TAFSIR ALIRAN IDEOLOGIS DI INDONESIA STUDI PENDAHULUAN TAFSIR ALIRAN IDEOLOGI SUNNI DALAM TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA Rohimin Guru Besar ilmu-ilmu al-Quran IAIN Bengkulu
[email protected]
Abstract: This paper is intended to explore and inventory-flow pattern interpretation Sunni ideology in the Indonesian reformation era with the object of research is the Ministry of Religious Interpretation. The principal problem is used as the object of his research is the verses Jabari and qadari in the Koran that talk about an act of God (Allah af’al) and human actions (af’al al-’ibad). The style of flow-ideological interpretation is one mode of interpretation ever developed in the history of interpretation of the Koran, as well as Shi’ite interpretation and interpretation Mu’tazili. Motifs interpretation is part of the form pattern interpretation ever developed in the history of interpretation of the Koran modern-contemporary period. This fact is a consequence and implication of subjectivity mufassir that are difficult to avoid. Emberio flow-ideological interpretation has emerged since the mid-century, the golden era of Islam (golden age). In Indonesia interpretation ideological current also appear, grow, and evolve with the entry and development of Islam in the archipelago and in turn appeared in Tafsir Ministry of religion, especially in Tafsir MORA 30 chapters in 2005 entitled, al-Quran wa tafsiruhu, Koran and commentary, which consists of ten volumes and one volume Preamble. This interpretation is found in the interpretations of the verses of Jabari and qadari included in Sunni stigma. The verses of Jabari and qadari mufassirnya is the more dominant in the interpretation paradigm with moderate Sunni patterned. Keywords: Interpretation, Flow Sunni theology, the Qur’an.
Abstrak: Tulisan ini bertujuan ingin menelusuri dan menginventarisasi corak tafsir aliran-ideologi Sunni di Indonesia era reformasi dengan obyek penelitiannya adalah Tafsir Kementerian Agama. Pokok masalah yang dijadikan sebagai obyek penelitianya adalah ayat-ayat jabari dan qadari dalam al-Quran yang berbicara tentang perbuatan Tuhan (af’al Allah) dan perbuatan manusia (af’al al-‘ibad). Corak tafsir aliran-ideologi merupakan salah satu corak tafsir yang pernah berkembang dalam sejarah penafsiran al-Quran, sama seperti tafsir syi’i dan tafsir mu’tazili. Corak-corak tafsir tersebut merupakan bagian dari bentuk corak tafsir yang pernah berkembang dalam sejarah penafsiran al-Quran periode modern-kontemporer. Kenyataan ini merupakan konsekwensi dan implikasi dari subyektivitas mufassir yang memang sulit untuk dihindari. Emberio tafsir aliran-ideologis sudah muncul sejak abad pertengahan, era kejayaan Islam (golden age). Di Indonesia tafsir aliran ideologis juga muncul, tumbuh, dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara dan pada gilirannya muncul dalam Tafsir Kementerian agama, khususnya dalam Tafsir Kementerian Agama 30 juz tahun 2005 yang berjudul, al-Quran wa tafsiruhu, Alquran Dan Tafsirnya, yang terdiri dari sepuluh jilid dan satu jilid Mukaddimah. Di dalam tafsir ini ditemukan tafsiran-tafsiran terhadap ayat-ayat jabari dan qadari yang masuk dalam stigma sunni. Terhadap ayat-ayat jabari dan qadari ini para mufassirnya lebih dominan menggunakan penafsiran dengan paradigma sunni yang bercorak moderat. Kata kunci: Tafsir, Aliran Teologi Sunni, Alquran.
Pendahuluan Salah satu bentuk dinamika sejarah tafsir alQuran, mulai dari era klasik sampai era modernkontemporer dewasa ini ialah munculnya tafsir “aliran ideologis” dalam karya-karya tafsir, termasuk karrya-karya tafsir di Indonesian. Fenomena tafsir aliran ideologis sebetulnya fenomena tafsir masa lalu, yang kemudian menjadi obyek dan sasaran
keritik ulang dan didekonstrusi dalam produk tafsir era modern-kontempor untuk menjadi lebih ilmiah dan obyektiv. Karena salah satu karakteristik Tafsir modern-kontemporer ialah ilmiah, kritis, dan nonsekretarian1. Para ulama berbeda-beda pandangan 1
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran, Studi Aliran-aliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta, Adab Press, 2014, hlm. 167. NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
189
190
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
dalam memetakan mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini. Ada yang memetanya berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihatnya dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab tafsir periode mitologis, ideologis, dan ilmiah2. Dalam kitab tafsir sastrawi al-Quran yang didominasi oleh pelbagai sisi sastra (bahasa, balaghah, nahwu, dan lain sebagianya) tidak terdapat perbedaan mencolok antara tafsir Syiah dan tafsir Sunni. Perbedaan mencolok dan dominan yang terdapat pada tafsir Syiah dan tafsir Sunni terletak pada sikap orang-orang Syiah dalam tafsir al-Quran, karena dalam tafsir syi’i, di samping bersandar pada sabda-sabda Rasulullah Saw, mereka juga menggunakan riwayat-riwayat dari para Imam Maksum As. Berbeda dengan Sunni yang hanya berpijak pada sabda-sabda Rasulullah Saw, para sahabat dan tabi’in. Atas dasar itu, riwayat-riwayat tafsir ma’tsur di kalangan Sunni adalah bagian daripada tafsir yang menggunakan sunnah Rasulullah Saw dan ucapan-ucapan para sahabat dan tabi’in, guna untuk menjelaskan dan memapaparkan maksud Allah Swt atas ayatayat al-Quran. Hal ini senada yang mengatakan bahwa, dengan ungkapan Abdulazhim Zurqani, salah seorang peneliti al-Quran bermazhab Sunni, “Tafsir ma’tsur” adalah tafsir yang sampai kepada kita terkait dengan penjelasan sunnah Rasulullah Saw atau ucapan para sahabat atas apa yang disampaikan Allah Swt dalam al-Quran.3 Perbedaan pemetaan madzhab-madzhad tafsir (al-madzahib fi at-tafsir) yang sudah berkembang selama ini, dengan berbagai namanya menunjukkan bahwa mufassir al-Quran sulit untuk menghindari Menurut Mustaqim, ada empat Karakteristik Tafsir ModernKontemporer, yaitu, Memosisikan al-Quran sebagai Kitab Petunjuk, Bernuansa Hermeneutis, Kontektual dan berorientasi pada spirit al-Quran, Ilmiah, Kritis, dan non sekretarian.( lihat, Abdul Mustaqim, Dinamika ... hlm. 159-168). 2 Mustaqim Abdul, Madzahibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003. 3 Muhammad Abdulazhim Zurqani, Manâhil al-‘Irfân fi
dirinya dari subyektivitas totalitas diri. Sementara di sisi lain al-Quran dipandang sebagai kitab yang ihtimal, yang mengandung banyak sisi makna. Adanya pemetaan yang berdasarkan kecenderungan madzhab teologi mufassirnya, yang memunculkan istilah tafsir sunni, mu’tazili, syi’i, dan lain sebagainya juga menunjukkan bahwa wilayah tafsir adalah wilayah yang dinamis, yang selalu terbuka ruang untuk memunculkan tafsiran baru sesuai dengan sikap memosisikan teks dan melihat konteks ayat yang sedang ditafsirkan. Sikap seorang mufassir memandang bahwa esensinya Islam tidak menutup pintu ijtihad kepada siapapun dalam mencari metodologi penafsiran Alquran, selama hal itu sesuai dengan kaedah-kaedah penafsiran dan tuntunan syari’at. Karena al-Quran itu kitab suci yang relevan, dimana pun, kapanpun, dan bagaimanapun. Dalam kenyataannya, potret dan gambaran karya-karya tafsir sulit untuk memisahkan dari paham keagamaan mufassirnya, termasuk karyakarya tafsir di Indonesia. Paham keagamaan ideologis pengarangnya, baik secara langsung maupun tidak, masuk alam narasi produk tafsirnya. Maka untuk melihat kecenderungan tafsir Aliran ideolgi Sunni pada tafsir Kementerian Agama, penulis meneliti produk-produk tafsir yang dimuatkan dalam Tafsir Kementerian agama, khususnya dalam Tafsir Kementerian Agama yang 30 juz tahun 2005 yang berjudul, al-Quran wa tafsiruhu, “Al-Quran Dan tafsirnya”, (edisi yang disempurnakan) yang terdiri dari sepuluh jilid dan satu jilid Mukaddimah 4. Dilihat dari aspek mufassirnya, dalam penyusunannya sebuah karya tafsir biasanya terdiri dari dua bentuk penyusunan, individual dan kolektiv. Tafsir Kementerian Agama termasuk tafsir dengan mufassir kolektiv.5 Atas dasar pemikiran dan beberapa asumsi di atas, maka tulisan ini mencoba melakukan studi 4 Ayat dan surah yang dikaji secara khusus untuk melihat tentang arah penafsiran ideologi sunni ialah, Q. S. Al-An’am/6: 35 dan 37, Q.S. ar-Ra’du/13: 16, Q.S. az-Zumar/39: 62, Q.S. Yasin/36: 82, Q.S. an-Nahl/16: 40, Q.S. Maryam/19: 35, Q.S. Ali Imran/4: 47 dan 59, Q.S. al-Baqarah/2: 117, Q.S. al-Qashash/28: 68, Q.S. alInsan/76: 30, Q.S. al-Kahfi/13: 29, 5 Islah Gusmin, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Teraju, Jakarta, 2003, hlm. 176177. Lebih lanjut Gusmin menjelasksn, Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seseorang bisa melakukannya secara individual, kolektif-dua orang atau lebih- atau bahkan dengan membentuk tim atau panitiakhusus secara resmi. Dalam konteks sifat mufassir ini, karya tafsir di Indonesia secara garis besar terbagi menjadi dua macam: (1). Individual dan (2). Kolektiv atau tim. Bandingkan, M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia,
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
awal tentang potret tafsir ideologis di Indonesia dengan fokus penelitian pada tafsir “institusional” Kementerian Agama. Adapun yang menjadi fokus penelitian untuk melihat kecenderungan tafsir aliran ideologi sunni dalam tafsir Kementerian Agama ini adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah serta sifat dan perbuatan manusia6. Untuk elaborasi tentang kecenderungan tafsir aliran teologis sunninya difokusutamakan pada ayat-ayat yang berkaitan dengan perbuatan Allah dan perbuatan manusia., yaitu sifat dan perbuatan Allah yang wajibul wujud serta sifat dan perbuatan manusia yang mumkinul wujud. Menghubungkan pembahasan tentang sifat-sifat Allah dan sifatsifat Manusia dalam pembahasan tulisan ini serta inventarisasi ayat-ayat yang berkaitan dengan kedua sifat tersebut ( sifat Allah dan sifatManusia) sebagai bahan analisis teologis yang memang sulit untuk dipisahkan. Karena dalam ranah teologi antara keduanya saling melengkapi dan saling menegaskan.
