T1NJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Tansman Kentang
Tanaman kentang adalah tanaman genus Solanum yang bukan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal
dan
Amerika Selatan. Genus Solanum mempunyai lebih
dari 2000 spesies, diantaranya 228 spesies kentang liar dan 7 spesies kentang budidaya (Hawkes, 1994). Ketujuh spesies kentang budidaya tersebut yaitu S. phureja, S. ajanhuiri, S. chaucha, S. juzepezukii, S. tuberosum subsp andigena, dan S. tuberosum subsp tuberosum. Kultivar·kultivar kentang komersial yang ada
saat ini herasal
dan s.
tuherosum subsp andigena, S. tuberosum subsp tuherosum,
hibrida kedua spesies atau hibrida kroua spesies dengan spesies kentang lainnya. Selain genotipa, dalam penelitian ini juga digunakan spesies liar tanaman kentang.
Spesies yang digunakan dalam penelitian ini S. st%nifomm. S. stolonifornm taban terhadap hawar daun (P. infestans), virus kentang Y (PVY) serta serangga Myzus persicae dan Euphorbivae (Hawkes, 1994).
Tanaman kentang merupakan tanaman semusim. 8atangnya berbentuk bulat atau persegi dengan wama hijau atau keunguan bila mengandung antosianin.
Daun kentang merupakan daun majemuk dengan anak daun primer tersusun diantara anak. daun sekunder. Bentuk anak daun primer bulat sampai lonjong. Semua anak daun primer diakhiri dengan anak daun runggaI pada ujung tangkai daun (Cutter, 1978). Bunga kentang merupakan bunga hennaprodit dan setiap bunga mempunyai lima benang sari yang mengeiilingi sebuah putik.
Bunga
tanaman kentang tersusun dalam karangan bunga (inflorescence) yang tumbuh pada ujung-ujung batang. Banyaknya bunga pada setiap karangan bunga, panjang dan warna tangkai bunga bervariasi tergantung kultivamya (Burton. 1989). Stolon merupakan bagian batang yang terletak di bawah tanah, mempunyai daun-daun kecil seperti sisik, dan pada ketiak daun terdapat tunas ketiak, dapat
tumbuh menjuiur secara diageotropik dengan bulm-bulm yang memanjang dan melengkung pada ujungnya.
Panjang stolon berbeda-beda menurut varietas.
Stolon berukuran pendek (± 10 em), sedang (antara 10 sampai 20 em) dan panjang (antara 20 sampai 40 em). Umbi kentang terbentuk sebagai pembesaran bagian
ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Umbi akan
10
terputus dari stolon, pada saat stolon mengering bersamaan dengan matinya tanaman. Bentuk umbi mencirikan varietas kentang. Bentuk umbi kentang ada 4
macam yaitu (I) bulat; (2) lonjong, meruncing kearah kedua ujung umbi; (3) menmcing, lebih meruncing kearah ujung umbi, lebih lebar pada bagian pangkal
umbi dan (4) ginjal, lebih meruncing pada bagian pangkal umbi, lebar pada ujung (Burton, 1989). Pada umhi kentang terdapat mata tunas, tersusun secara spiral dan umumnya makin keujung umbi makin rapat mata tunasnya. Kedalaman mata, warna kulit dan warna daging umbi kentang juga mencirikan verietas. Mata tunas umbi ken tang ada yang dangkal, medium dan dalam, sedangkan wama kulit umhi
ada yang putih, kuning dan merah. Warna daging urnbi ada yang putih dan kuning.
Wama kulit umbi tidak seialu mencirikan warna daging umbi.
Di
Indonesia umumnya urnbi kentang berwarna kuning lebih disukai.
Pertumbuhan Taoaman Kentang Pertumbuhan tanaman kentang terdiri atas tiga tabap yaitu, perttnnbuhan tunas, pertumbuban daun dan batang, serta pertumbuban mnbi.
Pertumbuban
tunas diawali setelah umbi mengakhiri masa donnansi. TlUlas dapat tumbuh di tempat penyimpanan atau di lapang dengan atau tanpa cahaya.
Tunas yang
tumbuh pada keadaan gelap memiliki klorofil sedikit, mas menjadi panjang, tunas agak bengkok, daun-daun menjadi keeil, serta perbandingan berat kering
dan basah rendah. Sesudah tunas muncuJ, daun membuka secara cepat sehingga tanaman menjadi autotroph, tetapi transfer cadangan karbohidrat dan umbi induk berlangsung terns sampai keseluruhan cadangan karbohidrat habis (Moorby, 1978). Laju pertumbuhan tunas meningkat dengan cepat, bila pasokan air dan nnneral dari tanab lebib banyak dibanding cadangan dari umbi induk.
Tunas-
tunas lateral tumbuh di permukaan tanah dan membentuk tunas berdaun atau membentuk stolon bila di bawah pemmkaan tanah. Stolon menghasilkan wnbi tetapi dapat juga menjadi batang, jika stolon muncul di pennukaan tanah (Moorby, 1978). stolon
Stolon muncul pada mas pertama dari tunas.
dipengaruhi oleh
temperatur.
Hasil penelitian
Perturnbuhan
Moorby
(1978)
menunjukkan bahwa berat kering stolon berbanding terbalik dengan temperatur.
