BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia Bagian Timur. Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi NTT pada Bulan Desember 2014 (BPS NTT. (2014) diakses dari ntt.bps.go.id) melaporkan jumlah penduduk sampai Tahun 2013 berjumlah 4.953.967 orang. Sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Berdasarkan kelompok pekerja yaitu penduduk usia 15 tahun ke atas, BPS NTT mengelompokkan tiga pekerjaan utama penduduk NTT yaitu sektor pertanian, industri dan jasa. Sebagian besar penduduk masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan keluarga dengan persentase lebih dari 50 persen. Komposisi pekerjaan utama kelompok pekerja penduduk NTT ditampilkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Lapangan Pekerjaan Utama Penduduk NTT Usia 15 Tahun ke Atas Lapangan Pekerjaan Utama
No.
Persentase (%)
1
Pertanian
63,02
2
Industri
7,56
3
Jasa-jasa
19,42
4
Jumlah
100,00
Sumber: BPS NTT, 2014 Tingkat pendidikan kelompok pekerja sebagian besar hanya berpendidikan dari tidak sekolah sampai sekolah menengah pertama. Jumlah kelompok ini mencapai
77,52 persen.
Angkatan kerja dengan pendidikan diploma dan
universitas hanya sebesar 6,95 persen (BPS NTT, 2014). Persentase tingkat pendidikan tenaga kerja penduduk NTT ditampilkan pada Tabel 1.2.
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tabel 1.2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja NTT Tahun 2013 No.
Tingkat Pendidikan Tenaga kerja
Persentase (%)
1
Tidak/Belum Pernah Sekolah sampai SLTP
77, 52
2
SLA/Kejuruan
15,53
3
Universitas
4
Jumlah
6,95 100,00
Sumber: Diolah dari Data BPS NTT (2014) Penduduk NTT yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki berbagai keterbatasan dalam berusaha tani.
Selain itu adanya keterbatasan sumber air menyebabkan usaha tani
umumnya dilakukan dengan cara berladang yaitu pertanian di lahan kering yang disesuaikan dengan kondisi musim. Petani mengelola lahannya dengan menanam berbagai macam tanaman sebagai sumber pangan keluarga terutama jagung dan kacang-kacangan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lusiana dkk. (2008), di mana lahan yang dikelola oleh petani NTT ditanami tanaman semusim yang tidak berkayu. Keterbatasan
pengetahuan
dan
terknologi
yang
dimiliki
petani
menyebabkan budidaya tanaman dilakukan secara tradisional. Pembukaan lahan baru dengan cara tebas bakar masih dilakukan dan menanam pada lahan yang dianggap subur untuk beberapa musim tanam. Apabila lahan sudah tidak subur mereka akan meninggalkan lahan tersebut dan mencari lahan lain untuk diolah dan ditanami. Kebiasaan tersebut masih dilakukan karena masih luasnya lahan yang belum ditanami. Produksi hasil pertanian masih rendah karena kemampuan mengelola lahan juga terbatas. Petani NTT tergolong petani subsisten yaitu petani yang melakukan usahatani untuk konsumsi sendiri sehingga mereka hanya melakukan usahatani pada lahan yang sempit. Hasil pertanian yang dijual hanya kelebihan dari yang dikonsumsi keluarga. Oleh karena itu pendapatan yang diperoleh juga sangat rendah. Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Penduduk miskin di NTT pada Tri wulan ketiga Tahun 2014 hampir mencapai satu juta orang. Jumlah ini sesuai dengan data dari BPS Prov. NTT (2015) yang melaporkan jumlah penduduk miskin di NTT sampai bulan September 2014 adalah sebanyak 991.088 orang (BPS NTT (2015). Jumlah orang miskin yang berada di desa sebanyak 886.018 orang. Tingkat kesejahteraan penduduk jauh tertinggal dibandingkan provinsi lain terutama yang ada di bagian Barat Indonesia. Hal ini sesuai dengan data BPS (2014) yang menempatkan NTT pada peringkat kelima sebagai provinsi termiskin di Indonesia. Sumber Daya Alam (SDA) yang terdapat di NTT memiliki spesifikasi khas yang berbeda dibandingkan di Indonesia Bagian Barat yang dipengaruhi oleh kondisi dan geologis yang ada. NTT adalah provinsi kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 500 pulau. Secara pasti jumlah pulau masih belum disepakati, karena adanya dua versi data yang dikeluarkan oleh instansi terkait. Kepala Biro Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah (Setda) NTT, menyatakan jumlah pulau di NTT adalah 655, dari jumlah tersebut sebanyak 134 pulau belum diberi nama (Seo, 2010). Pulau dengan jumlah lebih banyak dari data di atas dilaporkan oleh BPS NTT (2013), yang melaporkan provinsi NTT memiliki pulau sebanyak 1192 pulau (diakses dari: http://ntt.bps.go.id/). Perbedaan data ini tidak mengurangi fakta bahwa luas daratan NTT sangat berpotensi sebagai SDA bagi kesejahteraan penduduknya. NTT memiliki SDA berupa lahan kering yang sangat besar dibandingkan lahan basah. Luas lahan kering mencapai 96,74 persen atau 4,8 juta hektar (BPS NTT, 2014). Kawasan yang cocok untuk budidaya mencapai 64,54 persen yaitu kawasan yang memiliki kemiringan antara delapan sampai 40 persen, sedangkan lahan dengan kemiringan lebih dari 40 persen tidak dapat dikelola sebagai areal budidaya (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) diakses dari: bappeda.nttprov.go.id/). Lahan kering yang sudah difungsikan oleh penduduk hanya sebesar 45,09 persen (Astuti, 2008). Pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian hanya dilakukan pada komoditas yang biasa ditanam karena kendala iklim, kondisi lahan serta pengetahuan petani. Oleh karena itu
