelolaan jasa transportasi, pen didikan, kesehatan dan lain sebagainya. Selain itu terdapat BUMN yang didedikasikan untuk memberikan dukungan atas penyediaan infra struktur dari sisi pembiayaan. BUMN dimaksud adalah sebagaimana tersebut dalam tabel 3.
Tabel 3. BUMN Pendukung Pembiayaan Untuk Infrastruktur (Dalam jutaan rupiah) Kepemilikan Negara No
Badan Usaha Milik Negara
Dalam %
Dalam Nominal
1 PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)
100
25.432.675
2 PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)
100
7.287.113
3 PT. Sarana Multigriya Finansial (Persero)
100
5.212.329
Sumber: Kementerian Keuangan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
3. Mengoptimalkan keterlibatan swasta dalam skema KPBU Kebijakan Pemerintah untuk me maksimalkan sektor masyarakat (swasta) dalam pembiayaan pem bangunan sudah dinyatakan dalam Nota Keuangan dan APBN Tahun 1990/1991 khususnya pada bagian yang membahas tentang Rancangan APBN 1990/1991. Dengan perkembangan waktu, kebijakan dimaksud semakin disempurnakan sehingga pada Tahun 2005, Pemerintah memperkenalkan Kebijakan tentang penggunaan skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dalam pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2011, Deputi Bi dang Sarana dan Prasarana dari Bappenas menyatakan dalam salah satu tulisannya yang berjudul Pem biayaan Infrastruktur Melalui Dana Pemerintah Dan Swasta, bahwa de ngan adanya gap antara kebutuhan infrastruktur dan ketersediaan APBN maka pengembangan proyek KPS menjadi alternatif solusi. Dalam hal ini Pemerintah telah membentuk be b erapa unit yang diharapkan dapat mendorong pengembangan proyek-proyek KPS diantaranya adalah Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrsatruktur (KKPPI) yang dibentuk dengan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2005, Public Private Partnership Central Unit (P3CU) di bawah Bappenas, Direktorat Penge lolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur di bawah Kementerian Keuangan dan terakhir adalah Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dibawah Kementerian Bidang Perekonomian. 4. Penugasan BUMN untuk me nyediakan infrastruktur Pada umumnya, skema penyediaan infrastruktur publik dengan cara menugaskan BUMN dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan 13
U T A M A
U T A M A
atau dalam rangka memastikan jalannya proses penyediaan suatu infra struktur atau dalam rangka tujuan lainnya. Hal yang ingin dicapai biasanya akan disebutkan dalam regulasi yang mengatur tentang penugasan dimaksud. Beberapa contoh penugasan tersebut adalah penugasan pada : • PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Per cepatan Pembangunan Pem bangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara (Pera turan Presiden Nomor 71 Tahun 2006), • PT Waskita Karya untuk Per cepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit Di Provinsi Sumatera Selatan (Per aturan Presiden nomor 116 Tahun 2015). Selain itu, penugasan dimaksud dapat ditujukan pada sebuah kon sorsium BUMN seperti penugasan untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana Dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta Dan Bandung sebagai mana tersebut dalam Peraturan
Dari daftar tersebut, hanya dua proyek yang akan mendapatkan Dukungan dan / atau Jaminan Pemerintah. Presiden nomor 107 Tahun 2015. Pada Perpres terkait disebutkan konsorsium yang ditugaskan terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk; PT Kereta Api Indonesia (Persero); PT Jasa Marga (Persero) Tbk; dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Pada saat ini Pemerintah telah menyusun daftar proyek infrastruktur dan diterbitkan dalam Peraturan Presiden nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Dalam hal ini, KPPIP telah mengklasifikasikan skema pembiayaan dari PSN dimaksud
dimana proyek infrastruktur yang akan dibiayai melalui skema pe nugasan kepada BUMN adalah sebagai berikut: Dari daftar tersebut, hanya dua proyek yang akan mendapatkan Dukungan dan /atau Jaminan Pe merintah, yaitu proyek Jalan Tol Trans Sumatera dan Program Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (PIK).
Kesimpulan Pemerintah Pusat telah meletakkan investasi yang sangat besar pada BUMN sehingga sisi aset pada neraca Pemerintah Pusat didominasi oleh Investasi pada BUMN. Dengan de mikian adalah sangat wajar apabila Pemerintah memaksimalkan peran BUMN dalam menggerakkan perekonomian nasional termasuk diantaranya dalam hal pembiayaan untuk penyediaan infrastruktur. Salah satu bentuk dari memaksimalkan peran BUMN adalah dengan mem berikan penugasan dalam penyedia an infrastruktur. Dalam hal ini Pemerintah Pusat memberikan Du kungan dan Jaminan Pemerintah. n
Tabel 4. Daftar Proyek Infrastruktur Dengan Penugasan Pada BUMN (Dalam miliar rupiah) No
Badan Usaha Milik Negara
Total Nilai Proyek
Nama Proyek
1 PT Adhi Karya Tbk
Kereta api ringan (LRT) Jabodetabek
20,600.0
2 PT Waskita Karya Tbk
Kereta api ringan (LRT) Sumatera Selatan (Metro Palembang)
12,500.0
3 PT Wijaya Karya Tbk
Kereta Cepat Jakarta dan Bandung
77,000.0
4 PT Hutama Karya
Jalan Tol Trans Sumatera
81,140.0
5 PT Perusahaan Listrik Negara
Program Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan 20152019 (Proyek 35.000 MW)
6 PT Pelabuhan Indonesia II
Pelabuhan Sorong, Kalibaru dan Kijing
7 PT Pelabuhan Indonesia III
Pengembangan Pelabuhan Kupang
8 PT Pelabuhan Indonesia IV
Makassar New Port
9 PT Angkasa Pura I
Bandara di Yogyakarta dan Semarang
1,035,918.0 19,448.0 589.0 1,280.0 11,000.0
10 PT Angkasa Pura II
Pengembangan Bandar Udara Soekarno Hatta, Jakarta (Termasuk Terminal 3)
4,700.0
11 PT Kereta Api Indonesia
Jabodetabek Circular Line
9,000.0
Total
1,747,850.2
Sumber: KPPIP, diolah
14
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Pemanfaatan Dana Repatriasi Tax Amnesty Oleh BUMN di Sektor Infrastruktur Oleh: Oscar Aries Dwina Aji Sayoga
Kepala Seksi Penugasan Non- PSO dan Investasi pada BUMN, DJPPR. Email:
[email protected]
Pendahuluan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) telah dilaksanakan oleh Pemerintah sejak 1 Juli 2016 dan akan berakhir pada 31 Maret 2017. Dana repatriasi yang masuk mencapai sekitar Rp137 triliun pada periode I (Direktorat Jenderal Pajak, 2016). Program Pengampunan Pajak menjadi peluang untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan di sektor infrastruktur, khususnya untuk proyek-proyek yang dilaksanakan oleh BUMN, termasuk BUMN-BUMN yang memperoleh penugasan untuk pembangunan infrastruktur. Dari sisi kebutuhan pendanaan, berdasarkan data RPJMN 2015-2019, indikatif kebutuhan pembiayaan infrastruktur adalah sekitar Rp4.796,2 triliun dimana konektivitas, ketenagalistrikan, komunikasi, air minum dan perumahan menjadi sektor-sektor yang diprioritaskan untuk dibangun. Kebutuhan investasi tersebut akan dipenuhi melalui pendanaan APBN, APBD, BUMN maupun Swasta. BUMN Sektor Infrastruktur
APBN & APBD
sebagai salah satu pilar pembangunan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur tersebut sebesar 22% atau sekitar Rp1.066,2 triliun. Oleh karena itu, BUMN dengan memanfaatkan momentum Tax Amnesty dapat mempersiapkan instrumen untuk tapping dana repatriasi Tax Amnesty.
REGULASI TERKAIT REPATRIASI TA Kementerian Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 119 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan Pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak dan PMK Nomor 151 tahun 2016 tentang Perubahan atas PMK Nomor 122 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan BUMN
Swasta
Total IDR
Konektivitas
1.003
379,2
445
1.827,2
Ketenagalistrikan
124,3
596,5
786,5
1.507,3
Komunikasi, Air Minum, dan Perumahan
851,3
90,5
519,9
1.461,7
1.987,6
1.066,2
1.751,4
4.796,2
Total Sumber: RPJMN 2015-2019, Bappenas
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Republik Indonesia dan Penempatan Pada Investasi di Luar Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
GATEWAY REPATRIASI TA Dalam rangka pelaksanaan program TA, Menteri Keuangan juga telah menetapkan pintu masuk (gateway) repatriasi harta wajib pajak. Terdapat 55 perusahaan yang telah ditunjuk sebagai gateway, yang terdiri dari 18 Bank, 18 Manajer Investasi dan 19 Perantara Pedagang Efek. Selanjutnya, gateway tersebut akan memfasilitasi wajib pajak yang telah melakukan repatriasi harta ke wilayah NKRI untuk penempatan investasinya di dalam negeri, baik di instrumen investasi pasar keuangan maupun di luar pasar keuangan sebagaimana diatur tata caranya dalam PMK sebagaimana dimaksud di atas. Sementara itu, BUMN selaku pihak yang akan menerbitkan instrumen-instrumen investasi (misalnya Surat Utang) untuk memperoleh pendanaan dan bermaksud menyerap dana yang bersumber dari investor pemilik dana repatriasi, maka dapat dilakukan dengan menunjuk underwriter atau arranger dari perusahaan sekuritas yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai gateway dalam rangka repatriasi TA. Selain itu, melalui underwriter atau arranger tersebut menawarkan instrumen-instrumen 15
U T A M A
U T A M A
tersebut kepada daftar target investornya termasuk perbankan, Manajer Investasi (MI), maupun Perantara Pedagang Efek (PPE) yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku gateway. Selanjutnya, MI maupun PPE yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai gateway akan memfasilitasi pemilik dana repatriasi TA yang tertarik untuk menempatkan dananya pada instrumen investasi yang diterbitkan oleh BUMN tersebut. Untuk MI, dokumen perjanjian investasi akan dituangkan melalui Kontrak Investasi Kolektif (KIK) atau Kontrak Pengelolaan Dana (KPD). Sedangkan untuk PPE, akan dituangkan dalam Perjanjian Pembukaan Rekening Efek Nasabah. Skema Pengelolaan Dana Repatriasi yang dilakukan oleh gateway Manajer Investasi (MI) melalui KPD dan KIK lihat gambar 1
INSTRUMEN INVESTASI Instrumen-instrumen investasi yang dapat ditawarkan oleh BUMN di sektor infrastruktur untuk memanfaat-
kan dana repatriasi TA adalah sebagai berikut: 1) Surat Utang, yang terdiri dari obligasi melalui Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) maupun Medium Term Note (MTN) yang dilakukan melalui mekanisme private placement/penawaran terbatas; 2) Saham; 3) Efek Beragun Aset (EBA); dan 4) Reksadana termasuk Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT). 1. Surat Utang BUMN Salah satu instrumen yang dapat disiapkan oleh BUMN untuk menampung dana repatriasi adalah melalui penerbitan Surat Utang baik berupa Medium Term Note (MTN) maupun Obligasi Berkelanjutan. Namun, diperlukan kehati-hatian dalam proses penerbitan instrumen tersebut, yaitu dengan memperhatikan kapasitas leverage dan debt service ratio dari masing-masing BUMN penerbit. Berdasarkan hasil kajian KPPIP tahun 2016 terhadap 14 BUMN di sektor infrastruktur (Adhi Karya, Hutama Karya,
Pembangunan Perumahan, Waskita Karya, Wijaya Karya, Jasa Marga, Angkasa Pura I dan 2, Pelindo 1, 2 dan 3, PT KAI, Pertamina dan PT PLN), dengan menggunakan data laporan keuangan BUMN tahun 2015, potensi atau kapasitas BUMN dalam menyerap dana repatriasi melalui penerbitan Surat Utang baru (New Issuance Capacity) adalah sebesar Rp288 triliun. Nilai tersebut dihitung berdasarkan sisa leverage (debt to equity ratio maksimal 4 dan debt to EBITDA ratio maksimal 6. Apabila terdapat financial covenant maka menggunakan batasan financial covenant yang berlaku bagi BUMN yang bersangkutan. Namun, kapasitas BUMN tersebut dapat turun jika Debt Service Coverage Ratio (DSCR) BUMN tersebut melebihi batas aman yang dipersyaratkan serta belum memperhitungkan dampak revaluasi aset di tahun 2016. Selain BUMN-BUMN tersebut, BUMN yang berada di bawah Kementerian Keuangan, yaitu PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, PT Sarana Multigriya Fi-
Gambar 1: Skema Pengelolaan Dana Repatriasi
Sumber: Kementerian BUMN
16
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
nansial, maupun Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia juga dapat memanfaatkan dana repatriasi melalui penerbitan Surat Utang maupun Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). PT SMI berniat untuk melakukan penawaran umum obligasi berkelanjutan dengan nilai sebanyak-banyaknya Rp30 triliun dimana untuk tahap awal, PT SMI akan menerbitkan sebanyak Rp5 triliun pada bulan November 2016. 2. Efek Beragun Aset (EBA) EBA merupakan efek yang diterbitkan oleh Kontrak Investasi Kolektif (KIK) EBA yang portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen, Efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhance-
ment)/Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. Dasar hukum penerbitan EBA adalah Peraturan Kepala Bapepam Nomor IX.K.1 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset. Sejauh ini proses sekuritisasi telah dilakukan di sektor perumahan, dimana yang bertindak selaku originator adalah Bank BTN yang melakukan sekuritisasi atas tagihan KPR nya. Pada bulan Agustus 2016, Bank Mandiri juga melakukan sekuritisasi aset senilai Rp500 miliar melalui skema EBA Surat Partisipasi dimana PT SMF bertindak sebagai penerbit. Sementara untuk BUMN di sektor infrastruktur yang memiliki potensi future cash flows yang besar yang dapat dijadikan sebagai underlying asset dalam proses sekuritisasi diantaranya adalah PT PLN, PT Jasa Marga, Pelindo dan Angkasa Pura.
Skema Sekuritisasi Aset yang telah berjalan selama ini lihat gambar 2. Namun demikian, masih perlu dikaji lebih lanjut mengenai aspek kerangka hukum sekuritisasi dengan originator adalah BUMN di sektor infrastruktur. Perlu juga dikaji mengenai future cash flows BUMN yang memenuhi persyaratan baik dari aspek legal maupun akuntansi untuk dapat dijadikan sebagai underlying asset dari instrumen EBA. Selain itu, untuk menarik minat investor pemilik dana repatriasi, maka perlu juga dipersiapkan credit enhancement dalam bentuk Penjaminan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas dari future cash flow yang akan disekuritisasi. Saat ini, belum terdapat regulasi yang mengatur terkait Penjaminan Pemerintah untuk EBA. 3. Saham Untuk instrumen saham, dapat dilakukan melalui mekanisme penawaran
Gambar 2: Skema Sekuritisasi Aset
Sumber: Danareksa
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
17
U T A M A
saham perdana maupun penawaran saham terbatas (right issue). Penawaran saham perdana merupakan penyertaan modal yang dimasukkan oleh subjek hukum (individu, perusahaan dll) ke dalam suatu BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas. Sedangkan right issue merupakan hak yang melekat pada saham yang memungkinkan para pemegang saham yang ada untuk membeli efek baru, termasuk saham, efek yang dapat dikonversikan menjadi saham dan waran (hak opsi membeli), sebelum ditawarkan pada pihak lain. Perusahaan/BUMN yang melakukan right issue merupakan perusahaan/BUMN yang sudah tercatat di bursa saham.
U T A M A
4. Reksadana termasuk Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT) Selain melalui instrumen Surat Utang, pilihan instrumen investasi yang dapat ditawarkan oleh BUMN kepada pemilik dana repatriasi TA adalah
reksa dana maupun reksa dana penyertaan terbatas (RDPT). Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Reksa Dana yang ada saat ini diterbitkan dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK). KIK adalah kontrak antara Manajer Investasi (MI) dan Bank Kustodian (BK) yang mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana MI diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan BK diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif. Berdasarkan komposisi aset terdapat beberapa macam reksa dana yaitu: 1. Reksa Dana Pasar Uang (money market fund) Merupakan jenis reksa dana dimana investasi dilakukan 100% pada efek bersifat utang dengan jatuh tempo < 1 tahun.
2. Reksa Dana Pendapatan Tetap (fixed income fund) Merupakan jenis reksa dana dimana investasi dilakukan minimum 80% pada Efek bersifat utang. 3. Reksa Dana Saham (equity fund) Merupakan jenis reksa dana dimana investasi dilakukan minimum 80% pada Efek bersifat ekuitas. 4. Reksa Dana Campuran (balance fund) Investasi pada Efek bersifat utang dan Efek bersifat ekuitas. Sedangkan RDPT adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil. RDPT dapat berbasis saham (penyertaan modal) maupun efek bersifat utang. Contoh skema RDPT di Indonesia sebagai berikut:
*Ekuitas bukan dari Perusahaan Terbuka ** Surat utang yang tidak melalui Sumber: PT Sarana Multi Infrastruktur
18
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
No Nama Ruas
Panjang (Km)
Investasi (Milyar Rp)
1. Medan-Binjai
17
1.604
2. Palembang-Inderalaya
22
3.301
3. Bakauheni –T. Besar
140
16.795
4. Pekanbaru-Dumai
130
16.210
5. T. Besar-P. Panggang
100
11.907
6. P. Panggang-Kayu Agung
85
10.085
7. Palembang-Tj. Api-api
90
14.289
8. Kisaran-Tebing Tinggi
60
6.991
naan diperlukan untuk kredit modal kerja yang diperkirakan sebesar Rp7 triliun. 4. Program Listrik 35.000 MW Dasar hukum penugasan kepada PT PLN adalah Perpres 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Kebutuhan pendanaan diperlukan untuk porsi ekuitas dan pinjaman PT PLN (Persero) sebesar Rp325 triliun.
Sumber: PT Hutama Karya
PENUTUP Proyek-proyek Infrastruktur yang ditugaskan kepada BUMN dan Po tensial untuk memanfaatkan dana repatriasi Tax Amnesty Proyek-proyek prioritas Peme rintah yang dilaksanakan oleh BUMN yang sangat potensial untuk me manfaatkan dana repatriasi baik de ngan menerbitkan berbagai instru men investasi (misalnya Surat Utang maupun RDPT) sebagai sumber pen danaannya. Proyek-proyek tersebut juga merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana tertuang di dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 adalah sebagai berikut: 1. Proyek Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (TTS) Proyek TTS membutuhkan investasi sekitar Rp81,2 triliun dimana porsi kebutuhan ekuitas sebesar Rp52,64 triliun dari total kebutuhan investasi. Untuk tahap I, terdapat 8 (delapan) ruas jalan tol yang akan dibangun, yaitu: Untuk memenuhi kebutuhan ekuitas PT Hutama Karya sebesar Rp38,6 triliun dalam periode 20172019 bagi pembangunan TTS, PT HK berencana akan menerbitkan obligasi dan MTN, termasuk obligasi JORR S senilai Rp6,5 triliun. 2. LRT Jabodetabek BUMN yang memperoleh penugasan adalah PT Adhi Karya (Persero) berdasarkan Perpres 98 tahun 2015 INFO RISIKO FISKAL
tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan Terintergasi di Wilayah Jabodetabek dengan rute Jalur Bekasi Timur – Cawang – Cibubur – Dukuh Atas. Kebutuhan pendanaan diperlukan untuk kredit modal kerja yang diperkirakan sebesar Rp23,8 triliun. 3. LRT Sumatera Selatan BUMN yang memperoleh penugasan adalah PT. Waskita Karya (Persero) berdasarkan Perpres 116 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggara Kereta Api Ringan Terintergasi di Provinsi Sumatera Selatan. Penugasannya adalah untuk pembangunan prasarana kereta api ringan terintegrasi secara bertahap di Provinsi Sumatera Selatan. Kebutuhan penda-
Program Pengampunan Pajak merupakan peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan di sektor infrastruktur, khususnya untuk proyek-proyek yang dilaksanakan oleh BUMN, khususnya yang memperoleh penugasan untuk pembangunan infrastruktur. BUMN infrastruktur dapat memanfaatkan dana repatriasi tax amnesty dengan cara menerbitkan berbagai instrumen investasi seperti surat utang, saham, EBA, dan reksadana. Proyek-proyek infrastruktur prioritas Pemerintah yang memerlukan suntikan pendanaan antara lain Proyek Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (TTS), LRT Jabodetabek, LRT Sumatera Selatan, dan Program Listrik 35.000 MW. n
REFERENSI 1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 150 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 119 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan Pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak. 2. PMK Nomor 151 tahun 2016 tentang Perubahan atas PMK Nomor 122 tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan Pada Investasi di Luar Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak 3. Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas. “Kapasitas Finansial BUMN”. Jakarta. Oktober 2016. 4. Peraturan Kepala Bapepam Nomor IX.K.1 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
19
U T A M A
Rumahku Tabunganku (Analisis Risiko Fiskal Tabungan Perumahan) Oleh: Ivan Yulianto1 dan Sunandar2
1. Kepala Seksi Risiko Lembaga Keuangan I, DJPPR. Email:
[email protected] 2. Kepala Seksi Risiko Lembaga Keuangan II, DJPPR. Email:
[email protected]
A. PENDAHULUAN
m i t i g a s i r i s i k o
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28H ayat (1) berbunyi: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “tempat tinggal” diartikan sebagai “ruang (bidang, rumah, daerah, dan sebagainya) yang didiami (ditinggali) atau ditempati, contoh: tempat kediaman; tempat tinggal dll”. Berdasarkan bunyi Pasal UUD tersebut Pemerintah bertanggungjawab untuk menyediakan tempat tinggal dan ling kungan yang baik dan sehat untuk setiap warga negara. Pada Agustus 2016 Pemerintah telah menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi Tahap XIII dalam rangka mewujudkan Perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang merupakan Program Nasional Pembangunan 1 (Satu) Juta Rumah. Kebijakan ini merupakan wujud dari Nawacita butir kedua yang berisi Pemerintah tidak absen untuk membangun pemerintahan yang efektif, demokratis dan terpercaya, dan kelima yakni meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Dari berita Kementerian Sekre taris Negara disebutkan bahwa Paket Kebijakan Ekonomi XIII diharapkan membawa beberapa manfaat, yaitu: 1) Mendorong tercapainya target Program Pembangunan Satu Juta Rumah; 20
2) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk mendapatkan rumah; 3) Menyederhanakan perizinan dan mengurangi biaya serta waktu yang diperlukan untuk pengurusan izin pengembangan hunian murah; 4) Mengatur percepatan perizinan pembangunan rumah tapak bagi MBR di atas lahan maksimal 5 Ha, sehingga peraturan yang akan disiapkan akan lebih mudah di implementasikan; 5) Mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pe menuhan kebutuhan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Lebih jauh Pemerintah bersama DPR telah mengeluarkan Undang-
Kendati program Tapera ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun dampaknya terhadap kemampuan fiskal harus diperhitungkan dengan baik.
Undang Nomor 4 Tahun 2016 ten tang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yang merupakan amanat dari Pasal 124, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Dalam UU 4/2016 ini secara tegas disebutkan bahwa Tapera bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang ber kelanjutan untuk pembiayaan peru mahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi Peserta, yaitu setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 bulan yang telah membayar simpanan. Meski demikian, tidak semua peserta dapat memanfaatkan dana Tapera untuk pembiayaan kepemilikan perumahan, pembangunan rumah, dan perbaikan rumah pertama melainkan hanya peserta yang masuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) saja yang dapat memanfaatkannya. Kendati program Tapera ini sejalan dengan Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi), namun dampaknya terhadap kemampuan fiskal harus diperhitungkan dengan baik.
B. TABUNGAN PERUMAHAN UNTUK MBR I. Peta Kebutuhan Perumahan di In donesia Menurut data resmi Badan Pusat Statistik, jumlah status rumah milik sendiri
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Sumber: BTN, 2016
pada tahun 2015 sebesar 82,63 persen, status rumah sewa/kontrak 2015 sebesar 8,08 persen, dan tidak memiliki rumah sebanyak 9,29 persen. Jumlah penduduk tahun 2014 sebanyak 255,46 juta jiwa dan jumlah rumah tangga adalah 64,77 juta. Dengan rasio pertumbuhan penduduk 1,40 persen dan jumlah rata-rata anggota rumah tangga 3,9, maka diperkirakan jumlah penduduk tahun 2015 adalah 259,04 juta jiwa dan jumlah rumah tangga sebanyak 66,42 juta. Dengan asumsi ownership house rate 82,63 persen, maka kebutuhan rumah tinggal tahun 2015 adalah sebesar 11,54 juta. Program sejuta rumah tiap tahun selama 2015-2019 menjadi harapan masyarakat, akan tetapi kenyataannya kemampuan developer untuk menyediakan rumah tinggal masih belum memadai. Oleh karena itu, keberadaan UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman serta UU 4/2016 tentang Tapera diharapkan mampu meningkatkan kapasitas developer INFO RISIKO FISKAL
untuk memenuhi target pemerintah. Hasil kajian UNPAD tahun 2013, data perhitungan berdasarkan penghasilan perbulan diperoleh data sampai percentile kelima untuk MBR dengan penghasilan Rp1,8juta sampai Rp 4 juta perbulan, tingkat permintaan rumah baru hanya sebesar 941 ribu unit. Artinya untuk penghasilan di atas Rp 4 juta bukan menjadi beban
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Pemerintah. Sebaliknya, masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp 1,8 juta menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk menyediakan hunian yang layak. II. Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016
Sumber data SUSENAS 2013, diolah BKF dan UNPAD 2013
21
m i t i g a s i r i s i k o
m i t i g a s i r i s i k o
tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Tabungan Perumahan Rakyat adalah penyimpanan sejumlah dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Tapera adalah program Negara yang bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi Peserta. Yang dimaksud dengan “dana murah jangka panjang” adalah dana dengan suku bunga yang terjangkau yang sekaligus mampu menanggulangi ketidaksesuaian antara jangka waktu sumber biaya dan jangka waktu pengembalian atau tenor kredit pemilikan rumah. Dana yang terkumpul dari Simpanan Peserta dan hasil pemupukannya merupakan dana titipan kepada BP Tapera untuk dikelola dengan sebaik-baiknya dalam rangka pembiayaan perumahan bagi Peserta. Dengan asas kegotong-royongan, pengumpulan dan pemanfaatan dana Tapera dilakukan secara bersama-sama dan saling menolong antarpeserta dalam menyediakan dana murah jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi Peserta. Untuk penyelenggaraan Tapera dibentuk dua organ, yaitu Komite Tapera (Komite) dan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera). Komite Tapera adalah komite yang dibentuk berdasarkan UU TAPERA untuk perumusan dan penetapan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera. Komite Tapera bertanggung jawab kepada Presiden. Komite Tapera beranggotakan 5 (lima) orang yang terdiri dari: Menteri PUPERA, Mente22
ri Keuangan, Menteri Tenaga kerja, Komisioner OJK dan satu orang dari unsur profesional. Dalam menjalankan fungsi sebagai perumusan dan penetapan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera, Komite Tapera bertugas untuk: a) merumuskan dan menetapkan kebijakan umum dan strategis dalam pengelolaan Tapera; b) melakukan evaluasi atas pengelolaan Tapera, termasuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas BP Tapera; dan c) menyampaikan laporan hasil evaluasi atas pengelolaan Tapera kepada Presiden. Komite Tapera berwenang untuk memberikan arahan, saran, nasihat, dan pertimbangan kepada BP Tapera serta mengesahkan rencana strategis lima tahunan BP Tapera dan rencana kerja dan anggaran tahunan BP Tapera. Sedangkan Badan Pengelola Tapera (BP Tapera) adalah badan hukum yang dibentuk beradasarkan UU Tapera untuk mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan Peserta. BP Tapera berfungsi mengatur, mengawasi dan melakukan tindak turun tangan terhadap pengelolaan Tapera untuk melindungi kepentingan Peserta. Adapun kepesertaan Tapera bersifat wajib bagi setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum. Peserta Mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dan orang yang telah berusia sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar dapat menjadi peserta secara sukarela. Dana Tapera yang diperoleh dari pengerahan dana (kegiatan pengumpulan dana dari Peserta yang disimpan oleh Bank Kustodian) dan pemupukan dana (deposito, surat utang Pemerintah, surat berharga di bidang perumahan dan kawasan
permukiman dan/atau bentuk investasi lain yang aman dan menguntungkan), dimanfaatkan untuk pembiayaan yang meliputi pemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah, dengan ketentuan merupakan rumah pertama; hanya diberikan 1 (satu) kali; dan mempunyai nilai besaran tertentu untuk tiap-tiap pembiayaan perumahan. Persyaratan untuk mendapatkan pembiayaan perumahan adalah: masa kepesertaan paling singkat 12 (dua belas) bulan; termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah; belum memiliki rumah; dan/atau menggunakannya untuk pembiayaan kepemilikan rumah, pembangunan rumah, atau perbaikan rumah pertama. Bagi Peserta yang bukan termasuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah mempunyai hak atas pengembalian Simpanan beserta hasil pemupukannya pada akhir masa kepesertaan.
