MUBYARTOInstitute
eBulletin MUBINS n Edisi 002 n Juni 2012 http://www.mubyarto.org/swara33
SwARA33 Kemakmuran Untuk Semua
Revrisond Baswir
n
Selamatkan Koperasi ! Awan Santosa
n
Koperasi dan Ekonomi Konstitusi Sri Edi Swasono
n
Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia? DIALOG
Koperasi Sebagai Mata Kuliah di Universitas:
Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia? Sri Edi Swasono
Koperasi Sepakbola Istianto Ari Wibowo
Dr. Revrisond Baswir, MBA
KEBANGKITAN
KOPERASI INDONESIA Aksi Opini Refleksi
Bangkit Setelah 23 Tahun Bertahan dalam Keterbatasan • Koperasi Annisa, Eksis dengan sistem syariah Pasar Tradisional dan Ritel Modern • Mewujudkan Misi Pasar Ampera, Merauke Dari Ilmu Berkompetisi Ke Ilmu Berkoperasi
Penanggung Jawab Dumairy Fahmy Radhi Noer Soetrisno Pemimpin Umum Satriyantono Hidayat Pemimpin Redaksi Awan Santosa wakil Pemimpin Redaksi Puthut Indroyono
Daftar Isi Pengantar Redaksi 3 Selamatkan Koperasi, Selamatkan Konstitusi Awan Santosa
Perspektif : Kebangkitan Koperasi Indonesia
Redaktur Istianto Ari Wibowo, Tarli Nugroho, Pusoko Nur Seto
4
Artistik Junaedi Ghazali Ferdi Nur Arifin
10 Koperasi Dan Ekonomi Konstitusi
Fotografer Remo Adhy Pradana Sekretariat Deviana Alamat Redaksi Mubyarto Institute Jalan Mahoni, Bulaksumur B-2 Yogyakarta 55281 Telp./Fax. : 0274-555664 Email :
[email protected] Website: http://www.mubyarto.org SWARA33 adalah buletin elektro nik dwibulanan yang menyediakan info tentang fokus, opini, aksi dan warta gerakan ekonomi rakyat dan pengamalan pasal 33 UUD 1945 di Indonesia. Buletin disediakan gratis dan dapat diunduh melalui website http://www.mubyarto.org/swara33 Redaksi menerima kontribusi naskah dari dalam dan luar Mubyarto Institute, baik berupa hasil penelitian atau gagasan yang sesuai dengan visi dan misi Mubyarto Institute. Naskah dikirim ke alamat email redaksi, ditulis menggunakan aplikasi pengolah kata populer (mis. MS Word, StarOffice). Sertakan foto atau ilustrasi (gambar atau grafik) yang diperlukan serta biodata lengkap dan foto penulis. Naskah yang masuk menjadi milik redaksi dan keputusan pemuatan sepenuhnya menjadi wewenang redaksi. Tulisan yang dimuat tidak dengan sendirinya merupakan pendapat resmi Mubyarto Institute / Yayasan Mubyarto. Donasi dapat disalurkan melalui Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n. YAYASAN MUBYARTO No. 185.381.335 FOTO SAMPUL : Remo Adhy P. LOKASI : Kranggan
Selamatkan Koperasi Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia? Revrisond Baswir Awan Santosa
12 Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia?
Revrisond Baswir
14 Koperasi Sepakbola
Istianto Ari Wibowo
Dialog 17 Dr. Revrisond Baswir, MBA
Aksi 19 Koperasi Annisa, Eksis dengan sistem syariah
Ellya Kumalasari
20 Bangkit Setelah 23 Tahun Bertahan dalam Keterbatasan Pusoko Seto
Opini 22 Pasar Tradisional dan Ritel Modern
Ellya Kumalasari
24 Mewujudkan Misi Pasar Ampera, Merauke
Puthut Indroyono
Warta 27 Pustek UGM Buka Sekolah Pasar Untuk Pedagang
Refleksi 28 Dari Ilmu Berkompetisi Ke Ilmu Berkoperasi Mubyarto
Profil Advertorial SWARA33
Pengantar Redaksi Selamatkan Koperasi Selamatkan Konstitusi
s
wara 33 edisi kali ini mengangkat kebangkitan koperasi Indonesia. Tak berlebihan karena amanat dan cita-cita Pasal 33 UUD 1945 adalah Indonesia berkoperasi. Sayang, prakteknya hari ini sungguh jauh panggang daripada api. Berbagai sektor strategis Indonesia malah jatuh ke tangan korporasi, lebih menyedihkan lagi karena sebagian besarnya berasal dari luar negeri. Mengapa di negeri Pancasila ini justru banyak yang mati suri, disorientasi, dan bahkan dalam beberapa kasus berubah menjadi tiran mini? Padahal di negeri-negeri lain yang kita kenal begitu mengagungkan kebebasan pribadi seperti AS, Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Jepang, dan Spanyol, justru koperasi tumbuh, besar, dan menjadi sokoguru ekonomi. Swara33 edisi ini berupaya menjawab kontradiksi ini. Berdasarkan kajian lapangan, pendapat para ahli koperasi masa kini, serta refleksi pemikiran Bapak Koperasi Indonesia, Muhammad Hatta dan penerusnya Mubyarto disarikan beberapa jawaban berikut ini: Pertama, telah terjadi “penghancuran” koperasi dimulai dari penyusunan regulasi koperasi yang justru menyesatkan arah dan pergerakan koperasi Indonesia. Regulasi koperasi tersebut menempatkan koperasi sebagai kepanjangan tangan penguasa, yang berkolaborasi dengan korporasi besar dari dalam dan luar negeri. Gerakan koperasi ter-subordinasi dan makin kehilangan jati diri. Kedua, surutnya gerakan koperasi karena pendidikan Indonesia yang makin dijauhkan dari cita-cita koperasi. Anak-anak muda Indonesia dibuat a-histori, tak paham amanah dan cita-cita konstitusi, dan akhirnya a-priori dengan gerakan koperasi. Koperasi yang pada awalnya menjadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi kini boleh dipelajari atau tidak sesuka hati. Yang diutamakan adalah ajaran untuk bersaing, bukan berkooperasi. Ketiga, semakin banyak koperasi Indonesia yang hidup dengan hipokrisi. Koperasi hanya papan nama dan badan hukum semata, esensinya sangat jauh dari prinsipprinsip dasar dan jati diri koperasi. Mulai dari keanggotaan eksklusif dan tersekat-sekat profesi, pengelolaan elitis, tergantung kapitalisasi di luar koperasi, tanpa pendidikan anggota, dan sangat minim kooperasi antar gerakan koperasi.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Keempat, deregulasi ekonomi melalui serangkaian liberalisasi dan privatisasi makin menjadikan ekonomi Indonesia berwatak kolonial, sehingga menjadi lahan gersang bagi gerakan koperasi. Berbagai UndangUndang terkait pengelolaan ekonomi nasional yang hampir semuanya dibiayai dan disusun pihak luar negeri sangat menyimpang dari amanat konstitusi, sehingga makin menyudutkan koperasi hanya sebagai pemain peri-peri. Telah nyata kini akibat dari berbagai pengkhianatan amanat konstitusi untuk berkoperasi, yaitu keterhisapan dan keterpurukan ekonomi rakyat Indonesia di berbagai lini. Oleh karenanya kami memandang urgensi penyelamatan koperasi Indonesia, yang sekaligus sebagai upaya penyelamatan ekonomi konstitusi Indonesia. Hal tersebut perlu ditempuh dengan beberapa upaya sebagai berikut: Pertama, UU koperasi yang saat ini tengah dibahas Pemerintah dan DPR hendaknya sejalan dengan prinsip-prinsip, jati diri, amanat, dan cita-cita Indonesia berkoperasi. Kedua, penggeloraan kembali pendidikan ekonomi koperasi baik di sekolah lanjutan maupun perguruan tinggi. Ketiga, pelurusan gerakan koperasi Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip dasar koperasi sejati, Keempat, perjuangan anti-kolonisasi baru di berbagai lini, dan Kelima, pemberdayaan koperasi rakyat oleh perguruan tinggi. Demikian, hanya dengan kembali pada amanah dan cita-cita konstitusi Indonesia berkoperasi maka akan terwujud kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga. Awan Santosa Pemimpin Redaksi
3
Perspektif
Dr. Revrisond Baswir, MBA
Selamatkan koperasi!
P
ro kontra ekonomi kerakyatan versus neoliberalisme relevan dikaitkan dengan koperasi. Penjelasannya sederhana. Walau bukan satu-satunya unsur penting ekonomi kerakyatan, harus diakui koperasi primadona ekonomi kerakyatan. Hal itu dapat disimak pada bunyi Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 berikut, “Perekonomian disusun sebagai usaha ersama berdasar atas azas kekeluargaan.” Bung Hatta berulang kali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” ialah koperasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 (sebelum dihapuskan), tercantum kalimat, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu [ekonomi kerakyatan], ialah koperasi.” Artinya, dalam sistem ekonomi kerakyatan, koperasi tidak hanya diakui sebagai bentuk perusahaan yang ideal, tetapi sekaligus ditetapkan sebagai model mikro sistem perekonomian. Sebab itu, mudah dipahami bila Bung Hatta berkata, “Jadinya Indonesia ibarat satu taman yang berisi pohonpohon koperasi, yang buahnya dipungut oleh rakyat yang banyak,” (Hatta, 1932). Pertanyaannya, di tengah-tengah situasi perkoperasian Indonesia yang terus-menerus mengalami penggerogotan jati diri sebagaimana berlangsung 42 tahun belakangan ini, relevankah berharap kehadiran ekonomi kerakyatan sebagai alternatif sistem perekonomian kita? Sebagian besar di antara kita mungkin menjawab “tidak.” Tapi nanti dulu. Jawaban yang lebih tepat, saya kira, harus dicari dengan menelusuri latar belakang penggerogotan jati diri koperasi. Faktor apa yang memicu penggerogotan jati diri koperasi, yang sepintas tampak alamiah? Jawabannya dapat ditelusuri pada penerbitan UU Koperasi No. 12/ 1967. Sebagaimana UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang membatalkan UU No. 16/1965 tentang pengakhiran segala bentuk keterlibatan modal asing, UU Koperasi No. 12/1967 adalah pengganti UU Koperasi No.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Foto: Remo 14/1965. Artinya, dalam pandangan sepintas, dengan dapat disaksikan penerbitan UU Koperasi No. 12/1967 hampir mustahil bisa dipisahkan dari proses peralihan kekuasaan dari pemerintahan Soekarno yang kekiri-kirian, ke pemerintahan Soeharto yang pro-AS. Perubahan mendasar apakah yang terjadi dalam UU Koperasi No. 12/1967? Saya tidak membandingkan UU Koperasi pemerintahan Soeharto itu dengan UU Koperasi No. 14/ 1965. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih objektif, saya akan membandingkannya dengan UU Koperasi No. 79/1958.
Penggerogotan sistematis Satu hal mendasar dalam koperasi adalah kriteria keanggotaannya. Dalam UU Koperasi No. 79/ 1958, kriteria keanggotaan koperasi diatur dalam Pasal 18. Bunyinya, yang dapat menjadi anggota koperasi adalah yang “mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang diselenggarakan oleh ko-perasi.” Artinya, sesuai dengan penjelasan Bung Hatta mengenai perbedaan koperasi dengan perusahaan perse-
4
Perspektif roan, “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama” (Hatta, 1954). Bandingkanlah hal itu dengan kriteria keanggotaan koperasi dalam UU Koperasi No. 12/1967. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11, keanggotaan koperasi “didasarkan pada kesamaan kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi.” Selanjutnya, menurut Pasal 17, yang dimaksud dengan anggota yang memiliki “kesamaan kepentingan” adalah “suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan aktivitas/ kepentingan ekonominya.” Implikasi perubahan kriteria keanggotaan itu adalah pada berubahnya corak koperasi yang berkembang. Sebelum 1967, koperasi cenderung berkembang berdasarkan jenis usahanya. Setelah 1967, jenis koperasi yang tumbuh pesat adalah koperasi golongan fungsional seperti koperasi PNS, koperasi angkatan bersenjata, koperasi karyawan, dan koperasi mahasiswa.