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pemanfaatan lahan kering untuk kegiatan pertanian perlu menyesuaikan dengan kondisi iklim, komoditas tanaman dan pengetahuan yang dimiliki petani. Iklim mempengaruhi SDA yang terdapat pada suatu wilayah. Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2014) melaporkan topografis hampir semua pulau di wilayah NTT terdiri atas pegunungan dan perbukitan kapur. Pulau Flores, Sumba dan Timor memiliki kawasan padang rumput (savana) dan stepa yang luas dimana pada beberapa kawasan padang rumput tersebut dipotong oleh aliran sungai-sungai. Nimwegen (2009) melaporkan NTT adalah provinsi terkering di Indonesia. Tidak semua pulau di NTT memiliki iklim yang sama. Hal ini sesuai dengan laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTT (2013) yang diakses dari http://www.bmkgntt.net/ menetapkan
NTT sebagai
wilayah yang memiliki iklim bervariasi dari tipe iklim B sampai F. Tipe iklim didasarkan pada klasifikasi Schmidt-Ferguson yang mengklasifikasi iklim berdasarkan curah hujan. Tipe iklim B yaitu daerah basah dan ada hutan hujan tropis sedangkan tipe F adalah daerah kering dan terdapat padang sabana. Data yang diolah dari Statistik Daerah Provinsi NTT (2014) menunjukkan curah hujan di Kabupaten Kupang pada Tahun 2013 adalah 1915 milimeter (mm) per tahun dengan jumlah hari hujan sebanyak 124 hari. Suhu rata-rata 26,2˚C sampai 29,2˚C dengan kelembaban udara rata-rata 62 sampai 87 persen. SDA lahan kering yang luas adalah potensi lokal yang dimiliki untuk mencapai kesejahteraan penduduk. Hal ini belum dapat berperan karena tingkat pendidikan penduduk NTT yang masih didominasi pendidikan tingkat sekolah menengah, sehingga berdampak pada masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki penduduk termasuk pengetahuan petani. Tingkat kesejahteraan penduduk NTT masih rendah disebabkan tingkat kemiskinan yang tinggi. Salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan vokasional pertanian menjadi jalur peningkatan kesejahteraan penduduk karena sektor pertanian menjadi tulang punggung sumber pendapatan penduduk. Pendidikan vokasional pertanian yang
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
berbasis potensi lokal NTT dapat menjadi sarana menuju peningkatan kesejahteraan penduduk. Potensi yang dimiliki dari aspek sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola lahan adalah petani. Mereka telah memiliki pengalaman dalam membudidayakan tanaman yang menjadi makanan pokok keluarga. Sebanyak 70 persen penduduk NTT adalah petani
yang membudidayakan jagung karena
jagung merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk (Lusiana dkk., 2008). Jagung ditanam oleh petani karena mampu berproduksi di lahan kering dengan cukup memuaskan walaupun dibudidayakan secara tradisional. Jagung masih dapat tumbuh pada kondisi yang beriklim panas, tandus dan berbatu seperti NTT. Jagung mampu tumbuh dan berproduksi walau dengan cara budidaya tradisional asal sesuai dengan syarat tumbuh yang dihendaki tanaman ini. Effendi (1985) diakses dari http://www.pustakadunia.com/ memperkuat hal ini dengan menyatakan: “Tanaman jagung mempunyai kemampuan adaptasi lebih luas dibandingkan tanaman serealia lainnya“. Dikatakan juga bahwa: “Jagung akan tumbuh lebih baik pada tanah-tanah dengan kisaran pH 5,5 – 8,0 dengan pH optimum 6,0 – 7,0. Suhu rata-rata yang dibutuhkan tanaman jagung adalah sekitar 21 – 32oC”. Petani dapat melakukan penanaman jagung sepanjang tahun terutama mereka yang memiliki
sumber air bagi lahan usahataninya. Petani
yang
mengandalkan hujan sebagai sumber untuk pengairan hanya menanam pada musim hujan saja. Hal ini diperkuat oleh
Vincentius yang dikutip Kusuma
(2013), melaporkan bahwa pada musim kemarau petani NTT yang memiliki lahan budidaya dekat sumur bor yang disiapkan oleh pemerintah masih dapat menanami lahan miliknya dengan jagung, kacang-kacangan dan sayuran. Keberhasilan dalam membudidayakan jagung sangat menentukan tingkat ekonomi petani. Peranan jagung terhadap tingkat ekonomi petani dikemukakan Hau dkk. (2012), yang menyatakan bahwa: “Jagung adalah komoditas utama penentu ekonomi rumah tangga petani, menjadi bagian yang tidak terpisah dari petani NTT dan mempunyai peran dan fungsi sebagai penyangga keamanan makanan”. Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Besarnya peranan jagung bagi kesejahteraan penduduk telah mendorong pemerintah daerah untuk membuat program peningkatan produksi jagung. Hal ini telah diimplementasikan melalui salah satu prioritas program yaitu “GEMA AGUNG” (Gerakan Masyarakat Agribisnis Jagung). Program ini dilaksanakan dari Tahun 2009 sampai Tahun 2013. Kebijakan program dituangkan dalam kesepakatan
antara
pemerintah
provinsi
dengan
pemerintah
kabupaten.
