SURVAI PENDAHULUAN BUAYA KALIMANTAN (Fase I dan Fase II)
Oleh : Hellen Kurniati1 Charles A. Ross2 Jack Henry Cox, jr2 Scott Frazier2 1
Puslitbang Biologi-LIPI, Indonesia 2 Smithsonian Institution, USA
Oktober 1996 Puslitbang Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
PENDAHULUAN Proyek survai pendahuluan buaya di Kalimantan merupakan proyek kerja sama antara Smithsonian Institution dari Amerika Serikat dengan Puslitbang Biologi sebagai sponsor dari pemerintah Indonesia. Jangka waktu penelitian buaya ini adalah 1 tahun; berlangsung dari bulan September 1995 sampai September 1996. Peneliti yang terlibat dalam proyek ini adalah Dr. Charles Andrew Ross, Jack Hendry Cox dan Scott Frazier dari Smithsonian Institution dan Hellen Kurniati sebagai wakil dari Museum Zoologi Bogor (LIPI). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana keadaan populasi jenis-jenis buaya yang hidup di Kalimantan dan juga mempelajari bagaimana variasi yang ada dari buaya tersebut dan bagaimana pula hubungan kekerabatan mereka. Jadi untuk studi taksonomi diperlukan beberapa spesimen contoh yang akan disimpan di Museum Zoologi Bogor. Jenis-jenis buaya yang diteliti dan kemudian dikoleksi adalah Crocodylus porosus atau Buaya Muara, C. siamensis atau Buaya Kodok, C. raninus atau Buaya Borneo, dan Tomistoma schlegelii atau Buaya Sapit. Tahap penelitian dibagi dua yaitu terdiri dari Fase I dan Fase II. Kegiatan di Fase I merupakan survai awal sebagai penentu daerah yang memang merupakan habitat C. raninus atau Buaya Borneo; selain itu juga sebagai penentu lokasi pada Fase II untuk dilakukan penelitian lebih intensif dari taksonomi, biologi dan ekologi buaya air tawar yang terdapat di Kalimantan.
LATAR BELAKANG PENELITIAN Di Indonesia pada waktu ini dikenal 5 jenis buaya, yaitu T. schlegelii, C. porosus, C. siamensis, C. raninus dan C. novaeguineae. Dari kelima jenis buaya tersebut, empat jenis diyakini terdapat di Kalimantan, kecuali C. novaeguineae. Nama jenis C. raninus sudah lebih kurang 100 tahun terlupakan, karena koleksi spesimen di museum seluruh dunia hanya ada empat spesimen; ditambah pula keabsahannya masih membingungkan yang disebabkan seri spesimen tipe buaya ini bercampur dengan buaya jenis lain yang juga berasal dari Kalimantan. Setelah menjalani masa yang vakum selama lebih kurang 100 tahun, kemudian jenis C. raninus dikukuhkan oleh Ross (1990) dan Ross (1992) sebagai jenis yang valid. Keempat jenis buaya di Kalimantan termasuk dalam subfamili Crocodylinae. Bila dilihat dari morfologinya, kelompok buaya ini dikenal dengan nama buaya sungguhan (“true crocodile”), karena bentuk moncongnya memanjang mulai dari bagian posterior tengkorak; sedangkan bila dilihat dari macam habitat yang disenangi, kelompok buaya ini dikenal dengan nama buaya rawa (“palustrine crocodile”). Penyebaran dari keempat jenis buaya yang diyakini terdapat di Kalimantan cukup unik, karena tidak semua perairan di keempat propinsi di Kalimantan dapat dijumpai keempat jenis buaya tersebut. Buaya jenis C. siamensis sampai saat ini diyakini hanya terdapat di Kalimantan Timur. Bila dilihat dari penyebarannya, C. siamensis terdapat di Asia daratan, yaitu di Vietnam, Kamboja dan Thailand. Penyebaran ini kemudian terputus, karena di Semenanjung Malaya tidak dijumpai buaya ini; kemudian terdapat lagi di Kalimantan dan Jawa (Groombridge, 1987). Apa yang menjadi penyebab terputusnya penyebaran buaya C. siamensis masih merupakan tanda tanya besar.
CARA KERJA Cara kerja dari survai yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Pada siang hari mendatatangi kampung yang terdapat disekitar sungai yang sedang disurvai. Di kampung yang disinggahi kami melakukan wawancara kepada penduduk setempat mengenai macam buaya dan biologi buaya yang terdapat disekitar kampung tersebut. 2
2. Pada malam hari kami melakukan survai penghitungan populasi dengan metode “spot light night count” di lokasi sungai yang dianggap potensi sebagai habitat buaya air tawar. Pada kegiatan ini kami melakukan dengan memperhatikan tinggi air sungai yang akan disurvai. Kondisi yang baik adalah pada saat level air rendah. Pada kondisi ini buaya akan terkonsentrasi berada di dalam sungai. Bila kondisi banjir, buaya akan menyebar masuk ke dalam hutan. 3. Melakukan koleksi, iventarisasi, pengukuran dan pengambilan sampel jaringan dari buaya yang dipelihara oleh penduduk kampung, peternakan buaya atau dari alam. Untuk koleksi dari alam kami mendapat ijin dari Dirjen PHPA. Koleksi ini dapat berupa tengkorak atau buaya utuh. 4. Menginventaris habitat buaya yang dianggap cukup baik atau baik sebagai masukan kepada Kanwil Kehutanan setempat untuk pengembangan manajemen buaya di masa yang akan datang. Kegiatan secara rinci dari Fase I dan Fase II diuraikan dalam tulisan di bawah ini.
FASE I Pada tahap awal daerah yang disurvai adalah kawasan Danau Sentarum di Kalimantan Barat dan daerah tengah Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Survai di Kalimantan Barat berlangsung pada tanggal 20 September sampai 26 September 1995; Kalimantan Timur dari tanggal 26 September sampai 9 Oktober 1995, kemudian dilanjutkan lagi pada tanggal 6 sampai 10 Desember 1995; di Kalimantan Tengah berlangsung dari tanggal 30 Nopember sampai 5 Desember 1995; dan Kalimantan Selatan berlangsung pada tanggal 13 Desember 1995. Untuk lebih jelasnya uraian lebih rinci dari survai buaya ini untuk keempat propinsi tersebut yang disusun berdasarkan waktu kegiatan adalah sebagai berikut :
PROPINSI KALIMANTAN BARAT Kegiatan yang dilakukan selama di Kalimantan Barat adalah mencari informasi mengenai buaya di ibu kota Pontianak; mengunjungi peternakan buaya di Anjungan (terletak antara Pontianak dengan Sintang); mencari informasi di kota Sintang; dan survai serta koleksi spesimen di daerah Danau Sentarum yang terletak di daerah hulu Sungai Kapuas. Daerah yang telah dilakukan survai dapat dilihat pada Lampiran Peta Kalimantan. Uraian kegiatan tersebut di atas adalah sebagai berikut : 1. Kota Pontianak
Kegiatan di Kota Pontianak adalah mencari informasi mengenai buaya. Informasi buaya didapat dengan melakukan wawancara dengan bekas penangkap buaya dan pemilik restoran yang menjual masakan daging reptilia. Hasil wawancara tersebut menyimpulkan bahwa pada saat ini sukar untuk memburu buaya, karena sudah sukar ditemukan di alam; selain itu harga kulit buaya sudah rendah, sehingga orang sudah enggan untuk berburu buaya. Jenis buaya yang biasa diburu adalah Crocodylus porosus dan Tomistoma schlegelii. Nama daerah di Kalimantan Barat untuk jenis C. porosus adalah Buaya Muara atau Rabin; sedangkan untuk T. schlegelii adalah Buaya Sinyulong atau Buaya. Selain wawancara juga dilakukan pencarian penduduk yang menyimpan tengkorak buaya. Hasilnya ternyata tidak ada penduduk yang menyimpan tengkoran buaya, karena umumnya buaya hasil buruan dikuliti di dekat laut, yang kemudian tengkoraknya dibuang ke laut. Waktu untuk mencari informasi di Kota Pontianak adalah tanggal 20 dan 21 September 1995. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Kota Sintang. 3
2. Kota Sintang
Lamanya perjalanan dari Kota Pontianak sampai Kota Sintang dengan menggunakan kendaraan sewaan Toyota Kijang adalah 8 jam (jika tidak singgah dalam perjalanan). Selama perjalanan ke Kota Sintang kami singgah di Anjungan (30 km dari Kota Pontianak). Di daerah Anjungan terdapat pabrik peternakan ayam PT Citra Khatulistiwa Mandiri Farm. Pabrik ini mempunyai beberapa ekor buaya C. porosus yang cirinya tidak meragukan. Buaya Muara yang dipelihara di sini tidak untuk diperdagangkan, tetapi sebagai tempat pembuang limbah berupa ayam afkir atau mati. Karena sebelum mereka memelihara Buaya Muara, mereka mendapat banyak masalah dalam membuang limbah berupa ayam afkir atau mati. Di PT Citra Khatulistiwa Mandiri Farm ini kolam buaya terbagi dua, yaitu kolam pembesaran sebanyak 3 buah dan kolam pembiakan sebanyak 2 buah. Kolam pembiakan pertama berisi 28 ekor buaya dan kolam kedua berisi 10 ekor buaya. Perbandingan jantan dengan betina adalah 1 ekor jantan berbanding 2 ekor betina. Sedangkan di kolam pembesaran terdapat 20 ekor buaya. Setelah mendapat cukup informasi dari daerah Anjungan, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Sintang. Di kota ini kami melakukan kegiatan dengan melakukan wawancara kepada penduduk setempat. Dari hasil wawancara disimpulkan bahwa pada saat ini sukar untuk mendapat buaya, karena jumlahnya di alam sudah sedikit; lagi pula harga kulitnya sudah murah. Selain itu kami juga berusaha mendapatkan tengkorak buaya yang disimpan oleh penduduk. Hasilnya tidak ada penduduk yang menyimpan tengkorak buaya, karena benda ini memang tidak indah untuk menjadi barang pajangan. Pada salah satu toko penjual sepatu di Kota Sintang yang bernama Toko SEPATU ABADI menjual ofsetan kulit Buaya Sinyulong yang merupakan barang suvenir. Waktu untuk mendapatkan informasi di Kota Sintang adalah tanggal 21 dan 22 September 1995. Setelah itu kami berangkat ke Danau Sentarum yang terletak di hulu Sungai Kapuas. 3. Danau Sentarum
Waktu kegiatan yang berlangsung selama di Danau Sentarum adalah tanggal 22-25 September 1995. Lamanya perjalanan dari Kota Sintang ke stasiun penelitian Asian Wetland Bureau (AWB) di Bukit Tekenang daerah Danau Sentarum sekitar 7 jam dengan menggunakan “speed boat” 40 pk. Kami berangkat dari Kota Sintang pukul 8.30 pagi, sampai di Danau Sentarum pukul 15.30. Kegiatan di daerah Danau Sentarum meliputi pencarian jenis buaya C. raninus, survai populasi buaya jenis C. porosus dan T. schlegelii dengan metode “spot light”, dan koleksi spesimen jenis C. porosus dan T. schlegelii. Lokasi Danau Sentarum cukup penting dalam penelitian ini, karena di sini pernah ditemukan jenis C. raninus. Berikut ini sedikit informasi mengenai Danau Sentarum. Suaka Margasatwa Danau Sentarum terletak pada 0° 50’ garis lintang utara; dengan ketinggian tempat 40 mt dpl. Luas Suaka Margasatwa ini sekitar 125.000 ha dan terletak di daerah hulu Sungai Kapuas. Sungai yang mengalir di daerah Danau Sentarum adalah salah satu anak sungai dari Sungai Kapuas yang bernama Sungai Tawang. Jarak Suaka Margasatwa Danau Sentarum dari Ibu Kota Pontianak sekitar 700 km. Ciri khas dari Suaka Margasatwa Danau Sentarum adalah merupakan sekumpulan danau-danau air tawar dan hutan tergenang yang memiliki keunikan tersendiri, karena fruktuasi air tawar di seluruh kawasan sangat tinggi, yaitu rata-rata 8-10 meter pertahun dengan kisaran di atas 15 meter dalam beberapa tahun. Jenis tanah sedimen (kaolin, tanah lempung/clay dengan lapisan tanah gambut yang dangkal sampai tebal) dan singkapan kandungan batu pasir/paras. Topografinya datar, dan letaknya dikelilingi oleh pegunungan dan perbukitan. Sekitar 40.000 ha dari luas areal Suaka Margasatwa ini merupakan danau musiman, sedangkan sisanya merupakan daerah hutan yang selalu atau hanya pada waktu tertentu saja merupakan danau permanen. Di sekitar daerah aliran sungai (DAS) dan danau-danau terdapat kawasan hutan gambut yang menyebabkan kondisi air cendrung berwarna hitam atau gelap; sehingga mengakibatkan tingkat kesuburan atau kandungan nutrisi di perairan tersebut rendah sekali, karena penetrasi cahaya matahari sangat rendah dan tingkat kesadahan air cukup tinggi (pH 4-5,5). Di daerah ini mempunyai 2 tipe hutan, yaitu : a) tipe hutan rawa, yang terdiri 4
dari hutan rawa kerdil, hutan rawa terhalang, dan hutan rawa tegakan; b) tipe hutan, yang terdiri dari hutan dataran rendah, hutan perbukitan, dan hutan kerangas. Jenis-jenis tumbuhan yang umum ditemukan di daerah hutan rawa adalah suku Euphorbiaceae, Myrtaceae, dan Rubiaceae. Satwa liar yang hidup di sini meliputi 204 jenis ikan yang sudah dilakukan inventaris secara pasti dan kira-kira 200 jenis burung. Reptilia yang umum ditemukan adalah Boiga dendrophila, Python reticulatus, Dendrelaphis pictus, Bungarus sp, Naja spp, Varanus salvator, Draco spp, Calotes spp, C. porosus, C. siamensis, dan T. schlegelii. Keberadaan jenis-jenis serangga, reptilia, dan amphibia masih belum banyak diamati dan menanti untuk diteliti. Masyarakat di daerah ini terdiri dari 2 kelompok budaya atau etnis yang berbeda. Mereka terdiri dari : 1) kelompok nelayan melayu yang merupakan mayoritas penduduk kawasan suaka yang tinggal di sekitar danau; 2) Suku Dayak Iban yang terutama hidup disekeliling perbukitan dan masih menggunakan cara-cara tradisional dan sangat percaya akan kekayaan ilmu pengetahuan serta menghargai sumber daya hutan. Setelah diungkapkan secara singkat mengenai keadaan daerah sekitar Suaka Margasatwa Danau Sentarum, maka kini kembali kepada kegiatan selama berada di daerah ini. Kegiatan pada hari pertama adalah melakukan survai buaya dengan metode “spot light” di daerah Sungai Tiung dan Sungai Pengembung yang terletak di Desa Pengembung. Survai ini dilakukan mulai dari pukul 20.00 sampai pukul 24.00. Hasil dari survai ini tidak dijumpai buaya, kemungkinan besar tingkat air masih terlalu tinggi, sehingga buaya berada jauh di dalam hutan. Fauna yang dijumpai selama survai adalah satu ekor kodok jenis Rana erythrea yang duduk di batang pohon semak. Sinar mata kodok ini menyerupai sinar mata anakan buaya. Kegiatan kedua adalah mencari buaya yang dipelihara penduduk dalam keramba. Urutan kegiatan menurut kampung yang dikunjungi adalah sebagai berikut : 3.a. Kampung Sekolat Di Kampung Sekolat terdapat 2 ekor buaya T. schlegelii yang dimiliki oleh dua orang penduduk. Data mengenai jenis buaya ini adalah sebagai berikut : i).Berupa anakan; panjang sekitar 80 cm; dipelihara dalam keramba lebih kurang sudah 1 tahun; dan merupakan hasil buruan. ii). Ukuran dewasa; panjang sekitar 1,5 meter; dipelihara dalam keramba lebih kurang 6 tahun; diambil dari alam pada waktu anakan; dan merupakan hasil berburu. Penduduk memelihara Buaya Sinyulong ini hanya sebagai binatang kesayangan (?). 3.b. Kampung Laboyan Di Kampung Laboyan kami singgah; ternyata tidak dijumpai adanya penduduk yang memelihara buaya. 3.c. Kampung Semalah Di Kampung Semalah kami singgah untuk mendapat informasi. Dulu seorang penduduk memelihara seekor T. schlegelii dengan panjang sekitar 2 meter, tetapi kemudian dilepas ke alam. 3.d. Kampung Tempurau Di kampung Tempurau terdapat 9 ekor C. porosus dan 1 ekor T. schlegelii, serta 1 tengkorak T. schlegelii. Dari 9 ekor C. porosus atau Rabin, 1 ekor berukuran sekitar 2 meter; berasal dari Desa Pengembung; dan sudah berada di keramba sekitar 1 tahun. Untuk 8 ekor Rabin lainnya berukuran rata-rata 50 cm; berasal dari Desa Pengulang di kawasan Kapuas Hulu. Sedangkan untuk jenis T. schlegelii atau Buaya Sinyulong berukuran sekitar 50 cm dan didapat dari sungai sekitar Kampung Tempurau. Penduduk mendapatkan semua buaya tersebut dengan tidak sengaja, karena buaya-buaya tersebut masuk dalam bubu (sejenis perangkap ikan), tetapi pada ekor Buaya Sinyulong didapatkan adanya bekas tombak. Delapan ekor Rabin yang berukuran sekitar 50 cm,