B. GAMBARAN HOUSING FINANCE POLICY DI DUNIA 1. K onsep Housing Wealth dan Household Welfare Pada dasarnya kebutuhan akan tempat tinggal adalah aspek manfaat berupa tempat perlindungan dari perubahan cuaca, ancaman binatang buas, dan keamanan harta benda. Ketika seseorang terpenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan yang layak maka orang tersebut dapat dikatakan hidup sejahtera (welfare). Sesuai dengan perkembangan kekayaan seseorang, maka keberadaan rumah mempunyai fungsi sosial sebagai harta kekayaan milik pribadi yang menampilkan prestise dan gaya hidup pemiliknya. Bahkan dalam beberapa kasus, seseorang mempunyai rumah lebih dari kebutuhannya dan digunakan sebagai instrumen investasi (housing wealth) yang dapat diturunkan ke anak-cucu dan dapat diperdagangkan maupun dijadikan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
jaminan/kolateral atas perikatan dengan pihak lain. Hasil riset Housing wealth and household welfare WS2: The dilemmas of using or saving housing wealth among adults aged 35-65 yang dilakukan oleh Adriana M Soaita and Beverley A Searle, London (June, 2015) menunjukkan bahwa 40 dari 80 responden berpendapat bahwa rumah hanya sebagai tempat tinggal; 36 orang berpendapat rumah sebagai tempat tinggal sekaligus aset, dan sisanya hanya 4 orang yang berpendapat rumah hanya sebagai aset semata. Eva and Yelena (2007) menyebut orang yang memposisikan rumah sebagai aset dan tempat tinggal, sebagai Housing Wealth Effect. Konsep rumah sebagai housing wealth dan household welfare ini perlu menjadi pertimbangan Pemerintah dalam menyusun kebijakan pembiayaan perumahan. Pada dasarnya Undang-Undang Dasar 1945 menganut konsep housing welfare sebagai kewajiban negara kepada masyarakat, hal ini tercermin pada klausa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Artinya negara menjamin tempat tinggal yang layak untuk kesejahteraan lahir dan batin, adapun kebutuhan rumah sebagai aset bukan menjadi tanggung jawab negara. Keberadaan rumah sebagai aset seseorang merupakan hak pribadi yang harus dihormati akan tetapi negara tidak perlu menjamin kepemilikan rumah sebagai hak milik pribadi karena akan menimbulkan beban fiskal yang tidak sedikit, keterbatasan lahan pemukiman, persaingan harga rumah yang sangat ketat, dan potensi oversupply properti di kemudian hari ketika terjadi pengalihan kepemilikan setelah pemilik rumah meninggal dunia. Pada dasarnya negara berkewajiban menyediakan tempat tinggal INFO RISIKO FISKAL
Konsep rumah sebagai housing wealth dan household welfare ini perlu menjadi pertimbangan Pemerintah dalam menyusun kebijakan pembiayaan perumahan. yang layak bagi setiap warga negara dari sejak lahir hingga meninggal. Tempat tinggal ini merupakan public housing yang dapat dialihkan haknya kepada orang lain yang membutuhkan ketika penghuni yang lama tidak membutuhkan lagi. Dengan demikian Pemerintah bisa lebih fokus untuk menyediakan tempat tinggal bagi warga negara yang tidak mempunyai kemampuan untuk membangun atau memiliki rumah sendiri, atau bagi warga negara yang terpaksa mengorbankan kesejahteraan hidupnya yang lain demi memiliki rumah sendiri. 2. Evolusi Housing Finance Policy di Beberapa Negara Sejak 1993, penetrasi pembiayaan perumahan di negara maju meningkat dramatis. Di Amerika Serikat, Negara-Negara Eropa, Australia, atau Jepang, pasar KPR mencapai 50-100 persen dari GDP. Pembiayaan perumahan juga berkembang di negara berkembang meskipun tidak secepat negara maju dan dengan perbedaan pendapatan dan dampak pada masing-masing negara. Lebih dari 20 tahun, pembiayaan perumahan juga telah mencapai level yang signifikan di beberapa negara middle-income seperti Republik Korea, Amerika Se-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
latan, Malaysia, Chili, dan Negara Baltic, dengan posisi KPR sebesar 20-35 persen GDP. Beberapa tahun terakhir, pembiayaan perumahan juga telah membuat terobosan di beberapa Negara “latecomer” seperti China, India, Thailand, Mexico, sebagaian besar Negara Uni Eropa, Maroko, Yordania, dan akhir-akhir ini berkembang di Negara Brazil, Turki, Peru, Kazakhtan, dan Ukraina, dimana pasar KPR mencapai 6-17 persen GDP. 3. Praktek Tabungan Perumahan di Dunia Pembiayaan perumahan yang banyak diadopsi di berbagai negara dibagi menjadi dua model yaitu Contractual Savings Housing dan Housing Provident Fund. Contractual Savings Housing (CSH) merupakan pengembangan dari mutual building society system yang dikembangkan di Inggris pada abad ke-19, di mana sekelompok individu yang ingin memiliki rumah bergabung dan secara rutin menyimpan sejumlah uang hingga terkumpul cukup dana untuk membangun sebuah rumah yang akan diperuntukkan kepada salah satu anggotanya melalui undian (arisan). Seluruh anggota kelompok akan terus menyetorkan uang hingga seluruh anggotanya telah memperoleh rumah. Contoh sistem tabungan ini adalah Plan D’epargne Logement/PEL Perancis dan Bausper Jerman. Sedangkan Housing Provident Fund (HPF) muncul sebagai respon atas masalah yang timbul dalam perekonomian yang memiliki tingkat inflasi tinggi dan belum memiliki pasar modal yang berkembang. Situasi ini menyebabkan rendahnya animo masyarakat untuk menabung. HPF merupakan instiusi keuangan khusus yang mengumpulkan iuran wajib yang dikumpulkan dari pekerja swasta dan publik. Iuran yang dikumpulkan merupakan persentase tertentu dari gaji pekerja dan biasanya pemberi kerja 23
m i t i g a s i r i s i k o
turut memberikan kontribusi iuran secara proposional. HPF mengelola dan melakukan pemupukan dana melalui berbagai instrumen investasi. HPF biasanya terintegrasi dengan sistem jaminan hari tua, namun HPF juga memberikan manfaat lain sebelum masa pensiun, misalnya untuk uang muka pembelian rumah atau pinjaman kepemilikan rumah jangka panjang. Beberapa negara yang menganut sistem HPF antara lain: Central Provident Fund/CPF Singapura, Employees Provident Fund (EPF) Malaysia, Danwei RRT, dan India. Tapera merupakan gabungan antara CSH dan HPF.
m i t i g a s i r i s i k o
C. SUMBER RISIKO FISKAL DARI TAPERA Dengan keluarnya UU 4/2016 tentang Tapera maka Pemerintah menjamin ketersediaan rumah bagi MBR, meskipun pada dasarnya perumahan untuk MBR merupakan program tolong-menolong antar peserta Tapera, akan tetapi keterlibatan Pemerintah khususnya dari dukungan APBN tetap dibutuhkan agar program ini dapat berjalan dengan baik.
24
Sumber risiko dari Tapera berasal dari tingkat efektifitas penggunaan dana APBN dengan jumlah perumahan yang berhasil dibangun. Risiko Tapera dikatakan tinggi, apabila dukungan terhadap satuan biaya melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), bantuan uang muka rumah, pengadaan lahan, atau subsidi langsung lebih dominan dibanding dana hasil pengerahan dan pemupukan, atau secara agregat harga satuan rumah melalui Tapera sama atau lebih tinggi daripada harga satuan rumah tanpa program Tapera. Sebaliknya, jika penggunaan dana APBN untuk mendukung program Tapera bukan menjadi faktor dominan dalam pembiayaan perumahan, maka dapat dikatakan risiko fiskal program Tapera relatif kecil. Sumber risiko lain dari Tapera adalah potensi penurunan kualitas hidup peserta Tapera khususnya untuk golongan MBR Rentan yang berada di batas bawah standar penghasilan minimal peserta MBR. Dengan menjadi peserta Tapera, mereka berkewajiban menyisihkan penghasilan sepertiga
penghasilan untuk mengangsur KPR dan mengiur Tapera. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup peserta Tapera dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan pendidikan yang memadai bahkan bisa lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat miskin yang mendapat bantuan fasilitas perumahan dari Pemerintah. Di negara lain bahkan tabungan yang terkumpul tidak mampu mencukupi kebutuhan dana pensiun peserta. Agar kualitas hidup mereka tetap terjaga konsekuensinya Pemerintah harus mengalokasikan sejumlah subsidi dan dana sosial. Dikhawatirkan yang terjadi justru peserta berpendapatan rendah mensubsidi silang sejumlah kecil kepada peminjam yang memiliki pendapatan lebih baik. Dari tabel di atas terlihat bahwa program Tapera hanya menyelesaikan sebagian problem pembiayaaan perumahan masyarakat khususnya golongan MBR, sedangkan masyarakat miskin dan rentan yang tidak memenuhi syarat ikut program Tapera tentunya membutuhkan dukungan dana APBN yang cukup besar sehingga konsentra-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
si program Tapera diharapkan tidak menimbulkan beban kontingen dalam pengelolaannya agar tidak menimbulkan risiko fiskal tambahan yang menyedot alokasi penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan.
D. MITIGASI RISIKO FISKAL TAPERA Memperhatikan risiko fiskal program Tapera sebagaimana uraian di atas, pemerintah harus memiliki program mitigasi risiko. Salah satunya adalah menerapkan tatakelola yang baik. Dengan manajemen yang baik BP Tapera diharapkan dapat memaksimalkan manfaat pengelolaan dana Tapera untuk kepentingan peserta. Keterlibatan FLPP dalam mendukung pendanaan Tapera seyogyanya tidak menjadi andalan utama melainkan sebagai supporting fund khususnya untuk menutupi mismatch di periode awal pelaksanaan program Tapera. Kerjasama dengan PT SMF dan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) perlu dimaksimalkan untuk menekan pendanaan langsung likuiditas jangka pendek dan pengadaan tanah (land banking). Langkah mitigasi risiko fiskal lainnya dari program Tapera adalah penerapan konsep housing welfare dengan menyediakan rumah sewa murah jangka panjang bagi MBR yang mempunyai beban kebutuhan rumah tangga yang besar. Dengan pengadaan rumah deret dan rumah susun khususnya di perkotaan kiranya dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang layak tanpa harus mengurangi kualitas hidup masyarakat MBR dan tidak menimbulkan beban tambahan dari APBN untuk mengangkat kualitas hidup peserta MBR yang mengalami penurunan kualitas hidup. Selain itu cakupan program Tapera diharapkan lebih luas tidak hanya untuk MBR dengan memfasiliINFO RISIKO FISKAL
tasi masyarakat rentan melalui skema pembiayaan mikro (micro finance). Dengan menerapkan angsuran rumah model harian maka beban kredit rumah tidak akan terasa berat.
E. PENUTUP Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah program penyimpanan sejumlah dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Program ini bertujuan menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembia-
yaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi Peserta Sumber risiko dari Tapera berasal dari tingkat efektifitas penggunaan dana APBN dengan jumlah perumahan yang berhasil dibangun. Pemerintah harus bisa memitigasi risiko ini, antara lain keterlibatan FLPP dalam mendukung pendanaan Tapera seyogyanya tidak menjadi andalan utama melainkan sebagai supporting fund khususnya untuk menutupi mismatch di periode awal pelaksanaan program Tapera. Selain itu, cakupan program Tapera harus cukup luas, selain untuk MBR, juga memfasilitasi masyarakat rentan melalui skema pembiayaan mikro (micro finance). n
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Adriana M Soaita and Beverley A Searle, Housing wealth and household welfare WS2: The dilemmas of using or saving housing wealth among adults aged 35-65, London, 2015; Anshori, Arief, Analisis bottom-up kebutuhan perumahan untuk kelas menengah bawah, CEDS, UNPAD, Bandung, 2014; BPS, Statistik Indonesia Statistic Yearbook of Indonesia 2015, Katalog BPS: 1101001, Jakarta, 2016; BTN, Kondisi Pasar Primer Dan Sekunder Pembiayaan Perumahan, Jakarta, (2015); Eugenio Cerutti, Jihad Dagher, and Giovanni Dell’Ariccia, Housing Finance and Real-Estate Booms: A Cross-Country Perspective, IMF, 2015; Eva & Yelena, Wealth Effects out of Financial and Housing Wealth: Cross Country and Age Group Comparisons, Federal Reserve Bank Of San Francisco, San Fransisco, 2007; Kemenpera, Naskah Akademik RUU Tapera, Jakarta, 2011; Lea, Michael, Structure and Evolution of Housing Finance Systems, World Bank, Canada, 2001; Ministry of Housing & Urban Poverty Alleviation, Government of India, National Urban Housing and Habitat Policy, New Delhi, 2007; PK-BLU, DJPB, Kemenkeu, Review atas Usulan Tapera Kemenpera, Jakarta, 2015; Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman, 2011; Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
25
m i t i g a s i r i s i k o
Mengelola Risiko Project Financing Sukuk Oleh: Eri Hariyanto
Kepala Seksi Analisis Keuangan dan Fiskal, DJPPR. Email:
[email protected]
P m i t i g a s i r i s i k o
embangunan infrastruktur yang dilaksanakan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan masyarakat. Dalam trilogi Musgrave, diantara peran pemerintah adalah melakukan alokasi barang dan jasa kebutuhan publik yang tidak dapat disediakan oleh pasar. Peran pemerintah dalam menyediakan infrastruktur merupakan upaya untuk mengalokasikan barang kebutuhan yang sangat diperlukan oleh publik. Dengan adanya infrastruktur, masyarakat akan dimudahkan dalam melakukan aktivitas sehingga kapasitas ekonominya meningkat. Secara agregat kondisi ini menciptakan pertumbuhan ekonomi. Hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dan ketersediaan infrastruktur banyak diungkap oleh para ahli ekonomi pembangunan. Simon Kuznets menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh akumulasi modal (investasi pada tanah, peralatan, prasarana dan sarana serta sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human resources) baik jumlah maupun tingkat kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri serta budaya kerja (Todaro, 2000). Demikian juga disampaikan dalam Solow growth model yang 26
mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dipengaruhi oleh perubahan faktor produksi modal fisik (tabungan dan investasi) dan tenaga kerja (pertumbuhan populasi), sementara teknologi yang menggambarkan tingkat efisiensi merupakan variabel eksogen dan dianggap sebagai residual (Todaro dan Smith, 2006). Merujuk pada publikasi Wor-
Pembangunan infrastruktur di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statisitik (BPS) menunjukkan dalam kurun waktu tahun 2009-2013 ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 5,9% per tahun.
ld Development Report (World Bank, 1994), infrastruktur berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dijumpai pada wilayah dengan tingkat ketersediaan infrastruktur yang mencukupi. Identifikasi terhadap program pembangunan infrastruktur di beberapa negara menyimpulkan bahwa pada umumnya program ditargetkan dalam jangka menengah dengan fokus pada peningkatan kebutuhan dasar dan konektivitas manusia, mulai dari air, listrik, energi, hingga transportasi (jalan raya, kereta api, pelabuhan, dan bandara). Pembangunan infrastruktur di Indonesia sebenarnya telah menunjukkan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dalam kurun waktu tahun 2009-2013 ekonomi Indonesia tumbuh pada kisaran 5,9% per tahun. Diantara negaranegara G-20 angka ini merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke dua setelah China. Jika dilihat dari sisi nilainya, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Data dari BPS menunjukkan PDB menurut harga berlaku tahun 2012 sebesar Rp 8.241 triliun dan pada tahun 2013 meningkat menjadi Rp9.084 triliun. Kondisi perekonomian yang tumbuh dengan baik tersebut juga diakui oleh beberapa lembaga rating inter-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
nasional. Bahkan sejak tahun 2011 beberapa lembaga rating seperti Fitch Rating, Moody’s dan Japan Credit Rating Agency menempatkan Indonesia sebagai negara yang layak sebagai tujuan investasi (investment grade). Philip Mc Nicholas, Director of Fitch Asia-Pacific Sovereign Ratings Group, mengatakan bahwa peningkatan status tersebut disebabkan oleh semakin baiknya performa ekonomi Indonesia yang ditunjukkan oleh semakin kuatnya likuiditas, rendahnya rasio utang terhadap PDB dan kehati-hatian dalam menjaga kondisi ekonomi makro (Bank Indonesia, 2011). Disamping pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup memuaskan, ada beberapa catatan yang disampaikan para pemeringkat rating agar pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih optimal diantaranya yaitu kondisi infrastruktur Indonesia yang masih kurang memadai. Infrastruktur adalah landasan pembangunan ekonomi sehingga minimnya ketersediaan infrastruktur akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Minimnya infrastruktur akan menghambat masyarakat terutama sektor swasta untuk meningkatkan kapasitas ekonomi mereka. Haris (2012) menyebutkan bahwa dalam ekonomi makro ketersediaan layanan infrastruktur mempengaruhi produktivitas marjinal modal swasta, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan layanan infrastruktur juga memiliki pe-
Pembiayaan infrastruktur yang tertuang dalam APBN sebenarnya masih jauh di bawah kebutuhan pembiayaan infrastruktur secara nasional. ngaruh penting pada pengurangan biaya produksi. Berdasarkan data dari World Economic Forum yang mempublikasikan indeks persaingan global (global competitiveness index) pada bulan September 2016, secara umum infrastruktur Indonesia berada di peringkat 60 dari 138 negara yang dinilai. Posisi ini jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 24), Thailand (posisi 49). Posisi Indonesia masih lebih baik bila dibandingkan dengan Philipina (posisi 95) dan Vietnam (posisi 79). Untuk mengatasi kondisi tersebut pemerintah sebenarnya telah mengarusutamakan pembangunan infrastruktur dalam belanja negara. Komitmen Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur tercermin dari (1) peningkatan alokasi anggaran untuk mendukung pembangunan infra-
Tabel 1. Anggaran Infrastruktur 2011-2015 (dalam triliun rupiah)
No. Kementerian/Lembaga
2011
2012
2013
2014
2015
1 Kem. PUPR
41.8
56.5
63.5
68.1
105.0
2 Kem. Perhubungan
16.0
25.3
26.0
27.3
52.5
3 Kem. ESDM
6.2
6.7
7.7
9.3
5.9
4 Kem. PERA
1.4
1.6
1.9
3.3
-
5 K/L Lainnya
25.8
32.6
35.9
45.7
46.4
91.2
122.7
135
153.7
209.8
Total Sumber: DJA Kemenkeu (2016), diolah
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
struktur; (2) percepatan pembangunan infrastruktur melalui percepatan mekanisme lelang dan penyediaan pendanaan; dan (3) deregulasi melalui penyusunan paket-paket kebijakan ekonomi dalam rangka meningkatkan peran swasta dan investasi dalam pembangunan infrastruktur. Alokasi belanja infrastruktur setidaknya dalam lima tahun terakhir yang terus meningkat, sebagaimana tersaji pada tabel 1. Pembiayaan infrastruktur yang tertuang dalam APBN sebenarnya masih jauh di bawah kebutuhan pembiayaan infrastruktur secara nasional. Beberapa isu strategis terkait infrastruktur yang merupakan pengejawantahan Nawa Cita seperti: peningkatan penyediaan infrastruktur dasar, peningkatan ketahanan air, pangan dan energi, penguatan konektivitas nasional, dan pengembangan transportasi masal perkotaan memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Kementerian PPN Bappenas memperkirakan hingga akhir tahun 2019 setidaknya diperlukan dana sekitar Rp5.519 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur. Kebutuhan pembiayaan infrastruktur yang sangat besar tersebut tentu tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja, namun perlu melibatkan pihak lain. Pemerintah selama ini juga telah melaksanakan berbagai upaya untuk memenuhi gap financing. Beberapa langkah yang telah dilakukan misalnya dengan meningkatkan kerja sama dengan swasta (Public Private Partnership/PPP), penugasan kepada BUMN untuk mengerjakan proyek-proyek strategis seperti pembangunan waduk untuk PLTA dan pertanian, pembangunan jalan tol trans Sumatera, serta pelabuhan pelayaran. Selain itu pemerintah juga berencana membuat bank tanah dan bank infrastruktur untuk mendukung pembangunan infrastruktur. 27
m i t i g a s i r i s i k o
Gambar 1. Penerbitan SBSN tahun 2008-2016
m i t i g a s i r i s i k o
Sumber: DPS, DJPPR (2016)
Selain langkah-langkah tersebut, sebenarnya pemerintah telah membuat suatu terobosan untuk mencari sumber-sumber pembiayaan baru. Salah satu terobosan tersebut adalah dengan menerbitkan Sukuk Negara khusus untuk pembiayaan infrastruktur (project financing sukuk). Sebagaimana diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara atau Sukuk Negara, bahwa Sukuk Negara dapat diterbitkan untuk pembiayaan defisit APBN secara umum dan pembiayaan infrastruktur milik pemerintah. Melalui penerbitan Sukuk Negara untuk pembiayaan infrastruktur merupakan langkah bagi Pemerintah untuk menghimpun partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan. Project financing sukuk mempunyai potensi 28
yang sangat besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur, seiring dengan meningkatnya kapasitas ekonomi masyarakat.
Project Financing Sukuk Sukuk, yang didefinisikan sebagai sertifikat yang bernilai sama yang merepresentasikan bagian kepemilikan yang tidak terbagi atas aset berwujud, manfaat aset, jasa, kepemilikan aset suatu proyek atau investasi (DPS, 2015), saat ini sedang menjadi instrumen keuangan populer yang diterbitkan oleh negara atau korporasi. Pemerintah telah menerbitkan Sukuk Negara sejak tahun 2008, pasca disahkannya Undang-Undang nomor 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. Peran Sukuk Negara sebagai instrumen pembiayaan defisit APBN
dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, seiring dengan meningkatnya jumlah penerbitan sebagaimana tersaji dalam gambar 1. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2018 tentang Surat Berharga Syariah Negara, tujuan penerbitan SBSN atau Sukuk Negara adalah untuk pembiayaan defisit APBN dan pembiayaan proyek infrastruktur milik pemerintah. Peran Sukuk negara dalam membiayai pembangunan infrastruktur juga terus mengalami peningkatan. Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan SBSN, pemerintah telah mengembangkan pembiayaan infrastruktur melalui penerbitan Sukuk Negara. Implementasi hal tersebut adalah dengan menerbitkan Sukuk Negara seri PBS (Project
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Based Sukuk) pada tahun 2012. Selain seri PBS, Sukuk Negara Ritel yang diterbitkan sejak tahun 2012 juga digunakan untuk pembiayaan proyek infrastruktur. Sukuk Negara dengan seri PBS menggunakan akad Ijarah Asset to be Leased, dalam akad ini dibuat suatu struktur yang memungkinkan pemerintah menyewa aset (proyek infrastruktur) yang akan diwujudkan di masa depan (sesuai masa konstruksi), namun pemerintah dapat membayar sewa proyek tersebut sejak dimulainya masa konstruksi. Investor sukuk (sukuk holders) akan menerima imbalan dari nilai sewa yang telah disepakati. Karena menggunakan akad ijarah (yang berarti sewa) maka imbalan yang diterima oleh investor bersifat tetap (fixed return). Imbalan sewa disebut juga dengan ujrah. Namun, dikarenakan proyek yang dibangun tidak menghasilkan arus penerimaan dan bersifat layanan kepada masyarakat, maka imbalan yang diberikan kepada investor Sukuk Negara bukan berasal dari kinerja infrastruktur tersebut. Pemerintah dapat membayar ujrah dari sumber penerimaan lainnya, misalnya pajak atau PNBP. Sukuk seri PBS terdiri dari dua jenis yaitu: (1) project underlying Sukuk, yang menggunakan proyek infrastruktur yang telah tercantum di dalam dokumen APBN sebagai dasar transaksinya. Sehingga, hasil penerbitan Sukuk Negara (proceeds) digunakan untuk mengganti dana yang telah dikeluarkan (revolving). Jenis selanjutnya (2) project financing sukuk (PFS), proyek infrastruktur yang akan dibiayai melalui penerbitan Sukuk Negara diusulkan oleh Kementerian /Lembaga melalui proses pengusulan proyek sesuai mekanisme APBN. Proyek infrastruktur baru dapat dibiayai melalui penerbitan Sukuk Negara setelah proyek tersebut tercantum daINFO RISIKO FISKAL
Tabel 2. Pagu dan jenis proyek yang dibiayai dengan PFS Tahun
Pagu (triliun)
Jenis proyek
2013
Rp 0,7
Pembangunan jalur ganda rel KA
2014
Rp 1,371
Pembangunan jalur ganda rel KA, pembangunan asrama haji
2015
Rp 7,135
Pembangunan jalur elevated track KA, pembangunan kampus UIN, pembangunan/reha KUA dan balai nikah
2016
Rp 13,677
Pembangunan jalur ganda dan jalur layang rel KA, pembangunan jalan dan flyover lintas Sumatera, pembangunan kampus UIN, asrama haji dan KUA.
2017
Rp 16,76
Penyelenggaraan jasa perkeretaapian, pembangunan jalan dan sumber daya air, pembangunan kampus UIN, asrama haji dan KUA.
Sumber: DPS, DJPPR (2016)
lam dokumen APBN, sehingga sumber pembiayaan proyek tersebut sematamata hanya bersumber dari Sukuk Negara (earmarked). Penerbitan PFS dari waktu ke waktu menunjukkan perkembangan, sebagai mana tercantum pada tabel 2.