Kesepakatan (MoU) ini didukung oleh alokasi anggaran publik yang lebih besar untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan. Anggaran untuk program disebut Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera (Anggur Merah) tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) NTT dan dijabarkan pada Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk pengembangan jagung di NTT melalui strategi
perluasan areal tanam. Hasil program menunjukkan
adanya peningkatan produksi jagung walaupun program belum mampu menjadikan NTT sebagai provinsi jagung (Mada, 2015) diakses dari http://www.seputar-ntt.com/. Program ini berhasil meningkatkan produksi jagung NTT. Tahun 2011 produksi jagung sebesar 2,125 ton per hektar (t/ha), meningkat pada tahun 2012 menjadi 2,6 t/ha (Yusuf dkk.2014). Sejak Tahun 2014 program dilanjutkan dengan ditetapkannya sebagai program lanjutan yaitu Tekad Utama dari Enam Tekad Pembangunan Pemerintah Provinsi NTT menjadi Provinsi Jagung (Batari, 2014) diakses dari: http://m.jurnas.com. Program peningkatan produksi jagung ditetapkan karena berbagai alasan, yaitu: (1) Produksi jagung petani masih rendah, (2) Produksi jagung belum mencukupi kebutuhan, dan (3) Potensi lahan tidur yang belum dimanfaatkan masih luas. Jagung menjadi komoditas sentral dari program Pemda NTT karena jagung merupakan produk unggulan Nasional. Selain itu NTT adalah provinsi terbesar ke enam penghasil jagung dan ditetapkan sebagai salah satu dari delapan provinsi sentra produksi jagung di Indonesia. Pandangan dari aspek ekonomi juga menempatkan jagung sebagai komoditas multiguna yaitu sebagai bahan pangan dan juga sebagai bahan baku industri.
Kebutuhan jagung terus meningkat
sedangkan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Jagung merupakan komoditas strategis nasional dan NTT sebagai salah satu Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
sentra produksi jagung masih memiliki potensi lahan yang belum dimanfaatkan untuk
peningkatan
produksi
jagung
(Bappeda.
NTT
2009). Perluasan
areal penanaman jagung dapat terlaksana karena lahan yang belum dikelola masih sangat luas. Lahan yang belum dimanfaatkan umumnya berupa lahan berbatu (Santoso, 2002). Potensi lokal berupa lahan kering berbatu terdapat di sebagian besar pulau-pulau NTT. Luasnya mencapai 19,45 persen dari seluruh luas lahan kering (RPJP Prov. NTT Tahun 2007-2026). Lahan ini memiliki kendala untuk kegiatan budidaya tanaman karena solum tanah yang sangat dangkal yaitu kurang dari 30 sentimeter (cm) serta adanya bahan induk berupa koral di permukaan dengan luas sebesar 40,94 persen. Apabila sentuhan teknologi diberikan pada lahan ini maka peningkatan
ekonomi
masyarakat
dimungkinkan
dapat
dicapai
melalui
pemanfaatan lahan ini untuk budidaya tanaman. Solum tanah yang dangkal menjadi kendala pertumbuhan tanaman karena tanaman budidaya membutuhkan media tanah dengan solum tanah yang tebal agar dapat menyediakan lingkungan optimum bagi perakaran tanaman. Apabila lahan berbatu memenuhi persyaratan ini maka lahan berbatu dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan masyarakat. Untuk menciptakan kondisi lahan berbatu yang dapat mendukung budidaya tanaman perlu dilakukan teknologi yang mengupayakan penyediaan media tanam optimum bagi tanaman agar berproduksi secara maksimal. Pembentukan tanah secara alami membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Conway (2013) dan Ritter (2011), menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah terdiri atas : bahan induk, topografi, iklim (temperatur, curah hujan, kelembaban udara), waktu, organisme dan vegetasi. Tindakan konservasi lahan berbatu menjadi menjadi lahan budidaya dapat dicapai bila diberikan bahan pembenah tanah berupa bahan organik. Pembenah tanah menurut Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 28 Tahun 2009 (Menteri Pertanian, 2009), adalah bahan-bahan sintetis atau alami, organik atau mineral berbentuk padat dan cair yang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
tanah. Pemberian bahan organik berupa kompos berbahan baku lokal NTT dapat menjadi salah satu solusi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arsyad (2010, hlm.168), yang mengemukakan bahwa: ”Pemberian kompos pada lahan merupakan suatu teknik konservasi tanah”. Pemberian kompos mempunyai peranan penting bagi tanah pertanian. Kompos dapat meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat, memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Pemberian kompos pada lahan merupakan suatu teknik konservasi Tindakan ini dapat mengatasi masalah erodibilitas tanah yang tinggi yang disebabkan oleh struktur tanah yang mudah terdispersi karena agregat tanah tidak stabil atau mudah pecah, karena terjadinya peningkatan kandungan bahan organik tanah (Atmojo, 2003). Bahan baku untuk kompos sebaiknya menggunakan bagian tanaman yang tidak dimanfaatkan