5
1 ekor Buaya Sinyulong, dan 1 tengkorak Buaya Sinyulong dikoleksi sebagai spesimen. Kesepuluh spesimen buaya tersebut dibeli dengan harga Rp. 550.000,-. 3.e. Kampung Meliau
Di Kampung Meliau kami singgah. Suku yang bermukim di sini adalah Suku Iban yang mata pencahariannya nelayan. Menurut keterangan dari Kepala Kampung, pada tahun sekitar 1980 perburuan buaya banyak dilakukan oleh penduduk. Penduduk biasanya berburu buaya di daerah Danau Semati, Danau Merbung, dan Danau Lintang. Ketiga danau ini tidak kering pada waktu musim kemarau. Setiap sebulan sekali ada pengumpul kulit buaya yang datang ke kampung ini, kemudian penduduk menjual kulit buaya kepada pengumpul tersebut. Harga kulit yang paling tinggi adalah untuk jenis Rabin, sedangkan untuk Buaya Sinyulong hanya separuh dari harga kulit Rabin. Pada saat ini sukar untuk mendapatkan keuntungan dari kulit buaya, karena harganya jatuh dan lagi pula sukar untuk mendapatkan buaya di alam. Kepala kampung ini memiliki pengetahuan mengenai biologi buaya yang hidup disekitar kampungnya. Menurut beliau buaya bertelur pada bulan Juli dan menetas bulan Desember. Rabin umumnya membuat sarang pada tumpukan rumput yang mengapung, sedangkan Buaya Sinyulong pada tanah daratan. Di Kampung Meliau dilakukan survai populasi dengan metode “spot light” di daerah Danau Semati. Survai ini berlangsung dari pukul 20.00 sampai pukul 1.00, dan dengan menggunakan 2 sampan. Keadaan habitat Danau Semati memang merupakan habitat umum untuk buaya, karena disekitar danau terdapat tanaman Bakung Hanguana Malayana, Pandanus sp, dan rumput mengapung. Tetapi pada survai ini tidak dijumpai adanya buaya. Pada waktu melakukan “spot light” dijumpai adanya sinar mata yang menyerupai sinar mata anak buaya, ternyata merupakan sinar mata dari kodok jenis Pseudobufo subasper. Pada saat dalam perjalanan pulang, kami berjumpa dengan 2 orang pemburu ikan dengan perlengkapan lampu senter kepala dan tombak. Mereka pada saat itu selain mencari ikan juga mencari Buaya Sinyulong yang kemudian akan diberikan kepada kami, tetapi mereka tidak mendapatkan buaya yang dicari tersebut. Setelah melakukan survai di Kampung Meliau, kami kembali ke Stasiun Lapangan AWB. Di sini spesimen buaya dipreservasi. Cara mempreservasi buaya adalah sebagai berikut : Buaya dibius dengan menggunakan alkohol 95 % dengan cara menyuntikkan 20 cc alkohol pada bagian mata yang kemudian jarum suntik masuk menuju ke bagian otak. Kemudian spesimen buaya tersebut diawetkan dengan menggunakan formalin 15 %. Untuk awetan utuh, formalin 15% disuntikkan pada seluruh tubuh, setelah itu spesimen dibungkus dengan kain yang mengandung formalin 15 %; sedangkan untuk awetan kulit, terlebih dahulu kulit bagian dalam dibalut dengan kain atau kertas (tidak terjadi kontak antara kulit dengan kulit), lalu direndam dalam formalin 15 %. Keseluruh spesimen awetan tersebut dibungkus dengan kantong plastik atau disimpan dalam drum spesimen. Sedangkan untuk tengkorak terlebih dahulu dikeringkan dengan pengering herbarium atau sinar matahari, kemudian dibungkus dengan kantong plastik ditambah dengan naphtalen untuk menghindari serangga. Daerah berikutnya yang dikunjungi adalah propinsi Kalimantan Timur. Tujuan utama survai di propinsi ini adalah mengetahui informasi yang jelas mengenai biologi dan populasi C. siamensis atau dikenal dengan nama Buaya Kodok atau Buaya Badas Hitam (badas=moncong). Untuk jenis C. porosus mempunyai nama daerah Buaya Badas Kuning, sedangkan untuk T. schlegelii dikenal dengan nama Buaya Sapit.
PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Di Propinsi Kalimantan Timur kegiatan dilakukan dari tanggal 26 September-9 Oktober 1995, yang kemudian dilanjutkan pada tanggal 6 sampai 10 Desember 1995. Aktivitas yang dilakukan adalah mengunjungi peternakan buaya CV Surya Raya di daerah Teritip, Balikpapan; dan PT Makmur Abadi Permai di Samarinda. Kemudian melakukan survai populasi (terutama 6
untuk jenis C. siamensis) dan pengambilan spesimen di alam untuk jenis C. porosus, C. siamensis, C. raninus, dan T. schlegelii. Selain itu menginventaris jenis-jenis buaya yang terdapat dalam keramba penduduk di daerah Sungai Mahakam Tengah. Daerah yang telah dilakukan survai dapat dilihat pada Lampiran Peta Kalimantan. Uraian kegiatan di propinsi ini adalah sebagai berikut : 1. Peternakan Buaya CV Surya Raya
Peternakan buaya ini terletak di daerah Teritip, Balikpapan. Pemilik peternakan ini adalah Bapak Tarto Sugiarto. Sistem yang diterapkan di sini adalah sistem “pen”. Jenis buaya yang ditangkarkan adalah C. porosus, C. siamensis, dan T. schlegelii. Jenis yang berhasil dikembangkan adalah C. porosus, sedangkan untuk C. siamensis belum berhasil. Pakan yang diberikan kepada buaya adalah bangkai ayam yang diambil dari peternakan ayam dan ikan. Untuk program penangkaran buaya, perusahaan ini cukup berhasil, karena mereka sudah mampu menetaskan telur yang merupakan hasil perkawinan di penangkaran; selain itu perusaan ini mempunyai inkubator yang baik, dan sudah berhasil menetaskan 50 % telur dalam satu kali masa bertelur. Kegiatan lain yang dilakukan di perusaan ini adalah mengamati karakter, mengukur, menghitung sisik, dan mengambil sampel berupa sayatan sisik ekor dari 29 ekor jenis C. siamensis ukuran dewasa (panjang badan antara 133-187 cm). Asal dari buaya tersebut adalah dari Desa Priang, Mahakam Tengah. Sampel berupa sayatan sisik kemudian disimpan di Museum Zoologi Bogor yang kemudian hari akan dianalisa jenis proteinnya. Kegiatan di daerah Balikpapan berlangsung pada tanggal 27 dan 29 September 1995. Kunjungan kemudian dilanjutkan ke lokasi peternakan buaya yang berada di Samarinda. 2. Penangkaran biawak dan buaya PT Makmur Abadi Permai
Penangkaran ini terletak di pinggiran kota Samarinda. Pemilik perusahaan ini adalah Bapak Willy. Sistem yang diterapkan pada penangkaran ini adalah sistem “jungle” untuk biawak Varanus salvator dan sistem campuran untuk buaya (sistem “pen” dan “jungle”). Jenis buaya yang dipelihara adalah C. porosus, C. siamensis, dan T. schlegelii. Dalam kandang sistem “jungle” dijumpai adanya 3 ekor hibrid, karena di sini dicampur antara jenis C. porosus dengan C. siamensis. Sistem penangkaran dalam “pen” pada perusahaan ini sudah baik; karena tempat Buaya Muara dengan Buaya Kodok terpisah, dan air yang terdapat di dalam kandang dalam keadaan bersih untuk kesehatan buaya. Untuk sistem “jungle” keadaannya kurang baik; karena Buaya Muara hidup campur dengan Buaya Kodok, kemudian jumlah buaya dalam kandang “jungle” tersebut terlalu banyak, lagi pula tidak tersedianya banyak tanaman rumput untuk buaya membuat sarang, dan kolam berair kotor (air tidak mengalir). Selain sebagai penghasil kulit buaya, perusahaan ini juga menerima kulit Ular Senduk (Naja sputatrix), Ular Jali (Ptyas mucosus), Ular Karung (Acrochordus javanicus) dari hasil tangkapan penduduk. Begitulah keadaan secara singkat dari PT Makmur Abadi Permai yang merupakan suatu perusahaan penyamakan kulit Reptilia. Kunjungan kami di perusahaan ini berlangsung pada tanggal 28 September 1995. Kegiatan pada tanggal 30 September sampai tanggal 2 Oktober 1995 adalah mempersiapkan segala keperluan untuk survai dan koleksi di daerah Mahakam Tengah. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 3. Mahakam Tengah
Kegiatan di daerah ini berlangsung pada tanggal 3-8 Oktober dan 9-10 Desember 1995. Tujuan utama kegiatan di daerah ini adalah survai populasi buaya C. siamensis, selain mendapatkan contoh spesimen. Jalur dan lamanya perjalanan untuk menuju daerah Sungai Mahakam Tengah adalah sebagai berikut: 7
Dari Balikpapan dengan menggunakan kendaraan Toyota Kijang dan kecepatan rata-rata 60 km/jam menuju Kota Samarinda; waktu yang ditempuh sekitar 2 jam. Kemudian dari Kota Samarinda menuju Kota Bangun; waktu yang ditempuh 3 jam. Keadaan jalan menuju Kota Bangun agak kurang baik. Kemudian dari Kota Bangun dengan menggunakan taksi air atau “long boat” kami menuju Kampung Bongan yang terdapat di daerah Muara Kedang; lamanya perjalanan sekitar 3 jam. Di Kampung Bongan kami menginap di Rumah Bapak Saleh yang menjabat sebagai kepala kampung. Rumah Bapak Saleh inilah yang menjadi “base camp” untuk kegiatan di daerah Mahakam Tengah. Uraian kegiatan selama berada di daerah Mahakam Tengah adalah sebagai berikut : 3.a. Kampung Bongan Di rumah Bapak Saleh terdapat 4 ekor C. siamensis, dengan ciri sebagai berikut : TL (panjang total) 72 cm 80 cm 61 cm 59,5 cm
sisik leher 52 54 54 49
sisik perut 34 35 33 33
sex jantan jantan jantan jantan
Buaya ukuran 72 cm, 80 cm, dan 61 cm pada tanggal 9 Desember 1995 dibeli dengan harga Rp 1000/cm, kemudian dipreservasi untuk koleksi MZB. 3.b. Danau Tanah Liat Di danau ini dilakukan survai populasi dari buaya C. siamensis, karena menurut keterangan Bapak Saleh buaya tersebut banyak terdapat di danau ini. Keadaan habitat Danau Tanah Liat memang cocok untuk buaya, karena disekitarnya terdapat rumput-rumputan mengapung yang tidak dapat tenggelam, bakung, dan pandan. Danau ini berbentuk hampir bulat, dengan diameter 1,6 km. Menurut keterangan Bapak Saleh permukaan danau ini sudah 40 % tertutup oleh enceng gondok dan bakung; tanaman hama ini dikhawatirkan akan menutup seluruh permukaan danau di masa yang akan datang, seperti yang sekarang terjadi pada Danau Belibis (danau lain yang dekat dengan Danau Tanah Liat). Dari survai populasi dengan menggunakan metode “spot light” selama 2 malam yang berlangsung dari pukul 21.00 sampai pukul 24.00 dan menggunakan 1 sampan dengan 1 dayung, tidak dijumpai adanya buaya di dalam danau ini. Dugaan pertama dari hasil survai ini adalah buaya C. siamensis jumlahnya sangat sedikit dan mempunyai sifat sangat penakut, sehingga mereka cepat lari setelah merasakan gerakan air yang dibuat oleh dayung sampan; selain itu kondisi alam cerah dan bulan purnama. Survai berikutnya yang direncanakan adalah dengan menggunakan helikopter. Metode ini digunakan untuk menghitung sarang, karena pada bulan Oktober sampai Desember merupakan musim bertelur buaya. 3.c. Muara Muntai Di sini Bapak Ripadin Nur adalah seorang pengumpul kulit dan binatang reptilia seperti ular, kura-kura, dan buaya. Jenis buaya yang disimpan dalam keramba adalah C. siamensis yang berjumlah 4 ekor. Kemudian kami melakukan pengukuran dan penghitungan sisik leher dan sisik perut. Hasilnya adalah sebagai berikut : TL (panjang total) 67,5 cm 76 cm 70,5 cm 69 cm
sisik leher 52 51 52 52
sisik perut 33 34 34 34
8
sex jantan betina jantan jantan
Individu pada pengukuran pertama kemudian dibeli dengan harga Rp. 75.000,- sebagai spesimen contoh (TL=67,5 cm). 3.d. Kampung Tanjung Joney Kampung ini berada di daerah Tanjung Joney dan salah satu kampung yang terletak di dalam Danau Jempang. Di kampung ini terdapat 1 ekor C. porosus (Buaya Badas Kuning) yang dimiliki oleh salah seorang penduduk yang sudah menjanda. Buaya ini kemudian diobyekkan sebagai sumber nafkah, karena banyak turis yang datang untuk melihat buaya ini. Data dari buaya tersebut adalah sebagai berikut : Jenis : C. porosus atau Buaya Badas Kuning Tahun tangkap : 1985 Asal : Danau Jempang Sex : betina (?) Panjang total : 2,5 meter Ciri lain : mempunyai 2 sisik post occipital Buaya ini ditangkap waktu ukuran anakan (sekitar 30 cm). 3.e. Kampung Pulau Repat Kampung ini merupakan kampung tetangga dari Kampung Tanjung Joney. Di sini seorang penduduk mempunyai 1 ekor buaya T. schlegelii atau Buaya Sepit yang juga merupakan obyek wisata untuk turis. Data mengenai Buaya Sepit ini adalah sebagai berikut : Jenis : T. schlegelii atau Buaya Sepit Tahun tangkap : awal 1994 Asal : Danau Jempang Sex : betina (?) Panjang total : sekitar 1 meter Buaya ini ditangkap waktu ukuran anakan (sekitar 30 cm). Untuk menuju kepada ke dua kampung di atas, kami melintasi bagian tengah Danau Jempang. Keadaan habitat Danau Jempang memang pada dasarnya merupakan habitat umum buaya, karena terdapat rumput-rumputan yang mengapung; tetapi di sekitar danau ini sudah banyak kampung, jadi keadaannya sudah ramai dengan manusia, selain itu danau ini akan kering pada musim kemarau. 3.f. Kampung Muara Enggelam Perjalanan ke kampung ini harus melintasi Danau Enggelam. Keadaan habitat dari Danau Enggelam serupa dengan Danau Jempang; danau inipun kering pada musim kemarau. Di kampung ini terdapat 3 orang penduduk yang memelihara Buaya sepit. Ketiga orang tersebut adalah : i). Bapak Rahmadi Jenis buaya yang dipelihara : T. schlegelii atau Buaya Sepit Jumlah : 6 ekor Panjang rata-rata buaya : 2 meter Asal : Danau Enggelam Tahun tangkap : 1985 (?) Buaya ini dibeli dari orang lain, dan disimpan dalam keramba oleh Bapak Rahmadi sekitar 2 tahun. Rencananya keenam buaya ini akan dijual. ii). Bapak Emon Jenis buaya yang dipelihara : T. schlegelii atau Buaya Sepit Jumlah : 1 ekor Panjang : 2 meter Asal : hulu Sungai Enggelam (aliran air tidak deras) 9
Tahun tangkap : 1993 Buaya ini di dalam keramba sekitar 2 tahun, dan rencananya akan dijual. iii). Bapak Darham Jenis buaya yang dipelihara : T. schlegelii atau Buaya Sepit Jumlah : 1 ekor Panjang : 151 cm Asal : Kampung Teluk Teratak (Hulu Selerong, Sungai Mahakam), tepatnya pada Sungai Luah Dua (sungai berair deras). Tahun tangkap : 1993 (?) Buaya ini ditangkap langsung pada ukuran anakan (tanpa bubu). Dalam penangkapan terlihat juga induk beserta 5 anak lainnya. Buaya ini di dalam keramba sekitar 2 tahun. 3.g. Kampung Melintang Di kampung ini C. siamensis atau Buaya Badas Hitam sebanyak 30 ekor sudah dilepas tahun 1985 ke Danau Semayang atau nama lainnya Danau Melintang. Keadaan Danau Melintang serupa dengan Danau Jempang atau Danau Engelam, dan juga kering pada waktu musim kemarau.