dengan penguasa domestik, untuk membunuh ekonomi kerakyatan dan mengembangkan neoliberalisme. Sebagai bagian integral dari perlawanan terhadap neoliberalisme, penyelamatan koperasi dengan cara memulihkan jati dirinya mutlak dilakukan. Ajakan ini tidak tertuju kepada warga koperasi yang telah terkontaminasi oleh neoliberalisme, tetapi kepada mereka yang masih setia pada cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi yang asli. Dirgahayu koperasi Indonesia! Revrisond Baswir Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Yang mencolok adalah pembentukan induk-induk koperasi dalam lingkungan angkatan bersenjata. Jika koperasi-koperasi golongan fungsional yang lain tergabung dalam satu induk koperasi, dalam lingkungan angkatan bersenjata terdapat enam induk koperasi, yaitu Induk Koperasi Angkatan Darat, Induk Koperasi Angkatan Laut, Induk Koperasi Angkatan Udara, Induk Koperasi Kepolisian, Induk Koperasi Purnawirawan ABRI, dan Induk Koperasi Veteran. Karena keanggotaan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) diwakili oleh induk-induk koperasi dan Dewan-dewan Koperasi Wilayah, sejak 1967, kepengurusan gerakan koperasi cenderung didominasi oleh keluarga besar angkatan bersenjata. Bersamaan dengan itu, koperasi yang secara yuridis dideklarasikan sebagai gerakan ekonomi rakyat, maka dalam era pemerintahan Soeharto berubah fungsi menjadi alat kekuasaan. Pada 1992 memang terbit UU Koperasi No. 25/1992. Namun, secara substansial tidak terjadi perubahan apa pun mengenai kriteria keanggotaan koperasi. Puncak penggerogotan jati diri koperasi bahkan terjadi pada Juli 1997, 10 bulan sebelum kejatuhan Soeharto, yaitu ketika Dekopin menganugerahkan gelar Bapak Penggerak Koperasi kepada Soeharto. Sejak kejatuhan Soeharto, koperasi praktis terlupakan. Lebih-lebih setelah berlangsung amendemen Pasal 33 UUD 1945 pada 2002. Dengan dihapuskannya penjelasan Pasal 33 UUD 1945, maka penggalan kalimat yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi” tadi, turut menguap bersama hilangnya penjelasan tersebut. Penggerogotan jati diri koperasi tidak terjadi secara alamiah, tetapi dilakukan secara sistematis. Tujuannya, sesuai dengan semangat UU No. 1/1967 tentang PMA, untuk melempangkan jalan bagi masuknya modal asing. Jika dilihat dari sudut prokontra ekonomi kerakyatan versus neoliberalisme, penggerogotan jati diri koperasi yang telah berlangsung 42 tahun itu harus dilihat sebagai upaya sistematis pihak kolonial, yang berkolaborasi
SWARA33 | 002 | Juni 2012
5
Perspektif
Awan Santosa, S.E, M.Sc
KOPERASI
Dan Ekonomi Konstitusi
Foto: Remo
K
operasi Indonesia hari ini selayaknya kebanyakan mushola di hotel berbintang, yang selalu terpojok di sudut-sudut ruang jauh dari pandangan. Selain terlalu minimnya kisah sukses bertaraf nasional, mungkin juga karena yang ada justru rapot merah dan selusin masalah yang selalu mencuat ke permukaan.
Ironis lagi melihat usaha kecil tersebut yang hanya menyumbang (menikmati) 37,6% ”kue produksi nasional” dibanding minoritas usaha besar (0,1%) yang menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama (naik 3,6% dibanding tahun 2003). Dapat diperkirakan yang disumbang (dinikmati) anggota koperasi Indonesia jauh lebih kecil lagi.
Lihatlah misalnya betapa malang nasib ratusan KUD di Propinsi DIY yang “gulung tikar” karena ditinggal “bantuan pemerintah”. Pun, 25% dari .1.900 koperasi yang ada di Propinsi ini tinggallah “papan nama”-nya saja.
SHU nasional koperasi pun baru sekitar Rp. 2,1 trilyun yang misalnya saja dibagi rata sebanyak jumlah anggota maka masing-masing hanya akan mendapat Rp 80.157,- per tahun!. Omzet koperasi nasional pada tahun yang sama juga baru sebesar Rp. 37,6 trilyun atau sebesar Rp. 1,4 juta per anggota per tahun.
Statistik nasional kiranya belum bercerita indah tentang koperasi. UMKM Indonesia pada tahun 2009 berjumlah lebih dari 48,9 juta (99,9%), yang jika satu UMKM menghidupi 4 orang maka 198,8 juta orang Indonesia hidup dari UMKM! Hal ini kontras dengan jumlah anggota koperasi yang saat ini baru mencapai 29 juta orang.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Lalu, atas sebab alamiahkah masih jauhnya keadaan koperasi dari cita-cita konstitusi; tersebut? Kiranya bukan, karena ekonomi Indonesia memang tidak berkembang secara alamiah, bahkan sampai hari ini. Bagaimana bisa?
6
Perspektif Lahan Gersang Bagi Koperasi
Hipokrisi Dalam Berkoperasi
Koperasi diperjuangkan para Pendiri Bangsa untuk mengoreksi ketimpangan struktural warisan sistem ekonomi kolonial di masa lalu. Pada waktu itu ekonomi rakyat (pribumi) berada di bawah hisapan kaum perantara (Timur Asing) dan Bangsa Eropa. Oleh karenanya, mereka yakin bahwa tegaknya sistem ekonomi nasional (sesuai Pasal 33 UUD 1945) adalah prasyarat tumbuh-kembangnya gerakan koperasi Indonesia.
Di bawah struktur ekonomi dan pemikiran warisan kolonial tersebut koperasi tidak dapat berkembang sewajarnya. Koperasi pun belum sepenuhnya mampu sekedar menandingi kapitalis kecil sekelas tengkulak, pengijon, dan rentenir yang masih menghantui rakyat kecil di banyak pelosok negeri. Kenapa?
Kini kita menyaksikan betapa masih kukuhnya ketimpangan struktur ekonomi Indonesia hari ini. Lebih menyedihkan lagi karena lapisan atas ekonomi kita masih dikuasai ”penguasa lama”. Kenapa? Sekedar tahu saja, 70% kapitalisasi di Pasar Modal (BEJ) dikuasai oleh pemodal asing. Bukan hanya itu, korporasi asing pun sudah menguasai 85% pengelolaan migas Indonesia. Neokolonialisme ini seolah disempurnakan dengan dikuasainya lebih dari separuh perbankan di Indonesia (FRI, 2007). Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak kian ditentukan oleh orang-perorang (asing lagi). Tidak cukup tersedia lagi kebebasan untuk merancang masa depan sendiri. Kekuatan persamaan, kebersamaan, dan persaudaran manusia pun justru kian dikebiri. Dan ini adalah pukulan telak bagi gerakan koperasi! . Koperasi tidak mungkin tumbuh subur di atas lahan gersang akibat neokolonialisme. Lihatlah koperasi yang maju pesat di negara lain; seperti di Belanda, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi di negara berbasis koperasi. Adakah ekonomi mereka tergantung pada bangsa lain? Adakah SDA mereka masih banyak dikuasai pemodal asing? Adakah mereka menelan mentah-mentah paham globalisme ekonomi (pasar bebas)? Jawabannya jelas: tidak! Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panjipanji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Pemerintah dan DPR, alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing). Tahun lalu mereka mengesahkan Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualisme yang sampai kapanpun akan menjadi lawan koperasi.. Hingga kini pun pemerintah terus setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu semua hal yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi? Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya tidak perlu banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka ”mendiamkan” proses de-nasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Lihatlah kebersatuan yang masih lemah di antara koperasi Indonesia. Koperasi terjebak pada fungsionalisme, di mana yang justru dikembangkan adalah koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri, koperasi tentara, ataupun koperasi mahasiswa. Kelas-kelas ekonomi ini membangun sekat-sekat di antara mereka. Koperasi seperti ini jelas tidak akan pernah besar dan mampu menandingi kekuasaan (modal) korporasi. Terlalu banyak pemodal besar yang berpura-pura berkoperasi. Mereka membuat koperasi angkutan, koperasi taksi, dan koperasi lainnya yang lebih cocok disebut sebagai ”persekutuan majikan”. Koperasi Indonesia tidak akan berkembang di atas penyimpangan prinsip dan kepuran-puraan ini. Koperasi harus didasarkan pada basis yang jelas; entah itu secara sektoral maupun spasial. Lihatlah koperasi di negara-negara tadi. Bukankah di sana semua pelaku ekonomi yang terkait dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi suatu komoditi terhimpun dalam koperasi? Bukankah di negara tersebut koperasi yang maju adalah koperasi susu, koperasi karet, koperasi listrik, koperasi kopi, koperasi kayu lapis, koperasi bunga, dan koperasi berbasis komoditi lainnya?. Misalnya juga lihatlah majunya koperasi berbasis wilayah (cooperative-regional) seperti wilayah berbasis koperasi dan industri manufaktu kecil di Emilia Rogmana, Italia atau koperasi wilayah yang berhasil mengintegrasikan sektor industri, pertanian, dan keuangan di Mondragon, Spanyol. Koperasi di Bologna, Emilia Rogmana mampu menguasai 85% distribusi jasa sosial di pusat kota, menguasai 45% PDRB, dan menghasilkan PDRB perkapita tertinggi di Italia. Di wilayah tersebut duapertiga penduduknya menjadi anggota koperasi, keputusan kredit dibuat di daerah, dan didukung University of Bologna yang berspesialisasi dalam Civil Economy and Cooperatives. Memang butuh kemauan besar dari pegiat koperasi, utamanya dari kalangan intelektual, untuk tidak terjebak pada eksklusifisme kelas (elitisme). Mereka, dan melalui gerakan koperasi, dapat mulai merajut kembali jaringan kebersamaan dan kebersatuan ekonomi.
Koperasi dan Ekonomi Konstitusi Upaya memperluas peran koperasi di masa depan perlu dibangun dari dua arah, atas dan bawah secara simultan. Dari atas, jalan baru ekonomi-politik adalah sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Jalan baru ini kiranya jelas harus diikuti dengan kepemimpinan baru dan kehadiran tim ekonomi baru pasca Pemilu 2014 yang dapat memutus mata rantai (siklus) ekonomi neokolonial (neoliberal) di Indonesia.
7
Perspektif Jalan baru ini bukan sekedar menunjukkan mimpi ekonomi Indonesia di masa depan, melainkan jalan mana yang perlu ditempuh untuk mewujudkannya. Sebagai pedoman adalah ”Jalan Baru Pendiri bangsa” yang sudah diletakkan 62 tahun yang lalu dan kita sia-siakan hingga hari ini. Jalan itu ditekadkan untuk mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam konstitusi UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia yang ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terbawah.
City) seperti dengan Propinsi Emilia Romagna atau Mondragon. Hal ini tentu perlu didukung upaya-upaya sistematis untuk melawan neokolonialisme dan menegakkan sistem ekonomi yang nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan sosial di tingkatan makro (nasional). Masa koperasi berjuang kiranya masih akan panjang. Mulailah dari impian seperti apa keberdayaan koperasi Indonesia pada tahun 2030 dan mari wujudkan dalam perjuangan nyata. Awan Santosa, SE., MSc. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) ; Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - UGM ; Pemimpin Redaksi Swara33 - Mubyarto Institute
Jalan itu ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam konstitusi Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945. Jalan baru ini perlu ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang saat ini perlu diseriusi di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi aset strategis bangsa, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reforma agraria sejati. Sementara itu, dari bawah agenda ini dapat dilakukan dengan mengembangkan model daerah koperasi (cooperative-region). Daerah koperasi dibangun berdasarkan model kerjasama antarkoperasi dalam satu siklus ekonomi yang saling berkaitan di daerah tertentu (Kabupaten/Propinsi). Dalam hal ini misalnya dapat diambil koperasi tani (koperasi produksi) dan koperasi buruh (koperasi konsumsi) sebagai basis dan model awal, Di antara kedua koperasi tersebut dihubungkan dengan sebuah MoU, misalnya yang mengatur tentang pembelian beras, sayuran, dan buah-buahan. Berpijak dari pola-pola relasi demokratis antarkoperasi ini maka dapat dipetakan pola hubungan lain yang mungkin dalam satu daerah (wilayah), termasuk misalnya mengintegrasikannya dengan koperasi simpan pinjam ataupun lembaga keuangan yang lain. Peningkatan daya kerjasama (cooperativeness) ini diharapkan mampu meningkatkan peran koperasi dalam penguasaan produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi di daerah tersebut. Supaya terbangun kesamaan persepsi dan tujuan maka agenda ini kiranya dapat dirumuskan dengan indikator kinerja yang lebih terukur ke dalam suatu visi tertentu, misalnya: ”Yogyakarta In-Cooperative 2020”. Sebagai langkah lanjutan dapat dibangun juga kerjasama antardaerah koperasi atau antara daerah koperasi tertentu dengan daerah koperasi di luar negeri (Sister Cooperative
SWARA33 | 002 | Juni 2012
8
Perspektif
Koperasi Sebagai Mata Kuliah di Universitas:
Dapatkah Koperasi Menjadi Pilar Orde Ekonomi Indonesia?