Pembahasan A. Tafsir aliran-ideologis Tafsir sebagai satu disiplin ilmu (ilmu altafsir), sebagai metode, dan produk pada masamasa awal, pada periode klasik, tumbuh dan berkembang tidak seperti yang terjadi pada periode pertengahan (III – IX H./9 -15 M.) dan periode modern-kontemporer (XII – XIV H./18 -21 M.). Ada beberapa kelebihan tafsir pada periode klasik, terutama pada masa Sahabat, antara lain yaitu, (1). Tidak bersifat sektarian yang dimaksudkan untuk membela kepentingan mazhab tertentu, 6 Menurut kaum mutakallimin, terutama Aliran Asy’ariyah, Maturidiyyah Samarkand, dan kaum Mu’tazilah dapat diungkapkan sebagai berikut: a. Jika Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak memberikan kekuatan dan kehendak-Nya kepada manusia untuk melakukan perbuatan, sedangkan Perbuatan Allah dalam keadaan tidak terbatas, maka meskipun manusia mempunyai kekuatan dan kehendak, tetapi ia tidak dapat melakukan perbuatannya dengan bebas. Pendapat ini diikuti oleh aliran Asy’ariyah. b. Jika Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak memberikan kekuatan dan kehendak-Nya, sebagai titipan, kepada manusia untuk melakukan perbuatan, sedang perbuatan Allah sudah dibatasi oleh hukum perbuatan-Nya sendiri, maka manusia dapat melakukan perbuatannya sendiri secara bebas dengan kekuatan dan kehendak yang telah dititipkan padanya. Pendapat ini diikuti oleh aliran Maturidiyah Samarkand. c. Jika Allah yang mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak memberikan kekuatan dan kehendak-Nya dengan sepenuhnya kepada manusia untuk melakukan (menciptakan) perbuatannya sendiri dengan kekuatan dan kehendak yang telah diberikan kepadanya. Pendapat ini diikuti oleh aliran Mu’tazilah.( lihat, Asnawi, Pemahaman Syeikh Nawawi Tentang Ayat-ayat Qadar Dan Ayat Jabar Dalam Tafsirnya Marah Labid suatu studi teologi
191
(2). Tidak banyak perbedaan pendapat di antara mereka mengenai hasil penafsirannya, (3). Belum kemasukan riwayat-riwayat Isra’iliyyat yang dapat merusak aqidah Islam7. Dari gambaran di atas, maka tafsir pada periode klasik khususnya memiliki keistimewaan yang berkualitas tinggi, memiliki nilai yang lebih populer, dan tidak banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang meragukan. Para ulama berbeda pendapat dalam memetakan aliran dan mazhab-mazhab tafsir (mazâhib al-tafsîr)8, yang pernah tumbuh dan berkembang selama ini, tergantung dari sudut pandang yang mereka petakan. Mustaqim, dalam bukunya, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran, Studi Aliranaliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, menyatakan bahwa mazhab-mazhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang memetanya berdasarkan periodesasinya atau kronologis waktunya, sehingga menjadi mazhab tafsir periode klasik, pertengahan, modern atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul mazhab teologi mufassiranya, muncul istilah tafsir Sunni, Mu’tazili, Syi’i, dan lain sebagainya. Ada pula yang melihatnya dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, adabi ijtimai’ dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga mazhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi mazhab 7
Abdul Mustaqim, Dinamika...., hlm. 87. Defenisi Secara bahasa, “mazâhib al-tafsîr” adalah kalimat idhâfah dari dua kata “mazâhib” dan “tafsîr”. Kata “mazâhib” adalah jama’ (plural) dari kata “mazhab” yang antara lain mengandung pengertian aliran, pendapat, pandangan dan teori . Sedangkan secara istilah, kata “mazhab” biasa dipahami sebagai hasil-hasil ijtihad, pemikiran atau penafsiran para ulama yang kemudian -oleh para pengikut atau muridnya- dikumpulkan lalu dinisbatkan kepada tokohnya. Dalam kajian hukum Islam (fiqh) misalnya dikenal istilah al-mazahib al-arba’ah (mazhab yang empat), yakni mazhab maliki, hanbali, hanafi dan syafi’i di samping mazhab-mazhab yang lain. Demikian pula dalam studi theologi dikenal istilah seperti mazhab sunnî, syî’î, mu’tazilî, asy’arî, maturidî dan lain sebagainya. Adapun kata “tafsîr” merupakan mashdar (kata benda abstrak) dari kata kerja “fassara-yufassiru-tafsîr” yang berarti al-ifhâm (memahami), alibânah (menjelaskan) al-îdhâh (menerangkan) dan perincian. Selain itu, kata tafsir juga berarti al-kasyf (menyingkap), al-izhâr (menampakkan makna yang tersembunyi). Secara terminologis, tafsir dipahami sebagai sebuah hasil pemahaman terhadap ayatayat Al Qur’an yang dilakukan dengan menggunakan metode dan pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang mufassir dengan tujuan untuk menjelaskan makna dan maksud yang terkandung di dalamnya. Madzahibut Tafsir adalah suatu hasil pemahaman manusia terhadap Alquran terhadap yang dilakukan dengan menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang diplih oleh 8
192
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
tafsir periode mitologis, ideologis, dan ilmiah9. Pada abad pertengahan berbagai corak ideologi penafsiran muncul, terutama masa akhir Dinasti Bani umayyah dan awal Dinasti Bani Abbas. Terlebih ketika penguasa pada masa khalifah kelima Dinasti Bani Abbas, yaitu Harun Al-Rasyid ( 785-809 M.). Dunia Islam ketika itu benar-benar memimpin peradaban dunia. Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan ( the golden age atau al-ashr az-zahabi)10. Kemunculan corak ideologi dalam penafsiran alQuran pada abad pertengahan ini menjadi titik awal munculnya stigma tafsir ideologis dalam berbagai bentuk dan corak. Produk-produk tafsir bernuansa ideologi keagamaan tertentu dikembangkan untuk membela kepentingan mazhab-mazhab tertentu yang bersifat sektarian. Tafsir aliran merupakan salah satu bentuk subyektivitas dan kecenderungan mufassir dalam sejarah penafsiran al-Quran. Produk tafsir tidak bisa terlepas dari unsur dominasi keilmuaannya dan pada gilirannya muncullah aliran tafsir. Lahirnya Aliran-aliran tafsir sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan sejarah, sebab tiap generasi ingin selalu “mengkonsumsi” dan menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup, bahkan kadang-kadang sebagai legitimasi bagi tindakan dan prilakunya. Masingmasing menggunakan segenap kemampuannya dalam memahami dan menjabarkan Alquran dengan pendekatan yang berbeda-beda. Setelah berakhir masa salaf dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang berbagai mazhab dan aliran penafsiran dikalangan umat Islam dalam memahami dan menjelaskan Alquran Al-karim. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan paham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadist-hadist Nabi saw, lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha menafsirkannya dari sudut pandang hukum fiqh, seperti yang dilakukan oleh Al-Jashshash, al-Qurtubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf, karangan al-Zamakhsyari; dan kaum sufi juga menafsirkan Alquran menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti 9 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Quran, Studi Aliran-aliran Tafsir Dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta, Adab Press, 2014, hlm. 167. 10
Tafsir Alquran al-Azhim oleh al-Tustari, Futuhat Makiyyat, oleh Ibn ‘Arabi dan lain-lain. Selain itu dalam bidang bahasa dan qiraat juga lahir tafsir, seperti Tasir Abi al-Su’ud oleh Abu al-Su’ud, alBahr al-Muhith oleh Abu Hayyan; dan lain-lain. Dari sinilah mengapa tafsir begitu banyak, karena begitu banyak sudut pandang menafsirkan Alquran dengan ra’yu dikalangan ulama-ulama muta’akhirin sehingga tak heran jika sekarang abda modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra Arab seperti Tafsir Al-manar dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi dengan Tafsir al-Jawahir. Begitu pesat perkembangan tafsir bi al-ra’yu, maka benar sekali apa yang dikatakan oleh Manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-ra’yu telah mengalahkan perkembangan tafsir al-ma’tsur. B. Aliran-Aliran Tafsir Dan Pengelompokanya. Potret sebuah tafsir tidak dapat dipisahkan dari paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya 11. Nawawi al-Bantani misalnya, seorang mufassir yang mewakili orang non-Arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa Arab yang sangat indah yang mempertimbangkan dan mempertahankan karya-karya ulama abad pertengahan, sementara pada saat yang sama Nawai juga menunjukkan kondisi kekinian pada masanya, sehingga nawawi digolongkan pada mufassir yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran ulama sunni abad pertengahan.. Seperti halnya metode tafsir, maka aliran atau corak tafsir Alquran yang berkembang selama ini dapat dibagi atas dua bagian, yaitu: aliran atau corak yang bersifat klasik dan aliran atau corak yang bersifat modern. Yang Termasuk Corak Tafsir Klasik ialah aliran corak tafsir aqidah, seperti Tafsir Salafi, yaitu tafsir yang berpedoman pada aliran dan dan pendapat-pendapat salaf, yang konsisten dalam ber pegang teguh pada Alquran dan Al- sunah tanpa ada penambahan atau pengurangan. Sedangkan Tafsir sunni, yaitu tafsir yang secara konsisten berpegang teguh pada Alquran dan al-sunah, dan prinsipprinsip atau orentasi paham Ahl sunnah, corak tafsir lainya yang muncul dalam masarakat tetapi belum terbentuk menjadi suatu aliran tertentu yang mapan, yang oleh Al-dzahabi dikatagorikan sebagai tafsir yang bercorak sektarian. Tafsir aliran muncul
11 Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 130. Dalam menjelaskan potret sebuah karya tafsir yang memiliki keterpengaruhan paham keagaman penulisnya, Mas’ud memberi contoh tafsir Nawawi yang sunni dan tafsir Abduh yang mu’tazili
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
pada masa Kodifikasi, diperkirakan muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, awal Bani Abbasiah. Pada masa ini tafsir-tafsir mulai dibukukan dan juga sudah berkembang tafsir dengan berbagai madzhabnyu, seperti Mu’tazilah, Syiah, Khawarij dan corak seperti corak sufistik, linguistik, fiqhi, filosofis, teologis, dan adabi ijtima’i. Satu komitmen bagi umat Islam, meyakini bahwa Alquran merupakan Kalamullah yang hidup, relevan pada setiap waktu dan tempat. Setiap mufassir sejatinya mengupayakan segenap kemampuannya untuk memaknai teks yang sudah terhenti ( nuzul ), sementara teks ayatnya berhadapan dengan konteks yang terus berkembang. Sehigga perbedaan aliran-aliran dalam dunia Tafsir tak terhindarkan. Kenyataan ini sebetulnya karena adanya perbedaan persepsi dan wacana penafsiran dalam memahami ayat-ayat Alquran. Adanya aliran dan perbedaan aliran ini adalah sebuah keniscaayaan, tinggal bagaimana menyikapi perbedaan tersebut menjadi lebih produktif. Dalam terminologi fiqh biasanya muncul ungkapan, yang disampaikan oleh para fuqaha’, “pendapat kami benar akan tetapi memiliki kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah namun memiliki kemungkinan benar.” Oleh karena itu dalam wacana modern-kontemporer mufassir dituntut agar kreatif-inovatif dalam memberi tafsiran suatu ayat dan dalam memberi intrepretasi ayat al-Quran jangan sampai metode, corak, ataupun madzhab penafsiran Alquran disakralkan secara kaku, sehingga dapat membedakan mana yang proses dan mana yang menjadi tujuan. C. Sekilas Tentang Tafsir Kementerian Agama Penyusunan Tafsir ini Setelah menerbitkan Terjemah Alquran pada tahun 1965, Departemen Agama menyusun Tafsir Al-Qur`an yang ide penulisannya dilandasi oleh komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang Kitab Suci, dan untuk membantu umat Islam dalam memahami kandungan Kitab Suci Alquran secara lebih mendalam. Kehadiran tafsir Alquran tersebut sangat membantu masyarakat untuk memahami pengertian dan makna ayat-ayat Alquran, walaupun disadari bahwa tafsir Alquran sebagaimana terjemah Alquran dalam bahasa Indonesia tidak akan dapat sepenuhnya menggambarkan maksud ayat-ayat Alquran. Tafsir yang diberi nama Alquran dan Tafsirnya ini, disusun oleh sebuah tim yang dibentuk oleh Menteri Agama. Tim ini disebut
193
disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Al-Qur`an dan Tafsirnya. Sebagai kelanjutan dari terbitnya Alquran dan Terjemahnya, pada tahun 1972 dibentuklah Dewan Penyelenggara Pentafsir Alquran yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. guna menyusun tafsir Alquran. Pembentukan Tim ini didasarkan pada Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 90 Tahun 1972. Setahun kemudian, KMA itu direvisi dengan KMA No. 8 Tahun 1973 yang salah satu isinya menetapkan Prof. H. Bustami A. Gani sebagai ketua Tim. Penyempurnaan tim dilakukan lagi melalui KMA RI No. 30 Tahun 1980 dengan ketua Tim yang baru yaitu Prof. KH. Ibrahim Hosen, LML. Sebagai respon atas banyaknya tanggapan dan saran dari masyarakat terkait penyempurnaan Alquran dan Tafsirnya, baik isi, format, maupun bahasa, Departemen Agama menerbitkan KMA RI No. 280 Tahun 2003 yang isinya memberikan mandat Pembentukan Tim Penyempurnaan Alquran dan Tafsirnya Depag RI. Pada awal kehadirannya, Tafsir Departemen Agama tidak dicetak utuh dalam 30 juz, melainkan bertahap. Percetakan pertama kali pada tahun 1975 berupa jilid I yang memuat juz I sampai juz III. Dan percetakan secara lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun anggaran 1980/1981 dengan format dan kualitas yang sederhana. Selanjutnya, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur`an melakukan perbaikan dan penyempurnaan materi dan teknis penulisannya secara gradual. Perbaikan Tafsir yang relatif agak luas dilakukan pada tahun 1990. Perbaikan ini lebih banyak dilakukan pada sisi aspek kebahasaan dengan pertimbangan perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)12. Sumber Rujukan dalam penyussunan Tafsir Kementerian Agama ini, Baik saat penyusunan awal hingga tahapan penyempurnaan, Tafsir ini ditulis secara kolektif oleh tim yang terdiri dari pakar-pakar tafsir, hadis, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya yang terkait. Referensi yang digunakan saat 12 Adapun aspek-aspek perbaikan dan penyempurnaan yang ada dalam Tafsir edisi 2004: 1.Bahasa, sesuai perkembangan bahasa Indonesia kontemporer 2.Substansi, yang terkait makna dan kandungan ayat, 3.Munâsabah dan asbâb nuzûl, 4.Transliterasi yang mengacu pada Pedoman Transliterasi ArabLatin berdasarkan SKB Dua Menteri tahun 1978, 5.Teks ayat Alquran dengan menggunakan rasm Utsmânî yang diambil dari Mushaf Alquran Standar yang ditulis ulang, 6.Terjemah ayat dengan mengacu kepada Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002), 7.Dengan melengkapi kosa kata yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok ayat yang ditafsirkan, 8.Dengan mencantumkan indeks pada bagian akhir setiap jilid, 9.Dengan membedakan karakteristik penulisan teks Arab antara kelompok
194
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