KALIMANTAN TENGAH Kegiatan di propinsi ini berlangsung pada tanggal 30 Nopember sampai 5 Desember 1995. Perjalanan dengan menggunakan jalan darat, dari Balikpapan menuju Buntok yang merupakan ibu kota Kabupaten Barito Selatan, Propinsi Kalimantan Tengah. Kendaraan yang digunakan adalah Toyota Kijang milik Bapak Tarto Sugiarto (dari perusahaan buaya C.V. Surya Raya di Balikpapan). Kami berangkat dari Balikpapan pukul 12.00 menuju Buntok. Keadaan jalan menuju Buntok berliku-liku dan turun naik, dengan kondisi jalan pada beberapa tempat cukup rusak. Kami tiba di Buntok pukul 21.30 WITA dan menginap di Losmen Linda. Keesokan harinya kami memulai kegiatan survai buaya. Daerah yang menjadi obyek survai adalah Buntok, Sungai Barito bagian selatan, dan daerah Patas. Daerah yang telah disurvai dapat dilihat pada Lampiran Peta Kalimantan. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Buntok
Di kota ini kami mencari informasi dari penduduk mengenai jenis-jenis buaya apa saja yang terdapat di daerah Sungai Barito. Berdasarkan keterangan beberapa orang penduduk buaya yang terdapat di daerah ini adalah Buaya Badas Kuning atau Buaya Taman (C. porosus), Buaya Kodok (C. siamensis), dan Buaya Supit (T. schlegelii). Di daerah Buntok sendiri terdapat seorang penduduk yang bernama Sumardi HKN mempunyai 1 ekor T. schlegelii yang dijadikan sebagai binatang kesayangan. Data mengenai Buaya Supit ini adalah sebagai berikut: Tahun tangkap : 1994 Asal : Nurit, Muara Tewe, Barito Tengah, Kalimantan Tengah. Panjang : 138 cm Jenis kelamin : betina Kegiatan mencari informasi ini berlangsung pada tanggal 1 Desember 1995. 2. Sungai Barito bagian selatan
Dari Buntok kami mengunakan bis air menuju Kampung Babai. Berangkat dari Buntok pukul 9.45 dan sampai Kampung Babai pukul 11.30. Dari Kampung Babai kami menyewa kelotok untuk menuju Kampung Batampang. Daerah-daerah yang dilalui untuk menuju Kampung Batampang adalah Muara Pau kemudian masuk ke Sungai Puning. Dalam perjalanan ini kami singgah di Kampung Betilap. Di Kampung Betilap terdapat 3 ekor Buaya Supit. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : 10
Pemilik Jumlah Panjang Tahun tangkap Setelah kami singgah sebentar Kampung Batampang.
: Haji Kurne dan Ibu Halimah : 3 ekor : 2 ekor ukuran ± 2 meter dan 1 ekor ukuran ± 1 meter. :? untuk melihat Buaya Supit, kami melanjutkan perjalanan ke
2.a. Kampung Batampang Kampung ini menjadi tujuan utama karena di sekitarnya terdapat beberapa danau yang merupakan habitat buaya. Di sini terdapat 2 orang penduduk yang mempunyai Buaya Supit. Data mengenai pemilik, jumlah dan ukuran Buaya tersebut adalah sebagai berikut: i). Haji Ian Jumlah buaya : 8 ekor Jenis : Buaya Supit atau T. schlegelii Panjang : 3 ekor berukuran rata-rata 130cm 2 ekor berukuran rata-rata 1 meter 3 ekor berukuran rata-rata 1,5 meter Asal : Danau sekitar Kampung Batampang ii). Bapak Unung Jumlah buaya Jenis Panjang Asal
: 39 ekor : Buaya Supit : 37 ekor berukuran rata-rata 2 meter : 2 ekor berukuran rata-rata 1 meter : Muara Tewe, Sungai Simpang Tiga, dan Kampung Batampang.
Dua ekor Buaya Supit yang berukuran sekitar 1 meter kemudian dibeli dengan harga Rp.60.000,- untuk 2 ekor. Kedua buaya ini dijadikan sebagai koleksi. Asal dari kedua buaya adalah Sungai Simpang Tiga, Kecamatan Mengkitap, Kabupaten Buntok, dan ditangkap tahun 1993. Mereka berada di keramba sekitar 2 tahun. Sebelum kami kembali ke Buntok, kami melakukan perjalanan ke danau-danau yang terdapat di sekitar Kampung Batampang; danau tersebut merupakan habitat umum buaya, terutama Buaya Supit. Danau yang dilewati adalah Danau Batampang, Danau Padang Maleon, Danau Buntal, Danau Panjang, dan Danau Trembesi. Di dalam Danau Buntal dan Danau Trembesi terdapat perkampungan. Hanya seorang penduduk Danau Buntal yang mempunyai 2 ekor Buaya Supit yang berukuran 3 meter dan 2 meter, buaya tersebut ditangkap dari Danau Buntal. 3. Kecamatan Patas
Daerah Patas terbagi dua, yaitu Patas I dan Patas II. Daerah yang dituju adalah Patas II. Jauhnya Patas I dari Patas II sekitar 6 km, dengan kondisi jalan masih merupakan jalan perintis. Sungai yang mengalir di Kampung Patas II adalah Sungai Ayu, sedangkan danau yang terdapat di sini adalah Danau Maindah. Sungai Ayu dan Danau Maindah merupakan habitat Buaya Supit.
KALIMANTAN SELATAN Perjalanan ke Propinsi Kalimantan Selatan berlangsung pada tanggal 4, 5, dan 13 Desember 1995. Tanggal 4 Desember kami sampai ke Kota Amuntai di Kalimantan Selatan pada malam hari. Daerah yang dituju adalah Kampung Alabio dan Kota Banjar Baru. Perjalanan ke Kampung Alabio berlangsung pada tanggal 5 Desember 1995, sedangkan di Kota Banjar Baru pada Tanggal 13 Desember 1995. Daerah yang telah disurvai dapat dilihat pada Lampiran Peta Kalimantan. Kegiatan di propinsi ini adalah sebagai berikut : 11
1. Kampung Alabio
Jarak Kampung Alabio dari Kota Amuntai lebih kurang 7 km. Di daerah ini terdapat seorang penduduk yang bernama Bapak Yusuf mempunyai seekor Buaya Supit. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : Asal : Danau Panggang, Kampung Peminggir, Kalimantan Tengah. Jenis kelamin : jantan Ukuran : 120 cm Buaya Supit ini dipelihara sejak ukuran anakan (sekitar 30 cm) dan berada dalam keramba sekitar 2 tahun. 2. Kota Banjar Baru
Di kota ini terdapat suatu perusahaan yang bernama PT Sapto Argo Unggul yang memelihara buaya sebagai binatang peliharaan (tidak untuk usaha dagang). Jenis buaya yang dipelihara adalah C. porosus, C. siamensis, T. schlegelii, dan ada dua ekor yang diduga C. raninus. Jumlah C. porosus paling banyak, C. siamensis sekitar 15 ekor, T. schlegelii 2 ekor, dan C. raninus 2 ekor. Semua buaya tersebut berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah; di perusahaan ini semua buaya berada dalam satu kolam. Data mengenai C. raninus yang dapat ditangkap dari kumpulan buaya dalam kolam adalah sebagai berikut : Asal : Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah Jenis Kelamin : jantan Panjang : 138,3 cm Jumlah sisik perut : 24 Dari buaya ini telah diambil sampel jaringan berupa potongan sisik ekor. Buaya ini mati pada tanggal 20 Desember 1995; diduga karena stres. Morfologi dari buaya C. raninus mirip dengan C. novaeguineae yang berasal dari daerah selatan Irian. Demikianlah hasil survai buaya pada fase I yang meliputi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Untuk tahap berikutnya yang direncanakan dilakukan pada tahun 1996 merupakan survai buaya fase II. Tujuan utama pada fase II adalah mencari habitat buaya C. raninus dan memecahkan problema taksonomi jenis-jenis buaya yang hidup di Kalimantan secara lebih intensif pada daerah yang dipastikan pada fase I merupakan tempat penyebaran dan habitat C. raninus.
FASE II Dalam fase II kegiatan dilakukan pertama kali bulan Maret 1996. Propinsi yang dikunjungi adalah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Waktu kunjungan 6 hari di Kalimantan Timur dan 5 hari di Kalimantan Barat. Kunjungan di Propinsi Kalimantan Timur dilanjutkan kembali pada awal bulan Agustus 1996, untuk mengoleksi beberapa tengkorak dan menguliti buaya ukuran besar. Personal yang terlibat pada kunjungan ini adalah C.A. Ross dan Hellen Kurniati. Kemudian kegiatan dilanjutkan pada Bulan Juli 1996 di daerah sekitar perbatasan antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat. Personal yang terlibat adalah Jack Cox dan Hellen Kurniati. Kegiatan selanjutnya pada Bulan Agustus 1996 adalah di Propinsi Kalimantan Barat, khususnya daerah sekitar Putussibau dan Ketapang. Personal yang terlibat adalah Scott Frazier dan Hellen Kurniati. Kegiatan terakhir dilakukan pada bulan September 1996 di daerah perbatasan antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat. Personal yang terlibat adalah Jack Cox dan Hellen Kurniati. Kegiatan yang dilakukan selama kunjungan ke berbagai tempat di Propinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat yang disusun berdasarkan waktu perjalanan adalah sebagai berikut : 12
PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Pada tanggal 18 Maret kami berangkat dari Jakarta menuju Balikpapan dengan pesawat Garuda pukul 16.30. Sampai Balikpapan pukul 19.00 malam. Kami dijemput Bapak Tarto (direktur CV Surya Raya, Balikpapan), kemudian menginap di hotel yang letaknya bersebelahan dengan kantor CV Surya Raya. Seluruh kegiatan selama di Kalimantan Timur dilakukan di kantor CV Surya Raya, Balikpapan, sebagai penyumbang koleksi kepada Museum Zoologi Bogor. Tanggal 19 Maret kami melakukan preservasi dan menguliti seekor buaya T. schlegelii. Data buaya tersebut adalah sebagai berikut: Asal : Sungai Mahakam Jenis kelamin : betina Panjang total : 1,8 meter Buaya ini ditangkap dari alam masih berukuran anakan (sekitar 30 cm), kemudian dibesarkan di peternakan buaya CV Surya Raya. Dari buaya ini kami mengoleksi tengkorak, kulit dan seluruh tulang; untuk analisa DNA kami mengoleksi darah, hati, jantung dan otot. Selain buaya tersebut, kami juga melakukan pembersihan bagian kepala (untuk koleksi tengkorak) 19 buah kepala buaya C. porosus yang disembelih di peternakan buaya CV Surya Raya sekitar 4 tahun lalu. Semua buaya tersebut merupakan turunan pertama (F1), karena induknya berasal dari alam. Asal dari induk mereka tidak diketahui secara pasti, karena Bapak Tarto membeli induk berasal dari Sungai Mahakam dan peternakan buaya di Pulau Tarakan. Selama proses preservasi dan pengulitan, kami dibantu Bapak Roni, salah seorang pegawai peternakan buaya CV Surya Raya. Tanggal 20 Maret kegiatan kami preservasi dan menguliti 2 ekor buaya C. siamensis milik CV Surya Raya. Data menganai buaya tersebut adalah sebagai berikut : 1. Asal : Sungai Mahakam Jenis kelamin : jantan Panjang total : 183 cm Panjang SVL : 94 cm 2. Asal Jenis kelamin Panjang total
: Sungai Mahakam : jantan : 187 cm
Kedua buaya tersebut diambil dari alam masih dalam ukuran anaka (sekitar 30 cm), kemudian dibesarkan di peternakan buaya CV Surya Raya. Dari kedua spesimen ini kami mengoleksi tengkorak dan seluruh tulang. Kulit diberikan kepada Bapak Tarto, karena kulit buaya tersebut bernilai ekonomi tinggi. Untuk analisa DNA kami mengoleksi darah, hati, jantung dan otot. Tanggal 21 Maret kegiatan adalah melakukan preservasi dan pengulitan seekor buaya T. schlegelii milik CV Surya Raya. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut: Asal : Sungai Mahakam Jenis kelamin : jantan Panjang total : 257 cm Buaya tersebut diambil dari alam masih ukuran anakan (sekitar 30 cm), kemudian dibesarkan di peternakan buaya CV Surya Raya. Dari buaya tersebut, kami mengoleksi tengkorak dan kulit (seluruh tulang dibuang). Untuk analisa DNA kami menoleksi darah, hati, jantung dan otot. Selain melakukan preservasi, kami juga mengepak sebagian spesimen yang sudah diformalin (5 ekor C. siamensis dan 2 ekor T. schlegelii) untuk pengiriman ke Museum Zoologi Bogor.
