Vol. VII No. 3 Tahun 2013
ISSN: 0854-1307
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING Penanggung Jawab Rektor Universitas Islam Malang Penasehat Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Ketua Dewan Penyunting Drs. Agus Zainal Abidin, M.Si Wakil Ketua Dewan Penyunting Khoiron Sekretaris Dewan Penyunting Hayat Wakil Sekretaris Daris Zunaida Dewan Penyunting Slamet Muchsin Sri Nuringwahyu Rini Rahayu Kurniati Siti Saroh Abdul Aziz SR Ratna Nikin Hardati Nurul Umi Ati Susilowati Roni Pindahanto Widodo Penyunting Ahli/ Mitra Bestari M. Bashori Muchsin Yaqub Cikusin Ali Masykur Musa Pelaksana Tata Usaha Wawan Budi Cahyono Rudi Nawono Diterbitkan Oleh Fakultas Ilmu Administrasi Unisma Press Alamat Kantor FIA Unisma Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144. Telp. 0341 565802 Email:
[email protected] Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
Vol. VII No. 3 Tahun 2013
ISSN: 0854-1307
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE Rulam Ahmadi ....................................................................................................................... 1-10 BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA Hayat .................................................................................................................................. 11-22 ESTABLISHING AN INSPECTION SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA Ahmad Aniq ......................................................................................................................... 23-47 GERAKAN NEOPATRIONALISME: REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL Umi Salamah ...................................................................................................................... 48-50 PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang Siti Saroh ............................................................................................................................ 51-59 NEOPATRIONALISM MOVEMENT: Counter To The Hegemony Of Neoimperialism (Capitalist) Umi Salamah ...................................................................................................................... 60-61 PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN Nurul Umi Ati ..................................................................................................................... 62-76 PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN Frince Ayomi, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati .................................................................. 77-86 PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN Frits Isak Yesaya Masini, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ................................................. 87-95 PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda Kabupaten Waropen Henike Waitariri, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ................................................ 96-105 DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN Henriko Arisoy, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ........................................................... 106-113 Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
Vol. VII No. 3 Tahun 2013
ISSN: 0854-1307
STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN WAROPEN Hilal Askar, M. Bashori Muchsin, Rini Rahayu K ......................................................... 114-123 PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN Johanis Wattimury, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ........................................... 124-133 KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis Khoiron ............................................................................................................................ 134-140 FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang Agus Zainal Abidin .......................................................................................................... 141-150
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
Vol. VII No. 3 Tahun 2013
ISSN: 0854-1307
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Pelopor kali ini merupakan terbitan ketujuh dengan Volume VII Nomor 3 bulan September tahun 2013. Jurnal Pelopor terbit 3 (tiga) kali dalam satu satu tahun, yaitu bulan Januari, bulan Juni dan bulan September. Semoga dapat memberikan pemahaman dari fokus yang diangkat dalam terbitan juranl pelopor dan memberikan konskuensi nyata untuk pengembangan Tri Dharma Peguruan Tinggi sebagai penunjang kemaslahatan masyarakat secara kontinue. Kami mengundang seluruh komponen masyarakat ilmiah secara umum, mahasiswa, dosen, akademisi, para ahli serta professional untuk menyumbangkan pemikiran keilmuannya, terutama dalam bidang sosial, politik, maupun budaya untuk menjadikan tambahan khasanah keilmuan dan kemaslahatan ummat secara mandiri dan kompatibel. Seluruh isi dan substansi jurnal pelopor merupakan tanggung jawab dari penulis, redaksi berhak mengedit dengan tidak mengubah substansi isi dari jurnal. Redaksi jurnal pelopor tidak bertanggung jawab atas isi dan substansi dari keseluruhan jurnal yang sudah diterbitkan.
Selamat membaca.
Malang, September 2013
Redaksi
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Rulam Ahmadi Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Abstrak Terwujudnya good governance merupakan harapan seluruh masyarakat, yakni nilai yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembanguan berkelanjutan dan keadilan sosial.. Berhasil atau tidak cita-cita pembangunan nasional antara lain ditentukan oleh bagaimana pelayanan publik berjalan dengan baik, yakni pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan mempermudah proses pemenuhan kepentingan orang banyak (publik) atau masyarakat, khususnya kebutuhan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Sedangkan baik atau tidaknya pelaksanaan pelayanan publik itu tergantung pada sikap dan perilaku pelayan publik (pemerintah) itu sendiri. Sikap dan perilaku pelayan publik yang baik adalah semisal sikap dan perilaku (karakteristik) guru yang baik. Pelayan publik secara langsung atau tidak langsung juga berperan sebagai guru (pendidik) rakyat. kata kunci: pelayanan publik, guru yang baik, good governance
Abstract Good governance is the hope of the entire society , the values that uphold the interests of the people , and the values that can improve the ability of people in the achievement of ( national ) self-reliance , sustainable development and social justice .. Successful or not national development goals , among others, is determined by how the public service goes well , the service is in accordance with the applicable rules and simplify the process of fulfilling the public interest (public) or the community , especially basic needs , such as health , education , security and so on . While whether or not the implementation of the public service depends on the attitudes and behavior of public servants ( government ) itself . Attitudes and behavior of public servants is such a good attitude and behavior ( characteristic ) of good teachers . Public servants directly or indirectly act as teachers ( educators ) people . keyword : public services , good teachers , good governance
itu menjadi orang-orang yang membawa rahmat di permukaan bumi. Pemerintah sebagai lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya (Sedarmayanti, 2004: 2) memiliki tugas kekhalifahan, yakni menjalankan tugastugas negara dengan baik menuju
PENDAHULUAN Pada dasarnya setiap manusia dilahirkan di dunia sebagai khalifah di bumi. Manusia itu mengemban tugas dan kewajiban untuk menyebarkan dan melaksanakan kebaikan dan melarang serta menghindari perbuata terlarang pada seluruh umat manusia, sehingga manusia 1
terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance) demi terwujudnya citacita pembangunan nasional.. Istilah guru hingga saat ini masih dikonotasikan dengan orang-orang yang mengajar di sekolah (formal) semata. Umumnya, orang-orang yang tidak bekerja mengajar di sekolah tidak disebut sebagai guru. Misalnya, seorang petani dan pedagang merupakan sebutan yang dikaitkan dengan pekerjaan sehari-hari. Ada juga di masyarakat yang disebut guru spiritual, tetapi umumnya orang-orang yang disebut guru spiritual itu lebih cenderung berkenaan dengan kepentingan di luar nalar (non-ilmiah) dalam memecahkan suatu peroalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya. Sebenarnya setiap orang yang menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap (semua itu disebut ilmu) pada orang lain, walau hanya satu huruf, termasuk guru. Guru itu bisa yang bertugas di sekolah (formal), di luar sekolah (nonformal), maupun bersifat individual (informal). Pelayan publik, pada hakikatnya juga adalah memainkan peran sebagai seorang guru dalam arti luas, yakni guru yang berperan secara tidak langsung melalui proses pemberian layanan publik. Pelayan publik sebagai guru adalah bertugas menyampaikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, memotivasi, dan mengarahkan masyarakat tentang kebaikan dan mencegah berbuat yang sebaliknya (kemungkaran) terkait dengan bidang tugas yang diembannya. Pelayan publik itu harus menunjukkan ketauladanan pada masyarakat sehingga masyarakat patuh dan tunduk pada mereka.. Kalau pelayan publik melakukan kemungkaran maka fungsi sebagai guru sudah gugur dengan sendirinya. Kalau melakukan kejahatan, maka mereka termasuk penjahat di atas segala penjahat. Mereka bukan sebagai sumber kebaikan, melainkan sebagai sumber kejahatan yang memungkinkan rusaknya tatanan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Sebagai guru artinya pelayanan publik adalah orang-orang yang dapat ditiru atau ditauladani tentang pengetahuan, sikap, dan perilakunya yang
baik. Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan tentang tugas yang yang berkenaan dengan tugas diembannya. Mereka harus tahu dan paham benar bidang tugasnya. Misalnya, kalau mereka seorang petugas keamanan harus paham betul pengetahuam tentang keamanan dan strategi bagaimana memelihara dan meningkatkan keamanan di masyarakat. Bukan sebaliknya, justeru petugas keamanan menjadi terlibat kerusuhan di masyarakat. Dalam pengalaman keseharian sering sekali sikap dan perilaku pelayan publik tidak mewujudkan peran dan fungsi sebagaimana mestinya. Sebagian diantara mereka justeru menciptakan kerusakan atau kemungkaran di tengah-tengah masyarakat, yang membuat masyarakat kecewa, cemas, takut, dan kadang tersakiti baik fisik maupun psikologisnya. Banyak juga penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan yang sangat bertentangan dengan tugas dan kewajiban yang diembannya. Tidak jarang kita membaca di berbagai sumber media bahwa petugas keamanan minum-minuman keras yang membuatnya mabuk lalu berbuat onar di masyarakat. Dalam memberikan pelayanan publik para pelayan publik harus memiliki ilmunya bagaimana melaksanakan tugas sebagai pelayan publik. Banyak sumber bacaan sebagai sumber ilmu dan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas. Namun kenyataanya, mereka tidak begitu termotivasi untuk belajar untuk menunjukkan kinerja yang baik sehingga memuaskan publik sebagai penerima layanan. Karena mereka enggan belajar, maka tidak heran jika beberapa pelayan publik tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, bahkan membuat ketidaktenangan bagi masyarakat luas. Malas belajar adalah melangkah menuju kemunduran dan kegagalan. Sekali seseorang diangkat sebagai pelayan publik tidak berarti sudah berhasil dalam mencapai cita-cita untuk bekerja sebagai pelayan publik. Justeru sebagai pelayan publik harus belajar secara terusmenerus untuk terus meningkatkan kinerjanya sebagai pelayan publik. Kehidupan terus berubah yang cenderung 2
membawa lahirnya kebutuhan dan tuntutan baru yang mensyaratkan dimilikinya pengetahuan baru, sikap baru, dan pengetahuan baru. Untukbisa beradaptasi dengan perubahan itu maka pelayan publik harus terus belajar meng-upgrade kemampuannya.
Kemudian dalam UU RI Nomor 25 Tahun 2009 dikemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya transformasi peran korporasi dan lembaga non-pemerintah dalam layanan publik , maka banyak koporasi dan lembaga non-pemerintah terlibat dalam layanan barang dan jasa yang menurut peraturan perundangan menjadi kewajiban pemerintah untuk mennyediakannya (Dwiyanto, 2010, 17). Dengan adanya transformasi tersebut maka membawa pergeseran konsep pelayanan publik di mana pelayanan publik bukan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah semata, tetapi bisa dilaksanakan oleh lembaga non-pemerintah. Sebagaimana ditegaskan oleh Dwiyanto (2010: 17) bahwa tidak semua lembaga penyelenggara layanan publik adalah instansi pemerintah. Lembaga nonpemerintah dapat menjadi lembaga penyelenggara pelayanan publik apabila mereka berpartisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah menyangkut segala kepentingan masyarakat atau dimensi pembangunan. Pelayanan publik tidak harus pemerintah yang melakukannya, tetapi juga bisa jadi dilakukan oleh non-pemerintah, seperti dikatakan oleh Sinambela (2008:14) bahwa pelayanan publik adalah pengadaan barang dan jasa publik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Konsep Sinambela ini lebih luas di mana pelayan publik bukan terbatas pada pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh non-pemerintah (swasta yang menjadi partner pemerintah). Kemudian siapa yang disebut sebagai pelayan publik. Lazimnya kalau kita berbicara tentang istilah pelayan publik maka menunjuk pada instansi pemerintah. Di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
PEMBAHASAN Konsep Pelayanan Publik Kata pelayanan merupakan istilah yang lazim digunakan oleh masyarakat luas dalam seluruh bidang pembangunan, khususnya dalam sektor pemerintahan. Kemudian kata pelayanan (atau kadang disebut layanan) dipadukan dengan kata publik atau masyarakat sehingga menjadi pelayanan (atau) layanan publik atau layanan masyarakat. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik semula dipahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik (Dwiyanto, 2010. 14). Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan oleh pemerintah pada masyarakat yang membutuhkan layanan dari pemerintah dan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Dengan kata lain bahwa pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara negara (Sinambela dkk., 2008:5). Selanjutnya Sinambela dkk. (2008:5) menyatakan bahwa pelayanan publik adalah sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Menurut Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik bahwa layanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (Sinambela, 2008:5). 3
diketengahkan ada istilah penyelenggara pelayanan publik dan pelaksana pelayanan publik. Pada Bab I, Pasal 1, Ayat 2 bahwa “Penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.” Sedangkan pada Ayat 5 disebutkan bahwa “Pelaksana pelayanan publik yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.” Pada intinya pelayan publik adalah intituasi pemerintah , pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja melaksanakan pelayanan publik. Termasuk institusi atau orang-orang nonpemerintah (swasta ) yang menjadi partner pemerintah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan tugas pelayanan publik.
dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang dan hak azazi manusia; (3) transparansi (tranparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebabasan aliran informasi; (4) daya tanggap (responsiveness): Setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders); (5) berorientasi konsensus (concensus orientation): Pemerintahan yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah; (6) berkeadilan (equity): Pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang baik gterhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya; (7) efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengann kebutuhan melalui pemanfaatan sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia; (8) akuntabilitas (accountability): Para pengambil keputusan dalam organisasi sektor publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban kepada publik, sebagai halnya (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (stakeholders); (9) visi strategis (strategic vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Karakteristik Kepemerintahan yang Baik Karakteristik kepemerintahan yang baik (good governance) telah dikemukakan oleh banyak ahli yang didasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya masingmasing. Salah satu karakteristik kepemerintahan yang baik dikemukakan oleh UNDP. Menurut UNDP (1997) dalam Serdarmayanti (2004: 5) bahwa karakteristik atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kemerintahan yang baik, meliputi: (1) partisipasi (participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masingmasing; (2) aturan hukum (rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundangundangan harus berkeadilan, ditegakkan
Ide-ide Pokok New Public Service Ide New Public Service ini sengaja diangkat karena memberikan inspirasi bagi upaya pelaksanaan pelayanan publik yang baik yang potensial bagi upaya mewujudkan good governance. Dalam bukunya yang berjudul New Public Service: 4
Serving Rather than Steering, Robert B. Denhardt & Janet Vinzant Denhardt (Nawawi, 2010:34-35 dan Terry, 2000:549) mengetengahkan ide-ide pokok tentang New Public Service sebagai berikut: (1) melayani warga negara, bukan pelanggan (serve the citizens not customers). Kepentingan publik adalah hasil daripada dialog tentang nilai-nilai bersama daripada kumpulan kepentingan pribadi individual. Oleh karena itu para pelayan publik tidak hanya merespon tuntutan para “pelanggan” tetapi fokus pada membina hubungan kepercayaan dan kerjasama dengan dan antar warga negara; (2) kepentingan publik adalah tujuan, bukan produk (the public interest is the aim, not the by-product). Para administrator publik harus berkontribusi untuk membina gagasan kolektif dan bersama tentang kepentingan publik. Tujuannya adalah bukan untuk menemukan solusi cepat yang dikendalikan oleh pilihanpilihan individual. Lebih dari itu adalah kreasi kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama; (3) mengutamakan warganegara dan layanan publik daripada kewiraswastaan (value citizenship and public service above entrepreneurship). Kepentingan publik dikedepankan dengan lebih baik oleh para pelayan publik dan warga negara yang komit untuk membuat kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat daripada manajer pengusaha yang bertindak seolah-olah uang publik adalah milik mereka sendiri; (4) berpikir secara strategis, bertindak secara demokratis (think strategically, act democratically). Kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secara paling efektif dan bertanggung jawab melalui usaha bersama dan proses kerjasama; (5) akuntabilitas adalah tidaklah mudah (accountability isn‟t simple). Para pelayanan publik harus perhatian pada orang banyak daripada pasar; mereka harus juga mengikuti peraturan perundangan dan konstitusi, nilainilai masyarakat, norma politik, standar profesional, dan kepentingan warga negara; (6) melayani daripada mengendalikan (serve rather than steers). Peranan pelayanan publik yang semakin meningkat
untuk membantu warga negara mengartikulasi dan memenuhi kepentingankepentingan bersama mereka daripada mengarah untuk mengawasi atau mengendalikan masyarakat dalam arah-arah baru; (7) menghargai masyarakat, bukan hanya produktivitas (value people, not just productivity). Organisasi publik dan jaringan kerja di mana mereka berpartisipasi lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka panjang apabila mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama berbasis pada penghargaan terhadap semua warga negara. Ide New Public Service Robert B. Denhardt & Janet Vinzant Denhardt tersebut sebenarnya bisa dijadikan indikator bagi pelayan publik yang baik. Artinya bahwa bahwa pelayan publik yang baik apabila mereka melaksanakan pelayanan publik dengan menerapkan ide-ide pokok tersebut. Pelayan Publik sebagai Guru yang Baik Pelayan publik yang baik memiliki karakteristik lain sebagai guru yang baik. Artinya bahwa seorang pelayan publik selain memiliki karakteristik spesifik sesuai tugas dan tanggungjawabnya mereka perlu menginternalisasikan sifat-sifat guru yang baik sehingga pelayanan publik terlaksana dengan secara efisien dan efektif. Keberhasilan pelayanan publik adalah ditandai oleh kepuasan publik penerima pelayanan. Menurut Amin Ibrahim (Ibrahim, 2008:71) bahwa kepuasan pelanggan dalam konteks pelayanan publik yang prima antara lain meliputi: 1) Selalu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan memperhatikan aspekaspek: komunikasi yang baik, suasana psikologis dan perilaku melayani. 2) Selalu berupaya menciptakan citra positif dimata masyarakat yang dilayani. 3) Membuat pihak yang dilayani merasa diperhatikan. 4) Menyeleraskan antara apa yang dikatakan dengan cara mengatakanya dan dengan perbuatan yang nyata. 5) Mengenal dengan baik pihak-pihak yang dilayani. Cara-cara dalam pelaksanaan pelayanan publik hendaknya memperhatikan nilai dan etika karena baik 5
pelayan publik dan masyarakat sama-sama sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki harga diri dan perasaan yang harus dihormati dan dimuliakan apapun status sosial manusia. Pelayan publik, dalam hal ini aparatur pemerintah maupun para pelaku korporasi atau lembagalembaga non-pemerintah, adalah juga guru atau pendidik yang baik. Konsep guru yang baik dikutip dari ide seorang ahli yang bernama Paul Ramsden. Beberapa karakteristik guru yang baik (great teacher) dijadikan suatu kerangka konseptual untuk menggambarkan pelayan publik sebagai guru yang baik. Beberapa karakteristik pelayan publik sebagai guru yang baik adalah sebagai berikut: Pertama, guru yang baik adalah juga murid yang baik. Artinya bahwa pelayan publik itu harus terus belajar seperti murid yang belajar mencari pengetahuan dan pengalaman baru dalam rangka meningkatkan kualitas kinerjanya dalam memberikan layanan publik. Pelayan publik bukan hanya belajar dari bahan bacaan berupa buku dan sejenisnya, melainkan mau belajar melalui mendengarkan orangorang yang menerima layanan publik. Selain itu juga pelayan publik berkenan untuk berbagi pengetahuan dan kemampuan dengan sesama kolega pelayan publik melalui pertemuan berkala atau insidental dengan bentuk kegiatan dialog atau diskusi. Mengapa pelayan publik harus terus belajar? Dalam konsep pendidikan seumur hidup bahwa belajar itu berlangsung seumur hidup manusia. Konsep ini beralasan karena sebagaimana kita pahamai bersama bahwa kehidupan ini terus berubah dan semakin kompleks yang tidak jarang membawa dampak pada munculnya persoalan-persoalan baru di masyarakat yang tidak pernah dialami sebelumnya. Pelayan publik harus mau belajar dari pengalaman masa lalunya sendiri selama melaksanakan tugas memberikan layanan pada publik, sehingga mereka mampu mengubah cara-cara memberikan layanan jika sekiranya ternyata cara-cara tempo dulu tidak baik. Selain itu mereka mau meneruskan dan meningkatkan cara-cara melayani publik yang sekiranya publik
merasa puas dengan layanan yang pernah diberikan. Kedua, pelayan publik juga berkenan untuk belajar dari teman koleganya tentang berbagai hal yang berkenaan dengan tugas utamanya melayani publik. Pelayan publik yang baik tidak memandang rendah pada sesama koleganya walaupun mungkin karena perbedaan posisi. Setiap orang memili pengalaman tersendiri yang mungkin berbeda satu sama lain, maka dengan cara tukar pengalaman dan pemikiran akan mampu meningkatkan kualitas kinerja pelayan publik. Dalam kenyataan tidak jarang dijumpai pelayan publik tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang tugasnya, sehingga kadangkadang bingung pada saat memberikan layanan publik.Selain belar dari kolega sendiri, pelayan publik yang baik mau belajar dari publik yang menerima layanan dengan cara tukar pikiran atau melalui permintaan respon terhadap publik tentang layanan yang diberikan selama ini. Ketiga, pelayan publik yang baik menunjukkan antusias dalam melayani publik dan berkenan untuk menyampaikan pengetahuan dan pengalamannya pada publik, sehingga kedua belah pihak memiliki pemahaman yang sama tentang tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh keduanya. Pelayan publik yang baik menunjukkan semangat dan hangat dalam melayani publik sehingga mereka merasa senang dan puas tehradap layanan yang diberikan baik tentang ketepatan layanan maupun cara memberikan layanan. Dengan menunjukkan keantusiasan dalam melayani publik maka akan memungkinkan munculnya rasa hormat publik terhadap mereka. Lain halnya jika pelayan publik bersikap acuh tak acuh dalam melayani publik yang membuatnya publik kecewa. Rasa kecewa ini bisa mengubah sikap publik yang semula berharap menerima layanan dengan baik ternyata dilayani dengan kurang perhatian maka mereka akan menilai bahwa pelayan publik tidak memperhatikannya. Di sini yang perlu dipahami bahwa semua manusia dilahirkan dengan potensi perasaan yang mana perasaan seseorang bisa berubah-ubah 6
tergantung bagaimana orang lain menyikapinya atau memperlakukannya. Siapapun manusia tidak akan merasa puas jika disikapi secara acuh tak acuh, dan tidak ada manusia yang tidaki merasa senang jika dilayani dengan antusias. Sikap antusias dalam melayani publik ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam setiap aktivitas pembangunan yang menjadi program pemerintah. Keempat, pelayanan publik yang baik adalah tahu bagaimana cara memodifikasi strategi-strategi pelayanan publik dalam menghadapi publik sesuai dengan karakteristik gtersendiri (spesifik), pokok persoalan, dan lingkungan bertugas. Pelayan publik yang baik senangtiasa merekam pengalaman-pengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Mereka mau membaca atau mengingat pengalamanpengalaman dalam bertugas baik gagal atau berhasil dalam memberikan layanan publik. Jika ada sebuah pengalaman buruk, yakni jelek atau gagal dalam memberikan layanan maka mereka mau belajar untuk melakukan perbaikan strategi yang lebih efektif dalam memberikan layanan. Sebuah strategi layanan dalam waktu dan lokasi yang berbeda cenderung menuntut strategi layanan yang berbeda pula. Sama halnya dengan menghadapi murid, mengajar murid di wilayah yang berbeda kadang-kadang memerlukan strategi yang berbeda karena masing-masing wilayah karakteristik penduduknya berbeda, termasuk budaya yang berkembang di daerah setempat. Pembelajaran pada suatu waktu tidak bisa dilaksanakan sebagaimana pada waktuwaktu sebelumnya karena musim yang berbeda. Contoh, kegiatan sekolah pada musim panen berbeda dengan pada masa menunggu panen. Pada masa tunggu mereka menghadapi masa pengangguran atau setengah nganggur sehingga waktunya lebih leluasa untuk belajar. Tetapi pada musim panen biasanya sebagian besar murid dari keluarga miskin pilih bekerja daripada sekolah. Sama halnya jika pemerintah ingin memberikan pelayanan publik seperti memberikan pelatihan keterampilan pada warga miskin. Memberikan layanan pada masyarakat
miskin di latar yang berbeda memerlukan strategi layanan yang berbeda pula. Termasuk penentuan waktu kapan sebaiknya layanan pelatihan itu diberikan. Dengan demikian pelayan publik yang baik ditunut untuk senantiasa melakukan modifikasi strategi layanan guna lebih mengoptimalkan pelaksanaan pemberian layanan publik. Kelima, pelayan publik yang baik terdorong untuk belajar memahami dan perhatian untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan memecahkan masalah, dan perilaku pendekatan masalah. Pelanan publik tidak bekerja seperti robot yang bekerja secara mekanis sesuai dengan petunjuk dalam pedoman kerja, melainkan harus menggunakan kemampuan berpikir kritisnya sehingga bisa memberikan layanan terbaiknya pada publik. Pelayan publik yang baik senantiasa berlatih menggunakan pikiran kritisnya untuk memecahkan persoalan-persoalan tugas. Melaksanakan tugas dengan cara-cara yang yang tidak baik dan tidak cocok sebaiknya ditinggalkan. Hal ini karena keadaan sudah berubah dan persoalan publik semakin kompleks dan rumit sehingga menuntut para pelayan publik untuk mengembangkan cara berpikir yang kritis. Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pelayan publik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan memecahkan persoalan. Pelayan publik hendaknya banyak berinteraksi dengan orang-rang seprofesi yang terkenal dan berhasil dalam melaksanakan tugas pelayanan publik. Berinteraksi secara intensif menjadi sangat penting sehingga terjadi transfer kemampuan cara berpikir kritis. Berlatih memecahkan persoalan dengan kolega merupakan salah satu alternatif yang disarankan. Dengan sering berlatih memecahkan persoalan maka akan terjadi suatu kepekaan dan kecepatan dalam berpikir, sehingga jika suatu saat dihadapkan dengan suatu persoalan dalam menjalankan tugas mereka akan secara cepat dapat mengatasinya dengan tepat. Kalau suatu persoalan tidak teratasi dengan cepat dan tepat maka persoalan yang dihadapi bisa semakin memburuk dan bisa 7
menimbulkan persoalan-persoalan lain atau persoalan baru yang sangat tidak diharapkan. Katakanlah, bagaimana pemeringtah memberikan layanan berupa pemberian pelatihan keterampilan pada penduduk miskin. Bagi pelayan publik yang tidak berpikir kritis biasanya tidak pernah berpikir bahwa identifikasi kebutuhan dan sumber potensi dipandang tidak penting. Yang penting bagi mereka memberikan pelayanan pelatihan dan program selesai dilaksanakan, walaupun tidak membawa hasil sebagaimana diharapkan. Tidak sedikit program pemerintah yang gagal karena para pelayan publik tidak mau beripikir kritis atau memang tidak mau beripikir lebih jauh tentang bagaimana cara memberikan pelayanan publik yang tepat. Begitu ada program layanan pelatihan keterampilan misalnya, langsung ditentukan waktu dan tempat pelaksanaan program, tanpa melalui suatu tahapan yang seksama, khususnya identifikasi kebutuhan masyarakat miskin dan potensi pendukung keberhasilan program. Mengapa terjadi? Karena mereka memang tidak mau atau tidak mampu berpikir kritis dan tidak terbiasa belajar memecahkan persoalan secara disiplin. Keenam, pelayan publik yang baik adalah menunjukkan kemampuan untuk mentransformasikan dan mengembangkan pngetahuan daripada hanya mentransformasikannya apa adanya. Mereka menunjukkan pengetahuan tentang bidang tugasnya, pemahaman tentang publik yang dilayani, dan pengetahuan tentang teknik-teknik berkomunikasi yang efektif untuk mentransformasikan pengetahuan tentang tugasnya ke dalam istilah-istilah yang mudah dipahami oleh publik. Pelayan publik yang baik adalah paham betul tentang tugas yang diembannya, menggunakan metode-metode penilaian yang cocok, dan memberikan balikan yang berkualitas tinggi pada publik yang menerima layanan. Pelayan publik yang baik senantiasa berusaha untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan publik sehingga setiap pesan atau informasi yang disampaikan pada publik bisa diterima dengan pemahaman yang
sama dengan maksud penyampaian pesan/informasi tersebut. Kadang-kadang ada kesalahan persepsi atau pemahaman publik terhadap apa yang disampaikan oleh pelayan publik. Hal ini semata karena mereka gtidak memiliki kemampuan berkomunikasi secara memadai. Pelayan publik yang baik paham betul tugas yang diembannya dan mampu mengkomunikasikannya pada publik sehingga publik tahu dan paham tentang tugas yang harus ditunjukkan oleh pelayan publik. Perbedaan pemahaman atas pesan/informasi yang disampaikan oleh pelayan publik pada publik bisa juga disebabkan karena kemampuan berkomunikasi pelayan publik yang terbatas atau kemampuan menerima pesan pada pihak publik yang lemah. Perbedaan persepsi bisa juga disebabkan karena publik telah memiliki pengalaman buruk terhadap layanan publik sehingga walau sudah ada perubahan tetap disikap dan direspon secara negatif. Apapun yang terjadi pelayan publik harus tetap pada kewajiban yang dipikulkan di pundaknya untuk memberikan layanan publik yang prima. Mereka harus belajar untuk memahami publik yang dilayani dan belajar bagaimana mampu mengkomunikasi suatu persoalan secara jelas dan mudah diterima. Proses komunikasi dengan penerima pesan (publik) dengan latar budaya dan pendidikan yang berbeda berpengaruh pada tingkat keberhasilan proses komunikasi. Berkomunikasi dengan publik yang latar belakang pendidikan buta hurup beda dengan mereka yang lulusan SMA, dan beda pula dengan mereka yang sarjana. Berkomunikasi dengan masyarakat di daerah pegunungan atau daerah pedalaman berbeda dengan masyarakat yang tinggal diperkotaan. Semua hendaknya dihadapi dengan cara komunikasi yang cocok dengan perbedaan latar tersebut sehingga tidak terjadi kesalahan memaknakan pada setiap pesan/informasi yang disampaikan. Perbedaan masud yang disebabkan lemahnya teknik berkomunikasi dari pelayan publik dengan publik yang dilayani akan menimbulkan kekacauan dalam pikiran dan ketidakmenentuan dalam 8
mengambil keputusan pada publik tentang apa yang seharusnya sampai pada pemahaman mereka. Akibatnya sering terjadi konflik antara pelayan publik dengan publik yang dilayani. Ketujuah, pelayan publik yang baik menunjukkan sikap respek terhadap publik penerima layanan. Mereka tertarik dalam pengembangan profesi dan personalnya, mendorong kemandiriannya, dan mempertahankan harapan yang tinggi dari mereka. Pelayan publik dan publik yang termasuk warga miskin sekalipun adalah sama-sama manusia yang dilahirkan dengan harga diri yang harus dimulyakan. Siapa yang lebih mulian antara pelayan publik dengan publik? Apakah pelayan publik (pemerintah) lebih mulia daripada masyarakat miskin yang menanti uluran tangan (kebijakan) pemerintah sehingga mereka mampu menyambung hidup? Pengemis adalah pengemis, orang miskian adalah orang miskin, namun demikian mereka tetap memiliki perasaan dan harga diri yang juga secara manusiawi harus dimuliakan. Pelayan publik yang baik senantiasa berusaha untuk menghargai mereka walau status sosialnya jauh di bawah pelayan publik. Gejala di lapangan tidak jarang sikap dan prilaku pelayan publik sangat arogan yang sering memberikan layanan dengan cara-cara yang keras dan congkak, sehingga publik merasa tidak aman dan damai dalam hatinya. Apalagi jika kedapatan publik melakukan kesalahan sedikit saja akan menjadi besar dan memang dibesarbesarkan bukan untuk membuat mereka jera atau tidak mengulangi kesalahannya, melainkan untukmemperoleh keberuntungan di balik perbuatan salah publik. Pencuri ayam bisa diperlakukan dengan kejam, sedang jika sesama kolega melakukan kesalahan dilayani dengan baik. Bila orang biasa berbuat salah adalah masalah besar, jika sesama kolega melakukan kesalahan dianggap hal yang wajar sehingga seolah bebas berbuat apapun terhadap publik dengan dalih melaksanakan tugas dan ingin emmbuat keamanan di masyarakat. Merke berkelit
dengan kepribadiannya yang buruk sehingga tidak memiliki etika yang baik dalam melayani publik. Pelayan publik yang baik senangtiasa berusaha tetap menghargaan publik dan memperlakukannya sesuai dengan aturan yang berlaku, bukan dengan caranya sendiri di luar aturan yang berlaku. Pelayan publik yang baik tidak bersikap kasar pada publik, melainkan senantiasa menunjukkan sikap ramah dan hormat pada mereka. Dengan cara yang demikian bisa menjadi suatu pengalaman dan motivasi yang berharga bagi publik sehingga mereka mau terus berpartisipasi dalam pembangunan. Penutup Pelayan publik atau pemerintah adalah sebagai pemberi layanan pada publik atau masyarakat memiliki tanggung jawab atau kewajiban untuk melaksanakan tugas dengan benar dan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Melaksanakan tugas dengan benar, artinya sesuai dengan aturan yang berlaku, dan bahkan lebih dari itu di mana pelayan publik harus belajar ilmu bagaimana cara melaksanakan tugas dengan baik sehingga masyarakat dapat menerima layanannya dengan memuaskan. Menjadi pelayan publik yang baik menjadi harapan masyarakat. Pelayan publik yang baik adalah menunjukkan sikap dan perilaku seperti guru yang baik, yang antara lain adalah menguasai bidang kerjanya dan senantiasa belajar untuk lebih meningkatkan kualitas kinerjanya, bersedia untuk belajar dari kolega dan mendengarkan opini dari masyarakat, melayani masyarakat dengan antusias, memperbarui strategi pelayanan, dan menghargai masyarakat sehingga masyarakat juga menghargainya. Sikap yang demikian akan memungkinkan tumbuh dan berkembangkan saling percaya dan saling menghargai antara pemerintah dan masyarakat, sehingga pada gilirannya tujuan pemerintah dapat tercapai sebagaimana diharapkan.
9
DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto. 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusi, dan Kolaboratir. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep Pelayanan Publik Serta Implementasinya. Bandung: Mandar Maju. Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Nawawi, Ismail. 2009b. Pembangunan dan Problema Masyarakat. Kajian konsep, Model, Teori dan Aspek Ekonomi dan sosiologi. Surabaya: CV. Putera Media Nusantara. Sedarmayanti. 2004. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik. Bagian kedua. Bandung: Mandar Maju. Sinambela dkk. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara. Terry, Larry D.. 2000. Public Administration Review. November/December, Volume 60, Number 6.
10
BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA
Hayat Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Islam Malang email:
[email protected]
Abstrak Sistem perwakilan Indonesia merupakan sebuah konsep pemikiran representasi politik dari rakyat sebagai upaya menyelaraskan keinginan dan harapan bagi masyarakat untuk kehidupan yang lebih sejahtera. Kedudukan MPR sebagai majelis permusyawaratan rakyat mempunyai implikasi dalam menentukan presiden dan wakil presiden dan memberhentikan serta menggantikan ketika berhalangan tetap atau mengundurkan diri dan menyosialisasikan empat pilar kebangsaan dan kenegaraan yaitu pancasila, UUD 1945, Bhinneka Ika dan NKRI dalam rangka meperkuat nilai-nilai Negara kesatuan republic Indonesia secara menyeluruh. disamping itu, MPR sebagai lembaga perwakilan Negara yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih lansung oleh rakyat, tentunya mempunyai komitmen dalam menentukan arah dan stabilitas politik rakyat untuk berkehidupan yang lebih baik. DPR merupakan dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum dengan system keterwakilan dari tingkat daerah kabupaten/kota sebagai representasi untuk penyampaian keluhan dan masalah yang dihadapi oleh rakyat. DPR sebagai penyambung lidah rakyat yang direpresentasikan untuk diteruskan kepada ekskutif sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan. Rakyat yang mempunyai sebuah kedaulatan pemerintahan dalam konteks kenegaraan, maka sudah sepantasnya Dewan perwakilan rakyat sebagai wakilnya menjadikan prioritas utama dalam kinerja dan pengawasan yang dijalani. DPR mempunyai sebuah ruang legislasi sebagai perancang perundang-undangan untuk membuat produk hokum agar dijalankan dan diimplementasikan oleh pemerintah. DPR juga mempunyai fungsi budgeting untuk penganggaran dari setiap kebijakan yang akan dilakukan terkait dapur rumah tangga kepemerintahan secara akuntabel dan seimbang. Sistem keterwakilan di Indonesia ditambah dengan adanya DPD sebagai dewan perwakilan daerah dengan kelahirannya setelah amademen UUD 1945 dengan mempunyai fungsi dan kewenangan yaitu representasi dari daerah sebagai bagian dari proses penyaluran aspirasi yang mewakili daerah dalam menyikapi persoalan-persoalan didaerah yang melingkupi kompleksitas kedaerahan untuk menjadikan keseimbangan antara daerah yang maju dan daerah yang berkembang serta menglokalisir dan mendokumentasikan partisipasi daerah dalam kemajuan daerah secara bersama. dalam hal ini, DPD hanya mempunyai hak merekomendasikan atas temuan-temuannya di daerah dan disampaikan kepada DPR terkait dengan rancangan perundang-undangan untuk ditindaklanjuti dan diputuskan oleh DPR sebagai Undangundang. namun saat ini, DPD mempunyai hak menginisiasi rancangan peraturan perundangundangan untuk diajukan dan dibahas bersama pemerintah dan DPR dalam pembuatan perundang-undangan, sehingga perwakilan DPD semakin menguatkan keterwakilan system pemerintahan Indonesia dalam hal bikameralisme system perwakilan. kata kunci: bicameralisme, sistem perwakilan
11
Abstract Indonesia is a representative system of thought the concept of political representation of the people in an effort to align the desire and hope for the community to a more prosperous life . MPR as a consultative assembly of the people has implications in determining the president and vice president and to dismiss and replace when remains incapacitated or resigns and socialize the four pillars of nationhood and statehood , namely Pancasila , the 1945 Constitution , Unity in Diversity and Homeland in order meperkuat the values of the State unitary republic Indonesia as a whole . besides that , the State Assembly as a representative body composed of members of DPR and DPD are chosen directly by the people , of course, have a commitment in determining the direction and stability for the people's political life which is better. Parliament is a parliament directly elected by universal suffrage with representation system from the local district / city as a representation for the submission of complaints and problems faced by the people . Parliament as a mouthpiece for the people who represented to be forwarded to the executive as executors of government policy . People have a rule in the context of state sovereignty , it is appropriate that the Council of Representatives as a representative to make a priority in the performance and monitoring undertaken. Parliament has legislative chamber as a designer legislation to make legal products that are run and implemented by the government . Parliament also has the function of any budgeting budgeting for planned policies associated household kitchen accountable governance and balanced . Representation system in Indonesia coupled with the DPD as a regional council with his birth after the 1945 amendment to have the functions and authority of the representation of the area as part of the distribution that represents the aspirations of the region in addressing the issues surrounding the complexity of regional areas to make a balance between developed regions and developing regions and menglokalisir and documenting the progress of local participation in the joint area . in this case , DPD has the right to recommend the only findings in the area and presented to Parliament relating to draft legislation to be followed and it was decided by the House of Representatives as the Law . but this time , DPD has the right to initiate draft legislation to be presented and discussed with the government and Parliament in making laws , thus further strengthen the DPD representative system of government representation Indonesia in terms of bicameralism representation system . keywords : bicameralisme , representative system
suatu representasi rakyat kepada wakilnya di dewan perwakilan rakyat, baik daerah maupun pusat untuk menyambungkan suaranya kepada ekskutif sebagai pemangku kebijakan melalui perantara DPR sebagai tugas pokok dan fungsinya sebagai penyeleras keinginan rakyat dengan keinginan pemerintah. mewakili, artinya menjadi bagian terpenting terhadap yang diwakili untuk dilaksanakan dan diserap segala kebutuhannya dalam rangka membentuk karakter masyarakat yang etis menuju kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Keterwakilan tersebut telah ditopang oleh adanya suatu badan perwakilan, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Makna kedaulatan rakyat menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah tatanan pemerintahan yang mewakili seluruh aspirasi rakyat secara utuh dengan mencerminkan nilainilai demokrasi secara objektif maupun subjektifitasnya untuk menjamin keberlangsungan suatu proses pembelajaran bagi seluruh lapisan masyarakat. Perwakilan rakyat dalam hal ini merupakan 12
Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat pusat sampai daearah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik provinsi maupun kabupaten. Sementara itu, sejak amandemen atau perubahan ketiga UUD 1945 yang dihasilkan melalui Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 menghasilkan suatu perwakilan baru yaitu dewan perwakilan rakyat daerah atau yang disingkat dengan DPD RI yang menjadi perwakilan daerah dalam memberikan masukan terhadap pemerintah pusat atau sebagai representasi masayarakat daerah untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai sarana mengimplementasikan kebutuahan dan keberlanjutan daerah secara arif dan berwibawa dalam rangka mensejahterakan daerah dan memperkuat NKRI secara utuh. Sedangkan MPR bukan lagi sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat bersama lembaga Negara lainnya. karena MPR merupakan gabungan dari DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu.dari pelbagai penafsiran, bahwa DPR RI merupakan suatu perwakilan yang mewakili rakyat secara menyeluruh dan DPD RI sebagai representasi perwakilan bagi wilayahnya. walaupun pada prinsipnya mempunyai tugas pokok, fungsi, dan wewenang yang sama, namun dalam prakteknya DPR RI lebih dominan dalam aplikasinya menjalankan tupoksinya sebagai representasi penduduk, sementara DPD RI hanyalah sebagai penyelaras dan penyeimbang dari kinerja DPR bahkan bias dikatakan keberadaan DPD sama halnya dengan “adanya sesuatu tapi sesuatu itu tidak pernah ada”. Hal itu dijewantahkan oleh UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
sepenuhnya kedaulatan rakyat (Anwar C. 2:2013). Kedaulatan pemerintah berada ditangan rakyat, sementara MPR hanya merupakan representasi kedaulatan rakyat itu sendiri karena MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menjadi perwakilan pemangku kedaulatan rakyat melalui pemilihn umum. Dalam perubahan UUD 1945 pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Hal ini tentu mempnyai sebuah spectrum tersendiri atas perubahan keanggotaan MPR, yaitu dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang seluruh anggota MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu dan untuk meningkatkan kualitas legitimasi MPR. Dengan begitu maka demokrasi perwakilan yang dicita-citakan menjadi lebih berkualitas dan sesuai dengan representation by election. Laica Marzuki, 2004, dalam Anwar C. (2013), menyatakan bahwa MPR adalah mandataris rakyat, bukan penerima delegasi, selaku mandataris maka tindakan yang dilakukannya adalah untuk dan atas nama rakyat karena pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pasal 3 jo pasal 8 UUD 1945 menyatakan bahwa MPR mempunyai kewenang antara lain: mengubah dan menetapkan UUD; memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; memilih presiden dan/atau wakil presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD; dan mengadakan siding MPR untuk pelantikan dan pengucapan sumpah/janji jabatan presiden dan/wakil presiden. dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945, keanggotaan dalam MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu: pertama, perwakilan politik (political representation), yaitu para anggota DPR yang dipilih dalam pemilihan umum, yang pada masa orde baru hanya mendapatkan jatah 40 % dari total keseluruh anggota
PEMBAHASAN Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sebelum amandemen UUD 1945, menurut risalah BPUPKI dan PPKI telah disepakati bahwa MPR merupakan temapt bagi bersatunya perwakilan politik rakyta, perwakilan utusan daerah dan perwakilan utusan golongan sebagai pelaksana 13
MPR yang berjumlah total 1000 orang; kedua, perwakilan fungsional (functional representation), yang terdiri dari para utusan golongan, perwakilan golongan ini adalah ABRI yang waktu itu gabungan antara TNI dan POLRI yang notabene dipilih langsung oleh presiden untuk mengisi jabatan MPR, yaitu 100 orang; ketiga, perwakilan kedaerahan (regional representation) yaitu para utusan daerah. Utusan daerah dipilh oleh DPRD provinsi yang mempunyai hubungan erat dengan pemerintahan yaitu terdiri dari pangdam dan tokoh masyarakat yang sudah ditentukan oleh pemerintah daerah melalui intervensi pemerintah pusat. Oleh karena itu, dari berbagai utusan terhadap perwakilan rakyat selama orde baru, pasal 2 ayat (1) tidak sejalan dengan realitas kehidupna perwakilan. Karena secara nyata UUD 1945 menyatakan bahwa anggota MPR terdiri dari anggota DPR yang dipilih langsung melalui pemilihan umum dan ditambah oleh utusan golongan dan daerah. maklumatnya adalah seharusnya anggota MPR itu didominasi oleh anggota DPR yang sejatinya menjadi perwakilan rakyat. Kedudukan, tugas dan wewenang MPR setelam perubahan merupakan sebuah lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara yang mempunyai tugas dan wewenang antara lain: (1) mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; (2) melantik presiden dan wakil presiden; (3) memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan/atau wakil presiden; (4) melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya; (5) memilih dan melantik wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden sealmbat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari; (6) memilih dan melantik presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatnnya dari dua paket calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang paket calon presiden dan wakil presidenya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari; (7) menetapkan peraturan tata tertib kode etik; (8) memilih dan menetapkan pimpinan majelis; (9) membentuk alat kelengkapan majelis. Hal itu menjadikan sebuah perbedaan yang signifikan sebelum amandemen terhadap kewenangan MPR dalam kelembagaan Negara seperti pada ayat (7) bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta pertanggungjawaban kepada presiden dalam implementasi pelaksanaan undangundang (sebelum perubahan) dihilangkan. Maka pertanggungjawaban presiden langsung kepada rakyat secara langsung, karena pemilihan umum dilakukan oleh rakyat, tentunya untuk rakyat dan dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat secara utuh. Kedudukan MPR (setelah amandemen) sejajar dengan DPR sesuai yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: Majelis permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Keberadaan MPR saat ini adalah terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu legislative. sehingga pada tataran kedudukannya MPR sama kedudukannya dengan DPR dan DPD, hanya saja untuk kewenangannya tetap berbeda. lebih lanjut bagir manan dalam Anwar C. (2003. hal. 74-76) mengemukakan bahwa untuk menutupi penyalahgunaan praktek dari UUD 1945 perubahan kedudukan dan mekanisme keanggotaan MPR untuk mewujudkan: pertama, gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat; kedua, gagasan system perwakilan dua kamar (bikameral); ketiga, gagasan menyederhanakan system keanggotaan dengan meniadakan utusan golongan dan 14
mengubah utusan daerah menjadi DPD; dan keempat, gagasan mewujudkan demokrasi dalam mengisi keanggotaan MPR dengan cara pemilihan umum. Bikameralisme dalama gagasan ini menunjuk kepada wewenang yang berbeda dari tugas dan fungsi MPR dengan DPR dan DPD yang mempunyai tupoksi yang lebih rinci. sehingga dapat disimpulkan bahwa, tugas MPR saat ini adalah menetapkan UUD 1945 dan/atau perubahan UUD 1945, melantik dan presiden dan/atau wakil presiden; memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden; dan menetapkan presiden dan/atau wakil presiden pengganti sampai terpillihnya presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana mestinya. Memperhatikan tugas dan kewenangan MPR dalam UUD 1945, merupakan suatu perwakilan yang berbeda dari segi tugas dan fungsinya. bisa dikatakan bahwa MPR mempunyai kamar tersendiri dari pada DPR maupun DPD seperti yang telah disebutkan diatas. walaupun secara parsial keberadaan MPR merupakan kumpulan dari DPR dan DPD yang dipilih langsung oleh rakyat, namun secara tegas berbeda dari tupoksinya. sebagai lembaga perwakilan, MPR hanya memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu; pertama, fungsi legislasi ialah melakukan perubahan dan atau menetapkan undangundang dasar; kedua, fungsi administratif, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden serta memilih/mengangkat Presiden atau Wakil Presiden dalam hal-hal tertentu; dan ketiga fungsi judikatif yaitu memutuskan untuk memberhentikan atau tidak memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang diusulkan oleh DPR. Dengan demikian dibanding dengan sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan dari MPR menjadi sangat terbatas dan limitatif. Walaupun demikian kewenangan MPR merubah dan menetapkan undang-undang dasar serta memberhentikan serta mengangkat dan memilih presiden atau wakil presiden dalam hal-hal tertentu menunjukkan adanya kwenangan besar yang dimiliki MPR. Hal ini adalah wajar karena MPR adalah
gabungan dari seluruh anggota DPR dan DPD. Melihat dari tugas dan wewenang MPR dengan analisa nyata, bahwa kewenangan itu merupakan sebuah ketumpulan terhadap kedaulatan yang ada. karena pada dasarnya kekuatan kedaulatan merupakan sebuah implikasi nyata yang dibutuhkan oleh sang pemberi mandate dengan kekuasaan yang dimilikinya. akan tetapi, melihat dari keempat kewenangan tersebut, maka tugas MPR sebagai majelis permusyawaratan rakyat perlu dikaji ulang, artinya fungsi yang diperankan oleh MPR saat ini masih belum menunjukkan kedaulatan secara harfiah kepada rakyat. sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kamar dalam keterwakilan MPR mempunyai sinkronisasi terhadap keterwakilan yang lain. Secara nyata sudah dipertegas dari wewenang MPR dalam keterwakilan sistem bangsa ini. keterwakilan tersebut mewakili secara mnyeluruh dalam konteks tatanan pemerintahan dan ketentuan-ketentuan yang harus dijalani oleh lembaga-lembaga Negara lainnya. Anwar C (2013), mengatakan bahwa hubungan MPR dengan lembaga Negara lainya didasarkan kepada; a) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya melalui penetapan dan perubahan UUD; b) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi lembaga tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk ketetapan MPR; dan c) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan lembaga tinggi Negara. pengejewantahan kedaulatan MPR yang merupakan kedaulatan rakyat seperti yang disampaikan oleh Padmo Wahyono dalam Anwar C. (2013), mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu dikuasai oleh rakyat, dengan paradigma bahwa: pertama, MPR merupakan representasi rakyat dalam menetapkan UUD dan menetapkan GBHN serta menetukan mandataris presiden dan wakil presiden; kedua, rakyat mewakilkan kepada DPR untuk melaksanakan GBHN 15
dalam bentuk Undang-Undang bersamasama dengan presiden; ketiga, mewakilkan kepada MA berdasarkan Undang-Undang untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; keempat, mewakilkan kepada presiden untuk melaksankan GBHN; dan kelima, mewakilkan kepada BPK melalui Undang-Undang untuk menjalankan pemeriksaan keuangan Negara dan menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR. Kaitan dengan lembaga tinggi Negara merupakan sebuah keniscayaan bagi MPR untuk mengembangkan potensi kewenangan yang diamanatkan oleh rakyat, untuk rakyat dan bagi rakyat merupakan sebuah konskuensi logis bagi lembaga permusyawaratan itu untuk dijalankan dan diamalkan melalui fungsi dan tugas pokoknya agar ketetapan-ketetapan berada pada pengawasan yang maksimal terhadap lembaga tinggi Negara lain. Keberadaan MPR merupakan sebuah konsepsi dasar sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, karena setiap implementasi yagn telah dilakukan akan dikembalikan kepada rakyat secara menyeluruh dan akuntabel. Namun, Isrok (2013:hal.3) memberikan pandangan yang berbeda dengan mengatakan bahwa prinsip bicameral yang dianut diberbagai Negara, misalnya America yang menganut strong bicameral, pasal 1 ayat (1) UUD AS (1787) menyebutkan all legislative powers here in granted shall be vested in a congress of the united states, which shall consist of a senate and house of representatives. artinya bahwa semua kekuasaan legislative diberikan kepada kongres amerika serikat yang terdiri dari senat dan house of representatives. Sehingga dengan adanya perubahan ini UUD 1945 tidak lagi menganut system MPR berdasarkan prinsip supremasi parlemen dan system pembagian kekuasaan (distribution of power).
sebagai konstituen DPR mempunyai pengaruh realistis dalam berkehidupan kebangsaan yang adil dan makmur sesuai yang diamantkan oleh UUD 1945 yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan rakyat. Secara garis besar fungsi DPR adalah fungsi legislasi, fungsi budgeting dan fungsi controlling. artinya, bahwa keterwakilan yang dimiliki oleh DPR lebih berperan penting terhadap representasi rakyat. Fungsi legislasi DPR mempunyai hak menentukan siapa yang menjadi pemimpin suatu lembaga Negara, dengan fungsi budgetingnya, DPR mempunyai peran penganggaran diseluruh sektor pemerintahan, dan pada fungsi pengawasan, DPR mempunyai kewenangan mengawasi seluruh implementasi pemerintah (ekskutif) terhadap rancangan yang telah dilaksanakan. Perubuahan UUD 1945 pasal 19 ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan terhadap keanggotaan, susunan dan waktu siding DPR dengan harapan bahwasanya DPR secara menyeluruh dipilih langsung oleh rakyat dan tidak ada anggota DPR yang dipilih melalui penunjukan langsung (diangkat). Hal itu sesuai dengan prinsip demokrasi keterpilihan (representation by election) untuk menghasilkan demokrasi yang semakin dewasa dan berkembang dan sebagai legitimasi bagi DPR. Lebih lanjut, dalam pasal 20 ayat (1), (2), (3), dan (4) dikatakan bahwa DPR memegang kekuasaan untuk membentuk undangundang yang semula pembentukan undangundang yang semula dilakukan oleh presiden pasal 5 ayat (1) UUD 1945 (sebelum perubahan). Secara garis besar keberadaan wewenang DPR masih dibatasi oleh kewenangan presiden. Karena pengajuan RUU baik oleh presiden maupun oleh DPR sama-sama harus mempunyai persetujuan yang sama, kalau salah satu tidak menyetujuinya, maka RUU itu tidak dapat dilanjutkan. Dalalm kaitannya hal ini, antara presiden dan DPR mempunyai peran yang sama dalam menentukan sebuah UU, karena pembentukan UU tersebut harus melalui persetujuan bersama antara DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) DPR merupakan perwakilan rakyat secara menyeluruh karena ditetapkan melalui pemilihan umum yang dipilih oleh rakyat. Sehingga representasi rakyat terhadap DPR sangatlah besar. Rakyat 16
dan presiden sehingga dapat di sahkan menjadi UU. Namun perubahan dalam kewenangan pembentukan undang-undang adalah dengan motivasi saling mengawasi dan mengimbangi (check and balance) sebagai prinsip yang melekat dalam tatanan pemerintahan yang demokratis dan merupakan sebuah penafsirasn untuk memperkuat sistam yang kita anut, yaitu system presidensial. Hal itu juga sudah sepantasnya meninggalkan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip MPR menjadi pemisah (separation of power). Namun, dalam hal kedudukan, DPR mempunyai power yang tidak dapat disentuh oleh presiden yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara. Karena represention by election yang menjadi pedoman dan kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Tugas-tugas DPR dalam UUD 1945 hasil amandemen adalah sebagai berikut: a) membentuk undang-undang (Pasal 20 Ayat 1); b) membahas rancangan undang-undang (RUU) bersama presiden (Pasal 20 Ayat 2); dan c) membahas rencana anggaran pengeluaran belanja negara (RAPBN) bersama presiden (Pasal 23 Ayat 2). Power yang dimiliki oleh DPR saat ini terkait dengan pembentukan undang-undang melalui rancangan undangundang yang semula menjadi tugas presiden, namun setelah amandemen UUD 1945 RUU menjadi kewenang DPR, akan tetapi dalam pengesahannya tetap harus melibatkan pemerintah, dalam hal ini presiden mempunyai peran penting dalam pengesahan RUU menjdai UU yang tentunya harus ada kesepakatan bersama terkait dengan yang diajukan oleh DPR kepada pemerintah untuk selanjutnya dilaksanakan oleh pemerintah dan di awasi pelaksanannya oleh DPR. UUD 1945 hasil amandemen juga mencantumkan fungsi dan hak DPR. Pasal 20 ayat (5) setelah perubahan sejatinya memperkuat kewenang DPR dalam menghasilkan undang-undang, dikatakan bahwa dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Dalam hal ini, penguatan check and balance dalam menerapkan fungsi dan kewenangan antara presiden dan DPR merupakan wujud nyata untuk mencari solusi secara institusional dan mendapatkan kepastian hokum secara konstitusional untuk menghindari kesimpangsiuran hokum yang akan berdampak negatif terhadap berkehidupan kebangsaan dan bernegara. Dewan Perwakilan Rakyat juga memeliki fungsi-fungsi lainnya yang tersebar dalam UUD 1945 yaitu: mengusulkan pemberhentian Presiden sebagai tindak lanjut hasil pengawasan; (pasal 7A); melantik Presiden dan atau Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat melaksanakan sidang untuk itu; (pasal 9); memberikan pertimbangan atas pengengkatan duta dan dalam hal menerima duta negara lain (pasal 13); memberikan pertimbangan kepada Presiden atas pemberian Amnesti dan Abolisi; (Pasala 14 ayat 2); memberikan persetujuan atas pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; (pasal 11); memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Pasal 23F); memberikan persetujuan atas pengangkatan anggota Komisi Yudisial; (pasal 24B ayat 3); memberikan persetujuan atas pengangkatan Hakim Agung (Pasal 24A ayat 3); dan mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim konstitusi; (pasal 24C ayat 3) Dalam melaksanakan fungsinya, DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut: a) hak interpelasi yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada presiden; b) hak angket yaitu hak DPR untuk mengadakan penyelidikan atas suatu kebijaksanaan presiden/pemerintah; c) hak menyampaikan pendapat; d) hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat; e) hak imunitas, yaitu hak DPR untuk tidak dituntut di pengadilan karena pernyataan/pendapat yang disampaikan dalam rapat; dan f) hak mengajukan usul RUU. dari beberapa hak 17
yang dimiliki oleh DPR terkait dengan control terhadap pemerintah dalam tatanan kenegaraan merupakan sebuah pengawasan yang harus dijalani secara akuntabel dan professional serta proporsionalitas dikedepankan, bukan pada tataran like and dislike, akan tetapi lebih merupakan kepada sebuah realitas berbangsa dan bernegara dalam rangka menjalankan perintah UU yang telah dibuat. sehingga dalam prinsip pelaksanaan UU secara nyata memberikan dampak dengan pembenaran secara obyektif. obyektifitas DPR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta wewenangnya merupakan sebuah pembagian tugas antara lembaga tinggi Negara dari internal pengawasan atau keterwakilan terhadap rakyat menjadikan kamar di DPR berbeda dengan MPR maupun DPD. Karena pada prinsipnya yang membedakan kamar perwakilan itu adalah wewenangnya, bukan lembaganya. wewenang merupakan sebuah kewajiban bagi suatu lembaga perwakilan untuk menjalankan tugasnya sesuai dengn ketentuan UUD 1945. Fungsi DPR yang berbeda merupakan prinsipil dari kewenangannya untuk menfokuskan kinerja keterwakilan dari representasi rakyat. tidak serta merta disamakan atau dijadikan satu kamar dengan lembaga perwakilan yang lain, seperti MPR yang telah dibahas diatas, walaupun anggota MPR terdiri dari anggota DPR, namun secara kelembagaan tugas dan fungsinya mengacu kepada kewenang MPR yang telah diatur oleh UUD 1945 bukan lagi mengembalikan fungsi lembaga itu kepada individualnya. secara konstitusional anggota DPR yang berada di MPR seyogyangnya memang mempunyai kewenangan yang sama secara harfiah, namun konteksnya berbeda ketika anggota DPR sudah masuk dalam lembaga MPR yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda dengan DPR. oleh karena itu, kamar dari lembaga itu juga harus berbeda agar tidak terjadi ketimpangan secara kelembagaan.
Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945 mengamanatkan kelahirannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam tatanan lembaga kenegaraan dalam system representasinya sebagai perwakilan dari setiap daerah provinsi. Hal ini memperkuat system perwakilan dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang notabene dipilih langsung melalui pemilihan umum oleh rakyat dan menjadi bagian dari anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan kehadiran DPD sebagai aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat diharapkan dapat menjadi representasi daerah dalam menampung prinsip keterwakilan daerah yang multukulturalisme dalam budaya bangsa Indonesia. Dalam panduan pemasyarakatan yang diterbitkan oleh MPR RI dikatakan bahwa keberadaan DPD RI dimaksudkan untuk (1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republic Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; (2) meningkatkan agresi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah; (3) mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Pasal 41 Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa fungsi DPD yaitu: a) pengajuan usul, ikut dalam membahas dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu; dan b) pengawasan atas pelaksanaan undangundang tertentu. lebih lanjut kewenang DPD sebagaimana diatur dalam pasal 42-47 bahwa: a) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undag-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran daerah, dan penggabungan daerah, penggolongan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Perubahan UUD 1945 menjadi sejarah baru dalam ketatanegaraan bangsa 18
keuangan pusat dan daerah; b) DPD mengusulkan rancangan undang-undang kepada DPR dan DPR mengundang DPD untuk membahas sesuai tata tertib DPR; c) pembahasan rancangan undang-undang dilakukan sebelum DPR membahas rancangan undang-undang dengan pemerintah; d) DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah; e) DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang bersama dengan pemerintah pada awal pembicaraan tingkat I sesuai peraturan tata tertib DPR; f) pembicaraan tingkat I dilakukan bersama DPR, DPD dan pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat DPD atas rancangan undang-undang serta tanggapan ata pandangan danpendapat dari masingmasing lembaga; g) pandangan, pendapat dan tanggapan dijadikan sebagai masukkan untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR dan pemerintah; h) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitna dengan pajak, pendidikan dan agama; i) pertimbangan diberikan dalam bentuk tertulis sebelum memasuki tahapan pembahasan antara DPR dan pemerintah; j) pertimbangan menjadi bahan bagi DPR dalam melakukan pembahasan dengan pemerintah; k) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota badan pemeriksa keuangan; l) pertimbangan diberikan secara tertulis sebelum pemilihan anggota badan pemeriksa keuangan; m) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama; n)
pengawasan merupakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan hasil pengawasan disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti; dan o) DPD menerima hasil pemeriksaan keuangan Negara dari badan pemeriksa keuangan untuk dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN. Dari kewenang DPD diatas, jelas bahwa DPD tidak mempunyai kewenang untuk mengajukan rancangan undangundang atau membuat undang-undang secara mandiri, hanya ketentuan undangundang tertentu saja yang dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang. peran DPD lebih kepada pengawasan dan kedudukanya adalah auxiliary dari DPR. DPD diperankan untuk lebih focus mengurus terkait dengan kedaerahannya sebagai utusan daerah dalam merancang dan mensejahterakan daerahnya. dari fungsi DPD yang bisa dikatakan lebih ringan dari DPR sebagai pengendali power perwakilan dalam system keterwakilan. Dalam kelahirannya, DPD seringkali menjadi bahan kritikan, karena DPD merupakan design kamar kedua pada masa yang akan dating, namun dalam fungsinya DPD tidak mempunyai fungsifungsi yang dimiliki oleh DPR. namun, bagi penulis bahwa keberadaan DPD sangat membantu DPR dalam keterwakilannya didaeah, karena tidak semua daerah akan terjangkau oleh DPR dalam hal perwakilannya. sekalipun didaerah sudah ada DPRD, akan tetapi kurang efektif dalam pelaksanaannya, karean perwakilan DPRD langsung bersentuhan dengan masyarakat sehingga efisiensi dan efektifitas keterwakilan kurang maksimal. DPD mempunyai kamar berbeda secara riil dari DPR maupun MPR. keberadaannya ditentukan oelh fungsi pengwasannya terhadap kinerja pemerintah dibidang tertentu, hal itu lbih bisa meminimalisir adanya penyalahgunaan dan overload keterwakilan yang ada di DPR. karena tugas DPD lebih rinci terhadap fungsi dan pengawasannya. 19
Isrok (20013:4) membuat sebuah perbandingan bicameralism keterwakilan. Seperti dicontohkan di inggris yang menganut system dua kamar yaitu kamar satu untuk perwakilan kaum bangsawan yang disebut majelis tinggi (house of lords) dan kamar kedua mewakili rakyat umu yang disebut majelis rendah (house of commors). Sistem dua kamar tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan proses demokrasi pada badan perwakilan di inggris. majelis tinggi berperan dalam pembuatan dan perumusan kebijakan luar negeri, sendagkan majelis rendah diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan rancana anggaran dan pendapatan Negara. Pada dasaranya kedua kamar tersebut mempunyai kedudukan yang sama, baik secara politik maupun secara legislatif, dan setiap pengesahan undang-undang harus melalui persetujuan bersama antara majelis tinggi dan majelis rendah. Bikameralisme tidka dapat disederhanakan seperti diinggris, sebagai Negara kerjaan tidak bisa disamakan dengan system yang menganut republik. Karena pada prinsipnya, sistem keterwakilan itu merujuk kepada siapa yang mewakili, mewakili siapa dan apa yang diwakili. pertanyaan itu tentunya harus dijawab dengan gambling. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, tentu itu merupakan urgensi perwakilan yang diharapkan dari tingkat pusat hingga pelosok tanah air. Berbeda dengan inggris, Indonesia mempunyai keunikan sistem pemerintahan yang khas dalam memilih siapa yang menjadi wakilnya, siapa yang diwakili dan mewakili apa. Sistem pemilihan secara langsung dalam pemilihan umum (pasal 22 C ayat 1) dipilih oleh rakyat terhadap seluruh anggota keterwakilan tentu mempunyai proses yang berbeda pula. DPD mungkin bisa dikatakan lebih berat persaingan dan persyaratannya walaupun secara tekstual bisa disamaratakan dengan DPR. Pemilihan DPD dilakukan disetiap provinsi yang jumlahnya sama, sedangkan jumlah kursinya ditentukan oleh kursi DPR. Kursi DPD adalah sepertiga dari kursi DPR dari setiap propinsi (ayat 2). Untuk dapat
duduk di kursi DPD harus berjuang keras secara mandiri tanpa dukungan lambing atau partai politik dan komposisi yang diberikan hanya lebih sedikit sepertiga dari kursa DPR. Tentunya ini menjadi pertarungan yang memberatkan. berbeda dengan calon yang berangkat ke DPR, dimana setiap caleg DPR pasti mempunyai partai politik dari tingkat puat hingga daerah, sehinngaa memudahkan dlam proses mobilisasi dukunngan dan jatah kursi lebih besar dari DPD. oleh karena itu, banyak orang pesimis terhadap kinerja dan fungsi DPD sebagai lembaga keterwakilan dari daerah. Keterbatasan wewenang dan fungsi DPD karena berkaitan dengan system yang saling mengawasi dan mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu: (1) dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekran daerah serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; (2) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atau rangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama; (3) dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. (MPR. 2011). 20
Namun, lebih lanjut Valina Subekti dalam Isrok (2013) mengatakan bahwa, peningkatan utusan daerah dari sekedar “utusan” yang dipilih oleh DPRD provinsi menjadi “perwakilan” yang dipilih langsung oleh rakyat di daearahnya masingmasing yang mmepunyai tujuan untuk memperkuat penyaluran aspirasi daerah di pusat. hal ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan egaliter antara pusat dan daerah. menyikapi masalah peningkatanperan utusandaerah ini, terdapat tiga pandangan utama yaitu: DPD sebagai lembaga yang kedudukannya sama sejajar dengan DPR (bikameral); DPD sebagai lembaga dengan kewenangan legislasi terbatas (soft bicameral); dan DPD sebagai lembaga, tetapi tetap mempertahankannya sebagai utusan yang dipilih langsung oleh rakyat. Masih menurut Isrok. DPD sejatinya harus menjaga citranya dengan berpegangan kepada: 1) serat kalatida (karya ronggo warsito), yaitu keadaan Negara saat ini, terlihat semakin merosot, tatanan dan aturannya. oleh sebab tiada yang dapat dicontoh, semua sudah meninggalkan etika, orang baik, orang pintar terbelenggu jaman yang serba tidak tentu. suasana kehdupan mencekam, sebab dunia penuh godaan, sesungguhnya rajanya adalah raja yang baik, patihnya yang cerdik, semua pegawai hatinya baik, pemuka masyarakat juga baik-baik, semuanya itu tidak mampu menciptakan kebaikan, bahkan kerusakan makin menjadi, gangguan yang selalu membikin susah, seberuntung orang lupa, masih beruntung orang yang ingat/sadar dan waspada; 2) nilai demokrasi yang menjadi acuan adalah vox populi vox de dan menjauhkan dari vox nihili dan vox populi vox argentums (suara rakyat suara tuhan, dan menjauhkan suara rakyat diabaikan dan suara rakyat suara uang); dan 3) mempersiapkan kualitas sumber daya manusia DPD utamanya dalam perundang-undangan.
DPR merupakan suatau lembaga Negara yang mempunyai tugas dan kewenangn yang berbeda dalam menjalankan UUD 1945. Namun dalam hal fungsi sebagai lembaga keterwakilan, ketiga lembaga itu merupakan sebuah afiliasi dari bikameralisme system perwakilan. keberadaan MPR dalam system keterwakilan merupakan suatu perwakilan dari DPR dan DPD yang menjadi pengwujudan dari rakyat untuk menjalankan tugasnya sebagai majelis permusayarawatan rakyat yang mengontrol keberlanjutan roda pemerintahan dan kedudukan dari UUD 1945 tentang relevansi dari sebuah keberadaan bangsa dan Negara. lembaga MPR tidak bisa dipisahkan dari sistem pengisiannya yang nyata dipilih langsung oleh rakyat yaitu dari unsure DPR dan DPD. hal inilah yang memberikan sebuah sebutan kamar terhadap lembaga perwakilan, yaitu lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat secara utuh dan DPD sebagai perwakilan daerah untuk membangun daerahnya terkait dengan isu-isu kedaerah karena keberdaannya bersala dari daerah/provinsi. DPR relevan dengan tugasnya untuk mewakili rakyat disetiap tingkatan dan saling berintegrasi baik DPR RI maupun DPRD I/ II, sehingga kamar DPR terpisahkan dengan DPD yang mempunyai tugas terkait dengan kedaerahan untuk pengembangan dan pembangunan daerah yang lebih baik serta control antara daerah dan pusat. Artinya, unsure DPD merupakan sebuah balance dari DPR dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga perwakilan. sehingga dapat disimpulkan perwakilan daerah dan perwakilan rakyat mempunyai kamar yang berbeda dengan ruang dan arsitektur yang berbeda pula sebagai penguat akar NKRI. DAFTAR PUSTAKA Anwar C. Sistem Perwakilan Menurut UUD 1945 dan Sistem Perwakilan Yang Ideal Pada Perubahan UUD berikutnya. disampaikan dalam seminar nasional sistem ketatanegaraan
PENUTUP Lembaga perwakilan rakyat secara penuh yang terdiri dari MPR, DPR, dan 21
Indonesia. tema “Format Ideal Sistem Perwakilan Indonesia”. PP OTODA dengan MPR RI. 23 Mei 2013, Hotel Savanna Convention Hall Malang. Bagir Manan. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 baru, FH-UII Press, Yogyakarta, maret. 2003, hlm. 74-76. dalam Anwar C. Sistem Perwakilan Menurut UUD 1945 dan Sistem Perwakilan yang Ideal Pada Perubahan UUD berikutnya. Disampaikan Dalam Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan Indonesia. tema “Format Ideal Sistem Perwakilan Indonesia”. PP OTODA dengan MPR RI. 23 Mei 2013, Hotel Savanna Convention Hall Malang. H.M. Lica Marzuki. Kedudukan MPR Setelah Amandemen UUD 1945, dalam Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Aosiasi Pengajar HTN-HAN Jawa Timur dan In-Trans, Malang, 2004., hlm. 278-279. Hamdan Zoelva. system perwakilan rakyat di Indonesia. http://hamdanzoelva.wordpress. com/2008/04/28/sitemperawakilan-rakyat-diindonesia/. diakses 01 agustus 2013. Isrok. Citra Dewan Perwakilan Daerah dan Format yang Diharapkan ke Depan. Disampaikan dalam Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan Indonesia. tema “Format Ideal Sistem Perwakilan Indonesia”. PP OTODA dengan MPR RI. 23 Mei 2013, Hotel Savanna Convention Hall Malang. Mohammad Jafar Hafsah. Format Ideal Sistem Perwakilan Di Indonesia. disampaikan dalam Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan Indonesia. tema “Format Ideal Sistem
Perwakilan Indonesia”. PP OTODA dengan MPR RI. 23 Mei 2013, Hotel Savanna Convention Hall Malang. Tiarlidya‟s blog. lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen. http://tiarlidya.wordpress.com/2 010/11/25/lembaga-lembaganegara-menurut-uud-1945hasil-amandemen/. di akses 01 agustus 2013. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan Pemasyarakatan. 2013 Majelis Permusyawaratan Rakyat. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. 2012.
22
ESTABLISHING AN INSPECTON SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA
Ahmad Aniq International Law and the Law of International Organization Groningen University – The Nitherlands Kp. Cikunir Jaka Mulya Bekasi, Jakarta email:
[email protected]
Abstract As the party to the United Nations Convention against Torture and Ohter Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT), Indonesia has an obligation to establish an effective visiting system to prevent acts of torture and other ill-treatment as stipulated in Article 2(1) of the Convention. However, the existing visiting system in Indonesia is facing some deficiencies regarding its mandate clarity, level of independency, and insufficient expertise required. The fact that Indonesia is not party to the Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture (OPCAT) complicates the matter. The OPCAT system has been hailed to be the most effective way to combat torture, as it combines national and international approaches. This thesis provides an alternative for Indonesia to enhance its inspection system to places of detention. By taking the OPCAT approach as the model, Indonesia will be very likely to have a more effective inspection system, as this system has set out a clear standard on how a visiting system should be conducted. By granting the National Human Rights Commission (Komnas HAM) the role of national preventive mechanisms (NPMs) under the OPCAT system, Indonesia might have a better opportunity to enjoy a more effective inspection system. At least by establishing a better inspection system, Indonesia‟s compliance to the obligation under the UNCAT, especially under Article 2(1) could be considered fulfilled, even though the Government may not ratify the OPCAT.
However, those various international and regional bans are not enough. It is proven that the practices of torture and other inhuman treatments are still widely spread around the world (Kerstin Buchinger, 2009). Therefore, The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) was adopted to make the struggle against torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment more effective. The UNCAT has a significant impact in combating torture and other illtreatments as it envisages a number of new obligations to States Parties (Chris Ingelse, 2001), for example: an obligation to criminalize acts of torture and ill-treatment
INTRODUCTION Prohibition on the acts of torture and ill-treatment has been stated in several international documents. This prohibition falls under the scope of universal and regional treaties. Article 5 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), and also Article 7 of the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) stipulate that no one should be subjected to torture and other ill-treatment. The ban on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment can also be found in the European Convention on Human Rights and Fundamental Freedom (ECHR), the America Convention on Human Rights (ACHR), and the African Charter on Human and Peoples‟ Rights. 23
under domestic law and an obligation not to send a person to a State where he or she is presumed to be subjected to torture (nonrefoulement principle). It is undisputed that the main features of the UNCAT lie within its repressive measures, although certain provisions regulate preventive measure. Therefore, another important document, namely the Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture (OPCAT), is regarded as a “new weapon” against torture as it is mainly attributed to create prevention measurements. Inspired by the International Committee of the Red Cross (ICRC) which could conduct visits to places of detention, Jean-Jacques Gautier promoted a system of regular and unannounced visits to places of detention as a tool to prevent torture (Chris Ingelse, 2001). He believed that the legal obligations of States concerning the eradication of torture would likely be fulfilled if a system of periodic visits to places of detention was established. An inspection to places of detention is important because people who are deprived of their liberty are prone to be subjected to practises of torture and inhuman treatment. That is what the OPCAT offers. One of the OPCAT‟s goals is to establish a system of regular visits to places of detention undertaken by independent international and national bodies as stated in the Article 1 of the OPCAT. Indonesia is party to the UNCAT. Therefore, Indonesia is subjected to several obligations mentioned in the UNCAT. One of the obligations is to take legislative, administrative, judicial and other measures to prevent acts of torture in its jurisdiction as stated in the Article 2(1) of the UNCAT. It can be concluded that Indonesia has an obligation to establish a system of prevention against torture. However, Indonesia is not party to the OPCAT. Due to lack of ratification of OPCAT, Indonesia‟s fulfilment of the obligation in Article 2(1) of the UNCAT is perhaps more difficult to realize. Indonesia has several institutions dealing with human rights protection which could participate in torture prevention by undertaking visits to places
of detention. Unfortunately, this effort does not seem to function well. The absence of an authorized institution to undertake unannounced inspections to detentions and the lack of power to scrutinize official or “unofficial” places of detentions can be seen as its weaknesses (Committee against Torture (CAT), 2008). And the fact that the number of allegations of acts of torture and ill-treatment committed by members of the police forces, the army (TNI) and other groups linked to authorities is still high suggests that the existing visiting system in Indonesia does not work properly. As given the fact that Indonesia is not party to the OPCAT and the existing visiting system does not function satisfactorily, it raises a question as to whether there is a need to establish a visiting system modelled on the OPCAT in Indonesia. And an additional question would be how this visiting system à la OPCAT should be formed in Indonesia in order to comply with the obligations under the UNCAT, more specifically in term of prevention. Since Indonesia is not party to the OPCAT, Indonesia is not obliged to establish a prevention system based on the OPCAT. However, Indonesia is bound to take measures to prevent torture and other inhuman treatments as stated in the UNCAT. Therefore, the goal of this study is to provide the best alternative visiting system other than the OPCAT system for Indonesia in order to comply with the obligations under the UNCAT especially regarding the obligation to prevent acts of torture and other inhuman treatment. The research for this thesis will mainly be on library based approach. Primary, secondary sources, as well as other relevant sources will be analysed. Special attention will be paid to the domestic laws of Indonesia in the field of torture and related issues. The further elaboration will be on the conformity between Indonesia‟s regulations concerning torture and the international conventions, more specifically the UNCAT. This thesis will apply an inductive analytical approach in which relevant information will be observed and analyzed to detect some 24
patterns and regularities. Then, I will formulate a hypothesis that we can explore, and finally end up with some general conclusions. Documents either in the form of regulations, books, journals or articles which are relevant are presented as they provide reliable information to the topic and help the writer to substantiate his claims. Chapter I of this thesis will focus on the UNCAT system. The discussion will go into the depth regarding the States Parties‟ obligations under the Convention. The mandate of the Committee against Torture will also be analysed here. Chapter one will also explore the prevention system against torture established by the OPCAT. Chapter two will discuss the existing visiting system in Indonesia. Special attention will be addressed regarding the weaknesses of the existing inspection system in preventing the acts of torture and other inhuman treatment. Chapter three will focus on the effort to find a possible formulation of the à la OPCAT visiting system, given the fact that Indonesia is not member to the OPCAT. Finally, in Chapter four, a conclusion will be provided and an alternative visiting system for Indonesia will be proposed.
because they are interrelated and indivisible to prevent torture. Thus, the obligation to prevent torture in Article 2 covers a broad scope, not only to reinforce the prohibition against torture through legislative, administrative and other actions but also includes all necessary measures-taken are effective in preventing the acts of torture and other ill-treatment. The prevention of torture requires criminalisation of the acts of torture. Impunity of the perpetrators of torture is one of the reasons for the widespread practice of torture (Committee against Torture (CAT), 2008). Article 4 of the UNCAT comes in order to repress the practice of impunity by imposing an obligation for States Parties to criminalize acts of torture under domestic law. This article also requires Member States to punish torture with the appropriate penalties. The term “torture” in the Article 4(1) should be interpreted in accordance with the definition of torture in the Article 1, which means that not only acts of torture itself, but also the attempt, incitement, instruction from the superior, consent and acquiescence must also be criminalized. The idea that there is no need to qualify torture as a specific and separate offence has led to much confusion among States Parties (Manfred Nowak and Elizabeth Mc Arthur, 2008). Some States argued that torture had already been included in their traditional offences.
States Parties’ Obligations Under the UNCAT The UNCAT imposes obligations on Member States in several articles. Under Article 2(1) of the UNCAT, Member States are obliged to take effective measures to prevent acts of torture under their jurisdiction. The measurements comprise legislative, administrative, judicial and any other type of measures. Therefore, Article 2(1) can be seen as an umbrella provision, covering all other obligations to prevent this kind of treatment as explained in the Convention. Article 10 on the education and training of law enforcement and other personnel, Article 11 regarding systematic review of interrogation methods, Article 13 about investigation of allegations by torture victims, and Article 15 on non-admissibility of evidence extracted by torture, are the typical obligations to prevent torture
The OPCAT features The international community has recognised torture and other inhuman treatment as among the most brutal assaults on human dignity. Although the prohibition of torture and other inhuman treatments has already been stipulated in various international or regional instruments, these abuses still persist around the world (Association for the Prevention of Torture (APT) and Inter-American Institute of Human Rights (IIHR), 2011). This fact suggested that the international legal prohibition of torture was in need of a much more effective control mechanism. To prevent torture and other inhuman 25
treatments regular visits to places of detention is needed. The Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture (OPCAT) was brought into existence to enforce the implementation of the principle laid down in Article 2(1) of the UNCAT and to find a way of how to prevent torture. The OPCAT system is considered to be a breakthrough in the struggle to combat acts of torture or other inhuman treatment world (Association for the Prevention of Torture (APT) and InterAmerican Institute of Human Rights (IIHR), 2011). There are some distinctive features that make the OPCAT system special. The inclusion of national bodies in the system of prevention is really something new. Unlike other international human rights treaties, the OPCAT is seen as an operational treaty rather than a standardsetting instrument. It introduces a practical and complementary preventive framework to its parent treaty (the UNCAT) rather than imposing new obligations. Another interesting feature is its emphasis on prevention. The objective of the OPCAT system is to establish a system of regular visits to places of detention, in order to prevent torture and other illtreatment. Another notable distinction between the UNCAT and the OPCAT is the issue of States‟ consent. When a State ratifies the OPCAT, it automatically gives its consent to allow regular, unannounced visits by international or national bodies to all types of detentions. On the other hand, under UNCAT, the Committee can conduct visits to States Parties only in case of allegations of systematic torture. These visits require prior consent of the State. Article 28 of the Convention gives States Parties the option not to accept the inquiry procedure. The combination of simultaneous and complementary international and national efforts also makes the OPCAT system unique. The OPCAT establishes an international expert body within its system called the Subcommittee on Prevention of Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading treatment or Punishment (the
SPT). It also requires Member States to establish or designate a national body called National Preventive Mechanisms (NPMs). The relationship between the SPT and NPMs gives a new important ground in human rights protection since it combines prevention in the international and national plane. This preventive system should perform at an optimum level if the SPT, NPMs and the States parties are able to build strong co-operation among them. The principle of co-operation plays an important role with regard to the performance of the visits. The co-operation can be in the form of exchanging information between the SPT and NPMs. The scope of the OPCAT is a controversial issue. The scope of the visiting mechanisms under the OPCAT should also include “unofficial” places of detention. The description of a place of detention can be found in Article 4(1) and 4(2) of the OPCAT. Article 4(1) of the OPCAT contains an obligation to allow visits to any place where people are deprived from their liberty with the order, consent, or acquiescence by a public authority. Article 4(1) has a broader definition, as it also encompasses private custodial settings where people are detained by non-State actors with the acquiescence of a public authority. On the other hand, Article 4(2) gives a more limited definition of the term “deprived of their liberty”, as it requires an explicit order of a public authority, mere consent and acquiescence are not enough (Manfred Nowak and Elizabeth,2008). However, Article 4(2) should be interpreted in line with broader definitions as stated in Article 4(1). Consequently, “deprivation of liberty” must be read to include not only „traditional‟ forms of deprivation of liberty such as imprisonments, but also „less traditional‟ ones like -social care homes, mental health institutions, foster homes and other places in which a State can be held responsible (Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom Evans, and Antenor Hallo de Wolf, 2011). The issue of the scope of OPCAT in Article 4(1) and 4(2) is important as it explains 26
how far the mandate of the SPT and of the NPMs should extend. Once a State ratifies the OPCAT, they do not have to submit any additional reports. Instead, the Member States have to establish, designate or maintain a single or multiple NPMs. They also have to open all places of detention to be the subject of scrutiny of the SPT and NPMs. Given the fact that the SPT could not visit all detention places in the Member States due to the growing number of the members and financial problem, it will give NPMs a significant visiting role (United Nations Human Rights Office of the High Commissioner, 2013).
As explained by Article 5(1) of the OPCAT, the SPT initially comprised of ten members, the number will rise to twenty five following the 50th ratification or accession. In September 2009, the threshold was reached. SPT members must be equipped with enough skills and competencies, and they must carry out their functions in an independent manner. The issue about the expanded membership is not without any hurdles. The new members will take time to adapt and establish a relationship with one another and the issues which were previously settled may be up for discussion again. Other practical problems might create significant challenges, for example: the issue on working languages as well as expansion of the secretariat to support the workload. Article 11(c) of the Protocol should be seen as an important provision; the article stipulates that the SPT shall cooperate not only with relevant United Nations (UN) organs, but also with other international, regional, and national institutions which are active in the prevention of torture. The SPT should build a constructive relationship with the ComCAT and the Special Rapporteur on torture because these two bodies are the main UN bodies in charge of torture issues. At the regional level, the SPT can learn from the experienced European Committee for the Prevention of Torture (CPT) or benefit from the practices carried out by the Special Rapporteur from Africa and America regions. The Rapporteur‟s mandate is broad covering all United Nations Member States. However, the Rapporteur can only visit a State if invited to do so by the government.
The SPT Under Article 14 of the Optional Protocol the SPT can conduct visits to any places under its member States‟ jurisdiction where people are deprived of their liberty. During its first year, the SPT conducted visits to Maldives, Mauritius and Sweden. In 2012 the Subcommittee carried out five visits to Argentine, Kyrgyzstan, Gabon, Republic of Moldova and Senegal. The SPT has also continued its dialogue with all States parties which have not yet designated their NPMs. The SPT has two inter-related functions: an advisory function by providing advice on issues concerning NPMs and domestic preventive measures; and an operational function, for example: carrying out in-country missions to monitor places of detention to the States Parties to the Protocol. For example, the members of the SPT held meetings with the Government of Cambodia and Guatemala on NPM establishment issues. Unfortunately, the SPT is facing budgetary difficulties as well as mandate clarity problems (SPT, First Annual Report,2008). These difficulties are getting worse because of the novelty of its visiting mechanism within the UN context. Those challenges have direct negative impacts concerning the fulfilment of the SPT‟s mandate. The SPT‟s limited financial resources to fund its incountry visits for example, have been the detriment of its advisory role.
NPMs NPMs are the central bodies in the system of prevention that the OPCAT puts in place, especially given the fact that the SPT itself feels doubt as to whether it could conduct effective visits to all State Parties due to expenditure inadequacy (Elina Steinerte and Rachel Murray, 2009). The inclusion of NPMs within the OPCAT framework is the key factor of the effective 27
prevention, as they are located within the States Parties territory so that frequent visits are most likely possible. When States become a party to the OPCAT, they are obliged to establish, designate, or maintain an independent NPM or multiple NPMs as stipulated in Article 17 of the OPCAT. However, the OPCAT contains very few prescriptions as to how NPMs are constituted. This has led to variety in the structure and composition of the NPMs. A State may designate a single ombudsmen office or a series of Human Rights Commissions as the NPM/NPMs. For instance, in Denmark it is the Ombudsman who has been designated as an NPM, in Mexico; it is the Mexican Human Right Commission that has been designated as an NPM, whereas in New Zealand five institutions have been designated to carry out the mandate of the NPM. Under Article 19 of the OPCAT, NPMs have a mandate to conduct regular visits to places of detention and make recommendations to the authorities. NPMs should also have access to all places of detention and freedom to choose the places to visit. The access to visit places of detention must also include unofficial places of detention as stipulated in Article 4 of the OPCAT. A strategic decision should be made when it comes to determination on the formulation of an NPM or multiple NPMs. The choice is either establishing a new institution or designating an existing body as an NPM. Specific advantages and disadvantages are associated with the design of a new body versus the designation of an existing body (Assosiation for the Prevention of Torture (APT), 2006). Countries with large geographical areas and dispersed at long distance detentions may be in a better position if they were to consider having multiple NPMs to cut the travel budget. Designating an existing body as an NPM has some benefits as it may already enjoy significant public confident and have accumulated experience. However, designating a national human rights institution as an NPM also involves challenges in relation to the institution‟s
broad mandate and a lack of financial and personnel independence. For example Poland and Mexico enjoy infavorable NPM‟s performance. The Polish Government appointed the existing body, the Polish Commissioner for Civil Rights Protection, a large institution with a wide mandate, as an NPM and the Mexican Government designated a current institution named National Human Right Commission as an NPM. However, those institutions failed to conduct their mandates because of insufficient staff and inadequate financial support (High Commissioner for Human Rights (OHCHR), 2008). There are several requirements that NPMs should meet in order to perform effectively. Independence is the most important characteristic that an NPM must possess. Article 18(1) OPCAT calls for functional and personnel independence of NPMs. Representativeness, necessary expertise, and adequate funding are also important considerations to guarantee independence. The OPCAT, the SPT guidelines and the Paris Principles all place stress on the importance of NPMs being independent. The law creating an NPM should not place the institution under the institutional control of a government ministry, cabinet, or president. Each member of Commission or each member of staff should be personally independent from State authorities, and the NPM should not include individuals who are presently occupying active positions in the Government. Financial autonomy is also crucial. The usage of their resources on an independent basis, ability to draft their own annual budgets, freedom from control and the need for governmental approval can be seen as a safeguard to preserve the independence of NPMs. This independence will enable NPMs to be capable of performing their functions. Conflicts of interest are very likely to arise when the institutions or the staff cannot act in an impartial manner. For example, an NPM member who also occupies an active position in the criminal justice system would find difficulties in conducting his 28
multiple roles as they have conflicting interest. In conclusion, the UNCAT as an effort to combat torture and other inhuman treatments mainly takes repressive measurements to fight against torture, however Article 2 of the UNCAT gives concern on the prevention. The ComCAT is established with the objective to supervise the States Parties‟ compliance with the obligations under the UNCAT. It can also be concluded that the Committee has a wide range of mandates. They can take the position of preventive role through the framework of reporting procedure and inquiry procedure. The Convention also gives way to an effective prevention system through the OPCAT. The OPCAT establishes a system of prevention which mixes international and domestic approaches. A very critical role will be conducted by NPMs as they are located within the country meaning that regular visits are possible. However, the NPMs would not be able to function properly if they are not independent and not well equipped with required human resources‟ expertise.
human rights. This revision can be seen as a huge leap to the protection of human rights as the original 1945 Constitution lacked with the sufficient human rights provisions. Similarly, the Government of Indonesia also enacted some other legislation which reflects the Government‟s awareness of its responsibility on the protection of human rights. Law Number 39/1999 on Human Rights has made a significant progress in which it establishes and gives a wide mandate to the National Commission on Human Rights (Komnas HAM), ranging from the power to study, research, disseminate, monitor and mediate human rights issues. With the existence of an independent institution monitoring human rights, it is expected that protection to human rights will be more effective. Another important regulation is Law Number 26/2000 on Human Rights Courts which guarantees that any violations of human rights will be brought to justice. In those both documents, we can find the definition of torture. Article 1 section 4 of the Law Number 39/1999 provides that: “Torture means all deliberate acts that cause deep pain and suffering, both physical or emotional, inflicted on an individual person to obtain information or knowledge from that person or from a third party, by punishing an individual for an act carried out or suspected to have been carried out by an individual or third party, or by threatening or coercing an individual or third party, or for reasons based on discriminative considerations, should this pain or suffering arise as a result of provocation by, with the approval of, or with the knowledge of any person or public official whosoever.” The Government of Indonesia claims that the above definition is in line with the Convention. In fact, according to the Government, Indonesia‟s torture definition is more advanced since it includes the acts conducted not only by public authorities but also by individuals. Unfortunately, there is no single provision in Law Number 39/1999 regulates punishment to the torture perpetrators
The Existing Visiting System in Indonesia; The Conformity between Indonesia’s National Legislation with the UNCAT’s Provisions A few years after ratifying the UNCAT through Law Number 5/1998, Indonesia enacted several new laws as part of Indonesia‟s on-going efforts for comprehensive legal reform for the purpose of protecting human rights including the right not to be subjected to torture and other cruel, inhuman, or degrading treatment or punishments. Among the most notable legislative measures is the amendment of the 1945 Constitution, the highest legal authority in Indonesia. The protection of human rights is one of the values which has been given a special attention regarding its amendments. The amended 1945 Constitution in Article 28G(2) and 28I(1) stipulate the right to be free from torture or inhuman and degrading treatment. Other provisions grant people with some basic 29
(Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT), 2010). In addition, the Law Number 26/2000 on Human Rights Court in Article 9(f) also stipulates the definition of torture. Article 39 of the Law stipulates that every person who commits or is suspected of having committed, or attempts to, participates in, or accomplices torture, shall be punished by five to fifteen years imprisonment. Conversely, former UN Special Rapporteur for Torture Manfred Nowak in his report recommended that Indonesia should define torture in accordance with Article 1 and 4 of the UNCAT, as the definition of torture under the Law number 26/2000 is restricted to a massive, broad, and systematic attack against civilians. Therefore, in the view of above mentioned laws, an individual attack as well as sporadic and unsystematic attacks would not fall under the definition of torture. The consequence of these phenomena is that it is difficult to charge perpetrators with committing acts of torture under these laws, which then leads to impunity practises. Amid the vacuum of a torture definition which is in line with the Convention‟s definition, Indonesia‟s Penal Code offers a solution. Actions that result in physical or mental violence and other illtreatment are punishable under the Indonesian Penal Code. Under Article 422, officials who, in a criminal case use means of coercion for the purpose of a confession or to get information shall be punished. However, the scope of Article 422 is limited only for investigations of criminal acts. It means that other offences not under the investigation process cannot be punished by this provision. Articles 351 to 358 of the code also punish acts which have elements similar to torture, but still miss several elements of the torture definition, such as elements of purpose and agency. Those offences are punished under “maltreatment” charges. As a result, torture offenders are charged with the offence of maltreatment, leading to less severe punishment. From above points, it can be shown that Indonesia‟s legislation
concerning acts of torture lack an appropriate form of punishment. This happens because the legislation concerning the acts of torture as stipulated in Law Number 26/2000, defines torture with higher thresholds than the one regulated in the UNCAT, as it requires the acts to be systematic, massive and broad. That definition has led to impunity since there have been no persons brought to court charged with torture under the Law Number 26/2000. In its penal code, Indonesia qualifies acts of torture as “maltreatment” which misses some important elements of what constitutes torture, and results in less severe punishments for the act of torture. Therefore, regarding Article 4(2) of the UNCAT, Indonesia is not yet able to comply with its obligation. Indonesia has not yet declared the competency of ComCAT as indicated in Article 21 and 22. Under these provisions, the Committee would have the power to receive complaints and communications from other signatory countries, as well as individuals upon declaration. The absence of a declaration to acknowledge the competency of the ComCAT gives more space for the internal complaint mechanism within Indonesian system. Under Indonesia‟s criminal system, any complaints shall be submitted to the Police. This raises a concern as most cases of torture are committed by members of law enforcement agencies. This mechanism has difficulties to realise an impartial investigation. This fact is not in line with Article 13 of the UNCAT which stipulates the obligation to ensure a prompt and impartial complaint mechanism on torture allegation. The Role of the National Human Rights Institutions in Preventing the Acts of Torture and Ill Treatment in Indonesia As Indonesia is not party to the OPCAT, Indonesia is not legally obliged to establish a preventive mechanism under the OPCAT. However, Indonesia has several institutions dealing with human rights which have a mandate to take preventive measures against acts of torture and other 30
inhuman treatment. The National Human Rights Commission (Komnas HAM), the National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan), the Witnesses and Victims Protection Institution (LPSK), and the Ombudsman of the Republic of Indonesia are among the potential institutions to conduct preventative measures against torture. The Komnas HAM plays a key role in prevention against acts of torture as it has conferred a mandate from both Law Number 39/1999 and Law Number 26/2000. It can be concluded from above regulations that the Komnas HAM has functions to study, research, disseminate, monitor and mediate human rights issues, as well as a power to conduct inquiries of alleged acts qualified as crimes against humanity including torture. The monitoring function attached to Komnas HAM has a close relation with the preventative efforts against torture. In conducting its monitoring function, the Komnas HAM could carry out a survey of the locations where incidents have taken place and other locations which are deemed necessary. The Komnas HAM could also examine sites such as houses, yards, building and other places occupied by certain parties with the agreement of the chief of the court. The inability to conduct visits without prior authorization from other bodies has impeded this institution from functioning properly. In contrast to Article 4(1) of the OPCAT, the NPMs can carry out visits to any places of detention without any further consent required. Impartiality and independency are the key elements of the Komnas HAM to ensure that its mandate is carried out effectively. However, the Komnas HAM has some problems regarding its independence. Further elaboration on the independency of the Komnas HAM will be discussed in the next chapter. In the light of Komnas HAM‟s mandates being derived from Law Number 39/1999, a Memorandum of Understanding (MoU) with the National Police was concluded, where the Police granted free access for the Komnas HAM to visit all detention facilities under police
jurisdictions. However, no visits undertaken by the Komnas HAM are unannounced. The visiting team has to make some arrangements with the authorities before carrying out the inspection. This means that the Komnas HAM does not have a strong monitoring function, as it always needs other institutions‟ permission to conduct visits, for example from the Police. Aside from its inspection function, the Komnas HAM is obliged to disseminate human rights values including the prohibition on torture. Recently, the Komnas HAM has published leaflets as a medium to publicize the UNCAT, to educate people regarding the norms and to promote the values contained in the Convention. Under Articles 90 to 92 of Law Number 39/1999 on Human Rights, the Komnas HAM has a mandate to receive complaints either from individuals or groups. This function is rather different to those that the NPMs have. NPMs under the OPCAT have at least two core mandates; to conduct visits and make recommendations to the Governments. However, States may endow an NPM with broader mandates, for example to adjudicate individual complaints. But this may give rise to considerable obstacles when it comes to achieving the OPCAT‟s objectives, as it may upset the co-operative relation with the Government. This broad mandate by the Komnas HAM could have a negative impact to its proactive inspection body role. Similar to Komnas HAM, The National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) can also conduct inspections to places of detention. One of the National Commission on Violence against Women‟s (Komnas Perempuan) mandates is to strengthen efforts on prevention against torture on women. In line with its mandates, the Komnas Perempuan has conducted several visits to places of detention. However, these visits are not without any restrictions. The Komnas Perempuan cannot have access to detention centres without prior consent from the authorities, the same rule that applies to the Komnas HAM. The Komnas Perempuan may conduct monitoring only 31
on an ad hoc basis which means that this institution does not have the capacity to carry out a comprehensive monitoring system (UN Human Rights Council, 2008). The Presidential Regulation No. 65/2005 on National Commission on Violation against Women (Komnas Perempuan) in Article 3 claims that the Komnas Perempuan is an independent institution. But, given the fact that this institution was established by a presidential regulation, it can be shown that this institution begins with something unindependent, as the President has a power to alter or dissolve the Komnas Perempuan‟s mandate at anytime. Furthermore, in its law, there is no statement of any kind regarding the requirement for a level of expertise when appointing members. Indonesia established a witness protection body, called the Witnesses and Victims Protection Institution (LPSK), as part of the mandate derived from Law Number 13/2006 on the Witnesses and Victims Protection Institutions (LPSK). The LPSK has a significant role in the prevention of acts of torture and other inhuman treatment. The mandate of this institution is to provide protection and support to witnesses and victims of crimes, including cases of torture and maltreatment. Article 5(2) of Law Number 13/2006 stipulates the parties who will fall under the protection of LPSK, inter alia: victims or witnesses of corruption, terrorism, and drugs abuse cases. However, this provision is not exhaustive; therefore, it is possible to include torture victims as a party who qualify for special protection. Given the fact that acts of torture tend to be perpetrated by the law enforcement officers who also process a criminal charge, protection and assistance by a third party for the witnesses and victims in every step of criminal procedures becomes crucial. That is the importance of LPSK. However, the Government of Indonesia shows a lack of support toward this institution. In terms of budget and legal framework, this organisation has a very slow progress. The budget for LPSK was not disbursed until
November 2008, two years later after its establishment. Another institution, which has a high potential to carry out prevention measures, is the Ombudsman of the Republic of Indonesia. The formation of this body was initially derived from Presidential decree Number 44/2000 on the National Ombudsman Commission. In order to strengthen its legal framework, the Law Number 37/2008 on the Ombudsman of the Republic of Indonesia was concluded. Pursuant to Article 6 of Law Number 37/2008, the Ombudsman has a mandate to monitor governmental institutions or the State‟ organs and conduct investigations on grievance of maladministration in administering- public services. Pursuant to Article 8(f) of Law Number 37/2008, the Ombudsman could make recommendations on the disposition of the grievance. This includes complaints from detainees. Concerning the handling of complaints, a memorandum of understanding (MoU) is concluded between the Ombudsman and the Ministry of Justice and Human Rights. The objective of this MoU is to raise the standard of the conditions in places of detention, as well as the detainee‟s treatment. The LPSK and the Ombudsman share similarities, as they are facing problems with their independency or expertise issues. Article 11(1) of the Law Number 13/2006 on the Witnesses and Victims Protection Institutions (LPSK) stated that this institution is independent. However, in Article 13(1) gives a clue that this institution is not totally independent, as they have to be responsible to the President which means they are placed under the President‟s supervision. As explained above, it can be concluded that the Indonesian national human rights bodies have a role in the prevention of torture and other inhuman treatment. These roles range from conducting visits, educating people and officers, to disseminating the norms regarding the prohibition of the acts of torture. However, the visits conducted by those bodies still lack the important elements compared to the OPCAT system. 32
How this existing visiting system works, will be explained in the subsection below.
establishing or designating their NPM(s) as it lists a set of criteria for national human rights institutions to be considered independent (Antenor Hallo de Wolf, 2009). Under Article 19 of the OPCAT, the NPM will have a mandate to conduct regular visits to places of detention and make recommendations to the authorities. NPMs should have access to all places of detention in which it is permitted under Article 4 of the OPCAT, including unofficial places of detention, for example hospitals, care homes for elderly, and mental health institutions. There are some institutions in Indonesia which carry out the function of monitoring detention places. However, this monitoring function creates the visiting system but does not perform well since it lacks the important elements that the OPCAT system requires. By comparing the existing visiting system in Indonesia to that of the visiting mechanism under the OPCAT, the shortcomings of the current visiting system become apparent. Visits by the Komnas HAM, the Komnas Perempuan, the Ombudsman and Independence actors form a potential visiting system in Indonesia, similar to the one envisaged under the OPCAT. Under the Article 76(1) of the Law Number 39/1999, The Komnas HAM has a function to monitor places of detention. This body could visit all detention places under the Police‟s jurisdiction. The Komnas HAM can also conduct visits to less traditional places of detention such as houses and other buildings where people are deprived of their liberty. Similarly, the Komnas Perempuan also conducts visits, but with a more specific theme, the protection of women being the main concern. However, both visits by the Komnas HAM and Komnas Perempuan require permission from the respective authorities, for example from the Police or local Governments. Independent visits by NGOs are also possible. However, these visits are only for a particular purpose, for example conducting surveys, and not for regularly monitoring places where there is a deprivation of liberty. Visits with purposes
The Weaknesses of the Existing Visiting System in Indonesia The OPCAT visiting system is recognized as an effective prevention mechanism against acts of torture and other inhuman treatment. This visiting system combines an international approach through SPT, as well as a domestic approach through NPM. Aside from its dual approach, this system also establishes regular visits, either announced or unannounced, which cover official and unofficial places of detention. The inclusion of NPMs within the OPCAT framework is the key factor of the effective prevention because NPMs, by nature, are located within State Parties so that they can conduct more frequent visits. Co-operation between the ComCAT, SPT, NPM, and the State plays an important role in the performance of effective preventive visits (Kerstin Buchinger, 2009). The ComCAT and the SPT holds at least one annual meeting in a year, and the SPT also submits an annual report to the ComCAT. The SPT can make use of the reports submitted by State Parties to the ComCAT to help its work. A solid relation between the SPT, State Parties, and NPM will lead to a good visiting system performance, as they are in the very heart of this system. The SPT assists the State Parties on the establishment or designation of NPM. NPM, in conducting its visiting mandate, should keep in constant contact with the SPT and follow its guidelines. As the main player in the OPCAT visiting system, it is essential that NPMs meet several requirements in order to function well. Independence is the most important characteristic that an NPM must possess. Article 18(1) OPCAT calls for functional independence and independence of the personnel of NPMs. Representativeness, necessary expertise, and adequate funding are also important considerations to guarantee effective performance. The OPCAT requires States to consider the Paris Principles when 33
other than prevention could also be done by the Ombudsman. The Ombudsman could visit detention places as part of their investigation function. Inspections to places of detention are carried out based on the grievance they received. Therefore, the visits conducted by the Ombudsman are not preventive visits in nature, as it focuses on reactive measures. The existing visiting system is proven to be ineffective. The number of allegations of acts of torture and illtreatment committed by members of the police forces, the army (TNI) and other groups linked to authorities, is still high, confirming the validity of the previous statement, (Office for Justice and Peace of Jayapura and Impartial-Jakarta, 2007). The failure to bring the perpetrators of these acts of torture to justice is just another example. The existing visiting system in Indonesia has some characteristics which result in performance ineffectiveness. First, the institutions which have preventive functions do not have authentic mandates to visit places of detention. In other words, these institutions have limited mandate concerning the monitoring function, as all the visits shall be announced and require consent from the related authorities. The practices shown by Komnas HAM and Komnas Perempuan are clear enough to support above premise. They could not access places of detention without the consent from the Police, local Court, or local Government. The absence of unannounced visits confirms the failure of this system. The above facts describe a great different as to what the NPM has under the OPCAT system. NPMs could conduct visits without prior consent from the authorities. These visits could be either announced or unannounced. Even the SPT could conduct visits without any prior consent from the Government. Once a State ratifies the OPCAT, it is considered that they already given their consent to allow visits. The second factor which causes underperformance within the visiting system in Indonesia, regards the broadness of the institutions‟ mandate. The mandates
of the institutions who conduct the visits covers broad tasks. The Komnas HAM has an abundant workload ranging from studying, researching, disseminating, mediating and monitoring human rights issues which makes no difference in terms of the broadness of its mandates with its counterpart Komnas Perempuan. Like the Komnas HAM and the Komnas Perempuan, the Ombudsman also has an extremely broad mandate dealing with maladministration in administering public services. They will hardly have sufficient financial and human resources to properly undertake preventative visits. The fact that the Komnas Perempuan could not undertake visits on a regular basis has impeded this system from functioning properly. Similarly, given the fact that preventative visits are not part of the Ombudsman‟s mandate and the visits they conduct are reactive rather than preventive based on the complaints they received, this leaves the Komnas HAM as the sole institution which could conduct preventive visits on a regular basis. Third, this current visiting system does not prescribe minimum standard to the bodies which would allow them to functioning effectively. The State does not grant enough functional, personnel independence as well as pluralistic and competent experts as stipulated in the OPCAT, the Paris Principles and the SPT guidelines on NPMs. The SPT, in its guidelines regarding NPMs‟ establishment states that it is a basic principle for NPMs to be independent (Subcommittee on Prevention of Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (SPT), 2010). Although the Law Number 39/1999 and the Law Number 26/2000 have rectified the Komnas HAM independence by reducing the President‟s role in electing the members of this body, but this level of independence is considered insufficient, as the proper function by the Komnas HAM depends on the other institutions‟ assistance, for example from the Police, by giving them permission to conduct visits to places of detention under its power. Disharmony relation with the 34
Attorney-General has hindered this body from performing its mandate. Under the Article 20 of the Presidential Decree Number 65/2005, the members of Komnas Perempuan are responsible to the president. This lack of independency causes imbalance and prevents the body from performing well. The Komnas HAM also appears to be insufficiently resourced in terms of either the number of staff or pluralistic expertise as their members are only those who have a legal background. In order to conduct an effective visit, a mix of professional backgrounds should be included during the missions who are not only lawyers, but also doctors and psychologists. To summarize, it can be concluded that there is no effective monitoring mechanisms currently in place in Indonesia. The Ombudsman can conduct visits to places of detention, the Komnas Perempuan and the Komnas HAM have been conducting announced visits to police detention centres. However, there is no effective mechanism which would have the power to conduct unannounced, preventive visits to all places of detention throughout the country. The existing monitoring bodies are facing problems with some basic requirements which would allow them to function well, such as the clarity of mandate, expertise and institutional independence. Both the ComCAT and the United Nations (UN) Special Rapporteur on torture through their reports highlight the lack of effective mechanisms in Indonesia.
institutions, such as the European Committee for the Prevention of Torture and Inhuman or degrading treatment or punishment (CPT). For many Asia-Pacific States including Indonesia, monitoring from the SPT as a representation of international monitoring bodies is considered controversial. The mandate of the SPT which could conduct announced or unannounced visits to places of detention might be seen as an infringement of State‟s sovereignty. In the traditional understanding, sovereignty means that only the State has the highest authority in its territory. Therefore, protection to the people in its jurisdiction should be undertaken by the State without any interference from any international bodies. States‟ sensitivity to sovereignty, as well as national security issues, has driven many States in Asia-Pacific to be hesitant as to whether they should or should not ratify the OPCAT. For example, the Philippines prior to ratifying the OPCAT, addressed the issue of sovereignty very seriously. They were questioning whether granting the SPT the right to access all places of detention could be seen as a form of sovereignty infringement. Finally, they ended up with the conclusion that it was not the case; the OPCAT system was deemed to support national sovereignty instead of violating it. The SPT works based on mutual trust and confidentiality rather than condemnation, but not all States share the same understanding in that respect. Indonesia, to some extent, holds different views to the Philippines regarding the issue of international monitoring in relation to States‟ sovereignty. Upon the ratification of the UNCAT, Indonesia had already made a declaration to article 20(1), (2) and (3). Indonesia brought up the issue of sovereignty and territorial integrity upon the application of article 20 of the UNCAT. Under Article 20 of the Convention, the Committee can launch an inquiry into allegations of systematic torture. Indonesia also refused to recognise the competence of the ComCAT to investigate a complaint from another State by the absence of the declaration of intention in relation to article
Establishing a visiting system à la OPCAT in Indonesia; Issues upon Ratification of the OPCAT The OPCAT visiting system comprises of two approaches, the international and domestic approach, which are regarded as an effective way to prevent the acts of torture and inhuman treatment (, Kirsten Buchinger, 2009). However, some States are reluctant to ratify and implement the OPCAT considering that international and regional torture-related bodies already exist. Those States argue that the OPCAT bodies will duplicate the work of existing 35
20 and 21(1) of the UNCAT. This means that Indonesia rejected the competency of the ComCAT, which to some extent could play a role as an international monitoring body. Similarly, the OPCAT system, which allows outside monitoring conducted by the SPT to scrutinize places of detention, has many pros and cons. Therefore, the role of the SPT is crucial in explaining Indonesia‟s current position upon the ratification of the OPCAT. The idea of outside scrutiny by the SPT being seen as a breach of a State‟s sovereignty is absolutely misleading as the visiting system under the Optional Protocol is based on cooperation rather than confrontation. The work of the SPT is guided by the principle of cooperation between the Subcommittee and the State Parties. The principles of confidentiality, impartiality, and objectivity also become guidelines relating to how the SPT conduct its tasks. So, the visits by the SPT under the OPCAT system do not recognize the element of “naming and shaming”. For example, The SPT communicates its recommendations and observations confidentially to the Member States. It cannot announce its reports or observations in public unless the State itself requests to do so, or the State refuses to cooperate with the Subcommittee. Furthermore, the decision to publish the report by the SPT should be decided by majority of the ComCAT members. If a State has a good will and they are willing to cooperate, they should not be afraid of ratifying this Optional Protocol; the signing the Optional Protocol should not be considered a threat to a States‟ sovereignty. Even so, we could not say that Indonesia is totally resistant to outside world monitoring. The invitation of the Government to the UN Special Rapporteur on Torture to conduct visits to detention facilities demonstrates the willingness of Indonesia to open itself to visits from outside institutions. Indonesia is in the process of consultation within government and civil society regarding ratification of the OPCAT, indicating that this issue is to be taken seriously by the Government. Its
ongoing discussions with all the stake holders also suggest that the final decision has not been concluded as of yet. Aside from the sovereignty issue, the geographical, socio-cultural, religious, politics and ethnic diversities could be the reasons behind Indonesia‟s tardiness upon ratification of the OPCAT (Richard Harding and Neil Morgan, 2010). As an example, Indonesia‟s geographical feature is very scattered; there are 17.000 islands in total and it is also prone to natural disasters. Therefore, the national priority in terms of places of detention is still to provide safe detention facilities and enough food for its whole population. However, regardless of the reasons behind this ongoing uncertainty upon ratification of the OPCAT, real action needs to be instituted promptly to bridge the gap between the high number of torture records and the absence of an effective prevention mechanism. An Obligation to Establish a Visiting System Based on the OPCAT The Committee, in its concluding observations to Indonesia, stresses the importance of the OPCAT ratification. The Special Rapporteur on torture, in his reports during his visits to Indonesia strongly requests, and calls upon the Government to ratify the Optional Protocol. Those strong positions from both the ComCAT and the Special Rapporteur on torture question whether there is an obligation to ratify the OPCAT or an obligation to establish a preventive visiting system based on the OPCAT. In general, States are the highest authority in the international community. Neither treaties nor international organizations can force a State to ratify a treaty and become party to it. Conversely, it is up to the State, based on their consent, whether they wish to ratify a particular treaty or not. In that respect, State Parties to the UNCAT cannot be obliged to ratify the OPCAT. The UNCAT stipulates a general obligation to prevent torture as stated in Article 2(1) of the Convention, it makes no reference to the OPCAT since the Protocol was concluded later. Therefore, it can be 36
concluded that there is no obligation to be party to the OPCAT nor an obligation to establish a visiting system based on the OPCAT. There is, however, a general obligation to prevent the acts of torture. This situation gives some leeway for States to develop their own domestic visiting system out of the OPCAT system. The obligation to prevent torture entails not only the compliance with legal commitments, as set out in international instruments which have a preventive impact, but also the idea that a State should embrace any required actions which can contribute to the lessening of the risk of torture occurring. In the ICJ case involving Bosnia and Herzegovina v. Yugoslavia, the court decided that the Federal Republic of Yugoslavia (Serbia and Montenegro) had violated the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide by virtue of having failed to prevent and to punish acts of genocide(ICJ reports, 1996). Similar to the UNCAT, a State can be considered breaching its obligation to prevent torture if it is proven that it failed to take necessary actions to prevent the acts of torture. In line with above notion, State Parties to the UNCAT are considered to be successful carrying out their obligations under Article 2(1) of the UNCAT, if they can establish an effective system of torture prevention, regardless of whether they are party to the OPCAT or not. The critical question arises as to how we define an effective preventive visiting system against torture. The OPCAT system is hailed to be the most effective visiting system in place today. International NGO‟s such as the Association for the Prevention of Torture (APT) and Inter-America Institute for the Human Rights (IIHR) hail that the new approach enshrined in the OPCAT is needed to effectively prevent the acts of torture. The Special Rapporteur to the mission of Indonesia reiterates the effectiveness of the OPCAT visiting system. In its concluding observations to Australia, the Committee urges Australia to ratify the OPCAT in order to strengthen the
prevention against torture. Similarly, through its concluding observations to Albania, the Committee requests that the State establish an NPM in order to effectively prevent torture. The ComCAT, in its general comment on Article 2 of the UNCAT, reiterates that the legislative, administrative, judicial and other actions taken by States Parties must in the end be effective in preventing the acts of torture. Furthermore, the Committee ascertains that the obligation to prevent torture in Article 2 is wideranging. The scope of the effective measures enshrined under Article 2 of the UNCAT, therefore also includes establishing an effective monitoring preventive system. This document as if gave reference to a visiting system based on the OPCAT to be established in any States Members of the UNCAT, since this system is considered the most effective. The National Human Right Commission of the Republic of Indonesia (Komnas HAM) works à la NPMs The notion of a visiting system is not new in Indonesia. The mandate of the Komnas HAM, the Komnas Perempuan, and the Ombudsman of the Republic of Indonesia have made it clear that prison oversight mechanisms are already in place. But this system faces deficiencies regarding the mandate and quality of the visits. Therefore, efforts should be made to improve and ensure effective protection of persons in detention. The strengthening of the domestic oversight mechanism should remain a goal even if states have not yet signed or ratified the OPCAT, since the OPCAT requires the designation of an NPM at a domestic level, which may appoint the existing body (Berber Hettinga, Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh, 2011). Concerning Indonesia‟s inspection system, improving and strengthening domestic visiting systems should be initiated by giving the institutions dealing with the monitoring a clear and strong mandate. The strong words concerning its mandate, and as how far the institutions 37
could go in conducting its mandate should be clearly stated in the regulations. To date, this has not been the case. As mentioned earlier, the inspection system in Indonesia has some weaknesses; the Komnas Perempuan and the Ombudsman of the Republic of Indonesia have a visiting mandate, but it is limited in its scope. The Komnas Perempuan could carry out inspections and conduct interviews but this is only applicable for female prisoners. Similarly, the Ombudsman can also conduct inspections, but only upon receiving a complaint; the visits conducted are more reactive than preventive in nature. Unlike other human rights institutions, The Komnas HAM has a broader and more general mandate as they can carry out inspections with no limitation to the gender and visit places where acts of torture are most likely to happen. It would seem that the Komnas HAM is the only human rights institution which has an ideal mandate for the prevention of torture. Thus, it should be the leading institution for the prevention against torture and other inhuman treatment. In regard to the establishment of the NPM, once Indonesia ratifies the OPCAT, the Komnas HAM could be appointed as the NPM. In principle, as long as the body can conduct its visiting function well, it should not matter whether it is new or not. However, establishing an entirely new OPCAT focused institution is not a good option in Indonesia, as it has several institutions with more or less the same mandate. Creating a new institution can result in a more complicated system since it will duplicate the work of the existing bodies. Furthermore, the Komnas HAM has already enjoyed a good reputation in the society, something that could be difficult for the new body to achieve. The concern of improving the existing visiting system should focus on how to improve the quality of the visits. The quality of the visits has been shown to correlate with institutional independence, as well as the independence of their personnel. Visits by national preventive mechanisms
cannot effectively prevent torture and other inhuman treatment unless the institution is truly independent. The Komnas HAM‟s independence is very much questioned. In its concluding observations to Indonesia, the Committee against Torture reiterates the insufficiency of the level of the independence and impartiality of the Komnas HAM. In 2008, the ComCAT through its concluding observation recommended that the Government of Indonesia strengthens the independence of the Komnas HAM. The level of independence is really an issue in the case of the Komnas HAM‟s mandate under Law Number 26/2000 on the Human Rights Court. The mandate under the Law Number 26/2000 for conducting the initial investigations relating gross violation of human rights will come to nothing because it is up to the Attorney General to decide whether or not the case will proceed, despite the Komnas HAM saying otherwise. The independence of an institution will be undermined if the Government has the legal authority to dissolve, replace, or alter its mandate. This can be called institutional independence. The independence of a human rights institution also means that the law creating the institution should not place the institution and its member under the Government control. The independence of members and staff is also important as the members of the human rights institution should be experts and personally independent from the Government itself. Visits to places of detention by independence and impartial authorities are the fundamental principle underlying the OPCAT. Law Number 26/2000 claims that the Commission is an independent institution, but the law does not elaborate more on the extent of said independence. However, Article 85(2) of Law Number 39/1999 on Human Rights, stipulates that a member of the Commission may be discharged if he is no longer able to carry out his mandate independently, such as by joining a political party. Following this with 38
regard to the independency issue, it can be concluded that the above laws only focus on personnel independence, giving no reference to functional independence. The Komnas HAM cannot be regarded as having a level of independence high enough in carrying out its inspection mandate, even though it secured „A‟ status accreditation from the International Coordinating Committee of National Human Rights Institutions (ICC) in 2012 to show its compliance to the standard set out in the Paris Principles. The inter-relation between the Komnas HAM and the Attorney General in proceeding gross violations of human rights has put the Komnas HAM in a very weak position and has undermined its independence; it is up to the Attorney General to continue or halt the legal process regarding an allegation of a human rights violation. Furthermore, concerning the Komnas HAM‟s visits to places of detention under the Police authority in which require permissions from the Police in the form of an agreement, it has undermined the inspection mandate stipulated in the regulation. The existence of an agreement before conducting visits has made unannounced visits impossible. Therefore, the Komnas HAM in conducting its inspection mandate has clearly fallen short of required independency and authority. Therefore, functional independence by the Komnas HAM should be given more concern. The Commission should be able to conduct its mandate without any restrictions or dependency from another institution. The only solution is by amending the law regulating the mandate of the commission. The personnel expertise is also an issue in the effort to improve the quality of the visits by the Komnas HAM. It is not enough that the Commission‟s members are independent from the Government. In order to be effective at conducting visits, the members of the monitoring institutions must each have relevant expertise. The lists of expertise are not only lawyers but also individuals of other professions, including doctors, psychologists, anthropologists, etc. Unfortunately, Law Number 39/1999 on
Human Rights does not recognise the variety of expertise of its members. Article 84 of above mentioned law stipulates the individuals who are eligible to be appointed as the members of the Komnas HAM are those who have an experience in the legal profession. Therefore, the lists will be limited to lawyers, judges, police, and attorneys. In the upcoming time, it has to be made possible for other professions, aside from legal professionals, to become members of the Commission. This can be done by amending Law Number 39/1999. 3.3.2. Improving the Frequency of the Visits The frequency of visits by the human rights institutions can be shown to have contributed to the decreasing number of torture cases (Berber Hettinga, Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh, 2011). The repeated visits to a given place of detention will have a deterring effect. These frequent visits and interviews will be able to illuminate the early signals in which torture or inhuman treatment might take place. However, the Komnas HAM is facing problems regarding its ability to conduct frequent visits due to the issue of consent and the broad scope of the definition of detentions. An institution might reject the request by the Komnas HAM to visit its place for a certain ground, and wide-range of places that need visiting will be an obstacle for the Komnas HAM to cover them all. Therefore, the issue of consent and scope of mandate is closely related to the frequency of the visits by the Komnas HAM. The Komnas HAM, as the human rights primary monitoring institution, has some problems regarding the ability to conduct frequent visits. Under Article 89(3) of Law Number 39/1999 on Human Rights, and Article 19 of Law Number 26/2000 on Human Rights Court, the Komnas HAM is conferred a mandate to conduct visits to places where torture and other inhuman treatments are likely to occur. However, these two legal frameworks are considered not enough to be a legal basis of the Komnas HAM to conduct visits to all places of detention, as in reality it requires 39
permission from other bodies, meaning that they might say no to these visits. The Komnas HAM can only conduct visits in a limited fashion. They need permissions prior visits whish also means that they cannot conduct unannounced visits to places of detention. That fact is affirmed by the ComCAT‟s concluding observation to Indonesia in which it is concerned about the absence of an effective monitoring mechanism on the situation of detainees, including unannounced visits to all places of detention or custody. Regarding the discussion on the establishment of NPMs, Government institutions have a tendency to object to the key mandate of the NPMs to conduct visits without prior notice. This objection to other institutions monitoring also applies to the Komnas HAM. In order to get access to visit detention facilities under the Police‟s authority, the consent and some arrangements from the Police should be first secured by the Komnas HAM. Similarly, the Komnas HAM has also concluded an agreement with the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia to gain the right to visit places of detention under its jurisdiction, for example migrant detention centres (Nurkholis Hidayat and Restaria Hutabarat, 2012). These agreements and arrangements have had a detrimental effect to an effective visiting mission. Furthermore, all the visits conducted by the Komnas HAM only target the places of detention in the traditional sense which only includes police cells and prisons. From its practises, the Komnas HAM never exercises its inspection mandate to visit less traditional places of detention like care homes, psychiatric institutions, etc. Once again, the practices above have shown that the authority of the Komnas HAM to conduct preventive missions against torture has not yet achieved a strong legal framework. Therefore, there is an urgent necessity to amend the regulations regarding the mandate of the Komnas HAM. The ability to conduct more frequent announced and unannounced visits covering not only
prisons and police cells, but also places of detention that regularly do not fall under the criminal justice system, should be given more concern. In the travaux preparatoires during the drafting of the Optional Protocol, there were some positives and negatives discussed regarding the unannounced visits conducted by the SPT and NPM(s). Several States stated that the principle of State sovereignty and territory integrity should prevail, and therefore, the Subcommittee needed to obtain prior consent from the respective government for any mission to its territory (Manfred Nowak and Elizabeth Mc Arthur, 2008). However, other States criticized such a requirement as it contradicts the basic purpose of the Protocol, to conduct preventive visits as spelled out in Article 1. The recent text of the OPCAT constitutes the compromise over that issue. An example being that, Article 13(2) of the OPCAT, it s requires the SPT notify the State Parties so that they can make some arrangements for the visits to be conducted and by virtue of Article 14(2), the State Parties may object to a visit to a particular place of detention on urgent grounds, for example national defence or public safety. In 2006, the UN Special Rapporteur on Torture said that upon ratification of the Optional Protocol, State Parties have agreed to accept unannounced visits to all places of detention because they have waived their sovereignty right. The reason why the absence of unannounced visits in Indonesia has been addressed in a serious manner is because the visits with no prior notice have some additional value. The visits without notice are not mentioned in the OPCAT, however, this concept is widely accepted and admitted to be important by the State Parties. The UN Special Rapporteur on Torture has elaborated that unannounced visits could reveal and formulate a distortion-free picture of the real conditions in the detention facilities. Therefore, by having the mandate to conduct unannounced inspections, the Komnas HAM could see the actual problems in detention facilities, and thus address the 40
problems with accurate recommendations. But then the question arises of how frequently frequent visits must be conducted. The problem regarding the frequency of these visits is how to determine if a certain number of visits is frequent enough. The OPCAT requires that the NPM itself have the power to determine how frequently it visits particular places of detention. In general, the more frequent the visits are, the more effective the visiting system is. The idea of the establishment or designation of the NPMs was initially because the SPT is dealing with a serious obstacle when it came to conducting visits on a regular basis due to budget constraints. Then, the NPM was adopted in order to make it possible to have more frequent visits. In Indonesia‟s context, the visits aside from the Komnas HAM should be made possible in order to enhance the number of visits. The Komnas Perempuan and The Ombudsman should be given more room to conduct preventive visits to places of detention. In that case, some form of coordination is necessary in order to overcome a conflict of mandates or overlapping functions. Those institutions, for example, can conclude an agreement between them regarding who will conduct visits in a particular area or hold an annual meeting to discuss recent problems on torture prevention. The Komnas HAM itself will determine how often the visits will be conducted. This determination should take into account some considerations such as the types of visits and the types of detentions. Suggestions include that the follow-up visits should be less frequent than the regular visits, and places with the higher torture records should be subject to more inspections in comparison to places with a low number of torture cases.
Article 89(2) of the Law Number 39/1999, the Komnas HAM could also give recommendations upon amendment or revocation of the legislation concerning human rights. This function is in line with the NPMs mandate under Article 19(2) of the OPCAT. According to the OPCAT, the NPM should be granted the minimum power to inter alia to make recommendations to the authorities with the aim to prevent the acts of torture and other inhuman treatments. Regarding the recommendations by the Komnas HAM, the Committee, in its concluding observation expressed its disappointment on the fact that all of the reports of the Komnas HAM were not published. The Komnas HAM does not have the right to challenges a decision by the authorities, even if that decision contradicts the Commission‟s recommendations. For instance, the Komnas HAM is powerless against the decision of the Attorney General to not prosecute a case of torture, even though the Komnas HAM recommends conversely. Therefore, it is important to give more effects to the recommendations issued by the Komnas HAM by turning words in the papers into real implementations of practice. The first question to answer regarding the recommendation power possessed by the Komnas HAM is whether there is an obligation for the Government‟s institutions to implement those recommendations. In the United Nations charter there are two words, recommendations and decisions which have different meanings. The word decision is usually used for binding resolutions, whereas “recommendation” is used to express non-binding resolutions (Marko Divac Oberg, 2006). Furthermore, the OPCAT system ascertains the non-binding power of the recommendations. This system works through a process of recommendations and persuasive dialogue, as opposed to binding powers. Therefore, there is no obligation for the Government to carry out the Komnas HAM recommendations.
Strengthening the Impact of the Inspections At the end of a visit, the Komnas HAM issues a report on its findings, including recommendations for actions. In 41
The fight against torture and other inhuman treatment will be effective, if the recommendations by the Komnas HAM are implemented by the Government. Therefore, there is a need to give more impact to the recommendations. Making the recommendations available to the public is one of the ways to strengthen the effect of recommendations. By doing so, independent monitoring from the public will grow and strengthen the pressure placed on the government to implement the recommendations. In conclusion, Indonesia has no obligation to establish a preventive visiting system under the OPCAT, but indeed Indonesia has an obligation to set up an effective preventive system under Article 2(1) of the UNCAT. The OPCAT system has set a clear requirement for the human rights institutions to function effectively in the prevention against the acts of torture and other ill-treatment. Using the OPCAT approach, the Komnas HAM should address at least three fields in order to function effectively. Firstly, concern should be expressed regarding the quality of the visits; improving the quality of the visits means strengthening the independency of the institution, not only in terms of human resources but also in term of functionality. The mandate of the Komnas HAM must be made clear, and should include the possibility of conducting announced or unannounced visits to traditional or less traditional places of detention. The variety of expertise should also come under scrutiny, this expertise does not merely include legal professions, but also other fields of profession. Secondly, the Komnas HAM must pay attention to the frequency of visits; the more visits are in place, the better the protection will be. And thirdly, the Komnas HAM should strengthen the power of its recommendations by making it accessible to the public.
place in Indonesia. Under Law Number 39/1999 on Human Rights and the Law Number 26/2000 on Human Rights Court, the National Human Right Commission (Komnas HAM) has a mandate to conduct monitoring visits to places of detention. Similarly, Under Presidential Decree Number 65/2005 on the National Commission on Violence against Women, the Komnas Perempuan has a mandate to visits places of detention. The Ombudsman could also conduct visits based on the Law Number 37 on the Ombudsman of the Republic of Indonesia. However, this existing visiting system has some basic shortcomings; the mandate of the Komnas Perempuan and the Ombudsman is limited. The scope of the Komnas Perempuan‟s mandate to conduct visits is only limited to female detention centres or female detainees, whereas the Ombudsman can only carry out its inspection mandate when a complaint is made regarding maladministration in the places of detention. Thus, this circumstance has left the Komnas HAM as the sole institution with more ideal power, in which they can conduct inspections to any place where acts of torture are likely to take place in line with the broad scope of the Article 4 of the OPCAT. But this is not without any problems. The Komnas HAM cannot perform properly in the prevention against torture as they face obstacles regarding the clarity their mandates and the level of independence, as well as the competency of their human resources. The problems discussed above have lead to an absence of effective visiting systems, meaning that the effective visiting system is not yet available in Indonesia. Facts in the ground and the reports from international bodies have confirmed this claim. Internal reports from NGO‟s have revealed a data regarding the high number of torture cases. Reports from the Special Rapporteur on torture and the concluding observation from the Committee against Torture stated that there is still a lack of effective preventive visiting system against torture in Indonesia.
Conclusion From the above explanation, it can be seen that a system of inspection regarding places of detention is already in 42
Amid this uncertainty, a question arises as to whether there is an obligation to establish a visiting system based on the OPCAT. From the above explanation, it has been made clear that there is no obligation to be party or obligation to establish a visiting system based on the OPCAT. However, Article 2(1) of the UNCAT stipulates a general obligation to prevent the acts of torture. This obligation is wideranging, as the general comment on Article 2 of the UNCAT has stipulated that the obligation under Article 2(1) also includes the obligation to establish an effective visiting system. Therefore, as a party to the UNCAT, Indonesia has an obligation to formulate an effective inspection system to prevent the acts torture and other inhuman treatment. Continuous debates have taken place within the country on the sovereignty upon the ratification of the OPCAT, these debates have been a key issue relating to Indonesia‟s tardiness when it comes to the ratification of the OPCAT. This situation may last for quite some time and consequently, more people will be victims of torture due to the lack of an effective inspection system. Therefore, to tackle this situation, a system of effective inspection needs to be established immediately. The visiting system based on the OPCAT is hailed to be the effective way to prevent torture. The OPCAT system has set clear requirements for the human rights institutions to function effectively in the prevention against the acts of torture and other ill-treatment. The establishment of the SPT and NPMs has made regular visits to places of detention possible. In order to function well, NPMs should meet several requirements. The NPMs should have a strong mandate as stated in the OPCAT, the institution must be independent (functionally or personally), and the institution must be equipped with the required expertise. How this system works should inspire Indonesia with its effort to establish an effective visiting system. The establishment of a national preventive mechanism modelled on the OPCAT should
be considered as a solution to effectively prevent the acts of torture. By using the OPCAT approach as the model, several areas of improvements are required in order to enhance the performance of the existing inspection system. Strengthening the quality of the visits must be the first thing addressed. Quality inspections will be able to capture the actual or potential acts of torture or other ill-treatment. Improving the quality of the visits means strengthening the independence of the institutions dealing with visiting mandate. The institutions must be free from Government‟s intervention; the personnel must not hold positions in the government or any political parties. In this regard, the Komnas HAM, as the primary institution dealing with inspection, should be given enough level of independence in terms of institutional and human resources. The Komnas HAM institutionally should not be placed under the supervision of any ministries or other governmental institutions. Quality visits are also connected with the mandate conferred to the institutions. This mandate should be clear in explaining to what extent the mandate can be carried out. In exercising their mandate, the respective institution should be given enough room to function properly. In this respect, the Komnas HAM should be given a mandate to visit places of detention without requiring any consent to the related authorities. The Komnas HAM should not be placed in the weaker positions regarding its relation with the Attorney General and the Police. Furthermore, the mandate possessed by the Komnas HAM should also include the possibility to conduct announced or unannounced visits to places of detention either in the traditional sense, such as prisons, or in the less traditional sense such as care homes, or psychiatric institutions. The variety of expertise should be given more concern in order to improve the quality of the visits as it could enrich the findings and therefore a more detial and specific solution can be established. The expertise should not only come from those who have a legal background professions 43
such as the police, or members of judiciary, but should also include those from other professional fields such as doctors, psychologists, and anthropologists. Therefore, the Komnas HAM should diversify its expertise to include other, nonlegal professions. The second step in improving the performance of the existing system is to make the visits more frequent; the more visits that take place, the more effective the prevention. The Komnas HAM should be given a room to determine the number of visits they would like to conduct to achieve its prevention objectives. In order to enhance the frequency of the visits, the visits from the Komnas Perempuan should be made regular instead of in ad hoc basis, and the visits in more preventive sense by the Ombudsman should be also made possible. Lastly, the Komnas HAM should strengthen the impact of visits by making its recommendations accessible to the public. In this way, a pressure is placed upon the Government to implement the recommendations, both from the public and civil societies. At least by establishing a better visiting system, Indonesia‟s compliance to the obligation under the UNCAT, especially under Article 2(1) could be considered fulfilled in spite of the fact that the Government may not ratify the OPCAT. The Komnas HAM as an organ of the state, which fulfils the role of oversight, needs to develop and redefine its model to meet requirements of the effective oversight system. With the limited legislative amendments, the Komnas HAM can be appropriately placed to act as the NPM required by OPCAT and can fulfil such role.
Nations, Treaty Series, vol. 999, p. 171. UN General Assembly, Universal Declaration of Human Rights, 10 December 1948, 217 A (III). UN General Assembly, Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 10 December 1984, United Nations, Treaty Series, vol. 1465, p.85. UN General Assembly, Optional Protocol to the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, New York, 18 December 2002, United Nations, Treaty Series, vol. 2375, p. 237. Treaty of Westphalia. Available at: http://avalon.law.yale.edu/17th_centu ry/westphal.asp, (Accessed 12 June 2013). Council of Europe, European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, as amended by Protocols Nos. 11 and 14, 4 November 1950, ETS 5. Organization of American States, American Convention on Human Rights, "Pact of San Jose", Costa Rica, 22 November 1969, available at: http://www.oas.org/dil/treaties_B32_American_Convention_on_Huma n_Rights.pdf, (Accessed 1 April 2013). Organization of African Unity, African Charter on Human and Peoples' Rights ("Banjul Charter"), 27 June 1981, CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21 I.L.M. 58 (1982). International Court of Justice, Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, Advisory Opinion, 11 April 1949, ICJ Report (1949), p.174. International Court of Justice, Application of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide, preliminary Objections, Judgement, 1996. National Legislations The 1945 Constitution of Indonesia as Amended by First Amendment of
BIBLIOGRAPHY International Instruments The Vienna Convention on the Law of Treaties, 1155 U.N.T.S. 331, 8 I.L.M. 679, January, 1980. UN General Assembly, International Covenant on Civil and Political Rights, 16 December 1966, United 44
1999, the Second Amendment of 2000, the Third Amendment of 2001 and the Fourth Amendment 2002. Available at: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/pu blic/---ed_protect/---protrav/--ilo_aids/documents/legaldocument/w cms_174556.pdf. (Accessed 19 April 2013). Law Number 1/1946 on Criminal acts, Penal Code of Indonesia [Indonesia], 27 February 1982, available at: http://www.unhcr.org/refworld/docid/ 3ffc09ae2.html [Accessed 6 October 2012]. The Indonesia‟s Criminal Code (KUHAP) Law Number 8/1981 on Indonesia‟s Criminal Code. Law Number 5 Year 1998 on Pengesahan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Available at: http://www.komnasperempuan.or.id/ wp-content/uploads/2009/07/UU-No5-Thn-1998-ttg-Ratifikasi-CAT.pdf. (Accessed 9 April 2013). Consideration of the Republic of Indonesia Legislation Number 39 of 1999 on Human Rights, Available at: http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl eg/133/. (Accessed 21 April 2013). Republic of Indonesia Regulation Number 26 of 2000 on Human Rights Court, Available at: http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl eg/132/. Presidential Decree Number 65/2005 on National Commission on Violation against Women (Komnas Perempuan). Available at http://www.komnasperempuan.or.id/ wp-content/uploads/2008/11/pepresnomor-65-tahun-2005.pdf. (Accessed 16 January 2013). Law Number 13/2006 on Witnesses and Victims‟ Protection. Available at http://www.komisiinformasi.go.id/ass ets/data/arsip/uuperlindungansaksikor ban.pdf. (Accessed 16 January 2013).
Law Number 37/2008 on the Ombudsman of the Republic of Indonesia. Available at: http://www.hukumonline.com/pusatd ata/download/fl56948/parent/28453. (Accessed 20 February 2013). See also Presidential Decree Number 44/2000 on the National Ombudsman Commission, Available at: http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre s_44_2000.pdf. Presidential Decree Number 44/2000 on the National Ombudsman Commission, Available at: http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre s_44_2000.pdf. Books Chris Ingelse, the UN Committee against Torture: an Assessment, (Kluwer International, 2001). Kerstin Buchinger, the Optional Protocol to the United Nations Convention against Torture, (NWV, Wien-Graz, 2009). International Commission of Jurists and Swiss Committee against Torture: Torture: How to Make the International Convention Effective - a Draft Optional Protocol, (International Commission of Jurists, Geneva, 1980). Syarif M, Trisasongko D: Jalan Panjang Penghapusan Penyiksaan (Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, June 2012), pp.56-57. Manfred Nowak and Elizabeth Mc Arthur, the United Nations Convention against Torture: A Commentary (Oxford University Press, 2008). Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom Evans, and Antenor Hallo de Wolf, The Optional Protocol to the Convention against Torture, (Oxford University Press, 2011), pp.70-76. Denny Indrayana, Indonesia Constitutional Reform 1999-2002: An Evaluation of Constitutional-Making in Transition, (Kompas Book Publishing, 2008), p.287. Nurkholis Hidayat and Restaria Hutabarat, Membangun Dunia Tanpa Penyiksaan: Panduan Pemantuan 45
dan Pencegahan Penyiksaan bagi Pembela HAM, (Kemitraan bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan, 2012). Papers and Reports UN Committee against Torture (CAT), Concluding Observations of the Committee against Torture: Indonesia, 1 July 2008, CAT/C/IDN/CO/2, p.10, para.26. Committee against Torture, Consideration of the Reports Submitted by States Parties Under Article 19 of the Convention-Concluding Observations of the Committee against Torture: Australia, CAT/C/AUS/CO/3, p.10 para. 34. Committee against Torture, Consideration of Reports Submitted by States Parties under Article 19 of the Convention: Concluding Observation of the Committee against TortureIndonesia, CAT/C/IND/CO/2, pp.1014. Committee against Torture, Consideration of the Reports Submitted by States Parties under Article 19 of the Convention-Second Periodic Report of the States Parties Due in 2007: Albania, p.10, para. 35. Committee against Torture, Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment: General Comment No.2, CAT/C/GC/2, 24 January, 2008, p.1 paras 2-3. Committee against Torture, Concluding observations: Indonesia. 01/11/2002, A/57/44, paras.36-46. Committee against Torture, Consideration of Reports Submitted by States Parties under Article 19 of the Convention: Second Periodic Reports of States Parties due in 2003Indonesia, CAT/C/72/Add.1, paras.668. Human Rights Council, Promotion and Protection of All Human Rights, Civil, Political, Economic, Social, and Cultural Rights, Including the Right to Development: Report of the
Special Rapporteur on the Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment, Manfred NowakMission to Indonesia, A/HRC/7/3/Add.7 (10 March 2008), pp.3-23. Human Right Council, Report of the Special Rapportuer on Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment: Manfred Nowak, A/HRC/13/39/Add.6, 26 February, 2010, p. 77, para.33. Office of the High Commissioner for Human Rights, Concluding observations: Indonesia.01/11/ 2002.A/57/44,paras.8-46. (Concluding Observations/Comments), p.2. UN Special Rapporteur on Torture, 2006 Report to the Commission on Human Rights, UN Doc.E/CN.4/2006/6, (23 December 2005), Para. 24. UN Special Rapporteur on Torture, 2006 Report to the General Assembly, UN Doc. A/61/259 (14 August 2006), para.68, see also para.75. Association for the Prevention of Torture (APT), Establishment and Designation of National Preventive Mechanisms (APT, 2006), pp.14-88. Available at http://www.apt.ch/content/files_res/N PM.Guide.pdf (accessed 25 October 2012). Association for the Prevention of Torture (APT) and Inter-American Institute of Human Rights (IIHR), Optional Protocol to the UN Convention against Torture: Implementation Manual, (APT and IIHR, 2011), pp.11-12. Available at http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaWeb/ Varios/Documentos/BD/opcating.pdf (Accessed 30 October 2012). Inter-America Institute of Human Rights (IIHR) and Association for the Prevention of Torture (APT), Optional Protocol to the United Nations Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment: A Manual for Prevention,(IIHR and 46
APT, 2005) p.47. Available at:http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaW eb/Varios/Documentos/BD_1199618 190/Protocoloingles.pdf?url=%2FBib liotecaWeb%2FVarios%2FDocument os%2FBD_1199618190%2FProtocol oingles.pdf. (Accessed 17 February 2013). National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan), Indonesia‟s Compliance with the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment, p.2 Available at: www2.ohchr.org/english/.../Komnasp erempuan_Indonesia40th.doc. (Accessed 19 April 2013). Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT), Alternative Follow up Report on the Progress of the Implementation of the Recommendations Made by the Committee against Torture to Indonesia, (March, 2010), p.12. Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT), Shadow report: Prepared for the UN Committee against Torture in Connection to Its Review of Indonesia‟s Second Periodic Report under the Convention against Torture Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, (May, 2008),p.22. Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT), Toward One Year of Implementation of the Recommendations of the Committee against Torture by Indonesia, (March, 2010), pp.21-23. Human Rights Watch (HRC), Mexico National Human Right Commission: A Critical Assessment, Volume 20, No.1(B), pp. 78-81. Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Report of the Commissioner for Civil Rights Protection on the activities of the National Preventive Mechanism in Poland in 2008, pp.83-84, Available at: http://www2.ohchr.org/english/bodies
/cat/opcat/docs/Poland_2008FirstAnn ualReport.pdf. Audrey Oliver and Marina Narvaez, OPCAT Challenges and the Way Forward: the Ratification and implementation of the Optional Protocol to the UN Convention against Torture, p.51. Felipe Gomez Isa and Koen de Feyter, International Protection of Human Rights: Achievements and the Challenges, (University of Deusto Bilbao, 2006), p.211. Berber Hettinga, Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh, Survey of Detention Oversight Mechanism Provided for in the Laws of SADC Countries, (Community Law Centre, 2011), p.22. The Association for the Prevention of Torture, Rehabilitation and Research Centre for Torture Victims and United Against Torture Coalition Philippines, The Philippines and the Optional Protocol to the UN Convention against Torture: Briefing Note, (May, 2006). Elina Steinerte and Rachel Murray, Same but Different: National Human Rights Commission and Ombudsman Institutions as National Preventive Mechanism under the Optional Protocol to the UN Convention against Torture, (Essex Human Rights Review, 2009) 6(1) 54-72. Antenor Hallo de Wolf, Visits to Less Traditional Places of detention, (2009) 6(1) Essex Human Right Review 103-137. Richard Harding and Neil Morgan, OPCAT in the Asia-Pacific and Australia, (2010) 6(2) Essex Human Right Review, 101-124. Office for Justice and Peace of Jayapura and Impartial-Jakarta, the Practice of Torture in Aceh and Papua 19982007, (November, 2007). Marko Divac Oberg, The Legal Effects of Resolutions of the UN Security Council and the General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ, (Ejil, 2006). 47
GERAKAN NEOPATRIONALISME: REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL
Umi Salamah Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia IKIP Budi Utomo Malang
Menang atau bisa bertahan dalam medan perang sangat tergantung pada strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar saat ini adalah melawan hegemoni kapitalis dalam berbagai bidang yang merupakan perwujudan dari neoimperialis.Cara yang dilakukan oleh para teroris dengan bom bunuh diri atau mengebom tempat tertentu yang dilakukan atas nama melawan kapitalis merupakan tindakan “konyol” dan sia-sia. Image “bodoh” dan “jahat” akan menempel pada pelaku pengeboman dan kelompoknya. Yang lebih fatal jika asal negara pengebom juga dijuluki sebagai negara teroris dan pelabelan tersebut akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat yang berasal dari negara yang disebut sebagai negara asal “teroris”. Dampaknya sangat buruk bagi keberlansungan dan kemajuan suatu negara yang terkena pelabelan tersebut.Seharusnya perang kecerdasan harus dilawan dengan kecerdasan, pencitraan dilawan dengan pencitraan, difusi kebudayaan harus dilawan dengan kekuatan kebudayaan sendiri.
mengantar Indonesia mencapai kemerdekaan dan keharuman putra-putri bangsa Indonesia sebagai anak revolusi.Putra-putri yang penuh rasa percaya diri dan bangga sebagai anak Indonesia di kancah dunia. Di bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantoro berhasil menancapkan pilar pendidikan yang sangat kuat melalui filosofi dan strategi pendidikan berbasis kebudayaan.Pilar-pilar tersebut sangat kokoh, sesuai dengan karakter dan kebudayaan bangsa Indonesia, serta fleksibel sepanjang zaman. Pilar “Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, dan tutwuri handayani” serta “Asah asih asuh” adalah warisan kebudayaan yang sudah terbukti kehandalannya dalam membentuk karakter bangsa yang patriotis dan nasionalis dalam segala bidang. Pilarpilar ini berhasil karena didukung oleh kebijakan politik pemerintah zaman Soekarno.Moralitas anak-anak pada saat itu benar-benar menghargai orang tua dan guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap bangsa dan negaranya.Keinginan untuk memajukan bangsa merupakan cita-cita setiap anak bangsa. Ironis, warisan budaya yang begitu adiluhung itu kini seakan lenyap di telan masa.Para pengambil kebijakan pendidikan cenderung lebih suka mengimpor model pendidikan dari asing yang belum tentu cocok dengan kondisi di negeri ini.Pendidikan berbasis “nano-nano” dan berbau kapitalis ini tidak membentuk karakter anak menjadi baik.Akibatnya, perilaku anak jauh dari fondamen kebudayaan bangsa Indonesia.Sikap sopansantun/tata-krama, mentalitas kerja keras, suka menolong dan gotong royong yang
Bercermin pada Tokoh-tokoh Besar melawan neoimperialis Telah banyak tokoh besar bangsa Indonesia yang memberikan tauladan membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam berbagai bidang tanpa kekerasan.Mereka berhasil apabila mendapat dukungan dari masyarakat.Sebut saja Bung Karno dengan keberanian dan kepiawaian melawan hegemoni politik dan kebudayaan kapitalis.Kecerdasan dan kepiawaian Bung Karno dalam menegosiasi dan melobi dunia mendapat dukungan yang sangat besar dari seluruh bangsa bahkan di seluruh dunia.Strategi itulah yang berhasil 48
merupakan fondamen kebudayaan bangsa Indonesia bergeser menjadi urakan, malasmalas, egois, hedonis, konsumtif, dan membentuk geng perkelahian. Untuk mengembalikan kepada pendidikan yang berbasis kebudayaan kita harus berani bersikap teguh dan kokoh pada kebudayaan sendiri.Pendidikan harus kembali pada basis kebudayaan yaitu Pansacila dan UUD 1945.Model pendidikan kita juga harus diambil dari pilar yang berbasis kebudayaan sendiri.Pendidikan Indonesia seharusnya adalah pendidikan yang mampu menjawab problema-problema dan tantangan masyarakat Indonesia, bukan pendidikan yang berorientasi pada teori kapitalis.Pendidikan harus bertolak dari hasil riset masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.Misalnya di bidang pertanian seharusnya kita lebih maju daripada negara-negara tetangga, karena kita memiliki lahan yang sangat luas, varietas tanaman yang banyak, dan sarjana pertanian yang lebih dari cukup baik dari kuantitas maupun kualitas.Negara kita seharusnya menjadi pelopor di bidang pertanian. Sangat ironis jika masalah “bawang putih, bawang merah, cabe, gula, daging, dan beras” kita masih mengimpor dari negara tetangga. Di bidang teknologi, Habibie dengan penguasaan teknologi berhasil menakhlukkan teknologi penerbangan dan kereta api dunia. Namanya membawa harum bangsa Indonesia di kancah dunia. Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung, Aburizal Bakrie, Rachmad Gobel, Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan lainnya dengan strategi bisnisnya mampu bersaing di kancah bisnis global. dan masih banyak anak bangsa yang patut diteladani dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif dengan semangat optimis dapat membawa kemajuan bangsa dan negara ini.Di bidang teknologi informatika, sebenarnya bangsa Indonesia tidak kekurangan ahli.Banyak potensi mahasiswa dan siswa yang belum terakomodasi secara maksimal oleh sistem kebijakan pemerintah.Akibatnya Indonesia belum mampu mengkaunter derasnya pencitraan yang dihembuskan oleh negara-
negara kapitalis.Apa yang salah dengan negeri kita ini? Serangan hegemoni kapitalis di negara kita meliputi berbagai sendi kehidupan Hegemoni kapitalis di negeri ini telah merasuk ke dalam pembuluh darah sebagian besar bangsa ini dalam berbagai bidang.Bahkan telah merobek hati dan akal sehat sebagian bangsa ini.Rendahnya kualitas hidup sebagian besar rakyat menyebabkan menurunnya kualitas mental dan moral bangsa.Rasa kurang percaya diri dan bermental budak telah menggerogoti mentalitas sebagian besar rakyat kecil, sementara budaya korupsi dan bermental koloni telah memanjakan para pejabat dan sebagian besar birokrat negeri ini.Ini merupakan imbas dari telah dibukannya kran kapitalis modern di Indonesia secara besar-besaran di bidang pertambangan, industri raksasa, dan jaringan perdagangan kapitalis. Akibatnya masyarakat kita saat ini cenderung represif dan terbius oleh kediaman.Keadaan seperti ini membuat kreativitas dan produktivitas anak bangsa lumpuh, sehingga banyak orang yang lari dari idealism demi kedudukan di tengah masyarakat.Meskipun dalam masyarakat kita terjadi kepincangan-kepincangan, penyelewengan, dan penyimpangan sosial sudah dianggap sebagai hal yang lumrah dan layak terjadi.Bagaimana tidak?Sebagaian besar bangsa ini telah lama dininabobokan dengan budaya hedonis, pragmatis, dan konsumtif. Bersenangsenang dengan jalan pintas, bekerja dengan jalan pintas, belajar dengan jalan pintas, memperoleh jabatan juga dengan jalan pintas telah menjadi trend yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari rakyat kecil sampai dengan pejabat tinggi.Sikap ini menyebabkan kebiasaan untuk tidak kritis, apatis, dan terkungkung dalam masyarakat yang tidak rasional (mistis).Apakah karakter bangsa ini sudah demikian jauh dari kebudayaan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945?Ironisnya hanya orang-orang tertentu yang menyadarinya.Apakah yang harus kita lakukan? 49
pemimpin yang teguh pendirian dan konsisten melaksanakan dasar negara dan konstitusi negara serta berani melawan kebijakan kapitalis yang tidak sesuai dengan dasar negara dan konstitusi negaranya.
Diperlukan pemimpin visioner dan bermental neopatrionalisme dalam Melawan Kapitalis Penguasaan media oleh kapitalis menjadikan bangsa ini tidak berdaya dan krisis rasa percaya diri.Media memiliki peranan yang sangat penting dalam membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme.Namun media juga berperan besar dalam menghancurkan semangat tersebut.Pemberitaan dan penayangan acara yang tidak seimbang antara prestasi dan dedikasi yang diperoleh bangsa dengan penyimpangan-peyimpangan moral memberikan dampak yang sangat fatal bagi masyarakat dan generasi muda.Penayangan penyimpangan moral, seperti korupsi, manipulasi, perselingkuhan, perdukunan, perkelahian, kecurangan, secara berulangulang justru memberikan dampak buruk berupa sikap apatis terhadap keberadaan dan kemajuan bangsa dan negara.Sebaliknya penayangan prestasi dan dedikasi anak bangsa yang membawa kemajuan bangsa akan berdampak positif bagi keberlangsungan dan kemajuan bangsa. Siapa yang berwewenang mengatur?Apalah artinya pencanangan pendidikan berbasis pendidikan karakter apabila tidak didukung oleh tayangan media dan kebijakan pemerintah yang tidak berbasis pada kebudayaan sendiri.Diperlukan pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalis. Pemimpin yang visioner dan bermental neopatrionalisakan selalu mendukung dan memberikan peluang seluas-luasnya kepada rakyat untuk eksis dan memajukan bangsanya. Pemimpin yang berpegang teguh pada dasar negara dan konstitusi negara akan selalu membela hak dan berpihak pada kemakmuran, keadilan, harkat, dan martabat bangsa dan negaranya. Pemimpin yang tanggap terhadap problema dan tantangan masyarakat bangsa dan negara selalu melihat permasalahan dan kebutuhan rakyatnya sebagai bahan kajian peningkatan kualitas pendidikan, teknologi, dan ilmu pengetahuan di negaranya.Pemimpin yang dapat menjadi contoh patrionalis bagi rakyatnya adalah 50
PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah Kedungkandang Malang
Siti Saroh Lecturer of Bisnis Administration Department Faculty of Administrasi Science Islamic University Malang
Abstract Peningkatan SDM seharusnya diimbangi dengan tingkat kualitas daya saing global. Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan orientasi pengembangan kewirausahaan sumber daya santri, pola pengembangan wirausaha mix-farming system dan mengetahui faktor pendukung dan penghambat pengembangan wirausaha mix-farming system dalam meningkatkan sumber daya para santri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, analisa data melalui pendekatan data diskriptif. Pondok pesantren dipandang memiliki potensi besar dalam pembangunan kualitas SDM terutama di bidang pertanian, pengembangan pembelajaran pola integrasi (mix farming system) sangat signifikan diberikan pada santri, karena berujung pada penciptaan SDM yang produktif, berdaya saing, serta antisipasi pangan berkelanjutan. Sehingga santri tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan (skill) dalam membangun masyarakat di sekitarnya. kata kunci: SDM, pondok pesantren, kewirausahaan, mix-farming system Abstract Human resource development should be balanced with the quality level of global competitiveness. The purpose of this research is describe the development orientation of entrepreneurial resource students, development pattern of entrepreneurial mix-farming systems and identify factors supporting and inhibiting the development of entrepreneurial mixed-farming system in increasing the resources of the students. This study used qualitative methods, analysis descriptive approach. Pondok Pesantren considered to have great potential in the development of human resources, especially in agriculture, the development of learning patterns of integration (mixed farming system) very significant given the students, because it led to the creation of productive human resources, competitiveness, and anticipation of sustainable food. So that students not only to Hammersmith spiritual values, but also to increase social intelligence, and skill in building the community around it. Keyword: human resources, Pondok pesantren, Entrepreneurship, Mix-Farming system
mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, terlibat dalam suatu tatanan global tanpa mengenal batas-batas negara. Sumber Daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam persaingan, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi
PENDAHULUAN Peningkatan sumber daya manusia merupakan keharusan dalam upaya pemecahan persoalaan kualitas masyarakat di era kompetitif sekarang ini. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut 51
dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan (Anonimus: 2008). Kualitas SDM pada dasarnya merupakan hasil proses regenerasi yang diwariskan secara turun temurun dan hasilnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor keturunan (genetik) tetapi juga oleh faktor lingkungan seperti: lingkungan geografis, lingkungan budaya, lingkungan peradaban dan sebagainya. Inilah yang menimbulkan adanya perbedaan yang nyata
antara kualitas SDM. Di Indonesia, dilihat dari segi pendidikan masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah. Badan Pusat Statistik pada Februari 2010, menunjukan bahwa pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah jumlahnya tetap tinggi yaitu sekitar 55,31 juta orang (51,50 persen). Penyerapan tenaga kerja berdasarkan pendidikan dalam periode Agustus 2009–Februari 2010, terlihat pada tabel berikut;
Tabel 1. Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010 (juta orang) Pendidikan Tertinggi 2008 2009 2010 yang Ditamatkan Pebruari Agustus Pebruari Agustus Pebruari (1) (2) (3) (4) (5) (6) SD Kebawah 55,62 55,33 55,43 55,21 55,31 SMP 19,39 19,04 19,85 19,39 20,30 SMA 13,90 14,39 15,13 14,58 15,63 SMK 6,71 6,76 7,19 8,24 8,34 Diploma I/II/III 2,66 2,87 2,68 2,79 2,89 Universitas 3,77 4,15 4,22 4,66 4,94 Total 102,05 102,55 104,49 104,87 107,41 Sumber: BPS Mei 2010 Kualitas SDM menyangkut banyak aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku, aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan sebagainya (Djaafar: 2001 ). Kesemua aspek ini merupakan dua potensi yang masing-masing dimiliki oleh tiap individu, yaitu jasmaniah dan rohaniah. Tidak dapat dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu ditentukan oleh rohaniah yang bertindak sebagai pendorong dari dalam diri manusia. Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman dalam Sanaky (2009) manusia berkualitas adalah orang yang menampilkan ciri-ciri sebagai berikut : (1) memiliki kegemaran untuk selalu berbuat sesuatu, dari pada banyak bertanya; (2) menampilkan hubungan yang erat dengan para rekannya; (3) bersifat otonom dan memperlihatkan kewiraswastaan; (4) membina kesadaran bawahannya untuk menampilkan upaya terbaik; (5) memandang penting keuletan dalam menjalankan usaha; (6) menempatkan orang secara proporsional;
dan (7) menggunakan prinsip pengawasan yang lentur (longgar tapi ketat). Sedangkan menurut Sanaky sendiri mengatakan, manusia yang berkualitas yaitu berdasar tolak ukur Al-Quran, yakni memiliki kualitas iman, kualitas ilmu pengetahuan, kualitas amal saleh, dan kualitas sosial. Menurut Faozan (2006), pondok pesantren dengan berbagai harapan dan predikat yang melekat, sesungguhnya berujung pada tiga fungsi utama yang senantiasa diemban, yaitu: Pertama, sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (Center of Excellence). Kedua, sebagai lembaga yang mencetak sumber daya manusia (Human Resource). Ketiga, sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan melakukan pemberdayaan pada masyarakat (Agent of Development). Pondok pesantren juga dipahami sebagai bagian yang terlibat dalam proses perubahan sosial (Social Change) di tengah perubahan yang terjadi. Pondok pesantren memegang peranan 52
kunci sebagi motivator, inovator, dan dinamisator masyarakat. Pondok pesantren dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat muridmurid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pada pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat (Anonimus:2010a). Pondok pesantren mempunyai peran besar dalam pembinaan umat. Anas (2010) menjelaskan bahwa ”Pondok pesantren berperan sebagai pengembangan pendidikan dilihat dari misi utama, yakni untuk menyebarluaskan ajaran dan universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. Selain itu pondok pesantren memiliki peran sebagai pemberdayaan masyarakat dilihat dari transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma'ruf nahy munkar). Segenap potensi pondok pesantren telah berhasil membawa perubahan serta transformasi kehidupan masyarakat dari kekafiran kepada ketakwaan, dari kefakiran menuju kepada kesejahteraan. Pondok pesantren telah berhasil menanamkan semangat kewiraswastaan, semangat berdikari, dan memiliki potensi untuk menjadi pelopor pembangunan masyarakat di lingkungannya”. Santri pondok pesantren setelah lulus, diharapkan tidak hanya mengandalkan untuk mengisi lowongan kerja (job seeker), tetapi juga diharapkan mampu untuk memanfaatkan ilmu yang telah dimiliki untuk kerja mandiri dengan menciptakan lapangan kerja (job creator). Oleh karenanya pemahaman kewirausahaan harus dimiliki oleh santri, sehingga setelah lulus memiliki motivasi berpikir secara kreatif terhadap peluang bisnis yang ada di
masyarakat dan berani mencoba untuk memulai usaha. Pondok pesantren dipandang memiliki potensi besar dalam pembangunan di bidang pertanian, karena sebagian besar lokasinya dipedesaan dan sumber daya alam yang tersedia masih luas, seperti lahan dan pengairan pada umumnya masih cukup besar, sehingga sangat mendukung dalam pengembangan agribisnis dan ketahanan pangan yang berkelanjutan, misalnya pengembangan pertanian terintegrasi dengan peternakan. Pola integrasi (mix farming system) ini belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil. Padahal kesempatan untuk melakukan integrasi sangat besar ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang ada. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan, penguasaan dan pemanfaatan teknologi pertanian (Ishak:2009). Pondok Pesantren Al-Hayatul Islamiyah berlokasi di pedesaan pinggiran hutan kota Malang. Pondok pesantren ini turut berpartisipasi dalam pembangunan dibidang pendidikan yang berwawasan pengetahuan dunia dan ukhrowi, yang mengemban misi sebagai pengembang pendidikan islami secara luas yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Cakupan kegiatan pondok pesantren semakin luas dan mendalam, kegiatan tidak lagi terbatas pada pendidikan agama, dakwah, pembinaan umat dan kegiatan sosial lainnya, tetapi juga telah merambah pada kegiatan ekonomi. Hal ini bertujuan menyiapkan santri menjadi kader-kader bangsa yang mampu mengadakan perubahan, memiliki kecakapan hidup (life skill), berdaya saing dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara arif dan bijak. Membangun SDM tidaklah cukup dengan pendidikan yang membentuk budi pekerti saja, melainkan diperlukan pula berbagai pengetahuan dan ketrampilan (skill), sehingga SDM memiliki mental mandiri dan berjiwa kompetitif, sesuai tuntutan dan kebutuhan pasar dewasa ini. Secara eksplisit, ketentuan yuridis terkait dengan pendidikan nasional kita memprioritaskan adanya suatu persepsi 53
tentang perlunya setiap lembaga pendidikan memberikan pembelajaran yang orientasi proses pendidikannya kepada peserta didik untuk lebih tertanam sikap kemandirian dan jiwa kewirausahaannya. Secara aktual bahwa orientasi proses pendidikan seharusnya memberikan proses pembelajaran yang efektif bagi terbukanya kesempatan bagi lulusan untuk menghasilkan produk keilmuannya dan menerapkannya sendiri dalam aktivitas usaha. Oleh karena itu pendidikan kewirausahaan sangat penting bagi peserta didik, disamping membangun jiwa wirausaha juga dapat digeluti sebagai karir wirausaha kelak kalau sudah lulus. Kewirausahaan (entrepreneurship) dapat berarti suatu kemampuan dalam berfikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, dan proses dalam menghadapi tantangan hidup Alma (2000). Pengertian tersebut menunjukan bahwa kewirausahaan dapat dipelajari dan diciptakan, apabila seseorang mempunyai kemampuan untuk memodifikasi sesuatu produk atau hasil karya yang lain dari yang telah ada sebelumnya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisa data melalui pendekatan data diskriptif. Hal ini digunakan karena menyangkut sebuah fenomena sosial dan ingin memberikan gambaran tentang sebuah jejak sesuai apa adanya berdasarkan informasi di lapangan. Adapun sumber informasi berasal dari Ketua YPPAI, pengurus, pembina dan santri. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu Observasi, interview dan dokumentasi. Analisis informasi meliputi :(1) Reduksi Data, melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan pengabstrakan dan transformasi data / informasi kasar yang muncul dari catatancatatan selama melakukan penelitian di lapangan. (2) Penyajian Data dari sekumpulan informasi yang tersusun dan memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. (3) Proses Penafsiran terhadap
hubungan antara fenomena yang terjadi dan membandingkannya dengan fenomenafenomena lain di luar penelitian. (4) Penyimpulan Hasil Peneliti, dilakukan setelah proses reduksi dan penyajian data diolah, diedit kemudian perlu dibaca kembali untuk dilakukan perbaikanperbaikan jika masih terdapat hal-hal yang salah atau masih meragukan. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tata kehidupan masyarakat pinggiran hutan kelurahan Kedungkang kecamatan Kedungkandang kota Malang, sebelum berdiri pondok pesantren AlHayatul Islamiyah pada waktu itu benarbenar memprihatinkan. Pemahaman akan ajaran agama sangat minim, sehingga masyarakatnya ada yang berprofesi pencuri, perampok, preman dan profesi penyakit masyarakat lainnya. Pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah, didirikan oleh ketua Yayasan Pengembangan Pendidikan Al-Hayatul Islamiyah (YPPAI) yaitu KH.Abd Aziz, Sebelum mendirikan Pondok yayasan ini memiliki 2 (dua) lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniah, pada tahun 1984 lembaga pendidikannya bertambah yaitu Madrasah Tsanawiyah dan panti asuan tahun, pada tahun 2001 Bapak KH Abd Aziz meninggal dunia dan diteruskan oleh putranya yaitu Bapak Drs. KH Irfan Aziz, M.Ag bersama empat saudaranya. Sekarang lembaga pendidikannya telah lengkap yaitu Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Panti Asuan, PAUD, serta Tarbiyatul Athfal (TA). Tahun 2011membuka jenjang pendidikan S1 yang telah dirintis 3 tahun lalu. Pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah, menjadi perhatian masyarakat disekitarnya karena dapat merubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik. Usaha yang dilakukan oleh YPPAI melalui kegiatan keagamaan, seperti pengajian, yasinan, dan dzibaiyah dan lainnya. Dari usaha itulah mendorong banyak orang yang datang ke pondok, dari berbagai kalangan. Selain itu masyarakat juga terdorong untuk 54
memondokkan anaknya dan jumlah santri yang mukim dipondok semakin banyak.
belumlah cukup, tetapi juga diperlukan membangun kesadaran santri, kesadaran sebagai individu maupun sebagai komunitas pesantren dan masyarakat sekitar. Sekarang ini yayasan berusaha meningkatkan kesejahteraan santri dengan mengupayakan adanya beasiswa melalui kerjasama dengan pihak lain, ada beberapa santri yang sudah mendapatkan beasiswa, bahkan ada yang memperoleh beasiswa ke Perguruan Tinggi. Hal ini dilakukan sebagai upaya menciptakan santri yang berdaya saing . Menghadapi tuntutan globalisasi saat ini, Ketua YPPAI Drs. KH Irfan Aziz, M.Ag mempunyai idealisme untuk mengembangkan pendidikan yang dapat menciptakan santri yang tangguh, ulet, terdidik, mandiri, berdaya saing dan berwawasan kedepan. Sumberdaya santri diharapkan memiliki potensi yang betulbetul bisa diandalkan dan bisa menjadi panutan. Beliau menyadari bahwa santri adalah kader umat dan aset bangsa harus dijaga kualitas keilmuan, keterampilan dan moralitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh Drs. KH Irfan Aziz, M.Ag dalam forum diskusi di ruang pondok pada tanggal 8 September 2010: “Saya melihat kenyataan, banyak umat Islam yang tertinggal dalam pendidikan maupun dalam kesejahteraan. Sekarang sumber daya atau unsur-unsur pondok pesantren termasuk guru atau kyai, masjid, santri, kitab kitab klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki paham ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah. Hal ini berujung pada penciptaan Sumber Daya Manusia yang produktif dan berdaya saing sehingga tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan dalam membangun masyarakat di sekitarnya. Ini dimulai dari kemampuan pesantren memberdayakan potensi-potensi yang ada di lingkungannya yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia yang ada di pesantren itu sendiri. Selain itu yayasan juga punya angan-angan bagaimana
Orientasi Pengembangan Sumber Daya Santri Jumlah santri pada tahun 2010 sebanyak 500 orang, tidak semua santri bermukim di pondok pesantren, yang mukim dipondok 200 santri, dan lainnya diluar pondok. 85% dari mereka adalah duafa‟ sedang sisanya adalah yatim. Oleh karena itu para santri hanya dikenakan biaya sebesar 5 % yang digunakan untuk uang makan sehari-hari, sedangkan sebanyak 95 % ditanggung oleh yayasan serta kadang-kadang ada donatur yang mau membantu. Biaya sebesar itupun bagi santri yatim masih terlalu berat. sehingga membayarnya sesuai kesanggupan dan ada pula yang tidak mampu membayar. YPPAI juga memiliki jamaah pengajian rutin setiap hari jumat yang berjumlah 500 orang dan terus bertambah jumlahnya. Jamaah tersebut berasal dari masyarakat sekitar pondok. Kegiatan pendidikan pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah, dirangkum dalam Tri Dharma Pondok Pesantren, yaitu meliputi keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT., pengembangan ilmu yang bermanfaat, dan pengabdian terhadap agama, masyarakat serta negara. Pengabdian kepada masyarakat yang menjadi salah satu Dharma, mengisyaratkan bahwa pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah memiliki kewajiban bersamasama masyarakat untuk mengembangkan diri melalui pendidikan dan melakukan perubahan sosial dalam pembangunan serta mengatasi permasalahan yang terjadi dilingkungannya. Sarana yang tersedia meliputi bangunan masjid, rumah tinggal, bangunan sekolah/madrasah, koperasi, kantin, perpustakaan, area sekolah alam, bumi perkemahan, stodio musik, lapangan olah raga, laboratorium komputer dan internet, lahan pertanian dan peternakan. Sarana tersebut adalah sangat ideal sebagai tempat mendidik untuk mendapatkan sosok sumberdaya manusia berkualitas yang berakhlaq al-karimah. Sarana yang lengkap 55
menjadikan pondok pesantrennya dapat mandiri dan tidak tergantung dari donatur. Sehingga pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah dapat dijadikan agen perubahan (agent of change) ”.
kacang sangat baik karena jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 240 juta jiwa dan akan terus bertambah, tentunya kebutuhan konsumsi daging juga akan bertambah. Kambing selalu dibutuhkan untuk aqiqah dan lebaran Idhul Adha, selain dikonsumsi sehari-hari. Luasnya lahan kosong yang belum dioptimalkan, telah lama menjadi perbincangan dan pemikiran para pengurus pondok, apa yang bisa dilakukan terhadap lahan tersebut sehingga dapat bermanfaat dan memiliki daya ekonomis. Namun keterbatasan para pengurus dalam hal manajemen usaha agrobisnis maka lahan tersebut dikelola secara sederhana sesuai dengan pengalamannya sambil berupaya untuk menjalin hubungan dengan instansi-instansi terkait seperti dinas pertanian, perekonomian dan perguruan tinggi. Pada tahun 2010, pondok pesantren Alhayatul Islamiyah mendapat bantuan dari Universitas Islam Malang (UNISMA), dalam rangka pelaksanaan hibah program Iptek bagi Masyarakat (IbM). Program IbM berbentuk pelatihan pembuatan kandang kambing yang layak untuk peternakan dan berupa sumbangan 3 ekor kambing, terdiri dari satu ekor kambing jantan jenis peranakan etawa dan dua ekor kambing betina ( peranakan etawa dan kambing Sumbawa). Tujuannya untuk pembinaan usaha peternakan kambing sebagai persediaan daging dan kambing sebagai penghasil susu perah. Selain itu program IbM juga memberikan pendidikan dan pelatihan manajemen mix-farming system pada pengurus, pembina, santri senior dan perwakilan masyarakat sekitar pondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah. Berdasarkan pengamatan, para santri saling bergantian melakukan kegiatan mulai dari mencari pakan, memberi pakan dan minuman, membersihkan kandang. Para santri juga belajar menanam rumput gajah, mulai menyiapkan lahan yang ada dibawah pohong jati dan sengon, serta di pinggiran lahan, serta mempraktekan pembuatan pupuk organik kemudian diaplikasikan langsung dalam mempersiapkan penanaman rumput gajah.
Pola Pengembangan Wirausaha MixFarming System Lahan pertanian yang dimiliki YPPAI cukup luas, lahan yang letaknya terpisah dari pondok sekitar 2 hiktar dan di tanami tanaman dengan sistem tumpangsari. Meliputi pohon sengon, johar, jati mas, pohon kelapa, pohon nangka, pohon pepaya dan tanaman singkong serta ubi jalar, polowijo, pakan ternak. Hasil dari tanaman pohon sebagai persediaan untuk renovasi dan pengembangan bangunan pondok. Tanaman pangan selama ini selain dikonsumsi warga pondok sendiri, selebihnya dijual dan belum pernah berfikir untuk meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan terlebih dahulu. Sedangkan tanaman pakan ternak dipersiapkan untuk ternak peliharaan. Selain itu terdapat pula lahan pekarangan di sekitar pondok pesantren seluas 6000 m, selama ini belum dioptimalkan pemanfaatannya. Lahan tersebut baru dimanfaatkan untuk, (1) Pembuatan batu bata sebagai stock bangunan pondok, (2) Pemeliharaan kambing kacang sebagai persediaan apabila ada orang berhajat kekahan yang dilakukan dipanti asuhan. Terdapat 2 ekor kambing yang berada dalam kandang, dengan kondisi kandang kurang layak untuk beternak. Pemeliharaan kambing kacang ini apabila dikembangkan menjadi peternakan sebenarnya memiliki prospek yang baik, karena kambing kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mudah beradaptasi terhadap lingkungan alam. Reproduksinya tergolongkan sangat tinggi karena kambing kacang betina sangat subur dan nafsu kawin kambing kacang jantan sangat besar. Sedang produksi air susu kambing kacang hanya 0,5 liter per hari namun jenis kambing ini merupakan sumber daging yang potensial. Sesuai dengan yang disampaikan oleh Anonimus (2011), peluang pasar usaha ternak kambing 56
Sementara ini pembelajaran usaha Mix-Farming System yang akan dikembangkan dipondok pesantren Al-
Hayatul Islamiyah dapat digambar sebagai berikut:
Lahan Kosong
Peternakan
Pertanian Tanaman Pakan Ternak Kambing
Pupuk organik
Kotoran Kambing
Peranakan Etawa
Tanaman Pangan
Kambing Sumbawa
Diolah
Daging Susu
Diolah
Penjualan/penghasilan
Gambar 1. Pembelajaran Usaha Mix-Farming System yang akan dikembangkan dipondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah
kecakapan hidup, sedang upaya yang terbaru dilakukan adalah pembelajaran mengenai pengembangan usaha mix farming system. Pembelajaran mengenai pengembangan usaha mix farming system sangat siqnifikan diterapkan di pondok pesantren, karena didukung dengan adanya lahan kosong yang cukup luas, jiwa wirausaha yang dimiliki oleh pemimpin pondok, sudah terjalinnya akses dengan instansi-intansi pemerintah dan perguruan
Faktor Pendukung dan Penghambat Pengembangan Usaha Mix-Farming System Pondok pesantren sangat gigih dalam upaya meningkatan sumber daya santri, berbagai cara dilakukan agar kelak para santri dapat menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Mulai dari reformasi pendidikan dan kurikulum, memberikan pembekalan baik dibidang iptek maupun iptag serta ketrampilan untuk 57
tinggi, para santri yang berasal dari lingkungan petani dan lingkungan pondok yang sangat strategis yaitu dipinggiran hutan dan dekat dengan sungai. Sedangkan faktor yang menghambat proses pembelajaran mix farming system, antara lain terbatasnya pengetahuan pembina pondok tentang manajemen usaha, administrasi dan produksi. Kurangnya waktu luang untuk kegiatan ekstrakulikuler santri. Modal dana yang belum ada untuk anggaran kegiatan ini. mahalnya harga pupuk dan sulit untuk mendapatkan pupuk. Pengurus dan pembina pondok telah berusaha untuk meminimalisasi hambatanhambatan yang dihadapi melalui beberapa cara yaitu meminta bantuan dari anggota jamaah pengajian yang memiliki kopetensi dibidang tersebut untuk menularkan ilmunya kepada pengurus dan pembina, selain terus menjalin hubungan dengan perguruan tinggi. Para santri senior membantu mengatur waktu santri dalam melakukan kegiatan ini, dengan harapan kalau usaha yang dikembangkan ini berhasil tentunya akan menghasilkan pendapatan bagi pondok. Sehingga dapat digunakan sebagai modal pengembangan usaha lebih lanjut, selain itu para santri mampu memproduksi pupuk sendiri bahkan dapat menjualnya.
usaha pertanian dengan dikelola secara bersinambungan, sehingga tidak mengenal produk limbah. Pola ini belum banyak dilakukan atau dikenal oleh petani skala kecil. Namun saat ini, pengurus dan pembina pondok pesantren masih dalam keterbatasan pengetahuan tentang manajemen usaha, administrasi, produksi, dan usaha agrobisnis. DAFTAR PUSTAKA Alma. B (2000). Kewirausahaan. Bandung. Alfabeta Anas, Ali.Peran Pesantren Dalam Pemberdayaan Masyarakat. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurn al/Ed160892107.pdf. diakses tanggal 21 desember 2010 Anonimus. 2007. Karakteristik Sdm Di Masa Mendatang: Peluang Dan Hambatan http://www.depsos.go.id/modules.ph p?name=News&file=article&sid=46 3 Anonimus (2008) SDM Indonesia dalam persaingan global. www.geogle/SDM Indonesia dalam persaingan global/.co.id Anonimus (2010a) Pengertian Pondok Pesantren. http://blog.re.or.id/pondokpesantren-sebagai-lembagapendidikan-islam.htm . akses Jumat 14-12-2010. jam: 20.07WIB. Anonimus (2010b) Pengertian Pondok Pesantren http://tsalmans.blogspot.com/2010/0 5/pengertian-pondokpesantren.html. Anomimus (2011). Keuntungan Beternak Domba Bulu. http://peternakankambing-sapikerbau.blogspot.com/2011/01/keunt ungan-beternak-domba-bulu.html BPS.(2010) Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2010, Berita Resmi Statistik, No. 33/05/Th. XIII, 10 Mei 2010 Saydan, Caouzali.(2000). MSDM Suatu Pendekatan Mikro. Djumabata. Jakarta. halaman 15.
PENUTUP Pengembangan pendidikan pondok pesantren Alhayatul Islamiyah, meliputi berbagai pengetahuan dan ketrampilan, dengan tujuan berusaha menciptakan santri yang tangguh, ulet, terdidik, mandiri, berdaya saing dan berwawasan kedepan. Pondok pesantren dipandang memiliki potensi besar dalam pembangunan kualitas SDM terutama di bidang agrobisnis, karena sebagian besar lokasinya dipedesaan dan sumber daya alam yang tersedia masih luas seperti lahan dan air. Apalagi sebagian besar santrinya berasal dari berbagai pedesaan, dimana kehidupan orang tuanya menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan pertanian. Pembelajaran pola integrasi (mix farming system) sangat signifikan diberikan pada santri, mix farming system merupakan 58
Faozan, Akhmad. (2006). Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi. Ibda` Vol. 4| No. 1 Jan-Jun 88-102 Djaafar, T. Z. (2001). Pendidikan Non Formal Dan Peningkatan Sumber Daya Manusia Dalam Pembangunan. Padang : Penerbit FIP UNP. Ishak, Andi.(2009). Sistem Integrasi Ternak Dengan Tanaman Perkebunan http://uripsantoso.wordpress.com/200 9/11/30/sistem-integrasi-ternakdengan-tanaman-perkebunan/ Sanaky, Hujair, AH. 2009. Konsep manusia Berkualitas Menurut Al-Qur‟an dan Upaya Pendidikan. http://www.sanaky.com/wpcontent/uploads/2009/02/konsep_man usia_berkualitas_menurut_al.pdf Vandha. 2008. Pendidikan Islam Dan Sumber Daya Manusia http://vandha.wordpress.com/2008/06/22/pe ndidikan-islam-dan-sumber-dayamanusia/
59
NEOPATRIONALISM MOVEMENT: COUNTER TO THE HEGEMONY OF NEOIMPERIALISM (CAPITALIST)
UmiSalamah Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Budi Utomo Malang Dosen Universitas Brawijaya Malang
Winning or surviving on the battlefield depends on the strategies played. The biggest "war" is currently against capitalist hegemony in various fields which is a manifestation of neoimperialism. The way of committed suicide bombing is done by the terrorists or bombing certain places in the name of action against capitalist is "ridiculous" and in vain. Image "stupid" and "evil" will be attached to the bomber and his group. More fatal if the country of origin bombers also dubbed as a terrorist state and the labeling will be treated to all the people who come from a country known as the country of origin "terrorists". Impact is very bad for the survival and progress of a country is affected by the labeling. Intelligence wars should be fought with intelligence, imaging countered with imaging, diffusion of culture must be confronted with the power of their own culture.
Currently all non-aligned countries are de jure independence is already irrespective of the colonialists, but de facto it was colonized by capitalist hegemony in various aspects of life, such as economics, media, culture, education, technology, and science. Emerging countries are still dependent on the capitalist powers. Developing countries have not been able to even become masters in their own country. Our nation still enslaved by capitalist countries in our own country. Most of the people impoverished, while officials and the government bureaucracy and the establishment pampered with a variety of pleasures. The result is a huge gap between state officials and the people. Capitalist hegemony in the country we have penetrated into most of the nation's blood vessels in a variety of fields. Even the heart has been ripped off and most of the common sense of our nation. The low quality of life of the majority of the people have resulted in mental and moral nation. A lack of confidence and mentality have undermined the slave mentality of the majority of ordinary people, while the culture of corruption and colonial mentality has spoiled most officials and bureaucrats of our country. This is the impact of modern capitalist has been opened faucet in developing countries on a large scale in the mining, industrial giant, and capitalist trade networks. Ironically, the leaders of the developing countries , or most of them bendtheir knees and more capitalist than the policy side to defend the rights and prosperity of its people. Even for the sake of defending the capitalist policies and the establishment of office, they would be willing to sacrifice its people.
Reflecting the great figures against neoimperialism There have been many leaders of nations in the developing world who provide role models to evoke the spirit of patriotism and nationalism in the various fields of non-violence. They work best when they get sympathy and support from the world community. Just mention of Pakistan Mohammad Ali Jinah, Bung Karno from Indonesia, Jawaharal Nehru of India, and Nelson Mandela of South Africa. They beat the neo-colonialists with courage and skill, set strategy and intelligence cooperation between countries in negotiating and non-aligned against the political hegemony of the colonialist. 60
As a result of our current society tends repressive and anesthetized by residence. These circumstances make the creativity and productivity of the nation paralyzed, so many people who fled from idealism for the position / positions in society. Although in our society occurs lameness lameness-social, social diversion, and social deviance has been regarded as reasonable and decent thing going on. How could I not? Most of the nation has long been lulled by the hedonistic culture, pragmatic, and consumptive. Have fun with shortcuts, working with shortcuts, learn the shortcuts, earn position with shortcut also has become a trend for the majority of this nation. It happened from small people to people with high-ranking officials. This attitude led to the habit of not critical, apathetic, and stuck in an irrational society (mystical). Is the character of our nation is so far from the culture which is reflected in the state and the state constitution? Ironically, only certain people are aware of it. It takes a movement to raise awareness in the fight against capitalist hegemony neopatrionalism in various fields. What should we do? In this case the presence of the media and public figures who are still idealists hold on religion, the state and the state constitution is very effective to develop the movement. Ad delivery that is both patriotic and nationalist spirit of defending the country for the progress and prosperity of nations is motivation and optimism for the younger generation to save the nation and the state of capitalist hegemony.
nation with moral deviations, then gives a very bad impact for the community and young people. Impressions moral aberrations in various media, such as corruption, manipulation, adultery, witchcraft, fights, cheating that are repeated over and over again give a bad impact apathy towards the existence and progress of the nation and the state. Instead aired achievements and dedication of the nation that brought the nation's progress will positively impact the survival and progress of the nation. Who is authorized to regulate? What's a declaration of religious education based education and culture if it is not supported by media impressions and government policies that are not based on religion and culture itself. Visionary leader and mentally neopatrionalismare required to attack against capitalist hegemony. Leaders who cling to the basic state and the state constitution. Leaders are responsive to the problems and challenges of the nation and the state. A leader who can set an example of patriot for their people. Visionary leader and neopatrionalism mentality will always support and provide the broadest possible opportunity to the people to advance the nation. Leaders who cling to the basic constitution of the state and country will always defend the rights and pro-prosperity, justice, dignity, and the dignity of the nation and country. Leaders are responsive to the problems and challenges of the nation and the state always see the problems and needs of its people as study materials to improve the quality of education, technology, and science in the country. A leader who can set an example of patriot for their peopleis courageous leaders and consistently implement the establishment of the state and the country's constitution and daring against the capitalist policies that are not in accordance with the constitution of the state and country.
Visionary leadership and mentality neopatrionalism are requiredagainst Capitalist HegemonyDomination. The power of capitalist media make our nation powerless and the crisis of confidence. The media has a very important role in raising the spirit of patriotism and nationalism. But the media also plays a major role in destroying the spirit of patriotism and nationalism. News event and broadcasting that are not balanced between performance and dedication earned the 61
PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN
Nurul Umi Ati Dosen Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
Abstract The government is like eating fruit simalakama, on the one hand raided and curb street children to be held coaching-coaching and training in order to alleviate the street children from adversity. But on the other hand, street children need to eat to live. Need to land a job and ironically, the Government has not adequately provide, due to limited energy and costs are available. In efforts to address street children can be done in 2 ways: first handler is done by the government, that is by holding counseling to street children, vocational training, scholarships and provision of venture capital. While efforts to address street children both performed by non-governmental organizations (NGOs), which is conducted by Shelter Homes or Institutions. The outreach programs and mentoring on the road and at home, resocialization, fellowship, food and medical aid, empowerment of street children, street children and terminalisasi meeting service termination. These efforts Shelter Homes Government and may experience successes and failures in implementing programs that exist. This is because many complexities of the issues circling street children. key words : policy perspektives, the treatment of street children
Menurut TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan) Ponorogo tahun 2010: Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia diatas merupakan persoalan sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal mereka adalah saudara kita. Mereka adalah amanah Allah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara
PENDAHULUAN Salah satu masalah sosial yang timbul di berbagai kota besar pasca krisis adalah melonjaknya jumlah anak jalanan dan anak keluarga pra sejahtera yang belakangan ini makin mencemaskan. Hal itu merupakan realitas nyata yang betul-betul terjadi di Indonesia, namun oleh pemerintah hanya dianggap sebagai bayangan. Di tahun 2005 diperkirakan jumlah penduduk yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan, menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar AS/hari), masih sebesar 49,5% (Kompas (4), 26 April 2005). Sementara itu data BPS menyebutnya bahwa jumlah anak yang berusia 10-14 tahun sebanyak 22,4 juta, sehingga ini berarti diperkirakan terdapat 14 juta anak yang berada di bawah garis kemiskinan. Yang kemudian menjadi masalah, sebagai anak miskin terpaksa mencari penghasilan dengan caranya sendiri, termasuk menjadi anak jalanan. 62
nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup dan masa depan anakanak sangat memperihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan negara juga kurang menggembirakan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami lost generation (generasi yang hilang). SUSENAS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pembangunan nasional dalam berbagai bidang itu, antara lain, disebabkan oleh minimnya perhatian pemerintah dan semua pihak terhadap eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment yang terfokus pada “keluarga sebagai basis dan sistem pemberdayaan” yang menjadi pilar utama kehidupan berbangsa dan bernegara relatif belum menjadi komitmen bersama dan usaha yang serius dari banyak pihak. Padahal, masyarakat dan negara yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas dipastikan karena tumbuh dan berkembang dari dan dalam lingkungan keluarga yang sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan demikian, masalah anak termasuk anak jalanan perlu adanya penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama dan utama masa depan anak-anak mereka. Sementara itu munculnya fenomena anak jalanan, menurut Baihaqi (1998:10) di karenakan: Pertama, anak jalanan yang punya komunitas. Mereka masih memiliki orang tua, ada tempat tinggal yang jelas meski di pinggir-pinggir gang sebagai kaum urban. Sebagian besar bekerja sebagai asongan. Kedua, anak jalanan gelandangan. Mereka sudah putus hubungan dengan orang tua dan anggota keluarga lain. Selama 24 jam, hidup dan bekerja di
jalanan atau di emper-emper toko. Pekerjaan sebagai pengamen, pengemis, pemulung, dan penyemir sepatu. Seiring dengan pendapat diatas Ahmad Fikri (2010) Anak Jalanan adalah: Mereka yang hidup di jalanan sebagai, pengamen, pedagang asongan, pengemis, dan pelacur. Paru-paru mereka tidak hanya menghirup kerasnya udara yang mengandung timbal dan karbon monoksida tapi juga menghisap asap kekerasan purba langsung dari akarnya. Fenomena anak jalanan tersebut merupakan ekses lingkaran setan kemiskinan bangsa Indonesia. Kendala yang dihadapi mobilitas anak-anak itu cukup tinggi. Anak-anak yang dibimbing di rumah singgah, setelah keluar, “kadang” kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab, kebutuhan ekonomi tidak terelakkan. Sayangnya, perhatian kepada anak-anak terkesan digelar pada momen-momen tertentu saja. Secara, struktural negara bisa disalahkan sebagai penyebab buruknya kondisi anak-anak di negeri ini. Karena negara sebagai pemegang kekuasaan membuat kebijakan yang sering tak berpihak pada masyarakat bawah. Kebijakan itu menyebabkan orang miskin yang makin terbelenggu dan tidak berdaya. Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada anak. Anak dalam keluarga miskin mengalami subordinasi ganda, yaitu ada supremasi dari yang kaya dan orang dewasa. Hak anak bisa dilanggar karena dia anak-anak dan miskin. Menyalahkan negara sebagai satusatunya pihak yang bertanggung jawab tak secara otomatis membawa kehidupan anak menjadi lebih baik. Tanpa disadari manusia yang telah menjadi orang dewasa, akan berperan sebagai para ”orang tua” yang merangkap sebagai eksekutor bagi anakanaknya sendiri. Algojo yang menghukum anak secara tidak proporsional. Hukuman yang menghabiskan seluruh energi kehidupan dan masa depan anak-anak dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan debu peperangan, menjadi orang tua yang mengambil terlampau banyak dari kehidupan anak. 63
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1,”fakir miskin dan anak terlantar itu dipelihara oleh negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Lebih lanjut dalam pasal 28 B dikatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Garis-garis Besar Halauan Negara tahun 1999/2004 juga telah disebutkan bahwa arah kebijakan sosial dan budaya, bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah meningkatkan kepedulian penyandang cacat, fakir miskin, dan anak-anak terlantar,serta kelompok rentan sosial melalui penyediaan lapangan kerja yang seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan inilah, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya, seperti halnya tercantum dalam Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI Nomor. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ and freedoms), lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family envionment and alternative care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan, rekreasi dan budaya (education, laisure and culture activites), dan perlindungan khusus (special protection). Sehubungan dengan penanganan anak jalanan diatas pemerintah sekarang melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia mulai ada upaya membangun kemitraan dengan para wakil rakyat untuk turut serta merumuskan kebijakan anak jalanan. Model pemusatan kebijakan itu dikenal dengan model imperatif atau kebijakan terpusat (Dye, I976). Namun sekarang ini telah bergeser paradigma dari kebijakan imperatif ke kebijakan Endikalif atau partisipatif, dimana pemerintah pusat hanya
menentukan besaran kebijakan dan pelaksanaannya diserahkan kepada LSM dan masyarakat lokal. Kondisi ini merupakan hal yang seharusnya dilaksanakan di masa depan sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Produk legislasi tersebut menjadi tantangan bagi Pemerintah Daerah, masyarakat maupun LSM untuk berpartisipasi melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi di daerah. Namun apakah kebijakan terpusat sudah sepenuhnya ditinggalkan, atau integrasi kedua model kebijakan itukah yang menjadi alternatif terbaik bagi pemecahana permasalahan anak jalanan. Dalam hal ini sangat diperlukan restrukturisasi kebijakan pada tingkat makro (nasional), mezzo (propinsi) sampai mikro (kabupatenkota); yang dapat memadukan perencanaan dari atas dan dari bawah secara proporsional. OIeh karena itu, tujuan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan anak tetap harus memadukan komitmen nasional yang harus didukung dengan kebijakan operasional yang sesuai dengan kondisi daerah yang beragam. Sesuai dengan tempat penelitian, Kota Malang merupakan salah satu daerah otonom dan merupakan kota besar ke dua di Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Sebagai kota besar, Malang tidak lepas dari permasalahan sosial dan lingkungan yanmg semakin buruk kualitasnya. Kota yang pernah dianggap mempunyai tata kota yang terbaik di antar kota-kota Hindia Belanda ini, kini banyak dikeluhkan warganya seperti kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas, suhu udara yang mulai panas, sampah yang berserakan atau harus merelokasi pedagang kaki lima yang memenuhi alun-alun kota dan banyaknya anak-anak jalanan di berbagai sudut kota.Namun,terlepas dari berbagai permasalahan tata kotanya, pariwisata Kota Malang mampu menarik perhatian tersendiri. Dari segi geografis, Malang diuntungkan oleh keindahan alam daerah sekitarnya seperti Batu dengan agrowisatanya, pemandian Selecta,Songgoriti atau situs-situs purbakala peninggalan Kerajaan 64
Singosari.Jarak tempuh yang tidak jauh dari kota membuat para pelancong menjadikan kota ini sebagai tempat singgah dan sekaligus tempat belanja. Perdagangan ini mampu mengubah konsep pariwisata Kota Malang dari kota peristirahatan menjadi kota wisata belanja. Kota Malang berkembang dengan pesatnya. Berbagai kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri. Sejalan perkembangan tersebut di atas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan perumahan meningkat di luar kemampuan pemerintah, sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah perdagangan, di sepanjang jalur hijau, sekitar sungai, rel kereta api dan lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan. Selang beberapa lama kemudian daerah itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup mulai terjadi dengan segala dampak bawaannya. Gejalagejala itu cenderung terus meningkat, dan sulit dibayangkan apa yang terjadi seandainya masalah itu diabaikan. Lebih ironis lagi Koordinator Aliansi Masyarakat Miskin Kota Malang (AMM) Amrullah menyebutkan: Beberapa data yang cukup mengenaskan terkait pertumbuhan jumlah anak jalanan yang terus meningkat. Disepanjang tahun 2009 AMM telah mengadvokasi sebanyak 240 anak jalanan yang putus sekolah untuk bisa mendapatkan pendidikan gratis. Jumlah anak jalanan pun meningkat sebanyak 50 orang di tahun yang sama. Sementara tentang keberadaan rumah singgah AMM menyebut tidak ada satupun rumahsinggah yang beroperasi di tahun ini karena tidak ada dana operasionalnya.”Tahun 2010 tidak ada anggaran untuk rumah singgah dari Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 2009
ada dana untuk rumah singgah dari Provinsi besarnya Rp 20 juta dan itu hanya untuk satu griya baca saja. Penanganan anak jalanan oleh Pemerintah Kota Malang diatas dinilai tidak optimal oleh anggota dewan. Terbukti dengan sedikitnya bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Malang untuk menangani dan menanggulangi anak jalanan. Menurut Amrullah, sebagai contoh adalah lembaganya yang telah malang melintang menangani kaum miskin dan anak jalanan di Kota Malang. "Pada 2009 tidak mendapat bantuan sama sekali dari Pemerintah Kota, yang membantu justru Pemerintah Provinsi Jawa Timur”. Padahal, menurut Amrullah, anak jalanan yang berkeliaran di Kota Malang saat ini berkisar diantara 500-800 orang. Lebih lanjut dikatakan, anak jalanan semakin bertambah karena kealpaan Pemerintah Kota dalam menangani dan menanggulangi kemiskinan yang mengepung kota. "Kemiskinan keluarga dan mahalnya pendidikan, itulah yang membuat mereka bertahan di Jalanan," ujar mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Malang ini. Pemerintah yang 'hanya' melatih anak jalanan dengan keahlian tertentu kemudian dibelikan alat untuk bekerja, menurutnya tidak optimal, "Bagaimana mungkin anak jalanan yang hobi menggambar disuruh buka bengkel di pinggir jalan?". Oleh karena itu sampai saat ini Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah setempat dianggap belum berhasil memberikan pembinaan kepada mereka. Tetap saja mereka berkeliaran di beberapa kota besar Indonesia. Ketidak efektifan pemerintah disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, tidak adanya klasifikasi dari latar belakang mereka memilih hidup di jalanan. Anak-anak jalanan dianggap rata semua, yaitu karena faktor ekonomi, dimana semua anak jalanan mereka dianggap dari latar belakang orang miskin. Kedua, kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah anak jalanan, sehingga sampai sekarang lembaga khusus yang mengurus masalah anak jalanan masih bisa dihitung dengan jari. Bahkan yang 65
lebih banyak perhatian terhadap anak jalanan adalah LSM-LSM yang dapat sokongan dari luar negeri. Maka dari itu pemerintah perlu merekonstruksi model pembinaan bagi anak jalanan, dengan memperhatikan potensi, minat dan bakat mereka. Anak jalanan janganlah dianggap sebagai masalah bangsa tetapi anggaplah hal itu sebagai pluralisme bangsa Indonesia.
kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya; (3) aliran empirisme. Aliran ini berpendapat berlawanan dengan aliran nativisme, karena berpendapat bahwa perkembangan anak sama sekali ditentukan oleh lingkungannya; (4) aliran konvergensi. Aliran ini, atau sebagian pakar menyebutnya dengan hukum konvergensi yakni dibawa oleh William Stern berkebangsaan Jerman yang berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan keduaduanya menentukan perkembangan pola perilaku anak hingga dewasa nanti; (5) Tut Wuri Handayani. Konsep ini berasal dari pakar pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantoro. Dibandingkan dengan keempat aliran di atas aliran ini mirip dan lebih dekat dengan aliran/hukum konvergensinya William Stern, yakni berpendapat bahwa perkembangan anak (manusia) lebih ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki anak bersangkutan dan lingkungan ataupun pendidikan yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya. Dengan begitu kepribadian ataupun perilaku anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana pendidikannya ataupun gesekan lingkungannya, tanpa terlepas dari faktor keturunan atau pembawaan semenjak lahir. Salah satu dari banyak faktor yang membedakan manusia dan binatang lainnya adalah jangka waktu perkembangan yang memerlukan proses panjang sebelum kematangan dan kemandirian sepenuhnya dicapai. Kebutuhan terbesar bagi anak selama perkembangannya adalah rasa aman yang timbul dari kesadaran bahwa ia diinginkan dan disayang oleh orang dewasa sebagai tempatnya bergantung. Mc Ghie (1996:21). Sebab itu lingkungan anak yang mula-mula terbatas sifatnya dan pandangan dunia serta tempatnya sendiri di dalamnya akan terbentuk terutama oleh hubungannya dengan dan dalam keluarga. Lingkungan yang pertama kali dikenal oleh anak adalah orang tuanya, dengan begitu yang paling berperan dan yang paling dekat dengan pola yang mempengaruhinya termasuk dalam hal ini perilakunya, adalah orang tua mereka,
Pemahaman Tentang Anak Banyak pengertian tentang kriteria terhadap definisi anak dari aspek umur, khususnya dalam aturan perundangundangan, ataupun dalam pengertian agama Islam. Menurut Nawawi dan kawan-kawan (hal. 16) Kitab Fiqih, yang dimaksud dengan anak adalah seorang laki-laki atau perempuan yang belum menemui masa baligh yaitu; belum berumur lima belas tahun untuk laki-laki atau perempuan, belum keluar cairan mani bagi laki-laki dan perempuan, dan belum keluar darah haid khusus bagi perempuan, dimana ketika belum menemui masa baligh maka belum dikenai kewajiban melaksanakan perintah agama dan meninggalkan atau menjauhi larangan-larangan agama. UU Pengadilan Anak (UU No. 3 tahun 1997). Disebutkan dalam pasal 1 (2) bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin. Ada beberapa teori tentang perilaku anak khususnya menyangkut apakah perilaku anak merupakan pembawaan atau karena faktor lingkungan, terdapat beberapa aliran yang mengemukakan pendapat berbeda sebagaimana yang dijelaskan oleh Purwanto (1995 : 59-61) sebagai berikut: (1) aliran nativisme. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan manusia telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa semenjak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu melahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya; (2) aliran naturalisme. Hampir senada dengan aliran Nativisme, maka aliran ini (naturalisme) berpendapat bahwa pada hakekatnya semua anak sejak dilahirkan adalah baik. Bagaimana perkembangannya 66
walaupun diakui masih banyak yang mempengaruhi dari faktor-faktor diluar keluarga khususnya orang tua. Darajat menyatakan bahwa :‟‟… bagaimana peranan orang tua dalam perkembangan diri anak, bahwa orang tua adalah pembina pribadi utama dan pertama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka, merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.” Darajat (1996:38). Lebih lanjut disebutkan bahwa orang tua adalah pusat kehidupan mental anak dan sebagai penyebab perkenalannya dengan dunia luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh oleh sikap terhadap orang tuanya pada permulaan hidupnya dulu. Tidak bisa dibantah, selain pengaruh orang tua, bahwa terdapat faktor besar lain yang menjadi designer dalam rangka konstruksi bangunan pengendalian prilaku manusia terlebih perilaku anak yang kelak menjadi referensi dalam menilai dan berperilaku dalam pola hidupnya. Di satu pihak selalu dihadapkan pada kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa tindakan manusia dibentuk oleh pengaruh sosial lingkungannya, pada pihak lain terdapat fakta bahwa individu tidak secara pasif tunduk dibawah pengaruh-pengaruh ini dengan cara yang seragam tetapi bereaksi menurut pola dan kepribadian masingmasing. Itu semua terjadi karena perbedaan lingkungan yang menghasilkan keanekaragaman dalam perbedaan individu per individu. Menurut Andrew (1996 : 222). Meskipun faktor genetik tetap menjadi bahan rujukan sebuah tingkah dan perilaku anak, namun tidak bisa menegaskan pengaruh lingkungan yang melingkupi dan mempengaruhi perkembangan anak. Karena manusia mengalami perkembangan dan pertumbuhan, faktor genetik akan terus menjadi matang dan mempengaruhi jalannya proses perkembangan. Namun ini tidak berkembang dalam keadaan vakum, dunia yang dihadapi penuh dengan stimulasi, aksi serta reaksi. Stimulasi
lingkungan semacam itulah yang mempengaruhi kepribadian, termasuk anak dan mungkin menentukan batas-batas tertentu bagi perkembangan selanjutnya. Untuk melihat sebuah karakter kepribadian anak dalam mengekspresikan perilakunya haruslah melihat dampak dari lingkungannya yang dengan melalui proses panjang menjadi satu pengalaman pribadi kemudian kelak akan menjadi rujukan perjalanan perkembangannya. Dalam konteks ini dibutuhkan suatu sarana serta wadah yang akan memproses keberlangsungan sebuah tata kehidupan anak, dapat menjamin pertumbuhannya secara wajar, baik fisik, psikis ataupun kehidupan dan kesejahteraan sosialnya. Wadah tersebut yang nantinya akan mendorong dan menjadi fasilitator sekaligus penggerak keberlangsungan kesejahteraan anak. Piranti pokok dan mendasar adalah penyediaan pendidikan murah dan terjangkau bagi semua kalangan serta ketetapan yuridis formil yang tertuang dalam aturan perundang-undangan. Dengan pendidikan anak bangsa akan menjadi tercerahkan dan segala hal, piranti hukum akan menjadi pijakan absah/legal formal guna menjamin kelangsungan dan kesejahteraannya terlebih menyangkut hakhak anak. Pada tanggal 20 Nopember 1989, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menyetujui Konvensi Hak-hak Anak. Konsideran konvensi itu memuat pokok-pokok pikiran, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki seluruh anggota keluarga manusia. Ini menjadi landasan dari kemerdekaan, perdamaian di seluruh dunia. Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan, bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan keluarga sebagai inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan alami bagi pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh anggotanya, terlebih anak-anak hendaknya diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan. Sehingga mampu mengemban tanggung jawab dalam masyarakat. 67
Tahun 1924 dicetuskan Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Asasi Anak yang menyatakan perlunya perluasan pelayanan khusus bagi anak. Ini kemudian disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 dan diakui dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia se-dunia. Dengan begitu semua negara anggota PBB diharuskan meratifikasi Konvensi PBB tentang HakHak Anak. Sebagai anggota PBB Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 20 Nopember 1989 tentang Hak-hak Anak dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, tetapi mulai berlaku mulai tanggal 5 Oktober 1990. Kusmadi (2001). Dalam Konvensi Hak Anak (KHA) PBB 20 Nopember 1989 terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) non diskriminatif. Adalah hak yang diakui di dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dengan tidak membedabedakan suku, agama, ras, keyakinan, etnik, latar belakang budaya pendidikan dan lainlain; (2) kepentingan terbaik bagi anak. Semua tindakan dan langkah yang diambil mengenai anak harus berorientasi kepada kepentingan anak, bukan bagi pembuat policy atau kelompok tertentu; (3) kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Adalah hak hidup yang melekat pada diri anak diakui serta dijamin tanpa kecuali; (d) penghargaan terhadap pendapat anak. Setiap anak mempunyai hak untuk berpendapat atas sesuatu masalah yang menimpa dirinya, termasuk dalam menentukan arah pendidikan, atau arah keluarga. Namun begitu, diakui bahwa hingga kini di Indonesia belum terdapat unifikasi tentang hukum anak,a kan tetapi masih terkodivikasi dalam beberapa perundangundnagan yang berlaku saat ini, seperti Hukum Perburuhan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Peradilan Anak (UU No. 3 tahun 1997), Undang-Undang Pemasyarakatan (UU. No. 12 tahun 1995), Undang-Undang Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun 1979), dan lain sebagainya (Darwin Prist, 1997;1). Kenyataan ini (dengan belum terunifikasinya Hukum Anak) di Indonesia membuktikan bahwa persoalan
perlindungan anak masih belum tergarap secara rapi dan sistemik. Karena untuk menentukan perlindungan hukum atas hak anak masih tersebar dalam bentuk-bentuk Undangundang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, misalnya tentang buruh anak diatur sendiri dalam Undang-Undang Perburuhan (UU No. 12 tahun 1948) dengan pemahaman yang berbeda pula dalam melihat serta memposisikan anak dalam sebuah permasalahan tertentu. Misalnya masih belum terdefinisikannya tentang kriteria umur anak. Hal ini menyebabkan sulitnya memahami hukum anak itu sendiri. Penanganan Anak Jalanan Kehidupan anak jalanan adalah sebuah dinamika.Dikatakan dinamika, karena sebuah keadaan dan kejadian sosial manusia bersangkut dengan suatu perubahan alam termasuk tingkah dan pola perilakunya. Anak jalanan sebenarnya sebuah fenonema yang sudah lama berlangsung, namun karena semakin bertambahnya jumlah anak yang menekuni dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri bagi dinamika kehidupan perkotaan. Kehidupan perkotaan, sarat dengan kelompok anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus yaitu: termasuk anak jalanan, buruh anak, eksploitasi seksual komersial anak, perlaku salah, anak yang berkonflik dengan hukum, anak dalam situasi darurat, ketidak jelasan status anak karena tidak memiliki akte kelahiran, praktek-praktek sosial kultural yang merugikan anak dan anak cacat. Fenomena Anak Jalanan Menurut Karnaji (1999: 31-41). Dikatakan fenomena karena sebuah kejadian sosial manusia yang bersangkut dengan suatu perubahan alam termasuk tingkah dan pola perilakunya. Anak jalanan sebenarnya sebuah fenomena yang sudah lama berlangsung, namun karena semakin bertambahnya jumlah anak yang menekuni dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri bagi dunia anak-anak. Anak jalanan sendiri adalah anak-anak atau yang akan menginjak 68
dewasa yang sehariannya hidup di jalanan, dan kegiatan tersebut sudah tidak dianggap wajar, karena selain membahayakan keselamatannya, secara profesi hal itu tidak layak dilakukan oleh anak-anak. Kendati anak jalanan memiliki karakteristik yang heterogen tetapi setidaknya dapat mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1) anak jalanan putus hubungan sementara dengan orang tua. Karakteristik yang pertama ini dirincikan anak jalanan masih memiliki orang tua. Namun situasi dalam keluarga dirasa tidak menyenangkan bagi anak untuk tinggal sehingga anak meninggalkan sementara keluarganya, tetapi masih menjalin interaksi kendati amat jarang. Persoalan anak meninggalkan keluarga dipacu oleh beberapa persoalan misalnya: (a) cara orang tua melakukan sosialisasi/mendidik dengan “tangan besi”. Semua kehendak atau kemauan orang tua harus dituruti, orang tua cenderung mengatur-atur dan memposisikan anak pada tempat yang tidak tahu apa-apa; (b) kedua orang tuanya sering terlibat cekcok, umumnya juga menyebabkan anak tidak kerasan di rumah; (c) perceraian orang tua, setelah orang tua cerai, anak kemudian dihadapkan pada pilihan suka atau tidak suka ikut ayah atau ikut ibunya; (2) anak jalanan yang masih tinggal dengan orang tuanya. Baik orang tuanya masih lengkapbapak dan ibunya masih hidup atau tinggal ibu/bapak saja. Anak jalanan yang berasal dari latar belakang seperti ini biasanya didorong oleh faktor ekonomis. Karena ekonomi orang tuanya serba pas-pasan, umumnya mendorong anak untuk mencari alternatif mencari penghasilan sendiri. Setidaknya tiga hal yang menjadi penyebab anak jalanan yang bermula dari faktor ekonomis keluarga, yaitu: (a) motivasi muncul dari anak itu sendiri untuk membantu ekonomi keluarga; (b) ingin memenuhi kebutuhannya sendiri; (c) dipaksa orang tua untuk mencari penghasilan; (3) hidup sebatang kara. Anak jalanan yang termasuk kategori ini biasanya tidak lagi menjalin hubungan dengan orang tuanya. Anak jalanan seperti ini biasanya sudah tidak lagi memiliki orang tua, baik secara fisik maupun non fisik. Keberadaan
orang tua secara fisik diartikan orang tuanya masih hidup tetapi tidak ada hubungan lagi dengan anaknya. Orang tua tidak lagi memperhatikan nasib anaknya dan tidak mau tahu lagi. Anak-anak yang dari latar belakang semacam ini biasanya, ikut orang lain, saudara, tinggal di rumah singgah, sesama teman atau bahkan tinggal tak tentu. Fenomena ini menjadi menarik setelah bangsa ini dilanda krisis ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat semakin menurun berakibat pada sulitnya menyediakan biaya bagi kebutuhan hidup, disisi lain harga kebutuhan sehari-hari semakin meningkat tanpa ada kesempatan turun. Kondisi ini menyebabkan sebagian masyarakat mencari celah untuk menutupi biaya hidupnya, termasuk anak-anak mereka yang membutuhkan tambahan uang. Faktor Penyebab Adanya Anak Jalanan Menurut Dinas Sosial Propinsi dalam buku Pedoman Penanganan Anak Jalanan (2000 : 7) bahwa anak jalanan adalah anakanak yang tersisih marjinal, dan teraaikan dari perlakuan kasih sayang, karena kebanyakan pada usia dini mereka harus berhadapan dengan lingkungan yang keras dan tidak bersahabat yang kesehariannya hidup di jalanan, dan kegiatan tersebut sudah tidak dianggap wajar, karena selain membahayakan keselamatannya, secara profesi hal itu tidak layak dilakukan oleh anak-anak. Keberadaan sebagian anak di jalanan yang lebih dikenal sebagai anak jalanan (anak jalanan) terdapat beberapa faktor penyebab, antara lain: (1) kehidupan orang tua yang miskin, sehingga : rumah tidak layak huni yang menyebabkan anak tidak betah tinggal di rumah, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak di rumah, tidak mampu menyekolahkan anak, anak terpaksa dengan kesadaran dan kemauan baik untuk membantu menambah penghasilan keluarganya atau untuk meneruskan sekolahnya, dan anak dipaksa atau dimotivasi oleh orang tuanya untuk membantu menambah penghasilan keluarga yang berada pada kondisi kekurangan; (2) masalah psiko sosial di lingkungan keluarga (masalah hububgan dan kejiwaan antar 69
anggota keluarga) dan sekaligus juga kemiskinan, yang memaksa anak untuk meninggalkan rumahnya dan berada di jalanan: pertikaian terus menerus antara ibu dan bapak, anak menjadi korban kekerasan, anak dipaksa mencari nafkah di jalanan (dieksploitasi), adanya gangguan pribadi dalam diri anak yang menimbulkan ketidak stabilan kejiwaannya, dan perpindahan dari desa-kota dalam mencari kerja. Kebanyakan di antara mereka berjualan asongan, jual koran, menyediakan/menyediakan jasa (menyemir sepatu, mengelap mobil, ngamen, ojeg payung), meminta-minta dan sebagainya dimana aktivitas tersebut dilakukan di jalanan tanpa kenal waktu. Karena itu mereka sering disebut anak jalanan yang biasa disingkat dengan anak jalanan.
yang tidak tepat sasaran, selain itu program kegiatan bagi anak jalanan haruslah berkesinambungan dengan memberikan keterampilan tambahan bagi anak jalanan dan pendidikan khusus. Potret, Buletin (2001 : Edisi Pertama). Pendidikan Alternatif Bagi Anak Jalanan Data pendidikan anak menunjukkan, Sekitar 9,5 juta anak berumur 7-15 tahun tidak dapat meneruskan pendidikan (dropout) dan pada tahun 1997 Depdikbud mencatat bahwa anak usia 7-15 tahun berkisar 38,8 juta sedang menempuh pendidikan SD dan SLTP sebanyak 34,4 juta. Ini berarti masih ada sekitar 4,5 juta anak tidak menikmati dunia pendidikan dan mayoritas mereka berada pada pendidikan selepas Sekolah Dasar. Krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia memberikan kontribusi yang buruk pada dunia pendidikan Indonesia, termasuk pendidikan dasar. Lima belas bulan pasca krisis melanda 35% anak-anak dan remaja tidak meneruskan pendidikannya. Kemiskinan dalam keluarga, mahalnya biaya pendidikan, adalah beberapa kendala yang menyebabkan anak jalanan tidak dapat menikmati pendidikan. (Progressia Buletin, tahun 2000 : Edisi V). Kalau melihat kondisi anak jalanan diatas,maka sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengentas mereka dari kemiskinan yang membelenggunya supaya mereka bisa menggunakan hak-haknya untuk sekolah. Oleh karena itu dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia, maka dengan begitu Indonesia terikat secara yuridis pada ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya. Itu artinya pemerintah harus dapat menjamin bahwa anak-anak jalanan dapat menikmati hak-hak mereka, termasuk memperoleh akses dan pelayanan pendidikan.
Kebijakan Penanganan Anak Jalanan Mengingat semakin banyak dan maraknya anak jalanan dan seakan menjadi trend anak-anak, hal ini haruslah menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Ini penting karena menyangkut keberlangsungan hari depan dan kesejahteraan mereka. Dalam kebijakan penanganan anak jalanan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: Pertama, visi pembangunan kesejahteraan sosial, yaitu pembangunan kesejahteraan yang menasional, serta menjadi mental bagi seluruh bangsa guna memberikan perhatian yang lebih serius terhadap generasi bangsa yang oleh karena kondisi tertentu tidak mendapat kesejahteraan layaknya orang lain. Kedua, dalam penanganannya diharapkan terjadi sinergi sistemik antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu, karena selain secara yuridis menjadi tanggung jawab pemerintah, namun peran serta masyarakat diperlukan guna lebih meningkatkan partisipasi masyarakat khususnya dalam penanganan anak jalanan. Ketiga, penajaman kebijakan terhadap program yang diberikan serta berkelanjutan, hal ini untuk menghindari atau paling tidak mengeliminir kebijakan program yang tidak tepat karena kurang memahami bagaimana permasalahan sebenarnya, telebih lagi kebijakan program JPS untuk anak jalanan
Strategi Penanganan Anak Jalanan Dalam pedoman penanganan anak jalanan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur (2001) bahwa secara umum model penanganan yang banyak digunakan untuk 70
menangani anak jalanan adalah sebagai berikut: Pertama, penanganan yang berbasiskan anak jalanan (street based strategy), yakni program dan kegiatan yang dirancang untuk menjangkau dan melayani anak di lingkungan mereka sendiri yaitu di jalanan; a) tujuan strategi penanganan berbasis anak jalanan adalah mengidentifikasi kebutuhan anak jalanan, memenuhi kebutuhan anak jalanan akan stabilitas emosional dan keamanan, menyediakan fasilitas dasar di jalan antara lain pendidikan dan kesempatan mencari uang yang halal, melengkapi anak dengan bakat dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bertahan secara fisik di jalan, mengatur anak untuk memanfaatkan program dan pelayanan yang ada secara optimal, menghubungi anak jalanan dengan sumber daya yang ada, mengimbangi unsur-unsur yang merugikan anak di jalan, Contoh program yang diterapkan misalnya, menyediakan makanan, pakaian dan lain sebagainya. Kedua, hal-hal yang dibutuhkan dalam strategi ini adalah visi, misi dan saran yang jelas dan nyata antara semua pihak, kelompok-kelompok yang kuat, motivasi dari badan/agen/instansi yang terlibat, bantuan hukum dan politik, bantuan masyarakat, faktor penghambat pelaksanaan strategi. Ketiga, harus diakui bahwa anak-anak di jalan yang sedang berjuang mencari nafkah, untuk membina kehidupan mereka kadang-kadang susah meluangkan waktu berhubungan dengan pekerja sosial dijalanan. Adapun yang sedang ditolong/disalurkan melalui intervensi program mempunyai akibat terputus dengan “kawan” mereka yang sudah dikenal. Keempat, kelebihan strategi strategi ini luwes dengan begitu dapat mendorong anak jalanan berpartisipasi dengan suka rela dalam berbagai kegiatan, tidak mengganggu kelangsungan dari jaringan bantuan yang sudah ada, baik dari keluarga, sesama anak ataupun dari masyarakat, lebih banyak anak jalanan yang terjangkau program karena kegiatan ini berada di tengah-tengah anak jalanan, dan memberikan informasi pada anak-anak jalanan tentang pelayanan lain yang bisa didapatkan baik dari pemerintah, lembaga
non pemerintah (ornop). Kelima, keberlanjutan program. Efektifitas strategi adalah mendorong masyarakat agar tetap mendukung program anak jalanan. Langkah yang harus ditempuh adalah pembelaan/penentuan hak (advocay) akan perundang-undangan yang responsif, keterlibatan dalam bentuk partisipasi dari orang tua dan tokoh masyarakat, pengakuan masyarakat terhadap program dan pelayanan yang terarah pada anak jalanan, pembentukan pusat data dan informasi sebagai tempat bagi masyarakat atau pihak lain guna menginginkan informasi yang dibutuhkan. Penanganan yang berbasiskan panti (center based strategy) Yaitu penanganan anak-anak jalanan yang dilakukan oleh lembaga dengan memusatkan usaha mereka pada peningkatan kesejahteraan anak sebagai pengganti keluarga. Strategi ini juga disebut dengan tempat berlindung sementara, misalnya open house atau rumah terbuka yang menyediakan fasilitas asrama bagi anak terlantar dan anak-anak jalanan. (a) tujuan strategi yang berbasiskan panti. Penanganan yang berpusat pada panti mempunyai tujuan adalah memberi kesempatan bagi perkembangan anak sesuai pribadi anak masing-masing, menyediakan pelayanan dan program yang mampu memenuhi kebutuhan pokok anak-anak jalanan, memberikan kesempatan pada anak-anak jalanan mendapatkan kebahagiaan secara psiko-sosial, mengintegrasikan kembali anak dalam keluarganya dan masyarakat, bertindak sebagai penyeleksi dan penyalur dimana anak-anak dapat diwawancarai dan disalurkan kepada badan yang sesuai dengan kebutuhan anak; (b) faktor penunjang. Penjelasan nyata dan pengertian mengenai visi, misi dan sasaran dari lembaga (yang menyelenggarakan panti untuk anak-anak jalanan), binaan serta kerjasama dari anak, masyarakat, keluarga anak-anak jalanan, pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sifat positif dan ketekunan dari lembaga, pengadaan dan penerapan aturan-aturan, 71
dukungan media massa, banyaknya relawan yang berdedikasi tinggi, program dan pelayanan yang relevan dan afektif dari berbagai lembaga. (c) faktor penghambat. Pelanggaran oleh lembaga dan kurangnya komitmen guna melakukan upaya penanganan bagi anak-anak jalanan, keadaan politik sering berubah, prioritas rendah dalam anggaran belanja pemerintah baik APBN ataupun APBD, kurangnya jaringan koordinasi antara pemerintah dan LSM serta struktur-struktur lain. ketidakjelasan visi, misi, sasaran dan tujuan panti; (d) penanganan berbasiskan masyarakat (community based strategy). Penanganan yang berbasiskan pada masyarakat adalah sebuah penanganan yang bertumpu pada sumber-sumber internal dan eksternal masyarakat dalam hal perencanaa, monitoring ataupun evalusi dengan cara pendekatan yang menggerakkan organisasi masyarakat mencakup partisipasi secara luas dan penuh. Dengan kata lain strategi ini lebih bersifat prefentif, yakni dengan menggunakan pendekatan yang berbasiskan pada masyarakat sendiri, dengan sebuah tanggung jawab bersama, yang dimulai dari komunitas warga masyarakat yang paling kecil yakni keluarga. Pendekatan ini tergantung bagaimana political will atau kemauan masyarakat dalam pengelolaan serta peran keluarga dalam mendidik anakanak mereka.Tujuan penanganan yang berbasiskan pada masyarakat adalah mendekati anak-anak jalanan dan keluarganya, menghindarkan anak-anak menjadi anak jalanan, memperkuat masyarakat, yakni organisasi masyarakat yang melindungi anak-anak dengan cara yang berkesinambungan, melengkapi pelayanan pemerintah dan LSM, realisasi tanggung jawab sosial, membuat kesimpulan tentang masalah keluarga dan masyarakat, mengembangkan kepercayaan masyarakat, meningkatkan kemampuan politik, mencegah eksploitasi masyarakat terhadap anak jalanan. Faktor penunjang. (1) kemauan politik pemerintah guna memberi perhatian yang lebih serius dalam menangani fenomena anak jalanan; (2) kematangan politik masyarakat, terlebih partisipasi aktif masyarakat; (3) penyediaan
sumber-sumber baik sumber daya manusia ataupun sumber-sumber lain yang menjadi modal dalam penanganan anak jalanan; (4) nilai-nilai budaya untuk mempermudah pengorganisasian masyarakat; (5) pengenalan dan pengakuan terhadap masalah; (6) jaringan berbagai kelompok dalam masyarakat bagi terlaksananya program penanganan anak jalanan berbasiskan masyarakat; (7) dukungan dari keluarga anak-anak jalanan; (8) kepercayaan masyarakat terhadap programprogram masyarakat. Faktor penghambat. nilai budaya dan apatisme masyarakat, struktur sosial politik dalam masyarakat, kompleksitas program, Pendekatan Pekerjaan Sosial Dalam Penanganan Anak Jalanan Dalam Pedoman Penanganan Anak Jalanan Dari Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur disebutkan : a) tujuan pendekatan pekerjaan sosial. Tujuan pendekatan pekerjaan sosial dalam penanganan anak jalanan, beraneka ragam karena disesuaikan dengan: kondisi anak jalanan, kemampuan pekerjaan sosial, serta ketersediaan fasilitas. Beberapa tujuan yang dimaksud adalah: 1) kemampuan anak untuk merespons secara tepat berbagai situasi di jalan yang mengancam dirinya; 2) kemampuan anak untuk memperoleh penghasilan yang layak dari usaha yang layak pula; 3) kemampuan anak untuk melanjutkan sekolah dengan baik bagi yang masih bersekolah dan tinggal bersama keluarganya; 4) kemampuan anak untuk berusaha secara mandiri dengan baik bagi yang tidak mungkin lagi sekolah atau tidak tinggal bersama keluarganya; 5) kemampuan keluarga dibidang sosial-ekonomis-psikis untuk hidup dengan baik bersama anakanaknya; b) sistem dasar pekerjaan sosial. Sistem dasar dalam pendekatan pekerjaan sosial guna penanganan anak jalanan adalah semua orang atau semua pihak (lembaga/organisasi) yang terlibat atau dilibatkan dalam semua aspek dan proses penanganan anak jalanan. Sistem dasar pekerjaan sosial meliputi: 1) sistem pelaksana, yakni sebuah lembaga atau organisasi dengan segala struktur 72
ini; 4) pendekatan “keanekaragaman pelayan”, yaitu penyediaan berbagai bentuk pelayanan sesuai dengan persepsi, kebutuhan, nilai, kemampuan, harapan, pengalaman, perasaan dan masalah anak dan keluarganya; 5) pendekatan “destigmatisasi”, yaitu menghindarkan masuknya penilaian yang tidak baik (stigma) tentang anak jalanan dalam penanganannya. 6) pendekatan “desentisasi”, yakni menghindarkan berbagai bentuk kepekaan anak jalanan dalam proses penanganannya; 7) pendekatan “deisolasi”, yaitu menghindarkan pengisolasian anak jalanan dari lingkungan sosialnya, misalnya keluarga dan teman-temannya di lingkungan tetangganya, di sekolah dan lain sebagainya.
organisasinya; 2) sistem klien, yakni semua anak jalanan (secara individual mapan kelompok); 3) sistem sasaran: yakni orang tua anak jalanan, guru (bagi yang sekolah), LSM, pemerintah dan lain-lain yang menangani anak jalanan; 4) sistem kegiatan, yakni misalkan dokter yang menangani kesehatannya, polisi sebagai pengatur jalan, pemuka masyarakat, pengusaha, media massa dan lain-lain yang mendukung suksesnya penanganan anak jalanan; c) model pendekatan pekerjaan sosial. Secara universal, keberhasilan penanganan anak jalanan tergantung dari bagaimana pendekatan yang diambil dalam pekerjaan sosial. Kenyataan ini disebabkan kemampuan: 1) Memadukan kehidupan anak jalanan dengan kehidupan lingkungan sosialnya (pendekatan dualistis), terutama keluarga dan sekolah; 2) memadukan berbagai fungsi pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak (basis jalanan, basis lembaga dan basis masyarakat termasuk keluarga); 3) memadukan berbagai fungsi pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak dan keluarga (pencegahan, peredaman dampak, pemberdayaan, perlindungan, penyembuhan, serta rehabilitasi); 4) Menjangkau variabel-variabel anak dan lingkungan sosialnya yang dibutuhkan guna penanganan anak jalanan dan lingkungan sosialnya (persepsi, kebutuhan, nilai, kemampuan, harapan, pengalaman, perasaan, dan masalah). Beberapa pendekatan pekerjaan sosial yang layak diterapkan dalam penanganan anak jalanan adalah: 1) pendekatan “pulau psikologis”, yakni menghindarkan adanya kekhawatiran dan ketakutan dari semua pihak yang berhubungan dengan pekerjaan sosial (misalnya: anak jalanan sendiri, orang tua anak jalanan, anggota keluarga yang lain, guru dan lain sebagainya); 2) Pendekatan “investasi emosional”, yaitu pentingnya sikap dan perilaku pekerja sosial sebagai faktor penentu utama keberhasilan upaya penanganan anak jalanan; 3) pendekatan “disini, sekarang, dan masa yang akan datang”, yaitu pentingnya upaya perencanaan dan penanganan berdasarkan kondisi anak jalanan dan lingkungan sosialnya pada saat
Kebijakan Kementerian sosial dalam mengatasi anak jalanan Permasalahan-permasalahan yang dihadapi anak jalanan seperti eksploitasi dan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi problematika di negara ini. Permasalahan anak jalanan yang masih marak terjadi tersebut adalah tanggung jawab kita sebagai orang Islam. Dimana di dalam Islam diajarkan untuk membantu dan menyantuni anak yatim atau fakir miskin. Permasalahan anak-anak jalanan tersebut juga merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai ulul amri di negara ini. Dalam Undang-undang Dasar juga telah dijelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memeliharanya. Dalam melakukan tanggung jawabnya tersebut, ada berbagai hal yang telah dilakukan pemerintah khususnya Kementrian Sosial, yang merupakan departemen yang tugasnya mengurusi dan meneyelesaikan masalahmasalah tersebut. Kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan oleh Kementrian Sosial untuk mengatasi masalah tersebut antara lain adalah melakukan asesment yang bekerjasama dengan berbagai lembaga masyarakat, Dinas Sosial dan kepolisian yang bertujuan untuk mengurangi populasi 73
anak jalanan. Asesment yang dilakukan berupa pendataan anak jalanan, mengindentifikasi korban kekerasanmelalui teknik wawancara secara persuasif, menarik anak jalanan yang terspaksa bekerja dijalan dengan tetap memperhatikan hak anakanak, melakukan penegakan hukum terhadap anak jalanan, melakukan program pemberdayaan keluarga secara efektif untuk mengurangi kemiskinan. Assesmement ini dilakukan untuk memperoleh data identitas populasi anak jalanan di wilayah DKI Jakarta dan mengetahui secara rinci masalah, penyebab, akibat dan kebutuhan anak jalanan. Pelaksanaan kebijakan tersebut lebih mengedepankan langkah persuasif terhadap anak jalanan agar pada saat pendataan mereka tidak mengalami trauma atau ketakutan. Kebijakan lain yang telah dilakukan oleh Kementrian Sosial adalah menyiapkan anggaran Rp 184 miliar bagi penanganan 140.000 anak jalanan pada tahun 2010. Anggaran tersebut digunakan untuk membangun rumah-rumah panti sosial dan panti anak dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah serta lembaga sosial masyarakat di bidang anak jalanan. Selain itu, pemerintah juga telah menyediakan lebih dari 400 rumah singgah yang berguna untuk menampung anak-anak jalanan di seluruh Indonesia. Langkah strategis lain yang ditempuh Kementrian Sosial dalam melakukan perlindungan terhadap anak jalanan adalah dengan melakukan berbagai kerjasama dengan institusi-institusi sosial lain seperti Save The Children. Kerjasama tersebut meliputi pemulangan, pemulihan dan reintegrasi korban eksploitasi anak. Kesepakatan lain adalah antara Kementrian Sosial dan Kepolisian Republik Indonesia tentang perlindungan dan rehabilitasi anak yang dihadapkan dengan hokum. Kementrian Sosial juga menyelenggarakan berbagai rapat koordinasi nasional tentang perlindungan anak jalanan. Rapat koordinasi perlindungan anak jalanan dihadiri berbagai perwakilan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga internasional dibidang anak
diantaranya Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Agama RI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Save The Children, UNICEF, ILO, KPAI, Komnas PA, Komnas HAM, Kepolisian dan Dinas Sosial di masingmasing daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah berharap pada tahun 2011 nanti, Indonesia bisa bebas anak jalanan. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan, tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak jalanan masih belum berakhir. Masalah eksploitasi anak jalanan bukan merupakan masalah internal dalam keluarga yang tidak boleh diikutcampuri oleh masyarakat dan pemerintah. Semua komponen negara yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan LSM juga harus turut berperan serta dalam menyelesaikan masalahan eksploitasi anak jalanan. Upaya penanganan masalah harus secara profesional, terorganisir, dan berkesinambungan. Penanganan yang dilakukan harus menggunakan metode yang tepat, misalnya dengan cara persuasif, manusiawi, serta memahami karakteristik mereka. DAFTAR PUSTAKA Amrullah, Mohammad, Aliansi Masyarakat Miskin Kota Malang, Rabu 10 Februari 2010, PKS Ajukan Raperda Anak Jalanan, http://www.malangpost.com/index.php?.option=com_c ontent&view=article&id=7069%3ap ks-ajukanrapenda-anjal&itemid=69 Anak Jalanan, http://octharina.blogspot.com/2010/0 5/kebijakan-kebijakan-departemensosial.html Anderson, J. E. (1979) Public Policy Making. Holt, Rinehart and Winston, New York. Ati, Nurul, Umi, (2007), Dinamika Anak Jalanan dan Kehidupan Perkotaan, hasil penelitian program penelitian Dosen Muda Dirjen Dikti 74
Bakri, Masykuri, Zainal, Abidin, Agus, Model Pemerintah dan Masyarakat Dalam Memberdayakan Anak Jalanan, Hasil Penelitian, 2009. Basuki Heru, Pemberdayaan Anak Jalanan Oleh Masyarakat, Hasil Penelitian Pada Rumah Singgah Flamboyan Di Kota Malang, 2010 Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Cet. 15. PT. Bulan Bintang. Jakarta Dye, Thomas .R. (1981) Understanding Public Policy. Englewood Eliff, Practice Hall, New Jersey Easton, D. (1953) The Political System. Knop, New Jersey. Edward, George dan Ira Sharkansky. (1979). The Policy Predicement., W.H. Preeman, San Fransisco. Fikri, Ahmad, 2010, Program Bebas Anak Jalanan Dimulai di Jakarta, http://memobisnis.tempointeraktif.co m/hg/hukum/2010/07/27/brk,201007 27-266760,id.html Gunarsa, Singgih D. dan Singgih, Y. 1995. Psikologi Perkembangan Anak Jalanan dan remaja. Cet 7. PT. BPK Gunung Mulia. Jakarta Hariadi, Sri Sanituti. 1999. Pekerja Anak Kekerasan Anak-Anak. Karnaji …(et.al). Lembaga Perlindungan Anak. Surabaya Inokofu, 2008. Profil Kota Malang, http://profilkotamalang.blogspot.co m/ Irmayani. Rima. 2000. Pendidikan Alternatif Usaha Pemberdayaan Pekerja Anak. Dalam Buletin Progressia. Ed. 5 Jenkin, I.W. (1984) Policy Analysis. Oxford, Martin Robertson, Oxford Kusmadi. 2001. Hak Anak. Makalah Pada Seminar dan Lokakarya Penanganan Anak Jalanan Lasswell, Harold D. (1951) “The Policy Orientations “. in Daniel Lerner and Harold Lasswell (Eds), The Policy Sciences, Stanford University Press. Mazmanian dan Sabatier. (1983) Implementation and Public policy. Illinois: Scolt Foreman and Company.
McGhie, Andrew. 1996. Psycology as Applied to Nursing. (terj. Penerapan Psikologi Dalam Perawatan : Ika Pattinasarany), Yayasan Medica dan Penerbit Andi, Yogyakarta. Nawawi, Imam, Aljawi, Al-Bantani. Kasyifatuss Saja. Tanpa Tahun Penerbitan. Darul Fikr. Beirut Nur Octharina, 2010, Kebijkan-kebijakan Departemen Sosial dalam Mengatasi Masalah Anak Jalanan, http://octharina.blockspot.com/2010/ 05/kebijakan-kebijakanDepartemen-Sosial.html Prist, Darwin. 1997. Hukum Anak Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung Purwanto, Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Ed. 2. Cet 9. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Santoso, Amir. (1988) “Analisa Kebijaksanaan Publik “. Dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 3, Gramedia , Jakarta Siahaan, M.Rondang, 2010, Kampanye social penanggulangan anak jalanan: Studi penanganan anak jalanan oleh Direktorat kesejahteraan Anak, Departemen Sosial RI, http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/i d/0:7017/q/ pengarang:SIAHAAN%20/offset/75 /limit/15 Surbakti, Ramlan. (1992) Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasasono, Jakarta. Stiliman, II, Richard J. (1988) Public Administration Concepts Cases, Houghton Muffin Company, Boston Tauran, 2000. Dilema Ketenaga Kerjaan di Kota-Kota Besar di Indonesia. Jurnal Penelitian Sosial, Mei. TKSK, Ponorogo, 2010, Permasalahan Anak Jalanan dan Alternatif Model Pemecahannya Berbasis Pemberdayaan Keluarga, http://tkskponorogo.blockspot.com/2 010/03/peta-masalah-anak-jalanandan.html
75
Wahab Sholicin Abdul (1990 ) Analisis Kebijaksanaan Ncgara. Rineka Cipta, Jakarta. ----------. (1991) Analisis Kebijaksanaan Dan Formulasi ke implementasi Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara, Jakarta. ---------. (1997a ) Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Edisi Kedua, Bumi Aksara, Jakarta ---------. (1997a ) Evaluasi kebijakan Publik. IKIP Malang. ---------. ( 1998a ) Analisis Kebijakan Publik. Teori dan Aplikasi, FIA Unibraw Malang. ---------. ( 1998b ) Reformasi Pelayanan Publik, Menuju Sistem Pelayanan Yang Responsif Dan Berkualitas, Universitas Brawijaya, Pasca Sarjana Malang Wibawa, Samudra. (1994) Kebijakan Publik Proses, dan Analisis., Intermedia, Jakarta. Wibawa, Samudra, Yuyun Purbakusumah, Agus Pramusinto. (1994) Evaluasi Kebijakan Publik. PT. Grafindo Persada, Jakarta. Undang-Undang Keputusan : Undang-Undang Dasar 1945 Konvensi Hak Anak PBB 20 November 1989 Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak Undang-Undang Pengadilan Anak (Undang-Undang No. 3 Tahun 1997) Hukum Perburuhan (Undang-Undang No. 12 Tahun 1948) Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989 Tentang Pembinaan Kesejahteraan Anak
Peraturan Walikota Malang Nomor : 57 Tahun 2008 Tentang Uraian Tugas Fungsi dan Tata Kerja Dinas Ketenagakerjaan dan Sosial Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Pedoman Penanganan Anak Jalanan. 2001 Kompas. 1998. Edisi 30 Oktober. PT. Harian Kompas Indonesia Kompas. 2005. Edisi 26 April. PT. Harian Kompas Indonesia Malang Post, 2010. PKS Ajukan Raperda Anak Jalanan, http://www.malangpost.com/index.php?option=com_co ntent &view=article&id=7069% 3 pks-ajukan-ranperda-anjal & temid=69 Potret, Buletin. 2001. Diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan dr. Moh. Saleh Kota Probolinggo. Ed I. Progessia, Buletin. 2000. Diterbitkan oleh JARAK (Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia). Ed. V Warta warga gunadarma, 21010, Fenomena Pekerja Anak dan Anak Jalanan, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2 010/3/fenomena-pekerja-anak-dan anak jalanan/
76
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN
1
Frince Ayomi, 2Masykuri Bakri, 3Nurul Umi Ati 1 Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Abstrak Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di Kabupaten Waropen. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Lokasi penelitian dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Untuk itu sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi – asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Dengan menggunakan perangkat tes parametrik, yaitu melalui uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolonieritas. Hasil analisis korelasi, untuk menguji hipotesis penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara gaya kepemimpinan pimpinan dengan kemampuan melaksanakan tugas pimpinan pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Hal ini dapat dipahami karena gaya kepemimpinan yang telah ditempuh seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal yang pernah dan akan diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang kuat antara pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Agar seseorang pimpinan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, memerlukan waktu minimal tujuh tahun pengalaman kerja. (4) Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan secara simultan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. kata kunci: gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja
77
Abstract The objectives of this study were ( 1 ) To determine whether there is a significant effect of leadership styles partially on the ability to carry out the office of Education, Youth and Sports in Waropen . ( 2 ) To determine whether there is a significant effect on the ability level of education partial duty at the office of Education, Youth and Sports in Waropen . ( 3 ) To determine whether there is a significant effect of the partial work experience led to the ability to perform tasks at the office of the Department of Education, Youth and Sports in Waropen . ( 4 ) To determine whether there is a significant effect of leadership styles simultaneously , level of education and work experience led to the ability to perform tasks at the office of the Department of Education Youth and Sports In Waropen. This research uses quantitative research . Research sites in this study , namely the Office of Education, Youth and Sports in Waropen . Therefore before selecting the appropriate statistical analysis techniques to test the hypothesis , the assumptions - assumptions underlying the use of statistical techniques to be proved first . By using the parametric test , namely through the normality test , homogeneity test and test multikolonieritas. Results of correlation analysis , to test the hypothesis of the study, obtained the following results ( 1 ) There is a fairly strong effect between leadership style leadership with the ability to carry out the task of leadership in the Office of Education, Youth and Sports in Waropen . This is understandable because of the style of leadership that has been taken by someone closely associated with the knowledge and skills they have . Therefore, the ability of the leadership in carrying out the task is closely related to its leadership style . ( 2 ) There is a fairly strong effect between the level of education the ability to perform the task . Therefore, the ability of the leadership in implementing the tasks closely related to the educational background of both formal and non-formal education and will never follow. ( 3 ) There is a strong influence between work experience led to the ability to perform the task . So that one leader can do their job properly , requires a minimum of seven years of work experience . ( 4 ) There is the influence of leadership style , level of education and work experience led simultaneously to the ability to perform tasks at the office of the Department of Education, Youth and Sports in Waropen . keywords : leadership styles , level of education , and work experience
Dengan supervisi pelaksanaan tugas yang baik para pegawai diharapkan mampu berkembang dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Hal ini berarti pimpinan adalah orang yang paling diharapkan pegawai untuk membantu memecahkan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Agar pimpinan dapat melaksanakan perannya dengan baik, maka sifat, pengetahuan dan pengalaman pimpinan harus dapat digunakan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pimpinan harus mahir menggunakan berbaga i cara/tata kinerja yang didasarkan atas pengetahuan dan pengalamannya itu. Dengan demikian ia perlu memiliki berbagai ketrampilan, khususnya mengenai supervisi. Pimpinan dituntut harus cepat dapat memilih dan menggunakan tindakan,
PENDAHULUAN Sebagai pimpinan dalam satuan kerja sebuah instansi, pimpinan dituntut pula memiliki kemampuan dalam menyusun program, kemampuan dalam menyusun organisasi/personalia kantor, kemampuan menggerakkan staf (pegawai) dan kemampuan mengoptimalkan sumber daya kantor. Pimpinan juga mengemban tugas dalam bidang hubungan kantor dengan masyarakat, dan pembinaan pegawai. Karenanya, pimpinan harus menguasai beberapa kemampuan dasar yang berkaitan erat dengan tugasnya sebagai pimpinan kerja, terutama dalam hal pengawasan atau supervisi kepada pegawai. Dengan demikian pimpinan diharapkan benar-benar dapat memainkan peranannya sebagai supervisor pelaksanaan tugas di kantor yang dipimpinnya. 78
sikap, prosedur kinerja yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Pengetahuan tentang kepemimpinan bagi seorang pimpinan penting untuk diketahui, tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa ia dapat bertindak sebagai pemimpin. Tindakan/penampilan sebagai pemimpin itu harus dapat dilaksanakannya secara cepat dan tepat, serta secara terampil. Ia harus menguasai bagaimana caranya : (1) menyusun rencana bersama; (2) mengajak anggota kelompoknya berpartisipasi; (3) memberikan bantuan yang diperlukan para anggotanya; (4) menimbulkan dan memupuk moral kelompok yang tinggi; (5) turut serta dengan kelompoknya dalam menyusun keputusan bersama; (6) membagi-bagi dan memindahkan tanggungjawab; (7) mempertinggi kreativitas anggota-anggota kelompoknya; dan (8) menghilangkan rasa malu dan rendah diri pada anggota-anggotanya supaya mereka berani tampil ke muka. Abraham Zalesnit (dalam Robbin: 2000:74), menyatakan bahwa tidak semua pimpinan adalah manajer, sehingga kalau dibalik apakah semua manajer adalah pimpinan. Seorang manajer yang diberi hak-hak tertentu dalam suatu organisasi, belum tentu dapat menjadi seorang pimpinan-pimpinan yang efektif. Tetapi tidak disangsikan lagi bahwa kemampuan untuk mempengaruhi orang lain yang didapatkan di luar struktur yang formal adalah sama atau bahkan lebih penting dari pengaruh formal sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang pimpinan dapat muncul secara informal dan dapat juga ditunjuk secara formal. Karena itu, untuk menjalankan tugas sebagai pimpinan yang baik diperlukan seseorang yang memiliki syarat-syarat tertentu. Di samping syarat ijazah (yang merupakan syarat formal), juga pengalaman kerja dan kepribadian yang baik perlu diperhatikan. Syarat-syarat lain kecuali ijazah dan pengalaman adalah kepribadian dan kecakapan yang dimilikinya atau yang biasa disebut gaya kepemimpinan. Seorang pimpinan hendaknya memiliki kepribadian yang baik dan sesuai dengan kepemimpinan
yang akan dipegangnya. Karena itu seorang pimpinan hendaknya memiliki sifat-sifat jujur, adil dan dapat dipercaya, suka menolong dan membantu pegawai dalam menjalankan tugas dan mengatasi kesulitankesulitannya, bersifat sabar dan memiliki kestabilan emosi, percaya kepada diri sendiri dan dapat mempercayai pegawaipegawainya, bersifat luwes dan ramah, mempunyai sifat tegas dan konsekuen yang tidak kaku dan lain sebagainya. Di samping sifat-sifat kepribadian seperti di atas, seorang pimpinan hendaknya memiliki pengetahuan dan kecakapan yang sesuai dengan spesifikasi atau jurusan serta bidang-bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa memiliki sifat-sifat serta pengetahuan dan kecakapan seperti diuraikan di atas, sangat sulit baginya untuk dapat menjalankan peranan kepemimpinan yang baik dan diperlukan bagi kemajuan kantornya. Bertolak dari latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang akan penulis teliti adalah sebagai berikut (1) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen? (2) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen? (3) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen ? (4) Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan secara simultan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di 79
Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di Kabupaten Waropen. Penelitian ini dapat digunakan antara lain (1) Sebagai masukan bagi pimpinan untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan kantor. (2) Bermanfaat bagi Kantor Wilayah Dinas Pendidikan dalam mengembangkan sistem perekrutan dan seleksi calon pimpinan. (3) Dapat mendorong pembaca yang lain untuk mengadakan pendalaman maupun penelitian yang lebih luas tentang kemampuan melaksanakan tugas bagi pimpinan.
terikat pada penelitian ini adalah kemampuan melaksanakan tugas (Y). Dalam suatu penelitian memerlukan data yang berupa data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari responden, yaitu kepala kantor dan pegawai yang ada pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen, sedang data sekunder diperoleh dari bagian Personalia pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Sebelum penyebaran angket di lapangan, dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Menurut Arikunto (1998: 89) ada dua jenis validitas instrumen yaitu validitas logis dan validitas empiris. Suatu instrumen memiliki validitas logis, jika instrumen tersebut secara logis telah sesuai dengan aspek dan isi yang diungkap. Untuk keperluan validitas isi, instrumen penelitian diuji melalui penilaian dan pendapat para pakar. Hasil uji validitas dianalisis dengan mengkorelasikan skor butir dengan skor total menggunakan rumus korelasi Product Moment, sebagai berikut:
r xy
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Lokasi penelitian dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah kepala dinas dan pegawai baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen yang berjumlah 39 orang. Variabel penelitian terbagi menjadi dua yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). yang termasuk dalam variabel bebas pada penelitian ini Gaya kepemimpinan (X1) Tingkat pendidikan (X2) dan Pengalaman kerja Pimpinan (X3). Sedangkan yang termasuk dalam variabel
N XY X Y
N X 2 X . N Y 2 Y 2
2
Dimana : r = Koefisien korelasi antar skor butir dan skor total, x = skor butir, y = skor total, N = jumlah sampel Hasil r hitung dengan rumus di atas dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%. Jika r hitung lebih besar dari pada r tabel maka test tersebut dinyatakan valid. Untuk menetukan keterandalan dalam penelitian ini, indikator yang digunakan uji keterandalannya. Setelah sahih, selanjutnya dikorelasikan dengan korelasi product moment. Angka korelasi yang diperoleh adalah indeks keterandalan alat ukur yang dimaksud. Selanjutnya angka korelasi dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi product moment pada taraf signifikansi 5%. Bila indeks keterandalan berada di atas nilai kritis 80
berarti alat pengukur tersebut telah andal. Sedangkan bila indeks keterandalan berada di bawah nilai kritis berarti alat pengukuran itu tidak andal. Untuk itu sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi – asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Dengan menggunakan perangkat tes parametrik, yaitu melalui uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolonieritas.
didasarkan pada ketentuan apabila probabilitas dari hasil uji chi square hitung lebih kecil dari chi square tabel maka data yang terdistribusi secara normal dan sebaliknya, jika chi square hitung lebih besar dari chi square tabel maka data tidak terdistribusikan secara normal. Homogenitas sampel menunjukkan bahwa keadaan sampel yang sama, sehingga sampel yang ditarik dari populasi adalah sampel yang representatif yang artinya merupakan wakil yang baik dari populasi. Pengujian homogenitias dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan test of Homogeneity of Varians, dengan ketentuan jika probabilitas yang dihasilkan > 0,05 berarti terjadi homogenitas yang artinya data tersebut memiliki varian populasi yang sama. Hasil pengujian normalitas dan homogenitis terhadap data yang diperoleh disajikan pada tabel berikut ini.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Normalitas merupakan sebaran normal sebagai suatu pendekatan fungsi dari suatu kumpulan. Metode pengujian normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji the goodness of fit. Pengambilan keputusan atau kesimpulan
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Variabel Chi Chi square square Variabel df (²) (²) Hitung Tabel Gaya Kepemimpinan 5,267 6 10,6446 Tingkat pendidikan 4,200 8 13,3616 Pengalaman kerja 5,267 6 10,6446 Kemampuan melaksanakan tugas 7,333 9 14,9190 Sumber Data : Output SPSS Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa untuk gaya kepemimpinan menunjukkan hasil chi square hitung sebesar 5,267 dimana nilai chi square table sebesar 10,6446 sehingga data pada variabel gaya kepemimpinan telah terdistribusi secara normal. Untuk variabel tingkat pendidikan menunjukkan hasil chi square hitung sebesar 4,200 dimana nilai chi square tabel sebesar 13,3616. Hal ini berarti bahwa data pada variabel tingkat pendidikan telah terdistribusi secara normal. Untuk variabel pengalaman kerja menunjukkan hasil chi square hitung sebesar 5,2267 dimana nilai chi square tabel 10,6446 sehingga data pada variabel pengalaman kerja telah terdistribusi secara
Signifikan (1-tailed) 0,828 0,839 0,828 0,602
normal. Sedangkan pada variabel kemampuan dalam melaksanakan tugas menunjukkan keadaan yang sama dimana hasil chi square hitung < chi square tabel (7,333 < 14,9190) yang berarti data pada variabel kemampuan melaksanakan tugas juga telah terdistribusi secara normal. Hasil pengujian homogenitas yang tercantum pada tabel 1 terlihat bahwa nilai probabilitas masing-masing variabel berturut-turut adalah sebesar 0.828, 0.839, 0.828 dan 0.602. Hal ini menunjukkan bahwa nilai probabilitas pada masingmasing variabel lebih besar dari taraf signifikansi 0,05, sehingga data dari keempat variabel penelitian tersebut memiliki varian populasi yang relatif sama. 81
Perhitungan dengan korelasi sederhana dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas secara sendiri-sendiri dengan variabel terikat.
Hasil pengujian terhadap korelasi sederhana yang telah dilakukan tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 2 Rekapitulasi Korelasi antar Variabel Penelitian Nilai Koef. Hubungan Antar Variabel Probabilitas Korelasi (r) (thitung) Gaya kepemimpinan dengan Kemampuan 0.725 0.000 Melaksanakan tugas Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan 0.799 0.000 Melaksanakan tugas Pengalaman Kerja pimpinan dengan 0.725 0.000 Kemampuan Melaksanakan tugas Sumber : Data Hasil Perhitungan Sedangkan perhitungan korelasi berganda dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas secara bersama
dengan variabel terikat. Hasil perhitungan yang telah dilakukan tercantum dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 Rekapitulasi Korelasi Berganda Keeratan Koef. Hubungan Antar variabel hubungan Determ. F (R) ( R2 ) Gaya kepemimpinan, Tingkat pendidikan dan Pengalaman Kerja pimpinan 0.750 0.565 12.888 dengan kemampuan melaksanakan tugas Sumber : Data hasil Olahan
Sig.
0.001
Ho : y1 = 0 : Tidak ada pengaruh antara gaya kepemimpinan pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Pertama Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah “Pengaruh antara gaya kepemimpinan pimpinan dengan kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara statistik, hipotesis itu dijelaskan sebagai berikut: Ha : y1 > 0 : Terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Kedua Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh antara tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara statistik, hipotesis itu dijelaskan sebagai berikut: 82
Ha : y2 > 0
Ha : y1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Ho : y1,2,3 = 0 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen.
: Terdapat pengaruh antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Ho : y2 = 0 : Tidak ada pengaruh antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Pengujian Hipotesis Ketiga Hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh antara Pengalaman Kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara statistik, hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Ha : y3 > 0 : Terdapat pengaruh antara Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Ho : y3 = 0 : Tidak ada pengaruh antara Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen.
PEMBAHASAN Hasil Pengujian Hipotesis Pertama; Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan terhadap Kemampuan Melaksanakan Tugas Tujuan pertama dari penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Dari hasil pengujian hipotesis pertama, dapat diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, dimana kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Sedangkan besarnya pengaruh tersebut dapat diketahui dari harga koefisien korelasi dimana koefisien korelasi yang diperoleh untuk pengaruh antara gaya kepemimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas adalah sebesar 0,725. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara gaya kepemimpinan pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pengaruh yang cukup erat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diketahui bahwa terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara gaya kepemimpinan pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas.
Pengujian Hipotesis Keempat Hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen.” Secara statistik, hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 83
Jadi, gaya kepemimpinan yang dimiliki seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi pimpinan, dimana kemampuannya dalam melaksanakan tugas akan berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki.
dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi pimpinan, dimana kemampuannya dalam melaksanakan tugas akan berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal yang pernah dan akan diikutinya.
Hasil Pengujian Hipotesis Kedua; Pengaruh antara Tingkat Pendidikan terhadap Kemampuan Melaksanakan Tugas Tujuan kedua dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Dari hasil pengujian hipotesis kedua, dapat diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, dimana kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pimpinan. Sedangkan besarnya pengaruh tersebut dapat diketahui dari harga koefisien korelasi dimana koefisien korelasi yang diperoleh untuk hubungan antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas adalah sebesar 0,799. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas memiliki pengaruh yang cukup erat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diketahui bahwa terdapat pengaruh yang cukup signifikan antara latar belakang pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Bahar yang ingin mengkaji hubungan antara latar belakang pendidikan, masa kerja dan wilayah tempat kerja pimpinan SDN dengan pelaksanaan supervisi pengajaran di Kabupaten Donggala, yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara latar belakang pendidikan formal, latar belakang pendidikan inservice dan lamanya masa kerja pimpinan dengan pelaksanaan supervisi pengajaran. Jadi latar belakang pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal yang telah ditempuh seseorang berkaitan erat
Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga; Pengaruh antara Pengalaman Kerja dengan Kemampuan Melaksanakan Tugas Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana hubungan pengalaman kerja pimpinan dengan kemampuan melaksanakan tugas. Dari hasil pengujian hipotesis ketiga, dapat diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, dimana kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh antara pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tersebut dapat diketahui dari harga koefisien korelasi dimana koefisien korelasi yang diperoleh untuk pengaruh antara Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas adalah sebesar 0,725. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas memiliki pengaruh yang cukup erat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Madhelan (1999:59) yang menyimpulkan bahwa semakin banyak pengalaman kerja yang dimiliki oleh seorang pimpinan, maka unjuk kerja yang dimilikinya juga semakin baik, sehingga prestasi bekerja yang dicapai semakin baik pula. Karena itu, untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik, pegawai harus memiliki pengalaman kerja sehingga semakin banyak pengalaman kerja yang dimiliki diharapkan kinerja para pegawai 84
dapat meningkat yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas di kantor tersebut.
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas yang dilakukannya.
Hasil Pengujian Hipotesis Keempat; Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan, Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja terhadap Kemampuan Melaksanakan Tugas Tujuan keempat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana signifikansi pengaruh antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikaan dan Pengalaman Kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksnakan tugas. Dari hasil pengujian hipotesis keempat yang dilakukan terbukti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Untuk melihat besarnya pengaruh tersebut, dapat diketahui dari nilai koefisien korelasi, dimana hasil perhitungan yang telah dilakukan didapatkan harga koefisien korelasi adalah sebesar 0,750. Dari harga koefisien tersebut membuktikan bahwa pengaruh antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja terhadap kemampuan melaksanakan tugas adalah cukup erat. Dari hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan terbukti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Gaya Kepemimpinan, Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap Kemampuan Melaksanakan Tugas. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bahar yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang positif antara gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan inservice dan lamanya masa kerja pimpinan dengan kemampuan melaksanakan tugas. Agar pimpinan mampu melaksanakan tugas dengan baik, maka pimpinan harus selalu berusaha meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Karena itu gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan Pengalaman Kerja pimpinan akan sangat
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis korelasi, untuk menguji hipotesis penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara gaya kepemimpinan pimpinan dengan kemampuan melaksanakan tugas pimpinan pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. Hal ini dapat dipahami karena gaya kepemimpinan yang telah ditempuh seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Hal ini dapat dipahami karena latar belakang pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal yang telah ditempuh seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal yang pernah dan akan diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang kuat antara pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Agar seseorang pimpinan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, memerlukan waktu minimal tujuh tahun pengalaman kerja. (4) Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan secara simultan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen Berdasarkan pembahasan penelitian dan kesimpulan penelitian, disarankan halhal sebagai berikut (1) Bagi Pimpinan Sebagai pimpinan dan orang yang bertanggung jawab atas kantor, pimpinan hendaknya berusaha melaksanakan tugas dengan baik, sehingga tercipta lingkungan kerja yang kondusif, yang mampu memberi perasaan nyaman bagi pegawai yang 85
bekerja. Selain itu disarankan agar setiap pimpinan dapat meningkatkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. (2) Bagi Pejabat di Instansi yang Terkait Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dan pendapat bagi pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen dalam upaya pengembangan pendidikan.
Miftah Thoha (2001). Pendayagunaan Sumber Daya Manusia, Jakarta : Erlangga. Unisma. 2012. Metodologi Penelitian. Malang : Rineka Cipta. Poerwadarminto WJS., 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka. Suhud,. 1999. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja Pegawai Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Di Dinas Perhutani Lamongan. Tesis. STIE Jakarta : Widyajayakarta. Purwanto, Ngalim., 1994. Administrasi Dan Supervisi. Cetakan ke-7 PT. Bandung: Remaja Rosdakarya. _________, 2001, Administrasi dan Supervisi, Cetakan ke-10, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, Lewin, Lippit and White. 1999. Leadershif and Management. . New York ; Mc Grow – Hill Book Company. Wiles, Kimbal. 1967. Supervision for Better School. New Jersey: Prentice-Hall.
DAFTAR PUSTAKA Ancok, Dj., 1986. Teknik Penyusunan Alat Pengukur. Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Arikunto, S., 1989. Manajemen Penelitian. Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti P2LPTK. Black, James A., dan Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung : Eresco. Boediono dan Wayan Koster. 2001. Statistika dan Probabilitas. Bandung : Remaja Rosdakarya. Dissertational Abstracts Interbasional. 1985. The Humanities and social Sciences. Michigan ; univercity Micro Film‟s Internasional. Djajadisastra, Joesoef., 1990. Pengantar Administrasi Pemerintahan. Jakarta : Depdikbud. Elsbree, W.S. and Reuter Jr. E.E. 1964. Staff Personel In Public Schooll, 6 th. Edition. New York ; Mc Grow – Hill Book Company. Fuller, B. 1987. “What School Factors, Raise Achievement In The Third Work”. Review of Educational Research No. 3 Vol. 57. Fleishman, Haris. 2004. Leadership and Democration. New York ; Mc Grow – Hill Book Company. Gorton, richard A. 1976. School Administration. Dubuque Indiana ; Wm. C. Brown ; Company publishers. Hersey, Paul and Blanchard, Keneth H. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi ; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia Alih Bahasa ; Agus Dharma., Jakarta : Erlangga. 86
PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN
1
Frits Isak Yesaya Masini, 2Masykuri Bakri, 3Nurul Umi Ati Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
1
Abstrak Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk menunjang penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data dapat diuji validitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen belum efektif karena adanya faktor Widyaswara dan sarana dan prasarana yang kurang menunjang terselenggaranya diklat tersebut. kata kunci : pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dan bidang diklat
Abstract Generally, this study aims to determine the effectiveness of the implementation of the Pre-service training on the Personnel Board of Education and Regional Training Waropen. The research approach used in this study is a qualitative approach that uses data collection techniques such as observation, interviews, and documentation. Gathering information through interviews with key informants were compatible to research and then directly into the field observations to support research undertaken in order to obtain the expected data sources. In the final stage is the conclusion to be done carefully to verify the form of a review of the records in the field so that the data can be tested validity. Based on these results it can be concluded that the implementation of the training prajabatan the Personnel Board, Education and Training District Waropen not been effective because of factors Widyaswara and Krang facilities and infrastructure that support the implementation of such training. keywords: implementation of main tasks and functions and field trainin.
karena itu, sumber daya manusia yang profesional sangat mendukung keberhasilan suatu organisasi untuk bisa bersaing di era global dalam rangka mewujudkan Pembangunan Nasional. Untuk
PENDAHULUAN Sumber Daya Manusia merupakan penentu keberhasilan bagi setiap organisasi untuk menjadi lebih profesional dan sebagai pembangun citra pelayanan publik. Oleh 87
mewujudkan Pembangunan Nasional, dituntut adanya peran sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan pengembangan sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan itu sendiri. Kegiatan pengembangan diharapkan dapat memperbaiki dan mengatasi kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu, kedudukan dan peranan pegawai sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya tugas dari penyelenggara pemerintah dan pembangunan dalam rangka pencapaian tujuan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu yang sangat penting untuk penigkatan akselerasi suatu pembangunan dalam bidang apapun juga. Dalam rangka pencapaian tujuan nasional yang tercantum dalam pembukuan UUD 1945, maka pegawai negeri perlu dibina dengan sebaik – baiknya atas dasar sistem karir berdasarkan pasal 31 UU No.43 tahun 1999 tentang Pokok- Pokok Kepegawaian yang berbunyi bahwa untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar – besarnya diadakan pengaturan dan penyelenggraan pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, keahlian, kemampuan dan
keterampilan. Disini, sangat jelas bahwa pengembangan sumber daya manusia sangat penting dalam meningkatkan kualitas aparatur Negara. Pengembangan pegawai dititikberatkan pada pelaksanaan pendidikan dan pelatihan disamping untuk meningkatkan profesionalisme setiap pegawai. Pelaksanaan diklat pegawai perlu diupayakan, karena berpengaruh langsung terhadap hasil kerja pegawai itu sendiri. Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya manusia merupakan topik yang penting dalam rangka manajemen sumber daya manusia yaitu usaha meningkatkan keunggulan bersaing dalam organisasi. Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya manusia merupakan topik yang sangat penting dalam rangka menajemen sumber daya manusia, yaitu dalam usaha meningkatkan keunggulan bersaing dalam organisasi. Jhon Kendrick dalam simanjuntak (1989:690) mengatakan bahwa pendidikan dan pelatihan tidak saja menambah pengetahuan akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja organisasi. Adapun perbandingan atau perbedaan antara pendidikan dan pelatihan menurut Notoatmodjo (2009:16) sebagai berikut :
Tabel 1 Perbandingan Antara Pendidikan dan Pelatihan Perbandingan Pendidikan Pelatihan 1. Pengembangan Mengkhususkan Menyeluruh (overall) Kemampuan (spesifik) Psikomotor dan 2. Area Kemampuan Kognitif, afektif, keterampilan (penekanan) Psychomotoric 3. Jangka Waktu Pelaksanaan 4. Materi yang diberikan 5. Penekanan Penggunaan Belajar Mengajar 6. Penghargaan akhir proses
Panjang (long time)
Pendek (short time)
Lebih umum
Lebih Khusus
Conventional
Inconventional
Gelar (degree)
Sertifikat (non degree)
(Sumber : Notoatmodjoyo 2009:16) 88
Oleh sebab itu, pusat pendidikan dan pelatihan di setiap institusi mempunyai tugas pokok untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan untuk para pegawai guna meningkatkan kemampuan pegawai atau karyawan dilingkungan institusi tersebut yang akan memberi dampak terhadap pengembangan organisasi atau institusi yang bersangkutan. Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) merupakan salah satu bidang yang dibawahi oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pada kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yaitu membantu pejabat pembina kepegawaian daerah dalam melaksanakan menajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk menyiapkan peraturan perundang – undangan daerah di bidang kepegawaian, sesuai dengan undang – undang yang berlaku serta menyiapkan kebijakan teknis mengenai pengembangan kepegawaian daerah dan lain – lain. Pegawai Negeri Sipil adalah pegawai negeri yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) dan belanja pada departemen, lembaga, pemerintah nondepartemen, kesekertariatan lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara. Instansi vertikal di daerah provinsi atau kabupaten/kota atau dipekerjakan untuk menjalankan tugas Negara lainnya. Berdasarkan pengamatan penulis, kelemahan dalam sistem Diklat yang ada pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen adalah Diklat Prajabatan belum mampu menyadarkan pegawai dalam pelaksanaan tugas sehingga pegawai yang telah mengikuti Diklat Prajabatan belum mampu memberikan kontribusi secara maksimal bagi pengembangan awal mereka sebagai Pegawai Negeri Sipil. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang diteliti dirumuskan sebagai berikut pertama, Apakah dalam Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan dapat meningkatkan Efektivitas Pegawai
Kabupaten Waropen? Keduaa, Apa sajakah Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pegawai dalam Pelaksanaan Diklat Prajabata? Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu pertama, Untuk menganalisis penyebab kurang efektifnya Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen. Kedua, Mempelajari faktor internal dan eksternal dalam pelaksanaan peningkatan pelayanan masyarakat di Kabupaten Waropen untuk mengidentifikasi tingkat kekuatan, kelemahannya dan mempertimbangkan ancaman serta peluang yang ada. Dalam penelitian ini nantinya diharapkan mempunyai guna dan manfaat sebagai berikut Manfaat Akademis (Dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi yang dapat menunjang untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan bagi penelitianpenelitian yang akan datang) dan Manfaat Praktis (Pada penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan atau masukan bagi pemerintah khususnya Kantor Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen dalam mengefektifkan pelaksanaan Diklat Prajabatan). METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dimana dalam penelitian yang dilakukan bersifat Deskriptif. Penelitian direncanakan selama 3 bulan sejak bulan Juni 2012 sampai dengan September 2012. Dalam penelitian ini yang menjadi lokasi penelitian adalah Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Waropen. Jenis dan Sumber Data diperoleh dari Data Primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan dan sebenarnya di lapangan. Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi atau perusahaan dengan 89
permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan, bahan pustaka, dan laporan-laporan penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi. Proses analisis data dilakukan secara terus menerus dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen dan sebagainya sampai dengan penarikan kesimpulan. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk menunjang penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan. Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerderhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan selama meneliti tujuan diadakan transkrip data (transformasi data) untuk memilih informasi mana yang dianggap sesuai dan tidak sesuai dengan masalah yang menjadi pusat penelitian di lapangan. Penyajian data (data display) yaitu kegiatan sekumpulan informasi dalam bentuk naratif, grafik jaringan, tabel dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman penelitian terhadap informasi yang dipilih kemudian disajikan dalam tabel ataupun uraian penjelasan. Pada tahap akhir adalah penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data dapat diuji validitasnya.
dalam keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu perlu adanya upaya peningkatan kompetensi bagi Pegawai Negeri Sipil agar dapat menghasilkan sosok PNS yang bertanggung jawab, bermoral, profesional serta dapat mejadi acuan bagi masyarakat luas, bangsa dan Negara. Untuk dapat membentuk sosok PNS seperti diatas, maka perlu dilaksanakan pembinaan bagi pegawai melalui Pendidikan dan Pelatihan seperti Diklat Prajabatan yang mengarah kepada peningkatan-penigkatan sebagai berikut: (1) meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas secara profesionalisne dengan dilandasi kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan instansi; (2) menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat pesatuan dan kesatuan bangsa; (3) menetapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorietasikan pada pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat; (4) menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik. Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan merupakan syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan jabatan PNS, Diklat Prajabatan terdiri dari 3 (tiga) jenjang Diklat Prajabatan, yaitu Diklat Prajabatan Golongan I untuk menjadi PNS Golongan I, Diklat Prajabatan Golongan II untuk menjadi PNS Golongan II, dan Diklat Prajabatan Golongan III untuk menjadi PNS Golongan III. Hasil wawancara penulis terhadap informan salaku pembina dalam Diklat Prajabatan melalui wawancara bahwa: “Para CPNS wajib mengikuti Diklat Prajabatan jika ingin mendapatkan predikat sebagai PNS murni menurut Golongan mereka masing-masing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, selain itu penyelenggaraan Diklat Prajabatan perlu dilaksanakan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Peningkatan Keefektivitasan Pegawai dalam Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Waropen Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur utama Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur Negara mempunyai peranan yang sangat penting 90
penanganan secara khusus sebagai pembinaan awal untuk membentuk karakter para calon PNS yang akan melaksanakan tugas untuk kepentingan rakyat, bangsa dan Negara yang merupakan salah satu syarat pengangkatan PNS” Adapun tujuan dan sasaran dari Diklat Prajabatan sesuai dengan PP. Nomor 101 Tahun 2000, Diklat Prajabaan bertujuan untuk: (1) meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas secara profesionalisme dengan dilandasi kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan instansi; (2) menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; (3) menetapkan sikap dan semangat pengabdian yang berorientasikan pada pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat; (4) menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang baik. Sasaran Diklat Prajabaan adalah: (1) sasaran Diklat Prajabatan adalah terwujudnya Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan pengangkatan untuk menjadi pegawai Negeri Sipil; (2) untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian dan etika pegawai negeri sipil, disamping pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggara Pemerintah Negara, bidang tugas dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Standar kompetensi yang diperlukan bagi CPNS, materi pelajaran atau kurikulum berbeda-beda berdasarkan golongan peserta Diklat sesuai keputusan Kepala LAN RI Nomor 18 Tahun 2010. Persyaratan peserta Diklat Prajabatan adalah semua pegawai yang berstatus CPNS layak untuk mengikuti Diklat Prajabatan dengan melihat aspek-aspek penilian sebagai berikut: (1) aspek sikap dan perilaku meliputi kedisiplinan, kepemimpinan, kerja sama, dan prakarsa;
(2) aspek penguasaan materi. Unsur penguasaan materi mencakup bahan ujian tertulis. Indikator penguasaan materi tersebut adalah angka yang dihasilkan dan jawaban peserta dalam ujian tertulis; (3) cara penilian, Nilai terendah adalah 0 (nol), sedangkan nilai tertinggi adalah 100 (seratus). Nilai seluruh aspek sikap dan perilaku (antara 0 dan 100) dikalikan bobot 60%. Nilai penguasaan meteri merupakan nilai dari hasil ujian yang diperoleh dengan cara nilai hasil ujian (antara 0 dan 100) dikalikan bobot 40%. Jumlah nilai sikap dan perilaku ditambah nilai hasil ujian adalah nilai yang diperoleh peserta. Penilaian terhadap peserta dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Kepala Lembaga Penyelenggara Diklat Prajabatan yang bersangkutan; (4) kualifikasi kelulusan peserta ditetapkan dengan lulus sangat memuaskan (skor : 92,5-100), lulus memuaskan (skor : 85,0 – 92,4), lulus baik sekali (skor : 77,5-84,9), lulus baik (skor : 70,0-77,4), dan tidak lulus (skor : dibawah 70,0) Anggara Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Waropen tahun 2011 yang dialokasikan paa pos anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD) Kabupaten Waropen. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan diklat prajabatan antara lain: Pertama, peserta diklat penetapan peserta diklat bersifat selektif dan merupakan penugasan instansi yang bersangkutan untuk memenuhi persyaratan kompetensi jabatan. Peserta Diklat dalam suatu Diklat Prajabatan di sebut CPNS. Yang merupakan faktor kunci terselenggaranya suatu Diklat dan memiliki peranan terpentig dalam Diklat. CPNS adalah Warga Negara Indonesia yang melamar, lulus seleksi, dan diangkat untuk dipersiapkan menjadi Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan perundang – undangan yang berlaku. Hasil wawancara penulis dengan informan Pembina dalam Diklat Prajabatan, yaitu : “Peserta dalam Diklat Prajabatan jelas sehat jasmani dan rohani, kami tidak 91
mungkin memaksa peserta untuk ikut dalam pelatihan ini jika tidak memenuhi syarat dan ketentuan yng berlaku. Selain itu, selama mengikuti Diklat Statusnya masih menjadi CPNS, sampai pada saat peserta telah mengikuti seluruh proses dalam Diklat dan dinyatakan lulus oleh Badan Diklat Provinsi sebagai tempat bekerja sama, maka peserta yang bersangkutan dapat diusulkan untuk menjadi PNS murni dan juga mendapatkan gaji 100% sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan kami sebagai pembina, para peserta hampir keseluruhan mengikuti Diklat Prajabatan dengan sangat disiplin dan bertanggung jawab”. Sedangakan wawancara dengan salah satu peserta dalam Diklat Prajabatan, memaparkan sebagai berikut : “Tentunya kami termotivasi untuk mengikuti diklat prajabatan ini, selain dengan perubahan status kami menjadi PNS, kami juga tentunya memiliki rasa tanggung jawab yang besar setelah kembali ke instansi kami masing2, karena dalam diklat ini kami bisa memahami peran kami sesungguhnya sebagai PNS itu seperti apa.” Dari pemaparan dari beberapa informan diatas, dapat disimpulkan bahwa peserta dalam Diklat Prajabatan termotivasi untuk ikut dalam diklat ini karena adanya perubahan status dari CPNS menjadi PNS yang juga berpengaruh dengan gaji yang mereka terima tiap bulannya. Kedua, widyaswara merupakan meraka yang berstatus sebagai PNS yang diangkat sebagai pejabat fungsional oleh pejabat yang berwanang dengan tugas dan tanggung jawab, wewenang untuk mendidik, mengajar, dan melatih para CPNS dan PNS pada Lembaga Diklat Pemerintah. Seseorang yang dapat ditugasi memberikan fasilitas dalam agenda pembelajaran Diklat PNS, terdiri dari widyaswara dan widyaswara luar biasa. Penilaian terhadap widyaswara dilakukan oleh peserta dan penyelenggaraan Diklat. Hasilnya diolah dan disampaikan oleh penyelengara kepada widyaswara yang bersangkutan sebagai masukan untuk peningkatan kinerja pada masa yang akan datang. Tugas, kewajiban dan
pendayagunaan Widyaswara untuk setiap jenis, jenjang dan program Diklat mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan. Dari hasil pengamatan penulis mengenai widyaswara adalah tidak semua tenaga widyaswara yang dipakai dalam Diklat Prajabatan berkompeten, hal ini terbukti dari hasil wawancara terhadap beberapa peserta Diklat yang memaparkan kalau ada beberapa widyaswara yang dalam menyampaikan materi masih belum jelas karena adanya faktor penggunaan bahasa yang susah dipahami oleh peserta Diklat. Ketiga, kurikulum yang digunakan dalam Diklat PNS disusun berdasarkan kebutuhan kompetensi pegawai untuk suatu jabatan tetentu. Setiap jenis dan jenjang Diklat mempunyai Tujuan Kurikuler Umum (TKU) dan Tujuan Kurikuler Khusus (TKK) yang mengacu pada kompetensi jabatan. Pembina dalam Diklat Prajabatan Kabupaten Waropen menjelaskan tentang kurikulum yang di gunakan: “Kurikulum yang kami pakai dalam Diklat Prajabatan mengacu pada standar kompetensi jabatan dan perundang-undangan yang berlaku dan disusun dan ditetapkan oleh Instansi Pembina Diklat yaitu Lembaga Administrasi Negara yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Diklat yang menurut kami kualitas materi yang diberikan sangat relevan dengan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi pegawai yang bersangkutan”. Sedangkan peserta pada Diklat Prajabatan golongan III memaparkan pendapatnya tentang kurikulum yang diberikan pada Diklat yaitu: “Kualitas materi yang kami dapatkan saat mengikuti Diklat tergolong relevan, karena kami sebagai peserta mendapatkan Modul atau bahan ajar yang asli yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara sebagai penanggungjawab dalam pelaksanaan Diklat sekaligus sabagai Pembina Kurikulum”. Dari hasil wawancara terhadap informan – informan diatas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum dan kualitas materi yang disajikan penyelenggara Diklat Prajabatan tergolong cukup baik, karena 92
dilihat dari pemaparan beberapa peserta diklat, substansi materi yang disajikan bisa menambah wawasan dan pengetahuan peserta, selain itu peserta juga mendaptkan modul asli yang diterbitkan oleh penanggungjawab kediklatan. Keempat, sarana dan prasarana diklat merupakan alat bantu dan fasilitas yang digunakan untuk menjamin efektivitas agenda pembelajaran dalam sebuah diklat. Sarana dan prasarana Diklat dapat dimiliki sendiri dan atau memanfaatkan saran dan prasana Diklat Lembaga Diklat Instansi lain dengan memperhatikan kesesuaian standar persyaratan setiap jenis, jenjang dan program Diklat serta jumlah peserta Diklat. Wawancara penulis dengan salah satu pembina pada Dilat Prajabatan menyatakan bahwa : “Sarana dan Prasarana yang disediakan penyelenggara salah satunya adalah gedung asrama bagi peserta yang menurut kami layak untuk dihuni selama proses Diklat Prajabatan berlangsung, juga disediakan tempat untuk panitia pelaksana, tempat meeting dan ruang belajar yang cukup kondusif untuk keberlangsungan Diklat”. Sedangkan salah satu peserta Diklat, mengungkapkan pendapatnya yaitu “Sarana dan prasarana yang tersedia belum memadai karena fasiitas – fasilitas penunjang seperti ruangan belajar yang belum dilengkapi dengan AC sehingga kami sebagai peserta kadang merasa kepanasan saat menerima materi, selain itu keterbatasan kamar penginapan yang membuat beberapa peserta sampai 5 orang dalam satu kamar padahal peserta butuh istirahat pada malam hari, ini tentu tidak kondusif.” Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa sarana dan prasarana dalam Diklat prajabatan kurang kondusif, sehingga peserta merasa tidak nyaman saat mengikuti Diklat. Kelima, proses. Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap informan yaitu salah satu Pembina dalam Diklat Prajabatan memaparkan pendapatnya sebagai berikut:“selama proses Diklat, di mulai dengan pemaparan materi oleh widyaswara, kemudian dilanjutkan dengan
diskusi antara peserta dan widyaswara, kadang diselingi dengan games atau praktek langsung seperti cara pembuatan surat dan lain-lain, selama proses Diklat berlangsung para peserta aktif mengikuti materi demi materi, dan saat proses diskusi juga mereka aktif, peserta termotivasi karena adanya penambahan jumlah poin nilai yang akan berpengaruh terhadap nilai akhir mereka.” Selanjutnya salah satu peserta Diklat memaparkan pendapatnya sebagai berikut: “selama proses Diklat berlangsung, diusahakan untuk bisa lebih aktif dalam diskusi-diskusi dan praktek langsung, selain mendapatkan penambahan poin pada penilaian juga dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi antara sesama peserta dan antara peserta dan widyaswara. Biasanya kami diberikan games di tengah-tengah materi seperti peserta di tunjuk untuk menyanyi agar teman sesama peserta tidak merasa jenuh saat mengikuti diklat” Menurut hasil wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa proses Diklat cukup efektif, karena peserta lebih aktif selama proses Diklat karena adaya penambahan poin penilaian, aktifnya peserta karena didukung oleh agenda selingan materi seperti games dan praktek langsung yang tentunya ini cukup baik karena memotivasi peserta untuk aktif selama proses diklat berlangsung. Keenam, evaluasi dalam Diklat Prajabatan dilakukan oleh Lembaga Diklat Instansi yang bersangkutan dan atau Instansi Pembina untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan dan tingkat pencapaian kinerja penyelenggara Diklat. Hasil wawancara terhadap informan terhadap salah satu informan yang juga sebagai Pembina Diklat Prajabatan memaparkan evaluasi atau hasil yang dicapai setelah Diklat terselenggara, yaitu : “Menurut saya hasil dari Diklat Prajabatan Tahun Anggaran 2011, tercapai belum maksimal, terlihat ada beberapa hambatan yang ditemui dilapangan seperti waktu yang telah ditentukan biasanya berbeda dengan yang ditetapkan pada jadwal, hal ini disebabkan karena komunikasi antara 93
penyelenggara dengan tenaga pengajar tidak terkontrol sehingga ada beberapa agenda tidak terlaksana.” Sedangkan pemaparan dari salah satu peserta Diklat Prajabatan Tahun Anggaran 2011, memaparkan sebagai berikut: “keseluruhan proses Diklat dari pembukaan sampai penutupan menurut kami sebagai peserta Diklat Prajabatan masih kurang efektif karena selama proses berlangsung kami menghadapi beberapa permasalahan selama proses Diklat berlangsung, seperti adanya wadyswara pengganti, dan suasana belajar yang kurang nyaman, ini tentunya berpengaruh terhadap semangat kami sebagai peserta Diklat. kami harap kedepan para CPNS yag mengikuti Diklat Prajabatan lebih memperhatikan masalah – masalah seperti ini.” Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil dari evaluasi Diklat menurut beberapa informan Diklat Prajabatan belum cukup efektif, hal ini diungkapkan oleh salah satu informan yang mana sebagai peserta dalam Diklat Prajabatan.
PENUTUP Dari hasil penelitan yang telah dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Diklat Prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen belum efektif disebabkan oleh faktor widyaswara dan sarana prasarana. Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti peserta diklat, kurikulum dan proses diklat dapat disimpulkan cukup efektif. Faktor widyaswara dan sarana prasarana merupakan faktor penunjang keberhasilan diklat sehingga peningkatan pelayanan yang memadai dapat dilakukan oleh pihak penyelenggara Diklat yang akan berpengaruh kepada kepuasan pegawai agar pelaksanaan diklat kedepan dapat tercapai secara efektif. Adapun saran yang penulis paparkan terkait dengan hasil penelitian adalah sebagai berikut pertama, Widyaswara yang dipakai dalam pelaksanaan diklat prajabatan seharusnya benar–benar tenaga pengajar yang memiliki kompetensi dalam bidangnya serta dapat menjadi motivator bagi peserta diklat. Kedua, Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana dalam pelaksanaan diklat perlu diupayakan agar peserta merasa tidak jenuh selama diklat berlangsung.
PEMBAHASAN Pelaksanaan Diklat Prajabatan merupakan tahap awal begi pengembangan Calon Pegawai Negeri Sipil untuk membentuk kepribadian sebelum menjadi Pegawai Negeri Sipil untuk lebih disiplin dan lebih terarah menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur Negara. Pelaksanaan Diklat Prajabatan mengacu kepada UU Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. UU ini menjadi dasar pelaksanaan Diklat Prajabatan maupun Diklat Dalam Jabatan. Mulai dari peserta diklat, widyaswara, sarana prasarana, waktu dan tempat pelaksanaan, kurikulum, dan proses Diklat tersebut, indikator tersebut juga dikemukakan oleh syadam (2006) beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan Diklat. dari hasil penelitian dilapangan faktor – faktor tersebut adalah Peserta Diklat, Widyaswara, Kurikulum, Sarana dan prasarana,Proses Diklat dan Evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA Cahyono, Bambang Tri. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Badan Penerbit IPWI. Jakarta. Charter, Good V. 1998. Dictionary of Education.. New York : Mac-GrawHill. Fourth Edition Djajadisastra, Joesoef. 1990. Pengantar Administrasi Kerja. Jakarta : Depdikbud. Djarwanto, PS dan Pangestu Subagyo. 1990. Statistik Induktif. Yogyakarta : BPFE. Hadi, Sutrisno. 1981. Unsur-unsur Pokok Dalam Metodologi Penelitian Ilmiah. Bandung : Depdikbud. Hasibuan, M. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Bumi Aksara, Jakarta. 94
Hamalik,Oemar. 2005. Pengembangan SDM Manajemen Ketenagakerjaan Pendidikan , Jakarta:Bumii Aksara. Hasibuan, Malayu S.P.1994. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : CV. Haji Mas Agung. Hasibuan,Malayu S.P.2009. Manajemen Sumber Daya Manusia .Jakarta:Bumi Aksara. LAN-RI.1994. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta: CV.Haji Mas Agung. Moleong, Lexi J,Dr.M.A. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Refika Aditama. Moekijat. 2001. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Mandar Maju. Margono. 1997. Metodologi Penelitian Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Maslow, Abraham H. 1971. Motivasi dan Kepribadian, Jakarta : Pustaka Binaman Presindo. Musanef. 1996. Manajemen Kepegawaian di Indonesia. PT Toko Gunung Agung, Jakarta. Nawawi, Hadari. 1993. Administrasi Kerja. Jakarta : PT. Gunung Agung. Noatmodjo,Soekidjo.2009.Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:Rineka Cipta. Ruky, S.A. 2003. SDM Berkualitas. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sugiyono, 1990. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar Interaksi Kinerja. Tarsito. Bandung. Susilo, Martoyo. 1987. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta : BPFE. Sutisna, Oteng. 1995. Administrasi Kerja: Dasar-dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Penerbit Angkasa. Bandung. Subagyo,P.1995. Manajemen Kepegawaian .Jakarta: Ghalia Indonesia.
Steers,
M Richard. 1985.Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Sedarmayanti.2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:Reflika Aditama. Sastro, Dr.B.Siswanto.2003.Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Unisma. 2011. Pedoman Penulisan Tesis. Malang. Unisma Malang Umar, H. 2005. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Referensi Internet : Sambas.2009.EfektifitasOrganisasi.http://sa mbasalim.com/manajemen/konsepefektivitas-organisasi.html. http://elib.unikom.ac.id/download.p hp?id=99247 Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan UU Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2000 tentangPendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Dokumen : Laporan Hasil Diklat. 2011. Waropen : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten Waroepen. Pedoman Diklat Prajabatan Golongan I,II dan III.2008. Tana Toraja : Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatih
95
PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda Kabupaten Waropen
1 1
Henike Waitariri, 2M. Bashori Muchsin, 3Slamet Muchsin Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang Jl. Mt. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap prestasi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Populasi adalah semua Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen yang berjumlah 56 orang yang sekaligus menjadi sample penelitian. Metode pengumpulan data yang dipakai kuesioner dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang dipakai teknik analisis regresi berganda. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat ditarik beberapasebagai berikut. Pertama, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Keempat, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. kata kunci : gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan, komunikasi dan prestasi kerja
Abstract The purpose of this study are (1) To determine whether there are significant effects of leadership style on job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office Waropen government. (2) To determine whether there is any significant effect on achievement motivation of the leadership of the Civil Service working in the Scope of Government Office Waropen. (3) To determine if communications have a significant effect on achievement in the Scope of the Civil Service Employment Office Waropen government. (4) To determine whether there are significant effects of leadership style, motivation, leadership and communication together against job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office Waropen government. The population is all the Civil Service Employment Office in the Scope of Local Government Waropen totaling 56 people of both the study sample. Methods of data 96
collection used questionnaires and documentation. While the analytical techniques used multiple regression analysis techniques. From the results of the analysis conducted in this study can be drawn following beberapasebagai. First, There is a significant effect of leadership styles on work performance of civil servants working in the scope of the Office of Government Waropen. Secondly, There is a significant effect of leadership on achievement motivation of civil servants working in the scope of work of the Office of Government Waropen. Third, There is a significant effect of communication on work performance of civil servants working in the scope of the Office of Government Waropen. Fourth, There is a significant effect of leadership styles, motivational leadership and communication on the performance of civil servants working in the scope of work for the Office of Government Waropen. key words: leadership style, motivation leadership, communication and work performance.
Pemerintah secara terpadu. Pada sebuah organisasi pemerintahan, sumber daya manusia terdiri dari pimpinan dan pegawai. Pemda Kabupaten Waropen merupakan suatu organisasi pemerintah yang memiliki personil berjumlah 56 pegawai. Untuk mewujudkan sikap kerja pegawai yang baik, diperlukan berbagai cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin suatu organisasi pemerintah, yaitu dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang tepat. Peranan seorang pimpinan penting untuk mencapai tujuan organisasi yang diinginkan termasuk organisasi pemerintahan di lingkup kerja Kantor Pemda kabupaten Waropen terutama berkaitan dengan peningkatan prestasi kerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Prestasi kerja pegawai merupakan hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan dan kemampuan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan, atau tingkah laku orang lain dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Wahjosumidjo, 1999 : 16). Sedangkan yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan (leadership style) adalah merupakan norma perilaku yang dipergunakan seseorang pemimpin pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Menurut Oliva (1996, hal 390) pemimpin
PENDAHULUAN Sumber daya manusia merupakan aset paling penting dalam suatu organisasi karena merupakan sumber yang mengarahkan organisasi serta mempertahankan dan mengembangkan organisasi dalam berbagai tuntutan masyarakat dan zaman. Sumber daya manusia perlu dikembangkan terus-menerus agar diperoleh sumber daya manusia yang bermutu dalam arti yang sesungguhnya yaitu pekerjaan yang dilaksanakan akan menghasilkan sesuatu yang dikehendaki memenuhi syarat kualitas dan kuantitas. Di dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien tidaklah mudah, untuk itu dalam suatu organisasi baik organisasi pemerintah maupun swasta, formal maupun informal perlu pengelolaan yang optimal. Kecanggihan alat dan melimpahnya modal bukanlah jaminan pencapaian tujuan organisasi karena keduanya hanyalah benda mati dan sumber daya manusia merupakan faktor yang paling menentukan karena manusia yang akan mengolahnya hingga nantinya akan menghasilkan apa. Dalam rangka meningkatkan citra, kerja dan kinerja instansi pemerintah menuju kearah profesionalisme dan menunjang terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), perlu adanya penyatuan arah dan pandangan bagi segenap jajaran pegawai Pemerintah yang dapat dipergunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melaksanakan tugas baik manajerial maupun operasional diseluruh bidang tugas dan unit organisasi Instansi 97
(leader) adalah : the individual in the group given the task of directing and coordinating task relevant group activities. Suatu proses atau aktivitas yang dilakukan oleh pemimpin dalam upaya mempengaruhi perilaku bawahannya guna mencapai tujuan organisasi, disebut kepemimpinan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Owens (1997, hal 129) bahwa : leadership may be viewed as a process through which others are influenced achieve goals in a specific situation. Di dalam teori sistem sosial, pola perilaku seseorang sebagian besar muncul sebagai bagian yang tak terpisahkan dari suatu sistem sosial yang saling menjalin dengan pola perilaku orang lain. Pola perilaku seseorang bukan di sebabkan oleh kejadian atau peristiwa yang terisolasi. Bila hal ini dikaitkan dengan situasi kerja maka antara pimpinan dan pegawai-pegawai terdapat suatu hubungan timbal balik dan saling ketergantungan dalam berbagai kegiatan kantor. Jika pegawai merasa antipati terhadap pimpinan, maka hal ini akan mengendorkan semangat kerja para pegawai di bawah pimpinan itu (Nurtain, 1990 : 57). Selain bertugas sebagai pemimpin kantor, pimpinan juga bertugas sebagai seorang motivator, yaitu memotivasi pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai, dimana salah satu bagian pokok dalam supervisi tersebut adalah memotivasi pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Motivasi lebih banyak digunakan dan lebih tepat dalam menggerakkan kinerja pegawai. Konsepsi tersebut mengaitkan antara meningkatnya prestasi kerja seseorang dengan pemuasan berbagai kebutuhan dan keinginan manusia. Motivasi berasal dari kata “movere” yang berarti dorongan. Motivasi diartikan sebagai suatu usaha untuk menimbulkan suatu dorongan pada individu atau kelompok agar bertindak atau melakukan sesuatu (Mohyi, 1996 : 157). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang mengatakan bahwa ”kinerja seseorang merupakan fungsi perkalian antara kemampuan (ability) dan motivasi”.
Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi pimpinan bukanlah merupakan satu-satunya cara meningkatkan prestasi kerja pegawai, tetapi ada komunikasi. Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai tidak lepas dari komunikasi dengan sesama rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Komunikasi yang baik dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan kinerja pegawai. Melalui komunikasi, pegawai dapat meminta petunjuk kepada atasan mengenai pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi juga pegawai dapat saling bekerja sama satu sama lain. Secara etimologis (menurut asalusul kata), istilah komunikasi dalam bahasa Inggris “communication”, berasal dari bahasa Latin “communicatio”, dan perkataan ini bersumber pada kata “communis”. Kata communis mengandung arti sama, maksudnya sama makna. Sedangkan bentuk dari kata kerja “comunicatio” adalah “Communicare” yang artinya bermusyawarah, berunding atau berdialog. Komunikasi menyarankan adanya suatu pikiran, suatu makna atau suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana, 2005 : 41). Komunikasi merupakan sebuah pentransferan makna maupun pemahaman makna kepada orang lain dalam bentuk lambang-lambang, simbol, atau bahasabahasa tertentu sehingga orang yang menerima informasi memahami maksud dari informasi tersebut (Robbins, 1996 : 65). Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, peneliti mencoba untuk mengkaji gaya kepemimpinan dan fungsi pimpinan sebagai supervisor dan motivator dalam kaitannya dengan kemampuan kinerja pegawai dalam sebuah karya tulis dalam bentuk tesis dengan mengambil judul penelitian ”Analisis Faktor Gaya Kepemimpinan, Motivasi Pimpinan dan Komunikasi Dalam Mempengaruhi Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen”. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah (1) Apakah ada 98
pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen? (2) Apakah ada pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen? (3) Apakah ada pengaruh yang signifikan komunikasi secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen? (4) Apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara simultan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen? Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini dibagi menjadi dua tujuan yaitu Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan tujuan khususnya meliputi (1) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen, (2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen, (3) untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan komunikasi secara partial terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen, dan (4) untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara simultan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen. Adapula manfaat dari hasil penelitian ini adalah (1) Bagi Pemerintah Daerah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang pentingnya gaya kepemimpinan, motivasi dan komunikasi yang dapat meningkatkan prestasi kerja pegawai. (2) Bagi kantor sebagai bahan informasi yang berguna bagi kantor mengenai pentingnya gaya
kepemimpinan, motivasi serta pentingnya komunikasi yang dapat meningkatkan prestasi kerja pegawai. (3) Bagi Peneliti lain. Berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian di masa mendatang sekalipun dalam perspektif yang berbeda dan sekaligus sebagai bahan pembanding bagi penelitian di masa lalu. METODE PENELITIAN Metode dalam penilitian menggunakan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua staf Biro Kepegawaian di Pemda Kabupaten Waropen yang berjumlah 56 orang. Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Yang termasuk variabel bebas dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan (X1), motivasi pimpinan (X2) dan komunikasi (X3). Sedangkan yang termasuk variabel terikat pada penelitian ini adalah prestasi kerja pegawai (Y). Syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel, adalah digunakannya instrumen penelitian yang valid dan reliabel di dalam pengumpulan datanya. Untuk menguji validitas butir-butir angket dilakukan uji coba instrumen atau disebut dengan validitas empiris. Hasil uji validitas dianalisis dengan mengkorelasikan skor butir dengan skor total menggunakan rumus korelasi Product Moment, perhitungan menggunakan bantuan komputer program SPSS 14. Hasil r hitung dengan rumus di atas dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf signifikansi 5%. Jika r hitung lebih besar dari pada r tabel maka test tersebut dinyatakan valid. Dalam penelitian ini penentuan keterandalan dilakukan diantaranya alat pengukur (indikator) yang mengukur suatu variabel yang sama. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa indikator-indikator yang hendak dilihat keterandalannya setelah sahih, oleh karena itu dapat dilakukan langkah selanjutnya yang mengkorelasikan indikator-indikator yang mengukur suatu variabel yang sama. Teknik korelasi yang dipergunakan adalah korelasi product 99
moment yang rumus serta perhitungannya telah dibahas sebelumnya pada pengujian kesahihan. Angka korelasi yang diperoleh adalah indeks keterandalan alat ukur yang dimaksud. Selanjutnya dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi product moment pada taraf signifikansi 5%. Bila indeks keterandalan berada di atas nilai kritis berarti alat pengukur tersebut telah andal. Sedangkan bila indeks keterandalan berada di bawah nilai kritis berarti alat pengukuran itu tidak andal. Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari para responden yaitu para pegawai di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan data sekunder diperoleh dari bagian Personalia yang ada di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode angket/kuesioner. Metode ini merupakan cara yang paling efektif untuk mengumpulkan data yang akan digunakan dalam penelitan ini. Sebelum dilakukan analisis data yang sesuai untuk hipotesis, maka asumsi-asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu dengan menggunakan perangkat tes parametrik meliputi Uji Normalitas,Uji Homogenitas dan Uji Multikolinieritas. Teknik analisis ini digunakan untuk melihat besarnya pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap suatu variabel tergantung. Adapun persamaan regresinya adalah sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3…. (Margono, 1997 : 227) Keterangan : Y = kriterium a = harga konstan b = koefisien prediktor X1;X2;X3 =variabel bebas gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis Adapun hasil pengujian normalitas data bahwa variabel gaya kepemimpinan mempunyai nilai chi square hitung sebesar 9,487 yang lebih kecil dari nilai chi square tabel pada df 6 sebesar 12,592 (9,487 < 12,592). Kemudian variabel motivasi pimpinan mempunyai nilai chi square hitung sebesar 17,592 yang lebih kecil dari nilai chi square tabel pada df 11 sebesar 19,675 (17,592 < 19,675), variabel komunikasi mempunyai nilai chi square hitung sebesar 16,488 yang lebih kecil dari nilai chi square tabel pada df 10 sebesar 18,307 (16,488 < 18,307) dan yang terakhir variabel prestasi kerja pegawai yang mempunyai nilai chi square hitung sebesar 23,459 yang lebih kecil dari nilai chi square tabel pada df 15 yaitu sebesar 24,996 (23,459 < 24,996). Hasil pengujian homogenitas variabel menunjukkan bahwa nilai probabilitas pada masing-masing variabel yaitu variabel gaya kepemimpinan (X1) sebesar 0,464, variabel motivasi pimpinan (X2) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,295, variabel komunikasi (X3) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,133 dan variabel prestasi kerja pegawai (Y) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,194 yang kesemuanya mempunyai nilai probabilitas yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Hasil pengujian multikolinieritas melalui SPSS 14 dapat diketahui bahwa nilai VIF dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 5 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolinieritas pada model yang digunakan. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan teknik analisis regresi linier berganda. Berikut ini akan disajikan rekapitulasi hasil perhitungan regresi berganda.
Adapun perhitungan analisis regresi berganda dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 14.0.
100
Variabel Gaya kepemimpinan (X1) Motivasi pimpinan (X2) Komunikasi (X3) Constant R R squared Fratio P
Tabel 1 Rekapitulasi Regresi Berganda Koefisien t hitung α = P Regresi 0,05 0,434 2,843 0,041 0,411 2,653 0,018 0,383 2,327 0,037
r Parsial 0,404 0,337 0,307
= 52,667 = 0,645 = 0,496 = 3,538 = 0,000
Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut : Yˆ = 52,667 + (0,434) X1 + (0,411) X2 + (0,383) X3
Ho:py2= 0
: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Pertama Secara statistik, hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut: Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Ho : py1=0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Ketiga Secara statistik, hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut : Ha : py3 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Ho:py3=0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Kedua Secara statistik, hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut : Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Keempat Secara statistik, hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut: Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil pada di 101
lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Interpretasi Pengujian Hipotesis Ketiga Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan tersebut, maka interpretasi hasil pengujian hipotesis ketiga diketahui koefisien regresi partial sebesar 0,307 yang menunjukkan bahwa variabel komunikasi memberikan kontribusi pengaruh sebesar 30,7% terhadap variabel. Interpretasi Pengujian Hipotesis Keempat Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa signifikansi Fhitung adalah sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima (SigFhitung = 0,000 < α = 0,05). Dengan kata lain bahwa variabel gaya kepemimpinan, motivasi dan komunikasi secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel prestasi kerja pegawai, sehingga hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima.
Interpretasi Hasil Persamaan Regresi Berdasarkan hasil persamaan regresi yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa dari ketiga variabel bebas yang diteliti diketahui bahwa variabel gaya kepemimpinan (X1) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja pegawai yaitu sebesar bX1 = 0,434, kemudian diikuti dengan variabel motivasi pimpinan (X2) dengan koefisien regresi sebesar bX2 = 0,411 dan yang terakhir variabel komunikasi (X3) dengan koefisien regresi sebesar bX3 = 0,383.
PEMBAHASAN Pengaruh Gaya Kepemimpinan Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Dari hasil analisis yang telah dikemukan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas thitung lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,041 < 0,05). Oleh karena itu gaya kepemimpinan sangat berperan dalam meningkatkan prestasi kerja pegawai, hal ini dikarenakan kemampuan setiap pimpinan akan sangat mempengaruhi bawahan, baik dalam mengembangkan pola perilaku, baik berupa tingkah laku, tindakan, maupun cara-cara dalam keseluruhan kegiatan yang digunakan kantor untuk mencapai keberhasilan suatu kantor.
Interpretasi Pengujian Hipotesis Pertama Dari hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan tersebut, maka interpretasi hasil pengujian hipotesis pertama diketahui bahwa koefisien regresi partial diketahui sebesar 0,404 yang menunjukkan bahwa variabel gaya kepemimpinan memberikan kontribusi pengaruh sebesar 40,4% terhadap variabel prestasi kerja pegawai. Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel bebas terhadap variabel terikat Y dapat dilihat pada hasil t ratio. Interpretasi Pengujian Hipotesis Kedua Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan tersebut, maka interpretasi hasil pengujian hipotesis kedua diketahui koefisien regresi partial sebesar 0,337 yang menunjukkan bahwa variabel motivasi pimpinan memberikan kontribusi pengaruh sebesar 33,7% terhadap variabel prestasi kerja pegawai. 102
Pengaruh Motivasi Pimpinan Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen Dari hasil analisis yang telah dikemukan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas thitung lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,018 < 0,05). Hal ini berarti seseorang yang termotivasi tinggi, dia dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab akan melakukan tugas yang diembannya dengan lebih baik, dan berusaha lebih keras memperbaiki kualitas kinerjanya, dengan mencari metode kerja baru yang lebih mudah diterima oleh pegawai.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi dan Komunikasi Secara Bersama-Sama Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen Tujuan keempat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Dari hasil analisis yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen, yang ditunjukkan dengan signifikansi Fhitung adalah sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05 (SigFhitung = 0,000 < α = 0,05). Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan motivasi pimpinan bukanlah merupakan satu-satunya cara meningkatkan prestasi kerja pegawai, tetapi ada komunikasi. Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai tidak lepas dari komunikasi dengan sesama rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Komunikasi yang baik dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan kinerja pegawai. Melalui komunikasi, pegawai dapat meminta petunjuk kepada atasan mengenai pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi juga pegawai dapat saling bekerja sama satu sama lain.
Pengaruh Komunikasi Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Dari hasil analisis yang telah dikemukan di atas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas thitung lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,037 < 0,05). Melalui komunikasi yang efektif dalam kantor, pihak pimpinan dapat mengetahui saran, tanggapan terhadap kebutuhan pegawai sehingga dapat mengambil suatu kebijaksanaan untuk mencapai tujuan kantor. Sedangkan pihak pegawai dapat memahami pekerjaan mereka dengan baik, dapat melakukan koordinasi dengan atasan dan rekan kerja sehingga tercipta rasa keterikatan dan loyalitas pegawai terhadap kantor.
PENUTUP Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang 103
signifikan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Keempat, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, Hendaknya pimpinan memiliki gaya kepemimpinan yang tangguh. Kedua, Hendaknya mempunyai kemampuan dalam memberikan motivasi yang tepat dan lebih banyak. Ketiga, Pimpinan perlu memperhatikan komunikasi pegawai dengan memberikan penjelasan tentang apa yang harus dilakukan pegawai, seberapa baik mereka mengerjakannya dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja jika sedang berada di bawah standar. Keempat, Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pada penelitian pengembangan dan penelitian lanjutan dengan menambahkan atau mengembangkan variabel lain atau aspekaspek lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini yang berhubungan dengan prestasi kerja pegawai.
Charter,
V.G. 1998., Dictionary of Education. Fourth edition. New York : Mc-Graw-Hill. Cherrington, D.J., 1994. Organizational Behavior The Management of Individual and Organizational Performance. Second edition. Needham Heights, Massachusetts. Dessler, G., 1986. Manajemen Personalia. (Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh Agus Dharma). Jakarta: Erlangga. Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan. Tesis Magister Administrasi. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta. Dharma, Agus., 1992. Manajemen Perilaku Organisasi; Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Erlangga. Fine, S. A. 1986. Job Analysis. Dalam R. A. Berk (Ed.), Performance Assessment. Baltimore: The John Hopkins University Press. Gusnaldi. 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan PT. KAI Madiun. Skripsi. Fakultas Ekonomi. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta. Gomes, F.C., 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Andi Offset. Hasibuan, M.S.P., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Hasan, Z. M., 1991. Jenis dan Rancangan Penelitian Kuantitatif. Malang : Pusat Penelitian IKIP. Handoko, T. Hani., 1993. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE. Halphin, F., 1991. Educational Administration. New York : Random House Inc. Purwanto, N., 2001. Administrasi dan Supervisi Pimpinan. Cet-13. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pidarta, Made., 1995. Manajemen Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
DAFTAR PUSTAKA As‟ad, M., 1995. Psikologi Industri. Yogyakarta:Liberty Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic Prinsiples of Supervision. New York : American Book Company. Arikunto, Suharsimi., 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. ___________________1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Briggs, T.H. 1991., Improving Instruction. New York : Mc. Millan Company. Black, James A. dan Dean J. Champion. 1994. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Eresco. Cahyono, B.T., 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Badan Penerbit IPWI.
104
Rifai, M., 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi keempat. Bandung : Penerbit Jemmars. Sarwono, Jonathan., 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 14. CV. Andi Offset. Sudjana, Nana., 2000. Teori-teori Pelaksanaan Tugas. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Eknomi UI. Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi Kepemimpinan dan Pemberian Motivasi Kerja Pegawai di Instansi Kesdam V Brawijaya. Tesis Magister Administrasi Publik. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta. Singodimejo, M., 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : AIMI. Siagian, S., 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta : Rineka Cipta. La Sulo, S.L., 1991. Pendekatan dan Teknik-teknik Supervisi Klinis. Cet-10. Jakarta: Departemen P dan K, Ditjen Pend. Tinggi, PPLPTK. UNISMA. 2012. Metodologi Penelitian. Malang. Maeir, N.R.F., 1965. Designing Training Programs. The Critical Evant Model : Addison Wesley Publishing Company. California London. Mataheru, F. 1995. Supervisi Kantor. Surabaya : Penerbit Usaha Nasional. Mohyi, Ach., 1996. Teori dan Perilaku Organisasi. UMM Pres. Surabaya: Rajasa. Mulyasa., 2002. Menjadi Pimpinan yang Profesional. Bandung : Remaja Rosda Karya. Nawawi, H., 1997. Administrasi Pemerintahan. Jakarta : PT. Toko Gunung Agung. Owens, R.G., 1997. Organizational Behavior In Educatio. New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Cliffs.. Wahjosumidjo., 1992. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Wiyono. 1999. Analisis Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Dinas, Upah insebtif dan Beban Kerja Terhadap Motivasi Kerja Pegawai Pemda Kabupaten Lamongan. Skripsi Administrasi Publik. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta.
105
DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN
1
Henriko Arisoy, 2Masykuri Bakri, 3Nurul Umi Ati 1 Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak Tujuan penelitian ini antara lain (1) Mendiskripsikan dampak dari faktor pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan upaya peningkatan kinerja pegawai melalui promosi jabatan pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh Pegawai yang ada di Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dank ehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Sampel pada penelitian ini ditetapkan sebanyak 20 orang Pegawai secara proporsional pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 maca jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) atau wawancara kualitatif, dokumentasi dan observasi. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Moleong (2009:324-342), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengalaman kerja dapat mempengaruhi meningkatnya Kinerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen, yang ditunjukkan dengan adanya responden yang lebih banyak memilih meningkatnya kinerja pegawai dari pengalaman kerja dan promosi jabatan dalam meningkatkan kinerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. kata kunci : pengalaman kerja, kinerja pegawai
Abstract The purpose of this study include (1) Describing the impact of factors on the performance of employee work experience Agricultural Extension Agency, Agriculture, Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. (2) To describe efforts to improve employee performance through the promotion of the Agency for Agricultural Extension, Agriculture, Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. The population used in this study are all existing employees in the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries dank ehutanan (BP4K) Waropen. The samples in this study are set as many as 20 employees in proportion to the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries and Forestry (BP4K) Waropen. In this study the researchers used two maca types of data, namely primary data and secondary data. Primary data collection in this study were in-depth interviews or 106
qualitative interviews, documentation and observation. Implementation of inspection techniques based on certain criteria. There are four criteria developed by Lincoln and Guba (1985) in Moleong (2009:324-342), the degree of confidence (credibility), transferability, dependability and certainty (confirmability). The results showed that work experience factors can affect employee performance increase in Counseling Executive Agency of Agriculture, Fisheries and Forestry (BP4K) Waropen, as indicated by the respondents are more likely to choose the improved performance of the employees and the promotion of work experience in improving the performance of employees in Education Executive Agency of Agriculture, Fisheries and Forestry Waropen. keywords: work experience, employee performance.
keteladanan.Kenyataan di atas menuntut para pejabat pemerintah, agar semakin mampu melaksankana tugas pemerintah dan pembangunan dengan sebaik-baiknya, hususnya dalam melayani, mengayomi serta menumbuhkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia atau pegawai yang kompeten. Dalam organisasi sumber daya manusia yang baik dapat dilihat dari tingkah laku setiap orang yang baik, hubungan atau kerja sama yang baik setiap anggotanya, penataan susunan organisasi secara rapi, dan prosedur kerja dalam roda organisasi, sedangkan kompetensi pegawai adalah suatu uraian keterampilan, pengetahuan dan sikap yang utama diperlukan untuk mencapai kinerja yang efektif dalam pekerjaan. Efektif mengandung pengertian bila suatu tujuan dapat dicapai dengan baik dan benar. Pembentukan dan pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas menghadapi tantangan yang cukup berat dan sarat dengan keterbatasan, khususnya dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing di pasar global. Kondisi ini menjadi semakin berat karena hingga saat ini Indonesia belum mampu keluar sepenuhnya dari krisis multi dimensi yang terjadi sejak tahun 1997 dan sangat berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan. Kualitas SDM di Indonesia belum menunjukkan hasil yang belum sesuai tuntutan jaman. Organisasi sangat berkepentingan dengan sumber daya
PENDAHULUAN Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaharuan sistem kelembagaan, dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa serta hubungan antar bangsa yang mengarah pada terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance). Berbagai pengaruh perubahan yang terjadi akibat reformasi menuntut organisasi baik organisasi swasta maupun pemerintah untuk mengadakan inovasi-inovasi guna menghadapi tuntutan perubahan dan berupaya menyusun kebijakan yang selaras dengan perubahan lingkungan. Suatu organisasi haruslah mampu menyusun kebijakan yang tepat untuk mengatasi setiap perubahan yang akan terjadi. Keberhasilan penyusunan kebijakan yang menjadi perhatian adalah Manajemen yang menyangkut pemberdayaan sumber daya manusia. Sebuah ironi apabila otonomi hanya menjadi sarang kejahatan yang sama. Dewasa ini pembangunan bidang pemerintahan khususnya dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat semakin banyak mendapat sorotan. Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat yang semakin modern, sehingga kualitas pelayanan terhadap masyarakat semakin dituntut pada peningkatan kualitas seluruh tatanan administrasi pemerintahan, termasuk peningkatan kemampuan dan disiplin, pengabdian dan 107
manusia, hal ini terlihat dari pernyataan Werther dan Davis (dalam Marwansyah dan Mukaram, 1999, h. 5): “organisasi hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui perhatian yang sungguh-sungguh kepada kebutuhan-kebutuhan para karyawan”. Agar organisasi dapat berkembang dan mampu mencapai tujuannya, maka perlu diciptakan iklim organisasi yang kondusif. Pentingnya iklim organisasi yang kondusif bagi pengembangan sumber daya manusia dinyatakan Randy et.al (2002, h. 132-133): “The climate within organization is an important factor in human resource development success. If the climate is not conducive to human resource development, designing and implementing a program will be difficult“. Berbagai program pengembangan SDM telah dicanangkan dalam rangka pembentukan SDM berkualitas dan profesional serta mampu bersaing di pasar bebas, namun sampai dengan saat ini belum tampak tanda-tanda SDM Indonesia mampu bersaing dengan SDM negara-negara lain. Dengan demikian dapat diduga dalam jangka pendek, Indonesia akan sulit bersaing pada berbagai aspek dengan negara-negara disekitarnya, karena SDM yang dimilikinya masih lemah. Untuk itu perlu dibangun SDM Indonesia secara berkesinambungan. Kinerja atau prestasi kerja pegawai terlihat dari keseriusan mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu indikasi dari keseriusan menjalankan tugas tersebut adalah kehadiran Pegawai dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kinerja (performance) menurut William (1995, h. 41) adalah suatu tampilan kerja yang diperlihatkan seseorang berupa hasil kerja dalam satu satuan waktu. Sementara Gibson Ivancevich dan Donelly (1996, h. 118) menyatakan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Cardoso Gomes (1996, h. 142) menyatakan kinerja adalah catatan hasil produksi pada fungsi pekerjaan yang spesifik atau aktivitas selama periode waktu tertentu.
Pegawai sebagai ujung tombak penyelenggara kepentingan dan aspirasi rakyat merupakan orang yang paling dekat hubungannya dengan masyarakat. Fungsi dan peran pegawai sebagai pelayan masyarakat memiliki arti yang strategis dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat. Oleh karena itu pegawai harus mampu menunjukkan prestasi kerja dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang diberikan manajer (Pimpinan), khususnya dalam melaksanakan tugas profesi pegawai yakni sebagai abdi negara yang memberikan pelayanan pada masyarakat. Selain dipengaruhi oleh faktor internal seperti latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, motivasi kerja ataupun kepuasan atas balas jasa dari pekerjaannya, kinerja atau prestasi kerja Pegawai dipengaruhi pula oleh faktor eksternal. Faktor eksternal yang diduga kuat memberikan pengaruh terhadap kinerja pegawai adalah iklim organisasi. Keberadaan pegawai di kantor tidak terlepas dari iklim organisasi tempat ia menjalankan tugasnya. Iklim organisasi dapat memberikan pengaruh positif atau negatif kepada pegawai, serta dapat pula mempengaruhi hubungan personal di kantor tersebut. Hubungan-hubungan tersebut meliputi hubungan antar pegawai, pegawai dengan pimpinan, dan yang paling mendasar adalah hubungan pegawai dengan masyarakat. Pegawai yang mempunyai pengalaman kerja yang memadai, secara positif akan mendukung kemampuannya dalam cara melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Pegawai yang berpengalaman akan merasa lebih mudah dalam menghadapi masalah-masalah dalam proses pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat. Berangkat dari asumsi penulis paparkan diatas sangat relevan dengan kondisi perkembangan pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen sehingga penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul “Dampak 108
Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen” Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut, (1) Apakah dampak dari faktor pengalaman kerja terhadap kinerja Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen? (2) Bagaimana upaya peningkatan kinerja pegawai melalui promosi jabatan pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen? Adapun tujuan penelitian ini antara lain (1) Mendiskripsikan dampak dari faktor pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan upaya peningkatan kinerja pegawai melalui promosi jabatan pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut (1) Secara konseptual, hasil penelitian diharapkan memberikan dukungan terhadap konsep dan teori yang berkaitan dengan manajemen sumber daya manusia. (2) Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen atas kinerja yang telah diraih untuk dijadikan bahan referensi dalam rangka meningkatkan kemampuan profesi dan prestasi kerja dan Institusi (Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen), khususnya Pimpinan dalam rangka menyusun dan menetapkan strategi manajemen yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan pengelolaan organisasi.
Penelitian ini dilaksanakan di BP4K Kabupaten Waropen. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen, Kepala BPP Sawara Jaya, Tokoh Masyarakat/Kepala Kampung. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 maca jenis data, yaitu (1) Data Primer dari hasil wawancara mendalam terhadap informen kunci, (2) Data sekunder adalah data pendukung yang bersumber dari pihak-pihak tertentu berhubungan dengan penelitian ini seperti data laporan penelitian dan refrensi pendukung, dokumentasi yang berkaitan dengan objek penelitian. Pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) atau wawancara kualitatif, dokumentasi dan observasi. Dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan interview bebas Metode ini digunakan untuk mengetahui keterangan atau data tentang sekitar problematika Faktor Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Dokumentasi pada penelitian ini dilakukan dengan cara pencacatan dokumen maupun data lain yang relevansi atau berkaitan dengan Faktor Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Tahap Observasi dilakukan dengan cara mendatangikantor Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen . Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Moleong (2009:324-342), yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). Data hasil penelitian tentang Faktor
METODE PENELITIAN Pendekatan yang dipakai dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif. 109
Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen sehingga peneliti mereduksi dalam beberapa bagian yang dianggap penting, terkait dengan pengalaman kerja dan kinerja pegawai. Dalam mereduksi data ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan Faktor Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Proses terakhir dalam analisis menurut Miles and Humberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.
diimbagi dengan peningkatan harga produksi pertanian”. Wawancara dengan Bapak Kepala BPP Sawara Jaya yaitu Bapak Sedar Wonatorei, SP.MM adalah sebagai berikut: “Sebagian Besar Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen adalah Pegawai yang masa kerjanya kurang dari sepuluh tahun terutama bagi Penyuluh-penyuluh pertanian, hal ini menunjukan kepada kita bahwa untuk meningkatkan produksi pertanian terutama ketahanan pangan local yang handal terutama untuk pemenuhan kebutuhan keluarga belum dapat terwujud maksimal seperti yang kita harapkan. Hal ini ditandai dengan tingginya harga pasar hasil-hasil pertanian. Berpulang dari pengalaman tersebut maka dapat dikategorikan bahwa kurangnya pemahaman dan pembekalan serta pelatihan-pelatihan bagi penyuluh untuk pengembangan dirinya akan mempengaruhi transfer informasi kepada masyarakat untuk lebih menggunakan tekhnologi pertanian tepat guna dalam rangka peningkatan produksi hasil pertanian. Diharapkan semakin banyak kegiatan penyuluhan di sector pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan produksi pertanian. Semakin banyak kegiatan tersebut dan seiring dengan masa kerja maka penyuluh lebih solid dalam meningkatkan kinerja penyuluh dalam implementasinya di masyarakat”. Lamanya masa kerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen masa kerja pegawai sangat memberikan dampak kinerja atau prestasi kerja, hal ini ditandai dengan lama masa kerja pegawai berarti semakin lama berpengalaman dan lebih profesional dalam menangani seluruh pekerjaan dengan hasil yang baik.
HASIL PENLITIAN DAN PEMBAHASAN Terhadap Kinerja Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan Dan Kehutanan (Bp4k) Kabupaten Waropen Hasil Penelitian dilakukan dengan wawancara terhadap 1). Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen yaitu (Bapak Korinus Reri SP, MM, 2). Kepala BPP Sawar Jaya yaitu Bapak Sedari N. Wonatorey,SST; dan 3). Kepala Kampung Rorisi selaku tokoh Masyarakat yaitu Bapak Maklon Wonatorei. Hasil Wawancara dengan Bapak Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen adalah sebagai berikut: “Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen pada umumnya merupakan pegawai yang memiliki pengalaman di semua sub sector pertanian yaitu pertanian, peternakan perkebunan, perikanan dan kehutanan, dengan demikian diharapkan sejak berdirinya Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen Tahun 2008 maka adanya perubahanperubahandalam peningkatan produksi pertanian yang menjadi tolok ukur bagi peningkatan kinerja pegawai, sehinggaperlahan-lahan harga pasar dapat 110
Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan Dan Kehutanan (Bp4k) Kabupaten Waropen Kinerja yang baik adalah kinerja yang mengikuti tata cara atau prosedur sesuai standar yang telah ditetapkan. Akan tetapi didalam kinerja tersebut harus memiliki beberapa kriteria agar meningkatkan produktifitas sehingga apa yang diharapkan bisa berjalan sesuai apa yang di inginkan. Untuk meningkatkan kinerja yang baik harus introspeksi diri demi tercapainya kinerja yang lebih baik kedepannya, bekerja sesuai posisi, porsi, dan jobnya masing-masing. Namun demikian hal tersebut tidaklah semudah membalikan telapak tangan tetapi mesti ada peran langsung ke ikut sertaan manajemen untuk bisa mengontrol dan memberikan teknik cara agar bagaimana bisa terjaminnya mutu dan kualitas sehingga karyawan bisa dengan mudah bekerja tanpa ada rasa terbebenani dan hubungan antara pihak manajemen dengan bawahan semakin kuat. Adapun upaya yang telah dilakuakan untuk peningkatan kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perternakan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perternakan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Hasil wawancara dengan Tokoh masyarakat/Kepala kampung Rorisi yaitu Bapak Maklon Wonatorey adalah: ”Para penyuluh yang melakukan kegiatan lapangan dikampung kami sudah cukup baik memberikan informasinya kepada masyarakat dan kami merasa bahwa masih sangat terbatas jadi mohon untuk mendapatkan kegiatan-kegiatan pertanian yang lebih banyak lagi karena hampir semua semua kegiatan belum dilaksanakan secara baik, terutama tong punya mamamama yang lebih banyak di dapur tapi juga lebih banyak di kebun. Dulu Tong punya hasil kebun sedikit skarang sudah mulai banyak”
PEMBAHASAN Menurut Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen, ( Korinus Reri, SP.MM ) yang diwawancarai pada tanggal 22 Oktober 2012; Lamanya masa kerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen masa kerja pegawai sangat mempengaruhi kinerja atau prestasi kerja, hal ini ditandai dengan lama masa kerja pegawai berarti semakin lama berpengalaman dan lebih profesional dalam menangani seluruh pekerjaan dengan hasil yang baik. Sedangkan menurut kepala Badan, faktor promosi jabatan juga sangat berpengaruh karena seorang pegawai merasa termotivasi dengan adanya jabatan baru yang dapat meningkatkan kariernya dan sekaligus menciptakan suasana kerja yang lebih baik terutama pelayanan kepada masyarakat. Hasil wawancara dengan kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Sawara Jaya dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) menunjukan bahwa adanya peningkatan kinerja penyuluh pertanian yang signifikan. Wawancara dengan kepala Kampung Rorisi menunjukan bahwa adanya peningkatan produksi pertanian di kampong hal ini menunjukan bahwa adanya peningkatan peran penyuluh dalam nebtransfer informasi teknologi pertanian tepat guna. PENUTUP Berdasarkan pembahasan yang ada, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai karena semakin tinggi tingkat pendidikan pegawai dan semakin banyak pengalaman kerjanya maka semakin tinggi pula prestasi kerja pegawainya. Pengalaman kerja yang dimiliki oleh seseorang pegawai menjadi penentu pencapaian hasil kerja yang akan diraih oleh pegawai. Pengalaman kerja yang cukup, dalam arti waktu yang telah di lalui oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya akan mendukung pencapaian prestasi kerja yang maksimal sebagai tujuan yang akan di raih dari 111
kinerja Pegawai di Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Kedua, adapun upaya yang telah dilakuakan untuk peningkatan kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perternakan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Perternakan Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Dengan adanya penyuluhan dapat membantu meningkatkan kinerja Pegawai di Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang dikemukakan di atas, maka saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah Peningkatan kinerja Pegawai di masa yang akan datang perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas iklim organisasi yang berkaitan dengan iklim pemberian tugas insidental, penciptaan keterbukaan relasi antar fungsi, pemberian kesempatan Pegawai untuk berlatih dan mengembangkan potensi diri, konsistensi penerapan reward dan punishment, iklim organisasi yang dapat memupuk semangat kerja, kreasi, dan inovasi Pegawai dalam melaksanakan tugas, meminimalisasi jarak sosial antar fungsi yang ada pada tempat kerja, dan perhatian Pimpinan.
Lembaga Penelitian Unisma. Visipress Media. Connoly, Peter. (ed). 2009. Approaches to The Study of Realigion; Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: Lkis Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an dan Terjemahan. Surabaya: Penerbit Mekar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBDI). Jakarta: Balai Pustaka. Ekopriyono. 2005. The Spirit of Pluralism: Menggali Nilai-nilai Kehidupan Mencapai Kearifan. Jakarta: Penerbit. PT Elex Media Komputindo Gramedia. Hamim, Thohah (Eds). 2007. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Sosial. (LSAS) IAIN Sunan Ampel prees dan IKIS. Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama. Bandung: Remajarosdakarya Kamisa. 1994. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Kartika. Koencoroningrat. 1990. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Bumi Aksara. Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan pendidikan Agama di Sekolah. Bandung: Remaja Roesdakarya. Muhaimin. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Muhammad, Nur. Abubakar. 2009. Merajut Damai Maluku Utara; Telaah Konstruktif Konflik Malifut 19992000. Ternate: UMMU Press. Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu Pendidikan; Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mujtahid, Ali.& Nur, Zainuddin. 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer. Malang: Tim Pakar Fakultas Tarbiyah UIN Malang Ikapi.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, Muzayyim. H. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Edisi Revisi.bumi Aksara Adtwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Msyarakat. Jakarta: Depdikbud. Jederal Pendidikan Tinggi. Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Ahmadi, Abu. H. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan 2007. Jakarta: Rineka Cipta. Bakri, Masykuri. (Ed.). 2009. Metode penelitian Kualitatif. Tinjauan Teoritis dan Praktis. Malang: 112
Moh, Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia Moleong, Lexy.J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; Edisi Revisi Ikapi. Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen Pendidikan Islam; Strategi baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam. Surabaya: Erlangga. Rokib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: Lkis Sadulloh. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta Suharsimi, Arikuto. 2006. Prosedur penelitian, satu pendekatan prkatik. Jakarta: Edisi revisi VI. Rineka cipta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suprayogo, Imam. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: Rosdakarya. Thalib, B. Syamsul. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana. Tirtarahardjo, Umar. Sulo, La, L. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Edisi Revisi. PT. Adi Mohasatia Ikapi. Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2006. Reorientasi Pendidikan Islam; Menuju Pengembangan Insan Kamil. UM. Malang: penerbit Hilal Pustaka. Tomagola, A. Tamrin, 2006. Republik Kapling. Yogyakarta: Naili printika Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tentang Guru dan Dosen. 2006. Surabaya: Penerbit PGRI Kota Surabaya Undang-Undang sistim pendidikan nasional 2003 (Online), (http://www.google.co.id/search ?client=firefox- filetype & btn G = Penelusuran Google, diakses 21 Agustus 2011). Undang-Undang RI tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003, (Online), (http://www.
google.co.id/search filetype & btn G= Penelusuran Google), diakses 21 Agustus 2011). (Online),(http://organisasi.org/pengerti an-sejarah-dan-pokok-isi-kandungan-alquran-pengetahuan-agama-islam, akses, 19 september 2011). (Online), (http://www.almanhaj.or.id/content/1715/sl ash/0,akses, 19 septemer 2011) (Online), (http://www. anneahira. com/pengertian-ijtihad. htm, akses, 19 september 2011).
113
STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN WAROPEN
1
1
Hilal Askar, 2M. Bashori Muchsin, 3Nurul Umi Ati Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik Program Pascasarjana Universitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini tidak dilakukan penarikan sampel, karena peneliti hanya meneliti anggota DPRD Kabupaten Waropen yang berjumlah 35 orang anggota. Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu Data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penyebaran angket/kuesioner. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes parametrik (uji asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji normalitas 2) uji homogenitas, dan 3) uji multikolinieritas. Hasil dari penelitian ini adalah (1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α = 0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara Bersama-sama terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05. kata kunci: pengaruh, supervisi, motivasi, dan kinerja Abstract The purpose of this study is (1) To determine whether a significant difference between the partial supervision of the Chairman of the Members of Parliament Waropen performance. (2) To determine whether a significant difference between the partial motivation of the Chairman of the Board of Members of Parliament Waropen performance. (3) To determine whether a significant difference between the simultaneous and Motivation Chairman of the Supervisory Board Chairman of the Members of Parliament Waropen performance. In this study using a quantitative approach. In this study sampling was not done, because the researchers only examined legislators Waropen totaling 35 members. The data used in this study there are two, namely primary data and secondary data. Data collection techniques in this study is through distributing questionnaires / questionnaires. Analysis of the data used in this study is a parametric test (test assumptions Classic) which includes: 1) test for normality 2) homogeneity test, and 3) test multicollinearity. The results of this study were (1) There is a 114
significant relationship between the Chairman of the Supervisory Council Member Waropen performance as indicated by the probability t of 0.021 which is smaller than α = 0.05. (2) There is a significant relationship between motivation Chairman of the Board of Members of Parliament Waropen performance as indicated by the probability t of 0.006 which is smaller than α = 0.05. (3) There is a significant relationship between motivation and the Chairman of the Supervisory Board Chairman of the Collaborative legislators Waropen performance as indicated by the probability of the F value of 0.014 is less than α = 0.05. keywords: effects, supervision, motivation, and performance
sangat tergantung dengan proses dan sasarannya. Perkataan supervisi berasal dari Bahasa Inggris, yaitu “supervision”, yang terdiri dari dua perkataan”super” dan ”vision”. Super berarti atas, sedangkan vision berarti melihat. Oleh karena itu, secara etimologis supervisi (supervision) berarti melihat dari atas dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan (orang yang memiliki kelebihan) terhadap perwujudan kegiatan dan hasil kerja bawahan (Nawawi : 1997). Kekurangan atau kesalahan yang ditemukan dalam kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan untuk membina dan memberitahukan bagaimana seharusnya serta bagaimana pula meningkatkannya. Dengan demikian, kegiatan pengawasan dalam arti inspeksi berbeda dengan supervisi. Pengertian supervisi diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan personil atau anggota DPRD yang erat kaitannya dengan pendayagunaan sumber daya manusia. Fokus supervisi itu antara lain meliputi administrasi, acuan kinerja dewan, kerjasama antar manusia, manajemen dan kepemimpinan. Maka dapat dikatakan, bahwa supervisi merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anggota DPRD agar mereka dapat meningkatkan kemampuan mengembangkan situasi kinerja dengan lebih baik. Motivasi merupakan hal yang sederhana akan tetapi rumit. Hal ini dikarenakan seseorang pada dasarnya termotivasi atau terdorong untuk berperilaku dalam cara tertentu yang dirasakan mengarah pada ganjaran. Dalam suatu instansi, lembaga, organisasi atau perusahaan, motivasi selalu menjadi bagian
PENDAHULUAN Sebagai badan legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai peran yang penting selaku pemegang kekuasaan membentuk undangundang daerah. Untuk itu penyelenggaraan tugas legislasi di kantor dewan harus didukung oleh sumber daya manusia berkualitas yang memiliki dedikasi tinggi, kreatif, inovatif yang dapat meningkatan kesejahteraan rakyat. Di badan legislatif Anggota DPRD merupakan salah satu komponen kerja yang berpengaruh terhadap keberhasilan tugas legislasi. Anggota DPRD mutlak dituntut memiliki kemampuan yang tinggi, dan didukung oleh sikap mental yang baik sehingga tugas legislasi yang sangat mulia dapat dicapai. Sikap mental yang baik dapat dilihat dari kinerja anggota DPRD dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, memegang teguh dan mengamalkan nilainilai Pancasila. Salah satu upaya meningkatkan kinerja, anggota DPRD juga dapat dilakukan dengan kegiatan supervisi oleh Ketua Fraksi. Supervisi merupakan setiap layanan kepada anggota DPRD yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan kinerja anggota DPRD. Adams dan Dickey (1990) menambahkan bahwa supervisi adalah suatu program yang berencana untuk memperbaiki kinerja. Program itu dapat berhasil bila supervisor memiliki keterampilan (skill) dan kemampuan dalam memberikan kegiatan supervisi dan memberikan evaluasi kinerja. Pengertian supervisi sangat beragam, sama halnya dengan istilah ”pengawasan”, ”pemeriksaan”, ”monitoring”, dan ”supervisi”. Hal ini 115
yang mendapat perhatian dari para pimpinan atau manajer. Karena motivasi berhubungan erat dengan keberhasilan seseorang atau organisasi dalam mencapai tujuannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang mengatakan bahwa ”kinerja seseorang merupakan fungsi perkalian antara kemampuan (ability) dan motivasi”. Dengan kata lain, apabila salah satu saja dari dua komponen (antara ability atau motivasi) rendah, maka kinerjanya juga akan rendah. Mengingat motivasi mempunyai peran penting dalam meningkatkan performan atau kinerja seseorang, oleh sebab itu perlu adanya upaya-upaya pembinaan motivasi. Dengan adanya kepedulian Ketua Dewan melalui pemberian motivasi terhadap anggota DPRD, maka mereka (anggota DPRD) merasa diperhatikan dan diberi dukungan dalam melaksanakan dan penyelesaian tugas yang diembannya sebagai Anggota DPRD. Berdasarkan alur pemikiran, maka masalah yang dipecahkan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut (1) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen? (2) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen? (3) Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen? Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah (1) Bagi Ketua Fraksi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dalam menetapkan model kegiatan supervisi yang tepat sesuai dengan karakteristik yang dimiliki masingmasing anggota DPRD, serta untuk menciptakan suasana kinerja yang kondusif sehingga anggota DPRD terpanggil untuk memberikan kinerja yang lebih baik. (2) Bagi Ketua Partai Politik, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pertimbangan sekaligus masukan menyangkut peningkatan kinerja anggota DPRD dari Partai Politik yang bersangkutan, khususnya yang ditempuh melalui cara pemberian motivasi yang tepat dan berhasil guna, sehingga dapat membantu anggota DPRD dalam melaksanakan tugas. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini tidak dilakukan penarikan sampel, karena peneliti hanya meneliti anggota DPRD Kabupaten Waropen yang berjumlah 35 orang anggota. Mengingat jumlah sampel yang sedikit, sehingga penelitian ini disebut sebagai studi populasi atau studi sensus. Sesuai dengan hipotesis yang telah dirumuskan, maka variabel-variabel dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut Variabel Bebas (X) yaitu Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi Ketua Dewan (X2) dan Variabel Terikat (Y) yaitu kinerja anggota DPRD. Data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 yaitu (1) Data primer, yaitu data yang langsung dikumpulkan dari obyek yang diteliti secara langsung dari lokasi penelitian dengan menyebarkan angket atau kuesioner kepada para anggota DPRD Kabupaten Waropen. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui penyebaran angket/kuesioner. Validitas instrumen penelitian adalah suatu hasil penilaian yang menggambarkan bahwa suatu instrumen benar-benar mampu mengukur variabelvariabel yang akan diukur di dalam 116
penelitian yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, uji validitas instrumen yang digunakan adalah uji validitas konstruk. Pengujian dilakukan dengan mengkorelasikan semua butir item dengan total skor pada masing-masing variabel, di mana perhitungan dengan bantuan komputer program SPSS 14. “Jika koefisien korelasi menunjukkan angka > 0,3, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut adalah valid”(Uma Sekaran, 1992:61). Uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji reliabilitas konsistensi item-item, yaitu konsistensi dari jawaban responden pada item dalam suatu ukuran koefisien Alpha Cronbach (Uma Sekaran, 1992:120). Di mana pengujian dilakukan dengan cara seperti pada pengujian validitas dengan rumus product moment tersebut. Jika koefisien Alpha menunjukkan > 0,6, maka dapat dikatakan bahwa item-item dalam kuesioner tersebut adalah reliabel (Maholtra, 1996: 89). Untuk menguji validitas dan reliabilitas variabel penelitian digunakan bantuan program SPSS 14.0. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes parametrik (uji asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji normalitas dengan menggunakan uji test of goodness of fit, 2) uji homogenitas dengan menggunakan test of Homogeneity of Varians, dan 3) uji multikolinieritas dengan menghitung nilai VIF (Variance Inflating Factor). Teknik analisis regresi berganda. Analisis ini berusaha melihat besarnya pengaruh dua atau lebih variabel bebas terhadap suatu variabel tergantung. Besarnya pengaruh tersebut ditunjukkan oleh Koefisien Regresi (b). Pertama digunakan persamaan garis regresi. Selanjutnya penghitungan koefisien regresi diperoleh melalui pengolahan komputer dengan program SPSS Rel.14.0.
data dapat dilihat bahwa variabel Supervisi Ketua Fraksi (X1) mempunyai nilai chi square (χ²) hitung sebesar 9,571 yang nilainya lebih kecil dari chi square (χ²) tabel pada df 7 sebesar 14,017 (9,571 < 14,017), kemudian variabel Motivasi Ketua Dewan (X2) mempunyai nilai chi square (χ²) hitung sebesar 7,650, yang nilainya lebih kecil dari chi square (χ²) tabel pada df 6 sebesar 12,592 (7,650 < 12,592). Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD (Y) mempunyai nilai chi square (χ²) hitung sebesar 11,952 yang nilainya lebih kecil dari chi square (χ²) tabel pada df 11 sebesar 19,675 (11,952 < 19,675). Hal ini menunjukkan bahwa data pada masingmasing variabel di atas telah terdistribusi secara normal. Uji homogenitas dilakukan untuk mendapatkan sampel yang sama (homogen), sehingga sampel yang ditarik dari populasi adalah sampel yang representatif. Berikut disajikan hasil pengujian homogenitas variabel bahwa nilai probabilitas chi square (χ²) hitung untuk variabel Supervisi Ketua Fraksi (X1) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,087, variabel motivasi Ketua Dewan (X2) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,162. Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD (Y) mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,234, dimana masing-masing variabel mempunyai nilai probabilitas chi square (χ²) hitung yang lebih besar dari taraf signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat diartikan bahwa data pada keempat variabel penelitian tersebut memiliki varian populasi yang relatif sama. Agar dalam model regresi yang dihasilkan tidak terjadi penyimpangan, dalam arti menghindari adanya hubungan linier yang sempurna di antara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi maka uji multikolieritas perlu dilakukan. Berikut disajikan hasil pengujian multikolinieritas yang dapat diketahui bahwa nilai VIF dari masing-masing variabel bebas lebih kecil dari 5 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat multikolinieritas pada model yang digunakan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini telah berdistribusi secara normal atau belum. Adapun hasil pengujian normalitas 117
Berikut disajikan rekapitulasi perhitungan analisis regresi berganda melalui bantuan program SPSS 14.0 yang
M odel
1 599a
Tabel 1 Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis Change Statistic R R Adjusted Std. R F d squared R Error of Squared Change f1 f2 squared the Change Estimate . . . 5 . 3 3 477 442 .254 477 .052 1
Model 1
digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat sebagai berikut:
(Constant) Supervisi Ketua Fraksi
Undstandardized Coefficients B Std. Error 4 14.7 0.667 24
(X1) Motivasi Ketua Dewan
.408
.243
Standardized Coefficients Beta .216 .214
.492 .184
(X2) .374
.231
.127
Sig. d F Change
3 014
t Sig 3 001 3 021 3 006
.
. . .
Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0 Dari hasil analisis dapat ditarik garis persamaan regresi sebagai berikut : Yˆ = 40,667 + 0,408 X1 + 0,374 X2 Garis persamaan regresi tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut : bahwa tanpa adanya variabel bebas Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi Ketua Dewan (X2), besarnya kinerja anggota DPRD (Y) adalah sebesar 40,667. Hal ini menunjukkan tanpa dipengaruhi oleh kedua variabel bebas di atas besarnya kinerja anggota DPRD adalah sebesar 40,667. Sedangkan interprestasi nilai 0,408 menunjukkan besarnya koefisien regresi untuk variabel X1, dimana setiap kenaikan 1% dari Supervisi Ketua Fraksi (X1) akan meningkatkan kinerja anggota DPRD sebesar 40,8%. Interpretasi nilai 0,374 menunjukkan besarnya koefisien regresi untuk variabel X2, dimana setiap kenaikan 1% dari motivasi Ketua Dewan akan meningkatkan kinerja anggota DPRD sebesar 37,4%.
Analisis Pengujian Hipotesis Pertama Scara statistik, hipotesis pertama dalam penelitian ini berbunyi sebagai berikut : Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Ho : py1 = 0 : Tidak Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Hasil analisis seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas menunjukkan probabilitas thitung untuk variabel supervisi Ketua Fraksi (X1) adalah sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima (p = 0,021 < α = 0,05), sehingga diambil 118
keputusan statistik yaitu terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Dengan demikian hipotesis pertama dalam penelitian ini yang berbunyi diduga ada pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen adalah terbukti.
sama terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara bersama-sama terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Dari hasil pengujian analisis seperti yang dapat dilihat pada tabel 4.4 di atas dapat dilihat probabilitas Fhitung sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima (p=0,014< α=0,05). Sehingga keputusan statistik yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Dengan demikian hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa, diduga ada pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara Bersama-sama terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen adalah terbukti. Sedangkan dari perhitungan analisis regresi di atas dapat dilihat koefisien korelasi determinan (R) menunjukkan angka sebesar 0,599, hal ini menunjukkan adanya korelasi atau hubungan yang cukup antara variabel supervisi Ketua Fraksi (X1) dan motivasi Ketua Dewan (X2) dengan variabel terikat kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen.. Sedangkan hasil koefisien determinasi R2 (R square) menunjukkan angka sebesar 0,477 yang diinterpretasikan bahwa kinerja anggota DPRD dipengaruhi oleh variabel bebas supervisi Ketua Fraksi dan motivasi Ketua Dewan sebesar 47,7%, sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian ini.
Analisis Pengujian Hipotesis Kedua Secara statistik, hipotesis kedua dapat dijelaskan sebagai berikut : Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Ho : py2 = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Hasil analisis seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas menunjukkan probabilitas thitung untuk variabel Motivasi Ketua Dewan sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini menunjukkan hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima (p = 0,006 < α = 0,05), sehingga keputusan statistik yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Dengan demikian hipotesis kedua dalam penelitian ini yang berbunyi diduga ada pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen adalah terbukti. Analisis Pengujian Hipotesis Ketiga Secara statistik, hipotesis ketiga dapat dijelaskan sebagai berikut: Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara bersama119
mengusahakan agar kegiatan benar-benar sesuai dengan rencana yang tertuju pada pencapaian hasil yang telah ditentukan. Sehingga peran supervisi pengawas dalam memberikan layanan supervisi pada anggota DPRD bukan hanya sekedar berfungsi kontrol untuk melihat apakah segala kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau program yang telah digariskan, tetapi kegiatan supervisi mencakup penentuan kondisi-kondisi atau syarat-syarat personil maupun material yang diperlukan untuk terciptanya situasi kerja yang efektif, yang dapat membantu meningkatkan kemampuan anggota DPRD dalam melaksanakan tugas, dan berpengaruh pada peningkatan kinerja anggota DPRD.
PEMBAHASAN Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen Dari hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara supervisi Ketua Fraksi terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen. Supervisi merupakan setiap layanan kepada anggota DPRD yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, kinerja dan profesionalisme kinerja. Adams dan Dickey (1990) menambahkan bahwa supervisi adalah program yang berencana untuk memperbaiki kinerja. Program itu dapat berhasil bila supervisor memiliki keterampilan (skill) dan kemampuan dalam memberikan layanan supervisi dan memberikan evaluasi kerja. Supervisi dapat dilaksanakan oleh Ketua Fraksi yang berperan sebagai supervisor yang lebih independent. Supervisi yang dilakukan Ketua Fraksi dipandang lebih independent, dan dapat meningkatkan objektivitas dalam melakukan pembinaan dan pelaksanaan tugasnya. Pengawasan dan pengendalian ini merupakan kontrol agar kegiatan kerja di kantor DPRD terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar para anggota DPRD tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya. Kegiatan supervisi yang sering pula disebut dengan istilah inspeksi, yang bertujuan mencari kekurangan, kelemahan atau kesalahan rencana yang ditetapkan atau orang-orang dalam melakukan tugasnya. Dimana kekurangan atau kesalahan yang ditemukan dalam kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan untuk membina dan memberitahukan bagaimana seharusnya, serta bagaimana pula meningkatkannya. Supervisi mempunyai arti luas, tidak hanya dalam arti melihat atau memperhatikan apa yang terjadi dan bagaimana terjadinya, tetapi juga mengandung arti mengendalikan, yaitu
Pengaruh Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen Dari hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen, dan hasil penelitian ini relevan dengan kajian teoritis, seperti yang telah dikemukakan pada Bab II, bahwa motivasi merupakan hal penting yang ada di dalam diri manusia sebagai penggerak untuk berperilaku. Kesediaan bekerja atas dasar motivasi ditunjukkan dengan aktifitas yang terus-menerus dan berorientasikan tujuan, karena seseorang yang mempunyai motivasi yang tinggi, akan memiliki semangat kinerja yang tinggi pula. Karena itu, motivasi dan kinerja anggota DPRD memiliki pengaruh yang sangat erat. Hal ini sesuai dengan pendapat Armstrong (1993) yang menyatakan bahwa “meningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan kinerja yang lebih baik dan perbaikan kinerja akan menimbulkan motivasi”. Hal ini berarti seseorang yang termotivasi tinggi, dia dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab akan melakukan tugas yang diembannya dengan lebih baik, dan berusaha lebih keras memperbaiki kualitas kinerjanya. 120
Untuk itu pemberian motivasi dari Pimpinan Dewan perlu diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dimana menurut Teori Herzberg bahwa faktor-faktor pemenuhan kebutuhan tersebut akan menyebabkan kepuasan anggota dewan dalam bekerja. Faktor-faktor yang menjadi sumber kepuasan kerja meliputi: (1) pengakuan (recognition), maksudnya bahwa anggota DPRD dalam bekerja perlu mendapat pengakuan (diberi penghargaan, dipuji, dimanusiakan) oleh pihak perusahaan atau manajer; (2) tanggungjawab (responsibility), maksudnya bahwa anggota DPRD disamping melaksanakan pekerjaan, ia juga harus bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang dilaksanakannya; (3) prestasi (achievement), maksudnya bahwa anggota dewan dalam bekerja diberi kesempatan untuk mencapai hasil yang baik (banyak, berkualitas) atau berprestasi; (4) pertumbuhan dan pengembangan (growth and development), maksudnya bahwa dalam pekerjaan itu harus ada kesempatan untuk tumbuh dan berkembang; (5) pekerjaan itu sendiri (job it self), maksudnya bahwa pekerjaan yang dilaksanakan itu memang sesuai dan menyenangkan bagi anggota DPRD. Kelima faktor tersebut diatas terdapat dalam pekerjaan, dan merupakan faktor instrinsik (intrinsic factors), sebagai kandungan pekerjaan (job content). Jika faktor-faktor tersebut dinilai baik oleh anggota DPRD maka akan menimbulkan rasa puas, dan ada motivasi untuk bekerja secara produktif. Sebaliknya, jika anggota DPRD menilai buruk faktor-faktor tersebut, maka pada anggota DPRD tidak ada kepuasan kerja. Faktor-faktor ini disebut faktor-faktor motivasi atau motivators, atau faktor-faktor satisfiers (yang membuat kepuasan, pemuas). Sedangkan faktor-faktor yang membuat ketidakpuasan kerja (dan tidak ada). Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan memberikan motivasi Ketua Dewan berpengaruh positif terhadap kinerja anggota DPRD, sehingga agar kinerja anggota DPRD dapat ditingkatkan maka Ketua Dewan hendaknya berupaya
memberikan motivasi kepada para anggota DPRD dengan cara-cara yang baik dan teknik-teknik yang sesuai. Dengan demikian hasil penelitian ini telah mendukung kajian teori yang telah dilakukan. Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan Terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen Dari hasil pengujian hipotesis penelitian diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara Bersama-sama terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen. Kinerja anggota DPRD akan baik apabila didukung oleh Ketua Fraksi dan Ketua Dewan yang mempunyai kompetensi dan kinerja yang tinggi, karena Ketua Dewan merupakan ujung tombak dan perencana terdepan lembaga legislasi. Ketua Fraksi dan Ketua Dewan yang mempunyai kinerja yang baik akan mampu menumbuhkan semangat dan motivasi kerja yang lebih baik terhadap anggota DPRD, yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas kinerja anggota DPRD yang dibina dan dipimpinnya. Oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan kinerja anggota DPRD melalui program pembinaan kemampuan baik supervisi yang diberikan oleh Ketua Fraksi maupun motivasi dari Ketua Dewan, yang kesemuanya sama-sama bertujuan untuk memperbaiki kualitas kinerja anggota DPRD. Apabila anggota DPRD mempunyai kinerja yang baik, secara otomatis upaya untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi kerja akan tercapai, sehingga tujuan lembaga DPRD dapat dicapai secara maksimal. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut (1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung 121
sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α = 0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara Bersama-sama terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05. Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Bagi Ketua Fraksi Menciptakan suasana yang hangat dan tidak kaku pada saat melakukan kegiatan supervisi serta memberikan dorongan semangat pada anggota DPRD untuk mengikuti programprogram supervisi dengan baik. (2) Bagi Ketua Dewan Hendaknya memberikan motivasi yang tepat dan lebih banyak diarahkan pada upaya peningkatan kemampuan anggota DPRD yang erat kaitannya dengan pendayagunaan sumber daya manusia serta pemenuhan kebutuhan anggota DPRD. (3) Bagi Peneliti Lain Diharapkan bagi peneliti lain untuk mengembangkan hasil penelitian ini dengan mengadakan penelitian lain yang berkaitan dengan kinerja anggota DPRD dengan menambah variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Administrasi Publik. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta. Gomes, F.C. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta:Andi Offset. Hasibuan, M.S.P. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Lasulo. 1991. The Critical Evant Model : Addison Wesley Publishing Company. California London. Maholtra, N.K. 1996. Marketing Research: An Applied Orientation. New Jersey: Prentice Hall International Inc., second edition. Mardapi, D. 1996. Penilaian Unjuk Kerja sebagai Usaha untuk Meningkatkan Kemampuan Sumber Daya Manusia. Pidato Dies disampaikan pada Upacara Dies Natalis XXXII, IKIP Yogyakarta. IKIP Yogyakarta. Margono. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Mulyasa, E., 2004. Manajemen Berbasis sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mohyi, Ach. 1996. Teori dan Perilaku Organisasi. UMM Pres. Rajasa. Surabaya. Nawawi, H. 2003. Administrasi Pendidikan. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Neagly and Evans. 1990 Purwanto, N. 2004. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Cet-13. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rifai, M. 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi keempat. Bandung : Penerbit Jemmars. Rusli, R.S. 1988. Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan. Jakarta: PPLPTK. Sevilla (1993) An Introduction to Research Method, Philipines : Rex Printing Company Inc Sekaran, U. 1992. Research Methods for Business : A Skill Building
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1998. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic Prinsiples of Supervision. 17th Edition. New York: American Book Company. Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia. Alih Bahasa Agus Dharma. Erlangga. Jakarta. Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Lamongan. Tesis Magister 122
Approach. New York: John Willey and Sons Inc, Second Edition. Singodimejo, M. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : AIMI. Soeprihanto, J. 2000. Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan. Yogyakarta: BPFE-UGM. Schuler, R.S. 1987. Personal and Human Resources Management. St. Paul, New York, Los Angeles, and San Fransisco. Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi Kepemimpinan dan Pemberian Motivasi Kerja terhadap Kinerja Anggota DPRD Kota Surabaya. Tesis Magister Administrasi Publik. PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta. Wahjosumidjo. 1992. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
123
PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN
1
Johanis Wattimury, 2M. Bashori Muchsin, 3Slamet Muchsin 1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi 2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Islam Malang Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak Secara Operasional tujuan dan maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut (1) Untuk mengetahui hubungan motivasi pimpinan dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2) Untuk mengetahui hubungan antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui manakah diantara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai yang paling erat hubungannya dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM yang berkualitas sangat diharapkan dalam upaya memberikan mutu pelayanan yang baik kepada masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian yang dipilih peneliti untuk mengadakakan suatu penelitian terletak di Dinas Pertanian Waropen. Oleh sebab itu populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 35 pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen. Sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi–asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Pengujian persyaratan statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat tes parametrik yaitu uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolinieritas. Sesuai dengan perumusan dan tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, sebagai berikut (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,029 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan peningkatan komitmen kerja pegawai yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). kata kunci: motivasi, kualitas kinerja, dan peningkatan komitmen Abstract In Operational objectives and intent of this study can be described as follows (1) To determine the relationship of motivation led to an increase in employee commitment in the Department of Agriculture Waropen (2 To determine the relationship between the quality of employee performance by increasing employee commitment in the Department of Agriculture Waropen (3) to determine which of the motivation of the leadership and the quality of employee performance most closely related to an increase in employee commitment in the Department of Agriculture Waropen need for qualified human resources is expected in an effort to provide good quality service to the community. The approach used in this study is a 124
quantitative approach. The selected study site investigator for a research mengadakakan located in the Department of Agriculture Waropen. Therefore, the population used in this study were 35 employees in the Department of Agriculture Waropen. Before choosing the appropriate statistical analysis techniques to test the hypothesis, the assumptions underlying the use of statistical techniques to be proved first. Testing requirements performed by using the statistical parametric test normality test, homogeneity test and multicollinearity tes. In accordance with the formulation and goals of this study , based on data analysis that has been carried out, as follows: (1) There is a significant relationship between motivation and leadership to employee commitment, as indicated by the probability t of 0.038 which is smaller than α = 0.05 (р). (2) There is a significant relationship between the quality of employee performance by increasing employee commitment , as indicated by the probability t of 0.029 which is smaller than α = 0.05 (р) . (3) There is a significant relationship between motivation employee performance management and quality together with increased employee commitment shown by the probability of the F value of 0.000 is less than α = 0.05 (р). keywords : motivation, quality performance, and increasing commitment
peningkatan prestasi kerja bagi organisasi menempati posisi tenang dan strategis. Modal dan teknologi yang dimiliki akan menjadi lebih efektif, jika ditangani oleh orang-orang yang berkemampuan memadai dan yang lebih lagi mempunyai prestasi kerja yang tinggi. Agar organisasi berhasil dalam mencapai tujuannya, selain faktor prestasi kerja yang tinggi, diperlukan pula pemimpin dan para pegawai yang cukup terampil dan mentaati semua peraturan serta mampu dalam melaksanakan tugastugasnya dengan baik. Prestasi kerja pegawai dipengaruhi oleh faktor -faktor antara lain: kepemimpinan, komitmen, motivasi, komunikasi, lingkungan kerja, tingkat pendidikan, dan lain-lain. Peran kepemimpinan tidak hanya tentang arah suatu organisasi yang kuat di mana permasalahan dan solusi banyak diketahui, tetapi keteladanan pemimpin mengambil bagian dalam suatu konteks perubahan, dalam perubahan yang terus menerus dan tidak menentu tersebut (Alison dan Hartley, 2000: 83). Hal ini membutuhkan suatu pendekatan yang tidak hanya tentang ”implementasi” kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya tetapi undang-undang yang mengatur (Weick, 1995: 46) dalam (Allison dan Hartley, 2000: 87). Inovasi tidak dapat ditetapkan sebelumnya dan oleh karena itu peran kepemimpinan adalah untuk memberikan
PENDAHULUAN Belakangan ini telah terjadi perubahan yang cukup fundamental dalam mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Perubahan tersebut terutama terkait dengan dilaksanakannya otonomi daerah sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undangundang itu mensyaratkan ada otonomi yang memberikan desentralisasi kewenangan yang lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Konsekuensi logis terjadinya pelimpahan wewenang adalah dalam hal penataan perangkat organisasi yang berubah baik dalam struktur maupun pola manajemen birokrasinya. Sebab bagaimanapun juga perangkat aturan dan hukum yang ditetapkan dalam rangka mengatur pemerintahan, efektivitasnya akan sangat ditentukan dalam implementasinya. Perkembangan pemerintah sebagai organisasi moderen yang pada hakekatnya merupakan organisasi pelayanan masyarakat, efektivitasnya tergantung kepada sistem administrasi dan pola manajemen yang diterapkan (Kaspinor, 2004:75). Manajemen sumber daya manusia pada organisasi harus dilakukan dengan sasaran utama untuk meningkatkan kepuasan kerja. Dengan kepuasan kerja yang tinggi, diharapkan produktivitas 125
suatu kerangka dalam mengamati, memelihara, membagi, menggambarkan dan juga mengimplementasikan. Akhirnya hasil tersebut menunjukan bahwa peran pemimpin (supervisor) berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Ada banyak definisi mengenai kepemimpinan, tergantung dari perspektif mana yang digunakan. Ada beberapa definisi kepemimpinan, “kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu-individu lainnya dalam suatu kelompok” (Nasution, 2001: 149). Dengan kata lain selain keteladanan kepemimpinan, motivasi juga menjadi salah satu prediktor bagi kepuasan kerja dan kinerja pegawai. Menurut House et al (1993: 193) menyatakan bahwa “30% dari waktu para pimpinan digunakan untuk mengurusi masalah lingkungan manusia (pegawai). Pendekatan yang digunakan dalam memberikan motivasi pada pegawai perlu memperhatikan karesteristik pegawai yang bersangkutan”. Studi yang dilakukan oleh Jurkeiwick (2001: 105) membandingkan antara karyawan dan supervisor sektor publik dan swasta memberikan hasil yang berbeda. Pada pegawai sektor publik lebih cendrung motivasi kerja mereka disebabkan oleh adanya kestabilan dan keamanan dalam bekerja dimasa mendatang sebagai faktor utama yang berpengaruh. Hasil penelitian terhadap pegawai sektor publik dan swasta tersebut samasama menunjukkan motivasi berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2000: 137) juga menemukan bahwa motivasi mempunyai hubungan yang positif terhadap kepuasan kerja. Ketika komitmen seorang pegawai telah tinggi maka efektivitas sumber daya organisasi secara umum akan lebih terjamin. Ini karena komitmen organisasi merupakan bagian kunci dalam manajemen sumber daya manusia. Oleh karena itu penegakan kaidah prosedural menjadi bagian penting dalam membangun kepercayaan dan kejujuran dalam organisasi, sehingga pada akhirnya
memberikan efek positif terhadap komitmen organisasi secara menyeluruh. Indikasi yang paling jelas dapat dilihat dari rendahnya komitmen organisasi secara praktis adalah tingginya jumlah pegawai yang mangkir dan mengundurkan diri atau keluar dari organisasi. Pegawai dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib organisasi. Keinginan juga termasuk kehendak untuk tetap berada dalam organisasi. Pada pegawai yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi yang telah dipilihnya dalam waktu lama. Dari permasalahan pokok tersebut dapat diuraikan beberapa permasalahan sebagai berikut (1) Adakah hubungan antara motivasi pimpinan dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen? (2) Adakah hubungan antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen? (3) Manakah diantara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai yang paling erat hubungannya dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen? Secara Operasional tujuan dan maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut (1) Untuk mengetahui hubungan motivasi pimpinan dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2) Untuk mengetahui hubungan antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui manakah diantara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai yang paling erat hubungannya dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM yang berkualitas sangat diharapkan dalam upaya memberikan mutu pelayanan yang baik kepada masyarakat. Oleh sebab itu hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi (1) Bagi Dinas Pertanian (a) Diharapkan mampu memberikan informasi yang cukup penting sebagai dasar dalam 126
proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan secara tepat dan ilmiah dalam upaya meningkatkan kinerja SDM dan pemberian motivasi oleh pimpinan kepada pegawai yang menunjang sebagai landasan dalam peningkatan komitmen kerja pegawai. (b) Diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik terhadap masyarakat dengan jalan meningkatkan komitmen kerja pegawai. (2) Bagi Penulis, Sebagai bahan pembelajaran dan pengalaman, terutama dalam kaitannya dengan kualitas kinerja pegawai terhadap peningkatan komitmen kerja pegawai. (3) Pihak Lain, Diharapkan berguna sebagai referensi tambahan terutama diperuntukkan bagi pengembangan pengetahuan mengenai peningkatan komitmen kerja pegawai.
karena data merupakan penggambaran variabel yang diteliti dan yang berfungsi sebagai pembuktian hipotesis. Oleh karena itu benar tidaknya data, sangat menentukan baik tidaknya hasil penelitian. Sedangkan benar tidaknya data, tergantung dari baik tidaknya instrumen pengumpul data. Instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel. Hasil uji validitas dianalisis dengan mengkorelasikan skor butir dengan skor total menggunakan rumus korelasi Product Moment, sebagai berikut:
r xy
N XY X Y
N X 2 X . N Y 2 Y 2
(Arikunto, 1998: 162) Dimana : r = Koefisien korelasi antar skor butir dan skor total x = skor butir y = skor total N = jumlah sampel Masrun (dalam Sekaran, 1992) menyatakan jika koefisien korelasi menunjukkan angka ≥ 0,3, maka dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut adalah valid. Selanjutnya perhitungan dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS Release 16.0 Untuk mengetahui tingkat reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini diuji dengan rumus Cronbach‟s Alpha, karena jawaban responden cenderung terarah pada sikap yang berjenjang. Rumus digunakan sebagai berikut : k b2 rtt 1 t 2 k 1 Dimana : r11 : reliabilitas instrumen K : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal. b2 : jumlah varians butir t : varians total Menurut Maholtra (1996 : 89) jika koefisien Alpha menunjukkan ≤ 0,6, maka dapat dikatakan bahwa item-item dalam kuesioner tersebut adalah reliabel. Sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi–asumsi yang
METODE PENLITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian yang dipilih peneliti untuk mengadakakan suatu penelitian terletak di Dinas Pertanian Waropen. Oleh sebab itu populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 35 pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen. Adapun variabel independen (variabel bebas) atau disebut variabel X terdiri dari dua variabel yaitu: variabel motivasi pimpinan (X1), kualitas kinerja pegawai (X2). Sebagai variabel dependen (variabel tergantung) atau disebut variabel Y adalah peningkatan komitmen kerja pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Waropen. Adapun teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuisoner dan dokumentasi. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga mudah diolah. Variasi jenis instrumen adalah : angket, ceklis atau daftar centang, pedoman wawancara dan pedoman pengamatan. Dalam suatu penelitian, data mempunyai kedudukan yang paling tinggi, 127
2
melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Pengujian persyaratan statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat tes parametrik yaitu uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolinieritas.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pengujian Persyaratan Analisis Analisis data sebelum dilakukan, terlebih dahulu data skor kuesioner dilakukan pengujian agar dapat memenuhi persyaratan uji statistik. Oleh sebab itu data skor kuesioner perlu diuji dengan menggunakan uji normalitas dan homogenitas.
Tabel 1 Hasil Uji Normalitas
Variabel
Chi square (χ²) Hitung 17,600
Motivasi pimpinan (X1) Kualitas kinerja 15,250 Pegawai (X2) Peningkatan komitmen 7,700 Pegawai (Y) Sumber Data : Output SPSS 16.0 Setelah dilakukan pengujian normalitas, sebagaimana ditunjukkan pada tabel di atas, bahwa nilai chi square hitung untuk masing-masing variabel (motivasi pimpinan, kualitas kinerja pegawai dan peningkatan komitmen kerja pegawai) lebih kecil dari chi square tabel (χ²hitung < χ²tabel) sehingga berdasarkan ketentuan yang harus dipenuhi maka data pada masing-masing variabel dalam penelitian ini telah tersebar secara normal. Dengan demikian berarti, persyaratan statistik terhadap data yang digunakan yaitu kenormalan data, telah
Chi square (χ²) Tabel 24.9958
Keterangan Normal
26.2962
Normal
27.5871
Normal
terpenuhi dan dapat digunakan untuk pengujian berikutnya. Uji Homogenitas Pengujian homogenitas dilakukan dengan menggunakan test Homogenity of Varians dengan ketentuan jika probabilitas yang diperoleh lebih besar dari 0,05 berarti terjadi homogenitas, sebaliknya jika probabilitas lebih kecil dari 0,05 berarti tidak terjadi homogenitas. Berikut hasil pengujian homogenitas terhadap data pada masing-masing variabel:
Tabel 2 Hasil Uji Homogenitas Probabilitas Variabel χ²hitung Motivasi pimpinan (X1) 0,284 Kualitas Kinerja Pegawai (X2) 0,506 Peningkatan komitmen 0,973 Pegawai (Y) Sumber Data : Output SPSS 16.0 Sebagaimana telah dilakukan pengujian Normalitas dan Homogenitas
Keterangan Homogen Homogen Homogen
Data, terlihat nilai probabilitas pada masing-masing variabel lebih besar dari 128
0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data pada masing-masing variabel tersebut terjadi homogenitas (sebagaimana ditunjukkan pada tabel di atas). Dengan demikian berarti bahwa data tersebut memiliki varian populasi yang sama. Jadi, persyaratan statistik terhadap data yang digunakan untuk analisis yaitu data yang memiliki varian populasi yang sama, telah terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa data penelitian telah memenuhi salah satu persyaratan statistik yaitu memiliki varian
populasi yang sama. Jadi data pada masingmasing variabel dapat digunakan untuk pengujian berikutnya. Hasil Pengujian Hipotesis Setelah data yang ada telah memenuhi persyaratan statistik, maka langkah berikutnya adalah melakukan pengujian hipotesis. Adapun hasil perhitungan regresi berganda setelah melalui perhitungan SPSS 16.0 diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 3 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Regresi Berganda Sig. Sig. Variabel Thitung Fhitung R Thitung Fhitung Motivasi pimpinan (X1) 1,199 0,038 14,354 0,000 0,661 Kualitas kinerja pegawai(X2) 3,778 0,029 Hasil Persamaan Regresi : Contans : 2,862 Koefisien Regresi X1 : 0,376 Koefisien Regresi X2 : 0,673
R2 0,437
Sumber : SPSS 16.0 pimpinan dengan komitmen kerja pegawai. Untuk menentukan hubungan signifikan tidaknya variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat melalui cara alternatif non konvensional pada α = 0,05. Dimana hubungan antar variabel dinyatakan signifikan bila probabilitas thitung lebih kecil atau sama dengan 0,05 (p 0,05 ), sebaliknya hubungan antar variabel dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas thitung lebih besar dari 0,05. Hasil perhitungan statistik (melalui program komputer SPSS 16.0) menunjukkan probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih kecil dari α =0,05. Berdasarkan ketentuan di atas, maka hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Sehingga dengan demikian hipotesis pertama dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja pegawai adalah terbukti.
Hasil Persamaan Regresi Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut : = 2,862 + (0,376) X1 + Yˆ (0,673) X2 + e Dari persamaan regresi tersebut diketahui bahwa dari kedua variabel bebas yang dianalisis, variabel kualitas kinerja pegawai mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan komitmen pegawai yaitu dengan perolehan koefisien korelasi sebesar 0,673, sedangkan untuk variabel motivasi pimpinan diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,376. Pengujian Hipotesis Pertama Ha : рy1 = 0 : Ada hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja pegawai. Ho : рy1 > 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi 129
Adapun secara statistik, hipotesis ketiga dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : Ha : рy1,2,3 > 0 : Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan komitmen kerja pegawai. Ho : рy1,2,3 = 0 : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan komitmen kerja pegawai. Dari hasil perhitungan statistik melalui pengujian regresi berganda (pada tabel 4.13) menunjukkan probabilitas Fhitung sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α =0,05 (р 0,05 ), yang menunjukkan hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Dengan demikian hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersamasama dengan komitmen kerja pegawai adalah terbukti. Hasil perhitungan analisis juga menunjukkan koefisien multiple R sebesar 0,661. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan yang cukup kuat antara variabel motivasi pimpinan (X1) dan kualitas kinerja pegawai(X2) secara bersama-sama terhadap komitmen kerja pegawai (Y).
Pengujian Hipotesis Kedua Ha : рy2 = 0 : Ada hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan komitmen kerja pegawai. Ho : рy2 > 0 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan komitmen kerja pegawai. Sama dengan ketentuan di atas, untuk menentukan hubungan signifikan tidaknya variabel bebas dengan variabel terikat dilihat melalui cara alternatif non konvensional pada α = 0,05. Dimana hubungan antar variabel dinyatakan signifikan bila probabilitas t hitung lebih kecil atau sama dengan 0,05 (р 0,05 ) sebaliknya hubungan antar variabel dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas thitung lebih besar dari 0,05. Hasil perhitungan SPSS 16.00 menunjukkan probabilitas t hitung sebesar 0,029 yang lebih kecil dari α =0,05. Berdasarkan ketentuan di atas, maka hipotesis nihil ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Sehingga dengan demikian hipotesis kedua dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan komitmen kerja pegawai adalah terbukti. Hasil Pengujian Koefisien Regresi Berganda Uji serempak atau uji F digunakan untuk membuktikan hipotesis ke tiga dalam penelitian, yaitu untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara lebih dari satu variabel bebas secara bersama-sama dengan variabel terikat. Sama dengan ketentuan di atas, untuk menentukan hubungan signifikan tidaknya variabel bebas secara bersama-sama dengan variabel terikat dilihat melalui cara alternatif non konvensional pada α =0,05. Dimana hubungan antar variabel dinyatakan signifikan bila probabilitas Fhitung lebih kecil atau sama dengan 0,05 (р 0,05 ), sebaliknya hubungan antar variabel dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas Fhitung lebih besar dari 0,05.
Sumbangan Efektif Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat Sumbangan Efektif dari masingmasing variabel bebas ke variabel terikat, dapat dilihat melalui hasil analisis SPSS 16.00, dimana masing-masing variabel bebas mempunyai Sumbangan Efektif sebagai berikut : SE% X1 = SR%X1 x R2 SE% X2 = SR%X2 x R2 SE% X3 = SR%X3 x R2 130
Dimana : SE = Sumbangan Efektif SR = Sumbangan Relatif R2 = Kuadrat dari koefisien korelasi berganda X1 = 0,376 x 0,388 x 100% = 14,58% X2 = 0,673 x 0,644 x 100% = 43,34% 1. Jumlah SE = X1 + X2 = 14,58% + 43,34% = 57,92% Dari kedua variabel bebas diatas, dapat dilihat bahwa sumbangan efektif yang paling dominan adalah variabel kualitas kinerja pegawai (X2) yaitu sebesar 43,34%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kualitas kinerja pegawai mempunyai hubungan dengan komitmen kerja pegawai dan untuk variabel motivasi pimpinan memiliki sumbangan efektif sebesar 14,58% terhadap komitmen kerja pegawai. Mengingat kualitas kinerja pegawai mempunyai hubungan yang dominan dengan komitmen kerja pegawai, maka peningkatan profesionalisme kualitas kinerja pegawai perlu ditingkatkan lagi.
kontribusi pengaruh paling dominan dalam meningkatkan komitmen kerja pegawai berdasarkan penilaian dari pegawai Dinas Pertanian Kabupaten Waropen, untuk itu perlu adanya upaya peningkatan profesionalisme kerja pegawai melalui serangkaian kegiatan pembinaan profesionalisme, pelatihan ataupun seminarseminar yang memberikan tambahan wawasan serta ilmu bagi para pegawai. Disamping perlu juga didukung dengan motivasi pimpinan yang dapat meningkatkan komitmen kerja pegawai dalam melakukan tugas di kantor. DAFTAR PUSTAKA Adam I, Indrawijaya. 1989. Perubahan dan Pengembangan Organisasi. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Amstrong, M and Baron, A. 1999. Performance Management- The New Realities, London: Institute of Personal and Development. Angle, H. L., & Perry, J. L. 1981. An empirical assessment of organization commitment and organizational effectiveness. Administrative Science Quarterly, 26, 1-13. Allison, M & Hartley, J, 2000, “The Role Of Leadership of in the Moderenisasi and Improfment of Public Service”, Public Money And Management, April-June. Ancok, Djamaluddin, 1992, Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. (Seri Metodologi No.9), Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. As‟ad M. 1995. Psikologi Industri, Yogyakarta : Liberty. Bateman T dan S. Strasser. 1984. A Longitudinal Analysis of Determinant of The Antecedent of Organizational Commitment. Academy of Manajement Journal, 27. Barney, J.B, 1991,”Firm Resources and Sustained Competitive Advantage”, Journal Management, Vol. 17, No. 1, p.99-120.
PENUTUP Sesuai dengan perumusan dan tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,029 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan peningkatan komitmen kerja pegawai yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa kinerja pegawai memberikan 131
Bache,
Robert. 1992. Performance Management (Alih Bahasa : Dharma & Irawan), Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Dessler, Gray., 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Prenhallindo. Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia. (Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh Agus Dharma). Jakarta: Erlangga. Djarwanto., 1988. Statistik Non Parametrik, Edisi 3, Yogyakarta: BPFE. Dunham, 1994. Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Fine, S. A. 1986. Job Analysis. Dalam R. A. Berk (Ed.), s. Baltimore: The John Hopkins University Press. Gomes, Faustino. Cordoso., 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset. Gunz, H.P & Gunz, S.P, 1994, “Professional/Organizacional Commitment and Job Satisfaction for Employed Lawyer”, Human Relations, Vol. 47, p. 801-807. Hadi, S., 1979. Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM. Hadi, S. 1991. Statistika Jilid II. Yogyakarta: Andi Offset. Handoko. 1985. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Liberty. House, R. J & Shamir, B, 1993, “Toward an Integration of Transformational, Charismatic and Visionary Theories of Leadership, Leadership Perspectives and Research Directions: p.81-107. New York: Academic Press. Hasibuan, M.S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Jacobalis, S., 1989. Menjaga Komitmen Kerja Pegawai. Jakarta: PP. Persi. Jurkeiwicz, Massey, 2001, “Motivation in Public and Private Organization: A Comparative Study”, Public Productivity and Management Review, Vol. 21, No. 3, March.
Kottler, P., 1994. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control ; New Jersey : Prentice Hall, inc Englewood Cliffs. Kumorotomo, Wahyuni, 2000. Etika Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali press. Laschinger, H.K., Finegen, J., & Shamian , J, 2001, ”The Impact of Workplace Empowerment, Organizational Trust on Stuff Nurses: Work Satisfaction and Organizational Commitment”, Health care Management Review, Vol: 26, p. 7-23. Longnecker and Pringle. 1981. In Seacrh Result, Performance Management Practices in Norway, Public Management Service, OECD. Malayu, Hasibuan., 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung. Margono, S., 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Meyer, J. P., & Allen, N. J. 1991. Commitment in the workplace: Theory, research, and application. Newbury Park, CA: Sage. Mc-Neece-Smith, Donna, 1996, “Increasing Employee Productivity, JobSatisfaction and Organizational Commitment”, Journal Hospital & Health Services Administration. Mowday, 1982, Employee-Organization Linkages : The Psychology of Commitment, Absenteeism and Turnover, New York : Academic Press. Mitchell, 1982. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan, Terjemahan, Cetakan Pertama (Agustus 2000), Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Mathiu dan Zajack, 1993. Manajemen Kepegawaian di Indonesia, Jakarta : PT. Gunung Agung. Morgan and Hunt, 1994. Modern Public Administration, New York: Harper International Edition. Mc. Clelland. 1999. Pedoman Pengembangan Organisasi (Terjemahan). Jakarta: Penerbit PT Pustaka Binaman Pressindo. 132
Simmons, E. S, 2005, ”Predictors of Organizational Commitment Among Staff in Assisted Living” The Gerontologist, Vol. 45 No. 2, p.196-206. Smith, Kirk et al, 1976, “Managing Salesperson Motivation in a Territory Realignment”, Journal of Personal Selling & Sales Management, Vol. XX, No. 4 P. 215-226. Santoso, Budi. Hubunngan Antara Motivasi Pimpinan dan Kualitas Kinerja Pegawai Terhadap Tingkat Pelayanan Pegawai Pada Dinas Pertanian Kabupaten Kediri. Tesis tidak dipublikasikan. IMNI Jakarta. Sevilla, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Siegel, dan Lane, (1992). Manajemen, Edisi Ketiga, Jakarta : Intermedia. Wahjosumidjo., 1999. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia. Weicks, K.E. (1995), Organizational Culture and High Reliability, California Management Review, 29(2), pp.112-127. Zubaidah, Indah. 2005, Hubungan Antara Motivasi Pimpinan dan Kualitas Kinerja Pegawai Terhadap Komitmen Kerja Pegawai di Dinas Pertanian Lamongan. Tesis, Tidak dipublikasikan, Malang, Pascasarjana IMNI Jakarta.