penyempurnaan juga mengalami penambahan. Awalnya, kitab-kitab tafsir yang masyhur seperti tafsir al-Marâgî, Tafsir Mahâsin al-Ta`wîl, tafsir Anwar al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, dan Tafsir Ibn Katsîr. Sementara dalam edisi revisi, setidaknya ada 60 literatur yang dikutip, termasuk di dalamnya Bibel yang seringkali dinamakan riwayat isrâiliyat13. Metodologi Penulisan Tafsir ini menggunakan metode tahlîlî atau penafsiran ayat per ayat sesuai urutan yang ada dalam mushâf, mulai al-Fâtihah hingga al-Nâs. Penafsiran dilakukan sesuai topik yang bisa terdiri dari beberapa ayat dan terkadang hanya satu ayat saja. Sementara untuk menentukan topiknya, dilakukan penelitian terkait keselarasan kandungan (munâsabah) yang ada dalam ayat. Beberapa ayat yang memiliki tema yang sama disatukan dalam satu topik dan ditafsirkan secara pararel. Jika satu ayat memiliki kandungan tema yang utuh, sementara ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memiliki keterkaitan tema dengannya, maka satu ayat tersebut ditafsirkan sendirian, misalnya ayat 92 surah Âlu ’Imrân. Setiap ayat ditulis terpisah dari ayat yang lain. Pemisah antar ayat tersebut adalah nomor ayat tersebut yang ditulis dalam kurung. Terjemahan ayat diambil dari Al-Quran dan Terjemahnya yang telah diterbitkan oleh Depag RI terlebih dahulu. Penafsiran dimulai dengan menerangkan secara singkat kandungan surahnya. Informasi singkat seputar surah dipaparkan, misalnya nama surah (terkadang disebutkan dari mana penamaan surah itu berasal), jumlah ayatnya, apakah ia masuk 13 Terkait dengan penggunaan Bibel sebagai sumber, penulis menganggap hal ini menarik walaupun sebenarnya bukan hal yang baru. Kitab-kitab tafsir klasik seperti al-Tabarî dan al-Qurtubî juga telah menjadikan isrâiliyat sebagai rujukannya. Sependek pembacaan penulis, tidak ada larangan atau anjuran mengambil informasi dari Bibel atau dari para pemuka agama Nashrani dan Yahudi, dalam artian bahwa keterangan dan informasi itu seratus persen benar atau salah sama sekali. Dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa informasi yang berasal dari al-Kitab (Bibel) dan ahli kitab statusnya mengambang dan tingkat kebenaran dan kesalahannya sama-sama lima puluh persen,: ”Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Tetapi katakanlah bahwa kalian beriman kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah kepada kita dan apa-apa yang telah diturunkan kepada kalian” (HR. Al-Bukhârî dari Abu Hurayrah). Saat menafsirkan ayat 30 surah Yûsuf, Tafsir ini enggan berpolemik seputar identitas al-’Azîz dan istrinya. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut tidak terdapat dalam riwayat yang sahîh,vi walaupun ada banyak riwayat dalam tafsir-tafsir dan literatur lainnya yang menyebutkan namanya. Namun saat menafsirkan ayat 246-252 surah al-Baqarah, Tafsir ini memberikan penjelasan panjang (hampir empat halaman) terkait kisah Samuel dan Dâwud, dengan menggunakan Bibel sebagai rujukannya. Penggunaan Bibel, dengan melihat kasus ”istri al-’Azîz” dan ”Samuel”, sedikit menggambarkan adanya
kategori makiyah atau madaniyah, dan pokok-pokok isinya. Munasabah atau keselarasan isi antar ayat, antar topik, dan satu surah dengan surah selanjutnya juga diterangkan.Terkait dengan penafsiran ayat per ayat, pada umumnya kesimpulan ayat-ayat sebelumnya diterangkan secara sekilas. Asbâb nuzûl atau kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat juga dijelaskan. Jika ayat yang ditafsirkan mengandung masalah fiqh, maka kadang-kadang pendapat para sahabat, tabi’in dan ulama disebutkan.Tafsir ini juga banyak mengeksplorasi kajian kebahasaan terkait etimologi kosa kata (satu kata berbahasa Arab seringkali memiliki banyak makna), derivasi dan kanjugasi kata, serta repetisi atau pengulangan kata tersebut (beserta turunannya berupa konjugasi dan derivasinya) dalam Alquran. Kajian kebahasaan ini banyak kita dapati di awal penafsiran ayat, misalnya dalam penafsiran ayat 1 dan 2 surah al-Fâtihah.viiiDalam elakukan penafsiran banyak dicantumkan ayat Alquran dan hadis. Hal ini empertegas corak bi al-ma’tsûr tafsir ini, di mana penjelasan suatu ayat dilakukan dengan mengaitkannya dengan ayat lain yang relevan dan dengan hadis. Di akhir pembahasan dibuatkan kesimpulan berupa intisari dan nilai yang terkandung dalam ayat. Karena Tafsir ini bercorak hidaî, maka dalam kesimpulan akhir diketengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.ix Poinpoin kesimpulan disebutkan dalam pointers dengan menggunakan angka, dengan redaksi yang singkat dan mudah dimengerti Bentuk dan Corak Tafsir Tafsir Depag RI adalah tafsir bi al-ma’tsûr atau bi al-riwâyah, di mana penafsirannya berdasarkan nash-nash berupa ayat Alquran, hadis, serta pendapat sahabat dan tabi’in. Bentuk penafsiran seperti ini mengandalkan riwayatriwayat yang telah ada, dengan tetap melakukan relevansi serta aktualisasi dengan kondisi sekarang. Sementara ditinjau dari sisi coraknya tafsir ini adalah tafsir sunnî, yaitu tafsir yang menggunakan dasar-dasar atau prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Term ahlus sunnah di sini adalah Asy’ariyyah/Maturidiyyah sebagai pembanding dari syî’ah.Tafsir ini mengangkat sisi kebahasaan (lugawî) sekaligus sisi filosofis (falsafi), hukum (ahkâm), dan logika ilmu pengetahuan (’ilmî). Terkait dengan penafsiran ayat hukum, tafsir ini mengunggulkan madzhab Syâfi’î dengan banyak menyebutkan dalil yang menguatkan madzhab ini. Misalnya saat menafsirkan kata ”qurû” dalam surah al-Baqarah ayat 228, tafsir ini cenderung mendukung pendapat yang mengartikannya sebagai
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
Padahal dari sisi kebahasaan, arti quru` adalah suci dan hayd (menstruasi) sekaligus.x Hal yang serupa juga terjadi saat memaparkan perbedaan pendapat seputar pelafalan basmalah dalam surah al-Fâtihah, di mana Tafsir ini banyak menyebutkan dalil yang memperkuat pendapat madzhab Syâfi’î yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari al-Fâtihah.xi Periwayatan Hadis Dalam Tafsir Tafsir Depag RI banyak memuat riwayat (hadis) dengan berbagai variasi penukilannya. Idealnya, dalam menukil hadis kita menyebutkan redaksinya dalam bahasa Arab (matannya) beserta terjemahnya dan dengan menyebutkan sumber hadis itu (mukharrij) beserta penilaian atas kualitas hadis itu, baik penilaian tersebut merupakan penilaian sendiri maupun kutipan dari orang lain. Jika diperlukan, nama perawi sahabatnya juga dicantumkan untuk membantu proses verifikasi dan penilaian atas kualitas hadisnya. Karena satu hadis terkadang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat. Jika ada hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat, maka penakhrîjan dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang telah ditentukan.Dalam banyak tempat, Tafsir ini melakukan penyebutan hadis (matan dan sanadnya) beserta mukharrij, perawi sahabatnya dan kualitas dari hadis itu sendiri. Namun demikian, tidak jarang penyebutan hadis dilakukan tidak seperti itu. Penyebutan dan pengutipan hadis bersifat variativ14.
14 Berikut adalah variasi penyebutan dan pengutipan hadis yang ada dalam Tafsir ini: 1.Mengisyaratkan hadis tanpa menyebutkan sama sekali redaksi atau matan hadisnya dan mukharrijnya. Misalnya saat menyatakan bahwa peletakan surah dalam Alquran adalah berdasarkan tawqîfi atau petunjuk dari Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad.xii Pernyataan ini tentu berdasarkan fakta, dan fakta yang terkait hal-hal yang bersifat gaib pasti memiliki riwayat. Karena tidak mungkin informasi adanya ”petunjuk” Allah ini merupaka hasil perenungan seseorang, ijtihad, atau sekedar asumsi saja. Peristiwa ”penunjukan” letak surahsurah dalam Alquran pastilah berdasarkan kabar dan berita dari Rasulullah. Kabar dan berita ini terekam dalam riwayat-riwayat yang kita kenal sebagai hadis. 2.Menyebutkan terjemah hadis tanpa menyebutkan redaksi hadisnya (matannya) dalam berbahasa Arab. Misalnya saat menafsirkan ayat 71 surah al-Baqarah, Tafsir ini menyatakan: Dalam suatu hadis disebutkan, ”Kalau sekiranya mereka langsung menyembelih saja seekor sapi betina di kala mereka menerima perintah, cukuplah sudah. Tetapi mereka mengajukan pertanyaan yang memberatkan mereka sendiri, maka Allah pun memberatkannya” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ’Abbas). 3.Menyebutkan adanya riwayat tanpa penjelasan apakah riwayat itu marfû’ (dinisbatkan kepada Rasulullah) atau mawqûf (nisbatnya kepada sahabat), misalnya pada saat menafsirkan surah al-Fâtihah disebutkan: ”...Menurut riwayat, di sekitar Ka’bah terdapat 360 buah patung.” Dengan membaca redaksinya, kita akan dapati kemungkinan riwayat tersebut bersifat marfû’ atau mawqûf, karena bisa saja Rasululah memberitakan kondisi ini
195
Ali Mustafa Yaqub, salah seorang anggota tim, menyatakan bahwa penyebutan hadis da’îf dalam Tafsir ini dimungkinkan selama masih sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh para ulama. Jika di kemudian hari terdapat kajian yang menyatakan bahwa ada hadis yang da’îf yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan ulama, atau bahkan hadisnya mawdû’, maka kemungkinan dilakukan revisi dan perbaikan atas Tafsir ini selalu terbuka. Secara pribadi, Ali Mustafa Yaqub menyarankan pihak-pihak yang berkompeten agar melakukan kajian atas Tafsir ini, dan menyampaikan hasil kajiannya kepada pihak-pihak terkait. Kualitas Riwayat, Penulis meneliti kualitas riwayat yang di angkat menjadi rasul. Para sahabat senior seperti Abû Bakar dan ’Umar bin al-Khatab mengetahui kondisi Ka’bah sebelum kerasulan Muhammad didakwahkan. Status hadis sebagai marfû’ dan mauqûf memiliki korelasi dengan kehujjahannya, di mana hadis yang berasal dari Rasulullah dipastikan menjadi hujjah, sementara jika hadis itu dinisbatkan kepada sahabat kehujjahannya masih diperdebatkan. 4.Menyebutkan hadis mawqûf tanpa penjelasan atas mukharrij hadisnya. misalnya saat memaparkan perbedaan terkait basmalah apakah ia termasuk ayat dalam al-Fâtihah atau bukan, dinyatakan: Abu Hurayrah juga salat dan mengeraskan bacaan basmalah. Setelah selesai salat, dia berkata: saya ini adalah orang yang salatnya paling mirip dengan Rasulullah. 5.Mengutip hadis dari mukharrij yang tidak populer, seperti ’Abd al-Qadir al-Rahâwî dalam masalah memulai perbuatan dengan membaca basmalah,xvi (sementara riwayat yang terekam dalam kitab populer adalah memulai perbuatan dengan hamdalah).6.Menyebutkan matan hadis dan mukharrijnya tanpa penjelasan siapa perawi sahabatnya. Misalnya kutipan hadis ”Allah hanya sayang kepada hamba-hamba-Nya yang pengasih” (Riwayat at-Tabrânî).xvii Penyebutan perawi sahabat akan memudahkan proses takhrîj dengan menggunakan metode ”musnad”. 7.Menyebutkan hadis secara tidak lengkap seperti saat menafsirkan ayat 62 surah al-Baqarah disebutkan potongan hadis: ”Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan pada hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ’Umar r.a.).xviii Kebolehan memotong hadis masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. 8.Menyebutkan matan hadis, perawi sahabat yang meriwayatkannya beserta penilaian atas hadis tersebut. Misalnya saat memaparkan perdebatan seputar status basmalah dalam surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abû Dâwud, Ibnu Khuzaymah, dan al-Hâkim yang dijadikan dalil bahwa basmalah merupakan bagian dari al-Fâtihah. Di akhir kutipan hadis itu disebutkan penilaian dari al-Dâruqutnî bahwa hadis itu sanadnya sahîh. 9.Menyebut matan hadis beserta mukharrij dan perawi sahabatnya tanpa menyebutkan sanad dan kualitas hadis. Misalnya saat menyebutkan dalil yang mendukung pendapat bahwa basmalah tidak termasuk bagian dari surah al-Fâtihah, Tafsir ini mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dari sahabat Anas bin Malik.Variasi cara penyebutan hadis ini, dalam satu sisi memang diperlukan agar tidak menimbulkan kejemuan pembaca. Namun di sisi lain, hal-hal prinsip dalam penukilan hadis tetap perlu dijaga. Saat seseorang menyebutkan sebuah hadis, maka hadis itu haruslah sahîh, atau setidaknya hasan. Karena hanya hadis sahîh dan hasan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai dalil. Sementara jika hadis yang disebutkan kualitasnya da’îf, maka perlu dijelaskan keda’îfannya.xxii Atau jika kualitas hadisnya tidak disebutkan, maka sanadnya perlu dicantumkan agar pembaca
196
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
ada dalam Tafsir Depag RI. Ada 115 riwayat yang dikaji, yang terdapat dalam dua surah al-Fatihah dan al-Baqarah. Penelitian dilakukan pada aspek nisbat riwayat (marfû’, mawqûf, atau maqthû’), jenis periwayatannya (hadis atau sabab nuzul), dan kesahihannya. Berikut adalah perinciannya. Pertama, berdasarkan nisbah: 1. Sebanyak 90 riwayat, atau 78% dari total riwayat yang dikaji, diasosiasikan kepada Rasulullah atau yang lebih dikenal sebagai hadis marfû’. 2. Riwayat yang diasosiasikan kepada sahabat, yang lebih dikenal sebagai hadis mawqûf, ada 23 riwayat atau 20% dari total riwayat yang dikaji. 3. Riwayat yang diasosiasikan kepada tabi’in, yang lebih dikenal dengan istilah hadis maqtû’, ada 1 riwayat atau 1%. 4. Dan 1 riwayat atau 1% total riwayat yang dikaji, penulis tidak mengetahui penisbatannya, karena sumber-sumber yang memuat periwayatannya tidak menyebutkan sanad. Kedua, berdasarkan dengan jenis periwayatannya: 1. Sebanyak 84 riwayat, atau 73% dari total riwayat yang dikaji, merupakan hadis. 2. Sisanya sebanyak 31 riwayat, atau 27% dari total riwayat yang dikaji, masuk kategori Asbâb al-Nuzûl atau riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat. Ketiga, berdasarkan kualitas: 1. Sebanyak 77 riwayat, atau 67% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya sahîh. 2. Sebanyak 12 riwayat, atau 10% dari total riwayat yang dikaji kualitasnya hasan. 3. Sebanyak 23 riwayat, atau 20% dari total riwayat yang dikaji, kualitasnya da’îf dengan 2 riwayat masuk kategori palsu 4. Dan 3 riwayat, atau 3% dari total riwayat yang dikaji, penulis tidak memberi penilaian karena ketiadaan sanad yang memungkinkan dilakukan kajian takhrîj. Terkait dengan penyampaian riwayat, penulis mendapati beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki oleh Tafsir ini, misalnya: Kesalahan pengutipan berupa penisbahan atau asosiasi riwayat kepada mukharrij yang ternyata tidak meriwayatkannya, pengutipan matan secara tidak tepat, kekeliruan dalam penyebutan perawi sahabat (seperti Abu Mas’ûd dikira Ibn Mas’ûd), kekurangcermatan berupa penyebutan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhârî dan Muslim dengan pernyataan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh hanya salah satu dari keduanya, kekurangcermatan berupa penyebutan bahwa al-Bukhârî dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis, padahal sebenarnya hanya salah satu dari keduanya yang meriwayatkannya, penggunaan riwayat yang kurang kuat padahal ada riwayat lain yang dimiliki alBukhâri dan atau Muslim, atau riwayat lain yang
Penelitian ini jelas tidak menggambarkan secara utuh tentang periwayatan yang ada dala tafsir Depag RI. Namun temuan-temuan yang penulis paparkan perlu mendapatkan perhatian dari pihak terkait agar tafsir ini menjadi lebih baik. Penulis menyarankan beberapa hal: 1.