13
Tanggal 22 Maret kegiatan kami pada pagi hari dilakukan di ruang kerja Bapak Tarto. Selama bulan Januari 1996 dia mengoleksi 8 ekor keong Gondang (Pila ampullacea) dari Danau Messangat. Keong tersebut diduga kuat merupakan makanan buaya dan merupakan sumber kalsium. Tujuh ekor keong tersebut kemudian diberikan kepada kami sebagai penambah koleksi Museum Zoologi Bogor. Data mengenai ketujuh keong tersebut adalah sebagai berikut: Tanggal koleksi : 27 Januari 1996 Lokasi : Danau Messangat, Muara Ancalong, Sungai Mahakam. Habitat : Rumput mengapung, dengan pohon-pohon pada bagian tepi sungai Kolektor : Aidil dan Tarto Kunjungan ke Propinsi Kalimantan Timur dilanjutkan kembali pada tanggal 7-11 Agustus 1996. Kegiatan yang dilakukan sama dengan kunjungan pertama di atas, yaitu menyiapkan koleksi tengkorak dan menguliti spesimen dari buaya ukuran besar. Jumlah tengkorak yang dipersiapkan untuk koleksi adalah 20 buah dari jenis Buaya Muara atau C. porosus; sedangkan jumlah buaya besar yang dikuliti adalah 2 ekor dari jenis Buaya Badas Hitam atau C. siamensis. Data spesimen dari buaya yang dikoleksi adalah sebagai berikut : Untuk buaya C. porosus, jumlah tengkorak yang dikoleksi sebanyak 20 buah. Semua tengkorak tersebut adalah hasil pemotongan peternakan buaya CV Surya Raya pada bulan Juni 1996. Asal dari semua tengkorak tidak diketahui dengan pasti, karena asal induk tidak diketahui dengan jelas. Status dari tengkorak-tengkorak tersebut adalah F1, karena induk mereka masih berasal dari alam. Untuk dua ekor jenis buaya C. siamensis yang dikoleksi merupakan sumbangan CV Surya Raya kepada Museum Zoologi Bogor. Data mengenai kedua ekor buaya tersebut adalah sebagai berikut : a. Panjang total (TL) : 199 cm Panjang badan (SVL) : 102 cm (atas anus) dan 108 cm (bawah anus) Jenis kelamin : jantan Asal : Sungai Mahakam bagian tengah, Kalimantan Timur b. Panjang total (TL) : 206 cm Panjang badan (SVL) : 105 cm (atas anus) dan 111 cm (bawah anus) Jenis kelamin : jantan Asal : Sungai Mahakam bagian tengah, Kalimantan Timur Untuk analisa DNA, jaringan yang dikoleksi adalah darah, otot, hati dan jantung. Bahan pengawet yang digunakan adalah APS dan ethanol absolud. Untuk contoh darah digunakan pengawet APS dan ethanol absolud; sedangkan untuk otot, hati dan jantung digunakan ethanol absolud sebagai pengawet.
PROPINSI KALIMANTAN BARAT Kunjungan berikutnya adalah Propinsi Kalimantan Barat. Kegiatan di daerah ini hanya untuk mengurus surat ijin angkut spesimen buaya yang berasal dari Danau Sentarum. Tanggal 24 Maret kegiatan adalah menyelesaikan semua proses administrasi dalam proyek buaya ini, sebelum C.A. Ross berangkan ke Kuching, Sarawak pada malam hari (pukul 10.00 malam) dengan menggunakan kendaraan bus. Tanggal 25 dan 26 Maret kegiatan adalah mengurus surat ijin angkut spesimen buaya di kantor Sub Balai KSDA dan Kakanwil Kehutanan Kalimantan Barat. Selain itu adalah melakukan pengepakan semua spesimen yang disimpan di rumah tamu AWB di Pontianak. Tanggal 27 Maret, saya sendiri berangkat kembali ke Jakarta dengan pesawat Merpati Nusantara Airlines pada pukul 11.15 siang. Semua spesimen saya bawa bersama dalam pesawat. 14
Survai buaya di Propinsi Kalimantan Barat kemudian dilanjutkan pada tanggal 12-30 Agustus 1996. Daerah yang dikunjungi adalah Kabupaten Kapuas Hulu, meliputi Putussibau beserta sistem sungai di hulu Sungai Kapuas dan Kabupaten Ketapang, yang meliputi sistem Sungai Pawan dan sistem sungai yang berada di Cagar Alam Muara Kendawangan. Personal yang terlibat adalah Scott Frazier dan Hellen Kurniati. Daerah yang dikunjungi dan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Kota Pontianak
Di Pontianak kami mengunjungi lokasi peternakan buaya di Kompleks BTN Teluk Mulus. Peternakan ini berukuran kecil, hanya mempunyai 3 buah kolam; satu kolam berisi 30 ekor buaya C. porosus ukuran anakan (sekitar umur 1 tahun) dan dua kolam berisi seekor buaya C. porosus ukuran dewasa. Buaya yang berada di peternakan ini berasal dari alam. Mereka membeli buaya waktu berukuran anakan dari pemburu; Kemudian anakan buaya dibesarkan di tempat ini. Setelah mencapai ukuran kulit komersial, buaya-buaya tersebut dipotong dan kulitnya dijual di pasaran dalam negri. Pada tanggal 22 Agustus 1996 kami berkunjung ke Kampung Kubu. Kampung ini termasuk ke dalam Kabupaten Pontianak. 1.a. Kampung Kubu Untuk menuju kampung Kubu, terlebih dahulu naik kendaraan air dari Rasau Jaya. Dari Rasau Jaya, kami menyewa “speed boat” 40 pk. Posisi koordinat Kampung Kubu adalah 00°29’34”S dan 109°22’37”E. Hasil wawancara dengan Bapak Katang seorang pemburu buaya dari Kampung Kubu terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Sinyulong : ciri mulut panjang (=T. schlegelii), 2. Rabin : mulut pendek (=C. porosus). Informasi mengenai sarang buaya, sarang berada di atas tanah dengan jumlah telur 40 butir. Waktu bertelur bulan Desember. Di daerah Kampung Kubu ini terdapat 3 orang penduduk yang memelihara buaya di dalam rumah, yaitu : i). Bapak Riduwansyah Memiliki 1 ekor buaya C. porosus berukuran sekitar 1 meter. Buaya ini ditangkap dari Sungai Kapuas Kubu. Buaya ditangkap dengan tangan waktu berukuran anakan; disimpan dalam kolam sudah sekitar 1,5 tahun. ii). Bapak Adi Memiliki 1 ekor buaya C. porosus berukuran sekitar 2 meter. Buaya ini ditangkap dengan tangan di Sungai Kapuas Kubu waktu berukuran anakan. Waktu tangkap adalah Februari 1996. iii). Bapak Lim Hang Liat Memiliki 23 ekor buaya C. porosus dan 2 ekor Sinyulong atau T. schlegelii. Kedua jenis buaya tersebut berasal dari Sungai Kapuas Kubu. Bapak Lim Hang Liat hanya sebagai penampung buaya yang diburu penduduk. Ciri-ciri yang unik dari C. porosus yang dimiliki Bapak Lim Hang Liat adalah jumlah sisik pos-oksipital. Empat ekor mempunyai 2 sisik pos-oksipital; 1 ekor mempunyai 3 sisik posoksipital; 2 ekor mempunyai 4 sisik pos-oksipital; dan 1 ekor mempunyai 1 sisik pos-oksipital. 2. Kabupaten Kapuas Hulu
Survai yang dilakukan di daerah ini berlangsung dari tanggal 14-21 Agustus 1996. Lokasi yang dikunjungi adalah Putussibau, Sungai Sibau, Sungai Kapuas beserta danaunya dan Sungai Bika. Kegiatan yang dilakukan adalah wawancara dengan penduduk dari beberapa kampung yang dilewati, melakukan survai buaya dengan metode “night count” di malam hari, melihat 15
kondisi habitat buaya, memeriksa buaya milik penduduk yang biasanya disimpan dalam keramba ikan dan mengambil sampel jaringan untuk analisa DNA. Kegiatan secara rinci di daerah Kabupaten Kapuas Hulu adalah sebagai berikut : 2.1. Putussibau
Putussibau terletak pada koordinat 00°03’55”S dan 109°21’39”E. Kegiatan di lokasi ini adalah mendapatkan informasi dari penduduk mengenai berapa jenis atau macam buaya yang terdapat di sekitar Putussibau, waktu dan lokasi sarang buaya serta jumlah telur yang pernah mereka dapat; mencari buaya yang disimpan oleh penduduk, serta melakukan survai pada malam hari. Salah seorang penduduk di Kampung Prajurit, Putussibau mempunyai 1 ekor buaya. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : Pemilik : Bapak Katur Jenis : Buaya Julung atau T. schlegelii Asal : Sungai Kapuas Panjang total : ± 2 meter Ditangkap karena masuk pukat ikan sewaktu berumur anakan. Buaya ini berada dalam pemeliharaan Bapak Katur sudah berjalan 2 tahun. Dari daerah ini tidak didapat informasi yang jelas berapa jenis buaya yang terdapat disekitar Putussibau, dan juga penduduk tidak banyak mengetahui sarang buaya. Hasil survai buaya dengan metode “night count” di Sungai Kapuas dekat Putussibau yang berlangsung dari pukul 20.00 sampai pukul 21.30 tidak dijumpai adanya buaya. Lokasi daerah yang disurvai terletak disekitar koordinat 00°51’10”N dan 112°51’48”E. 2.2. Sungai Sibau
Survai di sungai ini berlangsung pada tanggal 15-16 Agustus 1996. Keadaan habitat sepanjang Sungai Sibau hutannya sudah tidak bagus; sebagian areal dibakar dan sebagian besar sudah menjadi ladang. Arus sungai agak cepat dibandingkan Sungai Kapuas terlebih lagi bila musim kemarau; warna air coklat muda. Waktu kami tiba pada hari pertama, level air dalam posisi rendah. Level air seperti ini sangat baik untuk menghitung buaya pada malam hari. Tetapi kami mendapat kesulitan lain karena dalam level air yang rendah semua benda yang terdapat di dasar sungai seperti kayu atau batu muncul, sehingga untuk survai pada malam hari perlu ekstra hati-hati. Selama survai di Sungai Sibau dan sungai lainnya di daerah Kapuas Hulu, perahu yang kami gunakan adalah jenis kelotok dengan motor tempel 15 pk. Kampung yang dilewati atau didatangi di sepanjang Sungai Sibau adalah : a. Kampung Mupa b. Kampung Sibau Hilir 2.2.c. Kampung Bukit Nibung Di kampung Bukit Nibung kami singgah untuk mendapatkan informasi dari penduduk. Menurut informasi kampung ini dahulu adalah tempat orang berburu buaya. d. Kampung Sungai Limau 2.2.e. Kampung Tanjung Lasa atau Tanjung Lesur Posisi koordinat kampung ini adalah 00°58’55”N dan 112°57’05”E. Di sini kami berhenti untuk mendapatkan informasi dari penduduk setempat. Dari hasil wawancara terdapat 4 jenis buaya di sekitar kampung ini, yaitu : 1. Buaya : ciri mempunyai mulut panjang (= T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mempunyai mulut bulat (=C. porosusu). 3. Buaya Katak : ciri badan berwarna hitam, mulut pendek (=Crocodylus ?). 4. Buaya Ikan : ciri bermulut panjang, badan warna putih (?). 16
Salah seorang penduduk pernah mendapatkan sarang buaya. Sarang tersebut terletak di atas tanah; bertelur antara bulan 7 sampai 8 (Juli-Agustus), menetas bulan 9 (September); jumlah telur yang pernah ditemukan 40 butir dan 70-80 butir; lokasi sarang yang biasa ditemukan adalah Sungai Mopuri dan Pangkalan Jabun. Dua minggu sebelum kedatangan kami, salah seorang penduduk mendapatkan sarang di Pangkalan Jabun. Kami mengalami kesulitan pada orang tersebut waktu meminta dia untuk mengantarkan kami ke lokasi sarang buaya yang dia lihat dua minggu yang lalu. alasan dia menolak karena sedang punya urusan keluarga. Akhirnya temannya mau mengantarkan ke lokasi sarang buaya, tetapi pada tempat berbeda. Lokasi sarang buaya yang dia tunjukkan terletak pada koordinat 01°04’39”N dan 113°02’00”E. Sarang tersebut sudah hancur (sukar mengidentifikasi macam tanaman yang dipakai sebagai bahan sarang); terletak pada dataran yang agak membukit dengan sungai berair deras dan berbatu. Dengan kondisi sarang seperti ini, untuk percaya bahwa yang dia tunjukkan adalah sarang buaya masih merupakan tanda tanya besar. 2.2.f. Kampung Putan Posisi koordinat kampung ini adalah 01°02’43”N dan 112°59’43”E. Di sini kami singgah untuk mendapat informasi. Hasil wawancara terdapat 4 jenis buaya di daerah ini dengan ciri-ciri masing-masing buaya sama dengan yang digambarkan penduduk di Kampung Tanjung Lesur. Malam hari tanggal 16 Agustus 1996, kami melakukan penghitungan buaya dengan metode “night count” di Sungai Sibau, mulai dari Kampung Putan sampai Putussibau. Penghitungan ini berlangsung selama lebih kurang 3 jam, berlangsung dari pukul 19.15 sampai pukul 22.11 WIB dengan kondisi cuaca kurang menguntungkan (gerimis sampai hujan deras dan banyak kilat). Dari survai ini tidak dijumpai adanya buaya. 2.3. Sungai Kapuas
Survai di sepanjang sungai ini berlangsung pada tanggal 18-20 Agustus 1996, meliputi Sungai Kapuas ke arah muara dan ke arah hilir dari Putussibau. Perjalanan ke arah muara dengan kondisi habitat dan kampung yang dilewati atau disinggahi untuk mendapat informasi diuraikan di bawah ini. Kondisi habitat Sungai Kapuas ke arah muara, hutan dapat dikatakan sudah tidak ada, hampir seluruh tepi sungai merupakan ladang. Arus air sungai tidak cepat, dengan warna air coklat muda sampai coklat tua. Kampung yang dilewati dan disinggahi serta informasi yang didapat adalah sebagai berikut: a. Kampung Sungai Hulu 2.3.b. Kampung Jaras Di kampung Jaras kami singgah untuk mendapat informasi. Posisi koordinat kampung ini 00°50’57”N dan 112°52’22”E. Menurut penduduk terdapat 3 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Ikan 2. Rabin Kedua macam buaya ini mirip, sama-sama mempunyai mulut pendek, hanya Buaya Ikan mempunyai kepala lebih besar dibandingkan Rabin. 3. Buaya jinjulong : ciri mempunyai mulut panjang (=T. schlegelii). c. Kampung Ujung Pinang d. Kampung Bika Hulu e. Kampung Bika Pastur f. Kampung Nanga Mandai g. Kampung Patih Sandung 2.3.h. Kampung Ujung Bayur 17
Di Kampung Ujung Bayur terdapat 1 ekor buaya T. schlegelii yang sudah 3 tahun dalam keramba ikan. Asal dari buaya tersebut adalah Sungai Suai (termasuk sistem Sungai Kapuas). Panjang total adalah 126 cm. Dari buaya ini diambil sampel sisik untuk analisa DNA. Posisi koordinat Kampung Ujung Bayur 00°50’10”N dan 112°43’44”E. 2.3.I. Kampung Giri Nangka Di Kampung Giri Nangka kami singgah. Di sini terdapat 1 ekor buaya T. schlegelii yang sudah dikuliti (tetapi sebagian kulit rusak). Buaya ini ditangkap dari Sungai Seloan (termasuk sisten Sungai Kapuas). Masih berukuran anakan dengan panjang moncong 22,5 cm. j. Kampung Nanga Suai 2.3.k. Kampung Nanga Embaloh Di Kampung Nanga Embaloh kami singgah untuk mendapatkan informasi dari penduduk setempat. Kampung ini terletak pada koordinat 00°49’52”N dan 112°36’06”E. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di sekitar kampung ini, yaitu : 1. Buaya : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut pendek dan bulat(=C. porosus). Salah seorang penduduk bernama Ibu Dewi menyimpan 1 tengkorak T. schlegelii. Data dari tengkorak tersebut adalah sebagai berikut : Asal : Danau Laub (termasuk sistem Sungai Kapuas) Panjang moncong : 52 cm Panjang kepala : 63 cm Lebar kepala : 18 cm Panjang mata-moncong : 39,5 cm Lebar oksipital : 11,5 cm interorbital : 3 cm Tengkorak ini sudah disimpan selama lebih kurang 10 tahun. 2.3.l. Danau Sembinang Posisi koordinat Danau Sembinang 00°51’48”N dan 112°37’45”E. Danau ini dekat dengan Kampung Nanga Embaloh. Menurut informasi dari penduduk di Kampung Nanga Embaloh, di Danau Sembinang terdapat buaya dalam keramba ikan. Jalur menuju danau ini adalah sebagai berikut : Dari Sungai Kapuas pertama kali masuk ke Sungai Tembuan, kemudian masuk ke Danau Tembuan (posisi koordinat 00°52’10”N dan 112°37’00”E), lalu masuk Danau Sembinang. Di dalam Danau Sembinang terdapat Kampung Sembinang. Bapak Idi dari kampung ini mempunyai seekor buaya T. schlegelii. Data mengenai buaya tersebut : Asal : Danau Sembinang Panjang total : ± 168 cm Diambil waktu ukuran anakan karena masuk dalam jaring. Disimpan dalam keramba sekitar 3 tahun. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di danau ini, yaitu : 1. Buaya : ciri mulut panjang, hidup di danau (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut pendek dan bulat, hidup di sungai (=C. porosus). Habitat Danau Sembinang tepi danau ditumbuhi tumbuhan herba dan pohon pada bagian belakang. Di bagian muara sungai menuju Danau Sembinang dan juga di dalam danau terdapat banyak pukat ikan. Warna air sungai dan danau coklat tua. Dari Kampung Nanga Embaloh perjalanan dilanjutkan ke Kampung Nanga Bunut. Kampung yang dilewati selama perjalanan adalah : m. Kampung Tembang n. Kampung Ujung Pandang 2.3.o. Kampung Nanga Bunut 18
Di kampung Nanga Bunut kami singgah dan bermalam. Posisi koordinat kampung ini adalah 00°46’48”N dan 112°30’03”E. Di daerah ini kami melakukan survai untuk penghitungan buaya dengan metode “night count” di Danau Termabas, danau dekat Kampung Nanga Bunut. 2.3.p. Danau Termabas Posisi koordinat Danau Termabas 00°46’23”N dan 112°32’46”E. Waktu survai berlangsung selama lebih kurang 2 jam, mulai dari pukul 20.47 sampai pukul 22.55 WIB. Hasil dari survai tidak dijumpai buaya. Kondisi alam waktu dilakukan survai kurang baik, karena ada sedikit kilat dan gerimis. Habitat Danau Termabas tepinya ditumbuhi herba dan pohon. Di dalam perairannya terdapat banyak pukat ikan dan tumbuhan air. Dari Kampung Nanga Bunut perjalanan dilanjutkan ke Kampung Teluk Aor. Kampung yang dilewati adalah : q. Kampung Penyeluang 2.3.r. Kampung Teluk Aor Di kampung Teluk Aor kami singgah untuk mendapat informasi. Posisi koordinat kampung ini adalah 00°46’11”N dan 112°25’56”E. Penduduk yang kami wawancarai adalah Ibu Aminah, anak dari seorang pemburu buaya pada masa lalu. Di daerah ini terdapat 3 macam buaya, yaitu: 1. Buaya : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut pendek (=C. porosus). 3. Rabin Pakatak : ciri mulut lebih pendek dari Rabin dan sangat jarang (=Crocodylus sp ). Kedua macam Rabin ini hidup di tempat yang sama. Menurut Ibu Aminah, waktu bersarang buaya bulan 7-8 (Juli-Agustus), pada akhir bulan 9 (September) telur menetas. Waktu bersarang Buaya dan Rabin sama. Tempat bersarang Buaya di atas tanah daerah tepi sungai, jumlah telur dalam satu sarang antara 36-40 butir. Lokasi dekat Kampung Teluk Aor ini yang biasa tempat buaya bertelur adalah Danau Pengelam. Untuk Rabin biasanya bertelur di atas rumput mengapung, jumlah telur dalam 1 sarang antara 70-80 butir. Lokasi tempat biasa Rabin bersarang adalah Danau Sarai (danau ini tidak permanen). Ibu Aminah menyimpan 2 tengkorak Buaya atau T. schlegelii; satu berukuran kecil diambil sekitar 5 tahun yang lalu, dan satu lagi berukuran besar yang diambil sekitar 20 tahun yang lalu. Data ukuran 2 tengkorak tersebut adalah sebagai berikut : a. Tengkorak ukuran kecil : Asal : Sungai Kapuas Panjang moncong : 58,5 cm Panjang maksimum kepala : 63 cm Lebar kepala : 23,5 cm Lebar oksipital : 13,7 cm Interorbital : 3,5 cm Mata sampai moncong : 43,5 cm b. Tengkorak ukuran besar : Asal Panjang moncong Panjang maksimum kepala Lebar oksipital Interorbital Mata sampai moncong
: Sungai Kapuas : 83 cm : 91 cm : 20 cm : 4,5 cm : 62 cm
Setelah dari Kampung Teluk Aor, kami melanjutkan perjalanan ke Danau Pengelang, karena menurut informasi merupakan habitat buaya. 19
2.3.s. Danau Pengelang Danau ini terletak pada posisi koordinat 00°45’49”N dan 112°25’20”E. Habitat danau ini pada tepinya ditumbuhi herba, kemudian pohon pada bagian belakang sampai jauh ke daratan; pada bagian latar belakang menjulang Bukit Jaung. Di dalam terdapat Kampung Penyeluang yang dihuni suku Dayak dan Melayu. Sebagian besar tepi danau dipasang pukat ikan. Untuk habitat buaya dengan kondisi seperti ini kecil kemungkinan dijumpai buaya. Perjalanan selanjutnya kami kembali Ke Kampung Nanga Bunut untuk masuk ke dalam Danau Siawan. 2.3.t. Danau Siawan Danau ini terletak pada posisi koordinat 00°47’07”N dan 112°39’20”E. Sebelum masuk ke Danau Siawan terlebih dahulu kami singgah di Kampung Nanga Siawan untuk mendapatkan informasi dari penduduk. Di daerah ini terdapat 2 macam buaya, yaitu : 1. Rabin atau Buaya Katak : ciri mulut pendek (=C. porosus). 2. Buaya : mulut panjang (=T. schlegelii) Dari Kampung Nanga Siawan, kami menuju Danau Siawan dengan menggunakan “speed boat” 40 pk. Kampung yang disinggahi di dalam perjalanan menuju Danau Siawan adalah Kampung Danau Puntu (kampung dekat Danau Siawan). Informasi dari penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di Danau Siawan, yaitu : 1. Rabin atau Buaya Katak : ciri mulut pendek (=C. porosus). 2. Buaya : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). Habitat Danau Siawan pada bagian tepinya ditumbuhi herba yang kemudian disusul pohon pada bagian belakang. Di dalam danau ini tidak terdapat kampung. Di bagian tepi dan tengah danau terdapat pukat ikan. Danau ini merupakan tempat sebagian besar penduduk Kampung Danau Puntu mencari penghidupan dari ikan. Perjalanan selanjutnya adalah dari Putussibau ke arah hulu Sungai Kapuas. Kampung yang disinggahi adalah : 2.3.u. Kampung Malapi I Kampung Malapi I kami singgah. Kampung ini dihuni oleh Suku Dayak Taman Kapuas. Penduduk di sini tidak tahu tentang buaya. Posisi koordinat kampung Malapi I adalah 00°49’14”N dan 112°58’33”E. 2.3.v. Kampung Malapi V Kampung ini juga dihuni oleh Suku Dayak Taman Kapuas. Hasil wawancara dari penduduk terdapat satu macam buaya di daerah ini, yaitu : Buaya, dengan ciri mulut panjang (=T. schlegelii). Posisi koordinan Kampung Malapi V adalah 00°48’33”N dan 112°59’12”E. 2.3.W. Kampung Tambai Penghuni kampung ini juga Suku Dayak Taman. Di sini kami mendapat informasi dari Bapak Sampe Tadung yang merupakan kepala desa kampung ini. Bapak Sampe Tadung adalah seorang pemburu buaya. Dahulu Bapak Sampe menjual kulit buaya ke Malaysia. Hasil wawancara terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Ikan : ciri mempunyai mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut bulat (=C. porosus). Rabin pada waktu ini sering terlihat di Sungai Kapuas satu kali seminggu. Sarang buaya yang pernah didapat oleh Bapak Sampe terletak di atas tanah, dengan jumlah telur 60-70 butir. Waktu bertelur adalah bulan 7 (juli). Perjalanan selanjutnya adalah mengunjungi Danau Bika dan Danau Jaras. Kampung yang disinggahi adalah : 20
2.3.x. Kampung Bika Padi Di Kamping Bika Padi kami singgah. Posisi koordinat Kampung ini adalah 00°49’13”N dan 112°50’11”E. Di kampung ini terdapat satu ekor T. schlegelii yang dipelihara penduduk dalam keramba ikan. Data mengenai buaya tersebut adalah : Panjang total : 112 cm Panjang badan : 59 cm Jenis kelamin : jantan Asal : Sungai Kapuas Dari buaya ini diambil sampel sisik ekor untuk analisa DNA. Buaya ini tertangkap dalam bubu waktu berukuran anakan, berada dalam keramba ikan sekitar 1 tahun 8 bulan. Hasil wawancara dengan penduduk terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut pendek (=C. porosus). Buaya Rabin sekarang sukar dicari. 2.3.y. Danau Bika Sungai untuk menuju Danau Bika adalah Sungai Bika. Habitat Sungai Bika dan Danau Bika tepinya ditumbuhi herba dan disusul pohon pada bagian belakang; terdapat juga sedikit tanaman herba pada bagian tengah Danau Bika. Warna air hitam. Tidak terdapat kampung di sepanjang sungai atau di dalam Danau Bika, hanya terdapat “camp” pencari ikan. Posisi koordinat Danau Bika adalah 00°48’32”N dan 112°49’16”E. Hasil wawancara dengan penghuni “camp” di dalam Danau Bika terdapat 4 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Jinjulung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Rabin : ciri mulut pendek, tubuh warna hitam (=C. porosus). 3. Buaya Katak : ciri seperti Rabin, hanya badan lebih pendek, warna tubuh hitam (=Crocodylus sp). 4. Buaya Ikan : ciri mulut lebih panjang dari Buaya Katak, tubuh lebih kecil dari Buaya Katak, warna tubuh putih (?). Buaya ini sukar dicari. Buaya Jinjulung masih sering dijumpai di Danau Bika. Buaya ini sering masuk dalam pukat ikan. Informasi mengenai sarang buaya yang pernah didapat adalah sarang di atas tanah; jumlah telur 40 butir; musim bersarang bulan 5 (Bulan Mei), lalu telur menetas sebulan kemudian. tempat bersarang Jinjulung dan Rabin sama, yaitu di atas tanah; begitu pula jumlah telur mereka sama. 2.3.z. Danau Jaras Danau ini terletak pada posisi koordinat 00°52’07”N dan 112°52’09”E. Keadaan habitat muara sungai dan Danau Jaras tepinya ditumbuhi herba dan pohon pada bagian belakangnya; warna air hitam; di dalam danau tidak terdapat kampung, hanya banyak dipasang pukat ikan. Sebagian besar hutan di tepi muara sungai yang menuju Danau Jaras sudah dibakar untuk ladang. Danau Jaras bersifat permanen, tetapi pada musim kemarau sungai yang menuju ke danau ini kering. Pada waktu kami datang di dalam Danau Jaras terdapat 2 orang yang sedang mengambil pukat ikan. Hasil wawancara dengan orang tersebut terdapat 2 macam buaya di Danau Jaras, yaitu : 1. Buaya Ikan : ciri warna putih sedikit merah, mulut panjang (?). 2. Rabin Pakatak : moncong lebih pendek dari Rabin, warna tubuh hitam, biasanya hanya terdapat di danau (?). Mereka juga mengenal Rabin. Menurut mereka Rabin hanya terdapat di dalam sungai, tidak pernah berada di danau. Pada bulan Juni sampai Juli 1996 kedua orang ini mendapat 2 ekor 21
Buaya Pakatak di Danau Jaras, karena masuk ke dalam jaring ikan. Ukuran buaya tersebut sekitar 1 meter. Kedua ekor buaya tersebut kemudian dilepas. Informasi mengenai sarang buaya adalah sebagai berikut : sarang buaya berada di atas tanah dengan jumlah telur 30-40 butir untuk buaya berukuran besar; sedangkan buaya ukuran kecil sekitar 8 butir. Waktu bersarang pada bulan 4 dan 5 (April dan Mei). Sifat ini terjadi pada Buaya Ikan maupun Buaya Pakatak. Dari Kabupaten Kapuas Hulu perjalanan dilanjutkan menuju Kabupaten Ketapang. Survai di daerah ini berlangsung pada tanggal 24-31 Agustus 1996. Metode kerja yang dilakukan tidak berbeda dengan yang telah dilakukan di Kabupaten Kapuas Hulu. Uraian kegiatan adalah sebagai berikut : 3. Kabupaten Ketapang
Di kabupaten ini kami datang pertama di Kota Ketapang untuk melapor diri. Lokasi yang dikunjungi adalah Sungai Pawan dan Cagar Alam Muara Kendawangan. Urutan kegiatan berdasarkan waktu kunjungan adalah sebagai berikut : 3.1. Sungai Pawan
Kondisi habitat sepanjang Sungai Pawan yang dilewati bagian tepinya ditumbuhi tanaman : 1. Bakung atau Hanguana malayana pada sebagian kecil tepi sungai. 2. Rumput Teki dengan bunga warna hitam tumbuh di sela-sela Bakung atau pada sebagian kecil tepi sungai. 3. Pohon yang tumbuh hampir di sepanjang sungai. 4. Enceng Gondok yang tumbuh hampir disepanjang tepi sungai. Di sepanjang Sungai Pawan banyak terdapat tempat pemotongan kayu dari hasil penebangan liar penduduk sepanjang sungai. Kampung yang disinggahi selama survai di Sungai Pawan adalah : 3.1.a. Kampung Tanjung Pasar Kampung ini terletak pada posisi koordinat 01°49’39”S dan 110°06’03”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat hanya terdapat 1 macam buaya di daerah ini, yaitu : Sinyulong dengan ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 3.1.b. Kampung Sigedung Kampung ini terletak pada posisi koordinat 01°48’31”S dan 110°09’49”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Sinyulong : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut pendek (=Crocodylus sp). Dekat Kampung Sigedung terdapat Danau Pelabuhan Gending. Menurut informasi di danau ini banyak terdapat Buaya Katak. Penduduk di Kampung Sigedung ini tidak ada yang mau berburu buaya di danau tersebut, karena mereka menganggap Danau Pelabuhan Gending merupakan danau keramat. Hasil penghitungan buaya dengan metode “night count” sepanjang Sungai Pawan yang berawal dari Kampung Sigedung sampai Ketapang tidak dijumpai adanya buaya. 3.2. Cagar Alam Muara Kendawangan
Survai di daerah Cagar Alam Muara Kendawangan berlangsung dari tanggal 27-30 Agustus 1996. Selama survai kami ditemani Bapak S. Simanjuntak sebagai kepala sub Balai KSDA Ketapang. Lokasi yang disinggahi dan disurvai adalah sebagai berikut : 3.2.1. Kota Kecamatan Kendawangan
Posisi koordinat lokasi ini adalah 02°31’38”S dan 110°12’36”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak atau Buaya Muara : ciri mulut pendek (=C. porosus). 22
2. Sinyulong
: ciri mulut panjang (=T. schlegelii).