baik sebagai sumber pangan maupun sebagai sumber pakan bagi ternak. Salah satu tumbuhan yang banyak dijumpai di NTT adalah lontar (Borrassus flaberlifer L.). Lontar adalah jenis tumbuhan yang tidak dimiliki wilayah lain yang memiliki kondisi alam berbeda dengan NTT. Lontar atau Siwalan (bahasa Sunda, Jawa, dan Bali), Tuak (Timor), dan Lontar Palm (Inggris) tumbuh subur secara alamiah tanpa dibudidayakan. Wilayah lain yang banyak ditumbuhi lontar adalah Rembang, Tuban, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, akan tetapi populasi terbanyak terdapat di NTT (Mahayasa, 2012, hlm. 9). Sebanyak 4.406.912 pohon lontar tumbuh tersebar di pulau-pulau NTT (Tambunan, 2010). Fakta ini menunjukkan lontar mempunyai potensi besar dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk NTT. Lontar sudah dimanfaatkan penduduk baik untuk dikonsumsi maupun sebagai barang kerajinan. Pemanfaatan lontar terbanyak di NTT adalah untuk pembuatan gula. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sulistyo (2005), yang melaporkan pemanfaatan lontar untuk pembuatan baru satu sampai dua persen dari tanaman lontar yang ada. Hampir semua bagian dari pohon lontar dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia. Bagian dari pohon lontar Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
yang dapat dimanfaatkan sebagaimana dikemukakan Nuroniah dkk. (2010) dan Wikipedia, (2011) ditampilkan pada Gambar 1.1. MANFAAT LONTAR
Nira Minuman segar Cuka/kecap Gula lempeng Gula semut Nata de nira Bioetanol
Buah Muda Minuman Manisan Buah kaleng kue Selai Obat kulit
Daun Kerajinan tangan Tas, Topi, Tikar Sandal, Lukisan Cindera mata Media tulis Tenunan Alat musik
Batang Bahan bangunan Jembatan Perkakas Barang kerajinan
Gambar 1.1. Manfaat Lontar Nira lontar juga mempunyai manfaat lain yang berkaitan dengan kesehatan karena dapat digunakan sebagai obat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Handayani (2013), yaitu: “dapat mengobati batuk berdarah dan disentri”.
Ditambahkan
Handayani, penduduk Makasar memiliki kebiasaan memanfaatkan akar kecambah lontar yang berukuran sebesar jari sebagai bahan makanan dengan cara digoreng atau direbus terlebih dahulu. Bagian lain dari pohon lontar yang kurang dimanfaatkan adalah sabut buah lontar. Pemanfaatan sabut buah lontar sebagai bahan kerajinan, pengisi bantalan jok mobil atau pencampur bahan batako telah diperkenalkan pada kegiatan pengabdian masyarakat oleh Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana (Mahayasa, 2009). Sabut buah lontar belum dimanfaatkan dalam bidang pertanian khususnya sebagai bahan baku pembuatan kompos belum dilakukan. Mahayasa (2012), dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bahkan mengemukakan bahwa penelitian yang berkaitan dengan tanaman lontar masih sangat minim. Sabut buah lontar sampai saat ini belum dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Bahan ini mengandung bahan organik yang sangat tinggi sesuai pendapat Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Nur (2010) yang menyatakan kandungan bahan organik sabut buah lontar sebanyak 94,75 persen. Penggunaan kompos limbah buah lontar pada tanah berbatu bisa dikembangkan dan potensial menjadi upaya konservasi dengan biaya murah karena memanfaatkan limbah yang tidak dimanfaatkan tetapi mempunyai peran yang besar dalam peningkatan produksi tanaman. Peningkatan produktivitas lahan akan berperan pada peningkatan produksi tanaman yang pada gilirannya dapat meningkatkan taraf hidup petani. Riset yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan kering berbatu dan sabut buah lontar menjadi kompos dapat memberikan kontribusi pada peningkatan produksi jagung di NTT. Upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pada sektor pertanian dapat dilakukan melalui pendidikan. Sektor pertanian tidak bisa lepas dari pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widadie (2011), yang menyatakan adanya kaitan antara sektor pendidikan terhadap sektor pertanian: Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang sama pentingnya dengan sektor pertanian. Sektor pendidikan mengemban tugas yang sangat vital untuk mengembangkan SDM agar dapat memiliki dan mampu bersaing dalam hal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), seni serta mampu mengamalkannya bagi kesejahteraan manusia sehingga dapat meningkatkan harkat bangsa Indonesia di masyarakat dunia sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang berperadaban. Pendidikan vokasional pertanian yang berbasis potensi lokal dapat memberdayakan potensi lokal yang dimiliki untuk kepentingan kesejahteraan penduduk. Pemanfaatan lahan kering berbatu untuk budidaya jagung dengan penambahan kompos sabut buah lontar dapat diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran pendidikan vokasional pertanian. Pendidikan dapat menjadi media dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan menjadi sarana paling efektif karena pendidikan memberi bekal pengetahuan dan keterampilan bagi setiap warga masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Ustama, 2009). Peranan pendidikan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk bukan sekedar sebagai isu namun secara langsung dapat berfungsi sebagai kekuatan untuk mengurangi jumlah kemiskinan yang terjadi. Hal ini dapat diwujudkan melalui peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya. Pendidikan