K
operasi Indonesia muncul dalam Pasal 33 UUD 1945. Khususnya dalam Penjelasan-nya. Meskipun Pasal 33 telah diamandemen dan Penjelasan tidak lagi ada namun secara ideologis dan historis-normatif koperasi tidak bisa dilepaskan dari Pasal 33. Bukan Pasal 33 yang melahirkan koperasi, tetapi gerakan koperasilah (yang menyadari makna demokrasi ekonomi di zaman prakemerdekaan) yang melahirkan Pasal 33 UUD 1945.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
9
Perspektif Hingga sekarang UUD 1945 yang telah diamandemen masih merupakan persoalan yang belum berakhir, merupakan pertentangan nasional serius dan masih harus dianggap belum final. Gerakan koperasi harus tetap bertekad memperjuangkan cita-cita dasarnya agar amandemen tersebut diamandemen ulang. Perkataan serta ide dasar koperasi harus tetap diperjuangkan oleh gerakan koperasi agar dapat tercantum kembali di dalam UUD. Tekad ini berdasarkan alasan yang sangat mendasar, yaitu: sesuai dengan kesepakatan 11 Fraksi di MPR maka hal-hal yang bersifat normatif dalam Penjelasan UUD 1945 harus dapat diangkat di dalam pasal-pasal hasil amandemen. “Koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai”, jelas merupakan hal yang normatif. Hal ini telah diingkari oleh MPR/PAH I dan Komisi Amandemen. Dengan demikian koperasi yang berkedudukan sangat sentral di dalam Pasal UUD 1945 (asli) telah disingkirkan, dengan kata lain Pasal 33 UUD 1945 tidak diamandemenkan tetapi telah secara normatif-substantif diubah. Dari kedudukan Koperasi yang ada di dalam UUD 1945, maka koperasi tidak saja berada pada tataran mikro tetapi juga pada tataran makro. Dengan demikian di dalam pengajaran mata kuliah Koperasi, maka silabus mata kuliah Koperasi harus dengan tegas meliputi tataran makro dan tataran mikro.
Pengajaran Mata Kuliah Koperasi Telah dirasakan secara luas bahwa mata kuliah Koperasi merupakan (1) mata kuliah yang berada di “pinggiran”, bahkan terkadangdianggap sebagai mata kuliah inferior, tidak prestigious atau mediocre. (2) Lebih dari itu, sebagaimana dirasakan oleh banyak kalangan, Koperasi tidak mampu memberikan daya tarik pada mahasiswa dan anak didik pada umumnya. (3) Mata kuliah Koperasi acapkali kering akan contoh-contoh dan miskin akan case-studies dan comparative studies yang inspiratif. (4) Mata kuliah Koperasi tidak mampu memberikan ideological bearing yang diperlukan untuk menggugah semangat belajar dan komitmen ilmiah, (5) sehingga tidak dapat menumbuhkan tantangan yang menarik dalam pemikiran ekonomi sesuai dengan tanggungjawab moral bagi tercapainya cita-cita pembangunan nasional. Di samping itu (6) pada umumnya silabi yang disusun oleh para pengajar dan dosen mata kuliah Koperasi tidak mampu menandingi pemikiran ekonomi mainstream yang didominasi oleh sistem ekonomi pasar (liberalisme-kapitalisme), tidak pula mampu menyejajarkan peran ekonomi berwacana “kerjasama” (co-operativism) dengan peran ekonomi yang berwacana “persaingan” (competitionism). Dengan miskinnya contoh-contoh, case-studies dan comperative-studies tentang keberhasilan koperasi, kurang mampunya menetapkan posisi dan prestasi ekonomi dalam struktur perekonomian negara, maka mata kuliah Koperasi tetap berada di pinggir, bahkan sering malahan terkontaminasi oleh nilai-nilai dan pemikiran mainstream (terutama pemikiran neoklasik).
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Kegagalan “mengangkat” mata kulaih Koperasi itu a.l. karena (7) para pengajar dan dosen mata kuliah tersebut tidak memadukan silabi mereka dengan mata-kuliah kuliah lain seperti Ekonomi Pembangunan,Ekonomi Perencanaan dan Sistem Ekonomi, Sejarah Pemikiran Ekonomi serta perkembangan-perkembangannya. Lebih dari itu terkadang juga terbetik bahwa mereka agak pasif secar akritikal dalam menunjukkan kelemahan-kelemahan inherent (parsialisme) dalam mata kuliah-mata kuliah lain yang didominasi oleh pemikiran mainstream ini, antara lain dari segi ideologi, baik moralitas, maupun motif ekonomi. Terkadang terasa pula bahwa (8) pengajaran mata kuliah Koperasi memiliki nasib yang sama dengan Sejarah Pemikiran Ekonomi, yang lebih menekankan pada rentetan peristiwa daripada merupakan sederetan pemikiran dan perjuangan kepentingan ekonomi di dalam kehidupan keekonomian, dengan segala dimensi historis, sosial, kultural dan ideologi. Demikian pula, mata kuliah Koperasi lebih sekedar merupakan peristiwa-peristiwa perkembangan badan usaha dan gerakan-gerakan koperasi, terlepas dari elternatif dan dinamika pemikiran ekonomi dalam mencapai tujuan ekonomi holistik yang bermakna bagi kehidupan umat manusia. Sementara itu Ilmu Ekonomi mainstream sendiri telah mereduksi diri, tidak lagi sebagai ilmu moral tetapi menjadi ilmu untuk mencapai kepuasan maksimal dan keuntungan maksimal (efisiensi dalam meraih nilai-tambah ekonomi secara maksimal). Sementara mata kuliah Koperasi tidak mampu menambal dan melengkapinya dengan tuntutan-tuntutan moral-kultural dan motif-motif etikal dalam kehidupan keekonomian (di samping meraih nilai-tambah ekonomi juga nilai-tambah sosial-kultural). Itulah sebabnya mata kuliah Koperasi akhirnya tersudut dan sering sekedar menjadi mata kuliah pilihan, sekedar sebagai pelengkap-penggenap, terlepas dari konteks ilmu dan pengetahuan ekonomi secara integral dan utuh.
Tataran Makro Dalam tataran makro maka mata kuliah Koperasi harus menegaskan dirinya sebagai sistem ekonomi, yang tidak saja sekedar merupakan koreksi ataupun counter-vailing mechanism terhadap parsialisme pemikiran ekonomi mainstream, tetapi lebih merupakan suatu integrated economic system yang sesuai dengan peradaban modern, yang menolak insting dan sistem predatori, anti eksploitasi dan sub-ordinansi serta konta demokrasi. Dengan demikian mata kuliah Koperasi akan lebih mampu menegaskan dirinya sebagai mata kuliah yang mendorong demokratisasi ekonomi secara mikro dan makro1] . Pengajar dan dosen-dosen mata kuliah Koperasi tidak saja dituntut untuk selalu menjadi up to date dalam mengikuti perkembangan perkoperasian di berbagai mancanegara, mengikuti fora perkoperasian di dunia termasuk kongreskongres ICA yang penuh dengan perkembangan pemikiran, baik dalam tataran negara demi negara secara individual, maupun kelompok-kelompok regionalnya, tetapi juga secara kreatif dan entreprenuerial mengembangkan pemiki-
10
Perspektif ran-pemikiran demokrasi ekonomi dalam perekonomian nasional Indonesia. Para pengajar dan dosen mata kuliah Koperasi harus pula kreatif dan entrepreneurial dalam menanggapi kecenderungan-kecenderungan ekonomi yang makin tidak adil (terbentuknya konsentrasi-konsentrasi kekuatan dan kekuasaan ekonomi), yang eksploitatif (hubungan ekonomi perhambaan2)), tidak partisipatif-emansipatif (seperti hubungan “inti-plasma” dalam PIR yang sangat mirip cultuurstelsel), proses swastanisasi yang bukan go-public (makin jauh dari “triple-co”3)) dst. Tak terkecuali adanya semacam pemahaman terbatas dari para pengajar dan dosen tentang ideologi kerakyatan Indonesia yang berlandaskan kepada sosionasionalisme dan sosio-demokrasi, sehingga tidak mampu membentukkan suatu titik tolak yang tepat bagi penyusunan silabus. Dari sinilah sebenarnya daya tarik bagi para murid dan mahasiswa dapat ditumbuhkan untukmemajukan ekonomi nasional, sehingga jelas bagi anak didik perbedaan antara “pembangunan Indonesia” dengan sekedar “pembangunan di Indonesia”. Mata kuliah Koperasi mempunyai kaitan dengan hal ini, dalam pengertian bahwa sebagai ilmu yang ber-paradigma kebersamaan dan asas kekeluargaan, maka faham kebersamaan “dari rakyat oleh rakayat dan untuk rakyat” akhirnya akan berujung pada cita-cita mulia, yaitu menempatkan rakyat Indonesia sebagai tuan di negeri sendiri (menolak proses sub-ordinasi untuk secara pasif menjadi kuli di negeri sendiri). Idealisme ini tidak terlepas dari ciri dasar khas koperasi, yaitu bahwa di dalam koperasi (baik secara makro maupun mikro) pemilik adalah pelanggan, sehingga pembangunan Indonesia adalah benar-benar oleh, dari, dan untuk rakyat Indonesia seluruhnya). Meskipun tidak menggunakan istilah koperasi, namun tulisan-tulisan dan buku-buku yang akhir-akhir ini terbit mengecam globalisasi dan mekanisme pasar bebas yang menjunjung tinggi nilai-nilai global, seperti membela keadilan, dan pemerataan, menganjurkan mutualitas, solidaritas dan kerukunan sosial, serta anti penindasan (eksploitasi), anti keserakahan dst. Hal ini pada hakekatnya memberi peluang bagi mata kuliah Koperasi untuk secara integral masuk ke dalam pengajaran ilmu ekonomi. Dengan demikian diharapkan bahwa mata kuliah Koperasi tidak terpisahkan secara keseluruhan dari pengajaran ilmu ekonomi.
Tataran Mikro dan Entrepreneurship Tataran makro seperti dikemukakan dalam paragraf fi atas merupakan panduan bagi pengembangan tataran mikro, dengan kata lain Pasal 33 UUD 1945 merupakan panduan bagi pengembangan koperasi sebagai badan usaha.
maka badan usaha koperasi akan tetap kocar-kacir. Pertama-tama yang paling penting dalam melaksanakan reformasi mikro adalah badan usaha koperasi kembali ke kithahnya, yaitu membangun koperasi berdasarkan prinsipprinsip dan nilai-nilai dasar koperasi. Sudah banyak mengenai prinsip dan nilai koperasi itu dibicarakan, bahkan telah dimantapkan oleh kongres ICA Tahun 1995 di Manchester. Berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi ini, maka koperasi Indonesia dapat dilahirkan kembali dan diperkukuh (reborn and revitalized) secara benar5. Koperasi adalah suatu lembaga sosial-ekonomi “untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama”. Upaya ini dapat tumbuh dalam masyarakat sendiri berkat munculnya kesadaran pemberdayaan diri (self-empowering), namun dapat pula ditumbuhkan dari luar masyarakat sebagai upaya pemberdayaan agents of development, baik oleh pemerintah, elit masyarakat, maupun oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM, dll yang berpendekatan grassroots dan bottom-up.Dengan kata lain, “menolong diri sendiri secara bersama-sama” sebagai kecenderungan Gemeinschaft itulah, yang apabila diformalkan (diberi wajah) ke arah Gesellschaft, akan menjadi badan usaha bersama, yang kita sebut Koperasi itu. Unsur utama terbentuknya koperasi (dimensi mikro) adalah (1) diawali dengan adanya sekelompok anggota masyarakat yang sama-sama memiliki “kepentingan bersama”, dan (2) sekelompok mereka ini sering bertemu secara rutin berdasarkan alasan serukun tempat tinggal, selokasi kerja, seprofesi, sejenis mata pencaharian, lalu (3) sekelompok mereka ini bersepakat untuk bersama-sama memenuhikepentingan bersama itu (dalam semangat kolektivita dengan tetap mempertahankan individualita). Hanya kepentingan bersama saja yang diurus oleh koperasi, sedang kepentingan orang-seorang anggota diurus sendiri-sendiri di luar koperasi. Jika suatu jenis kebutuhan diperlukan oleh, katakanlah, sekitar sepertiga jumlah anggota, maka jenis kebutuhan ini dapat dikategorikan sebagai kepentingan bersama. Dari sini lahir pengertian bahwa koperasi “berwatak sosial”, artinya berwatak mengutamakan kepentingan keseluruhan, kepentingan bersama, yang sama sekali tidak berarti berwatak caritas. Berbeda dari wadah usaha lain, misalnya PT, Firma dan CV ataupun macam-macam Perusahaan Negara, mak Koperasi sebagai wadah usaha “dimiliki bersama” oleh seluruh anggotanya berdasar kesamaan harkat martabat sebagai sesama manusia, dalam ujudnya “satu orang sama-sama memiliki satu suara” (one man one vote).
Dalam menghadapi globalisasi, kemampuan ekonomi nasional, tidak bisa tidak, secara reformatif harus ditingkatkan, baik dalam pengertian saling meningkatkan daya saing (bukan bersaing atau compete secara free fight, tetapi berlomba (concours) untuk saling meningkatkan kemampuan).
Koperasi sering disebut sebagai “kumpulan orang”. Namun tidak berarti di dalam koperasi uang tidak penting, di dalam koperasi manusialah yang diutamakan, setiap orang (anggota) dihormati harkat martabatnya secara sama (individualita), artinya sepenuhnya partisipatif-emansipatif, dalam prinsip “satu orang satu suara”. Sedang PT yang disebut sebagai “kumpulan uang”, karena di dalam PT modal uanglah yang penting dan diutamakan, dalam ujudnya “satu saham satu suara” (one share one vote).