Salah seorang penduduk menyimpan 1 tengkorak C. porosus; diperkirakan buaya tersebut berumur sekitar 3 tahun. Kondisi tengkorak tersebut sudah tidak baik, karena persendian tulang kepala sudah mulai lepas. Informasi mengenai sarang buaya tidak diperoleh jawaban yang memuaskan, karena penduduk di daerah ini belum pernah melihat sarang buaya, mereka hanya mendengar cerita sarang buaya dari penduduk kampung lain. 3.2.2. Sungai Membuluh
Sungai Membuluh sungai yang terletak pada daerah perbatasan antara daerah cagar alam dan daerah bukan cagar alam (buffer zone). Keadaan habitat sungai ini pada bagian tepinya ditumbuhi pohon Bakau dan Nipah pada daerah aliran sungai yang dipengaruhi oleh pasang dan surut air laut. Kondisi hutan sepanjang Sungai Membuluh sampai ke Pelabuhan Belangiran sudah dalam keadaan kritis, karena banyak penebang kayu liar datang ke daerah ini. Kampung yang disinggahi selama survai adalah : 3.2.2.a. Kampung Mangkul Kampung ini terletak pada posisi koordinat 02°33’19”S dan 110°15’50”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak atau Muara : ciri mulut pendek (=C. porosus). 2. Sinyulong : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). Informasi mengenai sarang buaya seperti informasi yang didapat di Kendawangan. 3.2.3. Sungai Belaban
Sungai ini merupakan cabang dari Sungai Membuluh. Daerah percabangan terletak pada posisi koordinat 02°27’45”S dan 110°26’46”E. Kondisi habitat sepanjang Sungai Belaban tidak jauh berbeda dengan Sungai Membuluh. Di daerah ini kami singgah di “camp” penebang kayu liar untuk mendapat informasi. Hasil wawancara hanya terdapat 1 macam buaya di sungai ini, yaitu Sinyulong yang bermulut panjang (=T. schlegelii). Mengenai sarang buaya, kelompok orang tersebut tidak pernah melihat sarang buaya, karena mereka kaum pendatang dari kampung lain yang letaknya jauh dari Sungai Belaban. Perjalanan kemudian dilanjutkan sampai Pelabuhan Belangiran. Letak posisi koordinat Pelabuhan Belangiran adalah 02°23’03”S dan 110°30’37”E. Dari Pelabuhan Belangiran ini kami melakukan penghitungan buaya dengan metode “night count” sampai ke mulut Sungai Membuluh. Penghitungan ini dimulai dari Pelabuhan Belangiran pada pukul 2.30 pagi sampai pukul 5.57 pagi di lokasi transmigrasi NB II. Hasil dari survai ini tidak terlihat adanya buaya di sepanjang sungai tersebut. 3.2.4. Sungai Simbar
Daerah mulut Sungai Simbar terletak pada posisi 02°44’53”S dan 110°14’05”E. Keadaan habitat sungai ini juga serupa dengan Sungai Membuluh dan Sungai Belaban, hanya warna airnya pada bagian mulut sungai berwarna hijau muda, kemudian dilanjutkan hijau tua, lalu hitam pada bagian hulu sungai. Di tempat ini sebagian besar pencuri kayu datang dengan kapal besar, dan beberapa kelompok membuat “camp” sementara di tepi sungai. Hasil wawancara dengan pekerja kayu tersebut terdapat 2 macam buaya di sungai ini, yaitu : 1. Buaya Katak atau Muara : ciri mulut pendek (=C. porosus). 2. Sinyulong : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). Perjalanan di Sungai Simbar tidak dapat mencapai hulu, karena sungai yang menuju ke hulu banyak dirintangi kayu oleh para pencuri kayu agar petugas kehutanan tidak dapat masuk ke daerah hulu. Akhirnya kami singgah terakhir di tempat pekerja kayu pada posisi koordinat 23
02°43’03”S dan 110°17’37”E. Hasil wawancara sama dengan kelompok pekerja kayu lainnya, yaitu terdapat 2 macam buaya di sungai ini : Buaya Katak atau Muara dan Sinyulong. Informasi mengenai sarang buaya tidak ada, karena mereka adalah kelompok pendatang dari suatu daerah di Sulawesi. Di Sungai Simbar kami tidak melakukan penghitungan buaya secara serius dengan metode “night count”, karena pada waktu ini bulan bersinar terang. Laporan perjalanan selanjutnya adalah kegiatan di Propinsi Kalimantan Tengah dan daerah perbatasan antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat. Perjalanan di daerah ini berlangsung pada tanggal 17-31 Juli 1996; kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 1-17 September 1996. Personil yang terlibat adalah Jack Cox dan Hellen Kurniati. Cara kerja yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan cara kerja yang dilakukan di propinsi lainnya di Kalimantan. Kegiatan yang dilakukan selama di Propinsi Kalimantan Tengah diuraikan secara rinci di bawah ini berdasarkan waktu kunjungan.
PROPINSI KALIMANTAN TENGAH Propinsi Kalimantan Tengah menjadi prioritas pertama dalam Fase II, karena berdasarkan informasi dari 2 ekor buaya raninus group yang terdapat di Banjar Baru berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Sungai-sungai yang intensif disurvai di Kalimantan Tengah adalah sungai-sungai dekat atau sekitar Pangkalan Bun. Sistem sungai yang disurvai adalah Sungai Arut, Sungai Lamandau dan Sungai Jelai di daerah perbatasan dengan Kalimantan Barat. Uraian kegiatan di Propinsi Kalimantan Tengah dimulai dari ibu kota propinsi adalah sebagai berikut : 1. Kota Palangkaraya
Di kota ini kami mengunjungi Taman Wisata Bukit Tangkiling (sekitar 35 km dari Palangkaraya) dengan ditemani Bapak Constan Sorondanya kepala sub KSDA Palangkaraya. Di lokasi wisata ini terdapat 5 ekor T. schlegelii yang dikurung di dalam kandang menyerupai habitat aslinya. Dua ekor betina dewasa di kandang ini sudah bertelur dua kali, tetapi telur-telur tersebut tidak pernah menetas. Faktor penyebabnya kemungkinan besar bahan baku pembuat sarang tidak cukup. Waktu bertelur buaya tersebut antara bulan Juli sampai Agustus, dan menetas bulan Oktober. 2. Kota Pangkalan Bun
Kota ini terletak pada posisi koordinat 02°40’09”S dan 111°38’11”E. Sungai yang mengalir melewati Pangkalan Bun adalah Sungai Arut. Menurut informasi penduduk setempat di Sungai Arut terdapat banyak buaya, hanya berapa jenis buaya yang terdapat di sungai tersebut tidak diketahui dengan pasti. 3. Sungai Arut
Survai pertama yang dilakukan di Propinsi Kalimantan Tengah adalah sistem Sungai Arut. Survai di daerah ini berlangsung dua kali. Survai pertama kali berlangsung pada tanggal 20-23 Juli 1996, kemudian dilanjutkan kembali pada tanggal 4-5 September 1996. Kedatangan pada survai kedua hanya untuk menepati janji kepada penduduk di beberapa kampung yang telah berjanji kepada kami untuk menangkap Buaya Kodok dan menunjukkan lokasi sarang buaya. Keadaan umum habitat Sungai Arut bagian tepi sungai merupakan hutan hujan tropis dengan tanah berpasir. Sebagian besar tepi sungai ini sudah menjadi ladang atau dibakar untuk persiapan ladang berikutnya. Kampung yang dilewati dan disinggahi selama survai pertama di Sungai Arut adalah sebagai berikut : a. Kampung Medang b. Kampung Tonam 24
c. Kampung Randa d. Kampung Kenambui e. Kampung Runtu f. Kampung Batang Pagar 3.g. Kampung Umpang Di Kampung Umpang kami singgah untuk mendapatkan informasi buaya dari penduduk setempat. Kampung ini terletak pada posisi koordinat 02°14’17”S dan 111°47’05”E. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Julung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Kodok : ciri mulut bulat, warna tubuh hitam (=Crocodylus). Buaya kodok sukar didapat; yang biasa sering dijumpai berjemur diri di pagi hari pada musim kemarau adalah Buaya Julung. Informasi mengenai sarang buaya yang pernah mereka temukan adalah sarang di atas tanah tidak jauh dari sungai; jumlah telur sekitar 30 butir; sarang biasanya ditemukan pada musim kemarau. Di Kampung Umpang terdapat seorang penduduk yang menyimpan sebutir telur buaya. telur tersebut kemungkinan besar dari buaya jenis T. schlegelii. Ukuran telur tersebut adalah 6 x 10 cm. Di Kampung Umpang seorang penduduk berjanji untuk menunjukkan lokasi sarang buaya pada kedatangan kami berikutnya pada bulan September 1996. Setelah kami datang kembali pada tanggal 4 September 1996, penduduk yang berjanji tersebut belum mencari sarang buaya dengan alasan sungai masih dalam keadaan banjir. Bila kondisi banjir sukar untuk mencari sarang buaya, karena sarang tersebut sudah terendam air. 3.h. Kampung Nangamua Di kampung ini kami singgah untuk menemui Bapak Aswad Jafar, kepala desa Kampung Nangamua. Posisi koordinat Kampung ini adalah 02°13’15”S dan 111°49’31”E. Hasil wawancara dengan Bapak Aswad terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya julung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Kodok : ciri mulut bulat dan pendek, tubuh warna hitam (=Crocodylus). Buaya Kodok sukar didapat pada saat ini, karena buaya ini banyak diburu masyarakat untuk diambil kulitnya. Informasi sarang buaya tidak ada, karena Bapak Aswad belum pernah melihat sarang buaya. 3.I. Kampung Pangkut Di kampung ini kami singgah untuk mendapatkan informasi dari penduduk. Posisi koordinat Kampung Pangkut adalah 02°11’11”S dan 111°55’09”E. Hasil wawancara dengan Bapak Lurah Kampung Pangkut terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Julung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Kodok : ciri mulut pendek, warna tubuh hitam (=Crocodylus). Informasi sarang buaya adalah sebagai berikut : sarang di atas tanah tidak jauh dari sungai, jumlah telur sekitar 30 butir, bersarang biasanya pada musim panas. Bapak lurah ini mempunyai 1 tengkorak T. schlegelii. Data ukuran dari tengkorak tersebut adalah sebagai berikut : Asal : Sungai Arut Panjang total kepala : 94,8 cm Lebar kepala : 35,7 cm Interorbital : 3,6 cm Lebar oksipital : 74,9 cm Jenis kelamin : jantan (menurut Bapak lurah) 25
3.j. Kampung Pendulangan Kuala Kampung ini terletak di mulut Sungai Arut, dengan posisi koordinat 02°52’17”S dan 111°27’25”E. Kedatangan kami ke kampung ini untuk menemui Bapak Jamain. Bapak ini adalah seorang pemburu buaya yang biasa mengirim hasil buruannya tersebut ke CV Gunung Mas di Banjarmasin. Menurut Bapak Jamain, di daerah Pangkalan Bun sampai ke perbatasan dengan Kalimantan Barat terdapat 4 jenis buaya, yaitu : 1. Buaya Toman : hidup di laut (=C. porosus). 2. Buaya kodok atau Katak : hidup di air tawar, punggung warna hitam, perut warna putih (=C. siamensis). 3. Buaya Sapit : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 4. Buaya Salak : hidup di air tawar, warna punggung abu-abu, perut warna kuning. Disebut juga Buaya Putih (?). Buaya Kodok, Buaya Sapit dan Buaya Salak hidup di air tawar daerah pedalaman. Antara Buaya Kodok dan Buaya Toman dapat hidup bersama-sama di suatu perairan. 4. Sungai Sulung
Sungai Sulung termasuk dalam sistem Sungai Arut. Jalan masuk Sungai Sulung tidak jauh dari Kampung Runtu. Keadaan habitat Sungai Sulung bagian tepinya ditumbuhi herba (sedikit pohon), beberapa tepi sungai ditumbuhi Rumput Teki diselingi sedikit tanaman Bakung. Pada sebagian kecil daerah tengah sungai tumbuh tanaman herba. Di dalam Sungai Sulung terdapat 2 kampung. Pada kunjungan pertama kami hanya singgah di Kampung Sulung-Kenamboi; sedangkan pada kunjungan kedua kami singgah di kampung tersebut dan Kampung Pulau. Kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 4.a. Kampung Sulung-Kenamboi Kampung ini terletak pada posisi koordinat 02°21’06”S dan 111°37’56”E. Pada kunjungan pertama pada tanggal 21 juli 1996, informasi yang didapat dari penduduk setempat terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri mulut bulat, tubuh warna hitam (=Crocodylus). 2. Buaya Sapit : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 3. Buaya Toman : ciri mulut lebih pendek dari Buaya Katak (?). Informasi mengenai sarang buaya yaitu: sarang di atas tanah; jumlah telur sekitar 30 butir; musim bertelur adalah musim kemarau. Seorang penduduk di Kampung Sulung-Kenamboi ini berjanji untuk menunjukkan sarang buaya pada kunjungan berikutnya. Pada tanggal 5 September 1996 kami kembali mengunjungi kampung ini untuk melihat sarang buaya yang telah dijanjikan. Hasil yang diperoleh ternyata orang tersebut belum mencari sarang buaya, karena kondisi sungai masih dalam keadaan banjir. Pada kondisi banjir, sarang akan susah ditemukan. 4.b. Kampung Pulau Di kampung ini kami singgah untuk mendapat informasi. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut pendek, tubuh warna hitam (=Crocodylus). Informasi mengenai sarang buaya tidak didapat dari kampung ini, karena penduduk di sini belum pernah melihat sarang buaya. 5. Sungai Sebingit
Sungai ini termasuk dalam sistem Sungai Arut. Habitat di daerah ini mencirikan habitat umum buaya. Tumbuhan yang terdapat di sepanjang sungai adalah : Bakung atau Hanguana malayana yang mendominasi sepanjang sungai; Pandanus sp dalam jumlah cukup banyak; 26
Rumput Teki yang hidup di antara Bakung atau mengelompok sendiri disepanjang tepi sungai dan pohon pada bagian daratan. Warna air sungai hitam. Di dalam sungai ini tidak terdapat perkampungan, hanya ada beberapa“camp”penebang kayu dan pencari ikan. Hasil wawancara dengan dua orang pencari ikan diperoleh jumlah jenis buaya yang berbeda di daerah ini. Wawancara dengan pencari ikan pertama menyebutkan ada 2 macam buaya, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri tubuh warna hitam dan pendek; mulut pendek (=Crocodylus). 2. Buaya Julung : ciri tubuh warna hitam, mulut panjang (=T. schlegelii). Buaya Katak sering timbul di sungai ini. Informasi mengenai sarang buaya kedua jenis buaya tersebut bersarang di atas tanah. Hasil wawancara dengan pencari ikan kedua menyebutkan terdapat 3 macam buaya di Sungai Sebingit, yaitu : 1. Jinjulung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Malang : ciri mulut lebih pendek dari Jinjulung, tubuh warna hitam (?). 3. Buaya Brengkatak : ciri badan pendek dan berwarna hitam (?). Informasi mengenai sarang buaya adalah sarang di atas tanah; bersarang musim kemarau; dan jumlah telur sekitar 30 butir. 6. Danau Seluluk
Danau Seluluk terletak di muara tempat percabangan antara Sungai Arut dengan Sungai Lamandau. Habitat danau ini seperti habitat buaya pada umumnya, yaitu sebagian besar tepi danau dan tengahnya ditumbuhi Bakung Hanguana malayana, Rumput Teki, dan sebagian kecil Pandanus sp. Warna air Danau Seluluk coklat tua. Di dalam danau ini terdapat beberapa “camp” orang pemelihara ikan. Hasil wawancara dengan penghuni “camp” tersebut terdapat 2 jenis buaya di Danau Seluluk, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Taman : ciri mulut bulat, warna tubuh mengikuti warna air (=C. porosus). Informasi sarang buaya tidak ada di Danau Seluluk, karena penghuni “camp” belum pernah melihat sarang buaya. 7. Sungai Lamandau
Sungai Lamandau adalah cabang besar dari Sungai Arut. Habitat di sungai ini tidak jauh berbeda dengan Sungai Arut. Survai di daerah sepanjang Sungai Lamandau beserta cabangcabangnya dilakukan pada tanggal 6-7 September 1996. Daerah dan kampung yang dilewati dan dikunjungi untuk mendapat informasi dari penduduk setempat adalah sebagai berikut : 7.a. Kotawaringin Informasi yang didapat dari daerah ini terdapat 2 jenis buaya, yaitu : 1. Buaya Julung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut tumpul (=Crocodylus). Informasi sarang buaya tidak ada, karena penduduk di sini belum pernah melihat sarang buaya. b. Kampung Lalang 7.c. Kampung Lungun Di kampung ini kami singgah. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri moncong pendek (=Crocodylus). 2. Buaya Malang : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). Informasi sarang buaya di dapat dari Bapak Sutarman. Hasil wawancara adalah sebagai berikut : sarang di atas tanah sekitar 10 meter jauhnya dari air; jumlah telur 25 butir; bersarang pada musim kemarau. Bapak Sutarman mendapat 1 sarang buaya tersebut lebih kurang 6 tahun yang lalu di Danau Batu Kotam. 27
7.d. Danau Gatal Danau Gatal letaknya tidak jauh dari Kampung Lungun. Jalan masuk ke danau ini disebut Sungai Danau Gatal. Sungai danau Gatal ini cukup panjang dan berliku-liku. Habitat di sepanjang Sungai Danau Gatal tepinya ditumbuhi herba dan pohon. sebagian dari hutan di tepi sungai telah dibakar untuk ladang. Di dalam Sungai Danau Gatal terdapat “camp” pencari ikan. Waktu kami datang ke sana “camp” tersebut kosong, karena semua penghuninya pergi ke kampung masing-masing. Setelah melewati sungai yang berliku-liku, kami masuk Danau Gatal. Kondisi habitat Danau Gatal tidak jauh berbeda dengan Sungai Danau Gatal, termasuk juga sebagian daerah hutan di tepi danau telah dibakar. e. Kampung Kondang 7.f. Kampung Batu Kotam Di Kampung Batu Kotam kami singgah untuk mendapat informasi dari penduduk. Hasil wawancara dengan beberapa orang penduduk ternyata penduduk di kampung ini tidak tahu ada berapa jenis buaya di daerah mereka. 7.g. Kampung Kujan Di Kampung Kujan kami singgah. Informasi yang di dapat dari penduduk terdapat 2 macam buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri mulut pendek, warna tubuh hitam (=Crocodylus). 2. Buaya Julung : ciri mulut panjang, warna tubuh kuning (=T. schlegelii). Tidak ada informasi mengenai sarang buaya, karena penduduk tidak pernah melihatnya. 7.h. Kampung Nanga Bulik Di Kampung Nanga Bulik kami singgah untuk mendapat informasi. Hasil wawancara terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Jinjulung : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut pendek (=Crocodylus). Informasi mengenai sarang buaya didapat dari Bapak Simpun yang berasal dari Kampung Nanga Kemujan, tetapi sekarang dia tinggal di Kampung Nanga Bulik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Simpun, di Kampung Nanga Kemujan terdapat 3 jenis buaya, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri tubuh warna kuning, mulut pendek (=Crocodylus). 2. Buaya Alang : ciri tubuh warna kuning, mulut lebih pendek sedikit dari Buaya Katak (?). 3. Jinjulung : ciri tubuh warna kuning, mulut panjang (=T. schlegelii). Bapak Simpun pada tahun 1981 dan 1982 mendapat sarang Buaya Alang. Informasinya adalah sebagai berikut : sarang di atas tanah, lebih kurang 10 meter dari air; jumlah telur 29-30 butir; waktu bertelur bulan Agustus; diameter sarang sekitar 3 meter. 7.i. Kampung Bunut Informasi yang didapat dari Kampung Bunut terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri mulut pendek, tubuh warna hitam (=Crocodylus). 2. Buaya Julung atau Malang : ciri mulut panjang, tubuh warna kuning (=T. schlegelii). Informasi tentang sarang buaya tidak ada dari kampung ini, karena penduduk di sini belum ada yang pernah mendapat atau melihatnya. 7.j. Kampung Mentajai Kampung Mentajai terletak di Sungai Bulik. Di kampung ini seorang penduduk bernama Ibu Aisah mempunyai seekor buaya T. schlegelii. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : Asal : Sungai Batang Bulik 28
Panjang total : 163 cm Ditangkap waktu berukuran anakan karena masuk dalam bubu ikan. Buaya ini disimpan di dalam kotak sudah sekitar 6 tahun. Dari buaya ini kemudian diambil sisiknya sebagai sampel untuk analisa DNA. Hasil wawancara dengan Ibu Aisah terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu Buaya Katak dan Buaya Julung. Ibu Aisah sedikit sukar untuk diwawancarai, karena dia takut kedatangan kami akan memberi kesusahan kepadanya, yang disebabkan dia menyimpan buaya di rumahnya. 7.k. Kampung Nanga Plikodan Informasi yang didapat dari Kampung Nanga Plikodan terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Jinjulung : ciri mulut panjang, tubuh warna kuning (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut pendek, tubuh warna kuning (=Crocodylus). Jenis Buaya Katak pada saat ini amat sukar didapat. Informasi sarang buaya didapat dari Bapak Yohanes Mogen. Hasil wawancara adalah sebagai berikut : sarang di atas tanah, lebih kurang 5 meter dari air; jumlah telur 40 butir dan 70-80 butir. Bapak ini mendapatkan sarang sekitar tahun 1980. Menurut keterangan beliau, di Sungai Plikodan dan Sungai Mentobi terdapat banyak buaya; kedua sungai tersebut merupakan lokasi berburu buaya kampung disekitarnya. Dari keterangan Bapak Yohanes Mogen tersebut kemudian kami pergi menuju 2 sungai yang dimaksud yang tidak jauh dari Kampung Nanga Plikodan. 7.l. Sungai Plikodan dan Sungai Mentobi Kedua sungai ini terletak pada Sungai Bulik. Sungai Bulik merupakan cabang sebelah kanan dari Sungai Lamandau. Sungai Plikodan adalah cabang di sebelah kiri dari Sungai Bulik, sedangkan Sungai Mentobi merupakan cabang sebelah kanan Sungai Bulik. Habitat di kedua sungai ini tidak jauh berbeda, yaitu pada tepinya ditumbuhi herba dan pohon; tanah tepi sungai terdiri dari pasir putih. Sebagian besar areal di tepi sungai sudah menjadi ladang penduduk, atau dibakar untuk ladang. Arus air di kedua sungai ini cukup kuat, lebih kuat dari Sungai Bulik. Dasar sungainya merupakan batu. Waktu kami akan masuk sampai ke bagian hulu sungai, “speed boat” tidak dapat masuk, karena batu-batu dasar sungai muncul ke permukaan. 7.m. Kampung Singkup Kampung Singkup terletak di Sungai Bulik. Informasi yang didapat tentang buaya terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri mulut pendek, tubuh warna hitam (=Crocodylus). 2. Buaya Jinjulung : ciri mulut panjang, tubuh warna hitam dan putih (=T. schlegelii). Informasi sarang buaya tidak ada dari kampung Singkup, karena penduduk di sini belum pernah melihatnya. Beberapa orang di kampung ini mempunyai kebiasaan berburu buaya pada waktu musim kemarau; waktu tersebut bersamaan dengan waktu menuba ikan. 8. Sungai Jelai
Sungai Jelai terletak di daerah perbatasan antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat. Survai di sungai ini berlangsung 2 kali. Survai pertama pada tanggal 26-30 Juli 1996; kemudian dilanjutkan kembali pada survai kedua tanggal 12-15 September 1996. Kegiatan pada kedua survai tersebut tidak jauh berbeda dengan survai yang dilakukan di Sungai Arut. Kondisi habitat Sungai Jelai jauh berbeda dengan Sungai Arut. Sepanjang tepi Sungai Jelai ditumbuhi Nipah pada bagian mulut sungai; kemudian Bakung Hanguana malayana, Rumput Teki dan Pandanus sp pada bagian sungai yang berair tawar. Dilihat dari kondisi habitatnya, bagian muara Sungai Jelai merupakan habitat umum buaya. Pada bagian tengah Sungai Jelai terbagi dua, yaitu Sungai Mapam pada cabang sebelah kanan dan Sungai Jelai pada cabang sebelah kiri. Uraian kegiatan berdasarkan waktu serta daerah atau kampung yang dikunjungi adalah sebagai berikut : 29
8.a. Kampung Kuala Jelai Di Kampung Kuala Jelai kami singgah untuk mendapatkan informasi dari penduduk setempat. Posisi koordinat kampung ini adalah 02°59’08”S dan 110°44’12”E. Hasil wawancara terdapat jenis buaya di daerah ini, yaitu : Buaya Katak dengan ciri moncong pendek (=Crocodylus). Menurut penduduk daerah yang terdapat buaya adalah daerah Tanjung Lumpur. Dilihat pada peta, Tanjung Lumpur terletak di tepi pantai. Kemungkinan besar jenis buaya yang terdapat di sini adalah C. porosus. Jadi dugaan kami yang dimaksud dengan Buaya Katak di sini adalah dari jenis C. porosus atau Buaya Muara. 8.b. Kampung Pulau Nibung Di Kampung Pulau Nibung kami singgah. Posisi koordinat kampung ini adalah 02°53’47”S dan 110°51’13”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri moncong panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri moncong pendek, warna tubuh kuning atau hitam, sifat buas (=Crocodylus). Pada kunjungan pertama beberapa orang penduduk di kampung ini berjanji kepada kami untuk menangkap Buaya Katak dan menunjukkan tempat sarang buaya. Setelah kami kembali lagi pada kunjungan kedua, tidak ada seorang penduduk yang menangkapkan buaya atau mendapat sarang buaya untuk kami. 8.c. Danau Gelenggang Danau Gelenggang merupakan danau yang sudah menyatu dengan Sungai Jelai. Posisi koordinat tempat pertemuan danau ini dengan Sungai Jelai adalah 02°52’26”S dan 110°53’05”E. Kondisi habitat Danau Gelenggang merupakan habitat umum buaya. Tumbuhan yang terdapat di bagian tepi danau adalah Bakung Hanguana malayana dalam jumlah dominan, Rumput Teki juga dominan yang tumbuh di sela-sela bakung atau tumbuh berkelompok, Pandanus sp dalam jumlah cukup banyak, Enceng Gondok dalam jumlah banyak, herba dan pohon pada bagian daratan. Warna air danau ini coklat tua. Di sekitar Danau Gelenggang tidak terdapat kampung, hanya beberapa “camp” pencari ikan, pemburu rusa dan penebang kayu. Hasil wawancara dengan penghuni “camp” terdapat 2 jenis buaya di danau ini, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri moncong panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak atau Kodok : ciri moncong pendek (=Crocodylus). Informasi sarang buaya tidak ada, karena penghuni “camp” tidak pernah melihat sarang buaya. 8.d. Danau Belida Letak Danau Belida bersebelahan dengan Danau Gelenggang. Danau ini memepunyai muara untuk menuju danau. Letak posisi mulut muara sungai yang menuju Danau Belida adalah 02°51’37”S dan 110°57’30”E. Sedangkan letak posisi Danau Belida adalah 02°50’45”S dan 110°57’36”E. Kondisi habitat danau ini pada tepinya ditumbuhi Bakung Hanguana malayana dalam jumlah dominan, Rumput Teki juga dominan, Pandanus sp dalam jumlah banyak, herba dan pohon pada bagian daratan. Sebagian herba tumbuh di antara Bakung. Warna air danau ini hitam. Di dalam Danau Belida terdapat sekelompok “camp” penebang kayu yang berkumpul menjadi satu. Hasil wawancara dengan penghuni “camp” tersebut terdapat 1 jenis buaya di danau ini, yaitu : Buaya Katak dengan ciri tubuh warna hitam (?). Di danau ini menurut mereka tidak ada Buaya Jinjulung yang bermulut panjang. Informasi sarang buaya tidak ada, karena penghuni “camp” tersebut belum pernah melihat sarang buaya. 8.e. PT Cahaya Kita 30