Mengelola Risiko Project Financing Sukuk (PFS) Pengelolaan risiko merupakan pendekatan yang dilakukan terhadap risiko yaitu dengan memahami, mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko suatu proyek. Kemudian mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap dampak yang ditimbulkan dan kemungkinan pengalihan risiko kepada pihak lain atau mengurangi risiko yang terjadi. Manajemen risiko adalah semua rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan risiko yaitu perencanaan (planning), penilaian (assessment), penanganan (handling) dan pemantauan (monitoring) risiko (Kerzner, 2001). Tujuan dari manajemen risiko adalah untuk mengenali risiko dalam sebuah proyek dan mengembangkan strategi untuk mengurangi atau bahkan menghindarinya, dilain sisi juga harus dicari cara untuk memaksimalkan peluang yang ada (Wideman, 1992)
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Pembiayaan proyek banyak menjadi kajian para ekonom karena pembiayaan proyek memilki perbedaan dengan pembiayaan pada umumnya. Selain itu, pembiayaan proyek juga memilki karakteristik risiko yang perlu dikelola agar pembiayaan proyek dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya. Risiko yang diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, di mana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan suatu kerugian, juga terdapat dalam pembiayaan project financing sukuk. Mengingat posisi project financing sukuk yang sangat strategis sebagai sumber pembiayaan proyek infrastruktur, Direktorat Pembiayaan Syariah sangat concern terhadap berbagai risiko yang mungkin timbul dalam pengelolaan project financing sukuk yang dipengaruhi oleh berbagai kondisi. Pengelolaan risiko dalam penerbitan project financing Sukuk berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko di Lingkungan Departemen Keuangan. Direktorat Pembiayaan Syariah selaku unit pengelola Sukuk menjadikan peraturan tersebut sebagai acuan dalam mengambil kebijakan yang 29
m i t i g a s i r i s i k o
bersifat antisipatif untuk memprediksi kemungkinan terjadinya risiko dan menentukan langkah-langkah untuk mengantisipasi terjadinya risiko. Penerbitan project financing sukuk memberikan manfaat bagi pemerintah terutama dalam memberikan alternatif bagi pembiayaan infrastruktur. Berikut ini diuraikan beberapa risiko yang mungkin timbul sekaligus langkah-langkah mitigas risiko dalam penerbitan project financing sukuk:
m i t i g a s i r i s i k o
1. Risiko Pasar (market risk) Risiko pasar adalah risiko yang dihadapi oleh suatu sekuritas (surat berharga) yang disebabkan oleh faktorfaktor pasar seperti faktor ekonomi, politik, dan sebagainya (Tandellin, 2001). Pembiayaan proyek melalui penerbitan SBSN juga menghadapi risiko ini karena kondisi lingkungan ekonomi makro akan sangat berpengaruh terhadap penerbitan SBSN. Dalam kondisi ekonomi makro yang kurang bagus, misalnya dalam kondisi inflasi yang sangat tinggi biasanya permintaan imbal hasil (yield) dari investor juga akan tinggi. Hal ini bertujuan untuk mengimbangi risiko investasi yang juga tinggi. Akibatnya biaya memperoleh modal untuk membangun proyek melalui penerbitan SBSN akan menjadi mahal. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dapat membatalkan penerbitan SBSN karena biayanya terlalu mahal sehingga proyek tidak mendapatkan pembiayaan dan ditunda pelaksanaannya. Untuk mengatasi kondisi ini, unit pengelola SBSN secara intens memantau kondisi pasar keuangan sebagai deteksi dini terhadap kondisi perekonomian global. Dengan pemantauan kondisi pasar keuangan domestik maupun internasional, dapat membantu dalam menentukan strategi penerbitan SBSN. Misalnya, adanya prediksi (outlook) perekonomian yang kurang baik di masa yang akan datang, pe30
Risiko keuangan sebenarnya lebih berhubungan dengan kemampuan pemerintah menyediakan dana ketika proyek yang dibangun memerlukan likuiditas. Seperti disebutkan sebelumnya, sumber pembiayaan PFS berasal dari penerbitan SBSN. merintah dapat menerbitkan SBSN untuk pembiayaan proyek pada saat perekonomian sedang baik kemudian digunakan sesuai waktu yang telah ditentukan (front loading strategy). 2. Risiko keuangan (financial risk) Risiko keuangan atau risiko permodalan muncul karena proyek dibangun dengan modal yang dimiliki oleh pihak lain (Djohanputro, 2008). Tingkatan risiko akan bergantung pada sejauh mana proyek memerlukan pembiayaan eksternal (termasuk pasar modal dan bank) untuk mendukung operasi yang sedang berlangsung. Risiko keuangan tercermin dalam faktor-faktor seperti kewajiban kepada pihak ke-3 (kontrak kerja), jatuh tempo pembayaran utang, likuiditas, dan hal lain yang mengurangi fleksibilitas keuangan. Risiko keuangan sebenarnya lebih berhubungan dengan kemampuan pemerintah menyediakan dana ketika proyek yang dibangun memer-
lukan likuiditas. Seperti disebutkan sebelumnya, sumber pembiayaan PFS berasal dari penerbitan SBSN. Risiko keuangan muncul ketika proceeds penerbitan SBSN untuk PFS tidak dapat ditarik karena likuiditas kas negara sedang tidak memungkinkan. Hal ini dapat terjadi apabila proceeds penerbitan SBSN untuk PFS digabung dalam kas umum negara sehingga dapat digunakan untuk segala jenis belanja negara. Untuk memitigasi munculnya risiko tersebut, saat ini pemerintah telah menggunakan rekening khusus guna menampung proceeds penerbitan SBSN untuk project financing sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.05/2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembayaran Kegiatan yang Dibiayai melalui Penerbitan SBSN. Dengan adanya rekening khusus tersebut, dana untuk pembiayaan PFS telah diamankan sehingga memitigasi risiko keuangan. 3. Risiko penyelesaian proyek (completion project risk) Proyek yang dibangun dengan menggunakan proceeds dari penerbitan Sukuk adalah proyek yang dibangun dengan dana dari investor dan investor berkepentingan agar proyek tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan. Penyelesaian proyek tersebut sangat berhubungan dengan pembayaran imbalan (ujrah) atas proyek dan kesesuaian syariah terhadap perjanjian yang telah dilakukan, Sehingga apabila proyek belum selesai sesuai batas waktu yang ditentukan, imbalan yang diberikan kepada investor harus ditinjau kembali karena tidak sesuai lagi dengan perjanjian (akad) yang telah ditentukan. Penyebab munculnya risiko penyelesaian proyek dapat bermacammacam, diantaranya adalah: faktor keuangan, teknik, dan hukum. Ada-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
nya keterlambatan arus pembiayaan dapat menyebabkan penyelesaian proyek mengalami penundaan. Demikian juga apabila teknologi yang akan digunakan dalam proyek tersebut sudah terlalu usang atau belum tersedia di pasar maka akan menjadi hambatan dalam penyelesaian proyek. Selain itu, faktor hukum juga sangat berperan penting dalam penyelesaian proyek. Adanya perubahan aturan atau gugatan hukum terhadap proyek, dapat menjadi penghambat selesainya proyek. Penyelesaian proyek merupakan faktor yang sangat penting dalam PFS. Gagalnya penyelesaian proyek sesuai dengan kondisi dan waktu yang telah diperjanjikan dapat menggugurkan seluruh akad atau perjanjian dalam struktur Sukuk Ijarah Asset to be Leased. Untuk itu, pemerintah sangat berkepentingan dalam menjaga agar proyek dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan perjanjian yang telah dilakukan. Untuk mencegah agar completion project risk tidak terjadi, selama ini pemerintah telah melakukan beberapa hal diantaranya adalah dengan on the desk monitoring yaitu memantau realisasi penyelesaian proyek sejak lelang pengadaan proyek sampai dengan realisasi pembiayaan berdasarkan data-data yang diperoleh dari laporan realisasi. Melalui pemantauan tersebut dapat dilakukan deteksi dini sehingga diketahui proyek-proyek yang mengalami keterlambatan realisasi penyerapan dana. Selanjutnya, untuk mengatasi keterlambatan realisasi tersebut dapat dilakukan koordinasi dengan Kementerian/ Lembaga terkait untuk mengetahui permasalahan dan merumuskan alternatif solusi yang dapat digunakan. Selain itu, dapat pula dilakukan on site monitoring yaitu monitoring ke lapangan untuk memastikan realisasi pembiayaan sebanding dengan INFO RISIKO FISKAL
realisasi pelaksanaan proyek. Dengan adanya langkah-langkah mitigasi tersebut, proyek dapat diselesaikan sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. 4. Force majeure risk (keadaan kahar) Pengertian force majeure atau yang disarikan dari KUH Perdata sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan di mana salah satu pihak (dhi. misalnya pelaksana proyek atau kontraktor) terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan, sementara si kontraktor tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. Dalam Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan IV Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pasal 91, force majeure disebut sebagai keadaan kahar. Sedangkan Finnerty (2007) mengartikan force majeure sebagai kondisi yang menyebabkan kerusakan atau menyebabkan suatu proyek terhenti dalam waktu yang cukup lama. Beberapa peristiwa yang dapat dikategorikan dalam kondisi tersebut diantaranya yaitu kegagalan teknis yang sangat luas, pemogokan pekerja, dan kebakaran. Atau dapat juga disebabkan oleh faktor eksternal seperti gempa bumi yang dapat menghambat pelaksanaan proyek. Keadaan kahar dapat terjadi di mana saja dan biasanya diluar perkiraan para pihak yang melakukan kontrak. Risiko ini dapat juga menimpa proyek-proyek yang sedang dibangun oleh pemerintah dengan skema PFS. Apabila risiko ini menimpa proyek yang dibiayai dengan SBSN, ada beberapa jalan keluar yang ditempuh: (1) apabila proyek tersebut adalah proyek tahun tunggal (single year)
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
dapat diberikan masa tangguh penyelesaian proyek sampai dengan 90 hari kalender pada tahun anggaran berikutnya, (2) apabila proyek tersebut merupakan proyek tahun jamak (multi years) maka proyek tersebut dapat diselesaikan pada tahun berikutnya sesuai dengan umur kontrak tahun jamak, (3) apabila proyek mengalami kehancuran yang sangat parah dan tidak memungkinkan untuk dilanjutkan, maka proyek tersebut dikeluarkan dari daftar proyek yang dibiayai dengan skema PFS dan dapat diganti dengan proyek lain yang bernilai minimal sama. Selanjutnya, penyelesaian proyek yang terkena kondisi kahar dapat mengikuti Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan IV Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah pasal 91, disebutkan bahwa setelah terjadinya keadaaan kahar maka para pihak dapat melanjutkan kontrak penyelesaian proyek melalui kesepakatan, yang dituangkan dalam kontrak.
Penutup Seiring dengan kebijakan pemerintah yang sedang memacu pembangunan infrastruktur untuk kesejahteraan masyarakat, peran PFS di masa depan akan semakin penting. Semakin banyak proyek infrastruktur yang dibiayai melalui PFS, akan memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi Pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya. Kesuksesan penerbitan PFS tidak terlepas dari peran stakeholders dalam menciptakan kondisi makroekonomi Indonesia yang semakin baik dan penerapan prinsip good governance dalam mengelola risiko pembangunan proyek infrastruktur yang dibiayai melalui penerbitan PFS. n *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja 31
m i t i g a s i r i s i k o
w a w a n c a r a
Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF)
Askolani, SE., MA
(Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan) Oleh: Riko Amir1, Tony Prianto2, Hani Widyastuti3, Roki Gangsar Winoto4
1. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko APBN.
[email protected] 2. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko BUMN. Email:
[email protected] 3. Kepala Seksi Pengungkapan Risiko Keuangan Negara. Email:
[email protected] 4. Kepala Seksi Risiko Jaminan Sosial. Email:
[email protected]. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, dalam rangka mewujudkan butir keenam Nawacita yang menyatakan pen tingnya peningkatan “produktivitas” dan “daya saing” dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, perlu dilaksanakan pembangunan sejumlah infrastruktur strategis seperti jalan, pelabuhan, bandara, kawasan industri, dan ketenagalis trikan yang membutuhkan pembiayaan sebesar Rp.4.796,2 T (2015-2019).
D
engan mempertimbangkan keterbatasan APBN, kiranya perlu menggali lebih dalam strategi Pemerintah dalam memaksimalkan kemampuan APBN untuk membiayai infrastruktur. Untuk itu, redaksi IRF melakukan wawancara dengan Bapak Askolani 32
SE., MA, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Wawancara dilaksanakan pada hari Senin, 24 Oktober 2016 bertempat di ruang kerja Direktur Jenderal Anggaran. Berikut petikan hasil wawancara tersebut: Menurut Bapak, bagaimana Ke menterian Keuangan khususnya di
bidang penganggaran mengimple mentasikan konsep Nawacita dalam pengelolaan APBN? Presiden sudah mencanangkan dalam rapat koordinasi tingkat Menteri dan dihadiri semua eselon 1, bahwa pembangunan infrastruktur jangka menengah sampai 2019 men-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
jadi komitmen dari Presiden. Sebagai bukti nyata atas komitmen tersebut adalah langkah Presiden pada APBNP 2015, dengan melakukan penghematan subsidi energi untuk kemudian dialihkan ke belanja yang lebih produktif khususnya bidang infrastruktur. Mulai tahun 2015 s.d 2017, angka pagu dua Kementerian yaitu Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan, serta DAK, terdapat tambahan pagu yang signifikan (dapat dilihat pada tabel 1 – red). Hal tersebut menunjukkan komitmen Presiden dalam pembangunan infrastruktur, sebab kita tahu sesuai tugas dan fungsinya, beberapa kementerian yang melakukan belanja infrastruktur adalah PUPR, Perhubungan, serta Pertanian (melalui DAK). Tahun 2015 belanja Kementerian PUPR bisa menjadi Rp.107,4 triliun
dibanding tahun 2014 yang hanya berkisar Rp. 60 - 70 triliun. Sedangkan untuk Kementerian Perhubungan tahun 2015 sebesar Rp.44 triliun sebelumnya hanya Rp. 20 triliun dan penyerapannya hanya 70-80%. Langkah nyata yang konsisten ditunjukkan dengan strategi kebijakan pengalihan belanja subsidi. Pada 2016 dan 2017 masih konsisten tinggi jika kita melihat angka pagunya, seperti Kementerian PUPR tetap tinggi sekitar Rp. 94 triliun dan di 2017 sekitar Rp. 98 triliun. Kementerian Perhubungan juga sama di tahun 2016 sekitar Rp. 40 triliun dan 2017 sebesar Rp. 42 triliun. Bukti nyata pembangunan infrastuktur sudah mulai terlihat. Banyak sekali proyek yang telah dibangun, seperti jalan tol, proyek kereta api, bandara, pelabuhan, tol laut dll, dan
pembangunannya tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga Pulau Sumatera serta rencana di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Selain penambahan pagu belanja infrastruktur pada K/L, menurut Ba pak apakah terdapat kebijakan lain untuk mendukung terlaksananya pembangunan infrastruktur yang cukup massif tersebut? Perubahan kebijakan untuk membangun infrastruktur juga dilakukan terkait pengadaan tanah. Pada 2016 kita switch untuk pengadaan tanah didanai dengan biaya tanah yang lebih pasti. Selama ini tanah masuk pada pagu Kementerian PUPR dan sangat terbatas, hanya di bawah Rp. 5 triliun. Tahun 2016, Pemerintah berkomitmen untuk pengadaan tanah dengan pagu sebesar Rp. 16 triliun dan
Tabel 1 : Alokasi Anggaran Infrastruktur Tahun 2015 – 2017 (data per 24 Oktober 2016) Uraian
2015 Realisasi
2016 APBNP
2017 APBN
I. Infrastruktur Ekonomi
274.4
307.1
388.4
1. Melalui Belanja K/L
170.3
151.2
161.0
a.l
107.4 44.4 8.1 4.4
94.7 39.9 4.1 3.7
98.8 42.1 2.7 3.6
2. Melalui Belanja Non K/L
4.0
5.9
2.6
a.l
3.0
1.1 4.6
0.3 2.2
3. Melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa
39.1
88.0
183.7
a.l
27.7 8.3 -
66.3 18.8 -
32.3 24.0 124.0
4. Melalui Pembiayaan
34.1
62.1
39.5
a.l
5.1 28.8 -
9.2 36.2 16.0
9.7 7.2 20.0
033 Kementerian PUPR 022 Kementerian Perhubungan 018 Kementerian Pertanian 020 Kementerian ESDM 1 2 1 2 3 1 2 3
VGF (termasuk Cadangan VGF) Belanja Hibah Dana Alokasi Khusus Perkiraan Dana Desa Untuk Infrastruktur Perkiraan Dana Tranfer Umum Untuk Infrastruktur FLPP Penyertaan Modal Negara BLU LMAN
II. Infrastruktur Sosial
5.8
5.7
5.5
a.l
3.9 2.0
4.6 1.2
4.2 1.2
III. Dukungan Infrastruktur
2.9
4.2
4.1
a.l
0.9 0.6
0.3 0.4
0.1 0.6
256.1
317.1
398.0
023 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 025 Kementerian Agama 056 Kementerian Agraria dan tata Ruang 019 Kementerian Perindustrian Jumlah
Sumber: DJA, Kementerian Keuangan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
33
w a w a n c a r a
w a w a n c a r a
2017 sebesar Rp. 20 triliun. Hal ini semakin nyata memperkuat bahwa masalah tanah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok untuk pengadaan infrastuktur bisa disiapkan, didukung on top dari pagu K/L dan ini bisa dipakai bukan hanya untuk Kementerian PUPR dan Perhubungan. Kalau kita lihat, komitmen ini menjadi lengkap bukan hanya niat tapi juga dibuktikan dengan strategi, kebijakan, angkaangka, juga didukung bukti nyata, pembangunannya juga terlihat. Dengan penganggaran yang progressive terus naik, Bagaimana peran Kementerian Keuangan untuk melihat risikonya? Maksudnya apa kah Kementerian Keuangan tidak mempertimbangakan semacam per sentase penyerapan K/L selama ini? Pengalaman saya, Kementerian PUPR sudah termasuk bagus dan maksimal dalam penyerapan anggaran. Tahun 2015, Kementerian PU berubah nomenklatur bergabung dengan Kementerian Perumahan Rakyat, yang menyebabkan penyerapan anggaran maksimal dimulai bulan Juni, namun di akhir tahun bisa mencapai 90% penyerapannya. Pengalaman selama ini, kalau proses bidding lebih awal, Kementerian PUPR lebih konsisten, dimana 3-4 tahun sebelumnya sudah melakukan mekanisme tersebut. Tahun 2015-2016 Kementerian PUPR semakin cepat melakukan itu, sangat konsisten dan efektif, sampai pagu pengadaan tanah kekurangan. Perhubungan sebelum tahun 2015 memang lambat, namun setelah Menteri Perhubungan yang baru sudah mulai maksimal penyerapan anggarannya walaupun sedikit hati-hati. Outputnya banyak sekali pelabuhan di kawasan timur yang dibangun, betul-betul bisa menghidupkan lalu lintas, ekonomi, dan pariwisata. Penyerapan Perhubungan di 2015 masih di bawah 90%, belum setinggi yang kita harapkan seperti PUPR. 34
Kementerian Perhubungan tahun 2015 mendapat pagu anggaran sebesar Rp.44 triliun, namun realisasi penyerapannya belum maksimal sehingga pada APBN 2016 dikurangi. Apakah ada kewenangan DJA dalam memitigasi jika penyerapan K/L hanya sebesar 60%. Bagaimana Kementerian Keuangan mengalo kasikan sisa yang tidak terserap itu untuk dialokasikan dalam pagu pem bangunan infrastruktur lagi? Jika ada sisa penyerapan, kita lakukan langkah konsolidasi fiskal. Jadi kalau dananya tidak terserap itu tidak kita alihkan, namun untuk mengimbangi dari pencapaian pajak kita. Jadi kalau tidak sanggup melakukan penyerapan maksimal, kita jadikan langkah penghematan, tetapi kemudian ini terjadinya natural bukan by design. Harapan kita tentunya kita konsisten kalau bisa kebijakan penyerapan maksimal tetap dilakukan kalaupun hasilnya tidak maksimal tentunya jadi bahan kita penghematan dan basis untuk perencanaan untuk ke depannya. Kementerian Perhubungan tahun 2015 mendapat pagu anggaran sebesar Rp.44 triliun, namun realisasi penyerapannya belum maksimal sehingga pada APBN 2016 dikurangi. Terkait DAK yang kita sulit un tuk mengontrolnya, sampai di mana kewenangan DJA untuk memastikan kontribusinya maksimal untuk pem bangunan infrastruktur?
Untuk mereview DAK, kewenangannya ada di DJPK, tetapi tantangannya adalah treatmentnya berbeda dengan kementerian, dana yang dicairkan basisnya hanya bukti dokumen dari Pemda kepada DJPK, dicairkan anggarannya triwulan, harusnya pengawasannya lebih diperkuat, bukan document-base tapi output-base. DAK ada dua yaitu fisik dan non fisik, kemudian pada 2016 DAK fisik memang naik. DAK 2015 hanya sebesar Rp. 27 triliun, tapi pada 2016 bisa mencapai Rp. 66 triliun. Tapi kemudian di 2017 dikoreksi jadi Rp. 32 triliun. Jadi untuk infrastruktur daerah, sumbernya selain dari DAK, bisa juga melalui dana desa dan dana infrastruktur khusus (untuk Papua). Setelah APBN-P 2016, ada kebi jakan pemotongan anggaran, apakah berdampak terhadap pembiayaan in frastruktur? Di 2016 ada dua kali penghematan, di APBN-P menghemat Rp. 50 triliun menekannya ke belanja operasional (belanja barang). Yang kedua, penghematan lagi Rp. 64,7 triliun penekanannya tetap ke belanja operasional atau belanja yang belum dioptimalkan. Tujuan kita bukan untuk mengurangi belanja infrastruktur, tetapi kemudian kalau ada yang terkena pemotongan jangan dibilang proyeknya terhenti. Kita ada komitmen di K/L, kalau misalnya anggarannya dihemat proyek tetap jalan tapi dibayar tahun 2017, boleh diluncurkan dan ini kemudian kita payungi di UU APBN 2017. Sejalan dengan itu kita mengundang K/L dan kita tegaskan bahwa komitmen dari Pemerintah kalau kegiatan infrastruktur sudah jalan maka pilihannya adalah tetap dilaksanakan, pembayarannya bisa memakai uang pagu tahun 2017, jadi tidak ada yang dihentikan. Sampai saat ini saya belum pernah baca di media ada proyek yang terhenti. Jadi kalau kita lihat, disatu sisi penghemat-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
an memang harus kita lakukan tapi kemudian untuk belanja produktif terbuka peluang untuk terus dilaksanakan. Maka K/L tetap bisa kerjakan sesuai dengan rencana pembangunan yang sudah dilakukan di 2016. Pemda juga ada kontrak pembangunan, yang harus dilakukan hanya negosiasi lagi dengan kontraktornya, Pemda hanya minta kepastian dari Pemerintah pusat bahwa DAU yang ditunda itu dibayarkannya kapan. Dengan begitu ini tetap jalan, ada kepastian. Kemenkeu sudah komitmen untuk Pemda yang DAU-nya ditunda akan dikembalikan, dibayarkan pada Desember tahun 2016 dan Januari 2017, sehingga pihak kontraktor tenang. Tujuan penghematan ini hanya satu, menghilangkan lemak-lemak dan sudah dilakukan pemetaan dengan cermat. Penghematan dilakukan sejalan dengan proyeksi dari target perpajakannya. Dengan capaian tax amnesty pe riode I yang cukup menggembirakan, bagaimana pandangan Bapak terha dap outlook APBN 2016 sampai akhir tahun? Kalau kita lihat, Menteri Keuangan sudah mengoreksi/mereview kembali outlook target di APBNP 2016 dari
INFO RISIKO FISKAL
sisi penerimaan pajak dikurangi Rp. 219 triliun dan dari sisi belanjanya, untuk dilakukan langkah pengendalian pada belanja K/L sebesar Rp. 64,7 triliun sedangkan untuk transfer daerah sebesar Rp. 68 triliun. Dengan posisi itu defisit kita sekitar 2,3 sd. 2,5 %. Dengan koreksi sebesar Rp. 219 triliun, target pajak menurun dari Rp. 1.300 triliun menjadi Rp. 1.100 triliun. Dalam outlook Rp. 1.100 triliun itu sudah termasuk tax amnesty. Jadi pencapaian tax amnesty sudah di dalam outlook yang baru yang dengan defisit 2,3 -2,5 %. Jadi sekarang ini tentunya kalau kita lihat pencapaian tax amnesty yang cukup bagus sudah termasuk dalam plan output bukan on top. Bapak menyampaikan di tahun 2015 Pemerintah sudah ada kebijakan terkait alokasi belanja infrastruktur. Kedepannya, dengan tetap memper hatikan fiscal risk, langkah-langkah kebijakan apalagi yang dilakukan oleh Pemerintah untuk perbaikan ekonomi Indonesia? Kalau kita melihat secara umum, tentunya sangat tergantung dengan fiscal space. Jadi kalau kami review, belanja APBN kita memang sudah banyak dikapling dengan belanja-belanja wajib (mandatory spending) mulai
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
dari pendidikan, kesehatan, DAU serta belanja pegawai. Dari assesment kami sampai 2016, space kita sedikit lebih bagus yaitu sebesar 85% dibandingkan 3-4 tahun lalu sebesar 90% habis, jadi artinya spacenya itu tinggal 10%. Kuncinya ke depan bagaimana space ini bisa lebih diperlebar lagi. Pertama, kita mengoptimalkan penerimaan dari sisi perpajakan dan PNPB. Kalau tadi dampak tax amnesty, dana repatriasi masuk, WP bertambah, pasti akan meningkatan tax base sehingga diharapkan bisa meningkatkan penerimaan pajak kedepan (2017 sampai berikutnya) menjadi lebih baik. Kemudian jika kita lihat, tax ratio kita masih sekitar 11-12%, itu menunjukkan kalau kita masih mempunyai potensial pajak yang masih bisa di-collect dibandingkan negara lainnya dengan tax ratio sebesar 1516%. Artinya memang secara metodologi harusnya masih ada, tinggal bagaimana caranya meng-collect itu, tax amnesty ini salah satu jalan menjadi landasan untuk menaikkan tax ratio kita. Kalau penerimaan kita naik maka space kita akan naik juga. Kalau space kita naik maka infrastruktur dan belanja-belanja prioritas lainnya bisa didanai.
35
w a w a n c a r a
w a w a n c a r a
Kedua yang saya lihat adalah kita konsisten untuk mengendalikan belanja-belanja yang kita nilai tidak produktif, misalnya belanja operasional, kita akan konsiten lakukan upaya agar belanja-belanja ini tidak naik berlebihan setiap tahun, sebab kalau kita tidak kendalikan terus terang K/L itu mempunyai tendensi untuk melakukan penambahan anggaran. Ini harus kita kendalikan dan monitor agar kita bisa hemat. Ketiga, kita masih punya space untuk mengendalikan belanja subsidi, misalnya sekarang BBM hanya tinggal solar yang kita subsidi Rp. 500,-. Tapi listrik kalau kita lihat masih punya potensi untuk bisa dihemat, sebab sekarang ini pelanggan 900 VA masih mendapatkan subsidi. Sebagai contoh kita lihat pelanggan 900 VA ada yang sudah punya apartemen, menunjukkan memang pelanggan tersebut punya kemampuan sehingga menjadi tidak tepat sasaran. Jika memungkinkan termasuk pelanggan 450 VA juga akan dikendalikan subsidinya sebab 450 VA sudah lama tidak naik tariff listriknya, sehingga diharapkan dapat menghemat subsidi sebesar Rp. 40-50 triliun. Kemudian dari pembahasan APBN 2017 bersama DPR, diharapkan ada penghematan dari subsidi pupuk. Sekarang ini, Pemerintah merencanakan, melakukan review terkait pemberian subsidi dengan by name by address atau mungkin bisa menggunakan satu kartu, sebab subsidi ini banyak lapisannya, ada subsidi BBM, subsidi listrik, subsidi pupuk, subsidi pangan, subsidi kereta api, dan subsidi pos. Hal ini sering menyebabkan pemberian subsidi tidak tepat sasaran dan kalau misalnya Pemerintah mau mengintegrasikan semua subsidi ini menjadi satu bantuan kepada rakyat golongan menengah ke bawah maka bisa dengan kartu. Tapi kemudian PR-nya adalah menjaga penerima subsidi benarbenar masyarakat yang layak untuk 36
Sebenarnya sudah ada ahlinya masing-masing, kalau swasta sudah bisa jalan untuk apa Pemerintah masuk ke situ. Tetapi kalau Swasta dan BUMN tidak bisa masuk itulah tugasnya Pemerintah untuk masuk di situ. didukung daya belinya. Dia bisa pakai untuk listrik, BBM, pangan, dll. tapi hanya dengan satu kartu. Kalau ini dilaksanakan saya yakin tepat sasaran dan kita mengeluarkan dana untuk subsidi tidak sebesar saat ini. Ini akan lebih mengefektifkan bantuan Pemerintah untuk rakyat kurang mampu dan kita yakin rakyat kurang mampu mana yang dibantu untuk mengurangi kesenjangan sosial serta memperbaiki daya belinya. Saya yakin kita ada efisiensi di sana, tiga inilah yang kemudian kalau bisa kita lakukan maka fiscal space kita akan lebih lebar lagi dan Pemerintah akan lebih mudah mengarahkan space yang lebar untuk prioritas tadi. Apakah untuk infrastruktur ditambah lagi, apakah untuk kesenjangan sosial ditambah lagi. Tapi itu akan jauh lebih efisien dan lebih efektif, lebih bagus lagi dari kondisi sekarang ini dan Pemerintah punya ruang gerak yang lebih banyak, kalau hanya 10% itu ruang geraknya sedikit sekali untuk bisa melakukan langkah-langkah perbaikan yang harus cepat. Ketika kita berbicara terkait BUMN supporting infrastructure,
mengingat untuk tahun 2017 tidak ada alokasi PMN untuk BUMN, po sisi Pemerintah untuk men-support infrastruktur melalui BUMN itu se perti apa? APBN 2017, memang tidak ada PMN untuk BUMN, tapi ada PMN untuk BUMN bidang keuangan. Mengenai dukungan BUMN, kalau kita balik ke konsep pembangunan, harus dibedakan mana yang harus dilakukan Pemerintah dan mana yang sebaiknya dilakukan oleh BUMN dan mana yang baiknya dilakukan swasta, harus tetap ada message itu. Sebenarnya sudah ada ahlinya masing-masing, kalau swasta sudah bisa jalan untuk apa Pemerintah masuk ke situ. Tetapi kalau Swasta dan BUMN tidak bisa masuk itulah tugasnya Pemerintah untuk masuk di situ. Dari pembagian tadi, sekarang ini Pemerintah sedang mereview kembali posisi tersebut sehingga Pemerintah tidak harus mengeluarkan uang terlalu banyak untuk pendanaan yang masih bisa dilakukan oleh BUMN. Kemudian BUMN itu ada capital expenditure, makanya dividennya tidak ditarik 100%, hanya diambil 30-40%, sisanya untuk modal. BUMN harusnya punya komitmen untuk membelanjakan itu sesuai dengan target capex dengan membelanjakan ke bidang-bidang yang memang bisa dilakukan oleh BUMN. Kita minta BUMN konsisten capexnya dibelanjakan optimal untuk infrastruktur. Saya pernah mengawasi anak perusahaan Pertamina (Pertagas), membangun pipa yang merupakan planning capex realisasinya hanya 60%. Saya bilang kalau dilaksanakan optimal ini akan menghasilkan uang, tapi kenyataannya tidak bisa optimal. Di sisi lain, Pemerintah juga harus konsisten kalau memberi penugasan kepada BUMN. Misalnya, Hutama Karya (HK) membangun tol di Sumatera, komitmennya memberi PMN itu tetap dilakukan. Jadi dengan kombinasi ini
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
menurut saya pembangunan infrastruktur akan berhasil. Kemudian, support Pemerintah terhadap BUMN dengan penjaminan, kalau memang itu dibutuhkan dan memang layak bisa diberikan misalnya untuk PLN, jalan tol, dalam batas-batas yang wajar itu bisa jadi tools. Itu tools tambahan yang bisa didukung Pemerintah. Satu lagi VGF (Viability Gap Fund –red), pandangan saya tools ini banyak belum dioptimalkan, 2016 kita alokasikan dana Rp.1 triliun tidak pernah terpakai. Harusnya tools ini juga dioptimalkan VGF-nya, kemudian PPP kita jalan, support dari BUMN bidang keuangan (PT SMI & PT PII) juga jalan. Kalau kita bisa bersinergi seperti itu dengan segala alat yang kita punya, saya yakin ini bisa lebih masif. Kita sudah punya tools, namun koordinasi dan sinerginya yang kurang. Satu lagi, misalnya BUMN bangun infrastruktur sebenarnya dia bisa pinjam di bank dan bank kalau memberi pinjaman bank juga untung. Sehingga bidang infrastruktur dan bidang ekonomi seimbang, saling memanfaatkan. Issue baru terkait one price un tuk BBM Pak, imbasnya ke APBN seperti apa Pak? Apakah sudah ada strategi dari Kementerian Keuangan untuk melihat itu? Mengenai BBM satu harga, kebijakan BBM sudah ada bahwa harga BBM misalnya Rp. 5.000,- atau Rp. 6.000,-, tetapi kemudian menghadapi pengadaan di daerah terpencil. Ada biaya transportasi yang kemudian biaya transportasi dibebankan kepada masyarakat sehingga harganya menjadi Rp. 60.000,-. Kalau mau konsisten seharusnya ada subsidi silang. Harga BBM mencapai Rp. 60.000,- itu hanya 5%, 95% harga sebenarnya hanya Rp. 6.000,-. Untuk mengembalikan Rp. 60.000,- menjadi Rp. 6.000,-, bisa melakukan penyesuaian harga menjadi Rp. 6.500,- sehingga di Papua bisa INFO RISIKO FISKAL
sama. Kedua, Pemerintah menyediakan biaya tambahan dengan mengalokasikan biaya ongkos angkut khusus untuk Papua. Jadi harga BBM tidak perlu naik. Sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah dalam program beras wilayah Papua dari Bulog ada ongkos angkut yang ditanggung Pemerintah di APBN, hal ini yang tidak dilakukan pada BBM. Presiden mengarahkan subsidi silang, ongkos angkut masuk ke struktur biaya sehingga harga jual menjadi sekitar Rp. 6.000,- s.d. Rp. 6.500,- tadi. Dua pilihan ini bisa dilakukan dan hal ini yang selama ini tidak dilihat oleh Pertamina juga oleh Kementerian ESDM sebagai koordinator. BBM ini biaya fixed cost untuk biaya produksi, kita yakin trigger ini akan bisa membantu menurunkan inflasinya di sana, soalnya BBM di pakai untuk industri (proses produksi). Kalau biaya produksinya murah, maka harga makanan harusnya bisa turun juga di sana. Pertanyaan berikutnya, case-nya harusnya tidak hanya BBM, tapi juga untuk semen yang harganya mencapai Rp. 100.000,-/sak, pasti akan menurunkan semua biaya-biaya yang lain yang ada di Papua. Ini yang harusnya kita pikirkan lebih jauh. Sehingga kalau teman-teman di Papua bilang hotel mahal, bangun gedung mahal, beli makanan mahal. Dengan kebi-
Pemerintah menyediakan biaya tambahan dengan mengalokasikan biaya ongkos angkut khusus untuk Papua. Jadi harga BBM tidak perlu naik.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
jakan-kebijakan tersebut, diharapkan akan mengurangi inflasi dan indeks harga di sana. Harusnya dilakukan bantuan untuk biaya pengangkutan logistik, sehingga bukan konsumen yang menanggung. Dari sisi pengelolaan risiko yang sudah kita lakukan selama ini, apa kira-kira harapan Bapak terhadap pe ngelolaan risiko fiskal terutama kalau dalam topik ini untuk pembangunan infrastruktur? Mungkin risiko fiskal sesuai dengan tugasnya DJPPR, saya ingat kita mulai menganalisa risiko fiskal itu tahun 2006-2007 dan masuk dalam Nota Keuangan. Mungkin catatan saya dari luar, harusnya risiko fiskal itu kita review kembali, kita pertajam analisa dan substansinya. Dengan kita pertajam analisa dan substansinya, saya yakin hal ini akan lebih baik untuk mengingatkan kepada Pemerintah bahwa manajemen risiko fiskal itu memang nyata dari semua sektor. Kedua, analisa risiko fiskal seharusnya menjadi salah satu tools untuk mengambil kebijakan yang saya nilai belum kita perkuat. Padahal dengan menjadikan ini sebagai tools, saya yakin Pemerintah akan lebih yakin lagi dalam mengambil kebijakan. Harusnya analisa ini diperkuat untuk mendukung kebijakan dan kita review, tentunya hal ini akan membantu meningkatkan kinerja teman-teman. Pilihan pengambil kebijakan sangat dibutuhkan tapi dengan analisa yang komprehensif sehingga tools kita yang ada di APBN betul-betul dimanfaatkan dengan optimal bukan hanya sebatas kebijakan yang ujung-ujungnya tidak terpakai. Termasuk tadi, menganalisa mengenai pengadaan tanah, apakah sudah efisien, ini yang mungkin saya nilai masih ada waktu dan masih sangat dibutuhkan, bahwa analisa risiko ini khususnya untuk pembangunan infrastruktur sangat nyata dan terpakai sejalan dengan komitmen Presiden. n 37
w a w a n c a r a
Peran PT PII Sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) dalam Mendukung Infrastruktur Strategis Nasional Oleh: Sinthya Roesly Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Email :
[email protected]
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
S
esuai RPJMN 2015-2019, Pemerintah menargetkan belanja untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp4.796 triliun. Kebutuhan tersebut tentunya sangat besar jika harus dipenuhi seluruhnya dari anggaran pemerintah. Dari total kebutuhan tersebut, direncanakan APBN dan APBD menyumbang sebesar Rp2.817 triliun. Untuk itu, Pemerintah perlu melibatkan swasta untuk memenuhi gap pembiayaan infrastruktur tersebut. Sejak tahun 2005, Pemerintah telah memperkenalkan skema Public Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005. Penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU dilakukan untuk meningkatkan kualitas layanan infrastruktur serta menciptakan efisiensi. Fasilitas-fasilitas Dukungan Pemerintah yang diberikan dalam rangka mendukung skema KPBU adalah: a. Project Development Fund (PDF), fasilitas yang diberikan Pemerintah kepada Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam rangka mempersiapkan proyek KPBU agar menarik dan siap ditawarkan kepada investor ; 38
b. Dukungan Kelayakan atau biasa disebut Viability Gap Fund (VGF) atas sebagian Biaya Konstruksi terhadap proyek KPBU; c. Penjaminan risiko infrastruktur yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur/ PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero). Dengan penjaminan pemerintah melalui PT PII, kepastian pendanaan proyek dari partisipasi swasta dapat lebih meningkat sehingga Pemerintah dapat mewujudkan penyediaan infrastruktur dengan tidak hanya mengandalkan anggaran pemerintah yang terbatas. Selain itu, salah satu terobosan baru dalam mendukung proyek KPBU oleh Pemerintah adalah melalui Skema Availability Payment (Skema AP). Dalam skema ini, Badan Usaha akan menanggung biaya pendanaan proyek infrastruktur, kemudian investasi tersebut akan dikembalikan secara berkala oleh Kementerian/Lembaga Negara atau Pemerintah Daerah yang bertindak sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK). Berdasarkan Perpres 38/2015, terdapat 19 (Sembilan belas) sektor infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang dapat dikerjasamakan
dan dapat diberikan penjaminan. Lebih jauh, PT PII dapat memberikan Penjaminan Pemerintah untuk sektor publik yang secara financial kurang menguntungkan namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat misalnya sektor pendidikan, lembaga pemasyarakatan, persampahan dan pariwisata. Sejak didirikan pada 30 Desember 2009 hingga pertengahan November 2016, PT PII (Persero) / PT PII telah menandatangani 9 (sembilan) Perjanjian Penjaminan pada 4 sektor yaitu sektor listrik, jalan tol, telekomunikasi dan informatika serta air minum. Proyek-proyek tersebut yaitu Proyek Pembangkit Listrik PLTU Batang di Jawa Tengah, Proyek Palapa Ring Paket Barat, Paket Tengah dan Paket Timur, 4 (empat) Proyek Tol yaitu ruas Batang-Semarang, Balikpapan-Samarinda, Pandaan-Malang dan Manado-Bitung, serta Proyek Air Minum Umbulan, dengan total investasi sekitar Rp81 triliun. Berbagai proyek tersebut merupakan Proyek Prioritas dan Strategis Nasional yang tercantum dalam Perpres Nomor 3 tahun 2016. Sebagian besar dari Proyek tersebut telah mencapai tahapan Financial Close (perolehan kepastian pendanaan) dan sudah mulai konstruksi sehingga diharapkan dapat mulai beroperasi komersial dalam 2
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
hingga 3 tahun mendatang. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2016 sebagai Perubahan dari PP Nomor 35 Tahun 2009 mengenai pembentukan PT PII, saat ini mandat PT PII telah diperluas, sehingga tidak hanya sematamata untuk menjamin proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau dikenal dengan Public Private Partnership/PPP, tetapi dapat juga meliputi penjaminan BUMN dengan skema direct lending ataupun penugasan penjaminan infrastruktur lainnya seperti penjaminan pinjaman atau obligasi atas penugasan Hutama Karya. Implementasi dan keterlibatan PT PII dalam proyek infrastruktur ditujukan tidak hanya memberikan nilai tambah dari aspek penjaminan infrastruktur, tetapi lebih kepada dorongan untuk meningkatkan disiplin dan tata kelola dari berbagai pemangku kepentingan, khususnya Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), dalam mengidentifikasi, mengalokasikan dan menyusun upaya mitigasi risiko atas proyek yang dikerjasamakan dengan pihak swasta. Selain itu, dengan adanya penjaminan dari PT PII diharapkan dapat mendorong disiplin PJPK dan pemangku kepentingan terkait untuk melakukan penyiapan proyek yang baik serta pelaksanaan transaksi atau pelelangan Proyek secara transparan, kompetitif dan adil yang dilandasi oleh dokumentasi proyek yang mengacu kepada praktikpraktik terbaik yang lazim digunakan dalam proyek KPBU, sehingga dapat memastikan value for money. Eksekusi penyediaan penjaminan pemerintah melalui PT PII selaku BUPI telah meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan risiko fiskal atas pemberian penjaminan pemerintah. Penjaminan pemerintah melalui PT PII dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, mulai dari consultation and INFO RISIKO FISKAL
Eksekusi penyediaan penjaminan pemerintah melalui PT PII selaku BUPI telah meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan risiko fiskal atas pemberian penjaminan pemerintah. guidance, screening, appraisal, sturcturing dan monitoring, yang merupakan langkah inovatif dan diharapkan mampu membangun akuntabilitas yang lebih baik dalam pengelolaan risiko fiskal suatu negara. Dalam rangka membangun kapasitas dan kapabilitas institusi penjamin yang kredibel, PT PII melalui IIGF Institute telah melakukan berbagai program sosialisasi dan capacity building kepada para pemangku kepentingan yang terkait guna membangun suatu landasan implementasi yang dapat dipahami oleh berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan proyekproyek infrastruktur khususnya yang berskema KPBU. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan pelatihan/ workshop Active Learning Program/ ALP (baik General ALP maupun Targeted ALP) yang dibangun dengan suatu sistematika dan metologi pengajaran yang baku, penyusunan berbagai studi kasus infrastruktur di Indonesia a la Harvard Business Case melalui kerjasama dengan berbagai akademisi dari perguruan tinggi ternama antara lain UI, ITB dan UGM yang dikupas dalam Indonesia
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Infrastructure Roundtable (“IIR”), dan dilakukan secara berkala. Disamping itu, PT PII juga telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan lebih dari 25 (dua puluh lima) universitas di seluruh Indonesia. Riset-riset terapan terkait infrastruktur juga dilakukan oleh IIGF Institute yang melibatkan praktisi dan akademisi yang terkait dengan bidang-bidang keahliannya. Kajian institusional dan regulatory juga dilakukan dengan pihak lainnya, seperti Korea Development Institute. PT PII juga dipercaya sebagai authorized insitution untuk menyusun versi Bahasa Indonesia dari PPP Reference Guide yang diterbitkan oleh World Bank, dan menjadi sebagai salah satu reviewer dari PPP Body of Knowledge untuk program sertifikasi Global PPP Specialist yang digagas oleh berbagai institusi Multilateral seperti World Bank, ADB, IDB, EBRD, IADB, melalui APMG. Berbagai publikasi telah pula diterbitkan oleh PT PII selain dari publikasi wajib seperti Acuan Alokasi Risiko yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260 Tahun 2010. Kedepannya, PT PII diharapkan dapat meningkatkan perannya dalam melaksanakan mandat serta mencapai maksud dan tujuan pembentukannya. Tentu saja hal ini tidak akan terwujud tanpa kerja sama yang baik dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan terkait, utamanya Kementerian Keuangan dan Penanggung Jawab Proyek Kerjasama, baik Kementerian/Lembaga maupun Pemerintah Daerah. Tidak hanya PT PII harus mampu untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur publik yang berkualitas dan berkelanjutan, tetapi juga mampu mendukung penciptaan pengelolaan risiko fiskal yang akuntabel dengan diterbitkannya penjaminan pemerintah melalui PT PII selaku BUPI. n 39
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Pengelolaan Risiko Dukungan Pemerintah dalam Penyediaan Infrastruktur Oleh: Rahmat Mulyono Pelaksana pada Direktorat PDPPI, DJPPR. Email:
[email protected]
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
P
residen Joko Widodo dalam Pidato Kenegaraan di depan DPR, DPD, dan MPR RI pada tanggal 16 Agustus 2016 menyampaikan bahwa Pemerintah fokus pada tiga langkah terobosan untuk pengentasan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan kesenjangan sosial. Salah satu langkah tersebut adalah percepatan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan data dari Bappenas, kebutuhan pendanaan infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 diperkirakan sebesar Rp4.796,2 trilun. Jumlah tersebut direncanakan dibiayai dari APBN sebesar Rp1.433,3 triliun, APBD Rp545,3 triliun, BUMN Rp1.066,2 triliun, dan Swasta Rp1.751,4 triliun. Dari data tersebut, jumlah pendanaan dari BUMN dan Swasta memegang peran yang signifikan yaitu mencapai 58,75% dari total kebutuhan. Penyediaan infrastruktur melalui penugasan kepada BUMN dan kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur dikarenakan kemampuan keuangan negara yang terbatas. Pembiayaan infrastruktur dengan penugasan BUMN menimbulkan konsekuensi bagi Pemerintah be40
rupa kewajiban untuk memampukan keuangan BUMN yang belum mampu agar dapat melaksanakan penugasan tersebut. Untuk itu, Pemerintah memberikan dukungan, baik berupa penambahan penyertaan modal negara, maupun memberikan jaminan terhadap pinjaman yang dilakukan BUMN dalam rangka penugasan atau
Penyediaan infrastruktur melalui penugasan kepada BUMN dan kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) menjadi alternatif pembiayaan infrastruktur dikarenakan kemampuan keuangan negara yang terbatas.
menjamin kemampuan BUMN penugasan untuk memenuhi kewajiban finansialnya. Proyek infrastruktur dapat menarik minat swasta untuk berinvestasi apabila dapat memberikan keuntungan atas investasi. Karenanya, kelayakan finansial proyek infrastruktur merupakan hal yang penting. Selain kelayakan finansial, proyek infrastruktur juga harus bankable agar dapat memperoleh pembiayaan dari lembaga pembiayaan. Diperlukan dukungan pemerintah untuk meningkatkan kelayakan finansial dan bankability/ creditworthiness. Dukungan pemerintah tersebut dapat berupa kontribusi fiskal terhadap proyek kerja sama dan/atau penjaminan terhadap risikorisiko yang dapat berdampak negatif terhadap investasi swasta maupun pihak pemberi pinjaman. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pemberian dukungan pemerintah, baik untuk proyek penugasan kepada BUMN maupun KPBU. Dukungan pemerintah untuk proyek penugasan kepada BUMN/BUMD antara lain jaminan pemerintah pada proyek FTP I, jaminan kelayakan usaha pada FTP II, jaminan untuk proyek jalan tol Trans Sumatera, dan jaminan untuk
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Tabel 1. Daftar Dukungan Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur yang Dilaksanakan oleh BUMN/ BUMD No. Dukungan Pemerintah
Dasar Hukum
1.
Jaminan Pemerintah pada Program Percepatan Pembagunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I
1. Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2006 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/ PMK.01/2008
2.
Jaminan Kelayakan Usaha pada Program Percepatan Pembagunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) II
1. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/ PMK.011/2011
3.
Jaminan Pemerintah Pusat pada Program Percepatan 1. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2009 Penyediaan Air Minum 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/ PMK.01/2009
4.
Penjaminan pada Penugasan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera
1. Peraturan Presiden Nomor 100 Tahun 2014 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/ PMK.08/2015
5.
Jaminan Pemerintah pada Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN (Direct Lending)
1. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2015 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/ PMK.08/2015
6.
Jaminan Pinjaman dan Jaminan Kelayakan Usaha pada Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan
1. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/ PMK.08/2016
7.
Jaminan Pemerintah untuk Penugasan Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah Kepada BUMN
Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 232/ PMK.06/2015
Tabel 2. Daftar Dukungan Pemerintah untuk Pembangunan Infrastruktur melalui Skema KPBU No. Dukungan Pemerintah
Dasar Hukum
1. Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2012 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.011/2013
2. Fasilitas Penyiapan Proyek
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 265/PMK.08/2015
3. Penjaminan Infrastruktur
1. Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.011/2010
pinjaman langsung BUMN dalam rangka pembangunan infrastruktur. Sementara itu, untuk penyediaan infrastruktur melalui skema KPBU, Pemerintah memberikan dukungan antara lain dukungan kelayakan atas sebagian biaya konstruksi (viability gap fund/VGF), fasilitas penyiapan proyek, dan penjaminan infrastruktur.
Risiko Dukungan Pemerintah Pemberian dukungan pemerintah berupa jaminan pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur menimbulkan risiko fiskal bagi INFO RISIKO FISKAL
pemerintah. Risiko fiskal diartikan sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN. Risiko fiskal yang berasal dari pemberian jaminan pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur yaitu berupa kewajiban kontinjensi. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa (event), yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali Pemerintah.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Sumber-sumber kewajiban kontinjensi dari program penjaminan proyek pembangunan infrasruktur adalah sebagai berikut: 1. Jaminan Pemerintah pada Pro gram Percepatan Pembagunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I Jaminan pemerintah pada FTP I adalah berupa jaminan penuh (full guarantee) terhadap kewajiban PT PLN kepada kreditur (pokok utang dan bunga). Risiko fiskal yang timbul dari jaminan pemerintah pada FTP I adalah kemungkinan PT PLN 41
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
(Persero) tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur secara tepat waktu dan oleh karenanya Pe merintah wajib memenuhi kewajiban tersebut. Sampai dengan September 2016, Pemerintah telah menerbitkan 36 surat jaminan pemerintah terhadap pinjaman PT PLN untuk FTP I dengan nilai penjaminan sebesar USD3,96 miliar dan Rp35,68 triliun.
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
2. Jaminan Kelayakan Usaha pada Program Percepatan Pembangun an Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/ FTP) II Jaminan kelayakan usaha yang diberikan kepada pengembang listrik swasta/independent power producer (IPP) dalam FTP II adalah berupa ga ransi, bukan penanggungan/borgtocht, yaitu Pemerintah akan memampukan keuangan PT PLN agar dapat memenuhi kewajiban finansial kepada IPP sesuai dengan perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBTL). Kewajiban finansial PT PLN kepada IPP dalam PJBTL meliputi tagihan penjualan listrik maupun ketika terjadi risiko politik yang mengakibatkan proyek tidak dapat dilanjutkan (terminasi). Sampai dengan 2016, Pemerintah telah menerbitkan 11 Surat Jaminan Kelayakan Usaha (SJKU) dengan nilai penjaminan sebesar USD5,08 miliar. 3. Jaminan Pemerintah Pusat pada Program Percepatan Penyediaan Air Minum Dalam program Percepatan Penyediaan Air Minum, Pemerintah Pusat memberikan jaminan kredit kepada bank pemberi kredit PDAM sebesar 70% dari pokok utang. Hingga 2016, Pemerintah telah menerbitkan 11 Surat Jaminan Pemerintah Pusat (SJPP) dengan nilai penjaminan sebesar Rp328,30 miliar.
42
4. Penjaminan Infrastruktur pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Penjaminan infrastruktur adalah pemberian jaminan atas kewajiban finansial penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) dalam proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Kewajiban finansial PJPK adalah kewajiban untuk membayar kompensasi finansial kepada Badan Usaha atas terjadinya risiko infrastruktur yang menjadi tanggung jawab PJPK sesuai dengan alokasi risiko yang disepakati dalam perjanjian kerja sama. Risiko infrastruktur adalah peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek kerja sama selama berlakunya perjanjian kerja sama yang dapat mempengaruhi secara negatif investasi Badan Usaha, yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga. Penjaminan infrastruktur dalam proyek KPBU dilaksanakan oleh Menteri Keuangan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI), yaitu
Kewajiban finansial PJPK adalah kewajiban untuk membayar kompensasi finansial kepada Badan Usaha atas terjadinya risiko infrastruktur yang menjadi tanggung jawab PJPK sesuai dengan alokasi risiko yang disepakati dalam perjanjian kerja sama.
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero)/PT PII. Dalam hal kekayaan BUPI tidak mencukupi atau upaya untuk memenuhi kekayaan BUPI tidak dapat dilakukan sementara proses lelang KPBU tidak dapat ditunda atau kerja sama dengan pihak lain yang memiliki maksud dan tujuan sejenis atau terdapat kerja sama namun fasilitasnya tidak memadai, BUPI dapat meneruskan usulan penjaminan kepada Menteri Keuangan untuk dilakukan penjaminan Pemerintah bersama-sama dengan BUPI berdasarkan pembagian risiko (risk sharing). Risiko fiskal yang timbul dari penjaminan infrastruktur pada proyek KPBU adalah terjadinya klaim penjaminan dalam penjaminan Pemerintah bersama-sama dengan BUPI. Sampai dengan September 2016, terdapat satu proyek KPBU yang mendapat penjaminan bersama yang telah memasuki masa konstruksi, yaitu proyek PLTU Batang 2x1.000 MW senilai USD3,2 miliar. Pada bulan September 2016, Menteri Keuangan juga telah memberikan persetujuan penjaminan pemerintah bersama-sama dengan BUPI untuk empat proyek jalan tol, yaitu jalan tol Jakarta – Cikampek II (Elevated), Krian – Legundi – Bunder – Manyar, Cileunyi – Sumedang – Dawuan, dan Serang – Panimbang. Keempat proyek jalan tol tersebut saat ini masih dalam proses pengadaan Badan Usaha. 5. Jaminan Pemerintah pada Penu gasan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera Pemerintah memberikan jaminan terhadap kewajiban pembayaran PT Hutama Karya (Persero) atas pendanaan berupa penerbitan obligasi dan pinjaman dalam rangka penugasan percepatan pembangunan jalan tol di Sumatera. Sampai dengan 30 Juni 2016, terdapat 2 surat jaminan yang diterbitkan untuk proyek pembangunan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
jalan tol di Sumatera yaitu untuk jalan tol Medan – Binjai dan Palembang – Simpang Indralaya dengan nilai penjaminan sebesar Rp1,72 triliun. 6. Jaminan Pemerintah pada Pembi ayaan Infrastruktur Melalui Pin jaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN Salah satu alternatif sumber pembiayaan infrastruktur yang dilaksanakan oleh BUMN adalah melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional (LKI) kepada BUMN dengan syarat dan kondisi (terms and conditions) setara pinjaman pemerintah. Untuk itu, Menteri Keuangan dapat memberikan jaminan pemerintah terhadap pinjaman langsung dari LKI (multilateral dan bilateral) kepada BUMN untuk pembiayaan infrastruktur. Melalui alternatif pembiayaan ini, BUMN dapat memiliki akses terhadap pinjaman bertenor panjang dan berbunga rendah yang umumnya hanya dapat diperoleh oleh pemerintah dari LKI. Jaminan ini merupakan credit guarantee terhadap kemampuan keuangan BUMN dalam membayar kewajiban Pinjaman. Sampai dengan 30 Juni 2016, Pemerintah telah menerbitkan 2 surat jaminan dengan nilai penjaminan sebesar USD1,1 miliar untuk PT PLN. 7. Jaminan Pemerintah pada Pro gram Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Penjaminan pemerintah dalam program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan adalah berupa jaminan pinjaman (credit guarantee) untuk proyek yang dilaksanakan secara swakelola oleh PT PLN dan jaminan kelayakan usaha untuk proyek yang dilaksanakan dengan skema kerja sama. Pada prinsipnya, program ini menggabungkan FTP I dan FTP II. INFO RISIKO FISKAL
Pada tahun 2015, Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)/PT SMI yang berasal dari pengalihan seluruh investasi pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah (PIP). 8. Jaminan Pemerintah untuk Pe nugasan Penyediaan Pembiaya an Infrastruktur Daerah kepada BUMN Pada tahun 2015, Pemerintah melakukan penambahan penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)/PT SMI yang berasal dari pengalihan seluruh investasi pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Berdasarkan PMK Nomor 232/PMK.06/2015, Pemerintah dapat memberikan jaminan atas (i) pinjaman kepada pemerintah daerah yang dialihkan dari PIP ke PT SMI dan (ii) pinjaman baru yang disalurkan oleh PT SMI ke pemerintah daerah. Dalam hal ini, Pemerintah menjamin kualitas aset PT SMI (Persero) selaku pelaksana penugasan dari Pemerintah dalam rangka memberikan pembiayaan infrastruktur kepada pemerintah daerah.
Pengelolaan Risiko Dukungan Pemerintah Jaminan pemerintah yang diberikan untuk proyek pembangunan infra-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
struktur apabila terklaim dapat menimbulkan tambahan pengeluaran negara. Oleh karena itu, risiko fiskal yang timbul dari pemberian jaminan pemerintah harus dikelola dan dimitigasi dengan baik. Kementerian Keuangan telah membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) yang melaksanakan pengelolaan jaminan pemerintah beserta risiko yang ditimbulkannya. Unit eselon II yang terkait antara lain Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan yang melaksanakan pengelolaan kewajiban kontinjensi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara yang melaksanakan penjaminan pemerintah untuk proyek pembangunan infrastruktur non-KPBU, dan Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur yang melaksanakan penjaminan infrastruktur untuk proyek KPBU. Beberapa langkah yang dilaksanakan dalam pengelolaan risiko fiskal dari pemberian jaminan pemerintah antara lain penetapan batas maksimal penjaminan, penetapan kebijakan pengelolaan kewajiban penjaminan, pengalokasian anggaran kewajiban penjaminan dalam APBN, pembentukan dana cadangan penjaminan, pendirian BUPI sebagai ring fencing, penyusunan rencana mitigasi risiko, pemantauan, dan pengungkapan risiko fiskal di dalam Nota Keuangan dan APBN. 1. Batas Maksimal Penjaminan Kementerian Keuangan setiap tahun menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Batas Maksimal Penjaminan. Batas maksimal pinjaman yaitu nilai maksimal yang diperkenankan untuk penerbitan jaminan pemerintah terhadap proyek baru yang diusulkan memperoleh jaminan pada tahun 2014 – 2017 sebesar 2,57% terhadap PDB (Nota Keuangan dan RAPBN 2017). 43
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Tabel 3. Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah dalam APBNP 2016 dan RAPBN 2017 No.
APBNP 2016 (miliar Rp)
Kewajiban Penjaminan Pemerintah
1. Program Percepatan Pembagunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I
RAPBN 2017 (miliar Rp)
570,5
449,7
0,6
1,1
80,6
209,9
4. Penugasan Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera
-
39,4
5. Penjaminan atas Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN (Direct Lending)
-
21,1
-
203,0
651,7
924,1
2. Program Percepatan Penyediaan Air Minum 3. Penjaminan Infrastruktur pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha
6. Penugasan Pembiayaan Infrastruktur Daerah kepada BUMN Jumlah Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2017, diolah.
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
2. Kebijakan Pengelolaan Kewajib an Penjaminan Di dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017 dinyatakan bahwa Pemerintah juga telah menyusun kebijakan pengelolaan kewajiban penjaminan dalam hal: a. mitigasi risiko penjaminan Pemerintah, yaitu dengan melakukan penerbitan acuan pinjaman dan melakukan evaluasi kelayakan proyek dan perjanjian kerjasama; b. prinsip umum dalam pemberian penjaminan, yaitu: 1) pemberian jaminan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 2) penerbitan jaminan Pemerintah harus memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kehatihatian, 3) jumlah jaminan Pemerintah tidak boleh melebihi batas maksimal penjaminan, 4) Pemerintah dapat mengenakan biaya (fee) atas penjaminan dalam rangka mengurangi biaya dan risiko dari pemberian jaminan, dan 5) Pemerintah dapat meminta entitas terjamin untuk memberi jaminan termasuk dalam 44
Tabel 4. P erkembangan Dana Cadangan Penjaminan 2013-2014 (miliar rupiah) No.
Kewajiban Penjaminan Pemerintah
2013
2014
1. Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik 10.000 MW (Fast Track Program/FTP) I
611,2
913,7
2. Program Percepatan Penyediaan Air Minum
35,0
2,2
3. Penjaminan Infrastruktur pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha
59,8
48,2
706,0
964,1
Jumlah
Keterangan: Akumulasi saldo dana cadangan penjaminan hingga akhir Juni tahun 2016 sebesar Rp1,7 triliun. Jumlah tersebut merupakan akumulasi pemindahbukuan anggaran kewajiban penjaminan pemerintah tahun 2013 dan tahun 2014 ke rekening dana cadangan penjaminan. Sedangkan anggaran kewajiban penjaminan pemerintah tahun 2015 tidak dipindahbukukan karena keperluan manajemen kas. Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2017, diolah.
bentuk rekening penampungan (escrow account) sebesar satu kali pembayaran, guna menjamin ketersediaan dana pembayaran kewajiban. c. penyusunan/penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait penjaminan sebagai landasan hukum bagi pengelolaan jaminan Pemerintah yang efektif dan efsien; serta d. penghentian kebijakan pemberian jaminan Pemerintah yang bersifat penjaminan penuh (blanket guarantee), seperti penerbitan surat dukungan (support letter) untuk proyek pembangkit listrik yang dilaksanakan oleh PT PLN
melalui kerja sama dengan independent power producer (IPP). 3. Anggaran Kewajiban Penjaminan Untuk mengantisipasi terklaimnya penjaminan pemerintah, Pemerintah menganggarkan anggaran kewajiban penjaminan di dalam APBN setiap tahun. Kewajiban penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian negara/lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam hal kementerian negara/lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Dae-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
rah dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/ atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. Anggaran kewajiban penjaminan dalam APBN tahun 2016 dan RAPBN 2017 adalah lihat tabel 3. 4. Dana Cadangan Penjaminan Untuk menghindari pengalokasian anggaran kewajiban penjaminan dalam jumlah besar dalam satu tahun anggaran, menjamin ketersediaan dana yang jumlahnya sesuai kebutuhan, menjamin pembayaran klaim secara tepat waktu, dan memberikan kepastian kepada pemangku kepentingan, Pemerintah membentuk dana cadangan penjaminan. Pengelolaan dana cadangan penjaminan diatur dalam PMK Nomor 30/PMK.08/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah. Dana cadangan penjaminan adalah dana hasil akumulasi dari anggaran kewajiban penjaminan yang tidak habis digunakan dalam tahun anggaran berjalan dan dikelola dalam suatu rekening dana cadangan penjaminan pemerintah. Dana cadangan penjaminan dapat digunakan untuk membayar klaim penjaminan apabila dalam tahun berjalan tidak dianggarkan anggaran kewajiban penjaminan atau anggaran kewajiban penjaminan tidak mencukupi. Perkembangan dana cadangan penjaminan adalah lihat tabel 4. 5. Peran BUPI sebagai Ring Fencing BUPI selain berperan sebagai single window policy untuk penjaminan proyek KPBU juga berperan sebagai ring fencing bagi APBN. Dalam hal terjadi klaim penjaminan, klaim tersebut tidak langsung dibayar melalui APBN tetapi dibayar terlebih dahulu oleh BUPI. INFO RISIKO FISKAL
6. Penyusunan Rencana Mitigasi Risiko dalam Penjaminan Infra struktur pada Proyek KPBU Di dalam perjanjian penjaminan infrastruktur dan perjanjian regres pada proyek KPBU terdapat rencana mitigasi risiko (risk mitigation plan/ RMP). RMP mengidentifikasi risikorisiko infrastruktur yang dijamin beserta langkah-langkah yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak untuk mencegah terjadinya risiko tersebut. 7. Pemantauan Pemerintah melakukan pemantauan terhadap proyek yang mendapatkan penjaminan. Pelaksanaan pemantauan selain untuk memantau perkembangan proyek, juga dapat untuk mendeteksi dini kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan klaim terhadap penjaminan sehingga dapat dilakukan langkah-langkah antisipasinya. Di dalam perjanjian penjaminan pada proyek KPBU biasanya disebutkan kewajiban untuk membentuk komite pamantauan bersama yang terdiri atas PJPK, Badan Usaha, dan penjamin yang akan memantau perkembangan proyek dan memastikan rencana mitigasi risiko (risk mitigation plan) berjalan. DJPPR secara rutin menerbitkan laporan pengelolaan kewajiban kontinjensi yang berisi posisi outstanding dan eksposur kewajiban penjaminan per tanggal tertentu, baik per program maupun per proyek. 8. Pengungkapan Risiko Fiskal Pemerintah telah melaporkan kewajiban kontinjensi yang timbul dari kebijakan pemberian jaminan pemerintah pada proyek pembangunan infrastruktur di dalam Nota Keuangan dan APBN setiap tahun. Pengungkapan risiko fiskal telah dimulai sejak Nota Keuangan dan APBN 2008 hingga sekarang (Nota Keuangan dan RAPBN 2017). Pengungkapan
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
risiko fiskal di dalam Nota Keuangan dan APBN ini merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas fiskal atas pengelolaan keuangan negara sehingga para pemangku kepentingan dapat mengetahui dan memantau kebijakan tersebut.
Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah untuk memberikan dukungan pemerintah berupa jaminan pemerintah pada proyek pembangunan infrastruktur menimbulkan risiko fiskal yang berupa kewajiban kontinjensi. Pemerintah telah melaksanakan pengelolaan kewajiban kontinjensi serta menyusun mitigasi risiko fiskal dari kewajiban kontinjensi tersebut. Pemerintah juga telah melaporkan kewajiban kontinjensi tersebut di dalam Nota Keuangan dan APB yang disusun setiap tahun maupun dalam laporan lainnya. Sejak dikeluarkannya kebijakan jaminan pemerintah untuk FTP I pada tahun 2008 hingga sekarang, belum pernah terdapat penjaminan pemerintah yang terklaim. n
Referensi: 1. Nota Keuangan dan RAPBN 2017, diunduh dari http:// www.anggaran.depkeu. go.id/Content/Publikasi/ NK%20APBN/2016%20 NK%20RAPBN%202017.pdf pada 21 Oktober 2016. 2. Perkembangan Pengelolaan Kewajiban Kontinjensi Triwulan II Tahun 2016, diunduh dari http://www.djppr. kemenkeu.go.id/page/loadViewer?idViewer=6289&action=download pada 21 Oktober 2016. 3. P e r a t ur a n pe r unda ngundangan terkait.
45
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Memanfaatkan Repatriasi Hasil Pengampunan Pajak untuk Pembangunan Infrastruktur PPP Oleh: Eko Nur Surachman Kepala Seksi Dukungan Pemerintah Proyek Sektor I, DJPPR. mail:
[email protected]
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
P
eriode pertama masa pengampunan pajak telah berakhir pada akhir September lalu. Sukses besar dicetak oleh pemerintah dengan mencatatkan hasil uang tebusan sebesar Rp 97,2 triliun, dari total deklarasi harta Rp 3.625 triliun. Sejumlah 70% dari total deklarasi harta tersebut berasal dari dalam negeri, sedangkan 30% sisanya, atau sekitar Rp 952 triliun yang berasal dari luar negeri. Dari jumlah tersebut, aset yang direpatriasi dari luar negeri berjumlah sekitar Rp 137 triliun (4% dari laporan harta periode I Juli-September 2016). Catatan prestasi ini mencatatkan Indonesia sebagai negara yang tersukses dalam penyelenggaraan program pengampunan pajak di dunia.
Prestasi ini tentunya layak untuk diapresiasi dan ditingkatkan di masa periode pengampunan pajak yang tersisa. Di samping itu, masih ada hal yang juga penting untuk diperhatikan oleh pemerintah yaitu bagaimana memanfaatkan hasil program pengampunan pajak berupa repatriasi ini agar bermanfaat sebesar-besarnya untuk mendukung perekonomian Indonesia. Sejalan dengan kepentingan pemanfaatan hasil program pengampunan pajak tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan 3 Peraturan Menteri Keuangan yang menjadi basis legal teknis pemanfaatan dana hasil pengam-
Tabel 1. Capaian Program Pengampunan Pajak Dan Rasio Terhadap PDB
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak, CITA, Katadata)
46
punan pajak sebagai penjabaran dari UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu antara lain PMK No 119 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan pada Instrumen Investasi Di Pasar Keuangan dalam Rangka Pengampunan Pajak, PMK No 122 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan pada Instrumen Investasi di Luar Pasar Keuangan dalam Rangka Pengampunan Pajak, dan PMK No 123 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No 119 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengalihan Harta Wajib Pajak ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Penempatan pada Instrumen Investasi di Pasar Keuangan Dalam Rangka Pengampunan Pajak. Ketiga PMK tersebut mengatur dan memberikan pedoman kepada wajib pajak peserta program pengampunan pajak dalam melakukan pengalihan harta dan penempatan pada instrumen investasi, baik di pasar keuangan maupun selain pasar keuangan yang berada dalam wilayah Indonesia. Pada prinsipnya, hasil repatriasi dari program pengampunan pajak ditampung di dalam rekening tertentu yang dibentuk oleh wajib
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Gambar 1. Skema Pembiayaan Proyek Infrastruktur PPP (Public Private Partnership).
pajak di bank tertentu yang telah ditunjuk pemerintah (bank persepsi/gateway). Bank persepsi tersebut kemudian menjadi manajer investasi yang bekerja sesuai dengan kontrak pengelolaan dana yang telah disepakati antara wajib pajak (pemilik dana) dan bank persepsi. Bentuk investasi yang tersedia beragam dari sektor keuangan maupun sektor non keuangan. Investasi yang dapat dilakukan di dalam pasar keuangan antara lain, Surat Berharga Negara Pemerintah (SUN maupun Sukuk), Obligasi BUMN, Obligasi Lembaga Pembiayaan Milik Pemerintah, Investasi Keuangan pada Bank Persepsi, Obligasi Perusahaan Swasta yang terdaftar di OJK, Investasi Infrastruktur melalui Public Private Partnership, Investasi sektor riil prioritas pemerintah dan bentuk investasi lainnya yang sah menurut undang-undang. Sedangkan pilihan investasi di luar pasar keuangan antara lain, investasi sektor riil berdasarkan prioritas pemerintah, property, direct investment, emas, logam mulia, dan Investasi infrastruktur melalui Public Private Partnership. Tulisan ini selanjutnya akan membahas usulan mekanisme investasi infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP). Model investasi melalui in-
INFO RISIKO FISKAL
frastruktur PPP ini merupakan salah satu kunci dalam usaha pemanfaatan dana repatriasi untuk pembangunan ekonomi Indonesia, karena sifat infrastruktur yang menjadi faktor efek pengganda (multiple effect factors) yang akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi, baik pada saat pembangunan, dan lebih lagi pada saat masa pengoperasiannya. Penyediaan infrastruktur di Indonesia melalui skema PPP telah dimulai sejak satu dasawarsa silam. Telah banyak pengalaman dan pelajaran yang diperoleh Indonesia dalam usahanya menjalankan PPP untuk menyediakan infrastruktur yang berkualitas kepada masyarakat. Salah satu dari pengalaman dan pelajaran tersebut adalah masih minimnya partisipasi sektor keuangan yang lebih luas dalam menyediakan sumber pembiayaan bagi proyek PPP (financial market deepening and inclusivity to support PPP financing). Sehingga, terkadang isu ketersediaan pembiayaan bagi proyek PPP di Indonesia menjadi satu permasalahan tersendiri, karena menjadikan sumber pinjaman pembiayaan proyek PPP terbatas, karena providernya juga terbatas dan dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin akan berakibat pada dominasi oleh bebera-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
pa lembaga keuangan tertentu yang berpotensi untuk menciptakan pasar oligopoli dalam penyediaan pembiayaan proyek PPP. Oleh karena itu, pemanfaatan dana repatriasi hasil dari program pengampunan pajak memberikan opportunity dalam menjawab isu partisipasi sektor keuangan yang lebih luas dalam mendukung pembiayaan infrastruktur melalui skema PPP. Selanjutnya, mekanisme detail dan tata kelola investasi infrasturktur PPP ini yang perlu dibangun dan kemudian dapat diimplementasikan dengan efektif dan efisien. Berikut adalah usulan langkahlangkah dalam usaha pemanfaatan dana repatriasi untuk pembangunan infrastruktur melalui PPP.
Penggunaan Instrumen Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) KIK EBA merupakan surat berharga (efek) berupa sekumpulan aset keuangan berupa tagihan atau arus kas yang timbul dari surat berharga komersial seperti pemberian kredit (termasuk kredit komersial atau kredit investasi), efek bersifat utang yang dijamin pemerintah, tagihan kartu kredit, dan arus kas. Dalam prosesnya, bank sebagai kreditor awal (originator) yang menerbitkan EBA, akan mengalihkan aset keuangannya kepada para pemegang EBA. Di dalam konteks pembiayaan proyek PPP, maka Bank akan masuk terlebih dulu menjadi lenders suatu proyek. Secara rata-rata, hampir 6090% pembiayaan proyek PPP ini dapat berasal dari bank, sedangkan sisanya berasal dari perusahaan sponsor. Setelah proyek selesai konstruksi dan mulai beroperasi, Bank dapat menjual KIK-EBA kepada investor yang dalam hal ini adalah pemilik dana repatriasi. Secara umum detail dari langkah-langkah penggunaan instrumen KIK-EBA sebagai pembiayaan infrastruktur KPBU adalah sebagai berikut, 1. Bank Persepsi menawarkan investasi kepada Investor (Wajib Pajak
47
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Gambar 2. Skema Proyek Infrastruktur PPP (Public Private Partnership) dengan Pembiayaan dari Dana Repatriasi
m e i d t u i k g a a s s i i f r i i s s k i a k l o
Pemilik Dana Repatriasi) berupa Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA). Bank Persepsi sebelumnya telah menjadi lenders dari suatu proyek PPP. Dalam hal ini peran Bank Persepsi menjadi sentral karena dapat menjadi Penerbit (Originator), Manajer Investasi, dan Bank Kustodian. Namun terbuka kemungkinan, Investor dapat menunjuk Bank/Perusahaan Manajemen Investasi lain sebagai Manajer Investasi dan Bank Kustodian EBA Proyek PPP. 2. KIK-EBA yang ditawarkan Bank Persepsi tersebut mempunyai underlying asset berupa Proyek PPP, dan revenue streamnya berupa pengembalian pokok (principal repayment) ditambah dengan pendapatan kupon (coupon) dikurangi dengan investment management fees. 3. KIK-EBA tersebut ditawarkan dalam jangka waktu minimum 3 tahun (sesuai dengan peraturan pengampunan pajak). Setelah jangka waktu ini, investor dibe-
48
rikan option untuk meneruskan atau menjual KIK-EBA yang dimilikinya kepada Bank atau ke pasar (Over the counter), dalam hal ini Bank harus melakukan buy-back, dengan formula harga yang telah disepakati sebelumnya didalam kontrak KIK-EBA. 4. Tidak seperti KIK-EBA konvensional, KIK-EBA dengan underlying asset infrastruktur PPP ini tidak memiliki risiko fluktuasi harga EBA akibat pengaruh dari perubahan suku bunga, karena sifat revenue stream dari infrastruktur yang relatif tetap dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, Risiko gagal bayar KIK EBA Infrastruktur PPP juga sangat remote, karena infrastruktur PPP dijamin oleh pemerintah keberlangsungannya. Dalam konteks ini, pemegang KIK-EBA infrastruktur PPP tidak menghadapi kerugian total (total loss asset). Risiko total loss asset ini dihadapi oleh KIK-EBA konvensional apabila debitur dari aset yang menjadi jaminan misalnya Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) mengalami kebangkrutan atau tidak mampu membayar tepat pada waktunya atas bunga dan pinjaman pokok. Skema lain yang dapat digunakan adalah KIK-RDPT, atau Kontrak Investasi Kolektif-Reksadana Penyertaan Terbatas, dimana prinsip mekanismenya mirip dengan KIK-EBA, dimana Bank Persepsi sebagai originator melakukan sekuritisasi dan menjual aset finansial berupa kredit proyek PPP kepada investor pemilik dana repatrisasi melalui manajer investasi yang ditunjuk. Sebagaimana telah dibahas diatas, instrumen investasi KIK-EBA dan RDPT ini bersifat post-transaction, dimana instrumen investasi ditawarkan setelah Bank Persepsi menjadi lenders atas suatu proyek PPP yang telah dilelang. Oleh karena itu, skema pembiayaan ini dimungkinkan untuk dapat dilaksanakan pada proyek PPP yang sudah mencapai financial close (pemenuhan pembiayaan) dan lembaga keuangan perbankan yang menjadi lenders adalah Bank Persepsi Program Pengampunan Pajak. Pada saat sekarang ini, instrumen investasi KIK EBA dan RDPT dapat diterapkan pada Proyek Pembangunan Serat Optik Nasional Palapa Ring, dimana proyek telah mencapai financial close dan memulai konstruksi, serta lenders nya adalah Bank Mandiri dan Bank BNI, yang juga menjadi Bank Persepsi Program Pengampunan Pajak. Dapat disimpulkan, instrumen KIK-EBA dan RDPT ini dapat menjawab kebutuhan perluasan partisipasi sektor keuangan yang lebih luas dalam menyediakan sumber pembiayaan bagi proyek PPP (financial market deepening and inclusivity to support PPP financing) karena telah melibatkan investor individu. Hal ini sejalan dengan isu pemanfaatan dana repatriasi hasil program pengampunan pajak, sehingga manfaat program tersebut dapat terasa lebih nyata dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia. n
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pasar Keuangan: Potensi Obligasi dan Efek Beragun Aset Oleh: Dr. Ferry Irawan1 dan Adelia Surya Pratiwi, MSc2
1. Kepala Bidang Analisis Fiskal, PKEM BKF. Email:
[email protected] 2. Pelaksana Subbidang Nilai Tukar dan Suku Bunga, PKEM BKF. Email:
[email protected]
A
gar Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat1 dan merata, investasi perlu ditingkatkan. Dalam perekonomian tertutup, peningkatan investasi dapat dilakukan dengan meningkatkan sumber pembiayaannya yaitu tabungan. Dengan berbagai dinamika yang ada di perekonomian global maupun domestik, terutama era suku bunga negatif di negara-negara maju yang berdampak pada tren penurunan suku bunga di negara-negara berkembang, diperlukan pendekatan eklektik untuk melihat bagaimana meningkatkan investasi melalui tabungan. Untuk memetakan penggunaan tabungan domestik baik publik maupun swasta untuk berbagai kebutuhan investasi, misalnya untuk pembangunan infrastruktur sebagai sektor yang berhubungan langsung dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi, perlu dilakukan karakterisasi tingkat tabungan berdasarkan kualitas atau
1. Menurut Boediono, salah satu prasyarat demokrasi dapat dilaksanakan adalah pendapatan per kapita yang mencapai level tertentu. INFO RISIKO FISKAL
kedalamannya serta pola pengelolaannya. Namun demikian, pemanfaatan tabungan domestik untuk mendanai kegiatan investasi dihadapkan pada tantangan tersendiri sehingga analisis peningkatan kapasitas tabungan termasuk dengan mobilisasi dana nasional yang diparkir di luar (offshore) diperlukan. Beberapa tantangan bagi pembiayaan infrastruktur dewasa ini adalah (i) mahalnya biaya dana, (ii) kualitas tabungan, dan (iii) struktur ekonomi. Pertama, tantangan mahalnya biaya dana. Pada saat ini tingkat deposito dalam perekonomian Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan di negara -negara lain, sebagaimana tercermin pada rasio deposito terhadap PDB. Namun di sisi lain, tingkat deposito yang relatif rendah tersebut hampir dimanfaatkan seluruhnya untuk kegiatan kredit dan telah mencapai kondisi overlending, sebagaimana tercermin pada tingkat loan to deposit yang melampaui 90%. Kedua faktor tersebut tentu menyebabkan sulitnya upaya untuk meningkatkan kegiatan kredit dan pinjaman untuk investasi tanpa menyebabkan peningkatan biaya dana/pinjaman yang cukup tinggi. Dengan melihat
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
kondisi tersebut, maka dibutuhkan strategi baru untuk mendorong peningkatan deposit sebagai sumber pinjaman. Relatif rendahnya tingkat deposito terhadap PDB di dalam negeri mengisyaratkan bahwa masih terdapat ruang untuk mendorong peningkatan deposit domestik yang besar. Salah satu upaya yang telah ditempuh pemerintah adalah program Tax Amnesty. Dengan program kebijakan ini, dana Warga Negara Indonesia yang disimpan luar negeri, terutama yang merupakan hasil dari ekspor, diharapkan dapat ditarik kembali ke dalam negeri. Dalam kaitan ini, Pemerintah juga perlu menyiapkan langkah-langkah untuk menampung repatriasi aset dari kebijakan tax amnesty tersebut. Diversivikasi jenis instrumen investasi perlu disiapkan dan dikembangkan untuk disesuaikan dengan berbagai jenis appetite investor. Penyebab tingginya biaya dana lainnya adalah sistem intermediasi dana. Seiring dengan masih besarnya porsi perbankan (58 persen dari total saham, obligasi, dan kredit perbankan), perbankan memiliki keunggulan tersendiri karena dapat mengendalikan biaya dana di pasar. Apabila 49
O P I N I
O P I N I
institusi keuangan lain bertumbuh, seperti dana pensiun dan asuransi, pengendalian harga ini seharusnya dapat dikurangi seiring meningkatnya permintaan untuk instrumen pasar modal oleh investor-investor institusi keuangan non-bank tersebut. Selain itu, net interest margin dan biaya overhead perbankan Indonesia juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan regional. Hal tersebut menunjukkan perlu ditingkatkannya efisiensi fungsi intermediasi yang dilakukan oleh perbankan. Kedua, tantangan kualitas ta bungan. Kualitas tabungan didefinisikan sebagai tabungan berdurasi jangka panjang. Untuk membiayai infrastruktur yang bersifat jangka panjang, dibutuhkan tabungan sebagai sumber pinjaman yang juga bersifat jangka panjang. Tabungan swasta Indonesia saat ini cenderung berjangka pendek dengan dominasi di jangka waktu deposito yang kurang dari satu tahun. Pada saat yang sama, instrumen pasar modal yang digunakan juga masih sedikit sebagaimana tercermin pada rendahnya kapitalisasi pasar saham dan obligasi terhadap PDB. Selain itu, mobilisasi tabungan juga terfokus pada perbankan, sedangkan peran IKNB sendiri (yang tercermin dalam aset IKNB per PDB) masih perlu ditingkatkan. Salah satu upaya yang sudah dibangun Pemerintah adalah membangun tabungan publik misalnya melalui BPJS Ketenagakerjaan dan PT Taspen. Namun, sebagian besar dana BPJS Ketenagakerjaan dan PT Taspen masih dalam bentuk term deposit jangka pendek. Ketiga, tantangan struktur eko nomi. Perekonomian Indonesia masih diwarnai oleh dominasi sektor informal yang mencapai hampIr 70 persen (bukan penerima upah). Strategi dan kebijakan yang tepat tentu dibutuhkan untuk dapat mendorong mobili50
sasi tabungan pada struktur ekonomi yang demikian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di tahun 2015, pekerja yang merupakan penerima upah hanya mencakup sekitar 35 persen dari total pekerja. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi desain strategi dan kebijakan tabungan publik.
Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur di Pusat dan Daerah Kegiatan pembangunan infrastruktur merupakan salah satu isu pembangunan yang cukup penting. Terkait dengan isu tersebut, analisis kebutuhan investasi serta pendanaan (funding) dan pembiayaan (financing) bagi pembiayaan kegiatan investasi infrastruktur tidak hanya mempertimbangkan sumber di pusat, tetapi juga perlu melihat sumber di daerah. Kegiatan funding mengacu pada sumber-sumber penerimaan pemerintah pusat dan daerah, baik yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) maupun non-SDA, sedangkan kegiatan financing terkait dengan besaran belanja yang tidak dapat didanai dengan penerimaan pemerintah pusat dan daerah. Kemampuan memetakan kedua hal ini berdasarkan sektor-sektor unggulan yang dimiliki daerah juga sangat penting untuk mengantisipasi dan mengidentifikasi adanya financing gap. Di pemerintah pusat, dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) menyatakan bahwa Indonesia diharapkan dapat menarik investasi infrastruktur sebesar Rp4.796 triliun di tahun 2015 sampai dengan 2019. Dari total ini, Total dana yang dibutuhkan untuk membiayai proyek strategis dalam jangka menengah Rp 2.870 T. Jumlah ini termasuk termasuk: 197 proyek dengan prioritas tertinggi dan 35 mega watt listrik de-
ngan komposisi pembiayaan BUMN sebesar Rp778 T, dana APBN/APBD sebesar Rp388T, dan Swasta sebesar Rp1.696 T. Realisasi pembiayaan infrastruktur strategis ini per 9 Agustus 2016 menurut KPPIP adalah sebesar Rp8,4 T. Karena dana APBN terbatas, BUMN dan Swasta diharapkan berperan dalam pembiayaan infrastruktur. Dari total kebutuhan, lebih dari 50 persen berasal dari Swasta sehingga dibutuhkan pengembangan sistem pembiayaan untuk menarik dana dari investor misalnya melalui pendalaman instrumen, pasar, dan skema pembiayaan). Repatriasi aset melalui program Amnesti Pajak juga diharapkan menjadi alternative pembiayaan melalui investasi langsung: Skema Kontrak Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Non-KPBU (Joint Venture, B2B partnership), serta investasi tidak langsung melalui pasar keuangan: penerbitan saham, obligasi, instrumen derivatif seperti Efek Beragun Aset (EBA). Untuk infrastruktur di daerah, salah satu sektor yang diunggulkan adalah sektor pariwisata, seperti Provinsi Yogyakarta. Sektor pariwisata ini berkembang sangat pesat yang menyebabkan perlunya dilakukan dua kali revisi terhadap APBD Provinsi di tahun 2016 akibat target pertumbuhannya tercapai lebih cepat dari perkiraan. Strategi untuk membiayai investasi infrastruktur sebagai enabler di sektor pariwisata ini difokuskan pada penggunaan pendanaan internal daerah serta BUMN. Peran investasi dari swasta masih belum banyak dipertimbangkan di dalam APBD meskipun jumlah yang dibutuhkan dari sini lebih besar dibandingkan APBD. Belum besarnya investasi swasta salah satunya disebabkan oleh masih perlu ditingkatkannya pengetahuan Pemerintah Daerah terkait instrumen pembiayaan. Beberapa instrumen pembiayaan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
yang dapat digunakan di luar APBD Yogyakarta dan BUMN adalah melalui tabungan, baik di perbankan maupun kepemilikan aset di pasar modal. Namun demikian, masih terdapat tantangan untuk menggunakan kedua instrumen ini. Adapun pembahasan dalam seminar ini lebih difokuskan kepada tabungan swasta. Untuk utilisasi tabungan swasta di Yogyakarta, tantangannya adalah dominasi pembiayaan internal. Yogyakarta memiliki tingkat literasi keuangan cukup tinggi, yang tercermin dari tingginya jumlah kepemilikan rekening (4,6 juta) dibandingkan dengan jumlah penduduk sendiri (3,6 juta). Selain itu, interaksi penduduk terhadap sektor keuangan cukup tinggi, yaitu 27 persen dengan perbankan dan 7 persen dengan pasar modal. Hal ini tercermin dari jumlah institusi keuangan non-bank yang mencapai 800 perusahaan. Namun demikian, penyaluran tabungan swasta ke investasi dalam bentuk kredit masih perlu ditingkatkan, yang tercermin dari rasio Loan to Deposit di beberapa tahun yang hanya mencapai sekitar 60 persen atau lebih rendah dari ratarata nasional. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penyaluran kredit investasi ini adalah masih besarnya porsi pendanaan internal bagi sektor usaha di Yogyakarta, sejalan dengan fakta bahwa sebagian besar usaha warga Yogyakarta merupakan bisnis keluarga.
Pengembangan Strategi Pembiayaan Jangka Panjang Dengan sifatnya yang unik, di antaranya kebutuhan biaya yang besar di awal serta umur konsesi proyek infrastruktur yang rata-rata sangat panjang, investasi dalam proyek-proyek infrastruktur, termasuk pembiayaannya, perlu dirancang dengan baik agar memberikan manfaat sebesarINFO RISIKO FISKAL
Strategi untuk meningkatkan kapasitas pendanaan jangka panjang adalah dengan meng-address isu permintaan, penawaran, infrastruktur, dan regulasi instrumen di pasar keuangan. besarnya bagi perekonomian. Namun demikian, dalam pasar keuangan Indonesia, pembiayaan berjangka panjang, seperti melalui obligasi, terutama obligasi korporasi, masih belum berkembang sehingga belum banyak dimanfaatkan oleh korporasi. Akibatnya terjadi maturity mismatch bagi pembiayaan infrastruktur yang masih didominasi oleh perbankan yang umur kewajibannya sebagian besar jangka pendek (misalnya instrumen deposito berjangka yang kurang dari satu tahun). Meskipun demikian, dangkalnya pasar keuangan seyogyanya tidak menjadi penghalang untuk memulai penggunaan instrumen pasar modal seperti obligasi bagi pembiayaan infrastruktur maupun sektor strategis lainnya, seperti yang diterapkan di Filipina. Dengan perkembangan pengaturan di tingkat global, dimana bank tidak lagi diarahkan untuk pembiayaan jangka panjang, pengembangan pembiayaan jangka panjang sangat penting untuk diprioritaskan. Strategi untuk meningkatkan kapasitas pendanaan jangka panjang adalah dengan meng-address isu permintaan, penawaran, infrastruktur, dan
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
regulasi instrumen di pasar keuangan. Pendalaman pasar (market deepening) dilakukan di antaranya dengan pengembangan melakukan sequencing terhadap instrumeninstrumen di pasar keuangan seperti pasar uang, pasar SPN dan pasar valas sebagai alat manajemen likuiditas jangka pendek bagi investor tertentu yang membutuhkan seperti investor asing yang terekspos currency mismatch serta pemegang obligasi jangka panjang, pasar obligasi Pemerintah, obligasi korporasi dan saham, serta Efek Beragun Aset (EBA). Di samping pasar obligasi Pemerintah, pasar obligasi korporasi terutama yang bertenor panjang perlu dikembangkan.
Fokus terhadap Obligasi dan Efek Beragun Aset Obligasi Korporasi dan Obligasi Daerah Salah satu instrumen yang memiliki potensi cukup besar adalah obligasi. Obligasi sangat penting sebagai complement bagi kredit perbankan yang masih dominan di sektor keuangan Indonesia. Obligasi memiliki kelebihan berupa kemampuannya untuk memobilisasi dana jangka panjang. Namun demikian, saat ini terdapat tantangan bagi obligasi korporasi. Ukuran obligasi korporasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan jenis aset sejenis yaitu obligasi Pemerintah. Selain lebih kecil, sebagian besar obligasi korporasi juga berjangka pendek (rata-rata dibawah 5 tahun). Sektorsektor yang masuk ke pasar obligasi juga sebagian besar merupakan institusi keuangan. Meskipun hal ini juga terjadi di beberapa negara lain, perhatian juga perlu diberikan terkait efek dari absennya sektor non-keuangan terhadap kemampuan obligasi untuk memobilisasi dana jangka panjang. Selain dari sisi penerbit, obligasi korporasi sebagian besar berjangka pendek disebabkan oleh investor in51
O P I N I
O P I N I
stitusi jangka panjang seperti dana pensiun dan asuransi yang cenderung berinvestasi ke instrumen jangka pendek seperti term deposit yang ratarata di bawah satu tahun. Kenyataan bahwa sebagian besar manajemen investasi di investor institusi non-bank dilakukan dengan cara yang belum optimal menyebabkan adanya tantangan mobilisasi dana jangka panjang oleh obligasi. Strategi yang dibutuhkan adalah dari sisi supply instrumen ini yaitu penerbitnya termasuk BUMN, sementara di sisi demand instrumen ini yaitu investor termasuk Bank dan IKNB, serta faktor infrastruktur pasar dan regulasi obligasi korporasi. Dalam hal ini, Indonesia dapat mencontoh penerbitan obligasi korporasi bermata uang domestik dari negara lain, misalnya di Singapura atau negara lain yang menjadi target repatriasi. Strategi tersebut telah diterapkan sebelumnya oleh Thailand. Lebih lanjut dari sisi regulasi, untuk meningkatkan daya saing pasar obligasi korporasi, diperlukan regulasi yang netral antara obligasi Pemerintah dan obligasi korporasi, termasuk dalam kaitannya dengan aturan wajib investasi SBN oleh IKNB. Selain perlakuan pajak yang netral, hal terpenting lainnya adalah dengan meningkatkan daya saing instrumen dari sisi biaya dana bagi penerbit serta appetite investor dari segi risiko dengan skema penjaminan instrumen obligasi (bukan pada proyeknya), seperti yang dilakukan di Malaysia melalui Korporasi Danajamin. Salah satu opsi yang dapat dilakukan adalah melalui perluasan mandat PT Penjamin Infrastruktur Indonesia. Untuk meningkatkan partisipasi dari IKNB lebih lanjut, diperlukan insentif berupa pengecualian pendapatan investasi dari pajak, terutama untuk asuransi. Hal tersebut dikarenakan dana pensiun sudah tidak ter52
bebani jenis pajak ini. Selanjutnya, untuk menjangkau jenis investor lain seperti ritel dan individual, akses data dan informasi dengan kerja sama Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) perlu dibuka secara luas dan ditingkatkan kualitasnya agar pemahaman publik terkait instrumen ini semakin baik. Mulai dari peningkatan mobilisasi dana repatriasi, antisipasi financing gap di daerah, terlihat bahwa terdapat kebutuhan yang besar untuk mengembangkan instrumen dalam rangka memobilisasi tabungan ke investasi. Terkait antisipasi financing gap di daerah, dapat dikembangkan instrumen obligasi daerah. Dari berbagai daerah di Indonesia, Yogyakarta dapat mencontoh provinsi Kalimantan Timur dan Jawa Barat yang telah mempersiapkan diri untuk menerbitkan obligasi daerah. Meskipun belum resmi diluncurkan, strategi persiapan perlu segera dilakukan oleh daerahdaerah lainnya. Beberapa yang harus disiapkan adalah peraturan pendukung hukum, serta dokumentasi dan pelaporan keuangan pemerintah provinsi untuk mempermudah assessment credit rating daerah. Mekanisme risk-sharing antara pemerintah provinsi, BUMN, konsumen, dan perusahaan penjamin (dalam hal obligasi berbasis proyek) perlu dirancang dengan baik. Selain itu, diseminasi informasi yang intensif termasuk ke penegak hukum dan auditor juga diperlukan. Terkait dengan tantangan struktur ekonomi di sebagian besar wilayah di Indonesia, penerbitan obligasi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga dapat dikembangkan. Namun langkah tersebut membutuhkan kerja sama yang kuat antara Bank Indonesia sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pendampingan UMKM serta OJK se-
bagai pengawas lembaga keuangan mikro. Salah satu isu utama yang perlu dipersiapkan adalah upaya membadanhukumkan UMKM agar dapat dimonitor perkembangannya serta untuk keperluan perlindungan konsumen. Dalam kaitan ini, OJK mengusulkan agar UMKM dapat diarahkan ke bentuk badan hukum. Untuk UMKM dengan bidang usaha pembiayaan, dapat diarahkan untuk berbentuk Badan Perkreditan Rakyat (BPR) atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Di luar ketiga jenis obligasi, perlu juga dikembangkan instrumen lainnya yang sesuai dengan potensi yang ada. Namun investasi yang konvensional seperti Build, Operate, Transfer (BOT) juga perlu tetap dikembangkan untuk mengakomodir jenis investor jangka panjang tertentu yang memiliki appetite yang kecil terhadap instrumen yang diperdagangkan di pasar keuangan. Untuk memanfaatkan potensi yang ada, misalnya pendapatan yang diperoleh dari infrastruktur yang sudah terbangung (brownfield), dapat menggunakan instrumen seperti EBA. Contoh di Yogyakarta adalah sekuritisasi pendapatan sewa space di bandara baru (Yogyakarta International Airport) serta sewa lahan parkir di gedung-gedung pemerintah. EBA dapat mempercepat pembangunan infrastruktur daerah dengan catatan sudah ada proyek yang menjadi pipeline. Saat ini, Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan kerja sama menyusun strategi peningkatan kapasitas pembiayaan jangka panjang nasional melalui Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan (FK-PPPK). Tujuan utama dari forum koordinasi ini adalah untuk menciptakan alternatif pembiayaan jangka panjang bagi pembangunan. Di tengah likuiditas perbankan yang terbatas saat ini, be-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Gambar 1. Struktur EBA di Indonesia
Sumber: PT Danareksa Investment Management
berapa instrumen di pasar keuangan yang didorong di antaranya adalah obligasi korporasi/obligasi proyek berjangka panjang, khususnya dalam kaitannya dengan proyek infrastruktur strategis. Efek Beragun Aset (EBA) Dibandingkan dengan pasar obligasi korporasi, pasar Efek Beragun Aset jauh lebih kecil. Di tahun 2016, setelah beberapa lama mengalami pertumbuhan yang lesu, pasar Efek Beragun Aset berpotensi untuk kembali meningkat. Pada Agustus 2016, terjadi transaksi sekuritisasi aset Kredit Pemilikan Rumah (KPR) PT Bank Mandiri sebesar Rp500 miliar. Skema ini kemudian disebut-sebut menjadi peluang untuk mendorong momentum pembiayaan pertumbuhan ekonomi khususnya percepatan pembangunan infrastruktur. Terdapat dua struktur EBA berdasarkan peraturan yang berlaku, yaitu Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dan Surat Partisipasi (SP). Berdasarkan Peraturan Bapepam LK No. IX.K.1 KIK adalah jenis EBA dasar yang mengINFO RISIKO FISKAL
gunakan konsep yang mirip dengan reksa dana dimana terdapat Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang berwenang melaksanakan pengelolaan investasi secara kolektif dan menjembatani originator (perusahaan pemilik aset yang disekuritisasi) dan investor. Pihak lain yang terlibat adalah underwriter, lembaga pemeringkat kredit/rating, lembaga penjamin, serta servicer (yang mengumpulkan pembayaran kredit misalnya). Sementara KIK lebih bersifat umum karena dapat mensekuritisasi seluruh aset keuangan yang menghasilkan potensial arus kas, SP masih terbatas untuk pembiayaan KPR BTN dengan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai penerbit SP berdasarkan regulasi (POJK 23/POJK.04/2014). Sejak pertama kali diluncurkan di tahun 2009, hanya ada satu jenis korporasi yang ada di dalam pasar ini, yaitu PT Bank Tabungan Negara dan PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) selaku pengelola investasinya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 mengenai Pembiayaan Sekunder Perumahan, PT Bank Tabungan Nega-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
ra disebut sebagai originator karena memiliki aset berupa KPR tadi sekaligus sebagai debitur yang akan menerima pembiayaan yang masuk melalui Kontrak Investasi Kolektif (KIK). Hal dimaksud diilustrasikan pada Gambar 1 berikut dengan keterangan Servicer: PT SMF; Originator/Creditor: PT BTN; CIC-ABS: PT SMF. Investor KIK-EBA sendiri sebagian besar terdiri dari korporasi, diikuti dengan institusi keuangan seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, dan lainnya. Besar pasar saat ini adalah Rp2,5 T dengan total penerbitan dari awal diluncurkan sebesar Rp5 T. Sama dengan obligasi korporasi di Indonesia, EBA hanya likuid di tenor hingga 10 tahun. Harga dari EBA dari waktu ke waktu ditentukan oleh kualitas aset. Selain supply-demand pasar, kualitas aset juga dapat dipengaruhi oleh adanya beberapa hal seperti penyisihan piutang ragu-ragu, asuransi, jaminan atas tersedianya likuiditas pada jatuh tempo, serta opsi atau “swap” atas tingkat bunga atau atas nilai tukar mata uang asing. Implikasinya, untuk 53
O P I N I
O P I N I
meningkatkan harga EBA dari waktu ke waktu, diperlukan penjaminan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah. EBA sendiri dari sisi struktur memiliki banyak keunggulan kompetitif dari instrumen lainnya baik dari sisi originator maupun investor. Bagi originator, sekuritisasi aset tidak akan mempengaruhi posisi keuangan, atau dengan kata lain bersifat off-balance sheet. Misalnya dalam kasus originator adalah bank seperti PT Bank Tabungan Negara. Sekuritisasi KPR oleh PT Bank Tabungan Negara tidak menyebabkan modal bank tergerus. Selain itu, bank memiliki ruang penyaluran kredit yang lebih besar untuk menyalurkan kredit karena Loan to Deposit Ratio (LDR) turun. Sekuritisasi aset juga mendorong bank memiliki sumber pendanaan yang lebih variatif. Salah satu implikasi bagi pembiayaan infrastruktur adalah meningkatkan kapasitas kredit dengan meningkatkan jumlah BUMN yang dapat berpartisipasi sebagai originator. BUMN yang sudah sangat tinggi rasio leverage-nya seperti PT PLN juga dapat menerbitkan instrumen ini karena tidak mempengaruhi posisi keuangannya. Di sisi yang sama, bagi investor, kualitas aset dapat terjaga. Karena dengan demikian, risiko perusahaan (selaku originator) tidak terekspos ke dalam aset atau dengan kata lain terdapat fitur bankruptcy remoteness, dimana aset keuangan yang menjadi underlying EBA tidak dapat dikenakan sita umum sebagai akibat dari adanya pernyataan pailit. Dari segi biaya, EBA termasuk murah sehingga seharusnya lebih banyak originator yang memanfaatkannya. Hal ini terkait dengan peringkat kredit dan risikonya yang bisa lebih tinggi dari originator. Bentuk aset yang bisa di-EBA-kan adalah surat berharga komersial, tagihan kartu kredit, tagihan yang tim54
bul di kemudian hari (future receivables), pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen, efek bersifat utang yang dijamin oleh Pemerintah, Sarana Peningkatan Kredit (Credit Enhancement)/Arus Kas (Cash Flow), serta aset keuangan setara dan aset keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut. Namun demikian, dari jenis-jenis aset dimaksud, yang sudah dipergunakan baru satu jenis instrumen yaitu kredit pemilikan rumah (hanya untuk yang horizontal, belum vertical seperti apartemen) dengan satu originator, yaitu bank BTN. Hal ini kontras dengan kondisi bahwa kredit properti cukup besar proporsinya dalam neraca bank-bank komersial di Indonesia. Ruang pengembangan EBA yang terdekat adalah peningatkan partisipasi bank komersial lain untuk KPR-nya (karena mekanisme KPR yang sudah terlebih dahulu berjalan dan payung hukumnya sudah baik), seperti PT Bank Mandiri yang sudah melakukan sekuritisasi KPR. Selain itu, akan ada arah pengembangan ke penggunaan aset lain seperti piutang UMKM oleh PT Bank BRI. Tantangan meningkatkan likuiditas pasar EBA di Indonesia adalah: 1. Likuiditas pasar yang rendah sehingga kurang menarik bagi investor; 2. Belum dimanfaatkannya berbagai jenis underlying asset di luar KPR. Hal ini disebabkan oleh kurangnya ahli mengenai EBA di Indonesia; 3. Beberapa investor contohnya dana pensiun mendorong pembayaran bunga yang tinggi sehingga biayanya menjadi cukup mahal bagi originator; 4. Dukungan hukum: peraturan Bapepam LK dahulu memperbolehkan adanya pemanfaatan underlying asset di luar KPR, namun hal ini belum diakomo-
dir di aturan saat ini, misalnya POJK 23/POJK.04/2014, POJK 20/ POJK.04/2015 serta Perpres No. 1 Tahun 2008. Payung hukum yang lebih tepat sebetulnya adalah setingkat peraturan perundangundangan, sebagaimana dahulu RUU Sekuritisasi pernah akan diajukan namun terhenti di tahun 2005. 5. Regulasi: i. Cadangan modal yang harus disisihkan (capital charge) apabila bank memegang KIK-EBA dalam portofolionya adalah 100% dari modal. Hal ini mengurangi minat investasi ke KIK-EBA oleh bank sehingga potensi cross-financing antarbank KPR dan nonKPR dapat diutilisasi dengan skema KIK-EBA. ii. Pajak untuk KIK-EBA masih belum mengakomodir keunikan KIK-EBA. Hal ini mencerminkan pemahaman otoritas yang masih perlu ditingkatkan. Saat ini transaksi EBA berbasis arus kas di masa depan dikenai pajak yang cukup besar yaitu 15 persen (Pajak Penghasilan/ PPh final) atas jumlah arus kas tetap yang diterima oleh perusahaan yang berlaku sebagai KIK. Akibatnya, biaya pelaksanaan EBA ditambah beban pajak menjadi sangat tidak kompetitif dibandingkan dengan instrumen lainnya, seperti obligasi. Berdasarkan estimasi PT Danareksa Investment Management, besaran bunga EBA adalah 10 hingga 11 persen, sangat jauh lebih tinggi dibandingkan obligasi korporasi, misalnya untuk BUMN dengan rating lokal AAA sebesar 7 persen. Arah peng-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
aturan yang diusulkan adalah (i) “menghilangkan sifat ‘fixed’ dari arus kas yang diterima KIK” atau (ii) melakukan amandemen terhadap peraturan undang-undangan. Di Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, pemegang unit KIK bukan merupakan objek pajak. iii. Kebijakan investasi untuk IKNB: Pada dasarnya, tidak ada restriksi investasi ke EBA untuk IKNB. Namun, untuk IKNB seperti dana pensiun, selain regulasi OJK, arah investasi dana pensiun (porsinya saat ini 10 persen) juga tergantung dari stakeholders, dalam hal ini pemberi kerja yang umumnya meminta return yang tinggi sehingga menjadikan EBA relatif mahal dibandingkan dengan instrumen lainnya. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, penerbitan EBA dengan underlying piutang infrastruktur dalam rangka pembiayaan jangka panjang pada dasarnya dapat dilaksanakan. KPPIP mengindikasikan beberapa future cashflow yang dapat di-EBAkan yaitu PT Jasa Marga (underlying asset: pendapatan tol), PT PLN (tagihan listrik), PT Angkasa Pura (Passenger Service Charge/PSC), Pelindo (Ticket Sales Charge/TSC, Cargo Sales Charge/ CSC). Namun demikian, diperlukan suatu lembaga yang khusus didedikasikan untuk memastikan pembayaran piutang tersebut, mengingat sifatnya yang tidak kontraktual (tidak seperti KPR). Salah satu opsi yang dapat digunakan adalah penugasan PT SMI sebagai KIK. Sebagaimana diketahui, PT SMI akan menerbitkan infrastrucINFO RISIKO FISKAL
ture bonds untuk membiayai project brownfield, bonds ini dapat dijadikan underlying karena posisi PT SMI dengan demikian adalah perusahaan pembiayaan sekunder infrastruktur. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, antara lain: 1. Kepastian hukum dan regulasi bagi seluruh pihak yang terlibat: dibutuhkan konfirmasi dari OJK selaku regulator pasar modal dan institusi keuangan, Kementerian BUMN selaku regulator BUMN, serta Kementerian Keuangan. 2. Mendorong national showcase project sebagai market maker: originator (4 BUMN potensial untuk menjadi originator EBA), PT SMI, underwriter, investor (Asuransi dan Dana Pensiun), lembaga rating (lokal misalnya PT Pefindo), lembaga penjamin (BUMN misalnya PT PII, non-BUMN misalnya CIMB Group Malaysia), PT BEI selaku operator pasar modal, dan lainnya; dan 3. Diseminasi informasi yang dilakukan secara intens, misalnya mencontoh metode sosialisasi pelaksanaan hedging nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing oleh BUMN tahun 2015 lalu yang melibatkan auditor dan penegak hukum. Karena struktur EBA melibatkan birokrasi yang cukup panjang, ke depannya dapat pula dikaji penggunaan mekanisme trust. Selain itu, untuk meningkatkan likuiditas, dapat pula dikaji penggunaan regulatory push untuk meningkatkan investasi IKNB ke KIK-EBA, khususnya infrastruktur, serta relaksasi peraturan perbankan mengenai holding EBA dalam portofolio perbankan. Studi Kasus: EBA PT PLN Dan Lainnya Terdapat potensi EBA dari BUMN infrastruktur, yaitu dalam hal ini PT
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
PLN dan PT Jasa Marga. Beberapa jenis aset yang potensial disekuritisasi adalah Future Cash Flow (FCF) seperti abonemen listrik (dengan originator PT PLN), serta pendapatan tol (dengan originator PT Jasa Marga). Dari ketiga jenis aset potensial yang diidentifikasi pada poin 3a di atas, yang paling memungkinkan untuk disekuritisasi dalam waktu dekat dengan menggunakan aturan yang berlaku saat ini adalah abonemen listrik. Hal ini dilihat dari segi kecocokan karakteristik instrumen dengan struktur EBA. Beberapa karakter dari abonemen listrik yang menjadikan aset ini sangat potensial untuk disekuritisasi adalah: 1. Abonemen listrik tercatat sebagai piutang usaha PT PLN, dimana piutang usaha termasuk ke dalam salah satu jenis aset yang eligible untuk disekuritisasi berdasarkan peraturan Bapepam LK No. IX.K.1, yaitu “tagihan yang timbul di kemudian hari (future receivables)”. Karakter utama FCF untuk dikategorikan sebagai piutang adalah adanya perikatan hukum misalnya dalam bentuk perjanjian antara BUMN originator (kreditur) dan peminjam (debitur). 2. Prediktabilitas jumlahnya tinggi: pembayaran abonemen listrik tidak tergantung pada penggunaan daya listrik setiap bulannya. Selain itu, jumlah abonemen listrik ini umumnya selalu bertumbuh setiap bulannya. Piutang tidak tertagih dari abonemen listrik ini juga sangat kecil sehingga kualitas EBA dari piutang jenis bisa setara dengan rating lokal AAA. 3. Abonemen ini juga ditampung di dalam suatu rekening khusus (escrow account) sehingga lebih siap apabila nantinya akan dialihkan kepada KIK-EBA. Besaran piutang usaha PT PLN 55
O P I N I
O P I N I
dari abonemen listrik ini adalah Rp5,7 triliun per bulan yang dihitung berdasarkan jumlah kilo watt per jam (kWh) yang dihasilkan dari pembangkit listrik. Sekuritisasi jenis FCF lainnya dengan demikian dapat dilakukan sepanjang memiliki fitur-fitur yang mirip dengan yang dimiliki abonemen listrik sebagaimana dijelaskan pada poin 3c(ii) di atas. Namun demikian, beberapa kendala yang telah diidentifikasi di bab sebelumnya akan tetap menjadi isu bagi sekuritisasi abonemen listrik ini terutama mekanisme off-balance sheet. Di kasus PT BTN yang melakukan sekuritisasi KPR-nya, perlakuan off balance sheet dilakukan dengan aturan akuntansi tertentu dimana PT SMF membeli residual claim atau aset dengan kualitas terendah dari KPR tersebut. Karena bagian kredit macet dari total KPR sudah dihilangkan dari neraca PT BTN, PT BTN dapat mengeluarkan seluruh komponen KPR yang disekuritisasi. Apabila di kasus sekuritisasi abonemen listrik terdapat lembaga sejenis PT SMF, lembaga tersebut dapat membeli residual claim dari PT PLN terkait piutang abonemen listrik tersebut sehingga dapat dikeluarkan dari neraca PT PLN. Alternatif lainnya, adalah PT PLN memberikan aset tambahan dalam bentuk kas ke EBA dimaksud sehingga permasalahan dalam penagihan dapat diserap dahulu oleh aset tambahan ini. Salah satu bentuk aset tambahan ini yang telah diterapkan sebelumnya oleh PT Bank Mandiri untuk kasus sekuritisasi KPR adalah obligasi Pemerintah yang dimilikinya. Beberapa aset lain yang potensial dan mirip dengan fitur yang dimiliki oleh abonemen listrik adalah piutang dari sewa kios di airport (dengan originator PT Angkasa Pura) karena terdapat perikatan hukum dengan penyewa/tenants. Sedangkan untuk sekuritisasi aset pendapatan tol maupun hak konsesi 56
Besaran piutang usaha PT PLN dari abonemen listrik ini adalah Rp5,7 triliun per bulan yang dihitung berdasarkan jumlah kilo watt per jam (kWh) yang dihasilkan dari pembangkit listrik. PT Jasa Marga dalam jangka pendek belum dapat dilaksanakan karena adanya isu kejelasan dukungan hukum. Pada dasarnya karena prediktabilitasnya tinggi, OJK menilai bahwa pendapatan tol cukup potensial untuk disekuritisasi sudah tercatat sebagai intangible asset dengan besaran sekitar Rp 22 triliun di neraca PT Jasa Marga. Isu yang perlu didiskusikan adalah bagaimana destrukturisasi aset (hak konsesi) ini sedemikian hingga hak yang beralih ke KIK-EBA nantinya hanya hak penagihan pendapatan tol saja ke konsumen. Sedangkan hak terkait operasional jalan tol tetap menjadi tanggung jawab PT Jasa Marga. Struktur ini mencakup konfirmasi besaran potensi abonemen untuk disekuritisasi, pihak mana dan dokumen apa saja yang perlu disiapkan (misalnya analisis due diligence untuk pihak independen seperti rating agency, investor, dan lainnya).
Kesimpulan Dengan besarnya kebutuhan pembiayaan infrastruktur, perlu didorong pengembangan alternatif pembiayaan infrastruktur. Hal ini terutama penting bagi proyek-proyek baru (green field).
Dengan keterbatasan jumlah kredit yang dapat disalurkan, instrumen pasar keuangan perlu didorong sebagai alternatif seperti obligasi dan KIK-EBA. Dari kedua cara untuk melakukan pembiayaan melalui pasar keuangan ini, terdapat potensi besar untuk berkembang dan sesuai dengan appetite jenis investor jangka panjang untuk KIK-EBA. Hal ini disebabkan oleh fitur KIK-EBA yang dapat memfasilitasi penyediaan pembiayaan dengan manggunakan aset yang sudah ada (brown field). Meskipun pasarnya masih kecil, investasi swasta dalam bentuk structured finance ini dapat didorong dengan struktur yang baik. Dalam jangka pendek, desain struktur KIK-EBA dengan basis abonemen listrik dapat didorong untuk menjadi katalis pengembangan pasar serta mendorong Pemerintah dan BUMN untuk meningkatkan kapasitasnya dalam structured finance. Regulasi, infrastruktur pasar, serta model bisnis perlu disusun sebagai kickstart. Apabila satu transaksi sukses, nantinya diharapkan terdapat transaksi lainnya di masa depan. Dalam jangka menengah, apabila implementasi EBA akan diperluas ke arah jenis lainnya di luar abonemen listrik, dapat diambil langkah-langkah berikut: 1. Sosialisasi instrumen KIK-EBA kepada BUMN infrastruktur, manajer investasi, serta investor, baik institusi maupun ritel. 2. Memperbaiki price discovery system dengan menciptakan benchmark untuk KIK-EBA (yang dimulai dengan KIK-EBA berbasis abonemen listrik) 3. Untuk mengakselerasi proses pengembangan KIK-EBA, perlu dibentuk taskforce nasional yang di-lead oleh Pemerintah. n *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Setelah Tax Amnesty, Apa yang Harus Dilakukan? Oleh: Hadi Setiawan1 dan Sofia Arie Damayanty2 1. Peneliti Pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected] 2. Peneliti Pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected]
Pendahuluan Tax Amnesty atau pengampunan pajak berarti sejumlah waktu terbatas yang diberikan oleh pemerintah kepada Wajib Pajak untuk membayar sejumlah uang, sebagai tebusan untuk pengampunan kewajiban perpajakan (termasuk bunga dan sanksi) yang terkait dengan kewajiban pajak periode sebelumnya, termasuk juga sanksi pidana (Baer dan LeBorgne 2008 dalam Setiawan 2016). Sedangkan tujuan dan justifikasi dilakukannya pengampunan pajak menurut Baer & Le Borgne (2008) dan Darussalam (2014) dalam Setiawan (2016) adalah (i) meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, (ii) meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak di masa yang akan datang, (iii) mendorong repatriasi aset atau modal dari luar negeri, dan (iv) instrumen untuk transisi ke sistem perpajakan yang baru. Pemerintah Indonesia sendiri mengambil kebijakan penerapan pengampunan pajak dengan pertimbangan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir mengalami perlambatan sehingga menyebabkan turunnya penerimaan pajak dan juga mengurangi ketersediaan likuiditas di dalam negeri. Padahal, disinyalir banyak harta WNI yang ditempatkan di luar Indonesia yang diyakini juga belum dilaporkan dalam SPT sehingga apabila harta tersebut dibawa masuk ke Indonesia akan meINFO RISIKO FISKAL
nimbulkan konsekuensi perpajakan yang membuat enggan WNI tersebut memasukkan hartanya dari LN. Selain itu diduga masih banyak aktifitas ekonomi di dalam negeri yang belum atau tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak kepada DJP. Aktivitas yang tidak dilaporkan tersebut mengusik rasa keadilan bagi para Wajib Pajak yang telah berkontribusi aktif. Oleh karena itu, para Wajib Pajak yang belum berkontribusi tersebut harus dapat dimasukkan ke dalam sistem perpajakan sehingga mereka juga bisa berkontribusi ke depannya (Penjelasan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak). Walaupun Baer and Le Borgne (2008) mengatakan bahwa “successful tax amnesty is like an anomaly, not a norm”, tetapi berdasarkan hal-hal diatas, maka Pemerintah Indonesia menetapkan untuk mulai melaksanakan program pengampunan pajak pada awal Juli 2016 yang diatur dalam UU
Aktivitas yang tidak dilaporkan tersebut mengusik rasa keadilan bagi para Wajib Pajak yang telah berkontribusi aktif.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016.
Hasil Pengampunan pajak Periode Pertama Program Pengampunan Pajak dibuat dalam tiga periode, yaitu periode pertama yang berlaku dari sejak 1 Juli 2016 – 30 September 2016, periode kedua berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2016 – 31 Desember 2016, dan periode tiga yaitu sejak tanggal 1 Januari 2017 – 31 Maret 2017. Tiap-tiap periode mempunyai perbedaan tarif tebusan. Perbedaan tarif tebusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Setelah melewati masa selama tiga bulan (Juli-September), maka periode pertama pengampunan pajak pun terlewati. Data dari situs pajak. go.id/statistik-amnesti pada tanggal 1 Oktober 2016 pukul 05.00 menunjukkan bahwa periode pertama pengampunan pajak menghasikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp97,2 triliun dengan perincian sebesar Rp93,7 triliun uang tebusan, Rp3,06 triliun pembayaran tunggakan pajak dan Rp354 miliar sebagai pembayaran dari penghentian pemeriksaan bukti permulaan. Periode satu pengampunan pajak juga berhasil mengungkap harta yang dideklarasi dan direpatriasi sebesar Rp3.620 triliun. Angka ini terdiri dari Rp.2.532 triliun deklarasi dalam negeri (69,9%), Rp951 triliun deklarasi luar negeri (26,3%) dan Rp137 triliun 57
O P I N I
Tabel 1. Tarif Tebusan Pengampunan Pajak untuk Setiap Periode Periode 1
Periode 2
Periode 3
Di dalam wilayah NKRI
Pengungkapan Harta
2%
3%
5%
Di luar wilayah NKRI
4%
6%
10%
2%
3%
5%
Repatriasi harta WP dengan omzet s.d. Rp4,8 miliar pada tahun pajak terakhir (UMKM)
0,5% (harta yang diungkapkan < Rp 10 miliar) 2% (harta yang diungkapkan > Rp 10 miliar)
sumber: UU Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
O P I N I
repatriasi (3,8%). Sedangkan jumlah Wajib Pajak (WP) yang mengikuti program ini sebanyak 366.786 WP. Apakah periode pertama ini berhasil? Jika merujuk kepada tujuan dilakukannya pengampunan pajak sesuai dengan Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yaitu: i) mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi, ii) mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi, dan iii) meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan, maka jawabannya adalah sebagai berikut: untuk tujuan pertama sepertinya belum terlalu berhasil. Nilai repatriasi masih sangat kecil (3,8%) dibandingkan nilai harta yang dideklarasi oleh Wajib Pajak. Sepertinya Wajib Pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri masih merasa lebih nyaman dan aman untuk terus melakukannya, atau perbedaan tarif antara deklarasi luar negeri dan repatriasi yang sangat kecil atau harta yang dimiliki oleh Wajib Pajak tersebut me58
mang tidak dalam bentuk uang tunai dan sulit /membutuhkan waktu untuk mengubahnya ke dalam bentuk uang tunai atau mungkin juga karena mereka belum menemukan bentuk investasi yang cukup menarik di Indonesia. Walaupun begitu, kita masih punya waktu 2 periode lagi untuk memperbaiki kinerja dari tujuan pertama ini. Tujuan kedua khususnya hal yang terkait dengan perluasan basis data perpajakan, menurut penulis cukup berhasil, hal ini terbukti dengan adanya tambahan jumlah wajib pajak baru, sampai dengan tanggal 26 September 2016, sebanyak 8.412 WP dengan jumlah setoran uang tebusannya saja sebesar Rp780 miliar. Artinya paling tidak ada sebanyak 8.412 WP dengan jumlah kekayaan sekitar Rp39 triliun yang selama ini tidak terdeteksi oleh DJP yang kemudian masuk ke sistem perpajakan. Selain itu, ada tambahan data harta sebanyak Rp3.620 triliun yang sebelumnya tidak ada di sistem perpajakan yang sekarang masuk dalam pengawasan DJP. Nilai deklarasi dan repatriasi ini juga merupakan nilai yang paling besar di dunia dari program pengampunan pajak (Kontan, 1 Oktober 2016). Tujuan ketiga yang menurut Penulis paling sukses yaitu DJP berhasil menambah penerimaan pajak sebesar Rp97,2 triliun dalam waktu kurang dari 3 bulan. Jumlah ini merupakan 58,9% dari target yang ditetapkan. Angka ini juga jauh melampaui ekspektasi banyak pihak baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ter-
capainya dua tujuan tersebutlah yang membuat program pengampunan pajak di Indonesia menjadi salah satu program pengampunan pajak yang tersukses di dunia (kerjanyata.id).
