TAFSIR ESOTERIK AL-MAJLISIY DALAM BIHÂR AL-ANWÂR Novizal Wendry Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan Jl. Imam Bonjol Km 4,5, Sihitang Padangsidimpuan Sumut 22733 Email:
[email protected]
Abstrak: Salah satu karekteristik penafsiran al-Qur’an di dunia Syiah adalah penggunaan pendekatan esoterik. Tulisan ini mendiskusikan tentang argumentasi tafsir esoterik menurut ‘Allâmah al-Majlisiy dalam Bihâr al-Anwâr. Dalam pengumpulan data berupa term-term al-Qur’an yang ditafsirkan secara esoterik, langsung merujuk dari sumber primer. Al-Majlisiy adalah ulama berpengaruh terhadap penguasa Safawi, terutama masa Syah Sulayman dan Syah Husayn. Penulisan Bihâr al-Anwâr ini ditujukan untuk kepentingan pengajaran Syiah kepada masyarakat ketika itu. Di dalamnya terdapat penafsiran esoterik imam, sehingga al-Majlisiy layak dipandang sebagai penyelamat tafsir esoterik Imam Ja‘far. Studi ini menemukan, salah satu karekteristik tafsir Syiah adalah muatannya yang seimbang antara tafsir eksoterik dan esoterik. Menurut al-Majlisiy, sesungguhnya alQur’an itu mempunyai dimensi eksoterik dan esoterik, segala ilmu terdapat dalam al-Qur’an, dan pengetahuan tentang ilmu tersebut hanya dimiliki oleh para Imam As., tidak ada yang mengetahuinya selain mereka, dan dengan pengajaran mereka. Tafsir esoterik alMajlisiy berkisar seputar imamah seperti; hak wilayah, otoritas imam sebagai pewaris dan mufasir tunggal al-Qur’an, kemuliaan ahl al-bayt dan kewajiban menaati imam. Meskipun sangat khas Syiah, corak tafsir ini telah memperkaya khazanah keilmuan dalam tafsir Al-Qur’an. Kata kunci: tafsir esoterik, Bihâr al-Anwâr, al-Majlisiy, imamah
1
ESOTERIC QUR’ANIC EXEGESIS IN AL-MAJLISIY’S WORK OF BIHÂR AL-ANWÂR Novizal Wendry Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan Jl. Imam Bonjol Km 4,5, Sihitang Padangsidimpuan Sumut 22733 Email:
[email protected]
Abstract: One salient feature of the approach to the Qur’anic exegesis among Shi’i is concerned with the interpretation of the inner meaning (esoteric) of the Qur’an. This study discusses the argument of the esoteric exegesis in the work of Allamah al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr. He was an influential Muslim scholar in the era of Syah Sulayman and Syah Husayn of the Safawid. The purpose of the work was to disseminate Shi’i doctrine to the people. The work highlights the esoteric interpretation of Imam and therefore it was considered as the continuation of the Imam Ja’far esoteric tradition. The study demonstrates that one fundamental characters of the esoteric interpretation in the work is its concern on the proportional and balanced element between esoteric and exoteric interpretation. According to al-Majlisiy, the Qur’an contains both inner and outer meanings and dimensions. However, the knowledge about the inner and outer dimensions of the Qur’an exclusively belongs to Imam; none knows such dimensions except Imam. The main focus of al-Majlisiy esoteric interpretation are about leadership (imâmah) such as the authority of Imam, Imam as the heir and sole interpreter of the Qur’an, the Prophet family circle (ahl bayt) and the obligation to comply Imam. This kind of Shi’i interpretation enriches the tradition of the Qur’anic exegesis in Islam. Keywords: esoteric interpretation, Bihâr al-Anwâr, al-Majlisiy, imamah
2
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
PENDAHULUAN Salah satu karekteristik penafsiran al-Qur’an di dunia Syiah adalah penggunaan pendekatan esoterik di samping eksoterik. Pendekatan eksoterik dipandang tekstual dengan menitikberatkan dimensi lahiriah teks, sedangkan esoterik nontekstual karena mengedepankan aspek isyarat atau batin yang dikandung oleh teks.1 Bagi Syiah,2 keduanya saling terkait dan membutuhkan, eksoterik tanpa esoterik tidaklah berarti apa-apa, dan begitu juga sebaliknya.3 Berdasarkan tesis Todd Lowson, fokus tafsir esoterik Syiah berkisar seputar gagasan walâya dan imamah. Sedangkan tafsir eksoterik, berkenaan dengan topik tauhid dan kenabian.4 Gagasan walâya dan imamah merupakan dasar perbedaan antara ideologi Syiah dengan Sunni. Atas dasar ini, tafsir esoterik menjadi “bumerang” bagi Syiah. Banyak produk tafsir Syiah yang ditolak dan diklaim “sesat” oleh ulama Sunni seperti yang dilontarkan oleh al-Dzahabiy dan Ahmad al-Salus. Menurut Ayoub, tafsir esoterik dan eksoterik merupakan keunikan bagi tafsir Syiah. Meskipun menggusung gagasan walâya dan imamah yang tidak diterima mayoritas Sunni, tafsir esoterik merupakan the speaking al-Qur’an—al-Qur’ân al-nâthiq—, sedangkan eksoterik adalah the silent al-Qur’ân—al-Qur’ân al-sâmit—.5 Permasalahannya adalah apa tafsir esoterik Syiah ini mempunyai 1 Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Tabatabai”, (Disertasi Doktor) Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2004, 5, Esoterik berasal dari bahasa Inggris esoteric, antonimnya exoteric. Secara literal berarti pengetahuan (tentang sesuatu) yang hanya diketahui oleh segelintir orang saja, Longman Dictionary of Contemporary English, (New York: Longman, 2001), 463-464. Dalam literatur Arab, esoterik semakna dengan bâthin, yaitu antonim dari zhâhir. Esoterik atau bâthin dimaksud adalah penakwilan makna zahir teks al-Qur’an, kepada makna lain dengan alasan bahwa redaksinya merupakan simbol hakikat yang tersembunyi. Sedangkan eksoterik atau zhâhir adalah pemahaman terhadap apa yang disajikan teks al-Qur’an tanpa adanya upaya penakwilan. ‘Abd al-Mun‘im al-Khafiy, al-Mawsû‘ah al-Falsafiyyah, (Beirut: Dâr ibn Zaidân, t.th.), 88, 281. 2 Syiah yang dimaksud dalam kajian ini adalah Syiah Imamiah atau Syiah Dua Belas. 3 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (London: George & Unwin, 1979), 160. 4 B. Todd Lowson, “Akhbârî Shî‘î Approaches to Tafsîr,” dalam G.R. Hawting & Abdul-Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’ân, (London: Rontledge, 1993), 196. 5 Mahmoud Ayoub,”The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân: A Study of the Principles and Development of Imâmî Shî‘î tafsîr” dalam Andrew Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, (New York: Oxford University Press, 1988), 183.
3
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
dasar hukum, dan bagaimana metode yang mereka gunakan untuk melegalkan hal tersebut? Di antara mufasir Syiah Dua Belas adalah Muhammad Baqir al-Majlisiy.6 Al-Majlisiy adalah seorang ulama yang hidup hingga penghujung abad ke-11 Hijriah/17 Masehi. Ia adalah sosok yang dekat dengan penguasa—kerajaan—pada dinasti Safawi di Persia dan dipandang sebagai penyelamat tafsir esoterik Syiah, terutama yang bersumber dari Imam Ja‘far. Dengan karyanya Bihâr al-Anwâr, al-Majlisiy meletakkan dasar-dasar pijakan penafsiran esoterik dalam memahami al-Qur’an. Apa yang dilakukan oleh al-Majlisiy ini, menjadi perhatian ilmuwan al-Qur’an di dunia Barat, sehingga ia dapat dikatakan penyelamat tafsir esoterik Syiah fase kedua yakni dari Imam Ja’far.7 Karyanya dapat dikategorikan sebagai sumber tafsir Syiah Dua Belas yang penting untuk dirujuk pada zaman kontemporer ini.8 Menguak penafsiran esoterik al-Majlisiy dalam Bihâr alAnwâr dalam kajian ini cukup beralasan. Di samping ketokohan penulisnya, kajian tentang tafsir ini masih belum tergali secara mendalam. Selain itu, padanya terdapat aspek religius kesyiahan yang bernilai tinggi. Apalagi ditambah dengan adanya pandanganpandangan sepihak yang cenderung negatif dan umumnya menyudutkan tafsir Syiah.9 Dengan demikian, penelitian ini diharapkan menemukan sumber argumentasi dari dalam internal Syiah tentang kebolehan tafsir esoterik. Selain itu kiranya dapat menguji kebenaran tesis Ayoub secara aplikatif, sejauh mana peran al-Majlisiy dalam menyelamatkan tafsir esoterik Syiah pada fase kedua dan memperkaya khazanah madzâhib al-tafsîr dalam studi ilmu al-Qur’an. 6 Nama lengkapnya adalah al-‘Allâmah al-Hujjah Fakhr al-Ummah alMawlâ al-Syaykh Muhammad Bâqir al-Majlisiy. Ia dijuluki kolektor dan penyelamat hadis-hadis Syiah karena ensiklopedinya—Bihâr al-Anwâr—memuat hadis-hadis Syiah baik ber-sanad maupun tidak. Walaupun demikian, sesungguhnya Bihâr al-Anwâr sarat juga dengan tafsir, dan sering jadi rujukan dalam tasawuf dan filsafat Islam. Abdul-Hadi Hairi, “Madjlisî, Mullâ Muhammad Baíir” dalam C. E. Bosworth dkk. (ed.) The Encyclopaedia of Islam, jilid 5, (Leiden: E.J. Brill, 1986), 1086-1087. 7 Mahmoud Ayoub, “The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân”, 185. 8 Ibid, 185. 9 Di antaranya baca penelitian al-Salus yang mengkomparasikan beberapa hal—akidah, tafsir, hadis dan fikih—antara Syiah dan Sunni. Kajian sepihak ini, mengupas hal-hal sensitive yang merupakan titik perbedaan antara kedua aliran Islam tersebut. Ali Ahmad as-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah Studi Perbandingan Aqidah & Tafsir, judul asli Ma‘a al-Syî‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah fi al-Ushûl wa al-Furû‘ (Mawsû‘ah Syâmilah) Dirâsah Muqâranah fi al-‘Aqâ’id wa al-Tafsîr, terj. Bisri Abdussomad dan Asmuni Solihan Zamakhsyari, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), 567-573.