Untuk itu perlu dilakukan, baik reformasi makro, maupun reformasi mikro. Tanpa reformasi makro maka tidak akan ada reposisi struktural dan terarah, dan tanpa reformasi mikro
Lebih dari itu , tidak seperti di dalam PT, di dalam koperasi berlaku pedoman usaha bahwa anggota koperasi adalah pelanggan dan pemilik sekaligus. Di dalam PT, pemillik
SWARA33 | 002 | Juni 2012
11
Perspektif adalah para pemegang saham yang bukan (tidak berperansebagai) pelanggan. Jadi koperasi bukanlah PT yang bisa diberi nama (didaftarkan sebagai) koperasi. Dengan demikian pula Koperasi pembentukannya melalui suatu proses “bottom-up”, dari bawah ke atas, bukan “top down” atau dari atas ke bawah, jadi “atasan” (boss) dari koperasi adalah dan hanyalah para anggota koperasi, bukan pengurus koperasinya, atau pemerintah sebagai pembina (kankop, kanwil, Depkop, Lurah, Camat, bupati, gubernur). Koperasi tidak bertujuan mencari keuntungan atau laba (profit) karena koperasi memang milik dari para anggota sendiri, karenanya tidak relevan kalau koperasi mencari laba dari para anggotanya yang adalah “dirinya” sendiri. Koperasi sebagai wadah (fasilitator) usaha milik bersama bertujuan utama mencari manfaat (benefit) bagi para anggotanya. Namun para anggotalah yang mencari laba dari kegiatan usaha mereka masing-masing (terutama koperasi produksi). Oleh karena itu yang diperoleh koperasi adalah “sisa hasil usaha” (SHU) kemudian dibagikan kepada para anggotanyasesuai dengan keputusan yang diambil dalam rapat anggota (RAT). Sebagaimana kita kenal dalam UU Koperasi No. 12/1967, seperti tersurat dengan perkataan “kesadaran pribadi”(individualita menurut istilah Bung Hatta) dan “kesetiakawanan” (kolektivita menurut istilah Bung Hatta) merupakan landasan mental bagi para koperasiwan, yang satu memperkuat yang lain (Ibnoe Soedjono, 1967; Sri-Edi Swasono, 1992;J.K. lumanon, 1992; Herman Soewardi, 2002). Namun, landasan mental ini justru dicabut oleh UU Koperasi No. 25 Tahun 1992. Maka rusaklah koperasi, jadilah koperasi berwatak “homo economicus” (sebagai lawan dari “berwatak sosial” seperti dikemukakan di atas). Koperasi menyatukan kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial yang kecil-kecil menjadi satu kekuatan besar, sehingga terbentuk kekuatan berganda-ganda (sinergis) yang lebih tangguh. Dari sinilah semangat menolong diri sendiri secara bersama-sama memperoleh awal momentumnya untuk mandiri. Mandiri adalah hasil dari kegiatan self-empowerment. Oleh karena itu, apabila upaya membina masyarakat melalui koperasi tidak bertitik tolak, berproses dan bertujuan akhir secara tegas, yaitu untuk menjadikannya mandiri (baik dalam meraih “nilai-tambah ekonomi” ataupun “nilai-tambah sosial-kultural”), maka kesalahan fatal akan terjadi. Setiap bantuan (kredit, bantuan teknis, dan semacamnya) sejak awal harus dijauhkan dari unsur ketergantungan (dependensi) dan kemandirian harus merupakan target nyata. Mengenai entrepreneurship dalam membangun badan usaha koperasi tentu tidak bisa diingkari perlunya. Koperasi harus dikelola secara inovatif6. Di Indonesia, pendidikan kewiraswastaan perlu diarahkan agar benar-benar sesuai dengan falsafah Pancasila, di mana asas kekeluargaan (brotherhood atau ukhuwah, bukan kinship atau kekerabatan) dan kebersamaan dalam usaha (mutuality) harus tetap menjadi pedoman. Ciri-ciri keunggulan dari wiraswasta tidak perlu menjadi suatu sikap mandiri yang egosentris dan disfungsional terhadap lingkungan masyarakatnya. Mandiri tidak berarti menjadi penganut paham individualisme dan eklusivisme, meskipun harus
SWARA33 | 002 | Juni 2012
tetap memiliki individualita dan personalita, yaitu memiliki harga-diri, dignity, dan harkat-martabat diri bukan egoisme. Oleh karena itu etos kerja Pancasila demi mencapai cita-cita pribadinya orang- per orang dalam konteks kemasyarakatan, harus dapat dibentukkan dan dioperasionalkan secepatnya bagi para wiraswasta perkoperasian nasional kita. Seperti dikemukakan di atas, kebersamaan dan asas kekeluargaan juga memerlukan entrepreneurship dan di situ kita perlu mengungkapkan kedudukan intra preneurship7
Koperasi Sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional Koperasi juga merupakan “soko guru” perekonomian nasional, artinya kegiatan ekonomi rakyat di bawah mendukung perekonomian besar di atasnya (hubungan vertikal). Sebagai contoh koperasi cengkeh dan koperasi tembakau adalah soko guru industri rokok kretek. Koperasi kopra adalah soko guru industri minyak goreng, dst. Para pedagang sektor informal (termasuk K-5) telah menyediakan kehidupan murah bagi buruh-buruh miskin dari perusahaan-perusahaan besar kaya yang formal-modern. Proses merembes ke ataslah (“trickle-up”) yang terjadi di lapangan, yang kecil “mensubsidi” yang besar, bukan sebaliknya. Pola pikir berdasar mekanisme merembes ke bawah (“trickle-down” mechanism) pada dasarnya merupakan suatu moral crime karena menganggap rakyat di bawah hanya berhak akan rembesan. Jelaslah bahwa sektor informal menjadi soko guru dari perusahaan-perusahaan besar itu. Maka petani tembakau dan petani cengkeh sebenarnya telah menjadi soko guru dari perusahaan-perusahaan rokok. Bagi mereka ini termasuk para penjual rokok dan para pecandu rokok perlu diatur agar dapat memiliki saham pabrik-pabrik rokok. Para pelanggan kebutuhan konsumsi sehari-hari patut ikut memiliki saham supermarkets. Demikian pula pelanggan telpon, harus dapat diatur dan difasilitasi agar mereka diutamakan bisa memiliki saham PT. Telkom, PT. Indosat, dst. “Pemilik adalah juga pelanggan” inilah salah satu ujud nyata ekonomi berdasarkan cooperativism. Di sinilah awal dari koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat (mikro) dan keterkaitan vertikal serta horizontal dalam konsepsi “triple-co” (makro) akan menjadi rintisan bagi koperasi dan sistem koperasi sebagai pilar orde ekonomi Indonesia. Oleh karena itu perencanaan ekonomi harus sekaligus merupakan perencanaan sistem ekonomi. Para pengajar dan dosen Koperasi harus peka (dan bersikap menentang) terhadap “perampokan” aset negara ini.
Penutup Itulah sebabnya justru PBB (dengan Konvensi PBB 1999 dan 2001 menegaskan harapannya akan peran pentingnya Koperasi (di dunia) dalam tiga hal, yaitu: penanggulangan kemiskinan, percepatan lapangan kerja, dan memperkukuh integrasi sosial.9 Ada baiknya para ekonom, teknikrat dan anak buahnya mau membuka mata terhadap kenyataan di dunia dan tidak melakukan disempowerment terhadap nurani dan kemampuan berpikir mereka sendiri. Koperasi di seluruh dunia semakin maju. Hanya di Indonesia koperasi terpuruk karena mengingkari jati dirinya, mengadopsi pendekatan top-down yang seharusnya adalah bottom-up.
12
Perspektif Ekonomi koperasi dengan co-operativism-nya adalah ekonomi masa depan. Sebagai ilustrasi, makhluk primitif hidup berdasar insting bersaing, competitively free fight and predator, yang kuat menyingkirkan, bahkan memangsa yang lemah. Demikian pula manusia ‘primitif’ praberadab akan cenderung berakhlak homo homini lupus. Makin ‘baradab’dalam proses evolusi sejenis makhluk, makin cenderung melepaskan diri dari pertarungan antar sesama, menuju ‘kerja sama’. Demikian pula manusia, makin maju dalam peradaban makin cenderung memupuk kerja sama menuju perilaku sebagai makhluk sosial (homo-socius), melepaskan diri dari keprimitifan selaku homo-economicus.
efficiency vs socio-economic efficiency; the limit of privacy, prive wants vs public needs; economi subordination vs participatory-emancipatory economy (demokrasi ekonomi vs sistem PRI/cultuurstelsel); economic development and sicuo-cultural added-value (beyond economic added-value); mewaspadai pasar bebas; globalisasi adalah nama lain untuk dominasi Amerika Serikat (Henry Kissinger, Trinit Collaege, 1998); invisible hand vs the dirty hand; the zero-sum society; the winner-takes-all society, dst, dst. Kelas mata kuliah koperasi harus lebih mampu mendekatkan kepada realita, ‘turba’ menjadi wajib bagi mahasiswa, atau dosen mengundang dosen tamu, koperasiwan yang berhasil, dst, dst.
Kapitalisme kuno telah berubah menjadi kapitalisme baru yang modern, atas ciri makin berkurangnya kadar predacious instinct-nya dalam kehidupan ekonomi. Religi menambah kadar kesosialan manusia, membentuk hidup bersama saling tolong-menolong menjadi homo-socius dan sekaligus homo-religious.
Ini merupakan tugas baru yang berat untuk membongkat pasialisme ilmu ekonomi yang telah memarginalisasikan mata kuliah koperasi.
Mutuality dan brotherhood dalam berekonomi menjadi sistem ekonomi yang makin dikemukanan sebagai paradigma baru ekonomi. Selanjutnya kompetisi (competition) dan kerjasama (co-operation) adalah dua kekuatan kembar yang tak terpisahkan (inseparable twin forces) dalam proses menuju modernisasi. Ilmu ekonomi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan kampus-kampus kita yang saat ini masih mengacu dan terjebak di dalam pasialisme ekonomi. Reformasi kurikulum perlu dilakukan sehingga pengajaran ilmu ekonomi dapat mencapai bentuk utuhnya yang bersifat holistik.
Prof. Dr. Sri-Edi Swasono. Guru Besar di UNJ Jakarta, Penasehat Menteri PPN/Bappenas
Keterjebakan kita pada pola pikir kapitalistik dan sistem ekonmi subordinasi (yang predatory) nampaak dalam penggantian pasal 27 ayat 2 UUD 1845 (asli) yang berbunyi “tiaptiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” menjadi Pasal 28A “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” dan Pasal 28B “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perilaku yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (garis bawah oleh penulis). Perubahan tadi jelas merupakan senjata tersebunyi bagi mempertahankan hubungan ekonomi yang tidak emansipatif dan hubungan subordinasi, kelompok “tuan” berhak mempertahankan “ketuanan-nya” dan keadilan bagi si “hamba” akan tetap tergantung pada bargaining position dari si kuat. Demokrasi ekonomi akan kehilangan unsur emansipasi ekonomi sebagai moralitas dasarnya. Sayangnya Pasal 28 ini (yang menggantikan Pasal 27 ayat 2 UUD asli ditempatkan di bawah Bab Hak Asasi, sehingga berperangai individualisme. Para pengajar dan dosen perlu mulai memperluas dimensi pengajaran mata kuliah koperasi dengan mempertimbangkan: ilmu ekonomi adalah ilmu moral; the very nature of economics is rooted in nationalism (Joan Robinson); homo economicus berdasar prinsip homo homini lupus sebagai predatory primitive civilization; ekonomi yang berwatak homo imago Dei/homo khalifatullah/homo tatwam asi (diterimanya religious values dalam ekonomi); mutuality and brotherhood economy vs competitive free makret economy; growth oriented economy vs employment orientated economy; macro efficiency vs micro efficiency; techno-economic
SWARA33 | 002 | Juni 2012
13
Perspektif
Istianto Ari Wibowo
KOperasi Sepakbola Foto: Kanalbola.com
S
epakbola merupakan cabang olahraga yang paling diminati di Indonesia. Di negeri ini kita dapat dengan mudah menemukan lapangan bola dan masyarakat yang sedang bermain sepakbola. Tidak peduli di perkotaan atau di pelosok pedesaan, orang kaya atau orang miskin, orang tua, anak muda atau anak kecil. Di mana saja dan siapa saja senang bermain sepakbola atau sekedar menonton teman, saudara, atau klub kesayangannya ketika bertanding. Artinya, sepakbola adalah olahraga rakyat. Mereka seolah melupakan urusan hidup sehari-hari ketika sudah menendang atau menonton bola. Mungkin saja rakyat negeri ini sudah menganggap sepakbola sebagai sarana hiburan untuk melepaskan kepenatan hidup. Melihat kondisi rakyat Indonesia yang begitu gila bola, pemerintah semestinya memberikan fasilitas yang memadai agar masyarakat dapat menyalurkan kegemarannya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Lapangan sepakbola disulap menjadi supermarket dan kompleks perumahan. Masyarakat pun kesulitan untuk memperoleh tempat untuk bermain
SWARA33 | 002 | Juni 2012
bola. Pada saat yang sama keinginan untuk menonton bola juga mulai terancam. Bukan hanya disebabkan perilaku suporter sepakbola namun yang terutama adalah ancaman mandeknya liga sepakbola karena klub tidak mampu membiayai kegiatan operasionalnya. Ini terjadi karena adanya larangan penggunaan dana APBD untuk membiayai klub sepakbola. Semakin sedikit lapangan untuk bermain bola. Kita tidak punya kompetisi — jika Liga Sepakbola Indonesia benar-benar terhenti — untuk ditonton. Akhirnya yang terjadi adalah kita lebih ahli untuk berbelanja, lebih tahu bagaimana caranya mengkonsumsi minuman keras atau narkoba daripada bermain bola atau berolahraga. Pemerintah seharusnya juga memikirkan semua ini. Sepakbola atau olahraga lain tidak semata-mata urusan mengeluarkan uang dan kegiatan fisik. Namun juga berkaitan sangat erat dengan mentalitas, moralitas, dan aspek-aspek sosial lainnya. Pemerintah tidak bisa mengeluarkan larangan dan lepas tangan begitu saja ketika diminta untuk memberikan solusi.