yang baik akan menjadi
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
bekal
pengetahuan dan keterampilan, sehingga mereka mempunyai pilihan dalam bekerja, juga menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pendidikan bidang pertanian menjadi jenis pendidikan yang diperlukan untuk meningkatkan sektor pertanian sekaligus meningkatkan pelaku utama sektor ini yaitu petani. Sektor pertanian menjadi sektor andalan dalam peningkatan perekonomian masyarakat karena sebagian besar penduduk berada pada sektor ini. Pendidikan pertanian menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Sejalan dengan hal tersebut,
Mulder yang dikutip Shin dkk. (2009, hlm. 5)
menyatakan pendidikan pertanian adalah : …here as that part of education that is aimed at preparing students for a profession, either as an employee in a public or private organization or as an entrepreneur in a micro-company, in small, medium-size or large enterprises, in the agri-food complex that contributes to the secure supply of safe food and a healthy and attractive environment, by sustainable methods of production, processing, packaging, logistics and delivering services. Pendidikan pertanian dapat menjadi solusi permasalahan yang ada di masyarakat dengan mengaplikasikan ilmu pertanian terapan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimilikinya. Shinn, Baker & Duri yang dikutip Shin dkk. (2009, hlm. 35-36) juga menyatakan bahwa : …integrates social and behavioral sciences with the natural and applied science of agriculture, renewable natural resources, and environment. The knowledge base for agricultural education includes planning and needs assessment; etc … and contextual applications, culture, and diversity—all effecting continual improvement.… and contextual applications, culture, and diversity—all effecting continual improvement. Pendidikan tinggi sebagai jenjang pendidikan tertinggi, sangat berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan sehingga lembaga pendidikan perlu dilibatkan guna pengembangan pertanian. Teknologi bidang pertanian yang sesuai kondisi lahan dan budaya masyarakat hendaknya menjadi ilmu yang harus diajarkan kepada peserta didik. Potensi SDA menjadi pengetahuan yang wajib dimiliki dan bagaimana memanfaatkannya untuk kesejahteraan diri dan Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
masyarakat. Hal ini sejalan dengan pernyataan FAO, Rasmussen, Röling & Pretty (Shin dkk. 2009, hlm. 75) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan standar hidup dan standar sosial. Secara lengkap pernyataan mereka adalah sebagai berikut: ... These included improving farming methods and techniques, increasing production efficiency and income, adopting sustainable practices, improving levels of living, and lifting the social and educational standards of rural life. Kurikulum pendidikan pertanian seyogyanya disusun sesuai dengan kebutuhan lapangan, akan tetapi sering kali hal ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pendapat ini dikemukakan juga oleh Crowder dkk. (Nancy dkk. 2010, hlm. 42), yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan pertanian yang dilaksanakan selama ini tidak relevan dengan produksi pertanian. Dikatakan juga proses pendidikan seharusnya memberikan kontribusi yang nyata terhadap produksi pertanian dan pembangunan pedesaan. Pendekatan pendidikan melalui tranfer teknologi seharusnya dilakukan dengan pendekatan pembelajaran kolaboratif, menggunakan strategi pengajaran dan pembelajaran partisipatif, menerapkan praktek berbasis lapangan, dan konteks lokal yang terkait dengan metode pertanian berbasis penelitian. Pendidikan Politeknik merupakan jalur pendidikan teknik dan vokasional pada jenjang Perguruan Tinggi yang menyiapkan (mendidik dan melatih) peserta didik dengan keterampilan di bidang keteknikan dan bidang pekerjaannya (Hanafi, 2014). Orientasi pendidikan dan pelatihan yang diberikan diharapkan memberikan pengetahuan, keterampilan dan pembentukan sikap individu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pembentukan sikap positif terhadap pekerjaan dapat mendorong pengembangan keterampilan kognitif peserta didik untuk memenuhi tuntutan dan permintaan bidang pekerjaan di masa depan. Politeknik Pertanian (Politani) Negeri Kupang merupakan salah satu perguruan tinggi vokasional bidang pertanian yang ada di NTT.