4
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
Penelitian tentang tafsir esoterik di kalangan Syiah bukanlah penelitian awal. Telah banyak pengkaji Islam terdahulu membahasnya, baik dalam bentuk artikel, tesis, maupun disertasi. Dalam bentuk artikel antara lain dilakukan oleh Habil, “Traditional Esoteric Commentaries on the Qur’an”. Habil memaparkan lima periodesasi tafsir esoterik di kalangan Syiah. Habil juga menyinggung sifat-sifat tafsir esoterik dan hubungannya dengan Sunnah. Menurut Habil, sumber tafsir esoterik adalah al-Qur’an dan Sunah, namun konsep Sunah dalam kacamata Syiah juga meliputi hadis yang bersumber dari Imam.10 Selanjutnya “The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân: A Study of the Principles and Development of Imâmiy Shî‘iy Tafsîr” yang ditulis oleh Ayoub.11 Ayoub banyak menyinggung tentang arus perkembangan dan prinsip-prinsip penafsiran Syiah Imamiyah berikut sampel praktisnya. Selain itu, Poonawala juga menulis artikel “Ismâ‘îliy Ta’wîl of the Qur’ân”. Dalam artikelnya, Poonawala sebatas membahas konsep takwil dalam pandangan sekte minoritas Syiah, yaitu Ismâ‘îliyyah,12 sehingga sekte lainnya seperti Syiah Imamiyyah—yang merupakan kalangan mayoritas Syiah dan mazhab al-Majlisiy—belum tersentuh secara tuntas. Sedangkan pembahasan khusus mengenai al-Majlisiy dan Bihâr al-Anwâr-nya adalah disertasi Karl-Heinz Pampus di Bonn tahun 1977. Penelitian Pampus ini berjudul “Die Theologische Enzyklopädie Bihâr al-Anwâr des Muhammad Bâqir al-Maglisiy (1037-1110 A.H.=1627-1699 A.D.): Ein Beitrag zur Literaturgeschichte der Šî‘a in der ªafawidenzeit.” Penulis tidak dapat membaca karya tersebut dan hanya memperoleh informasi dari Mazzaoui pada salah satu entrinya dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Menurut Mazzaoui, Pampus dalam disertasinya lebih banyak mengungkap kehidupan menyeluruh al-Majlisiy daripada analisis terperinci tentang Bihâr al-Anwâr.13 Tegasnya, dari seratus tiga puluh empat halaman pertama disertasi 10 Abdurrahman Habil, “Traditional Esoteric Commentaries on the Qur’an” dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.), Islamic Spirituality Foundations, (New York: The Crossroad Publishing Company, 1987), 24-43. 11 Mahmoud Ayoub, “The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân”, 177198. 12 Ismail K. Poonawala, “Isma‘ilî Ta’wîl of the Qur’ân” dalam Andrew Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân, (New York: Oxford University Press, 1988), 199-222. 13 Michel M. Mazzaoui, “Muhammad Bâqir al-Majlisî” dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, jilid 3, (New York: Oxford University Press, 1995), 27.
5
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Pampus, berbicara seputar al-Majlisiy dan sembilan puluh empat halaman sisanya berisi analisis terperinci tentang Bihâr al-Anwâr. Informasi ringkas tentang al-Majlisiy juga terdapat dalam artikel Rula Jurdi Abisaab dalam Islam and the Muslim World. Selain Abisaab, juga ditulis oleh Abdul-Hadi Hairi dalam The Encyclopaedia of Islam dan Michel M. Mazzaoui dalam The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Namun ketiga artikel tersebut sebatas biografi dan singgungan umum terhadap karya-karya al-Majlisiy serta perjalanan politiknya. Adapun Bihâr al-Anwâr sebagai salah satu karya monumental al-Majlisiy belum mereka bahas secara tuntas. Dalam bentuk disertasi, Rosihan Anwar membahas “Tafsir Esoterik Menurut al-Thabâthabâ’iy”, disertasi Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2004. Rosihan tidak menyinggung tafsir esoterik yang terdapat dalam Bihâr al-Anwâr, ia hanya merumuskan prinsipprinsip tafsir esoterik versi Thabâthabâ’iy. Selain itu, ia juga melihat pandangan Thabâthabâ’iy tentang riwayat para Imam.14 Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini difokuskan pada; (a) apa argumen al-Majlisiy terhadap tafsir esoterik, dan (b) bagaimanakah metode tafsir esoterik al-Majlisiy? Penafsiran esoterik yang dimaksud pada pembahasan ini adalah penakwilan yang dilakukan mufasir Syiah dari makna lahir teks al-Qur’an kepada makna batin dengan asumsi bahwa al-Qur’an mempunyai dimensi eksoterik dan esoterik. Luasnya cakupan Bihâr al-Anwâr, maka penelitian ini fokus pada kitâb al-Qur’ân yang terdapat pada volume ke-89 dan 90 dari 110 jilid edisi Mu’assasah al-Wafâ’ Beirut cetakan kedua tahun 1983. 15 Pembatasan ini dengan alasan, bahwa al-Majlisiy meletakkan dasar-dasar ilmu alQur’annya pada kitâb al-Qur’ân ini. Sedangkan pada volume lainnya memuat peran ilmu dan akal, tauhid, dasar-dasar ajaran Syiah Dua Belas, hukum, sejarah para Nabi, sejarah para imam, serta sejarah terkait proses penciptaan langit dan bumi yang semuanya penulis anggap tidak mempunyai keterkaitan signifikan terhadap studi ilmu al-Qur’an. Di samping itu, kitâb al-Qur’ân merupakan sumber induk dan dasar penafsiran al-Majlisiy serta diklaim sebagai ‘ulûm al-Qur’ân yang bersumber dari Imam Ali Ra.16 14
Rosihan Anwar, “Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Tabatabai” Bihâr al-Anwâr diterbitkan dalam dua edisi yang berbeda. Yang pertama terbit dalam 25 jilid, dan yang kedua 110 jilid ditambah prajilid (al-mujallad shifr) berisikan pengantar dari editor. 16 ‘Abbâs al-Turjumân, “Kalimat al-Taqdîm” dalam, Tafsîr al-Shâfiy, jilid 1, (Taheran: Maktabah al-Shadr, 1374), 2. 15
6
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan library research, yaitu penelitian dengan mengumpulkan data dari kepustakaan serta sarana lainnya seperti website. Kajian ini bersifat kualitatif yang dalam menganalisis datanya menggunakan metode induksi, yaitu dengan mengungkap hal-hal partikular untuk ditarik suatu simpulan. Dalam pengumpulan data berupa term-term al-Qur’an yang ditafsirkan secara esoterik dari sumber primer, penulis menggunakan kriteria sebagai berikut (1) tafsir ayat tersebut merupakan takwil dari Imam Syiah, (2) penjelasan langsung dari al-Majlisiy dengan ungkapan li hâdzihi al-âyah zhâhir wa bâthin, fa al-zhâhir … wa al-bâthin …, (3) konfrontasi kepada tafsir Syiah lainnya, (4) ayat muqaththa‘ât, karena ia termasuk mutasyâbihât dan dapat ditakwilkan oleh imam, (5) tidak sesuai dengan makna lahir teks, (6) mengutamakan aspek korelasi ayat yang dipaparkan oleh al-Majlisiy dalam menjelaskan penafsiran imam. Dalam mengolah data, penulis lakukan dengan deskriptifanalisis dan komparatif, yaitu berusaha memaparkan aplikasi tafsir esoterik al-Majlisiy dan menganalisis serta membandingkannya dengan mufasir lain, terutama dengan sesama mufasir Syiah. Argumentasi al-Majlisiy tentang keabsahan penafsiran esoterik, dianalisis juga dengan teori-teori lain yang berkembang dalam tafsir Syiah, seperti yang dikemukakan oleh Ayoub, Poonawala, dan Habil. Untuk memotret sosok tokoh al-Majlisiy, penulis melakukan pendekatan sejarah. Termasuk dalam hal ini kondisi sosial politik ketika ia hidup dan menulis Bihâr al-Anwâr, guru-gurunya, dan respon ulama terhadap Bihâr al-Anwâr. Sebagai data primer yang menjadi rujukan penulis adalah Bihâr al-Anwâr al-Jâmi‘ah li Durar Akhbâr al-A’immah al-Athhâr karya Muhammad Baqir al-Majlisiy (1627-1698) yang diterbitkan oleh Mu’assasah al-Wafâ’ Beirut cetakan kedua tahun 1983. Pemilihan data ini dengan dua alasan; ketokohan penulisnya dan muatan yang dikandungnya. Pertama, al-Majlisiy pernah diangkat sebagai (a) Syaykh al-Mulabbasyi pada pemerintahan Syah Sulaiman dan Syaykh Islam pada pemerintahan Syah Husayn, (b) mempunyai peran penting dalam pengajaran ajaran Imam, (c) ia adalah pencetus gagasan bahwa ulama adalah wakil imam sehingga perkataannya diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan pemerintah ketika itu. Kedua, Bihâr al-Anwâr karya yang (a) dianggap sebagai publikasi tafsir Imam Ja‘far, (b) dijadikan referensi pengkaji Syiah belakangan, dan (3) sumber penting penafsiran Syiah kontemporer. Adapun segala referensi yang bersangkut-paut 7
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
dengan pembahasan ini, penulis jadikan sebagai rujukan sekunder. Antara lain tulisan Ayoub, “The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân: A Study of the Principles and Development of Imâmî Shî‘î tafsîr”, Poonawala, “Isma‘ilî Ta’wîl of the Qur’ân”, Abdurrahman Habil, “Traditional Esoteric Commentaries on the Qur’an”, AbdulHadi Hairi, “Madjlisî, Mullâ Muhammad Baíir” dalam The Encyclopaedia of Islam E.J. Brill, dan Mazzaoui “Muhammad Bâqir al-Majlisî” The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. HASIL DAN PEMBAHASAN Mengenal al-Majlisiy Jika dalam dunia Sunni dikenal dua mufasir yang akrab dipanggil dengan Jalâlayn (Jalâl al-Dîn al-Mahalliy [w. 864 H/ 1459 M] dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthiy [w. 911 H/1505 M]), maka di kalangan Syiah dikenal juga dua ulama dengan panggilan yang sama “al-Majlisiy”. Kedua al-Majlisiy ini adalah ayah dan anak, atau akrab dengan panggilan al-Majlisiy al-awwal dan al-Majlisiy al-tsâniy. Untuk mempertegas, al-Majlisiy yang dimaksud dalam kajian ini adalah al-Majlisi al-tsâniy, sang yunior. Nama lengkapnya adalah al-‘Allâmah al-Hujjah Fakhr alUmmah al-Mawla al-Syaykh Muhammad Bâqir al-Majlisiy (10371110 H/1627-1698 M). Bapaknya adalah Mawlâ Muhammad Taqiy al-Majlisiy (1003-1070 H/1594-1659 M), salah seorang ulama besar di kalangan Syiah Imâmiyyah.17 Al-Majlisiy lahir tahun 1037 H/1627 M di Isfahan,18 ibu kota kerajaan Safawi ketika itu dan tutup usia ketika berumur 73 tahun, tanggal 27 Ramadlan tahun 1110 H/1698 M di Iran dan dimakamkan di mesjid Agung kota kelahirannya.19 Ia sering dijuluki dengan al-Majlisiy al-Tsâniy, al‘Allâmah al-Majlisiy, Syaykh al-Islâm al-Majlisiy, al-Fâdlil al-Majlisiy, al-Muhaddits al-Majlisiy, atau dengan Shâhib Bihâr al-Anwâr. Al-Majlisiy memperoleh pendidikan dari ayahnya, seorang penyebar hadis Syiah. Selain itu, ayah al-Majlisiy adalah seorang 17 Tim Editor, “Tarjamah al-Mu’allif” dalam al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, prajilid, 62. 18 Kota Ishfahan banyak melahirkan ulama-ulama dan ilmuwan. Kota ini merupakan pusat pendidikan Syiah yang dicetuskan Syah Abbas I dengan guru utamanya Mullah Abdullah Syusytariy (1021 H/1612 M). Beberapa pusat kajian Syiah lainnya adalah Najaf, Qum dan Masyhad. Lihat: Nurul Fajri MR., “Kerajaan Safawi” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 2, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.), 268. 19 Tim Editor, Bihâr al-Anwâr, prajilid, 62.
