SURVEI KESEJAHTERAAN SOSIAL DASAR TAHUN 2015
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL
KEMENTERIAN SOSIAL RI
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015.
Jakarta, P3KS Press 2016, xviii +120 hlm. 16 cm x 23 cm.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak buku sebagian atau seluruhnya tanpa izin dari Puslitbangkesos, Kementerian Sosial RI.
Tim Peneliti: Alit Kurniasari Badrun Susantyo Suradi Hari Harjanto Setiawan Anwar Sitepu Nurdin Widodo Husmiati Nyi R. Irmayani Habibullah Design Cover : Tim Imaji Tata letak : Tim Imaji Cetakan Pertama : April 2016 ISBN 978-602-363-018-9 Diterbitkan oleh: Puslitbangkesos Kementerian Sosial RI. Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta- Timur. Telp. (021) 8017126 E-mail:
[email protected]; Website: puslit.kemsos.go.id
Ketua Tim Lapangan Umi Badri Yusamah, Arief Sitompul, Sutaat, Aulia Rahman, Deni Sehabudin, Achmadi Jayaputra, Sukur Priyanto, Imanudin Sidik, Irwan Nasikin Setiawan, Rokna Murni, Setyo Sumarno, Pribowo, Sony Firmansyah, Catur Herry Wibawa, Annastasia Hustantie, Bambang Indra Kentjana, Dedeh Yuliah, Nenden Rainy S, Teti Ati Padmi, Nurani Kusnadi, M. Belanawane Sulubere, Herman Nugraha, Dayat Sutisna, Ahmad Suhendi, Mudjiastuti, Wandansari, Haryati Roebyantho, Bambang Pudjianto, Suharma, Togiaratua Nainggolan, Muslim Sabarisman, Nurhayani Lubis, Sugiyanto, Eko Gunawan Wibisono, M. Habiburrohman, Subhan Kadir, Yuyun Yuliawati, Sutimbul, Dulman, Syamsudin, B. Mujiyadi, M. Ikhsan Hasyim, Kasim Saleh.
Pewawancara Norawaty Sihombing, Wulan Purnama Sari, Dewi Riris Natalia Nababan, Rusmawati Nainggolan, Arie Amanda Putri, Riri Novitasari, Novanta Sitepu, Mardiana, Tika Simanjuntak, Nurman Ginting, M. Dani Butar-Butar, Afni Nainggolan, Octi Novita Pardede, Sryenda M. Kembaren, Ima Marweni BR Tarigan, urlaili Astika, Robby Hasudungan Silalahi, Guster CP Sihombing, Eviyanti Simanulang, Marianti Sinaga, Rahmah Khairina, Esther Silaban, Haspon W. Simanorang, Meisyah Rahmat Hura, Frans Sitepu, Al Amin Sukran Damanik, M. Arif Zebua, Nila Sari, Fahmi Natigor Pulungan, Rohani Hutabarat, Putra Solihin, Siti Patonah, Andi Mustika, Gok Mangasi P Nababan, Rolando Manalu, Budi Priyatno, Indra Ramos, Idris Imam Mustofa, Harun Ar Rasyid, Novia Faradila, Monalisa D. Siahaan, Iwan Triyogo, Jaelani, Jujuk Mardiyanto, Jimmi Farizi, Martha Arief Saputra, Oki Saputra, Melly Kristina, Marbawi, Yuli Nurharisma, Suheri Iswadi, Aryuli Setyo, Euis Yunarsih, Fivi Marice Putri, Novia Tri Marida, Cahaya Kurniawati, Fiqra Yuda Adam, Prasetyo Tri Kuswoyo, Faisal Akbar, Bilqis Nuraena, Herris Purwanti, Hilman Budiman, Aldie Satriana, Duta Perwira, Panji Khrisna Nugraha, Didin Cahyanto, Ludiyanto, Den Ardani Adigius, Hesti Hadianti, Setyo Budi, Emma Ratna Suminar, Nurjana, Suci Nurayani Kusuma, Alif Khofan Sandiawan, Ah Chuzaeni, Silvia Fatmah N, Rizky Puspitasari, Angelya Fendrawati, Sundusi Navi Latussalam, Septiyena, Yandi Rizal Akbar, Sandi Lesmana, Nadya Savitri, Rachmat Parawangsa, Syifa N Tresnaputri, Ellywati Wowon, Jesi Dian Suryani, M. Akmal, Ema Salwa, Ajie Nugraha, Lina Putri Pasaribu, Eki Dara Putri, Gandi Surya Kusumah, Sanyoto Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
iii
Budi Aji, Samudraman Harefa, Ulfain, Eneng Deti Nurbaeti, Susi Indriati, Cucu Rosita, Siti Nurjanah, Saktiyan Abiyanto Pamuji, Diantika FH Rahim, Deden Amiruddin, Sri Wulandari, Bangkit Pratama, Corry Currota Ayuni, Deni Anggraeni, Herry Firmansyah, Tri Oktivinati, Swarha Wia, Opi Supriyati, Didin Suhendar, Harti, Dianti Widianingsih, Marini, Yuliana, Anang Yodha Prawira, Aswin Hasanudin, Yayan Firmansyah, Yogi Alexander, Gusti Rudiyanto, Fiqih Hasanudin, Gilang Hartanto, Wahyu Yulianto, Fadly Restu Iswara, Atin Sofiatin, Rizal Palepi Muthahar, Gusti Surya Dinata, Andri Soemarno, Ahmad Fauzi, Yandi Kinantaka, Susanto, Fiqri Haqil Nur, Syahroni, Ibnu Farhan, Agus Siswanto, Bhekti Rahayuningsih, Suryan Waluma Sidiq, Harinda Nuraeni, Elfa S Paramitasari, Ihsan Masruri, Dedi Yusuf Habibi, Mutmainah, Aliyah Ramadhani, M. Ihsan Abdul Malik, Agus Wahyu Permana, Agus Syaiful Anwar, Juli Abidin, aini Fitri Yuliana, Nety anggun Pratiwi, Masyitoh Ummul Azizah, Ucy Nurjanah Sukmawati, Dewi Ayu Pramitasari, Lailatul Khofifah, Humidatun Nisa, Mohamad Hosni, Kamil, Bambang Sulistyo, Roni Salaki, M. Abdul Majid, Angga Kuswardana, Dedy Tri Kuncoro, Ahmad Choiruddin, Nariman Chandra Rinata, Arik Budiono, Dermawan Setiobudi, Tigar Ardian Firnanda, Ni’azah, Vicky Wahyu Suryadi, Rachmat Prayudi, Asri Amrail, Nikmah Fauzi, Marihot Bernard, Aris Tri Muntiyani, Alfons Kolimasang, Sulistyorini, Zaenal Arifin, M. Makhrus Effendi, Farida Fitriani, M. Amanu, Teguh Ramadhan, Mira Nitakusminar, Lalu Rakhmad Y.H, Ari Wiwit Widiatmanto, Baiq Usmayanti, Suzana, Dina Marselina, Nur Liza, Yuyun Qomari Purnomosidi, Mardianti, Suharni, Ovan Chandrawansyah, Harniati, Andrik Wicaksono, Budi Surya Hadi Pratama, Abdul Rahman Hidayat, Zaenuddin, Nurhadi, M. Fausi, Erwin Putradi, Ishartono, Robby Firmansyah, Fatmawati, Novi Widya Utami, Arief Budi Saputra, Jumardiansyah, Suko Harsono, Azhary Purnama, Dedy Pratama, Hodri, Mohamad Agung, Paskalia Tukau, Yuznia Sari Andhika Putri, Subejo, Soepriono, Arbain, M. Fadhol Tamimy, Fridolin Luruk, M. Risman R, Nur Jaydah, Rizky Mauludin Arif, Nur Farida, Andi Pajeria Dwi Nasari, Ade Rianti, Aswita Amansyah, Megawati, Nurmala, Norman Ilmi, Jeane Abigael Bunga, Soraya Nugrahafika, Ibnu Chaldon, Dian Rina, Niswati, Muhamad Maulana, Ida Yanti, Nurlaela Djufri, Alfianto, Achmad Ashari, Hamriani, Aris Prawoto, Junaedi, Afrianti Muis, Rabiah Tul Adawiah, Ermiyati, Fitriani, Asriyati, Astuty Tahir, Muayyana Taslim, Rizkyanti, Hartati Retnani Sari, Andi Hermawansyah, Ibrahim Baturante, Mangkonapadang, Hermiati, Andi Reidwan Asnaj, Akmal, Budi Dharma Saputra, Dahlia, Reza Adriansyah, Riza Zulkarnain, Andi Ismet Andri Kasim, Fadlun Aman, Deasy Ari Santy, Trianasari, Wedarina Adelia, Negro Hores, Heri Simon Sanggrang Bano, Nengsi Astince Bary, Zulfikar Apriansyah.
iv
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya laporan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) Tahun 2015 dapat diselesaikan. SKSD merupakan upaya Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos) untuk menyediakan data makro dan sebagai base line data dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan sebagai bahan perumusan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia. SKSD merupakan survei yang pertama kali dilakukan oleh Puslitbang Kesejahteraan sosial. SKSD ini dilaksanakan dengan mengambil sampel sebanyak 15.281 keluarga yang tersebar di 806 Kecamatan, 68 Kabupaten di 12 Provinsi. Pada kegiatan pengumpulan data melibatkan pewawancara dari unsur satuan bakti pekerja sosial, dan mahasiswa pekerjaan sosial yang berjumlah 270 orang, serta Ketua Tim dari unsur peneliti dan dosen berjumlah 46 orang. Laporan ini merupakan laporan nasional, yang memuat 4 (empat) dimensi, yaitu dimensi: kualitas hidup, keberlanjutan, kohesi sosial, dan perubahan sosial. Keempat dimensi tersebut secara konseptual merupakan dimensi utama yang berkaitan langsung dengan kondisi kesejahteraan sosial (wellbeing) keluarga di Indonesia. Tersusunnya laporan ini berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Kabadiklit Kemensos Mu’man Nuryana,Ph.D, Sekretaris Badiklit Drs. Heri Krissritanto, Kapuslitbangkesos Dr. Dwi Heru Sukoco, Dr.Ir. Harry Hikmat, M.Si, (Konsultan), Dr. Heru Prasaja, (Universitas Admajaya), Prof. Adi Fahrudin, M.Soc, Ph.D (Universitas Muhamadiyah Jakarta). Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Badan Pusat Statistik, atas kerjasama dan bantuan metodologi survei; Kepala Instansi Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota lokasi pengumpulan data survei, atas dukungan, bantuan dan kerjasamanya. Kemudian penghargaan disampaikan kepada Tim SKSD dan Tim Manajemen yang telah bekerja keras mempersiapkan, melaksanakan pengumpulan data, sampai penulisan laporan ini. Secara khusus, ucapan terima kasih kepada Menteri Sosial RI, yang telah memberi kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
v
Meskipun tim SKSD sudah bekerja keras untuk menyelesaikan laporan survei ini, namun demikian laporan ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu, diharapkan masukan, saran dan kritik guna penyempurnaan kegiatan dan penulisan laporan survei ini.
Jakarta, 9 April 2016 Kepala Puslitbang Kesejahteraan Sosial
MULIA JONIE
vi
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
RINGKASAN EKSEKUTIF Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) tahun 2015 bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi kesejahteraan sosial dasar keluarga di Indonesia, digambarkan dalam empat dimensi kesejahteraan yaitu; 1) kualitas hidup; 2) kohesi Sosial 3) keberlanjutan dan 4) perubahan sosial. Masingmasing dimensi diukur melalui kondisi objektif dan subjektif, sehingga dapat diketahui katagorisasi keluarga, sejahtera (secara obyektif dan subyektif kondisinya baik), disonansi (secara obyektif kondisinya baik tetapi secara subyektif kondisinya buruk), adaptif (secara obyektif kondisinya buruk tetapi secara subyektif kondisinya baik) dan deprivasi (secara subyektif dan obyektif kondisinya buruk). Kondisi sejahtera manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial, serta menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Kebutuhan dasar berkaitan dengan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Peranan sosial dimaksud sesuai dengan status sosial, tugas-tugas dan tuntutan norma lingkungan sosialnya. Kemudian, goncangan dan tekanan terkait dengan masalah psikososial dan krisis ekonomi. Metodologi, domain survei ini adalah nasional dan beberapa provinsi di Indonesia, sehingga level penyajian dapat secara nasional dan provinsi. Kerangka sampel disusun berdasarkan unit sampel provinsi, kabupaten/kota, blok sensus dan rumah tangga berdasarkan hasil pemutakhiran Susenas maret 2015. Penarikan sampel diukur dengan design effect 2.0, response rate 95%, margin of error1%. Pemilihan provinsi mewakili 5 (lima) regional wilayah yaitu : Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sebaran sampel diutamakan dapat mewakili daerah perkotaan dan pedesaan, kepadatan/jumlah penduduk, dan daerah pantai/bukan pantai, karena aspek kesejahteraan berkorelasi dengan aspek lingkungan dan kewilayahan. Maka ukuran sampel yang dibutuhkan untuk estimasi nasional adalah 17.000 rumah tangga dari 1.700 blok sensus, 65 kabupaten/kota yang dialokasikan ke setiap provinsi dengan blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan perdesaan. Terpilih sample di 12 provinsi: 1) Sumatera Utara; 2) Riau; 3) Lampung; 4) Jawa Barat; 5) Jawa Timur; 6) Bali; 7) Nusa Tenggara Barat; 8) Kalimantan Barat; 9) Kalimantan Timur; 10) Sulawesi Selatan; 11) Sulawesi
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
vii
Barat; dan 12) Papua Barat. Pada setiap Blok Sensus, terpilih Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT) terdiri dari 10 rumah tangga dan 5 cadangan dengan responden terpilih adalah keluarga dalam rumah tangga tersebut. Data yang diperoleh dari tingkat keluarga akan diberi pembobotan, sehingga dapat diestimasi secara provinsi dan nasional. Data terkumpul sebanyak 15.574 keluarga, karena menghadapi kendala sbb: 1) Bencana asap di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat; 2) Konflik sosial/politik di 2 kabupaten di Propinsi Jawa Timur. 3) Penolakan responden di daerah perkotaan di kota Medan, Surabaya, Bandung dan Denpasar; 4) perbedaan daftar sampel rumah tangga dengan kondisi lapangan; 5) Sulitnya kondisi geografis dan transportasi. Hasil survei menunjukkan bahwa : Secara demografi, sebagian besar kepala keluarga yang diwawancara berjenis kelamin laki-laki, dengan persentase sebesar 86.30 persen dan perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau kawin, belum menikah sebesar 1,93 persen. Umur kepala keluarga diketahui lebih dari 27,5 persen berumur diatas usia 40 tahun. Keluarga dimaksud berkedudukan lebih banyak di perkotaan daripada di perdesaan. Kualitas hidup keluarga di Indonesia umumnya telah terpenuhi kebutuhannya meski pada beberapa pemenuhan kebutuhan perlu mendapatkan perhatian. Seperti kebutuhan pangan terutama pemenuhan lauk pauk hewani dan nabati perlu mendapatkan perhatian contoh pada keluarga dengan katagori deprivasi. Untuk kebutuhan tempat tinggal, sebagian besar keluarga sudah memiliki rumah, lengkap dengan kepemilikan fasilitas MCK, dengan catatan masih terbatas pada pemenuhan kebutuhan air bersih yang selama ini memanfaatkan sumur bor pompa, dan sumber mata air terlindungi. Penerangan listrik umumnya sudah menggunakan PLN dan gas elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Pemenuhan pakaian, keluarga di Indonesia, secara kwantitas telah terpenuhi terutama pada saat perayaan hari besar atau hari raya, dimana keluarga mengupayakan untuk membeli pakaian baru, meski secara kwalitas, pakaian mereka belum seluruhnya terpenuhi. Upaya untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keluarga melakukan cara meminjam atau berhutang dan minta bantuan bahkan menjual barang, menggandai serta diatur secukupnya, sehingga pemenuhan pangan tetap terpenuhi. Kohesi sosial, diantaranya pemenuhan kebutuhan pendidikan dan perlindungan sosial. Pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, menunjukkan bahwa 65 persen keluarga mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, meski masih terdapat anggota keluarga yang berusia antara 3-6 tahun, usia wajib belajar tidak bersekolah, bahkan usia 16-21 tahun tidak melanjutkan
viii
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
sekolah dan ada diantaranya yang berusia diatas 21 tahun tidak bisa baca tulis, dengan alasan yang paling banyak adalah karena tidak adanya biaya. Masalah yang perlu menjadi perhatian ternyata alasan disabilitas cukup mewarnai, sebagai alasan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, serta masih ditemukannya anak usia wajib belajar yang bekerja membantu orang tua. Dari beberapa pemenuhan kebutuhan tersebut, diperoleh gambaran bahwa kendala yang dihadapi adalah terbatasnya biaya dan kendala lainnya, seperti tidak adanya fasilitas, Upaya untuk mengatasi masalah pendidikan, umumnya dengan cara mengatur secukupnya, sesuai dengan apa yang mereka miliki, meski diantaranya ada yang meminjam atau berhutang dan meminta bantuan orang lain. Perlindungan sosial, yang diikuti keluarga di Indonesia, ditemukan bahwa paling banyak menjadi peserta BLSM dan penerima Rastra. Demikian halnya dengan kepemilikan Kartu BPJS mandiri/pegawai dan KIS-PBI cukup banyak dimiliki keluarga. Sementara untuk akses terhadap berbagai program perlindungan sosial, seperti program Usaha Ekonomi produktif (UEP), PKH, Askesos, Rastra, BLSM, BSPS, Rutilahu dan PPFM, tidak banyak diikuti keluarga karena ketidak tahuan terhadap program dimaksud. Demikian halnya dengan program UEP, PKH, ASKESOS, 50 persen keluarga, menyatakan tidak tahu juga tentang panti sosial dan rehabilitasi diluar panti yang dinyatakan oleh hampir 75 persen keluarga di Indonesia. Demikian juga ketidak tahuan keluarga untuk ikutserta terhadap Program Kampung Siaga Bencana, dinyatakan 76,21 persen keluarga. Ketidak tahuan tersebut menjadikan mereka tidak ikut serta terhadap program-program dimaksud, diluar golongan keluarga mampu, baru pindah dan stasus sebagai PNS. Sistem sumber yang paling dikenal keluarga adalah Karang Taruna sebesar 42,3 persen, Panti Sosial sebesar 28,5 persen dan tenaga Penyuluh Sosial 13,4 persen, dengan pemanfaatan sistem sumber tersebut antara 10 sampai 25 persen dari pengetahuan mereka miliki. Keberlanjutan kesejahteraan keluarga, maka aset kepemilikan dari keluarga sebagai faktor pendukung kondisi kesejahteraan berupa rumah, tanah, kepemilikan hewan ternak dan barang perhiasan serta tabungan di Bank atau Koperasi dimiliki oleh sebagian kecil keluarga, sementara Hand phone, TV dan motor hampir seluruh keluarga memilikinya. Kondisi kesehatan keluarga merupakan modal sosial manusia, untuk proses keberlanjutan, hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga mengalami gangguan kesehatan, selama tiga bulan terakhir, yang berpengaruh kepada aktivitas sehari-hari. Upaya untuk mengatasi gangguan kesehatan umumnya keluarga lebih banyak berobat ke tempat medis, selain ada Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
ix
diantaranya yang berobat sendiri dengan cara membeli obat ke warung atau meracik obat untuk mengobati penyakitnya. Relasi sosial keluarga dalam lingkungan, menunjukkan bahwa kegiatan beribadah bersama, perayaan hari besar dan kerja bakti secara signifikan menjadi kegiatan yang banyak dilakukan keluarga. Termasuk memberi pertolongan kepada warga lain jika membutuhkan pertolongan, masih tetap mewarnai keluarga di Indonesia, yakni sebesar 83,04 persen, meski 16,96 persen keluarga tidak memberikan pertolongan kepada warga dengan alasan sakit. Hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, secara umum sangat baik berada pada 15,46 persen dan baik pada 78,79 persen. Perubahan sosial, menyangkut pada rasa aman keluarga dengan kondisi lingkungan saat ini, ditemukan bahwa umumnya keluarga memiliki rasa aman cukup besar, meski ancaman bencana asap dan bencana banjir masih tetap menjadi ancaman dan selain pencurian menjadi kondisi sosial yang mengancam keluarga. Kondisi demografi, keluarga yang diwawancara pada survey ini, sebagian besar kepala keluarga laki-laki daripada perempuan, dengan status perkawinan mereka sudah menikah. Umur kepala keluarga umumnya berada pada usia produktif dan banyak berkedudukan di perkotaan daripada di perdesaan, meski dalam metode yang dirancang jumlah keluarga antara perkotaan dan perdesaan berimbang. Partisipasi keluarga cukup besar terhadap pemilihan umum, dan alasan tidak berpartisipasi terhadap eilihan umum atau kegiatan pemilihan kepala desa, semata karena sibuk bekerja atau bepergian. Meski kebanyakan keluarga yang diwawancara berada diperkotaan namun hasil analisis hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, diketahui bahwa kegiatan perayaan hari besar, kerja bakti dan ibadah memiliki hubungan signifikan dengan aktifitas keluarga di lingkungan setempat, sehingga kegiatan tersebut dapat dimanfaatkan untuk intervensi sosial berbasis komunitas. Hasil analisis gap antara kebutuhan yang dilihat secara obyektif dan pandangan subyektif terhadap pemenuhan kebutuhan, diperoleh gambaran pada hampir sebagian keluarga di Indonesia berada dalam katagori sejahtera. sementara keluarga dengan katagori deprivasi dimana kebutuhan secara obyektif maupun subyektif dalam kondisi buruk, yang ditemukan pada pemenuhan lauk pauk hewani dan nabati dan pemenuhan papan, terutama kondisi lantai dan atap rumah yang buruk. Selain itu masih ditemukan keluarga dengan katagori yang mempersepsi buruk terhadap pemenuhan kebutuhan mereka. padahal kondisi secara obyektif telah memadai atau baik. Katagori keluarga dimaksud dalam katagori disonansi, yang perlu diintervensi untuk meningkatkan
x
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
pemahamannya tentang pemenuhan kebutuhan dimaksud. Sebaliknya juga terdapat keluarga dengan kondisi kebutuhannya secara obyektif buruk tetapi dipersepsi secara subyektif sudah baik, sehingga masuk kedalam katagori adaptif, yang diwujudkan dalam strategi pemenuhan kebutuhannya. Dalam hal ini akses terhadap pemenuhan kebutuhan melalui program perlindungan kesejahteraan sosial, selayaknya diperoleh pada keluarga dengan katagori deprivasi dan disonansi. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti merekomendasikan; Perlunya mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi keluarga miskin. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang program Kementerian Sosial melalui Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE). Peningkatkan aksesibilitas keluarga miskin dan penyandang disabilitas terhadap program pelayanan kesejahteraan sosial terutama aksesibilitas terhadap program perlindungan sosial dan program jaminan sosial. Impelementasi program kesejahteraan sosial dengan mengoptimalkan peran aktif Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), terutama yang ada di tingkat akar rumput, seperti Karang Taruna, Penyuluh Sosial. Perlunya penelitan lanjutan untuk mendalami permasalahan kesejahteraan sosial tingkat kabupaten, kecamatan, sehingga dapat menyediakan base line data aktual tentang permasalahan kesejahteraan sosial, yang digunakan sebagai dasar untuk perumusan kebijakan dan program kesejahteraan sosial.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
xi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR v KETUA TIM LAPANGAN iii PEWAWANCARA iii RINGKASAN EKSEKUTIF vii DAFTAR ISI xii DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xvii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Ruang Lingkup C. Permasalahan Survei D. Tujuan Survei E. Langkah-Langkah F. Organisasi Survei G. Pembiayaan
1 1 5 5 6 6 6 8
BAB II: METODE SURVEI A. Domain Penelitian B. Kerangka Sampling C. Stratifikasi Wilayah D. Ukuran Sampel E. Alokasi Sampel F. Pengenalan Sketsa Peta Blok Sensus G. Daftar Sampel Rumah Tangga H. Desain Sampling I. Pemilihan Responden J. Pembobotan (Weighting)
9 9 9 10 10 11 11 12 14 15 15
BAB III : KAJIAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Sosial B. Fungsi dan Peranan Keluarga C. Variabel, Indikator dan Parameter Survei
17 17 21 30
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum B. Kualitas Hidup C. Kohesi Sosial D. Keberlanjutan E. Perubahan Sosial
31 31 37 66 88 97
xii
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
BAB V: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
111 111 117 119
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 : Alokasi Sampel berdasarkan Blok Sensus dan Jumlah Petugas Pengumpul Data
11
Tabel 2.2: Indirect Estimate Provinsi dan Indonesia
16
Tabel 3.1: Variabel, Indikator dan Parameter Survei
30
Tabel 4.1 : Target dan Realisasi Capaian Responden Secara Nasional
32
Tabel 4.2 : Klasifikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan provinsi (%)
35
Tabel 4.3 : Keluarga yang Mengkonsumsi Makanan Pokok Minimal 2 (dua) kali dalam Seminggu Terakhir.
38
Tabel 4.4 : Frekuensi Keluarga Makan Lauk Pauk Nabati dalam Seminggu Terakhir
40
Tabel 4.5 : Frekuensi Keluarga Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir
41
Tabel 4.6 : Pemenuhan Kebutuhan Pangan
42
Tabel 4.7 : Upaya yang Dilakukan dalam Memenuhi Kebutuhan Pangan
43
Tabel 4.8 : Keluarga Yang Memiliki Pakaian Berbeda
47
Tabel 4.9 : Persentase Keluarga yang Membeli Pakaian Baru dalam 12 bulan Terakhir
48
Tabel 4.10: Persepsi Responden atas Keterpenuhan Kebutuhan Pakaian Keluarga
49
Tabel 4.11 : Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pakaian
50
Tabel 4.12 : Keluarga dengan Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal 53 Tabel 4.13 : Luas Lantai Rumah
54
Tabel 4.14 : Jenis Dinding Rumah
55
Tabel 4.15 : Jenis Atap Rumah
57
Tabel 4.16 : Rumah dengan Fasilitas MCK
58
Tabel 4.17 : Sumber Air Bersih Utama Keluarga
59
Tabel 4.18 : Keluarga yang Menggunakan Listrik.
61
Tabel 4.19 : Besarnya Daya Listrik Terpasang Di Rumah
61
Tabel 4.20 : Bahan Bakar/Energi Utama untuk Memasak
62
Tabel. 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal.
63
Tabel 4.22 : Upaya yang Dilakukan Untuk Memenuhi Kebutuhan Tempat Tinggal
64
xiv
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.23 : Prosentase Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan berdasarkan Provinsi.
67
Tabel 4.24 : Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal
68
Tabel 4.25 : Alasan anggota Keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah
70
Tabel 4.26 : Alasan anggota Keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah
72
Tabel 4.27 : Alasan anggota keluarga >21 tahun tidak bisa baca tulis
73
Tabel 4.28 : Kepemilikan Kartu Perlindungan Sosial
75
Tabel 4.29 : Prosentase Alasan tidak ikut UEP
76
Tabel 4.30 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (1)
76
Tabel 4.31 : Prosentase Alasan Tidak Ikut PKH
77
Tabel 4.32 : Alasan Tidak Ikut ASKESOS
78
Tabel 4.33 : Prosentase Alasan Tidak Ikut RASTA
79
Tabel 4.34 : Alasan Tidak Ikut BLSM
80
Tabel 4.35 : Alasan Tidak Ikut BSPS
80
Tabel 4.36 : Alasan Tidak Ikut RUTILAHU
81
Tabel 4.37 : Alasan Tidak Ikut KUBE UEP
82
Tabel 4.38 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (2)
83
Tabel 4.39 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial
83
Tabel 4.40 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial Di Luar Panti
84
Tabel 4.41 : Alasan Tidak Ikut Program Keserasian Sosial
85
Tabel 4.42 : Alasan Tidak Ikut Program Kampung Siaga Bencana
86
Tabel 4.43 : Pengetahuan dan Pemanfaatan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
87
Tabel 4.44 : Rasa Aman Keluarga dengan Kondisi Lingkungan Alam
89
Tabel 4.45 : Upaya Keluarga dalam Mengatasi Kondisi Alam Yang Tidak Aman
90
Tabel 4.46 : Rasa Aman Keluarga dari Peristiwa, dalam Setahun Terakhir
91
Tabel 4.47 : Keluarga yang Mengalami Gangguan Kesehatan dalam Tiga Bulan Terakhir Dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Sehari-Hari
92
Tabel 4.48 : Upaya dilakukan keluarga akibat Terganggunya aktivitas sehari-hari anggota keluarga
93
Tabel 4.49 : Alasan Keluarga Mengatasi Gangguan Kesehatan dengan Non Medis
94
Tabel 4.50 : Biaya Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Keluarga
95
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
xv
Tabel 4.51: Upaya yang dilakukan keluarga bila pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan keluarga sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi
96
Tabel 4.52 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Rapat di Lingkungan RT/RW dan Alasan Tidak Mengikuti Rapat
99
Tabel 4.53: Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Arisan dan Alasan Tidak Mengikuti Arisan
99
Tabel 4.54 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Ibadah Bersama dan Alasan Tidak Mengikuti Ibadah Bersama
100
Tabel 4.55 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Kerja Bhakti dan Alasan Tidak Mengikuti Kerja Bhakti
101
Tabel 4.56 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Siskamling dan Alasan Tidak Mengikuti Siskamling
102
Tabel 4.57 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Perayaan Hari Besar dan Alasan Tidak Mengikuti Perayaan Hari Besar
103
Tabel 4.58 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Posyandu/PKK/ Pos Lansia dan Alasan Tidak Mengikuti Posyandu/PKK/ Pos Lansia
104
Tabel 4.59 : Prosentase Hubungan Keluarga dengan Lingkungan Setempat 105 Tabel 4.60 : Prosentase Anggota Keluarga Memberi Pertolongan pada Warga Lain Selama 12 bulan terakhir dan Alasan Tidak Memberi Pertolongan pada Warga Lain
107
Tabel 4.61 : Prosentase Partisipasi pada Pemilu Terakhir dan Alasan tidak memberikan suara
108
Tabel 4.62 : Prosentase Partisipasi pada Pilkada Terakhir dan alasan tidak memberikan suara.
109
Tabel 4.63 : Prosentase Partisipasi pada Pemilihan lokal dan alasan tidak memberikan suara
110
xvi
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Blok Sensus
12
Gambar 2.2 : Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT)
13
Gambar 2.3 : Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS)
14
Gambar 4.1 : Contoh Kondisi Lokasi survei di wilayah berasap
32
Gambar 4.2 : Contoh Kondisi Geografis Lokasi Survei
34
Gambar 4.3 : Klasifikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
35
Gambar 4.4 : Responden Menurut Kelompok Umur
36
Gambar 4.5 : Responden Menurut Jenis Kelamin.