Pendidikan
politeknik pertanian adalah jenis pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian terapan bidang pertanian. Lulusan pendidikan politeknik Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pertanian diharapkan akan menerapkan ilmunya di bidang pertanian sehingga dapat berkontribusi dalam peningkatan produksi pertanian. Kontribusi
lulusan
Politani
Negeri
Kupang
pada
peningkatan
kesejahteraan petani dimungkinkan karena sebagian besar mahasiswa berlatar belakang keluarga petani. Hal ini dapat diketahui berdasarkan data yang diolah dari kuisioner mahasiswa, yang menunjukkan mahasiswa Politani Negeri Kupang Tahun 2013 yang memiliki latar belakang keluarga sebagai petani sebesar 82,96 persen. Mengacu pada Surat Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000, (Kemendiknas, 2000), kurikulum inti pendidikan di Politani terdiri atas: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK), Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB), Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). Pelaksanaan pembelajaran (kecuali MPK) menerapkan 40 persen teori dan 60 persen praktikum. Pendidikan vokasional pertanian menekankan agar pembelajaran budidaya tanaman menggunakan lahan sebagai media atau laboratoriumnya. Penggunaan lahan yang memiliki spesifikasi lahan-lahan NTT sebagai laboratorium menjadikan pendidikan budidaya pertanian akan mampu menghadirkan materi pembelajaran dengan keadaaan yang sesungguhnya di lapangan atau masyarakat. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning= CTL) dapat diterapkan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran ilmu pertanian agar hasil belajar mahasiswa dapat meningkat. Pendidikan pertanian pada politeknik merupakan pendidikan untuk orang dewasa sehingga pembelajaran harus sesuai juga untuk orang dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Caffarella and Merriam (Nancy dkk. 2010), yang menyatakan : Individual learning styles and a contextual approach to learning are two modes of adult learning. Individual learning focuses on the individual’s learning. The contextual approach to learning combines individual learning and context. Penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran ilmu pertanian mempunyai dua sisi yang saling mendukung baik bagi peserta didik Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
juga bagi bidang pertanian. Pembelajaran kontekstual yang menekankan pengalaman yang bermakna akan menjadikan peserta didik memperoleh pengetahuan pertanian yang berhubungan langsung dengan kehidupan di masyarakat sekaligus hal ini berkaitan dengan kegiatan produksi pertanian. Mengacu pada berkembangnya pemikiran bahwa belajar akan lebih bermakna jika peserta didik secara langsung mengalami sendiri apa yang dipelajari dan bukan hanya mengetahui saja, maka model belajar yang dianggap relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran bidang pertanian adalah model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran yang berhasil guna adalah pembelajaran yang dapat diterapkan oleh peserta didik setelah mereka lulus dan dapat menjawab permasalahan yng dihadapi di lapangan. Sejalan dengan hal itu Sanjaya (Sa’ud, 2010, hlm. 168) menyatakan pembelajaran kontekstual menekankan kepada proses keterlibatan peserta didik secara penuh agar dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan kehidupan nyata sehingga mendorong untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual mendorong mahasiswa untuk mengerti makna belajar, manfaatnya, apa status mereka dan bagaimana mencapainya. Mahasiswa akan menyadari apa yang mereka pelajari berguna untuk hidupnya kelak. Hal ini akan membuat mereka menjadi individu yang memerlukan bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan akan berusaha untuk menggapainya. Tugas pengajar dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu peserta didik untuk mencapai tujuannya. Pengajar harus lebih memperhatikan strategi daripada memberi informasi. Peran pengajar adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi mahasiswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student Centered daripada Teacher Centered. Pembelajaran tentang keadaan wilayah NTT yang memiliki lahan berbatu adalah pembelajaran yang kontekstual bagi mahasiswa Politani. Pembelajaran ini akan sangat bermanfaat bagi mahasiswa sebagai bekal terjun di lapangan. Hal senada dinyatakan Samani (2007), yang menyatakan bahwa : Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Muatan teknologi keterampilan yang sesuai dengan kondisi lingkungan harus mendapat penekanan. Di satu sisi muatan teknologi tersebut akan membuat pembelajaran menjadi menarik, karena ada unsur “baru” dibanding dengan apa yang dilihat di masyarakat. Di pihak lain, muatan teknologi diharapkan akan dapat diterapkan oleh siswa untuk meningkatkan kualitas pekerjaan yang mungkin sudah ada di masyarakat. Sistem pendidikan pertanian pada institusi pendidikan tinggi, hendaknya mengajarkan bidang ilmu pertanian secara lengkap. Mahasiswa tidak hanya diajarkan sistem budidaya tanaman saja, akan tetapi juga pengembangan ilmu dan teknologi berbasis SDA potensi daerahnya. Potensi daerah yang belum dikembangkan dapat menjadi peluang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembelajaran praktikum budidaya pertanian yang dilaksanakan di Politani Negeri Kupang, selama ini dilakukan di lahan yang telah disediakan. Lahan yang digunakan, baik yang ada di kampus maupun lahan yang disewa dan berada di luar kampus memiliki kondisi yang optimal untuk menunjang produksi pertanian. Hal ini