8
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
sufi, mujtahid, sepaham dengan aliran Isfahan. 20 Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama kenamaan seperti Nûr al-Dîn ‘Aliy ibn ‘Ali ibn al-Husayn Abiy al-Hasan al-Husayniy al-Musawiy al‘Âmiliy (970-1068 H/1562-1665 M), pen-syarh kitab al-Mukhtashar al-Nâfi‘ dan al-Fawâ’id al-Makkiyyah, Muhammad al-Hasan al-Hurr al-‘Âmiliy, seorang muhaddits dan pengarang kitab al-Wasâ’il, alFaydl al-Kasysyâni (w. 1091 H/1680 M), penulis tafsir al-Shâfiy dan al-Mafâtîh. 21 Jika menilik dari jalur ayah al-Majlisiy (Muhammad Taqiy al-Majlisiy) di atas, maka ia termasuk keturunan keluarga besar ‘Âmiliy, yang berasal dari Lebanon Selatan. Penamaan ‘Âmiliy terambil dari nama gunung yang berada di Lebanon Selatan. Daerah ini banyak melahirkan ulama-ulama kenamaan, terutama dari kalangan Syiah. Ajaran Syiah pun, berkembang lebih awal di sini. Moojan Momen dalam penelitiannya memetakan bahwa Jabal ‘Âmil telah melahirkan beberapa pusat studi Islam— madrasah—Syiah, terutama abad ke-17 hingga abad ke-20 Masehi. Setidaknya, terdapat empat madrasah yang dijadikan pusat pembelajaran Islam—mungkin lebih spesifik lagi ajaran Syiah— di Jabal ‘Âmil.22 Sebelum Dinasti Safawi, telah muncul beberapa institusi pengajaran yang disebut dengan al-madrasah.23 20 Sebelum kelahiran al-Majlisiy, gerakan al-isyrâqiy sedang berkembangan di Isfahan. Gerakan ini disebut juga dengan aliran Isfahan. Aliran ini dipelopori oleh Syihabuddin Yahya Suhrawardi (w. 1191 H/1777 M), Mir Damad (w. 1041 H/ 1631 M), Mulla Sadra (Muhammad ibn Ibrahim Syirazi) (w. 1050 H/1640 M), Mir Findiriski (w. 1050 H/1640 M), Mulla Rajab Ali Tabrizi (w. 1080 H/1669 M). Nurul Fajri MR., “Kerajaan Safawi”, jilid 2, 269. 21 Abdul-Hadi Hairi, “Madjlisî, Mullâ Muhammad Baíir,” 1087, Tim Editor, Bihâr al-Anwâr, prajilid, 52-55. 22 Keempat tempat tersebut adalah; Pertama adalah Tyre, yang berpusat di kediaman ‘Izz al-Dîn dan keluarga Mughniya serta rumah Sayyid ‘Abd al-Husayn Syaraf al-Dîn. Ketika itu, penganut Syiah mencapai 50 % dari jumlah penduduk. Kedua adalah Shaqra, madrasah terpenting dalam penyebaran Syiah abad ke-17 hingga ke-20. Moojan Momen mencatat, 100 % dari penduduk kota ini penganut Syiah. Ketiga adalah Hanawaya yang didirikan oleh Syaykh Muhammad ‘Aliy ‘Izz al-Dîn (1841-1915 M). Komunitas Syiah di kota ini mencapai 100 % dari jumlah penduduk. Keempat adalah Hânîn, pusat studi Syiah abad ke-17 dan ke-18 yang dipelopori oleh Syaykh Hasan al-Hanîniy. Lihat: Moojan Momen, An Introduction to Shi‘i Islam the History and Doctrine of Twelver Shi‘ism, (London: Yale University Press, 1985), 278-279. 23 Sebelum kerajaan Safawi resmi diproklamirkan, otoritas kekuasaan setempat dikuasai oleh imperium Mongol dan Timuriah. Mongol mempunyai kontribusi dalam membangun kebudayaan di Iran. Di antaranya Tabriz berkembang menjadi pusat sekolah yang maju ketika itu. Demikian juga dengan peradaban Cina diperkenalkan di sana. Imperium Mongol dilanjutkan oleh Timuriah. Di bawah Timur, muncul pusat kebudayaan di kota Herat, Samarkand dan Bukhara.
9
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Dari beberapa orang guru maupun murid al-Majlisiy di atas, ditemukan indikasi bahwa al-Majlisiy pernah berguru dengan seorang mufasir seperti al-Kâsyâniy, atau pun kepada muhadits seperti pengarang kitab wasâ’il, al-Hurr al-Amiliy. Di samping itu ia juga mendalami ajaran Syiah dari ulama-ulama yang terkenal ketika itu. Hal ini sangat mempengaruhi pola pikir al-Majlisiy dalam penulisan Bihâr al-Anwâr dan ia wariskan juga kepada muridmuridnya. Al-Majlisiy adalah sosok intelektual muslim yang produktif. Diperkirakan ia telah menulis sekitar 13 buah karya berbahasa Arab yang terdiri dari empat buah buku, tiga komentar/syarh, lima buah artikel dan satu buah kumpulan tanya jawab. Dalam bahasa Persi diperkirakan sekitar 53 buah yang terdiri dari 28 buah buku, tiga buah komentar/syarh dan 22 buah artikel. Karyakaryanya tersebut antara lain Bihâr al-Anwâr, Mir’ât al-’Uqûl fiy Syarh Akhbâr ’Âli al-Rasûl, komentar kitab al-kâfiy, dan al-Masâ’il al-Hindiyyah.24 Selain itu, al-Majlisiy mengumpulkan dan menerjemahkan hadis-hadis Syiah dari bahasa Arab ke Persia. Terjemahan hadis ini sangat berguna untuk konsumsi masyarakat awam,25 sehingga Mahmoud Ayoub dan beberapa ilmuwan menganggapnya sebagai kolektor dan penyelemat hadis-hadis Syiah. Al-Majlisiy dibesarkan dalam lingkungan kerajaan Safawi, karena bapaknya berperan di kerajaan. 26 Ia hidup pada empat zaman penguasa kerajaan Safawi; Syah Safi (1038-1052 H/16291642 M) dan Syah Abbas II (1052-1077 H/1642-1666 M), Syah Sulayman (1070-1106 H/1666-1694 M) dan Syah Husayn (1106Di Samarkand dan Bukhara, telah berdiri beberapa madrasah yang merupakan hadiah dari Ulugh Beg kepada tokoh-tokoh sufi setempat. Beberapa madrasah juga muncul belakangan di daerah Jabal ‘Amil. Penulis belum menemukan informasi, pada madrasah mana al-Majlisiy belajar. Yang jelas, dia mempunyai beberapa orang guru dan boleh jadi ia belajar ke rumah ulama bersangkutan, maupun guru yang didatangkan ke rumahnya karena bapaknya juga seorang ulama terkenal. Boleh jadi juga, ia belajar secara ijâzah kepada guru bersangkutan. Karena dalam tradisi ilmu hadis, ijâzah adalah simbol pemberian hadis atau ilmu tertentu dari guru kepada murid. Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 229-230. 24 Http://en.wikipedia.org/wiki/Bihar_al-Anwar, diakses 14 Juni 2010. 25 Rula Jurdi Abisaab, “Muhammad Baqir Majlisi” dalam Rachard C. Martin (ed.), Islam and the Muslim World, jilid 2, (New York: Macmillan, 2004), 425. 26 Kerajaan Safawi berasal dari gerakan agama yang didirikan oleh Syaykh Shafi al-Din (1252-1334). Seiring dengan perjalanan sejarah Persia, pada abad ke15 aliran ini berubah menjadi gerakan politik yang berpengaruh di bagian baratlaut Iran dan bagian timur Anatolia. Tahun 1501, Isma‘il (1487-1524) menduduki Tabriz dan menyatakan dirinya sebagai Syah Iran. Lapidus, A History of Islamic Societies, 253-254.