PT Cahaya Kita merupakan perusahaan kayu yang terdapat di tepi Sungai Jelai. Posisi koordinat perusahaan ini adalah 02°46’20”S dan 111°05’00”E. Sumber kayu PT Cahaya Kita tidak hanya berasal dari Sungai Jelai, tetapi juga dari sungai-sungai lain di Kalimantan Barat. Hasil wawancara dengan beberapa pekerja ternyata tidak seorangpun yang pernah melihat buaya, termasuk juga sarang buaya. 8.f. Sukamara Sukamara termasuk kota kecamatan dari Kabupaten Kotawaringin Barat. Posisi koordinat kota ini adalah 02°42’30”S dan 110°10’06”E. Di daerah Sukamara terdapat 2 orang penduduk yang mempunyai buaya T. schlegelii. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : i). Pemilik : Ibu Mochtar Lokasi tangkap : Sungai Jelai Tanggal tangkap : Juli 1996 Jenis kelamin : jantan Panjang total : 122 cm Panjang badan : 66 cm Buaya tersebut disimpan oleh pemiliknya di dalam kolam ikan dalam keadaan terikat. ii). Pemilik : Bapak Ijan Lokasi tangkap : Sungai Naning (anak Sungai Jelai) Tanggal tangkap : Juli 1996 Jenis kelamin : jantan Panjang total : 61,5 cm Panjang badan : 30,5 cm Dari kedua buaya tersebut diambil sedikit jaringan sisik ekor untuk analisa DNA. Di daerah Sukamara ini kami menemui Bapak Bantut seorang pemburu buaya. Menurut bapak ini terdapat 4 jenis buaya di sini, yaitu : 1. Buaya Taman : ciri tubuh warna kuning, agresif (?). 2. Buaya Katak : ciri tubuh berwarna kuning campur hitam; ukuran tubuh sekitar 1,5 mt dan lebih kecil dari Buaya Taman (?). 3. Buaya Sapit : ciri moncong panjang, tubuh warna putih; disebut juga Buaya Putih (?). 4. Buaya laut : ciri hanya hidup dekat laut (=C. porosus). Informasi sarang buaya didapat juga dari Bapak Bantut. Bulan Juni 1996 Bapak Bantut menetaskan 13 ekor Buaya Sapit di rumahnya. Buaya hasil tetasannya tersebut kemudian dijual ke Kota Semarang, Jawa Tengah. Menurut Bapak Bantut, sarang buaya yang selalu dia temukan berada di atas tanah. Jumlah telur sekitar 30 butir. Musim bersarangnya umumnya pada musim panas. Bapak Bantut berjanji kepada kami pada survai pertama untuk mencari sarang buaya dan menjaganya sampai kami datang kembali pada survai kedua. Setelah kami kembali pada survai kedua, Bapak Bantut sudah mencari sarang buaya, tetapi sayang sarang tersebut telah terendam air, lagi pula seluruh telur telah pecah. 8.g. Sungai Berais Sungai Berais adalah anak Sungai Jelai. Letak posisi koordinat pertemuan antara Sungai Berais dan Sungai Jelai adalah 02°47’48”S dan 111°00’32”E. Kondisi habitat Sungai Berais merupakan habitat umum buaya. Tumbuhan yang terdapat di tepi sungai ini adalah Pandanus sp dalam jumlah dominan, Bakung Hanguana malayana dalam cukup banyak, Rumput Teki juga dalam jumlah sedikit, serta herba dan pohon pada bagian daratan. Sebagian besar hutan di tepi sungai telah dibakar oleh penduduk untuk dijadikan ladang. Warna air sungai hitam, yang mana di dalam air terutama di daerah tepi sungai banyak ditumbuhi tanaman air Hydrilla. 31
Di sepanjang Sungai Berais banyak terdapat “Camp” penebang kayu liar. Mereka umumnya merupakan kaum pendatang. Di bagian hulu Sungai Berais terdapat Danau Buntar. Di dalam danau tersebut terdapat Kampung Danau Buntar. Posisi koordinat Kampung Danau Buntar adalah 02°38’40”S dan 110°55’36”E. Di kampung ini kami singgah untuk mendapat informasi dari penduduk setempat. Hasil wawancara hanya terdapat 1 jenis buaya di Sungai Berais dan Danau Buntar, yaitu : Buaya Sapit atau T. schlegelii. Menurut mereka jumlah Buaya Sapit di Sungai Berais sangat banyak; walaupun dalam kondisi banjir tetap dapat melihat sinar mata buaya di malam hari. Informasi sarang buaya tidak ada, karena penduduk di Kampung Danau Buntar belum pernah melihat sarang buaya walaupun jumlah Buaya Sapit banyak di daerah ini. Salah seorang penduduk berjanji kepada kami untuk mencari sarang buaya dan menjaganya sampai kami datang kembali pada survai kedua. Setelah kami kembali lagi pada survai kedua, ternyata tidak seorangpun penduduk Kampung Danau Buntar yang telah mencari sarang buaya yang mereka janjikan. 8.h. Sungai Mapam Sungai Mapam merupakan cabang sebelah kanan dari Sungai Jelai. Sungai Mapam sendiri juga bercabang dua, yaitu Sungai Bila merupakan cabang di sebelah kanan dan cabang di sebelah kiri tetap Sungai Mapam. Kondisi habitat Sungai Mapam sampai ke daerah percabangan merupakan habitat umum buaya. Tumbuhan yang terdapat di sepanjang tepi sungai adalah Bakung Hanguana malayana dalam jumlah dominan, sedikit Pandanus sp, Rumput Teki dalam jumlah cukup banyak, Enceng Gondok dalam jumlah cukup banyak, herba dan pohon di bagian daratan. Pada beberapa daerah tepi sungai terdapat beberapa “camp” pencari ikan dan areal hutan tanaman industri dari PT. Inhutani III. Di lokasi “camp” Pondok Palas kami singgah untuk mendapat informasi. Hasil wawancara terdapat 2 macam buaya di Sungai Mapam, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri moncong panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri moncong pendek (=Crocodylus). Informasi sarang buaya didapat dari Bapak Jaini. Menurut dia tahun 1994 pernah mendapat sarang Buaya Sapit dan Buaya Katak pada tempat yang sama, yaitu di atas tanah. Menurut Bapak Jaini, lokasi yang terdapat banyak buaya dan juga sarangnya adalah Danau Buaya. Danau ini terletak di daerah Sungai Bila. Di dalam danau ini tidak terdapat kampung ataupun “camp”, karena hampir seluruh penduduk kampung takut datang ke danau ini. Pada survai kedua tepatnya pada tanggal 13 September 1996 kami melakukan penghitungan buaya dengan metode ”spot light night count”. Penghitungan ini dimulai dari tempat percabangan antara Sungai Mapam dengan Sungai Bila sampai Sukamara. Jalur yang disurvai sepanjang 25 km. Hasil dari penghitungan hanya didapat 1 ekor buaya T. schlegelii yang berukuran anakan. Posisi koordinat dari buaya yang didapat tersebut adalah 02°38’56”S dan 111°09’56”E. Buaya yang didapat tersebut kemudian dipreservasi untuk koleksi Museum Zoologi Bogor. Data mengenai buaya tersebut adalah sebagai berikut : Tanggal koleksi : 13 sepetember 1996 Panjang total : 54 cm Panjang badan : 26,5 cm Jenis kelamin : jantan Dari spesimen ini kemudian diambil sedikit dari jaringan otot, hati, jantung dan darah untuk analisa DNA. 8.i. Sungai Bila Sungai Bila merupakan percabangan sebelah kanan dari Sungai Mapam. Lebar Sungai Bila lebih kecil dari Sungai Mapam. Posisi koordinat tempat percabangan tersebut adalah 02°29’04”S dan 111°12’27”E. Kondisi habitat Sungai Bila merupakan habitat umum buaya. Tumbuhan yang terdapat di sepanjang tepi sungai adalah Bakung Hanguana malayana dalam jumlah dominan, Pandanus sp dalam jumlah cukup banyak, Rumput Teki dalam jumlah cukup banyak, Enceng 32
Gondok dalam jumlah banyak dan sering merintangi sungai, kemudian herba dan pohon pada tepi daratan. Kampung yang disinggahi selama survai di Sungai Bila adalah sebagai berikut : 8.j. Kampung Petarikan Di Kampung Petarikan terletak pada posisi koordinat 02°25’41”S dan 111°09’58”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Sapit : ciri mulut panjang (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri mulut pendek (=Crocodylus). Informasi sarang buaya tidak ada dari kampung ini. 8.k. Kampung Pangkalan Muntai Kampung Pangkalan Muntai terletak pada posisi koordinat 02°23’47”S dan 111°14’52”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Sapit atau Jinjulung atau Kuning : ciri moncong panjang, warna tubuh kuning (=T. schlegelii). 2. Buaya Katak : ciri moncong dan tubuh pendek, warna tubuh hitam atau kuning, panjang tubuh dewasa antara 4-7 meter (=Crocodylus). Informasi sarang buaya adalah sebagai berikut: kedua jenis buaya tersebut bersarang di atas tanah dekat tepi pada rawa sungai berukuran kecil; jumlah rata-rata telur 30 butir, tetapi pernah didapat dengan jumlah 48 butir; ukuran telur Buaya Sapit lebih panjang sedikit dibandingkan Buaya Katak. Waktu bertelur biasanya pada musim kemarau. Sekelompok orang dari kampung ini berjanji kepada kami pada kunjungan pertama untuk menangkap Buaya Katak dan mencari sarang buaya. Setelah kami datang kembali untuk kedua kalinya, ternyata belum ada seorang penduduk yang menangkap Buaya Katak atau mendapatkan sarang, karena kondisi sungai masih dalam keadaan banjir. Pada tahun lalu (1995), seorang penduduk Kampung Pangkalan Muntai dimakan Buaya Katak. Nama dari korban tersebut adalah Curan. Buaya Katak tersebut sampai pada kunjungan kami kedua pada tanggal 13 September 1996 belum dapat ditangkap, karena tidak ada seorangpun yang berani menghadapi buaya tersebut. Bila mendengar hasil wawancara dengan penduduk, kami yakin bahwa yang dinamakan Buaya Katak di sini adalah dari jenis C. porosus. Buaya ini dapat hidup di daerah muara berair asin sampai hulu sungai yang berair tawar. 8.l. Cabang Sungai Mapam Sungai Mapam bercabang dua, sebelah kanan Sungai Bila, sedangkan sebelah kiri tetap Sungai Mapam. Kondisi habitat di daerah cabang Sungai Mapam ini jauh berbeda dengan kondisi habitat Sungai Mapam yang berada di bawah. Di sini sedikit sekali tanaman Bakung atau Rumput Teki; hanya tanaman herba dan pohon yang mendominasi bagian tepi sungai. Kampung yang disinggahi selama survai di daerah ini adalah : 8.m. Kampung Muara Sungai Buluh Kampung ini terletak pada posisi koordinat 02°35’06”S dan 111°04’04”E. Hasil wawancara dengan seorang yang dulunya berprofesi sebagai pemburu buaya, yaitu Bapak Isam terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : 1. Buaya Katak : ciri moncong bulat, tubuh warna hitam campur kuning (=Crocodylus). 2. Buaya Sapit : ciri moncong panjang, tubuh warna kuning (=T. schlegelii). Informasi sarang buaya tidak ada dari daerah ini, karena Bapak Isam belum pernah melihat sarang buaya. 8.n. Manis Mata 33
Ibu kota kecamatan Manis Mata termasuk ke dalam Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Posisi koordinat daerah ini adalah 02°27’11”S dan 111°01’50”E. Di daerah ini penduduk setempat tidak tahu ada berapa jenis buaya yang terdapat di sini, mereka hanya mengenal binatang buaya, tanpa tahu perbedaannya. Informasi sarang buaya juga tidak ada. 8.o. Kampung Sedau Letak posisi koordinat Kampung Sedau adalah 02°23’44”S dan 111°02’38”E. Hasil wawancara dengan penduduk setempat terdapat 2 jenis buaya di daerah ini, yaitu : Buaya Sapit dan Buaya Katak. Penduduk yang kami wawancarai tidak tahu perbedaan kedua jenis buaya tersebut, karena dia belum pernah melihat. Menurut orang tersebut daerah yang banyak buaya di dekat Kampung Sedau adalah Danau Laut Sampar. Setalah kami memasuki Danau Laut Sampar tersebut, kondisi habitat di danau ini sudah rusak; tidak mungkin buaya dapat hidup di sini, karena sebagian besar hutan tepi danau sudah dibakar untuk ladang. Begitulah uraian secara terperinci dari daerah yang dikunjungi beserta hasil wawancara dengan penduduk setempat dari Proyek Pendahuluan Survai Buaya Kalimantan. Tujuan utama dari proyek ini belum tercapai, yaitu ditemukannya buaya liar dan habitat asli Buaya Borneo C. raninus.
PEMBAHASAN Dari hasil wawancara di setiap daerah atau kampung yang dikunjungi, informasi banyaknya jenis buaya bervariasi mulai dari 1 sampai 4 jenis buaya. Informasi ini kadang kala berlainan pada 2 kampung yang berdekatan. Dalam mencari informasi ini paling baik memang bertanya kepada pemburu buaya; tetapi pemburu buaya tidak selalu ada di setiap kampung. Metode yang kami jalani untuk membantu survai, karena kami berprinsip sekecil apapun informasi tetap berharga dalam survai pendahuluan. Dari hasil survai penghitungan buaya dengan metode “spot light night count”, hanya di Sungai Mapam yang terlihat (walaupun hanya 1 ekor). Ketidak berhasilan ini kemungkinan besar disebabkan oleh : 1. Masih tingginya level air sungai, karena dalam jangka waktu penelitian yang berlangsung lebih kurang 1 tahun tidak ada musim kemarau. 2. Perahu yang digunakan selama survai bersuara keras, karena kami menyewa “speed boat” 40 pk, kelotok dengan mesin TS, ketinting, dan perahu dengan mesin tempel. Untuk kondisi di Kalimantan, yang mana populasi buaya rendah, alat yang baik dalam penghitungan buaya adalah sampan dengan dayung. 3. Hasil survai habitat buaya, kondisi ideal yang disenangi buaya sudah mulai rusak di sebagian besar perairan di Kalimantan. Kemungkinan penyebab utamanya adalah populasi penduduk yang semakin meningkat, yang akibatnya diperlukan areal baru untuk pemukiman atau bercocok tanam. Selain itu sebagian besar penduduk yang bermukim di sekitar hutan mempunyai pola hidup ladang berpindah. Hasil survai untuk menemukan jenis C. raninus di alam tidak mendapat hasil yang diharapkan berdasarkan bukti ilmu pengetahuan yang kuat. Bukti adanya jenis buaya ini di Banjar Baru belum cukup untuk meyakinkan para ilmuwan bahwa jenis C. raninus masih eksis di Kalimantan. Jadi dari survai pendahuluan yang terbagi dalam fase I dan fase II belum dapat menyimpulkan apakah pada waktu ini memang benar terdapat 4 jenis buaya di Kalimantan; atau hanya 3 jenis, karena keberadaan jenis C. raninus kemungkinan sudah punah dari bumi Kalimantan sebelum kita mengetahui biologinya. Oleh sebab itu survai ini perlu dilakukan kembali pada tahap lanjutan agar diperoleh kesimpulan yang benar-benar diterima ilmu pengetahuan. 34
DAFTAR PUSTAKA Groombridge, B., 1987, The distribution and status of world crocodilians, hal. 9-21 Dalam Wildlife Management : Crocodiles and Alligators, eds. G.J.W. Webbs, S.C. Manolis and P.J. Whitehead, Surrey Beatty and Sons, Sydney. Ross, C.A., 1990, Crocodylus raninus S. Muller and Schlegel, a valid species of crocodile (Reptilia : Crocodylidae) from Borneo, Proc. Biol. Soc. Wash., 103 (4) : 955-961. Ross, C.A., 1992, Designation of a lectotype for Crocodylus raninus S. Muller and Schlegel (Reptilia : Crocodylidae), the Borneo crocodile, Proc. Biol. Soc. Wash., 105 (2) : 400-402.
35