ditujukan agar mahasiswa dapat melakukan praktikum budidaya tanaman dan memperoleh produksi tanaman yang tinggi. Kondisi lahan Politani untuk kegiatan praktikum budidaya pertanian sebenarnya adalah lahan yang tidak mendukung produksi pertanian karena tidak subur dan memiliki solum atau lapisan tanah subur yang dangkal. Keadaan ini sama dengan sebagian besar lahan di Kabupaten Kupang. Hal ini tidak sesuai dengan pembelajaran praktikum yang menghendaki lahan optimal oleh karena itu dilakukan penimbunan menggunakan tanah subur yang berasal dari daerah lain. Penimbunan telah dilakukan bersamaan dengan pembangunan kampus pada Tahun 1988. Sejak saat itu pembelajaran praktikum budidaya tanaman dilakukan pada lahan yang telah terkondisi baik akan tetapi bukan merupakan kondisi lahan sebagian besar wilayah NTT. Kegiatan budidaya tanaman tanpa kendala lahan spesifik NTT menjadi kompetensi mahasiswa Politani dan bekal ilmu pengetahuan serta teknologi yang dimiliki setelah mereka kembali ke masyarakat. Lulusan yang tidak terserap oleh industri ada yang menjadi tenaga kerja mandiri di daerahnya masing-masing. Mereka akan menjadi lulusan yang Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
memiliki kompetensi optimum, padahal
budidaya tanaman di lahan yang memiliki kondisi
tidak sesuai dengan kondisi lahan di mana mereka akan
bekerja. Mereka akan menghadapi lahan yang jauh berbeda yaitu lahan kurang subur, solum tanah yang dangkal, kebanyakan berbatu serta kering tanpa sarana pengairan yang memadai di mana pengairan mengandalkan curah hujan. Akibatnya produktifitas tanaman yang diusahakan tidak akan maksimal, produksi rendah atau bahkan mengalami kegagalan panen. Hal ini bisa menyebabkan turunnya minat berusaha tani bahkan perasaan frustasi dalam bekerja. Kesenjangan antara progam pembelajaran dengan fakta di lapangan menjadi masalah setelah para lulusan berada di lapangan. Pembelajaran yang diperoleh selama pendidikan hanya membekali mahasiswa dalam mengelola lahan yang subur disertai teknologi pertanian yang cocok untuk lahan tersebut. Lebih lanjut hal ini dapat menimbulkan masalah dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan untuk budidaya pertanian. Mereka tidak memiliki kompetensi teknologi pemanfaatan lahan yang spesifik NTT. Adanya kesenjangan antara pembelajaran pendidikan vokasional bidang pertanian yang dimiliki mahasiswa dengan kondisi di lapangan setelah mereka lulus dapat menjadi kendala dalam meningkatkan produksi hasil pertanian dan kesejahteraan petani. Solusi kesenjangan perlu dicari melalui penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran praktikum yang sesuai dengan kondisi faktual lahan spesifik NTT. Teknologi aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya tanaman khususnya jagung yang telah diuji menjadi bahan pembelajaran praktikum yang faktual pada pendidikan vokasional pertanian. Langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian bagaimana bahan ajar ini diberikan dalam kegiatan praktikum di politeknik. Pembelajaran praktikum budidaya tanaman di Politani Negeri Kupang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual di mana mahasiswa melakukan Pembelajaran Langsung di lapangan dan memperoleh kompetensi budidaya tanaman dari pembibitan sampai pasca panen. Mahasiswa melaksanakan praktikum dengan petunjuk dari dosen atau instruktur untuk melakukan suatu kegiatan. Pelaksanaan praktikum memiliki kelemahan karena cenderung Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
mengutamakan aspek psikomotor yaitu keterampilan dan kurang memperhatikan aspek lainnya yaitu aspek kognitif dan afektif. Pembelajaran praktikum yang dapat mendorong kreatifitas peserta didik dalam menemukan pengetahuan merupakan pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk membekali mereka setelah terjun di masyarakat. Salah satu metode pembelajaran yang mendorong penemuan pengetahuan adalah pembelajaran Inquiry Training (TI). Praktikum berbasis TI merupakan pembelajaran praktikum menggunakan konsep penelitian ilmiah dan latihan penelitian. Inti pembelajaran adalah melibatkan peserta didik dalam masalah penelitian yang benar-benar orisinal dengan cara menghadapkan mereka pada bidang investigasi, membantu mereka untuk mengidentifikasi masalah konseptual atau metodologis dalam bidang tersebut dan mengajak mereka untuk merancang cara-cara memecahkan masalah (Joyce dkk. 2009, hlm. 194). Penelitian pembelajaran kontekstual pada kegiatan praktikum dapat berkontribusi positif pada pendidikan vokasional bidang pertanian. Peningkatan hasil pembelajaran yang selaras dengan kondisi sebenarnya di lapangan dengan memanfaatkan potensi lokal yang dimiliki dapat diterapkan di lapangan setelah mereka terjun di masyarakat. Penelitian menggunakan metode eksperimen menjadi instrumen untuk memperoleh informasi dan upaya pemecahan masalah antara metode pembelajaran vokasional bidang pertanian dengan peningkatan kompetensi mahasiswa. Teknologi budidaya jagung di lahan berbatu dengan mengaplikasikan kompos sabut buah lontar merupakan materi pembelajaran faktual NTT yang perlu dipelajari oleh mahasiswa. Pembelajaran dengan cara mengkaji secara langsung di lapangan melalui metode Inquiry Training. Aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya jagung di lahan berbatu selama ini masih terbatas. Oleh karena itu melalui pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training akan memampukan mahasiswa untuk memahami proses belajar dalam memperoleh kompetensi pemanfaatan potensi sabut buah lontar dan lahan kering berbatu sesuai langkah-langkah ilmiah.