10
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
1125 H/1694-1713 M). Ia memainkan perannya dalam politik kerajaan pada masa Syah Sulaiman yang mengangkatnya menjadi mulabbasyiy—ketua ulama—tahun 1098 H/1686 M dan masa Syah Husayn, sebagai Syaykh al-Islâm tahun 1106 H/1694 M.27 Posisi ini menjadikan raja tidak bisa mengontrol aktivitas sosial politik al-Majlisiy. Selain itu, pengangkatan Syah Husayn menjadi raja banyak mendapat dukungan dari al-Majlisiy. Gerakan keagamaan al-Majlisiy bercorak fikih dengan tiga sasaran; penekanan terhadap tasawuf falsafi, penyebaran doktrin Syiah yang bercorak fikih dan penekanan terhadap paham Sunni. Berbeda dengan ayahnya, Al-Majlisiy sangat menentang aliran Isfahan yang dipelopori oleh Syihabuddin Yahya Suhrawardi (w. 1191 H/1777 M), Mir Damad (w. 1041 H/1631 M), Mulla Sadra (Muhammad ibn Ibrahim Syirazi) (w. 1050 H/1640 M), Mir Findiriski (w. 1050 H/1640 M), dan Mulla Rajab Ali Tabrizi (w. 1080 H/1669 M).28 Syiahisasi yang dilakukan al-Majlisiy berbeda dengan pendahulunya. Ia mengembangkan paham enjoining the good dan prohibiting evil (al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar) seperti yang dipaparkannya dalam salah satu entri Bihâr alAnwâr. 29 Dengan pendekatan inilah al-Majlisiy diyakini berhasil mensyiahkan sekitar 16.000 orang Sunni tanpa kekerasan seperti yang dilakukan pendahulunya. Di samping itu, ia dikenal sebagai ulama yang moderat yaitu melakukan kombinasi antara paham tradisional—akhbâriy—dan paham rasional—ushûliy—. Pendekat42 an inilah yang menjadikannya disenangi oleh banyak kalangan.30 Tak salah jika Michel M. Mazzaoui mengatakan bahwa kematian al-Majlisiy menandai berakhirnya “the golden age” untuk kerajaan Safawi. 31 Profil Bihâr al-Anwâr Judul lengkap kitab ini adalah Bihâr al-Anwâr al-Jâmi‘ah li Durar Akhbâr al-A’immah al-Athhâr. Kata Bihâr al-Anwâr— samudera cahaya—melambangkan bahwa ia berisikan lautan cahaya atau ilmu. Banyaknya ilmu tersebut sehingga diibaratkan 27
Abdul-Hadi Hairi, “Madjlisî, Mullâ Muhammad Baíir”, jilid 5, 1087. Nurul Fajri MR., “Kerajaan Safawi”, jilid. 2, 269. 29 Jika gerakan Syiahisasi dimulai pada masa Syah Ismail I dengan tindakan kekerasan hingga membunuh beberapa orang ulama dan sastrawan Sunni asal Baghdad, maka Al-Majlisiy sebaliknya. Ia berhasil merubah ideologi beberapa orang Sunni untuk memeluk Syiah. Rula Jurdi Abisaab, “Muhammad Baqir Majlisi”, jilid 2, 425-426. 30 Rula Jurdi Abisaab, “Muhammad Baqir Majlisi”, vol. 2, 425-426 31 Michel M. Mazzaoui, “Muhammad Bâqir al-Majlisî,” 27. 28
11
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
bagaikan laut, tidak bisa diukur karena luas dan volumenya yang banyak. Term al-jâmi’ah, melambangkan bahwa ia merupakan karya yang sempurna dan memuat segalanya. Al-Jâmi‘ah juga simbol bahwa Bihâr al-Anwâr sarat dengan koleksi pendapat para Imam maksum yang dikutip dari beberapa referensi. Sedangkan durar adalah bentuk jamak dari durr, berarti mutiara-mutiara. Term akhbâr adalah jamak dari khabar, berarti berita. Yang dimaksud akhbâr di sini adalah sinonim dari hadis, hanya ia juga memuat perkataan Imam, atau hadis Rasulullah yang pernah diriwayatkan oleh Imam yang maksum. Bihâr al-Anwâr untuk pertama kalinya dicetak oleh Dâr alDlarb dalam 25 jilid di Taheran tahun 1305-1315/1887-1897. Pembagian ini mengikuti jumlah bahasan yang dikelompokkan oleh pengarangnya. Pada edisi selanjutnya, Bihâr al-Anwâr diterbitkan oleh Mu’assasah al-Wafâ’ Lebanon dalam 110 jilid tahun 19561972. Edisi besar ini ditambah dengan prajilid/jilid shifr berisikan pengantar—al-madkhal—Bihâr al-Anwâr. Penerbitan ini disunting oleh tim yang terdiri dari beberapa orang ulama kenamaan seperti Muhammad Husayn al-Thabâthabâ’iy dan Ayatullah al-Syaykh ‘Abd al-Rahîm al-Rabbâniy al-Syayrâziy—pimpinan editor, pentashih sanad dan matan serta biografi beberapa penulis yang menjadi rujukan al-Majlisiy—.32 Dalam edisi Mu’assasah al-Wafâ’ ini, tiap-tiap kitâb—bahasan—yang semula ditampilkan pada satu jilid, dijadikan dalam beberapa jilid. Penulisan Bihâr al-Anwâr terobsesi dari tanggung jawab moral penulisnya untuk menyebarkan ilmu yang telah ia pelajari. Menurut al-Majlisiy ilmu yang jernih tidak akan tergenang demikian saja kecuali setelah digali dari mata air yang jernih pula, yaitu yang bersumber dari wahyu dan ilham. Demikian juga halnya dengan hikmah, tidak akan berguna atau berpengaruh kecuali jika diambil dari hukum-hukum agama. Untuk itulah, ia telah menggali ilmunya dari sumber-sumber yang suci yaitu al-Qur’an dan hadis atau Akhbâr Imam.33 Itulah salah satu sebab akhbâr para Imam dan Nabi serta penafsiran al-Qur’an sangat mendominasi dalam Bihâr al-Anwâr. Al-Majlisiy melihat, bahwa zaman berada pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Menurutnya, kerusakan yang meningkat dan kondisi masyarakat yang cenderung berada dalam kesesatan harus segera diingatkan dan diberi petunjuk, yaitu dengan al-Qur’an dan akhbâr tadi.34 Namun hendaknya disajikan 32
Lihat: Tim Editor, Bihâr al-Anwâr, prajilid, 7, 8, 11. Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 1, 2-3. 34 Ibid, 3. 33
12
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
dalam bentuk buku yang memuat al-Qur’an dan petunjuk para Imam dengan sistematika yang mudah dirujuk oleh masyarakat. Untuk itu, al-Majlisiy diyakini telah mengoleksi kitab-kitab pokok yang muktabar baik yang ada di Isfahan maupun dengan bantuan koleganya pada beberapa tempat dan negara lain. Setelah memiliki referensi yang lengkap, al-Majlisiy menulis Bihâr al-Anwâr berdasarkan tema-tema pada bab-bab yang mudah dicari oleh masyarakat biasa, karena penulisan model ini belum dikenal saat itu. Di samping untuk dijadikan referensi oleh para ulama dan penguasa, Bihâr al-Anwâr juga ditujukan untuk masyarakat umum agar memudahkan mereka dalam mengaksesnya. Dalam penulisan Bihâr al-Anwâr, al-Majlisiy membutuhkan beberapa kitab lain sebagai referensi. Ia berusaha “adil” dalam setiap kutipan dengan tidak hanya mengutip referensi yang semazhab. Tetapi juga sekte Syiah lainnya bahkan juga termasuk beberapa di antaranya dari penulis Sunni. Secara kuantitas, tafsir atau sumber lain dari penulis Syiah memang sangat dominan dalam kutipan-kutipannya. Dalam hal ini, al-Majlisiy mengakui sendiri bahwa pengutipan dari al-mukhâlafîn—berbeda mazhab— , ia lakukan untuk membenarkan dan menjelaskan khabar Imam yang ia kutip, atau membantah dan mengemukakan alasan terhadap pendapat yang berseberangan dengannya.35 Bihâr al-Anwâr disusun dengan sistematika penulisan ensiklopedi. Yang ia inginkan dari ensiklopedi ini adalah informasi yang lengkap. Berdasarkan tujuan penulisannya, al-Majlisiy menampilkan semua informasi yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, terutama sekali tentang kesyiahan. Dalam penyajian materi, al-Majlisiy mengkategorikannya berdasarkan tema-tema pembahasan. Pada pembahasan induk, al-Majlisiy mengelompokkannya pada satu bahasan atau kitâb. Sedangkan sub-sub bahasan ia kategorikan kepada beberapa bab atau al-fashl. Al-Majlisiy terlebih dahulu menyajikan ayat al-Qur’an kemudian hadis atau khabar imam. Hal ini sebagaimana lazim dalam penulisan tafsirtafsir Syiah bercorak ma’tsûr.36Adapun pendapat ulama-ulama Syiah lainnya diungkap kemudian dan diakhiri dengan pendapatnya. 35
Ibid, 24. Banyaknya riwayat yang merupakan simbol tafsir bi al-ma’tsûr ini menimbulkan anggapan bahwa Bihâr al-Anwâr sebagai ensiklopedi hadis Syiah— a shi’ite encyclopedia of hadith—.Lihat misalnya: Rula Jurdi Abisaab, “Muhammad Baqir Majlisi”, vol. 2, 426, William C. Chittick, “Translator’s Introduction” dalam Al-Thabâthabâ’î, A Shi‘ite Antology, terj. William C. Chittick, (London: Muhammadi Trust, 1979), 17. 36
13
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Bihâr al-Anwâr ditulis selama 36 tahun (1070 H/1659 M sd. 1106 H/1694 M) ketika penulisnya berumur antara 33 sd. 69 tahun. Berat dugaan, penulisan Bihâr al-Anwâr mendapat sponsor dari penguasa yang dalam hal ini adalah pihak kerajaan. Keberhasilan al-Majlisiy dalam menyusun Bihâr al-Anwâr, mendapat apresiasi positif dari ulama-ulama sesudahnya. Beberapa di antara mereka membuat ringkasannya seperti Jâmi‘ al-Anwâr fiy Mukhtashar Sâbi‘ al-Bihâr oleh Aghâ Najfiy al-Madzkûr, Mukhtashar al-Sâbi‘ oleh Aghâ Ridlâ ibn al-Mawlâ Muhammad Nashîr, Durar al-Bihâr oleh Nûr al-Dîn ibn Akhiy.37 Menurut Mahmoud Ayoub, penulisan Bihâr al-Anwâr dipandang sebagai publikasi hadis dan tafsir riwayat Imam Ja‘far dan menyelamatkannya dari kepunahan. 38 Bahkan menurut ‘Abbâs al-Turjumân, Bihâr al-Anwâr juga menyelamatkan ‘ulûm al-Qur’ân Imam Ali Ra.39 Maka dasar-dasar ‘ulûm al-Qur’ân yang diketahui Ali Ra. dari Rasulullah Saw. diselamatkan oleh alMajlisiy. Dengan kata lain, poin-poin ‘ulûm al-Qur’ân Syiah berjumlah 60 yang diwariskan oleh Ali terdapat dalam Bihâr al-Anwâr. Metode al-Majlisiy terhadap Tafsir Esoterik al-Qur’an Untuk melihat argumentasi keabsahan penafsiran esoterik menurut al-Majlisiy, dapat dianalisis dari kaidah yang dia formulasikan sebagai berikut:
Sesungguhnya al-Qur’an itu mempunyai dimensi eksoterik dan esoterik, ilmu (tentang) apapun terdapat dalam al-Qur’an, dan pengetahuan (tentang) ilmu tersebut (hanya) dimiliki oleh para Imam As., dan tidak ada yang mengetahuinya selain mereka, kecuali dengan pengajaran mereka.