Pihak-pihak terkait melakukan kajian ulang yang komprehensif terkait keabsahan (kesahîhan) seluruh riwayat yang ada dalam kajian Tafsir ini. Selain dilakukan oleh Tim penulis Tafsir Depag itu sendiri, kajian ini juga melibatkan pihak-pihak lain yang berkompeten seperti kalangan akademisi di universitas dan pesantren.
2.
Riwayat-riwayat yang da’îf dihilangkan dari Tafsir ini. Jika memang dianggap perlu untuk mencantumkan riwayat yang da’îf dalam Tafsir ini, maka hendaknya diberikan penjelasan yang lugas terkait keda’îfannya.
3.
Pengutipan riwayat dilakukan secara cermat dan bertanggungjawab, dalam artian dijelaskan kualitas-kualitasnya (kesahîhannya), sumber rujukan (mukharrijnya), dan dengan memilihkan periwayatan yang lebih sahîh ketika ada lebih dari satu riwayat dalam satu permasalahan.
D. Mengenal Tafsir Sunni Tafsir sunni sebagai salah satu bentuk corak tafsir aliran, muncul, tumbuh, dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan aliran dan ideologi keagamaan masyarakat. Kemunculannya dipengaruhi unsur subyektivitas mufassir, baik individual maupun kolektiv. Di satu sisi pertumbuhan ini tak dapat pula dipungkiri karena posisi sentral Al-Quran sebagai petunjuk bagi seluruh kelompok aliran-aliran yang lahir dalam rahim Islam. Semuanya memosisikan alQuran sebagai sumber pemahaman dan juga larut menikmati hidangan Al-Quran yang sangat komprehensif. Ada dua sifat yang menjadikan AlQuran selalu menjadi rujukan. Pertama karena Al-Quran dipandang sebagai hudan, petunjuk bagi umat manusia, dan kedua karena Al-Quran sebagai furqan, pembeda antara yang benar dan yang batil. Selain itu, Al-Quran adalah satu-satunya teks Islam yang terjaga otentisitasnya dan dapat beradaptasi mengikuti rotasi waktu dan tempat. Al-Quran di hadapan kita sekarang tak berbeda sedikitpun dari al-Quran yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Tafsir sebagai proses dan produk penafsiran
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
197
dan final, produk tafsir sesuai dengan kemampuan mufassirnya, sesuai dengan kecenderungan mufassirnya. Aliran ideologi keagamaan seorang mufassir bisa saja mempengaruhi sebuah proses dan produk tafsir. Ke-sunni-an seorang mufassir atau ke-sunni-an sebuah institusi tafsir kolektiv, semacam Kementerian Agama juga bisa memberi corak proses dan produk tafsir. Dalam paradigma tafsir sunni al-Quran dipandang sebagai kalamullah yang diturunkan bersifat riwayah dan sanadiyah. Dalam proses menafsirkan al-Quran memperhatikan aspek tabaqat berjenjang mulai dari penjelasan Rasulullah, sahabat, tabi’in, dan atba’ al-tabi’in. Sunni sebagai bagian dari ahlussunnah wa al-jamaah merupakan sebuah keluarga atau sekelompok orang yang senantiasa menjaga dan menjalankan sunnah Nabi yang dipraktekkan oleh para sahabat dan orang yang mengikutinya. Selain itu, kelompok ini juga selalu bernaung dalam perkumpulan mayoritas umat Islam yang saling menyayangi (jamah) 15. Dengan demikian, maka sunni merupakan suatu kelompok atau keluarga besar umat Islam yang senantiasa berpegang teguh kepada sunnah nabi dan selalu menjaga keutuhan komunitas tanpa terpecah belah secara fisik maupun pemahaman aqidah.
baik. Ada diantaranya yang dirasakan tepat dan pantas, karena menunjuk pada makna yang serasi setujuan dengan setruktur pemikiran anggotannya, dan ada pula diantaranya yang perlu diolah agar terasa pantas dan luas.
Dalam kenyataannya petunjuk al-Quran sering kali bersifat umum dan penafsirannya pun bersifat ihtimal, hal ini karena Al-Quran tak menghidangkan satu menu tertentu dan untuk kelompok tertentu. Al-Quran adalah mutiara yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan umatnya, masing-masing dengan tingkat intelektualnya. Ditambah lagi satu kenyataan bahwa al-Quran tidak turun sekaligus dalam bentuk yang utuh, akan tetapi turun dalam kurun waktu yang lama, kurang lebih dua puluh tiga tahun, dan turun dalam berbagai kaitan (munasabah). Dengan demikian, tak pelak al-Quran menghidangkan makna-makna yang beragam, dan bahkan seringkali dirasakan ambigu oleh pegimannya, yang tak semuanya bisa dinikmati oleh aliran tertentu dengan
Ke-sunni-an dalam karya tafsir di Indonesia bersifat historis dan ideologis. Sunni sebagai aliran ideologi muncul, tumbuh, dan berkembang seiring dengan perkembangan Islam Nusantara (baca Indonesia). Perkembangan karya-karya tafsir sunni tidak telepas dari pengaruh islamisasi di Indonesia itu sendiri. Islam Indonesia sebagai agama historis masuk dan berkembang melalui berbagai jalur. Tradisi tafsir-tafsir sunni, yang berseberangan dengan tradisi tafsir Syî’ah, Mu’tazilah, dan Khawârij tumbuh dan berkembang subur.
15 Golongan ahlussunnah wa al-jamaah terdiri dari dua generasi, yaitu generasi al-salaf al-shalih dan al-khalaf. Generasi al-salaf al-shalih ialah orang-orang yang terdahulu, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ al-tabi’in yang salih. Mereka adalah generasi pertama Islam yang hidup di suatu masa yang relatif homogen. Dinamika keagamaan dan sosial tidak terlalu menonjol sehingga berdampak kepada ilmu dan pemahaman yang sederhana dan apa adanya. Sedangkan al-khalaf berarti orang-orang yang datang kemudian. Mereka hidup di zaman yang berbeda dengan zaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’ altabi’in. Persoalan keagamaan dan sosial yang mereka hadapi sudah beragam dan kompleks, sehingga menimbulkan dinamika yang terus hidup dan berkembang. Salah seorang tokoh kunci
Pengenalan tafsir sunni sebagai sebuah proses dan produk dipandang penting, guna untuk mendapatkan kontektualisasi al-Quran dalam pemahaman aliran ideologi keagamaan. Melalui pengenalan tafsir sunni, ayat al-Quran dapat ditafsirkan secara runtun melalui proses tafsiran sunni, keterjagaan dan keterpeliharaan produk tafsir dan perbandingan penafsiran akan semakin kaya, terhindar dari bias rasionalitas semata, karena dengan mengembalikan produk tafsir kepada generasi al-salaf al-shalih, dianggap urgen, sebab generasi ini dianggap sebagai acuan dan panutan dalam persoalan agama, termasuk dalam persoalan penafsiran al-Quran. Generasi salaf ini memahami agama secara sederhana, karena dinamika sosial belum berkembang seperti generasi sesudahnya, generasi ini masih hidup secara homogen dan belum bersentuhan dengan budaya yang hetrogen, yang lebih kompleks. E. Tradisi Tafsir Sunni
Dengan memasukkan unsur tafsir pada pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua adalah Attafsir al-Kabîrnya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, tafsir al-Quran bil hadîts, tafsir al-Quran bi aqwâlish shahâbah, dan tafsir al-Quran bi aqwâlittâbi’îin, dan tafsir al-Quran bi-al-lughah.
198
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi asbab an-nuzûl dan alur cerita (qishshah); Dalam memberikan makna mendahulukan ma’na syar’î ketimbang ma’na ‘urfî; dan lain sebagainya. Tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni biasanya tidak menerima semua konsep-konsep tafsir sunni di atas secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil ma`tsûr sama. Contoh lain adalah Mu’tazilah yang terlalu mudah membuang hadits, apalagi atsar sahabat dan tabi’în, jika tampak bertentangan dengan arra`yu, sehingga mengurangi keutuhan konsep tafsîr bil ma`tsûr. Begitu juga dengan tafsîr falsafî yang berani “melampaui” makna nash ayat dengan konsep dialektika khithâbî-burhânî-nya, atau tafsîr shûfî nadzarî yang merambah ke wilayah bâthin teks dan meninggalkan dzâhir-nya. Di luar kesamaan-kesamaan metode di atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut tafsîr bi-rra’yi. Selain pemetaan salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî, tafsîr adabî, tafsir ijtimâ’î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta’wil hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta’wîl fiqhî) pada semua kasus yang terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik diri dari keterkaitan dengan hukum syar’î, sehingga ta’wîl fiqhî dengan demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul Qur`ân karya al-Jashshâs. F. Sunni Dan Ahlussunnah Sunni sebagai paham dan doktrin telah menjadi stigma dan aliran paham keagamaan dengan karakteristik dan instrumen tersendiri. Stigma sunni menjadi stigma aqidah (teologi), politik, dan dakwah. Istilah sunni merujuk kepada pengikut ahl sunnah wa al-jamaah. Istilah sunni sebetulnya merupakan terminologi teologi, namun kadangkala dalam keseharian kita justeru lebih kental dan dominan nuansa politisnya ketimbang
berseberangan dengan Syi’ah, sedangkan ahl-assunnah di samping berhadapan dan berseberangan dengan Syi’ah ia juga berhadapan dengan qadariyah, jabariyah, Mu’tazilah, dan Rafidhah. Term ahlussunnah merupakan term bentukan dari prase ahl as-sunnah yang terdiri dari term ahl dan as-sunnah. Menurut M. Quraish Shihab, Sunnah secara harfiyah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw., dalam hal ini, adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupunamalan beliau serta sahabat mulia beliau. Selanjutnya, Quraish Shihab menemukan kesukaran untuk menjelaskan siapa-siapa saja yang dinamai ahlussunnah dalam pengertian terminologi ini, karena banyaknya kelompok-kelompok yang termasuk di dalamnya.16 Terminologi ahl as-sunnah di Indonesia dipahami identik dipahami sama dengan Ahlussunnah wal jamaah, walaupun secara substansial memiliki perbedaan. Istilah dan ungkapan Ahlussunah wal jamaah di negara-negara lain tidak “sesakral” di Indonesia, karena istilah ini di Indonesia dinisbatkan pada ideologi dan faham pada sebuah organisasi tertentu, organisasi terbesar di Indonesia, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) yang sering dan baku dengan sebutan ASWAJA. Terma Ahlussunnah wa al-jamaah adalah terma yang lahir dari berbagai perbedaan yang terjadi dalam tubuh umat Islam terutama di bidang teologi dan politik. Pemikiran ahlussunnah di hadap-hadapkan dengan pemikiran mu’tazilah pada tataran teologi dan dengan Syi’ah pada dimensi politik. Posisi yang saling berhadapan itusampai hari ini masih tetap ada meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Ahlussunnah wa al-Jamaah atau disebut juga dengan sunni adalah mainstream (representasi dari keberadaan) Islam secara keseluruhan17. Dalam terminologi NU istilah ahlussunnah wal jamaah yang disingkat ASWAJA sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M), tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut al-Asy’ari sendiri seperti al-Baqillani (w. 403 H ) dan Asy-Syahrastani (w.548 H) juga belum pernah menyebutkan terma tersebut. Pengakuan secara eksplisit mengenai adanya paham aswaja 16 M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, ( Lentera Hati, Jakarta, 2007 ), hlm. 57. 17 Eka Putra Wirman, Kekuatan Ahlussunnah wa al-jamaah,
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
baru dikemukakan oleh Azzabidi ( w. 1205 H.) yang menyatakan, bahwa apabila disebut aswaja maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy’ari dan alMaturidi (w.333 H/944 M). Hal ini berarti, paham aswaja baru dikenal jauh sesudah wafatnya tokoh yang dianggap sebagai pendirinya, yaitu al-Asy’ari dan al-Maturidi.18 Perkembangan aswaja ini di NU tidak terlepas dari konteks di mana dan kapan ide tersebut muncul. Selain karena cengkeraman kolonial Belanda, faktor karena gencarnya gerakan modernisasi yang digalakkan oleh para pembaru guna menghadapi kaum tradisionalis adalah pembangkit semangat peneguhan paham aswaja yang kemudian melahirkan suatu jam’iyah yang ddinamakan NU. Sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa, aswaja dalam NU adalah unsur yang penting secara teoritis, walaupun secara praktis belum maksimal dapat diindensifikasi. Secara teoritis dikatakan penting sebab bila aswja NU ini benar-benar diaplikasikan dalam tataran akademia-keilmuan akan mempunyai implikasi yang cukup signifikan pada cara berpikir ulama dan intelektual NU.19 Menurut Imam Baihaqi (ed), sebagaimana dikutip Zahra, Bila ditelusuri secara historis, Aswaja versi NU pertama kali dicetuskan oleh kelompok Taswirul Afkar ( potret pemikiran ) pimpinan K.H.A. Wahab Hasbullah, cikal bakal NU di Surabaya. Dalam Qanun Asasi NU sendiri, KHM. Hasyim Asy’ary tidak mengemukakan secara eksplisit definisi aswaja sebagaimana yang dipahami selama ini, melainkan hanya menekankan mengenai keharusan warga aswaja untuk berpegang pada mazhab figh yang empat. Rumusan aswaja sebagai paham yang mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang aqidah, empat mazhab dalam bidang fiqh dan mengikuti al-Junaid al-Baghdadidan al- Ghazali dalam bidang tasauf baru dikemukakan kemudian oleh KH. Bisri Mustafa (Rembang). Konsep aswaja diambil dari Kitab al-Kawakib al- Lam’ah karya KH. Abul Fadhal, Sinori, Tuban, yang kemudian disahkan dalam muktamar XXIII di Solo ( 1962 ) dan difinalkan para kiai NU saat itu dengan tim editornya antara lain KH. Sanysuri (Denanyar, Jombang) dan kiai Turaichan Adjhuri Kudus).20 Dalam penelitian, sebagai acuan dan kerangka sunni yang dijadikan sebagai pijakan dan ukuran pisau analisis ialah sunni dalam pengertian
18
Ahmad Zahra, Tradisi Intelektual NU, Lajnah Bahtsul
199
pemikiran para mufassirnya yang dituangkan dalam produk tafsir Kementerian agama tersebut. Sebagai instrumen umum dan utama ( mainstreem) dalam melihat kesunnian dan ketidaksunnian pada tafsir ayat-ayat jabari dan ayat-ayat qadari dalam Tafsir Kementeriaan Agama ini penulis menggunakan instrumen-instrumen berikut ini, yaitu; Pertama, bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Allah; Kedua, bahwa baik dan buruk adalah karena qadha dan qadar Allah; Ketiga, Menyangkut kekuasaan tidak mau membicarakan pergulatan dan perselisihan para sahabat Nabi; Keempat. Memperurutkan keutamaan Khalifah ar-Rasyidin sesuai dengan urutan masa kekuasaan mereka; Kelima, Membaiat siapa yang memegang tampuk kekuasaan, baik penguasa yang taat maupun durhaka; Keenam, Menolak revolusi dan pembangkangan sebagai cara untuk mengubah ketidakadilan dan penganiayaan; Ketujuh, Bahwa rezki bersumber dari Allah yang dianugerahkannya kepada hamba-hambanya, baik rezki itu halal maupun haram. G. Jejak Sunni Di Indonesia Pengenalan dan pemahaman sunnni di Indonesia biasanya identik dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama’ah ( ), atau lebih sering disingkat dengan AhlulSunnah ( ), yaitu mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shahih dengan pemahaman sanadiyah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Terminologi Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengan sunnah tersebut dalam seluruh perkara yang Rasulullah selalu berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu sejatinya yang disebut dengan Ahlus Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah saw.dan orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Di Indonesia, konsep sunni terimplementasi dalam doktrin Aswaja dan berkembang dalam tradiri NU (Nahdhatul ulama’). Syekh Hasyim Asy’ari pada mulanya merumuskan aswaja dalam konteks mazhab dan yang menarik dari perumusan ini adalah disebutkannya pengikut Imam Mazhab Empat. Ini satu indikasi bahwa penekanan aswaja mulanya pada permasalahan figh yang dalam hal ini adalah masalah taqlid terhadap imam empat. Hal ini bisa dimengerti karena perbedaan esensial yang terjadi antara kelompok pembaharu dengan kelompok tradisional adalah masalah taqlid dan
200
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
panutan yang harus diikuti dapat diartikan bahwa NU ingin memadukan pemahaman ajaran islam yang mengandung unsur-unsur yang terjadi pada abad kedua hijriyah sampai dengan abad ke enam Hijriyah. Jabaran rumusan ahl as-sunnah wa al-jamaah adalah: pertama, menganut ajaran-ajaran imam madzhab dari salah satu empat madzhab dalam bidang fiqih. Kedua, menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang tauhid. Ketiga, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qasim Al-Junaidy dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf. Rumusan pada point kedua menegaskan corak ke-Aswaja-an NU dan sikap kaum tradisional terhadap gerakan pembaruan, sedangkan pada point ketiga merupakan sikap penerimaan NU terhadap paktek tasawuf dengan menyeleksi tasawuf yang benar. Bila dibandingkan dengan konsepsi Aswaja Al-Baghdadi, setidaknya ada dua hal yang berbeda; Pertama, Aswaja versi NU tidak menyebutkan pandangannya tehadap masalah khilafah. Hal ini bisa dimengerti, karena Islam yang masuk di Indonesia bukan Islam Syi’ah juga bukan Khawarij, oleh karenanya perbedaan umat Islam di Indonesia tidak berkisar pada masalah itu. Kedua, Aswaja model NU langsung dengan jelas menunjuk pada aliran tasawuf tertentu, yang tidak masuk dalam konsepsi Aswaja Al-Baghdadi. Jadi mengacu pada hal diatas bisa disimpulkan bahwa Aswaja model NU di satu sisi merupakan reaksi terhadap gerakan pembaruan dan di sisi lain merupakan pengakuan tehadap praktek keagamaan yang berkembang saat itu. Jika rumusan NU diatas dimaksudkan mendefinisikan Aswaja, maka definisi itu mengandung beberapa kelemahan; pertama, para imam madzhab fiqih tidak mungkin secara teologis mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi, karena masa hidup imam madzhab itu jauh lebih awal sebelum Al-Asy’ari lahir, malah yang terjadi Al-Asy’ari dalam fiqih mengikuti Imam Syafi’i, dan al-Maturidi mengikuti madzhab Hanafi. Kedua, Imam Junaidi tidak mungkin mengikuti teologi al-Asy’ari dan AlMaturidi, karena yang pertama hidup satu abad sebelum tokoh kedua dan ketiga lahir. Junaidi juga tidak dikenal sebagai pengikut salah satu mazhab fiqih. Ketiga, Al-Ghazali walau pun sebagai pelanjut teologi al-Asy’ari dan pengikut madzhab Syafi’i dalam kategori tasawuf, ia bisa dikategorikan sebagai pengembang teori tasawuf liberal, seperti yang dikembangkan al-Hallaj. Keempat, rumusan teologi al-Asya’ri sampai saat ini masih simpang siur.
(NU Sunni) yang kemudian mengkristal dalam Aswaja merupakan bentuk legal formal antara kedua terminologi tersebut. Mukaddimah NU sejak berdirinya tahun 1926 mencantumkan istilah aswaja pada Qanun Asasinya. Jadi bagi NU, aswaja adalah doktrin aqidah yang harus diformalisasikan dan dimengerti, ditanamkan secara benar dan dipertahankan oleh pimpinan dan para anggotanya. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlusunnah Wa al-ljamaah disingkat Aswaja dijabarkan dalam rumusan doktrin dan ideologi. Aswaja adalah golongan muslim yang mengikuti rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al- Maturidi dalam bidang aqidah (teologi) dan mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam fiqih serta mengikuti Imam Al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-Ghazali dibidang tasawuf. Kesemuanya itu menjadi rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan. H. Penafsiran Dalam Tafsir Kementerian Agama Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa tulisan ini bertujuan ingin menelusuri kecenderungan “tafsir aliran ideologis” dalam tafsir Kementerian Agama, yang dipandang sebagai tafsir representatif-akomodatif bagi umat Islam Indonesia dan memiliki otoritas kelembagaan institusional dalam persoalan tafsir Kitab Suci. Untuk mengetahui keberadaan tafsir ideologis sunni dalam tafsir al-Quran dan terjemahannya”, produk Kementerian agama ini, maka melalui tafsiran terhadap ayat-ayat Jabari dan qadari yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia dapat dikaji dan dianalisis melalui data-data berikut ini: Berdasarkan penafsiran yang dikembangkan dalam tafsir, “al-Quran dan terjemahannya”, produk Kementerian agama, melalui tafsiran terhadap ayat-ayat jabari dan qadari yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, maka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak disifati dengan tujuan- tujuan ter tentu d ala m melaksankannya. Perbuatan Tuhan, seperti menciptakan seseorang atau kewajiban salat kepada manusia, tidak mempunyai tujuan atau kemaslahatan yang mendorong untuk terjadinya perbuatan-perbuatan tersebut, tetapi hal ini tidak menafikan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut mempunyai hikmah (kebijaksanaan), karena kalau tidak demikian perbuatan itu
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
al-wujud. Dalam al-Quran dinyatakan, “Kata kanlah, “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. Katakanlah: “Maka Patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?”. Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan alam mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. (Q.S. Ar-Ra’du/13: 16). Dalam memberikan uraian tafsir tentang “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa”. Di atas ditegaskan bahwa, Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. (Q.S. Az-Zumar/39: 62). Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa Amat berat bagimu, Maka jika kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). kalau Allah menghendaki, tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk sebab itu janganlah sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang jahil (Q.S. al-An’am/6: 35). Maksudnya Ialah: janganlah kamu merasa keberatan atas sikap mereka itu berpaling daripada kami, kalau kamu merasa keberatan cobalah usahakan suatu mukjizat yang dapat memuaskan hati mereka, dan kamu tentu tidak akan sanggup. Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.21 Arah pemahaman tafsir Kementerian Agama tentang perbuatan manusia (af’al al-ibad ) tampak kelihatan mengarah kepada pemahaman sunni dengan mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah bersifat jabari yang pada dasarnya di bawah kekuasaan dan kehendak Allah. Pemahaman di atas, berbeda dengan pemahaman mu’tazilah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh dirinya sendiri, baik perbuatan baiknya maupun perbuatan buruknya, dan ia berhak atas perbuatan-
201
perbuatannya untuk menerima pahala atau siksa di akhirat nanti. Sedangkan daya (qudrah) yang dipergunakan untuk menciptakan perbuatannya itu telah diciptakan Allah pada dirinya, sebagai titipan, dan dipergunakan pada setiap perbuatannya, secara langsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Allah adalah sebgai pencipta pertama untuk segala yang ada di alam ini, termasuk daya yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri, sedangkan manusia adalah pencipta kedua untuk melakukan perbuatan dengan dayanya terhadap segala yang telah diadakan (diciptakan) Allah. Kaum Mu’tazilah hanya berkeyakinan bahwa Allah telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan baginya dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu, menurut pendapat mereka Allah tidak bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaanNya22. Maka dengan keyakinan tersebut, menurut Fazlur Rahman, kaum Mu’tazilah membawa rasionalisme mereka sedemikian jauh dengan cara mensejajarkan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama.23 Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, ( Q.S. al-Ahzab/33: 38). Yang dimaksud dengan sunnah Allah di sini ialah mengerjakan sesuatu yang dibolehkan Allah tanpa ragu-ragu. Berkaitan dengan perbuatan Allah, ketika menafsirkan Q.S. al-An’am/6: 35 dan 73, dinyatakan bahwa, “dalam ayat tersebut Allah menyatakan kepada Nabi Muhammad, bahwa jika Nabi merasa keberatan atas keingkaran orang-orang musyrik yang berpaling dari agama Allah dan mengajukan permintaan-permintaan yang beraneka ragam agar mereka beriman, maka Nabi dipersilahkan mencari lorong di bumi atau tangga di langit untuk mendapatkan bukti lain untuk memuaskan mereka, Nabi tentu tidak akan bisa, karena itu jangan marah atau sedih karena pembangkangan mereka. Yang akan memberikan petunjuk kepada mereka hanyalah Allah, karena itu serahkanlah pada
22
Lihat ulasan Asnawi dari berbagai catatan kakinya dengan menjelaskan penegasan Muhammad As-Syahrastaniy dan Harun Nasution, dalam Pemahaman Syeikh Nawawi Tentang Ayat-ayat Qadar Dan Ayat Jabar Dalam Tafsirnya Marah Labid suatu studi teologi Islam, Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, Jakarta, 2006, hlm. 140. 23
202
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
Allah. Allah menegaskan “Engkau hai Muhammad adalah manusia yang diangkat menjadi Rasul, karena itu engkau tidak dapat melakukan sesuatu yang melampaui batas kesanggupan manusia. Yang sanggup mendatangkan yang demikian itu hanyalah Allah, karena Allah yang menguasai segala sesuatu”. Jika Allah menghendaki mereka mendapat petunjuk, beriman dan mengakui risalah yang engkau sampaikan, atau menjadikan mereka seperti malaikat, yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah, atau menjadikan semua mereka menjadi orang yang baik, sama tingkatan dan kemampuan mereka, sama adat dan budi pekerti mereka, tentulah yang demikian itu amat mudah bagi Allah, tetapi Allah berkehendak lain, Allah menganugerahkan kepada mereka akal, pikiran, kemauan dan perasaan, yang dengannya mereka dapat menimbang dan memilih mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah dan sebagainya. Allah mengatur alam ini dengan sunnah-Nya. Segala sesuatu berjalan menurut sunnah-Nya, tidak seorangpun yang sanggup merubah, menambah, mengurangi, atau menukar sunnah-Nya itu. Karena itu, janganlah engkau hai Muhammad seperti orang yang tidak tau tentang sunnah-Nya itu, sehingga mencita-citakan sesuatu yang tidak sesuai dengan sunnah Allah”24. Sementara pada Q.S. al-An’am/6: 73 ditafsirkan, “bahwa Allah mengajak manusia untuk memikirkan kejadian alam semesta ini agar terbuka pikirannya serta meyakini, bahwa kejadian alam semesta ini yang penuh dengan keindahan tentu ada yang menciptakan, yaitu Allah yang menciptakan langit dan bumi dengan segala penghuninya yang menjadi bukti kebenaran, serta menciptakan pula hukum alam yang berlaku umum yang kadangkala mengandung hikmah dan rahasia yang menunjukkan sifat-sifat penciptanya, keesaannya dan kekuasaannya yang tidak terbatas. Langit dan bumi serta segala isinya diciptakan Tuhan secara serasi dan teratur, tidak ada yang sia-sia ( Q.S. Ali Imran/3: 191 dan Q.S. ad-Dukhan/44: 38-39). Allah menegaskan bahwa pada saat menciptakan alam dan menetapkan hukum-hukum-Nya, semuanya berjalan menurut kehendaknya, tak ada kesulitan sedikit pun dan tidak ada yang menghalangi serta mengubah hukumnya, semua kejadian berlangsung baik dengan patuh ataupun secara terpaksa. Itulah sebabnya Allah menegaskan bahwa pada saat
menciptakan langit dan bumi dia menciptakannya dengan benar, karena seluruh perintah-Nya adalah benar dan ciptaannya pun benar ( Q.S. al-A’raf/7: 54 ). Allah memiliki kekuasaan untuk mengadili seluruh manusia, itulah kekuasan Allah yang tidak dapat ditandingi, kekuasaan hanya di tangan Allah semata. Allah memberikan keterangan tentang kekuasaannya, memberi pengertian kepada seluruh manusia bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari pengetahuan-Nya. Allah mengetahui seluruh alam, baik yang tampak maupun tidak, mengetahui perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan ataupun yang dilakukan secara rahasia. Dia sangat bijaksana menciptakan segala sesuatu secara serasi dan harmonis seuai dengan fungsinya”25. Dari beberapa petikan tafsir tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat dan perbuatan Allah di atas, yang berkaitan dengan bangunan aliran teologi tafsir, maka tafsir Kementerian Agama dapat dikategorikan bahwa produk tafsir yang dihasilkan lebih dominan kecenderungan beraliran teologi sunni dalam menafsirkan ayat. Bangunan teologi sunni jabari yang dikembangkan adalah penguatan pada kehendak Allah yang absolut yang tidak ada intervensi perbuatan manusia. Anugerah akal kepada manusia, pikiran, kemauan, dan perasaan, hanya dapat menimbang dan memilih mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, namun sepenuhnya sesuai dengan kehendak Allah. Allah memiliki kekuasaan untuk mengadili seluruh manusia, kekuasan Allah tidak dapat ditandingi, kekuasaan hanyalah di tangan Allah semata. Allah mengatur alam dengan sunnahNya. Segala sesuatu berjalan menurut sunnahNya, tidak seorangpun yang sanggup merubah, menambah, mengurangi, atau menukar sunnah-Nya. Penafsiran terhadap Q .S. al-Zumar/39:62 ditegaskan bahwa, Allah menegaskan bahwa Dialah pencipta segala sesuatu yang ada, baik di bumi maupun di langit, Dialah pencipta alam seluruhnya, tak ada sesuatupun yang dapat menciptakan selain Dia. Ini adalah suatu hakekat kebenaran yang tidak seorang pun dapat mengingkarinya. Tidak seorangpun dapat mnyatakan bahwa dirinya pencipta alam, karena tidak akan diterima akal bahwa seseorang mempunyi kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan jagad raya ini, dan tidak dapat pula diterima akal bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada penciptanya. Allah lah yang mengurus segala yang ada, ilmunya
24
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), jilid III JUZ 7,8,9, ( Departemen Agama RI, 25
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
sangat luas mencakup semua makhluknya, Dia mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu, hikmah dan kebijaksanaannya26.
5. keesaannya dan kekuasaannya yang tidak terbatas. 6. Allah menegaskan bahwa pada saat menciptakan alam dan menetapkan hukum-hukum-Nya, semuanya berjalan menurut kehendaknya, tak ada kesulitan sedikit pun dan tidak ada yang menghalangi serta mengubah hukumnya, semua kejadian berlangsung baik dengan patuh ataupun secara terpaksa. 7. Allah memiliki kekuasaan untuk mengadili seluruh manusia, itulah kekuasan Allah yang tidak dapat ditandingi, kekuasaan hanya di tangan Allah semata. Allah memberikan keterangan tentang kekuasaannya, memberi pengertian kepada seluruh man usia bahwa tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari pengetahuanNya. Allah mengetahui seluruh alam, baik yang tampak maupun tidak, mengetahui perbuatan yang dilakukan secara terang-terangan ataupun yang dilakukan secara rahasia. Dia sangat bijaksana menciptakan segala sesuatu secara serasi dan harmonis seuai dengan fungsinya
Sedangkan pada Q.S. ar-Ra’d/13: 16 ditegaskan bahwa, Nabi diminta oleh allah swt. Untuk menanyakan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, “siapakan pencipta alam semesta yang keindahannya sangat mengagumkan manusia”. Kemudian nabi sendiri diminta untuk menjawab pertanyaan tersebut dan mengatakannya kepada mereka, “Dia Allah lah yang menciptakan semuanya, mengatur dan memelihara secara tertib, dan sempurna”. Allah yang maha sempurna dalam segala-galanya, tidak bisa disamakan dengan berhala,benda mati yang sama sekali tidak dapat memberi manfaat dan menolak kemodharatan. Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk pula pencipta berhala-berhala, dialah yang maha esa dan mahaperkasa27. Untuk melihat kecenderungan penafsiran dalam ranah teologi dalam tafsir Kementerian Agama, maka berikut ini penulis tampilkan pada tabel berikut. Tabel ini merupakan upaya analisis produk tafsiran yang memiliki kecenderungan dan mengarah kepada penafsiran aliran ideologi sunni sesuai dengan instrumen paham aliran sunni dalam teologi:
2
Q .S. alZumar/39:62
Allah pencipta segala sesuatu yang ada, baik di bumi maupun di langit, Dialah pencipta alam seluruhnya, tak ada sesuatupun yang dapat menciptakan selain Dia. tidak seorang pun dapat mengingkarinya. Tidak seorangpun dapat mnyatakan bahwa dirinya pencipta alam, karena tidak akan diterima akal bahwa seseorang mempunyi kekuatan dan kekuasaan untuk menciptakan jagad raya ini, dan tidak dapat pula diterima akal bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada penciptanya. Allah lah yang mengurus segala yang ada, ilmunya sangat luas mencakup semua makhluknya, Dia mengendalikan semua itu sesuai dengan ilmu, hikmah, dan kebijaksanaannya.
Q.S. arRa’d/13: 16
Nabi diminta oleh allah swt. Untuk menanyakan kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, “siapakan pencipta alam semesta yang keindahannya sangat mengagumkan manusia”. Kemudian nabi sendiri diminta untuk menjawab pertanyaan tersebut dan mengatakannya kepada mereka, “Dia Allah lah yang menciptakan semuanya, mengatur dan memelihara secara tertib, dan sempurna”. Allah yang maha sempurna dalam segala-galanya, tidak bisa disamakan dengan berhala,benda mati yang sama sekali tidak dapat memberi manfaat dan menolak kemodharatan. Allah adalah pencipta segala sesuatu, termasuk pula pencipta berhala-berhala, dialah yang maha esa dan mahaperkasa
TABEL PENAFSIRAN TENTANG PERBUATAN TUHAN DALAM TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA NO 1
AYAT Q. S. alAn’am/6: 35 dan 73
BENTUK DAN PRODUK TAFSIR KEMENTRIAN AGAMA
ALIRAN TEOLOGI
1.Yang akan memberikan petunjuk Sunni, kepada mereka hanyalah Allah, jabari dan karena itu serahkanlah pada Allah moderat 2. Muhammad adalah manusia yang diangkat menjadi Rasul, karena itu Muhammad tidak dapat melakukan sesuatu yang melampaui batas kesanggupan dia sebagai manusia. Yang sanggup mendatangkan yang demikian hanyalah Allah, karena Allah yang menguasai segala sesuatu 3. yang demikian itu amat mudah bagi Allah, tetapi Allah berkehendak lain, Allah menganugerahkan kepada mereka akal, pikiran, kemauan dan perasaan, dengan akal dapat menimbang dan memilih mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah 4. Allah mengatur alam ini dengan sunnah-Nya. Segala sesuatu berjalan menurut sunnah-Nya, tidak seorangpun yang sanggup merubah, menambah, mengurangi, atau menukar sunnah-Nya itu.
203
Sunni, jabari dan moderat
Dari simpulan-simpulan produk penafsiran ayatayat yang berkaitan dengan perbuatan Allah di atas dan rekapitulasi singkat penafsiran di dalam tabel, sangat begitu tampak bahwa ayat-ayat tersebut mengarah kepada kecenderungan tafsir aliran
204
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
pernah berkembang di dunia Islam. Perbuatan Allah ( mencipta, mengatur, dan memelihara) dipandang sebagai perbuatan tidak terbatas, mutlak, dan absolut. Dalam persoalan dan bekenaan dengan, perbuat penciptaan Allah, di dalam tafsir Kementerian agama dinyatakan bahwa absolutisme Allah dalam menciptakan sesuatu dikenal dengan konsep “kun fayakun” yang banyak diungkapkan di dalam al-Quran. Konsep ini menggambarkan bahwa Allah swt. Dalam memenuhi iradahnya, tidak terikat dengan kekuatan lain yang ada di luar zatnya. Kemutlakan kehendak Allah bersifat absolut. Allah memiliki semua kemaha-an yang bisa disifatkan pada zat-Nya. Absolutisme perbuatan Allah dalam penciptaan bersifat mutlak dan tidak bisa dikalahkan oleh kehendak yang lain. Keinginan untuk menciptakan sesuatu mudah dan gampang, kapan saja dan di mana saja. Dalam teologi Sunni, perbuatan penciptaan Tuhan, “Kun fa ya-Kun”, dipandang sebagai sebuah bentuk pengakuan atas kuasa Tuhan yang tanpa batas. Juga, dipandang sebagai sebuah bentuk kepasrahan pada Tuhan. Prase yang tertulis dalam beberapa surat dan ayat al-Quran ini 28, secara dominan memang dimaknai seiring dengan terjemahan tekstualnya, “jika Tuhan berkehendak maka jadilah sesuai kehendak Tuhan. Artinya, semua juziyat peristiwa dan kejadian yang terjadi di muka bumi ini sesungguhnya merupakan skenario dan keinginan (iradah) Allah. Tidak ada yang tidak di luar keinginan Allah, prase Kun fa yaKun, memang sebuah bentuk dukungan terhadap terminologi takdir. Untuk sampai kepada takdir perbuatan manusia tidak dianggap sebagai sebuah proses perbuatan menuju takdir, karena Tuhan yang menentukan takdir, Tuhan yang menentukan segalagalanya, Manusia hanya menerima dan menerima sepenuhnya. Fenomena ini kemudian dalam teologi sunni semakin menguat dengan pernyataan, bahwa prase kun fa yakun selanjutnya justru dijelmakan sebagai sebuah alat “kepasrahan membabi buta” sebagian besar umat islam. Bahkan, ada yang sampai pada taraf anggapan, “sedahsyat apapun upaya manusia jika Allah tak berkehendak tak akan pernah ter28 Lihat Q.S. Yasin/36: 82, Q.S. al-Nahl/16, Q.S. Maryam/19: 35, Q.S. Ali Imran/4: 47 dan 59, Q.S. al-Baqarah/2: 117. Prase kun fa yakun, dan bentukan teologi yang dinalarkan dalam menjelaskan beberapa surat dan ayat ini dalam sejumlah kitab-kitab tafsir sunni merupakan sebagai salah satu bentuk pengakuan absolutisme Tuhan dalam perbuatan-Nya dan sikap penyerahan perbuatan manusia (af’al al-ibad) kepada perbuatan Tuhan. Ketundukan
wujud cita-citamnya, sebaliknya jika manusia sudah memasrahkan segalanya pada Allah, niscaya mudah bagi-Nya untuk berkata Kun fa ya-Kun, jadi, maka jadilah dia. Konsep kepasrahan yang semacam ini cenderung mengecilkan daya usaha untuk maju, untuk berbuat dan untuk berkreasi. Ukuran-ukuran kemajuan duniawi juga akan dinafikan. Padahal, manusia hidup di alam materi, bukan semata hidup di alam spiritual. Bukan dalam konteks menggugat kemahakuasaan Tuhan. Dalam tulisan ini penulis mencoba memaknai Kun fa ya-Kun dalam makna yang lebih progresif, yaitu progresivitas dalam arti mendesakralisasikan konsep takdir, sehingga lebih moderat, bahwa, kesungguhan manusialah yang menjadi alasan bagi Allah untuk meng-ijabah-kan sebuah upaya dan perjuangan hamba-hamba-Nya. Konsep “Kun” (dalam kun fa ya kun), bagi penganut aliran sunni justru milik manusia. Konsep “fa ya” yang berdimensi memproses adalah bentuk keridaan Ilahi atas seberapa besar “kun” diperjuangkan. Artinya, jika hasrat “kun” diperjuangkan secara optimal, hasil “kun” optimal pula yang akan dicapai. Mana mungkin upaya minimal memberi hasil optimal? Memang, keyakinan saya tentang konsep “kun fa ya kun” ini cenderung mekanistis. Tapi, sungguh, apapun itu saya tetap percaya bahwa Allah adalah zat Maha Kuasa. Dialah satu-satunya the super-mighty.Namun, saya juga percaya bahwa Dia juga ingin manusia meneladani sifat-sifat-Nya yang agung, tentunya dalam kapasitas sebagai makhluk Allah. Dalam tafsir Kementerian agama dalam menafsirkan Q.S. Yasin/36: 82 ditegaskan bahwa Allah menerangkan betapa mudah baginya menciptakan sesuatu. Apabila Ia menghendaki untuk menciptakan suatu makhluk, cukuplah Allah berfirman, “jadilah”, maka dengan serta merta terwujudlah makhluk itu. Mengingat kekuasaannya yang demikian besar, maka dengan adanya hari kebangkitan itu, di mana manusia dihidupkan-Nya kembali sesudah terjadinya kehancuran di hari kiamat, bukanlah suatu hal yang mustahil, dan tidak patut diingkari29. Pada Q.S. al-Nahl/16:40 ditafsirkan bahwa, Allah swt. Menerangkan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas dan tidak dibatasi sedikitpun oleh semua makhluk, baik yang di langit maupun yang di bumi, Allah swt menyatakan bahwa apabila ia berkehendak untuk menghidupkan orang yang 29
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya (Edisi
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
mati, ia cukup mengatakan kepadanya, “jadilah.” Jadilah ia sesuai dengan kehendak Allah itu30. Dalam menafsirkan ayat ini dikaitkan dan dipertegas dengan ayat lain yang menyatakan bahwa, Allah swt menerangkan bahwa terwujudnya sesuatu yang dikehendaki itu tidaklah memerlukan waktu yang lama, akan tetapi cukup dalam waktu yang sangat singkat, “dan perintah kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata” (Q.S. al-Qmar/54:50). Allah juga menjelaskan bahwa membangkitkan orang-orang yang telah mati baginya sama halnya dengan menciptakan satu jiwa, “menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja (mudah), Sesungguhnya Allah Maha mendengar, maha melihat (lihat Q.S. Luqman/31: 28) 31. Sementara pada Q.S. Maryam/19: 35, Allah menegaskan kembali bahwa Isa itu bukan anak Allah, Tidak wajar dan tidak mungkin Allah mempunyai anak karena Allah tidak mmerlukan keturunan seperti manusia yang di masa tuanya sangat membutuhkan pertolongan dan perawatan dan membutuhkan orang yang akan melanjutkan dan memelihara hasil usahanya atau mengharumkan namanya sesudah ia meninggal. Allah tidak memerlukan semua itu karena Dia Mahakuasa, senantiasa berdiri sendiri tidak membutuhkan bantuan orang lain32. Maha suci Allah dari segala sifat kekurangan dan dari segala tuduhan yang diucapkan oleh orang Kafir. Apabila Dia hendak menciptakan sesuatu, cukuplah Dia mempirmankan “Kun” (jadilah) maka terciptalah dia,Baginya tidak sulit untuk menciptakan seorang anak tanpa bapak atau menciptakan mnusia tanpa Ibu dan bapak seperti menciptakan Adam33.Allah yang mahasempurna dan demikian besar kekuasaanNya tidaklah mungkin membutuhkan seorang anak karena yang demikian itu menunjukkan kepada kelemahan dan sifat-sifat kekurangan. Penafsiran yang dikembangkan pada Q.S. Ali Imran/4: 47 dan 59, ditegaskan bahwa kelahiran semacam Maryam yang tidak punya suami itu terjadi bilamana Allah menghendakinya, Alah menciptakan apa yang dikehendakinya. Jika Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka hanya cukup berkata kepadanya, “jadilah engkau”, lalu 30
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya....., jilid 5 juz 13,14,15, hlm. 322. 31 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya....., jilid 5 juz 13,14,15, hlm.322 dan 323 32
205
jadilah dia. Allah menciptakan apa saja yang dikehendakinya, termasuk menciptakan hal-hal yang ajaib, yang menyimpang dari kebiasaan, seperti menciptakan anak tanpa ayah. Bahkan Nabi Adam telah diciptakan-Nya tanpa Ayah dan Ibu. (Q.S. Ali Imran/4: 47 ). Sementara pada pnafsiran pada ayat 59 dikatakan bahwa Allah menciptakan Adam sebagai manusia dengan memberi roh ke dalam jasadnya, semata-mata kehendaknya dan apabila Allah berfirman, “jadilah maka jadilah ia”34. Pada Q.S. al-Baqarah/2: 117. Dijelaskan, bahwa Allah adalah maha pencipta sesuatu dengan tidak mencontoh kepada apa yang telah ada, tidak menggunakan suatu bahan atau alat yang telah ada. Allah menciptakan dari yang tidak ada. Demikianlah Allah menciptakan langit dan bumi, dari yang semula tidak ada menjadi ada. Menurut bunyi ayat, Allah menciptakan sesuatu dengan perkataan “Kun” (jadilah). Ungkapan ini adalah simplikasi atau penyederhanaan tentang mahabesarnya kekuasaan Allah, apa saja yang dikehendaki untuk diteteapkan semua terjadi dengan mudah. Sedang yang dimaksud dengan menciptakan hanyalah sekedar misal saja. Agar mudah dipahami oleh hamba-hamba-Nnya tentang cara Allah mengadakan sesuatu dan bagaimana proses terjadinya sesuatu, Hnyalah Allah yang Mahatau. Firman Allah dalam ayat sebelumnya menjelaskan bahwa apa-apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah dan semuanya itu tunduk dan patuh kepadanya merupakan pernyataan atas kekuasaan dan keperkasaannya. Dia yang menciptakan. Dia yang mengatur dan berkuasa atas segalanya35. Kata, fa yakun, yang berarti “maka jadilah” tidak mesti diartikan bahwa sesuatu itu terjadi seketika itu juga, melainkan melalu tahapan prosesyang memerlukan waktu. Setiap tahapan proses yang berlangsung dalam alam ini pasti akan berlaku hukum alam, yakni ketentuan-ketentuan Allah atau sunnatullah. Proses rekayasa konstruktif dari bentuk ketersediaan
34
Dalam menjelaskan ayat ini mufassir tafsir Kementeriaan Agama menyebutkan, bahwa pada ayat yang lain dikatakan, “.... kemudian Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain...” (Q.S. al-Mu’minun/23: 14). Pada Q.S. Ali Imran/3: 59 tersebut maksudnya bahwa sebenarnya kejadian Isa yang menakjubkan itu adalah seperti penciptaan Adam, yang dijadikan dari tanah. Keduanya diciptakan Allah dengan cara yang lain dari penciptaan manusia. Manusia biasa. Segi persamaannya itu ialah Isa diciptakan tanpa Ayah, dan adam diciptakan tanpa ayah dan tanpa Ibu. Keingkaran orang terhadap kejadian Isa tanpa Ayah, sedang ia mengakui kejadian Adam tanpa Ibu dan bapak, termasuk sesuatu yang bertentangan dengan logika. 35
206
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
bahan baku mentah menjadi bentuk barang jadi akan membuthkan proses yang terkadang panjang dan perlu waktu. Proses terjadinya minyak bumi ataupun mineral-mineral berharga menelan waktu yang sangat lama menurut hitungan manusia. TABEL PENAFSIRAN TENTANG PERBUATAN PENCIPTAAN ALLAH DALAM TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA NO
AYAT
BENTUK DAN PRODUK TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA
Q.S. Yasin/36: 82,
Apabila Ia menghendaki untuk menciptakan suatu makhluk, cukuplah Allah berfirman, “jadilah”, maka dengan serta merta terwujudlah makhluk itu.
Q.S. alNahl/16:40
Allah swt. Menerangkan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas dan tidak dibatasi sedikitpun oleh semua makhluk, baik yang di langit maupun yang di bumi, Allah swt menyatakan bahwa apabila ia berkehendak untuk menghidupkan orang yang mati, ia cukup mengatakan kepadanya, “jadilah.” Jadilah ia sesuai dengan kehendak Allah itu
Q.S. Maryam/19: 35,
1. Allah tidak memerlukan keturunan, seperti anak,karena Dia Mahakuasa, senantiasa berdiri sendiri tidak membutuhkan bantuan orang lain 2. Apabila Dia hendak menciptakan sesuatu, cukuplah Dia mempirmankan “Kun” (jadilah) maka terciptalah dia,Baginya tidak sulit untuk menciptakan seorang anak tanpa bapak atau menciptakan manusia tanpa Ibu dan bapak seperti menciptakan Adam. 3..Allah yang mahasempurna dan demikian besar kekuasaan-Nya tidaklah mungkin membutuhkan seorang anak karena yang demikian itu menunjukkan kepada kelemahan dan sifatsifat kekurangan.
Q.S. Ali Imran/4: 47 dan 59,
1. kelahiran semacam Maryam yang tidak punya suami itu terjadi bilamana Allah menghendakinya, Alah menciptakan apa yang dikehendakinya. Jika Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka hanya cukup berkata kepadanya, “jadilah engkau”, lalu jadilah dia. Allah menciptakan apa saja yang dikehendakinya, Allah menciptakan Adam sebagai manusia dengan memberi roh ke dalam jasadnya, semata-mata kehendaknya dan apabila Allah berfirman, “jadilah
ALIRAN TEOLOGI
Q.S. al1. bahwa Allah adalah maha Baqarah/2: 117. pencipta sesuatu dengan tidak mencontoh kepada apa yang telah ada, tidak menggunakan suatu bahan atau alat yang telah ada. Allah menciptakan dari yang tidak ada. 2. Allah menciptakan sesuatu dengan perkataan “Kun” (jadilah). Ungkapan ini adalah simplikasi atau penyederhanaan tentang mahabesarnya kekuasaan Allah, apa saja yang dikehendaki untuk diteteapkan semua terjadi dengan mudah. Sedang yang dimaksud dengan menciptakan hanyalah sekedar misal saja. Agar mudah dipahami oleh hamba-hambaNnya tentang cara Allah mengadakan sesuatu dan bagaimana proses terjadinya sesuatu, Hnyalah Allah yang Mahatau. 3. Kata, fa yakun, yang berarti “maka jadilah” tidak mesti diartikan bahwa sesuatu itu terjadi seketika itu juga, melainkan melalu tahapan prosesyang memerlukan waktu. Setiap tahapan proses yang berlangsung dalam alam ini pasti akan berlaku hukum alam, yakni ketentuan-ketentuan Allah atau sunnatullah. Proses rekayasa konstruktif dari bentuk ketersediaan bahan baku mentah menjadi bentuk barang jadi akan membuthkan proses yang terkadang panjang dan perlu waktu. Proses terjadinya minyak bumi ataupun mineralmineral berharga menelan waktu yang sangat lama menurut hitungan manusia.
Dalam teologi aliran sunni, perbuatan manusia pada dasarrnya di bawah kekuasaan dan kehendak Allah. Daya dan dan perbuatan manusia dalam kendali kekuasaan dan kehendak Allah swt.. Manusia tiadak mempunyai kebebasan untuk menentukan kemauan dan perbuatannya, perbuatan manusia bersifat jabari, perbuatan manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Allah, Allah lah yang menciptakan manusia dan apa yang manussia ingin kerjakan dan apa yang sedang manusia kerjakan (perbuat). Manuia memiliki sifat kepasifan dan kelemahan. Manusia berifat pasif dalam perbuatanperbuatannya. Dialog dan komunikasi Nabi Ibrahim kepada umatnya.seputar penyembahan patungpatung pada maasa kenabiannya36, menggambarkan 36 Q.S. ash-Shaffat/37: 95-96. Dalam ayat ini berdasarkan penafsiran yang dikembangkan dalam tafsir Kementerian Agama, bahwa manusia itu sebetulnya pasif, sekalipun terhadap persoalan
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
penegasan teologis kekuasaan mutlak Tuhan dan kepasifan manusia yang jabari, baik pada ssubstansi manusianya maupun perbuatannya. Perbuatan manusia perbuatan pasif, terbatas, terikat danngan perbuatan mutlak Tuhan. Artinya: Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.(Q.S.ashShaffat/37: 95-96).
Ayat-Ayat Qadar Dalam Tafir Kementerian Agama Dalam pemahaman teologi sunni, qadar merupakan kebebasan manusia untuk memilih di satu sisi dan dan kebebasan Allah dalam mengadakan pilihannya di sisi lain. Kebebasan manusia dalam memilih terikat dengan pilihan yang ditentukan Allah. Tuhan menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Manusia sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Bila Allah telah menentukan sesuatu, Maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus menaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah. Untuk melihat bagaimana penafsiran tafsir Kementerian Agama tentang ayat-ayat qadar maka berikut ini dikemukakan produk-produk uraian tafsir tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan qadar, yaitu Q.S. al-Qahas/28: 68), Q.S. AL-Kahfi/13: 29), dan Q.S. AL-Insan/ 76: 30. Ebetulnya maih banyak ayat-ayat tentang qadar yang berkaitan, namun untuk kepentingan dan menjawab perssoalan yang ingin dibuktikan dalam tulisan ini, maka ayat-ayat terebut dapat mewakili masalah yang ingin diteliti. Terhadap Q.S. al-Qahas/28: 68), dalam tafsir Kementerian agama dinyataiakan, bahwa ayat tersebut menerangkan bahwa Allah menciptakan apa yang dihkeendaki-Nya. Dia satu-satunya yang berwenang memilih dan menentukan sesuatu hal, baik yang tampak maupun tidak, karena dianggap tidak pantas kalau Allah yang menciptakan tetapi al, Dia tdak mengetahui, karena Allah maha mengetahui dan memiliki pengetahuan yang maha luas. Semua yang tampak dan yang terssembunyi diketahui-Nya. Allah mengetahui Semua makhluknya, mengetahui halikhwal, watak, dan karakternya. iKemudian Dia memilih dari hamba-hambanya, iapa di antara mereka yang berhak dan wajar menerima hidayah dan diangkat
207
menjadi rasul yang mampu melakanakan tuganya, Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulannya. Bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manuia tidak dapat memilih sesuai keinginannya. Ia harus telah menerima dan menaati apa yang ditetapkan Allah.Tidaklah pantas bagi laki-laki yang m ukmin perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan ssuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain).bagi mereka tentang urusan mereka37. Selanjutnya, Ditegaskan bahwa ayat di atas (Q.S. al-Qahas/28: 68), diakhiri dengan satu penjelaan bahwa Allah Mahasuci dan Mahatinggi apa yang mereka persekutukan. Tidak seorang pun yang dapat menghalangi pilihan-Nnya dan membatalkan ketentuan-Nya. Bagaimanapun keinginan dan kegigihan Nabi Muhammad memberi petunjuk untuk mengislamkan pamannya Abu Talib, dan bagaimanapun kehendak dan kesengguhan penduduk Makkah supaya diutus seorang Rasul dari kalangan mereka, semuanya itu gagal dan tidak terlaksana. Hanya pilihan dan ketentuan Allah yang berlaku dan menjadi kenyataan38. Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia akehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (Q.S. al-Qahas/28: 68). Bila Allah telah menentukan sesuatu, Maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus menaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah. Pada ayat Q.S. AlInsan/76: 30 dalam Tafsir kemenag dinyatakan, bahwa Allah menerangkan bahwa manusia tidak akan mencapai keselamatan itu kecuali kehendakNya, dan bila Dia memberikan taufik kepadanya. Usaha seseorang saja tanpa ada bimbingan Allah tidak akan mencapai kebaikan dan tidak dapat menolak kejahatan. Ayat ini ditutup dengan ssuatu kepastian bahwa Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.Allah mahatau siapa di antara hamba-Nya yang berhak menerima hidayahnya itu sehingga dimudahkan jalan baginyadan didatangkan ssebab-sebab untuk mendapatkan hidayah itu. sebaliknya yang sering terlibat dalam perbuatan memperturutkan nafsu,
37
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya.......,, jilid 7 JUZ 19,20, 21, hlm. 328-329. Dalam menafsirkan ayat tersebut, tafsir Kementerian Agama memperkuat ulasannya dengan ayatayat yang lain, seperti Q.S. al-Mulk/67: 14, Q.S. al-Baqarah/2: 77, Q.S.al-An’am/6: 124 Q.S. al-Ahzab/33: 36. Q.D.Ar-Ra’d/13:10. Q.S. al-Mu;minun/23: 92. Q.S. al-Anfal/8: 44. 38
208
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
hidayah itu dihilangkan Allah darinya. Allah Maha bijaksana dan maha adil39. TABEL PENAFSIRAN TENTANG PERBUATAN MANUSIA DALAM TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA NO 1
AYAT Q.S. al-Qahas/28: 68
Q.S. al-Insan/76: 30
BENTUK DAN PRODUK TAFSIR KEMENTERIAN AGAMA 1.bahwa Allah menciptakan apa yang dihkehendaki-Nya. Dia satu-satunya yang berwenang memilih dan menentukan sesuatu hal, baik yang tampak maupun tidak, karena dianggap tidak pantas kalau Allah yang menciptakan tetapi al, Dia tdak mengetahui, karena Allah maha mengetahui dan memiliki pengetahuan yang maha luas. Semua yang tampak dan yang terssembunyi diketahuiNya. Allah mengetahui emua makhluknya, mengetahui halikhwal, watak, dan karakternya. 2. iKemudian Dia memilih dari hamba-hambanya, iapa di antara mereka yang berhak dan wajar menerima hidayah dan diangkat menjadi rasul yang mampu melakanakan tuganya, Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulannya. 3. Bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manuia tidak dapat memilih sesuai keinginannya. Ia harus telah menerima dan menaati apa yang ditetapkan Allah.Tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin perempuan yang mukmin apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan ssuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain).bagi mereka tentang urusan mereka. 1. Allah menerangkan bahwa manusia tidak akan mencapai keselamatan itu kecuali kehendak-Nya, dan bila Dia memberikan taufik kepadanya. Usaha seseorang saja tanpa ada bimbingan Allah tidak akan mencapai kebaikan dan tidak dapat menolak kejahatan. 2. Ayat ini ditutup dengan ssuatu kepastian bahwa Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.Allah mahatau siapa di antara hamba-Nya yang berhak menerima hidayah itu sehingga dimudahkan jalan baginyadan didatangkan ssebab-sebab untuk mendapatkan hidayah itu. Sebaliknya yang sering terlibat dalam perbuatan memperturutkan nafsu, hidayah itu dihilangkan Allah darinya. Allah Maha bijaksana dan maha adil
ALIRAN TEOLOGI
SUNNI
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap sejulah ayat-ayat yang berkaitan dengan perbuatan Allah dan perbuatan manusia serta sifatsifat keduanya, dan ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan ayat-ayat jabari dan qadari, maka ayat-ayat tersebut ditafsirkan dalam tafsir Kementerian Agama, Al-Quran Dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), dalam lingkup tafsir aliran teologi sunni. Munculnya corak sunni dalam tafsir ini sekaligus menggambarkan, bahwa teologi sunni, sebagai teologi moderat dan teologi nusantara terakomodasi secara institusional dalam lektur keagamaan, yaitu “tafsir institusional” produk Kementeriaan Agama. Kemunculan kecenderungan corak tafsir aliran sunni dalam tafsir Kementeriaan Agama menjadi fenomena historis dan sekaligus menggambarkan kemapanan teologi sunni di Indonesia. Penguatan teologi sunni dalam tafsir Kementeriaan Agama sebetulnya bukan sesuatu yang tiba-tiba, instant, dan kebetulan, tetapi sebagai kristalisasi dari pengajaran teologi sunni pada institusi pendidikan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Faktor lain yang juga ikut menguatkan kemapanan teologi sunni di Indonesia ini ialah dominannya pengajaran literatur sunni pada institusi pendidikan agama yang ada di Indonesia. Kemudian pada giliran pemahaman dan pengamalan teologi sunni tersebut masuk pada institusi pendidikan informal seperti pendidikan keluarga, pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Perkembangan tafsir di Indonesia memang tidak bisa terlepes dari kemunculan “tafsir aliran”. Kecenderungan dan unsur subyektivitas mufassir dan sifat mufassirnya yang individualistik dan kolektiv bisa mendorong kepada tafsir yang sektarian dan iliran ideologi tertentu. Dominasi pemahaman agama berideologi sunni, terutama sunni moderat, sebagaimana tertuang dan tertampung dalam paham keagamaan masyarakat semakin menguat dan menyuburkan pengaruh ideologi sunni dalam karya-karya tafsir. Bila ditelusuri kilas balik sunni di Indonesia, sebagai kelanjutan dari ahli sunnah dan Jama’ah yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban Islam, sebagaimana term yang dipakai oleh Harun Nasution, kenyataannya sama seperti yang disebut dengan ahl as-sunnah wa al-jamaah di Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam sejarah pemikiran teologi Indonesia, kelompok yang mengacu kepada faham sunni. Kelompok aliran teologi sunni muncul sebagai salah satu reaksi terhadap faham-faham golongan mu’tazilah yang
Rohimin: Tafsir Aliran Ideologis di Indonesia
yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berfikir, kemauan dan perbuatan. Sebagai kelompok yang mengembangkan faham rasional dan filosofis, dalam sejarahnya kelompok mu’tazilah tergolong pada kelompok minoritas40. Term Ahli Sunnah dan Jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah. Maka sunnah dalam term ahli Sunnah Dan Jama’ah berarti hadis41.
Penutup Corak tafsir aliran-ideologis, seperti tafsir sunni, tafsir syi’i, dan tafsir mu’tazili, merupakan satu bentuk corak tafsir yang berkembang dalam sejarah tafsir al-Quran. Kenyataan ini sebagai konsekwensi dan implikasi dari subyektivitas mufassir yang memang sulit dihindari. Salah satu bentuk corak tafsir aliranideologi tersebut ialah tafsir-aliran ideologis sunni. Emberio tafsir aliran-ideologis sudah muncul sejak abad pertengahan, era kejayaan Islam (golden age). Di Indonesia tafsir aliran ideologis muncul, tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara dan pada gilirannya muncul dalam Tafsir Kementerian agama, khususnya dalam Tafsir Kementerian Agama 30 juz tahun 2005 yang berjudul, al-Quran wa Tafsiruhu, al-Qurran Dan Tafsirnya, yang terdiri dari sepuluh jilid dan satu jilid Mukaddimah. Di dalam tafsir ini ditemukan tafsiran-tasiran terhadap ayat-ayat jabari dan qadari yang masuk dalam stigma sunni. Terhadap ayat-ayat jabari dan qadari, teutama yang berkaitan dengan perbuatan Allah (af’al Allah) dan perbuatan Manusia (af’al al-ibad), para mufassirnya lebih dominan meng unakan paradigma sunni yang moderat. Allah dipandang sebagai pemilik otoritas kekuasaan tertinggi dan menentukan segala perbuatan manusia. Manusia dengan segala perbuatannya secara hakiki dipandang sebagai perbuatan Tuhan, dan manusia bersifat pasif dalam perbuatannya, manusia tidak memiliki kemardekaan dalam perbuatannya.
Dari hasil tabelisasi produk-produk tafsir Kementerian Agama yang berkaitan dengan ayat-ayat kategori jabari dan qadari yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia, dapat disimpulkan bahwa terhadap ayat-ayat tersebut tafsir produk Kementerian Agama cenderung mengarah kepada tafsir aliran ideolgi sunni yang mengakui otoritas kemutlakan Tuhan dan kepasifan manusia yang tidak memiliki kemardekaan dalam perbuatan. Hampir semua ayat-ayat yang dijadikan sebagai obyek penelitian ini ditafsirkan dalam stigma dan paradigma sunni. Potret sebuah karya tafsir tidak dapat dipisahkan dari paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya. Baik karya tafsir individual maupun kolektiv aroma keterpengaruhan dominasi paham keagaman sulit dihindari.
Daftar Pustaka Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain Ke Nusantara, Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Kencana, Jakarta, 2006, Ash Shiddieqy, Hasbi M, Sejarah dan Pengantar Ilmu Alquran/Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Az-Zarkoni, Muhammad abdul azim, Manahilul Urfan, (Dar al-Fikr, t.th) As-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran, (Bairut: Dar al-fikr, 1399 H) Eka Putra Wirman, Kekuatan Ahlussunnah wa aljamaah, Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2010, hlm. 1 M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta, 1992). M. Quraish Shihab, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Jakarta, 1996). M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran Dan Pemikiran, ( Lentera Hati, Jakarta, 2007 ), hlm. 57. Musthofa Hadnan, Ahmad, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra, 1993) Nata Abuddin, Metodologi Studi Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004
40 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 1986, hlm. 61-65. Menurut Nasution, kaum mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percara pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah
209
PT
Mustaqim Abdul, Madzahibut Tafsir, Nun Pustaka Yogyakarta, Yogyakarta, 2003. _____, Pergeseran Epistimologi Tafsir, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 . Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an Khadim al Haramain asy Syarifain,
210
NUANSA Vol. IX, No. 2, Desember 2016
Verdiansyah Very, Islam Emansipatoris Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan, P3M, Jakarta, 2004. Asnawi, Pemahaman Syeikh Nawawi Tentang Ayatayat Qadar Dan Ayat Jabar Dalam Tafsirnya Marah Labid suatu studi teologi Islam, Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, Jakart, 2006. Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan), jilid 1-10, Departemen Agama RI, Jakarta, 2009.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta, 1986. Islah Gusmin, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi, Teraju, Jakarta, 2003. M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, Dari Kontestasi Metodologi Hingga Kontektualisasi, Kaukaba, Yogyakarta, 2014, hlm. 197-200.