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka telah dilakukan penelitian dengan judul : “ Pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training (IT)
pendidikan vokasional pertanian pada kompetensi pemanfaatan
potensi lokal” dengan sub judul “Aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya jagung di lahan kering berbatu” Latar belakang penelitian secara ringkas ditampilkan pada Gambar 1.2. B. Identifikasi Masalah Masalah-masalah yang dapat diidentifikasi dari latar belakang penelitian adalah : 1) Sebagian besar penduduk NTT (77,52 %) memiliki tingkat pendidikan dari tidak sekolah sampai tamat SLTP, kondisi ini tidak mendukung kesejahteraan penduduk. 2) Pendidikan
vokasional
pertanian
di
Politani
menerapkan
kurikulum
pembelajaran praktikum yang tidak relevan dengan kondisi faktual di lapangan. 3) Pembelajaran praktikum tidak sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 4) Pembelajaran praktikum budidaya tanaman berbasis Pembelajaran Langsung kurang mendorong kreatifitas dalam memperoleh pengetahuan. 5) Teknologi pemanfaatan potensi lokal melalui aplikasi kompos sabut buah lontar di lahan berbatu untuk budidaya jagung belum dibuktikan. Adanya keterbatasan waktu, kemampuan, dan dana yang penulis miliki, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian. Ruang lingkup penelitian dilakukan pada fokus masalah yang berkaitan dengan pembelajaran praktikum. Fokus masalah penelitian yaitu: 1. Kompetensi pemanfaatan potensi lokal aplikasi kompos sabut buah lontar melalui pembelajaran Kontekstual berbasis IT belum dimiliki oleh mahasiswa. 2. Proses pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada praktikum budidaya tanaman pendidikan vokasional pertanian belum ada rumusannya.
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
C. Rumusan Masalah Penelitian 1. Bagaimana hasil belajar praktikum ranah kognitif, afektif dan psikomotor mahasiswa setelah pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada pemanfaatan potensi lokal dibandingkan Pembelajaran Langsung? 2. Bagaimana kompetensi pemanfaatan potensi lokal yang dimiliki mahasiswa setelah pembelajaran kontekstual berbasis Inquiry Training pada kegiatan praktikum dibandingkan Pembelajaran Langsung? 3. Bagaimana karakteristik proses pembelajaran kontekstual berbasis IT pada pendidikan vokasional pertanian dilaksanakan melalui aplikasi kompos sabut buah lontar pada budidaya jagung di lahan berbatu? D. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti objektif berkaitan dengan efektivitas pembelajaran praktikum pendidikan vokasional pertanian berbasis IT terhadap kompetensi belajar mahasiswa sehingga dapat menerapkannya pada pemanfaatan potensi lokal yang ada di NTT. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan hasil belajar ranah kognitif dalam pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis Pembelajaran Langsung 2. Mendeskripsikan hasil belajar ranah afektif dalam pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan Pembelajaran Langsung 3. Membuktikan hasil belajar ranah psikomotor pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis Pembelajaran Langsung 4. Merumuskan kompetensi pemanfaatan lahan berbatu dan kompos sabut buah lontar setelah praktikum yang menerapkan pembelajaran kontekstual berbasis IT dibandingkan pembelajaran kontekstual berbasis Pembelajaran Langsung Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5. Mendeskripsikan
karakteristik
proses
pembelajaran
praktikum
pada
pendidikan vokasional pertanian berbasis Inquiry Training. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis, yaitu; a) memperkaya khasanah pengayaan ilmu pengetahuan dan memperkuat teori pembelajaran menggunakan langkah-langkah latihan penelitian dan, b) memberikan kontribusi empiris pada pembelajaran vokasional pertanian. 2. Manfaat praktis, yaitu: a) menjadi dasar untuk penyusunan perangkat pembelajaran praktikum pada pendidikan vokasional pertanian, b)
dapat
memperbaiki proses pembelajaran khususnya kegiatan praktik yang sesuai fakta lapangan, c) dapat meningkatkan kualitas produk lulusan yang memiliki kompetensi yang sesuai fakta lapangan, dan memiliki daya saing tinggi dalam bursa tenaga kerja, d) dapat berkontribusi bagi Pemerintah dalam mendukung pemanfaatan potensi SDA di NTT.
Suryawati, 2015 PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS INQUIRY TRAINING PENDIDIKAN VOKASIONAL PERTANIAN PADA KOMPETENSI PEMANFAATAN POTENSI LOKAL Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu