Susahnya mencari sekolah bagi mereka Penulis : Sri Andiani
Sekilas orang-orang yang melihat saya, berfikir bahwa tidak ada yang salah pada diri saya. Saya bisa berbicara dengan lancar, mendengar dengan baik,fisik saya juga tidak ada yang cacat. Tapi, saya sesungguhnya adalah seorang tuna rungu. Percaya atau tidak, inilah saya, saya seorang tuna rungu sejak lahir, saya di diagnose tuli berat yang kemampuan mendengarnya diatas 90 db. Para dokter menyarankan mama saya untuk mengajari saya bahasa isyarat dan menyekolahkan saya di SLB. Namun, mama saya justru melatih saya untuk mendengar dan berbicara seperti orang normal lainnya agar saya bisa bersekolah di sekolah umum. Menurut mama, ika saya bersekolah di sekolah umum peluang saya kelak untuk bisa bekerja dan berbaur dengan masyarakat umum semakin luas. Mama ingin kelak saya bisa mendapat kesempatan untuk memeberikan sumbangsih saya pada masyarakat sebagaimana warganegara lain yang mandiri, berkarya dan berprestasi di masyarakat. Dengan modal alat bantu dengar dan semangat tinggi mama melatih saya untuk belajar mendengar dan berbicara. Mama mendampingi saya setiap saat, terus melatih saya untuk mengembangkan bahasa verbal saya. Pada saat saya berumur kurang lebih 3 tahun, saya dioperasi cochlear implant, yaitu operasi yang bertujuan menanamkan suatu alat yang disebut implant kedalam cochlear atau rumah siput dengan tujuan agar saya bisa mendengar lebih jelas. Setelah dioperasi, mama semakin intensif melatih saya mendengar, berbicara dan berkomunikasi secara verbal. Buah dari kerja keras mama dan semangat saya untuk terus belajar akhirnya saya bisa berbicara dan mendengar dengan baik,bahkan saya mulai belajar mendengarkan radio dan berkomunikasi lewat telepon. Selain belajar berbahasa verbal, mama juga mengajarkan banyak keterampilan pada saya, hingga saat TK saya sudah lancar membaca dan menulis. Saya juga diajarkan berbagai kerajinan tangan dan diikutkan kursus matematika dan menggambar. Saat saya di TK A, mama mulai mencari SD yang cocok dengan kondisi saya, mama sengaja mencari SD jauh-jauh hari untuk mengantisipasi sulitnya mencari SD yang mau menerima saya. Dugaan mama terbukti, karena keterampilan dan kepandaian saya ternyata tidak cukup untuk membuat saya diterima. Pada 1
awalnya,sebelum mereka tahu bahwa saya adalah penderita tunarungu, mereka mau menerima saya setelah melakukan serangkaian wawancara singkat. Saya ditanya beberapa pertanyaan sederhana sebelum akhirnya diputuskan untuk diterima. Namun setelah mama memberitahu kondisi pendengaran saya, pihak sekolah mulai ragu-ragu. Ada beberapa sekolah yang terang-terangan menolak tapi ada juga yang secara halus menyatakan keberatannya. Ada saja alasan sekolahsekolah tersebut untuk mengatakan “tidak” pada saya. Saya tidak boleh masuk sekolah umum tapi dianjurkan masuk SLB. Pendeknya saya dianggap tidak mampu dan hanya akan menjadi beban disekolah umum. Butuh waktu,tenaga dan usaha keras sebelum akhirnya mama menemukan sekolah yang mau menerima saya dengan lapang dada “Dibutuhkan hampir 2 tahun untuk mencari SD yang mau menerima mu”, cerita mama.Ada saat dimana mama hampir putus asa dan menyuruh saya menunjukkan kebolehan saya. Saya disuruh mama membaca keras didepan mereka, disuruh menerima telepon untuk menunjukan bahwa saya memang bisa mendengar, Ditanya beberapa kosa kata dalam bahasa inggris, dan lainlain.Tapi, mereka tetap saja kukuh pada pendiriannya yaitu tidak menerima saya untuk bersekolah disana. Menjelang lulus TK B mama menerima kabar ada sekolah yang tidak mempersoalkan kondisi saya. Sekolah tersebut memberi kesempatan bagi siapa saja yang lulus tes kepribadian dan kemandirian akan diterima menjadi siswa. Dengan penuh percaya diri,mama mendaftarkan saya dan beberapa hari kemudian kami sekeluarga bersyukur setelah mendapat kabar bahwa saya berhasil diterima. Akhirnya, saya diberi kesempatan oleh sekolah itu, dan apa yang terjadi kemudian? Apakah saya mengalami kesulitan disana? Ya, saya akui ketika di awal, saya agak kesulitan dalam menyerap pelajaran dan dalam bersosialisasi dengan teman sebaya.Karena,terkadang guru-gurunya terlalu cepat menerangkan suatu pelajaran, situasi kelasnya yang agak ribut sehingga saya harus ekstra konsentrasi untuk mendengarkan guru juga teman-teman saya menganggap saya „aneh‟ karena alat bantu dengar di telinga kanan saya. Seiring dengan waktu akhirnya,temanteman saya mulai mengerti dan mau menerima saya bahkan membantu apabila saya mengalami kesulitan.
2
Waktupun berjalan dari hari ke hari, saya semakin menikmati sekolah saya. Saya berhasil meraih beberapa prestasi di sekolah. Dalam pelajaran sains saya selalu mendapat nilai tertinggi hingga akhirnya dijuluki “professor sains” oleh temanteman saya,saat kelas 3 SD saya mendapat beasiswa dari AG Bell Foundation atas prestasi saya di sekolah umum. AG Bell Foundation memberikan beasiswa bagi anak tunarungu yang berhasil berprestasi di sekolah umum dalam bidang akademis, olahraga atau seni. Saya juga dipercaya menjadi perwakilan kelas dalam lomba dai‟ cilik antar kelas. Lomba dai‟ cilik yang diselenggarakan sekolah itu memberikan kepercayaan yang luar biasa bahwa saya yang tunarungu ini mampu berpidato dan berdakwah di depan teman-teman di sekolah. Saya juga sering meraih prestasi dan juara yang diselenggarakan oleh sekolah dalam memperingati suatu momen seperti pada hari Kartini dan Maulid nabi SAW, saya berhasil meraih juara 1 dalam lomba menulis riwayat Nabi Muhammad SAW,juara 2 dalam lomba menggambar wajah ibu Kartini dan juara 3 dalam lomba menggambar kaligrafi. Kebetulan saya senang menulis puisi sehingga jika sekolah saya kedatangan tamu, bersama beberapa teman kami menampilkan kebolehan kami dan saya kebagian membacakan puisi karangan saya atau saya pernah diminta untuk menuliskan puisi untuk ditampilkan. Saya juga pernah ikut menyanyi bersama teman-teman ketika ada tamu yang berkunjung. Di rumah, bapak dan mama terus memotivasi saya untuk menggali potensi saya. Saya yang memang senang menggambar sejak kecil, mama memberi kesempatan untuk memajangnya di rumah dan dikantor mama. Mama dan bapak punya sebuah yayasan yang mengajarkan anak tunarungu berbicara dan berbahasa verbal. Suatu saat,kantor mama kedatangan tamu dari Australia dan kebetulan saat itu saya sedang ada dikantor mama. Saya berbincang-bincang dengan Ms.Vikki dan diakhir pembicaraan Ms.vikki membeli lukisan saya dan memesan 2 lagi untuk dibawa pulang ke Australia. Rasanya seperti sedang diatas awan! Saya sangat senang, ada orang yang membeli lukisan saya dan menganggap bahwa karya saya indah. Saya membuatkan lukisan lagi untuknya, gambarnya anak-anak yang tersenyum bahagia dengan pelangi diatasnya. Ms Vikki juga senang menerima lukisan saya.
3
Awal SMP,saya diberangkatkan bersama beberapa teman oleh sekolah saya untuk menjadi wakil sekolah dalam olimpiade se wilayah Surabaya dan sekitarnya. Meskipun akhirnya saya tidak menang tapi pengalaman tersebut sangat berkesan buat saya. Belajar dari pengalaman, orang tua saya bersama orang tua lainnya yang senasib membentuk suatu komunitas pada tahun 1999 yang bertujuan saling membantu dan saling berbagi cerita tentang pengalamannya bersama anak-anak yang tunarungu. Akhirnya komunitas ini mulai dilegalkan pada tahun 2004 dengan nama Yayasan Aurica. Tujuan yayasan ini seperti yang sudah disebutkan di atas untuk mengajarkan anak tunarungu berbicara, mendengar dan berbahasa verbal serta mendorong mereka untuk mampu bersosialisasi dengan masyarakat luas dan kelak mampu menjadi warga Negara yang aktif memberikan kontribusi bagi Negara. Murid-murid yayasan itu berasal dari berbagai daerah dipenjuru Indonesia, terutama dari Indonesia bagian timur. Ada yang dari Bali. Madura, Jogjakarta, Semarang tapi ada juga yang dari Kalimantan. Berbekal harapan dan semangat, para orangtua yang tidak semuanya mampu datang ke Aurica dan melatih anakanak mereka agar kelak bisa bersekolah disekolah umum dan kemudian meraih mimpi-mimpi mereka. Usaha para orangtua itu tentu tidak mudah. Dibutuhkan suatu proses yang panjang dan sulit. Jadi jangan menyangka bahwa anak yang awalnya tuli,t iba-tiba bisa menjadi seperti “ orang normal” yang bisa mendengar dan berbicara. Ada waktu, ada usaha keras, ada semangat yang tidak boleh padam, ada air mata,ada tetesan peluh dan ada doa-doa berkepanjangan yang menyertai setiap usaha orangtua. Hasil memang menyertai usaha yang dilakukan. Banyak anak-anak Aurica yang kemudian mampu berbicara dan berbahasa dengan baik. Ada yang mampu menyanyi dengan merdu, ada yang mampu bermain musik ada juga yang akhirnya menguasai 2 atau 3 bahasa . Namun ironisnya ,kami para tuna rungu tetap menjadi kaum minoritas yang hak-haknya tidak selalu mendapat perhatian. Mereka,anakanak tersebut tetap kesulitan mencari sekolah umum yang mau menerima mereka . Untuk yang berkantong tebal tidak terlalu menjadi masalah karena sekolah-sekolah swasta masih banyak yang mau menerima asalkan mereka bersedia membayar SPPnya lebih mahal. 4
Saya bisa jadi seperti ini karena sekolah saya mau memberi saya kesempatan untuk berkarya dan berprestasi, tapi berapa banyak sekolah yang mau memberi kesempatan seperti itu? Tentu saja ada tapi, jumlah sekolah yang mau melakukan itu hanya sedikit, masih bisa dihitung jari. Sementara anak-anak yang tidak beruntung itu sangatlah banyak,hingga tak bisa dihitung dengan jari. Sekolahsekolah umum biasanya selalu menolak anak-anak seperti saya dan anak-anak yang cacat dengan berbagai alasan, ada beberapa sekolah umum yang mau menerima dengan mensyaratkan adanya guru pendamping yang biaya untuk membayarnya sering kali lebih mahal dari SPPnya, ada pula beberapa sekolah yang meminta biayay SPP,uang gedung dan uang ekstra yang jumlahnya 2 kali lipat disbanding teman-temannya yang normal. Misalnya,normalnya harga SPP itu harganya Rp 500.000,- tapi karena si anak ini cacat, maka orangtuanya harus membayar 2 kali lipatnya, yaitu Rp 1.000.000.- . Jadi hanya orang-orang yang berduit alias kaya yang bisa bersekolah. Sementara orang-orang yang standar hidupnya menengah apalagi yang rendah itu tidak bisa bersekolah lantaran banyak sekolah umum yang tidak mau menerima anak itu. Sehingga, anak itu terpaksa bersekolah disekolah umum yang kekurangan murid yang akhirnya terpaksa menerima. Padahal, tugas anak-anak itu adalah sebagai penerus bangsa kita yang harus dibekali pendidikan dan keterampilan sesuai dengan potensinya. Kalau, anakanak itu tidak mendapatkan ilmu atau tidak diberi kesempatan untuk berprestasi bagaimana mereka bisa menggantikan generasi tua? Ternyata kami anak-anak tuna rungu jika diberi kesempatan juga mampu mengembangkan potensi kami. Alangkah indahnya seandainya pemerintah memberi kami kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya. Semoga harapan kami tercapai agar kami juga mampu mengharumkan bangsa dengan tangan-tangan istimewa kami.
5