II
Pertumbuhan stolon dibagi atas tiga tahap yaitu periode lambat,
cepat dan
pertumbuhan menunnl.
Pembentukan umbi diawali dua minggu sesudah tanam
dan
saat inisiasi. Inisiasi urnbi dimulai sekitar
terganhmg pada varietasnya.
Mekanisme inisiasi
umbi masih belum diketahui dengan jeJas. Burton (1989) mengemukakan bahwa umhi dihasilkan dari akumulasi substrat pada stolon.
Pertumbuhan umbi
mengikuti pola sigmoid dengan fuse tinier yang panjang. Fase tinier ini dapat
berubah tergantung kemampuan tanaman untuk merangsang pertumbuhan umbi setelah inis-iasi. Kemampuan tanaman sangat dipengaruhi oleh kecukupan daun untuk menghasilkan asimilat yang dibutuhkan untuk pembentukan umbi serta pasokan air dan mineral dari tanah. Jika inisiasi umbi terjadi sebelurn tanaman dapat memasok kebutuhannya, maka produksi yang dihasilkan sedikit (Moorby, 1978). Sernbilan puluh lima persen herat kering umbi kentang merupakan senyawa basil fotosintesis.
HasH fotosintesis selain digunakan untuk pertumbuhan umbi,
juga digunakan untuk pertwnbuhan datm.
Pertumbuhan daun sesudah inisiasi
umbi menurunkan pasokan karbohidrat yang tersedia untuk pertumbuhan umbi dan hasil yang tinggi (Burton, 1989). Periode dari saat dimulainya inisiasi umbi sampai dicapainya herat umbi maksimum, disebut dengan periode lama pengisian umbi.
Laju pengisian umbi tergantung dengan jenis varietas, waktu tanam,
temperntur, dan curah hujau (Burton, 1989). Produksi umbi merupakan perkalian antara lama pengisian umbi (hari) dengan laju pengisian wnbi (tonlhalhari). Produksi tanaman kentang dapat dilihat dari hasil umbi basah perluas areal serta jumlah dan komposisi herat kering yang dikandung oleh urnbi. Komposisi dan berat kering urnbi kentang ditentukan oleh kultivar, cahaya, photoperiodisitas, temperatur, curah hujan, jenis tanah dan pupuk (Burton, 1989).
Kualitas umbi yang baik terutama berguua untuk pembuatan
pangan olahan dari urnbi kentang seperti keripik (chips). Kualitas urnbi dicirikan dengan rendahnya kandungan gula reduksi, sedikit atau tidak adanya enzim yang dapat merusak wama umbi (berupa senyawa fenol) dan tingginya produksi berat kering. Marwaha dau Kang (1994) menggunakan varietas yang mempunyai bernt
12
kering betkisar antara 18.9-21.6 % dan gula reduksi antara 215-240 rnglg umbi basah sebagai tanaman koottol, pada saat menguji kualitas wnbi untuk keripik.
Faktor Lingkungan Pertumbuhan Tanaman Kentang
Faktor-faktor fisik yang mempengaruhi pertwnbuhan tanaman kentang diantaranya : 1. Temperatur
Temperatur nyata berpengaruh terhadap morphogenesis pertumbuhan dan perkembangan tanarnan kentang. Menurut Moreno (1985), tanaman kentang yang ditanam pada temperatur rendah, lebih rnenginduksi pembentukan umbi dari pada
ternperatur tinggi. Kultivar Huayro yang berasaI dari Peru, bila dikembangkan di dataran rendah, organ-organ vegetatip di atas pennukaan tanah tumbuh lebih lebat, sebaliknya bila ditanam di dataran tinggi Andes pertumhuhan wnbi lebih banyak (Moreno, 1985). Tanaman kentang membutuhkan temperatur optimum 200 e dengan temperatur malam kurang dari 12-1SoC untuk pertumbuhan, dan
setiap kenaikan temperatur sebesar SOC menyebabkan penurunan laju fotosintesis,
aoc (Burton,
sedangkan respirasi daun meningkat dua kali bila temperatur naik 1
1989). Menurut Moorby (1978), temperatnr optimum untuk pertumbnban batang dan daUll kentang adalah 20"C dan 25'C, sedangkan menurut Smith (1977) temperatur yang dibutuhkan untuk pembentukan umbi dengan baik adalah temperatur siang 17.7-23.7°C dan temperatur maJam 6.0-12.rc.
Temperatur
malam lebih penting dibanding temperatur siang untuk pertumbuhan dan
perkembangan urubi. Temperatur tinggi dapat menghambat perkembangan urobi, karena laju respirasi yang tinggi menyehabkan jumlah karbohidrat yang tersedia menjadi berknrang. Ternperatur tinggi, terutama pada malam hari, pertumbnban lebih banyak pada bagian tanaman yang di atas pennukaan tanah dari pada di bawah tanah., sehingga tanaman lebih banyak menghasilkan daun barn, cahang, dan bunga Moreno (1985) mengemukakan bahwa interaksi antara radiasi yang tinggi dengan ternperatur siang dan malam yang rendah di dataran tinggi, mendorong tanaman lebih aktif melakukan fotosintesis dan mentranslokasikan hasil fotosintesis keurnbi, dibanding di dataran rendah. Menurut Cutter (1978), kultivar Kennebec menghasilkan umbi yang baik, jika ditanarn pada penymaran
13
pendek dengan temperatur rendah. Selanjutnya Cutter (1978) mengatakan bahwa, temperatur rendah tidak hanya mernpengaruhi pertumbuhan tanaman, tet:api juga mempengaruhi tururumnya, karena wnbi yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut juga dapat digunakan sebagai benih untuk pertumbuhan berikutnya, sehingga tanaman yang dihasilkan lebih baik.
2. Cahaya Matahari Intensitas cahaya merupakan jumlah total cahaya yang sampai kepermukaan bumi. Intensitas cahaya yang rendah menyebabkan jumlah energi yang tersedia untuk fotosintesis rendah, sehingga kadar karbohidrat yang dihasilkan tanaman juga rendah.
Apahila intensitas cahaya tinggi maka transpirasi hasil tanaman
tinggi bila tidak diimbangi dengan penyerapan air dari dalam tanah akan mengakibatkan hasil fotosintesis berkurang (Edmond, el al., 1964). Radiasi dapat mengubah struktur kanopi daun sehingga mernpengaruhi intersepsi cahaya dan
fotosintesis (Moorby, 1978).
Radiasi matahari antara 0.81 sampai 4.68
MJ/m 2Jhari menyebabkan panjang batang berkurang, tetapi merangsang produksi
cabang. Laju produksi daun menurun pada tingkat radiasi yang tinggi. Hal ini mungkin disebabkan menurunnya perpanjangan batang (Moorby, 1978). Menurut Moorby (1978), dengan menggunakan kultivar Amerika pada percobaan lapang di Australia, total radiasi masuk harian rata-rata sekitar 25 sampai 30 MJ/m 2/hari, bila radiasi ini dikurangi 34 % dengan naungan akan mengakibatkan panjang batang dan luas daun maksimwn meningkat, sedangkan herat daun spesifik berkurang sekitar 30%. Lama penyinaran berkaitan erat dengan wnur tanatnan.
Hari panjang
menghambat pembentukan wnbi, tetapi dibutuhkan dalam pertumbuhan vegetatif, terutama pembentukan cabang lateral dan induksi pembungaan, sedangkan hari pendek lebih merangsang pembentukan umbi (Moreno, 1985). Cutter (1978) mengemukakan bahwa, penyinaran pendek lebih cepat merangsang pembentukan umbi.
Tanaman kentang yang mendapatkan penyinaran panjang pertumbuhan
vegetatifuya lebih aktif sehingga pembentukan umbi akan terlambat 3 sampai 5 mlDggu bila dibandingkan dengan tanaman yang mendapatkan penyinaran pendek.
Gopal (1994) mengemukakan bahwa tingkah laku pembungaan dan
pembuahan kentang dipengaruhi oleh hari panjang dan hari pendek.
Tanaman
14
kentang berbunga pada penyinaran panjang (Khan, et ai., 1994).
Khan et aI.,
(1994) menjeJaskan bahwa penambahan lama penyinaran dapat merangsang pembungaan tetapi tidak cukup tanpa penambahan honnon.
Lama penyinaran
juga mempengaruhi panjang batang. Percobaan di ruangan yang diberi penyinaran selama 16 jamlhari, menyebabkan batang lebih panjang dibandingkan dengan percobaan di Japang dengan penyinaran antara 10 sampai 14 jam/hari dan tingkat
penurunannya tergantung varietas (Moorby,
1978).
Penyinaran pendek
menghasilkan batang pendek, sebaliknya penyinaran panjang menghasilkan batang yang panjang, tetapi panjang batang dapat ditingkatkan dengan pemberian asam giberellin (MOOlUY, 1978). Selanjutnya Moorby (I 978) menyatakan bahwa
tanaman kentang yang tumbuh di daerah penyinaran pendek, konsentrasi asam giberellin rendah, dibanding tanaman yang tumbuh di daerah yang mempunyai penyinaran panjang, dan gibereUin disintesis di daun dan sangat tergantung pada
lama penyinaran.
Variet:as utama yang ada di Eropa wmunnya berumur dalam
dan cenderung lehih responsif terhadap perubahan photoperiodisitas, dibanding varietas yang berumur genjah, tetapi ini tidak berlaku untuk semua spesies dan kultivar kentang (Moorby, 1978). Spesies Solanum tuberosum yang berasal dari daerah berlintang rendah yang mendapat penyinaran pendek, cenderung kurang responsif bila ditanam di negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang mempunyai penyinaran panjang (Simmonds, ] 971; Moorby, 1978). 3. TaDah Kondisi tanah lUltuk pertumbuhan kentang ditentukan oleh struktur dan kesuburan tanah. Tanaman kentang tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, dalam dan mempunyai drainase yang baik, dan tanah liat yang gembur, berdebu atau debu berpasir dengan pH antara 5-6.5 (Asandhi, 1992). Kelembaban tanah menentukan pertumbuhan tanaman kentang, kelembaban yang tinggi mengurangi aerasi tanah, sehingga mempengaruhi pertumbuhan akar, stolon dan umbi (Cortbaoui, 1977). Keadaan hara di dalam tanah mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman kentang.
UnSlrr hara N (nitrogen) paling banyak diperlukan
karena dapat mernacu perpanjangan sel, pertwnbuhan vegetatif, memperbesar jwnlah wnbi. meningkatkan basil dan kandungan protein umbi. mempengaruhi jumlah
umbi.
meningkatkan
hasil
dan
kandWlgan
protein
umbi
serta
15
mempengaruhi indeks panen.
Pemberian pupuk N harns diimbangi dengan
pemberian pupuk P (fosfat) dan K (kalium), berguna untuk mengurangi efek negatif pupuk N yang dapat menurunkan hasil dengan memperlambat saat inisiasi umbi. OJ Indonesia dosis pupuk yang umum dipakai petani ialah 400 kglha urea,
400 khJha TSP dan 200 kglha KCI (Cortbaoui, 1977).
Peoyakit Hawar Daun Kentang Penyakit hawar daun pada kentang disebabkan oleh cendawan Phytophthora infestans (Mont.) de Bary. P. infestans masuk dalam kelas Oomycetes dan diklasifikasikan kedalam cendawan tingkat rendah. Patogen ini dapat menyerang
daun, batang dan umbi kentang di lapang maupun di temp at penyimpanan (Hanfling, 1987; Fry, 1994; Agrios, 1988). Penyakit hawar dano dikenalluas karena dapat menimbulkan kegagalan panen kentang. Hawar daun awalnya ditemukan di Irlandia tahun 1840, kemudian penyakit ini diketahui menyerang
kentang di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (Robertson, 1991).
Di
Polandia, rata-rata kehilangan basil dari tahun 1981 sampai 1991 sekitar 6.8 tonlha dan 8% yang dipanen terinfeksi oleh cendawan ini. Di Belarusia 80-100% daun kultivar rentan terhadap penyakit hawar daun selama fase vegetatif dan lebih dati 10% wnbi terinfeksi patogen ini. Di Republik Chechnya, kehi1angan hasil akibat kerusakan daun diperkirakan lebih dati 10% dan wnbi yang terinfeksi sekitar 5% (Pietkiewicz, 1992). Di Indonesia,
penyakit ini telah dijumpai sejak: tanaman diusahakan oleh
petani, diduga penyakit ini berasal dati bibit kentang yang diimport dari Eropa (SUI)'auingsih, 1990).
Fry (1994) melaporkan bahwa hawar daun dapat
mempengaruhi beberapa tahap pertumbuhan kentang, sehingga bila teIjadi epidemi pada awal pertuntbuhan dapat menimbulkan 100% kdrilangan hasil. Agrios (1988) juga mengatakan bahwa penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan seluruh tanaman di lapang dalam waktu 1 atau 2 minggu., apabila kondisi cuaca menguntungkan dan tidak ada tindakan pengendalian. Tingkat kerusakan karena penyakit ini bervariasi dati satu daerah ke daerah lain dan dari tahun ketahun, tergantung pada ternperatur dan kelembaban seJama musim tanam dan tindakan pengendalian yang dilalrukan (Robertson, 1991).
Kehilangan hasil kentang
16
akibat penyakit ini ada 2 jenis yaitu kehilangan yang disebabkan oleh hilangnya kapasitas fotosintesis karena berkurangnya kanopi, dan kehilangan basil umbi disOOabkan 0100 busuk kering umbi (Robertson, 1991). Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit hawar drum sang at tergantung pada keadaan cuaca dan ketahanan varietas kentang. Kerusakan herat terutama terjadi pada musim hujan dengan kelembaban udara mencapai 90 sampai 98% dan temperatur udara berkisar antara II sampai 22"C. Kondisi ini urnmnnya tetjadi di kawasan dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m di atas pennukaan laut. Penyakit hawar daun umumnya dijumpai setelah tanaman benunur 5 sampai 6 minggu setelah tanam.
Serangan awal dijumpai pada daun-daun bawah,
kemudian merambat kedaun-daun atas yang lebih muda. Gejala pertama penyakit ini bempa bercak kebasah-basahan, dengan tepian yang tidak teratur pada hagian tepi atau tengah daun.
Bercak kemudian melebar dan terbentuklah daerah
nekrotik yang berwama coklat. Daerah nekrotik ini dilingkari oleh bagian yang
berwama hijau kelabu yang menghasilkan massa sporangium yang berwarna putih (Hanfling, 1987).
Gejala penyakit yang teIjadi pada tangkai dann dan batang
berupa bercak yang mengembang dengan bentuk memanjang, bila serangan terjadi pada umbi akan terlihat warna kulit umbi mengalami lunrue (disldorosis) yang tidak beraturan, melekuk dan agak berair. Bila daging wnbi dibelab terlihat
daging umbi berwama cokla1. Bercak nekrotik berwama coklat dan kering, akibat peDetrasi zoospora dari pennukaan kedalam jaringan umbi.
Busuk daun
umumnya tidak menyebar selama penyimpanan di gudang, tetapi penyakit sekunder kanana terinfeksi bakieri dapat menyOOar kewnbi lain (Hanfling, 1987).
Di Rusia, pemuliaan kentang untuk ketahanan terhadap penyakit hawar daun dimulai
pada
perang
dunia
pertama
dan
menghasilkan
kultivar
tahan
Fytoustoytshvij yang berasaI dari S. demissum (Guzowska, 1999).
Keragam80 Phythopthora infestans
Di
Indonesia Phythophthora
(Semangun, 1994).
infestans sudah dikenal
sttiak:
1936
P. in/estans dikenal sobagai pathogen yang sangat labil,
sehingga diketahui mempunyai banyak ras fisioiogis. Variabilitas ras yang
terbentuk seisin disebabkan reproduksi secara seksual juga
karena mutasi,
17
rekombinasi paraseksual, dan adaptasi (Fry dan Speiiman, 1991). Hibridisasi
seksual tetjadi karena rekombinasi gen akibat percampuran secara acak kromosom cendawan induk dan juga karena terjadinya pindah silang (erasing over) selama
meiosis, akibatnya koloni turunannya berbeda dengan genotip induknya Neiderhauser (1991) menyatakan bahwa migrasi type mating A2 mungkin terjadi tabun 1976 ketika teIjadi ekspor kentang dari Meksiko ke Eropa.
Sedangkan Fry dan Goodwin (1995) menyatakan bahwa migrasi dati type mating A2 mungkin terjadi selama tahtm 1970 an, kemudian dideteksi tabun 1980. Mutasi adalah perubahan pada satu basa atau lebih pada untaian nukleotida DNA. Mutasi dapat terjadi pada gen individual atau pada khoromosom.
Frekuensi
mutasi dapat meningkat baik karena adanya faktor fisis maupun kemis. Galiegly dan Eihenmuller (1959) mengemukakan bahwa ras 4 dapat secara spontan berubah menjadi ras lain, ras 0 mengalami mutasi menjadi ras 4 dan ras 1 menjadi ras 1.4.
McKee, (1966) melakukan usaha induksi mutasi untuk menunjukkan
adanya perubahan patogenisitasnya.
Malcomson (1969) melaporkan terjadinya
ledakan ras komplek pada kultivar Pentdlan Dell di tabun 1967 dan 1968, timbulnya ras-ras baru disebabkan hibridisasi vegetatif. Goodwin (1997) mengemukakan pada tahun 1950 di Jennan didapat komplek isolat 1.4 dan 1.2.3.4, 32 tahun kemudian komplek ras patogen tersebut menjadi sernakin
banyak yaitu 14; 1.3.2; 1.2.3.4, 1.3.10; 1.4.10; 1.3.4.10.11; 1.2.3.4.10 dan 1.2.3.4.7.8.lO.11.
Kombinasi paraseksual teIjadi bila gen-gen mengadakan
rekombinasi diluar daur seksual.
Menurut Suhardi (1979) di kebun percobaan
Segunung Cipanas, Jawa Sarat terdapat ras 0; 1;
2~
1.2; 1.3; 1.2.3 dan 5 pada
tahun 1982 diternpat yang sarna Suhardi menemukan ras nya menjadi lebih banyak yaitu ras
O~
I; 4; 5; 10; 11; 1.2; 1.4 dan 1.2.4. Terbentuknya gen baru
pada patogen karen a adanya tekanan seleksi akibat gen tahan pada inang. Menurut Deahl dan Jones (1999), di Amerika pada periode talum 1970an dan 1980an, penyakit hawar daun ini bukan merupakan masalah utama. Namun, pada tabun 1990an penyakit ini mWlcui dan menyebabkan kehilangan produksi yang serms. Pada talmn 1991 dan 1993 terjadi epiderni di Amerika Timur serta 1994 di Kanada Barat. Pada tahun 1995, penyakit ini muncul di Amerika Sarat yaitu di daerah Idaho dan Oregon.
Serkembangnya penyakit ini dengan cepat
18
disebabkan terjadinya perubahan genotipa.
Analisis yang dilakukan dengan
menggunakan Allozim dan sidik jari DNA menunjukkan genotip yang barn terbentuk ini mempunyai dri-cin lebih agresif, kuat, dan lebih virulen. Meningkatnya jumlah type mating A2 akan meningkatkan kemampuan uotuk memproduksi secara seksual dan rneningkatnya ketahanan terhadap fimgisida
tertentu (Deahl dan Jones, 1999). Di Indonesia belum dilaporkan tentang adanya type mating A2, letapi dengan adanya impor bibit kentang dari Eropa dan
Australia yang telah mempunyai type mating A2, kemungkinan juga type mating A2 terdapat di Indonesia.
Ketahanan Kentang Terbadap Penyakit Hawar Daun
Pada tanaman kentang dikenal dua jenis ketahanan yailu ketahanan ras spesifik dan ketahanan ras tidak spesifik atall disehut juga sebagai resistensi horizontal, resistensi partial, resistensi umum atall resistensi Iapang (Mandoza, 1993; Wastie, 1991).
1. Ketahanan ras spesifik Ketahanan ras spesifik adalah ketahanan dimana seliap gen tahan pada tanaman, mempunyai lawannya gen virulen pada patogen. Ketahanan ras spesifik akan efektif melawan satu atau beberapa ras patogen tergantung gen taban pada tanaman inang dan gen virulen pada patogen, tetapi tidak efektif melawan ras yang tidak cocok dengan gen taban pada kentang (Wastie, 1991). Resistensi ras spesifik biasanya diwariskan sebagai gen dominan tunggal. Pada tanaman kentang dikenal ada ligen R untuk ketahanan ras spesifik P. infeslans yang berasal dari spesies Solanum demissum.
Gen tahan akan memberikan respon hipersensitif
dengan pembentukan nekrotik pada sel yang te1ah dimasuki patogen, baik didaun, batang dan umbi (Wastie, 199C Umaerus dan Umaerus, 1994).
Umumnya
ketahanan vertikal menghambat perkembangan epidemi dengan membatasi inokulum awal. Spesies S. demissum digunakan sebagai sumber primer resistensi karena spesies tersebut lebih mudah disilangkan dengan S. luberosum (Poehlman dan Bortakur, 1969).
Friend, (1991) mengatakan bahwa reaksi hipersensitif
mencakup semua perubahan morphologis dan histoiogis yang disebabkan oleh suatu agen infeksi yang mendatangkan kematian jaringan yang diinfeksi sebelwn
19
waktunya dan tidak aktifuya agen infeksi, disamping itll adanyanya fitoaleksin. Selanjutnya Friend, (1991) mengemukakan bahwa proses oyata pada kematian sel
karena hipersensitif dicirikan agregasi sitopiasma, penghentian aliran sitopiasma, hilangnya penneabilitas membran dan adanya
reaksi~reaksi
yang membutuhkan
energi. Ketahanan ras spesifik sangat cepat menjadi tidak efektif karena adanya perubahan didalam populasi patogen (Wastie, 1991).
2. Ketahanan ras tidak spesifik Resistensi lapang dapat didefenisikan sebagai kemampuan tanaman inang untuk membatasi perkembangan dari banyak isolat cendawan yang berbeda ras (Umaerus dan Umaerus, 1994). Ketahanan ras tidak spesifik adalah ketahanan
yang dikontrol banyak gen (poligenik). Ketahanan ras tidak spesifik, tidak melindungi tumbuhan dari infeksi tetapi memperlambat perkembangan infeksi
sehingga akan menwunkan penyeharan penyakit dan perkembangan epidemi di lapangan. Ketahanan ras tidak spesiftk bersifat lebih lama dan mempunyai reaksi beragam terhadap patogen di bawah kondisi lingkungan yang berbeda sehingga patogen harns melalui lebih banyak mutasi agar ketahanan inang patah seeara menyeluruh.
Menurut Umaerus (1970) ketahanan horizontal dicirikan dengan
sedikitnya jurnlah bercak yang terbentuk, lambatnya terbentuk nekrotik dan pertumbuhan miselium di dalam jaringan, sedikitnya sporulasi dan lamanya waktu untuk pembentukan sporangium.
Mekanisme Ketahanan Tanaman Kentang Kemarnpuan tanaman untuk menghambat patogen menirnbulkan penyakit tergantung
pada
ketahanannya.
Stromberg
(1994)
melaporkan
bahwa
pembentukan jaringan papila pada tanaman kentang yang terinduksi sifat ketahanannya akan meningkat dan tetjadinya lebih awal dibandingkan dengan tanaman yang tidak terinduksi. Mekanisme ketahanan tanaman dikenal 2 jenis yaitu ketahanan pasif dan ketahanan aktif.
1. Ketahanan pasif. Setiap tanarnan memlliki hambatan struktural dan senyawa-senyawa toksik yang dapat membatasi keberhasilan infeksi.
Ketahanan ini sudah ada sebelurn
terjadi infeksi. Hambatan struktural dapat berupa lapisan liIin, jurnlah stomata,
20
ketebalan kutikula pada sel epidennis dan trikom (Stromberg, 1994). Sedangkan
senyawa-senyawa yang dapat menghambat patogen misalnya senyawa fenol, ester dan asam-asam tertentu (Agrios, 1988). 2. Ketahanan Aktif.
Ketahanan aktif adalah pertahanan yang muneul sesudah teIjadi serangan patogen. Pertahanan aktif dapat berupa ketahanan mekanis dan kemis. Pertahanan mekanis aktif yaitu ketahanan yang bersifat histoiogis seperti pembentukan
lapisan gabus, tilosis, dan sel-sel yang berisi gom, Sedangkan pertahanan kimiawi aktif hanya beketja jika inang mengalami invasi patogen dan merupakan hasil interaksi antara sistem genetik inang dan patogen.
Pada tanaman fentan, hubungan inang patogen bersifat kompatibel, sehingga patogen dapat masuk dan meluas dalam jaringan inang tanpa hambatan (Wheeler, 1975)_ Sedangkan pada tanaman taban, patogen akan terhambat pertumbuhan dan perkernbangarmya di dalam jaringan mang, hal ini dikarenakan sel-seI di sekitar patogen akan kehilangan turgornya, berwama coklat, berbentuk butiran dan sel mati dengan cepat dan peristiwa ini yang disehut reaksi hipersensitifitas
(Hypersensitive Reation, HR) (Goodman dan Novacky, 1996). Menurut Agrios (1988), reaksi hipersensitifitas didefinisikan matinya sel inang dengan cepat sesudah kontak dengan patogen.
Reaksi hipersensitif meliputi hilangnya
penneabilitas membran sel, meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol dan pembentukan fitoaleksin.
Tomiyama, et aI., (1979),
mengemukakan bahwa reaksi hipersensitif merupakan tahap awal dalam seri reaksi yang menimbulkan akumulasi fitoaleksin, yang kemudian mematikan patogen yang menyerang. Patogen yang menyerang tanaman taban dan rentan, mengakibatkan banyak gen diaktiikan, sebingga menimbulkan akwnulasi dari protein PR (Pathogenesis·
Related) dan metabolisme sekunder seperti fitoaleksin dan lignin (Peterse, et af., 1992). Fitoaleksin adalah molekul antimikrobial yang diproduksi oleh tanaman pada saat infeksi (Huang, 2001).
Tanaman Solanaceae banyak mensintesa
fitoalek.sin dan terpenoid (Kuc, 1982). FitoaJeksin yang diturunkan dari jalur phenylpropanoid menghasilkan senyawa metabolit sekunder seperti, flavans, flavanones, dan antosianidin. Flavanones terdapat pada tanaman Beta vulgaris dan
21
padi, sedangkan anthosianidin banyak terdapat pada shorghurn (Huang, 2001). Fitoaleksin yang diturunkan dari jalur mevalonic acetic acid menghasilkan senyawa terpenoid. T erpenoid merupakan senyawa yang berhubungan dengan
jumlah atom carbon. Terpenoid dengan atom C w, C15, C20, C25, dan
C~O
disebut
dengan mono, sesqui, di, sester, dan triterpenoid (Huang, 2001). ASaIn absisic
adalah sesquiterpene diturunkan dan Farnesyl pyrophosphate (FPP), sedangkan gibberelin (e22 ) merupakan diterpenoid dihasilkan dari Geranyl Geranyl Pyrophosphate (GGPP) (Huang, 2001). Beberapa senyawa sesquiterpenoid seperti, phytuberin, lubimin dan reshitin., banyak terdapat pada
yang
taban
terhadap
penyakit
hawar
daun
(Kuc,
umbi kentang
1982).
Fitoaleksin
sesquiterper10id dihasilkan dalam jaringan sehat disekitar tempat infeksi dan kemudian ditransfort ke sel yang mengalami pencoklatan dimana senyawa ini dapat terakumulasi daJam konsentrasi yang tinggi (Sata, et al., 1971). Rohwer et
ai., (1987) meneliti akumulasi fitoaleksin dalam interaksi kompatibel dan inkompatibel, mereka menemukan bahwa pada umbi
kentang akumulasi
sesquiterpenoid lebih cepat tetjadi pada internksi inkompatibeI dibandingkan dengan interak:si kompatibel, sedangkan pada daun yang diinfeksi, fitoaleksin sesquiterpenoid tidak dapat dideteksi. Hasil ini menunjukkan bahwa pada daun, fitoaleksin sesquiterpenoid tidak didapat untuk: ketahanan melawan P. i'!festans. Protein PR adalah keiompok protein karakteristik dari tanarnan yang terakumulasi setelah adanya infeksi.
Kombink et al. (1988) mengidentifikasi
sejwnlah protein PR yang terakumulasi dalam ruang interseluler dari daun kentang setelah diinokulasi dengan P. injestans. Beberapa protein PR, misalnya 1.3-p-glucanase
dan kitinase dapat mendegradasi dinding set cendawan.
Komponen utama dinding sel P. i'!testans adalah l.3-p-glucan, sedangkan kitin tidak didapat pada dinding seI cendawan (Alexopoulus, et ai., 1996; Erwin dan Ribeiro,
1996),
oleh
karena
itu
hanya
1.3-p-glucanase
yang
mampu
menghidrolisis dinding set P. infestans.
Penganlh Umur Tanaman terbadap Ketahanan Di Eropa, Amerika Serikat dan Kanada panjang musim menanam kentang berkisar antara 75 sampai 150 hari, tergantung letak lintang. Bagi daerah yang
22
bennusim pendek, banya dapat ditanami dengan kentang berumur genjah, sedangkan di daerah yang bennusim panjang, dapat ditanami kentang dengan
berhagai kelompok umur, rnulai dari genjah sampai sangat dalam. Klassifikasi urnur tanaman kentang antara Eropa Timur dan Anglosaksen
berbeda (Lisinska dan Leszczynski, 1989).
OJ Eropa Timur, pernbagian
kelompok kultivar menurut umur adalah sebagai berikut: (I) Genjah berumur
antara 60 sampai 95 hari, (2) Agak genjah berumur antara 95 sampai 125 hari, (3) Agak dalam bennnur antara 125 sampai 135 hali, (4) Dalam berumur 135 sarnpai
145 han, (5) Sang.t dalam berumuf 145 sampai 155 han. Sedangkan di AngloSaksen pembagian kelompok umur dan skoT adalah sebagai berikut: (I) Sangat genjab dengan skor 9 berumur ± 60 han, (2) Genjab dengan skof 8 berumur ± 75
han, (3) Agak genjab dengan skof 7 berumur ± 90 han, (4) Antara .gak genjab dan agak dalam deng.n skof 6 berumur ± 105 han, (5) Agak dalam dengan skof 5 berumur ± 120 hari, (6) Dalam, dengan skoT 4 berumur ± 135 hari, (7) Sangat dalam, dengan skor 3 berumur ± 150 han. Menurut Guzowska (1999) ketahanan varietas berhubungan dengan umur tanaman. Umurnnya kultivar yang berumur dalam lebih tahan terhadap penyakit hawar daun dibanding dengan kultivar yang berumur genjah. Lapwood (1961) juga mengernukakan bahwa kultivar yang berumur pendek rentan terhadap P.
infestans, sedangkan kultivar yang berurnur dalam lebih taban. Hal ini telah diteliti oleh Lande dan Hanneman yang rnenggunakan varietas Andigena yang beruruur dalam (l50-180 hari) (Sab.t dan SunaIjono, 1989). Has;! penelitian yang dilakukan pada periode tabun 1960 sampai I 970an di Belarusia oleh Anoshenko (I 999) didapat bahwa P.
infestans rnenyerang tanarnan di awal periode
perturnbuhan vegetatif dan menyerang daun atas pada tanarnan rnuda, tingkat kerusakan daun tersebut dapat rnencapai 80-100% untuk varietas yang genjah dan 70-80% untuk varietas yang berumur sedang dan dalarn. Menurut Moore (l982) tanaman yang mendapat penyinaran 12 janvhari banyak rnengandung senyawa asam absisic, sedangkan dengan penyinaran 16 jamlhari banyak rnengandung asarn giberellin. Asam absisic dan giberellin rnerupakan senyawa yang tergolong kedalarn
fitoaleksin.
Fitoaleksin
rnerupakan
senyawa
antimikrobial yang
23
diproduksi dan diakumulasikan didalam sel tanaman pada saat infeksi (Huang, 2001; Paxton, 1981).
Metoda Vji Ketabanan Tanaman terhadap Penyakit Pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat dilakukan di Japang
maupun di laboratorium. Pengujian ketahanan di Japang merupakan pengujian yang paling baik, karena serangan penyakit pada tanaman terjadi secara alami. Patogen yang menyerang tanaman merupakan patogen yang ada di iapang, tanpa melakukan inokulasi. Tanaman tahan hasil pengujian seeara alami, mencenninkan
ketahanan karena adanya kandungan pengujian ini ialah membutuhkan
gen pada tanaman. Kelemahan metoda
tempat, waktu dan tenaga serta dana yang
sangat besar terutama bila rnenguji tanaman dalam populasi hesar sehingga tidak efisien, disamping itu pengaruh lingkungan seperti kelembaban dan temperatur
dapat mengurangi keakuratan hasil yang didapat LingklUlgan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman maupun patogen, dapat mempengaruhi pola interaksi
patogen tanaman sehingga menimbulkan lolos penyakit. Tanaman seolah-olah tahan terhadap penyakit tetapi sebenarnya hanya berupa lolos penyakit saja, hal
ini dapat tetjadi karena lingkungan tumbuh tidak mendukung untuk pertumbuhan patogen, terutama kelembaban. Pengujian ketahanan di rumah kasa merupakan pengujian yang mendekati pengujian di lapang, tetapi patogen yang menyerang tanaman diberikan melalui inokulasi dengan mengatur jwnlah popuJasi awal dan jenis ras.
Kelemahan
metoda ini juga tidak efisien hila digunakan untuk menguji populasi tanaman dalam jumlah besar. Pengujian ketahanan secara kultur jaringan adalah pengujian di laboratirnm yang dilakukan di dalam botol kultur. Kentang ditanam di lingklUlgan terbatas, diharapkan bebas dari hama dan penyakit penting. Faktor-faktor abiotik untuk perttnnbuhan optimal dapat dikontrol dan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Seleksi ketahanan tanaman kentang terhadap penyakit busuk. daun secara kultur jaringan merupakan salah satu metoda yang memberikan harapan, karena mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat mengurangi kemlll1gkinan teljadinya 1010s penyakit yang biasa terjadi pada pengujian melalui inokulasi
24
aJami di lapang. Patogen yang menyerang tanaman di dalarn botol hanya berasal dari sumber inokulum yang diinokulasikan ke tanaman sesudah diketahui populasi
dan ras yang dikandungnya, sehingga potensi ketahanannya teruji dengan book.
Metoda ini mudah dikeIjakan. Metoda pengujian secara kultur jaringan sudah dilakukan olell Carlson (1973), Gengenbach dan Green (1975), Matern, ef al., (1978) Pullman dan Rappaport (1983), Thanutong, ef al., (1983), Buiatti, ef at, (1985), Foroughi-Wehr, ef al., (1986), Levoivre, ef al., (1986). Metoda yang dilakukan dalam penelitian mereka dapat dikelompokkan ke dalam doa sistem yaitu sistem dual-media dan sistem penyemprotan spora Sistem dual-media tidak dapat
dilihat atan dievaluasi perkembangan
penyakitnya.
Pada sistem
penyemprotan dinyatakan kurang praktis. Kedua sistem tnl belum pernah
dikorelasikan dengan pengujian rumah kasa atall Japang. Pengujian ketabanan dengan menggunakan dann dipetik merupakan pengujian lain yang Juga dilakukan di laboratoriurn. Pengujian ini hanya menggunakan daun yang sudah dilepaskan dari tanaman utub. Penggunaan pengujian ini diharapkan dapat menggantikan dua metoda terdahulu, karena dana yang dibutuhkan dengan metoda ini dapat lebih minimal. Metoda kultur jaringan membutuhkan dana yang cukup besar untuk. pengadaan bahan media untuk tumbuh tanaman, dan ruangan steril yang dilengkapi dengan pendingin ruangan, tetapi dengan metoda dalUl dipetik kondisi seperti itu tidak dibutuhkan. Ketiga
metoda uji ioi belum. pemah di uji korelasioya satu sarna lain, apakah ke 3 metoda uji dapat memberikan hasi) yang sarna akuratnya.