Pekerjaan Rumah Setelah Periode Satu Pengampunan pajak Setelah hampir sebulan berakhirnya periode pertama pengampunan pajak, ternyata perkembangan periode dua tidak banyak bergerak. Grafik 1, 2 dan 3 menunjukkan nilai tebusan dan deklarasi aset posisi pada akhir Oktober 2016. Nilai tebusan hanya bertambah sebesar Rp 600 miliar dalam satu bulan. Jika melihat tren di periode pertama, hal ini dapat dikatakan normal, karena pada periode satu Wajib Pajak baru memanfaatkan pengampunan pajak pada tanggaltanggal akhir periode. Walaupun begitu, jika dilihat dari nilai tebusan yang masuk sampai dengan akhir Oktober, sebagian besar merupakan Wajib Pajak OP non UMKM dengan jumlah tebusan sebanyak 85% dari total tebusan. Sedangkan WP UMKM hanya sebanyak 3,66%, bahkan WP Badan UMKM hanya sebanyak 0,21% dari total tebusan. Hal ini berarti, masih terbuka lebar penggalian pengampunan pajak dari WP UMKM khususnya WP Badan nya. Oleh karena untuk periode dua dan tiga, DJP harus merubah fokus sosialiasinya menjadi fokus pada sosialisasi kepada WP UMKM, apalagi WP UMKM mendapatkan fasilitas ta-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Grafik 1. Nilai Tebusan Berdasarkan SSP yang diterima (dalam Triliun Rupiah)
sumber: www.pajak.go.id
Grafik 3. N ilai Deklarasi Harta Pengampunan Pajak (dalam Triliun Rupiah)
sumber: www.pajak.go.id
Grafik 2. Nilai Tebusan Berdasarkan SPH yang dimasukkan (dalam Triliun Rupiah)
nya BUMN yang bergerak di bidang infrastruktur, menambah portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas, dan mengusahakan semakin banyak perusahaan yang melakukan IPO. Kemudian pemerintah juga harus terus melakukan sosialisasi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negeri ini untuk meyakinkan bahwa Indonesia merupakan negara yang aman dan nyaman untuk melakukan investasi, serta mempermudah prosedur dan proses pemasukan uang dari luar negeri.
Pekerjaan Rumah Setelah Program Pengampunan Pajak Selesai sumber: www.pajak.go.id
rif tebusan yang sama untuk seluruh periode yaitu hanya sebesar 0,5% dan 2% (lihat Tabel 1). Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Fokus berikutnya adalah memperbesar uang tebusan dari repatriasi aset LN agar tujuan pertama program pengampunan pajak ini juga sukses seperti tujuan kedua dan ketiga nya. Hal ini harus dilakukan dengan memperINFO RISIKO FISKAL
baiki atau memperbesar gateway dana repatriasi tersebut sehingga Wajib Pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri tertarik untuk memasukkan dananya ke dalam negeri. Hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah misalnya dengan menambah jenis-jenis instrumen yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik dana tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempermudah penerbitan obligasi di BUMN khusus-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Dua kesuksesan pada periode pertama harus dapat ditindak lanjuti oleh Pemerintah. Dengan gencar dan masif nya sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintah, bahkan Presiden pun sampai keliling kota-kota di Indonesia, membuat masyarakat yang tadinya tidak peduli atau bahkan tidak tahu pajak menjadi minimal mengetahui pajak dan mulai sadar pajak. Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa momentum ini menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada DJP. Oleh kare59
O P I N I
O P I N I
na itu Pemerintah dan DJP khususnya harus melakukan action. Yang pertama harus dilakukan oleh DJP adalah terus melanjutkan sosialisasi dengan masif dan gencar, tetapi bukan sosialisasi agar masyarakat ikut pengampunan pajak, melainkan sosialisasi kewajiban perpajakan itu sendiri kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat menjadi benarbenar sadar pajak dan mau memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana yang diharapkan dalam prinsip self assessment. Yang kedua adalah dengan memelihara kepercayaan yang sudah timbul dari masyarakat. Tugas ini tidak hanya menjadi beban DJP melainkan beban seluruh Pemerintah, yang harus menunjukkan kepada masyarakat bahwa uang pajak yang mereka bayarkan memang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum dan pembayar pajak tersebut merasakan manfaatnya. Hal ini berarti Pemerintah harus memfokuskan uang hasil pajak tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. APBN harus dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur, pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pendorong pertumbuhan ekonomi. Serta sedapat mungkin memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa uang pajak mereka tidak dikorupsi oleh oknum-oknum tertentu. Yang ketiga adalah memastikan bahwa pada tahun 2018 nanti sekresi bank benar-benar dibuka. DJP harus dipastikan mendapat akses untuk membuka data nasabah dan dipergunakan untuk kepentingan perpajakan. Jika hal ini bisa terlaksana, maka DJP akan mempunyai akses yang sangat besar untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan. Pembukaan sekresi bank juga sudah dilakukan di banyak negara, apalagi di tahun 2018, sudah ada kesepakatan adanya Automatic Exchange of Information (AEoI) di negara-negara dunia. Bah60
Melanjutkan sosialisasi dengan masif dan gencar, tetapi bukan sosialisasi agar masyarakat ikut pengampunan pajak, melainkan sosialisasi kewajiban perpajakan itu sendiri kepada masyarakat. kan sebanyak 50 negara sudah akan memulainya pada September 2017 termasuk Indonesia (www.oecd.org). Dengan adanya AEoI ini data-data nasabah perbankan bukan menjadi satu kerahasiaan lagi dan bisa diakses oleh otoritas negara manapun di dunia (cnnindonesia.com). Yang keempat dan yang paling penting adalah penegakan hukum
dan pemanfaatan data yang sudah didapat dari pengampunan pajak. Data tersebut harus terus dipantau dan digali mana yang bisa men-generate penghasilan yang terutang pajak untuk kemudian dihimbau kepada masyarakat agar dibayar pajaknya. Penegakan hukum yang tidak pandang bulu harus dilakukan. Tantangan yang dihadapi pasti sangat besar karena sudah pasti sebagian besar harta yang dilaporkan dalam pengampunan pajak adalah pemilik pengusaha besar atau orang kaya di negara ini. Oleh karena itu back up dari Presiden dan pejabatpejabat negara sangat dibutuhkan agar pegawai DJP dapat melakukan tugasnya dengan optimal. Dengan melakukan semua itu, penulis yakin tax ratio Indonesia akan meningkat pesat dan mampu bersaing dengan negaranegara lainnya. Apa yang dicita-citakan oleh Presiden Jokowi bahwa tax ratio Indonesia bisa mencapai 16% akan dengan mudah tercapai. n *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Referensi 1. Ashari, Hasyim dan Triono, Agus. (2016). Amnesti Pajak Indonesia Juara Dunia. Harian Kontan tanggal 1 Oktober 2016 halaman 1. 2. Baer, K., & Le Borgne, E. (2008). Tax Amnesties: Theory, Trends and Some Alternatives. IMF Publication. 3. http://www.pajak.go.id/statistik-amnesti 4. OECD. (2016). Automatic Exchange of Information. Diakses dari http:// www.oecd.org/tax/transparency/automaticexchangeofinformation.htm pada tanggal 15 Oktober 2016. 5. Republik Indonesia. (2016). UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. 6. Sari, Elisa Valenta. (2015). Menkeu: Liberalisasi Data Perbankan Akan Dimulai 2017. Diakses dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20151113190901-78-91548/menkeu-liberalisasi-data-perbankan-akandimulai-2017/ pada tanggal 10 Oktober 2016. 7. Setiawan, Hadi. (2016). Tax Amnesty Belajar dari Pengalaman. Dalam Buku Menggali Potensi Penerimaan Negara di Tengah Lesunya Ekonomi Global. Nagakusuma Media Kreatif. Jakarta.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
Pemanfaatan Dana Corporate Social Responsibility (CSR) Penerbitan Surat Berharga Negara Kementerian Keuangan dalam Pembiayaan Infrastruktur Oleh: Akhmad Mahrus
Kepala Subbagian Harmonisasi Peraturan, DJPPR. Email:
[email protected]
T
oni Ruttiman, seorang Warga Negara Swiss, selama 3 tahun terakhir telah memberikan sumbangsihnya untuk membangun negeri Indonesia. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan jikalau kita telah membaca dan mengamati berita atas kiprahnya di pelosok daerah di Indonesia di berbagai media cetak maupun elektronik. Toni Ruttiman secara nyata telah membangun jembatan gantung sebagai infrastruktur dasar di berbagai pelosok negeri ini, atas usaha sendiri tanpa bantuan dari Pemerintah Indonesia. Keluar masuk kampung di Indonesia menjadi menu sehari-hari Toni Ruttiman dalam upayanya memperbaiki kualitas hidup penduduk wilayah terpencil Indonesia. Tidak hanya dia, ada juga Tri Mumpuni Wiyatno, seorang warga Semarang, Jawa Tengah, pemberdaya listrik di lebih dari 60 lokasi terpencil di Indonesia yang mendapat penghargaan Ashden Awards 2012. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengembangkan kemandirian masyarakat di kawasan terpencil melalui Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang telah diakui baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ketahui pula kiprah Bpk. H. SeINFO RISIKO FISKAL
lamat Sahak yang telah menjadikan wilayah Ijobalit, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang dulunya gersang dan tandus kini menjadi lahan yang subur dengan sarana irigasi yang cukup, tentunya dengan jerih payah usaha sendiri. Selain daripada itu, Saya yakin masih terdapat ratusan maupun ribuan orang lain yang peduli untuk memberikan kontribusinya dalam pembangunan wilayahnya baik infrastruktur, pendidikan, kesehatan,
Masih terdapat ratusan maupun ribuan orang lain yang peduli untuk memberikan kontribusinya dalam pembangunan wilayahnya baik infrastruktur, pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
maupun ekonomi. Berbagai kisah tokoh inspiratif tersebut tentulah sangat menginspirasi kita sebagai Warga Negara Indonesia untuk memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan di wilayah masing-masing. Kita akui bahwa pembangunan tidak sematamata hanya domain dari pemerintah. Kita sebagai warga negara yang baik tentunya juga mempunyai tanggung jawab atas kondisi di lingkungan kita masing-masing. Mungkin tidak sedikit dari kita yang masih menemui gedung sekolah SD yang hampir roboh, orang desa yang kesulitan untuk menyeberangi sungai untuk pergi ke desa lainnya mengingat tidak adanya jembatan, infrastruktur sanitasi yang buruk, sarana irigasi persawahan yang tidak memadai dsb. Hal itulah yang mendorong kita untuk tidak berlama-lama menunggu bantuan atau program pemerintah untuk mengatasinya. Memang, apa yang kita cita-citakan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita butuh dukungan kerja sama dari warga dan aparatur pemerintah setempat, komitmen yang kuat, maupun dana yang cukup. Terkait dana, menjadi satu dari sekian faktor yang pelik untuk diatasi. Tidak 61
O P I N I
semua orang rela memberikan sebagian uangnya mewujudkan program ini, apalagi mereka telah dibebani membayar pajak yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan.
Peran Kementerian Keuangan
O P I N I
Menjadi pertanyaan kita sebagai pegawai Kementerian Keuangan adalah apakah peran yang bisa diberikan oleh Kementerian Keuangan untuk pembangunan infrastruktur? Dari uraian sebelumnya, nyata bahwa kebutuhan yang sangat dinikmati oleh masyarakat antara lain terdapatnya infrastruktur yang memadai, harga bahan pokok yang terjangkau, biaya pendidikan dan kesehatan yang murah, maupun mudahnya lapangan kerja. Sebagai lembaga negara yang memperoleh mandat dari Presiden untuk menjaga dan mengelola perekonomian negara, maka Kementerian Keuangan harus bisa memberikan kontribusinya bagi pembangunan infrastruktur. Hal tersebut bisa dilakukan melalui perannya sebagai penyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penyusun RAPBN dan Rancangan Perubahan APBN, dan pelaksana pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dalam UU sebagaimana tertuang dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Sampai saat ini, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan dana besar dalam APBN untuk membiayai infrastruktur, dan manjadi salah satu prioritas porsi pengeluaran APBN. Hal ini dapat dilihat dari dana infrastruktur yang dianggarkan dalam APBN semakin meningkat setiap tahun. Dalam APBN kurun waktu 2014 s.d. 2017, anggaran infrastruktur mengalami tren kenaikan. Pada tahun 2014, alokasi APBN untuk infrastruktur sebesar Rp 138 triliun, terus meningkat hingga Rp 213 triliun pada tahun 2015, cenderung stagnan pada 62
tahun 2016, yakni sebesar Rp 213 triliun, dan selanjutnya pada tahun 2017, dana infrastruktur dianggarkan naik menjadi kurang lebih Rp 346,6 triliun1. Apabila kita cermati bahwa kenaikan anggaran infrastruktur dari tahun 2014 ke 2017 mengalami kenaikan sekitar 250%. Adapun sasaran pembangunan infrastruktur dalam RAPBN tahun 20172 sebagai berikut: • Bidang konektivitas: (1) pembangunan 815 km ruas jalan baru dan 9.399 m jembatan, (2) pembangunan jalur kereta api sepanjang 550 km, (3) pembangunan/ pengembangan fasilitas pelabuhan laut di 55 lokasi, dan (4) pembangunan 14 bandara baru. • Bidang kedaulatan pangan: rehabilitasi dan pembangunan jaringan irigasi tersier untuk 200.000 ha areal sawah dan peningkatan luasan areal pertanian/cetak sawah seluas 144.613 ha. • Bidang energi: pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga/jaringan gas kota sebanyak 64.200 sambungan rumah tangga dan pembangunan 128 unit pembangkit listrik dari aneka Energi Baru Terbarukan (EBT). • Bidang perumahan: pembangunan 11.400 unit sarusun, peningkatan kualitas rumah swadaya untuk 113.300 unit rumah, serta 491.520 sambungan rumah (SR) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Perdesaan. Sektor infrastruktur menjadi salah satu hal yang harus digalakkan oleh pemerintah, selain untuk memacu pertumbuhan ekonomi, infrastruktur yang memadai dapat pula meningkatkan kualitas hidup masyarakat terutama daerah terpencil. Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun dana 1. Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2017 http://www.anggaran.kemenkeu.go.id 2. Nota Keuangan beserta RAPBN TA 2017 http://www.anggaran.kemenkeu.go.id
infrastruktur dalam APBN setiap tahun meningkat, namun persentasenya masih kecil dibandingkan dengan anggaran kebutuhan riil untuk mendanai infrastruktur. Sehingga, diperlukan sumber pembiayaan infrastruktur lainnya di luar APBN, termasuk peran swasta yang perlu terus ditingkatkan persentasenya. Kendala keterbatasan dana pun menjadi salah satu pemicu beberapa orang secara mandiri di seluruh daerah di Indonesia untuk ikut ambil bagian membangun wilayahnya. Meskipun kapasitasnya tergolong kecil, namun cukup untuk menggeliatkan kembali perekonomian wilayah. Dana infrastruktur dalam APBN yang semakin meningkat tiap tahunnya seharusnya menjadi kabar yang menggembirakan bagi masyarakat. Dengan naiknya dana infrastruktur, maka akan membuka gerbang kemajuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Namun, target yang ingin dicapai tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang diinginkan. Masih banyaknya daerah yang jumlah dan kualitas infrastrukturnya rendah, tidak melulu disebabkan oleh keterbatasan dana infrastruktur dalam APBN. Terdapat beberapa faktor eksternal yang juga mempengaruhi ketersediaan infrastruktur, antara lain : korupsi, birokrasi yang tidak efisien, dan kurangnya inovasi.
Faktor Penghambat Kita tahu bahwa korupsi selalu menjadi batu sandungan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kejahatan extraordinary crime ini memang mempunyai implikasi yang luar biasa bagi kualitas peradaban suatu bangsa. Indeks korupsi yang tinggi menggambarkan bahwa negara tersebut memiliki kualitas hidup yang rendah, dan sebaliknya indeks korupsi yang rendah mencerminkan kualitas masyarakat suatu negara yang adil dan makmur. Dana infrastruktur yang dia-
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
lokasikan dalam APBN maupun APBD dalam kenyataannya hanya sekitar kurang lebih 40% yang diimplementasikan secara efektif. Besarnya dana infrastruktur belum menjamin pembangunan di suatu wilayah akan maju. Kita harus melihat dan mencermati pula seberapa jauh kualitas birokrasi di suatu daerah. Kita bisa melihat di beberapa media bahwa indeks korupsi yang cukup tinggi di suatu daerah berbanding lurus dengan kualitas hidup daerahnya yang sangat rendah dan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Selain korupsi, birokrasi yang tidak efisien juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi keberhasilan pembangunan. Hal tersebut mencerminkan bahwa birokrasi yang tidak efisien mengakibatkan tingkat daya saing ekonomi wilayah semakin menurun. Prosedur birokrasi yang panjang, kurangnya transparansi, terdapatnya pungutan tidak resmi, dan kurangnya profesionalisme birokrat menjadi penghambat pembangunan infrastruktur. Banyak investor yang mengurungkan niatnya untuk membangun pabrik, pembangkit listrik, kilang minyak maupun infrastruktur lainnya akibat dari kondisi tersebut. Tujuan Reformasi birokrasi yang telah dimulai sejak tahun 2009 sepertinya masih membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mencapainya. Last but not least, yakni kurangnya inovasi khususnya terhadap pencarian sumber pendanaan infrastruktur mengakibatkan pembangunan infrastruktur kurang maksimal. Pemerintah hanya mengandalkan dana yang dianggarkan dalam APBN atau APBD untuk membiayai infrastruktur. Dana infrastruktur dalam APBN atau APBD persentasenya masih kecil dibandingkan dengan jumlah kebutuhan sebenarnya, sehingga, proyek yang akan dibangun dilaksanakan secara bertahap, dan tidak bisa secara besarbesaran. Hal ini mengakibatkan pula INFO RISIKO FISKAL
kepada jalannya roda perekonomian yang melambat. Baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus bersama-sama membuat terobosan atau inovasi dalam membiayai proyek infrastruktur. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mulai saat ini harus menerapkan pengelolaan anggaran yang efisien dan efektif. Pos pengeluaran yang kurang memberikan stimulus bagi perekonomian lebih baik dikurangi, seperti alokasi belanja gaji pegawai, operasional kantor, perjalanan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, bantuan sosial, dll. Sehingga, alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur, kesehatan, maupun pendidikan dapat ditingkatkan. Pemerintah daerah juga tidak bisa terus menerus mengandalkan bantuan dan uluran tangan dari pemerintah pusat. Tidak bisa lagi mengandalkan DAU, DAK, maupun Dana Bagi Hasil untuk membangun wilayahnya. Pemerintah harus membuat terobosan atau inovasi untuk mencarikan skema pembiayaan alternatif lainnya dalam pengadaan infrastruktur. Inovasi tidak melulu domain anak muda maupun swasta, birokrat pun kalau ada kemauan, pasti ada sesuatu hal yang bisa dikembangkan.
Model Pembiayaan Infrastruktur Pemerintah terus mendorong pembiayaan non APBN dapat lebih banyak dimanfaatkan untuk membantu memenuhi pembiayaan infrastruktur. Sumber pembiayaan non APBN tersebut berasal dari, antara lain: 1. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau dalam istilah asingnya disebut Public Privates Partnership (PPP). Skema pembiayaan infrastruktur ini merupakan kerjasama antara pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur untuk kepentingan umum de-
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
ngan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya Badan Usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara para pihak. Skema tipe ini bisa berupa skema Build Operate Transfer (BOT) atau Build Operate Own (BOO). Dalam kedua skema, badan usaha biasanya bertanggung jawab atas desain, konstruksi, pembiayaan dan operasional dan pemeliharaan (O&M) dari fasilitas yang outputnya digunakan / dibeli oleh Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK). Perbedaan diantara keduanya adalah, berlawanan dengan BOT, skema BOO tidak mengharuskan pihak swasta (badan usaha) untuk mengalihkan aset ke sektor publik setelah kontrak KPS berakhir. Saat ini skema KPBU telah diatur dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2015, dimana sebagai regulator skema KPBU ini dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR). 2. Skema pinjaman langsung (direct lending). Skema ini berbentuk pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada BUMN di Indonesia dengan tujuan untuk membiayai infrastruktur, antara lain pembangkit listrik, sistem penyediaan air minum, jalan tol, dan pelabuhan. Skema ini merupakan skema yang tidak melibatkan proses penganggaran dalam APBN. Namun demikian, pemberi pinjaman (lender) hanya dapat menyalurkan dananya kepada BUMN dengan disertai adanya jaminan pemerin63
O P I N I
O P I N I
tah. Jaminan ini harus dilandasi perjanjian penjaminan antara pemerintah pusat dengan Lembaga Keuangan Internasional. Tanpa adanya jaminan ini, maka lembaga keuangan internasional tidak akan mengambil risiko yang berpotensi muncul kemudian hari apabila dana pinjaman yang telah disalurkan kepada BUMN tidak terbayarkan. Dengan adanya jaminan yang diberikan oleh pemerintah pusat ini, maka Kementerian Keuangan akan menghitung kemampuan keuangan negara termasuk mempertimbangkan kesinambungan fiskal APBN dalam menilai kelayakan sebuah pinjaman yang akan diberikan oleh lembaga keuangan internasional kepada BUMN. Adanya skema pembiayaan infrastruktur melalui direct lending ini secara langsung mencerminkan terobosan yang dilakukan pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam mengatasi keterbatasan pembiayaan infrastruktur melalui APBN. Saat ini skema direct lending mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2015 tentang Jaminan Pemerintah Pusat atas Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung Dari Lembaga Keuangan Internasional Kepada BUMN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/ PMK.08/2015 tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah atas Pembiayaan Infrastruktur Melalui Pinjaman Langsung dari Lembaga Keuangan Internasional kepada BUMN. Skema KPBU dan direct lending untuk pembangunan infrastruktur semakin dibutuhkan, mengingat penerimaan negara dari pajak maupun bukan pajak relatif terbatas. Bahkan selama tahun anggaran 2016, APBN telah mengalami dua kali pemo64
Program/skema PURUI merupakan skema modifikasi dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah. tongan dalam rangka penghematan anggaran karena penerimaan negara yang terbatas tersebut. Selain skema tersebut, saat ini sudah muncul beberapa skema pembiayaan alternatif (alternative financing) lainnya di luar APBN, antara lain : pemberdayaan dana pensiun, penugasan BUMN/ BUMD, dan pembiayaan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur. Selain penggunaan skema pembiayaan di luar APBN tersebut, pada dasarnya Pemerintah Pusat juga dapat menangkap peluang membiayai infrastruktur yang berasal dari skema penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sebagaimana diketahui, Surat Berharga Negara (SBN) merupakan sarana mobilisasi dana melalui pasar keuangan sebagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan APBN yang berupa Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dana yang diperoleh dari penerbitan SBN akan dimasukkan dalam mekanisme APBN yang selanjutnya akan disalurkan salah satunya membiayai proyek infrastruktur. Penerbitan SBN dapat dilakukan dalam beberapa instrumen, antara lain SPN, SBN Ritel, dan SBN dalam Denominasi Mata Uang Asing.
Untuk setiap penerbitan SBN Ritel baik yang berupa ORI, Saving Bond Ritel (SBR), Sukuk Ritel, maupun Sukuk Tabungan, pemerintah menyertakan program Corporate Social Responsibility (CSR) kepada masyarakat. Selama ini, CSR yang diselenggarakan berupa bantuan program pelestarian lingkungan hidup, baik ekosistem darat maupun laut. Inilah yang mungkin bisa ditangkap oleh pemerintah sebagai potensi alternative financing. Pemerintah dapat memanfaatkan sebaik mungkin dana CSR untuk pembiayaan infrastruktur.
Pemanfaatan Dana CSR untuk Infrastruktur CSR dalam rangka penerbitan dan penjualan SBN Ritel dilakukan dan didanai oleh Agen Penjual yakni, lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank sebagai bagian kewajiban mereka dalam rangka membantu pemerintah menerbitkan dan memasarkan SBN Ritel. Selama ini, CSR yang dilakukan oleh agen penjual, pemerintah, dan lembaga Non Government Organization (NGO) yang bergerak di bidang lingkungan hidup, seperti Kehati, Terangi, dsb telah membantu perbaikan ekosistem hayati yang mulai rusak. Adapun program CSR yang telah dilakukan antara lain, pelestarian hutan mangrove dan terumbu karang. Dengan demikian, adanya program CSR tersebut telah ikut membantu program pemerintah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Selaras dengan semangat program CSR dalam mewujudkan program yang positif dan semangat pemerintah untuk mempercepat penyediaan infrastruktur yang memadai bagi masyarakat, maka alangkah baiknya program CSR selanjutnya dialihkan kepada program yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Program lain yang bisa dilaksanakan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
dalam kerangka CSR adalah pembiayaan usaha rakyat yang berimplikasi kepada pengadaan dan pembenahaan sarana dan prasarana di lingkungan sekitar. Skema ini berbentuk kredit usaha rakyat kepada warga, koperasi, atau UMKM, dimana kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman bukan berupa bunga, namun diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur maupun pembenahan sarana dan prasarana, antara lain, pembenahan rumah tidak layak huni, pembangunan MCK yang layak, memperbaiki tempat ibadah, dan membangun jalan desa. Program ini lebih mudahnya disebut Pembiayaan Usaha Rakyat Untuk Infrastruktur (PURUI). Program/skema PURUI merupakan skema modifikasi dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang selama ini telah dilaksanakan oleh pemerintah. Dana PURUI tidak berasal dari APBN atau APBD, namun diambil dari dana CSR Agen Penjual dalam rangka penerbitan SBN ritel, yang kemudian digelontorkan secara bertahap kepada koperasi, UMKM, maupun disalurkan melalui dana kas desa. Warga, koperasi, atau UMKM dapat mengakses layanan kredit dengan syarat tertentu. Kredit usaha rakyat tersebut hanya dapat digunakan untuk usaha yang sifatnya produktif dan dapat memberdayakan warga sekitar, yang berupa antara lain, pembuatan tas kulit, makanan, minuman, peternakan lele, budidaya udang, peternakan ayam, dan budidaya tanaman palawija. Dana PURUI akan diberikan berdasarkan skema alokasi kredit yang proporsional sesuai penilaian Tim Pembina yang digolongkan kepada individu maupun badan usaha. Warga, koperasi, atau UMKM yang berminat untuk memperoleh dana PURUI tidak diwajibkan untuk menyerahkan jaminan (guarantee), namun hanya diwajibkan menandatangani surat pernyataan yang bermaterai INFO RISIKO FISKAL
atau dibuatkan kontrak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak (pemberi dana dan penerima dana). Pihak Pemberi Dana berkewajiban untuk menyalurkan dana kredit, dan berwenang untuk menghentikan penyaluran kredit sedangkan warga, koperasi, atau UMKM berkewajiban membangun sarana dan prasarana di wilayahnya dan berhak menerima akses penyaluran kredit. Konsekuensi apabila dana PURUI tidak dialokasikan pada tujuan yang sebenarnya, maka penerima dana berkewajiban mengembalikan dananya melalui cara tunai atau bertahap tanpa dibebani bunga. Selain itu, dibuatkan pula skema pencairan dana PURUI diberikan secara bertahap/ termin sesuai dengan progress capaian dari usaha yang dibangun. Yang menarik dari skema PURUI ini adalah bahwa warga, koperasi, atau UMKM yang telah memanfaatkan dana PURUI tidak diwajibkan mengembalikan pinjaman maupun bunga tersebut kepada pemberi dana, tapi diwajibkan untuk mendanai pengadaan dan/atau pembenahan sarana dan prasarana di lingkungannya. Dalam rangka menyukseskan program PURUI, Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dapat menggandeng Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan, BI, OJK, dan instansi terkait lainnya selaku pembina. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan efektifitas program ini, maka agen penjual selaku pemilik dana CSR yang disupervisi oleh Kementerian Keuangan c.q DJPPR melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala. Dengan demikian, adanya program PURUI tidak hanya bermanfaat bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, namun juga mempercepat penyediaan dan peningkatan
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
kualitas infrastruktur atau sarana lainnya. Program PURUI juga berimplikasi pada meningkatnya peran serta masyarakat dalam membangun kesadaran untuk berusaha dan kesadaran untuk memiliki (sense of belonging) hasil pembangunan.