14
Perspektif Demokratisasi ekonomi pada klub sepakbola Dana APBD yang selama ini begitu memanjakan dan menjadi sumber utama pembiayaan klub sepakbola tidak boleh lagi dikucurkan. Hal ini dapat menyebabkan terhentinya kompetisi dan berakibat pada ambruknya sistem sepakbola yang sudah tertata. Keadaaan ini tak pelak memerlukan penanganan secara tepat. Klubklub sepakbola Indonesia dituntut untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendapatan dan diharapkan akan berujung pada pengelolaan klub yang profesional. Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana jalan untuk memperoleh sumber pembiayaan bagi klub tanpa dana APBD. UUD 1945 pasal 33 ayat 1 sudah menjawab pertanyaan tersebut. Ayat tersebut berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Maknanya adalah bahwa kegiatan ekonomi harus melibatkan masyarakat luas dalam penguasaan (pemilikan) dan pengelolaan aset-aset produksi. Konsep ini disebut sebagai demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan). Sri Edi Swasono (2005) menyebut konsep bangun usaha yang berjiwa koperasi ini sebagai Triple-Co, yaitu co-ownership (pemilikan bersama), co-determinant (penentuan bersama), dan co-responsibility (tanggung jawab bersama). Co-ownership diwujudkan melalui keterlibatan masyarakat luas, utamanya yang tergabung dalam koperasikoperasi rakyat, dalam penguasaan (pemilikan) sahamsaham BUMN, termasuk penguasaan oleh pekerja, nasabah (pelanggan), dan stakeholder dalam negeri lain dari BUMN yang menguasai hajat hidup rakyat banyak tersebut. Misalnya saja, saham Telkom dapat diarahkan untuk dimiliki juga oleh serikat pekerja, pelanggan telepon, koperasi, dan organisasi ekonomi rakyat lainnya, sehingga tidak perlu dijual kepada pihak asing. Dengan begitu masyarakat luas, terutama kaum pekerja, pelanggan, dan stakeholder lainnya dapat ikut menentukan (co-determinant) jalannya usaha BUMN tersebut pada khususnya, dan mampu mengendalikan jalannya (arah) perekonomian nasional pada umumnya. Dampak privatisasi yang potensial menggusur kedaulatan rakyat (beralih ke kedaulatan pasar/pemodal internasional) pun dapat dieliminasi. Pada akhirnya kemajuan BUMN menjadi tanggung jawab bersama (co-responsibility) yang diwujudkan melalui keterlibatan masyarakat luas dalam mengawasi dan mendorong optimalisasi kinerja BUMN. Dengan begitu efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas manajemen BUMN pun dapat ditingkatkan. Revrisond Baswir (2005) menyebutkan perihal substansi demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) yang dalam garis besarnya mencakup tiga hal, yaitu (1) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. (2) Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menik-
SWARA33 | 002 | Juni 2012
mati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. (3) Kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Jalan tersebut dapat diterapkan pada seluruh perusahaan. Untuk klub sepakbola, demokratisasi ekonomi dapat menjadi jalan keluar untuk memperoleh sumber pendanaan dan mengoptimalkan kinerja. Demokratisasi klub sepakbola berarti memperluas kontrol dan kepemilikan klub sepakbola kepada masyarakat yang dapat dilakukan melalui dua jalan. Pertama, penawaran saham kepada masyarakat. Langkah awalnya berupa pengubahan status organisasi klub menjadi sebuah badan usaha yang memiliki kemampuan untuk menerbitkan saham. Langkah berikutnya adalah melakukan penawaran saham kepada publik dengan prioritas kepemilikan saham diberikan kepada karyawan klub, suporter, BUMD, pelaku bisnis domestik dan masyarakat dimana klub yang bersangkutan berada. Akan tetapi hindarkan kepemilikan saham oleh orang asing dan/atau perusahaan yang dimiliki oleh orang atau perusahaan asing. Dari penawaran saham ini klub akan memperoleh dana segar yang dapat digunakan sebagai pembiayaan operasional dan melakukan investasi. Pada awalnya kepemilikan saham seluruhnya (100%) berada di tangan pemerintah daerah dengan sumber pembiayaan melalui dana APBD. Oleh karenanya, pada jangka pendek dana APBD masih diperlukan. Dari waktu ke waktu saham yang semula dipegang oleh pemerintah daerah ini kemudian ditawarkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara perlahan-lahan kepemilikan saham akan terbagi kepada karyawan klub, suporter, BUMD, pelaku bisnis domestik dan masyarakat dimana klub yang bersangkutan berada. Kedua, melakukan perubahan organisasi klub menjadi bangun usaha koperasi. Tentu saja yang menjadi anggota koperasi klub sepakbola adalah karyawan (pemain, pelatih, karyawan administrasi, dan karyawan lain), suporter, pemerintah daerah, serta masyarakat setempat. Pada awalnya, modal koperasi berasal dari pemerintah daerah melalui dana APBD. Secara bertahap dana APBD ini akan berkurang dengan terkumpulnya dana dari anggota koperasi. Dengan terdistribusikannya kepemilikan klub maka persentase dan jumlah dana APBD untuk pembiayaan klub mulai berkurang. Dengan demikian, klub tidak akan selamanya bergantung dari uang rakyat dan pada saat yang sama pemerintah juga tidak lepas tangan terhadap perkembangan sepakbola Indonesia. Peran pemerintah secara berangsur-angsur mulai berkurang dan digantikan dengan peran rakyat yang semakin menguat melalui kontrol dan kepemilikan terhadap klub sepakbola. Penerapan demokrasi ekonomi pada klub sepakbola memiliki banyak keuntungan, antara lain, pertama, klub mampu memperoleh dana untuk membiayai kegiatannya. Kedua, pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang melalui dana APBD untuk menyubsidi klub. Ketiga, kinerja klub lebih optimal dan profesional karena pertanggungjawaban pengurus lebih jelas yaitu kepada pemegang saham atau
15
Perspektif anggota koperasi. Keempat, karyawan klub, suporter, dan masyarakat punya kesempatan untuk memiliki klub secara nyata melalui kepemilikan saham atau menjadi anggota koperasi dan memperoleh keuntungan finansial berupa pembagian laba. Dengan sendirinya mereka akan berpikir ulang kalau mau melakukan tindakan yang merugikan klub seperti kerusuhan dan tindakan tidak sportif lain. Karena kerugian klub juga akan ditanggung secara langsung oleh mereka berupa pembagian laba yang lebih sedikit. Kelima, kepemilikan secara kolektif ini akan mencegah penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber ekonomi ke tangan segelintir pihak. Keenam, demokrasi ekonomi (kekuatan rakyat) akan membendung penjajahan gaya baru berbentuk kekuatan modal asing. Selain keuntungan-keuntungan tersebut, penerapan demokrasi ekonomi pada klub sepak bola juga memiliki kendala. Kesulitan yang utama adalah karena cara ini belum populer dan mungkin belum ada klub yang melakukannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengkajian terhadap pola dan potensi demokratisasi ekonomi pada klub sepakbola yang meliput, (1) jumlah aset klub, (2) jumlah dana yang dibutuhkan oleh klub per tahun, (3) jumlah suporter dan potensi keuangan yang dimilikinya, (4) potensi keuangan dari pelaku ekonomi domestik, (5) tingkat dukungan dari pemerintah, parlemen, suporter dan masyarakat terhadap pelaksanaan demokratisasi ekonomi pada klub sepakbola, (6) potensi reorganisasi klub sepakbola menjadi badan usaha koperasi, (7) pola demokrasi ekonomi seperti apa yang paling pas diterapkan, dan (8) kelayakan penerapan demokrasi ekonomi pada klub sepakbola.
Seiring dengan meningkatnya kualitas dengan sendirinya prestasi sepakbola Indonesia di masa depan akan meningkat. Kita bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan di papan atas dalam bidang korupsi dan kriminalitas namun dalam prestasi tim sepakbola. Pada akhirnya kita akan bisa berkata, “Lupakan belanja berlebih. Tinggalkan minuman keras dan narkoba. Lebih baik kita nonton bola saja!” *** Seiring dengan meningkatnya kualitas dengan sendirinya prestasi sepakbola Indonesia di masa depan akan meningkat. Kita bisa menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan di papan atas dalam bidang korupsi dan kriminalitas namun dalam prestasi tim sepakbola. Pada akhirnya kita akan bisa berkata, “Lupakan belanja berlebih. Tinggalkan minuman keras dan narkoba. Lebih baik kita nonton bola saja!” Istianto Ari Wibowo, SE. Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - UGM
Sumber pendapatan lain yang belum dikelola secara optimal oleh klub sepak bola di Indonesia adalah merchandise. Ada dua hal utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan merchandise. Pertama, produsen (klub) harus mampu melakukan diversifikasi produk-produk merchandise. Kedua, konsumen (suporter dan masyarakat) harus menggunakan (membeli) produk asli dari klub bukan membeli hasil produksi pihak lain atau malah memproduksi sendiri seperti yang selama ini terjadi. Jika kita mengaku sebagai seorang suporter sejati semestinya kita menunjukkannya dengan menggunakan atributatribut asli klub. Namun, jika masyarakat dan suporter memiliki saham klub mereka akan lebih memilih membeli merchandise asli. Dengan membeli produk asli dari klub berarti pendapatan klub akan meningkat dan keuntungan klub juga semakin tinggi. Pada akhirnya laba yang dibagikan kepada mereka juga semakin besar. Di samping dari perluasan kepemilikan dan merchandise, pendapatan klub juga bisa diperoleh dari sponsor, hak siar, tiket penonton, dan kegiatan ekonomi/bisnis lain. Demokratisasi klub sepakbola adalah jalan yang logis dan konstitusional untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia. Klub akan senang karena memperoleh dana, pemerintah ikut gembira karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk klub, rakyat juga akan bangga karena mereka ikut memiliki klub serta punya andil dalam mengembangkan sepakbola Indonesia, dan kekuatan modal asing pun dapat dibendung.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
16
DIALOG
OPINI
Dr. Revrisond Baswir, MBA
Koperasi di Indonesia Dihabisi! Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. SWARA33 | 002 | Juni 2012
Kalimat pada paragraf pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut membuktikan bahwa di negeri ini koperasi memiliki tempat yang sangat tinggi. Dia diamanatkan secara lugas dalam konstitusi. Tanggal 12 Juli juga telah ditetapkan sebagai Hari Koperasi yang diperingati setiap tahun secara meriah. Sungguhkah koperasi benar-benar menjadi ruh perekonomian Indonesia? Apakah peringatan Hari Koperasi menjadi ajang ideologisasi atau sekedar acara seremonial? Berikut perbincangan dengan tokoh ekonomi kerakyatan, Dr. Revrisond Baswir, MBA yang akrab disapa dengan panggilan Bung Soni.
17
DIALOG (SWARA33) Selamat Hari Koperasi, Bung. Sebenarnya sejak kapan gerakan koperasi mulai muncul di Indonesia? (Bung Soni) Terima kasih. Gerakan koperasi pertama kali ada di Purwokerto pada tahun 1896. Ketika itu R. Aria Wirya Atmadja mendirikan semacam koperasi simpan pinjam. Jadi, gerakan koperasi telah muncul sejak jaman kolonial, jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Kenapa koperasi menjadi penting bahkan dituliskan secara tegas dalam UUD 1945? Secara komprehensif, pasal 33 merupakan upaya untuk mengoreksi struktur sosial ekonomi warisan kolonial. Para pendiri bangsa memahami bahwa pada masa kolonial, rakyat banyak bukanlah pelaku utama dalam perekonomian. Sistem ekonomi yang berjalan menempatkan kaum penjajah sebagai penguasa utama ekonomi bangsa. Karena itulah muncul pasal 33 guna merombak kondisi itu. Ayat 2 pasal 33 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” mengamanatkan bahwa sktor-sektor strategis dalam perekonomian haruslah dikuasai oleh negara. Hal ini pernah dilakukan oleh Bung Karno melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Namun, tidak lama setelah upaya ini terjadilah peristiwa 1965.