Kaidah di atas meliputi empat aspek sebagai berikut: a. Al-Qur’an mempunyai dimensi eksoterik dan esoterik Teori di atas berdasarkan pada riwayat mursal dari Hasan yang menyatakan bahwa al-Qur’an mempunyai dimensi ekso37
Tim Editor, Bihâr al-Anwâr, prajilid, 49-50. Mahmoud Ayoub,”The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân”, 185. 39 ‘Abbâs al-Turjumân, “Kalimat al-Taqdîm” dalam al-Mawlâ Muhsin alFaydl al-Kâsyâniy, Tafsîr al-Shâfiy, jilid 1, (Taheran: Maktabah al-Shadr, 1374), 2. 40 Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid. 89, 78. 38
14
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
terik—zhâhir—dan esoterik—bâthin—.41 Dalam Bihâr al-Anwâr dijelaskan bahwa kaidah ini bersumber dari beberapa riwayat, antara lain dua riwayat yang merupakan penjelasan dari Abu Ja‘far As. terhadap pertanyaan yang diajukan kepadanya tentang eksoterik dan esoterik al-Qur’an.42 Menurut Abû Ja‘far As., yang dimaksud dengan dimensi eksoterik al-Qur’an adalah konteks masyararakat ketika al-Qur’an diturunkan kepada mereka—zhahruhu al-ladzîn nuzila fîhim al-Qur’ân—. Bisa jadi ayat tersebut sebenarnya diturunkan untuk menjawab problem yang terjadi pada mereka. Dalam penjelasan Abû Ja‘far selanjutnya dijelaskan bahwa inilah yang dinamakan dengan tanzîl. Adapun makna esoteriknya terdapat pada komunitas masyarakat lain—wa bathnuhu al-ladzîn ‘amilû bi a‘mâlihim—yang mempunyai keterkaitan dengan yang pertama dan inilah yang disebut dengan takwil. Dengan demikian baik tanzîl maupun takwil saling terkait satu dengan lainnya. Perbedaan antara konsep tanzîl dan takwil al-Qur’an adalah seperti yang dikutip oleh Poonawala dari Maqâlîd karangan Sijistaniy,43 bahwa tanzîl bagaikan barang mentah atau material kasar seperti kayu, sedangkan takwil adalah hasil olahannya.44 Dengan demikian, hasil olahan tadi akan diwujudkan seperti apa yang diinginkan oleh orang yang mengolahnya, misalnya dijadikan lemari, meja, kursi, dan alat perabot lainnya. Semakin unik olahan barang mentah tadi maka semakin tinggi nilainya. Di samping itu, tanzîl 65 merupakan proses meletakkan sesuatu secara bersamaan dalam kata. Dari susunan kata inilah terbentuk makna kalimat. Sedangkan takwil merupakan proses penggalian makna terdalam dari kata tersebut dan memposisikannya pada tempat yang tepat.45 Dengan demikian, takwil akan dapat dilakukan setelah adanya tanzîl. Tanzîl akan berharga dan dapat dimanfaatkan setelah diolah dengan takwil.46 41 Dengan redaksi yang sedikit berbeda, riwayat di atas sering dikutip mufasir, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah. Lihat di antaranya: ‘Alâ’ al-Dîn ‘Aliy ibn Muhammad al-Baghdâdiy, Lubâb al-Ta’wîl fiy Ma‘âniy al-Tanzûl, jilid 1, (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.), 10, Al-Alûsiy, Rûh al-Ma‘âniy, jilid. 1, 8, Jalâl al-Dîn al-Suyûthiy, AlItqân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), 196. 42 Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 89, 83 dan 98. 43 Ia adalah Abû Ya’qûb al-Sijistâniy (w. 353 H/964 M), ulama Syiah Ismâ‘îliyah dari Iran, mempunyai beberapa karya seperti Kitâb al-Iftikhâr, Kitâb alMaqâlîd dan Kitâb al-Yanâbî‘. Buah pikiran al-Sijistâniy ini dijadikan referensi utama bagi para sarjana yang ingin menggali pemikiran dan ajaran Syiah, terutama Ismâ‘îliyyah. 44 Ismail K. Poonawala, “Isma‘ilî Ta’wîl of the Qur’ân”, 206. 45 Poonawala, “Ismâ‘îlî Ta’wîl of the Qur’ân”, 206. 46 Menurut Hâdiy Ma‘rifah, pengetahuan tentang hakekat tanzîl adalah salah satu syarat diterimanya penafsiran seseorang. Hakekat tanzîl adalah pengetahuan tentang beberapa jenis qira’ât yang ada. Qira’ât yang dimaksud adalah
15
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Riwayat Abu Ja‘far As. kedua—minhu mâ qad madlâ wa minhu mâ lam yakun, yajrî kamâ yajrî al-syams wa al-qamar— menjelaskan tentang dimensi eksoterik dan esoterik al-Qur’an yang menggambarkan adanya konsep universalitas al-Qur’an. Thabâthabâ’iy—mufasir Syiah pasca-al-Majlisiy—memopulerkan istilah ini dengan al-jary wa al-inthibâq—pemberlakuan dan penerapan—. Makna al-Qur’an akan terus berkembang dan berlaku— al-jary—sepanjang zaman, dan cocok untuk diterapkan kepada semua masa. Makanya, ia diibaratkan seperti adanya matahari di waktu siang maupun bulan di waktu malam. Ketika malam hari, bulan terbit dan menyinari bumi, begitu juga siang hari, matahari terbit menerangi bumi. Dengan demikian selalu ada yang menerangi atau membimbing bumi sepanjang masa. Jika dihubungkan dengan al-Qur’an, ia tetap terus berlaku baik terhadap orang yang telah meninggal maupun zaman sekarang. Sebagai implementasi dari konsep al-jary ini adalah penerapan hukumnya dalam setiap sisi kehidupan dan al-Qur’an hanya sebagai dalil atau konfirmasi— mishdâq—kebenaran. Inilah yang disebut dengan konsep al-inthibâq menurut Thabâthabâ’iy. Jika demikian adanya, maka hakekat tafsir esoterik atau dalam bahasa Thabâthabâ’iy al-inthibâq pada hakekatnya penerapan dari al‘ibrah bi ‘umûm al-lafzh atau bahkan al-‘ibrah bi maqâshid al-syarî‘ah dalam kaidah asbâb al-nuzûl. Sedangkan hakekat tafsir eksoterik atau al-jary adalah khushûsh al-sabab. Misalnya dalam menafsirkan surah al-Tawbah/9: 119, . Meskipun ayat ini secara eksoterik/ tanzîl atau khushûsh al-sabab penerapannya diturunkan terhadap orang munafik—Ka‘b ibn Mâlik, Hilâl ibn Umayyah dan Marârah ibn Rabî‘—yang tidak mau ikut perang bersama Rasulullah, namun secara esoterik atau penerapan berdasarkan maksud ayat akan tetap berlaku bagi seluruh orang beriman hingga sekarang. Demikian juga dengan ayat-ayat jihad yang diturunkan zaman Rasulullah Saw., ia tetap berlaku sekarang dan diterapkan dalam konteks jihad melawan hawa nafsu.47 Dengan demikian, meskipun makna eksoterik ayat ditujukan kepada masyarakat di zaman Nabi, namun makna esoteriknya tetap berlaku dan dapat diterapkan masa sekarang.
sesuai dengan apa yang diajarkan kepada Ali. Lihat: Hâdiy Ma‘rifah, al-Tafsîr wa alMufassirûn, jilid 1, 50. 47 al-Thabâ’thabâ’iy, al-Mîzân fiy Tafsîr al-Qur’ân, jilid 3, 72.