Kesimpulan Saat ini pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak bisa lagi hanya mengandalkan APBN dan APBD untuk membiayai proyek infrastruktur. Kemampuan APBN dan APBD sangat terbatas untuk membiayai infrastruktur dibandingkan dengan besarnya jumlah kebutuhan pembiayaan yang sebenarnya. Pemerintah harus terus-menerus mencari dan meluncurkan skema pembiayaan alternatif (alternative financing) proyek infrastruktur. Beberapa skema pembiayaan alternatif infrastruktur di luar APBN yang dapat digunakan, antara lain : skema KPBU, Direct Lending, pemberdayaan dana pensiun, penugasan BUMN/BUMD, dan pembiayaan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur. Selain itu, pemerintah juga dapat memanfaatkan skema pembiayaan infrastruktur yang berasal dari pemanfaatan dana program Corporate Social Responsibility (CSR) penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah dapat memodifikasi program CSR penerbitan SBN yang sebelumnya dimanfaatkan untuk program pelestarian lingkungan hidup menjadi diarahkan ke program pembiayaan proyek infrastruktur dan pembenahan sarana dan prasarana dasar masyarakat. Dengan modifikasi program CSR tersebut, maka pemerintah dapat menangkap peluang dari potensi program CSR yang selama ini sudah berjalan. CSR dapat diarahkan kepada program yang lebih efektif dalam membantu pemerintah untuk mempercepat penyediaan infrastruktur yang layak bagi masyarakat. n 65
O P I N I
Holding BUMN di Tengah Kebuntuan APBN dan Kebutuhan Infrastruktur Oleh: Mohamad Nasir
Peneliti Pada Badan Kebijakan Fiskal. Email:
[email protected]
I O P I N I
ndonesia terus berbenah dan membangun paska krisis ekonomi dan keuangan tahun 1998/1999. Pertumbuhan ekonomi yang positif pun tercapai, bahkan tergolong sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di kawasan ASEAN. Berbagai persoalan ekonomi pun dicoba untuk diselesaikan dengan berbagai kebijakan agar tetap mampu mempertahankan dan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan dalamAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain segudang permasalahan ekonomi yang ada, Indonesia dihadapkan pada permasalahan kondisi infrastruktur yang kurang mampu mendorong jalannya pembangunan, dan merupakan permasalahan yang sulit diselesaikan. Pada periode 20092010, World Economic Forum (WEF) (2009) dalam laporannya, global competitiveness index, menempatkan faktor ketidaklayakan infrastruktur pada posisi ke-2 dari 15 persoalan yang paling sering ditemui ketika menjalankan usaha di Indonesia. Sekarang, tepatnya lima tahun kemudian atau periode 2016-2017, WEF (2016) menempatkan persoalan tersebut pada posisi ketiga, hanya bergeser 1 tingkat ke bawah oleh faktor korupsi. Perubahan posisi ini dapat dimaknai bahwa selama lima tahun terakhir 66
tampak tidak ada perubahan yang signifikan dalam perkembangan infrastruktur.
Selain segudang permasalahan ekonomi yang ada, Indonesia dihadapkan pada permasalahan kondisi infrastruktur yang kurang mampu mendorong jalannya pembangunan
Salah satu persoalan utama yang ditengarahi sebagai penyebab progress pembangunan infrastruktur yang lambat adalah keterbatasan APBN dalam mendanai pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, keberadaan infrastruktur yang layak sangat segera dibutuhkan agar ekonomi dapat segera tumbuh. Karenanya, jalan keluar sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan ini.
KEMAMPUAN APBN YANG TERBATAS Hingga saat ini, APBN mengalami defisit anggaran, dan dalam beberapa tahun terakhir keberlanjutan (sustainability) APBN cukup mengkhawatirkan ketika target penerimaan perpajakan tidak tercapai. Kemenkeu (2016)
Grafik 1. Alokasi Anggaran Infrastruktur
Sumber: Kemenkeu dalam Bareksa. 2016.
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
mencatat, defisit anggaran tahun 2015 mencapai Rp298,5 triliun atau 2,36% terhadap PDB; terjadi kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar Rp226,8 triliun atau 1,91% terhadap PDB. Sementara itu, rasio realisasi penerimaan perpajakan terhadap anggarannya mengalami penurunan, yaitu 83,3% di tahun 2015 dari 92,0% di tahun 2014. Keterbatasan APBN tercermin pula pada alokasi anggaran infrastruktur yang dianggarkan Pemerintah dalam APBN masih di bawah kondisi yang ideal atau sebesar 5%dari PDB (Aditia, 2013). Namun demikian, anggaran infrastruktur telah mengalami kenaikan dari sisi nilai nominal dan persentase terhadap belanja sebagaimana tergambarkan dalam grafik-1. Mengandalkan APBN sebagai sumber pendanaan tunggal tampaknya tidak lagi memungkinkan. Apalagi pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 memperkirakan kebutuhan dana untuk pembangunan berbagai infrastruktur sangat besar, sekitar Rp5.519,4 triliun (Kementerian PPN/ Bappenas, 2014). Partisipasi BUMN dan swasta sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut. Oleh karena itu, kebutuhan dana diharapkan dan direncanakan dengan sekenario, APBN memenuhi sekitar 40%, APBD 10%, BUMN 19%, dan swasta 31%. Untuk melibatkan Pemerintah Daerah, BUMN, dan sektor swasta tentunya dibutuhkan sebuah cara atau skema. Beberapa skema su-
Mengandalkan APBN sebagai sumber pendanaan tunggal tampaknya tidak lagi memungkinkan. Apalagi pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 memperkirakan kebutuhan dana untuk pembangunan berbagai infrastruktur sangat besar. dah dilakukan oleh Pemerintah, seperti skema private public partnership (PPP), penugasan kepada BUMN, dan lainnya. Terbaru, Pemerintah memunculkan gagasan holding pada BUMN.
MANFAAT DAN RISIKO HOLDING BUMN DALAM AKSELERASI PEMBANGUNAN INFRATRUKTUR Holding dapat definisikan sebagai pembentukan suatu badan usaha yang berperan sebagai induk perusa-
Tabel-1 : Calon Anggota Holding JTK NAMA BUMN
URAIAN SINGKAT
PT Hutama Karya (Persero)
Jasa konstruksi
PT Jasa Marga (Persero) Tbk
Operator jalan tol
PT Waskita Karya (Persero) Tbk.,
Jasa konstruksi
PT Indra Karya (Persero)
Konsultan teknis konstruksi
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.,
Jasa konstruksi
PT Yodya Karya (Persero)
Konsultan teknis konstruksi
Trans Sumatera Operating Co.
Operator jalan tol
Sumber : BUMN Bersangkutan. 2016. Laporan Tahunan
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
haan, dimaksudkan untuk mengendalikan badan usaha lain dan menjadikan badan usaha lainnya tersebut sebagai anak perusahaannya, berada dalam satu kontrol manajemen induk perusahaan. Pengendalian merupakan faktor utama atau ditonjolkan, instrumen kunci dalam pencapaian tujuan dari holding. Kamalinda (2015) mencatatkan beberapa manfaat dari holding secara umum, diantaranya : 1) dapat membentuk nilai melalui terbentuknya pasar, 2) mendorong efisiensi pada anak perusahaan, 3) meningkatkan daya saing melalui terciptanya sinergi usaha di antara anak perusahaan, 4) dapat mendapatkan pendanaan yang lebih murah melalui akumulasi aset yang terbentuk, dan 5) pengalokasian modal yang optimal dan dapat melakukan investasi yang strategis dengan lebih mudah. Beberapa benefit di atas nampaknya menjadi target dari rencana holding Pemerintah. Tidak mainmain, Pemerintah merencanakan membentuk 6 holding BUMN dengan mengacu pada sektornya usahanya, yaitu: sektor energi, pertambangan, keuangan, jalan tol dan konstruksi, pangan, serta perumahan. Model holding yang dipakai Pemerintah nampaknya adalah model investment holding company, di mana BUMN holding memiliki saham anak perusahaan, mengelola kebijakan investasi, dan tidak melakukan kegiatan operasional yang sama dengan anak perusahaan. Pemerintah juga telah belajar dari pengalaman dari masa lalu bagaimana sulitnya melakukan sinergi ketika holding yang dipakai adalah model operasional. Dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur, Pemerintah membentuk holding jalan tol dan konstruksi (holding JTK) dengan mencakup beberapa BUMN sebagaimana terlihat dalam tabel-1. Terdapat 3 BUMN yang berstatus terbuka atau go 67
O P I N I
O P I N I
public di pasar modal, 2 BUMN operator jalan tol, 3 BUMN konstruksi, dan 2 BUMN konsultasi teknik konstruksi. Bidang usaha holding tampak memiliki kesesuain dengan kebutuhan mengingat terkait langsung dengan pengadaan dan pembangunan infrastruktur. Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 menargetkan membangun berbagai jenis infrastruktur. Khusus infrastruktur jalan tol, Pemerintah bermaksud membangun jalan tol sepanjang 1.000 km (Kementerian PPN/ Bappenas, 2014). Kesinergian dapat pula terlihat dari masing-masing jenis usaha anggota holding, di mana terdapat anak perusahaan yang memiliki usaha yang sama dan ada yang tidak namun dapat ditempatkan dalam satu chain yang berhubungan.Bentuk holding seperti ini terlihat sinkron atau sinergi antar anggota holding, sehingga dapat difokuskan pada pembangunan infrastruktur tertentu seperti jalan tol. BUMN holding dapat mengarahkan 2 BUMN operator melakukan investasi dan operasionalisasi jalan tol melalui pola pembagian wilayah atau skema lainnya, kemudian anggota holding konstruksi melakukan konstruksi dengan dukungan anggota holding jasa konsultan.Sederhananya, anak perusahaan jalan tol tidak perlu lagi melakukan bidang jasa konstruksi ketika membutuhkan, dan anak perusahaan kontruksi tidak pula perlu bidang jasa konsultan konstruksi. Pensinergian ini otomatis dapat mempersingkat waktu pembangunan, dan biaya operasional dan administrasi pun dapat diturunkan. Keberadaan BUMN konstruksi dan jasa konsultan konstruksi dalam 1 holding merupakan kunci keberhasilan dari tujuan percepatan pembangunan infrastruktur yang diharapkan Pemerintah. Hal ini karena di samping dapat mendorong penyinergian di internal holding, tetapi dapat 68
tunya menginginkan laba yang dicapai adalah hasil maksimal, dan untuk meraihnya harus dilakukan dengan persaingan penuh, termasuk bersaing dengan anggota holding lainnya. Di sisi lain, BUMN holding akan berpikir secara portfolio atau holistik sehingga tidak menutup kemungkinan dapat terjadi benturan kepentingan dengan pemegang saham publik. Menjaga ritme kinerja masing-masing anggota holding dengan tuntutan publik ini bukanlah persoalan yang mudah, apalagi harus menjaga pula sentimen pasar yang dapat berpengaruh pada harga saham mereka di bursa. Persoalan kedua adalah kemungkinan terjadinya benturan antara anggota holding jasa konsultan dengan anak perusahaan anggota holding yang bergerak di bidang yang sama. Terakhir, holding dapat menciptakan pula praktik monopoli karena skala ekonominya yang mampu menguasai pasar. Ketika hal ini terjadi, potensi adanya harga tinggi di pasar dapat terjadi, dan kontraproduktif dengan tujuan sinergi untuk efisiensi. Dari perspektif pendanaan, upaya mendapatkan pendanaan dari investor lebih mudah dilakukan dengan holding. Aset kelolaan dan ekuitas pada BUMN holding menjadi jauh lebih besar, di mana jumlah tersebut terbentuk dari penggabungan aset dan ekuitas yang ada pada anak perusahaan. Potensi gagal bayar dapat mengecil sehingga dapat menciptakan
Keberadaan BUMN konstruksi dan jasa konsultan konstruksi dalam 1 holding merupakan kunci keberhasilan dari tujuan percepatan pembangunan infrastruktur yang diharapkan Pemerintah. juga diarahkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur lainnya. Pembangunan jalan umum, waduk, bandar udara, pelabuhan, pembangkit dan lainnya dapat dipastikan membutuhkan jasa konstruksi. Uraian sederhana ini sudah dapat menunjukan bahwa holding dapat mendorong terjadinya akselerasi pembangunan infrastruktur. Akselerasi semakin cepat ketika holding sektor keuangan mampu mendukung secara optimal kebutuhan akan pendanaan. Namun demikian, ada potensi beberapa persoalan yang perlu menjadi perhatian BUMN holding agar sinergi berjalan dengan baik. Pertama adalah status anggota holding yang telah go public. Pemegang saham publik ten-
Tabel-2: Data Ringkas Neraca BUMN ASET
KEWAJIBAN
EKUITAS
ASET/ EKUITAS
Hutama Karya
12.336,88
7.081,31
5.255,57
2,35
Waskita Karya
30.309,11
20.604,90
9.704,21
3,12
BUMN
Wijaya Karya
19.602,41
14.164,31
5.438,10
3,60
Jasa Marga
36.724,00
24.356,00
12.368,00
2,97
Jumlah
98.972,40
66.206,52
32.765,88
3,02
Sumber : Laporan Tahunan BUMN. Ket : Dalam Rp. Triliun
INFO RISIKO FISKAL
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
kepercayaan pada investor, mempermudah menarik pinjaman atau obligasi dan dapat pula menurunkan cost of debt. Holding dapat pula mengoptimalkan potensi leveraging idle yang dimiliki oleh anggota holding. Contoh sederhananya dapat dilihat ketika BUMN berdiri sendiri dan ketika holding terbentuk. Ketika BUMN anggota holding berdiri sendiri, rasio aset terhadap ekuitas bervariasi di kisaran 2,3 kali s.d. 3,6 kali sebagaimana terlihat dalam tabel-2. Penggabungan akan membentuk rasio di kisaran 3,02 kali. Dengan mengoptimalkan rasio menjadi 3,6 kali yang merupakan rasio tertinggi dari BUMN yang akan di-holding, maka holding bisa menambah leveraging. Kemampuan leveraging ini dapat semakin efektif ketika holding JTK disinergikan dengan holding keuangan. Sementara itu, agar BUMN holding tetap searah pada pembangunan infrastruktur yang ditargetkan oleh Pemerintah, pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan oleh Pemerintah. Nasir (2016) berpendapat bahwa meskipun pembentukan holding memiliki manfaat namun dapat memunculkan risiko bagi Pemerintah. Penurunan kekayaan negara dan kepentingan pemerintah dapat terjadi sebagai akibat terjadi degradasi pengendalian. Sebelumnya, Pemerintah mengawasi langsung BUMN yang akan menjadi anak perusahaan, selanjutnya berubah menjadi pengawasan harus melalui BUMN holding padahal pengawasan BUMN holding pada anak perusahaan kemungkinan tidak mencakup kegiatan operasi atau terbatas pada kebijakan investasi.
PENUTUP Uraian di atas menunjukan bahwa strategi holding, khususnya holding JTK dapat mendorong terjadinya akselerasi pembangunan dengan cepat dan mampu meningkatkan INFO RISIKO FISKAL
Aset kelolaan dan ekuitas pada BUMN holding menjadi jauh lebih besar, di mana jumlah tersebut terbentuk dari penggabungan aset dan ekuitas yang ada pada anak perusahaan. sumber pendanaan eksternal terutama meningkatkan kapasitas untuk memperoleh pinjaman dari kreditor. Pembangunan infrastruktur yang ditugaskan kepada anak perusahaan BUMN holding dapat dengan lebih mudah dikerjakan dengan cepat dengan adanya sinergi yang tercipta di
antara anak perusahaan. Selain itu, kapitalisasi aset dan ekuitas dari anak perusahaan dapat menciptakan peningkatanleveraging. Namun, beberapa persoalan dapat muncul kepermukaan ketika proses penyinergian akan dilakukan. Persoalan semakin meningkat ketika pemegang saham lainnya mengingingkan maksimalisasi keuntungan mengingat terdapat beberapa calon anak perusahaan bestatus perusahaan go public. Dari sisi Pemerintah, skema holding berpotensi mencitakan risiko penurunan kekayaan negara melalui penurunan harga saham dan risiko bias pelaksanaan kepentingan Pemerintah sebagai akibat penurunan level pengawasan atau pengendalian. n *Gagasan atau ide dalam artikel merupakan pendapat penulis pribadi dan tidak merepresentasikan pendapat institusi tempat penulis bekerja.
DAFTAR PUSTAKA 1. Aditia. 2013. Good Governance dalam Proyek Infrastruktur. Diakses 30 Oktober 2016. http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/artikel_090413_0.pdf 2. Bareksa. 2016. Anggaran Kementerian PU Terbesar, Saham Konstruksi PrimadonaHingga 3 Tahun Lagi. Diakses 3o Oktober 2016. http://www. bareksa.com/id/text/2016/08/19/anggaran-kementerian-pu-terbesarsaham-konstruksi-primadona-hingga-3-tahun-lagi/13809/news 3. Kamalinda. 2015. Aspek Hukum Bisnis Holding Company. Diakses 30 Oktober 2016. http://kamalinda95.blogspot.co.id/2015/08/makalah-holding-company-induk-perusahaan.html. 4. Kemenkeu. 2016. Nota Keuangan dan RAPBN 2017. 5. Kementerian PPN/BAPPENAS. 2014. Prioritas Kedaulatan Energi dan InfrastrukturRPJMN 2015 – 2019. 6. Nasir. 2016. Mewaspadai Risiko Holding BUMN. Diakses 30 Oktober 2016. http://koran.bisnis.com/read/20161019/251/593796/mewaspadairisiko-holding-bumn. 7. PT Hutama Karya (Persero). 2016. Laporan Tahunan 2015. 8. PT Wajaya Karya (Persero) Tbk. 2016. Laporan Tahunan 2015. 9. PT Waskita Karya (Persero) Tbk. 2016. Laporan Tahunan 2015. 10. PT Jasa Marga (Persero) Tbk. 2016. Laporan Tahunan 2016 11. World Economic Forum. 2009. Global Competitiveness Index 2009-2010. 12. World Economic Forum. 2016. Global Competitiveness Index 2016-2017.
E D I S I 2 / TA H U N 2 0 1 6
69
O P I N I
Indonesia PPP Day 2016:
Innovative Fiscal Support for Better Public Services s e k i l a s i n f o r i s i k o
D
irektorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) bekerja sama dengan Pemerintah Kanada, Bank Dunia, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII), dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) menyelenggarakan Indonesia PPP Day 2016 pada tanggal 24 November 2016 di The Westin Jakarta. Mengusung tema “Innovative Fiscal Support for Better Public Services”, acara ini bertujuan mengenalkan kepada publik fasilitas dan dukungan pemerintah yang disediakan Kementerian Keuangan untuk mendukung penerapan skema kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau PublicPrivate Partnership (PPP). Acara ini juga menjadi forum berbagi pengalaman dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) yang telah berhasil melaksanakan proyek KPBU. Pihak-pihak yang diundang dalam acara ini yaitu Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, dan BUMD yang sedang atau akan melaksanakan proyek KPBU; serta investor dan lembaga keuangan baik nasional maupun internasional yang terkait dengan proyek KPBU. Kebutuhan pembiayaan infrastruktur dalam RPJMN 2015-2019 mencapai Rp4.796 triliun. Di tengah kebutuhan pembiayaan yang begitu besar, diperlukan inovasi
dalam pembiayaan infrastruktur. Skema KPBU menjadi salah satu solusinya. “Dibukanya kesempatan untuk swasta terlibat dalam pembangunan infrastruktur bukan hanya memberikan tambahan resources selain pendanaan APBN, namun juga memberikan ruang investasi bagi swasta dan kesempatan pemerintah dan swasta berpartner untuk membangun negara ini”, demikian ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keynote speech Indone sia PPP Day 2016. Melalui Indonesia PPP Day 2016, Kementerian Keuangan menunjukkan kesiapan dan komitmennya untuk mendukung skema KPBU. Kementerian Keuangan telah
Melalui Indonesia PPP Day 2016, Kementerian Keuangan menunjukkan kesiapan dan komitmennya untuk mendukung skema KPBU.
menyediakan fasilitas dan dukungan pemerintah, yaitu fasilitas penyiapan proyek/Project Development Facility (PDF), dukungan kelayakan/ Viability Gap Fund (VGF), dan penjaminan infrastruktur. “Penyediaan fasilitas dan dukungan tersebut merupakan inovasi dari kami selaku pengelola fiskal, sehingga, dengan skema KPBU, bukan berarti APBN tidak diperlukan, tetapi APBN dialokasikan namun dengan pola yang berbeda yaitu melalui PDF, VGF, dan penjaminan, di mana kami yakini pola ini lebih efisien dan akuntabel,” demikian ujar Menteri Keuangan. Selain itu, inovasi terbaru dalam skema KPBU adalah bentuk pengembalian investasi melalui pembayaran ketersediaan layanan atau Availability Payment (AP). Inovasi ini akan mengubah paradigma penyediaan infrastruktur, di mana tidak lagi berdasarkan pembangunan fisik infrastruktur namun berorientasi pada penyediaan layanan publik. Hal ini akan berdampak positif, mengingat ukuran keberhasilan infrastruktur bukan lagi pada tersedianya aset melainkan pada tersedianya layanan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Menteri Keuangan juga menegaskan tiga institusi pengelola fasilitas fiskal yang terdiri dari Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah
dan Pembiayaan Infrastruktur (PDPPI), PT PII, dan PT SMI secara bersama-sama siap untuk mendukung proyek KPBU. Ketiganya memiliki sumber daya manusia yang berintegritas dan profesional dalam memproses pemberian fasilitas dan dukungan pemerintah. Terdapat dua sesi acara dalam Indonesia PPP Day 2016 yaitu Plenary Session dan Parallel Session. Dalam Plenary Session yang bertema “Turning Concept into Reality”, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memaparkan pengalaman dalam melaksanakan proyek Palapa Ring. Proyek Palapa Ring merupakan proyek KPBU pertama yang menggunakan skema pengembalian investasi AP. Proyek pembangunan jaringan tulang punggung serat optik nasional tersebut mendapat fasilitas PDF berupa pendampingan transaksi
dari Kementerian Keuangan melalui penugasan kepada PT SMI dan penjaminan infrastruktur dari PT PII. Selanjutnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan pengalaman melaksanakan proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan. Proyek SPAM Umbulan merupakan proyek penyediaan air minum untuk masyarakat di lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, yang mendapat fasilitas penyiapan proyek melalui penugasan Kementerian Keuangan kepada PT SMI dan VGF dari Kementerian Keuangan, serta penjaminan infrastruktur dari PT PII. Dalam Parallel Session terdapat tiga forum diskusi panel membahas lebih mendalam mengenai proyek KPBU dan fasilitas serta dukungan pemerintah yang diberikan, yaitu proyek SPAM Umbulan, pengguna-
an availability payment dalam proyek Palapa Ring, dan belajar dari proyek PLTU Batang 2x1.000 MW (Central Java Power Plant/CJPP). Skema KPBU terbukti efektif dengan telah adanya 9 proyek yang mencapai penandatanganan perjanjian KPBU, 3 proyek di antaranya telah mencapai financial close. Proyek yang telah mencapai financial close yaitu CJPP, Palapa Ring Paket Barat, dan Palapa Ring Paket Tengah. Kementerian Keuangan siap mendukung pelaksanaan KPBU untuk dapat ditingkatkan dan diperluas, bukan hanya untuk infrastruktur ekonomi namun mencakup infrastruktur sosial seperti sektor kesehatan dan pendidikan. Inovasi dukungan fiskal Kementerian Keuangan untuk proyek KPBU turut mewujudkan layanan publik yang lebih baik. n
s e k i l a s i n f o r i s i k o
Info Utang Pemerintah
Posisi Utang Pemerintah Pusat
Posisi Utang Pemerintah Pusat
Info Utang Pemerintah 2011
2012
2013
2014
Sept 2016
2015
Oktober
Angka dalam Triliun Rupiah
Nominal
Total UtangUtang Pemerintah Pusat 1,808.95 Posisi Pemerintah Pusat a. Pinjaman
I N F O u t a n g p e m e r i n t a h
2016
1). Pinjaman Luar Negeri Bilateral *) Rupiah Angka dalam Triliun Total Utang Pemerintah Pusat Multilateral **) Komersial ***) a. Pinjaman Suppliers ***) 1). Pinjaman Luar Negeri 2). Pinjaman Dalam Negeri
1,977.71
2,375.50
2,608.78
3,165.13
621.29
616.61
714.44
677.56
755.12
2011 620.28
2012 614.81
2013 712.17
2014 674.33
2015 751.04
381.66
359.80
383.53
334.62
340.63
212.96 1,808.95
230.23 1,977.71
288.29 2,375.50
292.33 2,608.78
360.04 3,165.13
25.15
24.37
326.84 Nominal 354.57 3,439.78
50.20
46.67
9.5%
45.67
1.3%
743.79
731.98
21.3%
620.28
614.81
712.17
674.33
751.04
738.89
727.20
21.1%
381.66
359.80
383.53
334.62
340.63
337.09
326.84
9.5%
212.96
230.23
288.29
292.33
360.04
355.01
354.57
10.3%
45.67
1.3%
1.80
0.35
0.24
2.27
0.17
3.22
0.12
4.08
0.11
4.89
1,661.05
1,931.22
2,410.01
2,701.03
2,707.81
264.91 0.41
399.40 0.35
456.62 0.24
658.92 0.17
707.02 0.12
706.45 0.11
1,096.19 1.80
9,068
9,670
1,187.66
1,361.10
40.00
1,261.65 2.27 12,189
1,661.05
47.15
50.20
1,474.60 3.22
46.67
1,751.09 4.08
12,440
1,994.01 4.89
13,795
1,931.22
0.1%
78.7%
20.5% 0.0%
2,001.35 4.77
12,998
2,410.01
0.0%
4.77
1,361.10
24.37
992.03 1.01
58.2% 0.1%
13,051
2,701.03
2,707.81
78.7%
195.63
264.91
399.40
456.62
658.92
707.02
706.45
20.5%
992.03
1,096.19
1,261.65
1,474.60
1,751.09
1,994.01
2,001.35
58.2%
12,998
13,051
9,068 9,670 12,189 12,440 13,795 Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat
Nilai Tukar Rupiah (IDR thd US$1)
%
10.3% 100.0%
755.12
25.15
Denominasi Valas ) Denominasi Rupiah
337.09
355.01 3,444.82
677.56
195.63 0.50
##
21.3%
714.44
0.41
1,187.66
b. Surat Berharga Negara
731.98
Oktober 727.20 2016 21.1%
616.61
1.01
Nilai Tukar Rupiah (IDR thd US$1)
47.15
100.0%
743.79
Sept 738.89 2016
%
3,439.78
621.29
0.50
Bilateral *) Multilateral **) b. Surat Berharga Negara Komersial ***) ## Denominasi Valas***)) Suppliers Denominasi Rupiah 2). Pinjaman Dalam Negeri
40.00
3,444.82
Interest Rate Risk risiko Utang Pemerintah Exchange Rate Risk Indikator Pusat
Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat 46.7 45.1 44.4
25.9 22.5 18.8
14.8
25.9 22.5
2011
21.0
Interest Rate Risk 16.0
16.2
18.8
23.2
23.2
16.2
16.0
2012
2013
21.0
2012
13.7 20.7 13.7
2014
2015
45.1
17.6
2013
2014
2015
10.4
2011
2012
10.4
10.2
Okt-16*)
2011
2012
34.6
9.40
32.4
22.7
34.6
9.40
2011 Keterangan
2012 2012
2013
2014
ATM (in years) 2013 2014 ATM (in years)
2015 2015
11.4
12.22015
Okt-16*) 11.4
FX Debt to total debt ratio (%)
2014
2015
Okt-16*)
FX Debt to total debt ratio (%)
8.222.7
21.8
8.6 21.8
7.7 20.1
Okt-16*) Okt-16*)
8.2
2011
2011
7.2
2012
in < 1 year (%)
2012
in < 1 year (%)
8.6
2013
7.7
2014
in < 3 year (%)
2013
2014
in < 3 year (%)
22.8 36.8
21.4 34.7
20.1 33.9
33.4
32.4
21.5 7.2
36.8
34.7
33.9
Debt Maturing
9.20
2011
2014
10.7
33.4
21.5
9.20
9.32
41.7
12.2
Debt Maturing
Average Time To Maturity 9.60
2013
FX Debt to GDP ratio (%) **)
9.60
9.32
2013 11.7
FX Debt to GDP ratio (%) **)
9.73
9.73
44.5
43.4
10.7
12.1
Okt-16*)
Refixing rate [%]
9.70
11.7
10.2
Average Time To Maturity 9.70
46.7
44.4
Refixing rate [%]
Variable rate ratio [%]
41.7
Exchange Rate Risk
17.6 12.1
14.8
Variable rate ratio [%]
2011
20.7
44.5
43.4
8.4 21.4
8.4
2015
22.8
6.7
6.7
Okt-16*)
in < 5 year (%)
2015
Okt-16*)
in < 5 year (%)
*) Menggunakan asumsi PDB pada APBNP 2016 Keterangan *) Menggunakan asumsi PDB pada APBNP 2016
Sumber: Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat” DJPPR
Posisi Pengelolaan Kewajiban Penjaminan
Posisi Pengelolaan
Posisi Pengelolaan Kewajiban Penjaminan Kewajiban Penjaminan
I N F O u t a n g
Maturity Profile Pokok Penjaminan Kredit yang Dijamin Pemerintah (per 30 September 2016) MaturityMaturity Profile Pokok Penjaminan Kredit yang Dijamin Pemerintah (per 30Kredit Septemberyang 2016) Profile Pokok Penjaminan
Dijamin Pemerintah (per 30 September 2016)
Sumber : Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat”, DJPPR Sumber: Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat” DJPPR
Sumber : Buku Saku “Profil Utang Pemerintah Pusat”, DJPPR
p e m e r i n t a h
Peresmian Financial Close dan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Perjanjian Penjaminan, Perjanjian Regres Proyek Jaringan Serat Optik Palapa Ring Timur, di Jakarta, tanggal 29 September 2016.
e x p o s u r e
On-Site Visit dan Knowledge Sharing terkait MRT Jakarta dalam rangka pemantauan kemajuan pekerjaan pembangunan MRT Jakarta yang didanai pinjaman ODA Loan dari JICA, di Jakarta tanggal 3 November 2016.
Monitoring dan Evaluasi Penugasan Khusus kepada LPEI dalam rangka Ekspor Gerbong Kereta ke Bangladesh oleh PT INKA (Persero), di Madiun, Jawa Timur, tanggal 23-25 November 2016.
Indonesia PPP Day 2016 : Innovative Fiscal Support for Better Public Service, di Jakarta, tanggal 24 November 2016.
Pemantauan Perkembangan Pembangunan Proyek Tol Trans Sumatera Ruas Tol Bakauheni-Terbanggi Besar, di Lampung, tanggal 16-17 November 2016.
Pemantauan atas Risiko Gagal Bayar (Default) Fast Track Program 10.000 MW Tahap I pada PLTU Teluk Sirih (2x112 MW) di Padang, tanggal 9-11 November 2016.
e x p o s u r e
EDISI 2 / Tahun 2016