UU Nomor 12 Tahun 1967 tentang Koperasi. Namun koperasi dalam undang-undang ini bukanlah koperasi sejati seperti yang diamanatkan dalam konstitusi. Undangundang yang terbit pada periode ini mesti dilihat sebagai satu paket undang-undang yang ditujukan untuk melegitimasi neokolonialisme. Terbukti bahwa sejak berlakunya UU Koperasi tahun 1967, koperasi yang tumbuh di Indonesia adalah koperasi fungsional seperti koperasi PNS atau tentara. Dengan kondisi ini maka koperasi telah menyekat-nyekat atau membatasi dirinya dalam kelompok-kelompok yang berdasarkan profesi. Sifat keanggotaan yang terbuka sudah hilang. Jumlah koperasi juga mengalami penyusutan secara drastis. Sebelum peristiwa 1965, ada 73.400 koperasi namun setelah UU No 12 Tahun 1967 terbit jumlah koperasi menjadi 14.700. Kalau kita melihat fakta-fakta tersebut semakin jelas bahwa koperasi memang tidak dikehendaki. Baik oleh modal internasioanal ataupun oleh elit-elit penguasa. Koperasi yang kuat dan besar akan membahayakan strategi pembangunan yang bercorak kapitalistik. Jika dalam wawancara beberapa waktu lalu saya mengatakan kalau koperasi di Indonesia dikebiri, sekarang saya rasa pernyataan itu perlu diubah menjadi koperasi di Indonesia pelan-pelan dihabisi. Apa yang mesti dilakukan untuk memperbaikinya?
Demikian halnya dengan ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” memiliki cita-cita untuk menempatkan rakyat banyak sebagai pelaku utama perekonomian nasional atau menjadi tuan di rumah sendiri.
Kembalikan koperasi ke jati dirinya. Dibutuhkan UU Koperasi yang baru untuk mengoreksi kekeliruan dalam UU Koperasi yg ada. Saat ini ada RUU Koperasi yang sedang disusun namun RUU tersebut justru melegitimasi koperasi yang bercorak kapitalistik.
Menjelang peringatan 66 tahun kemerdekaan, sudahkah cita-cita tersebut tercapai? Apakah koperasi telah menjadi ruh dalam perekonomian Indonesia?
Terakhir Bung, bagaimana komentar Anda terhadap upacara peringatan Hari Koperasi?
Mari kita lihat kontribusi koperasi dalam perekonomian Indonesia selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2000, volume usaha koperasi tercatat sebesar 23,1 triliun atau setara dengan 1,66% PDB. Kemudian pada tahun 2010 volume usaha meningkat menjadi 76,8 triliun namun persentase terhadap PDB turun menjadi 1,22%. Angka satu koma sekian persen itu sudah menjelaskan posisi koperasi dalam perekonomian Indonesia. Tampak jelas bahwa koperasi hanyalah pelaku pinggiran. Atau kalau kita lihat trend tersebut, jangan-jangan koperasi memang tidak diinginkan keberadaanya. Mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah apakah di Indonesia ini ada koperasi yang sebenar-benarnya koperasi? Kenapa bisa begitu? UUD 1945 dan UU Koperasi tahun 1959 jelas-jelas menyebut koperasi sebagai model usaha. Namun, semua itu berubah ketika terjadi pergantian rezim pada tahun 1965. Terbitnya UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal telah membuka lebar-lebar masuknya modal asing dan mengakhiri praktek ekonomi kerakyatan. Kemudian lahir
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Hahahahahaha.... BIODATA Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 28 Februari 1958. Pendidikan : S1 Akuntansi FEB UGM (1983) l S2 General Bussiness, Western Michigan University, AS (1991) l S3 Ilmu Ekonomi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga (2011) Jabatan : Anggota PP Muhammadiyah (1995 - 2000) dan (2001 2005) l Anggota Dewan Pengurus INFID (1997 - 1999) dan (2000 - 2002) l Anggota Dewan Pakar Koalisi Anti Utang (2000 - sekarang) l Staf Ahli Menteri Negara Hak Asasi Manusia (2000 – 2001) l Anggota Komite Kebijakan Publik Kementrian Negara BUMN (2006 – sekarang) l Anggota Dewan Komisaris PT Perkebunan Nusantara XIII (2008 – sekarang) lStaf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2002 – 2006) dan (2008 – sekarang) l Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2006 – 2008) l Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia/AEPI (2010 – sekarang)
18
Aksi
OPINI
Koperasi annisa
eksis dengan sistem syariah D ewasa ini banyak sekali lembaga keuangan non bank maupun bank yang menjamur di sekitar kita. Lembaga keuangan ini berfungsi sebagai lembaga penyimpanan uang maupun peminjaman modal atau dana. Lembaga keuangan seperti bank sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu bank syari’ah dan bank konvensional. Bank tersebut dibedakan dari cara transaksinya. Lembaga keuangan non-bank seperti koperasi sendiri juga ada dua jenis, yaitu syari’ah dan konvensional. Namun masalah yang timbul disini adalah lembaga keuangan yang berlabel syari’ah tersebut masih banyak yang tidak benarbenar syar’i seperti hukum agama Islam. Mereka hanya menggunakan embel-embel syari’ah saja tetapi pada prakteknya tidak menggunakan prinsip-prinsip syari’ah yang benar.
Tidak hanya bank, lembaga keuangan non-bank yang syari’ah seperti koperasi juga banyak bermunculan. Namun sama halnya dengan lembaga keuangan seperti bank, praktek koperasi syari’ah juga tak sepenuhnya syar’i. Memang tak dapat kita pungkiri bahwa untuk mewujudkan sebuah koperasi yang syar’i tidak mudah. Banyak halangan dan rintangan yang menghalangi lembaga tersebut untuk mewujudkan lembaga keuangan yang benar-benar sesuai dengan syari’at agama Islam. Seperti salah satunya adalah Koperasi Annisa yang bediri pada tanggal 21 April 2008. Koperasi yang berkantor di jalan Parangtritis kota Yogyakarta ini memiliki kurang lebih 175 orang anggota. Kepengurusan yang diketuai oleh Ibu Isnaini ini bisa dikatakan relawan atau pejuang sosial, karena mereka bahkan tidak menerima gaji atas apa yang telah mereka lakukan di koperasi Annisa ini. Mereka ikhlas karena menurut mereka ini adalah pekerjaan mulia, membantu sesama. Dari sekian banyak pengurus, mereka baru bisa menggaji 2 orang saja.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Sistem yang dijalankan di koperasi annisa benar-benar murni syariah. Setiap pinjaman modal yang diberikan kepada anggotanya tidak dikenakan bunga pinjaman. Namun koperasi tetap mendapatkan bagi hasil dari usaha yang dijalankan oleh peminjam dengan jumlah yang sukarela, mereka juga tidak meminta agunan kepada si peminjam. Hal ini tentunya bereaiko, namun mereka telah mempertimbangkannya untuk meminimalisir resiko tersebut mereka memiliki cadangan rsiko yang telah diberikan oleh pemerintah.seain itu, aggota yang meminjam simpanan pokok dan simpanan wajib yang nantinya bisa bermanfaat untuk menutup hutang yang telah mereka pinjam di koperasi. Dalam perjalanannya, banyak sekali kendala yang harus dihadapi oleh koperasi annisa. Ada kendala yang muncul dari internal maupun eksternal. Kendala internal biasanya ditemukan pada perbedaan prinsip syariah diantara para anggota, serta masih rendahnya komitmen diantar anggota koperasi. Sedangkan kendala eksternal yang kerap kali dialami yaitu kredit macet para anggota, dan rendahnya minat anggota koperasi untuk menabung di koperasi. Kebanyakan anggota lebih memilih menabung di bank konvensional dibandingkan ke koperasi. Padahal menabung di koperasi memiliki azas manfaat yang tinggi dan juga aman. Untuk rencana kedepan koperasi annisa akan berusaha untuk memperluas jaringannya ke kecamatan lain dan memasuki pedukuhan-pedukuhan di wilayah diy. Dalam penutupnya bu ismiati berharap agar prinsip koperasi syariah bisa berjalan dengan baik dan tepat seperti prinsip dasar dari bung hatta sebagai bapak koperasi Indonesia. Dan juga memunculkn generasi-generasi baru yang peduli akan keberlanutan koperasi. (ell)
19
Aksi
Bangkit Setelah 23 Tahun Bertahan dalam Keterbatasan
Sempit bahkan hanya menyerupai bilik, mungkin itu yang dapat menggambarkan suasana kantor Koperasi Rukun Agawe Santoso (RAS) yang terletak di Pasar Kranggan Yogyakarta. Koperasi simpan pinjam ini mulai memiliki badan hukum sejak tahun 1989, artinya telah berdiri selama 23 tahun.
K
antor Koperasi RAS sendiri terletak di lantai dasar Pasar Kranggan, tepatnya di bawah tangga bagian tengah pasar. Pengurusnya hanya berjumlah dua orang, dengan jumlah anggota yang mencapai 616 orang, tentu bisa dibayangkan betapa payahnya Ibu Partini dan Ibu Prapti, pengurus koperasi simpan pinjam ini, ketika melakukan audit bulanan maupun tahunan untuk laporan keuangan koperasi karena semuanya dilakukan masih dengan cara manual. Pelayanan yang sifatnya masih manual, dengan jumlah transaksi yang tiap harinya sangat banyak, cukup membuat pegawai koperasi kalang kabut ketika seketika dalam suatu saat beberapa anggota tanpa dinyana datang secara bersamaan berharap untuk dilayani. Situasi menjadi lebih lengkap ketika koperasi yang menjadi tempat “mengadu keluh-kesah” para pedagang Pasar Kranggan terkait kebutuhan finansial ini hanya bertempat di satu ruangan kecil nan sederhana
SWARA33 | 002 | Juni 2012
di bawah tangga, luasnya hanya dua kali tiga meter, diisi dengan rak-rak yang berisi tumpukan berkas-berkas, sungguh jauh dari kata nyaman dan longgar. Padahal, Koperasi RAS memiliki peran yang cukup vital dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial bagi para pedagang di Pasar Kranggan, terlebih ketika dewasa ini banyak lintah darat bermunculan dan siap memangsa para pedagang di pasar tradisonal ketika membutuhkan pinjaman dana secara instan. singkatnya, keberadaan koperasi yang sudah berdiri sejak 23 tahun yang lalu ini dapat dikatakan “menyangkut hajat hidup orang banyak”. Di zaman yang katanya serba komputerisasi ini, ternyata tidak banyak membawa perubahan pada koperasi RAS. Yang menjadi aneh kemudian adalah, koperasi ini berdiri tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta, hanya sekitar 200 meter arah barat tugu pal putih Yogyakarta, salah satu lambang kota yang terkenal akan kota pendidikan.
20
Aksi Padahal, Koperasi simpan pinjam di pasar-pasar tradisional dewasa ini dapat berperan sebagai benteng bagi para pelaku di pasar tradisional dari jerat rentenir, namun yang terjadi adalah perhatian dari pemerintah pada lembaga ini masih dirasa minim. Setelah 23 tahun bertahan dengan sistem manual yang tentu saja sangat melelahkan, datanglah secercah harapan bagi pengelola koperasi RAS, beberapa bulan terakhir ini koperasi ini mulai mendapat pendampingan dari Tim Sekolah Pasar. Sekolah Pasar sendiri adalah organisasi yang berisi kumpulan aktifis “pejuang pasar tradisional”. Tim sekolah pasar dalam hal ini mencoba membantu menyusun sistem pengelolaan baru yang lebih efisien untuk koperasi RAS, dengan jalan memanfaatkan teknologi komputerisasi. Semua dilakukan dengan suka rela oleh tim sekolah pasar, bahkan tanpa dibayar, pendampingan dari tim meliputi dari proses pembuatan sistem, peralihan sistem, hingga pendidikan bagi pengurus koperasi untuk mengoperasikan sistem yang baru. Saking kagumnya dengan perhatian dari tim sekolah pasar, ibu partini kemudian menanyakan satu pertanyaan kepada salah satu tim sekolah pasar, “apa yang di atas (pemerintah) itu tidak ada yang memikirkan koperasi hingga seperti ini ya? Padahal koperasi lebih menyentuh langsung ke rakyat. Kalau ada tukang parkir, loper, ingin pinjam uang tidak mungkin bisa dari Bank, kalau dari koperasi masih mungkin”.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Begitulah nasib koperasi pasar di sekitar kita, dan mungkin masih banyak koperasi pasar lain yang nasibnya tidak jauh dari nasib koperasi rukun agawe santoso. Semoga momentum perubahan yang dialami koperasi pasar RAS ini menjadi ujung tombak kebangkitan koperasi RAS setelah 23 tahun bertahan dengan segenap keterbatasan. Semoga, Semakin maju koperasi, semakin banyak yang terlayani, semakin jauh para pegiat pasar tradisional dari jerat rentenir yang kini semakin menjamur di pasar tradisonal. Demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pusoko Seto Kadiv Social Marketing Sekolah Pasar
21
OPINI
OPINI
Ellya Kumalasari
PASAR TRADISIONAL dan Ritel Modern
Belakangan ini marak sekali pembangunan pasar dan retail modern di kota-kota besar. Pembangunan mall, pasar, dan retail modern seakan tidak terbatas. Hal ini merupakan efek kebijakan pemerintah tentang terbukanya pasar global di negara ini sehingga para investor asing bebas masuk untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sayangnya hal ini tidak dibatasi, sehingga kepemilikan modal asing di Indonesia sangat mendominasi. Bahkan ada beberapa perusahaan yang kepemilikannya sampai 100 persen oleh investor asing.