36
Gambar 4.6 : Responden Menurut Status Perkawinan
36
Gambar 4.7 : Keluarga makan lauk pauk nabati dalam Seminggu Terakhir 39 Gambar 4.8 : Keluarga yang Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir
41
Gambar 4.9 : Pemenuhan Kebutuhan Pangan secara Nasional
43
Gambar. 4.10 : Analisis “Gap” Pemenuhan Kebutuhan Pangan
44
Gambar 4.11 : Pemenuhan Makanan Pokok
45
Gambar 4.12 : Pemenuhan Lauk Pauk Nabati
46
Gambar 4.13 : Pemenuhan Lauk Pauk Hewani
46
Gambar 4.14 : Kepemilikan Pakaian
51
Gambar 4.15 : Membeli Pakaian Baru
51
Gambar 4.16 : Jumlah (stel) pakaian yang dimiliki
51
Gambar 4.17 : Lantai Rumah Bukan Tanah
54
Gambar 4.18 : Kondisi Dinding Rumah dalam Kondisi Bagus
56
Gambar 4.19 : Kondisi Atap Rumah Bagus
57
Gambar 4.20 : Mengkonsumsi Air Bersih Utama dengan Membeli
60
Gambar 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal Keluarga Secara Nasional
63
Gambar 4.22 : Analisis Gap Jenis Lantai Rumah
65
Gambar 4.23 : Analisis Gap Kondisi Atap Rumah
65
Gambar 4.24 : Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan secara Nasional
66
Gambar 4.23 : Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal
69
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
xvii
Gambar 4.24 : Alasan anggota keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah 71 Gambar 4.25 : Alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah
73
Gambar 4.26 : Alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bisa baca tulis. 74 Gambar 4.28 : Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan
95
Gambar 4.29 : Aset Kepemilikan Keluarga
88
Gambar 4.31: Upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan pada keluarga kurang terpenuhi
97
Gambar 4.32 : Partisipasi keluarga dalam Kegiatan lingkungan
98
Gambat 4.33 : Hubungan Keluarga dengan lingkungan setempat.
xviii
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
105
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pembangunan kesejahteraan sosial sebagai bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, dilaksanakan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan berkesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara tegas tercantum pada (a) Pasal 27 ayat (2) bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (b) Pasal 33 ayat (3), bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan (c) Pasal 34 ayat (1), bahwa “fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara dan ayat (2) negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Berdasarkan amanat Undang-Undang tersebut, pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 2019, visi yang akan dicapai Negara dan Pemerintah Republik Indonesia, yaitu: berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Arah Kebijakan Nasional pada RPJM III (2015 – 2019) dilaksanakan dalam rangka mewujudkan RPJPN 2005 – 2025, yaitu Pembangunan Keunggulan Kompetitif Perekonomian yang berbasis: Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia, Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Pada saat ini pemerintah menetapkan agenda prioritas nasional, yang kemudian di kenal dengan Nawa Cita. Dari 9 (sembilan) agenda pokok pembangunan, Kementerian Sosial melaksanakan 4 (empat) agenda yaitu: agenda Ketiga; “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
1
Pengurangan kemiskinan dan kesenjangan; dengan arah dan strategi untuk peningkatan perlindungan, produktivitas, dan pemenuhan hak dasar penduduk kurang mampu, perluasan dan peningkatan pelayanan dasar untuk masyarakat kurang mampu. Agenda Kelima:“Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dengan arah dan strategi jaminan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Agenda Kedelapan, “melakukan revolusi karakter bangsa”. Agenda Kesembilan, “Memperteguh ke-bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.” meningkatkan pembudayaan kesetiakawanan sosial dalam penyelenggaraan perlindungan sosial. Arah strategis: peningkatan penyuluhan sosial untuk pendidikan dan kesadaran masyarakat. Peran dan fungsi Kementerian Sosial akan dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan daya saing penduduk terutama kelompok miskin dan rentan, penyandang disabilitas, lanjut usia, serta kelompok marginal lainnya. Hal ini dilandasi dengan semangat kegotongroyongan dan kesetiakawanan sosial yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia yang telah ada sejak lama. Sejalan dengan Nawa Cita tersebut, dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan penanganan fakir miskin, telah tersedia peraturan perundangundangan, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Upaya Penanganan Fakir Miskin Melalui Pendekatan Wilayah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, pada Rencana Strategi (Renstra) Kementerian Sosial Tahun 2015-2019, di dalamnya memuat substansi pengembangan sistem perlindungan sosial yang mapan, komprehensif, berkesinambungan dan merupakan perpaduan sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antar sektoral untuk meringankan dampak kemiskinan dan kemelaratan. Selanjutnya, pada Renstra tersebut permasalahan sosial dikelompokan sebagai berikut: 1. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi penduduk miskin dan rentan serta kelompok marjinal lainnya. 2. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan perlindungan sosial yang belum komprehensif, termasuk membedakan antara asistensi reguler dan asistensi temporer bagi penduduk miskin dan rentan.
2
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
3. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan ketimpangan akses dan penjangkauan pelayanan dasar. 4. Permasalahan sosial yang berkaitan dengan terbatasnya akses penduduk miskin dan rentan dalam mengembangkan penghidupan secara berkelanjutan. 5. Permasalahan yang berkaitan dengan sumber daya manusia dan kelembagaan penyelenggara kesejahteraan sosial. Berbagai permasalahan sosial tersebut merupakan tantangan dan sekaligus menjadi ancaman bagi kelangsungan pembangunan nasional, dan oleh karena itu negara dan pemerintah perlu menempuh kebijakan dan langkah-langkah strategis guna mengatasi permasalahan sosial tersebut. Hal ini sebagaimana tersurat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang memberikan mandat kepada negara dan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Pasal 1 Ayat (2) menegaskan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial dimaknai sebagai upaya terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Undang-undang dan agenda pembangunan nasional tersebut merupakan dasar hukum dan landasan operasional penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia. Secara eksplisit, negara dan pemerintah memperoleh mandat untuk bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian, Kementerian Sosial sebagai representasi pemerintah yang tugas dan fungsinya menyelenggarakan kesejahteraan sosial, mendapatkan mandat untuk mengembangkan kebijakan dan program-program yang responsif terhadap kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi rakyat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang kompleks. Kemajuan teknologi industri dan informasi, memang dirasakan memberikan keuntungan bagi peningkatan dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada sisi yang lain, kemajuan-kamajuan tersebut membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
3
Situasi tersebut memerlukan respon yang cepat dan tepat, agar permasalahan dan tantangan tersebut tidak mengganggu dan menjadi ancaman penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Sehubungan dengan itu, maka kebijakan dan program yang penyelenggaraan kesejahteraan sosial harus berbasis pada isu-isu strategis, sehingga mampu menjawab kebutuhan dan mengatasi permasalahan sosial yang dirasakan masyarakat. Pada kerangka inilah, maka setiap kebijakan dan program kesejahteraan sosial harus berbasis pada hasil-hasil penelitian. Agar dapat merancang kebijakan dan program-program dimaksud, maka diperlukan survei sesuai dengan kondisi faktual masyarakat. Survei diarahkan untuk menjawab, apakah kebijakan dan program kesejahteraan sosial sudah menjawab status kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia, dan apakah kebijakan dan program tersebut sudah menjelaskan kehadiran negara dalam mengatasi permasalahan. Maka dalam kerangka inilah survei itu menempati posisi yang sangat penting. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) merupakan langkah yang ditempuh untuk menjawab permasalahan di atas. Survei ini sangat penting karena akan menghasilkan data dan informasi yang bersifat komprehensif guna menjawab permasalahan sosial di masyarakat. Selama ini telah dilakukan penelitian-penelitian, akan tetapi bersifat parsial, sehingga tidak mampu menjawab dan mengatasi permasalahan secara tuntas. Adapun penelitian yang sudah dilakukan Puslitbangkesos antara lain : Pertama, Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (Suradi dkk, 2007, 2013). Kedua, Penanggulangan Kemiskinan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sebagai sebuah model (Roebiyanto dkk, 2011), Kesesuaian Bantuan bagi anggota KUBE (Mujiyadi, 2007), Program Rutilahu (Suradi dkk, 2012) dan Program Raskin (Sitepu dkk, 2014). Ketiga, Peningkatan Kapasitas Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial tentang posisi strategis tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK) dalam pelayanan sosial langsung (Sutaat dkk, 2013) dan Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3) eksistensinya diperlukan masyarakat (Setiti dan Hadi, 2009). Keempat, Rehabilitasi Sosial Orang Dengan Kecacatan yang memberikan dampak positif (Roebiyanto dkk, 2012). Kelima, Pelayanan Sosial Lanjut Usia mampu meningkatkan kesejahteraan sosial (Sumarno dkk, 2011). Keenam, Pelayanan Sosial Anak Telantar melalui Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) membantu pendidikan anak, terutama untuk peralatan sekolah, buku pelajaran dan pakaian seragam (Astuti dkk, 2013). Ketujuh, Penguatan Keserasian Sosial sebagai upaya pengendalian
4
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
terjadinya konflik sosial antara kelompok masyarakat (Sumarno dan Roebiyanto, 2013). Kedelapan, Program Keluarga Harapan memberikan dampak positif terhadap kondisi kehidupan Keluarga (Nainggolan dkk, 2012) dan pendamping PKH telah menunjukkan kinerjanya dengan baik, baik pada aspek administratif maupun teknis (Habibullah dan Noviana, 2013). Kesembilan, Asuransi Kesejahteraan Sosial memberikan dampak positif terhadap penerima program (Muhtar dan Habibullah, 2009). Hasil-hasil penelitian tersebut merupakan penelitian yang dilaksanakan di beberapa lokasi, sehingga belum dapat menggambarkan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara nasional. Meskipun demikian, data dan informasi yang dihasilkan melalui penelitian tersebut, dapat menjadi inspirasi dan bahan dalam penyempurnaan program kesejahteraan sosial. Sedangkan dalam rangka perumusan dan pengembangan kebijakan nasional, diperlukan data dan informasi yang dapat menjelaskan status atau kondisi kesejahteraan sosial keluarga Indonesia. Sampai saat ini, data makro spesifik kesejahteraan sosial keluarga di Indonesia belum tersedia. Oleh karena itu, Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD), merupakan langkah strategis karena akan menghasilkan data dan informasi status kesejahteraan sosial keluarga di Indonesia secara nasional. Hasil survei ini nantinya akan digunakan sebagai baseline data nasional dan provinsi dalam merumuskan kebijakan dan program kesejahteraan sosial nasional maupun provinsi terpilih.
B. RUANG LINGKUP Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) difokuskan pada mengumpulkan data dan informasi berbasis keluarga untuk mengetahui kondisi kesejahteraan sosial dasar tingkat nasional dan provinsi terpilih. Ruang lingkup SKSD ini meliputi 4 (empat) variabel, yaitu: 1. Kualitas hidup 2. Kohesi sosial 3. Keberlanjutan, dan 4. Perubahan sosial.
C. PERMASALAHAN SURVEI Permasalahan SKSD dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana kualitas hidup keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
5
2. Bagaimana kohesi sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ? 3. Bagaimana keberlanjutan keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ? 4. Bagaimana dimensi perubahan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?.
D. TUJUAN SURVEI Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) dimaksudkan untuk menyediakan data dan informasi tentang kondisi kesejahteraan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih. Adapun tujuan yang akan dicapai adalah: 1. Menyediakan data dan informasi tentang kualitas hidup keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ? 2. Menyediakan data dan informasi tentang kohesi sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ? 3. Menyediakan data dan informasi tentang keberlanjutan keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ? 4. Menyediakan data dan informasi tentang dimensi perubahan sosial keluarga secara nasional dan di provinsi terpilih ?.
E. LANGKAH-LANGKAH Langkah-langkah pelaksanaan SKSD adalah: 1. Penyusunan Protokol 2. Penyusunan Metodologi 3. Penyusunan dan Uji Coba Instrumen 4. Sosialisasi dan Asistensi ke 4 Korwil 5. Seleksi rekruitmen Ketua Tim dan pengumpul data 6. Pemantapan Ketua Tim dan Pewawancara 7. Pengumpulan data 8. Pengolahan dan analisis data 9. Penulisan laporan
F. ORGANISASI SURVEI Dasar hukum pelaksanaan SKSD 2015 adalah Keputusan Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Nomor 05/BKS/ SK/05//2015 Tanggal 5 Mei 2015 tentang Pelaksanaan Survei Kesejahteraan
6
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Sosial Dasar Tahun 2015, terdiri dari Tim Penasehat dan Pengarah, Tim Teknis Penelitian Pelaksanaan, sebagai berikut: 1. Tim Penasehat dan Pengarah Pelaksanaan Survei. No
Nama
Jabatan dalam Instansi
Jabatan dalam Tim
Menteri Sosial Republik Indonesia
Ketua
Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial
Sekretaris
1.
Dra. Khofifah Indar Parawansa, M.Si
2.
Mu’man Nuryana, M.Sc, Ph.D
3.
Drs. Toto Utomo Budi Santosa, M.Si
Sekretaris Jenderal
Anggota
4.
Karun, AK
Inspektur Jenderal
Anggota
5.
Drs. Hartono Laras, M.Si
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan
Anggota
6.
Drs. Samsudi, MM
Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial
Anggota
7.
Dr. Ir. Andi Zaenal Abidin Dulung, Mconst, M.Sc
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
Anggota
2. Tim Teknis Penelitian Pelaksanaan Survei. No
Nama
Jabatan dalam Instansi
Jabatan dalam Tim
1.
Prof. AdiFahrudin, M.Soc. Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial Sc., Ph.D Universitas Muhammadiyah, Jakarta
Pembimbing
2.
Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si
Staf Ahli Menteri Bidang Dampak Sosial
Pembimbing
3.
Dra. Alit Kurniasari, M.PM
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Ketua
4.
Drs. Badrun Susantyo, M.Si, Ph.D
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Sekretaris
5.
Drs. Suradi, M.Si
Peneliti Utama pada Puslitbangkesos
Anggota
6.
Dr. Hari Harjanto Setiawan, AKS, M.Si
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Anggota
7.
Drs. Anwar Sitepu,M.PM
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Anggota
8.
Drs. Nurdin Widodo, M.Si
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Anggota
9.
Dra. Husmiati, M.Soc., Ph.D
Peneliti Madya pada Puslitbangkesos
Anggota
10.
Nyi R Irmayani, SH, M.Si
Peneliti Muda pada Puslitbangkesos
Anggota
11.
Habibullah, S.Sos., M.Kesos
Peneliti Muda pada Puslitbangkesos
Anggota
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
7
3. Konsultan teknis No
Nama
Instansi
Jabatandalam Tim
1.
Muhardi Kahar, S.Si, M.Si
Badan Pusat Statistik
KonsultanTeknis
2.
Dr. Heru Prasadja
Unika Atmajaya
KonsultanTeknis
4.
Tim Manajemen
Tim manajemen terdiri dari seluruh struktural dan staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. 5. Tim Pengumpul Data Tim Pengumpul data terdiri dari Ketua Tim dan Pewawancara. Ketua Tim direkrut dari Peneliti Puslitbangkesos, Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Widyaiswara Pusdiklatkesos dan Balai Diklatkesos, Pekerja Sosial Panti Sosial dan praktisi Pekerjaan Sosial sebanyak 46 orang. Tim Pewawancara direkrut dari Sakti Peksos, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), mahasiswa jurusan kesejahteraan sosial, praktisi kesejahteraan sosial, sebanyak 270 orang. Setiap tim pengumpul data terdiri dari 5-6 orang pewawancara yang diketuai oleh seorang ketua tim. Kualifikasi tim pengumpul data minimal berpendidikan sarjana (S1) Kesejahteraan Sosial. 6. Tim Pengolah Data Tim pengolah data direkrut dari ketua tim dan pewawancara yang memiliki latar belakang keterampilan mengolah data dengan menggunakan program excel dan SPSS sebanyak 15 orang.
G. PEMBIAYAAN Seluruh biaya yang dikeluarkan pada Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) ini dibebankan pada DIPA Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Tahun 2015.
8
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
BAB II METODE SURVEI
A. DOMAIN PENELITIAN Domain penelitian SKSD ini adalah nasional dan beberapa provinsi di Indonesia, dengan level penyajian hasil penelitian adalah nasional dan provinsi. SKSD adalah survei yang secara umum meneliti dan mencakup aspek kesejahteraan di bidang material, spritual, dan aspek sosial. Sebaran sampel diutamakan dapat mewakili daerah perkotaan dan pedesaan, kepadatan/jumlah penduduk, dan daerah pantai/bukan pantai, karena aspek kesejahteraan berkorelasi dengan aspek lingkungan dan kewilayahan. B. KERANGKA SAMPLING Kerangka sampel disusun berdasarkan unit sampel yang akan dipilih dalam survei ini. Unit sampel yang akan dipilih dalam survei ini adalah provinsi, kabupaten/kota, blok sensus Susenas Maret 2015, dan rumah tangga hasil pemutakhiran Susenas Maret 2015. • Provinsi selanjutnya disebut sebagai Primary Sampling Unit (PSU) adalah daftar provinsi di setiap strata regional wilayah dilengkapi dengan jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010. • Kabupaten/kota selanjutnya disebut sebagai Secondary Sampling Unit (SSU) adalah daftar kabupaten/kota yang dilengkapi dengan jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010. • Blok Sensus Susenas Maret 2015 adalah daftar blok sensus terpilih Susenas Maret 2015, yang dipisahkan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. • Rumah tangga adalah daftar rumah tangga dalam setiap blok sensus terpilih hasil pemutakhiran rumah tangga Susenas. Rumah tangga terpilih SKSD tidak akan sama dengan rumah tangga Susenas. • Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU No. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga). Dalam SKSD 2015 apabila seseorang yang pernah kawin (tanpa pasangan atau anak) disebut sebagai keluarga.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
9
C. STRATIFIKASI WILAYAH Pemilihan provinsi mewakili 5 (lima) regional wilayah yaitu : Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Untuk menjamin keterwakilan wilayah sesuai domain penelitian setiap provinsi, maka sebaran kabupaten/kota akan dikelompokkan berdasarkan populasi blok sensus atau rumah tangga menurut: • Desa dan kota • Tingkat kepadatan penduduk • Jumlah rumah tangga • Daerah pantai bukan pantai
D. UKURAN SAMPEL Pada penarikan sampel simple random sampling ukuran sampel optimum yang diperlukan untuk menduga proporsi (prevalensi) P, ditentukan oleh adalah : bound of error b atau presisi yang diinginkan, yaitu
Angka prevalensi (P) sebagai prior guess adalah 0,50 (50%), pada 95 % level . Dengan memperhatikan rumus diatas, maka satu of confidence parameter lain yang harus ditentukan adalah bound of error atau margin of error atau moe (b) yang diinginkan. Berkaitan rancangan survei yang menggunakan cluster, maka ukuran sampel harus dikalikan dengan deff (design effect) yang merupakan rasio antara varians dibawah cluster design dan SRS design. Besarnya nilai deff yang ditetapkan adalah 2,0. Ukuran sampel optimum ini harus dikoreksi dengan response rate (r) sebesar 95%. Dengan margin of error 1% maka minimum sampel size yang dibutuhkan untuk estimasi nasional adalah 17.000 rumah tangga. Karena jumlah sampel per blok sensus adalah 10 rumah tangga maka jumlah sampel blok sensus yang diperlukan adalah sebesar 1.700 blok sensus secara nasional. Sampel 1.700 blok sensus selanjutnya akan dialokasikan ke setiap provinsi terpilih secara proporsional. Estimasi untuk provinsi terpilih dan nasional, karena provinsi dipilih secara probability sampling. Untuk menjamin keterwakilan sampel maka blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.
10
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
E. ALOKASI SAMPEL Alokasi sampel berdasarkan alokasi blok sensus dan kab/kota per provinsi adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 : Alokasi Sampel berdasarkan Blok Sensus dan Jumlah Petugas Pengumpul Data Sampel Provinsi
SUMATERA UTARA RIAU
Sampel Sampel BS
JUMLAH
Kelg
@ 10 kelg
Kab/ Kota
Kec
1,700
170
6
83
KT
5
PW
30
800
80
4
37
2
12
LAMPUNG
1,000
100
4
50
3
18
JAWA BARAT
3,200
320
13
225
9
54
JAWA TIMUR
2,600
260
12
158
6
36
300
30
3
15
1
6
KALIMANTAN BARAT
1,400
140
4
43
4
24
KALIMANTAN TIMUR
1,000
100
3
32
3
18
SULAWESI SELATAN
2,200
220
7
75
5
30
400
40
2
20
1
6
2,100
210
5
55
5
30
300
30
2
13
2
12
17,000
1,700
65
806
46
276
BALI
SULAWESI BARAT NUSA TENGGARA BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
F. PENGENALAN SKETSA PETA BLOK SENSUS Peta Blok Sensus atau disebut SP2010-WB adalah peta yang dibuat pada persiapan SP2010. Peta ini dalam SKSD digunakan sebagai dasar untuk mengenali wilayah kerja petugas lapangan. Dalam peta tersebut sudah tercantum legenda, landmark, dan posisi bangunan fisik/sensus yang dapat digunakan oleh petugas untuk menelusuri/mengidentifikasi lokasi rumah tangga terpilih. Seiring dengan perubahan keadaan sejak 2010, maka untuk praktisnya maka kegunaan peta blok sensus adalah untuk mengenali batas-batas blok sensus dimaksud. Identifikasi sampel rumah tangga sudah tertera di daftar sampel rumah tangga melalui identifikasi nama kepala rumah tangga, alamat, dan sebagainya.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
11
Gambar 2.1: Peta Blok Sensus
G. DAFTAR SAMPEL RUMAH TANGGA Kerangka sampel yang digunakan untuk pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga biasa hasil pemutakhiran Susenas Maret 2015. Ukuran sampel rumah tangga yang dipilih di setiap blok sensus terpilih (DSBS) adalah 10 rumah tangga. Namun, untuk mengantisipasi adanya nonresponse disediakan cadangan sampel sebanyak 5 (lima) rumah tangga per blok sensus sehingga dalam setiap blok sensus terpilih akan di-generate 15 sampel rumah tangga yang terdiri dari 10 sampel utama dan 5 sampel cadangan. Pencacahan harus dilakukan terhadap 10 sampel utama dahulu, ketika dari 10 sampel utama tersebut ternyata ada rumah tangga yang tidak dapat diwawancarai maka harus diganti dengan sampel cadangan. Sampel cadangan yang dipilih untuk menggantikan sampel utama yang nonresponse harus sesuai dengan urutannya. Misalkan, dari 10 sampel utama ternyata ada 2 (dua) rumah tangga yang tidak bisa diwawancarai, maka sampel penggantinya adalah sampel nomor urut 11 dan 12 (sampel cadangan ke-1 dan ke-2). Berikut contoh DSBS dan DSRT :
12
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 2.2 : Daftar Sampel Rumah Tangga (DSRT)
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
13
Gambar 2.3 : Daftar Sampel Blok Sensus (DSBS)
H. DESAIN SAMPLING Metode sampling yang digunakan dalam survei ini adalah sampling lima tahap berstrata. Tahapan pemilihan unit sampel sebagai berikut: • Tahap 1: memilih sejumlah provinsi secara Probability Proportional to Size. Size yang digunakan adalah jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010. • Tahap 2: memilih sejumlah kabupaten/kota secara Probability Proportional to Size. Size yang digunakan adalah jumlah rumah tangga hasil pencacahan SP2010. Pemilihan Kab/Kota dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran wilayah berdasarkan urban/rural/pantai/ bukan pantai. • Tahap 3: memilih sejumlah blok sensus pada setiap kab/kota terpilih secara sistematik dari daftar blok sensus terpilih SUSENAS Maret 2015. Sebelumnya blok sensus diurutkan menurut strata wealth index.
14
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
• Tahap 4: memilih 10 rumah tangga dari 15 rumah tangga di DSRT yang sudah dipilih secara sistematik berdasarkan hasil pemutakhiran Maret 2015 (berbeda dengan rumah tangga SUSENAS Maret 2015). • Tahap 5: memilih keluarga menjadi responden. Apabila dalam rumah tangga ada lebih dari satu keluarga, maka dipilih dengan cara random.
I. PEMILIHAN RESPONDEN Responden adalah kepala keluarga/ rumah tangga. Biasanya satu rumah tangga adalah 1 keluarga. Responden diharapkan mewakili karakteristik kesejahteraan keluarga tersebut. Dengan demikian tidak ada kesulitan dalam proses pemilihan responden. Jika dalam satu rumah tangga terdapat lebih dari satu keluarga, maka dilakukan pemilihan satu keluarga. Proses pemilihan satu keluarga dari sejumlah keluarga menggunakan proses randomisasi, sebagai berikut: • Tentukan jumlah keluarga dalam rumah tangga misalkan N, berikan nomor urut berdasarkan usia kepala keluarga, dimulai dari keluarga dengan usia kepala keluarga tertua. • Catat nomor urut sampel rumah tangga termasuk rumah tangga cadangan (1-15) • Selanjutnya memilih keluarga secara random dengan cara undian.
J. PEMBOBOTAN (Weighting) Berdasarkan metode sampling yang direncanakan, hasil pembobotan (weighting) dan estimasi keluarga di provinsi terpilih dan nasional seperti berikut:
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
15
Tabel 2.2: Indirect Estimate Provinsi dan Indonesia Rata Keluarga
Populasi Rmh Tangga
Jml Rmh Tangga
12. SUMATERA UTARA
1.19
3266792
1544
2518
3887482
14. RIAU
1.12
1532031
605
2836
1715875
18. LAMPUNG
1.08
2066014
955
2336
2231295
32. JAWA BARAT
1.15
12458771
3083
4647
14327587
35. JAWA TIMUR
1.17
10754344
2338
5382
12582582
51. BALI
1.17
1102843
225
5735
1290326
52. NUSA TENGGARA BARAT
1.19
1348128
1870
858
1604272
61. KALIMANTAN BARAT
1.11
1118359
1257
988
1241378
64. KALIMANTAN TIMUR
1.13
856720
880
1100
968094
73. SULAWESI SELATAN
1.15
1961492
1826
1235
2255716
76. SULAWESI BARAT
1.21
287681
398
875
348094
91. PAPUA BARAT
1.15
193654
300
742
222702
Rata Keluarga
Populasi Rmh Tangga
Jml Rmh Tangga
1.15
65785334
15281
Level
Weight Prop
Est Keluarga
Indirect Estimate Indonesia Level TOTAL
Weight Nas 4951
Sumber: BPS 2015
16
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Est Keluarga 75653134
BAB III KAJIAN PUSTAKA
A. KESEJAHTERAAN SOSIAL Kesejahteraan sosial didefinisikan dalam berbagai perspektif, yaitu (1) kesejahteraan sosial sebagai sebuah aktivitas atau sistem yang terorganisasi, (2) sebagai kondisi sejahtera dan (3) sebagai disiplin ilmu (Suharto, 2005; Adi, 2008; Fahrudin, 2013). Memperhatikan perspektif dalam mendefinisikan kesejahteraan sosial, maka definisi kesejahteraan sosial yang digunakan di dalam survei ini, yaitu kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (wellbeing). Konsep kesejahteraan sosial yakni suatu keadaan yang lebih baik, kebahagiaan dan kemakmuran yang terdiri dari tiga elemen yang sangat penting yaitu: A condition of social welfare (or social well-being) is conceived of as comprising three elements. They are, first, the degree to which social problems are to managed, second, the extent to which needs are met and finally, the degree to which opportunities for advancement a provided. These three elements apply to individuals, families, groups, communities and even whole societies. (Midgley, 1995). Dikemukakan oleh Midgley et.al. bahwa kesejahteraan sosial sebagai “a condition or state of human wel-being”. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. Suharto, dkk. (2003), mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) dan sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan dasar, melaksanakan peranan sosial, serta menghadapi goncangan dan tekanan (shocks and stresses). Kebutuhan dasar berkaitan dengan pendapatan, pendidikan dan kesehatan. Peranan sosial dimaksud sesuai dengan status sosial, tugastugas dan tuntutan norma lingkungan sosialnya. Kemudian, goncangan dan tekanan terkait dengan masalah psikososial dan krisis ekonomi. Berdasarkan konsep tersebut maka konotasi kesejahteraan sosial lebih luas, merujuk pada satu kondisi sosial dan bukan pada kegiatan amal yang
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
17
dilakukan oleh kelompok-kelompok filantropi, dan juga bukan bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah. Kesejahteraan sosial akan terjadi ketika keluarga, masyarakat semua mengalami kesejahteraan sosial. Sejalan dengan pendapat tersebut Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sebagai berikut: “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya” Mengacu pada konsep tersebut, maka kesejahteraan merupakan suatu hal ideal yang ingin dicapai oleh setiap orang. Usaha untuk mencapai kesejahteraan tak dapat berjalan secara mulus, tetapi terdapat berbagai hambatan dan kendala. Demikian pula untuk mengukur sejauh mana tingkat kesejahteraan seseorang atau sekelompok orang agak sulit untuk menentukan indikatornya. Meskipun demikian pemerintah berusaha memberikan garis kebijakan sebagai kerangka acuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan seseorang. Kesejahteraan anak tidak terlepas pula dengan bagaimana pola pengasuhan terhadap anak. Sejalan dengan hal tersebut diatas, tujuan kesejahteraan sosial menurut Zastrow adalah : “The goal of social welfare is to fulfill the social, financial, health, and recreational requierements of all individuals in a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor.When nother institutions in our society, such as the market economy and the family, fail at times to meet the basic needs of individuals or groups of people, then social services are needed and demanded (Zastrow, 2004). Jadi, kesejahteraan menurut Zastrow (2004) adalah memenuhi kebutuhan sosial, finansial kesehatan dan rekreasional bagi individu dalam masyarakat. Haryanto dan Tomagola (1997), menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar (basic needs), dan yang termasuk ke dalam jenis-jenis kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang, papan dan kesehatan. Kemudian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin mendefinisikan kebutuhan dasar adalah kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan / atau pelayanan sosial. Berdasarkan pengertian tersebut, kebutuhan material merupakan kebutuhan manusia yang berkaitan dengan aspek fisiologis. Apabila manusia sudah mampu memenuhi kebutuhannya, maka akan dapat mencapat hidup layak. Menurut Payne (2007), bahwa yang dimaksud
18
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
dengan hidup layak, yaitu: 1) Economic wellbeing: memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, 2) BeingHealthy: fisik, mental sehat dan hidup sehat. 3) Staying Safe: hidup aman, dari bahaya dan eksploitasi dan mampu memelihara keamanan diri. Selain mampu hidup layak, manusia yang sudah mampu memenuhi kebutuhan akan mampu mengembangkan dirinya. Dikemukakan oleh Payne (2007), bahwa yang dimaksud dengan mampu mengembangkan diri, yakni: 1) Enjoying dan achieving: hidup bahagia dan mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berguna bagi kehidupannya, 2) Making positive contribution: kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan kontribusi pada masyarakat. Selanjutnya, konsep keberfungsian sosial dikemukakan oleh Siporin (Fahrudin, 2012) mendefinisikan keberfungsian sosial sebagai berikut: social functioning refers to the way individuals or collectivities (families, associations, communities and soon) behave in order to carry out their life task and meer their needs. Kemudian, Skidmore, Thakeray and Fakey (Suharto, 2005), bahwa keberfungsian sosial merupakan resultante dari interaksi individu dengan berbagai sistem sosial di masyarakat, seperti sistem pendidikan, sistem keagamaan, sistem keluarga, sistem politik, sistem pelayanan sosial dan seterusnya. Kesejahteraan sosial dan keberfungsian sosial dapat direalisasikan melalui usaha yang terencana, sistematis dan berkelanjutan serta melembaga dalam bentuk pelayanan sosial. Berbagai terminologi digunakan untuk menjelaskan usaha yang terencana tersebut. Suharto (2007), menggunakan terminologi pembangunan kesejahteraan sosial. Menurutnya, Pembangunan kesejahteraan sosial adalah usaha yang terencana dan melembaga yang meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia, mencegah dan mengatasi masalah sosial, serta memperkuat institusi-institusi sosial. Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh yang mencakup: 1) Peningkatan standar hidup, melalui seperangkat pelayanan sosial dan jaminan sosial segenap lapisan masyarakat, terutama kelompokkelompok masyarakat yang kurang beruntung dan rentan yang sangat memerlukan perlindungan sosial. 2) Peningkatan keberdayaan melalui penetapan sistem dan kelembagaan ekonomi, sosial dan politik yang menjunjung harga diri dan martabat kemanusiaan. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
19
3) Penyempurnaan kebebasan melalui perluasan aksesibilitas dan pilihanpilihan kesempatan sesuai dengan aspirasi, kemampuan dan standar kemanusiaan. Lebih lanjut dikemukakan oleh Suharto (1997), bahwa ciri utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah komprehensif, dalam arti setiap pelayanan sosial yang diberikan senantiasa menempatkan penerima pelayanan (beneficiaries) sebagai manusia, baik dalam arti individu maupun kolektivitas yang tidak terlepas dari sistem lingkungan sosiokulturalnya. Prioritas utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompokkelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups), khususnya terkait dengan masalah kemiskinan. Kemudian, Adi (2005) menggunakan terminologi usaha kesejahteraan sosial. Menurutnya, usaha kesejahteraan sosial merupakan suatu program atau pun kegiatan yang didesain secara kongkrit untuk menjawab masalah, kebutuhan masyarakat atau pun meningkatkan taraf hidup masyarakat, yang ditujukan pada individu, keluarga, kelompok-kelompok dalam komunitas, atau pun komunitas secara keseluruhan (lokal, regional dan nasional). Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 (Pasal 1, ayat 2) menggunakan terminologi penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Menurut UU tersebut, Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Dari pengertian tersebut diketahui unsur-unsur penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yaitu: 1) Sebagai upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan. 2) Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat sebagai pelaku. 3) Bentuk kegiatannya, yakni pelayanan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar. 4) Sasarannya setiap warga negara Indonesia. 5) Pendekatan yang digunakan meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pada perkembangannya kesejahteraan bukan pada pemenuhan kebutuhan saja tetapi juga merupakan pemenuhan hak seorang warga negara. Hak asasi manusia adalah a claim right held by individuals in virtue of the fact that they are human beings. Human rights are not tied to a particular social class, professional group, cultural collective, racialgroup, gender, or any
20
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
other exclusive category (Ward & Birgden, 2007, p. 630) . Secara ringkas Ward dan Birgden menjelaskan, bahwa ada dua nilai dalam hak asasi manusia yaitu kebebasan (freedom) dan kesejahteraan (well being). Survei ini menghasilkan data tentang kesejahteraan sosial di Indonesia. Selain dari definisi kesejahteraan menurut undang-undang, juga akan diperkuat dengan teori dan konsep menurut para ahli. Adapun dimensi kesejahteraan antara lain : 1) Quality of life (objective living condition dan subjective well-beeing) 2) Social cohesion (disparities, inequalities, social exclusion dan social ties/ social capital) 3) Sustainability (human capital dan natural capital) 4) Dimensions of social change (Sociodemographic and economic structure and values and attitudes) (Noll, 2004). Berdasarkan konsep kesejahteraan sosial diatas, yang dimaksud kualitas hidup adalah kombinasi dari kehidupan obyektif yang baik dan apresiasi terhadap kehidupan secara subjectif (Zapt, 1984). Selain itu salah satu dimensi kesejahteraan adalah kohesi sosial. Kohesi sosial mencakup perasaan kebersamaan (sense of belonging), kepercayaan sosial (social trust), dan kerjasama timbal balik (generalised reciprocity and cooperation), serta keharmonisan sosial (social harmony) (Harpham, Grant, & Thomas, 2002). Kohesi sosial itu ditandai kehidupan yang terhindar pada hal berikut : kesenjangan, ketidak-setaraan dan eksklusifitas sosial. Kesejahteraan juga semestinya bersifat berkelanjutan yang didalamnya menyangkut human capital dan natural capital. Keberlanjutan kesejahteraan sosial sudah barang tentu dipengaruhi oleh dimensi perubahan sosial terutama menyangkut pada perubahan struktur ekonomi dan sosiodemografi serta perubahan sikap dan nilai.
B. FUNGSI DAN PERANAN KELUARGA Keluarga merupakan ikatan sosial terkecil dalam masyarakat. Keluarga merupakan wadah bagi individu untuk memperoleh berbagai kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan fisiologis, rasa aman, dan sosial. Pada hakekatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama, searah dengan keturunan-keturunan mereka yang merupakan suatu satuan khusus. Mac Iver and Page (Khaerudin, 2002), mengemukakan bahwa “family is a group defined by sex relationship sufficiently precise Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
21
and enduring to provide for the procreation and upbringing of children”. Kemudian Elliot and Merrill (Khaerudin, 2002) mengatakan “… a group of two or more persons residing together who are related by blood, marriage, or adoption.” Bogardus mengatakan bahwa “The family is snall social group, normally composed of a father, a mother, and one or more children, in which affection and responsibility are equitably shared and in which the children are reared to become self controlled and socially motivated persons”. Dari beberapa definisi tersebut, menurut Khairudin (2002) suatu keluarga di dalamnya memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1. Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak. 2. Hubungan sosial di antara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan/atau adopsi. 3. Hubungan antara anggota keluarga dijiwai oleh suasana kasih sayang dan rasa tanggung jawab. 4. Fungsi keluarga ialah merawat, memelihara dan melindungi anak dalam rangka sosialisasinya agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial. Burgess dan Locke dalam Khairuddin (2002) mengemukakan terdapat 4 (empat) karakteristik keluarga yang terdapat pada semua keluarga, yaitu : 1. Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatanikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Pertalian antara suami dan isteri adalah perkawinan; dan hubungan antara orang tua dan anak biasanya adalah darah dan kadangkala adopsi. 2. Anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu keluarga; atau jika mereka bertempat tinggal, keluarga tersebut menjadi rumah mereka. 3. Keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial bagi suami dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. 4. Keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama, yang diperoleh pada hakekatnya dari kebudayaan umum, tetapi dalam suatu masyarakat yang kompleks masing-masing keluarga mempunyai ciriciri yang berlainan dengan keluarga lainnya.
22
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, kemudian Khairudin (2002) mendefinisikan keluarga sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi, merupakan susunan keluarga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan, bahwa keluarga merupakan kelompok yang disatukan melalui ikatan perkawinan yang menghasilkan peranan. Peranan yang ditampilkan oleh anggota keluarga disesuaikan dengan kedudukannya. Ayah/suami mempunyai peran sebagai kepala keluarga yang melindungi dan mendidik anak-anaknya serta mencari nafkah. Ibu/istri mempunyai peran sebagai pendidik dan pendamping kepala keluarga dalam mengurus keluarga. Dilain pihak, keluarga mempunyai sistem jaringan interaksi yang bersifat interpersonal berdasarkan perannya masing-masing. Adapun ciri-ciri umum keluarga menurut Mac Iver and Page (Khairudin, 2002) yaitu : 1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan; 2) Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara; 3) Suatu sistim tata nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan; 4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhankebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak; 5) Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau keluarga yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga. Dalam kaitan dengan kesejahteraan sosial, keluarga merupakan kesatuan sosial budaya terkecil, yang di dalamnya terjadi proses komunikasi dan interaksi sosial. Dengan demikian proses interaksi sosial (jaringan sosial) di antara anggota keluarga (ayah, ibu dan anak-anaknya dan orang-orang yang ada di dalam keluarga) merupakan hal yang sangat terpenting dalam mewujudkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Interaksi sosial merupakan saluran sosialisasi nilai-nilai kesejahteraan yang direfleksikan melalui komunikasi dan ceritera pengalaman hidup. Di dalam proses komunikasi dan interaksi sosial tersebut akan terjadi proses pengembangan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
23
potensi anggota keluarga. Oleh karena itu, keluarga dengan komunikasi dan interaksi sosial yang baik, merupakan keluarga yang mampu mewujudkan ketahanan keluarga. Sebagaimana dikemukakan oleh Achir (1994), bahwa “suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi bila keluarga itu dapat berperan optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu, tanggung jawab keluarga meliputi tanggung jawab terhadap kesehatan, pendidikan, ekonomi sosial budaya anggota keluarga”. Selanjutnya Yaumil (1994) mengemukakan “fungsi keluarga meliputi; fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan atau proteksi, fungsi refroduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pengembangan lingkungan”. Kesejahteraan keluarga mengacu kepada kondisi-kondisi yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota keluarga. Pemenuhan kebutuhan ini akan berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan dan perkembangan keluarga, yang pada gilirannya akan berpengaruh pula pada kemampuan pelaksanaan peranan sosial anggota keluarga. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan keluarga, menurut Abraham Maslow (Khairuddin, 2002) pada setiap manusia memiliki kebutuhan yang memerlukan pemenuhan, yaitu: 1) Kebutuhan fisiologis (fisiological needs). Kebutuhan fisiologis ini merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup atau kebutuhan untuk mempertahankan hidup secara fisik, seperti kebutuhan akan makanan, minuman, seksual, tempat tinggal, pakaian. 2) Kebutuhan akan rasa aman (safety need). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang mendorong individu anggota keluarga untuk memperoleh perlindungan, jaminan atau terbebas dari segala ancaman, kepastian dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. 3) Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (need for love and belongness). Kebutuhan ini merupakan kebutuhan untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu anggota keluarga lainnya, seperti kebutuhan untuk dicintai dan mencintai sehingga anggota keluarga tersebut merasa dibutuhkan. 4) Kebutuhan akan rasa harga diri (need for self esteem), yaitu kebutuhan yang diarahkan kepada penghargaan seseorang dari dirinya dan keluarganya serta lingkungannya, seperti kebutuhan untuk berprestasi, memperoleh kompetensi, rasa percaya diri atas apa yang dilakukan, dan kemandirian. 5) Kebutuhan akan aktualisasi diri (need for self actualization), yaitu kebutuhan untuk mengembangkan diri atau menyempurnakan
24
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
diri sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya seperti berprestasi, karier dan keahlian dalam salah satu bidang pekerjaan. Selanjutnya, dikemukakan oleh Khairuddin (2002) bahwa setiap keluarga memiliki sejumlah fungsi, yaitu: fungsi biologis, fungsi afeksi dan fungsi sosialisasi. Keluarga merupakan tempat lahirnya anak-anak. Fungsi biologis orang tua adalah melahirkan anak-anaknya. Fungsi ini merupakan dasar keberadaan dan keberlangsungan suatu masyarakat. Selanjutnya, orang tua (ayah/suami atau istri/ibu) harus mempunyai peran dalam memberikan kesempatan hidup pada anggotanya. Peran yang ditampilkan dalam memberikan kesempatan hidup ini harus diikuti oleh perilaku memberikan makanan, pakaian dan membiasakan cara hidup yang sehat pada anak-anaknya. Di dalam keluarga biasanya terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi atau kasih sayang. Hubungan kasih sayang tersebut terjadi antara anak dengan orang tua, suami dengan istri atau adik dengan kakak. Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat dari hubungan cinta kasih yang menjadi dasar perkawinan, sehingga lahirlah hubungan persaudaraan, persahabatan, persamaan dan kebiasaan bersama. Namun apabila dalam keluarga tersebut mengalami permasalahan berkaitan dengan kemiskinan, maka fungsi afeksi ini akan terganggu. Fungsi sosialisasi menunjukkan peranan dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial dalam keluarga, anak mempelajari polapola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, nilai dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Orang tua (ayah atau ibu) mempunyai kewajiban dan mempunyai peran dalam menanamkan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga dan lingkungannya (masyarakat) untuk mempersiapkan dan mengantarkan anak dalam kehidupan bermasyarakat. Tidak adanya peranan orang tua (ayah atau ibu) yang memberikan pendidikan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma dan nilai masyarakat, maka anak menjadi kurang memahami yang akhirnya akan menimbulkan sikap dan pola perilaku yang melanggar norma dan nilai yang ada di masyarakat. Dengan kata lain anak tersebut akan mempunyai pola perilaku yang menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Anggota keluarga bertanggung jawab melakukan aktivitas sesuai dengan perannya untuk kepentingan dan tujuan keluarga yaitu meningkatkan kemampuan serta mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk menjadi keluarga yang sejahtera. Di dalamnya terdapat pemberian dan pembagian tugas serta fungsi yang harus dilakukan dan dijalankan oleh Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
25
setiap anggota keluarga. Pembagian dan pemberian tugas serta fungsi tersebut akan memposisikan anggota keluarga pada suatu kedudukan diantara anggotanya. Kedudukan tersebut dapat dilihat dari statusnya sebagai ayah, ibu dan anak, adik, kakak. Tentunya dengan adanya status tersebut, di dalamnya terdapat peranan-peranan yang harus ditampilkan. Peranan-peranan tersebut disesuaikan dengan statusnya serta disesuaikan dengan tugas dan fungsinya. Salah satu aspek yang penting untuk dicermati terkait dengan pelaksanaan peran dan fungsi keluarga adalah ketahanan (resiliensi) keluarga. Walsh (2003) menjelaskan bahwa terdapat 3 hal yang terkait dengan ketahanan keluarga yakni sistem keyakinan keluarga, pola organisasi keluarga dan proses pemecahan atau komunikasi dalam keluarga. Sistem keyakinan keluarga terbangun berdasarkan persepsi mengenai ancaman, tantangan, dan peristiwa trauma yang terjadi di masa lampau. Pikiran, perasaan dan tindakan yang didasarkan pada kegagalan dan kelemahan yang menguatkan perasaan tidak berdaya. Sistem organisasi keluarga terkait dengan kemampuan keluarga dalam mengakses sistem sumber sosial dan ekonomi. Sementara terkait dengan proses komunikasi dalam pemecahan masalah meliputi proses komunikasi yang jelas, ekspresi emosi yang terbuka, dan pemecahan masalah yang kolaboratif. Dengan komunikasi yang jelas dan terbuka dapat meningkatkan hubungan dalam keluarga secara lebih baik dan membangun kesamaan pemahaman terhadap segala krisis, konflik maupun harapan baik dimasa sekarang, maupun dimasa yang akan datang (Walsh, F, 2003). Sebagai kesatuan ekonomi, pusat untuk berproduksi, untuk mendatangkan penghasilan, dan untuk konsumsi, keluarga semakin diakui fungsinya. Namun demikian, kadangkala fungsi keluarga tersebut tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya kemiskinan. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981, Departemen (Kementerian) Sosial mengentaskan masyarakat lapisan bawah yang rentan dan kurang beruntung; yaitu (1) mereka sebagai kelompok fakir, yaitu orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan, (2) kelompok miskin, yaitu orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Secara fisik, manusia membutuhkan konsumsi makanan senilai 2.100 kalori per orang per hari. Menurut perhitungan BPS pada tahun 1998 dengan
26
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
menggunakan tolak ukur uang, batas garis kemiskinan. Keluarga miskin merupakan kelompok yang memiliki ketidakberuntungan. Chambers (1987) mengemukakan, bahwa keluarga miskin dapat dikelompokkan ke dalam lima kelompok ketidakberuntungan, yaitu : Pertama, Keluarga yang miskin. Tidak ada atau sedikit sekali memiliki kekayaan. pondok, rumah atau tempat tinggalnya kecil, terbuat dari kayu, bambu, tanah liat, jerami, alang-alang, daun nipah atau kulit binatang; dilengkapi sedikit perabot keluarga; sebuah ranjang tua, tikar, beberapa alat masak dan sedikit peralatan lainnya. Tidak mempunyai lahan garapan atau sedikit sekali, sehingga tidak dapat menunjang kebutuhan hidup atau menjadi penyanga. Juga tidak memiliki ternak piaraan, atau hanya beberapa ekor saja (ayam, itik, kambing, babi atau tidak mempunyai sapi atau kerbau). Keluarga selalu dalam keadaan berhutang, kepada tetangga, sanak keluarga, dan pedagang baik hutang jangka pendek maupun hutang jangka panjang. Produktivitas tenaga kerja keluarga sangat rendah; kalau bertani, lahannya sempit sekali atau gersang, kalau tidak bertani, tidak atau sedikit sekali menguasai produksinya, itulah yang pokok dan seringkali kekayaan produktif satu-satunya adalah tenaga kerja anggota keluarga. Persediaan dan arus makanan atau uang dalam keluarga sedikit sekali, tidak menentu musiman dan tidak mencukupi. Keluarga tergantung pada seorang majikan yang kadang-kadang memberinya kerja atau penghasilan sekedar untuk dapat bertahan hidup, yang dari segi lain dapat dilihat sebagai cerminan dari daya tahan dan kekenyalan dalam mengarungi arus kehidupan yang keras. Hasil kerja berupa sedikit makanan atau uang, hanya cukup untuk sekali makan atau persediaan sehari. Semua anggota keluarga bekerja semampunya kecuali yang masih kecil, terlalu tua, cacat atau sakit parah. Anggota keluarga wanitanya bekerja puluhan jam sehari mengurus keluarga dan mencari penghasilan di luar rumah. Tingkat pendapatan keluarga rendah, dan pada musim paceklik lebih rendah lagi, sekiranya masih ada sesuatu yang dapat dikerjakan. Kedua, Keluarga yang lemah jasmani. Suatu keluarga dimana lebih banyak tanggungan keluarga daripada pencari nafkahnya. Tanggungan keluarga terdiri dari anak-anak, orang tua renta, penderita sakit atau cacat. Nisbah ketergantungan yang tinggi ini disebabkan salah satu dari keadaan berikut; keluarga dengan kepala keluarga seorang ibu tanpa anak laki-laki yang bertanggung jawab mengurus anak, memasak mengambil air, mencari kayu bakar, memasarkan; dan tugas-tugas kerumahtanggaan umumnya sambil mencari kebutuhan hidup keluarga; atau suatu keluarga yang
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
27
mempunyai banyak anak kecil yang perlu dirawat dan diberi makan tanpa mendatangkan penghasilan karena belum kuat bekerja; atau keluarga dengan orang dewasa yang sakit-sakitan atau cacat karena penyakit atau cedera atau karena kematian anggota keluarga dewasa; atau suatu keluarga yang ditinggalkan oleh anggota keluarga dewasa yang mencari kerja di tempat lain untuk melepaskan diri dari jeratan hutang atau kehidupan yang sulit. Keluarga selalu kekurangan pangan pada musim-musim tertentu, anggota-anggota keluarga lemah jasmani karena parasit, penyakit atau kurang gizi. Tetapi kehamilan, tingkat kelahiran dan kematian bayi di dalam keluarga tersebut tinggi. Bayi-bayi yang dilahirkan rata-rata mempunyai berat badan di bawah normal. Semua anggota keluarga rata-rata bertubuh kecil dengan pertumbuhan badan yang tidak maksimal. Ketiga, Keluarga tersisih dari arus kehidupan. Rumah tangga keluarga miskin terisolasi dari dunia luar. Tempat tinggalnya di daerah pinggiran, terpencil dari pusat keramaian dan jalur komunikasi, atau jauh dari pusat perdagangan, pusat informasi dan pusat diskusi di desa. Sering buta huruf dan tanpa radio, anggota keluarga tidak mendapat informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di luar lingkungan tetangganya. Anak-anak tidak bersekolah atau kalau pun masuk sekolah, umumnya putus sekolah. Anggota keluarga tidak pernah ikut rapat atau pertemuan dan kalaupun hadir tidak pernah ikut bicara. Mereka tidak pernah menerima penyuluhan dari petugas lapangan pertanian atau petugas kesehatan. Kalaupun bepergian, hanya untuk mencari kerja atau minta pertolongan kepada sanak-keluarga. Mereka terikat pada tetangganya karena tingkat kewajiban kepada seseorang yang menjadi sumber kehidupan, atau terikat utang, kebutuhan yang mendesak, atau karena memang tidak mempunyai uang untuk bepergian. Keempat, Keluarga yang rentan. Keluarga sedikit sekali memiliki penyangga untuk menghadapi kebutuhan yang mendadak. Kebutuhan kecil sehari-hari dipenuhi dari sedikit uang persediaan atau dengan mengurangi konsumsi, menukarkan barang atau dengan meminjam kepada kawan, keluarga atau pedagang. Musibah dan kewajiban sosial – kegagalan panen, kelaparan, pondok terbakar, kecelakaan, penyakit, kematian, pembayaran mahar dan mas kawin, biaya perkawinan, biaya perkara atau denda menjadikan keluarga tersebut semakin melarat atau miskin. Ini sering berarti harus menjual atau menggandaikan harta kekayaan, lahan, ternak, pohon-pohonan, alat dapur, perkakas dan perlengkapan, perhiasan, tanaman yang masih hijau, ijon tenaga, seringkali dengan harga seadanya atau dipermainkan pembeli.
28
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Kerentanan semakin bertambah pada waktu musim hujan, sewaktu paceklik, atau musim kerja yang bersamaan dengan datangnya penyakit, lebih parah lagi kalau musim hujan dan panen sebelumnya gagal. Keluarga sangat rawan terhadap penyakit dan kematian. Kelima, Keluarga tidak berdaya. Buta hukum, jauh dari bantuan hukum, padahal harus bersaing untuk mendapatkan pekerjaan dan pelayanan pemerintah, sehingga menjadi sasaran empuk bagi penyalahgunaan kaum yang lebih kuat. Kedudukan sosialnya berada di tingkat paling bawah. Kedudukannya lemah dalam setiap perkara penggunaan tenaga kerja, menjual hasil produksi atau menjual kekayaannya. Keluarga ini mudah diperas oleh pihak tertentu misalnya rentenir. Menyadari kekuatan kaum kaya dan orang kota serta sekutu-sekutunya, keluarga ini menghindari kegiatan politik yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya dalam hal lapangan kerja, sewa menyewa, permintaan pinjaman dan perlindungan atas dirinya. Keluarga ini menyadari bahwa hanya dengan memasrahkan diri, dia dapat selamat. Kelima ciri keluarga miskin tersebut, Chambers (1987) mengungkapkan bahwa dua ketidakberuntungan yang harus diperhatikan untuk melihat keluarga miskin, yaitu kerentanan dan ketidakberdayaan. Sebuah keluarga semakin miskin karena kehilangan kekayaan. Untuk memenuhi kebutuhan kecil saja, orang terpaksa harus menukar atau menjual barang yang ada, atau meminjam pada tetangganya, sanak keluarganya, majikan atau pedagang. Untuk kebutuhan yang besar atau kebutuhan yang kecil pada saat “kosong” atau krisis, seringkali orang terpaksa menggadaikan atau menjual barang modalnya sendiri. Apabila untuk memenuhi kebutuhan tersebut, orang terpaksa harus meminjam uang dengan suku bunga tinggi atau menjual harta yang menjadi sumber penghasilannya, maka keluarga tersebut jatuh ke dalam lilitan kemiskinan, seperti roda penggerak yang mundur dengan cepat, yang sulit atau tidak mungkin untuk berbalik, sehingga membuat orang miskin tetap miskin. Lazimnya, kebutuhan yang mendorong seseorang terlilit kemiskinan, berkaitan dengan lima hal, yaitu; kewajiban adat; musibah; ketidakmampuan fisik; pengeluaran tidak produktif; dan pemerasan. Selanjutnya, Chambers (1987) mengemukakan, bahwa ada semacam hubungan yang nyata dan hampir berulang, antara ketidakberdayaan dengan kemiskinan. Ini adalah fakta yang jelas dan dikenal, namun menggelisahkan golongan yang lebih kuat, sehingga orang lebih baik memalingkan mukanya dan berbicara tentang masalah lain. Ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus dimana elite desa yang dengan seenaknya Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
29
memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukan untuk orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi serta lemahnya keluarga miskin untuk menjalin hubungan kerjasama (to bargain). Ketidakberdayaan keluarga miskin inipun dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih miskin.
C. VARIABEL, INDIKATOR DAN PARAMETER SURVEI Berdasarkan kajian pustaka, maka variabel, indikator dan parameter pada Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) sebagai berikut : Tabel 3.1. Variabel, Indikator dan Parameter Survei VARIABEL
• Kualitas Hidup
• Kohesi Sosial
• Keberlanjutan • Perubahan Sosial
30
INDIKATOR
PARAMETER
Kondisi Kehidupan Objektif
Pangan, Sandang, Papan
Kesejahteraan Subjektif
Persepsi kesejahteraan
Kesenjangan, Kesetaraan dan Eksklusi sosial
Aksesibilitas layanan Ketersediaan layanan
Modal sosial
Relasi sosial Pendidikan
Modal Manusia
Kesehatan
Modal Alam
Rasa aman
Struktur Ekonomi dan Sosiodemografi
Demografi, Pekerjaan, Penghasilan
Sikap dan Nilai
Menjaga Lingkungan alam, Kegotongroyongan, Kesetiakawanan, Partisipasi politik
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN UMUM 1. Lokasi Survei Berdasarkan penarikan sampel random sampling ukuran sampel optimum yang diperlukan untuk menduga proporsi (prevalensi), sebagai prior guess adalah 50%, pada level of confidence 1.96 dengan margin of error 1 persen maka minimum sampel size yang dibutuhkan untuk estimasi nasional adalah 17000 rumah tangga atau 1700 blok sensus secara nasional. Dengan jumlah sampel per blok sensus adalah 10 rumah tangga yang selanjutnya akan dialokasikan ke setiap provinsi terpilih secara proportional. Estimasi untuk provinsi dan nasional dipilih secara probability sampling, dan untuk menjamin keterwakilan sampel maka blok sensus dipilih independen antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Metode sampling untuk memilih keluarga menjadi responden, maka keluarga yang berada dalam satu rumah tangga lebih dari satu keluarga, dipilih dengan cara random. Oleh karenanya target capaian keluarga sebagai responden SKSD, tetap berjumlah 17.000 keluarga, dari 12 provinsi, 65 kabupaten kota dan 605 kecamatan.
2. Realisasi Capaian Sampel Berdasarkan hasil pengumpulan data, oleh sejumlah 46 ketua tim, dan 270 pewaawancara, telah terkumpul data dari sejumlah 15.274 keluarga, atau 89, 85 persen dari responden secara nasional. Berikut tabel target dan realisasi jumlah responden dari 12 provinsi. Jumlah keluarga yang menjadi responden dari setiap masing-masing provinsi tidak dapat mencapai target, karena berbagai kendala yang dihadapi di lapangan.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
31
Tabel 4.1 : Target dan Realisasi Capaian Responden Secara Nasional PROVINSI
TARGET
SUMATERA UTARA RIAU
REALISASI
%
1700
1544
90,82
800
605
75,63
LAMPUNG
1000
955
95,50
JAWA BARAT
3200
3083
96,34
JAWA TIMUR
2600
2338
89,92
300
225
75,00
NUSA TENGGARA BARAT
2100
1870
89,05
KALIMANTAN BARAT
1400
1250
89,29
KALIMANTAN TIMUR
1000
880
88,00
SULAWESI SELATAN
2200
1826
83,00
400
398
99,50
300
300
100,00
17000
15274
89,85
BALI
SULAWESI BARAT PAPUA BARAT NASIONAL
3. Kendala Capaian Sampel a. Bencana alam (bencana asap); kondisi ini dialami pada sample di provinsi Riau sehingga hanya dapat mencapai 605 responden dari 800 responden atau sebesar 75,63 persen dari target responden. Terdapat beberapa blok sensus yang tidak dapat dijangkau oleh petugas pengumpul data karena kendala kabut asap, dengan jarak pandang 1-2 meter jika menggunakan kendaraan. Demikian halnya dengan responden yang berada di provinsi Kalimantan Barat, terdapat beberapa blok sensus yang tidak dapat dijangkau karena kendala kabut asap.
Gambar 4.1: Contoh Kondisi Lokasi survei di wilayah berasap
b. Bencana sosial (konflik sosial dan politik); kondisi ini dialami oleh responden yang berada di provinsi Jawa Timur, khususnya di kota Sampang yang sedang mengadakan pemilihan Kepala Desa, dimana situasi di blok sensus tersebut, kondisinya cukup sensitif mengingat
32
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
kehadiran petugas pengumpul data sering dikaitkan dengan kandidat calon kepala desa. Meski akhirnya petugas pengumpul data dapat mengunjungi blok sensus tersebut, dengan kawalan dari aparat keamanan setempat. Selain itu salah satu blok sensus tempat responden di kabupaten Lumajang, sedang mengalami situasi konflik sosial terkait dengan penambangan pasir, atau dikenal dengan tragedi kasus “Salim Kancil”. Aparat setempat tidak mengijinkan petugas pengumpul data masuk ke blok sensus tersebut, karena suasana penduduk masih kurang kondusif dan cukup sensitif jika harus melakukan wawancara ke keluarga terpilih di blok sensus tersebut. c. Penolakan responden khusus wilayah perkotaan; Kondisi ini dialami oleh responden yang berada di ibukota provinsi seperti di kota Surabaya, kota Medan, kota Bandung. Penolakan dihadapi petugas pengumpul data dari kepala RT setempat, meski dari kepala wilayah telah memberi ijin. Responden di wilayah perkotaan terutama di wilayah perumahan “elite” cenderung tidak mengijinkan petugas pengumpul data memasuki area wilayah tersebut. Alasan yang diperoleh dari kepala lingkungan atau RT, setempat adalah demi menjaga keamanan dan kenyamanan dari lingkungannya. Selain itu, kedatangan petugas pengumpul data dari Kementerian Sosial, sering dikonotasikan sebagai pendataan fakir miskin yang tidak sesuai dengan kondisi mereka, termasuk seringnya pendataan yang ditujukan kepada keluarga, sehingga penolakan dari keluarga di wilayah perkotaan sering dialami oleh petugas pengumpul data. d. Manajemen waktu tim petugas pengumpul data. Sebagaimana waktu yang telah dialokasikan untuk melakukan pengumpulan data di wilayah terpilih, yaitu antara 14 sampai dengan 21 hari. Ternyata kondisi ini menjadi kendala dalam proses pengumpulan data, karena berbagai keterbatasan baik dalam transportasi maupun kondisi geografis untuk mencapai wilayah tertentu. Misalnya untuk satu blok sensus dengan target capaian mewawancara responden sejumlah 30-36 keluarga perhari, termasuk untuk melakukan beberapa kali kunjungan ke responden tidak dapat direalisasikan, mengingat jarak tempuh dan jarak antar blok sensus tidak dapat diprediksi dengan alokasi waktu yang telah ditentukan, dan menyangkut anggaran yang telah direncanakan. e. DSRT (Daftar Sample Rumah Tangga) yang berbeda di lapangan. DSRT yang sudah diberikan saat sebelum petugas pengumpul data turun ke lapangan, kenyataannya banyak ditemukan berbagai perbedaan situasi dan kondisinya. Gambaran di lapangan, menunjukkan bahwa nama dan alamat pada DSRT, sudah tidak tinggal atau pindah dari tempat tersebut sejak 1 atau 2 tahun yang lalu, bahkan ditemukan nama kepala keluarga sudah meninggal. Pada blok sensus tertentu sudah terkena penggusuran dan hanya tinggal 1 atau 2 keluarga saja, kasus di kota Denpasar. Selain Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
33
itu banyak nama dan alamat pada DSRT ternyata adalah Blok Khusus, yakni tempat kost atau kontrakan, dimana nama yang tercantum adalah nama dari orang yang pernah kontrak atau kost di rumah tersebut. f. Kondisi geografis, terjadi pada responden keluarga yang berada di wilayah pedesaan, dimana untuk menjangkau ke wilayah tersebut wilayahnya berada di perbukitan, pegunungan, wilayah pesisir, jauh dari kota kecamatan, yang tidak dapat ditempuh dengan kendaraan kecuali dengan berjalan kaki untuk jarak 5-10 km, termasuk melintasi sungai, atau pulau yang harus ditempuh dengan menggunakan kapal atau perahu, meski yang akan ditemui beberapa responden atau keluarga saja.
Gambar 4.2 : Contoh Kondisi Geografis Lokasi Survei
4. Kondisi Geografi Sebagai salah satu indikator dari dimensi perubahan sosial, maka dari sample lokasi SKSD di 12 provinsi menunjukkan bahwa responden keluarga di perkotaan lebih banyak daripada di perdesaan. Sebagaimana data BPS (tahun 2015) menunjukkan bahwa persentase penduduk di perkotaan semakin meningkat daripada penduduk di pedesaan. Banyaknya penduduk di wilayah perdesaan yang menjadi bagian dari pemekaran perkotaan, menjadi salah satu penyebab dari jumlah perkotaan lebih banyak dibanding jumlah perdesaan. Artinya wilayah perkotaan sebagai gambaran terhadap indikator dari dimensi perubahan sosial. Berdasarkan provinsi lokasi terpilih, menunjukkan bahwa persentase klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan di provinsi Lampung, Sulawesi Barat dan Papua Barat, lebih banyak wilayah perdesaan daripada wilayah perkotaan.
34
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.3. Klasifikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan
Tabel 4.2. Klasifikasi Wilayah Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan provinsi (%) PROVINSI
KLASIFIKASI PERKOTAAN
PERDESAAN
SUMATERA UTARA
55.31
44.69
RIAU
53.88
46.12
LAMPUNG
23.98
76.02
JAWA BARAT
61.79
38.21
JAWA TIMUR
59.24
40.76
BALI
65.33
34.67
NUSA TENGGARA BARAT
54.71
45.29
KALIMANTAN BARAT
45.60
54.40
KALIMANTAN TIMUR
60.91
39.09
SULAWESI SELATAN
50.93
49.07
SULAWESI BARAT
20.60
79.40
PAPUA BARAT
27.00
73.00
INDONESIA
56.41
43.59
5. Profil Responden Berdasarkan jenis kelamin kepala keluarga yang menjadi responden menunjukkan bahwa persentase laki-laki sebesar 86.30 persen sementara perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau berstatus kawin, dan yang belum menikah sebesar 1,93 persen. Untuk umur responden diketahui bahwa lebih dari 27,5 persen umur responden atau kepala keluarga berumur diatas usia 40 tahun.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
35
Gambar 4.4. Responden Menurut Kelompok Umur
Gambar 4.5. Responden Menurut Jenis Kelamin.
Gambar 4.6. Responden Menurut Status Perkawinan
36
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
6. Kondisi Kesejahteraan Sosial Kondisi Kesejahteraan sosial keluarga Indonesia, terbagi dari dimensi pertama ; kualitas hidup dengan parameter dari pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, baik secara obyektif maupun subyektif. Dimensi kedua; kohesi sosial dengan indikator parameter dari aksesibilitas terhadap layanan dan ketersediaan layanan, serta relasi sosial dan pendidikan sebagai modal sosial penduduk. Dimensi ketiga yakni keberlanjutan dengan parameter rasa aman dan kesehatan. Dimensi terakhir yakni Perubahan sosial dengan indikator pada struktur ekonomi, demografi serta sikap dan nilai.
B. KUALITAS HIDUP Pada variabel kualitas hidup ini dihimpun data yang berkaitan dengan pangan, pakaian dan tempat tinggal. Selanjutnya, pada ketiga aspek tersebut masing-masing disajikan data obyektif dan data subyektif. Penyajian dua jenis data ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang kualitas hidup sebagai salah satu variabel kesejahteraan sosial keluarga Indonesia. 1. Pemenuhan Kebutuhan Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang memerlukan pemenuhan, karena berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Pengertian pangan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan atau makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal dari tanaman. Contoh jenis makanan pokok, yaitu beras, jangung, sagu, gandum, kentang dan singkong. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, digali data tentang frekuensi makan keluarga minimal 2 (dua) dalam seminggu terakhir. Frekuensi makan merupakan jumlah makan sehari-hari, baik kualitatif maupun kuantitatif. Kebiasaan atau frekuensi makan sehari-hari dipengaruhi oleh faktor perilaku termasuk cara berpikir, beperasaan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
37
dan pandangan tentang makanan kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan, dan jika berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Faktor lingkungan sosial, lingkungan ekonomi dan ketersediaan bahan pangan turut berpengaruh terhadap kebiasaan tersebut. Pada survei ini, apabila suatu keluarga makan minimal dua kali sehari, Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar anggota keluarga dalam seminggu terakhir makan makanan pokok minimal 2 (dua) kali sehari, sebagaimana tampak pada gambar diatas. Berdasarkan data pada tabel tersebut, anggota keluarga sebagian besar atau lebih dari 99 persen, dalam seminggu terakhir makan makanan pokok minimal 2 (dua) kali sehari. Data tersebut menggambarkan, bahwa pada umumnya keluarga-keluarga memiliki cadangan pangan, sehingga kebutuhan pangannya dapat terpenuhi. Tabel 4.3. : Keluarga yang Mengkonsumsi Makanan Pokok Minimal 2 (dua) kali dalam Seminggu Terakhir. PROVINSI
PERSENTASE
SUMATERA UTARA
99,35
RIAU
99,66
LAMPUNG
99,90
JAWA BARAT
99,77
JAWA TIMUR
99,79
BALI
99,56
NUSA TENGGARA BARAT
99,73
KALIMANTAN BARAT
99,68
KALIMANTAN TIMUR
99,89
SULAWESI SELATAN
99,56
SULAWESI BARAT
100,00
PAPUA BARAT
100,00
INDONESIA
99,71
Sedangkan bagi keluarga-keluarga yang tidak mampu makan makanan pokok dalam seminggu terakhir minimal 2 (dua) kali sehari, yang besarnya sekitar satu persen, disebabkan oleh berbagai alasan, seperti : tidak mampu membeli, bahan pangan makanan pokok tidak tersedia di pasar dan karena faktor kesehatan. Selanjutnya, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan pangan perlu diketahui pula kemampuan keluarga mengkosumsi lauk pauk. Lauk
38
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
pauk adalah segala macam makanan yang disajikan sebagai peneman utama hidangan nasi, umumnya banyak mengandung protein, baik nabati maupun hewani. Lauk pauk nabati adalah semua bahan makanan sumber lauk pauk nabati, biasanya dikenal sebagai sumber protein nabati. Contoh lauk pauk nabati, seperti: tempe, tahu, susu kedelai, sereal, dan kacang-kacangan (kacang kedele, kacang hijau, kacang tanah, kacang tolo, kacang merah, kacang kara, kacang mede dan kapri). Hasil survei menunjukkan, bahwa secara nasional sebagian besar keluarga atau 95.80 persen mengkonsumsi lauk pauk nabati dalam seminggu terakhir, sebagaimana tampak pada gambar berikut:
Gambar 4.7. Keluarga makan lauk pauk nabati dalam Seminggu Terakhir
Berdasarkan data, menunjukkan bahwa sebagian keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati. Hal ini juga dapat menggambarkan, bahwa keluarga-keluarga memiliki alternatif dalam memenuhi protein yang diperlukan tubuh. Hasil survei menunjukkan, bahwa pada seminggu terakhir, sebagian keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati dengan frekuensi 3-7 kali sebesar 40.37 persen, < 2 (dua) kali sebesar 32.48 persen, dan di atas 8 (delapan) kali sebesar 27,15 persen, sebagaimana tampak pada tabel berikut:
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
39
Tabel 4.4. : Frekuensi Keluarga Makan Lauk Pauk Nabati dalam Seminggu Terakhir < 2 kali
3-7 kali
8-13 kali
> 14 kali
SUMATERA UTARA
PROVINSI
51,82
32,52
9,89
5,78
RIAU
44,44
42,22
9,91
3,42
LAMPUNG
34,89
41,63
13,48
10,00
JAWA BARAT
37,85
42,17
10,08
9,91
JAWA TIMUR
15,22
42,06
17,67
25,05
BALI
32,52
32,52
13,59
21,36
NUSA TENGGARA BARAT
38,15
41,14
11,51
9,20
KALIMANTAN BARAT
45,32
34,66
10,47
9,55
KALIMNATAN TIMUR
52,84
31,11
8,64
7,41
SULAWESI SELATAN
33,22
40,06
14,75
11,98
SULAWESI BARAT
65,37
33,07
1,17
0,39
PAPUA BARAT
54,62
33,61
10,50
1,26
INDONESIA
32,48
40,37
12,91
14,24
Dari data pada tabel tersebut, yang menarik bahwa terdapat 12.91 persen keluarga yang mengkonsumsi lauk pauk nabati dengan frekuensi delapan kali dan lebih dalam seminggu terakhir, atau rata-rata mengkonsumsi setiap hari. Tidak ada informasi yang dihimpun melalui survei ini, apa alasan keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati sebagai sumber protein. Sementara itu, keluarga yang tidak mengkonsumsi lauk pauk nabati (secara nasional sekitar 4.20 persen) memberikan alasan, seperti: tidak mampu membeli, tidak tersedia di pasar, kendala transportasi dan kesehatan. Kemudian, melalui survei ini dikumpulkan pula data tentang lauk pauk yang bersumber dari hewan atau dikenal pula dengan protein hewani. Lauk pauk hewani, antara lain : daging sapi dan kerbau, kambing, rusa, unggas (ayam, bebek, burung), udang, telor dan ikan. Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani, dengan data nasional sebesar 92.28 persen. Kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani sebagaimana tampak pada gambar 4.8. Berdasarkan data pada gambar berikut, mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani dalam tiga bulan terakhir. Namun demikian, apabila memperhatikan data pada kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk nabati, secara nasional keluarga yang mengkonsumsi lauk pauk hewani, menunjukkan angkanya lebih rendah meskipun tidak signifikan.
40
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.8. Keluarga yang Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir
Untuk mengetahui lebih jauh kemampuan keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani, pada survei ini dikumpulkan data tentang frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani. Hasil survei frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.5.: Frekuensi Keluarga Mengkonsumsi Lauk Pauk Hewani dalam Seminggu Terakhir PROVINSI SUMATERA UTARA
< 2 kali (%)
3-7 kali (%)
8-13 kali (%)
> 14 kali (%)
29,14
43,09
19,21
8,56
RIAU
38,34
47,53
10,78
3,36
LAMPUNG
50,32
37,13
9,57
2,98
JAWA BARAT
46,44
41,39
8,02
4,15
JAWA TIMUR
36,43
46,43
9,81
7,33
BALI
28,64
38,50
20,66
12,21
NUSA TENGGARA BARAT
40,82
43,76
11,28
4,14
KALIMANTAN BARAT
37,63
40,11
11,57
10,69
KALIMANTAN TIMUR
35,18
40,14
11,69
12,99
SULAWESI SELATAN
15,93
43,58
19,48
21,00
SULAWESI BARAT
36,86
58,33
2,88
1,92
PAPUA BARAT
22,10
53,62
19,93
4,35
INDONESIA
38,52
43,34
11,14
7,01
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
41
Berdasarkan data pada tabel tersebut, Persentase frekuensi keluarga mengkonsumsi lauk pauk hewani pada frekuensi 3-7 kali dalam seminggu terakhir sebesar 43.34 persen. Kemudian keluarga yang mengkonsumsi dengan frekuensi delapan kali dan lebih sebesar 18.15 persen. Data ini dapat dipersepsi terdapat 18.15 persen keluarga yang setiap hari mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani. Selanjutnya, secara nasional terdapat keluarga yang tidak mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani sebesar 7.82 persen. Berbagai alasan dikemukakan oleh keluarga-keluarga yang tidak mampu mengkonsumsi lauk pauk hewani, yaitu tidak mampu membeli, tidak tersedia di pasar, kendala transportasi dan kesehatan. Tabel 4.6. Pemenuhan Kebutuhan Pangan Sangat tidak terpenuhi (%)
Tidak terpenuhi (%)
Kurang terpenuhi (%)
Terpenuhi (%)
Sangat terpenuhi (%)
SUMATERA UTARA
2,57
7,97
38,51
50,16
0,79
RIAU
0,50
3,65
30,23
64,62
1,00
LAMPUNG
1,68
6,53
52,11
38,95
0,74
JAWA BARAT
1,08
3,28
42,41
52,34
0,88
JAWA TIMUR
0,69
2,96
29,06
66,48
0,82
BALI
0,45
1,35
43,50
52,91
1,79
NUSA TENGGARA BARAT
1,93
9,14
43,85
44,49
0,59
KALIMANTAN BARAT
2,34
8,41
36,94
51,01
1,29
KALIMANTAN TIMUR
0,46
2,41
28,18
67,58
1,37
SULAWESI SELATAN
0,66
3,58
32,86
62,18
0,72
SULAWESI BARAT
1,03
10,51
32,31
55,38
0,77
PROVINSI
PAPUA BARAT
2,41
3,45
23,10
70,00
1,03
INDONESIA
1,13
4,16
37,04
56,79
0,88
Berdasarkan data pada tabel tersebut, terdapat 2 (dua) provinsi yang belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya (kurang dari 45 persen), yaitu Lampung (38,95 %), dan Nusa Tenggara Barat (44,49 %). Apabila dilihat secara nasional, kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan dapat dilihat pada gambar berikut :
42
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.9. Pemenuhan Kebutuhan Pangan secara Nasional
Berdasarkan data pada gambar tersebut, keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan pangan secara nasional sebesar 57,67 persen, dan sebesar 42,33 persen belum memiliki kemampuan atau menghadapi masih hambatan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Meskipun demikian, setiap keluarga senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan. Upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan. Menunjukkan bahwa diatur secukupnya disusul dengan meminjam atau berhutang, dan meminta bantuan, menjadi solusi keluarga dalam mengatasi kekurangan kebutuhan pangan. Sementara untuk menggadaikan barang dan menjual barang persentasenya cukup rendah. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa keluarga di Indonesia tidak sampai harus menggadaikan atau menjual barang untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari. Berikut tabel upaya yang dilakukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Tabel 4.7. Upaya yang Dilakukan dalam Memenuhi Kebutuhan Pangan. PROVINSI
Pinjam/ hutang (%)
minta bantuan (%)
jual barang (%)
gadai (%)
diatur secukupnya (%)
SUMATERA UTARA
61,94
30,68
3,03
4,06
57,62
RIAU
72,28
35,12
4,27
2,44
91,76
LAMPUNG
53,45
23,89
4,49
1,08
89,11
JAWA BARAT
51,11
38,40
7,26
3,55
87,10
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
43
JAWA TIMUR
61,34
25,12
7,01
4,78
73,46
BALI
84,16
39,60
12,87
5,94
51,49
NUSA TENGGARA BARAT
68,93
34,89
8,22
6,80
70,82
KALIMANTAN BARAT
55,96
28,81
11,59
6,18
87,30
KALIMANTAN TIMUR
48,30
28,57
7,95
5,32
76,32
SULAWESI SELATAN
29,23
31,48
3,50
2,35
79,97
SULAWRSI BARAT
32,56
35,25
8,87
1,64
83,10
PAPUA BARAT
38,60
38,33
17,46
1,79
87,32
INDONESIA
56,41
32,55
6,72
3,93
78,76
Dengan demikian, setiap keluarga melakukan lebih dari satu upaya dalam memenuhi kebutuhan pangan. Data tersebut menggambarkan ada kombinasi dari beberapa upaya yang dilakukan keluarga. Hal ini menggambarkan betapa keluarga melakukan upaya maksimal, sehingga seluruh anggota keluarganya dapat mengkonsumsi makanan. Dari upaya tersebut dapat dibagi dua besar, yaitu pertama, upaya yang dilakukan secara swadaya atau mandiri (menjual barang, menggandai dan diatur secukupnya), dengan Persentase sebesar 81.41 persen. Kemudian, kedua, upaya yang dilakukan dengan bantuan dari luar (meminjam atau berhutang dan minta bantuan) dengan persentase sebesar 88,98 persen. Dengan demikian keluarga berupaya artinya untuk angka tersebut, upaya dengan bantuan dari luar lebih besar dibandingkan upaya dari dalam keluarga sendiri. Analisis “gap” untuk perbedaan ekstrem antara keluarga yang terpenuhi kebutuhan pangan dengan yang tidak terpenuhi kebutuhan adalah sbb :
Gambar. 4.10. Analisis “Gap” Pemenuhan Kebutuhan Pangan
44
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Berdasarkan analisis “gap” antara pemenuhan kebutuhan pangan, terlihat bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara keluarga yang sangat terpenuhi dengan keluarga yang sangat tidak terpenuhi pada pemenuhan kebutuhan pokok. Perbedaan signifikan justru terlihat jelas pada pemenuhan kebutuhan makanan pokok, lauk pauk nabati dan hewani dengan membandingkan antara pemenuhan kebutuhan secara subyektif dan obyektif, sehingga keluarga dapat dikategorikan sebagai keluarga yang sejahtera, disonansi, adaptasi dan deprivasi.
4. 1.1. Pemenuhan Makanan Pokok secara Subyektif dan Obyektif SUBYEKTIF WELLBEING
BAIK
BURUK
BAIK
Sejahtera (56.1%)
Disonansi (43.6%)
BURUK
Adaptasi (0.1%)
Deprivasi (0.2%)
Gambar 4.11. Pemenuhan Makanan Pokok
Berdasarkan analisis subyektif dan obyektif pada pemenuhan kebutuhan pokok, diperoleh gambaran bahwa angka keluarga yang masuk ke dalam kategori sejahtera sebesar 56.1 persen, artinya secara obyektif maupun subyektif menyatakan sudah terpenuhi kebutuhan makanan pokok. Berbeda halnya dengan kategori disonansi sebesar 43.61 persen, artinya secara obyektif terpenuhi namun secara subyektif menyatakan tidak terpenuhi kebutuhan makanan pokok. Sementara keluarga yang secara subyektif dan obyektif menyatakan kebutuhan makanan pokok mereka buruk sehingga dikategorikan ke dalam deprivasi sebesar 0,2 persen. Menariknya pada keluarga yang menyatakan bahwa secara obyektif masuk kedalam kategori pemenuhan kebutuhan makanan pokok buruk tetapi mereka menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok mereka baik, yaitu sebesar 0,1 persen Artinya sebesar 0,1 persen keluarga di Indonesia melakukan adaptasi dengan kondisi yang terjadi.
4.1.2. Pemenuhan Lauk Pauk Nabati. Berdasarkan analisis subyektif dan obyektif, dalam pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati pada keluarga di Indonesia dengan kategori baik, atau kategori sejahtera sebesar 56,1 persen. Sementara keluarga yang secara obyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauknya baik tetapi secara subyektif mereka menyatakan buruk sebagai kategori disonansi sebesar 39.5 persen. Bagi keluarga dengan kategori adaptasi yaitu mereka yang secara obyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati buruk, tetapi secara subyektif menyatakan baik yaitu sebesar 1,9 persen Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
45
dan bagi keluarga yang masuk kedalam kategori deprivasi yakni sebesar 4,32 persen, menyatakan bahwa kondisi pemenuhan kebutuhan lauk pauk nabati baik scara subyektif maupun obyektif sama buruknya. SUBYEKTIF WELLBEING
BAIK
BURUK
BAIK
Sejahtera (56.1%)
Disonansi (39.5%)
BURUK
Adaptasi (1.9%)
Deprivasi (4.3%)
Gambar 4.12. Pemenuhan Lauk Pauk Nabati
4.1.3. Pemenuhan Lauk Pauk Hewani Pada pemenuhan lauk pauk hewani, diperoleh angka sebesar 54.6 persen berada pada kategori keluarga sejahtera, sementara kondisi pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewani dalam kategori disonansi, yakni secara obyektif baik tetapi secara subyektif buruk sebesar 38.1 persen. Keluarga dengan kategori adaptasi, dimana secara obyektif menyatakan buruk tetapi secara subyektif menyatakan baik dalam pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewani, sebesar 1,7 persen. Kategori deprivasi, yaitu keluarga yang menyatakan secara obyektif maupun subyektif pemenuhan kebutuhan lauk pauk hewaninya buruk sebesar 5,7 persen. SUBYEKTIF WELLBEING
BAIK
BURUK
BAIK
Sejahtera (54.6%)
Disonansi (38.1%)
BURUK
Adaptasi (1.7%)
Deprivasi (5.7%)
Gambar 4.13. Pemenuhan Lauk Pauk Hewani
2. Pemenuhan Kebutuhan Pakaian Pakaian memiliki banyak fungsi bagi manusia. Fungsi pakaian dapat dilihat dari berbagai sudat pandang, diantaranya dari sudut pandang biologis, psikologis dan sosial. Dari sudut pandang biologis, pakaian berfungsi sebagai pelindung tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu serta gangguan binatang, dan melindungi tubuh dari benda – benda lain yang dapat membahayakan kulit. Dari sudut pandang biologis, pakaian juga berfungsi untuk menutupi atau menyamarkan kekurangan tubuh sipemakai. Dari sudut pandang psikologis, pakaian dapat menambah keyakinan dan rasa percaya diri serta dapat memberi rasa nyaman. Kemudian dari sudut pandang sosial, pakaian berfungsi untuk menutupi memelihara kesusilaan, untuk menggambarkan adat atau budaya suatu daerah, untuk media informasi bagi suatu instansi
46
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
atau lembaga. Oleh sebab itu setiap orang memerlukan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda. Secara keseluruhan pakaian dirasakan sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Kepemilikan atau ketersediaan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda bagi semua anggota keluarga merupakan satu cermin dari kualitas hidup keluarga. Akan tetapi untuk memenuhi kebutuhan pakaian, seperti halnya pemenuhan kebutuhan lainnya, diperlukan kemampuan tersendiri. Survei menemukan bahwa tidak semua keluarga mampu menyediakan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda bagi seluruh anggotanya. Kemampuan keluarga menyediakan pakaian berbeda bagi semua anggotanya bervariasi antar daerah. Secara keseluruhan 95.80 keluarga Indonesia mampu menyediakan pakaian berbeda bagi semua anggotanya untuk di rumah, bekerja atau sekolah, dan berpergian. Artinya, pada sisi lain terdapat sebanyak 4.20 persen keluarga Indonesia belum mampu menyediakan pakaian berbeda untuk kegiatan berbeda. Kualitas keluarga dapat juga dibedakan berdasarkan kuantitas pakaian yang dimiliki anggota keluarga. SKSD menemukan bahwa masih terdapat keluarga yang anggotanya hanya memiliki pakaian 3 stel atau kurang meliputi sebanyak 18 keluarga. Sebanyak 42.1 persen keluarga memiliki pakaian sebanyak 4 sampai 7 stel, dan sebanyak 39.8 persen keluarga memiliki 8 stel pakaian atau bahkan lebih. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang anggotanya memiliki pakaian sangat kurang. Setiap keluarga perlu membeli pakaian baru dalam priode tertentu untuk memenuhi keperluan anggotanya. Di Indonesia ada kebiasaan membeli pakaian menjelang perayaan hari raya tertentu, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Natal. Tabel 4.8. : Keluarga Yang Memiliki Pakaian Berbeda. PROVINSI
PERSENTASE
SUMATERA UTARA
95.89
RIAU
95.17
LAMPUNG
95.48
JAWA BARAT
95.58
JAWA TIMUR
96.57
BALI
97.33
NUSA TENGGARA BARAT
93.40
KALIMANTAN BARAT
95.47
KALIMANTAN TIMUR
98.05
SULAWESI SELATAN
97.53
SULAWESI BARAT
93.65
PAPUA BARAT
94.46
INDONESIA
95.80
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
47
Hasil survey menemukan bahwa 81,88 persen keluarga Indonesia membeli pakaian baru untuk anggotanya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Persentase keluarga membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir bervariasi, terendah dialami oleh keluarga di Provinsi NUSA TENGGARA BARAT dan Jawa Timur, yaitu 77.81 persen dan 79.20, sedangkan tertinggi di Provinsi Papua Barat dan Kalimantan Timur, yaitu 91.76 persen dan 89.21 persen. Data menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 18,12 persen keluarga Indonesia tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir. Alasan keluarga tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir bervariasi. Secara nasional sebagian terbesar beralasan tidak mampu membeli pakaian sebesar 66.22 persen. Alasan tidak mampu membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir paling banyak dikemukakan oleh keluarga di Provinsi Sulawesi Barat 87.50 persen dan Kalimantan Barat 83.24 persen. Sebaliknya, prosentase keluarga tidak membeli pakaian baru dalam 12 bulan terakhir terjadi di Provinsi Jawa Timur sebanyak 47.70 persen dan Papua Barat sebanyak 50,00 persen. Tabel. 4.9. : Persentase Keluarga yang Membeli Pakaian Baru dalam 12 bulan Terakhir PROVINSI
48
PROSENTASE
SUMATERA UTARA
80.66
RIAU
85.79
LAMPUNG
85.56
JAWA BARAT
80.80
JAWA TIMUR
79.20
BALI
68.00
NUSA TENGGARA BARAT
77.81
KALIMANTAN BARAT
83.60
KALIMANTAN TIMUR
89.21
SULAWESI SELATAN
84.03
SULAWESI BARAT
85.40
PAPUA BARAT
91.76
INDONESIA
81.88
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.10. : Persepsi Responden atas Keterpenuhan Kebutuhan Pakaian Keluarga Sangat tidak terpenuhi
Tidak terpenuhi
Kurang terpenuhi
Terpenuhi
Sangat terpenuhi
SUMATERA UTARA
3.7
10.2
33.4
52.3
.4
RIAU
.5
4.4
28.5
66.0
.5
LAMPUNG
1.8
9.1
45.0
43.4
.7
JAWA BARAT
1.4
5.7
32.4
59.6
.9
JAWA TIMUR
1.1
3.6
23.5
71.0
.8
BALI
1.4
3.2
35.3
59.3
.9
NUSA TENGGARA BARAT
2.3
9.2
36.7
51.2
.6
KALIMANTAN BARAT
2.3
11.6
29.8
55.0
1.3
KALIMANTAN TIMUR
1.1
2.8
20.2
74.7
1.1
PROVINSI
SULAWESI SELATAN
.7
4.5
29.6
64.1
1.2
SULAWESI BARAT
2.0
13.7
26.4
57.4
.5
PAPUA BARAT
1.8
2.8
16.6
76.7
2.1
INDONESIA
1.7
6.7
30.6
60.1
.9
Selain mengidentifikasi kondisi objektif pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga, SKSD ini juga mencari tahu persepsi responden atas pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga. Sebagian terbesar responden memandang pemenuhan kebutuhan pakaian keluarganya sudah terpenuhi (60,1 persen) dan 0,9 persen bahkan memandang sudah sangat terpenuhi. Akan tetapi terdapat sebanyak 30,6 persen memandang kurang terpenuhi, 6,7 persen memandang tidak terpenuhi dan 1,7 persen bahkan mengatakan sangat tidak terpenuhi. Pandangan responden berbeda antara provinsi. Apabila dikaitkan dengan kepemilikan pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah, dan berpergian, terdapat 26,7 persen keluarga dengan anggota memiliki pakaian berbeda untuk tiga kegiatan namun menilai pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga mereka belum terpenuhi. Artinya memiliki pakaian berbeda untuk kegiatan di berbeda belum berarti sudah dirasakan cukup. Jika dilihat pemenuhan kebutuhan pakaian yang sudah terpenuhi, menunjukkan di Provinsi Papua Barat sebesar 76,7 persen dan sebesar 74,7 persen responden di Provinsi Kalimantan Timur.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
49
Tabel 4.11. : Upaya Pemenuhan Kebutuhan Pakaian Meminjam/ berhutang
minta bantuan
menjual barang
menggadai
diatur secukupnya
SUMATERA UTARA
45.57
27.09
2.97
2.99
64.53
RIAU
44.39
25.91
2.07
2.07
81.87
LAMPUNG
31.41
21.81
2.31
0.97
91.25
JAWA BARAT
40.02
30.91
4.24
1.02
83.49
JAWA TIMUR
39.49
20.42
3.89
2.49
72.43
BALI
43.68
25.29
8.05
2.30
51.72
NUSA TENGGARA BARAT
53.42
31.05
5.15
4.71
70.18
KALIMANTAN BARAT
38.18
22.98
7.13
4.61
87.74
KALIMANTAN TIMUR
26.37
11.88
3.48
3.48
63.37
SULAWESI SELATAN
22.24
31.69
3.27
2.38
78.56
SULAWESI BARAT
16.10
34.65
8.04
2.70
76.15
PAPUA BARAT
40.91
46.81
14.89
2.27
76.47
INDONESIA
39.19
27.12
4.30
2.67
77.01
Provinsi
Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kondisi pemenuhan kebutuhan pakaian, umumnya mengatakan diatur secukupnya 77.01, sementara meminjam/berhutang sebesar 39.19 persen, minta bantuan sebesar 27.12 persen, menjual barang sebesar 4.30 persen, menggadai sebesar 2.67 persen. Selanjutnya pemenuhan kebutuhan pakaian keluarga dianalisis dengan membandingkan antara keluarga dengan pemenuhan kebutuhan pakaian anggotanya “sangat tidak terpenuhi” dan “sangat terpenuhi”. Hasil survei menunjukkan ada perbedaan dari kedua kelompok tersebut yang akan dilihat dari: 1) aspek kepemilikan pakaian berbeda untuk tiga kegiatan berbeda: 2) membeli atau tidak membeli pakaian baru dalam satu tahun terakhir; dan 3) banyaknya pakaian yang dimiliki.
50
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.14. Kepemilikan Pakaian
Gambar 4.15. Membeli Pakaian Baru
Gambar 4.16 Jumlah (stel) pakaian yang dimiliki
Pada keluarga yang sangat tidak terpenuhi kebutuhan pakaian menunjukkan bahwa mereka memiliki pakaian dinyatakan oleh 76,1 persen keluarga, dengan rincian yang memiliki pakaian kurang dari 3 stel sebesar 59,2 persen, dan memiliki 4 – 7 stel sebesar 29,2 persen, dan 11,7 persen saja yang menyatakan memiliki pakaian lebih dari 8 stel pakaian. Mereka yang mampu membeli pakaian baru dinyatakan oleh 29,9 persen keluarga. Sementara pada keluarga yang terpenuhi kebutuhan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
51
pakaian, menyatakan 84,1 persen memiliki pakaian sebanyak 8 stel atau lebih, dan hanya 12,1 persen saja yang menyatakan memiliki pakaian sebanyak 4 sampai 7 stel.
3. Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan, tempat berteduh, atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal. Dalam konteks hukum, tempat tinggal (domicilie) adalah tempat seseorang harus selalu hadir dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban. Dalam konteks tertentu tempat tinggal memiliki arti yang sama dengan rumah, kediaman, akomodasi, perumahan, dan arti-arti yang lain. Unit sosial yang tinggal di sebuah tempat tinggal disebut sebagai rumah tangga. Rumah dalam pengertian yang luas, bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syaratsyarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan masyarakat. Rumah sebagai tempat yang memberikan perlindungan, untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Oleh karena itu, rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, memberi kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya, dan lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan, dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya. Rumah juga merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan kepada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, selain pakaian dan pangan, meliputi struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang digunakan sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992). Bagi bangsa Indonesia, rumah merupakan hak konstitusional, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 h yang mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pada survei ini, rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu dari sub variabel pada kelangsungan hidup keluarga. Berkaitan dengan rumah atau tempat tinggal ini digali data tentang: status penguasaan rumah dan kondisi fisik rumah.
52
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.12. Keluarga dengan Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal PROVINSI
Milik Kontrak sendiri (%) (%)
Sewa (%)
Bebas sewa (%)
Dinas (%)
Milik OT/ saudara (%)
SUMATERA UTARA
61,54
6,32
3,59
4,82
3,65
20,08
RIAU
65,45
5,32
8,14
6,64
3,65
10,80
LAMPUNG
78,53
1,47
0,42
3,87
0,00
15,71
JAWA BARAT
72,11
4,57
1,24
1,01
0,52
20,55
JAWA TIMUR
74,27
2,91
1,33
1,33
0,21
19,95
BALI
63,84
4,02
4,91
6,25
4,46
16,52
NUSA TENGGARA BARAT
77,90
1,13
0,43
0,64
0,27
19,64
KALIMANTAN BARAT
80,76
1,69
0,40
1,45
0,97
14,73
KALIMANTAN TIMUR
72,32
4,78
6,95
4,67
1,94
9,34
SULAWESI SELATAN
78,91
2,42
0,77
1,48
1,32
15,10
SULAWESI BARAT
79,75
2,78
0,76
1,52
3,29
11,90
PAPUA BARAT
83,73
1,69
4,07
1,36
3,73
5,42
INDONESIA
72,56
3,74
1,88
2,10
1,05
18,67
Status penguasaan rumah oleh keluarga yang diperoleh melalui survei, yaitu milik sendiri, kontrak, sewa, bebas sewa, dinas, milik orang tua/keluarga. Berdasarkan temuan survei menunjukkan bahwa, secara nasional maupun provinsi, penguasaan rumah pada keluarga sebagian besar milik sendiri, disusul milik orang tua/saudara. Data tersebut menggambarkan, bahwa sebagian besar keluarga atau 72,56 persen menempati rumah milik sendiri, atau sudah dapat memenuhi kebutuhan rumah. Selanjutnya, digali data mengenai luas lantai rumah. Luas lantai rumah berkaitan dengan kepadatan hunian atau rata-rata luas ruang untuk tiap anggota keluarga. BPS mendefinisikan bangunan fisik rumah adalah tempat berlindung yang mempunyai dinding, lantai, dan atap baik tetap maupun sementara, baik digunakan untuk tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal. Bangunan yang luas lantainya kurang dari 10 m2 dan tidak digunakan untuk tempat tinggal dianggap bukan bangunan fisik. Hasil survei menunjukkan, bahwa sebagian besar keluarga menempati rumah dengan luas yang dipersyaratkan oleh BPS, sebagaimana pada tabel berikut:
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
53
Tabel 4.13. Luas Lantai Rumah PROVINSI SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG PROVINSI JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT
INDONESIA
< 21 6,56 4,80 3,15 < 21 7,26 3,46 9,82 17,07 4,50 6,14 4,07 23,93 5,00 6,06
21-35 14,35 18,38 14,17 21-35 17,17 9,32 25,45 28,41 16,95 14,22 13,15 21,66 11,00 14,88
36-53 23,18 25,00 17,73 36-53 19,40 20,62 29,46 25,20 21,45 20,36 17,55 19,14 34,33 20,83
54-69 16,56 14,74 36,62 54-69 15,28 19,03 11,61 11,61 17,67 10,01 18,10 12,59 25,67 17,48
70-90 16,04 14,07 17,00 70-90 13,54 20,92 10,71 7,38 14,54 19,45 20,19 8,06 11,00 16,29
> 90 23,31 23,01 11,33 > 90 27,35 26,65 12,95 10,33 24,90 29,81 26,95 14,61 13,00 24,47
Berdasarkan data pada tabel tersebut, umumnya keluarga sudah menempati rumah dengan ukuran minimal yang ditetapkan BPS. Sebagaimana diketahui, bahwa luas rumah akan mempengaruhi perilaku dan aktivitas penghuninya karena berhubungan dengan kebutuhan kenyamanan, keamanan, kesehatan, dan lain-lain. Selain luas rumah, jenis lantai rumah dapat mempengaruhi kondisi kesehatan anggota keluarga. Berdasarkan publikasi Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan, lantai bukan tanah dianggap lebih baik di bandingkan lantai tanah. Oleh karena itu, rumah tangga yang menggunakan lantai tanah, dianggap menempati rumah tidak layak huni. Berkaitan dengan lantai rumah, survei ini menggali data tentang jenis lantai rumah keluarga, dan diperoleh data keluarga yang menempati lantai rumah bukan dari tanah, sebagaimana tampak pada tabel berikut:
Gambar 4.17. Lantai Rumah Bukan Tanah
54
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Berdasarkan data pada gambar tersebut, secara nasional sebagian besar keluarga (88,90%) menempati rumah dengan lantai bukan tanah. Jenis lantai dimaksud, seperti : plester, keramik, dan kayu. Bagian rumah lain yang penting dan menjadi indikator rumah layak huni, yaitu dinding rumah. Dinding mempunyai fungsi, yaitu pelindung dari pengaruh di lingkungan luar tempat manusia tinggal dan beraktivitas, dan pembatas antar ruang bagian dalam, luar, samping dan belakang, dan pembentuk daerah fungsi (zoning) dalam bangunan. Ruang tidur dengan ruang dapur dan ruang-ruang lainnya dipisahkan oleh dinding dan masingmasing ruangan memiliki fungsi yang berbeda. Berbagai jenis antara lain : tembok, kayu dan bambu. Survei ini berupaya menggali data tentang dinding rumah, sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.14. : Jenis Dinding Rumah Tembok
Kayu
Bambu
SUMATERA UTARA
PROVINSI
59,88
37,06
3,06
RIAU
56,86
43,14
0,00
LAMPUNG
66,35
24,95
8,70
JAWA BARAT
75,31
12,04
12,65
JAWA TIMUR
83,62
11,82
4,56
BALI
94,14
3,60
2,25
NUSA TENGGARA BARAT
84,85
8,16
6,98
KALIMANTAN BARAT
63,83
35,60
0,57
KALIMANTAN TIMUR
29,24
70,76
0,00
SULAWESI SELATAN
47,23
50,58
2,19
SULAWESI BARAT
36,39
54,45
9,16
PAPUA BARAT
66,55
32,09
1,35
INDONESIA
72,83
20,30
6,87
Berdasarkan data pada tabel tersebut, keluarga yang memiliki rumah dengan jenis dinding tembok prosentasenya paling besar, yaitu 72,83 persen, disusul dengan rumah berdinding kayu dan bambu. Apabila dilihat dari kondisi dinding, secara nasional sebagian besar keluarga menempati rumah dengan dinding dalam kondisi bagus, sebagaimana pada tabel berikut:
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
55
Gambar 4.18. Kondisi Dinding Rumah dalam Kondisi Bagus
Pada gambar tersebut, sebagian besar atau lebih dari 51 persen keluarga menempati rumah dengan dinding bagus. Sementara itu, secara nasional, keluarga yang menempati rumah dengan dinding bagus sebesar 68,99 persen. Berdasarkan data tersebut, terdapat keluargakeluarga yang menempati rumah dengan dinding bagus di bawah data nasional di 7 (tujuh) provinsi, yaitu : Lampung, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat dan Papua Barat. Bagian rumah lainnya, yang ditemukan pada survei adalah jenis atap rumah. Berbagai jenis atap rumah yang digunakan keluarga, yaitu beton, genteng, sirap, seng, asbes, ijuk/rumbia dan lainnya. Berdasarkan data pada tabel dibawah, persentase paling besar keluarga menempati rumah dengan atap dari genteng, sebesar 67,69 persen. Kemudian di bawah data nasional berturut-turut : seng, asbes, beton, ijuk/rumbia dan sirap. Jenis atap rumah dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut:
56
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel. 4.15. : Jenis Atap Rumah PROVINSI
Beton Genteng
Sirap
Seng
Asbes
Ijuk/ Lainnya Rumbia
SUMATERA UTARA
5,44
4,60
0,32
74,92
8,36
5,83
0,52
RIAU
0,83
5,29
0,17
87,60
1,82
3,47
0,83
LAMPUNG
3,66
86,18
0,42
3,66
5,86
0,10
0,10
JAWA BARAT
2,70
88,70
0,00
0,94
7,00
0,39
0,26
JAWA TIMUR
2,01
91,60
0,21
0,77
5,14
0,04
0,21
BALI
1,35
83,78
0,00
4,05
9,91
0,45
0,45
NUSA TENGGARA BARAT
2,25
63,22
0,43
19,09
13,78
0,75
0,48
KALIMANTAN BARAT
1,61
8,15
2,74
81,68
1,94
1,94
1,94
KALIMANTAN TIMUR
0,57
11,48
5,45
77,61
2,27
0,45
2,16
SULAWESI SELATAN
0,60
6,03
0,38
90,85
0,88
1,04
0,22
SULAWESI BARAT
2,27
3,28
0,76
81,57
0,25
11,36
0,51
PAPUA BARAT
1,01
5,05
0,00
87,54
0,34
5,72
0,34
INDONESIA
2,46
67,69
0,37
22,00
5,98
1,11
0,39
Selain jenis atap, pada survei ini digali data tentang kondisi atap rumah. Keluarga yang menempati rumah dengan kondisi atap rumah bagus, sebagaimana tampak pada gambar berikut:
Gambar 4.19 Kondisi Atap Rumah Bagus
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
57
Berdasarkan data, secara nasional sebagian besar keluarga atau 69.21 persen menempati rumah dengan dinding dalam kondisi bagus. Kondisi dinding rumah yang bagus, diatas data nasional, terdapat di Provinsi Riau, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Sebuah rumah disebut layak huni dan sehat, jika dilengkapi dengan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK). Pada survei ini dihimpun data keluarga yang menempati rumah dilengkapi dengan fasilitas MCK. Hasil survei, menunjukkan sebagian besar rumah sudah dilengkapi dengan fasilitas MCK, yakni sebesar 92.34 persen keluarga telah memanfaatkan fasilitas MCK. Pada keluarga yang memiliki MCK sendiri sebesar 75,66 persen, dan keluarga yang tidak punya fasilitas MCK sebesar 7,66 persen dan yang menggunakan fasiltas MCK baik secara bersama maupun umum masing-masing sebesar 11,40 persen dan 5,27 persen. Secara lengkap data rumah yang memiliki fasilitas MCK pada masing-masing provinsi sebagai berikut: Tabel 4.16. : Rumah dengan Fasilitas MCK PROVINSI SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
Sendiri 80,75 86,45 76,11 78,54 80,64 66,82 55,01 70,94 73,06 44,65 32,99 53,40 75,66
Bersama 4,45 4,63 10,00 9,32 9,19 18,83 19,97 5,03 17,35 42,51 26,90 21,09 11,40
Umum 3,01 3,14 1,89 8,16 3,22 3,14 6,73 5,03 3,54 4,94 23,10 13,27 5,27
Tidak punya 11,79 5,79 12,00 3,98 6,96 11,21 18,30 18,99 6,05 7,90 17,01 12,24 7,66
Air bersih merupakan kebutuhan utama setiap keluarga. Survei ini menggali data sumber air bersih utama yang digunakan keluarga untuk memenuhi kebutuhan air layak konsumsi sehari-hari, mulai dari pemenuhan dengan memanfaatkan air dari lingkungan sekitar, seperti bersumber dari mata air alam, sampai dengan membeli air bersih bermerk atau air isi ulang. Pada sebagian besar keluarga mengkonsumsi air dari sumber air utama yang layak dikonsumsi, berdasarkan jenis sumber air bersih diperoleh hasil bahwa keluarga yang memanfaatkan sumur bor pompa sebesar 31.37 persen, sumber mata air terlindung sebesar 24.66 persen dan memanfaatkan ledeng meteran 18.59 persen. Berikut tabel pemenuhan kebutuhan air bersih pada keluarga di Indonesia:
58
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
59
2,33 0,21 3,98 3,08 2,24 2,20 4,82 5,47 1,59 5,56
0,66
0,73
2,18
1,58
1,35
1,82
1,85
2,96
1,10
0,25
1,67
1,72
RIAU
LAMPUNG
JAWA BARAT
JAWA TIMUR
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
INDONESIA
3,07
5,33
1,69
1,76
Air Air isi kemasan ulang bermerk
SUMATERA UTARA
PROVINSI
18,59
26,33
10,10
26,04
45,67
22,33
28,28
55,16
19,01
11,99
0,94
5,48
29,36
2,24
6,33
0,25
3,18
3,64
2,09
1,77
5,38
0,90
3,32
0,00
1,99
2,21
Ledeng Ledeng meteran eceran
31,37
9,33
13,13
24,78
7,52
11,41
9,59
20,63
34,97
39,83
7,87
48,50
26,04
Sumur bor, pompa
24,66
10,67
25,00
21,38
9,45
18,63
33,15
4,04
29,75
20,11
58,76
28,24
15,36
5,32
6,00
7,07
7,46
2,62
6,67
12,00
3,14
3,17
4,07
21,83
2,49
5,40
6,82
7,67
32,07
11,84
2,51
4,58
7,93
4,04
4,79
9,55
1,36
0,66
6,25
2,47
5,33
0,25
0,82
0,00
2,09
1,29
2,24
1,20
3,39
5,56
0,33
4,69
2,89
12,00
6,31
1,64
19,13
18,39
1,66
0,90
1,20
1,53
2,73
6,98
3,78
0,85
9,33
0,00
0,16
1,03
7,15
0,32
0,90
0,34
0,03
0,00
2,33
3,45
Sumur Sumur tak Mata air Mata air tak Air Air terlindungi terlindungi terlindungi terlindungi sungai hujan
Sumber air bersih utama
Tabel 4.17 : Sumber Air Bersih Utama Keluarga
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa sebagian keluarga memperoleh air bersih utama dengan cara membeli. Hasil survei dimaksud sebagaimana tampak pada gambar berikut:
Gambar 4.20. Mengkonsumsi Air Bersih Utama dengan Membeli
Berdasarkan data pada gambar tersebut, secara nasional sebesar 37.55 persen keluarga yang mendapatkan air bersih utama dengan cara membeli. Apabila dilihat pada provinsi, terdapat provinsi yang datanya di atas data nasional, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari lima provinsi tersebut, Provinsi Bali dan Kalimantan Timur dengan persentase paling tinggi menggunakan air bersih utama dengan cara membeli. Unsur berikutnya yang berkaitan dengan tempat tinggal, yaitu penerangan rumah. Pada survei ini dihimpun data penerangan rumah yang digunakan keluarga. Hasil survei menghimpun data jenis penerangan rumah, yaitu: listrik PLN, listrik nonPLN, pertomak/aladin dan pelita/sentir/obor. Jenis penerangan rumah dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut:
60
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.18 : Keluarga yang Menggunakan Listrik. Listrik PLN
Listrik non PLN
Petromak, aladin
Pelita, sentir, obor
SUMATERA UTARA
94,21
1,17
0,46
4,17
RIAU
85,45
11,04
0,50
3,01
LAMPUNG
95,18
2,83
0,10
1,89
JAWA BARAT
97,41
2,33
0,10
0,16
JAWA TIMUR
98,80
0,99
0,09
0,13
BALI
98,21
0,45
0,00
1,34
NUSA TENGGARA BARAT
95,64
3,82
0,16
0,38
KALIMANTAN BARAT
84,65
7,51
0,08
7,76
KALIMANTAN TIMUR
85,27
11,99
0,91
1,83
SULAWESI SELATAN
94,33
3,36
0,66
1,65
SULAWESI BARAT
46,94
38,27
0,77
14,03
PAPUA BARAT
82,03
14,24
0,68
3,05
INDONESIA
95,60
2,97
0,20
1,23
PROVINSI
Berdasarkan data pada tabel tersebut, sebagian besar atau 98.57 persen keluarga sudah menggunakan penerangan listrik. Dari jumlah tersebut, sebesar 95.60 persen keluarga memperoleh sumber listrik dari PLN dan 2,97 persen menggunakan listrik non PLN. Tabel 4.19 : Besarnya Daya Listrik Terpasang Di Rumah PROVINSI
450 watt 900 watt 1300 watt
2200 watt
> 2200 watt
Tanpa meteran
SUMATERA UTARA
48,51
35,64
5,95
3,67
0,69
5,54
RIAU
12,40
63,19
12,60
2,95
1,18
7,68
LAMPUNG
26,14
56,48
1,44
0,11
0,00
15,84
JAWA BARAT
51,32
34,52
7,23
1,76
0,24
4,94
JAWA TIMUR
48,26
36,52
4,61
1,52
0,78
8,30
BALI
37,16
27,06
17,43
6,42
0,46
11,47
NUSA TENGGARA BARAT
43,18
34,52
7,41
0,91
0,17
13,81
KALIMANTAN BARAT
36,05
42,95
10,01
1,55
1,07
8,36
KALIMANTAN TIMUR
22,22
46,99
19,54
4,28
1,47
5,49
SULAWESI SELATAN
35,91
46,84
9,18
1,75
0,76
5,56
SULAWESI BARAT
23,63
42,31
24,18
1,10
0,55
8,24
PAPUA BARAT
21,25
50,83
24,17
1,67
0,83
1,25
INDONESIA
44,65
38,39
7,09
1,97
0,55
7,35
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
61
Penggunaan daya untuk penerangan listrik, pada sebagian besar atau 83.04 persen keluarga dengan penerangan listrik berdaya 450 watt – 900 watt. Berkaitan dengan pemasangan daya listrik tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan, bahwa daya 450 watt dan 900 watt merupakan listrik bersubsidi yang diperuntukkan bagi keluarga miskin dan rentan miskin. Namun terdapat 7.35 persen keluarga di Indonesia yang menggunakan penerangan listrik tanpa sambungan meteran. Setiap keluarga melakukan aktivitas memasak untuk pemenuhan kebutuhan pangan, tidak terlepas dari penggunaan bahan bakar. Melalui survei ini dihimpun data tentang bahan bakar/energi utama yang digunakan keluarga untuk memasak. Hasil survei menemukan bahwa bahan bakar/energi utama yang digunakan keluarga, yaitu listrik, gas/elpiji, dengan persentase paling besar, yaitu 66.87 persen, disusul dengan bahan bakar dari kayu bakar sebesar 28.13 persen. Data ini mendukung kebijakan nasional terkait penggunaan gas/elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Namun demikian masih terdapat keluarga yang menggunakan minyak tanah, arang/briket, masing-masing sebesar 2,61 persen dan 0,49 persen, serta menggunakan listrik untuk memasak yakni sebesar 1,90 persen. Secara lengkap pemanfaatan bahan bakar energi untuk memasak, dapat dilihat dari pada tabel berikut: Tabel 4.20 : Bahan Bakar/Energi Utama untuk Memasak Listrik
Gas, elpiji
Minyak tanah
Arang, briket
Kayu bakar
SUMATERA UTARA
0,98
64,32
9,07
0,07
25,57
RIAU
0,83
79,67
5,29
2,31
11,90
LAMPUNG
0,94
38,30
0,84
0,00
59,92
JAWA BARAT
2,84
71,06
1,27
0,69
24,14
JAWA TIMUR
1,64
68,20
0,86
0,26
29,04
BALI
2,24
56,95
0,45
0,00
40,36
NUSA TENGGARA BARAT
1,08
49,11
10,79
0,27
38,75
KALIMANTAN BARAT
1,55
69,50
1,31
0,16
27,47
KALIMANTAN TIMUR
3,19
78,25
1,82
0,57
16,17
SULAWESI SELATAN
1,16
78,19
0,61
0,39
19,66
SULAWESI BARAT
0,25
41,52
4,56
4,05
49,62
PAPUA BARAT
1,01
1,68
52,35
0,67
44,30
INDONESIA
1,90
66,87
2,61
0,49
28,13
PROVINSI
Selanjutnya akan diuraikan tentang pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga secara subyektif atau menurut pandangan keluarga meliputi kategori sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi, kurang
62
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
terpenuhi, terpenuhi dan sangat terpenuhi. Hasil survei menujukkan, data pemenuhan kebutuhan tempat tinggal keluarga secara subyektif sebagai berikut: Tabel. 4.21 : Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal. PROVINSI SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
Sangat Tidak Kurang Sangat Terpenuhi tidak terpenuhi terpenuhi terpenuhi terpenuhi 2,69 0,67 1,69 1,19 0,82 1,35 1,62 2,45 0,92 0,83 1,56 1,04 1,26
7,61 2,01 6,14 3,05 3,53 2,24 6,33 6,38 1,72 2,77 8,33 3,82 3,92
28,92 20,07 35,49 30,74 22,24 31,84 32,63 26,00 19,08 27,73 23,70 17,71 27,29
60,39 76,59 56,46 64,33 72,63 64,57 58,93 64,43 77,47 67,74 65,63 77,08 66,88
0,39 0,67 0,21 0,70 0,78 0,00 0,49 0,74 0,80 0,94 0,78 0,35 0,65
Berdasarkan tabel tersebut, secara nasional sebesar 66.88 persen keluarga dapat dikatakan telah mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal sebesar 32.47 persen. Sementara itu, terdapat dua provinsi dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggalnya masih di bawah 60 persen, yaitu Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Barat. Adapun pemenuhan keluarga terhadap kebutuhan tempat tinggal secara subyektif menurut angka nasional dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.21. Pemenuhan Kebutuhan Tempat Tinggal Keluarga secara Nasional
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
63
Berdasarkan data tersebut diperoleh gambaran bahwa keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal secara nasional sebesar 32.47 persen, yatu mereka yang masuk dalam kategori sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi. Berbagai upaya keluarga untuk melakukan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, misalnya dengan meminjam atau berhutang, minta bantuan, menjual barang, menggadai dan mengatur secukupnya. Dari lima strategi tersebut, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha keluar (meminjam/berhutang dan meminta bantuan) dan usaha ke dalam (menjual barang, menggadai dan diatur secukupnya). Upaya keluarga dimaksud sebagaimana tampak pada tabel berikut: Tabel 4.22: Upaya yang Dilakukan Untuk Memenuhi Kebutuhan Tempat Tinggal meminjam /berhutang
minta bantuan
menjual barang
menggadai
diatur secukupnya
SUMATERA UTARA
55,54
32,67
1,65
2,75
58,20
RIAU
50,41
28,83
0,93
0,93
91,80
LAMPUNG
47,75
24,49
3,01
0,50
85,40
JAWA BARAT
45,95
42,40
5,12
1,99
82,40
JAWA TIMUR
53,49
25,05
2,87
2,50
62,05
BALI
78,48
37,97
11,39
5,06
43,04
NUSA TENGGARA BARAT
57,92
30,61
4,66
3,84
67,22
KALIMANTAN BARAT
44,22
28,84
7,80
4,59
86,80
KALIMANTAN TIMUR
36,02
26,49
4,32
5,41
67,20
SULAWESI SELATAN
28,38
31,40
2,59
2,61
76,39
SULAWESI BARAT
23,66
39,42
8,89
2,25
82,35
PAPUA BARAT
28,57
48,89
15,56
0,00
80,00
NASIONAL
47.7
32,4
4,3
2,7
73,7
PROVINSI
Berdasarkan data pada tabel tersebut, pada umumnya keluarga melakukan dua upaya untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Menarik dari data tersebut, yaitu pada upaya mengatur secukupnya sebesar 73,7 persen dan meminjam atau berhutang sebesar 47,7 persen. Dimana sebagian besar provinsi di Indonesia melakukan upaya dimaksud. Terdapat provinsi dengan persentase antara 43.04 67.22 persen, yaitu di Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur.
64
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Untuk memperkuat hasil temuan data tersebut, berikut dipaparkan hasil analisis data subyektif dan data obyektif terkait dengan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, yang selanjutnya dimaknai dengan adanya gap antara kondisi obyektif dan pernyataan subyektif keluarga terhadap kondisi rumah mereka.
4.3.1. Analisis Gap dari Jenis Lantai Rumah. Berdasarkan analisis subyektif – obyektif, pemenuhan kebutuhan rumah keluarga berdasarkan jenis lantai, pada keluarga dengan kategori sejahtera sebesar 61.4 persen, artinya secara obyektif maupun subyektif kondisi lantai rumah mereka baik. Untuk kondisi lantai rumah secara obyektif sudah baik, tetapi secara subyektif dimaknai kondisi lantainya buruk, dengan kategori disonansi sebesar 28.7 persen. Bagi keluarga yang memiliki kondsi lantainya buruk tetapi secara subyektif dilihat sudah baik sehingga masuk dalam kategori adaptasi yakni sebesar 5.3 persen dan pada keluarga yang memiliki lantai rumah secara obyektif maupun subyektif kondisinya buruk sehingga disebut kategori deprivasi yakni sebesar 4.6 persen. SUBYEKTIF WELLBEING
BAIK
BURUK
BAIK
Sejahtera (61.4%)
Disonansi (28.7%)
BURUK
Adaptasi (5.3%)
Deprivasi (4.6%)
Gambar 4.22. Analisis Gap Jenis Lantai Rumah
4.3.2. Analisi Gap Kondisi Atap Berdasarkan analisis subyektif – obyektif, pemenuhan kebutuhan rumah keluarga berdasarkan kondisi atap rumah. Pada keluarga dengan kategori sejahtera sebesar 51.7 persen, artinya kondisi obyektif dengan pernyataan subyektif tentang kondisi atap rumah menyatakan baik, sementara untuk kategori disonansi sebesar 16.5 persen, adaptasi sebesar 15 persen dan deprivasi sebesar 16.9 persen, dengan nilai persentasinya hampir setara. SUBYEKTIF WELLBEING
BAIK
BURUK
BAIK
Sejahtera (51.7%)
Disonansi (16.5%)
BURUK
Adaptasi (15.0%)
Deprivasi (16.9%)
Gambar 4.23. Analisis Gap Kondisi Atap Rumah
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
65
Dengan demikian antara 50 sampai 60 persen kondisi rumah keluarga di Indonesia berdasarkan kondisi lantai rumah dan kondisi atap rumahnya masuk dalam kategori sejahtera. Sedangkan keluarga dengan kondisi lantai rumah dan atap rumah dalam kategori deprivasi yakni secara obyektif maupun subyektif kondisinya buruk, berada diantara 5 sampai 17 persen.
C. KOHESI SOSIAL Kohesi sosial keluarga Indonesia dilihat dari tiga parameter yaitu pendidikan, perlindungan sosial dan modal sosial. 1. Pendidikan Fokus utama pendidikan keluarga disini adalah pada pemenuhan anggota keluarga terhadap hak-hak pendidikan berdasarkan umur dan alasan tidak mendapatkan hak pendidikan. Keterpenuhan hak pendidikan secara subyektif juga ditanyakan pada keluarga.
Gambar 4.24. Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan secara Nasional
Persentase keluarga secara nasional, dengan kategori mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan sebesar 65 persen dan tidak mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, sebesar 34.30 persen; sebagai perjumlahan persentase pemenuhan biaya pendidikan sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi.
66
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.23: Prosentase Pemenuhan Kebutuhan Biaya Pendidikan berdasarkan Provinsi. PROVINSI
Sangat Tidak tidak terpenuhi terpenuhi
Kurang terpenuhi
Terpenuhi
Sangat terpenuhi
SUMATERA UTARA
2.5
6.5
27.7
62.7
.6
RIAU
2.2
3.2
21.4
72.8
.4
LAMPUNG
3.0
5.9
35.5
54.6
1.0
JAWA BARAT
1.0
5.5
32.6
60.1
.8
JAWA TIMUR
1.0
2.5
18.5
77.0
1.0
BALI
1.5
5.4
34.2
58.4
.5
NUSA TENGGARA BARAT
1.0
7.3
33.5
57.9
.2
KALIMANTAN BARAT
3.3
8.1
27.9
59.7
1.1
KALIMANTAN TIMUR
.7
2.1
20.0
75.7
1.5
SULAWESI SELATAN
.7
4.7
26.8
66.8
1.0
SULAWESI BARAT
1.3
10.0
25.8
62.2
.7
PAPUA BARAT
1.8
2.8
21.7
72.8
.9
INDONESIA
I.5
5.3
27.5
65.0
0.8
Dalam tabel 4.23 menunjukkan prosentase pemenuhan biaya pendidikan, secara nasional sebesar 64,97 atau 65 persen menyatakan terpenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Terutama pada Provinsi Jawa Timur, sebesar 77,0 persen dan provinsi Kalimantan Timur sebesar 75,7 persen. Sedangkan kategori jawaban kurang terpenuhi biaya pendidikan, ditemukan di provinsi Lampung sebesar 35,51 persen sebagai provinsi yang paling tinggi persentase keluarga yang kurang terpenuhi kebutuhan biaya pendidikan bagi keluarganya. Terdapat beberapa alasan anggota keluarga tidak terpenuhi kebutuhan biaya pendidikan. Berikut alasan anggota keluarga berdasarkan rentang usia kronologis maupun usia wajib belajar dan buta aksara. Tabel berikut menunjukkan prosentase alasan utama anggota keluarga dalam rentang usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal seperti Taman Anak Sejahtera, Taman Penitipan Anak, Raudhatul Athfal, Taman Kanak-kanak, PAUD, Kelompok bermain. Alasan karena tidak ada biaya adalah jawaban yang paling banyak diberikan yakni sebesar 48,51 persen (N=6644242). Provinsi Papua Barat sebesar 74,19 persen dan Jawa Barat sebesar 69,89 persen adalah provinsi yang memberikan jawaban terbanyak pada alasan tidak ada biaya. Untuk jawaban karena lokasi jauh banyak dijawab oleh responden di provinsi Sulawesi Barat sebear Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
67
26,67%. Provinsi Lampung adalah provinsi yang terbanyak memberikan alasan karena disabilitas sebesar 5 persen. Alasan merasa tidak perlu masuk pedidikan informal, paling banyak dikemukakan di provinsi Riau sebesar 61.11 persen dan provinsi Jawa Timur sebesar 55,68 persen, dan tidak ada fasilitas, banyak disampaikan dari provinsi Kalimantan Barat sebesar 18,92 persen. Tabel 4.24 : Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal Tidak ada biaya
Lokasi jauh
Disabilitas
Merasa tidak perlu
Fasilitas tidak ada
SUMATERA UTARA
40.82
8.16
0.68
34.69
15.65
RIAU
31.48
3.70
0.00
61.11
3.70
LAMPUNG
37.50
18.75
5.00
32.50
6.25
JAWA BARAT
69.89
7.73
1.38
19.34
1.66
JAWA TIMUR
25.00
13.64
1.14
55.68
4.55
BALI
33.33
16.67
0.00
50.00
0.00
NUSA TENGGARA BARAT
33.98
13.59
2.91
40.78
8.74
KALIMANTAN BARAT
45.95
10.81
0.00
24.32
18.92
KALIMANTAN TIMUR
45.38
5.38
0.00
46.15
3.08
SULAWESI SELATAN
39.81
8.33
0.93
44.44
6.48
SULAWESI BARAT
16.67
26.67
1.67
41.67
13.33
PAPUA BARAT
74.19
3.23
1.08
6.45
15.05
INDONESIA
48.51
9.76
1.27
32.79
7.68
PROVINSI
Secara nasional dapat digambarkan bahwa alasan anggota keluarga usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal, lebih banyak karena tidak ada biaya, disusul dengan alasan bahwa pendidikan informal untuk usia tersebut tidak perlu diberikan, masing masing sebesar 48,52 persen dan 32,79 persen. Sementara untuk alasan lokasi pendidikan informal jauh dan fasilitas sekolah tidak ada dikemukakan oleh keluarga dengan persentase masing-masing sebesar 9,76 persen dan 7,68 persen. Untuk alasan disabilitas, meski jumlah persentasenya sebesar 1,27 persen namun tetap perlu menjadi perhatian. Berikut gambar alasan anggota keluarga usia 3-6 tahun tidak masuk ke pendidikan informal.
68
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar 4.23. Alasan Anggota Keluarga Usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan informal
Alasan anggota keluarga dengan usia wajib belajar tidak bersekolah sebagaimana pada tabel 4.25 Data tersebut menunjukkan prosentase alasan utama anggota keluarga usia wajib belajar yang tidak bersekolah. Secara nasional alasannya adalah karena tidak ada biaya sebagai jawaban yang paling banyak diberikan yaitu sebesar 54.12 persen (N=1920988). Berdasarkan provinsi diperoleh gambaran bahwa provinsi Riau sebesar 72,73 persen dan Provinsi Kalimantan Barat sebesar 72,97 persen sebagai provinsi yang terbanyak memberikan jawaban alasan tidak ada biaya. Alasan kedua secara nasional adalah merasa pendidikan cukup sebesar 12,89 persen dan menariknya adalah pada anggota keluarga wajib belajar namun mereka bekerja yakni sebesar 10,82 persen dan alasan disabilitas sebesar 6,96 persen serta alasan menikah sebesar 1,55 persen.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
69
70
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 20.00 11.11 10.82
50.00
44.44
54.12
SULAWESI BARAT
INDONESIA
0.00
51.52
SULAWESI SELATAN
PAPUA BARAT
4.05 25.00
72.97
37.50
10.71
60.71
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
0.00
KALIMANTAN TIMUR
31.82
50.00
33.33
JAWA TIMUR
12.78
44.36
JAWA BARAT
BALI
4.55 8.33
72.73
54.17
14.29
50.00
RIAU
Bekerja
Tidak ada biaya
LAMPUNG
SUMATERA UTARA
PROVINSI
1.55
0.00
0.00
3.03
0.00
1.35
3.57
0.00
0.00
2.26
0.00
0.00
0.00
Menikah
7.47
11.11
0.00
9.09
6.25
5.41
3.57
33.33
4.55
10.53
4.17
0.00
14.29
Membantu orang tua
12.89
11.11
0.00
9.09
6.25
5.41
3.57
0.00
0.00
25.56
12.50
13.64
0.00
Merasa pendidikan cukup
5.93
11.11
20.00
15.15
6.25
6.76
7.14
33.33
0.00
1.50
4.17
4.55
14.29
Lokasi sekolah jauh
Tabel 4.25 : Alasan anggota Keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah
6.96
11.11
10.00
12.12
18.75
4.05
7.14
0.00
13.64
3.01
16.67
4.55
7.14
Disabilitas
0.26
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3.57
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Kursus ketrampilan
Gambar 4.24. Alasan anggota keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah
Berdasarkan alasan anggota keluarga usia wajib belajar tidak bersekolah secara nasional menunjukkan bahwa tidak adanya biaya menjadi alasan keluarga tidak menyekolahkan anak mereka. Sementara untuk alasan bekerja, membantu orang tua serta disabilitas masing masing sebesar 10,85 persen, 7,47 persen dan disabilitas sebesar 6,96 persen kondisi ini selayaknya menjadi perhatian bersama, karena seharusnya mereka masuk ke pendidikan formal, namun mereka bekerja, membantu orang tua dan alasan disabilitas menjadikan hak mereka terhadap pendidikan tidak terpenuhi. Pada tabel 4.26 berikut menunjukkan prosentase alasan utama anggota Keluarga usia 16-21 tidak bersekolah. Secara nasional alasan tidak ada biaya adalah jawaban yang paling banyak yaitu sebesar 47,77 persen (N=3091478). Provinsi Lampung 63,81 persen dan Nusa Tenggara Barat 63,75 persen adalah provinsi yang memberikan jawaban terbanyak pada alasan tidak ada biaya. Alasan kedua secara nasional adalah bekerja sebesar 20,50 persen dan merasa pendidikan cukup sebesar 11,41 persen, Alasan karena Disabilitas jumlahnya juga cukup tinggi yaitu sebanyak 2,60 persen sehingga perlu perhatian pemerintah untuk menyediakan aksesibilitas bagi mereka.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
71
72
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 29.73 66.67 10.00 22.44 41.03 17.86 4.17 5.88 20.50
35.14 0.00 63.75 47.44 25.64 38.10 62.50 17.65 47.77
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
INDONESIA
LAMPUNG
JAWA TIMUR
16.19
63.81 19.09
12.77
46.81
RIAU 50.49
27.18
44.66
SUMATERA UTARA
JAWA BARAT
Bekerja
Tidak ada biaya
PROVINSI
6.03
23.53
4.17
7.14
2.56
5.13
8.75
33.33
2.70
9.71
0.95
0.00
2.91
Menikah
9.28
29.41
8.33
13.10
5.13
5.13
6.25
0.00
11.71
8.74
8.57
19.15
8.74
Membantu orang tua
11.41
5.88
4.17
19.05
12.82
15.38
6.25
0.00
17.12
9.06
4.76
12.77
12.62
Merasa pendidikan cukup
2.23
11.76
4.17
3.57
2.56
3.85
2.50
0.00
0.00
1.29
1.90
4.26
0.97
2.60
5.88
8.33
1.19
10.26
0.64
2.50
0.00
3.60
1.29
3.81
4.26
2.91
Lokasi Disabilitas sekolah jauh
Tabel 4.26 : Alasan anggota Keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah
0.19
0.00
4.17
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.32
0.00
0.00
0.00
Kursus ketrampilan
Gambar 4.25. Alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bersekolah
Pemenuhan kebutuhan pendidikan, setidaknya dapat memberi gambaran tentang kemampan baca tulis dari anggota keluarga. Berikut alasan anggota keluarga lebih dari usia 21 tahun tidak bisa baca tulis. Tabel 4.27 : Alasan anggota keluarga >21 tahun tidak bisa baca tulis. PROVINSI
Malu belajar
Merasa Tidak ada tidak perlu fasilitas
Sibuk bekerja
Disabilitas 10.71
SUMATERA UTARA
3.57
14.29
21.43
50.00
RIAU
25.00
20.83
29.17
16.67
8.33
LAMPUNG
21.15
34.62
5.77
19.23
19.23
JAWA BARAT
16.30
22.22
22.22
34.81
4.44
JAWA TIMUR
21.43
32.14
28.57
8.57
9.29
BALI
17.65
58.82
11.76
5.88
5.88
NUSA TENGGARA BARAT
8.71
36.51
33.61
18.67
2.49
KALIMANTAN BARAT
9.45
40.94
29.92
12.60
7.09
KALIMANTAN TIMUR
16.22
35.14
24.32
18.92
5.41
SULAWESI SELATAN
9.48
37.07
31.90
16.38
5.17
SULAWESI BARAT
0.00
12.50
37.50
43.75
6.25
PAPUA BARAT
10.00
20.00
50.00
10.00
10.00
INDONESIA
12.59
31.91
27.85
21.01
6.64
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
73
Tabel 4.27 menunjukkan prosentase alasan utama anggota keluarga >21 tahun tidak bisa baca tulis. Secara nasional alasan merasa tidak perlu adalah jawaban yang paling banyak diberikan oleh 31,91 persen (N=4995559). Provinsi Bali sebesar 58,82 persen dan provinsi Kalimantan Barat sebesar 40,94 persen. Alasan kedua secara nasional anggota keluarga tidak bisa baca tulis karena tidak ada fasilitas sebesar 27,85 persen dan sibuk bekerja sebesar 21,01 persen. Sementara Alasan karena disabilitas jumlahnya sebesar 6,64 persen. Kondisi ini, selayaknya mendapatkan perhatian pemerintah untuk menyediakan aksesibilitas pendidikan bagi anggota keluarga yang mengalami disabilitas dan pada mereka yang berusia antara 16-21 tahun yang tidak bisa baca tulis. Berikut gambaran alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bisa baca tulis.