Nasution, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Penerbit Bumi Aksara Owens, Robert G. 1997. Organizational Behavioral in Education: New Jersey: Prentice Hall. Inc. Englewood Cliffs. Ostroff, C, 2003, “The Relationship Between Satisfaction, Attitudes and Performance An Organization Level Analysis”, Journal of Apllied Psychology, Vol: 77, No. 6, p. 933973. Porter. 2002. Paradigma Baru-Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : Amara Books. Robbins, Stephen.P. 2007. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga. Riggs, Frew W, 1961. The Ecology of Public Administration, New York: Asia Publishing House. Rivai, Veithzal, 1985. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Singodimejo., 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: AIMIN. Singarimbun M dan Sofian, E. 1982. Metode Penelitian Suevey, Cetakan Kedua, Jakarta: LP3ES. Stephen, P. Robbins. 2003. Organisational Behavior, new Jersey: PrenticeHall,inc. Sudjana, Nana., 2000. Dasar-dasar Proses Pelaksanaan Tugas, Bandung: Sinar Baru. Sugiarto, 2000. Pengaruh Kepemimpinan dan Kemampuan Individual terhadap Produktivitas Kerja ( Study Empiris pada Kantor Cabang BRI di Yogyakarta), Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol.1 no.3. Suharsimi, Arikunto., 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pengantar Praktek, Cetakan kedua, Edisi Revisi IV, Jakarta: Rieneka Cipta. Smith, Kirk., Jones, Eli, & Blair, Edward, 2000, “Managing Salesperson Motivation in a Territory Realigment” Journal of Personal Selling & Sales Management, Vol. XX, No. 4, p. 215-226. 133
KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis
Khoiron Staf Pengajar Pada Program Studi Administrasi Negara Fakultas Ilmi Administrasi Universitas Islam Malang
Abstrak Setiap manusia membutuhkan komunikasi antar sesama, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya ataupun kebutuhan lainnya. Komunikasi dapat melampaui batas-batas sosial, ekonomi dan politik antar sesama manusia. Bahkan tidak sedikit manusia membutuhkan komunikasi dengan hal-hal diluar akal manusia itu sendiri. Dalam kehidupan sosial-politik, istilah komunikasi apabila dikaitkan dengan isu-isu politik startegis telah banyak dibahas dan dikaji di dalam berbagai forum ilmiah. karena, diakui atau tidak “komunikasi” menjadi begitu “urgent” dan penting ketika menyangkut persoalan kehidupan sosial dan politik di era demokrasi sekarang ini dalam mempertahankan indentitas. kata kunci: komunikasi, politik Abstract Every man is in need of communication between people, both to meet their basic needs or other needs. Communication can transcend the boundaries of social, economic and political among humans. Even some people require communication with things outside the human mind itself. In the socio-political life, the term communication when linked with strategic political issues have been widely discussed and studied in various scientific forums. because, recognized or not "communication" to be so "urgent" and is important when it comes to issues of social and political life in the era of democracy today in sustaining identity. keywords: communication, politics komunikasi politik dengan gaya “blusukan” tersebut sudah terlanjur menjadi semacam “trand” di mata publik dalam setiap pemilu diberbagai daerah di Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa calon legislative dalam menghadapi pemilu 2014, dengan model komunikasi ala Joko Widodo. Para caleg berlomba-lomba turun langsung di tengah-tengah masyarakat dengan menanggalkan atribut dalam menarik simpati masyarakat. Dalam istilah komunikasi atau bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk
PENDAHULUAN Belum lama ini fenomena terpilihnya seorang Joko Widodo sebagai Gubernur Jakarta pada pemilihan gubernur tahun 2012 yang lalu, disinyalir tidak lepas dari gaya “blusukan” atau gaya komunikasi politik yang telah mendobrak gaya komunikasi politik konvensional, monoton dan cenderung datar dari gaya elit politik selama ini. Model komunikasi tersebut terkesan sedikit “nyleneh” dan keluar dari mainstream kepemimpinan yang diperlihatkan oleh para pemimpin kita. Akan tetapi, gaya tersebut justru membuat Joko Widodo di anggap sebagai pemimpin yang sederhana (low profile) mau mendengar suara rakyat, meskipun tidak sedikit yang bersikap skeptis. Namun, 134
percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan. Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain. Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan politik sudah disadari oleh para cendekiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan semakin kecil akibat revolusi industri dan revolusi teknologi elektronik, setelah ditemukan kapal api, pesawat terbang, listrik, telepon, surat kabar, film, radio, televisi, dan sebagainya maka para cendekiawan pada abad sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (science). Dalam kajian ilmu komunikasi, ada beberapa pendapat tentang komunikasi yang dianggap relevan untuk menjelaskan tentang apa itu komunikasi sebelum membahas mengenai komunikasi politik secara panjang lebar. Seperti yang diutarakan oleh Carl l. Hovland dalam Onong U Effendy (2003), bahwa ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas
penyampaian informasi serta pembentukan pedapat dan sikap. Definisi Hovland di atas, menunjukkan bahwa yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi, melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Akan tetapi, seseorang akan dapat mengubah sikap pendapat atau perilaku orang lain apabila komunikasinya itu memang komunikatif seperti diuraikan di atas. Konseptualiasi komunikasi Hovland terlihat hanya berdimensi pada perubahan sikap dan perilaku orang jika komunikasinya sangat efektif dan benar-benar mampunyai power dalam mempengaruhi orang lain, sehingga proses tranformasi pesan dapat berbanding lurus dengan tujuan komunikasi itu sendiri. Namun Hovland tidak mampu menjelaskan tentang subtansi dari komunikasi yang tidak efektif, artinya pengertian mampu merubah sikap dan perilaku orang hanya dapat dilakukan secara efektif, padahal komunikasi yang tidak efektif juga disebut sebagai bagian dari komunikasi itu sendiri jika kita meminjam pengertian komunikasi dari Dan Nimmo. Selanjutnya, sebagaimana pengertian yang berbeda dengan Hovland, Dan Nimmo (1989), mengatakan bahwa komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol. Oleh karena itu, untuk memahami pengertian komunikasi secara lebih luas sehingga dapat dilancarkan secara efektif, para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell dalam karyanya, The structure and Function of communication in society. 135
Harold D. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab pertanyaan sebagai berikut; Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu yakni: komunikator (communicator, source, sender), pesan (message), media (channel, media), komunikan (communicant, communicatee, receiver, recipient), dan efek (effect, impact, influence) Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Lasswell menghendaki agar komunikasi dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap unsur diteliti secara khusus. Studi mengenai komunikator dinamakan control analysis; penelitian mengenai pers, radio, televisi, film, dan media lainnya disebut media analysis; penyelidikan mengenai pesan dinama content analysis; audience analysis adalah studi khusus tentang komunikan; sedangkan effect analysis merupakan penelitian mengenai efek atau dampak yang ditimbulkan oleh komunikasi. Sebuah komunikasi akan dipandang efektif, jika mampu memberikan efek positif terhadap suatu permasalahan sosial dan lain sebagainya. Komunikasi dianggap sebagai instrumen dalam menyatukan pandangan, paradigma dan bahkan perbedaan ideologi tertentu untuk mendialogkan dalam kehidupan sosial, politik, hukum dan agama. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Firmanzah bahwa komunikasi adalah suatu proses yang mencoba membangun pemahaman bersama akan suatu hal. Komunikasi dalam hal ini melibatkan dua pihak atau lebih. Tujuan utama komunikasi bukan sekadar memberikan data dan informasi kepada pihak lain, tetapi lebih dari itu berusaha rnembangun pemahaman bersama agar kedua belah pihak memiliki persepsi yang sama. Sebelum kesamaan persepsi
terwujud, tujuan komunikasi belum tercapai pula. Untuk membangun dan menciptakan kesamaan persepsi ini tentu saja tidak mudah. Dibutuhkan keterbukaan masingmasing pihak yang terlibat dalam proses komunikasi untuk dapat saling membuka diri dan menerima masukan dari pihak lain. selain itu harus ada keinginan berbagi yang dilandasi oleh “trust” (saling mempercayai) di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Komunikasi dan Politik Jika dianggap bahwa ilmu politik mempelajari politik, maka kiranya perlu dibahas dulu istilah “politik” itu. Pemikiran mengenai politik (politics) di dunia Barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap politik (politics) sebagai suatu usaha untuk mencapai masyarakat politik (polity) yang terbaik. Di dalam polity semacam itu manusia akan hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi. Dalam sejarahnya, politik selalu diidentikkan dengan cara untuk merebut sebuah kekuasaan. Meskipun demikian memang sangat rasional jika pemberian label kekuasaan pada praktik berpolitik dikehidupan bernegara seperti sekarang ini. Karena politik adalah seni dalam merebut kekuasaan, sehingga sering dilakukan secara konstitusional atau bahkan bisa dengan cara inkonstitusional jika itu menjadi pilihan rasional dalam praktik berpolitiknya. Sebagaimana pakar komunikasi politik Harold D. Lasswell dalam buku Who Gets What, When, How mengatakan bahwa politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. Dengan pengertian politik seperti itu, tentulah seseorang yang berpolitik akan terus mengejar sesuatu yang menjadi kepentingannya baik kepentingan itu bersifat individu atau kelompok. Dalam sejarah klasik, Aristoteles menyatakan bahwa suatu bentuk negara boleh disebut baik, jika diarahkan pada 136
kepentingan umum, yakni kepentingan setiap individu. Sedang bentuk negara yang diarahkan pada kepentingan penguasa harus disebut buruk. Konsep kehidupan bernegara yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas mencoba untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial, dimana dimensidimensinya terletak pada bagaimana sebuah penyelenggaraan Negara harus ditujukan kepada kepentingan umum. Sedangkan di era modern, masyarakat yang berpengetahuan akan menuntut atas hak-hak dasar sebagai warga Negara. Seperti yang di jelaskan oleh P. Eric Laouw dalam bukunya The Media and Political Process (2005), mencoba memberi uraian bahwa di tengah kelangkaan sumber daya yang tersedia, masyarakat akan berusaha mendapatkan akses untuk memperoleh sumber daya yang terbatas dalam memenuhi tuntutan hidupnya. Jika masyarakat tidak bisa memperoleh kepuasan yang maksimal dalam memenuhi tuntutan hidupnya, diperlukan keputusan alokasi sumber daya. Misalnya siapa yang akan memperoleh apa, bagaimana sumber daya yang terbatas itu terkelola dengan baik, siapa yang diberi wewenang (legitimasi) mengambil keputusan karena keputusan yang diambil bisa menghasilkan ada pihak yang menang dan ada pula yang kalah, diperlukan mekanisme untuk mengajak mereka untuk menerima keputusan tersebut. Selanjutnya, sejak keputusan itu mempengaruhi kesempatan hidup orang, akan terjadi perebutan, baik antar pribadi maupun antar kelompok untuk menentukan siapa yang akan menduduki posisi kunci dalam pengambilan keputusan. Perebutan juga timbul dalam memperebutkan nilainilai pondasi organisasi dan juga alokasi sumber daya. Oleh karena itu, elemen yang paling mendasar pada politik adalah sebuah proses pengambilan keputusan, sebuah perebutan untuk memperoleh akses pada posisi pengambilan keputusan, dan proses kewenangan untuk menjalankan keputusankeputusan itu. Dari pemahaman yang dibuat Eric Louw ini, politik mengandung sejumlah konsep kenegaraan, yakni kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijaksanaan (policy), dan pembagian atau alokasi sumber daya (resource). Politik juga bisa dipandang sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan dan melaksanakan tujuan tersebut. Untuk melaksanakan tujuan itu, diperlukan kebijaksanaan umum (public policy) yang mengatur alokasi sumber daya yang ada, dan untuk melaksanakan kebijaksanaan itu, perlu ada kekuasaan (power) dan kewenangan (authoity) yang akan dipakai, baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang bisa timbul setiap saat. KAJIAN TEORI Komunikasi Politik Komunikasi politik dalam ilmu politik (political science), telah mengalami perkembangan dalam pengertiannya. Sebagaimana pemikir politik Gabriel Almond dalam Alfian (1991), pernah mengkategorikannya sebagai satu dari empat fungsi input dari sistem politik. Kemudian mereka yang menggunakan pendekatan komunikasi politik terhadap sistem politik telah menjadikan komunikasi politik sebagai penyebab bekerjanya semua fungsi sistem politik. Ia diibaratkan sebagai sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan darahnya, tapi apa yang terkandung di dalam darahnya itu yang menjadikan sistem politik itu hidup. Komunikasi politik dianggap sebagai layaknya darah, mengalirkan pesan-pesan politik berupa tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan kepentingan) ke jantung (pusat) pemprosesan sistem politik, dan hasil pemprosesan itu yang tersimpul dalam fungsi-fungsi out-put, dialirkan kembali ke komunikasi politik yang selanjutnya menjadi feedback sistem politik. Seperti itu model komunikasi politik (political communication), menjadikan sistem politik itu hidup dan lebih dinamis. Selanjutnya, pandangan yang berbeda tentang komunikasi politik dari Dan Nimmo (1983), yang berpandangan bahwa komunikasi politik menggunakan politik hanya untuk mengartikan kegiatan 137
orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Sedangkan menurut Mark Roelofs dan Barn Lund, bahwa komunikasi politik lebih memusatkan kajiannya pada bobot materi muatan yang berisi pesan-pesan politik (isu politik, peristiwa politik dan perilaku politik individu-individu, baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan atau asosiasi politik). Bertolak dari konsep komunikasi dan konsep politik yang telah diuraikan pada bagian awal, upaya untuk mendekati pengertian yang dimaksud dengan komunikasi politik, menurut Dahlan (1999) ialah suatu bidang atau disiplin yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan demikian pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambanglambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesan-pesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta mempengaruhi sikap dan tingkah khalayak yang menjadi target politik. Meadow dalam Nimmo (2004) juga membuat definisi bahwa “political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system". Di sini Meadow memberi tekanan bahwa simbolsimbol atau pesan-pesan yang disampaikan itu secara signifikan dibentuk atau memiliki konsekuensi terhadap sistem politik. Akan tetapi, Nimmo sendiri yang mengutip Meadow dalam bukunya itu hanya member tekanan pada pengaturan umat manusia yang dilakukan di bawah kondisi konflik, sebagaimana disebutkan "communication (activity) concidered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict. Baik Meadow maupun Dan Nimmo, termasuk Gabriel Almond adalah sarjanasarjana politik keluaran 1950-an dengan
aliran behavioristik yang melihat politik tidak saja membahas masalah negara, melainkan dalam hubungannya dengan komunikasi (media massa) dan opini publik. Unsur Komunikasi Politik Seperti halnya dengan disiplin komunikasi lainnya, komunikasi politik sebagai body of knowledge juga terdiri aras berbagai unsure yakni: sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan efek. Komunikator Politik Komunikasi politik tidak hanya menyangkut parrai politik, melainkan juga lembaga pemerintahan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, sumber atau komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang halhal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur, bupati/walikota, DPRD, politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris Lembaga Swadaya Myasarakat (LSM), dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa pempengaruhi jalannya pemerintahan. Adapun pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun non verbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun yang tidak disadari yang isinya mengandung bobot politik. Komponen terpenting dalam proses komunikasi adalah komunikan atau penerima pesan. Menurut Effendy (2001:13), komunikan memiliki fungsi mengawasandi (decode) pesan dari komunikator sehingga komunika disebut sebagai (decoder). Relasi Wakil dan Terwakil Secara substansial, perwakilan berarti adanya para wakil yang bertindak sebagaimana kepentingan atau yang diinginkan oleh orang-orang yang diwakilinya. Dalam hal ini, Suzanne Dovi, lebih jauh mengatakan bahwa; A good 138
representative is simply one who advance the policy preferences of her constituents (provided that those policy preferences are lawful). Good representatives are good lackeys (the theoretical literature calls such representatives “delegates”). In fact, most contemporary empirical research on representation assumes that democratic representation occurs when a representative‟s action reflect and respond to constituents‟ expressed p0licy preferences. According to this way of thinking, there is nothing more to representing in a democratic fashion than responsiveness to democratic citizens‟ policy preferences. Adanya wakil yang berkarakter semacam inilah yang diharapkan bisa terjadi setelah pemerintah Orde Baru jatuh. Hanya saja, seperti telah disinggung sebelumnya, harapan itu belum menjadi kenyataan karena masih terjadi disconnect electoral antara para wakil dan terwakil. Secara kelembagaan, sudah diupayakan untuk membangun relasi yang lebih baik antara wakil dan terwakil. Adanya sistem pendapilan yang dimulai sejak tahun 2004, merupakan contohnya. Melalui sistem ini, bisa teridentifdikasi lebih jelas tentang siapa mewakili siapa dan dari daerah mana. Para wakil bisa menyadari bahwa meraka terpilih karena mewakili orang dan daerah tertentu. Sebaliknya, para pemilih juga bisa mengetahui siapa yang mewakili mereka dan daerahnya, baik di DPR maupun DPRD. Di samping itu, secara kelembagaan para wakil juga didorong untuk mengadakan kunjungan secara rutin ke daerah pemilihannya masing-masing, baik pada masa reses maupun pada hari-hari kerja. Program itu disebut sebagai program Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring Asmara). Melalui program ini para rakyat bisa mengetahui permasalahanpermasalahan apa yang selalu di hadapi oleh masayarakat di daerah pemilihannya. Pada saat itu, masyarakat juga bisa menyalurkan aspirasi yang dimilikinya secara langsung. Diharapkan, melalui kegiatan semacam itu para wakil rakyat berusaha memperjuangkan kepentingan dan
menyelesaikann permasalahan di daerah pemilihannya melalui kebijakan-kebijkan yang dibuat bersama-sama pemerintah. Para wakil rakyat juga bisa menyalurkan jalan pemecahannya melalui institusi-institusi yang terkait langsung permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Kerangka kelembagaan itu dirancang agar para wakil rakyat lebih responsif terhadap isu-isu yang berkembang di daerah pemilihannya masing-masing, yakni melalui proses pengumpulan berbagai masukan dan memperjuangkannya melalui keputusan-keputusan politik. Selain itu, secara politik, mekanisme kelembagaan semacam itu juga memungkinkan terjadinya akuntabilitas dari wakil rakyat. Secara politik para wakil rakyat dikatakan accountable ketika masyarakat memberi hadiah untuk memilihnya kembali sebagai wakil rakyat pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, dikatakan tidak accountable ketika mereka gagal memperoleh mandat kembali. Melalui desain semacam itu, relasi antara para wakil rakyat sebagai agent dengan para pemilih sebagai principal, di harapkan bisa lebih melembaga. Sebagai agent, para wakil rakyat diharapkan lebih banyak mendengar dan mengagregasikan kepentingan yang diwakilinya. Sementara itu, konstituen sebagai principal diharapkan bisa lebih melakukan pengawasan dan bisa memberikan reward dan punishment kepada para wakil. Manakala para waklli bekerja cukup baik untuk rakyat, bisa diberi reward melalui keterampilan kembali. Sebaliknya, ketika tidak bekerja untuk rakyat, dihukum ketidakterpilihan kembali. Masalah akuntabilitas para wakil juga masih menjadi masalah yang cukup serius, bukan hanya berkait para wakil sendiri, melainkan juga terjadi ketika dikaitkan dengan konstituen. hal ini terkait dengan realitas bahwa para pemilih tidak sepunuhnya memiliki informasi yang cukup terhadap kinerja para wakilnya. Padahal penguasaan informasi yang cukup merupakan dasar yang sangat penting bagi para pemilih rasional dalam menetukan pilihannya, termasuk apakah akan tetap 139
mempertahankan para wakilnya ataukah memilih alternatif yang lain, baik dari partainya sendiri maupun dari partai lain.
Revith, Diani dan Thernstrom, Abigail. Demokrasi Klasik dan Modern: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2005 Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia: Rajawali. Jakarta, 1985 SANKRI. Buku III Landasan dan Pedoman Pokok Penyelenggaraan Sistem Administrasi Negara. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta, 2005 Internet : www. http/sistem-perwakilan-politik-diindonesia.htm www. Kompas. “ Pedagang Malang Merasa diabaikan DPRD”. Com www. http:/ mencermati-kembalirepresentasi.html www/http.blog-arya-budi-reformasiparlemen-100%.html
DAFTAR PUSTAKA Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. PT Gramedia Pustaka Indoensia. Jakarta, 1991 Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik: PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, 2008 Cangara, Hafied. Komunikasi Politik; Konsep, Teori, dan Strategi: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, 2009 Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek: PT. ROSDA. Bandung, 2003 Firmanzah. Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas: Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 2008 Fakhri, Mustofa. Buku Panduan Tentang Menjalin Hubungan Konstituen dan Keterwakilan. UNDP : Jakarta, 2009 Gaffar, Affan. Politik Indonesia. Transisi Menuju Demokrasi: PT. Pustaka Pelajar. Yogjakarta, 1999 Gaffar, Affan. Profil Budaya Politik Indonesia: PT Pustaka Utama Grafiti. Jakarta, 1991 Hardiman. F. Budi. Demokrasi Deliberatif, Menimbang „Negara Hukum‟ dan „Ruang Publik‟ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas: Kanisius. Yogyakarta, 2009 Hikmat, M. Mahi. Komunikasi Politik; Teori dan Praktik. Simbiosa Rekatama Media. Bandung, 2010 Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat: Kanisius. Yogyakarta, 2002 Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia. Konsolidasi Demokrasi PascaOrde Baru. Kencana Predana Media Group. Jakarta, 2010 Nimmo, Dan. Komunikasi Politik; Komunikator, Pesan, dan Media: CV. Ramadja Karya. Bandung, 1989
140
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang
Agus Zainal Abidin Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
kesempatan kerja pada sektor formal di suatu wilayah dan masih ditambah lagi dengan kurangnya kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para inigran atau urbanit di perkotaan. Oleh karena itu sektor informal merupakan keterpaksaan pilihan bagi sebagian besar kaum inigran di perkotaan. Mereka terpaksa dan memaksa din dan keluarganya untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga tidak jarang anakanak mereka dipekerjakan untuk membantu mereka, baik itu menjadi penjaga barang dagangannya ataupun ditempat yang berbeda seperti pengamen, pengeinis dan pedagang asongan (Adi, 2003). Penduduk miskin di Indonesia mengalaini fluktuatif yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Krisis ekonomi yang melanda di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, padahal sebelum terjadinya krisis jumlah penduduk miskin sudah terus berkurang. Kalau kita amati hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2002 dan 2003 penduduk miskin di Propinsi Jawa Timur menduduki peringkat teratas dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia sehingga penelitian yang dilakukan di Kota Malang inincukup beralasan sebagai kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur dengan jumlah penduduknya yang sebagman besar bekerja pada sektor informal. Jadi sekalipun kemiskinan sudah berkurang persertasinya hingga pada tahun 2003, penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa hampir 40 juta masih hidup dalam serba kemiskinan (Mubyarto, 2003) namun jurang kaya miskin makin menganga di kota.
PENDAHULUAN Terbatasnya kesempatan kerja yang ada di dalam negeri, khususnya di perdesaan telah mengakibatkan arus urbanisasi yang pesat. Urbanisasi ini kebanyakan adalah buruh tani atau sebelumnya sebagai pengangguran di desa, setelah di kota merupakan kajian penting dan berpengaruh terhadap kawasan destinasi. Pada kawasan destinasi (kota) lazimnya mereka bekerja di sektor informal, misalnya pemulung, buruh bangunan, penarik becak, pelacur, pedagang kaki lima dan sebagainya. Melihat fakta dimana angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2000, sebagaimana dikatakan Simanjuntak, yang ditaporkan pada harlan Kompas tanggat 26 Februari 2000 yang begitu besar dan masih ditambah dengan adanya sekitar 2,5 sampai 3,5 juta angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. Dengan semakin tingginya angka pengangguran saat ini dan masih ditambah dengan masuknya angkatan kerja baru, justru akan mempersempit kesempatan kerja, terutama pada lapangan kerja sektor formal. Pertumbuhan kesempatan kerja yang berbeda secara mencolok menjadi salah satu ciri yang menandal besarnya arus mobilitas tenaga kerja. Dengan kata lain, besarnya arus inigrasi tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh kurangnya kesempatan kerja (pada sektor formal khususnya) atau upah yang relatif sangat rendah di daerah asal (origin area). Sebagian besar urbanit tersebut di perkotaan banyak yang bekerja pada sektor informal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa inigrasi ini disebabkan semakin menyempitnya 141
Menurut hemat saya, penelitian mengenai bagaimana menentukan pilihan pekerjaan yang lebih difokuskan pada masyarakat miskin perkotaan yang bekerja pada sektor informal masih jarang dilakukan. Padahal sebagian besar masyarakat (miskin) perkotaan tertampung dalam sektor informal. Dengan mengetahui faktor-faktor dominan yang menentukan pilihan jenis pekerjaan pada sektor informal bagi masyarakat miskin ini merupakan potensi sekaligus tantangan bagi mereka dan pemerintah daerah pada umumnya. Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai peluang jika sangat mendukung pilihan pekerjaannya. Namun dianggap sebagai tantangan apabila taktor-faktor tersebut merupakan kekurangan atau kelemahan yang secara sadar dihindari dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan. Oleh karena itu, terkait dengan upaya pembangunan lokal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di perkotaan, maka hasil penelitian ini menjadi sangat penting dalam pelaksanaan berbagai program dan proyek pemberdayaan dan pengentasan kerniskinan karena diketahui tantangan dan peluang masyarakat miskin itu sendiri agar upaya pemberdayaan dapat berjalan tepat sasaran. Penelitian ini berusaha untuk memahami menurut perspektif mereka Oleh karena itu upaya pemahaman faktor-faktor yang menentukan pilhan pekerjaan tersebut dipandang perlu berangkat dari mereka sendiri sebagai pelaku. Sehingga apabila dirumuskan, permasalahan pokok yang menjadi pusat perhatian dalam penektian ini adalah: (1) pertimbangan apa saja yang dijadikan dasar bagi keluarga miskin perkotaan dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan pada sektor informal bidang usaha distribusi kecil-kecilan atau jasa (enterprener); (2) bagaimana eksistensi dan kontribusi pekerjaan yang digeluti terhadap kesejahteraan bagi keluarga miskin perkotaan pada sektor informal enterprener; (3) faktor-faktor apa yang menjadi limitasi pekerjaan tersebut dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin perkotaan pada sektor informal enterprener.
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk mendeskripsikan etos kerja masyarakat miskin pada sektor informal di perkotaan tempat penelitian. Sehingga, dan hasil penelitian studi kasus ini bertujuan untuk menguraikan gambaran umum mengenai: (1) penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan secara mendalam pertimbangan-pertimbangan keluarga miskin perkotaan dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan di sektor informal bidang usaha distribusi kecil-kecilan atau jasa (enterprener); (2) penelitian juga akan medeskripsikan eksistensi (keberlangsungan) dan kontribusi pekerjaan tersebut terhadap kesejahteraan bagi keluarga miskin di perkotaan enterprener; (3) disamping itu juga akan medsekripsikan secara mendalam kendala-kendala yang dihadapi dan yang menjadi limitasi mereka dalam mengembangkan usahanya. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi ganda, yaitu kontribusi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan (teoretik) dan kontribusi pemecahan masalah pembangunan (praktis). Secara lebih spesifik antara lain: (1) memberikan kontribusi terhadap pengembangan pengetahuan di bidang sosiologi pembangunan, khususnya terkait dengan kemiskinan dan sektor informal perkotaan. Kedua masalah ini tiada habis-habisnya untuk dikaji karena terus berkembang dan selalu aktual, sehingga lebih memperluas dan bahkan memperdalam pemahaman fenomena ini; (2) praktis, diharapkan hasil studi ini berguna sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah khususnya, terutama dalam rangka memahami masalah kemiskinan pada sektor informal perkotaan. Dengan demikian, strategi dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat miskin semakin terfokus pada sasaran sehingga bisa berjalan lebih efektif; (3) memberikan informasi mengenai jenis pekerjaan masyarakat miskin sektor informal perkotaan macam apa yang bisa dikembangkan (diberdayakan) dan yang tidak, bantuan macam apa yang dibutuhkan agar kesejahteraan meningkat
142
suhu tentinggi 32,20C pada bulan Nopemben. Kota Malang terdiri dari lima kecamatan yaitu: Kedungkandang, Sukun, Klojen, Blimbing, dan Lowokwaru serta terdiri atas 57 kelurahan. Di kota Malang mengalir tiga sungai yaitu sungai Brantas, Amprong, dan Bango. Data kependudukan kota Malang menunjukkan bahwa Kecamatan Kedungkandang memiliki jumlah RT pada urutan ke dua, jumlah keluarga (KK) urutan pertama, jumlah penduduk urutan ke tiga, rata-rata penduduk per keluarga urutan pertama. Oleh karena itu pemilihan lokasi di kecamatan Kedungkandang kami anggap masih “represertatif” sebagai lokasi penelitian. Penduduk Kota Malang dilihat dari segi ketenagakerjaan sebesar 77,8% merupakan kelompok usia produktif (angkatan kerja) dan 22,2% bukan angkatan kerja. Usia di atas 60 tahun (7,4%) kenyataannya juga masih produktif khususnya disektor informal. Dilihat dan jenis pekerjaan, penduduk Kota Malang sebesar 32,76% lapangan usaha perdagangan, 23,45% lapangan pekerjaan jasa, 20,80% lapangan pekerjaan industri, sisanya terbagi berbagai lapangan usaha. Di bidang sosial (pendidikan), kota Malang terkenal sebagai kota pendidikan tentunya sarana pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sangat memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Kelurahan Kotalama sebagai lokasi penelitian, terletak di Kecamatan Kedungkandang. Kecamatan ini terdiri atas 12 kelurahan dengan luas wilayah 4.025Ha. Berdasarkan pembentukan struktur kota, maka Kecamatan Kedungkandang dapat dilihat dan segi: pertama, interaksi penduduknya yaitu masing-masing individu yang memiliki kebutuhan untuk bertemu dan berinteraksi. Kebutuhan ini dapat timbul karena kepentingan sosial, ekonomi, dan budaya penduduk Interaksi ini menimbulkan aliran orang, barang, dan komunikasi. Kedua, kondisi fisik kota yang mengakomodasikan berbagai aktivitas kegiatan yang berlangsung didalamnya. Ketiga, dengan melihat kota sebagai susunan dan lokasi-lokasi penduduk melakukan kegiatan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative research) di mana dalam menafsirkan fakta meaggunakan hermeneutika ganda yang terdiri atas: pertama, penafsiran tingkat pertama (the first order understanding) menunjuk pada pemahaman terhadap praktek sosial berdasarkan apa yang dimengerti, difahami, dan ditafsirkan para pelaku. Kedua, pemahaman tingkat ke dua, di mana peneliti berusaha mengangkat hasil tafsiran tingkat pertama ke dalam bahasa ilmiah (metalanguage). Sedangkan strategi penelitian dipengunakan “studi kasus”. Rancangan studi kasus yang dipergunakan mencakup studi kasus observasional dan community study dengan teknik observasi peran serta (participant observation) di lokasi kantong-kantong kemiskinan. Pengambilan responden (sebanyak 18 orang) dan informan (9 orang) yang menggunakan teknik purposive, snowball sampling, dan accident sampling. Seberapa banyak unit analisis (responden) yang diperlukan sangat tergantung pada kejenuhan data penelitian. Teknik pengumpulan data lapangan yang dipergunakan: wawancara mendalam (indepth interviewing), pengamatan peran serta (participant observation), studi dokumentasi, dan rekaman arsip. Analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman yang terdiri atas: reduksi data, penyajian data, dan penarikan gambaran kesimpulan. Sedangkan untuk memeriksa kredibilitas data dalam penelitian ini menggunakan: triangulasi sumber dan pengecekan sejawat. TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sekilas Lokasi Penelitian dan Profil Masyarakat Miskin Perkotaan Pada Sektor Informal Kota Malang memiliki luas 110.06km2 yang terletak pada ketinggian antara 440-667 meter di atas permukaan laut. Kota Matang berhawa sejuk dan kering dengan kelembaban udara 72% serta suhu rata-rata 24,130C, dengan suhu terendah 140C pada bulan Juli/Agustus dan 143
Kodisi fisik rumah dan lingkungan, jenis bahan bangunan rumah bervariasi, yang terdiri atas dinding anyaman bambu (gedhek), separoh tembok klenengan dan gedhek, tembok penuh. Luas bangunan rumah berkisar antara 40-50 meter2. Jenis lantai juga bervariasi, mulai dan tanah, sebagian plesteran semen, plesteran semen, hingga keramik bekas. Sirkulasi udara dan pencahayaan sinar matahari di lingkungan cukup baik, umumnya mereka tinggal di sekitar sungai. Bagi yang tinggal di perkampungan sirkulasi kurang memadai karena padat penduduk. Ketersediaan air bersih dan MCK, sebagian lagi kurang memadai. Kondisi sosial dan keagamaan, prasarana pendidikan tersedia yaitu SD, Madrasah lbtidaiyah, SMP swasta dan tsanawiyah. Tingkat pendidikan mereka rendah, pada umumnya tidak tamat SD, sebagian tamat SD, dan sebagian kecil tamat SMP. Tingkat pendidikan anak-anak mereka rata-rata lulusan SD, sebagian kecil tamat SMP. Penduduk miskin mayoritas memeluk agama Islam. Tersedia sarana peribadatan yang memadai berupa mushola, masjid, dan pondok pesantren. Kegiatan orgasisasi-organisasi keagamaan berjalan dengan baik. Kondisi ekonomi, jenis pekerjaan: sebagian besar sebagai pemulung, pengendang, tukang nombeng, pedagang kaki lima, pedagang keliling, penarik becak, tukang kayu dan bangunan, penjaga malam keamanan pasar, pengemis. Penghasilan mereka berkisar antana 15-20 ribu perhari. Besar beban keluarga termasuk istri antana 2-5 orang. Rata-rata jam kerja antara 6-9 jam perhari, bahkan ada yang lebih 10 jam untuk pekerjaan ganda.
kesabaran, dan keuletan untuk mencapai hasil yang “diharapkan”. Berbagai kendala juga dihadapi oleh masyarakat yang terserap dalam sektor informal terutama enterpener atau usaha mandiri. Memang secara umum pekerjaan sektor informal dibedakan menjadi dua kelompok yaitu sektor informal yang ikut orang atau juragan disebut buruh sehingga upah yang diterima berasal dan juragan atau pemilik usaha. Kedua, sektor informal yang berusaha sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain yang disebut dengan sektor informal enterprener atau wirausaha. Penelitian ini mengkhususkan diri pada jenis pekerjaan sektor informal kedua, yaitu enterprener dan masyarakat miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang. Karena jenis enterprener ini membutuhkan keunggulan-keunggulan tertentu dalam bekerja/berwirausaha usaha tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain. Yang menarik dan penelitian ini adalah bagaimana orang miskin dengan segala ketidakberdayaannya mampu mempertahankan diri memenuhi kebutuhan hidupnya di perkotaan yang semakin sulit. Keunggulan-keunggulan inilah yang perlu dikembangkan sehingga mereka yang kurang berdaya bisa dibantu dengan program pemberdayaan masyarakat miskin sehingga tujuan meningkatnya kesejahteraan mereka dapat tercapai. Pada hasil penelitian sudah tersirat bahwa masyarakat miskin memasuki lapangan kerja sektor informal khususnya enterprener merupakan suatu “keterpaksaan”. Mereka dipaksa oleh keadaan dimana kesempatan kerja yang terbuka pada sektor formal sudah demikian sempitnya. Jangankan di sektor formal, mencari pekerjaan pada sektor informal dengan ikut orang saja sekarang sudah sulit apalagi di sektor formal. Oleh karena itu, menurut hemat kami faktor-faktor dominan yang menentukan jenis pekerjaan enterprener bagi masyarakat miskin menjadi penting untuk dikaji. Secara umum, karakteristik yang banyak ditemukan di kantong-kantong kemiskinan di perkotaan adalah tingkat pendidikan masyarakat yang rendah.
Pertimbangan Dominan Dalam Menentukan Pilihan Jenis Pekerjaan Menentukan pilihan jenis pekerjaan bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan yang dianggap “cocok” atau sesuai cenderung berlangsung dalam waktu yang lama. Dan mempertahan pekerjaan sektor informal yang ditekuninya bukanlah persoalan yang mudah, oleh karena diperlukan pengorbanan, ketabahan, 144
Demikian juga di lokasi penelitian, sebagian besar masyarakatnya berpendidikan sekolah dasar, atau setidaknya setingkat sekolah menengah pertama. Jelas tingkat pendidikan yang rendah akan menentukan kualitas sumber daya manusia terkait dengan keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya. Sehingga kemampuan nalar dan pikin juga lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat yang berpendidikan menengah. Rendahnya pendidikan orang tua karena kondisi ekonomi akan berakibat masa depan anakanaknya terutama dibidang pendidikan. Meskipun pemerintah melaksanakan program pendidikan 9 tahun tetapi belum sepenuhnya dapat dinikmati sebagian kelompok masyarakat ini. Karena tuntutan ekonomi mendorong anak-anak mereka membantu orang tua mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa faktor dominan dalam mempertimbangkan pilihan pekerjaan enterprener tersebut antara lain. Pertama, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki. Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka masyarakat pada umumnya tidak meinifiki keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka menentukan pilihan pekerjaan apa yang dianggap bisa dilakukannya. Tidak memiliki ketrampilan menyebabkan mereka sulit untuk masuk dalam lapangan kerja formal. lni mendorong mereka untuk melakukan usaha enterprener di sektor informal. Biasanya berdagang kecil-kecilan baik secara menetap maupun keliling misalnya menjual kue gorengan, menjual pentol cilok, jualan es, mainan anakanak di depan sekolah-sekolah dasar, dan sebagainya. Jika tidak berdagang, pilihan lain adalah sebagai pemulung karena pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan dan cepat menghasilkan pendapatan. Mereka cukup dengan berkeliling mengumpulkan segala macam plastik, kertas, kaleng, atau apa saja yang masih laku dijual dipenampungan atau pengepul rosok. Pilihan lain adalah sebagai tukang becak karena pekerjaan hanya
membutuhkan modal tenaga dan kepercayaan untuk menyewa becak dan pemiliknya. Secara sederhana mereka hanya berpikir apa yang bisa dilakukan untuk dapat menghasilkan uang guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Mau belajar dan melatih ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada peluang dan kesempatan. Misalnya program pelatihan khusus bagi mereka untuk menghasilkan suatu produk yang benarbenar dibutuhkan masyarakat sehingga penghasilan mereka meningkat, nasanya belum pernah ada. Kalaupun mereke bisa menghasilkan sesuatu sifatnya hanya sementara dan bersifat musiman. Kedua, dana usaha. Pertimbangan kedua adalah masalah modal finansial. Modal tenaga dan kemauan ada tetapi masalah finansial biasanya menjadi kendala utama masyarakat miskin dalam berusaha. Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur, tetapi juga tidak sedikit diantara mereka yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam uang di bank thithil keliling dapat berjalan dengan baik mengapa program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan perkotaan terkadang tidak berhasil, termasuk program P2KP juga tidak berhasil di lokasi penelitian ini. Yang jelas akan utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan kurang mengikutsertakan tokohtokoh masyarakat setempat menjadi penyebab utama ketidakberhasilan program ini. Meskipun rencaranya baik tetapi jika tidak diimbangi dengan pelaksanaan yang baik, jelas tujuannya tidak akan tercapai. Bagi mereka modal uang sangat beranti bagi mereka. Tentunya besarannya juga menyesuaikan dan diperlukan kalkulasi secara khusus sebatas apa dana itu benar-benar dibutuhkan untuk mengembangkan usaha. Selama ini tidaklah demikian. Misalnya ada batas maksimal peminjaman yang ditentukan pengurus untuk kelompok-kelompok masyarakat (pokmas), biasanya mereka mengambil rata-nata tanpa ada survai yang memadai sebatas mana dana tersebut benar-benar dibutuhkan untuk mengembangkan usaha. Proses seleksi dengan wawancara dikantor 145
kalaupun toh ada survai biasanya sekedarnya saja sebagai formalitas. Padahal seharusnya survai sebagai penentu layak tidaknya pengajuan besaran pinjaman yang diajukan. Apapun alasannya bagi mereka modal finansiil tetap mendasar dan akan menentukan usaha apa yang akan dilakukan. Ketiga, kemudahan usaha. Masyarakat miskin di lokasi penelitian dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan diantaranya mempertimbangkan kemudahan usaha/pekerjaan tersebut. Artinya apakah perkerjaan tersebut benarbenar bisa dilaksanakan apa tidak. Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan yang dapat dilakukan dan dianggap bersifat lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan lain. Mereka tidak akan melaksanakan pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan meskipun penghasilannya besar dan akan melakukan pekerjaan yang mampu dilaksanakan meskipun penghasilannya kecil, tetapi akan memilih pekerjaan yang dapat dilakukan namun memberikan penghasilan yang ebih besar. Keempat, resiko yang dihadapi enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan usaha di sini terkait pula dengan resiko yang dihadapinya. Baik resiko kerugian modal finansiil, resiko keamanan, resiko sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan sebagainya. Pada umumnya resiko yang dianggapnya paling kecil dipentimbangkan terkait dengan kemudahan usaha atau pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang dianggap resiko ini bagi mereka memiliki nilai yang lebih tinggi dan sekedar penghasilan yang diperolehnya. Modal usaha lebih penting dan sekedar penghasilan, keluarga lebih berarti dan sekedar penghasilan, keselamatan lebih berarti dari sekedar penghasilan seterusnya. Sehingga pertimbangan resiko tersebut dianggap lebih tinggi nilainya dan sekedar penghasilan yang diperolehnya.
masyarakat miskin lokasi penelitian dapat dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. Usaha distribusi kecil-kecilan dan jasa. Distribusi kecil-kecilan yang banyak dilakukan antara lain : sebagai pemulung, pedagang keliling, tukang rombeng, pedagang kaki lima. Sedangkan untuk jasa antara tukang becak tukang bangunan dan kayu. Eksistensi pekerjaan pemulung dan segi waktu dapat dilakukan secara terus menerus. Dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin pesat tentunya barang-barang limbah seperti plastik, kertas, dan kaleng juga semakin meningkat kuantitasnya. Oleh karena itu semakin padat penduduk semakin menguntungkan bagi pemulung. Lagipula pekerjaan ini tidak banyak diminati dibandingkan jenis pekerjaan lainnya karena diperlukan mental yang kuat untuk melaksanakannya. Demikian pula pedagang keliling, baik pedagang makanan, sayuran, mainan anakanak dan seterusnya dapat dilakukan dalam waktu yang lama. Semakin padat penduduk semakin menguntungkan menguntungkan pedagang keliling. Jenis pekerjaan tukang rombeng keliling dilakukan dengan cara berkeliling mencari barang kemudian dijual ke penimbangan. Seperti pekerjaan diatas dapat dilakukan dalam waktu yang relative panjang. Pedagang kaki lima keberadaannya tumbuh menjamur, semakin banyak yang menekuni sebagai pedagan kaki lima barang bekas karena : mudah dilakukan, modal kecil namun terkadang memberikan keuntungan yang lumayan. Bidang jasa, misalnya penarik becak, pekerjaan ini dapat dilakukan dalam waktu yang panjang, semakin padat penduduk pekerjaan semakin eksis meskipun banyak memiliki kelemahan-kelemahan (faktor limitasi). Namun secara umum pekerjaan yang mereka tekuni selama ini memiliki kesamaan karakteristik diantaranya pekerjaan mereka masih tetap eksis dalam waktu yang lama sejalan dengan perkembangan perkotaan. Namun meskipun masih eksis dalam kehidupan perkotaan, pada umunya penghasilan mereka tetaplah rendah sehingga hanya cukup untuk
Eksistensi dan kontribusi pekerjaan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga Pada umumnya berbagai jenis pekerjaan enterprener yang ditekuni 146
memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari. Meskipun upaya keras telah dilakukan secara faktual besar penghasilan mereka relative stabil. Tentunya disebabkan oleh berbagai factor limitasi masing-masing pekerjaan sektor informal entenprener masyarakat miskin perkotaan. Sehingga kontribusi pekerjaan ini untuk peningkatan kesejahteraan keluanga masih kecil.
masalah dana. Dana dipergunakan untuk membeli barang-barang bekas dan rumah tangga-rumah tangga yang kemudian disetorkan atau dijual kepada pengepul. Sesama tukang rombeng keliling juga tenjadi persaingan dalam menawar barangbarang bekas tersebut. Sebenarnya usaha rombeng keliling ini juga tidak memerlukan dana yang besar, maklum namanya usaha kecil. Sesungguhnya mereka memerlukan dana permanen untuk kepentingan kerja karena sebagai modal utama. Selama ini dana tersebut dipergunakan secara serabutan, disamping untuk keperluan modal tidak jarang dipergunakan juga untuk menutupi kebutuhan rumahtangga. Keempat, pedagang kaki lima. Faktor limitasi jenis pekerjaan ini lebih kompleks dibandingkan dengan rombeng keliling atau padagang keliling. Disamping limitasi dalam hal dana, bagi mereka lokasi/tempat jualan menjadi persoalan tersendiri bagi mereka serta dalam berusaha juga membutuhkan ketenangan. Menentukan lokasi berjualan yang dianggap strategis menurut mereka bukanlah hal yang mudah. Sehingga kendala lain yang dihadapi adalah dengan petugas ketertiban kota. Setidaknya pengaruh secara psikis mempengaruhi ketenangan usaha. Kelima, pemulung. Pekerjaan ini banyak ditekuni masyarakat di kantongkantong kemiskinan. Untuk melakukan pekerjaan ini tidak memerlukan dana yang besar, tetapi bekal yang dibutuhkan adalah tenaga dan ketekunan. Namun bukan berarti tidak ada limitasi dalam melaksanakan pekerjaan ini. Limitasi terbesar tendapat di lapangan berupa sanksi sosial masyarakat. Tidak jarang dilingkungan kita terpampang “pemulung dilarang masuk”. Ini sebagai akibat beberapa ulah sebagian pemulung yang bekerja dengan tidak benar atau terkadang pemulung hanya terkena awu anget apabila anggota masyarakat kehilangan suatu barang. Tidak sedikit pemulung yang bekerja secara benar, namun karena dimasyarakat sudah terbangun anggapan bahwa pemulung dianggap sosok yang “membahayakan” barang-barang mereka.
Limitasi Pekerjaan dalam Mengembangan Pekerjaan Limitasi pekerjaan disini adalah faktor-faktor yang menjadi kendala masyarakat miskin dalam melaksanakan dan mengembangkan pekerjaannya. Dimana limitasi untuk masing-masing pekerjaan tidak sama terutama usaha distribusi kecil-kecilan dan jasa. Beberapa jenis pekerjaan dapat dikembangkan dengan baik melalui strategi dan kalkulasi yang tepat. Namun tendapat pula beberapa jenis pekerjaan yang memang tidak dapat dikembangkan, oleh karena diperlukan alternatif pemecahan lain yang lebih tepat. Faktor limitasi untuk usaha distribusi kecil-kecilan enterprener antara lain: Pertama, pedagang keliling. Sebagian besar usaha bendagang kecil-kecilan atau padagang keliling kendala utamanya adalah modal finansial (dana). Untuk mengembangkan usahanya diperlukan tambahan dana sesuai dengan kebutuhan. Dana yang dibutuhkan sesungguhnya tidaklah terlalu besar, namun pada umumnya mereka mengalami kesulitan mendapatkan tambahan dana pengembangan usaha. Penghasilan mereka yang rendah hanya cukup untuk memenuhi “kebutuhan” sehari-hari sehingga benar untuk menabung apalagi investasi untuk pengembangan usaha. Bisa dilakukan dengan bantuan pinjaman bank thithil dengan bunga tinggi. Terkadang mereka untuk menutupi kebutuhan tersebut terpaksa juga pinjam lembaga keuangan informal tersebut. Disamping dana, penalatan yang diperlukan sebagai penunjang kerja barangkali juga dianggap sebagai kendala pengembangan usaha. Kedua, tukang rombeng keliling. Pekerjaan ini memiliki limitasi pekerjaan 147
Disamping itu sebagian pemulung menganggap limitasinya adalah peralatan (sarana kenja) berupa transportasi. Tidak banyak pemulung yang dapat meminjam becak dan juragannya, padahal untuk menempuh janak yang jauh besak sangat diperlukan untuk membawa hasil memungut barang-barang tersebut. Faktor limitasi untuk usaha jasa yang bersifat enterprener antara lain: Pertama, penarik becak. Pekerjaan jasa penarik becak banyak diminati masyarakat migran karena begitu mudahnya melakukan pekerjaan ini, sifatnya langsung kerja dan memperoleh penghasilan. Namun akhirakhir ini terdapat limitasi terhadap pekerjaan tersebut diantaranya semakin banyaknya alat transpontasi umum maupun pribadi. Jumlah angkutan kota yang mencari penumpang sangat banyak. Demikian pula kendaraan roda empat, apalagi roda dua yang semakin padat akibat kemudahan fasilitasi kredit pemilikan kendaraan bermotor membawa dampak negatif bagi para penanik becak. Disamping itu, pada tempat-tempat ramai pengunjung atau strategis tidak jarang kita temukan tanda larangan untuk becak. Bagi mereka kondisi ini kurang menguntungkan, sehingga tidak jarang terkadang mereka harus berhadapan dengan petugas untuk “ditertibkan”. Kedua, tukang kayu atau bangunan. Hanya sedikit masyarakat lokasi penelitian yang menekuni pekerjaan ini. Memang pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan dan kahlian khusus dibandingkan dengan pekerjaan lain ditekuni masyarakat miskin dilokasi penelitian. Untuk mencapai kualitas hasil yang bagus serta tercapainya efisiensi waktu dan tenaga dibutuhkan sarana penunjang peralatan pertukangan yang memadai. Bagi mereka yang tidak memapu dalam pembelian penalatan yang memadai sesuai perkembangan teknologi akan tentinggal sehingga mereka tidak mampu bensaing dengan tukang lain yang memiliki penalatan yang “memadai”.
enterprener tersebut antana lain: Pertama, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki. Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka masyarakat pada umumnya tidak memiliki keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka menentukan pilihan pekerjaan apa yang dianggap bisa dilakukannya. Biasanya berdagang kecil-kecilan baik secara menetap maupun keliling cukup diminati. Jika tidak berdagang, pilihan lain adalah sebagai pemulung karena pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan dan cepat menghasilkan pendapatan. Pilihan lain adalah sebagai tukang becak karena pekerjaan hanya membutuhkan modal tenaga dan kepercayaan untuk menyewa becak dan pemiliknya. Mau belajar dan melatih ketnampilan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada peluang dan kesempatan. Misalnya program pelatihan khusus bagi mereka untuk menghasilkan suatu produk yang benar-benar dibutuhkan masyarakat sehingga penghasilan mereka meningkat, rasanya belum pernah ada. Kalaupun mereka bisa menghasilkan sesuatu sifatnya hanya sementana dan bersifat musiman. Kedua, modal dana usaha. Pertimbangan kedua adalah masalah dana. Modal tenaga dan kemauan ada tetapi masalah dana biasanya menjadi kendala utama masyarakat miskin dalam berusaha. Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur tetapi juga tidak sedikit diantara mereka yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam uang di bank thithil keliling dapat berjalan dengan baik mengapa program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan perkotaan terkadang tidak berhasil, termasuk program P2KP juga tidak berhasil di lokasi penelitian ini. Yang jelas akar utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan kurang mengikutsertakan tokoh-tokoh masyarakat setempat menjadi penyebab utama ketidakberhasilan program ini. Bagi mereka dana sangat berarti. Tentunya besarannya juga menyesuaikan dan diperlukan kalkulasm secara khusus sebatas apa dana itu benar-benar dibutuhkan untuk mengembangkan usaha. Apapun alasannya
KESIMPULAN DAN SARAN Bebenapa faktor dominan dalam mempertimbangkan pilihan pekerjaan 148
bagi mereka faktor dana tetap mendasar dan akan menentukan usaha apa yang akan dilakukan. Ketiga, kemudahan usaha. Masyarakat miskin di lokasi penelitian dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan diantaranya mempertimbangkan kemudahan usaha/pekerjaan tersebut. Artinya apakah pekerjaan tersebut benarbenar bisa dilaksanakan apa tidak. Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan yang dapat dilakukan dan dianggap bensifat lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan lain. Keempat, resiko yang dihadapi enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan usaha di sini terkait pula dengan resiko yang dihadapinya. Baik resiko kenugian modal finansiil, resiko keamanan, resiko sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan sebagai. Pada umumnya resiko yang dianggapnya paling kecil dipertimbangkan terkait dengan kemudahan usaha atau pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang dianggap resiko ini bagi mereka memilliki nilai yang lebih tinggi dan sekedar penghasilan yang diperolehnya. Modal usaha lebih penting dan sekedar penghasilan, keluarga lebih berarti dan sekedar penghasilan, keselamatan lebih berarti dari sekedar penghasilan, dan seterusnya. Sehingga pertimbangan resiko tersebut dianggap lebih tinggi nilainya dan sekedar penghasilan yang diperolehnya. Untuk mencapai kualitas hasil yang bagus serta tercapainya efisiensi waktu dan tenaga dibutuhkan sarana penunjang peralatan pertukangan yang memadai. Bagi mereka yang tidak memapu dalam pembelian peralatan yang memadai sesuai perkembangan teknologi akan tertinggal sehingga mereka tidak mampu bersaing dengan tukang lain yang memiliki peralatan yang “memadai”. Beberapa rekomendasi hasil penelitian ini terkait dengan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan perkotaan, antara lain: (1) dalam rangka mencapai tujuan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan masyarakat kota, sebaiknya pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dengan melibatkan tokoh
masyarakat sekitan sehingga turut memberikan kontrol sosial pelaksanaan program; (2) berbagai limitasi yang melingkupi pekerjaan masyarakat miskin sektor informal enterprener perlu diperhatikan, mislanya dengan memberikan bantuan dana sesuai kebutuhan secara tepat, kalkulasi yang tepat, serta pelaksanaan kontrol yang baik; (3) agar dapat keluar dari lingkaran kemisikinan mereka, perlu dipikirkan adanya program pelatihan pembuatan produk yang benar-benar dibutuhkan masyarakat sehingga pekerjaan yang kiranya tidak bisa dikembangkan bisa beralih pada pekerjaan yang lebih produktif; (4) pemerintah daerah perlu memperhatikan nasib pendidikan masyarakat miskin. Oleh karena itu diupayakan memberi fasilitas khusus bagi mereka untuk dapat melanjutkan sekolah sampai ke tingkat menengah atas kejuruan sehingga memiliki keahlian dengan harapan mampu bekerja secara mandiri. DAFTAR PUSTAKA Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Unversitas Indonesia. hal. 6. Arifin, Imron. 1994. Orientasi Teoritik dan Memilih Pokok Studi; Jenis Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif dalam Arifin, Imron (ed.), Penelitian Kualitatif Dalam Bidang limu-ilmu Sosial dan Keagamaan. Kalimasada Press, Malang, hal. 18. Bakhit, Izzeddin (et al.) 2001. Attacking The Roots of Poverty dalam Sugihardjanto, Ali (Penterjemah). 2001. Menggempur Akar-akar Kemiskinan. Yakoma-PGI. Jakarta. hal.3. Bogdan, R.C. dan Biklen, S.J., 1982. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Ally and Beacon Inc. p. 154. Bogue, Donald J. 1959. “Internal Inigration,” in studi of Population: An Inventoryand Apprrasial. Chapter 149
21. p. 486-509. Chicago: University of Chicago Press. Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia Statistical Yearbook of Indonesia. Jakarta. h. 575-577. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data penelitian Kualitatif : Pemahaman Filosofis Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Dyson, L. 1995. Siapakah Golongan Miskin itu? dalam Suyanto, Bagong (ed.), Perangkap Kemiskinan, Problem dan Strategi Pengentasannya. Airlangga University Press. Malang. hal. 3 Effendy, Tadjuddin Noer. 1995 “Pembangunan Pasar Kerja di lndonesia, “ Seminar World bank Report, 22 November. Effendy, Tadjuddin Noer. 1988. Kesempatan Kerja Sektor In formal di Perkotaan Indonesia (Analisis Pertumbuhan dan Peranannya). Majalah Geografi I ndonesia.2. Yogjakarta. Eta. 2004. “Setengah Pekerja Dunia Miskin”. Kompas. Rabu, 8 Desember 2004. hal. 14. Hart, Keith. 1996. Sekton Informal dalam Manning, Chris dan Effendi, Tadjuddin Noen (ed.). Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon Indonesia. hal. 78. Henlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan dan Kerusuhan Kota. Bandung. Alumni. Hidayat. 1983. Situasi Pekerjaan, Setengah Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Infonmal. Makalah Lokakarya Nasional Angkatan Kerja dan Kesempatan Kenja. Jakarta, November 1983. Kuncoro, Mudrajad. 2003. Men gkaji Ulang Strategi Pembangunan Indonesia Dalam Era Otonoini Daerah dan Globalisasi. Jurnal Salam. Edisi 5. Tahun IV. Miles, Mathew B. dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang
Metode-metode baru. Jakarta. Universitas Indonesia Press. hal. 1521. Moeljarto, Vidhyandika. 1994. Kemiskinan: Hakekat, Ciri, Dimensi dan Kebijakan. Kemiskinan Mengais Sumber Daya. Analisis CS/S. 23 (3): 196-203. Mubyarto. 2003. Tantangan Ilmu Ekonomi Dalam Menanggulangi Kemiskinan, Artikel: Ekonomi Rakyat dan Pendidikan ilmu Ekonomi. http: www. ekonomi rakyat .orqledisi 1/artikel 4.htm. Manet, 2003. Murdiyati. 1999. Kemandirian Sektor Informal: Limitasi dan Faktor-faktor yangMempengaruhinya. Thesis. Universitas Gajahmada. Yogyakarta. Rizal, Bashori. 1995. Perang Dunia Melawan Kemiskinan dalam Suyanto, Bagong (ed.), Perangkap Kemiskinan, Problem dan Strategi Pengentasannya. Airlangga University Press. Sethurahman, S.V. 1996. Sektor Informal di Negara Sedang Berkembang, dalam Manning, Chris dan Effendi, Tadjuddin Noer (ed.). Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon Indonesia. hal. 108. Simanjuntak, Panjaman. 2000.”Pengangguran di Indonesia,” Kompas 26 Februari, hIm. 6. Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, dan Pemberdayaan. Yogyakarta. Kanisius. hal. 17. Sucipto, Tn dan Tukiran. 1995. Proyeksi Penduduk Indonesia Tahun 19902000. Yogyakarta. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada. Widodo, Yoto. 1998. Stratifikasi Sosial dan Strategi Survival Para Pekerja Informal: Studi Kehidupan Para Pemulung di Kotamadya Surakarla. Thesis. Univensitas Gajahmada. Yogyakarta. Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus (Design dan Metode). Jakarta. PT Raja Grafinda Persada. 150
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PELOPOR 1. Jurnal PELOPOR terbit dua kali setahun: Januari dan Juli. 2. Naskah adalah hasil karya asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain. 3. Naskah dapat berupa hasil penelitian, kajian pustaka/teoritis, kajian metodologis, gagasan orisinal yang kritis, ulasan masalah penting/isu pembangunan yang sedang hangat, dan ulasan suatu hasil seminar. 4. Naskah disusun dalam bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan atau dalam bahasa Inggris. Untuk naskah berbahasa Indonesia, (abstract) ditulis dalam bahasa Inggris dan naskah dalam bahasa Inggris, (abstrak) ditulis dalam bahasa Indonesia. 5. Naskah diketik dua spasi ukuran A4, font Time New Roman 12, Jarak tepi halaman: kiri, atas, kanan (3 cm) dan bawah (2,5 cm). Jumlah naskah maksimal 20 halaman termasuk tabel, grafik, gambar dan lampiran. Naskah dikirim ke penyunting dalam bentuk cetakan (print out) rangkap dua, dan disertakan softcopy file naskah format MS.Word dalam bentuk CD. 6. Naskah disusun dengan sistematika: a. Judul (diketik dengan huruf kapital dan maksimal 12 kata), Nama Penulis (tanpa gelar), Alamat/Institusi, telepon/fax, dan E-mail, b. Abstract/Abstrak (tidak lebih 200 kata, mengandung masalah, tujuan, metode, dan hasil serta disertai kata kunci maksimal 6 kata), c. Pendahuluan (mencakup latar belakang permasalahan/isu, tujuan penelitian/penulisan, dan tinjauan pustaka atau teoritis (bila ada)), d. Metode Penelitian, e. Hasil dan Pembahasan, f. Simpulan dan Saran (a. Simpulan, b. Saran/Implikasi Kebijakan, dan c. Ucapan Terima Kasih (bila ada)), g. Daftar Pustaka, dan Lampiran (sesuai dengan keperluan). 7. Ketentuan-ketentuan Lainnya: a. Tabel (judul tabel diatas, tabel tanpa garis vertikal, dan tanpa Blok/cetak tebal), b. Gambar atau Grafik (judul dibawah) diberi nomor secara berurutan dan cantumkan sumber data yang digunakan (bila perlu). c. Daftar pustaka disusun menurut abjad nama penulis. Apabila ada dua atau lebih pustaka yang sama penulisnya dan tahunnya, beri tanda a, b, c, dan seterusnya dibelakang tahun terbit. Bagi pustaka yang merujuk dari jurnal, majalah ilmiah, dan prosiding, harus menyebutkan nama penulis, tahun, judul, penerbit, halaman, dan editor (penyunting). Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam tulisan/artikel. 8. Naskah dikirim ke alamat redaksi: Kantor FIA Unisma JL. MT. Haryono 193 Malang 65144. Telp./Fax. 0341565802 Email:
[email protected]
141