16
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
b. Al-Qur’an memuat segala ilmu pengetahuan Salah satu prinsip yang diyakini Syiah adalah universalitas ilmu yang dikandung al-Qur’an. Menurut pandangan mereka, segala suatu ilmu atau pengetahuan itu terdapat dalam al-Qur’an. Tinggal manusia yang akan menggali dan mengangkatnya ke permukaan, sehingga segala isyarat alam mempunyai kaidah tersendiri dalam al-Qur’an. Keyakinan ini berimplikasi kepada penyandaran segala norma-norma kehidupan kepada al-Qur’an. Hal ini tergambar dari komposisi Bihâr al-Anwâr. Mulai dari hal yang kecil seperti asal-muasal penamaan benda, hingga masalah eskatologi tercakup dalam Bihâr al-Anwâr. Al-Majlisiy mengkaitkannya dengan ayat-ayat atau riwayat-riwayat esoterik yang bersumber dari Imam. Dari prinsip inilah disimpulkan bahwa keberadaan penafsiran esoterik niscaya adanya. Karena tanpa penafsiran esoterik, segala ilmu yang tersimpan dalam al-Qur’an tidak akan dapat terungkap ke permukaan. Sebagai landasan al-Majlisiy terhadap kaidah ini adalah beberapa penafsiran terhadap al-An‘âm/6: 37, al-Mâ’idah/5: 3, al-Nahl/27: 75 dan al-Nahl/27: 89.48 Menurut al-Majlisiy, empat ayat ini adalah ketetapan Allah bahwa di dalam al-Qur’an terdapat segala ilmu atau pemberitaan segala sesuatu, baik perkara ukhrawi maupun duniawi. Intervensi Allah dapat diketahui dari kata akmaltu lakum dînakum dan mâ farrathnâ fiy al-kitâb min syay’. Keuniversalan ilmu yang ada di langit maupun di bumi sendiri juga ditegaskan dalam surah al-Nahl ayat 75 dan 89. Al-Majlisiy mengutip keterangan al-Ayyâsyiy bahwa yang dimaksud tibyân kulli syai’adalah ilmu tentang segala sesuatu ada dalam al-Qur’ân— fîhi tibyân kulli syai’—. Di samping penafsiran tiga ayat tersebut, al-Majlisiy juga berargumentasi kepada riwayat Abû ‘Abd Allâh bahwa sesungguhnya Allah menurunkan segala penjelasan di dalam al-Qur’an sehingga tidak ada sesuatu kebutuhan hamba pun yang luput, melainkan Dia jelaskan kepada manusia sehingga tidak ada yang berkata, ‘Sebaiknya hal ini terdapat dalam al-Qur’an’, padahal telah ada di dalamnya (al-Qur’an). Riwayat ini memberi isyarat bahwa tidak ada yang menyangsikan luasnya kandungan alQur’an sehingga setiap permasalahan sebenarnya ada penyelesaiannya dalam al-Qur’an. Pertanyaannya adalah akankah cukup al-Qur’an yang ada sekarang ini memuat segala macam ilmu yang ada? Hemat 48
Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 90, 95.
17
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
penulis, al-Qur’an dalam kacamata al-Majlisiy tidak hanya alQur’an yang diam—al-shâmit/the silent—tetapi juga al-Qur’an yang berbicara—al-nâthiq/the speaking—. Al-Qur’an yang diam adalah al-tanzîl, naskah yang dibukukan oleh Ali, sedangkan alQur’an yang berbicara adalah takwilnya yang terdapat pada Nabi dan diajarkan kepada Ali dan imam-imam setelahnya.49 Imam selalu ada sepanjang zaman hingga hari kiamat. Ia bertugas menjawab segala pertanyaan umat yang muncul dan itulah agaknya dimaksud dengan ilmu tentang segala sesuatu. c. Para imam mengetahui segala ilmu yang terdapat dalam al-Qur’an Dalam pandangan komunitas Syiah, al-Qur’an menempati posisi antara manusia dan Tuhan.50 Al-Qur’an yang merupakan wahyu Tuhan tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Pemahaman manusia biasa yang dipaksakan terhadap al-Qur’an akan menimbulkan penafsiran yang sesat dan keliru. Untuk itu, dibutuhkan Nabi sebagai mediator yang mengomunikasikan bahasa al-Qur’an kepada masyarakat. Setelah Nabi meninggal dunia, tugas Nabi sebagai mediator al-Qur’an diwariskan kepada para Imam. Makanya imam disebut juga dengan penerima dan pelaksana wasiat—wâshiy—Nabi. 51
Posisi Imam setelah Nabi wafat 49 Pada tempat lain, al-Majlisiy mengutip riwayat Abû ‘Abd Allâh yang menafsirkan surah al-Jâtsiyah/45: 29. Menurut Abû ‘Abd Allâh, al-Kitâb tidak pernah berbicara, akan tetapi Rasulullahlah sebagai juru bicara al-Qur’an. Lihat: Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 89, 49. Maka setelah Rasul wafat, otoritas ini diwariskan kepada Ali dan imam-imam berikutnya secara berkesinambungan. 50 Mahmoud Ayoub,”The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân”, 179. 51 Sebagai penerima dan pelaksana wasiat nabi, imam berkewajiban menyampaikan apa yang ia terima dari imam terdahulu—berantai hingga Nabi Muhammad—kepada para pengikutnya. Dengan pengajaran dari imamlah mereka—non-Imam—dapat memahami al-Qur’an.
18
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
Keterangan: i. Al-Qur’an yang bersumber dari Allah, manusia biasa tidak bisa mengkonsumsi al-Qur’an secara utuh. Ia membutuhkan mufasir yang menjelaskan makna-maknanya. ii. Mediator antara al-Qur’an dan konsumtor. Tugas ini diembankan kepada Nabi, namun ketika Nabi mangkat dilanjutkan oleh Imam yang dilantik melalui jalur wasiat. iii. Konsumtor, yaitu manusia. Ketika al-Qur’an disodorkan secara utuh kepada manusia tidak semua maksudnya bisa mereka tangkap. Untuk itulah manusia membutuhkan Nabi atau Imam sebagai mediator dan penjelas al-Qur’an. Mayoritas Syiah sepakat bahwa imam yang ditunjuk sesudah Nabi Muhammad adalah anak pamannya yaitu Ali ibn Abi Thalib. Kemudian dilanjutkan oleh anaknya Imam Hasan. Setelah Imam Hasan wafat di Karbala, lembaga imamah dipegang oleh saudaranya Imam Husayn. Lembaga imamah terus berlanjut hingga imam dua belas mengalami ghaybah. Menurut keyakinan Syiah Dua Belas, para ulama tertentu juga dapat melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. Hal ini dimungkinkan terutama setelah imam kedua belas tersembunyi—ghaybah—. Ulama inilah yang menjadi wakil imam—nâ’ib al-imâm—di muka bumi dan mereka memiliki kemampuan spritual. Kemampuan ini dapat terwujud ketika ulama tersebut berhasil melakukan kontak batin dengan Imam Mahdi, imam kedua belas dalam Syiah Imamiyah.52 Maka pada kondisi yang sama, sebenarnya ia adalah pelaksana tugas imamah. Dengan kata lain, perkataan imam tersebut merupakan perkataan Imam Mahdi. Menurut al-Majlisiy, penafsiran esoterik imam terus ada sepanjang masa, karena perubahan sosial yang terjadi di masyarakat membutuhkan penafsiran dari al-Qur’an yang hanya dapat dilakukan oleh imam. Jika dihubungkan dengan konsep aljary wa al-inthibâq maka sesungguhnya yang dapat menggalinya adalah Imam. Dalam riwayat Ali dinyatakan bahwa para Imam telah mewarisi al-Qur’an dari Nabi, dan mereka termasuk di antara hamba Allah yang terpilih seperti dalam al-Fâthir/35: 32. 53 Pernyataan “kami telah mewarisi al-Qur’an”—faqad waratsnâ— ini menjadi landasan bagi al-Majlisiy bahwa al-Qur’an adalah apa yang diwariskan kepada Ali. Posisi Ali sebagai penerima warisan ini diperkuat juga oleh riwayat lain yang menyatakan bahwa Nabi 52
Habil, “Traditional Esoteric Commentaries on the Quran,” 36. Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 89, 85.
53
19
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Muhammad telah membacakan setiap ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Ali As.—waqad aqra’anîhi—. Dengan demikian cukup beralasan kiranya jika dinyatakan penafsiran al-Qur’an hanya dimiliki oleh imam. Selain itu, salah satu keyakinan al-Majlisiy bahwa penafsiran esoterik hanya diketahui oleh orang-orang tertentu, yaitu imam. Hal ini menutup kemungkinan bagi non-Imam untuk dapat mengetahuinya. Non-Imam bisa mengetahuinya setelah diajarkan oleh imam. Hal ini berdasarkan riwayat Ali ibn Abi Talib yang menyatakan bahwa ia mengetahui segala sesuatu yang terdapat dalam al-Qur’an.54 Dalam perspektif Syiah, muatan dan kapabilitas mufasir terhadap kandungan al-Qur’an dapat dikategorikan kepada empat; ‘ibârah, isyârah, lathâ’if dan haqâ’iq.55 Sebagaimana riwayat Imam al-Shâdiq bahwa ‘ibârah dapat diketahui dan dikonsumsi oleh manusia kebanyakan—‘awâm—, yaitu level terbawah dengan kuantitas masyarakatnya yang mayoritas. Kategori isyârah dapat dikonsumsi oleh manusia tertentu—khawâsh—, jumlah terbanyak ketiga dan lathâ’if dapat diketahui oleh para wali, dengan komunitasnya yang lebih sedikit daripada khawâsh. Adapun haqâ’iq adalah penafsiran para Nabi. Memang tidak ada penjelasan tersendiri dari Imam al-Shâdiq tentang perbedaan antara khawâsh dan awliyâ’. Dapat dikatakan bahwa awliyâ’ adalah para imam maksum yang dalam keyakinan Syiah Itsna ‘Asyariyyah berjumlah dua belas orang. Sedangkan khawâsh adalah para Imam setelah Imam keduabelas dan orang-orang tertentu yang dekat dengan mereka. Term-Term al-Qur’an yang Ditafsirkan secara Esoterik Setelah melakukan penelusuran, ditemukan beberapa term ayat al-Qur’an yang ditafsirkan al-Majlisiy secara esoterik. Ayatayat ini disusun oleh al-Majlisiy berdasarkan riwayat yang ia kutip dari beberapa kitab tafsir dan pendapatnya sendiri. Jika dikategorikan, maka secara umum hal yang menonjol dari penafsiran tersebut adalah berkenaan dengan doktrin-doktrin Syiah. Penafsiran ini umumnya bersifat riwayah yang bersumber dari imam. Misalnya dalam menafsirkan al-râsikhûn fiy al-‘ilm dalam ayat 7 surah Alu Imrân. Al-Majlisiy sependapat dengan mayoritas ulama ulûm al-Qur’ân yang menyatakan bahwa ayat al-Qur’an terdiri dari muhkamât dan mutasyâbihât. Al-Râsikhûn fiy al-’ilm adalah pihak yang mempunyai otoritas dalam memahami 54
Ibid, 78. Ibid, 103.