Gambar 4.26 . alasan anggota keluarga usia 16-21 tahun tidak bisa baca tulis.
2. Perlindungan Sosial Program perlindungan sosial, diukur melalui kepemilikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS), meliputi kartu BPJS, BPJS Naker, Kartu Indonesia Sehat PBI, Kartu Indonesia Pintar (KIP), Asuransi Usia Lanjut (ASLUT), Asuransi Sosial Orang Dengan Kecacatan (ASODK). Berikut tabel kepemilikian Kartu Perlindungan Sosial : Dalam tabel 4.28. menunjukkan prosentase kepemilikan kartu perlindungan sosial secara nasional ada 21,68 persen yang menyatakan memiliki kartu BPJS Kesehatan Mandiri/Pegawai dan KIS-PBI sebesar 13,83 persen. Provinsi Papua Barat menyatakan alasan yang sama sebesar 35 persen. Kepemilikian kartu KIS PBI di provinsi Sulawesi
74
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Selatan sebesar 21 persen sebagai jumlah paling tinggi diantara 12 provinsi survei. Kepemilikan KIP, kartu ASLUT dan kartu ASODK merata di 12 provinsi lokasi survei. Tabel 4.28 : Kepemilikan Kartu Perlindungan Sosial . BPJS
BPJS Naker
KIS-PBI
KIP
ASLUT
ASODK
SUMATERA UTARA
26.93
5.17
12.06
0.33
0.07
0.13
RIAU
33.91
5.53
1.21
0.17
0.17
0.17
LAMPUNG
12.82
2.31
15.97
0.53
0.21
0.00
JAWA BARAT
17.57
7.43
13.49
0.39
0.26
0.20
JAWA TIMUR
23.69
4.77
15.12
0.52
0.34
0.26
BALI
34.53
6.73
0.45
0.45
0.90
0.45
NUSA TENGGARA BARAT
17.63
2.61
17.39
0.48
0.05
0.05
KALIMANTAN BARAT
24.15
2.76
5.84
0.24
0.00
0.08
KALIMANTAN TIMUR
17.86
6.44
20.17
0.24
0.12
0.12
SULAWESI SELATAN
22.62
4.73
21.00
0.44
0.11
0.11
SULAWESI BARAT
22.59
7.83
7.32
0.25
0.00
0.00
Provinsi
PAPUA BARAT
35.00
6.16
0.73
0.00
1.09
0.00
INDONESIA
21.68
5.03
13.83
0.39
0.00
0.14
Selain memiliki kartu perlindungan sosial, untuk mendapatkan akses terhadap berbagai program perlindungan sosial yang ada. Terdapat akses terhadap berbagai program perlindungan sosial, seperti program Usaha Ekonomi produktif (UEP), selain peserta pada berbagai program lainnya, seperti PKH, Askesos, Rasta, BLSM, BSPS, Rutilahu dan PPFM. Dalam hal ini akan diulas tentang alasan keluarga tidak mengikuti program-program dimaksud. Berdasarkan data nasional, menunjukkan prosentase alasan keluarga tidak ikut UEP, sebagian besar atau sebesar 66,75 persen menyatakan tidak tahu tentang UEP. Sebagaimana diperoleh data di Provinsi Lampung sebesar 84,10 persen menyatakan alasan tidak mengetahui tentang UEP. Kemudian di Provinsi Sulawesi Barat menyatakan alasan tidak terdata sebesar 25,20 persen. Sedangkan di provinsi Kalimantan Timur yang menyatakan alasan tidak ikut UEP karena sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pegawai tetap yakni sebesar 12,04 persen. Sementara di Provinsi Riau, Kalimantan Timur, Jawa Timur menyatakan alasan mereka tidak ikut menjadi peserta program UEP karena sudah mampu dengan presentase pada masing masing provinsi berada di kisaran 12 persen. Demikian halnya keluarga yang menyatakan tidak terdata disampaikan oleh keluarga sebesar 13,01 persen. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
75
Tabel 4.29 : Prosentase Alasan tidak ikut UEP PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
PROVINSI
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
6.85
9.01
12.70
0.74
2.89
67.81
RIAU
12.76
4.31
6.38
0.17
5.00
71.38
LAMPUNG
2.63
7.13
4.93
0.00
1.21
84.10
JAWA BARAT
7.84
9.07
11.91
0.24
2.02
68.93
JAWA TIMUR
12.23
6.25
10.62
0.31
1.49
69.11
BALI
3.27
10.28
3.74
0.00
2.80
79.91
NUSA TENGGARA BARAT
5.68
9.56
14.50
0.00
3.09
67.17
KALIMANTAN BARAT
7.44
9.19
5.08
0.09
3.68
74.52
KALIMANTAN TIMUR
12.04
12.04
22.31
0.12
5.55
47.93
SULAWESI SELATAN
9.33
11.86
22.77
0.39
4.55
51.10
SULAWESI BARAT
2.39
8.22
25.20
0.27
4.77
59.15
PAPUA BARAT
2.27
11.74
9.09
0.38
0.76
75.76
INDONESIA
8.12
8.94
13.01
0.25
2.93
66.75
Berikut adalah tabel kepesertaan keluarga terhadap program perlindungan sosial beserta alasan tidak ikut program dimaksud. Tabel 4.30 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (1) Provinsi
Peserta PKH
peserta ASKESOS
Peserta Rasta
Peserta BLSM
Peserta Peserta Peserta BSPS RUTILAHU PPFM
SUMATERA UTARA
6.05
1.04
42.85
24.04
0.46
0.72
0.65
RIAU
4.63
1.65
39.50
19.01
0.17
1.98
3.97
LAMPUNG
6.62
4.72
70.24
29.44
0.53
0.95
0.84
JAWA BARAT
5.87
3.84
60.59
24.59
0.82
1.63
0.85
JAWA TIMUR
4.20
1.54
56.40
23.61
0.69
0.99
0.51
BALI
0.45
0.89
18.30
7.14
0.45
1.79
0.45
NUSA TENGGARA BARAT
5.19
3.01
72.07
28.26
1.35
2.75
0.92
KALIMANTAN BARAT
1.63
0.81
39.46
13.52
0.41
0.73
0.90
KALIMANTAN TIMUR
2.52
0.57
29.63
17.39
0.46
1.15
0.92
SULAWESI SELATAN
3.36
1.49
34.65
16.13
0.61
0.72
0.83
SULAWESI BARAT
1.78
2.04
44.25
10.77
0.26
2.57
0.51
PAPUA BARAT
0.00
3.16
80.89
54.30
8.65
8.68
1.75
INDONESIA
4.41
2.25
52.04
22.55
0.83
1.50
0.92
76
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Dalam tabel 4.30 menunjukkan prosentase program perlindungan sosial (1). Secara nasional ada 52,04 persen yang menjadi peserta Beras Sejahtera (Rasta) dan 22,55 persen yang menyatakan menjadi peserta Bantuan Bantuan Langsung Sosial Masyarakat (BLSM). Provinsi Papua Barat menjadi provinsi yang cukup tinggi menjadi peserta program perlindungan sosial, yaitu peserta Rasta sebesar 80,89 persen, peserta BLSM sebesar 54,30 persen, peserta BSPS sebesar 8,65 persen dan sebagai peserta Rutilahu sebesar 8,68 persen. Prosentase menjadi peserta program peserta PKH sebesar 6,62 persen dan peserta askesos sebesar 4,72 di provinsi lampung yang cukup menonjol diantara 12 provinsi lokasi survei. Berikut akan dipaparkan tentang alasan keluarga tidak menjadi peserta program perlindungan sosial. Tabel 4.31 : Prosentase Alasan Tidak Ikut PKH Provinsi
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
7.82
9.74
21.75
0.85
3.84
56.01
RIAU
11.28
4.34
13.19
0.17
3.99
67.01
LAMPUNG
3.48
7.20
29.85
0.12
2.44
56.91
JAWA BARAT
9.53
6.77
19.68
0.37
3.71
59.95
JAWA TIMUR
13.30
6.15
15.66
0.36
2.00
62.52
BALI
5.61
10.28
9.35
0.00
3.27
71.50
NUSA TENGGARA BARAT
6.03
8.76
29.76
0.06
4.99
50.41
KALIMANTAN BARAT
7.93
10.02
8.19
0.09
4.18
69.60
KALIMANTAN TIMUR
12.17
12.29
25.90
0.12
6.02
43.49
SULAWESI SELATAN
9.53
12.24
24.65
0.46
4.62
48.50
SULAWESI BARAT
2.68
8.31
29.76
0.27
5.63
53.35
PAPUA BARAT
2.21
11.07
12.55
0.37
1.11
72.69
INDONESIA
8.86
8.58
20.87
0.32
3.83
57.54
Dalam tabel 4.31 menunjukkan prosentase alasan tidak ikut PKH, dimana secara nasional responden memberikan alasan tidak ikut program PKH karena tidak tahu sebesar 57,54 persen dan tidak terdata dinyatakan oleh 20,87 persen keluarga. Sama dengan alasan yang dikemukakan oleh keluarga yang berada di provinsi Lampung sebesar 29,85 persen dan provinsi Sulawesi Barat sebesar 29,76 persen. Keluarga yang menjawab alasan tidak ikut program PKH karena tidak tahu cukup besar dan menyebar merata. Seperti misalnya provinsi Papua Barat sebesar 72,69 persen, Kalimantan Barat 69,60 persen, Riau sebesar 67, 01 persen dan Jawa Timur sebesar 62,52 persen Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
77
Tabel 4.32 : Alasan Tidak Ikut ASKESOS Keluarga mampu
PNS, pegawai tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
6.22
9.60
15.75
0.88
3.31
64.23
RIAU
10.94
4.21
9.60
0.17
5.72
69.36
LAMPUNG
2.75
6.98
9.04
0.00
2.17
79.06
Provinsi
JAWA BARAT
9.96
6.73
14.07
0.32
2.81
66.12
JAWA TIMUR
12.33
6.05
13.21
0.40
1.72
66.28
BALI
4.69
9.39
8.45
0.00
2.82
74.65
NUSA TENGGARA BARAT
6.44
9.23
22.85
0.00
4.33
57.15
KALIMANTAN BARAT
7.08
9.79
6.29
0.17
4.55
72.12
KALIMANTAN TIMUR
11.28
12.10
23.03
0.12
5.64
47.83
SULAWESI SELATAN
9.11
11.82
24.32
0.34
4.58
49.83
SULAWESI BARAT
2.70
8.36
26.42
0.27
5.12
57.14
PAPUA BARAT
2.29
11.83
11.83
0.38
0.76
72.90
INDONESIA
8.46
8.49
16.05
0.30
3.50
63.20
Tabel 4.32 menunjukkan prosentase alasan tidak ikut ASKESOS, secara nasional alasan tidak tahu adalah jawaban yang paling banyak dinyatakan oleh 63,20 persen keluarga (N=71418175). Provinsi Bali sebesar 74,65 persen dan Papua Barat sebesar 72,90 adalah provinsi yang memberikan jawaban terbanyak pada alasan tidak tahu. Alasan kedua secara nasional adalah tidak terdata sebesar 16,05 persen. Alasan lain tidak menerima ASKESOS adalah karena PNS atau pegawai tetap sebanyak 8,49 persen dan keluarga mampu sebanyak 8,48 persen. Sementara alasan tidak menjadi peserta Rasta, secara nasional menyatakan tidak tahu sebagai jawaban yang paling banyak diberikan 37,94 persen (N=34825334). Di Provinsi Bali sebesar 62,50 persen dan Sulawesi Barat sebesar 58,02 sebagai provinsi yang memberikan alasan tidak tahu terhadap program Rasta. Alasan kedua secara nasional adalah tidak terdata sebesar 21,05 persen. Sementara alasan lain tidak menerima RASTA adalah karena keluarga mampu sebanyak 20,44 persen dan karena karena PNS atau pegawai tetap sebanyak 14,74 persen.
78
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.33 : Prosentase Alasan Tidak Ikut RASTA Provinsi
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di Tidak tahu perhatikan
SUMATERA UTARA
16.98
13.49
26.51
1.16
5.12
36.74
RIAU
28.42
6.56
30.33
0.27
3.83
30.60
LAMPUNG
14.23
10.11
32.96
0.37
5.62
36.70
JAWA BARAT
27.82
13.24
19.95
0.36
4.65
33.99
JAWA TIMUR
29.00
11.42
15.89
0.99
2.78
39.92
BALI
10.80
12.50
10.23
0.00
3.98
62.50
NUSA TENGGARA BARAT
20.32
26.16
13.68
0.00
3.22
36.62
KALIMANTAN BARAT
14.51
15.35
14.08
0.56
7.61
47.89
KALIMANTAN TIMUR
20.74
16.05
28.76
0.17
8.03
26.25
SULAWESI SELATAN
15.71
17.85
22.12
0.60
6.40
37.32
SULAWESI BARAT
4.72
10.38
19.81
0.47
6.60
58.02
PAPUA BARAT
11.54
36.54
23.08
0.00
5.77
23.08
INDONESIA
20.44
14.74
21.05
0.55
5.26
37.94
Untuk alasan tidak menjadi peserta program BLSM, dapat dilihat dari tabel berikut: Secara nasional alasan tidak tahu adalah jawaban yang paling banyak diberikan yaitu sebesar 43,73 persen (N=56634489). Provinsi Bali (65,50%) dan Sulawesi Barat (54,73%) adalah provinsi yang memberikan jawaban terbanyak pada alasan tidak tahu. Alasan kedua secara nasional adalah keluarga mampu sebanyak (13,35%). Alasan lain tidak menjadi peserta BLSM karena tidak terdata sebanyak 26,07 persen dan karena PNS atau pegawai tetap sebanyak 10,73 persen.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
79
Berikut tabel alasan tidak ikut sebagai peserta BLSM: Tabel 4.34 : Alasan Tidak Ikut BLSM Provinsi
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
12.87
11.64
25.40
0.97
6.00
43.12
RIAU
21.43
5.10
32.04
0.20
5.10
36.12
LAMPUNG
6.13
9.05
38.19
0.15
5.98
40.49
JAWA BARAT
15.02
9.97
29.50
0.27
5.23
40.01
JAWA TIMUR
18.57
7.50
23.23
0.51
2.61
47.59
BALI
10.00
11.00
10.00
0.00
3.50
65.50
NUSA TENGGARA BARAT
9.00
11.82
23.04
0.08
5.64
50.42
KALIMANTAN BARAT
11.50
11.30
17.80
0.20
10.10
49.10
KALIMANTAN TIMUR
17.45
15.04
31.06
0.28
7.80
28.37
SULAWESI SELATAN
12.10
13.96
24.93
0.47
6.65
41.89
SULAWESI BARAT
2.96
8.58
27.81
0.30
5.62
54.73
PAPUA BARAT INDONESIA
6.30
19.69
29.13
0.79
5.51
38.58
13.35
10.74
26.07
0.37
5.74
43.73
Alasan tidak ikut menjadi peserta BSPS, dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 4.35 : Alasan Tidak Ikut BSPS Provinsi
80
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap 9.13
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
13.50
0.81
3.49
66.42
SUMATERA UTARA
6.65
RIAU
14.40
4.14
9.77
0.17
5.30
66.23
LAMPUNG
2.62
7.42
6.22
0.00
1.42
82.31
JAWA BARAT
8.02
8.80
12.78
0.20
2.24
67.95
JAWA TIMUR
12.27
6.13
10.91
0.31
1.71
68.67
BALI
3.74
9.81
4.67
0.00
2.80
78.97
NUSA TENGGARA BARAT
5.62
9.26
16.25
0.06
4.02
64.79
KALIMANTAN BARAT
7.23
9.23
6.62
0.09
4.36
72.47
KALIMANTAN TIMUR
11.87
12.34
22.33
0.12
5.05
48.30
SULAWESI SELATAN
9.15
11.73
22.67
0.34
4.55
51.57
SULAWESI BARAT
2.65
8.75
23.61
0.27
4.77
59.95
PAPUA BARAT
3.24
13.36
13.77
0.40
2.02
67.21
INDONESIA
8.19
8.88
13.91
0.25
3.26
65.51
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.35 menunjukkan prosentase alasan tidak ikut Bantuan Stimulan Pemulihan Sosial (BSPS).Secara nasional alasan tidak tahu adalah jawaban yang paling banyak diberikan yaitu 65,51 persen (N=72616317). Provinsi Lampung sebesar 82,31 persen dan Kalimantan Barat sebesar 72,47 persen sebagai provinsi yang memberikan jawaban terbanyak pada alasan tidak tahu. Alasan kedua secara nasional adalah tidak terdata sebesar 13,91 persen. Alasan lain tidak menerima BSPS adalah karena PNS atau pegawai tetap sebanyak 8,88 persen dan karena keluarga mampu sebanyak 8,19 persen. Berikut alasan keluarga tidak ikut program Rutilahu Tabel 4.36 Alasan Tidak Ikut RUTILAHU Provinsi
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
9.02
14.06
0.74
Tidak di Tidak tahu perhatikan
SUMATERA UTARA
7.54
3.57
65.07
RIAU
14.67
4.05
10.96
0.17
5.73
64.42
LAMPUNG
3.96
7.37
7.92
0.00
1.54
79.21
JAWA BARAT
9.46
8.94
13.90
0.21
2.48
65.02
JAWA TIMUR
12.87
6.28
11.37
0.26
1.76
67.46
BALI
5.69
9.95
4.27
0.00
2.84
77.25
NUSA TENGGARA BARAT
6.08
9.52
16.06
0.06
4.01
64.28
KALIMANTAN BARAT
7.97
9.46
7.18
0.09
4.47
70.84
KALIMANTAN TIMUR
12.54
12.19
23.43
0.12
5.44
46.27
SULAWESI SELATAN
9.38
11.79
22.85
0.34
4.44
51.21
SULAWESI BARAT
2.72
7.88
26.09
0.27
4.89
58.15
PAPUA BARAT
4.05
12.15
18.62
0.40
1.62
63.16
INDONESIA
8.99
8.92
14.66
0.24
3.36
63.82
Data pada tabel 4.36 di atas menunjukkan prosentase secara nasional alasan tidak ikut program RUTILAHU, adalah tidak tahu sebesar 63,82 persen. Dari data secara nasional tersebut maka responden menyatakan tidak tahu sehingga tidak ikut program RUTILAHU di Provinsi Lampung sebesar 79,21 persen dan provinsi Bali sebesar 77,25 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidakikutan responden dalam program RUTILAHU di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 26,09 persen, Selain itu responden di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 12,19 persen menyatakan karena mereka adalah PNS atau pegawai tetap. Responden di Riau sebesar 14,67 persen memberikan alasana karena mereka adalah keluarga mampu sehingga tidak memerlukan mengikuti program RUTILAHU.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
81
Tabel 4.37 : Alasan Tidak Ikut KUBE UEP Provinsi
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
6.85
9.01
12.70
0.74
2.89
67.81
RIAU
12.76
4.31
6.38
0.17
5.00
71.38
LAMPUNG
2.63
7.13
4.93
0.00
1.21
84.10
JAWA BARAT
7.84
9.07
11.91
0.24
2.02
68.93
JAWA TIMUR
12.23
6.25
10.62
0.31
1.49
69.11
BALI
3.27
10.28
3.74
0.00
2.80
79.91
NUSA TENGGARA BARAT
5.68
9.56
14.50
0.00
3.09
67.17
KALIMANTAN BARAT
7.44
9.19
5.08
0.09
3.68
74.52
KALIMANTAN TIMUR
12.04
12.04
22.31
0.12
5.55
47.93
SULAWESI SELATAN
9.33
11.86
22.77
0.39
4.55
51.10
SULAWESI BARAT
2.39
8.22
25.20
0.27
4.77
59.15
PAPUA BARAT
2.27
11.74
9.09
0.38
0.76
75.76
INDONESIA
8.12
8.94
13.01
0.25
2.93
66.75
Data pada tabel 4.37, menunjukkan prosentase secara nasional alasan tidak ikut program KUBE UEP, adalah tidak tahu sebesar 66,75 persen. Dari data secara nasional tersebut maka responden menyatakan tidak tahu sehingga tidak ikut program KUBE UEP di Provinsi Lampung sebesar 84,10 persen dan provinsi Bali sebesar 79,91 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidakikutan responden dalam program KUBE UEP di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 25,20 persen, Selain itu responden di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 12,04 persen menyatakan karena mereka adalah PNS atau pegawai tetap. Responden di Riau sebesar 12,76 persen memberikan alasana karena mereka adalah keluarga mampu sehingga tidak memerlukan mengikuti program KUBE UEP. Berikut data tentang keluarga yang mengikuti program perlindungan sosial lain seperti Rehabilitasi Sosial Panti, Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat, Keserasian Sosial dan Kampung Siaga Bencana. Data pada tabel 4.38 menunjukkan prosentase secara nasional peserta program perlindungan sosial, di provinsi tertentu yang paling rendah mengikuti program kampung siaga bencana seperti di Provinsi Lampung (0,21%), Kalimantan Barat (0,11%). Di Provinsi Lampung terdeteksi, tidak mengikuti program Keserasian Sosial. Demikian pula dengan responden
82
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
di provinsi Bali, terdeteksi tidak mengikuti program keserasian sosial, rehabilitasi sosial berbasis masyarakat dan rehabilitasi sosial berbasis panti. Tabel 4.38 : Anggota Menjadi Peserta Program Perlindungan Sosial (2) RS Panti
RSBM
Keserasian Sosial
Kampung Siaga Bencana
SUMATERA UTARA
0.13
0.20
0.26
0.46
RIAU
0.17
0.33
0.50
0.33
LAMPUNG
0.32
0.11
0.00
0.21
JAWA BARAT
0.46
0.29
0.29
0.95
JAWA TIMUR
0.17
0.21
0.09
0.26
BALI
0.00
0.00
0.00
0.45
NUSA TENGGARA BARAT
0.32
0.32
0.59
0.38
KALIMANTAN BARAT
0.24
0.24
0.33
0.33
KALIMANTAN TIMUR
0.11
0.11
0.11
0.11
SULAWESI SELATAN
0.33
0.33
0.27
0.33
SULAWESI BARAT
0.51
0.26
0.26
0.26
PROVINSI
PAPUA BARAT
0.70
0.00
0.35
1.05
INDONESIA
0.29
0.24
0.22
0.45
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh responden tidak mengikuti beberapa program perlindungan sosial, selain sudah mampu dan menjadi PNS, juga karena tidak terdata, baru pindah, merasa tidak diperhatikan dan alasan tidak tahu. Tabel 4.39 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial PROVINSI SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap 5.58 7.73 11.30 3.99 1.85 6.98 6.32 8.50 8.41 6.01 2.33 8.84 5.14 5.77 8.30 6.06 2.65 1.12 6.15
9.32 8.83 11.11 9.67 7.43 11.24 8.20
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
9.74 4.32 3.27 8.19 8.58 3.72
0.67 0.17 0.00 0.17 0.26 0.00
2.02 2.16 0.76 1.05 1.35 2.79
74.26 78.07 87.13 75.76 75.39 82.33
11.78 4.28 19.53 15.89 21.75 3.00 9.87
0.00 0.09 0.12 0.39 0.27 0.37 0.22
2.12 2.80 4.91 3.33 3.98 0.00 2.08
71.64 78.23 56.02 64.67 63.93 84.27 73.48
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
83
Data pada tabel 4.39 menunjukkan prosentase secara nasional, untuk alasan tidak ikut program rehabilitasi sosial, karena tidak tahu sebesar 73,48 persen. Secara provinsi ditemukan bahwa ketidaktahuan tentang program rehabilitaasi sosial melalui panti sosial yaitu di Provinsi Lampung sebesar 87,13 persen dan provinsi Bali sebesar 83,33 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidak tahuan terhadap program rehabilitasi sosial di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 21,75 persen, Selain itu responden di Provinsi Papua Barat sebesar 11,24 persen menyatakan karena mereka adalah PNS atau pegawai tetap. Responden di Riau sebesar 11,30 persen memberikan alasan karena mereka adalah keluarga mampu sehingga tidak memerlukan mengikuti program rehabilitasi sosial. Tabel 4.40 : Alasan Tidak Ikut Program Rehabilitasi Sosial Di Luar Panti PROVINSI
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap 7.60
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
9.35
0.67
1.95
74.63
SUMATERA UTARA
5.79
RIAU
11.31
3.99
4.16
0.17
2.50
77.87
LAMPUNG
1.74
6.86
2.72
0.00
0.76
87.92
JAWA BARAT
6.41
8.52
8.18
0.17
1.09
75.64
JAWA TIMUR
8.07
5.97
8.20
0.26
1.31
76.19
BALI
1.86
8.84
3.26
0.00
2.79
83.26
NUSA TENGGARA BARAT
5.09
9.39
9.84
0.00
2.29
73.39
KALIMANTAN BARAT
5.76
8.81
3.58
0.09
2.36
79.41
KALIMANTAN TIMUR
7.84
10.99
19.06
0.12
4.33
57.66
SULAWESI SELATAN
6.00
9.61
16.06
0.39
3.44
64.50
SULAWESI BARAT
2.65
7.41
21.16
0.26
3.97
64.55
PAPUA BARAT
1.11
11.11
2.22
0.37
0.00
85.19
INDONESIA
6.08
8.17
9.39
0.22
2.05
74.09
Data pada tabel 4.40, menunjukkan prosentase secara nasional alasan tidak ikut program rehabilitasi sosial di luar panti, adalah tidak tahu sebesar 74,09 persen. Dari data secara nasional tersebut maka responden menyatakan tidak tahu sehingga tidak ikut program rehabilitasi sosial di luar panti di Provinsi Lampung sebesar 87,92 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidakikutan responden dalam program rehabilitasi sosial di luar panti di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 21,16 persen, Selain itu responden di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 10,99 persen
84
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
menyatakan karena mereka adalah PNS atau pegawai tetap sebesar 11,02 persen. Responden di Provinsi Riau sebesar 11,31 persen memberikan alasan karena mereka adalah keluarga mampu sehingga tidak memerlukan mengikuti program rehabilitasi sosial di luar panti. Tabel 4.41 : Alasan Tidak Ikut Program Keserasian Sosial PROVINSI
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
SUMATERA UTARA
5.32
7.67
9.29
0.67
1.88
75.17
RIAU
10.67
4.17
4.67
0.17
3.67
76.67
LAMPUNG
1.09
6.63
2.72
0.00
0.65
88.91
JAWA BARAT
6.22
8.59
8.15
0.17
0.99
75.88
JAWA TIMUR
7.62
5.88
8.14
0.26
1.22
76.87
BALI
2.33
8.84
2.79
0.00
2.79
83.26
NUSA TENGGARA BARAT
5.04
9.42
10.15
0.00
2.30
73.09
KALIMANTAN BARAT
5.41
8.73
3.75
0.09
2.53
79.49
KALIMANTAN TIMUR
7.85
11.02
19.93
0.12
4.34
56.74
SULAWESI SELATAN
5.94
9.61
16.05
0.33
3.39
64.69
SULAWESI BARAT
2.65
7.67
21.43
0.26
4.23
63.76
PAPUA BARAT
1.12
10.78
2.60
0.37
0.37
84.76
INDONESIA
6.26
7.57
8.39
0.23
1.60
75.95
Data pada tabel 4.41 menunjukkan prosentase secara nasional alasan tidak ikut program keserasian sosial, adalah tidak tahu sebesar 75,95 persen. Dari data secara nasional tersebut maka responden menyatakan tidak tahu sehingga tidak ikut program keserasian sosial di Provinsi Lampung sebesar 88,91 persen dan Papua Barat sebesar 84,76 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidakikutan responden dalam program keserasian sosial di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 21,43 persen, Selain itu responden di Provinsi Kalimantan Timur sebesar 10,65 persen menyatakan karena mereka adalah PNS atau pegawai tetap sebesar 11,02 persen. Responden di Provinsi Riau sebesar 10,67 persen memberikan alasan karena mereka adalah keluarga mampu sehingga tidak memerlukan mengikuti program keserasian sosial.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
85
Tabel 4.42 : Alasan Tidak Ikut Program Kampung Siaga Bencana POVINSI
PNS, Keluarga pegawai mampu tetap 7.63
Tidak terdata
Baru pindah
Tidak di perhatikan
Tidak tahu
9.52
0.74
1.89
75.15
SUMATERA UTARA
5.06
RIAU
10.65
3.99
4.16
0.17
2.66
78.37
LAMPUNG
1.09
6.64
1.96
0.00
0.65
89.66
JAWA BARAT
6.25
8.70
7.69
0.17
0.90
76.29
JAWA TIMUR
7.64
5.80
8.16
0.31
1.27
76.83
BALI
2.34
8.88
2.80
0.00
2.80
83.18
NUSA TENGGARA BARAT
5.03
9.28
10.01
0.00
2.18
73.50
KALIMANTAN BARAT
5.15
8.29
3.66
0.09
2.62
80.19
KALIMANTAN TIMUR
7.73
11.01
19.67
0.12
4.33
57.14
SULAWESI SELATAN
6.22
9.56
15.83
0.39
3.50
64.50
SULAWESI BARAT
2.65
7.67
21.16
0.26
3.97
64.29
PAPUA BARAT
1.12
10.11
3.00
0.37
0.37
85.02
INDONESIA
6.26
7.54
8.18
0.25
1.55
76.21
Data pada tabel 4.42 menunjukkan prosentase secara nasional alasan tidak ikut program Kampung Siaga Bencana, adalah tidak tahu sebesar 76,21 persen. Dari data secara nasional tersebut maka responden menyatakan tidak tahu sehingga tidak ikut program kampung siaga bencana di Provinsi Lampung sebesar 89,66 persen dan Kalimantan Barat sebesar 80,19 persen. Data juga menunjukkan bahwa ketidakikutan responden dalam kampung siaga bencana di Provinsi Sulawesi Barat karena tidak terdata sebesar 21,16 persen, Selain itu responden di Provinsi Riau sebesar 10,65 persen menyatakan karena keluarga mereka mampu sehingga tidak mengukuti program kampung siaga bencana. Berikut akan dipaparkan tentang pengetahuan keluarga terhadap berbagai potensi dan sumber kesejahteraan sosial, serta pemanfaatan potensi dan sumber dimaksud berdasarkan pengetahuan mereka.
86
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.43 : Pengetahuan dan Pemanfaatan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial No
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
Pengetahuan Pemanfaatan % %
1
Pekerja Sosial Profesional
4.7
18,2
2
Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)
8,7
29,3
3
Taruna Siaga Bencana (Tagana)
8.9
16,6
4
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
6,9
21,2
5
Karang Taruna
42.3
20,7
6
Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga (LK3)
4.4
19,7
7
Keluarga Pionir
4.3
52,7
8
Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM)
2.9
41,6
9
Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial
5.4
37,2
10
Penyuluh Sosial
13,4
23,6
11
Tenaga Kesejahteraan Sosial (TKSK)
6.9
36,5
12
Dunia Usaha
11,1
25,3
13
Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos)
2.8
24,1
14
Pendamping Keluarga Harapan (PKH)
10.1
22,0
15
Pendamping Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
5.6
19,2
16
Pendamping Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar (ASLUT)
2.0
23,6
Pendamping Asistensi Sosial Orang dengan Kedisabilitasan (ASODK)
1.3
27,6
18
Pelopor Perdamaian
1,7
21,3
19
Family Care Unit (FCU)
0.7
25,4
20
Lembaga Perdamaian Perempuan (LPP)
4.7
10,2
21
Tim Reaksi Cepat (TRC)
3,2
12,6
22
Panti Sosial
28,5
7,2
17
Berkenaan dengan pengetahuan keluarga terhadap potensi dan sumber kesejahteraan sosial, diperoleh gambaran bahwa keluarga umumnya mengenal tentang potensi dan sumber berikut, daripada potensi dan sumber lainnya. Potensi dan sumber yang paling dikenal diantaranya adalah karang taruna sebesar 42,3 persen, panti sosial sebesar 28,5 persen dan penyuluh sosial 13,4 persen serta dunia usaha sebesar 11,1 persen. Adapun pemanfaatan potensi dan sumber tersebut sebagai berikut: pemanfaatan karang taruna sebesar 20,7 persen atau seperlima dari 42,3 persen pengetahuan tentang karang taruna, pemanfaatan panti sosial sebesar 7,2 persen atau kurang dari sepersepuluh dari 28,5 persen pengetahuan
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
87
tentang panti sosial, pemanfaatan penyuluh sosial sebesar 23,6 persen atau kurang dari seperempat dari 13,6 persen pengetahuan tentang penyuluh sosial, pemanfaatan dunia usaha sebesar 25,3 persen atau seperempat dari 11,1 persen pengetahuan tentang dunia usaha.
D. KEBERLANJUTAN Secara umum dimensi kesejahteraan meliputi kualitas hidup (obyektif dan subyektif ), kohesi sosial (disparitas, ketidaksetaraan, pengucilan sosial dan ikatan sosial), keberlanjutan dan dimensi perubahan sosial. Keberlanjutan meliputi aset kepemilikan, lingkungan tempat tinggal dan kesehatan. 1. Aset Kepemilikan Aset kepemilikan menjelaskan jenis-jenis barang berharga yang dimiliki oleh keluarga meliputi HP, TV, sepeda, sepeda motor, lemari es, pedati/ gerobak, mobil, perahu, tanah, rumah, ternak, perhiasan, laptop dan tabungan. Aset yang dimiliki keluarga menjadi gambaran obyektif kondisi kesejahteraan sosial keluarga Indonesia, yang dapat menjadi jaminan untuk keberlanjutan kondisi kesejahteraan keluarga. Gambaran aset kepemilikan keluarga dapat dilihat pada grafik berikut :
Gambar 4.29. Aset Kepemilikan Keluarga
88
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Gambar tersebut menunjukkan bahwa Hand Phone (Hp) dan Televisi merupakan asset yang banyak dimiliki oleh sebagian besar keluarga Indonesia, termasuk sepeda motor. HP merupakan sarana komunikasi, TV sebagai media hiburan dan informasi, sepeda motor sebagai sarana transportasi keluarga dan angkutan transportasi. Sementara alat transportasi berupa perahu baik dengan mesin maupun tanpa mesin sebagian kecil dimiliki oleh keluarga di Papua dan Kalimantan Timur. Kedua wilayah ini secara geografis memiliki banyak sungai sehingga perahu digunakan sebagai sarana transportasi masyarakat antar desa, kecamatan, kota dan kabupaten serta antar pulau. Kepemilikan aset lainnya yang dimiliki oleh sebagian keluarga Indonesia adalah mobil. Aset ini dimiliki pada lebih dari 10 persen keluarga di Bali, Riau, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Selain untuk keperluan keluarga, mobil juga bisa digunakan sebagai sarana tranportasi (rental), yang melayani masyarakat dan turis (Bali). Aset lainnya yang dimiliki oleh sebagian besar keluarga di Kalimantan Timur adalah perhiasan dan tabungan di Bank/koperasi. Aset ini dimiliki keluarga, sebagai sarana keberlanjutan keluarga dalam usaha memenuhi kesejahteraan keluarga
2. Lingkungan dan Tempat Tinggal Maksud dari kondisi lingkungan alam adalah yang mempengaruhi terhadap rasa aman keluarga berasal dari air seperti banjir, udara seperti polusi dan tanah seperti longsor, dan kekeringan. Tabel 4.44 : Rasa Aman Keluarga dengan Kondisi Lingkungan Alam Air (%)
Udara (%)
Tanah (%)
SUMATERA UTARA
PROVINSI
79,43
81,38
95,97
RIAU
60,17
10,58
93,06
LAMPUNG
77,15
94,86
98,53
JAWA BARAT
75,07
90,28
95,28
JAWA TIMUR
83,98
95,20
97,17
BALI
90,18
96,88
96,85
NUSA TENGGARA BARAT
79,92
94,64
97,26
KALIMANTAN BARAT
70,65
33,23
90,80
KALIMANTAN TIMUR
77,87
53,42
95,66
SULAWESI SELATAN
69,15
94,13
98,03
SULAWESI BARAT
82,83
89,90
92,37
PAPUA BARAT
80,82
93,49
95,85
INDONESIA
76,64
81,62
95,95
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
89
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa hampir sebagian besar keluarga di Indonesia merasakan aman dari kondisi air, udara dan tanah. Meski kondisi rasa aman dari lingkungan alam berkaitan dengan air menunjukkan persentase paling rendah, namun kondisi alam terkait udara cukup menonjol di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat. Artinya kondisi lingkungan alam terkait air seperti banjir, dan limbah banyak memberikan rasa tidak aman bagi keluarga di Indonesia yakni sebesar 76,64 persen. Namun kondisi lingkungan alam terkait dengan udara, menjadi kondisi tidak aman bagi keluarga di provinsi Riau dikemukakan oleh 90 persen keluarga karena kondisi asap yang selama ini berlangsung. Sama halnya dengan kondisi alam di Provinsi Kalimantan Barat, berkaitan dengan udara atau asap, menunjukkan bahwa sebesar 33,23 persen keluarga yang merasakan aman dengan kondisi udara, artinya sebesar 66,77 persen merasakan tidak aman dengan kondisi udara di provinsi Kalimantan Barat. Adanya kabut asap di kedua provinsi tersebut juga dirasakan saat pelaksanaan survei. Sebagaimana diketahui bahwa Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di ibu kota Riau, Pekanbaru, saat itu menyentuh angka 984. Angka tersebut sebagai level tertinggi ISPU, yakni berbahaya, karena berada di atas 300500, sehingga pemerintah menetapkan status darurat asap. Berbagai upaya dilakukan keluarga sebagai akibat pencemaran air, udara dan tanah sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4.45 : Upaya Keluarga dalam Mengatasi Kondisi Alam Yang Tidak Aman Pasrah
Lapor pihak berwenang
Menangani gangguan lingkungan
Menegur pelaku
SUMATERA UTARA
86,37
5,45
7,34
0,84
RIAU
75,76
0,72
23,52
0,00
LAMPUNG
59,48
7,76
31,90
0,86
JAWA BARAT
66,16
9,91
23,06
0,86
JAWA TIMUR
69,21
7,39
22,17
1,23
BALI
81,82
3,03
15,15
0,00
NUSA TENGGARA BARAT
72,48
12,53
14,74
0,25
KALIMANTAN BARAT
83,40
2,10
13,24
1,26
KALIMANTAN TIMUR
92,63
2,32
4,63
0,42
SULAWESI SELATAN
70,18
8,18
21,64
0,00
SULAWESI BARAT
76,77
7,07
16,16
0,00
PAPUA BARAT
91,78
6,85
1,37
0,00
INDONESIA
76,16
5,97
17,21
0,66
PROVINSI
90
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Sebagian besar keluarga pasrah dalam menghadapi kondisi alam yang tidak aman sebagaimana dilakukan keluarga di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, terkait dengan bencana asap, dengan persentase masing masing sebesar 75,76 dan 83,40 persen. Selain pasrah upaya yang dilakukan lainnya seperti melapor pada pihak berwenang dikemukakan keluarga di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, masing masing dengan persentase yang paling rendah yakni sebesar 0,72 persen dan 2,10 persen. Terkait dengan keamanan lingkungan tempat tinggal, sebagian besar keluarga Indonesia juga merasakan aman dari berbagai gangguan keamanan seperti konflik, pencurian, pemerasan, penyalahgunaan narkoba dan teror sebagaimana tabel berikut Tabel 4.46 : Rasa Aman Keluarga dari Peristiwa, dalam Setahun Terakhir PROVINSI
Konflik
Pencurian Pemerasan
Penyalahgunaan Narkoba
Teror
SUMATERA UTARA
96,37
87,94
97,86
91,89
98,18
RIAU
98,00
92,01
98,34
97,17
98,17
LAMPUNG
98,11
87,42
98,64
98,64
98,74
JAWA BARAT
97,84
89,03
98,30
98,46
97,96
JAWA TIMUR
98,54
93,10
98,24
97,94
98,33
BALI
98,18
94,64
99,10
98,66
99,11
NUSA TENGGARA BARAT
96,36
86,71
97,64
97,75
97,48
KALIMANTAN BARAT
97,50
88,23
97,90
97,66
98,60
KALIMANTAN TIMUR
98,06
87,84
98,64
96,92
98,18
SULAWESI SELATAN
98,46
91,88
99,23
97,03
98,85
SULAWESI BARAT
99,49
96,72
99,49
99,24
99,49
PAPUA BARAT
94,88
93,56
94,58
94,24
94,24
INDONESIA
97,69
90,44
98,26
97,50
98,19
Sebagian besar keluarga Indonesia cukup aman tinggal di lingkungannya dari berbagai konflik, pencurian, pemerasan, penyalahgunaan narkotika dan teror. Kecuali perasaan tidak aman dari pencurian dirasakan oleh sebagian kecil keluarga di Provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 13,29 persen, provinsi Lampung sebesar 12,58 persen, provinsi Kalimantan Timur sebesar 12,16 persen dan provinsi Jawa Barat sebesar 10,97 persen.
3. Kesehatan Keamanan dan kenyamanan keluarga bukan hanya diukur dari lingkungan tempat tinggal dan berbagai gangguan keamanan, tetapi juga dari kesehatan anggota keluarganya. Keluarga yang sehat berpengaruh positip dalam Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
91
menjalankan aktifitasnya. Tabel berikut menunjukkan sebagian besar keluarga Indonesia mengalami gangguan kesehatan yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari Tabel 4.47 : Keluarga yang Mengalami Gangguan Kesehatan dalam Tiga Bulan Terakhir Dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Sehari-Hari Gangguan Kesehatan
Akibat gangguan kesehatan thd aktivitas sehari-hari
SUMATERA UTARA
76,15
79,85
RIAU
62,40
71,23
LAMPUNG
73,03
83,81
JAWA BARAT
79,91
73,40
JAWA TIMUR
63,61
65,94
BALI
72,52
82,39
NUSA TENGGARA BARAT
74,81
82,09
KALIMANTAN BARAT
76,05
76,98
KALIMANTAN TIMUR
76,63
79,44
SULAWESI SELATAN
69,60
75,08
SULAWESI BARAT
65,90
69,69
PROVINSI
PAPUA BARAT
73,72
96,08
INDONESIA
72,93
76,08
Sebagian besar keluarga merasakan gangguan kesehatan dalam tiga bulan terakhir, yang berpengaruh kepada aktivitas sehari-hari. Namun Provinsi Riau yang merupakan daerah tidak aman dari pencemaran air dan udara, hanya 62,40 persen yang merasa terganggu kesehatannya, sedangkan di wilayah lain yang relatif aman dari pencemaran air, udara dan tanah longsor justru lebih banyak yang mengalami gangguan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan oleh keluarga dalam mengatasi gangguan kesehatan, antara lain ke tempat medis, membeli obat ke warung, toko obat atau apotik, meracik obat sendiri, pergi ke dukun bahkan ada yang didiamkan, sebagaimana tabel berikut
92
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.48 : Upaya dilakukan keluarga akibat Terganggunya aktivitas sehari-hari anggota keluarga
Didiamkan
Ke dukun
Meracik sendiri
Membeli obat ke warung, toko obat, apotik
SUMATERA UTARA
2,76
1,33
5,11
20,33
70,48
RIAU
3,38
2,03
0,68
21,96
71,96
LAMPUNG
2,62
1,23
2,93
22,50
70,72
JAWA BARAT
2,42
0,94
0,99
26,37
69,27
JAWA TIMUR
2,52
1,13
0,52
21,32
74,50
BALI
3,47
2,08
0,00
31,94
62,50
NUSA TENGGARA BARAT
3,76
3,43
1,17
23,24
68,39
KALIMANTAN BARAT
4,48
3,30
2,24
24,76
65,21
KALIMANTAN TIMUR
2,21
0,68
1,19
19,76
76,15
SULAWESI SELATAN
2,16
0,69
2,95
27,73
66,47
SULAWESI BARAT
3,86
6,76
14,49
27,54
47,34
PAPUA BARAT
1,83
0,46
4,59
3,67
89,45
INDONESIA
2,87
1,69
2,22
23,47
69,76
PROVINSI
Ke tempat medis
Ketersediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas akan berpengaruh terhadap derajat kesehatan masyarakat. Selain itu tingkat pengetahuan masyarakat juga ikut mempengaruhi upaya mereka dalam mengatasi gangguan kesehatan. Tabel 4.48 menunjukkan sebagian besar keluarga Indonesia pergi ke tempat medis dalam upaya mengatasi gangguan kesehatannya sebesar 69,76 persen, kecuali di provinsi Sulawesi Barat sebesar 47,34 persen yang pergi ke tempat medis. Data pada tabel ini juga menunjukkan di zaman yang modern ini masih ada sebagian keluarga Indonesia yang berupaya mengatasi gangguan kesehatannya melalui dukun, dan ada pula yang mendiamkan meskipun prosentasenya relatif kecil. Beberapa alasan yang dikemukakan keluarga dalam mengatasi gangguan kesehatan dengan cara tidak pergi ke tempat medis seperti: mendiamkan sakitnya, pergi ke dukun, meracik obat sendiri atau membeli obat ke warung, toko obat dan ke apotik dapat dilihat pada tabel berikut
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
93
Tabel 4.49 : Alasan Keluarga Mengatasi Gangguan Kesehatan dengan Non Medis Akses fasilitas kesehatan sulit
Waktu tunggu pelayanan lama
Tidak ada biaya transport
Merasa tidak perlu berobat
SUMATERA UTARA
17,25
4,71
30,20
47,84
RIAU
4,55
1,52
37,88
56,06
PROVINSI
LAMPUNG
22,75
5,39
47,31
24,55
JAWA BARAT
13,04
5,86
35,35
45,75
JAWA TIMUR
10,63
8,27
24,41
56,69
BALI
4,00
50,00
10,00
36,00
NUSA TENGGARA BARAT
8,55
7,24
37,17
47,04
KALIMANTAN BARAT
31,41
6,50
32,85
29,24
KALIMANTAN TIMUR
26,83
10,57
13,82
48,78
SULAWESI SELATAN
13,28
8,71
14,52
63,49
SULAWESI BARAT
39,51
3,70
40,74
16,05
PAPUA BARAT
42,11
10,53
21,05
26,32
INDONESIA
16,9%
7,5%
30,8%
44,8%
Akses fasilitas kesehatan sulit dijangkau keluarga merupakan alasan tertinggi di Papua Barat sebesar 42,11 persen dan Kalimantan Barat sebesar 31,41 persen. Faktor geografis yang dirasakan oleh sebagian masyarakat di wilayah ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan menjangkau ke pelayanan kesehatan. Alasan lainnya adalah waktu tunggu pelayanan lama dirasakan oleh sebagian besar keluarga di provinsi Bali sebesar 50 persen, tidak ada biaya transport untuk menjangkau ke pelayanan kesehatan juga dirasakan oleh keluarga di provinsi Lampung sebesar 47,31% dan Sulawesi Barat sebesar 40,74 persen serta merasa tidak perlu berobat dikemukakan oleh sebagian besar keluarga di Sulawesi Selatan dan Riau, masing-masing sebesar 63,49 persen dan 56,06 persen. Dalam pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan keluarga juga cukup bervariasi sebagaimana tabel berikut
94
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.50 : Biaya Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan Keluarga PROVINSI
Sangat tidak terpenuhi
Tidak terpenuhi
Kurang terpenuhi
Terpenuhi
Sangat terpenuhi
SUMATERA UTARA
2,75
7,11
28,26
61,07
0,81
RIAU
0,87
2,10
20,98
75,70
0,35
LAMPUNG
1,38
6,46
35,24
56,51
0,42
JAWA BARAT
1,01
5,56
29,08
63,58
0,77
JAWA TIMUR
1,21
4,33
18,56
74,77
1,13
BALI
0,45
4,55
33,18
60,91
0,91
NUSA TENGGARA BARAT
2,93
7,55
31,78
56,98
0,76
KALIMANTAN BARAT
3,80
8,91
29,62
56,68
0,99
KALIMANTAN TIMUR
0,35
1,62
16,53
80,81
0,69
SULAWESI SELATAN
0,62
3,30
22,71
72,37
1,01
SULAWESI BARAT
0,55
8,22
24,38
66,30
0,55
PAPUA BARAT
1,05
2,79
11,50
83,28
1,39
INDONESIA
1,34
5,18
25,36
67,25
0,87
Sebagian besar keluarga Indonesia menyatakan bahwa biaya kesehatan sudah terpenuhi yang dinyatakan oleh keluarga sebesar 67,25 persen. Meskipun demikian ada yang menganggap biaya kesehatan keluarga masih dianggap tinggi,sehingga kebutuhan kesehatan kurang terpenuhi yang dirasakan oleh keluarga di provinsi Lampung sebesar 35,24 persen dan provinsi Bali sebesar 33,18 persen.
Gambar 4. 28: Pemenuhan Kebutuhan Kesehatan
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
95
Upaya keluarga dengan kategori tidak terpenuhi, kurang terpenuhi dan sangat tidak terpenuhi untuk mengatasi permasalahan kebutuhan pelayanan kesehatan ini dilakukan dengan berbagai cara, dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.51 :
Upaya yang dilakukan keluarga bila pemenuhan kebutuhan biaya kesehatan keluarga sangat tidak terpenuhi, tidak terpenuhi dan kurang terpenuhi meminjam atau berhutang
minta bantuan
menjual barang
Menggadai
diatur secukupnya
SUMATERA UTARA
53,93
36,11
2,10
3,44
52,87
RIAU
48,09
32,82
7,14
2,40
79,31
LAMPUNG
44,39
31,89
5,01
0,97
73,43
JAWA BARAT
50,39
46,30
6,09
1,92
69,21
JAWA TIMUR
56,56
27,83
6,23
2,93
52,14
BALI
74,42
47,06
12,94
3,53
43,53
NUSA TENGGARA BARAT
64,03
40,62
5,66
4,50
61,92
KALIMANTAN BARAT
48,34
38,14
12,47
4,82
72,78
KALIMANTAN TIMUR
35,38
27,14
10,43
2,86
51,83
SULAWESI SELATAN
32,00
42,53
3,90
3,61
68,41
SULAWESI BARAT
19,51
47,87
9,88
1,27
66,67
PROVINSI
PAPUA BARAT
33,33
51,43
0,00
0,00
63,16
INDONESIA
50,44
38,57
6,30
3,04
63,95
Berbagai upaya dilakukan oleh keluarga dalam upaya memenuhi kebutuhan kesehatan, baik dengan cara berhutang atau meminjam uang, minta bantuan orang lain, menjual atau menggadai barang dan mengatur penghasilan secukupnya. Data menunjukkan, bahwa sebagian besar keluarga berhutang atau meminjam, minta bantuan dan mengatur penghasilan secukupnya, sedangkan menjual dan menggadai barang dilakukan oleh sebagian kecil keluarga. Meskipun demikian, responden keluarga di Papua Barat tidak menjual atau menggadai barang dalam usaha memenuhi kebutuhan kesehatannya. Berdasarkan kategori wilayah, meminjam atau berhutang paling banyak dilakukan oleh responden keluarga provinsi Bali sebesar 74,42 persen, minta bantuan orang lain dilakukan oleh responden keluarga di Papua Barat sebesar 51,43 persen
96
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
mengatur penghasilan secukupnya dilakukan oleh responden keluarga provinsi Riau sebesar 79,31 persen dan Lampung sebesar 73,43 persen dan Kalimantan Barat sebesar 72,78 persen. Secara nasional upaya keluarga dimaksud agar kebutuhan kesehatan dapat terpenuhi dilakukan dengan cara berikut :
Gambar 4.31: Upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan pada keluarga kurang terpenuhi
Umumnya upaya keluarga yang kurang terpenuhi kebutuhan kesehatannya dengan cara diatur secukupnya sebesar 63,95 persen, disusul dengan meminjam atau berhutang sebesar 50,44 persen dan meminta bantuan sebesar 38,47 persen agar kebutuhan keluarga terhadap kesehatan tetap terpenuhi.
E. PERUBAHAN SOSIAL Pada dimensi perubahan sosial terdapat 2 indikator yaitu 1) struktur ekonomi dan sosio demografi dengan parameter demografi, pekerjaan dan penghasilan, 2) Sikap dan nilai dengan parameter menjaga lingkungan alam, kegotongroyongan, kesetiakawanan dan partisipasi politik. Pada indikator struktur ekonomi dan sosio demografi dibahas pada profil responden sehingga pada sub bab ini membahas indikator sikap dan nilai terutama dengan melihat partisipasi keluarga dalam kegiatan lingkungan melalui kegiatan rapat, arisan, ibadah bersama, kerja bakti, siskamling, perayaan hari besar dan posyandu.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
97
Gambar 4.32 : Partisipasi keluarga dalam Kegiatan lingkungan
Partisipasi keluarga terhadap kegiatan lingkungan banyak terdapat pada perayaan hari besar dan ibadah bersama, masing-masing sebesar 85,09 persen dan 84,65 persen, disusul dengan kerja bakti sebesar 72,88 persen. Berikut beberapa kegiatan partisipasi keluarga terhadap kegiatan lingkungan beserta alasan mereka tidak mengikuti kegiatan dimaksud. Pada kegiatan rapat di lingkungan RT/RW setempat dalam 3 bulan terakhir, sebesar 46,82 persen anggota keluarga mengikuti rapat, artinya sebesar 53,18 persen tidak mengikuti kegiatan dimaksud. Provinsi Sumatera Utara sebesar 33,42 persen anggota keluarga mengikuti rapat di lingkungan RT/RW setempat sedangkan yang paling banyak anggota keluarga mengikuti rapat di lingkungan RT/RW setempat yaitu Provinsi Papua Barat 85,28 persen. Berbagai alasan keluarga, tidak mengikuti kegiatan dimaksud seperti tidak ada waktu yaitu sebesar 40,36 persen, setelah itu malas sebesar 25,05 persen dan 18,96 persen merasa rapat itu tidak bermanfaat. Arisan merupakan kegiatan mengumpulkan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yang memperolehnya. Kegiatan dilaksanakan dalam sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Selain manfaat ekonomi tersebut arisan juga sebagai sarana untuk mempertemukan anggotanya secara rutin.
98
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.52 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Rapat di Lingkungan RT/RW dan Alasan Tidak Mengikuti Rapat
27,48 23,83 30,57 21,81 30,05 56,76
Tidak suka, tidak bermanfaat 50,38 6,54 20,00 18,99 13,54 5,41
Tidak ada waktu 3,82 60,75 30,00 41,91 33,23 21,62
36,13
21,84
17,13
59,58
31,51
55,44 42,82 41,77 85,28 46,82
16,88 23,47 21,65 35,71 25,05
Provinsi
Rapat
Malas
SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
33,42 55,81 49,53 48,84 44,59 73,21
Malu
Masalah kesehatan
1,15 1,40 4,57 2,51 6,15 0,00
17,18 7,48 14,86 14,77 17,03 16,22
50,60
3,81
6,61
23,79
31,19
3,22
10,29
9,38 15,13 15,15 14,29 18,96
65,63 44,81 60,17 38,10 40,36
1,25 3,30 0,43 2,38 3,28
6,88 13,29 2,60 9,52 12,34
Tabel 4.53: Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Arisan dan Alasan Tidak Mengikuti Arisan Provinsi
Arisan
Enggan, malas
SUMATERA UTARA RIAU LAMPUNG JAWA BARAT JAWA TIMUR BALI NUSA TENGGARA BARAT KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TIMUR SULAWESI SELATAN SULAWESI BARAT PAPUA BARAT INDONESIA
37,19 60,03 36,42 29,80 55,86 34,53
37,85 22,75 28,73 30,79 26,59 71,64
Tidak suka, tidak manfaat 11,27 14,81 31,36 29,15 22,02 7,46
22,29
31,27
40,47
Tidak ada waktu
Malu
Masalah kesehatan
37,32 52,38 26,10 26,19 28,76 8,96
3,35 2,65 4,82 4,60 5,05 0,00
10,21 7,41 8,99 9,27 17,57 11,94
19,75
39,59
4,07
5,31
36,78
27,25
21,80
7,08
7,08
39,04
22,20
16,25
53,78
0,92
6,86
32,04 16,50 28,86 36,64
26,40 16,29 27,03 29,31
20,52 23,96 47,57 22,86
38,45 57,83 20,54 34,80
3,39 0,64 2,16 3,85
11,24 1,28 2,70 9,17
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
99
Penduduk di Indonesia sebanyak 36, 64 persen anggota keluarga mengikuti arisan, Provinsi Riau merupakan provinsi yang paling banyak mengikuti arisan yaitu sebanyak 60,03 persen dan paling sedikit mengikuti arisan di Provinsi Sulawesi Barat yaitu sebanyak 16,50 persen. Alasan utama tidak mengikuti arisan adalah karena tidak ada waktu yaitu sebanyak 34,80 persen. Ibadah merupakan perbuatan atau penyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang didasari oleh peraturan agama dan merupakan segala usaha lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus dituruti pemeluknya. Ibadah bisa dilakukan secara sendiri-sendiri dan bisa juga dilakukan secara bersama-sama. Pada ajaran agama Islam ada beberapa ibadah agama yang lebih utama dilaksanakan secara bersama-sama, selain menjalin hubungan dengan sang Pencipta, ibadah bersama dapat meningkatkan hubungan antar umat manusia. Tabel 4.54 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Ibadah Bersama dan Alasan Tidak Mengikuti Ibadah Bersama Ibadah Bersama
Enggan, malas
Tidak suka, tidak manfaat
Tidak ada waktu
Malu
Masalah kesehatan
SUMATERA UTARA
83,84
28,40
4,94
40,74
2,47
23,46
RIAU
86,01
24,68
3,90
58,44
5,19
7,79
LAMPUNG
89,27
35,06
20,78
27,27
0,00
16,88
JAWA BARAT
87,64
38,10
14,85
29,13
2,52
15,41
JAWA TIMUR
84,18
23,49
8,19
34,52
5,69
28,11
BALI
94,62
58,33
8,33
16,67
0,00
16,67
NUSA TENGGARA BARAT
83,28
23,40
19,86
39,36
2,13
15,25
KALIMANTAN BARAT
90,92
41,77
17,72
29,11
2,53
8,86
KALIMANTAN TIMUR
80,69
16,08
5,59
65,73
1,40
11,19
SULAWESI SELATAN
73,54
17,48
5,75
52,65
2,88
21,24
SULAWESI BARAT
83,80
23,38
9,09
64,94
0,00
2,60
PAPUA BARAT
96,66
42,86
14,29
42,86
0,00
0,00
INDONESIA
84,65
26,07
10,77
42,57
2,79
17,80
Provinsi
100
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Berbeda dengan rapat dan arisan dimana anggota keluarga di Indonesia relatif sedikit yang mengikuti rapat dan arisan maka pada ibadah bersama anggota keluarga di Indonesia sebagian besar 84,65 persen ibadah bersama. Di Provinsi Papua 96,66 persen dan Provinsi Bali 94,62 persen merupakan provinsi yang paling banyak melaksanakan ibadah bersama. Sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan 73,54 persen merupakan provinsi dengan ibadah bersama paling sedikit. Kerja bhakti atau gotong royong merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama tanpa mendapat imbalan jasa secara langsung, akan tetapi dirasakan manfaatnya secara bersama-sama. Nilai-nilai kebersamaan lebih diutamakan pada kegiatan kerja bhakti, pada keluarga Indonesia sebanyak 72,88 persen mengikuti kerja bhakti. Provinsi Lampung merupakan provinsi paling banyak anggota keluarganya mengikuti kerja bhakti yaitu sebanyak 89,27 persen sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan paling sedikit yaitu 61,47 persen. Alasan utama tidak ikut kerja bhakti sebanyak 42,3 persen adalah tidak ada waktu. Tabel 4.55 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Kerja Bhakti dan Alasan Tidak Mengikuti Kerja Bhakti
Provinsi
Kerja bakti
Enggan, malas
Tidak suka, tidak manfaat
Tidak ada waktu
Malu
Masalah kesehatan
SUMATERA UTARA
62,51
29,00
5,67
39,00
1,33
25,00
RIAU
79,52
15,32
5,41
62,16
1,80
15,32
LAMPUNG
86,86
25,96
13,46
17,31
1,92
41,35
JAWA BARAT
78,42
26,15
16,11
31,38
1,46
24,90
JAWA TIMUR
72,27
25,34
10,02
27,31
4,32
33,01
BALI
85,71
65,38
7,69
11,54
0,00
15,38
NUSA TENGGARA BARAT
68,99
17,16
17,38
47,40
2,26
15,80
KALIMANTAN BARAT
74,88
38,37
22,09
24,42
1,16
13,95
KALIMANTAN TIMUR
76,29
11,11
4,09
73,10
1,17
10,53
SULAWESI SELATAN
61,47
13,13
9,62
55,27
2,29
19,69
SULAWESI BARAT
66,50
28,57
10,71
56,43
0,00
4,29
PAPUA BARAT
86,29
15,15
24,24
48,48
0,00
12,12
INDONESIA
72,88
22,1
11,9
42,3
2,1
21,5
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
101
Berbeda dengan kerja bhakti dimana anggota keluarga sebagian besar melaksanakan kerja bhakti, pada kegiatan Siskamling hanya sebagian kecil yaitu hanya 37,28 persen anggota keluarga yang mengikuti kegiatan Siskamling. Kegiatan Siskamling yang paling banyak diikuti oleh anggota keluarga di Provinsi Lampung yaitu sebanyak 78,21 persen sedangkan anggota keluarga yang jarang ikut Siskamling di Provinsi Sumatera Utara yaitu sebanyak 17,25 persen. Alasan utama tidak mengikuti kegiatan Siskamling adalah engan atau malas mengikuti kegiatan Siskamling tersebut. Tabel 4.56 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Siskamling dan Alasan Tidak Mengikuti Siskamling Siskamling
Enggan, malas
Tidak suka, tidak manfaat
Tidak ada waktu
Malu
Masalah kesehatan
SUMATERA UTARA
17,25
30,94
6,08
34,25
2,21
26,52
RIAU
45,32
22,81
7,02
59,65
1,75
8,77
LAMPUNG
78,21
16,22
10,81
10,81
21,62
40,54
JAWA BARAT
52,50
32,71
24,54
15,61
2,23
24,91
JAWA TIMUR
36,93
31,83
13,79
21,22
5,04
28,12
BALI
28,13
42,86
14,29
7,14
0,00
35,71
NUSA TENGGARA BARAT
29,53
23,89
21,68
34,51
1,77
18,14
KALIMANTAN BARAT
23,16
31,65
24,05
32,91
3,80
7,59
KALIMANTAN TIMUR
33,91
12,12
4,55
70,45
1,52
11,36
SULAWESI SELATAN
28,99
17,03
8,91
54,06
1,98
18,02
SULAWESI BARAT
28,17
22,22
5,56
68,89
1,11
2,22
Provinsi
PAPUA BARAT
24,08
46,15
23,08
23,08
0,00
7,69
INDONESIA
37,28
23,38
13,28
46,92
1,54
14,88
Kegiatan perayaan hari besar meliputi perayaan hari besar keagamaan dan hari besar nasional seperti peringatan hari kemerdekaan. Partisipasi anggota keluarga dalam peringatan hari-hari besar cukup besar yaitu sebanyak 85,09 persen, dengan partisipasi terbesar di Provinsi Lampung yang mencapai 95,06 persen.
102
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Tabel 4.57 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Perayaan Hari Besar dan Alasan Tidak Mengikuti Perayaan Hari Besar Provinsi SUMATERA UTARA
Perayaan Hari Besar
Enggan, malas
Tidak suka, tidak manfaat
Tidak ada waktu
Malu
Masalah kesehatan
79,64
34,90
6,75
40,34
0,94
17,07
RIAU
90,27
16,40
5,82
66,67
1,06
10,05
LAMPUNG
95,06
29,25
10,20
14,97
2,04
43,54
JAWA BARAT
90,29
29,57
12,05
36,15
1,61
20,62
JAWA TIMUR
80,36
23,88
12,28
38,17
3,01
22,66
BALI
94,20
68,75
2,08
16,67
2,08
10,42
NUSA TENGGARA BARAT
83,32
17,23
11,91
61,17
1,60
8,09
KALIMANTAN BARAT
86,46
37,39
23,15
28,78
1,78
8,90
KALIMANTAN TIMUR
81,59
10,61
7,45
69,30
0,68
11,96
SULAWESI SELATAN
70,41
17,67
15,12
50,98
1,44
14,78
SULAWESI BARAT
80,36
20,45
20,07
57,99
0,00
1,49
PAPUA BARAT
94,63
28,06
35,20
34,18
0,00
2,55
INDONESIA
85,09
25,05
13,43
38,28
2,93
20,30
Sedangkan partisipasi paling rendah di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu sebesar 70,41 persen. Hanya sebagian kecil anggota keluarga tidak berpartisipasi dalam mengikuti perayaan hari besar, adapun alasan utama tidak mengikuti perayaan hari besar karena tidak ada waktu sebanyak 38,28 persen. Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk memelihara kesehatan baik dilakukan oleh individu, keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara swadaya adalah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), PKK dan Pos Lansia. Hanya sebagian kecil yaitu sebanyak 39,67 persen anggota keluarga mengikuti Posyandu/PKK/Pos lansia. Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan anggota keluarga paling sedikit mengikuti Posyandu, PKK, dan Pos Lansia.
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
103
104
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 29,24 37,82 52,51 39,67
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
INDONESIA
26,54
28,10
15,74
22,10
18,55
35,31
44,15 41,95
KALIMANTAN BARAT
65,71 17,58
43,30 47,32
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN TIMUR
27,87
38,25 42,44
30,93
25,00
JAWA BARAT
40,21
LAMPUNG
17,82
37,96
Enggan, malas
JAWA TIMUR
27,30 53,49
SUMATERA UTARA
Posyandu/PKK/ Pos Lansia
RIAU
Provinsi
18,87
31,40
19,15
25,94
11,33
32,20
16,62
2,86
15,48
19,60
23,06
9,41
9,25
Tidak suka, tidak manfaat
39,88
33,88
62,55
39,08
62,65
19,49
53,98
21,43
31,57
33,12
34,47
63,37
38,76
Tidak ada waktu
3,83
0,00
0,85
2,13
0,72
4,80
2,88
0,00
9,29
4,21
6,07
0,99
1,91
Malu
10,88
6,61
1,70
10,75
6,75
8,19
8,93
10,00
15,78
12,15
11,41
8,42
12,12
Masalah kesehatan
Tabel 4.58 : Prosentase Anggota Keluarga Mengikuti Posyandu/PKK/Pos Lansia dan Alasan Tidak Mengikuti Posyandu/PKK/Pos Lansia
Hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, secara umum sangat baik 15,46 persen dan baik sebesar 78,79 persen. Dengan demikian hubungan keluarga dengan lingkungan setempat tidak ada permasalahan.
Gambat 4.33 . Hubungan Keluarga dengan lingkungan setempat.
Tabel 4.59 : Prosentase Hubungan Keluarga dengan Lingkungan Setempat Provinsi SUMATERA UTARA
Sangat baik
Baik
cukup baik
Kurang baik
Tidak baik
12,27
83,07
3,91
0,69
0,07
RIAU
9,86
78,03
11,42
0,69
0,00
LAMPUNG
25,43
68,80
5,56
0,11
0,11
JAWA BARAT
19,01
75,58
4,98
0,33
0,10
JAWA TIMUR
10,49
85,20
4,04
0,22
0,04
BALI
12,56
84,30
3,14
0,00
0,00
NUSA TENGGARA BARAT
16,00
78,76
4,43
0,59
0,22
KALIMANTAN BARAT
22,09
70,70
6,46
0,74
0,00
KALIMANTAN TIMUR
7,17
83,55
8,70
0,35
0,24
SULAWESI SELATAN
10,23
83,77
5,77
0,12
0,12
SULAWESI BARAT
22,45
74,67
2,61
0,00
0,26
PAPUA BARAT
29,25
65,99
4,42
0,34
0,00
INDONESIA
15,46
78,79
5,27
0,38
0,10
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
105
Dalam kaitannya dengan partisipasi anggota keluarga terhadap pemberian suara di pemilihan umum, pemilihan kepala daerah dan pemilihan lokal baik RT/RW/Kepala Desa dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Pada pemilihan umum terakhir, partisipasi responden sangat baik sebesar 97,71 persen. Berbagai alasan tidak berpartisipasi politik, yaitu sibuk bekerja/ bepergian sebesar 31,13 persen. Apabila dilakukan analisis gap antara kegiatan lingkungan setempat berupa kegiatan Posyandu/PKK/Pos Lansia, Arisan, Siskamling, Rapat, Perayaan Hari Besar, Kerja bhakti dan ibadah bersama dengan hubungan keluarga dengan lingkungan setempat. Ternyata hanya perayaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama mempunyai hubungan yaitu keikutsertaaan pada kegiatan lingkungan sekitar mempengaruhi keharmonisan hubungan dengan lingkungan sekitar, meskipun hubungan tersebut lemah. Dengan demikian jika anggota keluarga tersebut mengikuti kegiatan perayaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama maka hubungan dengan lingkungan setempat juga sangat baik. Oleh karena itu jika ingin melakukan intervensi sosial berbasis komunitas, misalnya ketika terjadi konflik antar warga maka dapat menggunakan wahana kegiatan berupa perayaaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama Analisis hubungan keluarga dengan Lingkungan setempat, menunjukkan bahwa pada kegiatan perayaan hari besar, kerja bakti an ibadah bersama pada hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, meski hubungan dimaksud cukup signifikan masing masing memiliki nilai signifikan sebesar 0.001. Nilai dan sikap sosial terhadap lingkungan sekitar juga dicerminkan dengan anggota keluarga memberikan pertolongan kepada warga lain yang membutuhkan, yang akan diukur melalui pemberian pertolongan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Secara umum anggota keluarga di Indonesia suka memberi pertolongan kepada warga lain jika warga lain membutuhkan pertolongan. Sebanyak 83,04 persen anggota keluarga memberikan pertolongan kepada warga lain yang membutuhkan. Hal tersebut mencerminkan bahwa nilainilai saling mengasihi, tolong-menolong dan toleransi anggota keluarga di Indonesia masih tinggi. Hanya sebanyak 16,96 persen saja anggota keluarga di Indonesia tidak memberikan pertolongan kepada warga lain itupun alasan utamanya karena dalam kondisi sakit. Dengan demikian nilai-nilai kesetiakawanan sosial antar sesama warga masih tinggi dan tugas negara untuk tetap senantiasa memupuk dan memelihara nilai-nilai kesetiakawanan sosial tersebut.
106
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
107
63,62 78,06 78,89 85,53 87,84 91,86 85,61 85,15 91,71 82,52 80,87 89,53 83,04
RIAU
LAMPUNG
JAWA BARAT
JAWA TIMUR
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
INDONESIA
Anggota Keluarga memberi pertolongan warga lain
SUMATERA UTARA
Provinsi
15,46
26,09
12,50
8,56
29,85
22,09
13,91
0,00
14,86
19,58
9,38
8,77
7,42
Sibuk
78,79
4,35
1,39
6,16
10,45
8,72
11,28
0,00
13,65
21,93
3,13
3,51
3,60
Sakit
5,27
0,00
2,78
2,05
1,49
4,65
3,01
0,00
2,81
4,48
4,38
6,14
2,75
Enggan, malas
0,38
0,00
2,78
2,40
5,97
0,00
0,00
0,00
2,41
1,18
0,63
1,75
2,97
tidak manfaat
0,10
69,57
80,56
80,82
52,24
64,53
71,80
100,00
66,27
52,83
82,50
79,82
83,26
Tidak punya kemampuan
Tabel 4.60 : Prosentase Anggota Keluarga Memberi Pertolongan pada Warga Lain Selama 12 bulan terakhir dan Alasan Tidak Memberi Pertolongan pada Warga Lain
108
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015 30.77
98.66
97.71
PAPUA BARAT
INDONESIA
29.87
50.00
75.00
30.00
37.50
20.83
31.13
50.00
8.33
25.00
25.00
23.08
65.59
0.00
30.00
25.00
70.00
33.33
18.55
0.00
8.33
30.00
18.75
23.08
13.98
12.50
25.00
8.33
0.00
16.67
29.17
Sakit
4.40
0.00
8.33
0.00
6.25
0.00
2.15
0.00
5.00
2.38
0.00
0.00
12.50
Enggan
4.40
0.00
0.00
5.00
12.50
23.08
1.08
0.00
2.50
2.38
0.00
0.00
4.17
Merasa tidak ada manfaatnya
5.03
0.00
0.00
5.00
0.00
0.00
1.08
0.00
7.50
2.38
0.00
16.67
4.17
Tidak ada calon yang sesuai
0.31
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16.67
0.00
Ditolak KPPS
6.29
0.00
0.00
5.00
0.00
0.00
1.08
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
8.33
Tidak tahu ada kegiatan ini
Responden yang memberikan suara pada pemilihan kepala daerah sebanyak 97,09 persen dan alasan terbanyak tidak memberikan suara karena sibuk bekerja/bepergian.
97.91
97.23
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
98.63
97.72
87.50 15.05
93.72
97.24
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
59.52 30.00
97.93
97.56
JAWA BARAT
JAWA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
30.00
98.64
LAMPUNG
20.83 16.67
96.91
97.96
Tidak punya Sibuk hak pilih, bekerja, TNI, POLRI berpergian
SUMATERA UTARA
Pemilu Terakhir
RIAU
Provinsi
Tabel 4.61: Prosentase Partisipasi pada Pemilu Terakhir dan Alasan tidak memberikan suara
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
109
97.09
INDONESIA
29.87
25.00
46.67
25.00
31.13
75.00
13.33
28.57
15.79
21.43
51.28
0.00
34.78
28.41
27.27
38.46
29.73
Sibuk bekerja, berpergian
18.55
0.00
20.00
32.14
21.05
28.57
20.51
0.00
26.09
12.50
9.09
0.00
18.92
Sakit
4.40
0.00
6.67
0.00
5.26
0.00
2.56
0.00
6.52
3.41
9.09
7.69
8.11
Enggan
4.40
0.00
0.00
3.57
21.05
21.43
2.56
0.00
2.17
2.27
0.00
7.69
2.70
ada manfaatnya
5.03
0.00
6.67
7.14
5.26
0.00
2.56
0.00
6.52
3.41
0.00
15.38
8.11
Tidak ada calon sesuai
0.31
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7.69
0.00
Ditolak KPPS
6.29
0.00
6.67
3.57
0.00
7.14
5.13
0.00
4.35
3.41
9.09
15.38
18.92
Tidak tahu
Partisipasi responden dalam memberikan suara di pemilihan lokal (RT/RW atau Pemilihan Kepala Desa) sebanyak 89,08 persen. Alasan terbanyak tidak memberikan suara karena tidak mengetahui ada kegiatan ini 65,60 persen.
95.45
97.99
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
97.44
SULAWESI SELATAN
31.58
21.43
98.47
15.38
97.60
100.00
93.27
96.95
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
46.59 19.57
97.43
97.00
JAWA BARAT
JAWA TIMUR
KALIMANTAN TIMUR
7.69 45.45
95.59
98.53
RIAU
LAMPUNG
Tidak punya hak pilih, TNI, POLRI 13.51
Pilkada Terakhir
95.36
SUMATERA UTARA
Provinsi
Tabel 4.62: Prosentase Partisipasi pada Pilkada Terakhir dan alasan tidak memberikan suara.
110
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
67.07
88.61
96.12
94.14
92.72
87.89
92.44
93.97
88.71
86.09
74.75
93.98
89.08
SUMATERA UTARA
RIAU
LAMPUNG
JAWA BARAT
JAWA TIMUR
BALI
NUSA TENGGARA BARAT
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN TIMUR
SULAWESI SELATAN
SULAWESI BARAT
PAPUA BARAT
INDONESIA
Provinsi
6.68
10.00
8.51
4.50
5.45
9.76
4.60
54.55
12.37
10.34
8.70
2.08
3.64
Tidak Pemilihan punya hak pilih, TNI/ Lokal POLRI
14.66
50.00
19.15
10.81
23.64
19.51
22.99
0.00
16.49
29.31
30.43
20.83
3.64
Bekerja, sibuk, pergi
5.58
10.00
6.38
6.31
9.09
4.88
5.75
0.00
11.34
9.48
4.35
2.08
2.52
Sakit
2.99
0.00
6.38
0.90
9.09
4.88
1.15
0.00
4.12
5.17
8.70
2.08
1.40
Enggan
2.29
0.00
6.38
0.90
23.64
4.88
2.30
0.00
1.03
0.86
0.00
0.00
0.00
tidak ada manfaat
1.89
0.00
8.51
0.90
0.00
4.88
0.00
0.00
1.03
4.31
0.00
6.25
0.84
Tidak ada calon sesuai
0.20
0.00
2.13
0.90
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Tidak ada imbalan
Tabel 4.63 : Prosentase Partisipasi pada Pemilihan lokal dan alasan tidak memberikan suara
0.10
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.08
0.00
Ditolak KPPS
65.60
30.00
42.55
74.77
29.09
51.22
63.22
45.45
53.61
40.52
47.83
64.58
87.96
Tidak tahu
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN Pengukuran kondisi kesejahteraan sosial (well-being) keluarga di Indonesia berdasarkan dimensi kualitas hidup keluarga, kohesi sosial, keberlanjutan, dan perubahan sosial keluarga secara nasional dan provinsi terpilih. Dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu kesejahteraan secara subyektif dan kesejahteraan secara obyektif. Dari dua pendekatan tersebut, diperoleh kuadran yang menggambarkan kondisi kesejahteraan sebagai berikut (1) Kondisi sejahtera, yaitu apabila secara obyektif maupun subyektif keduanya dalam kondisi baik, (2) Kondisi disonansi, yaitu apabila secara obyektif kondisinya baik, tetapi secara subyektif merasa dirinya buruk (3) kondisi adaptasi, yaitu apabila secara obyektif kondisinya buruk, tetapi secara subyektif merasa dirinya sudah terpenuhi (4) Kondisi deprivasi, yaitu apabila secara obyektif kondisinya buruk, tetapi secara subyektif merasa dirinya buruk atau belum terpenuhi. 1. Dimensi kualitas hidup keluarga di Indonesia, yang terdiri dari pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan. a. Kebutuhan Pangan, meliputi pemenuhan kebutuhan pangan yaitu makanan pokok, lauk pauk hewani, dan lauk pauk nabati.
Berdasarkan hasil analisis gap, diperoleh gambaran sebagai berikut : •
Keluarga dengan kategori sejahtera untuk pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 56.1 persen, kebutuhan lauk pauk hewani sebesar 54.6 persen, kebutuhan lauk pauk nabati sebesar 54.3 persen. Artinya secara obyektif maupun subyektif menyatakan sudah terpenuhi kebutuhan makanan pokok.
•
Keluarga dengan kategori disonansi untuk pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 43.61 persen, kebutuhan lauk pauk hewani sebesar 38.1 persen, kebutuhan lauk pauk nabati sebesar 39.5 persen. Artinya secara obyektif kondisi pemenuhan kebutuhan pokok, lauk pauk hewani dan nabati dalam kondisi baik, tetapi secara subyektif menganggap bahwa pemenuhan kebutuhannya belum terpenuhi atau dinilai buruk.
•
Keluarga dengan kategori adaptasi untuk pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 0,1 persen, kebutuhan lauk pauk hewani sebesar Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
111
1,7 persen, kebutuhan lauk pauk nabati sebesar 1,9 persen. Artinya secara obyektif kebutuhan pokok, lauk pauk hewani dan nabati belum terpenuhi, tetapi secara subyektif menyatakan sudah terpenuhi kebutuhannya. •
Keluarga dengan kategori deprivasi, untuk pemenuhan kebutuhan pokok sebesar 0,2 persen, kebutuhan lauk pauk hewani sebesar 5,7 persen dan kebutuhan lauk pauk nabati sebesar 4,9 persen. Artinya secara obyektif kebutuhan pangan mereka dinilai dalam kategori buruk atau tidak terpenuhi, sejalan dengan pandangan mereka terhadap kebutuhan makanan pokok mereka tidak terpenuhi atau kondisi buruk.
Upaya yang dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, dengan cara mandiri seperti menjual barang, menggandai dan diatur secukupnya, dengan persentase sebesar 81.41 persen. Kemudian, upaya yang dilakukan dengan bantuan dari luar seperti meminjam atau berhutang dan minta bantuan dengan persentase sebesar 88,98 persen. b. Kebutuhan Sandang atau pakaian: •
Secara obyektif 95.80 persen keluarga di Indonesia mampu menyediakan pakaian berbeda bagi semua anggota keluarganya dan sebesar 81,88 persen mampu membeli pakaian baru untuk anggotanya dalam kurun waktu 12 bulan terakhir. Berdasarkan jumlah pakaian yang dimiliki anggota keluarga, menunjukkan bahwa masih terdapat keluarga yang anggotanya hanya memiliki pakaian antara 4 sampai 7 stel sebesar 42.1 persen keluarga dan sebesar 39.8 persen keluarga memiliki lebih dari 8 stel pakaian.
•
Analisis gap antara persepsi subyektif dengan kondisi obyektif terhadap pemenuhan kebutuhan pakaian menunjukkan bahwa pada keluarga yang sangat tidak terpenuhi kebutuhan pakaiannya menyatakan bahwa mereka memiliki pakaian sebesar 76,1 persen, dengan rincian yang memiliki pakaian kurang dari 3 stel sebesar 59,2 persen, dan memiliki 4–7 stel pakaian sebesar 29,2 persen, dan 11,7 persen saja yang menyatakan memiliki pakaian lebih dari 8 stel pakaian. Untuk membeli pakaian baru dinyatakan oleh 29,9 persen keluarga.
Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakaian, sebagian besar keluarga atau 77,01 persen menyatakan dengan mengatur secukupnya dan meminjam atau berhutang untuk memenuhi kebutuhan pakaian sebesar 39.19 persen.
112
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
c. Kebutuhan Tempat Tinggal;
Analisis gap antara kondisi obyektif kondisi tempat tinggal berdasarkan jenis lantai dan dinding rumah dihubungkan dengan persepsi suyektif terhadap pemenuhan kebutuhan tempat tinggal diperoleh hasil sbb: •
Keluarga dengan kategori sejahtera, kondisi lantai sebesar 61.4 persen dan kondisi atap rumahnya 51,7 persen menyatakan baik bahwa secara obyektif maupun subyektif kondisi lantai dan atap rumah mereka baik.
•
Keluarga dengan kategori disonansi, kondisi lantai sebesar 28.7 persen, dan kondisi atap 16,5 persen menyatakan bahwa kondisi lantai rumah secara obyektif sudah baik, tetapi secara subyektif dinyatakan masih belum terpenuhi atau kondisinya buruk.
•
Kategori adaptasi, kondisi lantai sebesar 53 persen dan atap rumahnya sebesar 15 persen, menyatakan bahwa kondisi lantai dan atapnya buruk tetapi secara subyektif sudah baik atau terpenuhi.
•
Kategori deprivasi, kondisi lantai rumah dinyatakan oleh 4,6 persen dan kondisi atap dinyatakan oleh 16,9 persen keluarga yang memiliki lantai rumah secara obyektif maupun subyektif kondisinya buruk.
Sebagian besar keluarga atau 72,56 persen menempati rumah milik sendiri, dan memiliki MCK sendiri sebesar 75,66 persen, sementara yang tidak punya fasilitas MCK sebesar 7,66 persen. Jenis sumber air bersih sebesar 31,37 persen dengan memanfaatkan sumur bor pompa dan sumber mata air terlindung sebesar 24.66 persen. Untuk penerangan, sebesar 98.57 persen keluarga sudah menggunakan penerangan listrik, dan sebesar 95.60 persen keluarga memperoleh sumber listrik dari PLN. Bahan bakar/energi utama yang digunakan keluarga untuk memasak sebesar 66,78 persen menggunakan gas/elpiji dan listrik. Upaya yang dilakukan untuk memenuhi tempat tinggal, sebagian besar keluarga berupaya dengan cara mengatur secukupnya yang dinyakatn oleh 73,7 persen keluarga dan meminjam atau berhutang sebesar 47,7 persen. 2. Dimensi Kohesi Sosial; meliputi pendidikan dan perlindungan sosial. a. Pendidikan: Secara nasional persentase keluarga, dengan kategori mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan sebesar 65 persen dan tidak mampu memenuhi kebutuhan biaya pendidikan, sebesar 34.30 persen. Berbagai alasan dikemukakan oleh keluarga, dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak; alasan paling besar yaitu tidak ada biaya dikemukakan oleh keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam rentang usia 3-6 tahun tidak masuk pendidikan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
113
informal sebesar 48,51 persen, anak usia waib belajar sebesar 54.12 persen dan usia 16-21 tahun sebesar 47,77 persen. Selain itu alasan disabilitas pada anak usia rentang 3-6 tahun memasuki pendidikan informal, dikemukakan oleh 1,27 persen keluarga, anak usia wajib belajar sebesar 6,96 persen dan alasan tidak bersekolah pada anggota keluarga usia 16-21 tahun sebesar 2,60 persen. Selain itu terdapat anggota keluarga penyandang disabilitas berusia diatas 21 tahun yang tidak bisa baca tulis yakni sebesar ,69 persen. Selain penyandang disabilitas juga kelompok usia wajib belajar tetapi mereka bekerja dan membantu orang tua, masng masing sebesar 10,85 persen dan 7,47 persen selayaknya perlu menjadi perhatian untuk tetap mendapatkan hak mereka terhadap pendidikan. b. Perlindungan Sosial: Secara nasional terdapat 52,04 persen keluarga yang menjadi peserta Beras Sejahtera (Rasta) dan 22,55 persen yang menjadi peserta Bantuan Bantuan Langsung Sosial Masyarakat (BLSM). Untuk kepemilikan kartu, sebesar 21,68 persen memiliki kartu BPJS Kesehatan Mandiri/Pegawai dan KIS-PBI sebesar 13,83 persen. Akses terhadap berbagai program perlindungan sosial, seperti program Usaha Ekonomi produktif (UEP), PKH, Askesos, Rasta, BLSM, BSPS, Rutilahu dan PPFM, menjadi bagian penting dalam perlindungan sosial. Alasan keluarga tidak dapat mengakses pada program perlindungan sosial, sebagian besar karena ketidak tahuan mereka terhadap program dimaksud. Keluarga tidak ikut pada program UEP karena tidak tahu sebesar 66,75 persen, tidak ikut PKH karena tidak tahu sebesar 57,54 persen, tidak ikut ASKESOS, karena tidak tahu dinyatakan oleh 63,20 persen keluarga, tidak ikut Rasta karena tidak tahu dinyatakan oleh 37,94 persen, tidak iktu BLSM, karena tidak tahu sebesar 43,73 persen, BSPS 65,51 persen, tidak tahu program Rutilahu sebesar 63,82 persen, tidak tahu program KUBE UEP, sebesar 66,75 persen. Selain itu keluarga tidak tahu tentang panti sosial sebesar 73,48 persen, tidak tahu tentang Rehabilitasi diluar panti sebesar 74,09 persen, tidak tahu program keserasian sosial sebesar 75,95 persen. tidak ikut program Kampung Siaga Bencana, sebesar 76,21 persen. Ketidak tahuan tersebut sebagai bagian dari ketidak ikut sertaan keluarga terhadap program-program dimaksud, selain karena keluarga tersebut masuk kedalam golongan keluarga mampu, baru pindah dan stasusnya sebagai PNS. Sistem sumber yang paling dikenal keluarga adalah Karang Taruna sebesar 42,3 persen, Panti Sosial sebesar 28,5 persen dan
114
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
tenaga Penyuluh Sosial 13,4 persen serta dunia usaha sebesar 11,1 persen. Adapun pemanfaatan sistem sumber tersebut kurang lebih seperempat atau antara 10 sampai 25 persen dari pengetahuan yang mereka miliki. 3. Keberlanjutan; meliputi aset kepemilikan, dan lingkungan tempat tinggal dan modal sosial. a. Aset Kepemilikan, menunjukkan bahwa lebh dari 60 persen keluarga Indonesia memiliki Hand Phone (Hp) dan Televisi dan sepeda motor. Untuk wilayah tertentu, dengan kondisi geografisnya, maka memiliki perahu bermotor, sebagai sarana transportasi masyarakat antar desa, kecamatan, kota dan kabupaten serta antar pulau. Kepemilikan aset lainnya yang dimiliki oleh sebagian keluarga Indonesia adalah mobil, terutama di wilayah wisata. b. Lingkungan tempat tinggal, terutama berkaitan dengan rasa aman yang akan mempengaruhi terhadap keberlanjutan kesejahteraan .
Kondisi alam yang memberikan rasa tidak aman terhadap lingkungan tempat tinggal, dihubungkan dengan air seperti banjir, limbah, udara seperti kabut asap dan dari tanah seperti longsor. Kondisi lingkungan alam terkait dengan air sebenarnya memiliki nilai paling rendah untuk rasa aman keluarga di Indonesia. Artinya kondis alam terkait air, berupa banjir, dapat merupakan ancaman dan menimbulkan rasa tidak aman bagi keluarga di Indonesia.
Sementara untuk kondisi udara, menunjukkan bahwa 90 persen keluarga di provinsi Riau merasakan tidak aman dengan kondisi asap, demikian juga 66,77 persen keluarga di provinsi Kalimantan Barat menyatakan tidak aman dengan kondisi udara. Upaya yang dilakukan pada masing masing provinsi hanya bisa pasrah akan kondisi tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh 75,76 dan 83,40 persen keluarga. Perasaan aman juga berkaitan dengan kondisi konflik, pencurian, pemerasan, penyalahgunaan narkotika dan teror, ternyata perasaan tidak aman dari pencurian dirasakan oleh sebagian kecil keluarga di Indonesia daripada kondisi lainnya. c. Kesehatan sebagai modal sosial manusia yang penting untuk diperharikan dalam keberlanjutan kesejahteraan keluarga. Sebesar 72,6 persen keluarga merasakan gangguan kesehatan dalam tiga bulan terakhir, yang berpengaruh kepada aktivitas sehari-hari. Sebagaimana di Provinsi Riau yang merasakan gangguan kesehatan akibat kabut asap, sebesar 62,40 persen. Upaya dilakukan untuk mengati gangguan kesehatan paa sebagian besar keluarga Indonesia dengan Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
115
pergi ke petugas medis dalam upaya mengatasi gangguan kesehatannya sebesar 69,76 persen dan sekitar 30 persen keluarga yang tidak pergi ke tempat medis, melainkan dengan membeli obat di warung, ke dukun, meracik obat sendiri bahkan mendiamkannya. Alasan yang dikemukakan adalah merasa tidak perlu berobat, dikemukakan oleh 44,8 persen keluarga, tidak ada biaya transport sebesar 30,8 persen selain sulit akses ke pelayanan kesehatan 16,9 persen serta waktu tunggu yang lama menjadi alasan mereka tidak ke tempat medis. 4. Perubahan Sosial: meliputi: struktur ekonomi dan sosio demografi dengan parameter demografi, pekerjaan dan penghasilan, serta sikap dan nilai dengan parameter menjaga lingkungan alam, kegotongroyongan, kesetiakawanan dan partisipasi politik a. Struktur ekonomi dan sosio demografi
Berdasarkan jenis kelamin kepala keluarga yang menjadi responden menunjukkan bahwa persentase laki-laki sebesar 86.30 persen sementara perempuan sebesar 13,70 persen. Status perkawinan mereka sebesar 84,60 persen sudah menikah atau berstatus kawin, dan yang belum menikah sebesar 1,93 persen. Untuk umur responden diketahui bahwa lebih dari 27,5 persen umur responden atau kepala keluarga berumur diatas usia 40 tahun. Sample lokasi SKSD di 12 provinsi menunjukkan bahwa keluarga di perkotaan sebesar 56,41 persen daripada di perdesaan sebesar 43,59 persen. Sebagaimana data BPS (tahun 2015) menunjukkan bahwa persentase penduduk di perkotaan semakin meningkat daripada penduduk di pedesaan.
b. Hubungan keluarga dengan lingkungan setempat, secara umum sangat baik 15,46 persen dan baik sebesar 78,79 persen. Partisipasi anggota keluarga terhadap pemilihan umum sangat baik yakni sebesar 97,71 persen, meski alasan tidak berpartisipasi politik, karena sibuk bekerja/bepergian 31,13 persen. Analisis hubungan keluarga dengan Lingkungan setempat, menunjukkan bahwa pada kegiatan perayaan hari besar, kerja bakti dan ibadah bersama dalam hubungannya dengan aktifitas keluarga di lingkungan setempat, cukup signifikan dengan nilai sebesar 0.001. Oleh karena itu, kegiatana tersebut dapat digunakan untuk melakukan intervensi sosial berbasis komunitas, misalnya ketika terjadi konflik antar warga maka dapat menggunakan wahana kegiatan berupa perayaaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama Pemberian pertolongan kepada warga lain banyak dilakukan warga lain yang membutuhkan yakni 83,04 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai saling mengasihi, tolong-menolong dan toleransi
116
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
anggota keluarga di Indonesia masih tinggi. Hanya sebanyak 16,96 persen saja anggota keluarga di Indonesia tidak memberikan pertolongan kepada warga dengan alasan karena dalam kondisi sakit.
B. REKOMENDASI Survei Kesejahteraan Sosial Dasar (SKSD) ini menghasilkan data dan informasi yang dapat digunakan oleh penyelenggara kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat (Kementerian Sosial) maupun daerah (Dinas Sosial) dan pihak lain terkait dalam perumusan dan atau pengembangan kebijakan kesejahteraan sosial. Berikut ini rekomendasi berdasarkan hasil survei: 1. Penanganan Fakir Miskin Strategi penanganan permasalahan sosial yang dilakukan hendaknya bersifat komprehensif dan komplementeri. Misalkan, penerima Program Keluarga Harapan/PKH, selain mendapatkan KUBE, juga dapat menerima program RUTILAHU, RASTA (berupa voucher), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP). Strategi tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan sosial dasar, pendidikan dan kesehatan yang merupakan unsur utama dalam mewujudkan kondisi kesejahteraan keluarga. Selain itu peningkatan kualitas hidup dengan penambahan pada kebutuhan lauk-pauk hewani dan nabati, selain makanan pokok 2. Program penyuluhan sosial perlu ditingkatkan dengan sasaran peningkatan pengetahuan masyarakat tentang program Kementerian Sosial melalui Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Melalui penyuluhan sosial program-program Kementerian Sosial dapat diketahui masyarakat, yang pada akhirnya akan mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial. 3. Impelementasi program kesejahteraan sosial harus dilakukan dengan mengoptimalkan peran aktif Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), terutama yang ada di tingkat akar rumput. PSKS direkomendasikan untuk dikelompokkan, menjadi TKS di lembaga pelayanan sosial, dan TKS di tingkat komunitas untuk memudahkan dalam pengembangan kapasitas, seperti menumbuh-kembangkan Karang Taruna dan tenaga Penyuluh Sosial. 4. Pengembangan intervensi sosial berbasis komunitas. Misalnya, ketika terjadi konflik antar warga, maka dapat menggunakan wahana kegiatan berupa perayaaan hari besar, kerja bhakti dan ibadah bersama. 5. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi fakir miskin perlu dilengkapi dengan pemenuhan kebutuhan protein hewani dan nabati. Kebutuhan pangan bukan hanya dalam bentuk beras, melainkan dalam bentuk Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
117
voucher, yang dapat ditukarkan dengan bahan pangan sesuai dengan bahan makanan pokok setempat, telor dan susu. 6. Perluasan program PKSA bagi anak usia wajib belajar yang terpaksa harus bekerja dan peluasan aksesibilitas pada bidang pendidikan bagi penyandang disabilitas sejak usia 3 tahun sampai usia 21 tahun. 7. Perlunya penelitan lanjutan untuk mendalami lebih lanjut permasalahan kesejahteraan sosial pada tingkat kecamatan, sehingga dapat menyediakan base line data aktual tentang penyandang masalah kesejahteraan sosial.
118
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA Adi, Rukminto, Isbandi, (2005), Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan, Jakarta: UI Press. Al-Krenawi, A., & Graham, J. R. (2009). Helping Professional Practice with Indigenous People. Lanham. Boulder. New York. Toronto. Plymouth, UK: University Press of America, Inc. Bowes, J. M., & Hayes, A. (1999). Children, Families, and Communities Contexts and Consequences (First ed.). UK: OXFORD University Press. Cooper, J., & Vetere, A. (2005). Domestic Violence And Family Savety; A Sistemic Approach To Working With Violence In Families. London and Philadelphia: Whuur Publisher. Covell, K., & Howe, R. B. (2009). Children, Famillies and Violence. London: Jesica Kingsley Publishers. Collins, D., Jordan, C., & Coleman, H. (2010). An Introduction to Family Social Work (Third ed.). USA: Brooks/Cole Cengage Learning. Fahrudin, Adi, (2012), Pengantar Kesejahteraan Sosial, Bandung: Rafika Aditama. Suharto, Edi, dkk (2003), Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial, Jakarta : Badan Pelatihan dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. ------------, (2007), Kebijakan sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta. ------------, (2005), Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Rafika Aditama. Gunarsa, S. D., & Gunarsa, N. Y. (1993). Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Hadis, F. A. (1993). Gagasan Orang Tua dan Perkembangan Anak . Depok: FPSI-UI. Haeryanto, Rohado dan Tamrin Amal Tomagola, (1997), “Indikator keluarga Sejahtera: Instrumen Pemandu Keberdayaan Keluarga untuk Mengentaskan Kemiskinan”, Jakarta: Ikatan Sarjana Sosiologi Indonesia. Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015
119
Hearn, J. L. (2010). Family Preservation In Families Ecological System : Factor That Predict Out-of-home Placement and Maltreatment For Service Recipient in Richmont City. Proquest LLC , 194. Heinz-Herbert Noll (2004), The European System of Social Indicators : A Tool for Welfare Measurement and Monitoring Social Change, Workshop on Measurement of Wellbeing in Developing Countries Hanse Kolleg, Delmenhorst, july 2-4, 2004. Hook, M. P. (2008). Social Work Practice With Families, Aresiliency- bades approach. Chicago: Lyceum Books INC. http://organisasi.org, “Teori Hierarki Kebutuhan Maslow/Abraham Maslow – Ilmu ekonomi”, Jakarta, diakses 21 Januari 2012. Midgley, J. (1995). Social Development, The Developmental Perspektive In Social Welfare. London: SAGE Publications. Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial Undang-UndangNo. 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan Dan Pembangunan Keluarga Walsh, F. (2003). Family Resilience: Framework for Clinical Practice. Family Process, 42 (2) 1-19. Zastrow, C. (2004). Introduction To Social Welfare (Eight Edition ed.). USA: Thomson Brooks/Cole.
120
Survei Kesejahteraan Sosial Dasar Tahun 2015