H
al ini menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan ekonomi menengah ke bawah seperti pelaku pasar tradisional. Mereka merasa pangsa pasar mereka berkurang karena menjamurnya pasar dan retail modern tersebut. Fakta ini dibuktiken dengan survei yang pernah dilakukan di pasar tradisional di Provinsi DIJ. Terbukti, omzet pedagang pasar tradisional turun sampai 25,5 persen. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa pasar modern tidak hanya menjual barang-barang kebutuhan namun juga kenyamanan tempat berbelanja. Ini
SWARA33 | 002 | Juni 2012
kontras dengan pasar tradisional kita yang kurang tertata dan kurang nyaman untuk berbelanja. Terlebih lagi pasar modern menawarkan jam buka operasional lebih panjang dibanding dengan pasar tradisional. Sekarang ini pasar dan ritel modern telah menguasai 31 persen pasar ritel dengan omset satu ritel modern mencapai Rp 2,5 triliun/tahun, kontras bila kita bandingkan dengan ritel dan pasar tradisional yang hanya mampu meraup omset sebesar Rp 9,1 juta/tahun. Sebuah fakta miris yang terjadi di negara ini.
22
Aksi Opini Tanpa kita sadari pasar tradisional juga mampu menawarkan harga lebih rendah dengan kualitas sama dengan pasar modern. Namun tetap saja masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar modern dengan berbagai alasan. Hal ini cukup menggelitik dan seharusnya menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat kita. Perlu tindakan lebih lanjut untuk mencegah memudarnya keinginan masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional. Memang kita harus akui juga jika pembangunan sarana dan prasarana di pasar telah dilakukan. Namun hal itu saja tidak cukup. Para pelaku pasar tradisional tidak hanya membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, namun mereka juga membutuhkan pengembangan sumber daya manusia itu sendiri. Sumber daya manusia merupakan faktor utama berjalannya sebuah pasar. Tanpa sumber daya manusia yang bagus, sebuah pasar tidak akan bisa berkembang.
Mungkin kita bisa mulai dari hal kecil. Dengan kepedulian kita terhadap pasar tradisional berarti kita telah membantu mempertahankan perekonomian negara kita. Hal besar selalu diawali dari sesuatu yang kecil. Mungkin seorang individu tak akan mengubah apapun, namun jika masing-masing individu tersebut berbuat hal yang sama dengan individu-individu yang lain, suatu perubahan yang baik akan terwujud. Mari kita bersama memajukan pasar tradisional untuk kehidupan negara Indonesia yang lebih baik. (*) Ellya Kumalasari Mahasiswi Internasional Program Fakultas Ekonomi UII, Relawan Sekolah Pasar Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM http://www.radarjogja.co.id/ruang-publik/10-opini/23317pasar-tradisional-dan-ritel-modern-.htm
l
Ada keterikatan di antara pelaku pasar itu sendiri, pedagang, pembeli, dan pengelola pasar. Di sini, peran pemerintah sangat dibutuhkan. Seharusnya pemerintah lebih peduli dengan nasib pelaku pasar tersebut, terutama pedagang. Akan lebih baik bila pemerintah memberikan pelatihan, pendidikan, atau semacamnya untuk para pedagang ini agar mereka mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu mempertahankan eksistensi pasar tradisional di tengah gempuran pasar modern saat ini. Kesadaran kita untuk berbelanja di pasar tradisional sangat dibutuhkan untuk membantu perekonomian menengah ke bawah ini. Seharusnya, kesadaran untuk berbelanja di pasar tradisional sudah kita tanamkan sejak dini. Hal ini merupakan wujud kepedulian dan dukungan kita terhadap pasar tradisional yang terancam punah. Akan lebih baik lagi bila kita tanamkan hal ini kepada anak-anak sekolah terutama remaja yang lebih suka berbelanja di mall atau pasar modern dibanding pasar tradisional. Apalagi mereka telah menjadikan hal tersebut sebagai bagian dari gaya hidup mereka saat ini. Jika hal ini dibiarkan, maka bukan hal yang tidak mungkin akan semakin banyak pedagang pasar tradisional yang gulung tikar. Akibatnya, akan banyak juga pasar tradisional yang akan tutup karena tidak adanya lagi pelaku pasar tradisional di negara ini. Menginjak tahun 2012 ini, akan semakin banyak masalah yang dihadapi Indonesia, terutama di bidang perekonomian. Makin banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah dalam rangka mempertahankan ekonomi kita karena ekonomi adalah salah satu nyawa sebuah negara.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
23
Opini
Puthut Indroyono
Mewujudkan Misi
Pasar Ampera, Merauke Pembangunan bangunan fisik pasar Ampera telah selesai di akhir tahun 2011 menyisakan pertanyaan besar bagi Pemda Merauke mengenai pengelolaan pasar megah berlantai 3 senilai lebih dari Rp 180 Milyar tersebut.
D
esain terbagi 4 blok, dimana blok 1, 2, 3 berlantai 2 dan lokasi pusat jajanan serba ada (pujasera) ada pada blok 4. Bangunan penunjang pengelola terletak di lantai 3. Diperkirakan bangunan itu mampu menampung 1.137 pedagang ditambah fasilitas penunjang.
Berdasarkan hal tersebut, pasar Ampera menjadi strategis bagi masa depan perekonomian rakyat di wilayah itu. Kebijakan pengelolaan pasar menjadi sangat penting, tidak hanya terkait kegiatan perdagangan di Merauke, tetapi juga di Papua bagian selatan yang berbatasan dengan negeri tetangga.
Pasar Ampera diharapkan juga menjadi pasar induk yang dapat menggerakkan perekonomian Merauke. Sektor perdagangan kabupaten berpenduduk 195 ribu jiwa itu, mampu menampung 31% tenaga kerja.
Perlu tindakan lebih lanjut untuk mencegah memudarnya keinginan masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
24
Dinamika Pedagang Menelusuri kaum pedagang di pasar “sementara” Mopah yang nanti menempati pasar Ampera menimbulkan pertanyaan besar tentang kebutuhan pasar (tempat berdagang) di satu pihak, dengan fasilitas megah yang disediakan oleh pemda setempat. Saat ini mereka menempati tenda plastik, dan lapak-lapak kayu untuk menjajakan dagangan. Karenanya beberapa telah robek sehingga tak mampu melindungi mereka dari terik matahari maupun air hujan bila turun. Observasi pada jam 13-14 siang, menyebabkan penulis tidak dapat menyaksikan kesibukan jual-beli, karena tidak banyak pembeli yang datang di pasar. Sepinya pembeli pada jamjam itu juga karena bertepatan dengan hari-hari “kematian”. Pedagang menyebut Senin-Jumat sebagai hari sepi/ kematian, sedangkan Sabtu-Minggu sebagai hari “ramai”. Awalnya sebagian besar pedagang di pasar dekat bandara Mopah itu adalah mereka yang dulu menjadi “korban” dalam kebakaran pasar Ampera. Namun belakangan jumlah mereka makin meningkat dari hanya 500-an pedagang, menjadi lebih dari dua kali lipat. Umumnya mereka menjual sayur-mayur, kelontongan, sembako, daging, ikan, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Menurut pengelola, jumlah pedagang meningkat dari waktu ke waktu, sampai-sampai pasar penampungan sementara tidak mampu menampungnya. Mereka kemudian membuat tempat berdagang di jalur masuk ke pasar sementara atau di lahan sekitar pasar untuk menjajakan dagangan mereka. Hal ini tentu tidak diharapkan oleh para pedagang yang menempati lahan di dalam pasar sehingga sering menimbulkan konflik antar pedagang. Masalah ini diungkapkan “Mama-mama Papua” yang merasa dirugikan oleh datangnya “pemain” baru di penampungan. Selain menempati tempat di jalur masuk, jumlah mereka banyak. Mereka awalnya datang sebagai “pemasok” namun belakangan mereka juga menjadi pedagang. Kondisi ini dirasa “tidak adil” oleh para pedagang lama. “Pedagang baru” ini umumnya datang dari luar Merauke, Bahkan ada pula yang dari Bima yang membawa bawang merah. Seorang pedagang ubi, menyatakan belum lama menjadi pedagang di situ. Ia menempati bagian luar lapak/kios pasar atau jalur masuk, sehingga pembeli tidak perlu masuk untuk membeli ubi. Pedagang lama yang bergantung pasokannya dari para pemasok, kini harus bersaing dengan pemasok yang ikut “bermain” dengan secara langsung melayani pembeli di lokasi yang sama. Pemasok tentu akan mudah “memenangkan” persaingan tidak sehat ini karena mereka memiliki kekuasaan lebih dalam menetapkan harga. Awalnya memang ada pembagian wilayah yang jelas antara pedagang dan pemasok. Transaksi antara pedagang dan pemasok dilakukan pada saat transaksi dengan konsumen belum berlangsung. Sama seperti kegiatan pasar di tempat lain, pemasok umumnya telah datang menjual dagangannya sebelum pagi, beberapa pedagang menuturkan mereka telah “kulakan” dari pemasok pada jam-jam 2-4 pagi. Selanjutnya transaksi pedagang beralih
SWARA33 | 002 | Juni 2012
dari pedagang kepada konsumen pada jam-jam setelah itu, hingga siang atau sore hari. Besaran pasar kulakan tentu lebih besar volume transaksinya dibanding volume retail. Mata rantai pasar ini juga akan mengubah tingkat harga komoditas, karena pedagang akan mengambil selisih keuntungan dari harga pemasok kepada harga yang diberikan pada konsumen akhir.
Pedagang Musiman dan Becak Masalah lain juga timbul karena “pedagang musiman”, yakni petani setempat yang berdagang di pasar pada musim panen. Mereka menjajakan sendiri dagangannya kepada konsumen, dan bukan dijual kepada pedagang lain atau pedagang yang menetap di pasar. Tidak ada angka yang pasti tentang jumlah mereka, namun jumlahnya relatif besar. Mereka adalah petani yang menjual hasil bumi langsung dari kebun pada saat panen. Jumlah dagangannya tentu tidak sebesar pemasok. Tingkat persaingan di pasar juga diramaikan oleh adanya “pedagang becak”. Mereka adalah pedagang keliling menggunakan becak atau alat angkut untuk menjual dagangan langsung “door to door” ke perkampunganperkampungan penduduk. Mereka kulakan di pasar dalam jumlah “grosir”, lalu dijajakan keliling dengan volume kecil-kecilan. Fenomena pedagang seperti ini tentu bukan khas di Merauke, tetapi juga di kota-kota lain. Namun ini banyak dikeluhkan oleh MMP, mungkin karena mereka tidak membeli dari pedagang pemasok di pasar, tapi langsung dari pemasok pasar. Lagi-lagi ini juga karena mereka tidak hanya berdagang keluar wilayah pasar secara door to door, tapi juga ikut menetap di loslos pasar atau di seputaran. Ini yang menjadi keberatan sebagaimana diungkapkan oleh Mama Yasinta”.
Urgensi Perlindungan dan Peningkatan Kapasitas Pedagang di Mopah adalah pedagang kecil atau mikro. Dengan karakteristik seperti itu, maka volume usaha dan pendapatan dari kegiatan usahanya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka kesulitan meningkatkan permodalan dari waktu-ke-waktu. Kondisi ini ditopang oleh tingkat pendidikan yang rendah, sehingga sulit mengadopsi ilmu dan teknologi, melakukan perencanaan usaha, serta kemampuan memasarkan. Ada cerita dari pengelola pasar menggambarkan kondisi di atas. Harga tomat hari ini akan dijual dengan harga yang sama pada esok hari, tanpa mempertimbangkan kondisi yang layu. Mereka kekeuh dengan harga kemarin sekalipun barang sudah rusak. Setelah itu tidak ada pilihan lain selain membuangnya. Mungkin cerita itu agak “dilebih-lebih”kan, namun sekurang-kurangnya dapat memberikan gambaran tentang betapa banyak pedagang di pasar Merauke yang kemampuan berdagang dan mengelola barang dagangannya perlu ditingkatkan. Berdasarkan gambaran di atas, maka mau tidak mau peran pemerintah amat dibutuhkan tidak saja untuk mengantisipasi munculnya konflik pedagang, tetapi juga
25
untuk memberi bimbingan dan pendampingan mereka dapat meningkatkan kemampuannya dalam berdagang, sekaligus meningkatkan pendapatannya.
Mewujudkan Misi Pasar Ampera Pilihan nama seharusnya telah mewujudkan visi dan misi “Amanat Penderitaan Rakyat”. Pasar Ampera diharapkan tidak saja dapat menjadi pilar pemersatu masyarakat yang berlatar belakang beragam, tapi juga menjadi pusat kegiatan bisnis yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat di Merauke. Mewujudkan misi di atas tentu tidaklah mudah. Berdasarkan kondisi tergambar di atas, pengelolaan pasar Ampera seharusnya juga “sensitif” terhadap dinamika permasalahan yang terjadi. Ketiadaan aturan main yang jelas yang mengatur perilaku pedagang, akan berdampak pada kegagalan dalam mewujudkan pasar Ampera sesuai dengan nama dan misinya.