55
20
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
mutasyâbihât al-Qur’an. Menurut al-Majlisiy—berdasarkan riwayat Abû ‘Abd Allâh—, al-râsikhûn fiy al-’ilm adalah keluarga Muhammad dan para imam maksum.56 Ia menambahkan, celakalah bagi orang yang memaksakan diri memahami ayat mutasyâbihât, karena ia tidak mengetahui hakekat maknanya.57 Karena hal demikian memaksakan manusia dalam penakwilan versi dirinya sendiri dan tidak memperdulikan takwil para Imam. Dalam riwayat Abû Ja‘far lainnya dinyatakan bahwa nabi Muhammad adalah orang yang paling mendalam pengetahuannya tentang ayat-ayat mutasyâbihât.58 Karena ia mengetahui tanzîl maupun takwil, dan pengetahuan ini jualah yang diturunkannya kepada para Imam secara berkesinambungan. Riwayat Abû Ja‘far di atas juga menjelaskan bahwa ayat-ayat muhkam selain diimani keberadaannya juga harus diamalkan dan dijadikan syarak dalam beragama, sedangkan ayat-ayat mutasyâbihât hanya diimani dan tidak diamalkan. Ia baru dapat diamalkan ketika telah ditafsirkan secara esoterik oleh para imam. Contoh lain adalah ketika menafsirkan term Yâsîn pada awal surah Yâsîn dan termasuk salah satu muqaththa‘ât. Awal surah ini mendapat porsi tersendiri dari pembahasan al-Majlisiy.59 Menurut al-Majlisiy ayat muqaththa‘ât tergolong kepada mutasyâbihât dan penafsirannya hanya dapat diketahui oleh Nabi dan para imam.60 Berdasarkan riwayat Imam al-Shâdiq, kata Yâsîn pada awal surah Yâsin adalah nama lain dari nabi Muhammad.61 Penafsiran ini berdasarkan korelasi dengan ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa mukhâthab pada ayat ketiga adalah nabi Muhammad Saw.
dan dilanjutkan dengan
.
56
Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 89, 81, al-Kulayniy, al-Kâfiy, jilid 1, 57. Ibid, jilid 90, 12. 58 Ibid, jilid 89, 81 & 92. 59 Pada dasarnya, tidak semua penafsiran ayat muqaththa‘ât diorientasikan kepada pemujian imam. Tidak berbeda dengan riwayat Sunni—seperti ibn ‘Abbâs— , riwayat Abû Ja‘far yang dikutip oleh al-Majlisiy juga menafsirkan ayat muqaththa‘ât dengan al-asmâ’ al-husnâ. 60 Di antara sahabat ada yang berkomentar tentang ayat muqaththa‘ât atau fawâtih al-suwar ini. Abu Bakar misalnya mengatakan bahwa Allah mempunyai rahasia pada setiap Kitab, rahasianya dalam al-Qur’an terdapat pada awal surah. Ali ibn Abi Talib juga pernah mengatakan bahwa dalam setiap Kitab mempunyai suatu yang jernih, dalam al-Qur’an terdapat pada hurûf al-tahajjiy. 61 Ibid, 46, 373, dan 374. Bandingkan dengan penafsiran ibn Katsîr seperti riwayat ibn ‘Abbâs, ‘Ikrimah, al-Dlahhâk, al-Hasan dan Sufyân ibn ‘Uyaynah bahwa Yâsîn bermakna yâ insân, dan menurut Zayd ibn Aslam, ia merupakan salah satu nama Allah. Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, jilid 3, juz 6, 282. Menurut riwayat dari Abû Ja‘far bahwa Rasulullah Saw. mempunyai 12 nama, salah satunya Yâsîn. Lihat: Al-Bahrâniy, al-Burhân, jilid 8, 167. 57
21
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Jika dihubungkan dengan penafsiran al-shirâth al-mustaqîm pada surah al-Fâtihah, maka penafsiran yâsin dengan nama lain dari nabi Muhammad adalah benar. Karena menurut riwayat Abû ‘Abd Allâh, yang dimaksud dengan al-shirâth al-mustaqîm adalah jalannya para nabi, di antaranya Muhammad Saw.62 Penulisan yâsîn dalam rasm mushaf Usmani sama dengan yang terdapat dalam Bihâr al-Anwâr. Berdasarkan qirâ’ah Hasan, ibn Abî Ishâq, Abû al-Samâl, Nashr ibn Âshim, dan ibn ‘Abbâs, kata yâsîn pada awal surah yâsîn ditulis dengan bentuk lain yaitu .63 Al-Majlisiy juga menghubungkan yâsîn dengan surah alShâffât ayat 130 yang berdasarkan rasm Utsmâniy ditulis dengan . Menurut al-Majlisiy, bacaan pada ayat ini adalah . 64 Perbedaan qirâ’ah ini mengakibatkan perbedaan makna ayat sehingga memperkuat argumentasi al-Majlisiy bahwa Âlu Yâsîn pada surah al-Shâffât ayat 130 adalah Âlu Muhammad. Menurut al-Majlisiy, penyebutan Âlu Yâsîn dan bukan Âlu Muhammad dalam al-Qur’an karena jika disebut Âlu Muhammad dipastikan mendapat penolakan dari masyarakat Quraisy ketika itu, sebab Nabi Muhammad masih dalam upaya pendekatan terhadap kaum Quraisy. 65 Argumentasi ini menambah eksistensi hadis tsaqalayn yang memperkuat kedudukan keluarga Nabi. Jika merujuk kepada mushaf Usmani, ayat ini dibaca dengan —salâm ‘alâ Ilyâsîn—, keselamatan bagi nabi Ilyas. Versi bacaan lain dari ayat ini sesuai dengan qirâ’ah Nâfi”, ibn ‘Amir, Ya‘qûb Ruways, al-A‘raj, Syaybah, Zayd ibn ‘Ali dan ‘Abd Allah adalah .66 Dengan demikian, apa yang dipilih 62 Mayoritas mufasir memahami kata yâsîn dengan salah satu dari nama Allah. Menurut riwayat ibn ‘Abbâs, yâsîn di sini berarti yâ insân. Lihat: Al-Thabariy, Jâmi‘ al-Bayân, jilid 12, juz. 22, 159. 63 Ahmad Mukhtâr ‘Umar dan ‘Abd al-Sâlim Mukarram, Mu‘jam al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah Ma’a Muqaddimah fiy al-Qirâ’ât wa Asyhar al-Qurrâ’, jilid 4, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1997), 161. 64 Menurut al-Thabariy, qurrâ’ al-Qur’an berbeda pendapat dalam bacaan ayat ini. Qurrâ’ Mekah, Basrah dan Kufah membacanya dengan salâm ‘alâ Ilyâsîn. Menurut mereka, Ilyas mempunyai dua nama; Ilyas dan Ilyasin seperti Ibrahim terkadang dinamai Ibrahim dan Ibraham. Adapun ucapan selamat hanya ditujukan kepada Ilyas saja, tidak termasuk keluarganya. Qurrâ’ Madinah membacanya dengan salâm ‘alâ Âli Yâsîn. Keselamatan di sini menurut mereka termasuk juga keselamatan terhadap keluarga Ilyas. Sebagian lain ada yang membacanya salâm ‘alâ al-Yâsîn dengan alasan bahwa nama pada ayat ini adalah , namun ditambah alif lâm al-ta‘rîf sehingga dibaca demikian. Lihat: al-Thabariy, Jâmi‘al-Bayân, jilid 12, juz. 23, 102-104. 65 Al-Majlisiy, Bihâr al-Anwâr, jilid 89, 46. 66 Mukhtâr ‘Umar, Mu‘jam al-Qirâ’ât, 212.
22
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
al-Majlisiy mempunyai landasan sendiri dari qurrâ’ al-Qur’an, dan dapat dibenarkan menurut satu versi. Menurut al-Thabarsiy—berdasarkan riwayat ibn ‘Abbâs— ,Yâsin ( ) adalah nama lain dari Muhammad, dan apabila ditulis dengan Yâsîn ( ) berarti Muhammad dan pengikut-pengikutnya.67 Hal serupa juga dinyatakan Thabâthabâ’iy dalam al-Mîzân, bahwa bacaan seperti ini berdasarkan bacaan Nâfi‘, ibn ‘Âmir, Ya‘qûb dan Zayd.68 Ia Mengutip dua riwayat dari Imam Ali dan Imam al-Ridlâ yang tegas menyatakan bahwa bacaan ayat 130 dari surah al-Shaffât ini adalah yang berarti keselamatan atas keluarga Muhammad.69 Untuk melihat lebih jauh, term-term ayat yang ditafsirkan secara esoterik dapat dilihat pada table berikut ini:70
67
Al-Thabarsiy, Majma‘ al-Bayân, jilid 8, 255. Thabâ’thabâ’iy, al-Mîzân, vol. 17-18, 159. 69 Ibid, 159. 70 Pengambilan contoh-contoh berikut berdasarkan: (1) takwil dari Imam Syiah terhadap ayat, berdasarkan riwayat yang dikutip al-Majlisiy bahwa makna esoterik al-Qur’an adalah takwilnya yang dilakukan oleh imam, (2) penjelasan langsung dari al-Majlisiy dengan ungkapan li hâdzihi al-âyah zhâhir wa bâthin, fa alzhâhir … wa al-bâthin … (3) konfrontasi kepada tafsir Syiah lainnya, (4) ayat muqaththa‘ât, karena ia termasuk mutasyâbihât dan dapat ditakwilkan oleh imam, (5) tidak sesuai dengan makna lahir teks. Penulis juga menonjolkan aspek korelasi ayat yang dipaparkan oleh al-Majlisiy dalam menjelaskan penafsiran imam. 68
23
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
24
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa al-Majlisiy tidak mengutip riwayat esoterik dari kitab hadis muktabar Syiah seperti yang terdapat dalam al-kutub al-arba‘ah. 71 Al-Majlisiy berpegangan kepada riwayat yang terdapat kitab tafsir klasik fase kedua (Tafsir al-‘Askariy, al-‘Ayyasyiy dan al-Qummiy). Tema-tema yang digusung dalam riwayat tersebut umumnya seputar imamah seperti; hak wilayah, otoritas imam sebagai pewaris dan penafsir tunggal al-Qur’an, kemuliaan Ahl al-bayt dan kewajiban menaati imam. Hal ini dapat dimaklumi karena model tafsir esoterik Syiah pada fase ini berorientasi pada penyelamatan riwayat imam. Dikaitkan dengan jabatan al-Majlisiy sebagai Syaykh al-Islâm dan Syaykh Mulabbasyi, maka penafsiran esoterik yang terdapat dalam Bihâr al-Anwâr merupakan publikasi dan pengajaran ajaran imamah kepada masyarakat Safawi ketika itu. Argumentasi yang dibangun oleh al-Majlisiy guna menggusung model tafsir esoterik ala komunitas Syiah abad ketujuh belas agaknya memperkaya diskusi khazanah madzâhib al-tafsîr dunia Islam. Tak dapat dipungkiri, tafsir esoterik al-Majlisiy ditolak oleh sarjana muslim Sunni sebagaimana mereka menolak sebagian tafsir esoterik dunia tasawuf. Hal ini dikarenakan penilaian berdasarkan prinsip-prinsip tafsir esoterik yang lazim diterapkan di dunia Sunni. Di antaranya adalah Ahmad Salus dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa kesalahan fatal alMajlisiy dalam Bihâr al-Anwâr adalah ketika ia menukil dari beberapa referensi tafsir Syiah sesat dan ekstrim sebelumnya.72 Di antara yang menerimanya adalah Ayoub menyatakan bahwa alMajlisiy dengan Bihâr al-Anwâr-nya dianggap sebagai penyelamat hadis dan tafsir Imam Ja‘far. 73 Selain itu ‘Abbâs Turjumân menyatakan bahwa Bihâr al-Anwâr mengoleksi seluruh ulum alQur‘ân yang bersumber dari Imam ‘Ali.74
71 Adalah empat kitab hadis muktabar bagi mazhab Syiah. Ia adalah alKâfiy karya Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulayniy (w.328/329 H/939/940 M), Man lâ Yahdluruhu al-Faqîh karya al-Syaykh al-Shadûq (w. 326 H), Tahdzîb alAhkâm fiy Syarh Muqni‘ dan al-Istibshâr karya al-Tûsiy. Lihat: I.K.A. Howard, “alKutub al-Arba‘ah Empat Kitab Hadis Utama Mazhab Syiah” terj. Arif Budiarso, judul asli “al-Kâfiy by al-Kulayniy, Man lâ Yahdluruhu al-Faqîh by al-Shadûq” dan Tahdzîb al-Ahkâm and al-Istibshâr by al-Thûsiy” dalam “al-Huda Jurnal Kajian IlmuIlmu Islam”, vol 2, no. 4, tahun 2001, 10, 14, dan 17. 72 Ahmad Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah, 566. 73 Mahmoud Ayyoub, “The Speaking Qur’an and the Silent Qur’an”, 185. 74 ‘Abbâs al-Turjumân, “Kalimat al-Taqdîm” dalam, Tafsîr al-Shâfiy, vol. 1, 2.