Pemindahan pedagang dari pasar sementara Mopah ke pasar Ampera direncanakan selesai tahun 2012. Ada pekerjaan besar yang membutuhkan komitmen dan kerjakeras untuk mewujudkan misi Pasar Ampera. Beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di antaranya melindungi pelaku pasar “tradisional”, dari aspek SDM, permodalan, keahlian, dll, yang masih lemah. Menjadikan pasar Ampera menjadi etalase bagi produk lokal selain etalase produk-produk modern khususnya barang modal (capital goods). Ketersediaan barang-barang modal yang makin dekat, akan memberi multiplier effect yang besar bagi perkembangan ekonomi Merauke. Drs. Puthut Indroyono Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan - UGM ; Wakil Pemimpin Redaksi Swara33 - Mubyarto Institute
Pemberian “kartu pedagang” barangkali merupakan salah satu solusi permulaan bagi “legalitas” pedagang yang nantinya berhak menempati lokasi baru di pasar Ampera. Langkah ini diperlukan mengingat makin meningkatnya animo pedagang “pendatang baru” dan masyarakat yang ingin mendapatkan jatah kios dan los di pasar Ampera. Menurut informasi, sudah ada 500 proposal yang dialamatkan ke Bupati untuk mendapatkan tempat di pasar baru tersebut. Kondisi pedagang yang bermacam-macam tentu membutuhkan perlakuan yang berbeda. Selain itu, menjadikan pasar Ampera menjadi pasar induk membutuhkan perencanaan yang matang. Sudah tentu dibutuhkan semacam pengklasifikasian pedagang berdasarkan besar-kecilnya aset dan volume penjualan mereka. Sebagai pasar induk, padagang tidak hanya melayani retail, tetapi juga melayani para pedagang dari daerah lain atau dari pasar-pasar “sekunder” (di Merauke ada 6 pasar kecamatan – Sota, Semangga, Malind, Kurik, Ilwayab, Kinaan) dengan pola transaksi yang tentu lebih besar. Pada tahapan yang sama juga perlu dipikirkan bagaimana melindungi sekaligus mengembangkan kapasitas pedagang, baik yang memiliki aset dan volume dagangan yang bersifat mikro, kecil, dan menengah. Perekonomian Merauke sebagai penghasil pertanian beras nomor satu di Indonesia Timur atau sebagai wilayah penghasil ikan yang relatif besar, tentu harus tercermin di pasar Ampera nantinya. Beras Merauke yang dikenal “enak” tentu harus menonjol sebagai salah komoditi utama yang diperdagangkan di pasar Ampera, selain jenis ikan unggulan tertentu hasil nelayan Merauke. Demikian pula komoditas-komoditas unggulan Merauke lainnya, seperti lada hitam, kulit gambir, mete, termasuk produk industri rakyat yang berbasis pertanian dan perikanan. Selama ini pengembangan komoditas itu melalui pendampingan oleh dinas-dinas terkait telah dilakukan, meskipun belum sampai pada upaya pemasaran secara sistematis melainkan diusahakan secara parsial. Pada tahapan ini kerjasama antar instansi pemerintah sangat dibutuhkan.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
26
WARTA
Pustek UGM
Buka Sekolah Pasar Untuk Pedagang
Persaingan antara pasar modern dengan pasar rakyat sudah sedemikian memprihatinkan. Demikian diungkapkan Awan Santosa, Direktur Sekolah Pasar dalam diskusi di Lembaga Ombudsman Swasta, 18 Januari 2012.
D
iskusi yang juga dihadiri oleh Forum Silaturahmi Paguyuban Pedagang Pasar Yogyakarta ini sekaligus sebagai sosialisasi Program Sekolah Pasar yang rencananya akan dilaksanakan Awal Maret dan berlangsung di semua pasar di Yogyakarta. Sekolah Pasar diharapkan mampu untuk mendorong pasar agar lebih mandiri, berkoperasi dan terkoneksi satu sama lain sehingga harapan ke depan pasar rakyat akan menjadi lebih maju. Inovasi yang terbatas, rasa persatuan usaha yang rendah, teknologi yang tak berkembang dan pendidikan yang minim dipandang sebagai satu kelemahan yang harus dicari jalan keluarnya dari pasar tradisional. Dari hasil Studi Formulasi yang dilakukan oleh PUSTEK UGM bekerjasama dengan LOS DIY didapati omset pedagang terus menurun setelah tahun 2007 tepat saat semakin bertumbuhnya ritel modern di Yogyakarta. Ancaman atas tumbuh kembangnya ritel modern bukan hanya pada wilayah ekonomi saja, tetapi nilai-nilai individualisme pasar bebas, budaya konsumtif terus saja menggusur nilai nilai
SWARA33 | 002 | Juni 2012
kebersamaan, gotong royong yang disebarkan bersamaan dengan persaingan bebas sebagai selubung kolonialisasi ekonomi. Faktanya saat ini di Indonesia terdapat 28 ritel modern yang menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan omset Rp. 70,5/trilyun, yang berarti satu perusahaan menikmati Rp. 2,5 trilyun omset ritel/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Kontras dengan ritel tradisional yang beromset Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pedagang, sehingga satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan. Tujuan sekolah Pasar ini adalah sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pelaku pasar tradisional, wahana belajar bersama, bertukar pikiran, serta tempat persemaian gagasan inovasi dan pemajuan pasar tradisional ke depan.
http://www.wartapasarjogja.com/2012/02/pustek-ugmbuka-sekolah-pasar-untuk-pedagang/n
27
Refleksi
DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI Prof. Dr. Mubyarto Guru Besar FE-UGM Yogyakarta
Pendahuluan Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.
Reformasi Kebablasan Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakankebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bankbank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku
28
Refleksi bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional. Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata. Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasilhasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.
Amandemen terhadap Amandemen: Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
SWARA33 | 002 | Juni 2012
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat) Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan. Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945. Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.
Ilmu Ekonomi Sosial Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164) Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa: The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142) Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku perta-
29
Refleksi manya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik. Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan sematamata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri. Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan. Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.
Penutup Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.
The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140) Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal. 3 Juni 2003 Bibliografi Hill, Polly, 1975. A Plea for Indigenous Economics: The Western African Examples Hunt, E.K. History of Economic Thought: A critical Perspective, 1979. California, Wadsworth Publishing Company, Inc. Keynes, John Maynard, 1935, The General Theory of Employment, Interest, and Money, London. Macmillan & Co., Ltd. Lunati, M. Teresa, 1997, Ethical Issues in Economics: From Altruism to Cooperation to Equity, MacMilalan, London. Mubyarto & Bromley, 2002. A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFEUGM. Mubyarto, Hudiyanto, & Agnes Mawarni, Ilmu Koperasi, (konsep), akan terbit. Myrdal, Gunnar, 1975. Against the Stream: Critical Essays on Economics, New York, Vintage Books. Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral Sentiments, Washington D.C. Regnery Publishing. Stanfield, J. Ron, 1979, Economic Thought and Social Change, London and Amsterdam, Feffer & Simons, Inc. *) Disampaikan pada Seminar Bulanan ke-5 PUSTEP-UGM, Yogyakarta 3 Juni 2003.
Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi
SWARA33 | 002 | Juni 2012
30
PROFIL
MUBYARTOInstitute Pendiri bangsa merumuskan dasar negara -UUD 1945- berisi cita-cita dan fondasi ekonomi Indonesia. Pasal 33 mengamanatkan jalan demokrasi ekonomi dengan pilar koperasi (ayat 1) dan peranan negara yang besar pada kekayaan alam dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal tersebut mengandung agenda pemerdekaan ekonomi, merombak sistem (tatanan) kolonial menjadi berwatak nasional. Merdeka bukan sekedar bermakna politik melainkan juga ekonomi. Sayang, cita-cita itu makin tergerus laju globalisme-ekonomi. Sistem kolonial bermetafora menjadi sistem ekonomi Neoliberal. Satu per satu kekayaan bangsa berpindah ke perusahaan asing, sementara perusahaan milik negara menunggu giliran privatisasi. Anggaran negara terkoyak akibat jebakan hutang. Krisis energi (kelangkaan BBM, listrik, gas, dan batu bara) beriringan dengan meningkatnya kemiskinan dan pengangguran. Ketimpangan struktural makin melebar dan menempatkan ekonomi rakyat di lapis paling marjinal. Pemikiran Mubyarto yang konsisten berpihak pada ekonomi rakyat dan sistem ekonomi kerakyatan sangat relevan dan berpijak pada konstitusi. Prakarsa pendirian Mubyarto Institute (Mubins) adalah merajut kembali dan mengkaji untuk menghasilkan sistem, konsep, dan model yang dapat diimplementasikan pada tataran praksis di negeri ini. Dalam pada itu Mubins perlu melibatkan berbagai pihak, baik individu-individu maupun organisasi yang sejalan, serta bersama-sama berupaya mewujudkannya. Visi Mubyarto Institute: “Menjadi Pusat Kajian Pemikiran Mubyarto untuk merumuskan sistem, konsep dan model Ekonomi Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi serta berupaya menerapkannya di Indonesia” Misi Mubyarto Institute: Pertama, Mengembangan penelitian dan kajian tentang sejalan dengan garis pemikiran Mubyarto tentang Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi di Indonesia. Kedua, Menyebarluaskan hasil penelitian dan kajian Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi. Ketiga, Membangun jejaring untuk merajut gerakan bersama guna mewujudkan dan menerapkan Sistem Ekonomi Kerakyatan dan Demokratisasi Ekonomi di Indonesia Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi dan tujuan tersebut Mubyarto Institute berupaya menetapkan strategi melalui program utama, yakni: Penelitian, Pendidikan, Penyebarluasan Pemikiran, Diskusi Ilmiah-kritis, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pengembangan Jaringan. Mubyarto Institute adalah Badan Pelaksana dari Yayasan Mubyarto yang didirikan oleh para sahabat, murid-murid, kolega terdekat, dan keluarga almarhum Prof. Mubyarto. Sebagai pelaksana harian, saat ini Mubyarto Institute dipimpin oleh Dr. Fahmy Radhi, MBA sebagai Direktur Eksekutif dan Drs. Puthut Indroyono sebagai Sekretaris. Selain itu, dibentuklah bidang-bidang yaitu : Bidang Kerjasama Kelembagaan dan Informasi; Penelitian dan Pemikiran, Pemberdayaan Masyarakat; dan Pendidikan dan Pelatihan. Mubyarto Institute Jalan Mahoni, Bulaksumur B-2 Yogyakarta 55281 Telp./Fax. : 0274-555664 Email :
[email protected] Website : http://www.mubyarto.org
SWARA33 | 002 | Juni 2012
Donasi dapat disalurkan melalui Bank BNI Cabang UGM Yogyakarta a.n. YAYASAN MUBYARTO No. Rek. 185.381.335
31
ADVERTORIAL
SWARA33 | 002 | Juni 2012
32
ADVERTORIAL
Sekolah Pasar adalah gerakan inisiatif sosial yang bertujuan untuk memberikan pendidikan alternatif berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi bagi para pegiat pasar tradisional di DIY. Sasaran dari program ini adalah para pegiat di pasar-pasar tradisional, antara lain: para pedagang, pemasok, pengecer, petugas koperasi pasar, serta pihak-pihak yang bersinggungan baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan di pasar tradisional sehari-hari. Sekolah Pasar merupakan wahana belajar bersama, bertukar pikiran, dan saling berbagi gagasan inovasi dalam upaya mengembalikan kesejatian pasar tradisonal sebagai tempat pemasaran produk-produk masyarakat desa, dengan demikian diharapkan nantinya ketergantungan pasar terhadap pasokan produk pabrikan berangsur-angsur dapat berkurang. Sekolah Pasar akan menjadi media pendidikan untuk menanamkan kecintaan kepada anak-anak, remaja, mahasiswa, dan masyarakat terhadap produk-produk lokal dan pasar tradisional. Ia akan menjadi media pengkaderan, pewarisan, dan persemaian nilai-nilai kebersamaan dan kemandirian ekonomi yang perlu dimiliki generasi muda calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Sumbangsih anda dalam bentuk material maupun moral sangat berharga bagi kesukseskan pelaksanaan Sekolah Pasar ini. Anda dapat berpartisipasi dengan menyalurkan donasi anda melalui: * Transfer via BRI Kantor Unit Gejayan No Rek 0987-01-015787-53-2 atas nama Awan Santosa * Transfer via Mandiri Kantor cabang Katamso No Rek 137-000-9899-499 atas nama Ellya Kumalasari * Datang langsung ke sekertariat Sekolah Pasar di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Komplek Bulaksumur B-2 Yogyakarta Informasi lebih lanjut dapat diakses melalui website kami di www.sekolahpasar.com Contact person: Erika Fauzia (08128089263) Abid Muhammad (085654486746)
SWARA33 | 002 | Juni 2012
33