25
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
SIMPULAN Alasan utama al-Majlisiy terhadap kebolehan tafsir esoterik al-Qur’an berkisar pada tiga hal; urgensi keberadaan tafsir esoterik di samping eksoterik al-Qur’an, pemegang otoritas mufasir, dan kebutuhan masyarakat akan tafsir esoterik. Keberadaan tafsir esoterik merupakan keniscayaan, karena antara tafsir esoterik dan eksoterik saling melengkapi. Adapun metode penafsiran esoterik al-Majlisiy beranjak dari teori yang ia bangun. Teori ini merupakan induksi dari beberapa riwayat Imam. Menurutnya, Al-Qur’an itu mempunyai dimensi eksoterik dan esoterik, segala ilmu terdapat dalam al-Qur’an, dan pengetahuan tentang ilmu tersebut hanya dimiliki oleh para Imam As., tidak ada yang mengetahuinya selain mereka, dan dengan pengajaran mereka. Pada periode al-Majlisiy, penafsiran esoterik al-Qur’an umumnya digiring kepada legitimasi terhadap ajaran-ajaran Syiah. Hal ini memperkuat tesis Todd Lowson bahwa tafsir esoterik di dunia Syiah berkisar seputar gagasan walâyâ dan imamah. Namun hal ini berpengaruh dan mengalami dinamika terhadap mufasir sesudahnya seperti Thabâthabâ’iy dengan aplikasi konsep al-jary wa al-inthibâq dalam tafsir al-Mîzân. Terlepas dari gagasan ideologi tersebut, tafsir esoterik al-Majlisiy memperkaya corak tafsir Syiah dalam studi madzâhib al-tafsîr. Daftar Pustaka Abisaab, Rula Jurdi. “Muhammad Baqir Majlisi” dalam Rachard C. Martin (ed.), Islam and the Muslim World, jilid 2. New York: Macmillan, 2004. Anwar, Rosihan. Tafsir Esoterik Menurut Pandangan Tabatabai, Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004. Ayoub, Mahmoud. “The Speaking Qur’ân and the Silent Qur’ân: A Study of the Principles and Development of Imâmî Shî‘î tafsîr” dalam Andrew Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an. New York: Oxford University Press, 1988. Al-Baghdâdiy, ‘Alâ’ al-Dîn ‘Aliy ibn Muhammad. Lubâb al-Ta’wîl fiy Ma‘âniy al-Tanzîl, jilid 1. Cairo: Dâr al-Fikr, t.th. Al-Balâghiy, Muhammad Jawwâd. “Muqaddimah al-Hujjah Muhammad Jawwâd al-Balâghiy”, dalam Abû ‘Aliy al-Fadll ibn al-Hasan al-Thabarsiy. Majma‘ al-Bayân fiy Tafsîr alQur’ân, jilid. 1. Beirut: Mu’assah al-A‘lâmiy li al-Mathbû‘ât, 1986. 26
Tafsir Esoterik al-Majlisiy (Novizal Wendry)
Chittick, William C. “Translator’s Introduction” dalam AlThabâthabâ’î, A Shi‘ite Antology, terj. William C. Chittick. London: Muhammadi Trust, 1979. Habil, Abdurrahman. “Traditional Esoteric Commentaries on the Qur’an” dalam Seyyed Hossein Nasr (ed.). Islamic Spirituality Foundations. New York: The Crossroad Publishing Company, 1987. Hairi, Abdul-Hadi. “Madjlisî, Mullâ Muhammad Baíir” dalam C. E. Bosworth dkk. (ed.) The Encyclopaedia of Islam, jilid 5. Leiden: E.J. Brill, 1986. Howard, I.K.A. “al-Kutub al-Arba‘ah Empat Kitab Hadis Utama Mazhab Syiah” terj. Arif Budiarso, dalam Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam. Vol 2, no. 4, tahun 2001. Http://en.wikipedia.org/wiki/Bihar_al-Anwar, diakses pada 14/ 06/2010. Al-Khafiy, ‘Abd al-Mun‘im. Al-Mawsû‘ah al-Falsafiyyah. Beirut: Dâr ibn Zaidân, t.th. Al-Kulayniy, Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Ishâq al-Râziy. Al-Kâfiy, jilid 1. Teheran: al-Mu’assasah al-‘Âlamiyyah li alKhidmât al-Islâmiyyah, 1982. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Lowson, B. Todd. “Akhbârî Shî‘î Approaches to Tafsîr,” dalam G.R. Hawting & Abdul-Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’ân. London: Rontledge, 1993. Ma‘rifah, Muhammad Hâdiy. Al-Tamhîd fiy ‘Ulûm al-Qur’ân. Qum: Mu’assasah al-Nasyr al-Islâmiy, 1412. Ma‘rifah, Muhammad Hâdiy. At-Tafsîr wa al-Mufassirûn fiy Tsawbih al-Qasyîb, jilid 2. Iran: al-Jâmi‘ah al-Ridlawiyyah li al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 1425. Al-Majlisiy, Muhammad Bâqir. Bihâr al-Anwâr al-Jâmi‘ah li Durar Akhbâr al-A’immah al-Athhâr. Beirut: Mu’assasah al-Wafâ’, 1984. Mazzaoui, Michel M. “Muhammad Bâqir al-Majlisî” dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, jilid 3. New York: Oxford University Press, 1995. Momen, Moojan. An Introduction to Shi‘i Islam the History and Doctrine of Twelver Shi‘ism. London: Yale University Press, 1985. Nasb, Sayyid Ridlâ Husayniy. Al-Syî‘ah Tujîb, terj. Haydar alMasjidiy. Qum: Mu’assasah Imâm ‘Ali, 2000. 27
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 7, No. 1, Desember 2010: 1-28
Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: George & Unwin, 1979. Nurul Fajri MR. “Kerajaan Safawi” dalam Taufik Abdullah (ed.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th. Poonawala, Ismail K. “Isma‘ilî Ta’wîl of the Qur’ân” dalam Andrew Rippin, Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’ân. New York: Oxford University Press, 1988. Al-Qummiy, Abû al-Hasan Aliy ibn Ibrâhîm. Tafsîr al-Qummiy, jilid 1. Beirut: Dâr al-Surûr, 1991. Al-Qurthubiy, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad alAnshâriy. Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, jilid 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998. As-Salus, Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah Studi Perbandingan Aqidah & Tafsir, judul asli Ma‘a al-Syî‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyyah fi al-Ushûl wa al-Furû‘ (Mawsû‘ah Syâmilah) Dirâsah Muqâranah fi al-‘Aqâ’id wa al-Tafsîr, terj. Bisri Abdussomad dan Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Pustaka alKautsar, 2001. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2001. Al-Suyûthiy, Jalâl al-Dîn. Al-Itqân fiy ‘Ulûm al-Qur’ân, jilid 4. Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988. Al-Syayraziy, Âyatullah Nâshir Makârim. Tafsîr Taqrîb al-Qur’ân ilâ al-Adzhân, jilid 5. Beirut: Dâr al-Wafâ’, 1980. Al-Thabâ’thabâ’iy, Muhammad Husayn. Al-Mîzân fiy Tafsîr alQur’ân, jilid 3. Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1986. Al-Thabarsiy, Abû ‘Aliy al-Fadll ibn al-Hasan. Majma‘al-Bayân fiy Tafsîr al-Qur’ân, jilid 5. Beirut: Mu’assah al-A‘lâmiy li alMathbû‘ât, 1986. Al-Turjumân, ‘Abbâs. “Kalimat al-Taqdîm” dalam al-Kâsyâniy, Tafsîr al-Shâfiy, jilid 1. Teheran: Maktabah al-Shadr, 1374. ‘Umar, Ahmad Mukhtâr dan ‘Abd al-Sâlim Mukarram. Mu‘jam al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah Ma’a Muqaddimah fiy al-Qirâ’ât wa Asyhar al-Qurrâ’, jilid 4. Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1997.
28